BAB II LANDASAN TEORI A. 1. Pluralisme Agama a. Makna...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. 1. Pluralisme Agama a. Makna...
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pluralisme Agama
a. Makna Pluralisme
Masalah pluralitas dan pluralisme begitu hangat diperbincangkan akhir-akhir ini,
bahkan mengundang perdepatan hingga pro dan kontra. Pluralisme yang secara
umum diartikan sebagai cara pandang terhadap fenomena pliralitas atau
kemajemukan, begitu sering dikumandangkan dan sekaligus ditentang. Bagi para
penganjur pluralisme, paham ini sangat diperlukan, karena kita hidup dilingkungan
majemuk, serba berbeda dan serba beragam, sehingga kita harus mengakui perbedaan
tersebut sebagai suatu keniscayaan. Sanusi (2009: 359), (sunnatullah) dalam
kehidupan, di lain pihak, para penentang pluralisme selalu memperingatkan bahwa
pluralisme adalah paham yang berbahaya, karena dalam mengakui pluralisme kita
berarti mengakomodasi pandangan dan keyakinan lain, sehingga kita bisa kehilangan
identitasnya.
Secara harfiah, makna pluralisme adalah suatu keadaan dimana terdapat dua atau
lebih kelompok, prinsip, keyakinan, kekuasaan, dan lain-lain yang berada atau hidup
secara berdampingan, dalam wilayah yang lebih sempit yaitu pluralisme agama,
pluralisme disini sebagai paham sebelumnya, naturalisme, eksklusivisme, dan
inklusivisme. Makna pluralisme agama adalah suatu realitas tunggal tertinggi yang
dipahami dan diyakini secara berbeda-beda dalam tradisi agama, dimana agama
tersebut menawarkan jalan yang berbeda-beda menuju tujuan tertinggi yang sama.
9
10
Definisi di atas adalah definisi literal. Namun demikian, banyak pihak yang
mendefinisikan pluralisme, khususnya pluralisme agama, sebagai “semua agama
sama saja”, jadi boleh memeluk agama ini atau itu, dan bebas melakukan pribadatan
agam ini atau itu, dan dengan bebas bisa berpindah-pindah agama, pemahaman
seperti ini nampaknya cukup beredar luas dimasyakat, entah apakah mereka
membentuk pemahaman sendiri ataukah ditanamkan oleh kelompok tertentu dengan
pemahaman semacam itu. Bertolak dari pemahaman yang demikian, biasanya mereka
kemudian menolak atau menentang pluralisme.
Tampaknya atas dasar pemahaman seperti itu Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme (beserta sekularisme, dan liberalisme, biasa
disingkat “sipilis”) adalah haram. Dalam fatwa No. 7/MUNAS VII/MUI/II/2005
tersebut, MUI menyebutkan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.
Pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Oleh
karena itu umat Islam haram mengikuti paham pluralisme agama.
Senada dengan itu, berita yang cukup menghebohkan baru-baru ini adalah hasil
survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang menyatakan bahwa sebagian besar dosen
perguruan tinggi islam, khusunya studi islam (Islam Studies) ternyata bersikap
menentang pluralisme. Survei tersebut dilakukan pada bulan Oktober 2008 kepada
500 orang dosen studi islam diseluruh pulau Jawa. PPIM sampai pada kesimpulan
tersebut dengan melihat butir-butir hasil survei antara lain: sebanyak 62,4% dari
mereka yag menolak pemimpin non-muslim, 68,6% menolak pejabat non muslim di
kampus, 73,1% menentang umat agama lain mendirikan tempat beribadah
dilingkungan sekitar mereka, direktur PPMF Jajat Burhanudin dalam Nafi‟ah (2010:
363) menyatakan bahwa ternyata konservatisme atau radikalisme tidak hanya terjadi
kepada dan ditanamkan oleh kelompok-kelompok tertentu, namun sudah begitu
mengakar dalam sistem pendidikan kita.
11
Selanjutnya Osman (2006: 4), menambahkan bahwa pluralisme menuntut suatu
pendekatan terhadap upaya memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun
untuk kebaikan semua, semua manusia seharusnya dapat menikmati hak-hak dan
kesempatan yang sama, sekaligus harus memenuhi kewajiban yamg sama, setiap
kelompok harus memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang memelihara
identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak dan kewajiban baik
dalam suatu negara maupun dunia internasional.
Menurut Narwoko dalam Effendi ( 2009: 76 ), istilah pluralisme berasal dari
akar kata latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti lebih dari satu. Dalam
pengertian filosofinya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu kepada
keberbagaian kelompok didalam masyarakat, dan juga mempuyai pandangan yang
beraneka terhadap apa yang secara sosial dipahaminya dan dikehendakinya.
Berdasarkan penjelasan di atas menurut penulis, makna pluralisme adalah
dapat dipahami bahwa sesungguhnya pluralisme itu lebih mengacu kepada
keberagaman dalam beragama yang ada dalam berbagi kelompok atau masyarakat
dimana kita tinggal.Sebagimana diketahui, bahwa dalam masyarakat selalu ada
berbagai kelompok masyarakat yang keberadaannya dikonkretasikan dalam lembaga-
lembaga sosial. Dimana lembaga-lembaga sosial seperti itu terbentuk, makin marak
pula pluralisme didalam masyarakat.
Pluralisme tidak semata menunjukan pada kenyataan tantang adanya
kemajemukan, seperti pengertian pluralisme itu sendiri menurut kamus lengkap
Bahasa Indonesia modern oleh Ali ( 2000: 318), yang diambil dari kata “pluralis”,
yang artinya “Jamak”, atau lebih dari satu, namun yang dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seseorang baru dapat dikatakan
menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam
lingkungan kemajemukanya.
12
Menurut Diana dalam Shofan (2008: 57-58), Professor of comparative
religion ang Indian studies dan pluralism project di Harvard University, menyatakan
ada tiga hal tentang pluralisme yang dapat menjelaskan arti proyek pluralisme itu
sendiri, yaitu:
1. Pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, pluralisme lebih sekedar
majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Meski
pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, namun ada perbedaan
yang harus ditekankan. Keragaman adalah fakta yang dapat dilihat tentang
dunia dengan budaya yang beraneka ragam, sedangkan pluralisme
membutuhkan keikutsertaan didalamnya.
2. Pluralisme bukan sekedar toleransi, pluralisme lebih dari sekedar toleransi
dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Toleransi dapat
menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami.
Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang stereotip dan kehawatiran
yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain.
Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks
secara religius.
3. Bahwa pluralisme bukan sekedar relativisme, pluralisme adalah peraturan
antara komitmen religius yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan
bukan persamaan, pluralisme adalah sebuah ikatan bukan pelepasan
perbedaan dan kekhususan, dan kita harus saling menghormati dan hidup
bersama secara damai.
Bahkan Hamdie ( 2009:119), dalam pembicaraanya tentang “akar-akar pluralisme
dan dialog antar agama dalam sufisme”, mengatakan bahwa pluralisme tidak cukup
hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk,
tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan itu sebagai
sebuah nilai positif. Pluralisme tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif yang
dilihat kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme, yang hanya mengesankan
13
fragmentasi. Tetapi pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan keadaban, dan bahkan pluralisme adalah masalah ajaran agama, dan
keharusan bagi keselamatan umat manusia, bukan masalah prosedur atau tata cara
pergaulan semata.
Bagi penulis, pluralisme itu sesungguhnya bukan hanya sekedar mengetahui dan
menerima keberagaman beragama yang ada dikehidupan masyarakat, melainkan
pluralisme itu sendiri lebih kepada keikutsertaan setiap pribadi kedalam kehidupan
masyarakat yang majemuk tersebut dengan memahami setiap perbedaan yang ada.
Dengan demikian, jika setiap masyarakat sadar dan benar-benar memahami makna
pluralisme tersebut, maka kehidupan masyarakat yang majemuk ini dapat berjalan
dengan baik sesuai dengan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pengertian Agama
Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, yang terdiri dari berbagai suku,
bangsa dan hidup dalam sebuah negara kepulauan. Masing-masing mempuyai latar
belakang yang sosio-kultural yang berbeda. Tambahan lagi dalam kehidupan dan
pertumbuhan masyarakat kebangsaan kita, hidup dan berkembang berbagai agama
dengan berbagai alirannya masing-masing. Hal ini menambah tingkat dan
kemajemukan bangsa kita dengan berbagai, aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi
maupun budaya.
Kemajemukan sebagai kemajemukan tidaklah serta merta bersifat dan berakibat
negatif dan destruktif, bahkan batas tertentu, justru unsur dinamik dan kreatif dari dan
dalam kehidupan masyarakat. Ia memacu dinamika dan kreatifitas masyarakat untuk
mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masing-masing. Mungkin terjadi
persaingan yang kalau dikelolah dan diarahkan akan menjadi unsur pemacu kemajuan
hidup masyarakat kita. Akibat negatif akan muncul apabila persaingan beralih
menjadi pertentangan yang mewujudkan dalam konflik sosial.
14
Memang sudah kodrati bahwa kemajemukan itu terkandung potensi konflik,
persoalanya adalah bagaimana mengarahkan kemajemukan hingga tidak tumbuh liar
dan tidak mengejewantah dalam konflik sosial dalam kehidupan masyarakat kita
dalam kaitan inilah masalah pengembangan etika sosial lebih penting. (Effendi,
2010:78).
Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengatur hidupnya agar dapat
memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik kepada dirinya sendiri maupun
kepada masyarakat sekitarnya.Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari
sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainya karena landasan keyakinan
keagamaan adalah pada konsep suci (sacred), dan pada yang ghaib atau supranatural
yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah.
Agama juga dibedakan dari isme-isme lainya karena ajaran-ajaran agama selalu
bersumber pada wahyu yang berisikan petunjuk –petunjuk tuhan dan wangsit (dalam
agama-agama primitif atau lokal) yang diturunkan kepada nabi atau pesuruhnya,
agama sebagai sebuah keyakinan, berisikan ajaran dan petunjuk bagi para
penganutnya supaya selamat dalam kehidupan setelah mati. Dengan cara mengikuti
kewajiban-kewajiban dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan agama yang dianut
dan diyakininya.
Merujuk agama berdasarkan Kamus lengkap Bahasa Indonesia Modern, maka
agama diartikan sebagai “kepercayaan kepada Tuhan, ajaran kebaikan yang bertalian
dengan kepercayaan itu”( Ali, 2000 : 3).
Berbeda dengan pendapatnya Thalhas (2006: 19), menjelaskan bahwa, secara
harfiah, agama bersal dari bahasa sansakerta, menurut pengertian umat Hindu
penganut mazhab Siwa, kata agama yang dipergunakan dalam bahasa indonesia
sebagi istilah kerohaniaan berasal dari kata “agam” yang berarti pergi, gam diberi
awalan “a” yang berarti “agam” yakni kebalikan dari pergi yang artinya datang, dan
diberi akhiran “a” menjadi “agama” dengan arti kedatangan. Kata agama yang
15
berarti kedatangan itu kemudian berubah maknanya dari arti semula menjadi
“pramana” yang berarti ukuran, jalan, atau cara. Sementara itu, adapula yang
mengartikan bahwa agama menurut bahasa sansakerta terdiri dari dua kata “a” dan
“gama” a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau balau, jadi agama
mempuyai arti tidak kacau balau (teratur).
Dari pengertian awal yang mengartikan agama sebagai kedatangan atau sesuatu
yang datang, kemudian berubah arti menjadi jalan atau cara, dan adapula yang
mengartikan sebagai sesuatu yang tidak kacau, maka peneliti mengambil kesimpulan
bahwa sesungguhnya agama itu adalah sesuatu yang datang dengan jalan kebenaran
dan kebaikan untuk mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.
Sedangkan kahmad (2009: 13), agama dikenal dengan kata Al-din dan al-milah.
Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia dapat diartikan sebagai al-mulk,
(kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-
ibadat (pengabdian), al-qohr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-
tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid
(penyerahan dan mengesakan tuhan), jadi, pengertian al-din yang berarti agama
adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditunjukan kepada salah satu agama,
ia adalah nama untuk kepercayaan yang ada di dunia ini.
Peneliti mencoba mengartiakan kata agama tersebut yang secara lebih umum dan
universal tanpa mengkhususkan satu agama yang ada. Dari pengertian agama yang
dikenalkan dari asal kata Al-din, yang kemudian diikuti dengan kata lain yang saling
berhubungan dengan kata agama, mencerminkan bahwa semua agama yang ada di
dunia ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu kembali kepada pengesahan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sesungguhnya kata agama itu merupkan suatu
kata yang bersifat umum.
Sedangkan menurut T. H. Thalhas. (2006: 19), menjelaskan agama dari bahasa
latin, agama diartikan sebagi religi sering dieja “religio”. Menurut orang Eropa,
16
agama hanya diartikan sebagai sumber perlindungan manusia terhadap keyakinannya
kepada hal-hal yang ghaib.
Pendapat di atas mengambil kata agama itu dari bahasa latin, sehingga wajar
pengertain agama itu sendiri lebih mengarah kepada kekuatan-kekuatan supranatural
diluar kekuatan manusia. Dalam hal ini agama dianggap sebagai hubungan atau
interaksi antara manusia dengan kekuatan-kekuatan lain diluar dari kekuatan
manusia.
Dalam bukunya ST. Sunardi (1994:60), dikemukakan beberapa definisi agama
yang dirumuskan oleh beberapa ahli, diantaranya:
a) E. B. Taylor (1994: 60), mengatakan bahwa agama adalah suatu kepercayaan
kepada hal-hal yang ghaib atau rohani tak kelihatan (religion is a belief in
spiritual beings).
b) Emile Durkheim (1994: 60), dari Perancis memberikan definisi sebagai
berikut, religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites
(faith and practices) related to sacred things, unites adherents in a single
community known as a church. Bahwa agama itu adalah suatu keseluruhan
yang bagian-bagiannya saling bersandar yang satu pada yang lain, terdiri dari
akidah-akidah (kepercayaan) dan ibadat-ibadat semuanya dihubungkan
dengan hal-hal yang suci, dan menginggat pengikutnya dalam suatu
masyarakat yang disebut gereja.
c) J.G. Frazer (1994: 60),, merumuskan bahwa agama adalah suatu ketaatan atau
penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari manusia yang
dipercaya mengatur dan mengontrol, mengatur jalan alam dan kehidupan
tentang manusia (religion is propitiation conciliation of powers superior to
man wich believed and controle the course of nature and of human life).
17
d) Sigmund Freud (1994: 60), merumuskan definisinya sebagai berikut, religion
is a projection pf feel or wish ful thinking. Bahwa agama hanya merupakan
proyeksi dan gambaran dari sebuah perasaan atau pikiran yang tak menentu.
Jadi dapat disimpulkan menurut peneliti bahwa agama merupakan sebuah sistem
keyakinan yang harus dihayati didalam diri setiap manusia, yang berisikan ajaran dan
petunjuk bagi para penganutnya agar mendapati keselamatan dalam hidup, baik di
dunia maupun di akhirat. Namun, yang perlu ditekankan dari makna agama itu sendiri
adalah ajarannya untuk hidup dalam kebersamaan dengan orang lain atau hidup
bermasyarakat.
Prof. Koentjaraningrat (1987: 145) mempunyai konsep bahwa tiap-tiap religi
merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen. Konsep-konsep tersebut
sebagai berikut:
1) Emosi keagamaan yang menyebabkan menusia menjadi religius.
2) Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan
manusia tentang sifat-sifat tuhan, serta tentang wujud dari alam ghaib
(supranatural).
3) Sistem upacara religius yang bertujuan memberi hubungan manusia dengan
tuhan, dewa-dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib.
4) Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut
sistem kepercayaan tersebut dan yang melakukan sistem upacara-upacara
tersebut dalam upacara tersebut.
Dari keempat konsep tersebut, setidaknya dapat diketahui bahwa setiap religi atau
agama memiliki beberapa komponen di dalamnya yang menjadikan manusia dalam
menganut agama tersebut yakin atau percaya terhadap agama yang dianutnya. Dan
tentunya hal itu dapat menambah nilai saklar tersendiri pada orang yang menjalaninya
dengan penghayatan yang penuh.
18
Patut diperhatikan menurut Pasurdi Suparlan dalam Williams (1995: 13), tersebut
adalah bahwa tipe-tipe keagamaan tersebut dapat dilihat sebagai milik individu-
individu secara perseorangan dan dapat juga dilihat sebagai milik suatu masyarakat
yang anggota-anggotanya tergolong-golong dalam tipe-tipe tinkat keagamaan
tersebut. Antara lain seperti golongan santri, abangan, priyai, yang ada dalam
masyarakat Jawa. Dapat disimpulkan pendapat diatas adalah bahwa agama
merupakan masalah individual yang sifatnya pribadi atau personal yang penuh
dengan muatan emosi dan perasaan dan pemikiran-pemikiran mengenai manusia dan
dunianya.
Oleh karena itu agama merupakan maslah yang sifatnya individual yang tegolong
masalah yang sangat sensitif ketika dibicarakan karena penuh dengan muatan emosi
dan perasaan, maka dari itu ada baiknya masalah agama itu sendiri tidaklah dijadikan
sebagai percakapan umum yang dengan mudahnya dibicarakan secara terbuka.Karena
nantinya bukan toleransi beragama yang didapat, malah cenderung terciptanya
ketegangan antar pemeluk agama sehingga menimbulkan antipati sosial diantaranya.
Para ahli sosiologi agama memandang sebagai suatu pengertian yang luas dan
universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individual. Hal itu
berarti kajian dari sosiologi agama tidak selalu membicarakan suatu agama yang
diteliti oleh para penganut agama tertentu, tetapi agama dan disemua daerah di dunia
yang memihak dan memilah-milah, dimana pengkajianya bukan diarahkan kepada
bagaimana cara seseorang beragama, melainkan diarahkan kepada kehidupan agama
secara kolektif terutama dipusatkan kepada fungsi agama dalam mengembangkan
atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok
masyarakat.
Weber dalam Robertson (1995: 4), dengan istilah “agama dunia”. Kita memahami
lima agama atau sistem pengaturan kehidupan yang ditentukan oleh agama mengenai
bagaimana menghimpun begitu banyak pelaku dosa disekelilingnya, agama
19
Konfusius, Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, semuanya termasuk dalam kategori
agama dunia. Agama keenam Judaisme, juga termasuk disini, judaisme dimasukan
karena mengandung prasyarat sejarah yang menentukan dalam memahami kristen dan
islam, dan karena makna sejarah dan otonominya bagi perkembangan etika ekonomi
modern.
c. Pluralisme dalam Kehidupan Beragama di Indonesia
Indonesia dilihat dari sisi manapun tidak bisa dilepaskan dari pluralitas,
kemajemukan etnis, suku dan agama dengan segala aliranya merupakan realitas
keindonesiaan yang tidak bisa dipungkiri, siapa pun, keragaman tersebut pada
giliranya melahirkan keragaman budaya, pandangan, dan bahkan dunia kehidupanya
sendiri yang satu dengan yang lain tidak bisa disimplifikasi sesuatu yang monolitik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yewangoe (2009: 77), di Indonesia terdapat
sekiyan banyak agama. Itu berarti terdapat pluralisme agama-agama, namun secara
resmi hanya diakui lima agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu
dan Budha. Belakangan di era pemerintahan Abdurahman Wahid, Khonghucu diakui
sebagi agama setelah bertahun-tahun ditekan oleh rezim Soeharto. Perjuangan Gusdur
dan lainya yang ingin agar semua orang yang disebut “kaum minoritas” diberi hak
dan kebebasan mengungkapkan keberagamannya dimuka umum, sehingga tidak ada
istilah tentang agama resmi dan tidak resmi, diakui dan tidak diakui. Ketika berbicara
mengenai pluralisme agama-agama, kita membatasi diri hanya pada agama-agama
yang diakui negara, melainkan juga yang berada diluarnya. Tetapi untuk mengakui
kenyataan ini, kepada kita dituntut kedewasaan beragama, tercakup didalam
kedewasaan beragama adalah pengakuan bahwa orang lainpun berhak untuk
menyatakan imannya di muka bumi.
Namun sayangnya, pluralisme di Indonesia selalu menjadi problem, baik ketika
menyangkut sistem ekonomi, ideologi politik, maupun struktur sosial, apalagi
masalah agama-agama, dimana seperti yang dikatakan oleh Zada, (2008:423),
20
mengatakan sejarah bangsa Indonesia sejak satu dekade, terutama setelah zaman
reformasi banyak diwarnai kekerasan atas nama agama, seperti konflik antar agama,
kerusuhan berbau SARA, dan aksi pengeboman, fenomena konflik kekerasan sudah
sering kita alami, sejak terjadinya kerusahan Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996),
Rengasdengklok (1997), samapai Ambon (1999) hubungan antar agama tidak
berjalan harmonis. Fenomena ini dapat kita lihat pada periode berikuntnya terjadi
pengeboman Bali (2001) dan peledakan hotel JW. Marriot dan kedubes Amerika.
Semuanya ini menunjukan bahwa pemahaman agama masyarakat kita masih
diwarnai oleh watak ekslusif dan intoleran, yang biasa saja disampaikan oleh ruang-
ruang publik.Semisal disekolah, pesantren, atau tempat-tempat umum lainya.
Menurut Shofan (2008:74) dalam karnya tentang “menuju pluralisme global”.
Munculnya Truth claim dan salvatoin claim yang mengatasnamakan iman merupakan
fenomena yang marak dijumpai pada masyarakat kita, memang setiap agama
memiliki kebenaran. Namun dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran akan berubah
menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif, personal atau setiap pemeluk
agama, dan ia tidak lagi utuh dan absolut, pluralitas manusia menyebabkan wajah
kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan dan dibahsakan. Sebab perbedaan
ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang
diambil orang yang menyakininya. Ini yang biasa digugat oleh berbagai gerakan
keagamaan (harokah) pada umumnya, mereka mengklaim telah memahami, memiliki,
bahkan menjalankan secara murni dan konsekuaen nilai-nilai suci itu.
Menurut Kahmad (2009: 170), menyebutkan Absolutisme, (kesombongan
Intelektual), ekslusivisme (kesombongan sosial), fanatisme (kesombongan
emosional), ekstremisme (berlebih-lebihan dan bersikap) dan agresivisme (berlebih-
lebihan dalam melakukan tindakan fisik) adalah penyakit yang biasanya
menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Dan penyakit-penyakit seperti ini biasnya
terjadi di Indonesia antar umat agama Islam dan Kristen yang memiliki sikap fanatik
tehadap agama yang dipeluk dan diyakinnya.
21
Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat, manapun ia berada,
sebab pluralisme harus dimaknai sebagai keonsekuensi logis dan keadilan ilahi,
bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim, benar atau salah tanpa mengetahui
dan memahami terlebih dahulu latar belakang pemebentukanya, karena sebagaimana
yang diketahui, bahwa pluralisme, lebih kepada suatu hal, yang dinamis yang
keberadaannya seharusnya diterima dengan kelapangan dan kedewasaan sebagai rasa
syukur dari keberagaman yang tuhan ciptakan dalam kehidupan manusia.
Melihat fakta historis tersebut menurut Madjid dalam Khamad (2009:174),
berpendapat bahwa, sistem nilai plural adalah aturan tuhan (sunahtulla) yang tidak
mungkin berubah, diubah, dilawan dan diingkari, barang siapa yang mencoba
mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan
yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami, pluralitas agama dan
budaya merupakan bagian dari memahami agama.
Sebab memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat
secara menyeluruh. Dan jika agama dipahami secara integral dengan kondisi sosial
culturnya, pada saat itupula akan nampak dengan sendirinya mana aspek budaya yang
selaras dengan misi agama, dan mana yang tidak. Langkah bijaksana bagi setiap umat
adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya
masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh
umat beragama Indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi dalam
kehidupan konkret.
Dari asumsi tersebut tampaknya jelas bahwa pluralisme yang ada dalam suatu
masyarakat merupakan suatu nilai-nilai plural yang telah menjadi aturan dan
ketetapan tuhan dalam kehidupan bermasyarakat, tidak ada yang mengubahnya atau
bahkan membubarkanya, sehingga yang dibutuhkan dalam menghadapu pluralisme
ini sesungguhnya hanya sebuah kedewasaaan dalam memahami keberagaman dan
kemajemukan yang ada dalam masyarakat.
22
d. Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang
agama.Gagasan ini muncul terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian
yang memperlihatkan gejala hubungan antar agama yang makin meruncing.Gejala ini
terlihat kentara pada tahun 60 an. Hal ini terutama berhubungan dengan isu
kristenisasi yang makin santer pada saat itu. Ali dalam Effendi (2010: 61),
melontarkan gagasan dialog pemuka agama, sebagai usaha untuk mempertemukan
tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu forum percakapan bebas dan terus terang
dimana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-
masalah yang menjadi kepentingan bersama. Sejak itu kegiatan dialog diprogamkan
dan merupakan kegiatan utama dari proyek kerukunan hidup beragama.
Menurut Yewangoe (2009: 92), mengartikan kata “rukun” berasal dari bahasa
arab dan memaknakan tiang atau pilar yang menopang, dalam kaitan ini,
menyinggung arkan Al-islam (eksoteris) dan arkan Al-iman (esoteris) yang
didalamnya iman berlangsung tertib dan aman, dalam pandanganya pengertian
tentang tiang-tiang islam dan tiang-tiang iman ini merujuk kepada kepada
kepelbagaian tiang yang menopang islam agar manusia dapat dengan aman dan damai
mengalami sebuah kehidupan yang beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia kata rukun berarti “bersatu
hati” serta menurut istilah kerukunan juga dimaknai dengan istilah toleransi, istilah
toleransi sendiri berasal dari bahasa latin, “tolerare” yang berarti membiarkan mereka
yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Ditinjau dari
kacamata sejarah, toleransi dibagi menjadi dua, yaitu toleransi formal, dan toleransi
material. Toleransi formal berarti membiarkan saja pandangan-pandangan dan
parktik-praktik politik atau agama yang tidak sesuai dengan pandangan kita sejauh itu
23
tidak menggangu. Sedangkan teloransi material adalah suatu pengakuan terhadap
nilai-nilai positif yang mungkin terkandung dalam pemahaman yang berbeda itu.
Namun dalam kaitan dengan relasi antar umat beragama di Indonesia lebih senang
memakai istilah kerukunan dari pada toleransi, karena istilah kerukunan lebih
dinamis, kreatif, dan positif.Dalam pemakaian istilah kerukunan menemukan watak
ontetik bangsa Indonesia yang memang sejak dahulu senang berinteraksi dengan
siapa saja tanpa membeda-bedakan agama yang dianut. Hal itu terlhat dengan sangat
jelas di daerah pedesaan yang secara sangat spontan saling tolong-menolong apabila
ada kesulitan dan bergembira ria bersama apabila ada kesukaan. Itulah sebabnya
istilah kerukunan dipandang sebagai suatu yang sifatnya lebih dinamis sesuai dengan
sifat dari manusia itu sendiri.
Menurut Mudzhar (2004:16), menjelaskan konsep kerukunan antar umat
beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah orde baru dengan
melibatkan semua tokoh agama-agama yang ada di Indonesia. Istilah kerukunan umat
beragama secara formal digunakan pertama kali ketika penyelenggaraan musyawarah
antar umat beragamaoleh pemerintah pada tanggal 30 November 1967 di gedung
dewan pertimbangan agung, Jakarta. Diselengarakanya musyawarah antar umat
beragama tersebut karena saat itu bangsa kita mengalami ketegangan hubungan antar
berbagai penganut agama di beberapa daerah, yang jika tidak segera diatasi akan
dapat membahayakan persatuan bangsa indonesia. Dan pertemuan tersebut
merupakan pertemuan awal antara pemimpin atau pemuka berbagai agama di
Indonesia dalam rangka membahas masalah-masalah mendasar dalam hubungan antar
umat beragama di Indonesia. Selama orde baru, relatif tidak ada konflik antar
pemeluk agama yang berbeda.
Mungkin orang akan mengira bahwa itu merupakan keberhasilan menerapkan
konsep kerukunana. Namun, ketika di Ambon, Aceh, Kupang dan berbagai daerah
24
lainya terjadi berbagai kerusakan dan tindakan kekerasan yang berbau agama, konsep
kerukunan antar umat beragam kembali dipertanyakan.
Oleh karen itu perlu adanya pengakajian ulang terhadap konsep kerukunan antar
umat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai
bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi harus menjadi
motivator bagi terbentuknaya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Jika
tidak, maka konflik antar agama tidak bisa terhindarkan, akan selalu meledak.
Apabila terjadi, hal ini akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara, baik aspek politis, ekonomi, maupun sosial budaya.
Menurut Kahmad (2009:175) menyatakan bahwa kerukunan antar umat beragama
menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama, demi kerukunan antar umat
beragama harus dihindari “standar ganda” , orang-orang kristen atau islam, misalnya,
selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang
ditujukan bersifat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka
memakai standar lainyang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui standar ganda
inilah, muncul prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan
antar umat beragama. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk
mengklaim agama lain dalam derajat keabsahaan teologis dibawah agamanya sendiri,
melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu
agama atas agama lain.
A. Kajian Sosiologi
1. Pengertian Sosiologi
Sejak kelahiranya, ilmu-ilmu sosial tidak memiliki batasan atau definisi pokok
bahsan yang bersifat eksak. Artinya, berbeda dengan ilmu eksata, yang rumusanya
telah pasti, rumusan dalam ilmu sosial bersifat tidak pasti karena titik beratnya pada
prilaku manusia yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu mengikuti
perkembangan zaman. Kondisi yang sama juga ditemukan pada kaijan sosiologi,
25
yang sampai saat ini tidak ada batasan yang pasti dan baku tentang pegertian dari
sosiologi itu. Sosiologi pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni yang
hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi usaha peningkatan
kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa juga menjadi ilmu terapan yang
menjanjikan cara-cara untuk mempergunakan ilmiahnya guna memecahkan masalah
praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi.
Pendapatnya Setiadi (2011:1), kata sosiologi itu berasal dari kata latin socius, yang
artnya teman, dan kata bahasa yunani logos yang berarti cerita, yang diungkapkan
pertama kali, Narwoko (2007:4) mengatakan pandangannya bahwa sosiologi berarti
berbicara tentang kemasyarakatan.
Kata sosiologi, menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah ilmu
yang mempelajari sifat dan pertumbuhan masyarakat, atau suatu kehidupan manusia
dalam masyarakat, banyak para ahli yang mendefinisikan pengertian sosiologi,
diantanya sebagai berikut:
a) Soerjono Soekanto, mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang
memusatkan perhatiannya pada segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan
berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
b) Max Weber yang lebih berorientasi pada behavioralis (pendekatan tingkah
laku) menekankan sosiologi sebagai ilmu yang berupaya memahami tindakan-
tindakan sosial.
c) Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemantri, membatasi sosiologi sebagai ilmu
yang mempelajari struktur sosial, yaitu keseluruhan jalinan antara unsur-unsur
sosial, lembaga-lembaga sosial kelompok-kelompok sosial, dan lapisan sosial,
dan proses-proses sosial yang berupa pengaruh timbal balik antara pelbagai
kehidupan bersama seperti kehidupan ekonomi dan kehidupan politik,
kehidupan hukum, dan kehidupan agama, dan lain sebagainya, termasuk
didalamnya adalah perubahan-perubahan sosial.
26
d) Roucek dan Warren, mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok.
e) Mayor Polak mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan diantara
manusia dan kelompok, baik kelompok formal, maupun kelompok material
atau baik kelompok statis maupun kelompok dinamis.
Dari berbagai definisi para ahli tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa
sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
tentang pola-pola hubungan antara manusia, baik secara individu maupun kelompok
yang berakibat pada lahirnya pola-pola sosial, seperti nilai-nilai, norma-norma, dan
kebiasaan yang di anut oleh individu di dalam kelompok tersebut.
2. Objek Kajian Sosiologi
Dalam bukunya Setiadi (2011:2) mengatakan bahwa, objek kajian sosiologi
yaitu manusia, yang bukan hanya dikaji oleh sosiologi saja tetapi juga oleh berbagai
disiplin keilmuan lain, seperti ilmu kedokteran, psikologi, antropologi, demografi,
dan sebagainya. Hal ini dekarenakan, manusia memiliki banyak aspek yang dapat
dijadikan sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, diantaranya, aspek fisik, psikis,
sosial, rohani, dan sebagainya.
Sosiologi memiliki kekhususanya sendiri, dimana kekhusanya sosiologi
adalah bahwa prilaku manusia selalu dilihat dalam kaitanya dengan stuktur-struktur
kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, ditunjang bersama, sosiologi
mempelajari prilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhanya,
serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap angotanya, masyarakat,
komunitas, keluarga, perubahan gaya hidup, struktur, mobilitas sosial, gender,
interaksi sosial, dan sebagainya, adalah sejumlah contoh yang memperlihatkan betapa
luaanya ruang kajian sosiologi.
27
Jadi dapat dikatakan bahwa manusia yang dimaksud sebagai objek kajian
sosiologi adalah mahkluk sosial yang senantiasa berhubungan atau berinteraksi
dengan manusia lain dalam suatu kelompok. Adapun masyarakat yang menjadi objek
kajian sosiologi adalah kesatuan hidup manusia dengan kesatuan masyarakat desa,
masyarakat kota, dan lainya sebgai kesatuan yang paling mudah diamati, dengan
demikian, masyarakat sendiri merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa
identitas bersama. Bahwa atas dasar itulah sosiologi tidak mempelajari manusia
sebagai individu tetapi mempelajari manusia sebagai mahluk sosial, dengan
demikian, objek kajian sosiologi hanyalah kehidupan manusia yang hidup didalam
kelompok sosial yang disebut masyarakat.
3. Peran Sosiologi dalam Kehidupan Bermasyarakat
Seringkali ketidaktepatan sasaran kebijakan politik yang dibuat oleh
pemerintah atau ketidaktepatan sasaran kebijakan pemasaran suatu perusahaan
merupakan akibat ketidakteklitian dalam menganalisis situasi sosial yang ada pada
keputusan itu diambil.Berangkat dari persoalan ini maka sosiologi memiliki peranan
yang diperlukan untuk menganalisis suatu langkah kebijakan publik sebelum
kebijakan ini digulingkan. Sosiologi memiliki kompetensi dibidang penelitian, survei,
dan perangkat kegiatan ilmiah lainya untuk menemukan gejala sosial kemasyarakatan
terutama yang menyangkut sikap, prilaku, opini, kultur sosial, sehingga dapat diukur
ketepatan atau ketidaktepatan dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan
publik. Horton dan Hunt dalam Narwoko (2007:12), ada beberapa peran sosiologi
yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat terutama berkaitan dengan
proses pembangunan suatu bangsa, diantaranya adalah sebagai berikuta:
a) Sosiologi sebagai ahli riset, baik riset ilmiah untuk kepentingan
pengembangan keilmuan atau riset yang diperlukan sektor industri. Dimana
tugas sosiologi yaitu mencari dat empiris, tentang suatu gejala sosial
28
sebagimana seorang dokter yang melakukan diagnosis suatu penyakit yang
diderita oleh pasiennya.
b) Sosiologi sebagai kosultan kebijakan, banyak gejala-gejala penyakit
masyarakat yang tidak terselesaikan, hal ini disebabkan oleh kurang
pahamnya pembuat kebijakan publik dalam mengenai persoalan ini, sehingga
disini sosiolog khususnya ikut membantu untuk memperkirakan pengaruh dari
kebijakan sosial tertentu.
c) Sosiolog sebagai teknisi, atau lebih popular disebut sosiolog klinis, yakni ikut
terlibat didalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan
masyarakat.
Dari beberapa perana sosiologi yang telah dipaparkan di atas, maka
sesungguhnya dapat diketahui bahwa sosiologi bukan hanya ilmu yang statis pada
suatu bidang atau kajian tertentu, karena sebagaimana yang diketahui, banyak orang
yang masih berpikir ulang ketika dirinya dihadapkan dalam pilihan untuk menjadi
seorang sosiolog. Ini dikarenakan masih adanya kekhawatiran dalam diri mereka
yang menggangap tidak dapat berkembangnya seorang sosiolog dengan ilmunya
dalam dunia perkerjaan karena sulitnya mencari kerja. Namun faktanya tidak
demikian, terbukti banyaknya peranan-peranan yang dapat diemban oleh para
sosiolog dengan ilmu yang ditekuninya.
C. Kajian Penelitian yang Relavan
Ada beberapa hasil penelitian yang relavan dengan penelitian ini kiranya
dapat dijadikan sebagai rujukan dalam proses penelitian ini sebagai berikut:
1. Sebuah Jurnal Religio dengan judul „’Titik Temu Agama-agama, Sebuah
Analisis Interpretatif.” Yang disusun oleh Basyir dari Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2011.
Jurnal tersebut merupakan sebuah tulisan agama yang menjelaskan tentang
keadaan interaksi umat beragama di Indonesia yang selalu ditandai oleh
29
suasana yang cenderung esklusif, dan saling bermusuhan, dituliskan dalam
jurnal tersebut, “bahwa tidak hanya tantangan eksternal seperti globalisasi dan
keterbukaan yang dihadapi oleh Indonesia, namun tantangan internalpun,
semisal kemajemukan, disintegrasi, dan problem kerukunan menjadi masalah
utama dalam konsep pluralisme beragama di Indonesia. Oleh karena itu
penulis dalam tulisan ini mencoba mencari letak titik temu dan titik singgung
agama-agama besar di dunia dengan menggunakan metode analisis
interpretatif.
2. Sebuah Tesis dengan judul, ”Cigugur, Arena Kontestasi Dalam
Keberagaman.” Yang disusun oleh Mohammad Fathi Royyani Dari
Universitas Indonesia tahun 2004.
Tesis tersebut merupakan karya ilmiah yang disusun berdasarkan temuan
peneliti dalam kehidupan keberagaman masyarakat Cigugur yang ternyata
kehidupannya keberagamannya lebih kentara terlihat adalah kontestasinya
bukan ketergantungan antar kelompok, dalam temuannya tersebut peneliti,
melihat bahwa proses negosiasi dan kontestasi dalam masyarakat yang plural
mensyaratkan suatu kebebasan terhadap kelompok minoritas untuk
mengekspresikan dirinya sehingga kesetaraan dan persamaan dalam
memperoleh ruang akan terjaga. Dan dari data-data yang diperoleh peneliti
dapat mengetahui bahwa negosiasi dan kontestasi yang terjadi di Cigugur
penuh strategi dengan menggunakan segala kapital yang dimiliki, sehingga
ketika terjadi proses tersebut saling tafsir dan saling serap tidak bisa dihindari
yang berimplikasi pada munculnya budaya cangkokan.
30
D. Kerangka Pemikiran
Bagan I
Kerangka pemikiran
Gambar di atas merupakan alur berpikir dalam penelitian ini, dimana subjek
dalam penelitian ini ialah masyarakat Cigugur yang yang dilihat dari segi kehidupan
bermasyarakatnya bersifat plural dengan kerukunan antar umat beragamanya yang
saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Adapun fokus masalah yang
menjadi rumusan atau pertanyaan dari penelitian ini ialah model kerukunan umat
beragama pada masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat, yang mana penelitian
kualitatif ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang menggambarkan,
meringkas dan menjelaskan segala kondisi, situasi, dan fenomena yang terjadi pada
kehidupan beragama masyarakat Cigugur yang sesuai dengan fakta dan realita sosial.
Model kerukunan umat
beragama Di Cigugur
Kerukunan antar umat
beragama (kaijan
sosiologis)
Masyarakat Cigugur
Penelitian kualitatif ini
menggunakan metode
deskriptif dengan cara
melakukan observasi,
wawancara, dan studi
dokumentasi dengan teknik
pemeriksaan data trianggulasi