BAB II - sc.syekhnurjati.ac.id

23
13 BAB II PERAN PENGURUS PONDOK PESANTREN NURUL HUDA DALAM MENANAMKAN PERILAKU KEAGAMAAN KEPADA SANTRI USIA 13-18 TAHUN A. Pengertian Peran Pengurus Pondok Pesantren 1. Pengertian Peran Pengurus Menurut bahasa, peran adalah sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama adalah suatu hal atau peristiwa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 751) sedangkan pengurus adalah sekelompok orang yang mengurus dan memimpin perkumpulan. 2. Pengertian Pesantren Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren biasa disebut dengan pondok saja atau kata ini gabungan menjadi pondok pesantren. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama. (Zamakhsyari Dhofier, 1983: 18) Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam buku Yasmadi yang berjudul Modernisasi Pesantren, mengutip pernyataan Nurcholis Madjid yang memberikan pandangan tentang asal usul kata santri, dengan melihat dua pendapat .Pertama pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari perkataan “sastri”, berasal dari bahasa sansakerta yang artinya melek huruf. Kedua, pendapat yang mengtakan bahwa perkataan santri berasal dari bahasa jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. (Yasmadi, 2002: 62) pondok pesantren muerupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi tugas, fungsi dan kewenangan Kementrian Agama, di samping diniyah, madrasah, dan perguruan tinggi Islam. Dibandingkan dengan satuan

Transcript of BAB II - sc.syekhnurjati.ac.id

13

BAB II

PERAN PENGURUS PONDOK PESANTREN NURUL HUDA DALAM

MENANAMKAN PERILAKU KEAGAMAAN KEPADA SANTRI USIA 13-18

TAHUN

A. Pengertian Peran Pengurus Pondok Pesantren

1. Pengertian Peran Pengurus

Menurut bahasa, peran adalah sesuatu yang jadi bagian atau yang

memegang pimpinan yang terutama adalah suatu hal atau peristiwa

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 751) sedangkan pengurus

adalah sekelompok orang yang mengurus dan memimpin perkumpulan.

2. Pengertian Pesantren

Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren biasa disebut dengan

pondok saja atau kata ini gabungan menjadi pondok pesantren. Pesantren

sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri.

Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat

dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa

Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama. (Zamakhsyari Dhofier, 1983:

18)

Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran

an yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam buku Yasmadi yang

berjudul Modernisasi Pesantren, mengutip pernyataan Nurcholis Madjid

yang memberikan pandangan tentang asal usul kata santri, dengan melihat

dua pendapat .Pertama pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari

perkataan “sastri”, berasal dari bahasa sansakerta yang artinya melek huruf.

Kedua, pendapat yang mengtakan bahwa perkataan santri berasal dari bahasa

jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti

seorang guru kemana guru itu pergi menetap. (Yasmadi, 2002: 62)

pondok pesantren muerupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang

menjadi tugas, fungsi dan kewenangan Kementrian Agama, di samping

diniyah, madrasah, dan perguruan tinggi Islam. Dibandingkan dengan satuan

14

pendidikan lainnya, pesantren memiliki keunikan sebagai lembaga

pengembangan ilmu-ilmu keislaman par excellence kaderisasi ulama.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang di kelola secara

konvensional dan dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dengan kyai

sebagai sentral utama serta masjid sebagai pusat lembaganya.

A.Halim menyatakan bahwa: “Pondok pesantren adalah suatu lembaga

pendidikan Islam, yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, dipimpin oleh

kyai sebagai pemangku/pemilik pondok pesantren dan dibantu oleh

ustadz/guru yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada santri, melalui

metode dan tekhnik yang khas” (A.Halim, 2005 : 247). Sedangkan Nur

Uhbiyati menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan

dan pengajaran agama Islam pada umumnya pendidikan dan pengajaran

tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandongan dan sorogan)

(Nur Uhbiyati, 2005 : 247).

Dengan demikian pondok pesantren adalah lembaga pendidikan non

formal islam yang mengajarkan nilai-nilai keislaman yang diberikan oleh

seorang Kyai atau Ustadz kepada santri dengan metode dan teknik yang khas

(sistem bandungan dan sorogan).

Dahulunya pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama

Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan

dengan cara non-klasikal (sistem bandongan dan sorogan) dimana seorang

Kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa

arab oleh ulama-ulama besar, sedang para santri biasanya tinggal dalam

pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut, atau ada yang hanya

sekedar belajar dipesantren tanpa tinggal di pemondokkan yang disediakan

oleh pesantren.

Lembaga pendidian yang mengajarkan agama islam kepada masyarakat

dan anak-anak di indonesia ini telah lahir dan berkembang semenjak masa

awal kedatangan Islam dinegeri ini. Pada masa awal kemunculannya,

lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an

dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau atau rumah-

15

rumah ustadz. Lembaga yang terus berkembang dengan dengan nama

pesantren ini terus tumbuh dan berkembang didasari tanggung jawab untuk

menyampaikan islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok

sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat aktivitas

peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab

kuning serta kyai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar

keberadaannya (Zamakhsyari Dhofier, 1982:44).

Apabila dilihat dari perkembangannya maka pesantren sekarang ini dapat

dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren

modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi.

Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik

sebagai inti pendidikan dipesantren. Pondok pesantren modern merupakan

sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh tradisional

dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Dengan begitu dapat dipahami bahwa pesantren sekarang ini merupakan

lembaga pendidikan yang mengedepankan pendidikan agama dengan tidak

mengenyampingkan pentingnya pendidikan umum dengan tujuan untuk

meningkatkan pemahaman keagamaan pada masyarakat dan dakwah di

masyarakat.

Penulis menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pondok

pesantren adalah tempat tinggal bagi para santri yang menuntut Ilmu pada

seorang kyai. Perkembangan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan

masyarakat akan adanaya lembaga pendidikan lanjutan. Pada umumnya,

berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan

keunggulan dan ketinggian ilmu seorang kyai.

3. Karakteristik Pondok Pesantren

Sebagai sebuah lembaga, maka pesantren dalam konsepnya juga memiliki

karakteristik yang membentuk sebuah bangunan lembaga yang disebut

pesantren. Karakteristik dalam pesantren memiliki fungsi peranan yang

sangat penting dalam menumbuh kembangkan program yang terdapat dalam

pesantren tersebut. Menurut Ahmad Tafsir pesantren baru akan disebut

16

pesantren apabila memenuhi lima syarat atau lima unsur, yaitu (1) adanya

Kyai, (2) adanya Santri, (3) adanya Masjid, (4) adanya pondok, (5) adanya

Ta’lim.

a. Kyai

Kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan

akhlak yang sesuai dengan ilmunya (Munawar Fuad Noeh dan Mastuki

HS, 2002:101).

Menurut Saeful Akhyar Lubis; “Kyai adalah tokoh sentral dalam

suatu pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren ditentuan

oleh wibawa dan kharisma sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi,

apabila sang kyai di salah satu pondok pesantren wafat, aka pamor

pondok pesantren tersebut merosot karena kyai yang menggantikannya

tidak sepopuler kyai yang telah wafat itu” (Saiful Akhyar Lubis,

2007:169).

Abdullah ibn Abbas berpendapat bahwa, Kyai adalah orang-orang yang

mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat yang maha kuasa atas segala

sesuatu. Sedangkan menurut Musthafa al-Maraghi, kyai adalah orang-

orang yang mengetahui kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga

mereka takut melakukan perbuatan maksiat. Sayyid Quthb mengartikan

bahwa kyai adalah orang-orang yang memikirkan dan menghayati ayat-

ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai

ma’rifatullah secara hakiki. (Hamdan Rasyid, 2007:55). Nurhayati Djamas

mengatakan, “kyai adalah sebutan untuk tokoh ulama atau tokoh yang

memimpin pondok pesantren” (Nurhayati Djamas, 2008:55).

Dengan demikian kyai adalah tokoh yang memimpin suatu pesantren

dan orang yang berpengetahuan luas tentang ilmu-ilmu agama Islam dan

menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidupnya.

peran yang ditampilkan kyai khususnya kepada santri di pesantrennya,

mampu mempengaruhi sikap dan sifat santri tidak hanya pada para santri

berada dilingkungan pondok pesantren. Pengaruh kyai masih melekat di

hati santri, walaupun mereka telah menjadi alumni. Jangkauan pengaruh

yang luas dan panjang itu, dapat diperhatikan dari usaha para alumni

pondok pesantren dalam membangun masyarakat secara keseluruhan.

17

Yang lebih penting dari itu adalah, kyai dalam melaksanakan peran dan

fungsinya penuh keikhlasan. Inilah orientasi dan prestasi kyai di pondok

pesantren yaitu kyai mengajarkan dasar-dasar Al-Qur’an dan KK kepada

santri atau masyarakat semata-mata karena lillahi ta’ala tanpa maksud

tertentu. (Taqiyudin, 2013: 114)

Kata Kyai dalam bahasa Arab dapat disebut sebagai Ulama, tersebut

tercantum dalam al-Quran yaitu Firman Allah dalam surat Faatir ayat 28:

Artinya: “dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang

melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-

macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut

kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah

ulama.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

Pengampun”. (Hasbi Ash-shiddieqy, 1994: 1079).

Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang

mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.

Sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya yang besar, seorang kyai

(mursyid) dituntut untuk memiliki persyaratan sebagai berikut (Samsul,

2013: 196-197) :

1) Selain menguasai ilmu-ilmu lahir (fiqih, kalam, hadist dan seterusnya)

dan ilmu batin (Tasawuf) juga harus menunjukan keshalahan

pribadinya. Seorang kyai mestilah seorang yang “ahli amal”.

2) Memiliki kiat yang jelas dan lazim dengan mata rantai pentahbisan

dan pelaksanaan kebenaran-kebenaran dari tarekat itu (musalsal).

3) Telah mengalami dan melaksanakan perjalanan rohani dari awal

sampai akhir, kemudian kembali lagi ke awal agar bisa berfungsi

sebagai pemandu jalan bagi muridnya.

18

4) Dapat mengetahui langsung bakat dan potensi yang berbeda-beda dari

pada santri serta perkembangan yang berlangsung dalam perjalanan.

5) Memiliki kepekaan dan penglihatan batin yang tajam terhadap

perjalanan rohani berikut tingkatan-tigkatannya (maqamat) dan

keadaan-keadaannya (ahwal). Kemudian mampu menjalankan setiap

murid diatas jalan itu sesuai dengan potensi, bakat dan kesungguhan

masing-masing dan mampu memelihara kebutuhan istirahat mereka.

6) Pandai menyimpan rahasia para murid yang berkenaan dengan urusan

duniawi maupun pengalaman spiritual yang ditemuinya selama

perjalanan pendidikan.

7) Memelihara muruah, harkat dan martabatnya di hadapan orang lain,

tidak bersenda gurau atau mengucapkan kata yang sekiranya dapat

menimbulkan kesan negatif.

8) Mengetahui dengan baik sifat-sifat hati, penyakit-penyakit serta cara

penyembuhannya.

Memiliki sifat bijaksana, lapang dada, ikhlas, dan santun terhadap

sesama muslim, terutama murid-muridnya.

Kiai atau Ustadz di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua

karakter, yaitu sebagai model dan sebagai terapis. Sebagai model, Kiai

atau Ustadz adalah panutan dalam setiap tingkah-laku dan tindak-

tanduknya. Sebagai terapis, Kiai dan Ustadz memiliki pengaruh terhadap

kepribadian dan tingkah laku sosial santri. Semakin intensif seorang ustadz

terlibat dengan santrinya semakin besar pengaruh yang bisa diberikan.

Ustadz bisa menjadi agen kekuatan dalam mengubah perilaku dari yang

tidak diinginkan menjadi perilaku tertentu yang diinginkan.

Kedudukan kyai di pondok pesantren ini di samping sebagai pengasuh

pada umumnya, secara khusus beliau juga merupakan guru untuk para

santrinya. Guru yang memiliki banyak peranan yang sangat penting

terhadap para anak didiknya yang sangat mempengaruhi berhasil atau

tidaknya, dan meningkatnya prestasi yang dimiliki setiap anak didiknya

dalam proses pembelajaran yang diberikan kepada anak didiknya atau para

19

santrinya. Mengenai betapa pentingnya peran guru, Drs. Syaiful Bahri

mengungkapkan bahwa banyak peranan yang diperlukan oleh guru sebagai

pendidik. Ada beberapa peranan yang diharapkan dari guru diantaranya

yaitu:

1) Korektor

Sebagai korektor, guru harus bisa membedakan mana nilai baik

dan mana nilai buruk. Semua nilai yang baik harus guru pertahankan

dan semua nilai yang buruk harus disingkirkan dari jiwa dan watak

anak didiknya. Bila guru mengabaikan hal tersebut berarti guru telah

mengabaikan peranannya sebagai korektor.

2) Inspirator

Sebagai inspirator, guru harus dapat memberikan teladan yang

baik, dan petunjuk bagaimana cara belajar yang baik kepada anak

didiknya serta membantu anak didiknya untuk melepaskan masalah

yang di hadapi oleh anak didiknya yang sekiranya itu bisa

menggaggu dalam proses belajarnya.

3) Motivator

Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong anak didik

agar semangat dan aktif belajar. Motivasi dapat efektif bila

dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak didiknya.

4) Pembimbing

Peran guru sebagai pembimbing harus lebih dipentingkan karena

kehadiran guru adalah untuk membimbing anak didiknya menjadi

pribadi yag lebih baik. Tanpa bimbingan, anak didik akan

mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya.

5) Supervisor

Sebagai supervisor, guru hendaknya dapat membantu,

memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran .

6) Evaluator

Sebagai evaluator, guru dituntut menjadi evaluator yang baik

dan jujur, dengan memberikan penilaian. Sebagai evaluator guru

20

tidak hanya menilai hasil pengajaran, tetapi juga menilai proses

jalannya pengajaran. Dari dua kegiatan ini akan mendapatkan umpan

balik tentang pelaksanaan interaksi edukatif yang telah dilakukan.

(Djamarah, 2010: 43)

b. Santri

Santri sebagai elemen selanjutnya dari kultur pesantren yang

merupakan unsur pokok yang tidak kalah pentingnya dari lainnya. Santri

adalah siswa yang belajar di pesantren.

Istilah santri ditunjukkan kepada orang yang sedang menuntut ilmu

agama di pondok pesantren, namun pengertian istilah santri memiliki arti

dan persepsi yang berbeda-beda.

Kata santri berasa dari bahasa India yaitu Shastri yang berarti orang

yang ahli tentang kitab suci agama Hindu. Zaini Muchtarom (1989: 16)

mengupas tentang kata shastri lebih jauh dengan mengatakan, shastri

berasal dari kata shashtra yang berarti scripture atau a religius or a

sicentific treatise yaitu karangan agama atau uraian ilmiah; ada juga yang

mengartikannya santri sebagai huruf, sebab di pondok pesantren dipelajari

huruf dan sastra. (Taqiyudin, 2013: 114)

Menurut Nurcholish Madjid, mengenai asal-usul perkataan “santri” itu

ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan.

Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa santri itu berasal dari

perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansakerta, yang artinya melek

huruf . agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan

politik islam di demak, kaum santri adalah kelas “literary” bagi orang

jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-

kitab tertulis dan bahasa arab. Dari sini dapat kita asumsikan bahwa

menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab

tersebut). Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca Al-Qur’an

yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam

memandang agamanya. Kedua, adalah pendapat yang mengatakan

perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, persisnya dari

21

kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikui seorang guru ke

mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan dapat belajar

darinya mengenai suatu keahlian (Nurcholish, 1992:19-20)

Dapat disimpulkan bahwa santri adalah seperti halnya murid yaitu

mereka yang mencoba dan mencari ilmu pengetahuan khususnya agama

islam kepada guru atau kyai atau ustadz yang mereka anggap sebagai guru

besar yang dapat menuntun mereka dan menjadi landasan mereka.

Dalam tradisi pesantren Biasanya santri terdiri dari dua kelompok.

pertama, santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan

menetap dalam pondok pesantren. Kedua, santri kalong ialah santri-santri

yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka

tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing

setiap selesai mengikuti suatu pelajarn di pesantren. (Nurcholish, 1997:

52)

c. Masjid

Menurut Ghazalba dalam bukunya menjelaskan bahwa secara harfiah

masjid di artikan sebagai tempat sembahyang (sujud) (Ghazalba, 1994:

118), dikatakan demikian karena di tempat ini setidaknya seorang muslim

lima kali sehari semalam melakasanakan shalat. Masjid sebagai pusat

kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah

pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di

lingkungan pesantren, baik yang berkaitan dengan ibadah, sholat

berjamaah, zikir, wirid, do’a, i;tikaf, dan juga kegiatan belajar-mengajar.

(Yasmadi, 2005: 64)

Al-Abdi menyatakan bahwa masjid merupakan tempat kegiatan

pendidikan. Dengan menjadi lembaga pendidikan dalam masjid, akan

terlihat hidupnya Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala bid’ah,

mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi

status sosial-ekonomi dalam pendidikan. Oleh karena itu, masjid

merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga, yang

jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah. Fungsi masjid tidak saja untuk

22

shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain

sebagainya. Di zaman Rasulullah SAW masjid berfungsi sebagai tempat

ibadah dan urusan-urusan sosial kemasyarakatan serta pendidikan (Haidar

Putra Daulay, 2004:63).

Suatu pesantren mutlak mesti memiliki masjid, sebab disitulah akan

dilangsungkan proses pendidikan dalam bentuk komunikasi belajar

mengajar antara Kyai dan Santri. Masjid sebagai pusat pendidikan Islam

telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW, dilanjutkan oleh Khulafaur

Rasyidin, dinasti Bani Umayah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan dinasti-dinasti

lainnya. Tradisi itu tetap dipegang oleh para Kyai pemimpin pesantren

untuk menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan.

Implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah (1)

mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT; (2)

Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan

solideritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya

sebagai insan pribadi, sosial dan warga Negara; (3) Memberikan rasa

ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia

melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimisme (Abdul Mujib,

2006: 232).

d. Ta’lim

Ta’lim merupakan kegiatan utama yang harus ada dalam pesantren.

Ta’lim merupakan kegiatan belajar mengajar kitab-kitab klasik, mulai dari

kitab fiqih, akhlak, hadits, tafsir, manthiq, balaghoh, sampai kitab yang

bersifat tasawuf dan mistik. Kurikulum dalam pesantren merupakan

kurikulum yang fokus pada pendidikan agama seperti tersebut di atas.

Pedoman atau refrensi yang dipakai dalam pengajaran dan

pembelajaran dalam pesantren sering disebut dengan Kitab Kuning. Kitab

kuning merupakan karya tulis dengan merupaka huruf Arab yang disusun

oleh para sarjana muslim pada abad pertengahan Islam, sekitar abad 16/18.

Sebutan “kuning” ini karena kertas yang digunakan dahulunya kebanyakan

memakai kertas berwarna kuning, mungkin karena lapuk ditelan masa,

23

oleh sebab itu juga disebut kitab salaf (kitab klasik atau kitab kuno)

(Abuddin Nata, 2001:171).

Kitab kuning biasanya diformat secara khusus terdiri dari dua bagian,

yaitu matan atau teks asli dan syarah atau penjelasan atas matan.

e. Pondok

Istilah pondok berasal dari bahasa Arab, Funduq yang berarti tempat

bermalam. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan demikian

pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal.

Pondokan atau pondok merupakan tempat dimana para santri tinggal

dalam lingkungan pesantren, yang biasanya pondok tersebut berupa

kamar-kamar khusus yang dihuni oleh beberapa santri. Disamping sebagai

tempat tinggal dalam pesantren pondok juga menjadi tempat belajar dan

berinteraksi antara santri satu dengan yang lainnya.

Ada tiga alasan pokok pentingnya pesantren menyediakan pondok

(asrama) yakni tempat tinggal santri:

1) Kemasyhuran seorang Kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang

agama Islam yang menarik santri dari jauh untuk menuntut ilmu dari

kyai tersebut secara kontinyu dalam waktu cukup lama, sehingga para

santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan

menetap di kediaman Kyai.

2) Hampir seluruh pesantren berada di desa-desa, dimana tidak tersedia

perumahan yang cukup untuk dapat menampung santri.

3) Adanya sikap timbal balik antara Kyai dengan santri, sikap timbal

balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling

berdekatan, dengan sikap ini akan melahirkan tanggung jawab pada

Kyai dan sikap pengabdian pada diri santri tersendiri (Zamakhsyari

Dhofier, 1984:46).

4. Tujuan Pondok Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, maka dalam merumuskan

tujuan atau cita-cita tentu saja searah kepada nilai-nilai Islam, baik rumusan

tersebut secara formal atau hanya berupa slogan-slogan yang diucapkan oleh

24

pengaruh pesantren. Di samping itu keberadaan pesantren juga merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu pesan-pesan

yang dapat ditangkap dari masyarakat juga merupakan pedoman dalam

merumuskan tujuan pendidikan pesantren.

Dalam suatu lokakarya intensifikasi pengembangan pendidikan pondok

pesantren bulan Mei 1987 di Jakarta telah merumuskan tujuan institusional

pendidikan pesantren sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Membina warga negara agar berkepribadian muslim dengan ajaran-

ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam

semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang

berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.

b. Tujuan Khusus

1) Mendidik santri anggota masyarakat untuk menjadi orang muslim

yang bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, memiliki

kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan batin sebagai warga

negara yang berpancasila.

2) Mendidik siswa atau santri untuk menjadi manusia muslim selaku

kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah,

tangguh, wiraswasta dalam mengembangkan syariat-syariat Islam

secara utuh dan dinamin.

3) Mendidik siswa atau santri untuk memperoleh kepribadian dan

mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan

manusia-manusia pembangunan bangsa dan negara.

4) Mendidik penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional

(pedesaan/ masyarakat lingkungannya).

5) Mendidik siswa atau santri menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam

berbagai sektor pembangunan khususnya dalam pembangunan

mental spiritual.

6) Mendidik siswa atau santri untuk membangun meningkatkan

kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan

25

bangsanya. (Proyek Pembinaan dan Bantuan kepada pondok

pesantren, 1984/1985: 6-7)

Rumusan tujuan umum dan khusus dari pendidikan pesantren

sebagaimana tersebut di atas, mengharuskan pesantren untuk tidak hanya

mengajarkan ilmu agama saja, akan tetapi pesantren harus juga

memperhatikan wawasan keilmuan yang luas serta memberikan ketrampilan

praktis yang dioperasionalkan oleh santri dalam kehidupannya.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah

membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan

mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan Negara.

5. Fungsi dan Peran Pondok Pesantren

Masa awalnya munculnya pesantren kurang lebih sama dengan masa

ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Agama Islam dipesisir

kota gresik. Keberadaan pesantren saat itu berfungsi sebagai tempat

pendidikan dan penyiaran (dakwah) agama Islam. Pendidikan dan syiar

agama adalah dua kegiatan yang saling menunjang. Pendidikan dapat

dijadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah di masyarakat. Sedangkan

dakwah dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem

pendidikan.

Fungsi edukatif yang dimiliki pesantren pun sebenarnya hanya

membonceng fungsi pesantren sebagai tempat dakwah. Misi dakwah

islamiyah inilah yang mengakibatkan terbangunnya sistem pendidikan ala

pesantren. Pada masa Wali Songo, unsur dakwah memegang peran lebih

banyak dibanding unsur-unsur pendidikan. Fungsi pesantren waktu itu adalah

sebagai lembaga pencetak calon ulama dan mubaligh yang militan dalam

menyiarkan agama Islam.

Fungsi pesantren saat ini setidaknya mencakup tiga aspek utama, yaitu

fungsi religius, fungsi sosial dan fungsi edukasi. Ketiga fungsi tersebut masih

berlangsung di masyarakat hingga saat ini. Fungsi lain yang tak kalah penting

dari keberadaan pesantren adalah lembaga pembinaan moral dan kultural.

Warga pesantren telah dilatih untuk melaksanakan pembanguan demi

26

kesejahteraan masyarakatnya. Dalam hal ini, proses pembangunan tersebut

telah menjalin hubungan yang harmonis antara santri dan masyarakat, dan

antara kyai dan perangkat desa.

Peran pondok pesantren memiliki tiga peran penting dalam masyarakat

Indonesia :

1. Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional

2. Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional

3. Sebagai pusat reproduksi ulama

Lebih dari itu, pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut,

tapi juga menjadi pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi

masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian

lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan

ekonomi masyarakat sekitar (mujamil Qomar, 2009: 22-26).

B. Pengertian Perilaku Keagamaan

1. Pengertian Perilaku Keagamaan

Perilaku sering disebut juga dengan tingkah laku, secara etimologi

perilaku adalah tanggapan/tradisi individu terhadap rangsangan atau

lingkungan (Dekdikbud, 1994: 755). Sedangkan agama adalah ajaran sistem

yang mengatur tata keimanan (kepercayaan dan kepribadian kepada Tuhan

yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan

manusia dan manusia dengan lingkungannya).(Depdiknas, 2001: 12).

Menurut Prof. Abdul Wahab Khallaf, Agama dapat diartikan sebagai

satuan aqidah hukum dari undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah

SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan

horizontal).

perilaku keagamaan dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang ada

dalam individu yang mendorong untuk bertingkah laku sesuai kadar afeksi

dan kognisi. Aspek kognitif dan aspek apektif terikat dari pengalaman

ketuhanan. Sedangkan perilaku terhadap agama sebagai unsur kognitif.

27

Sedangkan perilaku keagamaan menurut Mursal dan H.M. Taher,

adalah tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran tentang adanya Tuhan

yang maha esa, semisal aktifitas keagamaan seperti shalat, zakat, puasa, dan

sebagainya. Perilaku keagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang

melakukan perilaku ritual saja, tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain

yang didorong oleh kekuatan supranatural, bukan hanya berkaitan dengan

aktifitas yang tampak yang terjadi dalam seseorang. Terbentuknya perilaku

keagamaan anak ditentukan oleh keseluruhan pengalaman yang disadari oleh

pribadi anak. Kesadaran merupakan sebab dari tingkah laku, artinya bahwa

apa yang pikirkan dan dirasakan oleh individu itu menentukkan apa yang

akan diajarkan, adanya nilai-nilai keagamaan yang dominan mewarnai

seluruh kepribadian anak yang ikut serta menentukan permbentukkan

perilakunya.

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa perilaku keagamaan

merupakan suatu kesatuan perbuatan dari manusia yang berarti, dimana setiap

tingkah laku manusia merupakan respon terhadap tingkah laku yang di

perbuatnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam hubunganna dengan

Allah SWT, sesama muslim, maupun dengan lingkungannya. Dengan

mengaktualisasikan ajaran agama Islam diharapkan anak akan lebih bermoral,

peka terhadap lingkungan, bertanggungjawab serta bertawakal dalam

menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran

agama Islam.

Dasar perilaku keagamaan anak atau fitrah keagamaan diantaranya

terdapat dalam Q.S. Ali Imran ayat 102:

ها يأ يي ي ٱلذ وا ءاو ٱتذلوا ته ۦحقذ تلات ٱللذ

ول تىوتيذ إلذ وأ

سنىون ١٠٢و

28

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-

benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan

dalam keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran: 102)

Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat diketahui bahwa betapa

Tuhan telah menjadikan kita dengan sempurna dimana segala perbuatan dan

sikap manusia sudah diatur sedemikian rupa, kita tinggal menjalankan apa

yang diperintahkannya dan menjauhi segala larangnnya.

Menurut Notingham (dalam Jalaludin, 2002: 237), menyatakan bahwa

perilaku keagamaan adalah usaha-usaha manusia untuk mungukur dalamnya

makna dari keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan

kebahagiaan batin yang sempurna.

Meskipun perhatian melibatkan dirinya dalam masalah-masalah

kehidupan sehari-hari di dunia. Senada dengan pendapat Elizabeth diatas,

Wijanarto mendefinisikan perilaku keagamaan sebagai keadaan yang ada

pada diri seseorang dengan cara melaksanakan semua perintah Tuhan dan

meninggalkan semua larangan-Nya. Sehongga hal ini akan membawa

ketentraman dan ketenangan pada dirinya.

Ansori (dalam Zaidun, 2010: 16) menyatakan bahwa perilaku

keagamaan merupakan suatu bentuk penghayatan hidup bersama yang

dilandasi dengan iman kepada Allah, dalam aktivitasnya selalu

mencerminkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Kelakuan

religius menurut sepanjang agama berkisar pada perbuatan-perbuatan ibadah

dan akhlak, baik secara vertikal terhadap Tuhan maupun secara horizontal

sesame manusia. Jadi tingkah laku adalah reaksi total individu terhadap

rangsangan sebagai penampilan reaksi pernyataan, ekspresi dari gejala

kejiwaan yang berdasarkan kehendak.

Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994: 77), ada lima

dimensi keberagamaan, yaitu: dimensi keyakinan (ideologis), dimensi

peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan

(eksperiensial), dimeni pengalaman (konsekuensial), dimensi pengetahuan

agama (intelektual).

29

a. Dimensi keyakinan. Berisi pengharapan-pengharapan dimana orang

religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu akan mengakui

kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan

seperangkat kepercayaan diamana para penganut diharapkan akan taat.

Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi, tidak

hanya diantara agama-agama tetapi sering juga diantara tradisi-tradisi

diantara agama yang sama.

b. Dimensi praktik agama. Mencakup ritual, ketaatan, dan hal-hal yang

dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang

dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting,

yaitu ritual dan ketaatan (Ancok & Suroso, 1995: 77).

c. Dimensi pengalaman. Berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua

agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat

jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu

waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai

kenyataan bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan

supranatural.

d. Dimensi pengetahuan agama. Mengacu pada harapan bahwa orang-orang

beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai

dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi (Ancok &

Suroso, 1995: 78).

e. Dimensi pengalaman atau konsekuensi. Mengacu pada identifikasi akibat-

akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan

seseorang dari hari ke hari. Konsep religiusitas versi Glock & Stark

mencoba melihat keagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua

dimensi, tetapi mencoba memperhatikan segala dimensi. Keagamaan

dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja,

tetapi juga aktifitas-aktifitas lainnya. Sebagai suatu sistem yang

menyeluruh, Islam mendorong pembentuknya untuk beragama secara

menyeluruh pula. (Ancok & Suroso, 1995: 80).

30

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa orang melakukan perilaku

beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindari keadaan

bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberi rasa aman bagi dirinya

sendiri.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Keagamaan

Perilaku keagamaan adalah aktifitas manusia dalam kehidupan

berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Islam atau pelaksanaan dari seleruh

ajaran agama Islam. Ansori (dalam Zaidun, 2010: 16). Bentuk-bentuk

perilaku keagamaan santri diantaranya:

a. Ibadah Shalat

Yunus (dalam Zaidun, 2010: 16) menyatakan bahwa, secara harfiah

kata shalat berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar dari fi’il madhi

“shalla” yang berarti do’a dan mendirikan shalat. Yang dimaksud shalat

disini adalah ibadah khusus yang terdiri dari perkataan-perkataan dalam

perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri

dengan salam menurut beberapa syarat tertentu yang dianjurkan oleh

Rasulullah SAW (Rifa’I, 2008: 53). Sebagai firman Allah yang berbunyi:

وح إلم وي ٱتل أ كه ٱمكتب وا

ة وأ نو ة إنذ ٱلصذ نو ه ٱلصذ ت

ولكر ٱلىكر و ٱمفحشاء عي و ٱللذ كب أ يعنه وا ٱللذ

عون ٤٥تصArtinya:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab

(Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu

mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan

sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar

(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui

apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut: 45)

31

Shalat dalam Islam menempati kedudukan yang tak dapat di tandingi

oleh ibadah yang lainnya. Shalat merupakan tiang agama, shalat

merupakan ibadah yang mulia, pertama diwajibkan oleh Allah SWT,

dimana titah itu disampaikan langsung oleh-Nya tanpa perantara, yaitu

berdialog langsung dengan Rasul-Nya pada malam mi’raj (Sabiq, 2006:

191).

Menjalankan shalat sehari-hari telah diatur waktunya dengan tujuan

untuk melatih kedisiplinan, membiasakan hidup teratur, sehingga dalam

mengarungi kehidupan ini akan terarah. Hikmah lain yang dapat dipetik

dari pelaksanaan ibadah shalat adalah untuk hidup bermasyarakat,

memperkokoh persatuan, kebersamaan dalam mengabdikan diri kepada

Allah.

b. Kepedulian sosial

Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya kita juga harus

mempunyai bentuk kepedulian social. Kepedulian sosial ini merupakan

perilaku berbentuk social. Artinya perilaku-perilaku yang ditunjukkan

untuk berhubungan dengan sesama manusia. (hablumminannas) misalnya

saling tolong menolong, saling menghormati.

Firman Allah SWT (Q.S. Al-Maidah: 2)

عل ثه ول تعاووا و ٱمعدون و ٱل لوا ٱتذ إنذ ٱللذ شديد ٱللذ

٢ ٱمعلاب

Artinya:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya. (Al-Maidah: 2) (depag, 156-157).

32

c. Akhlak Sebagai Bentuk Perilaku Keagamaan Santri

Akhlak secara etimologi berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku

atau tabiat (Mustofa, 2004). Menurut istilah “akhlak” adalah usaha

manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan

masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Abdullah

Hamid Yunus menyatakan: akhlak ialah segala sifat manusia yang

terdidik.

Sedangkan “akhlak” menurut aspek terminologi adalah sebagai

berikut: menurut Ibn Maskawih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang

yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui

pertimbangan pikiran terlebih dahulu. (Mansur, 2005: 22).

Allah SWT memerintahkan seluruh umat manusia untuk selalu

berbuat kebaikan dimanapun seseorang itu berada dan kapan pun. Hal ini

sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 97 yaitu:

Artinya:

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami

berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami

beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang

telah mereka kerjakan.” (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 2199).

Maksud ayat di atas adalah bahwa orang yang senantiasa berbuat

baik akan Allah berikan ganjaran krepadanya berupa hidup yang baik,

hidup yang penuh kebahagiaan, yaitu hidup yang diselubungi rada qana’ah

penuh dengan taufik .

33

Perilaku menetap yang dilakukan dengan spontan tanpa proses

berfikir, karena orang mau mengeluarkan harta atau diam ketika marah

melalui usaha dan proses berfikir, ia tidak dapat dianggap orang yang

dermawan dan sabar.

Menurut Imam Ghozali, akhlak adalah gambaran tentang kondisi

yang menetap didalam jiwa. Semua perilaku yang bersumber dari akhlak

tidak memerluka proses berfikir dahulu. Perilaku baik dan terpuji yang

berasal dari sumber di jiwa tersebut akhlak mahmudah dan berbagai

perilaku buruk dsebut akhlak mazdmumah.

Dalam kitab ihya’ ulumuddin Al-Ghazali menyatakan, “akhlak”

ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dari padanya timbul perbuatan-

perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan

pemikiran dahulu. (Mustofa, 2004).

C. Pengaruh Peran Pengurus Pondok Pesantren Dalam Menanamkan

Perilaku Keagamaan Kepada Santri Usia 13-18 Tahun

Peran kepemimpinan Kiai dalam dunia pondok pesantren sangatlah

berpengaruh dan dibutuhkan dalam menjalankan semua aktivitas dalam kehidupan

para santri dan semua komponen yang ada di lembaga tersebut. Selain peran dari

pemimpin, juga harus ada tata aturan yang mengikat bagi siapapun ketika

melanggarnya, agar semua bisa berjalan dengan tertib dan terarah. Dengan semua

itu, maka pondok pesantren akan menciptakan generasi-generasi yang disiplin

dalam semua bidang kehidupan, baik itu ibadah, akhlak, pendidikan dan

sebagainya. Lembaga pondok pesantren memiliki perbedaan antara lembaga satu

dengan yang lainnya, baik dari tipe kepemimpinan kiainya maupun peraturan

yang dijadikan sebagai pedoman sehari-harinya. Itulah yang dapat mempengaruhi

kualitas, baik dari orang-orang yang ada didalamnya maupun perspektif

masyarakat mengenai pondok pesantren tersebut.

peran yang ditampilkan kyai khususnya kepada santri di pesantrennya,

mampu mempengaruhi sikap dan sifat santri tidak hanya pada para santri berada

dilingkungan pondok pesantren. Pengaruh kyai masih melekat di hati santri,

34

walaupun mereka telah menjadi alumni. Jangkauan pengaruh yang luas dan

panjang itu, dapat diperhatikan dari usaha para alumni pondok pesantren dalam

membangun masyarakat secara keseluruhan. Yang lebih penting dari itu adalah,

kyai dalam melaksanakan peran dan fungsinya penuh keikhlasan. Inilah orientasi

dan prestasi kyai di pondok pesantren yaitu kyai mengajarkan dasar-dasar Al-

Qur’an dan KK kepada santri atau masyarakat semata-mata karena lillahi ta’ala

tanpa maksud tertentu. (Taqiyudin, 2013: 114)

Ustadz/guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam pembentukkan

kepribadian anak didiknya. Dan bertugas memberikan pertolongan kepada anak

didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar anak didik yang di

maksud mencapai tingkat kedewasaannya sehingga ia mampu berdiri sendiri

memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk

individu (pribadi) yang mandiri.

Diakui oleh Amir Daien Indrakusuma yang dikutip oleh Binti maunah

mengatakan bahwa pendidik/ustadz yaitu pihak yang mendidik, pihak yang

memberikan anjuran-anjuran, norma-norma dan berbagai macam pengetahuan dan

kecakapan, pihak yang turut membentuk menghumanisasikan anak (Binti

Maunah, 2009 : 77).

Di lihat dari perspektif ini, tugas ideal seorang ustadz/guru memang sangat

berat. Karena seorang ustadz/guru dituntut untuk membimbing dan memberikan

pembinaan kepada santri. Agar santri mencapai derajat insan kamil, yang

memiliki watak akhlak karimah, berbudi pekerti luhur dan kecerdasan ruhani.

Perubahan diri seseorang tentunya tidak terlepas dari perilaku. Sehingga,

antara peran kyai atau pengurus dalam proses pembinaan perilaku keagamaan

akan berpengaruh pada perilakunya. Namun kecenderungan perilaku-perilaku

tersebut tentunya dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Purwanto (2009) faktor-

faktor yang mempengaruhi perilaku manusia di bagi menjadi dua yaitu: faktor

eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu pendidikan, agama,

kebudayaan, lingkungan, sosial ekonomi. Sedangkan faktor internal yaitu jenis

rasa tau keturunan, jenis kelamin, sifat fisik, kepribadian, intelegensia dan bakat.

35

Diantaranya faktor eksternal dan internal yaitu faktor dari dalam diri santri

dan faktor dari luar santri. Yang dimaksud anak dalam dalam pembahasan disini

yaitu santri. Dengan kata lain, peran pengurus pondok pesantren dapat

mempengaruhi perilaku santri.