BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pajak 2.1.1.Pengertian Pajakeprints.mercubuana-yogya.ac.id/616/3/BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pajak 2.1.1.Pengertian Pajakeprints.mercubuana-yogya.ac.id/616/3/BAB...
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Pajak
2.1.1.Pengertian Pajak
Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha harus memenuhi kewajiban
perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku pada negara di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usaha.
Di Indonesia menganut sistem self assessment dalam pemungutan
perpajakan. Sistem self assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
Pajak memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan
sumber pendapatan negara untuk membangun semua pengeluaran, termasuk
pengeluaran pembangunan.
Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang
akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin
maupun pengeluaran pembangunan. Sebaliknya, bagi perusahaan, pajak
merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah
12
beberapa kali diubah terakhir disebut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2007 selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan UU KUP
yaitu sebagai berikut: Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.1.2.Fungsi Pajak
Adapun fungsi pajak menurut Thomas Sumarsam (2013) yaitu:
a. Pajak sebagai sumber dana atau penerima (budgetair), yaitu pajak sebagai
penghimpun dana dari masyarakat ke dalam kas negara, yang
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah.
b. Pajak sebagai pengatur (regulerend), yaitu pajak berfungsi sebagai alat
untuk mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur
kekayaan antara pelaku ekonomi.
2.1.3.Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi:
a. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang.
b. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang, kepercayaan tanggung jawab kepada wajib pajak
13
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
c. Withholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak.
2.1.4.Asas Pengenaan Pajak
Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan
untuk mengenakan pajak adalah:
a. Asas domisili atau asas kependudukan, berdasarkan asas ini negara akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang
pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di negara atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
b. Asas sumber, berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau
diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-
sumber yang berada di negara ini.
c. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas (asas kewarganegaraan), landasan
dalam pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau
badan yang memperoleh penghasilan.
Pembagian pajak menurut golongan adalah sebagai berikut:
14
a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib
pajak yang bersangkutan, contohnya Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan ke pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai.
Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan pembedaan dan
pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip:
a. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pajak
subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaan dari wajib pajak, contohnya Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya PPN
dan PPNBM.
Pembagian pajak menurut pemungutan:
a Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, PPN dan PPNBM, PBB dan Bea Materai.
b Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya: pajak
reklame, pajak hiburan dan lain-lain.
2.1.5.Perlawanan Terhadap Pajak
15
Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi:
a Perlawanan pasif, berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak
dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi.
b Perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari
pajak. Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu:
1) Penghindaran pajak (tax avoidance)
Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam
penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar
undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan
undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat
undang-undang. Contoh: di Indonesia diberikan keringanan bagi
investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia bagian
Timur. Oleh karena itu, pengusaha yang baru membuka usaha, atau
perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka
cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
2) Pengelakan pajak (tax evation)
Pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan
diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara
menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Contoh: konsultan
bebas menyembunyikan sebagian pendapatannya, kecil kemungkinan
diketahui oleh fiskus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
16
3) Melalaikan pajak adalah tidak melakukan kewajiban perpajakan yang
seharusnya dilakukan. Contoh: menolak membayar pajak yang telah
ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus
dipenuhi oleh wajib pajak. Pengusaha yang telah memotong pajak
karyawannya, tetapi pajak tersebut tidak disetorkan dan dilaporkan ke
kantor pajak.
2.2.Perencanaan Pajak (Tax Planning)
2.2.1.Pengertian Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak (tax planning) adalah langkah awal dalam
melakukan manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan
penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis
tindakan penghematan yang akan dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari dua
definisi perencanaan pajak di bawah ini:
a. Tax planning is the systematic analysis of deferring tax options aimed at
the minimization of tax liability in current and future tax periods
(Crumbley D. Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B., 1994).
b. Tax planning is arrangements of a person’s business and/or private affairs
in order to minimize tax liability (Lyons Susan M., 1996).
Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax
burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan
yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang, maka
17
perencanaan pajak sama dengan tax avoidance karena secara hakikat
ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak
karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia, baik untuk
dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali.
2.2.2.Tahapan Perencanaan Pajak
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tinggi,
seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana
strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan harus memperhitungkan
adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional. Agar perencanaan
pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu
seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini:
a. Menganalisis informasi yang ada, yakni dengan menganalisis komponen
yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung
seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Selain itu, juga
harus memperhatikan faktor-faktor baik internal maupun eksternal yaitu
berupa :
1) Fakta yang relevan
Perencanaan pajak disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, baik
dari segi internal maupun eksternal dan selalu dimutakhirkan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat
dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi maupun
transaksi-transaksi yang mempunyai dampak dalam perpajakan.
Contoh: ruang lingkup kegiatan penjualan produksinya harus
18
diidentifikasikan apakah suatu produk yang akan dijual tergolong
sebagai objek pengenaan pajak penjualan barang mewah atau tidak.
2) Faktor pajak
Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam
penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang
berkaitan dengan faktor-faktor berikut ini:
a) Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara.
b) Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan, baik
undang-undang domestik maupun kebijakan perpajakan (Barry
Spitz, 1983).
3) Faktor nonpajak lainnya
Beberapa faktor nonpajak yang relevan untuk diperhatikan dalam
penyusunan suatu perencanaan pajak antara lain sebagai berikut:
a) Masalah badan hukum
Badan hukum perusahaan terdiri atas berbagai bentuk seperti
perseroan terbatas, perseroan terbuka, trust, persekutuan, dan
badan hukum lainnya. Pemilihan bentuk badan usaha yang
diusulkan sering dibuat sebagai fungsi dari seluruh peraturan (baik
untuk pajak maupun non pajak), dalam rangka administrasi
pembentukan dari pembubaran badan hukum yang bersangkutan
b) Masalah mata uang dan nilai tukar
Nilai tukar mata uang yang berfluktuasi atau tidak stabil
memberikan risiko usaha yang cukup tinggi yang berakibat pada
19
posisi laba rugi, terutama apabila terdapat banyak transaksi baik
ekspor/impor maupun pinjaman dalam bentuk mata uang asing
c) Masalah pengawasan devisa
Suatu negara menganut pembatasan/larangan untuk
mengadakan pertukaran atau transfer dana dari transaksi
internasional, ataupun adanya larangan untuk meminjam uang atau
menarik uang dari luar tanpa seizin bank sentral atau Menteri
Keuangan.
d) Masalah program insentif investasi
Negara memberikan pilihan bagi wajib pajak untuk melakukan
investasi/pemekaran usaha pada suatu lokasi/negara tertentu
e) Masalah faktor nonpajak lainnya
Faktor nonpajak lainnya seperti hukum dan sistem administrasi
yang berlaku, kestabilan ekonomi dan politik, tenaga kerja, pasar,
ada atau tidaknya tenaga profesional, fasilitas perbankan, iklim
usaha, bahasa, sistem akuntansi, dan sebagainya.
b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya
pajak.
c. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak, yakni untuk melihat sejauh
mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak,
perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif
perencanaan.
20
d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak,
dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak
harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi.
e. Memutakhirkan rencana pajak, karena meskipun suatu rencana pajak telah
dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap perlu diperhitungkan
setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun
pelaksanaannya yang dapat berdampak terhadap komponen suatu
perjanjian.
2.2.3.Motivasi Perencanaan Pajak
Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya
bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu:
1. Kebijakan perpajakan (tax policy), yaitu alternatif dari berbagai sasaran
yang hendak dituju dalam sistem perpajakan.
2. Undang-undang perpajakan (tax law), yaitu kenyataan yang menunjukkan
bahwa di manapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap
permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan yang lain. Tidak jarang pula
ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undang-undang itu
sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam
mencapai tujuan lain yang ingin dicapai. Akibatnya terbuka celah bagi
wajib pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk
perencanaan pajak yang baik.
21
3. Administrasi perpajakan (tax administration), yaitu tujuannya agar
terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya
perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan wajib pajak akibat
luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang
masih belum efektif. Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan
pajak adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak ikut
mempengaruhi pengambilan keputusan atau suatu tindakan dalam
operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang
cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam
ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk
memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi
hakikatnya sama dengan memanfaatkan:
a) Perbedaan tarif pajak.
b) Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak.
c) Loopholes, shelters, dan havens.
2.3.Pajak Tangguhan
2.3.1.Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK NO. 46)
PSAK No. 46 merupakan standar yang mengatur perlakuan akuntansi
pajak penghasilan dengan menerapkan pendekatan neraca. Pendekatan neraca
mengakui adanya kewajiban dan aktiva pajak tangguhan terhadap
konsekuensi fiskal masa depan sebagai akibat adanya perbedaan waktu dan
sisa kerugian yang belum dikompensasikan.
22
Apabila perusahaan belum menerapkan PSAK No. 46 sehingga perubahan
penerapan kebijakan yang baru menyebabkan laporan keuangan harus
disajikan kembali. Dari hasil penyajian kembali tersebut diketahui bahwa
penerapan PSAK No. 46 mengakibatkan munculnya akun baru yaitu aktiva
pajak tangguhan yang menambah jumlah aktiva perusahaan sebagai akibat
dari adanya manfaat pajak tangguhan yang mengurangi beban pajak
perusahaan.
Adanya manfaat pajak tangguhan mengakibatkan bertambahnya laba
perusahaan sehingga meningkatkan ekuitas perusahaan.
2.3.2.Beban Pajak Tangguhan (deferred tax expense)
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba
akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan
pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia
yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Perbedaan antara laporan
keuangan akuntansi dan fiskal disebabkan dalam penyusunan laporan
keuangan, standar akuntansi lebih memberikan keleluasaan bagi manajemen
dalam menentukan prinsip dan asumsi akuntansi dibandingkan yang
diperbolehkan menurut peraturan pajak.
Suandy (2016) mengungkapkan bahwa “apabila pada masa mendatang
akan terjadi pembayaran yang lebih besar, maka berdasarkan SAK harus
diakui sebagai suatu kewajiban”. Sebagai contoh apabila beban penyusutan
aset tetap yang diakui secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan aset
23
tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode
penyusutan aktiva tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan pengakuan
beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa yang akan datang.
Dengan demikian selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak
tangguhan. “Apabila pembayaran pajak lebih kecil pada masa yang akan
datang maka berdasarkan SAK dianggap sebagai suatu aset”. Contohnya, rugi
fiskal yang masih dapat dikompensasi berdasarkan peraturan perpajakan atau
kemungkinan adanya manfaat ekonomi pada masa yang akan datang yang
akan mengurangi beban pajak, maka dapat diakui sebagai suatu aset pajak
tangguhan.
2.4.Laba
Laba (keuntungan) merupakan salah satu tujuan utama perusahaan
dalam menjalankan aktivitasnya. Laba yang diperoleh perusahaan akan
digunakan untuk berbagai kepentingan, laba akan digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan perusahaan tersebut atas jasa yang diperolehnya. Adapun pengertian
laba menurut para ahli yaitu yang pertama, menurut M. Nafarin (2007: 788) dalam
Herdawati (2015) “Laba (income) adalah perbedaan antara pendapatan dengan
keseimbangan biaya-biaya dan pengeluaran untuk periode tertentu”. Adapun
menurut Halim & Supomo (2005:139) dalam Herdawati (2015) “laba merupakan
pusat pertanggungjawaban yang masukan dan keluarannya diukur dengan
menghitung selisih antara pendapatan dan biaya”. Selanjutnya menurut committee
of terminology: “Laba merupakan jumlah yang berasal dari pengurangan pokok
24
produksi, biaya lain dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan
operasi.”Sedangkan, menurut Kuswadi (2005:135) dalam Herdawati (2015),
menyatakan bahwa “perhitungan laba diperoleh dari pendapatan dikurangi semua
biaya”. Berdasarkan uraian diatas tentang pengertian laba, maka dapat
disimpulkan bahwa laba adalah keseluruh total pendapatan yang dikurangi dengan
total biaya-biaya. Analisis laba merupakan salah satu kegiatan yang sangat
penting bagi manajemen guna mengambil keputusan untuk masa sekarang dan
masa yang akan datang. Artinya analisis laba akan memberi manfaat dan akan
banyak membantu manajemen dalam melakukan tindakan apa yang akan diambil
ke depan dengan kondisi yang terjadi sekarang atau untuk mengevaluasi apa
penyebab turun atau naiknya laba tersebut sehingga target tidak tercapai. Dengan
demikian, analisis laba memberikan manfaat yang cukup banyak bagi pihak
manajemen. Adapun menurut Kasmir (2011:303) dalam Herdawati (2015)
menyatakan bahwa ada dua jenis laba yakni :
a. Laba Kotor (Gross Profit) artinya laba yang diperoleh sebelum dikurangi
biaya-biaya yang menjadi beban perusahaan. Artinya laba keseluruhan
yang pertama sekali perusahaan peroleh.
b. Laba bersih (Net Profit) merupakan laba yang telah dikurangi biaya-biaya
yang merupakan beban perusahaan dalam suatu periode tertentu termasuk
pajak.
2.5.Manajemen Laba (Earning Management)
2.5.1.Pengertian Manajemen Laba
25
Menurut Sulistyanto (2014), beberapa definisi-definisi manajemen laba
yang menggunakan terminologi berbeda namun secara garis besar definisi-
definisi mempunyai pengertian serupa adalah sebagai berikut:
1. Davidson, Stickney, dan Weil (1987)
Manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu
yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk
menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
2. Schipper (1989)
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan
pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini
hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari
sebuah proses).
3. National Association of Certified Fraud Examiners (1993)
Manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam
membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga
menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat
pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya
akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya.
4. Fisher dan Rosenzweig (1995)
Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan
(menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang
26
dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan
ekonomi perusahaan jangka panjang.
5. Lewitt (1998)
Manajemen laba adalah fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan
diri dengan inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba ketika public
memanfaatkan hasilnya. Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan
sesungguhnya. Itu semua untuk menutupi konsekuensi dari keputusan-
keputusan manajer.
6. Healy dan Wahlen (1999)
Manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan
tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk
mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan stakeholder yang ingin
mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk
mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi
yang dilaporkan itu.
Menurut Ahmed dan Belkaoui (2000) dalam Handayani dan Rachadi
(2009) dalam Margaretha (2016) menyatakan bahwa informasi laba penting
bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan alasan, yaitu:
1. Laba menjadi dasar bagi perusahaan dalam menentukan kebijakan
deviden.
2. Laba merupakan dasar dalam memperhitungkan kewajiban perpajakan
perusahaan.
27
3. Laba dipandang sebagai petunjuk dalam menentukan arah investasi dan
pembuat keputusan ekonomi.
4. Laba diyakini sebagai sarana prediksi yang membantu dalam
memprediksi laba dan kejadian ekonomi di masa mendatang.
5. Laba dijadikan pedoman dalam mengukur kinerja manajemen.
2.5.2.Teori Manajemen Laba
a. Teori Keagenan (Agency Theory)
Konsep manajemen laba dapat dimulai dari pendekatan teori agensi
(agency theory). Jensen dan Meckling (1976) dalam Herdawati (2015)
menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara
manajemen (agent) dengan investor (principal). Pandangan agency theory
yakni adanya pemisahan antara pihak principal dan agent yang
menyebabkan munculnya potensi konflik yang dapat mempengaruhi
kualitas laba yang dilaporkan. Maksud dengan principal dalam teori
keagenan ini, yakni pemegang saham atau pemilik yang menyediakan
fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasi perusahaan sedangkan agent
adalah manajemen yang memiliki kewajiban mengelola perusahaan
sebagaimana yang telah diamanahkan principal kepadanya.
Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu
semata-mata termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan dirinya
sendiri. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk
menyejahterakan dirinya melalui pembagian dividen atau kenaikan harga
saham perusahaan. Sedangkan pihak agent termotivasi untuk
28
meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan kompensasi.
Konflik kepentingan semakin meningkat ketika principal tidak memiliki
informasi yang cukup tentang kinerja agent karena ketidakmampuan
principal memonitor aktivitas agent dalam perusahaan. Ditambah lagi
agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri,
lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang
mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh
principal dan agent dan dikenal dengan istilah asimetri informasi.
Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal
dan agent mendorong pihak agent untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui oleh principal dan menyajikan informasi
yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama informasi tersebut
berkaitan dengan pengukuran kinerja agent.
Konflik kepentingan yang terjadi antara manajer dengan pemegang
saham akan mengakibatkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan
dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat
mensejajarkan kepentingan yang terkait tersebut. Pemegang saham akan
berusaha menjaga agar pihak manajemen tidak terlalu banyak memegang
kas karena kas yang banyak akan merangsang pihak manajemen untuk
menikmati kas tersebut bagi kepentingan dirinya sendiri.
b. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)
Teori akuntansi positif merupakan teori yang mencoba untuk
membuat prediksi yang bagus dari kejadian dunia nyata. Teori akuntansi
29
positif berkaitan dengan memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan
akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana respon manajer
tersebut terhadap standar akuntansi baru yang diusulkan (Scott, 2003)
dalam Herdawati (2015). Menurut Watts dan Zimmerman (1990) dalam
Herdawati (2015), Teori akuntansi positif yaitu berusaha untuk
menjelaskan fenomena akuntansi yang diamati berdasarkan pada alasan-
alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Maksudnya, teori
akuntansi positif dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi
konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu.
Penjelasan dan prediksi dalam teori akuntansi positif didasarkan pada
proses kontrak atau hubungan keagenan antara manajer dengan kelompok
lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal dan
institusi pemerintah. Selain itu, Watt dan Zimmerman (1986) dalam
Herdawati (2015) juga mengaitkan positive accounting theory dengan
fenomena perilaku oportunistik manajer dengan membentuk tiga hipotesis
yang melatarbelakangi perilaku oportunistik manajer tersebut, yaitu:
1) Bonus Plan Hypothesis, menyatakan bahwa rencana bonus atau
kempensasi manajerial akan cenderung memilih dan menggunakan
metode-metode akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan
menjadi lebih tinggi.
2) Debt (Equity) Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan yang
mempunyai rasio antara utang dan ekuitas lebih besar, cenderung
memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi dengan laporan
30
laba yang lebih tinggi serta cenderung melanggar perjanjian utang
apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya.
3) Political Cost Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan cenderung
memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat
memperkecil atau memperbesar laba yang dilaporkannya. Konsep ini
membahas bahwa manajer perusahaan cenderung melanggar regulasi
pemerintah, seperti undang-undang perpajakan, apabila ada manfaat
dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya , manajer akan
mempermainkan laba agar kewajiban pembayaran tidak terlalu tinggi
sehingga alokasi laba sesuai dengan kemauan perusahaan.
2.5.3.Motivasi Manajemen Laba
Terdapat beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan
manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2000) dalam Herdawati
(2015), yaitu :
a) Bonus purposes, yakni manajer yang memiliki informasi atas laba bersih
perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk melakukan
manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.
b) Kontrak utang jangka panjang, yakni semakin dekat perusahaan
dengan perjanjian kredit, maka manajer akan cenderung memilih prosedur
yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
kegagalan dalam pelunasan hutang.
31
c) Political motivations, yakni manajemen laba digunakan untuk mengurangi
laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Jadi perusahaan cenderung
mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang
mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
d) Taxation motivations, yakni saat ini motivasi penghematan pajak menjadi
motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi
digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
e) Pergantian CEO, yakni CEO yang mendekati masa pensiun akan
cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka.
Apabila kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan
pendapatan agar tidak diberhentikan.
f) Initital Public Offering (IPO), yakni perusahaan yang akan go public
belum memiliki nilai pasar, sehingga mendorong manajer perusahaan yang
akan go public melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka
dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
g) Pentingnya memberi informasi kepada investor, yakni informasi mengenai
kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan
laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut
dalam kinerja yang baik.
2.5.4.Bentuk-bentuk Manajemen Laba
Dalam melakukan manajemen laba, Pemilihan metode akuntansi harus
dilakukan dengan penuh kecermatan oleh manajer agar tidak diketahui oleh
pemakai laporan keuangan. Oleh karena itu manajer harus memiliki strategi
32
agar manajemen laba yang dilakukan tidak diketahui pihak luar. Adapun
bentuk-bentuk manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003) dalam
Herdawati (2015), yaitu:
a) Taking a bath, yakni dilakukan manajer dengan cara menggeser biaya
akrual discretionary periode mendatang ke periode kini atau menggeser
pendapatan akrual discretionary periode kini ke periode mendatang. Hal
ini dilakukan manajer untuk memaksimumkan kompensasi atau bonus
yang akan diterimanya pada tahun berikutnya karena menghadapi
kenyataan bahwa bonus tahun ini tidak dapat diterima.
b) Income minimization (minimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk
keperluan pertimbangan pajak dengan meminimumkan kewajiban
pajak perusahaan.
c) Income maximization (maksimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk
memaksimumkan bonus manajer, menciptakan kinerja perusahaan yang
baik sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (pertimbangan pasar
modal), menunda pelanggaran perjanjian utang, dan manajer dapat
memperoleh kendali atas perusahaan.
d) Income smoothing (perataan laba), yakni tindakan dimana manajemen
memperhalus fluktuasi laba dari periode ke periode dengan cara
memindahkan laba dari periode yang memiliki laba tinggi ke periode
yang memiliki laba rendah.
2.5.5.Peluang Manajemen Laba
33
Dalam proses pelaporan yang dilakukan oleh manajemen, terdapat
berbagai motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba
dan terdapat peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul saat manajemen
melakukan penyusunan laporan. Peluang dari kondisi dan keadaan yang
timbul, yaitu (Setiowati, 2007) dalam (Ferry, 2013):
a) Kelemahan yang inheren dalam akuntansi itu sendiri. Fleksibilitas dalam
menghitung angka laba disebabkan oleh:
1) Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk
mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda.
2) Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk
melibatkan subyektivitas dalam menyusun estimasi.
b) Informasi asimetri antara manajer dengan pihak luar manajemen relatif
lebih tinggi. Mustahil bagi pihak luar (termasuk investor) untuk dapat
mengawasi semua perilaku dan semua keputusan manajer secara detail.
2.5.6.Teknik Manajemen Laba
Semakin banyak manajer mendapatkan pengetahuan atau pelatihan
tentang akuntansi, maka semakin mudah pula bagi manajemen tersebut untuk
melakukan praktik akuntansi yang dapat digunakan untuk melakukan
manajemen laba. Adapun teknik-teknik umum yang digunakan dalam
manajemen laba (Stice, 2006) dalam Herdawati (2015), yakni :
a) Penentuan waktu transaksi yang tepat, yaitu dilakukan dengan mengatur
transaksi yang akan dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa
34
transaksi dilakukan pada periode yang tepat atau paling menguntungkan.
Pada teknik ini, ketika terjadi kerugian yang besar atas suatu transaksi,
maka dengan sengaja manajer akan mempercepat transaksi lainnya yang
dapat memberikan keuntungan untuk menutup kerugian atas transaksi
sebelumnya pada periode yang sama. Sebaliknya, apabila terdapat
keuntungan yang besar atas suatu transaksi, maka dengan sengaja manajer
akan mempercepat transaksi yang berpotensi merugikan.
b) Perubahan dalam metode atau estimasi akuntansi, yaitu dilakukan
dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi yang tidak secara
tegas menyatakan metode atau estimasi yang harus diterapkan ataupun
tidak boleh diterapkan. Adapun perubahan metode akuntansi
yang dapat meningkatkan laba seperti, penilaian biaya persediaan dari
LIFO ke FIFO pada periode inflasi. Menurunkan laba dapat dilakukan
dengan mengubah metode penyusutan dari garis lurus ke saldo
menurun ganda. Selain itu, perubahan estimasi akuntansi juga
mengakibatkan naik turunnya laba. Contohnya untuk meningkatkan
laba, dilakukan perpanjangan umur ekonomi aktiva tetap atau
merendahkan persentase jumlah piutang yang tidak dapat ditagih,
sehingga jumlah yang dibebankan lebih rendah.
c) Akuntansi tidak sesuai standar, yaitu teknik manajemen laba dengan
melakukan penyimpangan secara sengaja terhadap standar akuntansi.
Teknik ini dapat dikategorikan sebagai kecurangan dalam pelaporan
35
keuangan. Contohnya melakukan kapitalisasi terhadap beban
operasional perusahaan sehingga laba menjadi lebih besar.
d) Transaksi fiktif, yaitu teknik manajemen laba yang memanipulasi
informasi dengan mengakui transaksi yang sebenarnya tidak terjadi
ataupun tidak mengakui transaksi yang telah terjadi. Hal ini juga dapat
dikategorikan sebagai kecurangan, misalnya mengakui penjualan fiktif
atau menyembunyikan barang dagangan yang diretur untuk
menghindari pengurangan penjualan.
2.5.7.Faktor-faktor Manajemen Laba
a) Ukuran Perusahaan
Brigham dan Houston (2006:117) dalam Siti (2016) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan adalah perusahaan dengan rata-rata total penjualan bersih
untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Perusahaan yang
berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan
sumber daya perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualan rendah
kebutuhan terhadap sumber daya perusahaan juga. Apabila perusahaan
dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin meningkat akibat
pertumbuhan penjualan, dan sumber intern sudah digunakan semua, maka
tidak ada pilihan lain bagi perusahaan untuk menggunakan dana yang berasal
dari luar perusahaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap manajemen laba.
Pihak manajer akan cenderung melakukan manajemen laba dengan pola
peningkatan laba (income increasing) agar mendapat sumber dana yang
36
berasal dari luar perusahaan, baik dengan tujuan untuk memperoleh pinjaman
atau menarik investor baru.
b) Kepemilikan Manajerial
Shleifer dan Vishny (1997) dalam Dewa dan Made (2016), menyatakan
bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki
insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen
rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik
manajer akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap saham
perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan
antara pemegang saham luar dengan manajemen (Jansen dan Meckling, 1976)
dalam Dewa dan Made (2016). Sehingga permasalahan keagenen diasumsikan
akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang
pemilik.
c) Perencanaan Pajak
Pada teori akuntansi positif dalam hipotesis ketiga yaitu The Political Cost
Hypothesis (Scott, 2003) dalam Ratna dan Titik (2016), menjelaskan bahwa
perusahaan yang berhadapan dengan biaya politik, cenderung melakukan
rekayasa penurunan laba dengan tujuan meminimalkan biaya politik yang
harus mereka tanggung, misal: melakukan pergeseran pajak, dengan
mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian
orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya,
melakukan kapitalisasi, dengan melakukan pengurangan harga objek pajak
37
sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli.
Merekayasa usaha dan transaksi wajib pajak supaya kewajiban perpajakan
berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan
perpajakan. Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam
meminimalisasi laba.
d) Beban Pajak Tangguhan
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba
akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan
pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia
yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Hal tersebut merupakan
tindakan manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.
e) Aset Pajak Tangguhan
Menurut Waluyo (2014) dalam Inasa (2015) menyatakan bahwa aset pajak
tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan yang
terpulihkan (recovered) pada periode mendatang sebagai akibat adanya
perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian yang dapat
dikompensasi. Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam melakukan
motivasi penghematan pajak.
2.5.8.Pengukuran Manajemen Laba
Menurut Sulistyanto (2014), manajemen laba biasanya diteliti dengan cara
pembentukan hipotesa oleh peneliti kemudian manajemen laba
kemungkinan bisa muncul dan menguji kemungkinan tersebut dengan
38
penggunaan metode yang tepat. Secara umum ada tiga pendekatan untuk
mendeteksi manajemen laba yakni:
a) Model berbasis aggregate accrual merupakan model yang menggunakan
discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini
dikembangkan oleh Healy (1985), DeAngelo (1986), Jones (1991), serta
Dechow, Sloan dan Sweeney (1995).
b) Model berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung
akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan
keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan
oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beneish, serta
Beaver dan McNichols.
c) Model berbasis distribution of earnings, yaitu pendekatan dengan
melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba
untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba.
Model ini dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev, Degeorge, Patel,
dan Zeckhauser, serta Myers dan Skinner. Pendekatan distribusi laba
mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnings thresholds) dan
menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnings thresholds
akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan
manajemen laba. Philips et al. ( 2003) dalam Ferry Aditama (2013)
menyatakan bahwa para manajer melakukan manajemen laba dengan
pendekatan distribusi laba dikarenakan manajer sadar bahwa pihak
eksternal, khususnya para investor, bank, dan supplier menggunakan batas
39
pelaporan laba dalam menilai kinerja manajer. Philips et al. (2003) dalam
Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa terdapat dua macam earnings
thresholds, yaitu:
1) Titik pelaporan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba
untuk menghindari pelaporan kerugian. Philips et al. (2003) dalam
Ferry Aditama (2013) menggunakan pendekatan ini dengan
membandingkan antara tahun perusahaan yang memiliki tingkat laba
berskala nol atau positif dengan sampel tahun perusahaan yang
memiliki laba negatif. Hasil penelitian Philips et al. (2003) dalam
Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa peningkatan dalam beban
pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang
pengelolaan laba untuk menghindari pelaporan kerugian.
2) Titik perubahan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba
untuk menghindari penurunan laba. Philips et al. (2003) dalam Ferry
Aditama (2013) menggunakan titik perubahan nol untuk mengetahui
indikasi praktik manajemen laba. Adanya upaya praktik manajemen
laba dilakukan dengan membandingkan perusahaan yang perubahan
labanya negatif. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013)
menunjukkan bahwa peningkatan beban pajak tangguhan dan
perencanaan pajak meningkatkan peluang pengelolaan laba untuk
menghindari penurunan laba, yang mendukung bahwa beban pajak
tangguhan berguna dalam memprediksi manajemen laba.
40
Akan tetapi dari ketiga model diatas hanya model berbasis aggregate
accrual yang dinilai sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam
mendeteksi manajemen laba. Alasannya karena model empiris ini sejalan
dengan akuntansi berbasis akrual yang digunakan oleh dunia usaha dan model
empiris ini menggunakan semua komponen laporan keuangan dalam
mendeteksi rekayasa keuangan. Adapun beberapa model empiris berbasis
aggregate accrual untuk mendeteksi manajemen laba yakni :
1) Model Healy (1985), yaitu mendeteksi manajemen laba dengan
menghitung nilai total akrual dengan cara mengurangi laba akuntansi
yang diperoleh selama satu periode tertentu dengan arus kas operasi
periode yang bersangkutan. Perhitungan nondiscretionary accruals
model Healy dengan membagi rata-rata total akrual dengan total aktiva
periode sebelumnya. Ada kelemahan mendasar dalam model Healy
yang diindikasikan oleh Dechow et al. (1995) yaitu bahwa total akrual
yang digunakan sebagai proksi manajemen laba mengandung
nondiscretionary accruals. Padahal nondiscretionary accruals
merupakan komponen total akrual yang tidak bisa dikelola atau diatur
oleh manajer seperti halnya komponen discretionary accruals.
2) Model DeAngelo (1986), yaitu mengukur manajemen laba dengan
nondiscretionary accrual dengan cara menghitung total akrual sebagai
selisih antara laba akuntansi yang diperoleh suatu perusahaan selama
satu periode dengan arus kas atau dihitung dengan menggunakan total
akrual akhir periode yang diskala dengan total aktiva periode
41
sebelumnya. Seandainya nondisdretionary accrual selalu konstan
setiap saat dan discretionary accruals mempunyai rata-rata sama
dengan nol selama periode estimasi, maka kedua model ini akan
mengukur discretionary accrual tanpa kesalahan. Akan tetapi, apabila
nondiscretionary accrual berubah dari periode ke periode, maka kedua
model ini akan mengukur discretionary accrual dengan kesalahan.
3) Model Jones (1991), yaitu dalam model ini tidak lagi menggunakan
asumsi bahwa nondiscretionary accrual adalah konstan. Namun,
model ini menggunakan dua asumsi sebagai dasar pengembangan yaitu
akrual periode berjalan (current accruals) dan gross property, plant,
and equipment. Secara implisit model Jones mengasumsikan bahwa
pendapatan merupakan nondiscretionary. Apabila laba dikelola dengan
menggunakan pendapatan discretionary accrual, maka model ini akan
menghapus bagian laba yang dikelola untuk proksi discretionary
accrual.
4) Model Jones Dimodifikasi (Dechow, Sloan dan Sweeney,1995), yaitu
modifikasi dari model Jones yang didesain untuk mengeliminasi
kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari
model Jones untuk menentukan discretionary accruals ketika
discretion melebihi pendapatan. Sama halnya dengan model
manajemen laba berbasis aggregate accrual yang lain, model ini
menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba.
Kelebihannya, model ini memecah total akrual menjadi empat
42
komponen utama akrual, yaitu discretionary current accrual,
discretionary long term accrual, dan nondiscretionary long term
accruals. Discretionary current accrual dan nondiscretionary current
accrual merupakan akrual yang berasal dari aktiva lancar. Sedangkan
discretionary long term accrual dan nondiscretionary long term
accruals merupakan akrual dari aktiva tidak lancar.
2.6.Tinjauan Pustaka/Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Berikut beberapa peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian dengan
topik yang sama dengan penelitian ini, antara lain:
1. Nama Peneliti : Ferry Aditama (2013)
Judul Penelitian : Pengaruh perencanaan pajak terhadap
manajemen laba pada perusahaan
nonmanufaktur yang terdaftar di BEI.
Tahun Penelitian : 2009-2012
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
Perencanaan pajak (X)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
43
Hasil Penelitian : Analisis data menunjukkan bahwa
perencanaan pajak tidak berpengaruh positif
terhadap manajemen laba. Sedangkan, hasil
pada analisis deskriptif menunjukkan bahwa
77 perusahaan yang menjadi sampel dalam
penelitian melakukan perencanaan pajak
dengan cara menghindari penurunan laba.
2. Nama Peneliti : Inasa Singkianti (2015)
Judul Penelitian : Pengaruh aset pajak tangguhan, beban
pajak tangguhan dan perencanaan pajak
terhadap manajemen laba (studi empiris
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia).
Tahun Penelitian : 2011-2014
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
Aset pajak tangguhan (X1)
Beban pajak tangguhan (X2)
Perencanaan pajak (X3)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
44
Hasil Penelitian : (1) Aset pajak tangguhan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba untuk
menghindari laporan rugi pada perusahaan
dengan nilai signifikansi sebesar 0,490 >
0,05, (2) Beban pajak tangguhan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba untuk
menghindari laporan kerugian pada
perusahaan dengan nilai signifikansi sebesar
0,538 > 0,05, (3) Perencanaan pajak tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba
dengan nilai signifikansi sebesar 0,677 >
0,05.
3. Nama Peneliti : Widyasenja dkk (2015)
Judul Penelitian : Pengaruh tax planning dan beban pajak
tangguhan terhadap manajemen laba (studi
empiris pada perusahaan manufaktur sektor
konsumsi sub sektor makanan dan
minuman yang terdaftar di BEI Tahun
2011-2015).
Tahun Penelitian : 2011-2015
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
45
Tax planning (X1)
Beban pajak tangguhan (X2)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
Hasil Penelitian : Perencanaan pajak yang diproksikan
dengan tingkat retensi pajak berpengaruh
terhadap manajemen laba, tetapi beban pajak
tangguhan tidak berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba.
4. Nama Peneliti : Herdawati (2015)
Judul Penelitian : Analisis pengaruh perencanaan pajak dan
beban pajak tangguhan terhadap manajemen
laba (studi kasus pada perusahaan
manufaktur di BEI).
Tahun Penelitian : 2012-2014
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
Perencanaan pajak (X1)
Beban Pajak Tangguhan (X2)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
46
Hasil Penelitian : Perencanaan pajak memiliki pengaruh
positif dan tidak signifikan terhadap
manajemen laba, begitupun dengan beban
pajak tangguhan berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap manajemen laba.
Artinya peningkatan perencanaan pajak dan
beban pajak tangguhan mempengaruhi
peningkatan peluang serta probabilitas
perusahaan dalam melakukan manajemen
laba. Akan tetapi, hasil pada analisis
deskriptif menunjukkan bahwa memang
terjadi manajemen laba dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan kerugian.
5. Nama Peneliti : Hellen Hermanto (2016)
Judul Penelitian : Analisis pengaruh beban pajak tangguhan
dan perencanaan pajak dalam praktik
manajemen laba pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI.
Tahun Penelitian : 2012-2014
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
Beban pajak tangguhan(X1)
47
Perencanaan pajak (X2)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
Hasil Penelitian : Beban pajak tangguhan tidak berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba,
sedangkan perencanaan pajak berpengaruh
positif terhadap manajemen laba.
6. Nama Peneliti : Dewa dan Made (2016)
Judul Penelitian : Pengaruh perencanaan pajak, kepemilikan
manajerial dan ukuran perusahaan terhadap
praktik manajemen laba.
Tahun Penelitian : 2008-2010
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
Perencanaan pajak (X1)
Kepemilikan manajerial (X2)
Ukuran perusahaan (X3)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
48
Hasil Penelitian : Perencanaan pajak berpengaruh positif
terhadap praktik manajemen laba, sedangkan
kepemilikan manajerial dan ukuran
perusahaan menunjukkan hasil tidak
berpengaruh.
7. Nama Peneliti : Ratna dan Titik (2015)
Judul Penelitian : Pengaruh perencanaan pajak dan beban
pajak tangguhan terhadap manajemen laba.
Tahun Penelitian : 2012-2014
Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:
Perencanaan pajak (X1)
Beban pajak tangguhan (X2)
b. Variabel Dependen:
Manajemen Laba (Y)
Hasil Penelitian : Perencanaan pajak dan beban pajak
tangguhan berpengaruh terhadap manajemen
laba pada perusahaan manufaktur yang
bergerak dalam bidang makanan dan
minuman yang mengindikasikan model
penelitian layak dilanjutkan pada analisa
berikutnya. Hubungan antara model yang
49
digunakan dalam penelitian tersebut
terhadap manajemen laba memiliki
hubungan yang erat. Hasil pengujian
secara parsial menunjukkan bahwa
perencanaan pajak dan beban pajak
tangguhan masing-masing mempunyai
pengaruh terhadap manajemen laba pada
perusahaan manufaktur yang bergerak
dalam bidang makanan dan minuman.
2.7.Kerangka Pemikiran
Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan sering direkayasa oleh pihak
manajemen untuk mengoptimalkan keuntungan perusahaan dan juga untuk
kepentingan dirinya sendiri atau dikenal dengan manajemen laba. Terdapat
beberapa metode yang digunakan untuk menguji manajemen laba dan biasanya
manajemen laba sering sekali dikaitkan dengan perencanaan pajak dan beban
pajak tangguhan. Perusahaan melakukan perencanaan pajak seefektif mungkin,
bukan hanya untuk memperoleh keuntungan dari segi fiskal saja, tetapi
sebenarnya perusahan juga memperoleh keuntungan dalam memperoleh tambahan
modal dari pihak investor melalui penjualan saham perusahaan (Herdawati, 2015).
Pajak merupakan unsur pengurang laba, dan dapat digunakan oleh manajemen
untuk diminimalkan guna mengoptimalkan jumlah dari laba bersih perusahaan.
50
Dalam hal ini, terdapat suatu indikasi manajemen melakukan manajemen laba
dalam proses perencanaan pajak. Begitupun dengan beban pajak tangguhan
merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Plesko
(2002) dalam Phillips et al. (2003) dalam Herdawati (2015) mengungkapkan
bahwa semakin besar perbedaan antara laba fiskal dengan laba akuntansi
menunjukkan semakin besarnya diskresi manajemen.
Artinya, semakin besarnya diskresi manajemen tersebut akan terefleksikan
dalam beban pajak tangguhan dan mampu digunakan untuk mendeteksi praktik
manajemen laba pada perusahaan. Serta semakin tingginya praktik manajemen
laba, maka semakin tinggi pula kewajiban pajak tangguhan yang diakui oleh
perusahaan sebagai beban pajak tangguhan (Phillips et al., 2003) dalam Herdawati
(2015).
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini
adalah perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan. Sedangkan variabel
dependennya adalah manajemen laba. Adapun kerangka pemikiran dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut ini:
51
Gambar 2.1.
Kerangka Pemikiran
2.8.Hipotesis
2.8.1.Pengaruh Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba
Pengaruh antara perencanaan pajak dengan manajemen laba secara
konseptual dapat dijelaskan dengan teori keagenan dan teori akuntansi positif
yang telah dibahas dalam teori manajemen laba. Perencanaan pajak merujuk
kepada proses merekayasa usaha transaksi wajib pajak agar utang pajak
berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan
perpajakan. Jadi dengan melakukan perencanaan pajak, perusahaan dapat
memperkecil jumlah laba perusahaan untuk dapat memperoleh keuntungan
pajak tanpa melakukan pelanggaran terhadap UU perpajakan yang berlaku.
Perusahaan akan melakukan perencanaan pajak seefektif mungkin, dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan dari segi fiskal dan juga untuk
memperoleh keuntungan dalam memperoleh tambahan modal dari pihak
investor melalui penjualan saham perusahaan. Status perusahaan yang sudah
Perencanaan
Pajak (X1)
Manajemen
Laba (Y)
Beban Pajak
Tangguhan
(X2)
52
go public umumnya cenderung high profile daripada perusahaan yang belum
go public. Sehingga untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, maka
manajemen termotivasi untuk memberikan informasi kinerja perusahaan yang
sebaik mungkin. Oleh karena itu, pajak yang merupakan unsur pengurang laba
yang tersedia untuk dibagi kepada investor atau diinvestasikan oleh
perusahaan, akan diusahakan oleh manajemen untuk diminimalkan untuk
mengoptimalkan jumlah dari laba bersih perusahaan. Berdasarkan uraian
diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba.
2.8.2.Pengaruh Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba
Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memiliki pengaruh
positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti pemberian bonus sehingga
dengan adanya hal tersebut maka dimungkinkan manajer dapat melakukan
rekayasa laba (earnings management) dengan memperbesar atau memperkecil
jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dengan laporan laba rugi. Beban
yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan,
begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan tingkat laba yang
diperoleh perusahaan.
Berdasarkan Herdawati (2016) membuktikan adanya praktik manajemen
laba dengan menggunakan beban pajak tangguhan. Hasil pada analisis
deskriptif menunjukkan bahwa memang terjadi manajemen laba dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan kerugian. Manajemen laba merupakan peluang
53
manajemen untuk merekayasa besarnya beban pajak tangguhan guna
menaikkan dan menurunkan tingkat labanya.
Beban pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh
menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk
mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan mengurangi
besarnya pajak yang dibayarkan. Dari penjelasan diatas dapat terjadi rekayasa
laba (earnings management) dengan menaikkan atau menurunkan jumlah
beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan laba rugi. Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2 : Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba.
2.8.3.Pengaruh Perencanaan Pajak dan Beban Pajak Tangguhan terhadap
Manajemen Laba
Pengaruh perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan terhadap
manajemen laba dijelaskan dengan teori pendekatan distribusi laba. Pendekatan
distribusi laba mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnings thresholds)
dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnings thresholds
akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan manajemen
laba. Philips et al. ( 2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa
para manajer melakukan manajemen laba dengan pendekatan distribusi laba
dikarenakan manajer sadar bahwa pihak eksternal, khususnya para investor,
bank, dan supplier menggunakan batas pelaporan laba dalam menilai kinerja
manajer. Pendekatan ini dapat diukur dengan dua cara, yaitu: titik pelaporan
laba nol (usaha manajemen laba untuk menghindari pelaporan kerugian) dan
54
titik perubahan laba nol (usaha manajemen laba untuk menghindari penurunan
laba). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H3: Perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh
terhadap manajemen laba.