BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pajak II.1.1. Definisi dan...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pajak II.1.1. Definisi dan...
8
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Pajak
Pajak merupakan sumber potensial bagi penerimaan Negara karena Negara
sangat mengandalkan penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran Negara baik
pengeluaran rutin maupun untuk pembangunan.
II.1.1. Definisi dan Unsur-Unsur Pajak
Soemitro, seperti yang dikutip oleh Ilyas dan Burton (2004) mendefinisikan,
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h. 5).
Soemahamidjaja, seperti yang dikutip oleh Waluyo (2005) mendefinisikan,
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum” (h. 3).
Adriani, seperti yang dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-undang) dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan” (h.10).
9
Mengacu pada Mardiasmo (2006), pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan
barang).
2. Berdasarkan Undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran
yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
II.1.2. Fungsi Pajak
Mengacu pada Waluyo (2005), terdapat dua fungsi pajak yaitu :
1) Fungsi Penerimaan ( Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak
dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
2) Fungsi Mengatur (regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang
sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi
terhadap minuman keras, dan terhadap barang mewah.
10
II.1.3. Pengelompokan Pajak
Mengacu pada Mardiasmo (2006), Pajak dapat dikelompokan menjadi beberapa
kelompok yaitu sebagai berikut :
1) Menurut golongannya
a. Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai.
2) Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya : Pajak Penghasilan
b. Pajak objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
3) Menurut lembaga pemungutnya
a. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga Negara. Contohnya : Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya : Pajak Kendaraan Bermotor dan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak
Hiburan.
11
II.1.4. Sistem Pemungutan Pajak
Mengacu pada Waluyo (2005), sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:
a) Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pemerintah ( fiskus ) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang..
b) Self Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar.
c) With Holding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak.
II.1.5. Tarif Pajak
Mengacu pada Mardiasmo (2006), terdapat empat macam tarif pajak, yaitu :
a. Tarif sebanding/proposional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang
dikenai pajak.
b. Tarip tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
12
c. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 17 tentang Pajak Penghasilan
dalam Undang-undang pajak (2001), tarif yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi :
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tabel 2.1
b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Tabel 2.2
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10%
Diatas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15%
Diatas Rp 100.000.000,00 30%
d. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5%
Diatas Rp 25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10%
Diatas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15%
Diatas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 200.000.000,00 25%
Diatas Rp 200.000.000,00 35%
13
II. 2. Pajak Penghasilan
II.2.1. Definisi Penghasilan
Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) tentang Pajak
Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001) mendefinisikan, “Penghasilan adalah
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun” (h 80).
Suandy (2006) mendefinisikan “Penghasilan (income) adalah penambahan aktiva
atau penurunan kewajiban yang m engakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari
kontribusi penanaman modal (h. 86).
II.2.2. Definisi Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Ditinjau dari lembaga
pemungutnya, Pajak Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari
sifatnya dikategorikan sebagai pajak subjektif dan ditinjau dari golongannya
dikategorikan sebagai pajak langsung.
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) mendefinisikan, “Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas
penghasilan kena pajak perusahaan” (h. 46.2).
Suandy (2006) mendefinisikan, “Pajak penghasilan adalah pajak atas laba atau
penghasilan kena pajak yang dapat mengurangi besarnya penghasilan bersih setelah
pajak (after tax return)” (h. 12).
14
II.2.3. Subjek dan Non Subjek Pajak Penghasilan
• Subjek Pajak Penghasilan
Mengacu pada Djuanda dan Lubis (2006), yang termasuk subjek pajak adalah :
1). a. Orang pribadi
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2) Badan
3) Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 2 tentang Pajak Penghasilan
dalam Undang-undang pajak (2001) menyatakan bahwa Subjek Pajak terdiri dari :
1) Subjek Pajak dalam negeri adalah :
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c) Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2) Subjek pajak luar negeri adalah :
a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
15
belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
• Non Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 3 tentang Pajak Penghasilan
dalam Undang-undang pajak (2001) yang tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
1) Badan perwakilan negara asing.
2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat :
a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut,
b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota.
4) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
16
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
II.2.4. Objek dan Non Objek Pajak Penghasilan
• Objek Pajak Penghasilan
Mengacu pada Mardiasmo (2006), yang termasuk objek pajak sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh tahun 2000 adalah sebagai berikut :
a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang PPh.
b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c) Laba usaha.
d) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha.
4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
17
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
g) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
h) Royalti.
i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n) Premi asuransi.
o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
• Non Objek Pajak Penghasilan
Mengacu pada Mardiasmo (2006), yang tidak termasuk objek pajak sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3 )UU PPh tahun 2000 adalah sebagai berikut :
18
a. 1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak.
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Warisan.
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi
beasiswa.
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia :
1) Dividen berasal dari cadangan laba ditahan, dan
2) Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor
dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
19
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi.
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan
2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
II.2.5. Biaya Fiskal dan Non Fiskal
• Biaya Fiskal
Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 6 ayat (1) tentang Pajak
Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001), menyatakan bahwa yang termasuk
sebagai biaya fiskal atau biaya-biaya yang diperbolehkan mengurangi penghasilan bruto
untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, adalah sebagai berikut :
20
a) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi dan pajak kecuali Pajak Pengasilan.
b) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A.
c) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
e) Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g) Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
h) Piutang yang nyata-nyatanya tidak dapat ditagih, dengan syarat :
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan.
3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, dan
21
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
• Biaya Non Fiskal
Mengacu pada Setiawan (2004), biaya yang termasuk sebagai biaya non fiskal
atau biaya yang bukan merupakan pengurang penghasilan bruto yang terkait dengan
Wajib Pajak badan didasarkan atas Pasal 9 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk pembayaran
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi, pembagian laba dan gaji
yang dibayarkan Wajib Pajak yang berbentuk CV dan sejenisnya yang tidak terbagi
atas saham serta semua biaya yang terkait dengan pembagian laba.
b) Biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti
perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar
perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha
asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan
dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib
Pajak yang bersangkutan.
22
e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan yang tidak ada
hubungan usaha, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh Pemeluk agama Islam kepada badan amil Zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
h) Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya.
j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
II.3. Rekonsiliasi Fiskal
Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial
dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
23
Pajak. dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, Wajib Pajak harus mengacu kepada
peraturan perpajakan sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan
standar akuntansi keuangan harus disesuaikan atau dikoreksi terlebih dahulu sebelum
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Mengacu pada Mansur (2005), mendefiniskan bahwa “Rekonsiliasi Fiskal adalah
suatu penyesuaian pelaporan penghasilan Wajib Pajak secara komersial dengan
ketentuan Undang-undang perpajakan yang pada akhirnya dihasilkan laba atau rugi
fiskal (h. 150).
Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal
dapat dikelompokan menjadi dua yaitu perbedaan waktu (timing differences) dan
perbedaan tetap (permanent differences).
Mengacu pada Suandy (2006), perbedaan waktu (timing differences) adalah
perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan
penghasilan dan beban antara peraturan perpajakn dengan standar akuntansi keuangan,
sedangkan perbedaan tetap (permanent differences) adalah perbedaan yang terjadi
karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba
menurut standar akuntansi keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari.
II.4. Pengelakan Pajak
II.4.1. Penyelundupan Pajak
Barr, James, dan Prest, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan,
“Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara illegal atas
penghasilannya untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang” (h. 50).
24
Anderson, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penyelundupan
pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak” (h. 50).
Mengacu pada pendapat Oliver Oldman yang telah dikutip oleh Zain (2003),
menegaskan bahwa pengertian penyelundupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan
dan penggelapan dalam segala bentuknya, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi
kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh :
a) Ketidaktahuan (ignorance), yaitu Wajib Pajak tidak sadar atau tidak tahu akan
adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut.
b) Kesalahan (error), yaitu Wajib Pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan
peraturan perundang-undang perpajakan, tetapi salah hitung datanya.
c) Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu Wajib Pajak salah menafsirkan
ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan.
d) Kealpaan (negligence), yaitu Wajib Pajak alpa untuk menyimpan buku beserta bukti-
bukti secara lengkap.
II.4.2. Penghindaran Pajak
Barr, James, dan Prest, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan,
“Penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang
masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang” (h. 50).
Anderson, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penghindaran
pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan
pajak” (h. 50).
25
II.5. Manajemen Pajak
Suandy (2006) mendefinisikan, “Manajemen pajak adalah sarana untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat
ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”(h.7).
Tiga fungsi manajemen pajak yang digunakan untuk mencapai tujuan dari
manajemen pajak itu sendiri adalah sebagi berikut :
a) Perencanaan pajak (tax planning)
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini
dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud
dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Tindakan
penghematan pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi
ketentuan perpajakan (lawful) atau disebut dengan istilah tax avoidance maupun yang
melanggar peraturan perpajakan (unlawful) atau disebut dengan istilah tax evasion.
b) Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)
Langkah selanjutnya setelah menyeleksi tindakan penghematan pajak yang akan
dilakukan adalah mengimplementasikannya secara formal maupun material.
c) Pengendalian pajak (tax control)
Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah
dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan
formal dan material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan
pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting
dalam strategi penghematan pajak, misalnya dalam melakukan pembayaran pajak pada
saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih
awal.
26
II.6. Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak
Mengacu pada Suandy (2006), banyak motivasi yang mendasari dilakukannya
suatu perencanaan pajak, tetapi semua itu bersumber dari tiga unsur perpajakan yaitu :
a) Kebijaksanaan perpajakan (tax policy).
Kebijaksanaan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran
yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijaksanaan pajak,
faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak antara lain adalah
jenis pajak yang akan dipungut, siapa yang akan dijadikan subjek pajak, apa saja yang
merupakan objek pajak, berapa besarnya tarif pajak dan bagaimana prosedurnya.
b) Undang-undang perpajakan (tax law).
Kenyataan menunjukan bahwa dimanapun tidak ada Undang-undang yang
mengatur setiap permasalahan secara sempurna, oleh karena itu dalam pelaksanaannya
selalu diikuti oleh ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak). Tidak jarang ketentuan
pelaksanaan tersebut bertentangan dengan Undang-undang itu sendiri karena
disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan yang lain
yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi
Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk
digunakan perencanan pajak yang baik.
c) Administrasi perpajakan (tax administration).
Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak
dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya
perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan Wajib Pajak akibat dari begitu luasnya
peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
27
II.7. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak
Mengacu pada Suandy (2006), agar perencanaan pajak (tax planning) dapat
berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perencanaan itu seharusnya dilakukan
melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut :
a) Analisis informasi (data base) yang ada.
Tahap pertama dari proses pembuatan tax planning adalah menganalisis
komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung
seakurat mungkin beban pajak (tax burden) yang harus ditanggung.
b) Buat satu model atau lebih rencana besarnya pajak.
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas
tindakan-tindakan berikut :
1. Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional.
2. Pemilihan dari negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi
residen dari negara tersebut.
3. Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
c) Evaluasi atas perencanaan pajak.
Agar perencanaan pajak dapat berhasil diperlukan juga suatu evaluasi,
dimana evaluasi ini dilakukan untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu
perencanaan pajak terhadap beban pajak (tax burden), perbedaan laba kotor dan
pengeluaran selain pajak atas berbagai alternative perencanaan.
d) Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak.
Hasil suatu perencanaan pajak bisa dikatakan baik atau tidak tentunya harus
dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang
terbaik atas suatu perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan
28
operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai
bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. Kadang suatu rencana harus diubah
mengingat adanya perubahan peraturan atau perundang-undangan. Tindakan
perubahan harus tetap dijalankan. Walaupun diperlukan penambahan biaya atau
kemungkinan keberhasilan sangat kecil. Sepanjang masih besar penghematan pajak
(tax saving) yang bisa diperoleh, rencana tersebut harus tetap dijalankan. Karena
bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal.
Jadi tetap akan sangat membantu jika pembuatan suatu rencana disertai
dengan pemberian gambaran beberapa presentase kesuksesan dan di lani pihak
beberapa potensial laba (benefit) yang akan diperoleh jika berhasil disertai potensial
kerugian (loss) jika terjadi kegagalan.
e) Mutakhirkan rencana pajak.
Meskipun rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan
namun juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari
Undang-undang maupun pelaksanaannya di Negara dimana aktivitas tersebut
dilakukan yang mungkin mempunyai dampak terhadap komponen dari suatu
perjanjian, yang berkenaan dengan perubahan yang terjadi di luar negeri atas
berbagai macam pajak maupun aktivitas informasi bisnis yang tersedia sangat
terbatas.
Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang
maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi
akibat yang merugikan dari adanya perubahan dan pada saat yang bersamaan mampu
mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
29
II.8. Perencanaan Pajak Dalam Meminimalkan Beban Pajak
Mengacu pada Suandy (2006), beberapa strategi untuk meminimalkan beban
pajak yaitu antara lain sebagai berikut :
a) Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum yang tepat sesuai
dengan kebutuhan, jenis usaha dan memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan.
b) Mengambil keuntungan semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan
atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh UU.
c) Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang.
d) Memilih sewa guna usaha atau pembelian langsung dalam pendanaan aktiva tetap.
e) Pemilihan metode penilaian persediaan.
f) Pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan oleh peraturan perpajakan.
g) Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi yang
bukan obyek pajak.
h) Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan.
i) Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan
pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo.
j) Menghindari pemeriksaan pajak. dan menghindari pelanggaran terhadap peraturan
perpajakan yang berlaku.
Mengacu pada Suandy (2006), beberapa strategi yang dapat digunakan untuk
meminimalkan beban PPh Badan yaitu antara lain sebagai berikut :
a) Pembukuan. Cash basis atau accrual basis.
Pada basis kas, biaya dicatat pada saat dibayar sedangkan pada basis akrual,
biaya dicatat pada saat terjadi. Jadi dari sisi efisiensi beban pajak lebih menguntungkan
memilih basis akrual.
30
b) Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan kepada
karyawan.
Strategi efisiensi PPh yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan yaitu:
1) Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan
tarif tertinggi (diatas Rp 100 juta) dan pengenaan PPh badan yang tidak final,
diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam
bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan
sebagai biaya.
2) Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final, sebaiknya
memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan
(fringe benefit), karena pemberiaan natura dan kenikmatan kepada karyawan
tidak termasuk objek PPh Pasal 21.
3) Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe
benefit) akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
c) Pemilihan metode penilaian persediaan.
Untuk efisiensi pajak, terutama dalam kondisi perekonomian yang mengalami
inflasi dimana harga-harga barang cenderung naik, maka metode rata-rata (average)
akan menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih tinggi dibanding dengan metode
FIFO. Harga pokok penjualan yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi
lebih kecil sehingga penghasilan kena pajak juga akan menjadi lebih kecil.
d) Pemilihan sumber dana dalam pengadaan aktiva.
Untuk efisiensi beban pajak sewa guna usaha dengan hak opsi sebaiknya dipilih
dari pembelian langsung karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur
aktiva dan pembayaran leasing dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan demikian aktiva
31
tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui penyusutan jika pembelian
dilakukan secara langsung.
e) Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud.
Untuk efisiensi beban pajak, sebelum menentukan metode mana yang akan
digunakan terlebih dahulu seorang tax planner harus melihat kondisi perusahaan yang
bersangkutan. Jika kondisi perusahaan adalah laba dan besarnya penghasilan kena pajak
sudah mencapai tarif pajak tertinggi, maka metode saldo menurun menguntungkan tetapi
sebaliknya jika kondisi perusahaan rugi maka lebih baik memilih metode garis lurus.
f) Transaksi yang berkaitan dengan withholding tax.
Selain sebagai pembayar pajak, perusahaan juga sebagai pemotong pajak
terhadap pihak ketiga (withholding tax). Masalah yang sering timbul adalah pihak yang
bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila perusahaan tidak memotong
withholding tax (misalnya PPh Pasal 23 atas jasa konsultan), maka perusahaan akan
menanggung akbitnya jika dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena perusahaan akan
dikenakan kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud dan ditambah denda
bunga atas keterlambatan penyetoran sebesar 2 % sebulan dari pokok pajak. Untuk
mengatasinya maka perusahaan sebaiknya menggross up nilai transaksi agar nilai
tersebut sudah termasuk pajak, karena jika perusahaan hanya membayar PPh Pasal 23
tersebut, maka PPh yang dibayar oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
g) Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar.
Wajib Pajak dapat mengoptimalkan pengkreditkan pajak yang telah dibayar sebagai
strategi untuk meminimalkan beban pajak, karena pengkreditkan pajak lebih
menguntungkan daripada dibebankan sebagai biaya. Keuntungan yang diperoleh sebesar
70 % dari nilai pajak yang dikreditkan (dengan asumsi PKP telah mencapai tarif 30 %).