BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/37540/3/jiptummpp-gdl-dwirosalin-51303...Watak, perwatakan,...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/37540/3/jiptummpp-gdl-dwirosalin-51303...Watak, perwatakan,...
-
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka adalah bagian dari pembahasan dalam sebuah rumusan
masalah yang akan ditemukan melalui pembahasan-pembahasan. Teori yang akan
diungkapkan oleh peneliti, digunakan untuk menguraikan masalah yang akan
dihadapi pada penelitian tersebut. Dalam sebuah kajian pustaka, pembahasan
tentang teori yang akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori-teori yang
dipakai harus sesuai dengan rumusan masalah.
2.1 Unsur Pembangun Novel
2.1.1 Tokoh dan Penokohan
Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra, di
dalam unsur intrinsik terdapat beberapa unsur yang dapat membangun sebuah
karya sastra salah satunya yaitu tokoh dan penokohan yang terdapat dalam sebuah
karya sastra khususnya novel. Tokoh sendiri adalah komponen penting yang
terdapat pada sebuah cerita. Tokoh tersebut yang bisa menggambarkan sebuah
cerita menjadi lengkap dan menjadi hidup.
Karya sastra khususnya novel adalah salah satu bentuk imajinasi seorang
pengarang dalam menuangkan imajinasinya dalam bentuk tulisa, seperti halnya
seorang pengarang menciptakan seorang tokoh dalam sebuah karya sastra dengan
adanya tokoh dalam sebuah karya membuat karya sastra tersebut terarah isi cerita
yang ingin dikembangkan oleh pengarang. Tokoh terdapat dua jenis tokoh yaitu
tokoh yang sering diceritakan atau sering muncul yaitu disebut tokoh utama
-
14
sedangkan tokoh yang tidak sering muncul atau tidak sering diceritakan yaitu
tokoh pembantu.
Selain itu saat menentukan sebuah tokoh utama dalam sebuah karya sastra
khususnya novel dapat dilihat dari seringnya muncul tokoh tersebut dalam cerita.
Dalam sebuah karya sastra yang terdapat sebuah alur cerita di dalamnya terdapat
tokoh utama dibedakan menjadi dua golongan yaitu tokoh antagonis dan tokoh
protagonis. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang memiliki karakter atau sifat
yang baik, sedangkan tokoh protagonis merupakan tokoh yang memiliki sifat
yang jahat.
Tokoh merupakan pelaku cerita dalam suatu cerita. Tokoh memiliki
karakter tersendiri yang digambarkan melalui ucapan serta dilakukan oleh sebuah
tindakan. Berdasarkan tindakan maupun ucapan yang dilakukan oleh tokoh
tersebut akan tergambar bagaimana watak atau karakter tokoh tersebut. Watak
atau karakter tokoh disebut dengan istilah penokohan.
Penokohan adalah bentuk imajinasi seorang pengarang dalam memberikan
watak dalam tokoh dalam sebuah cerita fiksi tersebut. Watak, perwatakan,
terdapat pada karakter atau sifat seorang tokoh yang telah digambarkan oleh
pengarang yang bertujuan agar pembaca memahami lebih dalam tokoh dalam
karya sastra khususnya novel tersebut. Terbentuknya sebuah pewatakan dalam
sebuah tokoh dalam novel membuat adanya sebuah tokoh antagonis dan tokoh
protagonis (Nurgiyantoro, 2010: 165).
Penokohan dalam sebuah karya sastra dapat digambarkan dengan jelas
oleh pengarang. Maka seorang pengarang harus benar-benar menggambarkan
tokoh-tokohnya dengan jelas seperti apa yang diucapka, apa yang diperbuat, apa
-
15
yang dipikirkan, dan apa yang dirasakan harus dapat betul-betul menggambarkan
watak dari tokoh-tokohnya. Jika watak yang tergambar pada tokoh sudah benar-
benar tergambar dengan jelas maka tokoh tersebut akan membangun sebuah
kamestri dalam sebuah cerita.
Nurgiyantoro menjelaskan beberapa ragam tokoh atau pelaku dalam
sebuah karya sastra yaitu:
1. Tokoh utama dan tokoh tambahan
Segi peranan tingkat pentingnya tokoh dalam cerita dibagi menjadi dua
yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama yaitu tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel serta tokoh yang sering muncul dalam
sebuah cerita yang bersangkutan, pelaku utama ini merupakan tokoh yang paling
banyak yang diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Tokoh tambahan yaitu tokoh yang pemunculan dalam keseluruhan cerita
lebih sedikit, pemunculannya hanya membantu membangun kamesti dengan
tokoh utama saja secara langsung maupun tak langsung.
2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis yaitu tokoh yang memiliki
karakter baik dan perbuatan yang baik-baik serta watak yang dikagumi oleh
pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang memiliki watak jahat, sikap yang
buruk serta bukan tokoh yang diidamkan oleh pembaca dan kedatangannya
memicu munculnya konflik.
-
16
3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Perwatakan tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh
bulat. Tokoh sederhana yaitu tokoh yang memiliki suatu kualitas pribadi tertentu,
memiliki satu sifat-watak tertentu yang tidak harus ditampilkan dengan adanya
sebuah dialog saja sudah akan terlihat memiliki sebuah perwatakan sederhana.
Sedangkan tokoh bulat yaitu tokoh yang ingin diungkapkan dalam sebuha karya
sastra tentang sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
4. Tokoh statis dan tokoh berkembang
Berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita
dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh
yang memiliki cerita dalam sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang
sejak awal hingga akhir cerita bisa juga disebut dengan tokoh yang monoton
hanya melakukan sebuah perilaku yang selalu sama mulai awal cerita sampai
akhir ceritaa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan
dan perkembangan perwatakan dari awal, tengah dan akhir cerita seperti memiliki
sebuah permasalahan hingga sampai pada klimaks permasalahan.
5. Tokoh tripikal dan tokoh netral
Sebuah karya sastra terdapat sebuah cerminan seorang tokoh dalam sebuah
cerita, tokoh dalam sebuah karya sastra seperti sekelompok manusia dari
kehidupan nyata. Tokoh dalam sebuah karya sastra yang mengikuti sebuah alur
cerita dapat dibedakan kedalam tokoh tripikal dan tokoh netral. Tokoh tripikal
yaitu tokoh yang sedikit ditampilkan keadaan individualisnya, dan lebih banyak
kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri, dan termasuk kedalam tokoh imajiner yang
-
17
hanya hidup dan bereksistensi demi cerita itu sendiri, termasuk tokoh imajiner
yang masuk ke dalam dunia fiksi.
2.1.2 Setting atau Latar
Membicarakan tentang sebuah karya sastra khususnya karya fiksi, pada
dasarnya membicrakan sebuah dunia yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh sebagai
seorang penghuni yang memiliki sebuah permasalahan yang dipakai sebagai latar
kehidupan bagi tokoh. Ruang dari latar kehidupan tersebut sering disebut dengan
latar. Dalam sebuah karya sastra, setting dibagi menjadi tiga bagian yang meliputi,
latar tempat, waktu, dan suasan.
Latar disebut juga setting. Latar adalah sebuah keadaan atau situasi dalam
sebuah cerita, keadaan dan situasi mencakup waktu, ruang, dan situasi terjadinya
sebuah kejadian dalam sebuah cerita. Latar berfungsi dalam sebuah karya sastra
khususnya novel yaitu memberikan arahan dan petunjuk tempat dan waktu yang
diceritakan dalam novel tersebut agar pembaca mengetahui dan lebih paham
tentang isi ceritanya. Selain itu, latar digunakan untuk menciptakan suasana
tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Hal ini didukung oleh pendapat
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216), latar atau setting yang disebut juga
sebagai pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar atau setting harus diuraikan dengan jelas karena latar hal yang sangat
penting dalam sebuah cerita dengan adanya latar cerita tersebut menjadi terlihat
nyata dan pembaca bisa mengetahui bahwa yang diceritakan berlatar tempat atau
waktu yang jelas. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu yang benar-benar
-
18
terjadi dan menjadi bagian dari dirinya. Hal ini akan terjadi jika setting memiliki
suasana atau tempat yang sama dengan pembaca.
Berdasarkan fungsinya, Setting dapat dibedakan atas dua hal, yaitu latar
fisik dan latar psikologi. Latar atau setting fisik menjadikan suatu cerita menjadi
lebih nyata dan lebih logis. Latar fisik tersebut menyangkut tentang tempat dan
waktu, sedangkan yang disebut dengan latar psikologi merupakan latar yang
mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana
tertentu yang menggerakkan emosi dan kejiwaan pembaca (Aminuddin, 2011:68-
69).
Penggambaran latar atau setting oleh seorang pengarang satu dengan yang
lain memiliki perbedaan karena pemikiran beberapa pengarang berbeda-beda.
Terdapat pengarang yang menjelaskan secara terperinci gambaran latar yang di
tuliskan dalam sebuah cerita dan seakan-akan terlihat nyata benar adanya dan ada
juga yang tidak terperinci dalam menggambarkan latar dalam suatu cerita. Setting
yang dijelaskan sesuai dengan kenyataan merupakan setting yang benar-benar ada
dan nyata, sedangkan setting yang dijelaskan tidak sesuai dengan kenyataannya
disebut dengan khayalan. Setting khayalan ini sering berkaitan dengan setting
tempat, dimana pengarang menggambarkan sebuah tempat yang tidak atau
memang benar adanya atau hanya berdasarkan khayalan dari pengarang.
2.1.3 Alur atau Plot
Alur merupakan unsur intrinsik yang membangun sebuah karya sastra
dengan adanya alur atau plot sebuah cerita bisa lebih terarah mau kemana jalan
cerita dalam sebuah karya sastra khususnya novel. Alur mengatur bagaimana
-
19
tindakan-tindakan yang harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh yang
digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam suatu kesatuan
waktu (Semi, 1993:43).
Alur merupakan sebuah keterkaitan peristiwa secara berurutan pada
sebuah karya sastra yang melihat antara keterkaitan hubungan sebab akibat dan
menjadikan sebuah cerita yang utuh, padu, dan bulat (Haryati, 2007:23).
Pernyataan lain yang sama artinya dengan pernyataan di atas yaitu pernyataan
menurut Suharianto mengemukakan plot merupakan cara seorang pengarang
mempersatukan sebuah kejadian-kejadian dalam suatu cerita yang melihat hukum
sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh
(Suharianto, 2005:18).
Aminuddin (2011:83) menyebutkan “alur merupakan rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita”.
Karya astra memiliki sebuah kejadian-kejadian atau peristiwa yang
didalamnya terdapat sebuah konflik, dan klimaks yang bisa disebut dengan tiga
unsur yang sangat ensesial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Akan tetapi
belum tentu semuanya mengandung konflik, bahkan sebagai konflik utama.
Jumlah konflik relatif banyak, namun hanya konflik utama yang dipandang
sebagai klimaks (Nurgiyantoro, 2010:116)
Berdasarkan kutipan-kutipan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
alur yaitu sebuah rangkaian peristiwa dalam sebuah prosa fiksi yang menjadi
kerangka utama cerita, sekaligus menjalin kejadian-kejadian secara beruntun
-
20
dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang
padu, bulat, dan utuh.
Nurgiyantoro mengatakan ragam alur yang dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu:
a) Terdapat plot lurus, maju, atau dapat disebut dengan progresif, dalam sebuah
cerita pasti terdapat sebuah peristiwa atau kejadian-kejadian yang membuat
suasana dalam sebuah cerita tersebut terbangun nyata yang dilakukan oleh
paraa tokohnya. Peristiwa dalam sebuah cerita yang dikisahkan oleh pengarang
memiliki sifat yang berbeda-beda dan memilih alur yang berbeda, jika dalam
karya sastra terdapat plot lurus pasti bersifat kronologis yang saling berkaitan
antara peristiwa satu dengan peristiwa selanjutnya. Pengarang menggambarkan
sebuah cerita secara runtut mulai tahap awal (penyistuasian, pengenalan,
pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir
(penyelesaian).
b) Terdapat juga plot sorot balik atau flas back atau disebut juga plot regresif atau
mundur adalah sebuah urutan peristiwa dalam cerita yang memiliki plot
regresif tidak memiliki sifat kronologis. Jika plot yang memiliki sebuah sifat
regresif tidak memulai cerita dari tahap awal cerita terkadang dimulai dari
tahap tengah selanjutnya disusul dari tahap akhir dan baru masuk pada tahap
awal, tetapi semua itu terserah oleh pengarang mau menggunakan plot yang
mana terserah terpenting cerita tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Karya
sastra yang berplot regresif langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik,
bahkan konflik yang meruncing. Sedangkan pembaca belum mengetahui situsi
dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan,
-
21
semua itu justru dikisahkan sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis
terjadi.
c) Plot campuran adalah plot gabungan antara progresif dengan plot regresif.
Novel tidak ada yang mutlak berplot progresif saja, secara garis besar plot
sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya sering terdapat adegan-
adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya, tidak ada novel yang mutlak
berplot regresif saja. Pembaca tidak akan bisa mengikuti cerita yang dikisahkan
secara flas back terus menerus.
d) Plot tunggal adalah plot yang hanya mengembangkan sebuah cerita dengan
menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang menjadi hero. Karya fiksi
yang berplot tunggal tentu saja menampilkan berbagai tokoh lain yang juga
memiliki dan mendapat konflik, tetapi permasalahan dan konflik itu
dimasukkan ke dalam bagian plot cerita sepanjang ada kaitannya dengan
tokoh utama.
2.2 Psikologi Sastra
psikologi sastra adalah ilmu yang mempelajari sebuah keadaan psikis
kejiwaan seseorang dalam sebuah karya sastra. Sebelum membahasa lebih dalam
tentang cara kerja psikologi sastra, maka terlebih dahulu mengetahui latar
belakang dari psikologi sastra. Psikologi sastra terdiri dari dua kata yaitu psikologi
dan sastra. Oleh karena itu untuk mengetahui maknanya, terlebih dahulu
mengartikan satu per satu katanya. “psikologi” berasal dari bahasa Yunani
“psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi
secara garis besar bisa dikatakan psikologi sastra ilmu yang mempelajari kejiwaan
-
22
seseorang, sedangkan menurut etimologi psikologi artinya ilmu yang mempelajari
tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar
belakangnya. Dengan singkat dengan ilmu jiwa (Ahmadi,1991:1).
Sastra terkadang disebut sebagai gejal kejiwaan yang terkandung dalam
sebuah fenomena atau kejadiaan yang tergambar pada perilaku tokoh-tokohnya.
Dengan adanya sebuah gejala kejiwaan dalam sebuah karya sastra dapat dikaitkan
dengan penggunakan pendekatan psikologi yang juga psikologi membahas
tentang psikis kejiwaan serta sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang
bersifat tidak langsung dan fungsional (Jatman, 1985:165).
Secara definitif tujuan psikologi adalah memahami aspek-aspek kejiwaan
yang terkandung dalam karya satra yang terlihat dari perilaku-perilaku tokohnya
tetapi bukan berarti analisi psikologi sastra terlepas dengan kebutuhan
masyarakat. Karya sastra salah satu cara memberikan pemahaman kepada
masyarakat bahwa gambaran manusia dapat digambarkan dalam bnetuk sebuah
tulisan, cerita dalam sebuah karya sastra tidak beda jauh dengan keadaan dunia
nyata. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna,
2004:342).
Pengarang dan psikolog adalah sama-sama manusia biasa, hanya saja
mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam.
Sehingga pengarang menuangkannya kedalam sebuah tulisan sedangkan psikolog
dengan sesuai keahliannyaa membentuk pada formulasi dalam bentuk teori-teori
yang dapat dipergunakan untuk menganalisis sbeuah karya sastra jadi sama-sama
-
23
saling melengkapi. Hubungan antara psikologi dan sastra sangat erat bisa dibilang
hubungan fungsional yang sama-sama berguna untuk sarana mempelajari
keadaan-keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaanya gejala kejiwaan yang ada
dalam karya sastra adalah gejala-gejala riil.
Psikoilogi sastra sebagai sebuah disiplin ilmu kejiwaan terdapat tiga
pendekatan, yaitu: (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji dan memahami unsur-
unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, sebagai seorang yang menciptakan
sebuah karya sastra yang menungkan segala imajinasinya kedalam sebuah tulisan
(2) pendekatan tekstual, yang mengkaji dan memahami unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, yang digambarkan oleh seorang
pengarang (3) pendekatan reseptif pragmatis, yang mengkaji dan memahami
unsur-unsur kejiwaan pembaca setelah melakukan dialog dengan karya sastra
yang diamatinya sebagai proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks
sastra. Pembicaraan pertama berhubungan dengan pengarang sebagai pencipta,
jadi karya sastra dalam kaitannya dengan proses kreatif (Ratna,2004:343).
Sebagai dunia dalam fonem-fonem yang membentuk sebuak kata atau
kalimat, karya sastra merumuskan berbagai kehidupan ke dalam sebuah cerita
yang dilakukan oleh seorang manusia. Aspek kemanusian adalah salah satu objek
dalam sebuah psikologi sastra, sebab dalam diri manusia terdapat banyak hal yang
bisa dikaji, jika di dalam sebuah karya sastra khususnya novel tokoh-yokoh dalam
sebuah cerita itu yang perlu dikaji sebagai objek psikologi sastra. Aspek kejiwaan
yang dicangkokkan dan diinvestasikan dalam analisis pada umunya yang menjadi
tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya. Namun,
dalam penelitian ini yang dianalisis adalah tokoh utama.
-
24
Untuk menganalisis aspek kejiwaan pada perilaku tokoh utama dalam
novel digunakan sebuah psikoanalisis yang dapat diterapkan pada tokoh dalam
karya sastra yang mengalami sebuah kejiwaan pada kepribadiaannya. Karya sastra
merupakan refleksi kehidupan dengan itu seniman akan merasa dirinya menjadi
pahlawan, raja, dan pencipta dari apa yang diinginkan tampa mengubah alam
sekitar.
Dalam psikologi, psikoanalisis dipergunakan untuk terapi abnormal
personality, yaitu penderita gangguan jiwa, orang-orang yang mempunyai
kelainan jiwa. Sedangkan dalam sastra, psikoanalisis dipergunakan untuk
menganalisis tokoh yang mengalami gangguan kejiwaan dalam perilakunya.
Namun dalam penelitian ini psikoanalisis dipergunakan untuk menganalisis tokoh
utama yang ada dalam novel Dadaisme.
2.3 Pengertian Abnormal
Abnormal jika dijelaskan definisi pengertiannya terlalu rumit untuk
merumuskan secara tepat apa yang dimaksut dengan abnormal, maka dari itu ada
beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan atau mengukur
abnormalitas. Beberapa kriteria yang dimaksut yaitu (1) penyimpangan dari
norma-norma, menurut patokan ini yang disebut abnormal adalah setiap hal yang
luar biasa, atau secara harfiah adalah perilaku yang menyimpang dari
norma,seseorang yang mengalami sebuah abnormal seseorang yang menyimpang
pada norma terutama norma sosial pada lingkungannya, (2) penyimpangan dari
norma-norma sosial menurut kriteria ini, abnormal diartikan sebagai perilaku yang
tidak patuh atau tidak sejalan dengan norma sosial, (3) gejala “salah-suai”
-
25
(maladjustment) dalam gejala ini abnormalitas dipandang sebagai ketidak
efektifan individu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan fisik dan sosial, (4)
tekanan batin dalam hal ini abnormalitas dipandang berwujud perasaan-perasaan
cemas, depresi, atau merasa berasalah mendalam, (5) ketidakmatangan dari hal ini
abnormalitas disebut bila perilakunya tidak sesuai dengan tingkat usianya, dan
tidak selaras dengan situasinya Colen dan Winkel 1991, (dalam Supratiknya,
1995:11).
Selain kriteria dalam menentukan pengertian abnormalitas Coleman,
Butcher dan Carson 1980 (dalam Supratiknya, 1995:15). Menjelaskan beberapa
istilah-istilah yang bisa digunakan untuk memahami lebih dalam lagi tentang
perilaku abnormalitas yaitu: (1) perilaku maladaptif yaitu tanggapan atau reaksi
seseorang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baik ucapan
maupun perilakunya, (2) gangguan mental, gangguan yang berkaitan dengan
psikis atau kejiwaan yang dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan
membentuk sebuah kepribadian, (3) psikopatologi atau penyakit mental gangguan
yang melibatkan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan pada proses
pemikiran, perasaan, dan tingkah laku, (4) penyakit jiwa adalah gangguan otak
yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berfikir, perilaku, dan persepsi
(penangkapan panca indera), (5) gangguan perilaku gangguan serius dalam hal
tingkah laku dan emosi yang dapat terjadi pada anak-anak dan remaja, (6)
ketidakwarasan merupakan istilah hukum bahwa individu secara mental tidak
mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dari istilah-istilah dan karekteristik yang sudah dijelaskan dapat
disimpulkan bahwa perilaku abnormal merupakan suatu perilaku kepribadian
-
26
yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang dan membutnya berfikir
bahwa dia adalah seseorang yang berbeda dari yang lain, karena dia tidak
menikmati kehidupan sosial yang normal pada umumnya sebab berkaitan dengan
psikisis manusia yang tidak wajar. Abnormal juga bagian dari ilmu psikologi
yang berhubungan dengan perilaku yang dianggap abnormal, maka abnormal ini
lebih mendasar pada gangguan yang terdapat pada perilaku seseorang yang
disebabkan oleh beberapa bentuk gangguan seperti gangguan pada otak atau
mental dan emosi.
2.4 Bentuk-bentuk Perilaku Abnormal
Bentuk perilaku abnormal dari masa ke masa dalam penggolongan
aneka bentuk perilaku abnormal selalu mengalami perubahan, selalu mengalami
sebuah penjajkan agar bisa membuat sebuah penggolongan yang lebih pas dan
sempurna. Tidak segampang mungkin menggolongkan bentuk perilaku abnormal
harus di dasarkan pada ilmu pengetahuan psikopatologi dan kalangan masyarakat.
Seperti halnya penggolongan paling tua dilakukan oleh Emil Kraepelin
seorang psikolog berkebangsaan Jerman pada tahun 1883 dalam bukunya yang
berjudul Lehrbuch der Psychiatrie, selanjutnya direvisi pada tahun 1927 an dan
masih banyak lagi kalangan psikolog dan psikiatri yang menggolongkan bentuk
perilaku abnormal. Seperti kalangan profesor psikistri di Amerika Serikat yakni
the American Psychiatric Association (APA) yang mengembangkan
penggolongan dengan versi mereka sendiri dalam dokumen yang di sebut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau disingkat DSM.
Penggolongan ini juga selalu direvisi oleh perkembangan pengetahuan di bidang
-
27
psikopatologi maupun perkembangan masyarakat hingga kini APA telah
menerbitkan DSM sebanyak empat kali, yaitu DSM-I pada tahun 1952, DSM-II
pada tahun 1968, DSM-III pada tahun 1980, dan DSM-IV pada tahun 1994
(Supratiknya, 1995:33).
Salah satu bentuk penggolongan yang didasarkan oleh DSM-III (1980)
yaitu dilakukan dengan membedakan lima taraf yaitu:
1. Taraf Pertama berupa gejala kehilangan kontrol atau kekacauan yang masih
ringan yang bersangkutan masih bertingkah laku secara efektif dan merasa
nyaman, tetapi menunjukkan tanda-tanda berupa rasa terhambat, emosi yang
meningkat, gusar, khawatir, mungkin mengalami disfungsi somatik atau seksual
tertentu dan butuh usaha untuk mengendalikan diri.
2. Taraf Kedua berupa pemutusan dari realitas dan rasa tidak nyaman pada
tingkat yang masih ringan. Misalnya, dalam bentuk pingsan, mengalami disosiasi
atau berbagai bentuk kehilangan kesadaran atau kontrol diri.
3. Taraf Ketiga ditandai dengan pelampiasan agresif dalam bentuk tindak
kekerasan yang dilakukan secara kuat, yaitu sesekali namun dalam intensitas
tinggi , atau secara kronis.
4. Taraf Keempat yakni keadaan disorganisasi atau kekacauan yang ekstrem
berupa penyangkalan realitas dan mengalami sebuah kemurungan, kegembiraan
yang tak terkendali, dan mengalami sebuah tingkah laku tertentu yang berlebihan
dan tak terkendali, delusi atau waham, hilang ingatan dan kebingungan.
5. Taraf Kelima berupa disintegrasi kepribadian yang bersifat total, kemunduran
fungsi secara total, dan keputusan-keputusan yang menjerumus ke bunuh diri.
-
28
Setelah melewati beberapa tahap dalam menggolongkan bentuk perilaku
abnormal maka Supratiknya dalam bukunya Mengenal Perilaku Abnormal telah
menggolongkan bentuk perilaku abnormal dengan di dasarkan pada penggolongan
dalam DSM-III (1980) yang membuat setiap bentuk gangguan perilaku
mengakibatkan taraf disfungsi psikologis yang berlainan atau bisa di sebut dengan
kerusakan dalam sistem psikologis seseorang. Dengan merevisi kembali dari
DSM-III tersebut Supratiknya melakukan penggolongan yang disebabkan oleh
gangguan pada perilakunya seperti gangguan depresi mayor akut, gangguan
stuport depresfif atau mutisme (pembisuan), gangguan waham atau delusi,
gangguan halusinasi, dan gangguan dissosiasi. Beberapa bentuk perilaku
abnormalitas sebuah aspek yang dapat terjadi pada pola kepribadian.
2.4.1 Perilaku Depresi Mayor Akut
Depresi merupakan suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan suatu
efek kehilangan minat atau kesenangan dalam diri seseorang. Depresi juga
berhubungan perubahan suasana hati seperti kesedihan, kesepian, dan
menghukum diri, tetapi suasana hati yang paling sering dilakukan oleh seseorang
adalah kesedihan yang terus menerus. Depresi juga bisa diartikan sebagai
gangguan alam perasaan seseorang yang berat dalam bentuk kesedihan yang
dirasakan oleh individu. Terdapat juga keanehan dalam perilakunya seperti tidak
mau bergabung pada lingkungan sekitarnya dengan menarik diri dari
lingkungannya.
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional yang berkepanjangan
dalam kepribadian seseorang yang membuat terganggunya seluruh proses mental
-
29
(berfikir, perasaan, aktivitas), seseorang yang ditandai dengan pikiran yang
negatif pada diri sendiri, suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi,
pikiran lambat serta akivitas akan menyebabkan seseorrang tersebut tidak akan
percaya dengan ucapan orang lain sebab dia sudah meyakini bahwa yang dia
pikirkan sudah benar tanpa harus mempercayai pendapat orang lain menurun
Keliat (dalam Zakiyah, 2014:77)
Gangguan depresi juga termasuk pada gangguan afektif, gangguan afektif
sendiri menurut Supratiknya, gangguan “mood”mood sendiri adalah kondisi
perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis tingkat emosi
ekstrem dan tidak sesuai, meliputi kegembiraan (elation) dan kesedihan
(depression) yang ekstrem (Supratiknya, 1995:69). Orang dengan gangguan mood
atau yang sering dikenal sebagai gangguan perasaan biasanya terlarut dalam
suasana perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu
kemampuan mereka. Gangguan mood yang terjadi pada seseorang ini umumnya
terjadi karena banyaknya tekanan yang menimpa dirinya dan cenderung terlarut
dalam tekanan dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang
kemudian dapat berubah menjadi depresi terutama depresi mayor akut. Menurut
Supratiknya (1995:67), terdapat tiga jenis gangguan afektif yaitu:
1. Gangguan afektif ringan
Salah satu jenis gangguan penting yang terdapat pada fungsi mental yang
termasuk dalam kategori ini adalah depresi normal, yakni kesedihan yang
mendalam atau kepedihan. Gangguan ini juga termasuk pada gangguan proses
psikologis yang terdapat pada gangguan mental yang mengikuti sebuah
-
30
pengalaman dalam dirinya, pengalaman dalam dirinya bisa seperti pengalaman
kehilangan (loss) sesuatu yang berharga.
2. Gangguan afektif neurotik
Gangguan afektif neurotik adalah gangguan emosi atau mood yang
mengakibatkan fungsi dan aktifitas penderita sngat terhambat, namun tidak
sampai putus kontak dengan realitas.
3. Psikosis afektif
Gangguan ini berbeda dengan depresi neurotik hanya dalam dua hal.
Pertama, gangguan ini mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderita. Kedua,
penderita kehilangan kontak realitas, dalam gangguan ini terdapat gangguan
depresi mayor akut.
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah gangguan psikosis afektif
karena dalam gangguan psikosis afektif sebuah gangguan yang mempengaruhi
keseluruhan kepribadian serta seseorang kehilangan kontak dengan realitas.
Gangguan psikosis afektif ini ada beberapa gangguan yang termasuk dalam
kategori yaitu gangguan depresi mayor, gangguan depresi mayor akut dan stupor
depresif atau mutimesme. Penelitian ini menggunakan gangguan depresi mayor
akut dan stupor depresif atau mutimesme sebagai bahan penelitian karena dua
kategori depresi ini yang masuk dalam keterkaitannya dengan novel.
Depresi mayor akut ini adalah gangguan afektif berat yang meliputi
depresi, gangguan ini dapat berlangsung sekali atau berulang-ulang. Gangguan ini
memiliki sebuah ciri yaitu: (1) cenderung mengisolasi diri dari realitas, (2) tidak
mau berbicara, (3) sangat lamban dalam memberikan respon, (4) merasa bersalah
dan tidak berharga, (5) merasa telah berbuat aneka dosa yang membuat celaka
-
31
orang lain, (6) gelisah dan sering mondar-mandir dan meremas tangan
(Supratiknya, 1995:69).
2.4.2 Perilaku Stuport Depresif atau Mutisme
Komunikasi merupakan sebuah kegiatan pertukaran pikiran dan perasaan,
pertukaran tersebuiut dapat dilaksanakan dengan setiap bentuk bahasa atau
ungkapan dalam bentuk berbicara atau tulisan. Komunikasi yang paling terpenting
yaitu komunikasi menggunakan ucapan yaitu dengan media berbicara yang paling
umum dan efektif karena berbahasa dan berbicara adalah alat utama dalam
berkomunikasi bagi setiaap orang.
Pada tahap awal, perkembangan wicara atau berbicara merupakan proses
sensor yang terjadi sebagai hasil interaksi seseorang terutama seseorang anak
dengan orang tua. Perkembangan komunikasi anak sesungguhnya sudah dimulai
sejak dini, seperti tangisan bayi saat dirinya tidak nyaman, dari sini seorang bayi
akan mengerti bahwa mendapat perhatian oleh ibunya. Jadi sebuah komunikasi
bicara sudah diajarkan sejak seseorang tersebut masih bayi, tetapi sering kali
terjadi gangguan berbicara dan berbahasa.
Berbicara dan berbahasa hubungannya sangat dekat sekali tetapi memiliki
arti yang berbeda. Sebuah fikiran yang diubah kedalam simbol-simbol dan
dikomunikasikan melalui berbicara, menulis, atau gerak isyarat disebut dengan
bahasa. Gangguan berbahasa selalu berhubungan dengan adanya gangguan pada
otak, sedangkan gangguan berbicara dapat disebabkan pada bagian otak.
Penyebab gangguan berbicara pada anak sangatlah sukar. Kemampuan
berbicara seseorang anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk adalah
-
32
kemampuan mendengar, perkembangan fisik dari mulut dan tenggorokan serta
keturunan. Selain itu kondisi lingkungan merupakan hal yang penting menyangkut
hasil perkembangan seorang anak. Tetapi penyebab gangguan itu memang ada
dan disebabkan oleh beberapa gangguan seperti (1) gangguan pendengaran
ditandai oleh seseorang anak tersebut tidak memberikan respon terhadap bunyi
apapun itu, (2) gangguan kognitif ditandai dengan keterlambatan dari segi mental
seorang anak,(3) autisme ditandai oleh sebuah gangguan biologis dari anak, (4)
mutisme (pembisuan) gangguan ini ditandai oleh fatror psikologis seorang anak
Elizabeth M Pranther (dalam Birawa dan Amalia, 2008:7-8)
Mutimesme adalah pembisuan yang tidak mampu berkomunikasi dengan
orang lain yang disebabkan gangguan kejiwaan maka membuat seseorang akan
mengalami sebuah pembisuan, sama halnya dengan depresi mayor akut gangguan
mutisme ini juga sebuah gangguan afektif berat yang hanya meliputi depresi,
sebab dari deprsi akan membuat seseorang pasti memiliki perilaku mutisme
karena dengan adanya depresi seseorang pasti akan takut dalam melakukan hal
apapun akibatnya muncul perilaku mutisme, dalam mutisme terdapat ciri yang
bisa digunakan yaitu: (1) selalu diam dan mematung, (2) sama sekali tidak respon
dan tidak aktif, (3) sama sekali acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang
berlangsung di sekitarnya, (4) mengalami disorientasi (bingung) terhadap waktu,
tempat, dan orang, (5) biasanya mengalami halusinasi dan delusi (Supratiknya,
1995:69).
Berbicara merupakan sarana untuk berkomunikasi yang penting bagi
kehidupan sosial apalagi bagi seorang anak-anak karena melalui berbicara anak
akan memperoleh tempat di dalam kelompok sosialnya, tetapi tidak semua akan
-
33
berani berbicara pada situasi atau dengan orang tertentu yang membuat tidak
nyaman, takut atau bahkan cemas sehingga mereka menolak melakukannya maka
akibatnya akan menimbulkan sebuah perilaku mutisme yang selalu diam, tidak
merespon dan tidak aktif, sama sekali acuh tak acuh terhadap segala sesuatu,
mengalami disorientasi atau kebingungan terhadap tempat, orang, dan waktu, dan
menyebabkan halusinasi. Halusinasi timbul karena seseorang tersebut merasa
tidak memiliki siapapun untuk diajak berbicara, maka daya khayal atau persepsi
yang salah akan mencul dalam pikirannya maka itulah yang dinamakan
halusinasi.
2.4.3 Perilaku Waham atau Delusi
Pikiran adalah suatu bentuk tingkah laku, yang termasuk di dalamnya
adanya rangsangan dan jawaban (situmulus dan respon). Rangsangan dapat datang
dari berbagai sumber, termasuk dari alam ketidak sadaran dan perasaan-perasaan
kita. Namun demikian, pikiran manusia dikoreksi oleh perhitungan akal sehat dan
logika yang adanya di kesadaran. Pikiran yang dikendalikan oleh kesadaran dan
berdasarkan kenyataan tersebut dinamakan pikiran rasional atau pikiran yang
realitas. (Baihaqi, 2005:95).
Kegiatan berfikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dengan
apa yang terjadi atau dialami. Kekaguman atau keheranan tersebut menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Jenis, banyak, sedikit, dan mutu pertanyaan
yang diajukan tergantung pada minat, perhatian, sikap ingin tahu, serta bakat dan
kemampuan subjek yang bersangkutan. Dengan demikian, kegiatan berpikir
manusia selalu tersituasikan dalam kondisi konkret subjek yang bersangkutan.
-
34
Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa berupa simbol-simbol
yang diwujudkan dengan kata-kata yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan
historis tempat kegiatan berpikir dilakukan Sudarminta (dalam Sobur, 2003:202)
Keterkaitan antara bahasa dan pikiran sangat erat, karena manusia dapat
menciptakan beratus-ratus hingga beribu simbol yang memungkinkan manusia
tersebut dapat berpikir begitu sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Bahasa juga sebagai alat yang ampuh dalam melaksanakan proses berpikir sebab
berbahasa juga dapat memproses pikiran untuk berpikir hal apa yang akan
diucapkan, situasi seperti apa yang sedang dibicarakan maka dari itu hubungan
bahasa dengan pikiran sangat erat. Namun bahasa bukan satu-satunya alat yang
dapat digunakan dalam proses berpikir, sebab masih ada lagi yang digunakan
yaitu bayangan atau gambaran (Image), sebagai salah satu bentuk proses berpikir
(Walgito, 2010:196),
Proses berpikir manusia dapat dipengaruhi oleh bebrapa faktor yaitu faktor
somatik (gangguan otak, kelelahan, atau sakit), faktor psikologis (gangguan
emosi, ingatan, perhatian, atau psikosis), dan faktor sosial (kegaduhan atau
keramaian, suasana alam yang tenang, dan suasana tempat tinggal). Dari beberapa
faktor ini proses berfikir akan menimbulkan sebuah gangguan-gangguan dalam
berpikir.
Baihaqi (2005:96-103) menyatakan gangguan-gangguan dalam berpikir
dapat dibedakan berdasarkan bentuknya yaitu:
1. Bentuk gangguan berpikir
Bentuk gangguan berpikir ini termasuk dalam kategori semua
penyimpangan dari pemikiran rasional, logis, dan terarah pada tujuan, meliputi
-
35
dereisme, autistis (kegagalan dalam membedakan batas kenyataan), bentuk
pikiran yang tidak realitas.
2. Gangguan jalan pikiran
Gangguan-gangguan yang menunjukkan tidak adanya urutan yang logis
dan koheren dari ide-ide yang dikeluarkan menuju ketujuan akhir, meliputi flight
of ideas (pikiran yang melayang), perseverasi (pengulangan suatu ide), asosiasi
longgar, inkoherensi, kecepatan bicara, hambatan, logore (seseorang yang banyak
bicara), asosiasi bunyi, neologisme (pembentukan kata-kata baru), irelevansi,
pikiran yang berputar-putar, main-main dengan kata, afasia (kesulitan dalam
mengungkapkan isi pikiran).
3. Gangguan isi pikiran
Gangguan isi pikiran ini suatu gangguan yang disebabkan oleh banyak
gangguan-gangguan dalam otak maka akibatnya isi pikiran menjadi tidak teratur,
gangguan isi pikiran ini meliputi, kegembiraan yang luar biasa, fantasi, phobia,
preokupasi (pikiran yang terpaku pada sebuah ide), pikiran bunuh diri, pikiran
hubungan, pikiran terasing, pikiran isolasi sosial, pikiran rendah diri, merasa
dingin dalam bidang seksual, rasa dirugikan orang lain, rasa salah, pesimisme,
rasa curiga, konfabulasi, waham atau delusi.
4. Gangguan pertimbangan pikiran
Gangguan ini berhubungan dengan gangguan metal untuk menghindari
kenyataan yang mnyakitkan, pertimbangan adalah kemampuan untuk
mengevaluasi keadaan atau menarik kesimpulan berdasarkan pada pengalaman,
berfikir sebuah kegiatan mental yang dilakukan oleh otak untuk memecakhan
permasalahan, serta memberikan sebuah pemahaman, berpikir juga berkaitan
-
36
dengan sebuah bahasa karena dalam berpikir pasti menggunakan bahasa, tetapi
tidak hanya bahasa yang sebagai alat untuk berpikir terkadang orang juga
menggunakan bayangan serta gambaran untuk berpikir. Dalam berpikir terdapat
sebuah faktor yang mempengaruhi serta terdapat gangguan-gangguan berpikir
salah satunya bentuk gangguan isi pikiran yang didalmnya terdapat sebuah
gangguan waham atau delusi. Maka waham atau delusi merupakan cakupan dari
bagian gangguan isi pikiran pada diri seseorang.
Waham atau delusi adalah kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau
keyakinan isi pikirannya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Delusi juga
gambaran tipuan dari gambar yang memperdayai kita dengan kesesatan yang tidak
bisa dibetulkan dan tidak cocok sama sekali dengan pikiran serta pendapat sendiri
(Baihaqi, 2005:101). Delusi itu pada umumnya ditimbulkan oleh pengalaman-
pengalaman masa lampau yang diliputi oleh perasaan-perasaan berdosa dan
bersalah, serta harapan-harapan yang tidak atau belum tercapai.
Waham atau delusi adalah suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat
dijelaskan oleh latar belakang budaya ataupun pendidikannya. Orang yang
mengalami delusi akan menceritakan suatu cerita dengan sangat yakin walaupun
apa yang dia ceritakan sebenarnya tidak pernah terjadi atau hanya terjadi dalam
khayalannya (Arif, 2006:18).
Banyak seseorang yang memberikan pengertian waham dan halusinasi
sama padahal tidak sama jika waham atau delusi adalah gangguan mental di mana
penderita tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga mereka
myakini dan bersikap sesuai dengan yang dipikirkan, sedangkan halusinasi adalah
-
37
kesalahan persepsi terhadap sebuah obyek sedangkan obyek tersebut sebenarnya
tidak ada.
Waham atau delusi dibagi menjadi sepuluh yaitu: (1) delusi kejar
(persekutorik), suatu delusi yang mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaga
untuk melukainnya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya,
kepercayaan ini sering dirupakan dalam bentuk kompoltan yang hayal
keberadaannya, (2) delusi kebesaran, adalah keyakinan atau kepercayaan yang
biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat
berkuasa atau sangat besar, (3) delusi nihilistis, perasaan yang keliru bahwa diri
dan lingkungannya atau dunia tidak ada, (4) delusi keagamaan, delusi yang
berhubungan dengang spiritual yang membuatnya wajib melakukan sesuatu hal
yang tidak lazim, (5) delusi dosa, keyakinan bahwa dirinya telah melakukan dosa
atau kesalahan yang sangat fatal, bahkan hingga menyebabkan peristiwa buruk,
(6) delusi somatik, sebuah keyakinan yang keliru melibatkan fungsi tubuh
(contoh: yakin otaknya meleleh) (7) pengaruh, (8) delusi hipokodrik, (9) delusi
sakit, keyakinan bahwa seluruh atau sebagian tubuhnya sedang dilanda penyakit
yang kronis, (10) delusi hubungan, sebuah interprestasi yang salah dari
pembicaraan, kejadian atau gerak-gerik yang dirasakan langsung dengan dirinya
(Baihaqi, 2005:101-103).
2.4.4 Perilaku Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu bentuk gangguan pada perilaku
abnormal. Gangguan tersebut di sebabkan adanya gangguan pada sensor persepsi
dengan kata lain, seseorang menerima unsur-unsur sensori (penglihatan dan
-
38
pendengaran) tidak secara nyata, objektif, dan bukan dalam pikiran perseptor. Hal
ini sejalan dengan pendapat Baihaqi (2005:70) bahwa halusinasi adalah persepsi
yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan yang menimbulkannya (tidak
ada objek).
Terdapat beberapa macam halusinasi (1) halusinasi pendengaran (auditory
hallucination), dimana orang mendengar suara-suara, musik, dan lain-lain, yang
sebenarnya tidak ada (2) halusinasi yang kedua adalah halusinasi (visual
hallucination), yang seringkali bebarengan dengan halusinasi pendengaran semisal
seseorang yang melihat makhluk gaib yang berdiri di sisi tempat tidurnya, (3)
halusinasi perabaan (tactile hallucination), melibatkan persepsi bahwa sesuatu
sedang terjadi di luar tubuh seseorang, (4) halusinasi somatis (somatic
hallucitation), persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam diri seseorang
Hoeksema, 2004 (dalam Wiramiharja, 2005:140-141).
Halusinasi termasuk suatu keadaan seseorang melihat, mendengar, atau
merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata atau bisa disebut dengan persepsi
yang salah yang diterima oleh panca indra dan berasal dari stimulus eksternal
yang biasanya tidak diinterprestasikan ke dalam pengalaman. Halusinasi ini juga
bisa terjadi pada indra apapun seperti pendengaran, penglihatan, perabaan.
2.4.5 Perilaku Dissosiasi
Kesehatan mental merupakan modal utama kehidupan seorang manusia.
Tanpa mental yang sehat, seseorang manusia tidak dapat melaksanakan tugas
kemanusiaannya dengan baik. Seseorang dalam keadaan kesehatan mental,
memiliki perasaan yang utuh sebagai manusia dengan kepribadian. Manusia yang
-
39
sehat tidak secara fisik, tetapi juga secara psikis. Terdapat berbagai macam
gangguan mental, salah satunya gangguan dissosiasi yang termasuk dalam
gangguan jiwa ringan.
Dissosiasi adalah gangguan yang menunjukkan adanya kehilangan
sementara aspek penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap
lingkungannya, dalam beberapa kejadian individu tersebut berperilaku seakan-
akan disukai oleh kepribadian lain, kekuatan ghaib, malaikat atau kekuatan lain
Maslim (dalam Harsono, 2012:60).
Gangguan dissosiasi (dissociative) adalah gangguan psikologis yang
melibatkan kehilangan memori atau disebut juga dengan daya ingat seseorang dan
perubahan identitas yang mendadak. Dalam kondisi stres yang sangat berat atau
keterkejutan, kesadaran individu menjadi terdisiosiasi (terpisah atau terpecah) dari
pengalaman-pengalaman dan ingatan sebelumnya (King, 2010:325). Gangguan
dissosiasi termasuk sekelompok gangguan yang ditandai oleh suatu kekacauan
dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Bisa disebut juga dengan gangguan
amnesia dimana seseorang lupa dengan keadaan dimasa lampau yang menurut
seseorang tersebut kejadian atau keadaan di masa lampau membuat seseorang
tersebut merasa terancam maka seseorang tersebut melakukan sebuah tindakan
untuk melupakan kejadian atau keadaan masa lampau dari pikirannya.
Dissosiasi adalah terdapatnya pelarian pada keadaan lupa, tidak ingat dan
tidak sadar yang dilanjutkan dengan “psikohisteris”, kerusakan tiba-tiba fungsi
ego yang disebabkan oleh stres emosional yang berat Tan Pariaman (dalam
Zurmalis, 2008:8). Individu yang mengembangkan gangguan dissosiasi mungkin
memiliki masalah mengintegrasikan beragam aspek kesadaran, hingga
-
40
pengalaman pada tingkat kesadaran yang berbeda terasa seperti seolah-olah itu
terjadi pada orang lain. Dissosiasi dianggap sebagai cara individu untuk
menghadapi stres yang ekstrim dengan melindungi diri secara sadar dari sebuah
kejadian yang traumatis. fenomena dissosiasi dikenal dengan istilah kesurupan,
kesurupan dipercaya oleh masyarakat suatu keadaan yang terjadi bila roh yang
lain memasuki seseorang dan menguasinya sehingga orang itu menjadi lain dalam
hal bicara, perilaku dan sifatnya. Perilakunya menjadi seperti ada kepribadian lain
yang memasukinya hal ini terjadi karena adanya stres berat dan sebuah trauma.
2.5 Faktor Penyebab Perilaku Abnormal
Faktor penyebab terjadinya perilaku abnormal terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor terutama yaitu faktor psikososial. Psikososial sendiri adalah
kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau emosionalnya, dari kata
psikososial ini melibatkan aspek psikologi dan sosial. Contohnya hubungan antara
ketakutan yang dimiliki seseorang (psikologis) terhadap bagaimana dia
berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya. Bahkan sering muncul
perangsangka buruk atau negatif (negatif thinking) terhadap banyak hal, yang ada
pada hidup adalah salah satu wujud nyata dari kondisi psikososial yang buruk,
yang bisa mengarah pada hubungan sosial yang buruk juga.
Sama halnya dengan faktor psikososial, dalam hal ini dijelaskan oleh
Supratiknya (1995:27), bahwa dalam gangguan perilaku abnormal disebabkan
oleh beberapa faktor salah satunya faktor psikososial, dalam faktor psikososial
terdapat pula cabang untuk lebih mendasari tentang faktor psikososial yaitu
-
41
trauma psikososial bisa akan lebih spesifik lagi untuk memahami tentang faktor
psikososial.
2.5.1 Trauma
Trauma adalah sebuah pengalaman atau kejadian yang membuat rasa aman
dalam kepribadian seorang terancam, sehingga menimbulkan luka dalam
kepribadiannya atau dirinya yang sangat sulit disembuhkan secara langsung harus
melalui tahap-tahap tersendiri agar sembuh seperti semula. Terdapat sebuah
psikologis terhadap anak usia dini maka seorang anak tersebut akan selalu
mengenang kejadian trauma tersebut jika tidak sepenuhnya disembuhkan akan
terbawa pada masa remajanya. Akibatnya kemudian hari sesudah dewasa anak
tersebut akan mengalami kejadian yang mengingatkannya kembali pada trauma
yang pernah di alaminya itu, maka luka lama itu akan muncul kembali dan
menimbulkan gangguan atau masalah (Supratiknya, 1995:27).
Menurut Eth dan Pynoos (dalam Yulianto, 2015:74), sebuah trauma psikis
merupakan kejutan emosional yang memiliki efek jangka panjang ini terjadi
ketika seseorang terkena suatu peristiwa luar biasa yang membuat pikiran dan
kepribadiannya teringat sangat sebuah kejadian tersebut. Serta memiliki keadaan
tidak berdaya dan tidak mampu menggunakan mekanisme pertahanan yang ada
pada dirinya saat menghadapi bahaya yang mengancam. Suatu peristiwa yang
dialami atau disaksikan dan mengancam jiwa, cedera serius, dan ancaman
integritas fisik diri sendiri atau orang lain menyebabkan rasa takut, tidak berdaya,
atau mencekam.
-
42
Trauma bukan hanya membuat rasa aman seseorang tertekan tetapi
membuat sebuah kepribadian seseorang anak yang menjadi berubah karena akibat
kejadian yang membuat anak tersebut menjadi trauma. Kepribadian yang awalnya
berperilaku baik-baik saja selayaknya anak-anak maka akan berubah menjadi
seorang yang pendiam yang berperilaku aneh, maka trauma tidak hanya
menghancurkan rasa aman anak-anak tetapi menghancurkan kepribadian anak.
2.5.1.2 Hubungan Orang Tua-Anak yang Patogenik
Pola asuh orang tua kepada anaknya harus diperhatikan sebab karekter
anak terbentuk dari bagaimana pola asuh orang tua kepada anak tersebut. Cara dan
pola asuh orang tua kepada anaknya tentu berbeda antara satu keluarga dengan
keluarga yang lain, dengan adanya pola asuh orang tua seorang anak terbentuk
sebuah karakter dalam kepribadiannya.Pola asuh orang tua juga sebagai gambaran
tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam hal kedekatan anak kepada
orang tuanya, dan bagaimana komunikasi selama mengadakan kegiatan
pengasuhan. Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan
memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah, dan hukuman, serta tanggapan
terhadap tanggapan keinginan anaknya agar seorang anak tersebut terbentuk
sebuah karakter yang baik (Ismari, dalam Listriani, 2012:1)
Keluarga adalah tempat pertama untuk membentuk kepribadian dan
psikologi anak. Hubungan keluarga yang harmonis dan quality time yang sering
dilakukan membuat anak akan menjadi lebih terbuka. Sedangkan untuk hubungan
orang tua dan anak yang tidak harmonis dan tidak pernah menghabiskan waktu
bersama anak-anaknya membuat seorang anak menjadi tertutup dan enggan untuk
-
43
berbagi hal apa pun. Orang tua adalah salah satu pemberi kasih sayang yang tulus,
orang tua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan psikologis
anaknya. Orang tua yang mengabaikan dan juga tidak sayang dengan tulus pada
anaknya akan menghalangi perkembangan psikologi yang sehat atau bisa disebut
juga menyebabkan timbulnya patogenik (menimbulkan sebuah permasalahan atau
gangguan penyakit).
Hubungan orang tua anak yang patogenik adalah hubungan tidak serasi,
dalam hal ini pola asuh antara anak dengan orang tuanya, serta mengakibatkan
timbulnya masalah dalam hubungan pola asuh tersebut yang membuat seorang
anak mengalami sebuah siksaan dalam pola asuh tersebut. Pola asuh orang tua
yang salah bisa menyebabkan anak tersebut tersiksa seperti halnya pola asuh
dengan menelantarakan secara fisik, tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang,
tidak menunjukkan perhatian pada minat dan prestasi anak, menghukum secara
kejam dan sewenang-wenang, tidak meluakan waktu bersama anak, tidak
menghargai hak dan perasaan anak, memperlakukan atau menyiksa anak secara
kejam. Hal tersebut sama sekali tidak patut dijadikan contoh sebab seorang anak
butuh sebuaah kasih sayang serta perhatian oleh orang tuanya (Supratiknya,
1995:28).
Orang tua sangat bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi
dengan anaknya karena orang tua yang berkewajiban untuk mengasuh dan
memberikan didikan yang palin baik dari segi psikologi maupun dari segi
pengetahuannya. Tetapi beda jika orang tua tidak ada waktu untuk anaknya dan
menitipkan anaknya pada seseorang maka anak tersebut akan mendapat sebuah
didikan dari orang yang lebih dekat pada dirinya, sama halnya dengan seorang
-
44
anak yang sudah ditinggal orang tuanya dan diasuh oleh bibinya atau pamannya
maka akan berbeda dengan anak yang diasuh oleh orang tuanya sendiri. Sebab
jika diasuh dengan orang lain belum tentu orang lain tersebut sayang tulus dan
memberikan didikan yang baik bagi psikologis ataupun pengetahuannya
terkadang banyak orang yang mengasuh anak yang bukan anak kandungnya akan
memiliki sifat yang acuh tak acuh pada anak tersebut maka dari itu sebabnya
seseorang anak yang tidak diperhatikan oleh orang tuanya sendiri akan memiliki
sebuah riwayat yang tidak menyenagkan pada hidupnya.