BAB II MASA KECIL HINGGA MENUNTUT ILMU DI BANGKU … II.pdfkapal udara milik pasukan militer...
Transcript of BAB II MASA KECIL HINGGA MENUNTUT ILMU DI BANGKU … II.pdfkapal udara milik pasukan militer...
35
BAB II
MASA KECIL HINGGA MENUNTUT ILMU DI BANGKU SEKOLAH
2.1 Asal Usul Keluarga
I Gde Parimartha berasal dari Karangasem tepatnya di Dusun Tenganan
Dauh Tukad Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. dia
terlahir dari keluarga petani yang boleh dikatakan hidup dalam suasana yang
sederhana, ayah Parimartha bernama I Nengah Retes dan ibu bernama Ni Nengah
Pari kedua orang tua Parimartha berprofesi sebagai petani. Parimartha merupakan
putra pertama, dia juga mempunyai dua saudara kandung yang bernama Ni
Nengah Wayang dan Ni Nengah Bukti. 1 Saat Parimartha lahir dia diberi nama
Wayan Salit Oleh kedua Orang tuanya, sampai akhirnya nama I Gde Parimartha
menjadi nama yang digunakan sebagai nama Parimartha menjalani kehidupan.
Terlahir sebagai anak petani kecil di Dusun Tenganan DauhTukad
Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem, Parimartha dibesarkan di
lingkungan keluarga petani Ayah Parimartha I Nengah Retes merupakan seorang
petani penggarap dan bukan petani yang memiliki sawah. Dalam menggarap tanah
lahan pertandian ayahnya selalu berpindah-pindah tempat dimana ada orang yang
memerlukan bantuannya, disanalah para petani penggarap menggarap lahan
pertandian milik orang lain. Parimartha menuturkan bahwa pada masa itu orang
tuanya tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana pentingnya,
1Curricullum Vitae, I Gde Parimartha, “(Arsip Bidang Kepegawaian
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana)”.
36
pendidikan sehingga prinsip orang tua Parimartha ketika itu hanya
menggantungkan pada nasib dan meyerahkan semuanya pada Parimartha mau
menempuh pendidikan atau tidak.2
Tumbuh dan berkembang di lingkungan petani, Parimartha
menghabiskan hari-harinya mengikuti orang tuanya bekerja menggarap lahan
pertanian, sejak kecil dia memang sudah terbiasa dengan kesederhanaan, dia
tumbuh tidak seperti keluarga yang lain yang lebih memiliki kemampuan ekonomi
yang lebih baik, namun hal itu tidak membuat Parimartha sedikit pun merasa
bahwa hidupnya kekurangan justru dibalik kesederhanaan hidupnyalah pintu awal
Parimartha membuka perjalanan hidupnya dalam mengarungi kehidupan.
2.2 Kehidupan Masa Kecil
Parimartha terlahir di Dusun Tenganan DauhTukad, Kecamatan Manggis
Kabupaten Karangasem. Parimartha lahir tanggal 31 Desember 1943, Tanggal
tersebut Parimartha gunakan, karena sejak dia kecil orang tuanya tidak mengingat
dengan pasti tanggal kelahirannya pada masa itu juga Parimartha tidak memiliki
akte kelahiran.Parimartha hanya mengingat wetonnya yang jatuh pada hari Soma
Umanis Pujut (Kalender Bali,) jika dihitung dari wetonnya menurut Ida Bagus
Gede Putra sebenarnya Parimartha lahir pada tanggal 27 September 1943.3 Dia
terlahir di zaman pemerintahan kolonial Jepang. Ada satu pengalaman Parimartha
2Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha tanggal 9 Februari 2015
bertempat di Gedung Pasca Sarjana Universitas Warmadewa.
3Hasil wawancara dengan Ida Bagus Gde Putra tanggal 21 September
2015 bertempat di kediamannya Perumahan Bumi Dalung Permai Blok G I/VIII
Denpasar.
37
yang menegangkan ketika dia baru berumur tiga bulan. Menurut cerita kedua
orang tuanya Parimartha menuturkan, suasana ketika itu sangat genting kapal-
kapal udara milik pasukan militer kolondial Jepang berhamburan di udara
melakukan aksi militer. Karena kepanikan orang tua Parimartha dan
mengkawatirkan keselamatannya yang baru berumur tiga bulan, orang tuanya
berinisiatif menyembunyikan Parimartha di tebing sungai di dekat desanya agar
dia dan keluarganya tidak terkena dampak aksi militer pasukan kolonial Jepang.4
Parimartha ketika itu bersama dengan orang tuanya berlindung di goa-goa kecil
yang ada di tebing sungai, untuk menghindari dampak serang militer pasukan
kolonial Jepang. Orang tuanya memilih goa-goa kecil yang ada di tebing sungai,
agar Parimartha dan keluarganya tidak terlihat oleh pasukan kolonial Jepang
sehingga dia dan keluarganya selamat dari serangan militer pasukan kolonial
Jepang.
Parimartha tumbuh di lingkungan desa yang sebagdian besar merupakan
penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani, dia juga sering mengikuti
ayahnya pergi untuk menjadi tukang, membuat rumah, dan menebang pohon. Dia
tumbuh layaknya anak-anak kecil pada umumnya senang bermain dan
bercengkrama dengan teman-temannya, tidak jarang Parimartha ketika kecil
berkelahi dengan teman-temannya karena masalah permainan. Ketika Parimartha
kecil dia tumbuh dengan badan yang boleh dikatakan kecil, tapi berbadan padat
dan tidak jarang dia diganggu oleh teman-teman sepermainannya. Namun
4Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha tanggal 9 Februari 2015
bertempat di Gedung Pasca Sarjana Universitas Warmadewa.
38
Parimartha tentunya tidak diam dan bahkan Parimartha berani melawan temanya
yang lebih sedikit berbadan lebih besar dari dirinya.5
Selain bermain, Parimartha juga ikut membantu ayahnya ketika bekerja
walaupun itu hanya sebatas pekerjaan ringan. Saat itu Parimartha masih kecil,
dan belum masuk bangku sekolah. Ayah Parimartha selain sebagai petani juga
bekerja sampingan menjadi tukang kayu yang digunakan untuk membangun
rumah. Parimartha kecil melihat perjuangan orang tuanya terasa berat dan
melelahkan, dia melihat orang tuanya mengangkat hasil panen berupa padi yang
diikat dalam jumlah banyak yang tentunya akan terasa berat bila dijinjing sambil
berjalan. Dia melihat orang tuanya, memikul padi dalam jumlah banyak dan
membawanya sambil berjalan. Jarak yang ditempuh ketika itu sangat panjang
sekitar 10 kilometer, berjalan dengan jalan naik turun gunung dan medan yang
berbukit-bukit. Parimartha merasakan untuk bertahan hidup memang perlu
perjuangan yang sangat keras, tidak mudah dan memang banyak cobaan yang
harus dihadapi.
2.3 Mulai Menuntut Ilmu di Bangku Sekolah Dasar
Berasal dari latar belakang keluarga petani, Parimartha tumbuh menjadi
anak yang memiliki kemauan untuk belajar. Orang tuanya tidak memiliki latar
belakang pendidikan formal, sehingga kurang memahani pentingnya sebuah
pendidikan. Hal ini membuat orang tuanya menyerahkan keputusan kepada
Parimartha untuk belajar di sekolah atau tidak, karena faktor ekonomi keluarganya
5Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
39
ketika itu boleh dikatakan pas-pasan untuk menanggung biaya pendidikan
Parimartha untuk bersekolah. 6
Awal Parimartha memulai menuntut ilmu di bangku Sekolah Dasar,
karena diajak oleh tetangganya yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar.
Tetangga Parimartha tersebut keras mengajak Parimartha untuk bersekolah,
memang pada masa itu pendidikan sekolah modern memang merupakan sesuatu
yang belum dimengerti dan dipahamai, serta bukan merupakan hal wajib bagi
anak anak penduduk di desa. Karena kemauan Parimartha yang keras untuk
belajar, dia memberanikan diri mengutarakan keinginanya untuk belajar dan
menuntut ilmu disekolah kepada orang tuanya. Parimartha mengetahui
konsekuensinya bila dia bersekolah, sewaktu - waktu dia bisa berhenti sekolah
karena orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan Parimartha selama
bersekolah. Orang tuanya akhirnya mengijinkan Parimartha untuk belajar di
sekolah, hal itu membuat Parimartha semakin bersemangat untuk memulai
pendidikannya di bangku Sekolah Dasar.
Parimartha memulai pendidikan di tingkat dasar pada tahun 1950 di
Sekolah Rakjat (SR) Pesedahan, tepatnya di desa Pesedahan Kecamatan Manggis
Kabupaten Karangasem. Ada hal yang unik ketika Parimartha mendaftarkan diri
untuk bersekolah di Sekolah Rakjat Pesadehan, waktu itu Parimartha bernama I
Wayan Salit sebelum berganti nama menjadi I Gde Parimartha.7 Ketika itu
Parimartha mendaftarkan diri ke sekolah tidak diantarkan oleh orang tuanya,
6Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
7Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di atas.
40
dia diantarkan oleh beberapa temannya untuk mendaftarkan diri ke sekolah
Parimartha ditanyakan umur oleh gurunya, ketika itu dia dan teman-temannya
tidak bisa menjawab dengan pasti berapa umur Parimartha saat itu.Melihat hal
tersebut guru yang menanyakan umur Parimartha berinisiatif memberikan tes
kepada Parimartha, yaitu dengan menyuruhnya menyentuh telinga kiri dengan
ujung jari tangan kanan, dengan tangan kanan melingkar di atas kepala.
Parimartha pun melakukan tes itu sesuai instruksi yang diperintahkan oleh sang
guru, melihat Parimartha berhasil melakukan tes yang diperintahkan, maka sang
guru tersebut menafsirkan umur Parimartha sekitar tujuh tahun. Dia di nyatakan
boleh masuk Sekolah Rakjat Pesedahan tersebut. 8
Ketika itu kriteria seorang anak untuk dapat menempuh pendidikan di
sekolah, yang tidak menggunakan akte kelahiran seperti syarat untuk masuk
sekolah di masa sekarang, dapat dilakukan tes kemampuan pada anak tersebut
dengan cara meyuruhnya menyentuh bagian telinga kiri dengan ujung tangan
kanan dengan tangan kanan melingkar di atas kepala. Bila berhasil, anak tersebut
dinyatakan lulus dan dapat masuk sekolah jika tidak berhasil maka anak tersebut
belum bisa untuk menempuh pendidikan di sekolah.
2.3.1 Pengalaman Selama Duduk di Bangku Sekolah Dasar
Parimartha memulai pendidikan dasar di Sekolah Rakjat di Karangasem,
Semangat Parimartha dalam belajar ditunjukan dengan keyakinan dan kemauanya
untuk belajar walaupun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Saat dia
8Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
41
memulai pendidikan di Sekolah Rakjat, ketika dia duduk di bangku kelas 2 SR
Parimartha sempat jatuh sakit sampai dia 3 bulan tidak bisa bersekolah. Ketika
sakit Parimartha memikirkan sekolahnya yang tertunda karena sakit yang
dideritanya tidak kunjung-kunjung sembuh sehingga dia tidak bisa bersekolah.
Sakit yang diderita Parimartha ketika itu bermacam-macam mulai dari
demam, panas dingin dan sakit yang membuat badan nya terasa lemas dan tidak
bisa beraktivitas. Melihat kondisi Parimartha yang ketika itu sakit sakitan orang
tua Parimartha menyuruhnya untuk beristirahat di rumah dan jangan dulu
memikirkan sekolah, dia disarankan oleh orang tuanya untuk fokus dalam
memikirkan kesehatannya, mengingat dia merupakan anak laki-laki satu satunya.
Saat proses pengobatan Parimartha diajak berobat ke balian9 bukan ke dokter
mengingat pada masa itu dokter merupakan seseorang yang langka yang ada di
desa.
Di masa itu masyarakat desa masih menggunakan cara-cara tradisional
untuk mengobati berbagai macam penyakit, tidak seperti sekarang dimana dokter
bisa dijumpai di beberapa desa bahkan sekarang di desa terpencil sekali pun sudah
ada jasa dokter yang menangani masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. Berjuang melawan sakit selama hampir 3 bulan, akhirnya Parimartha
sembuh dan bisa kembali melanjutkan aktivitasnya bersekolah dan berusaha
9Balian merupakan istilah Bali atau sebutan untuk orang yang mengobati
penyakit baik penyakit medis maupun non medis. Kata balian identik dengan
kemampuan seseorang di luar kemampuan nalar manusia. Lihat Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia ( Jakarta:Balai Pustaka,1989 ), p 72.
42
mengikuti pelajaran di sekolah sehingga dia tidak ketinggalan pelajaran di
sekolah.
Selama mengikuti pelajaran di sekolah Parimartha selalu duduk paling
depan karena dia merasa tubuhnya kecil, kalau dia duduk di belakang tentunya
dalam mendengarkan penjelasan dari gurunya di sekolah menjadi kurang jelas.
itulah alasan dia memilih duduk paling depan, agar penjelasan dari gurunya dapat
dia dengar dengan jelas. Parimartha menyadari dengan tubuhnya yang kecil
tentunya orang akan memandangnya tidak bisa melakukan aktivitas secara
maksimal, walaupun kecil dia merasa memiliki tenaga yang cukup kuat baik
dalam beraktivitas di sekolah walaupun membantu pekerjaan kedua orang tuanya.
Ketika beraktivitas di sekolah tidak jarang dia mendapat perlakuan jahil dari
teman-temannya, melihat tubuh Parimartha yang kecil tidak jarang dia
mendapatkan prilaku usil dari teman-temannya ketika di Sekolah Rakjat.
Mendapat perlakuan usil dari teman-temannya, Parimartha tidak tinggal
diam dan bahkan berani melawan temannya yang melakukan perbuatan usil
kepadanya. Walaupun berbadan kecil itu bukanlah suatu kekurangan, Parimartha
memiliki prinsip jika kita merasa benar dan tidak melakukan kesalahan, jangan
takut untuk melawan dan membela diri. Tidak jarang ketika itu Parimartha
berkelahi dengan temannya disekolah, tetapi hal tersebut masih dalam hitungan
wajar bagaimana anak sekolah yang belajar berinteraksi dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
Parimartha menuntut ilmu di SR Pesedehan sampai kelas tiga, karena di
SR Pesedahan ketika itu hanya memprogramkan pendidikan sampai tingkat kelas
43
tiga. Karena itu setelah tamat dari SR Pesedehan, Parimartha melanjutkan
pendidikan tingkat dasarnya ke Sekolah Rakjat di Desa Sengkidu Kecamatan
Manggis Kabupaten Karangasem mulai dari tingkat kelas empat pada tahun 1953.
Parimartha selama menuntut ilmu di tingkat Sekolah dasar (SR) termasuk anak
yang cerdas, dia merasa walaupun memiliki badan yang kecil tapi dia merasa
bahwa dia memiliki tenaga yang cukup besar dan nyaman untuk melakukan
aktivitas baik itu di sekolah maupun di luar sekolah.
Jiwa kepemimpinan Parimartha sudah terlihat ketika dia belajar di tingkat
sekolah dasar (SR), tidak jarang ketika ada perayaan atau upacara bendera dia
ditunjuk sebagai pemimpin barisan upacara untuk melakukan upacara bendera.
Dalam bidang olaharaga, walaupaun berbadan kecil Parimartha berani berlomba
dengan teman-teman seusianya yang berbadan lebih besar dari dirinya olahraga
yang dia lakukan ketika itu sepak bola10
dan olahraga yang lainnya. Ketika
belajar di Sekolah Rakjat olahraga favorit Parimartha adalah Olahraga atau
permainan Kasti 11
.
10
Sepak Bola adalah cabang olahraga yang menggunakan bola yang terbuat
dari bahan kulit dan dimainkan oleh dua tim yang masing-masing beranggotakan
11 orang pemain inti dan sebagian pemain cadangan. Permadianan Sepak Bola
bertujuan untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya yang dilakukan selama 2 kali
45 menit dan istrhat selama 15 menit. Permainan Sepak Bola dimainkan dalam
lapangan berumput yang berbentuk persegi panjang. Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga ( Jakarta: Balai Pustaka,
2008 ), p.1042. 11
Kasti adalah olahraga bola yang dimainkan oleh dua tim. Masing-masing
tim beranggotakan 12 orang, permaianan ini menggunakan bola tenis sebagai alat
untuk menembak lawan dan tumpukan batu untuk disusun. Siapapun yang yang
berhasil menumpuk batu tersebut dengan cepat tanpa terkena pukulan bola adalah
kelompok yang memenangkan permainan. Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,op.cit., p 395.
44
Walaupun berbadan kecil Parimartha termasuk anak yang gesit dan lincah
dalam bermain kasti teman-temannya yang berbadan lebih besar dari dirinya tidak
mampu mengalahkan Parimartha dalam permainan kasti. Dia mengganggap
permainan kasti adalah permainan yang menyenangkan, karena melatih
kelincahan dalam bergerak dan berlari melewati lawan, Parimartha tidak pernah
merasa bahwa badan yang kecil tidak bisa mengalahkan kemampuan orang yang
mempunyai postur tubuh yang lebih besar dari dirinya.
Aktivitas Parimartha sepulang sekolah dialah memberi makan hewan
ternak peliharaan ayahnya, saat itu ayah Parimartha memelihara beberapa ekor
kambing dan 2 ekor sapi, sepulang sekolah Parimartha wajib memberikan makan
kedua hewan ternak peliharaan ayahnya tersebut. Sebagai anak petani, sepulang
sekolah dia selalu mencari rumput ( dalam bahasa Bali disebut dengan Ngarit
Padang) untuk diberikan kepada hewan ternak peliharaan ayahnya.12
Dia merasa
berat dan agak terbebani dengan tanggung jawab yang diberikan kepada ayahnya,
mengingat pulang sekolah harus ada kegdiatan tambahan yang tentunya menguras
tenaga. Namun itu semua dia jalankan dengan suka cita, hal tersebut dia lakukan
untuk membentu memenuhi perekonomdian keluarganya dan untuk sedikit
meringankan beban orang tuanya. Ketika masih duduk di bangku SR, Parimartha
ikut perkumpulan pemetik kelapa di desanya. Waktu kecil dia sering memanjat
pohon kelapa jika perkumpulannya mendapatkan tugas untuk memetik kelapa.
Dari hasil memetik kelapalah, Parimartha mendapatkan uang saku untuk
membantu meringankan biaya dia bersekolah.
12
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
45
Saat Parimartha memetik kelapa dengan teman-temannya, ajang memanjat
sering dijadikan perlombaan oleh Parimartha dan temannya. Dia sering berlomba
untuk memanjat, siapa yang terlebih dulu sampai dia yang menjadi pemenangnya.
Parimartha kecil merasa tubuhnya sangat sehat, untuk melakukan aktivitas
memanjat. Selain bekerja dan mendapatkan uang untuk bekal dia bersekolah,
memanjat pohon kelapa bersama teman-temannya merupakan hal yang
menyenangkan karena sambil bercanda, bersanda gurau, dan bermain dengan
teman-teman sebayanya.
Walaupun terlahir dengan keadaan ekonomi keluarga yang terasa pas-
pasan dari segi kebutuhan pokok, dalam arti kebutuhan makanan Parimartha
merasa dalam hal kebutuhan makanan dia merasa cukup untuk dia dan
keluarganya. Walaupun makanan tersebut tidak mewah dan seadanya, hal itu
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok Parimartha dan keluarganya.
Parimartha mulai menyukai mata pelajaran Sejarah mulai dari kelas 6 sekolah
dasar (SR), ketika kelas 6 SR Parimartha mulai menyenangi membaca buku-buku
sejarah.
Mulai dari kelas 6 SR tertanam pada pemikiran seorang Parimartha untuk
menekuni bidang Ilmu Sejarah, Parimartha menyenangi buku yang menceritakan
tentang kisah kisah sejarah baik cerita tradisional maupun kisah tentang
peristiwa perjuangan bangsa. Saat Parimrtha mengikuti ujian akhir untuk
menamatkan pendidikan di Sekolah Rakjat, Parimartha mengikuti temannya yang
mempunyai keluarga di Kota Karangasem. Karena Kota Karagasem yang cukup
jauh dari tempat tinggalnya, dan kendaraan transportasi ketika itu masih sangat
46
minim akhirnya dia tinggal menumpang di rumah temannya selama dua hari dan
mengikuti ujian akhir sebagai syarat untuk lulus dalam jenjang pendidikan
Sekolah Rakjat. Hingga akhirnya Parimartha mengikuti ujian, dan dinyatakan
lulus dari Sekolah Rakjat Sengkidu Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem
pada tahun 1956.13
Perjuangan Parimartha selama menuntut Ilmu di bangku Sekolah Rakjat
terasa tidak sia-sia, karena dia berhasil menamatkan pendidikannya dan
membuktikan bahwa walaupun dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan bila ada
semangat untuk belajar pasti akan terbuka jalan untuk bisa meraih impian yang di
inginkan.
2.4 Melanjutkan ke Sekolah Guru B (SGB) di Klungkung
Setelah Parimartha menyelesaikan pendidikan nya di tingkat dasar, timbul
ndiat Parimartha untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Namun
kembali kendala ekonomi yang menjadi penghalang Parimartha, untuk bisa
melanjutkan pendidikan nya di sekolah. Saat Parimartha bingung untuk
menentukan pilihan akan melanjutkan sekolah atau tidak, dia diberikan saran oleh
temannya yang sudah masuk di Sekolah Guru B (SGB) yang ada di Kota
Klungkung.14
Tawaran itu pun dipertimbangkan oleh Parimartha, karena saat itu
kondisi ekonomi keluarganya sedang dalam kondisi yang kurang bagus.
13
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan. Lihat
Juga Daftar Riwayat hidup“I Gde Parimartha”,(Arsip Bidang Kepegawaian
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.). 14
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di atas.
47
Temannya menjelaskan sekolah tersebut sudah mendapat ikatan dinas, dan
memberikan bantuan kepada siswanya berupa beasiswa untuk dapat melanjutkan
pendidikan di sekolah tersebut. Sempat Parimartha mempertimbangkan
kesempatan yang ditawarkan oleh temannya tersebut, untuk melanjutkan ke SGB
yang ada di Kota Klungkung karena orang tua Parimartha sedang mengalami
kesulitan ekonomi. Namun semangat Parimartha untuk belajar mengalahkan
semuanya dia akhirnya berani mengutarakan isi hatinya, agar diperbolehkan oleh
orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan nya di sekolah. Keinginanya untuk
melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi dari Sekolah Rakjat (SR)
sempat dicegah oleh orang tuanya.
Orang tuanya melarang dia melanjutkan sekolah, karena kurangnya
keterseddiaan dana untuk membdiayayai Parimartha selama melanjutkan sekolah.
Namun Parimartha berusaha menjelaskan, bahwa sekolah yang ditujunya adalah
sekolah guru yang mempunyai ikatan dinas dengan pemerintah, dan siswanya
akan diberikan tanggungan selama menempuh pendidikan di sekolah guru
tersebut. Mendengar penjelasan dari Parimartha, akhirnya kedua orang tuanya
mengijinkan Parimartha untuk melanjutkan sekolah.
Mendapat ijin dari kedua orang tuanya, akhirnya Parimartha mendaftarkan
diri ke Sekolah Guru B (SGB) di kota Klungkung pada tahun 1956. Parimartha
sempat mendapat cibiran di desanya, karena berani melanjutkan sekolah ke
tingkat yang lebih tinggi dari sekolah rakjat dengan keadaan ekonomi yang serba
kekurangan. Namun Parimartha menganggap, itu hanya sebuah sindiran kecil bagi
dirinya untuk terus maju dan belajar. Parimartha mulai belajar di SGB
48
Klungkung, karena jarak yang jauh dari rumah menuju sekolahnya, maka dia
tinggal menumpang di rumah keluarganya yang ada di Desa Kamasan Klungkung.
Tidak tinggal bersama dengan orang tuanya tidak membuatnya berkecil
hati untuk menuntut ilmu di sekolah, karena impiannya untuk melanjutkan
sekolah ke tingkat yang lebih tinggi tercapai walaupun harus jauh tinggal tidak
bersama dengan kedua orang tuanya. Awal Parimartha belajar di SGB Klungkung,
di sekolahnya ketika itu ada peraturan jika ingin mendapatkan ikatan dinas dan
diberikan bantuan biaya pendidikan selama belajar di sekolah tersebut Parimartha
harus mengikuti tes atau ujian tulis pada triwulan pertama.
Bila dinyatakan lulus, maka dia berhak mendapatkan bantuan biaya untuk
membantu biaya pendidikannya. jika tidak, maka dia harus membayar biaya
pendidikan selama dia belajar di sekolah tersebut. Parimartha menyadari kalau
dia tidak mendapatkan bantuan tersebut, sewaktu-waktu sekolahnya bisa berhenti
karena orang tuanya tentu tidak bisa membiayai pendidikannya sampai dia
menyelesaikan sekolahnya. Melihat kondisi seperti itu, Parimartha memutuskan
untuk berjuang agar bisa mendapatkan bantuan biaya pendidikan tersebut.
Untuk menghadapai ujian tersebut, dia berusaha keras mempersiapkan kiri
kurang lebih tiga bulan untuk menghadapi ujian tersebut dengan belajar dengan
giat. Satu prinsip yang dipegang Parimartha ketika itu adalah berusaha dengan
keras agar bantuan biaya pendidikan itu bisa dia dapatkan karena menyangkut
dengan kelanjutan pendidikanya selama belajar di SGB Klungkung.Parimartha
akhirnya mengikuti ujian tersebut, saat itu peserta yang mengikuti ujian untuk bisa
mendapatkan bantuan biaya pendidikan berjumblah 40 orang. Saat itu sekolah
49
hanya mencari 20 orang siswa, yang akan diberikan bantuan biaya pendidikan
untuk belajar di sekolah tersebut. Parimartha pun mengikuti ujian tersebut dengan
lancar sampai akhirnya dia dinyatakan lulus, dan berhak untuk mendapatkan
bantuan biaya pendidikan selama dia bersekolah di SGB Klungkung.
Parimartha bersyukur karena dari 40 orang peserta ujian, dia termasuk dari
20 siswa yang dinyatakan lulus dan berhak untuk mendapatkan bantuan biaya
pendidikan selama belajar di SGB Klungkung. Dia merasa persiapan yang
dilakukannya selama kurang lebih hampir tiga bulan tidak sia-sia, karena hasil
yang di dapatkannya sesuai dengan harapannya. Berita baik itu pun segera
diberitahukan kepada orang tuanya yang berada di desa, bahwa dia bisa
melanjutkan pendidikannya sampai selasai tanpa harus kawatir dengan masalah
biaya.
Orang tuanya pun ketika itu senang dengan berita yang diterima dari
Parimartha, dan mengingatkannya agar tetap semangat untuk belajar. Parimartha
akhirnya bisa melanjutkan sekolah ke tingkat yang tinggi dari sekolah rakjat.
Teman-teman Parimartha yang tidak lulus tes, banyak yang berhenti sekolah
karena masalah biaya yang tidak sanggup ditanggung oleh keluarganya. Namun
Parimartha bisa tetap bersekolah, karena semuanya sudah ditanggung oleh sekolah
dan tugas Parimartha adalah belajar dan berprestasi dengan sebaik-baiknya.
Walaupun dengan kondisi ekonomi yang kurang memungkinkan bagi dirinya
bersekolah, bantuan dari pemerintah membuatnya bersemangat untuk melanjutkan
pendidikannya ke tingkat yang tinggi dari sekolah rakjat.
50
2.4.1 Pengalaman Selama Duduk di Bangku SGB
Parimartha belajar dan menuntut ilmu selama empat tahun, di Sekolah
Guru B yang ada di kota Klungkung. Jarak yang jauh dari desa tempat tinggalnya
membuat Parimartha harus tinggal di Desa Kamasan Klungkung, agar ddia bisa
menempuh jarak yang lebih dekat dengan sekolahnya. Di Desa Kamasan
Klungkung dia tinggal bersama kerabatnya yang bertempat tinggal disana,
Parimartha tinggal disana kurang lebih hampir selama tiga bulan, Setelah dia
mendaftarkan diri dan menjadi siswa di SGB Klungkung.
Setelah dinyatakan lulus dan Parimartha mendapatakan bantuan biaya
pendidikan selama dia menjadi siswa dan belajar di SGB Klungkung, dia pindah
ke Kota Klungkung dan mencari kontrakan untuk dia tempati. Mengingat
sekolahnya berada di Kota Klungkung, dia mencari kontrakan rumah bersama
teman-teman sebayanya, yang sama - sama bersekolah di sekolah tersebut. Dia
mencari kontrakkan karena ingin belajar hidup mandiri, dan tidak ingin
membebani keluarganya yang ada di Desa Kamasan Klungkung.
Parimartha mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang baru, ketika dia
mulai belajar di tingkat Sekolah Guru B (SGB). Berada jauh dari orang tua, tidak
membuat Parimartha takut untuk menjalani aktivitas. Tumbuh sebagai anak
remaja, Parimartha mulai menyenangi lingkungan tempat dia tinggal. Dia merasa
hidup bersama teman-teman sebayanya membuat dia mendapatkan pengalaman
baru, di luar jam pelajaran Parimartha dan teman-teman sebayanya senang
melakukan aktivitas olahraga, salah satu olahraga favorit Parimartha ketika itu
51
adalah badminton15
. Di luar jam sekolah Parimartha menghabiskan waktu dengan
teman-temanya dengan berolahraga, walaupun berbadan kecil dia termasuk anak
yang lincah dalam melakukan aktivitas olahraga. Salah satunya adalah
Badminton, yang menjadi olahraga favoritnya ketdia dia menghabiskan waktu di
luar jam sekolah.
Mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari sekolahnya, membuatnya
termotivasi untuk lebih giat belajar. Tidak seperti ketika dia sedang menuntut ilmu
di bangku Sekolah Rakjat, saat Parimartha pulang sekolah dia harus bekerja
membantu kedua orang tuanya seperi mencarikan rumput untuk pakan ternak
peliharaan ayahnya di rumah. Namun saat dia duduk dan belajar di bangku SGB,
hal tersebut tidak dia lakukan konsentrasi Parimartha sepenuhnya dia curahkan
untuk belajar.
Kebutuhan Parimartha sehari-hari seperti makan dan minum, serta tempat
tinggal sudah di dibiayai oleh Pemerintah. Sehingga dia berusaha untuk
mempertahankan prestasi dan nilainya di sekolah, agar tidak jelek dimata
gurunya. Belajar dan menuntut Ilmu di bangku SGB, membuat Parimartha
mendapat arahan yang positif dari gurunya. Karakternya pun mulai didik di SGB,
dia mulai berkembang menjadi anak yang mandiri dan berusaha mengejar cita-cita
melalui konsistensinya dalam melanjutkan pendidikan akademis.
15
Badminton adalah salah satu cabang olahraga raket yang dimainkan oleh
dua orang untuk tunggal (putra atau putri) atau dua pasangan untuk ganda yang
saling berlawanan. Badminton bertujuan memukul bola permainan melewati
jaring agar jatuh di bidang permainan lawan yang sudah ditentukan dan berusaha
mencegah lawan melakukan hal yang sama. Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,op.cit.,p.63.
52
Dia diajarkan bagaimana cara belajar yang benar, dan betapa pentingnya
pendidikan untuk masa depan. Selama belajar di SGB karakter Parimartha mulai
berubah, dari anak desa yang masih memiliki wawasan sempit dan pergaulan yang
hanya sebatas di desa serta lingkungan yang dekat dengan judi dan minuman
keras. Mendapat pendidikan karakter di SGB perlahan pribadi Parimartha
berubah, menjadi anak yang lebih memperhatikan pendidikan.
Parimartha ketika masih bersekolah di Sekolah Rakjat dia sudah pintar
bermain judi ceki,16
Parimartha ketika masih duduk di Sekolah Rakjat sering
melawan orang orang yang lebih tua dari dirinya bermain judi ceki. Orang tua
Parimartha sering memarahinya, jika dia di lihat sedang bermain judi ceki dengan
teman-temannya. Belajar dan menuntut ilmu di SGB, membuat Parimartha
melupakan segala macam bentuk aktivitas judi yang dia geluti dulu ketika masih
tinggal di desa.
Dia menyadari bahwa judi hanya memberikan kepuasan sesaat, tetapi
memberikan efek negatif terhadap perkembangan pikiran dan hidup kedepannya,17
di SGB Parimartha mendapatkan pendidikan karakter dan pendidikan moral, yang
membuat karakter Parimartha berubah. Dari seorang anak desa yang dulunya
16
Ceki adalah permainan tradisional yang menggunakan beberapa kartu
Ceki sebagai sarana untuk bermain, sebenarnya ceki merupakan salah satu
permainan kartu tradisional yang dimainkan tanpa menggunakan uang, seiring
dengan perkembangan zaman Ceki berubah menjadi salah satu permainan judi di
Bali, berbagai kalangan bisa memainkan judi tradisional ini mulai dari anak anak,
remaja dan dewasa yang sehari hari hidup dan berinteraksi di desa di Bali bisa
memainkan permainan ini. Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama
dengan di depan. 17
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha tanggal 12 Februari 2015
bertempat di Gedung Pasca Sarjana Universitas Warmadewa.
53
senang bermain judi, berubah menjadi anak yang memiliki mental yang kuat
untuk terus berusaha dan berjuang tanpa terpengaruh oleh hal-hal negatif di
sekelilingnya. Menuntut Ilmu di SGB, membuat Parimartha merasakan perubahan
yang ada terjadi pada dirinya berubah kearah yang lebih baik. Parimartha
mendapatkan pendidikan guru, agar nantinya bisa dia implementasikan ketika dia
tamat belajar di SGB. Selama duduk dan belajar di bangku SGB, hari-hari
Parimartha ketika itu dia habiskan dengan belajar dan berdiskusi dengan teman-
temannya tentang pelajaran yang dia dapatkan di sekolah.
Sepulang sekolah dia sering belajar dan berdiskusi dengan temannya di
tepi sungai Unda Klungkung, yang terletak tidak begitu jauh dari kota Klungkung
tempat Parimartha mengontrak tempat tinggal. Parimartha sering mendiskusikan
pelajaran yang dia dapatkan di sekolah dengan teman-temannya, pelajaran yang di
diskusikan antara lain ilmu hitung (matematika), Kewarnegaraan, Sejarah dan
mata pelajaran lainnya. Sehabis makan malam pun, menjelang tidur diskusi
tentang pelajaran disekolah bersama dengan teman-temannya masih dilanjutkan.
Untuk menyalurkan hobi berolahraga, di SGB dia dan teman-teman
seangkatannya, aktif mengikuti kegiatan olahraga yang diadakan di sekolahnya.
Salah satu cabang olahraga yang di ikuti Parimartha ketika itu adalah sepak bola,
ada satu pengalaman unik ketika Parimartha mengikuti kegiatan olahraga di SGB.
Ketika itu Parimartha mencoba belajar menjadi kiper atau penjaga gawang, dan
menyuruh temannya untuk menendang bola. Saat Parimartha menjaga gawangnya
Parimartha berusaha menangkap bola hasil tendangan temannya, karena laju bola
54
yang sangat kencang dan mengenai pergelangan tangan Parimartha sehingga
tangannya terkilir dan dilarikan ke rumah sakit oleh gurunya. 18
Walaupun berbadan kecil dia memang suka mencoba hal-hal yang baru,
dia tidak pernah peduli dengan resiko yang akan diterimanya dan berani mencoba
tanpa harus ada rasa takut yang menghalanginya, namun akhirnya dia menyerah
juga tidak mau lagi belajar menjadi penjaga gawang karena masih kawatir dengan
kondisi tangannya yang pernah cedera karena menangkap bola yang melaju
kencang mengenai tangannya.
Tapi cedera tersebut tidak menyurutkan keinginannya untuk tetap bermain
bola dalam permainan bola Parimartha cenderung bermain di depan dan
menyerang walaupun berbadan kecil dia termasuk anak yang lincah dalam
menggiring bola melewati lawannya yang berbadan lebih besar. Olahraga adalah
salah satu pengisi waktu luang Parimartha ketika dia belajar di SGB, tentunya dia
tidak lupa melaksanakan kewajibannya sebagai siswa untuk belajar dan
berprestasi lebih baik lagi di sekolah tempat dia belajar dan menuntut ilmu.
Selain berolahraga selama belajar di SGB, bidang seni pun termasuk
dalam kegiatannya di luar jam pelajaran sekolah. Seni yang digemarinya adalah
seni musik, ketika ada pagelaran seni musik di sekolahnya Parimartha dan teman-
temanya mengikuti kegiatan tersebut. Ketika itu dia memainkan alat musik kesek
karena berbadan kecil, dia ditaruh di depan untuk memainkan alat musik tersebut.
Memainkan alat musik yang lain seperti gitar yang menjadi salah satu favoritnya.
18
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
55
Selama belajar dan mendapatkan bantuan biaya pendidikan di SGB
Klungkung, Parimartha mulai merasa muncul sebuah harapan untuk hidupnya di
kemudian hari agar menjadi orang yang lebih baik. Parimartha berubah menjadi
anak yang penuh dengan semangat belajar, dia menyukai lingkungan tempat dia
tinggal karena membuatnya nyaman untuk berinteraksi dengan orang-orang
sekitarnya. Walaupun hidup mandiri dan jauh tinggal di kota tidak dengan orang
tuanya, hal tersebut tidak membuat dia merasa berkecil hati dan merasa terbebani.
Justru saat dia keluar dari desa dan mempunyai lingkungan dan teman-
teman baru, membuat dia merasa nyaman untuk belajar tanpa harus memikirkan
hal hal lain yang tentu dapat menggangu pikiran dan konsentrasinya dalam
belajar. Mendapat bantuan biaya pendidikan, Parimartha menjawabnya dengan dia
dinyatakan lulus dari SGB Klungkung pada tahun 1960 setelah belajar selama 4
tahun. Tentunya itu semua tidak didapat secara instan, banyak perjuangan yang di
laluinya untuk bisa belajar dan menamatkan diri di Sekolah Guru B (SGB) di
Kota Klungkung.19
Menamatkan diri di SGB merupakan salah satu pembuktian
Parimartha, bahwa dengan ketekunan dan kerja keras hasil maksimal dapat
diraihnya walaupun dengan kondisi ekonomi yang sedang terpuruk.
2.5 Melanjutkan ke Sekolah Guru (S.G.A) di Denpasar
Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru B (S.G.B) Klungkung pada
tahun 1960, Parimartha memutuskan untuk pulang ke desanya sambil menunggu
panggilan dari sekolahnya untuk ditempatkan dan diberikan tugas sebagai
19
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
56
seorang pengajar. Ketika itu alumni atau tamatan dari SGB Klungkung sudah bisa
mengajar dan mengabdi sebagai seorang guru di tingkat Sekolah Dasar,
menunggu panggilan tersebut membuat dia memutuskan untuk pulang ke desanya.
Selama menunggu panggilan untuk mengajar tidak banyak aktivitas yang
dia lakukan, dia kembali membantu orang tuanya bekerja sebagai seorang petani.
Aktivitas judi ceki yang dia dulu sangat gemari ketika masih duduk di bangku
Sekolah Rakjat, hilang dan dia sama sekali tidak mau memainkannya. Pendidikan
yang di dapatkan Parimartha selama di SGB Klungkung membuat dia sadar,
pengaruh-pengaruh negatif yang datang untuk mempengaruhinya hanya akan
menyisakan penyesalan di kemudian hari.
Sampai akhirnya ada gerakan pemberantasan buta huruf yang masuk desa
Parimartha tempat dia tinggal, mendengar berita tersebut dia berinisiatif
menggerakkan seluruh teman-temannya yang dulu sempat bersekolah untuk ikut
turun membantu pemberantasan buta huruf di desanya. Parimartha menghubungi
kepala kepala desa yang ada di Desa Tenganan, agar mengumpulkan seluruh
warga Desa Tenganan DauhTukad untuk diberikan sosialisasi bahwa akan ada
kegiatan pemberantasan buta huruf di desa tersebut. Parimartha dan beberapa
teman-temannya, berusaha untuk mendapatkan bahan-bahan untuk mengajar dari
Dinas Pendidikan Kota Karangasem. sampai akhirnya dia dan teman-temannya,
serta dibantu oleh kepala desa setempat berhasil membangun Sekolah
Pemberantasan Buta Huruf (PBH) di Dusun Tenganan DauhTukad tempat
Parimartha tinggal.
57
Pendirian sekolah tersebut, membuat Parimartha merasa ilmu yang dia
dapatkan selama bersekolah di SGB Klungkung menjadi tersalurkan. Dia
mengimplentasikan ilmu yang dia dapatkan selama mengajar di sekolah PBH,
yang berada di desa tempat dia tinggal. Ketika Parimartha mulai mengajar di
sekolah PBH, dia mengajar murid dari berbagai umur dari anak-anak, remaja
hingga dewasa. Sekolah PBH tempat Parimartha mengajar, memprogramkan
untuk memberantas buta huruf yang ada di Desa Tenganan.
Sekolah PBH tersebut mengajarkan kepada siswanya agar mampu
membaca, menulis, dan berhitung. Mengajar dan mengabdikan diri di sekolah
PBH di desa Parimartha tinggal, dia berusaha membangun sebuah tempat
pendidikan untuk memberantas buta huruf di lingkungan desa tempat Parimartha
dilahirkan. Setahun mengabdi menjadi tenaga pengajar di sekolah PBH di Desa
Tenganan Kecamatan Manggis Kabupataen Karangasem, Parimartha akhirnya
dipanggil oleh Dinas Pendidikan Provinsi Bali untuk ditempatkan menjadi guru di
desa Pelaga Kecamatan Petang Kabupaten Badung tahun 1961. 20
Ada pengalaman unik, ketika Parimartha mencoba mencari tempat atau
lokasi yang akan menjadi tempatnya mengabdikan diri sebagai seorang guru.
Ketika dia mencoba mencari desa Pelaga ke Denpasar. Dia diberitahu bahwa desa
Pelaga berada di Denpasar, dia pun mencari desa Pelaga yang ada di Denpasar.
Ternyata tempat tersebut bukan Desa Pelaga tempat dimana dia akan mengajar
sebagai seorang guru, tapi tempat tersebut adalah Desa Palagan Denpasar dan
bukan desa Pelaga yang ada di Kabupaten Badung.
20
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
58
Merasa kebingungan mencari di mana letak Desa Pelaga, Parimartha
akhirnya menanyakan lokasi tersebut ke dinas pendidikan di kota Denpasar.
Disana dia memperoleh informasi, bahwa Desa Pelaga tersebut terletak di
Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Mendengar berita tersebut Parimartha
sempat kaget, karena jarak antara Karangasem dan Badung lumayan jauh kurang
lebih 200 kilo meter dari desa tempat dia tinggal. Dia saat itu belum memiliki
moda transportasi untuk bepergian, Namun karena ini merupakan tugas yang
diberikan kepadanya, dia memutuskan untuk menerimanya dan mengabdikan diri
sebagai tenaga pengajar di Desa Pelaga.
Setelah melihat lokasi dan mengurus segala administrasi untuk persdiapan
Parimartha sebagai seorang pengajar, dia memutuskan untuk pulang sejenak ke
desa dan berpamitan dengan orang tuanya. Sempat Parimartha mengatakan
kepada orang tuanya, bahwa tempat dia mengajar sebagai seorang guru lumayan
jauh dari Karangasem dengan medan yang cukup sulit. Orang tuanya memberikan
dorongan semangat kepada Parimartha, agar menjadi orang yang lebih sabar dan
kuat dalam menghadapi cobaan yang datang menghampiri dirinya.
Parimartha merasa sedih karena jarak dia tinggal dengan keluarganya
sangat jauh, tidak seperti ketika dia masih bersekolah di SGB Klugkung yang
jaraknya tidak begitu jauh. Karena ini mandat dan tugas negara yang diberikan
kepadanya, Parimartha mencoba berusaha dan kuat untuk menjalankan tugasnya
sebagai seorang pengajar. Tidak lupa dia juga berpamitan dengan kawan kawan
dan murid muridnya di Sekolah PBH yang dia dirikan bersama kawan-kawannya.
59
Parimartha sempat merasa sedih ketika dia berpamitan di sekolah PBH,
murid-muridnya dari yang kecil hingga yang sudah dewasa menangis, karena
Sekolah PBH yang ada di desa Tenganan tempat Parimartha tinggal dan mengajar
selama setahun akan ditinggalkan dalam waktu yang lama. Parimartha
mengatakan kepada kawan dan muridnya, bahwa dia akan sesekali datang untuk
menjenguk sekolah dan murid muridnya yang ada di Sekolah PBH yang ada di
desa Tenganan.
Parimartha akhirnya berangkat ke Desa Pelaga, untuk mengawali karirnya
sebagai seorang pengajar di Sekolah Dasar Desa Pelaga. Dia berangkat dari
Karangasem menuju Denpasar, dengan menumpang bis dan sempat tinggal
beberapa hari di rumah sanak keluarganya yang tinggal di Denpasar. Dari
Denpasar Parimartha menumpang angkutan umum, dan sampai di Kecamatan
Petang. Perjalanan pun belum berhenti karena dari petang menuju desa Pelaga,
Parimartha harus menumpang truk untuk bisa mencapai desa tersebut. Karena
angkutan umum untuk menuju ke desa Pelaga tersebut belum ada dan hanya ada
jalur yang dilalui oleh truk.
Ketika itu masih jalan tanah dan ketika hujan jalanan di daerah tersebut
becek dan licin, tentunya berbahaya jika tidak berhati hati dalam mengemudikan
kendaraan. Setelah menumpang truk akhirnya dia sampai di desa Pelaga, tempat
Parimartha mulai mengajar sebagai seorang guru. Sampai di Pelaga dia disambut
oleh rekan rekannya yang sudah berada di desa Pelaga dan mengajar sebagai
seorang guru, di sana dia dan beberapa guru lainnya tinggal di asrama yang sudah
disediakan bagi para guru yang rumahnya jauh dari tempat mereka mengajar.
60
Jarak antara asrama dan sekolah tempat Parimartha mengajar berjarak kira
kira 200 meter, sehingga dia bisa berjalan kaki ketika menuju sekolah untuk
mengajar. Hidup sendiri di perantauan bukan hal baru untuk Parimartha, tetapi
kali ini dengan lingkungan berbeda membuat dia merasa agak sulit dalam
menjalani kehidupan. Untuk kehidupan sehari hari, dia memasak sendiri dengan
makanan seadanya. Hal yang begitu sulit dirasakan oleh Parimartha ketika tinggal
di asrama, adalah sulitnya mencari air baik untuk mandi maupun kebutuhan sehari
hari.
Untuk mencari air Parimartha harus menempuh jara sekitar dua kilometer,
dan medan yang curam karena dia mencari air di pancuran subak tebing yang ada
di desa tersebut. Medan yang curam dan dekat jurang, bila terjadi hujan dan
medan menjadi basah membuat dia sulit mengambil air Jika tidak berhati hati dia
bisa terpeleset dan jatuh ke jurang. Tinggal di daerah yang berbukit, Parimartha
merasakan suasana dingin di malam hari walaupun begitu dia tetap jalani walau
terasa agak berat.
Parimartha termasuk pengajar yang disenangi oleh murid-muridnya, ada
yang membawakan sayur, jagung dan hasil kebun kebun yang diberikan oleh
muridnya untuk kebutuhannya sehari-hari di asrama. Selama mengajar di sekolah
dasar dan menjalani kehidupan dan aktivitas di asrama yang jauh dari hingar
bingar kota, tidak membuat Parimartha merasa kekurangan bahan makanan. Ada
saja orang yang datang ke asrama tempat dia tinggal, membawa hasil perkebunan
mereka untuk dijadikan sebagai bahan makanan.
61
Untuk hal makanan, Parimartha sering memakan sayuran untuk memenuhi
kebutuhan makannya sehari hari. Parimartha jarang ketika itu makan daging
sebagai lauk pauk bukan karena tidak suka makan daging, melainkan daging
ketika itu sangat sulit diperoleh di desa tersebut mengingat jarak untuk menuju
kesana sangat sulit dan medan yang berbatu dan licin. Perjuangan untuk hidup
ketika itu dirasa berat, karena jauh tinggal di desa dengan medan yang sulit.
Tentunya dia harus berjuang dan bertahan, untuk melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang pengajar.
Menjadi seorang pengajar di Sekolah Dasar di desa Pelaga, tidak membuat
keinginannya untuk terus belajar guna menambah ilmu pengetahuan menjadi
terhenti. Selain sebagai pengajar, Parimartha juga mendaftarkan diri sebagai siswa
di Sekolah Pendidikan Guru Enam Tahun (S.G.A) di Denpasar tahun 1962.
Artinya Parimartha masih tetap bisa mengajar sambil bersekolah di Sekolah Guru
Enam Tahun (S.G.A) di Denpasar. Sistem pengajaran yang diterima Parimartha
ketika masih sambil mengajar di Sekolah Dasar, adalah dia dikirimi buku-buku
pelajaran untuk dapat digunakannya sebagai bahan untuk belajar dan sesekali dia
ke sekolahnya di Denpasar untuk menemui gurunya guna mendapatkan bimbingan
atau untuk mengumpulkan tugas-tugas yang diberikan oleh sekolah.
Walaupun jarak yang jauh dan moda transportasi ketika itu masih sulit,
Parimartha tetap melanjutkan pendidikannya. Mendapatkan pengetahuan dan
ilmu, yang tentunya dapat dia jadikan bekal untuk menjalani kehidupan.
Parimartha merasakan bagaimana sulitnya dia untuk bertahan dan hidup, di desa
yang jauh dari keramaian. Walaupun begitu, karena dia harus menjalankan
62
kewajibannya sebagai seorang guru atau pengajar maka dia harus laksanakan
dengan sebaik-baiknya.
2.5.1Pengalaman Selama Menuntut Ilmu di SGA Denpasar
Sambil mengajar Parimartha melanjutkan tingkat pendidikannya ke tingkat
Sekolah guru Enam Tahun (S.G.A) di Denpasar, selama menuntut ilmu dia harus
membagi waktunya sebagai seorang guru dan sebagai seorang siswa. Sebagai
seorang guru dia harus mengajar siswa-siswanya di Sekolah Dasar di Desa Palaga,
dan sebagai seorang siswa dia harus belajar dan mengerjakan tugas - tugas yang
diberikan oleh gurunya untuk memenuhi syarat agar dapat lulus selama dia belajar
di SGA.
Mengambil kelas jauh, dia harus menunggu kiriman buku-buku yang
dikirim dari Denpasar ke asrama yang berada di Pelaga tempat kediaman
Parimartha selama mengajar di Desa Pelaga. Pada tahun 1963 Pulau Bali terkena
bencana alam tepatnya pada tanggal 18 februari 1963, Gunung Agung yang
merupakan gunung tertinggi di Bali dan berapi yang masih aktif meletus dan
mengeluarkan cairan lahar panas. Mengakibatkan hampir seluruh wilayah Bali
terkena dampaknya.
Gunung yang terletak di Kabupaten Karangasem ini meletus dan
mengeluarkan abu vulkanik dan menelan korban jiwa sebanyak 1000 orang.
Bencana ini merusak ratusan bangunan yang ada di Bali, bencana yang terjadi
hampir selama setahun ini mengakibatkan Bali mengalami kelumpuhan dan
63
bencana kelaparan dimana-mana. Letusan Gunung Agung berhenti pada tanggal
26 januari 1964.21
Dampak bencana dari Gunung Agung meletus, sampai ke kehidupan
Parimartha. Tempat dia mengajar juga terkena dampak dari letusan Gunung
Agung, hujan abu yang begitu tebal berhari hari sehingga aktfitas belajar
mengajar menjadi terganggu dan bahan makanan pun menjadi semakin sulit untuk
di dapat. Banyak tumbuhan dan hewan yang mati karena erupsi dari Gunung
Agung, Desa Tenganan DauhTukad tempat kelahiran Parimartha juga terkena
dampaknya walaupun tidak begitu parah.
Desa Parimartha menjadi tempat penampungan bagi warga korban erupsi
Gunung Agung yang berasal dari Karangasem, hal tersebut membuatnya harus
pulang sejenak menengok keluarga dan kondisi desanya yang terkena erupsi dari
Gunung Agung yang meletus. Terkena dampak dari bencana meletusnya Gunung
Agung, membuat beban yang dipikul Parimartha menjadi semakin berat. Selain
menjalankan tugas sebagai pengajar, dia harus mengurus keluarganya di
Karangasem yang terkena dampak dari erupsi Gunung Agung. Dia akhirnya
meminta ijin pulang untuk menengok keluarganya dan kondisi desanya yang
terkena dampak dari erupsi Gunung Agung, setelah mendapat ijin dia akhirnya
pulang ke desa nya di Karangasem.
21
Hoeda Manis, Buku Pintar Sejarah dan Pengetahuan Abad 20,
(Yogyakarta:Trans Idea Publishing, 2013), p.367. Lihat juga Klauddia Histordia
Kleden: “ Biografi Cendikiawan Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.
Tahun 1948- 2012”, Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana, belum dipublikasikan.
64
Sesampainya Parimartha di desanya yakni Desa Tenganan DauhTukad, dia
mendapati kampungnya menjadi tempat pengungsian untuk korban korban
bencana Gunung Agung meletus yang berasal dari Karangasem. Rumah
Parimartha sendiri menjadi tempat pengungsian untuk tiga keluarga, dia sempat
menjadi panitia untuk mengurus para pengungsi yang datang ke desanya. Dia
bertugas untuk mendistribusikan bantuan, dari para donatur untuk para pengungsi
yang ada di desanya. 22
Bantuan yang didistribusikan oleh Parimartha ketika itu, adalah bahan
bahan makanan seperti jagung dan ketela. dia juga bertugas mendistribusikan
bantuan kepada para pengungsi yang ada di desanya, berupa pakaian bekas untuk
dapat dipergunakan oleh para pengungsi. Setelah keadaan di desanya mulai
kondusif Parimartha memutuskan untuk kembali ke desa Pelaga, tempat dia
mengajar sebagai guru di sekolah dasar tersebut untuk kembali menjalani
aktivitasnya sebagai seorang pengajar di sekolah dasar negeri di desa Pelaga.
Ketika kembali ke desa Pelaga untuk melanjutkan tugasnya sebagai guru,
dia mendapati sekolah tempatnya mengajar dipenuhi oleh pasir dan debu yang
beterbangan akibat dari sisa-sisa erupsi dari Gunung Agung. Aktivitas belajar
mengajarpun menjadi terganggu, namun hal tersebut tidak menjadi halangan bagi
Parimartha dan kawan-kawan seprofesinya untuk tetap mengajar. Menjadi seorang
guru sekaligus menjadi seorang siswa, membuat Parimartha harus menyiapkan
tenaga lebih kuat agar dia mampu menjalankan dua aktivitas tersebut.
22
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha Sama dengan di depan.
65
Penghasilan yang kecil yang dia peroleh dari profesinya sebagai seorang
guru, hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu dia harus
menanggung bdiaya pendidikan nya selama mengikuti pendidikan di SPG
Denpasar. Dia sempat mengeluhkan tentang penghasilan guru, yang saat itu jauh
dari kata layak mengingat dia hidup jauh dari orang tua dan desanya. Banyak
rekan-rekan Parimartha yang seprofesi dengannya, mengambil kerja sampingan
seperti berjualan kain dan bahkan ada yang sampai berhenti menjadi guru karena
tidak kuat menahan beban hidup dan kebutuhan yang semakin hari semakin
bertambah. 23
Ada pengalaman unik ketika Parimartha akan mengajar ke sekolah Dasar
di desa Pelaga, ketika itu dia berani menggunakan sandal ke sekolah karena dia
tidak punya uang untuk membeli sepatu. Sesampainya di sekolah dia ditegur oleh
kepala sekolahnya, karena dia menggunakan sandal saat akan mengajar. Dengan
polosnya Parimartha menjawab, jangankan untuk membeli sepatu uang untuk
makan saja sudah pas-pasan.
Mendengar kata-kata tersebut kepala sekolah nya hanya bisa diam,
mengingat penghasilan guru ketika itu memang kecil. Apalagi Bali habis terkena
bencana alam Gunung Agung Meletus, sehingga bahan makanan dan harga barang
mulai melambung tinggi harganya. Parimartha dan guru-guru yang lain juga
mendapatkan bantuan pangan dari Pemerintah, karena sulitnya mencari bahan
makanan pasca Gunung Agung meletus. Bahan makanan merupakan hal yang
paling sulit dicari akibat dari erupsi letusan Gunung Agung.
23
Hasil wawancara dengan I Gde Parimartha sama dengan di depan.
66
dia sempat hanya mengkonsumsi jagung, untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari hari. Parimartha mengolah jagung kering tersebut, dengan cara
direbus agar lunak untuk dimakan. Parimartha sempat ijin selama dua minggu,
untuk kembali menengok keluarganya di Karangasem dan mengurus para
pengungsi yang ada di desanya. Sempat lama ijin tidak mengajar dia sempat
ditegur oleh kepala sekolah dan dinas Pendidikan Provinsi Bali karena lama tidak
mengajar, Parimartha memaparkan bahwa keadaan keluarga dan desanya
memerlukan bantuannya untuk mengurus para pengungsi.
Memang teguran itu menyakitkan hati Parimartha, karena dia pulang
untuk mengurusi sanak keluarga dan korban bencana alam yang mengungsi di
rumahnya. berbekal keberanian dan prinsip bahwa dia benar dan tidak melanggar
prosedur maka dia membela diri dan akhirnya dia mengadukannya ke dinas
pendidikan kabupaten badung. Sampai disana, akhirnya Parimartha diberikan
solusi yaitu dengan dipindah tugaskan ke Sekolah Dasar negeri di Kerobokan.
Akhirnya setelah mengabdi selama empat tahun di Sekolah Dasar Negeri
di Desa Pelaga Parimartha pindah ke Sekolah Dasar Negeri kerobokan pada
tahun 1964. Setelah pindah akhirnya Parimartha dapat fokus menyelesaikan
pendidikan sekolah jauhnya di Sekolah Guru Enam Tahun (S.G.A) Denpasar
karena sudah dekat dengan kota dan akhirnya dia dinyatakan lulus dari Sekolah
Pendidikan Guru di Denpasar pada tahun 1965.24
Dia pun berhasil menyelesaikan
pendidikannya di ( S.G.A) Denpasar.
24
“Surat keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Republik
Indonesia No: 118859/ Idjazah/1965”, (Arsip Bidang Kepegawaian Fakultas
Sastra dan Budaya Universitas Udayana ).