BAB II LANDASAN TEORI II. A. Keterampilan Sosial II. A.1...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II. A. Keterampilan Sosial II. A.1...
15
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Keterampilan Sosial
II. A.1. Definisi Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi
efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan
perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu
mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan
interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam
Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih
berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang
dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka
tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri
maupun orang lain.
Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995)
mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk
menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh
lingkungan. Kelly (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mendefinisikan keterampilan
sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu
pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik
secara langsung maupun tidak membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri
Universitas Sumatera Utara
16
dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di
sekelilingnya (Matson, dalam Gimpel & Merrell, 1998).
Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan
yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja
madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk
dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan-
keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin
hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain,
mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima
feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang
berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase
tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek
psikososial dengan maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial
merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap
perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian
yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh
pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.
II.A.2. Arti Penting Keterampilan sosial
Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6 hasil penting dari memiliki
keterampilan sosial, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
17
1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas
Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas
karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya
dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain,
individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat
mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk
mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang
dirinya.
2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan
Kesuksesan Karir
Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja,
produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum
yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling
penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi,
mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi
situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain
yang berhubungan dengan dunia kerja.
3. Meningkatkan Kualitas Hidup
Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari
keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang
baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya.
Universitas Sumatera Utara
18
4. Meningkatkan Kesehatan Fisik
Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi
kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi
berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat
dari sakit.
5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat
dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain.
Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang
positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi,
frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun
hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress
psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.
6. Kemampuan Mengatasi Stress
Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan
sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling
mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan
mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu
dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan
feedback.
II.A.3. Ciri-ciri Keterampilan Sosial
Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998)
mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
19
1. Perilaku Interpersonal
Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut
keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang
disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.
2. Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri
Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur
dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi
stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan
sebagainya.
3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis
Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi
belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan
sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.
4. Penerimaan Teman Sebaya
Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan
sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena
mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang
dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi, dapat menangkap
dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.
5. Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan
sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap
lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif.
Universitas Sumatera Utara
20
Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial, menurut
Eisler dkk (L’Abate & Milan, 1985) adalah: orang yang berani berbicara,
memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat,
memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat
meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik,
serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya. Sementara Philips (dalam
L’Abate & Milan, 1985) menyatakan ciri-ciri individu yang memiliki
keterampilan sosial meliputi: proaktif, prososial, saling memberi dan menerima
secara seimbang.
II.A.4. Dimensi Keterampilan Sosial
Caldarella dan Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan 5
(lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu :
1. Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation), ditunjukkan
melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau
menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan
bermain bersama orang lain.
2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang
memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya,
mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima
kritikan dengan baik.
3. Kemampuan akademis (Academic), ditunjukkan melalui
pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual,
menjalankan arahan guru dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
21
4. Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat
mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan
membagikan sesuatu.
5. Perilaku assertive (Assertion), didominasi oleh kemampuan-
kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku
yang tepat dalam situasi yang diharapkan.
Tabel 1
Dimensi Umum Keterampilan Sosial
Dimensi Pola Perilaku
Hubungan dengan teman sebaya (peer
relation)
Interaksi sosial, prososial, empati,
partisipasi sosial, sociability-leadership,
kemampuan sosial pada teman sebaya.
Manajemen diri (Self-management) Kontrol diri, kompetensi sosial,
tanggung jawab sosial, peraturan,
toleransi terhadap frustasi.
Kemampuan akademis (academic) Penyesuain sekolah, kepedulian pada
peraturan sekolah, orientasi tugas,
tanggung jawab akademis, kepatuhan di
kelas, murid yang baik.
Kepatuhan (Compliance) Kerjasama secara sosial, kompetensi,
cooperation-compliance
Perilaku Asertif (Assertion) Keterampilan sosial asertif, social
initiation, social activator, gutsy
Universitas Sumatera Utara
22
II.A.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial
Hasil studi Davis dan Forsythe (Mu’tadin, 2006), terdapat 8 aspek yang
mempengaruhi keterampilan sosial dalam kehidupan remaja, yaitu :
1. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam
mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam
keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap
lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak
harmonis (broken home) di mana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis
yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan ketrampilan sosialnya.
Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan
suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin
komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya.
Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka
segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang
kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, dsb. hanya akan
memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana
menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan
sosial antara satu sama lain menjadi rusak.
2. Lingkungan
Sejak dini anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan.
Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah,
pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga). Lingkungan juga meliputi
lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah
Universitas Sumatera Utara
23
dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak
dini anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang
luas, tidak hanya terdiri dari orang tua, saudara, atau kakek dan nenek saja.
2. Kepribadian
Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari
kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil
tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang
sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai
seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki
penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya
orang tua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan
martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau
penampilan.
3. Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri
Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal
anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan
kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat
bereaksi secara wajar dan normatif. Agar anak dan remaja mudah
menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua / pendidik
adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima
dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb.
Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan
balik dari orang lain / kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan
Universitas Sumatera Utara
24
memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain /
kelompok.
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial
dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor keluarga, lingkungan, serta
kemamapuan dalam penyesuaian diri.
II.B. Homeschooling
II.B.1. Sejarah Homeschooling
Setiap kegiatan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses yang
sangat penting dan diharapkan dapat mengarah ke suatu tujuan. Gambaran
kepercayaan masyarakat abad 20 ini terhadap pendidikan berkembang sama
luasnya dengan perluasan pendirian sekolah-sekolah umum dan diberlakukannya
undang-undang wajib belajar. Asumsi sekolah sebagai hal yang dibutuhkan dalam
pendidikan anak didik begitu besar, sehingga meskipun banyak perdebatan
mengenai bentuk sekolah dan bahan-bahan yang harus diajarkan, tetap saja
sekolah menjadi suatu lembaga yang tidak tergantikan (Griffith, 2006).
Tapi, seiring perkembangan zaman, timbullah suatu pengecualian-
pengecualian. Sebagian anak yang tinggal di daerah yang terpencil dan terlalu
jauh dari sekolah formal menyulitkan mereka untuk datang ke sekolah. Kemudian
sebagian lainnya merasa tidak tahan berada di sekolah atau datang dari keluarga
dengan ide-ide yang tidak tradisional mengenai makna pembelajaran (Griffith,
2006).
Para pembelajar yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur
pendidikan yang berbeda. Hingga pada akhirnya John Holt di akhir tahun 1970-an
Universitas Sumatera Utara
25
mempelopori terbentuknya sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977,
Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak 4 halaman, yang berjudul
‘Growing Without Schooling’ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga
yang menginginkan ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka
belajar di luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang juga
memikirkan hal yang serupa, dan dalam waktu singkat banyak yang
mendukungnya.
Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk
menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun,
hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah
(homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan
menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus
sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya
terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari
homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith,
2006).
Menurut data dari National Household Education Surveys Program
(NHES) seperti dikutip dari National Center for Education Statistics, di Amerika
Serikat, pada tahun 2003 terdapat sekitar 1,096,000 anak yang homeschooling.
Empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999, terdapat sekitar 850.000 anak (sekitar
1,7 % dari populasi usia sekolah) yang homeschooling. Hal ini berarti terjadi
peningkatan sekitar 0,5 % jumlah anak yang mengikuti program pendidikan
homeschooling .
Universitas Sumatera Utara
26
Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap para orang tua,
mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka.
Sekitar 31 % orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30 %
mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan
berikutnya, sekitar 16 % adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di
sekolah.
II.B.2. Sejarah Homeschooling di Indonesia
Negara menjamin adanya pendidikan di Indonesia, seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Garis-Garis Besar
Haluan Negara di sektor pendidikan.
Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan
sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan
sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa
kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan
bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk
menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan
pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan
jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2001).
Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk
ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam
sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di
Universitas Sumatera Utara
27
sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai
dengan menyiksa anak, namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan
resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya.
Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan
tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang
juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung
es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).
Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang
diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat
tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif
yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak,
sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini
yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah
(homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal.
Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai
permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian
dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).
Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan
dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua
terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran
sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang
memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah
Universitas Sumatera Utara
28
menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan
pelajaran oleh orang tua.
Ibuka (dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan
anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri.
Pendidikan anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru
pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam
rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih
cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada
homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah
orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk
memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk
bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah kesehatan, seorang satpam
untuk belajar bela diri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan
kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada
dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik menjadi
lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa
saja.
Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap
kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri
anaknya di rumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang
berlaku. Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh
ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh
pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah
(SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di
Universitas Sumatera Utara
29
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai
tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh
ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan
pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.
II.B.3. Pengertian Homeschooling
Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sebagai suatu situasi
pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam
subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau
orang yang ahli.
Homeschooling merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada
umumnya anak diajarkan oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkungan yang
non-tradisional (Wichers, 2001).
Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana
pembelajaran yang menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan
sedikit supervisi. Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal,
dan mengoptimalkan kreativitasnya.
Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan
sebuah pendidikan yang dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah,
serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak.
Pada dasarnya homeschooling bersifat unik, karena setiap keluarga
mempunyai nilai dan latar belakang berbeda, setiap keluarga akan melahirkan
pilihan-pilihan model homeschooling yang unik.
Universitas Sumatera Utara
30
Sekolah rumah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Sekolah Rumah Tunggal
Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh orang
tua dalam satu keluarga yang dalam pelaksanaannya dengan sengaja
tidak bergabung dengan keluarga lain yang menerapkan sekolah rumah
tunggal lainnya.
Format sekolah rumah tunggal biasanya dipilih oleh keluarga yang
ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan
homeschooling. Mereka bertanggunjawab sepenuhnya atas seluruh
proses yang ada dalam homeschooling, mulai perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana
pendidikan. Dalam format ini, keluarga biasanya menggunakan
fasilitas keluarga atau sarana-sarana umum sebagai penunjang kegiatan
belajar putra-putrinya.
2. Sekolah Rumah Majemuk
Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh dua atau
lebih keluarga sekolah rumah yang memilih untuk menyelenggarakan
satu atau lebih kegiatan bersama-sama. Dalam sekolah rumah
majemuk setiap keluarga tetap memiliki fleksibilitas untuk
menjalankan kegiatan inti maupun kegiatan lainnya secara mandiri.
Format sekolah rumah ini memberikan kemungkinan pada
keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang
dimiliki tiap keluarga. Sebuah keluarga dapat melakukan pertukaran
keahlian untuk mnegekspos anak-anak pada keahlian lain yang tidak
Universitas Sumatera Utara
31
dimiliki oleh sebuah keluarga. Selain itu, format sekolah rumah ini
juga dapat menambah sosialisasi sebaya (horizontal socialization)
dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling.
3. Sekolah Rumah Komunitas
Merupakan gabungan beberapa sekolah rumah majemuk yang
menyusun dan menentukan silabus serta bahan ajar bagi anak-anak
sekolah rumah. Berbeda dengan sekolah rumah tunggal / majemuk,
Komunitas Sekolah Rumah menyelenggarakan proses belajar mengajar
dalam keluarga dengan komitmen orang tua dan komunitas dengan
perbandingan tertentu, misalnya: 50 : 50.
Menurut panduan yang diterbitkan Depdiknas, pertimbangan
pelaksanaan Komunitas Sekolah Rumah adalah untuk membuat
struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas
pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia,
pengembangan intelegensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran,
penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standard mutu tertentu tanpa
menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam
keluarga dan lingkungannya.
II.B.4. Legalitas Homeschooling di Indonesia
Ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di
Indonesia (http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=
view&id=314&Itemid=80), yaitu:
1. formal, yaitu: SD, SMP, SMU, dan universitas.
Universitas Sumatera Utara
32
2. non formal, yaitu: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan
sejenis.
3. informal, yaitu: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri,
salah satunya adalah homeschooling.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, homeschooling merupakan jalur
pendidikan informal. Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20 / 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 27 ayat (1), yaitu:
"Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri"
Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal,
kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal
dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20 / 23, pasal 27 ayat
(2).
Ketika banyak pihak yang melaksanakan homeschooling bergabung dan
menyusun atau menentukan silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka
itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar.
Komunitas Belajar merupakan satuan pendidikan jalur non formal. Acuan
dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (4):
"Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis."
Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat
mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal.
Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (6):
Universitas Sumatera Utara
33
"Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan."
Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan
melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan
Komunitas Belajar sebagai berikut:
1. Mendaftarkan kesiapan orang tua / keluarga untuk menyelenggarakan
pembelajaran di rumah / lingkungan kepada Komunitas Belajar.
2. Berhimpun dalam suatu komunitas.
3. Mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan
kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota setempat.
4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar
yang diikutinya.
5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara menyeluruh
dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar yang
diselenggarakannya.
6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.
7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara
berkala per semester.
8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam
Ujian Nasional.
Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah
berkewajiban untuk:
Universitas Sumatera Utara
34
1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang
menjadi anggotanya.
2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.
3. Memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta didik
sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.
II.B.5. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling
Alifa (2006) mengatakan bahwa keberhasilan homeschooling dipengaruhi
oleh beberapa faktor berikut ini (http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3
?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:
1. Kedisiplinan dan Komitmen
Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang
disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu. Namun,
orang tua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama perihal
waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak melanggarnya.
Terlewat satu hari berarti telah melewatkan beberapa materi yang harus
dipelajari.
2. Mengenali Kemampuan Anak
Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor
dapat memberikan materi yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh
memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya
frustrasi.
Universitas Sumatera Utara
35
3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan
Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi
belajar di mana saja, di dalam ruangan, di luar ruangan, dan di sekitar
rumah, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.
4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi
Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan
cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang melibatkan
anak-anak sebayanya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat anak
sehingga semangat selalu menyertainya.
5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran
Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam
hal teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang
disampaikan. Mengakses informasi di internet, televisi, surat kabar, buku,
dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan sangat membantu.
II.C Program Reguler
Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur,
tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat
menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara
umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang
memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan
selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD
dan tiga tahun di SMP/SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler
Universitas Sumatera Utara
36
maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai
dengan delapan jam (Balitbag Depdikbud, 1986)
Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan
kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau
siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan
mereka.
II.D Remaja
Istilah adolescence atau remaja (Hurlock, 1999) berasal dari kata latin
adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Pengertian adolescence atau
remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Masa remaja adalah suatu masa peralihan, periode transisi antara masa
kanak-kanak dan dewasa yang mensyaratkan suatu perubahan-perubahan biologis,
kognitif dan psikososial individu (Santrock, 2001). Awal masa remaja
berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun enam belas tahun, dan akhir masa
remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas
tahun, yaitu usia matang secara hukum. Lazimnya masa remaja dianggap mulai
pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia
matang secara hukum. Pada umumnya remaja masih belajar di Sekolah Menengah
atau Perguruan tinggi (Hurlock, 1999).
Hurlock (1998) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan
remaja adalah untuk mencapai kematangan emosional. Perkembangan emosi yang
terjadi pada masa remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh seperti
lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya serta
Universitas Sumatera Utara
37
aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Jadi seberapa jauh remaja dapat
mengadakan hubungan dengan orang lain tergantung pada kualitas interpersonal
yang diciptakannya.
II.E. Perbedaan Keterampilan Sosial antara siswa Homeschooling dan siswa
yang mengikuti Program Reguler
Saat ini di Indonesia program pendidikan homeschooling sudah semakin
meluas dan cukup dikenal. Banyak para para pendidik dan tokoh masyarakat
menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program
pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orang tua di dalamnya.
Pemerintah juga telah memberikan perhatian pada homeschooling, karena
homeschooling sudah ada landasan hukumnya, dan telah diakui oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Saat ini para peserta homeschooling bisa mendapatkan
ijazah juga seperti di sekolah formal.
Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang
tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan mendidik anak
yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua. Dewey
mengatakan (dalam Lines, 2000) orang tua yang lebih mengenal karakter, minat,
dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang paling
sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Dan tentu saja orang tua
juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang
metode belajar dan pembelajaran. Selanjutnya orang tua bisa mengundang siapa
saja untuk memberikan transfer keahlian untuk anak-anaknya, bisa seorang
mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah
Universitas Sumatera Utara
38
kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang cleaning service untuk
kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain
sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka wawasan anak-anak akan
menjadi lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh
siapa saja (Yulfiansyah, 2006).
Namun, tidak sedikit pula pihak yang pesimis dengan pelaksanaan
program homeschooling ini. Pelaksanaan homeschooling kebanyakan dilakukan di
rumah dengan melibatkan peran orang tua sebagai guru atau tutor yang
didatangkan. Sebagian kekhawatiran mereka adalah homeschooling hanya mampu
dilaksanakan oleh keluarga dari kalangan mampu sehingga memunculkan suatu
elitisme baru. Kekhawatiran lainnya adalah pertanyaan mengenai apakah
homeschooling menyentuh aspek sosial dan afektif anak didik. Ada anggapan
bahwa homeschooler (sebutan bagi anak didik homeschooling), kurang
bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia, dan bahkan tidak demokratis (Lines,
2000). Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta
menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan
dengan demikian hubungan interpersonal pun juga akan semakin merenggang
(Griffith, 2006).
Karena itu sebagai mahluk sosial, individu dituntut untuk mampu
mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan
linkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma
yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai
keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut
Universitas Sumatera Utara
39
sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak
masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-
anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan
tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan
mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak
dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat
berkembang secara normal dan sehat (Mu’tadin, 2002).
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin
penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini
disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan
yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat
menentukan (Mu’tadin, 2002). Sejumlah hal yang dapat memudahkan remaja
dalam proses sosialisasinya tercakup dalam keterampilan sosial. Keterampilan
sosial memudahkan remaja untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif
dengan orang lain, selektif terhadap berbagai pengaruh yang ada di lingkungan,
bertanggung jawab dan penuh pertimbangan atas semua yang dilakukan, serta
mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tepat.
Remaja yang mempunyai keterampilan sosial tidak akan mudah lagi
terjebak dalam sikap, perilaku, kebiasaan ataupun hal-hal lain yang justru akan
menghambat perkembangannya menuju dewasa. Keterampilan sosial yang tinggi
pada masa remaja akan membawa individu untuk dapat menempatkan diri pada
posisi yang semakin baik di masyarakat (Sunarti, 2004). Sedangkan kegagalan
remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia
sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat
Universitas Sumatera Utara
40
menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku
yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam
perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa,
kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sebagainya.
Siswa-siswa yang mengikuti pendidikan homeschooling diperkirakan
memiliki keterampilan sosial yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa
reguler yang belajar di sekolah formal. Siswa-siswa yang mengikuti program
homeschooling lebih terfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan
di dalam rumah, sehingga menimbulkan anggapan bahwa mereka lebih sedikit
mengadakan sosialisasi dan partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas sosial
lainnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada keterampilan sosial siswa tersebut.
Namun, keterampilan sosial belum tentu sama antara siswa yang satu dengan
siswa lainnya. Dengan demikian keterampilan sosial siswa yang homeschooling
belum tentu sama dengan keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa di sekolah
reguler.
II.F. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian
ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan
yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah :“Ada perbedaan keterampilan sosial antara siswa homeschooling dengan
siswa yang mengikuti program reguler”.
Universitas Sumatera Utara