BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/37540/3/jiptummpp-gdl-dwirosalin-51303...Watak, perwatakan,...

32
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka adalah bagian dari pembahasan dalam sebuah rumusan masalah yang akan ditemukan melalui pembahasan-pembahasan. Teori yang akan diungkapkan oleh peneliti, digunakan untuk menguraikan masalah yang akan dihadapi pada penelitian tersebut. Dalam sebuah kajian pustaka, pembahasan tentang teori yang akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori-teori yang dipakai harus sesuai dengan rumusan masalah. 2.1 Unsur Pembangun Novel 2.1.1 Tokoh dan Penokohan Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra, di dalam unsur intrinsik terdapat beberapa unsur yang dapat membangun sebuah karya sastra salah satunya yaitu tokoh dan penokohan yang terdapat dalam sebuah karya sastra khususnya novel. Tokoh sendiri adalah komponen penting yang terdapat pada sebuah cerita. Tokoh tersebut yang bisa menggambarkan sebuah cerita menjadi lengkap dan menjadi hidup. Karya sastra khususnya novel adalah salah satu bentuk imajinasi seorang pengarang dalam menuangkan imajinasinya dalam bentuk tulisa, seperti halnya seorang pengarang menciptakan seorang tokoh dalam sebuah karya sastra dengan adanya tokoh dalam sebuah karya membuat karya sastra tersebut terarah isi cerita yang ingin dikembangkan oleh pengarang. Tokoh terdapat dua jenis tokoh yaitu tokoh yang sering diceritakan atau sering muncul yaitu disebut tokoh utama

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/37540/3/jiptummpp-gdl-dwirosalin-51303...Watak, perwatakan,...

  • 13

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    Kajian pustaka adalah bagian dari pembahasan dalam sebuah rumusan

    masalah yang akan ditemukan melalui pembahasan-pembahasan. Teori yang akan

    diungkapkan oleh peneliti, digunakan untuk menguraikan masalah yang akan

    dihadapi pada penelitian tersebut. Dalam sebuah kajian pustaka, pembahasan

    tentang teori yang akan digunakan dalam sebuah penelitian. Teori-teori yang

    dipakai harus sesuai dengan rumusan masalah.

    2.1 Unsur Pembangun Novel

    2.1.1 Tokoh dan Penokohan

    Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra, di

    dalam unsur intrinsik terdapat beberapa unsur yang dapat membangun sebuah

    karya sastra salah satunya yaitu tokoh dan penokohan yang terdapat dalam sebuah

    karya sastra khususnya novel. Tokoh sendiri adalah komponen penting yang

    terdapat pada sebuah cerita. Tokoh tersebut yang bisa menggambarkan sebuah

    cerita menjadi lengkap dan menjadi hidup.

    Karya sastra khususnya novel adalah salah satu bentuk imajinasi seorang

    pengarang dalam menuangkan imajinasinya dalam bentuk tulisa, seperti halnya

    seorang pengarang menciptakan seorang tokoh dalam sebuah karya sastra dengan

    adanya tokoh dalam sebuah karya membuat karya sastra tersebut terarah isi cerita

    yang ingin dikembangkan oleh pengarang. Tokoh terdapat dua jenis tokoh yaitu

    tokoh yang sering diceritakan atau sering muncul yaitu disebut tokoh utama

  • 14

    sedangkan tokoh yang tidak sering muncul atau tidak sering diceritakan yaitu

    tokoh pembantu.

    Selain itu saat menentukan sebuah tokoh utama dalam sebuah karya sastra

    khususnya novel dapat dilihat dari seringnya muncul tokoh tersebut dalam cerita.

    Dalam sebuah karya sastra yang terdapat sebuah alur cerita di dalamnya terdapat

    tokoh utama dibedakan menjadi dua golongan yaitu tokoh antagonis dan tokoh

    protagonis. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang memiliki karakter atau sifat

    yang baik, sedangkan tokoh protagonis merupakan tokoh yang memiliki sifat

    yang jahat.

    Tokoh merupakan pelaku cerita dalam suatu cerita. Tokoh memiliki

    karakter tersendiri yang digambarkan melalui ucapan serta dilakukan oleh sebuah

    tindakan. Berdasarkan tindakan maupun ucapan yang dilakukan oleh tokoh

    tersebut akan tergambar bagaimana watak atau karakter tokoh tersebut. Watak

    atau karakter tokoh disebut dengan istilah penokohan.

    Penokohan adalah bentuk imajinasi seorang pengarang dalam memberikan

    watak dalam tokoh dalam sebuah cerita fiksi tersebut. Watak, perwatakan,

    terdapat pada karakter atau sifat seorang tokoh yang telah digambarkan oleh

    pengarang yang bertujuan agar pembaca memahami lebih dalam tokoh dalam

    karya sastra khususnya novel tersebut. Terbentuknya sebuah pewatakan dalam

    sebuah tokoh dalam novel membuat adanya sebuah tokoh antagonis dan tokoh

    protagonis (Nurgiyantoro, 2010: 165).

    Penokohan dalam sebuah karya sastra dapat digambarkan dengan jelas

    oleh pengarang. Maka seorang pengarang harus benar-benar menggambarkan

    tokoh-tokohnya dengan jelas seperti apa yang diucapka, apa yang diperbuat, apa

  • 15

    yang dipikirkan, dan apa yang dirasakan harus dapat betul-betul menggambarkan

    watak dari tokoh-tokohnya. Jika watak yang tergambar pada tokoh sudah benar-

    benar tergambar dengan jelas maka tokoh tersebut akan membangun sebuah

    kamestri dalam sebuah cerita.

    Nurgiyantoro menjelaskan beberapa ragam tokoh atau pelaku dalam

    sebuah karya sastra yaitu:

    1. Tokoh utama dan tokoh tambahan

    Segi peranan tingkat pentingnya tokoh dalam cerita dibagi menjadi dua

    yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama yaitu tokoh yang

    diutamakan penceritaannya dalam novel serta tokoh yang sering muncul dalam

    sebuah cerita yang bersangkutan, pelaku utama ini merupakan tokoh yang paling

    banyak yang diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai

    kejadian. Tokoh tambahan yaitu tokoh yang pemunculan dalam keseluruhan cerita

    lebih sedikit, pemunculannya hanya membantu membangun kamesti dengan

    tokoh utama saja secara langsung maupun tak langsung.

    2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis

    Fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh

    protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis yaitu tokoh yang memiliki

    karakter baik dan perbuatan yang baik-baik serta watak yang dikagumi oleh

    pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang memiliki watak jahat, sikap yang

    buruk serta bukan tokoh yang diidamkan oleh pembaca dan kedatangannya

    memicu munculnya konflik.

  • 16

    3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat

    Perwatakan tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh

    bulat. Tokoh sederhana yaitu tokoh yang memiliki suatu kualitas pribadi tertentu,

    memiliki satu sifat-watak tertentu yang tidak harus ditampilkan dengan adanya

    sebuah dialog saja sudah akan terlihat memiliki sebuah perwatakan sederhana.

    Sedangkan tokoh bulat yaitu tokoh yang ingin diungkapkan dalam sebuha karya

    sastra tentang sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

    4. Tokoh statis dan tokoh berkembang

    Berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita

    dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh

    yang memiliki cerita dalam sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang

    sejak awal hingga akhir cerita bisa juga disebut dengan tokoh yang monoton

    hanya melakukan sebuah perilaku yang selalu sama mulai awal cerita sampai

    akhir ceritaa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan

    dan perkembangan perwatakan dari awal, tengah dan akhir cerita seperti memiliki

    sebuah permasalahan hingga sampai pada klimaks permasalahan.

    5. Tokoh tripikal dan tokoh netral

    Sebuah karya sastra terdapat sebuah cerminan seorang tokoh dalam sebuah

    cerita, tokoh dalam sebuah karya sastra seperti sekelompok manusia dari

    kehidupan nyata. Tokoh dalam sebuah karya sastra yang mengikuti sebuah alur

    cerita dapat dibedakan kedalam tokoh tripikal dan tokoh netral. Tokoh tripikal

    yaitu tokoh yang sedikit ditampilkan keadaan individualisnya, dan lebih banyak

    kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang

    bereksistensi demi cerita itu sendiri, dan termasuk kedalam tokoh imajiner yang

  • 17

    hanya hidup dan bereksistensi demi cerita itu sendiri, termasuk tokoh imajiner

    yang masuk ke dalam dunia fiksi.

    2.1.2 Setting atau Latar

    Membicarakan tentang sebuah karya sastra khususnya karya fiksi, pada

    dasarnya membicrakan sebuah dunia yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh sebagai

    seorang penghuni yang memiliki sebuah permasalahan yang dipakai sebagai latar

    kehidupan bagi tokoh. Ruang dari latar kehidupan tersebut sering disebut dengan

    latar. Dalam sebuah karya sastra, setting dibagi menjadi tiga bagian yang meliputi,

    latar tempat, waktu, dan suasan.

    Latar disebut juga setting. Latar adalah sebuah keadaan atau situasi dalam

    sebuah cerita, keadaan dan situasi mencakup waktu, ruang, dan situasi terjadinya

    sebuah kejadian dalam sebuah cerita. Latar berfungsi dalam sebuah karya sastra

    khususnya novel yaitu memberikan arahan dan petunjuk tempat dan waktu yang

    diceritakan dalam novel tersebut agar pembaca mengetahui dan lebih paham

    tentang isi ceritanya. Selain itu, latar digunakan untuk menciptakan suasana

    tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Hal ini didukung oleh pendapat

    Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216), latar atau setting yang disebut juga

    sebagai pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

    terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

    Latar atau setting harus diuraikan dengan jelas karena latar hal yang sangat

    penting dalam sebuah cerita dengan adanya latar cerita tersebut menjadi terlihat

    nyata dan pembaca bisa mengetahui bahwa yang diceritakan berlatar tempat atau

    waktu yang jelas. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu yang benar-benar

  • 18

    terjadi dan menjadi bagian dari dirinya. Hal ini akan terjadi jika setting memiliki

    suasana atau tempat yang sama dengan pembaca.

    Berdasarkan fungsinya, Setting dapat dibedakan atas dua hal, yaitu latar

    fisik dan latar psikologi. Latar atau setting fisik menjadikan suatu cerita menjadi

    lebih nyata dan lebih logis. Latar fisik tersebut menyangkut tentang tempat dan

    waktu, sedangkan yang disebut dengan latar psikologi merupakan latar yang

    mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana

    tertentu yang menggerakkan emosi dan kejiwaan pembaca (Aminuddin, 2011:68-

    69).

    Penggambaran latar atau setting oleh seorang pengarang satu dengan yang

    lain memiliki perbedaan karena pemikiran beberapa pengarang berbeda-beda.

    Terdapat pengarang yang menjelaskan secara terperinci gambaran latar yang di

    tuliskan dalam sebuah cerita dan seakan-akan terlihat nyata benar adanya dan ada

    juga yang tidak terperinci dalam menggambarkan latar dalam suatu cerita. Setting

    yang dijelaskan sesuai dengan kenyataan merupakan setting yang benar-benar ada

    dan nyata, sedangkan setting yang dijelaskan tidak sesuai dengan kenyataannya

    disebut dengan khayalan. Setting khayalan ini sering berkaitan dengan setting

    tempat, dimana pengarang menggambarkan sebuah tempat yang tidak atau

    memang benar adanya atau hanya berdasarkan khayalan dari pengarang.

    2.1.3 Alur atau Plot

    Alur merupakan unsur intrinsik yang membangun sebuah karya sastra

    dengan adanya alur atau plot sebuah cerita bisa lebih terarah mau kemana jalan

    cerita dalam sebuah karya sastra khususnya novel. Alur mengatur bagaimana

  • 19

    tindakan-tindakan yang harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh yang

    digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam suatu kesatuan

    waktu (Semi, 1993:43).

    Alur merupakan sebuah keterkaitan peristiwa secara berurutan pada

    sebuah karya sastra yang melihat antara keterkaitan hubungan sebab akibat dan

    menjadikan sebuah cerita yang utuh, padu, dan bulat (Haryati, 2007:23).

    Pernyataan lain yang sama artinya dengan pernyataan di atas yaitu pernyataan

    menurut Suharianto mengemukakan plot merupakan cara seorang pengarang

    mempersatukan sebuah kejadian-kejadian dalam suatu cerita yang melihat hukum

    sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh

    (Suharianto, 2005:18).

    Aminuddin (2011:83) menyebutkan “alur merupakan rangkaian cerita

    yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang

    dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita”.

    Karya astra memiliki sebuah kejadian-kejadian atau peristiwa yang

    didalamnya terdapat sebuah konflik, dan klimaks yang bisa disebut dengan tiga

    unsur yang sangat ensesial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Akan tetapi

    belum tentu semuanya mengandung konflik, bahkan sebagai konflik utama.

    Jumlah konflik relatif banyak, namun hanya konflik utama yang dipandang

    sebagai klimaks (Nurgiyantoro, 2010:116)

    Berdasarkan kutipan-kutipan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

    alur yaitu sebuah rangkaian peristiwa dalam sebuah prosa fiksi yang menjadi

    kerangka utama cerita, sekaligus menjalin kejadian-kejadian secara beruntun

  • 20

    dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang

    padu, bulat, dan utuh.

    Nurgiyantoro mengatakan ragam alur yang dibagi menjadi beberapa

    bagian yaitu:

    a) Terdapat plot lurus, maju, atau dapat disebut dengan progresif, dalam sebuah

    cerita pasti terdapat sebuah peristiwa atau kejadian-kejadian yang membuat

    suasana dalam sebuah cerita tersebut terbangun nyata yang dilakukan oleh

    paraa tokohnya. Peristiwa dalam sebuah cerita yang dikisahkan oleh pengarang

    memiliki sifat yang berbeda-beda dan memilih alur yang berbeda, jika dalam

    karya sastra terdapat plot lurus pasti bersifat kronologis yang saling berkaitan

    antara peristiwa satu dengan peristiwa selanjutnya. Pengarang menggambarkan

    sebuah cerita secara runtut mulai tahap awal (penyistuasian, pengenalan,

    pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir

    (penyelesaian).

    b) Terdapat juga plot sorot balik atau flas back atau disebut juga plot regresif atau

    mundur adalah sebuah urutan peristiwa dalam cerita yang memiliki plot

    regresif tidak memiliki sifat kronologis. Jika plot yang memiliki sebuah sifat

    regresif tidak memulai cerita dari tahap awal cerita terkadang dimulai dari

    tahap tengah selanjutnya disusul dari tahap akhir dan baru masuk pada tahap

    awal, tetapi semua itu terserah oleh pengarang mau menggunakan plot yang

    mana terserah terpenting cerita tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Karya

    sastra yang berplot regresif langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik,

    bahkan konflik yang meruncing. Sedangkan pembaca belum mengetahui situsi

    dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan,

  • 21

    semua itu justru dikisahkan sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis

    terjadi.

    c) Plot campuran adalah plot gabungan antara progresif dengan plot regresif.

    Novel tidak ada yang mutlak berplot progresif saja, secara garis besar plot

    sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya sering terdapat adegan-

    adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya, tidak ada novel yang mutlak

    berplot regresif saja. Pembaca tidak akan bisa mengikuti cerita yang dikisahkan

    secara flas back terus menerus.

    d) Plot tunggal adalah plot yang hanya mengembangkan sebuah cerita dengan

    menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang menjadi hero. Karya fiksi

    yang berplot tunggal tentu saja menampilkan berbagai tokoh lain yang juga

    memiliki dan mendapat konflik, tetapi permasalahan dan konflik itu

    dimasukkan ke dalam bagian plot cerita sepanjang ada kaitannya dengan

    tokoh utama.

    2.2 Psikologi Sastra

    psikologi sastra adalah ilmu yang mempelajari sebuah keadaan psikis

    kejiwaan seseorang dalam sebuah karya sastra. Sebelum membahasa lebih dalam

    tentang cara kerja psikologi sastra, maka terlebih dahulu mengetahui latar

    belakang dari psikologi sastra. Psikologi sastra terdiri dari dua kata yaitu psikologi

    dan sastra. Oleh karena itu untuk mengetahui maknanya, terlebih dahulu

    mengartikan satu per satu katanya. “psikologi” berasal dari bahasa Yunani

    “psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi

    secara garis besar bisa dikatakan psikologi sastra ilmu yang mempelajari kejiwaan

  • 22

    seseorang, sedangkan menurut etimologi psikologi artinya ilmu yang mempelajari

    tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar

    belakangnya. Dengan singkat dengan ilmu jiwa (Ahmadi,1991:1).

    Sastra terkadang disebut sebagai gejal kejiwaan yang terkandung dalam

    sebuah fenomena atau kejadiaan yang tergambar pada perilaku tokoh-tokohnya.

    Dengan adanya sebuah gejala kejiwaan dalam sebuah karya sastra dapat dikaitkan

    dengan penggunakan pendekatan psikologi yang juga psikologi membahas

    tentang psikis kejiwaan serta sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang

    bersifat tidak langsung dan fungsional (Jatman, 1985:165).

    Secara definitif tujuan psikologi adalah memahami aspek-aspek kejiwaan

    yang terkandung dalam karya satra yang terlihat dari perilaku-perilaku tokohnya

    tetapi bukan berarti analisi psikologi sastra terlepas dengan kebutuhan

    masyarakat. Karya sastra salah satu cara memberikan pemahaman kepada

    masyarakat bahwa gambaran manusia dapat digambarkan dalam bnetuk sebuah

    tulisan, cerita dalam sebuah karya sastra tidak beda jauh dengan keadaan dunia

    nyata. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat

    memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang

    terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna,

    2004:342).

    Pengarang dan psikolog adalah sama-sama manusia biasa, hanya saja

    mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam.

    Sehingga pengarang menuangkannya kedalam sebuah tulisan sedangkan psikolog

    dengan sesuai keahliannyaa membentuk pada formulasi dalam bentuk teori-teori

    yang dapat dipergunakan untuk menganalisis sbeuah karya sastra jadi sama-sama

  • 23

    saling melengkapi. Hubungan antara psikologi dan sastra sangat erat bisa dibilang

    hubungan fungsional yang sama-sama berguna untuk sarana mempelajari

    keadaan-keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaanya gejala kejiwaan yang ada

    dalam karya sastra adalah gejala-gejala riil.

    Psikoilogi sastra sebagai sebuah disiplin ilmu kejiwaan terdapat tiga

    pendekatan, yaitu: (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji dan memahami unsur-

    unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, sebagai seorang yang menciptakan

    sebuah karya sastra yang menungkan segala imajinasinya kedalam sebuah tulisan

    (2) pendekatan tekstual, yang mengkaji dan memahami unsur-unsur kejiwaan

    tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, yang digambarkan oleh seorang

    pengarang (3) pendekatan reseptif pragmatis, yang mengkaji dan memahami

    unsur-unsur kejiwaan pembaca setelah melakukan dialog dengan karya sastra

    yang diamatinya sebagai proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks

    sastra. Pembicaraan pertama berhubungan dengan pengarang sebagai pencipta,

    jadi karya sastra dalam kaitannya dengan proses kreatif (Ratna,2004:343).

    Sebagai dunia dalam fonem-fonem yang membentuk sebuak kata atau

    kalimat, karya sastra merumuskan berbagai kehidupan ke dalam sebuah cerita

    yang dilakukan oleh seorang manusia. Aspek kemanusian adalah salah satu objek

    dalam sebuah psikologi sastra, sebab dalam diri manusia terdapat banyak hal yang

    bisa dikaji, jika di dalam sebuah karya sastra khususnya novel tokoh-yokoh dalam

    sebuah cerita itu yang perlu dikaji sebagai objek psikologi sastra. Aspek kejiwaan

    yang dicangkokkan dan diinvestasikan dalam analisis pada umunya yang menjadi

    tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya. Namun,

    dalam penelitian ini yang dianalisis adalah tokoh utama.

  • 24

    Untuk menganalisis aspek kejiwaan pada perilaku tokoh utama dalam

    novel digunakan sebuah psikoanalisis yang dapat diterapkan pada tokoh dalam

    karya sastra yang mengalami sebuah kejiwaan pada kepribadiaannya. Karya sastra

    merupakan refleksi kehidupan dengan itu seniman akan merasa dirinya menjadi

    pahlawan, raja, dan pencipta dari apa yang diinginkan tampa mengubah alam

    sekitar.

    Dalam psikologi, psikoanalisis dipergunakan untuk terapi abnormal

    personality, yaitu penderita gangguan jiwa, orang-orang yang mempunyai

    kelainan jiwa. Sedangkan dalam sastra, psikoanalisis dipergunakan untuk

    menganalisis tokoh yang mengalami gangguan kejiwaan dalam perilakunya.

    Namun dalam penelitian ini psikoanalisis dipergunakan untuk menganalisis tokoh

    utama yang ada dalam novel Dadaisme.

    2.3 Pengertian Abnormal

    Abnormal jika dijelaskan definisi pengertiannya terlalu rumit untuk

    merumuskan secara tepat apa yang dimaksut dengan abnormal, maka dari itu ada

    beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan atau mengukur

    abnormalitas. Beberapa kriteria yang dimaksut yaitu (1) penyimpangan dari

    norma-norma, menurut patokan ini yang disebut abnormal adalah setiap hal yang

    luar biasa, atau secara harfiah adalah perilaku yang menyimpang dari

    norma,seseorang yang mengalami sebuah abnormal seseorang yang menyimpang

    pada norma terutama norma sosial pada lingkungannya, (2) penyimpangan dari

    norma-norma sosial menurut kriteria ini, abnormal diartikan sebagai perilaku yang

    tidak patuh atau tidak sejalan dengan norma sosial, (3) gejala “salah-suai”

  • 25

    (maladjustment) dalam gejala ini abnormalitas dipandang sebagai ketidak

    efektifan individu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan fisik dan sosial, (4)

    tekanan batin dalam hal ini abnormalitas dipandang berwujud perasaan-perasaan

    cemas, depresi, atau merasa berasalah mendalam, (5) ketidakmatangan dari hal ini

    abnormalitas disebut bila perilakunya tidak sesuai dengan tingkat usianya, dan

    tidak selaras dengan situasinya Colen dan Winkel 1991, (dalam Supratiknya,

    1995:11).

    Selain kriteria dalam menentukan pengertian abnormalitas Coleman,

    Butcher dan Carson 1980 (dalam Supratiknya, 1995:15). Menjelaskan beberapa

    istilah-istilah yang bisa digunakan untuk memahami lebih dalam lagi tentang

    perilaku abnormalitas yaitu: (1) perilaku maladaptif yaitu tanggapan atau reaksi

    seseorang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baik ucapan

    maupun perilakunya, (2) gangguan mental, gangguan yang berkaitan dengan

    psikis atau kejiwaan yang dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan

    membentuk sebuah kepribadian, (3) psikopatologi atau penyakit mental gangguan

    yang melibatkan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan pada proses

    pemikiran, perasaan, dan tingkah laku, (4) penyakit jiwa adalah gangguan otak

    yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berfikir, perilaku, dan persepsi

    (penangkapan panca indera), (5) gangguan perilaku gangguan serius dalam hal

    tingkah laku dan emosi yang dapat terjadi pada anak-anak dan remaja, (6)

    ketidakwarasan merupakan istilah hukum bahwa individu secara mental tidak

    mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya.

    Dari istilah-istilah dan karekteristik yang sudah dijelaskan dapat

    disimpulkan bahwa perilaku abnormal merupakan suatu perilaku kepribadian

  • 26

    yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang dan membutnya berfikir

    bahwa dia adalah seseorang yang berbeda dari yang lain, karena dia tidak

    menikmati kehidupan sosial yang normal pada umumnya sebab berkaitan dengan

    psikisis manusia yang tidak wajar. Abnormal juga bagian dari ilmu psikologi

    yang berhubungan dengan perilaku yang dianggap abnormal, maka abnormal ini

    lebih mendasar pada gangguan yang terdapat pada perilaku seseorang yang

    disebabkan oleh beberapa bentuk gangguan seperti gangguan pada otak atau

    mental dan emosi.

    2.4 Bentuk-bentuk Perilaku Abnormal

    Bentuk perilaku abnormal dari masa ke masa dalam penggolongan

    aneka bentuk perilaku abnormal selalu mengalami perubahan, selalu mengalami

    sebuah penjajkan agar bisa membuat sebuah penggolongan yang lebih pas dan

    sempurna. Tidak segampang mungkin menggolongkan bentuk perilaku abnormal

    harus di dasarkan pada ilmu pengetahuan psikopatologi dan kalangan masyarakat.

    Seperti halnya penggolongan paling tua dilakukan oleh Emil Kraepelin

    seorang psikolog berkebangsaan Jerman pada tahun 1883 dalam bukunya yang

    berjudul Lehrbuch der Psychiatrie, selanjutnya direvisi pada tahun 1927 an dan

    masih banyak lagi kalangan psikolog dan psikiatri yang menggolongkan bentuk

    perilaku abnormal. Seperti kalangan profesor psikistri di Amerika Serikat yakni

    the American Psychiatric Association (APA) yang mengembangkan

    penggolongan dengan versi mereka sendiri dalam dokumen yang di sebut

    Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau disingkat DSM.

    Penggolongan ini juga selalu direvisi oleh perkembangan pengetahuan di bidang

  • 27

    psikopatologi maupun perkembangan masyarakat hingga kini APA telah

    menerbitkan DSM sebanyak empat kali, yaitu DSM-I pada tahun 1952, DSM-II

    pada tahun 1968, DSM-III pada tahun 1980, dan DSM-IV pada tahun 1994

    (Supratiknya, 1995:33).

    Salah satu bentuk penggolongan yang didasarkan oleh DSM-III (1980)

    yaitu dilakukan dengan membedakan lima taraf yaitu:

    1. Taraf Pertama berupa gejala kehilangan kontrol atau kekacauan yang masih

    ringan yang bersangkutan masih bertingkah laku secara efektif dan merasa

    nyaman, tetapi menunjukkan tanda-tanda berupa rasa terhambat, emosi yang

    meningkat, gusar, khawatir, mungkin mengalami disfungsi somatik atau seksual

    tertentu dan butuh usaha untuk mengendalikan diri.

    2. Taraf Kedua berupa pemutusan dari realitas dan rasa tidak nyaman pada

    tingkat yang masih ringan. Misalnya, dalam bentuk pingsan, mengalami disosiasi

    atau berbagai bentuk kehilangan kesadaran atau kontrol diri.

    3. Taraf Ketiga ditandai dengan pelampiasan agresif dalam bentuk tindak

    kekerasan yang dilakukan secara kuat, yaitu sesekali namun dalam intensitas

    tinggi , atau secara kronis.

    4. Taraf Keempat yakni keadaan disorganisasi atau kekacauan yang ekstrem

    berupa penyangkalan realitas dan mengalami sebuah kemurungan, kegembiraan

    yang tak terkendali, dan mengalami sebuah tingkah laku tertentu yang berlebihan

    dan tak terkendali, delusi atau waham, hilang ingatan dan kebingungan.

    5. Taraf Kelima berupa disintegrasi kepribadian yang bersifat total, kemunduran

    fungsi secara total, dan keputusan-keputusan yang menjerumus ke bunuh diri.

  • 28

    Setelah melewati beberapa tahap dalam menggolongkan bentuk perilaku

    abnormal maka Supratiknya dalam bukunya Mengenal Perilaku Abnormal telah

    menggolongkan bentuk perilaku abnormal dengan di dasarkan pada penggolongan

    dalam DSM-III (1980) yang membuat setiap bentuk gangguan perilaku

    mengakibatkan taraf disfungsi psikologis yang berlainan atau bisa di sebut dengan

    kerusakan dalam sistem psikologis seseorang. Dengan merevisi kembali dari

    DSM-III tersebut Supratiknya melakukan penggolongan yang disebabkan oleh

    gangguan pada perilakunya seperti gangguan depresi mayor akut, gangguan

    stuport depresfif atau mutisme (pembisuan), gangguan waham atau delusi,

    gangguan halusinasi, dan gangguan dissosiasi. Beberapa bentuk perilaku

    abnormalitas sebuah aspek yang dapat terjadi pada pola kepribadian.

    2.4.1 Perilaku Depresi Mayor Akut

    Depresi merupakan suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan suatu

    efek kehilangan minat atau kesenangan dalam diri seseorang. Depresi juga

    berhubungan perubahan suasana hati seperti kesedihan, kesepian, dan

    menghukum diri, tetapi suasana hati yang paling sering dilakukan oleh seseorang

    adalah kesedihan yang terus menerus. Depresi juga bisa diartikan sebagai

    gangguan alam perasaan seseorang yang berat dalam bentuk kesedihan yang

    dirasakan oleh individu. Terdapat juga keanehan dalam perilakunya seperti tidak

    mau bergabung pada lingkungan sekitarnya dengan menarik diri dari

    lingkungannya.

    Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional yang berkepanjangan

    dalam kepribadian seseorang yang membuat terganggunya seluruh proses mental

  • 29

    (berfikir, perasaan, aktivitas), seseorang yang ditandai dengan pikiran yang

    negatif pada diri sendiri, suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi,

    pikiran lambat serta akivitas akan menyebabkan seseorrang tersebut tidak akan

    percaya dengan ucapan orang lain sebab dia sudah meyakini bahwa yang dia

    pikirkan sudah benar tanpa harus mempercayai pendapat orang lain menurun

    Keliat (dalam Zakiyah, 2014:77)

    Gangguan depresi juga termasuk pada gangguan afektif, gangguan afektif

    sendiri menurut Supratiknya, gangguan “mood”mood sendiri adalah kondisi

    perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis tingkat emosi

    ekstrem dan tidak sesuai, meliputi kegembiraan (elation) dan kesedihan

    (depression) yang ekstrem (Supratiknya, 1995:69). Orang dengan gangguan mood

    atau yang sering dikenal sebagai gangguan perasaan biasanya terlarut dalam

    suasana perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu

    kemampuan mereka. Gangguan mood yang terjadi pada seseorang ini umumnya

    terjadi karena banyaknya tekanan yang menimpa dirinya dan cenderung terlarut

    dalam tekanan dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang

    kemudian dapat berubah menjadi depresi terutama depresi mayor akut. Menurut

    Supratiknya (1995:67), terdapat tiga jenis gangguan afektif yaitu:

    1. Gangguan afektif ringan

    Salah satu jenis gangguan penting yang terdapat pada fungsi mental yang

    termasuk dalam kategori ini adalah depresi normal, yakni kesedihan yang

    mendalam atau kepedihan. Gangguan ini juga termasuk pada gangguan proses

    psikologis yang terdapat pada gangguan mental yang mengikuti sebuah

  • 30

    pengalaman dalam dirinya, pengalaman dalam dirinya bisa seperti pengalaman

    kehilangan (loss) sesuatu yang berharga.

    2. Gangguan afektif neurotik

    Gangguan afektif neurotik adalah gangguan emosi atau mood yang

    mengakibatkan fungsi dan aktifitas penderita sngat terhambat, namun tidak

    sampai putus kontak dengan realitas.

    3. Psikosis afektif

    Gangguan ini berbeda dengan depresi neurotik hanya dalam dua hal.

    Pertama, gangguan ini mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderita. Kedua,

    penderita kehilangan kontak realitas, dalam gangguan ini terdapat gangguan

    depresi mayor akut.

    Dalam penelitian ini yang digunakan adalah gangguan psikosis afektif

    karena dalam gangguan psikosis afektif sebuah gangguan yang mempengaruhi

    keseluruhan kepribadian serta seseorang kehilangan kontak dengan realitas.

    Gangguan psikosis afektif ini ada beberapa gangguan yang termasuk dalam

    kategori yaitu gangguan depresi mayor, gangguan depresi mayor akut dan stupor

    depresif atau mutimesme. Penelitian ini menggunakan gangguan depresi mayor

    akut dan stupor depresif atau mutimesme sebagai bahan penelitian karena dua

    kategori depresi ini yang masuk dalam keterkaitannya dengan novel.

    Depresi mayor akut ini adalah gangguan afektif berat yang meliputi

    depresi, gangguan ini dapat berlangsung sekali atau berulang-ulang. Gangguan ini

    memiliki sebuah ciri yaitu: (1) cenderung mengisolasi diri dari realitas, (2) tidak

    mau berbicara, (3) sangat lamban dalam memberikan respon, (4) merasa bersalah

    dan tidak berharga, (5) merasa telah berbuat aneka dosa yang membuat celaka

  • 31

    orang lain, (6) gelisah dan sering mondar-mandir dan meremas tangan

    (Supratiknya, 1995:69).

    2.4.2 Perilaku Stuport Depresif atau Mutisme

    Komunikasi merupakan sebuah kegiatan pertukaran pikiran dan perasaan,

    pertukaran tersebuiut dapat dilaksanakan dengan setiap bentuk bahasa atau

    ungkapan dalam bentuk berbicara atau tulisan. Komunikasi yang paling terpenting

    yaitu komunikasi menggunakan ucapan yaitu dengan media berbicara yang paling

    umum dan efektif karena berbahasa dan berbicara adalah alat utama dalam

    berkomunikasi bagi setiaap orang.

    Pada tahap awal, perkembangan wicara atau berbicara merupakan proses

    sensor yang terjadi sebagai hasil interaksi seseorang terutama seseorang anak

    dengan orang tua. Perkembangan komunikasi anak sesungguhnya sudah dimulai

    sejak dini, seperti tangisan bayi saat dirinya tidak nyaman, dari sini seorang bayi

    akan mengerti bahwa mendapat perhatian oleh ibunya. Jadi sebuah komunikasi

    bicara sudah diajarkan sejak seseorang tersebut masih bayi, tetapi sering kali

    terjadi gangguan berbicara dan berbahasa.

    Berbicara dan berbahasa hubungannya sangat dekat sekali tetapi memiliki

    arti yang berbeda. Sebuah fikiran yang diubah kedalam simbol-simbol dan

    dikomunikasikan melalui berbicara, menulis, atau gerak isyarat disebut dengan

    bahasa. Gangguan berbahasa selalu berhubungan dengan adanya gangguan pada

    otak, sedangkan gangguan berbicara dapat disebabkan pada bagian otak.

    Penyebab gangguan berbicara pada anak sangatlah sukar. Kemampuan

    berbicara seseorang anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk adalah

  • 32

    kemampuan mendengar, perkembangan fisik dari mulut dan tenggorokan serta

    keturunan. Selain itu kondisi lingkungan merupakan hal yang penting menyangkut

    hasil perkembangan seorang anak. Tetapi penyebab gangguan itu memang ada

    dan disebabkan oleh beberapa gangguan seperti (1) gangguan pendengaran

    ditandai oleh seseorang anak tersebut tidak memberikan respon terhadap bunyi

    apapun itu, (2) gangguan kognitif ditandai dengan keterlambatan dari segi mental

    seorang anak,(3) autisme ditandai oleh sebuah gangguan biologis dari anak, (4)

    mutisme (pembisuan) gangguan ini ditandai oleh fatror psikologis seorang anak

    Elizabeth M Pranther (dalam Birawa dan Amalia, 2008:7-8)

    Mutimesme adalah pembisuan yang tidak mampu berkomunikasi dengan

    orang lain yang disebabkan gangguan kejiwaan maka membuat seseorang akan

    mengalami sebuah pembisuan, sama halnya dengan depresi mayor akut gangguan

    mutisme ini juga sebuah gangguan afektif berat yang hanya meliputi depresi,

    sebab dari deprsi akan membuat seseorang pasti memiliki perilaku mutisme

    karena dengan adanya depresi seseorang pasti akan takut dalam melakukan hal

    apapun akibatnya muncul perilaku mutisme, dalam mutisme terdapat ciri yang

    bisa digunakan yaitu: (1) selalu diam dan mematung, (2) sama sekali tidak respon

    dan tidak aktif, (3) sama sekali acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang

    berlangsung di sekitarnya, (4) mengalami disorientasi (bingung) terhadap waktu,

    tempat, dan orang, (5) biasanya mengalami halusinasi dan delusi (Supratiknya,

    1995:69).

    Berbicara merupakan sarana untuk berkomunikasi yang penting bagi

    kehidupan sosial apalagi bagi seorang anak-anak karena melalui berbicara anak

    akan memperoleh tempat di dalam kelompok sosialnya, tetapi tidak semua akan

  • 33

    berani berbicara pada situasi atau dengan orang tertentu yang membuat tidak

    nyaman, takut atau bahkan cemas sehingga mereka menolak melakukannya maka

    akibatnya akan menimbulkan sebuah perilaku mutisme yang selalu diam, tidak

    merespon dan tidak aktif, sama sekali acuh tak acuh terhadap segala sesuatu,

    mengalami disorientasi atau kebingungan terhadap tempat, orang, dan waktu, dan

    menyebabkan halusinasi. Halusinasi timbul karena seseorang tersebut merasa

    tidak memiliki siapapun untuk diajak berbicara, maka daya khayal atau persepsi

    yang salah akan mencul dalam pikirannya maka itulah yang dinamakan

    halusinasi.

    2.4.3 Perilaku Waham atau Delusi

    Pikiran adalah suatu bentuk tingkah laku, yang termasuk di dalamnya

    adanya rangsangan dan jawaban (situmulus dan respon). Rangsangan dapat datang

    dari berbagai sumber, termasuk dari alam ketidak sadaran dan perasaan-perasaan

    kita. Namun demikian, pikiran manusia dikoreksi oleh perhitungan akal sehat dan

    logika yang adanya di kesadaran. Pikiran yang dikendalikan oleh kesadaran dan

    berdasarkan kenyataan tersebut dinamakan pikiran rasional atau pikiran yang

    realitas. (Baihaqi, 2005:95).

    Kegiatan berfikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dengan

    apa yang terjadi atau dialami. Kekaguman atau keheranan tersebut menimbulkan

    pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Jenis, banyak, sedikit, dan mutu pertanyaan

    yang diajukan tergantung pada minat, perhatian, sikap ingin tahu, serta bakat dan

    kemampuan subjek yang bersangkutan. Dengan demikian, kegiatan berpikir

    manusia selalu tersituasikan dalam kondisi konkret subjek yang bersangkutan.

  • 34

    Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa berupa simbol-simbol

    yang diwujudkan dengan kata-kata yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan

    historis tempat kegiatan berpikir dilakukan Sudarminta (dalam Sobur, 2003:202)

    Keterkaitan antara bahasa dan pikiran sangat erat, karena manusia dapat

    menciptakan beratus-ratus hingga beribu simbol yang memungkinkan manusia

    tersebut dapat berpikir begitu sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya.

    Bahasa juga sebagai alat yang ampuh dalam melaksanakan proses berpikir sebab

    berbahasa juga dapat memproses pikiran untuk berpikir hal apa yang akan

    diucapkan, situasi seperti apa yang sedang dibicarakan maka dari itu hubungan

    bahasa dengan pikiran sangat erat. Namun bahasa bukan satu-satunya alat yang

    dapat digunakan dalam proses berpikir, sebab masih ada lagi yang digunakan

    yaitu bayangan atau gambaran (Image), sebagai salah satu bentuk proses berpikir

    (Walgito, 2010:196),

    Proses berpikir manusia dapat dipengaruhi oleh bebrapa faktor yaitu faktor

    somatik (gangguan otak, kelelahan, atau sakit), faktor psikologis (gangguan

    emosi, ingatan, perhatian, atau psikosis), dan faktor sosial (kegaduhan atau

    keramaian, suasana alam yang tenang, dan suasana tempat tinggal). Dari beberapa

    faktor ini proses berfikir akan menimbulkan sebuah gangguan-gangguan dalam

    berpikir.

    Baihaqi (2005:96-103) menyatakan gangguan-gangguan dalam berpikir

    dapat dibedakan berdasarkan bentuknya yaitu:

    1. Bentuk gangguan berpikir

    Bentuk gangguan berpikir ini termasuk dalam kategori semua

    penyimpangan dari pemikiran rasional, logis, dan terarah pada tujuan, meliputi

  • 35

    dereisme, autistis (kegagalan dalam membedakan batas kenyataan), bentuk

    pikiran yang tidak realitas.

    2. Gangguan jalan pikiran

    Gangguan-gangguan yang menunjukkan tidak adanya urutan yang logis

    dan koheren dari ide-ide yang dikeluarkan menuju ketujuan akhir, meliputi flight

    of ideas (pikiran yang melayang), perseverasi (pengulangan suatu ide), asosiasi

    longgar, inkoherensi, kecepatan bicara, hambatan, logore (seseorang yang banyak

    bicara), asosiasi bunyi, neologisme (pembentukan kata-kata baru), irelevansi,

    pikiran yang berputar-putar, main-main dengan kata, afasia (kesulitan dalam

    mengungkapkan isi pikiran).

    3. Gangguan isi pikiran

    Gangguan isi pikiran ini suatu gangguan yang disebabkan oleh banyak

    gangguan-gangguan dalam otak maka akibatnya isi pikiran menjadi tidak teratur,

    gangguan isi pikiran ini meliputi, kegembiraan yang luar biasa, fantasi, phobia,

    preokupasi (pikiran yang terpaku pada sebuah ide), pikiran bunuh diri, pikiran

    hubungan, pikiran terasing, pikiran isolasi sosial, pikiran rendah diri, merasa

    dingin dalam bidang seksual, rasa dirugikan orang lain, rasa salah, pesimisme,

    rasa curiga, konfabulasi, waham atau delusi.

    4. Gangguan pertimbangan pikiran

    Gangguan ini berhubungan dengan gangguan metal untuk menghindari

    kenyataan yang mnyakitkan, pertimbangan adalah kemampuan untuk

    mengevaluasi keadaan atau menarik kesimpulan berdasarkan pada pengalaman,

    berfikir sebuah kegiatan mental yang dilakukan oleh otak untuk memecakhan

    permasalahan, serta memberikan sebuah pemahaman, berpikir juga berkaitan

  • 36

    dengan sebuah bahasa karena dalam berpikir pasti menggunakan bahasa, tetapi

    tidak hanya bahasa yang sebagai alat untuk berpikir terkadang orang juga

    menggunakan bayangan serta gambaran untuk berpikir. Dalam berpikir terdapat

    sebuah faktor yang mempengaruhi serta terdapat gangguan-gangguan berpikir

    salah satunya bentuk gangguan isi pikiran yang didalmnya terdapat sebuah

    gangguan waham atau delusi. Maka waham atau delusi merupakan cakupan dari

    bagian gangguan isi pikiran pada diri seseorang.

    Waham atau delusi adalah kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau

    keyakinan isi pikirannya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Delusi juga

    gambaran tipuan dari gambar yang memperdayai kita dengan kesesatan yang tidak

    bisa dibetulkan dan tidak cocok sama sekali dengan pikiran serta pendapat sendiri

    (Baihaqi, 2005:101). Delusi itu pada umumnya ditimbulkan oleh pengalaman-

    pengalaman masa lampau yang diliputi oleh perasaan-perasaan berdosa dan

    bersalah, serta harapan-harapan yang tidak atau belum tercapai.

    Waham atau delusi adalah suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat

    dijelaskan oleh latar belakang budaya ataupun pendidikannya. Orang yang

    mengalami delusi akan menceritakan suatu cerita dengan sangat yakin walaupun

    apa yang dia ceritakan sebenarnya tidak pernah terjadi atau hanya terjadi dalam

    khayalannya (Arif, 2006:18).

    Banyak seseorang yang memberikan pengertian waham dan halusinasi

    sama padahal tidak sama jika waham atau delusi adalah gangguan mental di mana

    penderita tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga mereka

    myakini dan bersikap sesuai dengan yang dipikirkan, sedangkan halusinasi adalah

  • 37

    kesalahan persepsi terhadap sebuah obyek sedangkan obyek tersebut sebenarnya

    tidak ada.

    Waham atau delusi dibagi menjadi sepuluh yaitu: (1) delusi kejar

    (persekutorik), suatu delusi yang mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaga

    untuk melukainnya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya,

    kepercayaan ini sering dirupakan dalam bentuk kompoltan yang hayal

    keberadaannya, (2) delusi kebesaran, adalah keyakinan atau kepercayaan yang

    biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat

    berkuasa atau sangat besar, (3) delusi nihilistis, perasaan yang keliru bahwa diri

    dan lingkungannya atau dunia tidak ada, (4) delusi keagamaan, delusi yang

    berhubungan dengang spiritual yang membuatnya wajib melakukan sesuatu hal

    yang tidak lazim, (5) delusi dosa, keyakinan bahwa dirinya telah melakukan dosa

    atau kesalahan yang sangat fatal, bahkan hingga menyebabkan peristiwa buruk,

    (6) delusi somatik, sebuah keyakinan yang keliru melibatkan fungsi tubuh

    (contoh: yakin otaknya meleleh) (7) pengaruh, (8) delusi hipokodrik, (9) delusi

    sakit, keyakinan bahwa seluruh atau sebagian tubuhnya sedang dilanda penyakit

    yang kronis, (10) delusi hubungan, sebuah interprestasi yang salah dari

    pembicaraan, kejadian atau gerak-gerik yang dirasakan langsung dengan dirinya

    (Baihaqi, 2005:101-103).

    2.4.4 Perilaku Halusinasi

    Halusinasi merupakan salah satu bentuk gangguan pada perilaku

    abnormal. Gangguan tersebut di sebabkan adanya gangguan pada sensor persepsi

    dengan kata lain, seseorang menerima unsur-unsur sensori (penglihatan dan

  • 38

    pendengaran) tidak secara nyata, objektif, dan bukan dalam pikiran perseptor. Hal

    ini sejalan dengan pendapat Baihaqi (2005:70) bahwa halusinasi adalah persepsi

    yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan yang menimbulkannya (tidak

    ada objek).

    Terdapat beberapa macam halusinasi (1) halusinasi pendengaran (auditory

    hallucination), dimana orang mendengar suara-suara, musik, dan lain-lain, yang

    sebenarnya tidak ada (2) halusinasi yang kedua adalah halusinasi (visual

    hallucination), yang seringkali bebarengan dengan halusinasi pendengaran semisal

    seseorang yang melihat makhluk gaib yang berdiri di sisi tempat tidurnya, (3)

    halusinasi perabaan (tactile hallucination), melibatkan persepsi bahwa sesuatu

    sedang terjadi di luar tubuh seseorang, (4) halusinasi somatis (somatic

    hallucitation), persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam diri seseorang

    Hoeksema, 2004 (dalam Wiramiharja, 2005:140-141).

    Halusinasi termasuk suatu keadaan seseorang melihat, mendengar, atau

    merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata atau bisa disebut dengan persepsi

    yang salah yang diterima oleh panca indra dan berasal dari stimulus eksternal

    yang biasanya tidak diinterprestasikan ke dalam pengalaman. Halusinasi ini juga

    bisa terjadi pada indra apapun seperti pendengaran, penglihatan, perabaan.

    2.4.5 Perilaku Dissosiasi

    Kesehatan mental merupakan modal utama kehidupan seorang manusia.

    Tanpa mental yang sehat, seseorang manusia tidak dapat melaksanakan tugas

    kemanusiaannya dengan baik. Seseorang dalam keadaan kesehatan mental,

    memiliki perasaan yang utuh sebagai manusia dengan kepribadian. Manusia yang

  • 39

    sehat tidak secara fisik, tetapi juga secara psikis. Terdapat berbagai macam

    gangguan mental, salah satunya gangguan dissosiasi yang termasuk dalam

    gangguan jiwa ringan.

    Dissosiasi adalah gangguan yang menunjukkan adanya kehilangan

    sementara aspek penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap

    lingkungannya, dalam beberapa kejadian individu tersebut berperilaku seakan-

    akan disukai oleh kepribadian lain, kekuatan ghaib, malaikat atau kekuatan lain

    Maslim (dalam Harsono, 2012:60).

    Gangguan dissosiasi (dissociative) adalah gangguan psikologis yang

    melibatkan kehilangan memori atau disebut juga dengan daya ingat seseorang dan

    perubahan identitas yang mendadak. Dalam kondisi stres yang sangat berat atau

    keterkejutan, kesadaran individu menjadi terdisiosiasi (terpisah atau terpecah) dari

    pengalaman-pengalaman dan ingatan sebelumnya (King, 2010:325). Gangguan

    dissosiasi termasuk sekelompok gangguan yang ditandai oleh suatu kekacauan

    dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Bisa disebut juga dengan gangguan

    amnesia dimana seseorang lupa dengan keadaan dimasa lampau yang menurut

    seseorang tersebut kejadian atau keadaan di masa lampau membuat seseorang

    tersebut merasa terancam maka seseorang tersebut melakukan sebuah tindakan

    untuk melupakan kejadian atau keadaan masa lampau dari pikirannya.

    Dissosiasi adalah terdapatnya pelarian pada keadaan lupa, tidak ingat dan

    tidak sadar yang dilanjutkan dengan “psikohisteris”, kerusakan tiba-tiba fungsi

    ego yang disebabkan oleh stres emosional yang berat Tan Pariaman (dalam

    Zurmalis, 2008:8). Individu yang mengembangkan gangguan dissosiasi mungkin

    memiliki masalah mengintegrasikan beragam aspek kesadaran, hingga

  • 40

    pengalaman pada tingkat kesadaran yang berbeda terasa seperti seolah-olah itu

    terjadi pada orang lain. Dissosiasi dianggap sebagai cara individu untuk

    menghadapi stres yang ekstrim dengan melindungi diri secara sadar dari sebuah

    kejadian yang traumatis. fenomena dissosiasi dikenal dengan istilah kesurupan,

    kesurupan dipercaya oleh masyarakat suatu keadaan yang terjadi bila roh yang

    lain memasuki seseorang dan menguasinya sehingga orang itu menjadi lain dalam

    hal bicara, perilaku dan sifatnya. Perilakunya menjadi seperti ada kepribadian lain

    yang memasukinya hal ini terjadi karena adanya stres berat dan sebuah trauma.

    2.5 Faktor Penyebab Perilaku Abnormal

    Faktor penyebab terjadinya perilaku abnormal terjadi disebabkan oleh

    beberapa faktor terutama yaitu faktor psikososial. Psikososial sendiri adalah

    kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau emosionalnya, dari kata

    psikososial ini melibatkan aspek psikologi dan sosial. Contohnya hubungan antara

    ketakutan yang dimiliki seseorang (psikologis) terhadap bagaimana dia

    berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya. Bahkan sering muncul

    perangsangka buruk atau negatif (negatif thinking) terhadap banyak hal, yang ada

    pada hidup adalah salah satu wujud nyata dari kondisi psikososial yang buruk,

    yang bisa mengarah pada hubungan sosial yang buruk juga.

    Sama halnya dengan faktor psikososial, dalam hal ini dijelaskan oleh

    Supratiknya (1995:27), bahwa dalam gangguan perilaku abnormal disebabkan

    oleh beberapa faktor salah satunya faktor psikososial, dalam faktor psikososial

    terdapat pula cabang untuk lebih mendasari tentang faktor psikososial yaitu

  • 41

    trauma psikososial bisa akan lebih spesifik lagi untuk memahami tentang faktor

    psikososial.

    2.5.1 Trauma

    Trauma adalah sebuah pengalaman atau kejadian yang membuat rasa aman

    dalam kepribadian seorang terancam, sehingga menimbulkan luka dalam

    kepribadiannya atau dirinya yang sangat sulit disembuhkan secara langsung harus

    melalui tahap-tahap tersendiri agar sembuh seperti semula. Terdapat sebuah

    psikologis terhadap anak usia dini maka seorang anak tersebut akan selalu

    mengenang kejadian trauma tersebut jika tidak sepenuhnya disembuhkan akan

    terbawa pada masa remajanya. Akibatnya kemudian hari sesudah dewasa anak

    tersebut akan mengalami kejadian yang mengingatkannya kembali pada trauma

    yang pernah di alaminya itu, maka luka lama itu akan muncul kembali dan

    menimbulkan gangguan atau masalah (Supratiknya, 1995:27).

    Menurut Eth dan Pynoos (dalam Yulianto, 2015:74), sebuah trauma psikis

    merupakan kejutan emosional yang memiliki efek jangka panjang ini terjadi

    ketika seseorang terkena suatu peristiwa luar biasa yang membuat pikiran dan

    kepribadiannya teringat sangat sebuah kejadian tersebut. Serta memiliki keadaan

    tidak berdaya dan tidak mampu menggunakan mekanisme pertahanan yang ada

    pada dirinya saat menghadapi bahaya yang mengancam. Suatu peristiwa yang

    dialami atau disaksikan dan mengancam jiwa, cedera serius, dan ancaman

    integritas fisik diri sendiri atau orang lain menyebabkan rasa takut, tidak berdaya,

    atau mencekam.

  • 42

    Trauma bukan hanya membuat rasa aman seseorang tertekan tetapi

    membuat sebuah kepribadian seseorang anak yang menjadi berubah karena akibat

    kejadian yang membuat anak tersebut menjadi trauma. Kepribadian yang awalnya

    berperilaku baik-baik saja selayaknya anak-anak maka akan berubah menjadi

    seorang yang pendiam yang berperilaku aneh, maka trauma tidak hanya

    menghancurkan rasa aman anak-anak tetapi menghancurkan kepribadian anak.

    2.5.1.2 Hubungan Orang Tua-Anak yang Patogenik

    Pola asuh orang tua kepada anaknya harus diperhatikan sebab karekter

    anak terbentuk dari bagaimana pola asuh orang tua kepada anak tersebut. Cara dan

    pola asuh orang tua kepada anaknya tentu berbeda antara satu keluarga dengan

    keluarga yang lain, dengan adanya pola asuh orang tua seorang anak terbentuk

    sebuah karakter dalam kepribadiannya.Pola asuh orang tua juga sebagai gambaran

    tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam hal kedekatan anak kepada

    orang tuanya, dan bagaimana komunikasi selama mengadakan kegiatan

    pengasuhan. Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan

    memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah, dan hukuman, serta tanggapan

    terhadap tanggapan keinginan anaknya agar seorang anak tersebut terbentuk

    sebuah karakter yang baik (Ismari, dalam Listriani, 2012:1)

    Keluarga adalah tempat pertama untuk membentuk kepribadian dan

    psikologi anak. Hubungan keluarga yang harmonis dan quality time yang sering

    dilakukan membuat anak akan menjadi lebih terbuka. Sedangkan untuk hubungan

    orang tua dan anak yang tidak harmonis dan tidak pernah menghabiskan waktu

    bersama anak-anaknya membuat seorang anak menjadi tertutup dan enggan untuk

  • 43

    berbagi hal apa pun. Orang tua adalah salah satu pemberi kasih sayang yang tulus,

    orang tua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan psikologis

    anaknya. Orang tua yang mengabaikan dan juga tidak sayang dengan tulus pada

    anaknya akan menghalangi perkembangan psikologi yang sehat atau bisa disebut

    juga menyebabkan timbulnya patogenik (menimbulkan sebuah permasalahan atau

    gangguan penyakit).

    Hubungan orang tua anak yang patogenik adalah hubungan tidak serasi,

    dalam hal ini pola asuh antara anak dengan orang tuanya, serta mengakibatkan

    timbulnya masalah dalam hubungan pola asuh tersebut yang membuat seorang

    anak mengalami sebuah siksaan dalam pola asuh tersebut. Pola asuh orang tua

    yang salah bisa menyebabkan anak tersebut tersiksa seperti halnya pola asuh

    dengan menelantarakan secara fisik, tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang,

    tidak menunjukkan perhatian pada minat dan prestasi anak, menghukum secara

    kejam dan sewenang-wenang, tidak meluakan waktu bersama anak, tidak

    menghargai hak dan perasaan anak, memperlakukan atau menyiksa anak secara

    kejam. Hal tersebut sama sekali tidak patut dijadikan contoh sebab seorang anak

    butuh sebuaah kasih sayang serta perhatian oleh orang tuanya (Supratiknya,

    1995:28).

    Orang tua sangat bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi

    dengan anaknya karena orang tua yang berkewajiban untuk mengasuh dan

    memberikan didikan yang palin baik dari segi psikologi maupun dari segi

    pengetahuannya. Tetapi beda jika orang tua tidak ada waktu untuk anaknya dan

    menitipkan anaknya pada seseorang maka anak tersebut akan mendapat sebuah

    didikan dari orang yang lebih dekat pada dirinya, sama halnya dengan seorang

  • 44

    anak yang sudah ditinggal orang tuanya dan diasuh oleh bibinya atau pamannya

    maka akan berbeda dengan anak yang diasuh oleh orang tuanya sendiri. Sebab

    jika diasuh dengan orang lain belum tentu orang lain tersebut sayang tulus dan

    memberikan didikan yang baik bagi psikologis ataupun pengetahuannya

    terkadang banyak orang yang mengasuh anak yang bukan anak kandungnya akan

    memiliki sifat yang acuh tak acuh pada anak tersebut maka dari itu sebabnya

    seseorang anak yang tidak diperhatikan oleh orang tuanya sendiri akan memiliki

    sebuah riwayat yang tidak menyenagkan pada hidupnya.