BAB II - sc.syekhnurjati.ac.id
Transcript of BAB II - sc.syekhnurjati.ac.id
13
BAB II
PERAN PENGURUS PONDOK PESANTREN NURUL HUDA DALAM
MENANAMKAN PERILAKU KEAGAMAAN KEPADA SANTRI USIA 13-18
TAHUN
A. Pengertian Peran Pengurus Pondok Pesantren
1. Pengertian Peran Pengurus
Menurut bahasa, peran adalah sesuatu yang jadi bagian atau yang
memegang pimpinan yang terutama adalah suatu hal atau peristiwa
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 751) sedangkan pengurus
adalah sekelompok orang yang mengurus dan memimpin perkumpulan.
2. Pengertian Pesantren
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren biasa disebut dengan
pondok saja atau kata ini gabungan menjadi pondok pesantren. Pesantren
sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri.
Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat
dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa
Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama. (Zamakhsyari Dhofier, 1983:
18)
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran
an yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam buku Yasmadi yang
berjudul Modernisasi Pesantren, mengutip pernyataan Nurcholis Madjid
yang memberikan pandangan tentang asal usul kata santri, dengan melihat
dua pendapat .Pertama pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari
perkataan “sastri”, berasal dari bahasa sansakerta yang artinya melek huruf.
Kedua, pendapat yang mengtakan bahwa perkataan santri berasal dari bahasa
jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru itu pergi menetap. (Yasmadi, 2002: 62)
pondok pesantren muerupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang
menjadi tugas, fungsi dan kewenangan Kementrian Agama, di samping
diniyah, madrasah, dan perguruan tinggi Islam. Dibandingkan dengan satuan
14
pendidikan lainnya, pesantren memiliki keunikan sebagai lembaga
pengembangan ilmu-ilmu keislaman par excellence kaderisasi ulama.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang di kelola secara
konvensional dan dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dengan kyai
sebagai sentral utama serta masjid sebagai pusat lembaganya.
A.Halim menyatakan bahwa: “Pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan Islam, yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, dipimpin oleh
kyai sebagai pemangku/pemilik pondok pesantren dan dibantu oleh
ustadz/guru yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada santri, melalui
metode dan tekhnik yang khas” (A.Halim, 2005 : 247). Sedangkan Nur
Uhbiyati menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
dan pengajaran agama Islam pada umumnya pendidikan dan pengajaran
tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandongan dan sorogan)
(Nur Uhbiyati, 2005 : 247).
Dengan demikian pondok pesantren adalah lembaga pendidikan non
formal islam yang mengajarkan nilai-nilai keislaman yang diberikan oleh
seorang Kyai atau Ustadz kepada santri dengan metode dan teknik yang khas
(sistem bandungan dan sorogan).
Dahulunya pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama
Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan
dengan cara non-klasikal (sistem bandongan dan sorogan) dimana seorang
Kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa
arab oleh ulama-ulama besar, sedang para santri biasanya tinggal dalam
pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut, atau ada yang hanya
sekedar belajar dipesantren tanpa tinggal di pemondokkan yang disediakan
oleh pesantren.
Lembaga pendidian yang mengajarkan agama islam kepada masyarakat
dan anak-anak di indonesia ini telah lahir dan berkembang semenjak masa
awal kedatangan Islam dinegeri ini. Pada masa awal kemunculannya,
lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an
dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau atau rumah-
15
rumah ustadz. Lembaga yang terus berkembang dengan dengan nama
pesantren ini terus tumbuh dan berkembang didasari tanggung jawab untuk
menyampaikan islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok
sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat aktivitas
peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab
kuning serta kyai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar
keberadaannya (Zamakhsyari Dhofier, 1982:44).
Apabila dilihat dari perkembangannya maka pesantren sekarang ini dapat
dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren
modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi.
Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik
sebagai inti pendidikan dipesantren. Pondok pesantren modern merupakan
sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh tradisional
dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Dengan begitu dapat dipahami bahwa pesantren sekarang ini merupakan
lembaga pendidikan yang mengedepankan pendidikan agama dengan tidak
mengenyampingkan pentingnya pendidikan umum dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman keagamaan pada masyarakat dan dakwah di
masyarakat.
Penulis menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pondok
pesantren adalah tempat tinggal bagi para santri yang menuntut Ilmu pada
seorang kyai. Perkembangan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan
masyarakat akan adanaya lembaga pendidikan lanjutan. Pada umumnya,
berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan
keunggulan dan ketinggian ilmu seorang kyai.
3. Karakteristik Pondok Pesantren
Sebagai sebuah lembaga, maka pesantren dalam konsepnya juga memiliki
karakteristik yang membentuk sebuah bangunan lembaga yang disebut
pesantren. Karakteristik dalam pesantren memiliki fungsi peranan yang
sangat penting dalam menumbuh kembangkan program yang terdapat dalam
pesantren tersebut. Menurut Ahmad Tafsir pesantren baru akan disebut
16
pesantren apabila memenuhi lima syarat atau lima unsur, yaitu (1) adanya
Kyai, (2) adanya Santri, (3) adanya Masjid, (4) adanya pondok, (5) adanya
Ta’lim.
a. Kyai
Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan
akhlak yang sesuai dengan ilmunya (Munawar Fuad Noeh dan Mastuki
HS, 2002:101).
Menurut Saeful Akhyar Lubis; “Kyai adalah tokoh sentral dalam
suatu pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren ditentuan
oleh wibawa dan kharisma sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi,
apabila sang kyai di salah satu pondok pesantren wafat, aka pamor
pondok pesantren tersebut merosot karena kyai yang menggantikannya
tidak sepopuler kyai yang telah wafat itu” (Saiful Akhyar Lubis,
2007:169).
Abdullah ibn Abbas berpendapat bahwa, Kyai adalah orang-orang yang
mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat yang maha kuasa atas segala
sesuatu. Sedangkan menurut Musthafa al-Maraghi, kyai adalah orang-
orang yang mengetahui kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga
mereka takut melakukan perbuatan maksiat. Sayyid Quthb mengartikan
bahwa kyai adalah orang-orang yang memikirkan dan menghayati ayat-
ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai
ma’rifatullah secara hakiki. (Hamdan Rasyid, 2007:55). Nurhayati Djamas
mengatakan, “kyai adalah sebutan untuk tokoh ulama atau tokoh yang
memimpin pondok pesantren” (Nurhayati Djamas, 2008:55).
Dengan demikian kyai adalah tokoh yang memimpin suatu pesantren
dan orang yang berpengetahuan luas tentang ilmu-ilmu agama Islam dan
menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidupnya.
peran yang ditampilkan kyai khususnya kepada santri di pesantrennya,
mampu mempengaruhi sikap dan sifat santri tidak hanya pada para santri
berada dilingkungan pondok pesantren. Pengaruh kyai masih melekat di
hati santri, walaupun mereka telah menjadi alumni. Jangkauan pengaruh
yang luas dan panjang itu, dapat diperhatikan dari usaha para alumni
pondok pesantren dalam membangun masyarakat secara keseluruhan.
17
Yang lebih penting dari itu adalah, kyai dalam melaksanakan peran dan
fungsinya penuh keikhlasan. Inilah orientasi dan prestasi kyai di pondok
pesantren yaitu kyai mengajarkan dasar-dasar Al-Qur’an dan KK kepada
santri atau masyarakat semata-mata karena lillahi ta’ala tanpa maksud
tertentu. (Taqiyudin, 2013: 114)
Kata Kyai dalam bahasa Arab dapat disebut sebagai Ulama, tersebut
tercantum dalam al-Quran yaitu Firman Allah dalam surat Faatir ayat 28:
Artinya: “dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-
macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”. (Hasbi Ash-shiddieqy, 1994: 1079).
Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang
mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya yang besar, seorang kyai
(mursyid) dituntut untuk memiliki persyaratan sebagai berikut (Samsul,
2013: 196-197) :
1) Selain menguasai ilmu-ilmu lahir (fiqih, kalam, hadist dan seterusnya)
dan ilmu batin (Tasawuf) juga harus menunjukan keshalahan
pribadinya. Seorang kyai mestilah seorang yang “ahli amal”.
2) Memiliki kiat yang jelas dan lazim dengan mata rantai pentahbisan
dan pelaksanaan kebenaran-kebenaran dari tarekat itu (musalsal).
3) Telah mengalami dan melaksanakan perjalanan rohani dari awal
sampai akhir, kemudian kembali lagi ke awal agar bisa berfungsi
sebagai pemandu jalan bagi muridnya.
18
4) Dapat mengetahui langsung bakat dan potensi yang berbeda-beda dari
pada santri serta perkembangan yang berlangsung dalam perjalanan.
5) Memiliki kepekaan dan penglihatan batin yang tajam terhadap
perjalanan rohani berikut tingkatan-tigkatannya (maqamat) dan
keadaan-keadaannya (ahwal). Kemudian mampu menjalankan setiap
murid diatas jalan itu sesuai dengan potensi, bakat dan kesungguhan
masing-masing dan mampu memelihara kebutuhan istirahat mereka.
6) Pandai menyimpan rahasia para murid yang berkenaan dengan urusan
duniawi maupun pengalaman spiritual yang ditemuinya selama
perjalanan pendidikan.
7) Memelihara muruah, harkat dan martabatnya di hadapan orang lain,
tidak bersenda gurau atau mengucapkan kata yang sekiranya dapat
menimbulkan kesan negatif.
8) Mengetahui dengan baik sifat-sifat hati, penyakit-penyakit serta cara
penyembuhannya.
Memiliki sifat bijaksana, lapang dada, ikhlas, dan santun terhadap
sesama muslim, terutama murid-muridnya.
Kiai atau Ustadz di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua
karakter, yaitu sebagai model dan sebagai terapis. Sebagai model, Kiai
atau Ustadz adalah panutan dalam setiap tingkah-laku dan tindak-
tanduknya. Sebagai terapis, Kiai dan Ustadz memiliki pengaruh terhadap
kepribadian dan tingkah laku sosial santri. Semakin intensif seorang ustadz
terlibat dengan santrinya semakin besar pengaruh yang bisa diberikan.
Ustadz bisa menjadi agen kekuatan dalam mengubah perilaku dari yang
tidak diinginkan menjadi perilaku tertentu yang diinginkan.
Kedudukan kyai di pondok pesantren ini di samping sebagai pengasuh
pada umumnya, secara khusus beliau juga merupakan guru untuk para
santrinya. Guru yang memiliki banyak peranan yang sangat penting
terhadap para anak didiknya yang sangat mempengaruhi berhasil atau
tidaknya, dan meningkatnya prestasi yang dimiliki setiap anak didiknya
dalam proses pembelajaran yang diberikan kepada anak didiknya atau para
19
santrinya. Mengenai betapa pentingnya peran guru, Drs. Syaiful Bahri
mengungkapkan bahwa banyak peranan yang diperlukan oleh guru sebagai
pendidik. Ada beberapa peranan yang diharapkan dari guru diantaranya
yaitu:
1) Korektor
Sebagai korektor, guru harus bisa membedakan mana nilai baik
dan mana nilai buruk. Semua nilai yang baik harus guru pertahankan
dan semua nilai yang buruk harus disingkirkan dari jiwa dan watak
anak didiknya. Bila guru mengabaikan hal tersebut berarti guru telah
mengabaikan peranannya sebagai korektor.
2) Inspirator
Sebagai inspirator, guru harus dapat memberikan teladan yang
baik, dan petunjuk bagaimana cara belajar yang baik kepada anak
didiknya serta membantu anak didiknya untuk melepaskan masalah
yang di hadapi oleh anak didiknya yang sekiranya itu bisa
menggaggu dalam proses belajarnya.
3) Motivator
Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong anak didik
agar semangat dan aktif belajar. Motivasi dapat efektif bila
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak didiknya.
4) Pembimbing
Peran guru sebagai pembimbing harus lebih dipentingkan karena
kehadiran guru adalah untuk membimbing anak didiknya menjadi
pribadi yag lebih baik. Tanpa bimbingan, anak didik akan
mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya.
5) Supervisor
Sebagai supervisor, guru hendaknya dapat membantu,
memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran .
6) Evaluator
Sebagai evaluator, guru dituntut menjadi evaluator yang baik
dan jujur, dengan memberikan penilaian. Sebagai evaluator guru
20
tidak hanya menilai hasil pengajaran, tetapi juga menilai proses
jalannya pengajaran. Dari dua kegiatan ini akan mendapatkan umpan
balik tentang pelaksanaan interaksi edukatif yang telah dilakukan.
(Djamarah, 2010: 43)
b. Santri
Santri sebagai elemen selanjutnya dari kultur pesantren yang
merupakan unsur pokok yang tidak kalah pentingnya dari lainnya. Santri
adalah siswa yang belajar di pesantren.
Istilah santri ditunjukkan kepada orang yang sedang menuntut ilmu
agama di pondok pesantren, namun pengertian istilah santri memiliki arti
dan persepsi yang berbeda-beda.
Kata santri berasa dari bahasa India yaitu Shastri yang berarti orang
yang ahli tentang kitab suci agama Hindu. Zaini Muchtarom (1989: 16)
mengupas tentang kata shastri lebih jauh dengan mengatakan, shastri
berasal dari kata shashtra yang berarti scripture atau a religius or a
sicentific treatise yaitu karangan agama atau uraian ilmiah; ada juga yang
mengartikannya santri sebagai huruf, sebab di pondok pesantren dipelajari
huruf dan sastra. (Taqiyudin, 2013: 114)
Menurut Nurcholish Madjid, mengenai asal-usul perkataan “santri” itu
ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan.
Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa santri itu berasal dari
perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansakerta, yang artinya melek
huruf . agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan
politik islam di demak, kaum santri adalah kelas “literary” bagi orang
jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-
kitab tertulis dan bahasa arab. Dari sini dapat kita asumsikan bahwa
menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab
tersebut). Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca Al-Qur’an
yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam
memandang agamanya. Kedua, adalah pendapat yang mengatakan
perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, persisnya dari
21
kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikui seorang guru ke
mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan dapat belajar
darinya mengenai suatu keahlian (Nurcholish, 1992:19-20)
Dapat disimpulkan bahwa santri adalah seperti halnya murid yaitu
mereka yang mencoba dan mencari ilmu pengetahuan khususnya agama
islam kepada guru atau kyai atau ustadz yang mereka anggap sebagai guru
besar yang dapat menuntun mereka dan menjadi landasan mereka.
Dalam tradisi pesantren Biasanya santri terdiri dari dua kelompok.
pertama, santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam pondok pesantren. Kedua, santri kalong ialah santri-santri
yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka
tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing
setiap selesai mengikuti suatu pelajarn di pesantren. (Nurcholish, 1997:
52)
c. Masjid
Menurut Ghazalba dalam bukunya menjelaskan bahwa secara harfiah
masjid di artikan sebagai tempat sembahyang (sujud) (Ghazalba, 1994:
118), dikatakan demikian karena di tempat ini setidaknya seorang muslim
lima kali sehari semalam melakasanakan shalat. Masjid sebagai pusat
kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah
pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di
lingkungan pesantren, baik yang berkaitan dengan ibadah, sholat
berjamaah, zikir, wirid, do’a, i;tikaf, dan juga kegiatan belajar-mengajar.
(Yasmadi, 2005: 64)
Al-Abdi menyatakan bahwa masjid merupakan tempat kegiatan
pendidikan. Dengan menjadi lembaga pendidikan dalam masjid, akan
terlihat hidupnya Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala bid’ah,
mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi
status sosial-ekonomi dalam pendidikan. Oleh karena itu, masjid
merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga, yang
jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah. Fungsi masjid tidak saja untuk
22
shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain
sebagainya. Di zaman Rasulullah SAW masjid berfungsi sebagai tempat
ibadah dan urusan-urusan sosial kemasyarakatan serta pendidikan (Haidar
Putra Daulay, 2004:63).
Suatu pesantren mutlak mesti memiliki masjid, sebab disitulah akan
dilangsungkan proses pendidikan dalam bentuk komunikasi belajar
mengajar antara Kyai dan Santri. Masjid sebagai pusat pendidikan Islam
telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW, dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin, dinasti Bani Umayah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan dinasti-dinasti
lainnya. Tradisi itu tetap dipegang oleh para Kyai pemimpin pesantren
untuk menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan.
Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah (1)
mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT; (2)
Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan
solideritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
sebagai insan pribadi, sosial dan warga Negara; (3) Memberikan rasa
ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia
melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimisme (Abdul Mujib,
2006: 232).
d. Ta’lim
Ta’lim merupakan kegiatan utama yang harus ada dalam pesantren.
Ta’lim merupakan kegiatan belajar mengajar kitab-kitab klasik, mulai dari
kitab fiqih, akhlak, hadits, tafsir, manthiq, balaghoh, sampai kitab yang
bersifat tasawuf dan mistik. Kurikulum dalam pesantren merupakan
kurikulum yang fokus pada pendidikan agama seperti tersebut di atas.
Pedoman atau refrensi yang dipakai dalam pengajaran dan
pembelajaran dalam pesantren sering disebut dengan Kitab Kuning. Kitab
kuning merupakan karya tulis dengan merupaka huruf Arab yang disusun
oleh para sarjana muslim pada abad pertengahan Islam, sekitar abad 16/18.
Sebutan “kuning” ini karena kertas yang digunakan dahulunya kebanyakan
memakai kertas berwarna kuning, mungkin karena lapuk ditelan masa,
23
oleh sebab itu juga disebut kitab salaf (kitab klasik atau kitab kuno)
(Abuddin Nata, 2001:171).
Kitab kuning biasanya diformat secara khusus terdiri dari dua bagian,
yaitu matan atau teks asli dan syarah atau penjelasan atas matan.
e. Pondok
Istilah pondok berasal dari bahasa Arab, Funduq yang berarti tempat
bermalam. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan demikian
pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal.
Pondokan atau pondok merupakan tempat dimana para santri tinggal
dalam lingkungan pesantren, yang biasanya pondok tersebut berupa
kamar-kamar khusus yang dihuni oleh beberapa santri. Disamping sebagai
tempat tinggal dalam pesantren pondok juga menjadi tempat belajar dan
berinteraksi antara santri satu dengan yang lainnya.
Ada tiga alasan pokok pentingnya pesantren menyediakan pondok
(asrama) yakni tempat tinggal santri:
1) Kemasyhuran seorang Kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang
agama Islam yang menarik santri dari jauh untuk menuntut ilmu dari
kyai tersebut secara kontinyu dalam waktu cukup lama, sehingga para
santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan
menetap di kediaman Kyai.
2) Hampir seluruh pesantren berada di desa-desa, dimana tidak tersedia
perumahan yang cukup untuk dapat menampung santri.
3) Adanya sikap timbal balik antara Kyai dengan santri, sikap timbal
balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling
berdekatan, dengan sikap ini akan melahirkan tanggung jawab pada
Kyai dan sikap pengabdian pada diri santri tersendiri (Zamakhsyari
Dhofier, 1984:46).
4. Tujuan Pondok Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, maka dalam merumuskan
tujuan atau cita-cita tentu saja searah kepada nilai-nilai Islam, baik rumusan
tersebut secara formal atau hanya berupa slogan-slogan yang diucapkan oleh
24
pengaruh pesantren. Di samping itu keberadaan pesantren juga merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu pesan-pesan
yang dapat ditangkap dari masyarakat juga merupakan pedoman dalam
merumuskan tujuan pendidikan pesantren.
Dalam suatu lokakarya intensifikasi pengembangan pendidikan pondok
pesantren bulan Mei 1987 di Jakarta telah merumuskan tujuan institusional
pendidikan pesantren sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Membina warga negara agar berkepribadian muslim dengan ajaran-
ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam
semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang
berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
b. Tujuan Khusus
1) Mendidik santri anggota masyarakat untuk menjadi orang muslim
yang bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, memiliki
kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan batin sebagai warga
negara yang berpancasila.
2) Mendidik siswa atau santri untuk menjadi manusia muslim selaku
kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah,
tangguh, wiraswasta dalam mengembangkan syariat-syariat Islam
secara utuh dan dinamin.
3) Mendidik siswa atau santri untuk memperoleh kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan bangsa dan negara.
4) Mendidik penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional
(pedesaan/ masyarakat lingkungannya).
5) Mendidik siswa atau santri menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam
berbagai sektor pembangunan khususnya dalam pembangunan
mental spiritual.
6) Mendidik siswa atau santri untuk membangun meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan
25
bangsanya. (Proyek Pembinaan dan Bantuan kepada pondok
pesantren, 1984/1985: 6-7)
Rumusan tujuan umum dan khusus dari pendidikan pesantren
sebagaimana tersebut di atas, mengharuskan pesantren untuk tidak hanya
mengajarkan ilmu agama saja, akan tetapi pesantren harus juga
memperhatikan wawasan keilmuan yang luas serta memberikan ketrampilan
praktis yang dioperasionalkan oleh santri dalam kehidupannya.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah
membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan
mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan Negara.
5. Fungsi dan Peran Pondok Pesantren
Masa awalnya munculnya pesantren kurang lebih sama dengan masa
ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Agama Islam dipesisir
kota gresik. Keberadaan pesantren saat itu berfungsi sebagai tempat
pendidikan dan penyiaran (dakwah) agama Islam. Pendidikan dan syiar
agama adalah dua kegiatan yang saling menunjang. Pendidikan dapat
dijadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah di masyarakat. Sedangkan
dakwah dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem
pendidikan.
Fungsi edukatif yang dimiliki pesantren pun sebenarnya hanya
membonceng fungsi pesantren sebagai tempat dakwah. Misi dakwah
islamiyah inilah yang mengakibatkan terbangunnya sistem pendidikan ala
pesantren. Pada masa Wali Songo, unsur dakwah memegang peran lebih
banyak dibanding unsur-unsur pendidikan. Fungsi pesantren waktu itu adalah
sebagai lembaga pencetak calon ulama dan mubaligh yang militan dalam
menyiarkan agama Islam.
Fungsi pesantren saat ini setidaknya mencakup tiga aspek utama, yaitu
fungsi religius, fungsi sosial dan fungsi edukasi. Ketiga fungsi tersebut masih
berlangsung di masyarakat hingga saat ini. Fungsi lain yang tak kalah penting
dari keberadaan pesantren adalah lembaga pembinaan moral dan kultural.
Warga pesantren telah dilatih untuk melaksanakan pembanguan demi
26
kesejahteraan masyarakatnya. Dalam hal ini, proses pembangunan tersebut
telah menjalin hubungan yang harmonis antara santri dan masyarakat, dan
antara kyai dan perangkat desa.
Peran pondok pesantren memiliki tiga peran penting dalam masyarakat
Indonesia :
1. Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional
2. Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional
3. Sebagai pusat reproduksi ulama
Lebih dari itu, pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut,
tapi juga menjadi pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi
masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian
lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan
ekonomi masyarakat sekitar (mujamil Qomar, 2009: 22-26).
B. Pengertian Perilaku Keagamaan
1. Pengertian Perilaku Keagamaan
Perilaku sering disebut juga dengan tingkah laku, secara etimologi
perilaku adalah tanggapan/tradisi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan (Dekdikbud, 1994: 755). Sedangkan agama adalah ajaran sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan dan kepribadian kepada Tuhan
yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia dengan lingkungannya).(Depdiknas, 2001: 12).
Menurut Prof. Abdul Wahab Khallaf, Agama dapat diartikan sebagai
satuan aqidah hukum dari undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah
SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan
horizontal).
perilaku keagamaan dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang ada
dalam individu yang mendorong untuk bertingkah laku sesuai kadar afeksi
dan kognisi. Aspek kognitif dan aspek apektif terikat dari pengalaman
ketuhanan. Sedangkan perilaku terhadap agama sebagai unsur kognitif.
27
Sedangkan perilaku keagamaan menurut Mursal dan H.M. Taher,
adalah tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran tentang adanya Tuhan
yang maha esa, semisal aktifitas keagamaan seperti shalat, zakat, puasa, dan
sebagainya. Perilaku keagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual saja, tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan supranatural, bukan hanya berkaitan dengan
aktifitas yang tampak yang terjadi dalam seseorang. Terbentuknya perilaku
keagamaan anak ditentukan oleh keseluruhan pengalaman yang disadari oleh
pribadi anak. Kesadaran merupakan sebab dari tingkah laku, artinya bahwa
apa yang pikirkan dan dirasakan oleh individu itu menentukkan apa yang
akan diajarkan, adanya nilai-nilai keagamaan yang dominan mewarnai
seluruh kepribadian anak yang ikut serta menentukan permbentukkan
perilakunya.
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa perilaku keagamaan
merupakan suatu kesatuan perbuatan dari manusia yang berarti, dimana setiap
tingkah laku manusia merupakan respon terhadap tingkah laku yang di
perbuatnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam hubunganna dengan
Allah SWT, sesama muslim, maupun dengan lingkungannya. Dengan
mengaktualisasikan ajaran agama Islam diharapkan anak akan lebih bermoral,
peka terhadap lingkungan, bertanggungjawab serta bertawakal dalam
menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
agama Islam.
Dasar perilaku keagamaan anak atau fitrah keagamaan diantaranya
terdapat dalam Q.S. Ali Imran ayat 102:
ها يأ يي ي ٱلذ وا ءاو ٱتذلوا ته ۦحقذ تلات ٱللذ
ول تىوتيذ إلذ وأ
سنىون ١٠٢و
28
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-
benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran: 102)
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat diketahui bahwa betapa
Tuhan telah menjadikan kita dengan sempurna dimana segala perbuatan dan
sikap manusia sudah diatur sedemikian rupa, kita tinggal menjalankan apa
yang diperintahkannya dan menjauhi segala larangnnya.
Menurut Notingham (dalam Jalaludin, 2002: 237), menyatakan bahwa
perilaku keagamaan adalah usaha-usaha manusia untuk mungukur dalamnya
makna dari keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan
kebahagiaan batin yang sempurna.
Meskipun perhatian melibatkan dirinya dalam masalah-masalah
kehidupan sehari-hari di dunia. Senada dengan pendapat Elizabeth diatas,
Wijanarto mendefinisikan perilaku keagamaan sebagai keadaan yang ada
pada diri seseorang dengan cara melaksanakan semua perintah Tuhan dan
meninggalkan semua larangan-Nya. Sehongga hal ini akan membawa
ketentraman dan ketenangan pada dirinya.
Ansori (dalam Zaidun, 2010: 16) menyatakan bahwa perilaku
keagamaan merupakan suatu bentuk penghayatan hidup bersama yang
dilandasi dengan iman kepada Allah, dalam aktivitasnya selalu
mencerminkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Kelakuan
religius menurut sepanjang agama berkisar pada perbuatan-perbuatan ibadah
dan akhlak, baik secara vertikal terhadap Tuhan maupun secara horizontal
sesame manusia. Jadi tingkah laku adalah reaksi total individu terhadap
rangsangan sebagai penampilan reaksi pernyataan, ekspresi dari gejala
kejiwaan yang berdasarkan kehendak.
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994: 77), ada lima
dimensi keberagamaan, yaitu: dimensi keyakinan (ideologis), dimensi
peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan
(eksperiensial), dimeni pengalaman (konsekuensial), dimensi pengetahuan
agama (intelektual).
29
a. Dimensi keyakinan. Berisi pengharapan-pengharapan dimana orang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu akan mengakui
kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan
seperangkat kepercayaan diamana para penganut diharapkan akan taat.
Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi, tidak
hanya diantara agama-agama tetapi sering juga diantara tradisi-tradisi
diantara agama yang sama.
b. Dimensi praktik agama. Mencakup ritual, ketaatan, dan hal-hal yang
dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting,
yaitu ritual dan ketaatan (Ancok & Suroso, 1995: 77).
c. Dimensi pengalaman. Berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua
agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat
jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu
waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai
kenyataan bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan
supranatural.
d. Dimensi pengetahuan agama. Mengacu pada harapan bahwa orang-orang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai
dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi (Ancok &
Suroso, 1995: 78).
e. Dimensi pengalaman atau konsekuensi. Mengacu pada identifikasi akibat-
akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan
seseorang dari hari ke hari. Konsep religiusitas versi Glock & Stark
mencoba melihat keagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua
dimensi, tetapi mencoba memperhatikan segala dimensi. Keagamaan
dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja,
tetapi juga aktifitas-aktifitas lainnya. Sebagai suatu sistem yang
menyeluruh, Islam mendorong pembentuknya untuk beragama secara
menyeluruh pula. (Ancok & Suroso, 1995: 80).
30
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa orang melakukan perilaku
beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindari keadaan
bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberi rasa aman bagi dirinya
sendiri.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Keagamaan
Perilaku keagamaan adalah aktifitas manusia dalam kehidupan
berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Islam atau pelaksanaan dari seleruh
ajaran agama Islam. Ansori (dalam Zaidun, 2010: 16). Bentuk-bentuk
perilaku keagamaan santri diantaranya:
a. Ibadah Shalat
Yunus (dalam Zaidun, 2010: 16) menyatakan bahwa, secara harfiah
kata shalat berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar dari fi’il madhi
“shalla” yang berarti do’a dan mendirikan shalat. Yang dimaksud shalat
disini adalah ibadah khusus yang terdiri dari perkataan-perkataan dalam
perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam menurut beberapa syarat tertentu yang dianjurkan oleh
Rasulullah SAW (Rifa’I, 2008: 53). Sebagai firman Allah yang berbunyi:
وح إلم وي ٱتل أ كه ٱمكتب وا
ة وأ نو ة إنذ ٱلصذ نو ه ٱلصذ ت
ولكر ٱلىكر و ٱمفحشاء عي و ٱللذ كب أ يعنه وا ٱللذ
عون ٤٥تصArtinya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab
(Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut: 45)
31
Shalat dalam Islam menempati kedudukan yang tak dapat di tandingi
oleh ibadah yang lainnya. Shalat merupakan tiang agama, shalat
merupakan ibadah yang mulia, pertama diwajibkan oleh Allah SWT,
dimana titah itu disampaikan langsung oleh-Nya tanpa perantara, yaitu
berdialog langsung dengan Rasul-Nya pada malam mi’raj (Sabiq, 2006:
191).
Menjalankan shalat sehari-hari telah diatur waktunya dengan tujuan
untuk melatih kedisiplinan, membiasakan hidup teratur, sehingga dalam
mengarungi kehidupan ini akan terarah. Hikmah lain yang dapat dipetik
dari pelaksanaan ibadah shalat adalah untuk hidup bermasyarakat,
memperkokoh persatuan, kebersamaan dalam mengabdikan diri kepada
Allah.
b. Kepedulian sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya kita juga harus
mempunyai bentuk kepedulian social. Kepedulian sosial ini merupakan
perilaku berbentuk social. Artinya perilaku-perilaku yang ditunjukkan
untuk berhubungan dengan sesama manusia. (hablumminannas) misalnya
saling tolong menolong, saling menghormati.
Firman Allah SWT (Q.S. Al-Maidah: 2)
عل ثه ول تعاووا و ٱمعدون و ٱل لوا ٱتذ إنذ ٱللذ شديد ٱللذ
٢ ٱمعلاب
Artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya. (Al-Maidah: 2) (depag, 156-157).
32
c. Akhlak Sebagai Bentuk Perilaku Keagamaan Santri
Akhlak secara etimologi berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku
atau tabiat (Mustofa, 2004). Menurut istilah “akhlak” adalah usaha
manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan
masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Abdullah
Hamid Yunus menyatakan: akhlak ialah segala sifat manusia yang
terdidik.
Sedangkan “akhlak” menurut aspek terminologi adalah sebagai
berikut: menurut Ibn Maskawih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran terlebih dahulu. (Mansur, 2005: 22).
Allah SWT memerintahkan seluruh umat manusia untuk selalu
berbuat kebaikan dimanapun seseorang itu berada dan kapan pun. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 97 yaitu:
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami
beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 2199).
Maksud ayat di atas adalah bahwa orang yang senantiasa berbuat
baik akan Allah berikan ganjaran krepadanya berupa hidup yang baik,
hidup yang penuh kebahagiaan, yaitu hidup yang diselubungi rada qana’ah
penuh dengan taufik .
33
Perilaku menetap yang dilakukan dengan spontan tanpa proses
berfikir, karena orang mau mengeluarkan harta atau diam ketika marah
melalui usaha dan proses berfikir, ia tidak dapat dianggap orang yang
dermawan dan sabar.
Menurut Imam Ghozali, akhlak adalah gambaran tentang kondisi
yang menetap didalam jiwa. Semua perilaku yang bersumber dari akhlak
tidak memerluka proses berfikir dahulu. Perilaku baik dan terpuji yang
berasal dari sumber di jiwa tersebut akhlak mahmudah dan berbagai
perilaku buruk dsebut akhlak mazdmumah.
Dalam kitab ihya’ ulumuddin Al-Ghazali menyatakan, “akhlak”
ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dari padanya timbul perbuatan-
perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan
pemikiran dahulu. (Mustofa, 2004).
C. Pengaruh Peran Pengurus Pondok Pesantren Dalam Menanamkan
Perilaku Keagamaan Kepada Santri Usia 13-18 Tahun
Peran kepemimpinan Kiai dalam dunia pondok pesantren sangatlah
berpengaruh dan dibutuhkan dalam menjalankan semua aktivitas dalam kehidupan
para santri dan semua komponen yang ada di lembaga tersebut. Selain peran dari
pemimpin, juga harus ada tata aturan yang mengikat bagi siapapun ketika
melanggarnya, agar semua bisa berjalan dengan tertib dan terarah. Dengan semua
itu, maka pondok pesantren akan menciptakan generasi-generasi yang disiplin
dalam semua bidang kehidupan, baik itu ibadah, akhlak, pendidikan dan
sebagainya. Lembaga pondok pesantren memiliki perbedaan antara lembaga satu
dengan yang lainnya, baik dari tipe kepemimpinan kiainya maupun peraturan
yang dijadikan sebagai pedoman sehari-harinya. Itulah yang dapat mempengaruhi
kualitas, baik dari orang-orang yang ada didalamnya maupun perspektif
masyarakat mengenai pondok pesantren tersebut.
peran yang ditampilkan kyai khususnya kepada santri di pesantrennya,
mampu mempengaruhi sikap dan sifat santri tidak hanya pada para santri berada
dilingkungan pondok pesantren. Pengaruh kyai masih melekat di hati santri,
34
walaupun mereka telah menjadi alumni. Jangkauan pengaruh yang luas dan
panjang itu, dapat diperhatikan dari usaha para alumni pondok pesantren dalam
membangun masyarakat secara keseluruhan. Yang lebih penting dari itu adalah,
kyai dalam melaksanakan peran dan fungsinya penuh keikhlasan. Inilah orientasi
dan prestasi kyai di pondok pesantren yaitu kyai mengajarkan dasar-dasar Al-
Qur’an dan KK kepada santri atau masyarakat semata-mata karena lillahi ta’ala
tanpa maksud tertentu. (Taqiyudin, 2013: 114)
Ustadz/guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam pembentukkan
kepribadian anak didiknya. Dan bertugas memberikan pertolongan kepada anak
didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar anak didik yang di
maksud mencapai tingkat kedewasaannya sehingga ia mampu berdiri sendiri
memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk
individu (pribadi) yang mandiri.
Diakui oleh Amir Daien Indrakusuma yang dikutip oleh Binti maunah
mengatakan bahwa pendidik/ustadz yaitu pihak yang mendidik, pihak yang
memberikan anjuran-anjuran, norma-norma dan berbagai macam pengetahuan dan
kecakapan, pihak yang turut membentuk menghumanisasikan anak (Binti
Maunah, 2009 : 77).
Di lihat dari perspektif ini, tugas ideal seorang ustadz/guru memang sangat
berat. Karena seorang ustadz/guru dituntut untuk membimbing dan memberikan
pembinaan kepada santri. Agar santri mencapai derajat insan kamil, yang
memiliki watak akhlak karimah, berbudi pekerti luhur dan kecerdasan ruhani.
Perubahan diri seseorang tentunya tidak terlepas dari perilaku. Sehingga,
antara peran kyai atau pengurus dalam proses pembinaan perilaku keagamaan
akan berpengaruh pada perilakunya. Namun kecenderungan perilaku-perilaku
tersebut tentunya dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Purwanto (2009) faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku manusia di bagi menjadi dua yaitu: faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu pendidikan, agama,
kebudayaan, lingkungan, sosial ekonomi. Sedangkan faktor internal yaitu jenis
rasa tau keturunan, jenis kelamin, sifat fisik, kepribadian, intelegensia dan bakat.