makalah . perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu”
-
Upload
azharul-fazri-siagian -
Category
Documents
-
view
1.398 -
download
9
Transcript of makalah . perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu”
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam komunikasi. Untuk
memahaminya lebih mendalam pemerintah menetapkannya sebagai salah satu
mata pelajaran di sekolah. Salah satu sasaran pembelaajaran bahasa adalah sastra.
Pengertian sastra adalah suatu bentuk hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya
(M. Atar Semi, 1980 : 8). Selanjutnya Jakob Sumardjo dan Saini KM (1987 : 3)
mengemukakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa gambaran
yang membangun pesona dengan alat bahasa.
Berpedoman pada pendapat di atas dapat penulis garis bawahi bahwa sastra
adalah salah satu hasil pemikiran, seni dan kreativitas manusia dalam
kehidupannya dengan menggunakan media bahasa karena, manusia akan
menggunakan budi dan dayanya untuk merealisasikan suatu hal dalam bentuk
karya sastra. Karya sastra merupakan salah satu cabang kehidupan yang
mengandung unsur keindahan.
Keindahan sastra bukan semata dibangun oleh penggunaan bahasa yang puitis,
namun keindahan itu terjadi karena adanya perpaduan dua unsur pembentuknya
1
yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Keduanya merupakan satu kepaduan.
Unsur instrinsik adalah unsur dalam dari karya sastra yang terdiri dari tema,
amanat, alur, perwatakan, sudut pandang, latar serta gaya bahasa (Zulfahnur Z..
F, 1996 : 25), dan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang dapat mempengaruhi
karya sastra tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (B. Rahmanto, M.
Hum., 1998 : 26)
Pada unsur instrinsik karya sastra khususnya penokohan atau perwatakan Hudson dalam Herman J. Waluyo (PPN:165) menyatakan bahwa perwatakan merupakan bagian yang sangat penting bahkan lebih penting dari alur cerita karena perwatakan merupakan cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan cerita yang lain, watak tokoh-tokoh dan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh tersebut.
Kedua unsur tersebut akan membentuk sebuah cerita yang menarik, baik dalam
bentuk dongeng, drama maupun cerita novel.
Novel adalah sebuah fiksi yang mempunyai sifat padu. Novel pada umumnya terdiri dari sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda. Hubungan antar bab terkadang menimbulkan sebab akibat atau kronologis, bisa saja lain. Novel yang memiliki kepaduan akan memberikan kemanfaatan dan keindahan bagi pembacanya (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 14).
Hal ini sejalan dengan pendapat Horace dalam Suparni, 1990 Bahasa dan Sastra Indonesia (PPN: 30) bahwa hakekat dan fungsi karya sastra bersifat “Dulce et Utile”, artinya menyenangkan dan berguna. Karya sastra bersifat menyenangkan karena dapat memberikan hiburan pada pembaca dan bermanfaat karena dapat memberikan nilai-nilai luhur serta pengalaman hidup yang bisa dijadikan contoh atau teladan dalam kehidupan.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengkhususkan pada bentuk novel. Penulis
mengambil bentuk novel dalam kajian analisis didasari oleh asumsi bahwa novel
2
lebih dekat dan realisitis dengan kehidupan manusia pada umumnya. Realistis
karena di dalam novel tergambar berbagai sifat, karakter dan bentuk-bentuk
kehidupan manusia seperti dalam kehidupan nyata.
Untuk dapat memahami sebuah karya sastra khususnya novel diperlukan
pemikiran dan analisis yang cermat. Hal tersebut dapat dilakukan pembaca
dengan membiasakan membaca karya sastra. Karena tanpa membacanya,
pembaca tidak akan mengerti apa itu sastra dan isi yang terkandung di dalamnya.
Salah satu novel yang penulis analisis menggamabarkan seseorang yang sedang
diuji ketabahannya dalam mempertahankan keutuhan keluarga dan baktinya pada
orang tua. Selain isi dan ceritanya realistis dengan kehidupan yang terjadi di
masyarakat, perwatakan yang digunakan dengan dimensi fisik, dimensi psikis
dan dengan dimensi sosiologis sehingga ceritanya semakin jelas dan mudah
dipahami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah perwatakan pada novel
“Jangan Miringkan Sajadahmu” karya Muhammad B. Anggoro.
3
Dari rumusan masalah di atas penulis menentukan judul sebagai berikut Analisis
Perwatakan Novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” karya Muhammad B.
Anggoro.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perwatakan pada novel “Jangan
Miringkan Sajadahmu” karya Muhammad B. Anggoro.
2. Manfaat
a. Agar lebih memahami unsur-unsur instrinsik karya sastra terutama pada
perwatakan.
b. Sebagai salah satu alternatif bahan pengajaran sastra di sekolah.
c. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
dari STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Analisis
Analisis adalah suatu proses penguraian suatu pokok atas berbagai
bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian
untuk memperoleh yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, (KBBI,
1990: 32).
Pengertian analisis secara umum adalah kemampuan di dalam menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat di mengerti lebih jelas dan menyeluruh. Dapat pula diartikan analisis adalah sebagai menguraikan suatu hal menjadi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil berdasarkan ciri-ciri tertentu yang menyusun suatu hal tersebut namun masih dalam suatu kesatuan yang utuh. (Supriyanti, 1994 : 8).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis adalah
memahami suatu hal dengan cara menguraikannya menjadi lebih terperinci
sehingga lebih mudah untuk dicermati dan menghasilkan pemahaman yang
lebih utuh. Dikaitkan dengan karya sastra khususnya novel maka
pengertiannya adalah proses menguraikan hasil karya sastra berdasarkan
unsur-unsur penyusunannya. Tujuannya adalah untuk memahami pertalian
5
atau hubungan antar unsur tersebut. Sehingga makna karya sastra dapat
ditangkap dan dipahami dengan mudah.
2. Pengertian Novel
Novel berasal dari kata latin “Novellas” yang diturunkan dan kota “Novies”
yang berarti baru : cerita yang baru muncul kemudian sesudah drama, puisi
dan lain-lain (Tarigan, 1985 :164). Sedangkan menurut Jassin (dalam
Zulfahnur Z. F dkk, 1996 : 67). Novel adalah menceritakan suatu kejadian
yang luar biasa dari tokoh cerita, dimana kejadian-kejadian itu menimbulkan
pergolakan batin yang mengubah nasib tokohnya.
Senada dengan pendapat di atas, Wahono dan Abdul Hanif (2005 : 22) novel merupakan bentuk cerita yang menggambarkan manusia dengan segala perilaku dan persoalan-persoalan. Persoalan yang terdapat dalam novel merupakan sikap batin pengarang mengenai pengetahuan, pengalaman, cita-cita pendiriannya dan interprestasinya tentang hidup dan kehidupan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian novel
adalah karangan yang panjang dan menceritakan kejadian luar biasa dari
tokoh cerita yang menimbulkan pergolakan batin serta dapat mengubah
perjalanan hidup tokohnya.
6
3. Jenis-jenis Novel dan Ciri-cirinya
Menurut Zulfahnur Z. F dkk (1996 : 72-76) membagi novel menjadi enam
jenis yaitu novel populer, novel literer, novel picisan, novel absurd, novel
horror dan novelete.
a. Novel Populer
Novel populer adalah novel yang menyuguhkan problema kehidupan
kehidupan, yang berkisar pada cerita asmara yang simpel dan bertujuan
hiburan. Kategori hiburan menurut Umar Kayam (1981 : 85) memang
menyangkut selera orang banyak alias selera populer.
Ciri-ciri novel populer yaitu :1) Umumnya bertema cinta asmara belaka tanpa persoalan lain yang
serius.2) Meskipun utuh alurnya datar dan sering mengabaikan karaketrisasi
tokoh sehingga terasa dangkal.3) Menggunakan bahasa aktual, lincah dan gaya ceritanya sentimental.4) Bertujuan hiburan5) Punya pembaca masal karena sifat komersial dan komunikatif.(Zulfahnur Z. F dkk, 1996 : 72-73).
b. Novel LitererNovel literer adalah novel bermutu sastra, disebut juga novel serius karena keseriusan atau kedalaman masalah-masalah kehidupan kemanusiaan yang diungkapkan pengarangnya. Jika didefinisikan maka novel literer adalah novel yang menyajikan persolan-persoalan kehidupan manusia secara serius, filsafat dan langgeng (abadi) yang bermanfaat bagi penyempurnaan dan arifnya kehidupan manusia di samping pesona hiburan dan nikmat cerita (Zulfahnur Z. F dkk, 1994 : 72).
7
Ciri-ciri novel literer yaitu : 1) Temanya mengetengahkan persolan kehidupan yang konversial dan
aktualitas abadi.2) Penggarapan masalah lebih mendalami hakikat kehidupan dan dan
memahami.3) Isi cerita segar, penuh inovasi dan baru.4) Bahasanya standar dan terpelihara 5) Mementingkan tema, plot, karakteristik dan unsur-unsur cerita lainnya.6) Kurang dibaca secara massal, (Zulfahnur Z. F dkk, 1994 : 74).
c. Novel Picisan
Novel picisan yaitu suatu novel yang isinya cenderung mengeksploitasikan selera dengan suguhan cerita yang mengisahkan cinta asmara yang menjurus ke pornografi. Novel ini mempunyai ciri-ciri bertema cinta asmara yang berselera rendah, alurnya datar (arogresif) sehingga jalan cerita ringan dan mudah diikuti oleh pembaca, menggunakan bahasa aktual dan bertujuan komersial (Zulfahnur Z. F dkk, 1994 : 75).
d. Novel Absurd
Novel Absurd adalah sebuah novel yang kisahan ceritanya menyimpang
dari logika biasa, irrasional, realitis bercampur angan-angan dan mimpi
(Zulfahnur Z. F dkk, 1994 : 75).
e. Novel Horor
Novel horor adalah cerita fiksi yang kisahan ceritanya melukiskan kejadian-kejadian yang bersifat horor seperti drakula pengisap darah, hantu, hantu yang gentayangan, kuburan keramat, dan berbagai keajaiban alam supranatural yang berbaur dengan kekerasan, kekejaman, kekacauan dan kematian (Zulfahnur Z. F dkk, 1994 : 75).
8
f. Novelet
Novelet yaitu bentuk novel yang lebih terbatas, lebih kecil kisahan
ceritanya. Ciri-cirinya secara umum sama dengan novel. Keterbatasan
novelet juga terlihat dari jumlah halamannya (Zulfahnur Z. F dkk,
1994 : 76).
4. Unsur-unsur Novel
Unsur-unsur yang membangun sebuah novel terdiri dari unsur instrinsik dan
unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun cerita dari
dalam cerita itu sendiri, dan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun
cerita dari luar cerita (Zulfahnur Z. F dkk. 1994 : 24-25).
a. Unsur Instrinsik
Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun suatu cerita dari dalam
sebuah cerita yang terdiri dari tema, amanat, alur, perwatakan, sudut
pandang, latar dan gaya bahasa (Zulfahnur Z. F, 1996 : 25).
Menurut Wahyudi Siswanto (2008 : 142) membagi unsur instrinsik novel
atas alur (plot), tokoh, watak, penokohan, latar cerita (setting), titik
pandang (sudut pandang), gaya bahasa, amanat, tema dan gaya
penceritaan.
9
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur instrinsik
adalah unsur yang membangun suatu cerita yang berasal dari dalam
cerita. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan, penulis akan membahas
tokoh, watak, atau penokohan.
1) Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh cerita adalah orang yang mengambil dan menjalani peristiwa atau bagian dari peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam plot (Jacob Sumardji, 1978 : 144).
Tokoh adalah pelaku yang menggambarkan peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjadi suatu cerita, sedangkan
penokohan adalah cara satrawan menampilkan tokoh, Aminudin
(dalam Wahyudi Siswanto, 2008 : 142 ). Sedangkan menurut
Zulfahnur Z. F dkk. (1996 : 28-29) menjelaskan tokoh berarti pelaku.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, (Burhan
Nurgiantoro 2007 : 176) membagi tokoh atas.
a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah novel. Tokoh ini tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Sedangkan tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi
10
penceritaan yang relatif pendek disebut tokoh tambahan (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 176).
b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, yang salah satu
jenisnya disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawatahan
norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita, (Altenberd dan
Lewis dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 178).
Sedangkan tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan
terjadinya konflik dan merupakan lawan dari tokoh protagonis,
(Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 179).
c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Tokoh sederhana dalam bentuk yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupan, kepribadiannya, dan jati dirinya. Ia memiliki perwatakan yang sulit didiskripsikan sehingga sulit duduga dan sering memberikan kejutan (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 181-183)
d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis yaitu tokoh yang memiliki sifat dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dan berkembang perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan, (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 188).
11
e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal (typikal character ) adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan individualitasnya, dan lebih hanya ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh ini merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga yang ada di dunia nyata. Sedangkan tokoh netral (netral character) adalah tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi, (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 190).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah
pelaku dalam cerita.
2) Perwatakan
Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh itu. Perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana tokoh-tokoh itu, (Herman J. Waluyo, 164).
Perwatakan atau watak tokoh menurut Kretsmer (dalam Herman J.
Waluyo, : 170) mengklasifikasikan watak berdasarkan tipologi ciri-
ciri khas fisik seseorang. Sedangkan menurut Gustaf Jung (dalam
Herman J. Waluyo, : 170) membagi watak manusia menjadi dua
macam, yaitu (1) tokoh introverse dan (2) ekstroverse. Pada tokoh
introverse perhatian ditujukan pada diri sendiri, sendangkan pada
ekstroverse perhatian lebih ditujukan kepada dunia luar.
12
Heyman (dalam Herman J. Waluyo, 171) membagi watak tokoh-
tokoh menjadi enam klasifikasi, sebagai berikut :
a) Manusia religiusb) Manusia ekonomic) Manusia sosial d) Manusia seni (estetis)e) Manusia politis f) Manusia ilmu
Lebih lanjut dijelaskan bahwa deskripsi watak biasanya dengan tiga
dimensi, yakni :
a) Dimensi fisik
Dimensi fisik artinya keadaan fisik tokohnya meliputi usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh (tinggi, pendek, panjang, gagah, tampan, menarik dan sebagainya), ciri-ciri wajah dan ciri khas yang spesifik (cantik, keriput, jelek dan sebagainya), (Herman J. Waluyo, 1994 : 171).
b) Dimensi psikis
Dimensi psikis tokoh yang melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat dan karakternya. Seperti misalnya : mentalitas, ukuran, moral, dan kecerdasan, tempramen, keinginan dan perasaan pribadi, kecakapan dan keahlian khusus,(Herman J. Waluyo, 1994 : 171).
c) Dimensi sosiologis
Dimensi sosiologis menunjukkan latar belakang kedudukan
tokoh tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan
tokoh-tokoh lain, seperti agama (ideologi), status sosial (kaya,
13
miskin, menengah), pekerjaan (jabatan, peranan dalam
masyarakat), pendidikan, pandangan hidup (kepercayaan),
aktivitas sosial (organisasi dan kesenangan), suku bangsa dan
keturunan.
Menurut Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, : 172)
membagi empat cara menggambarkan watak tokoh, yaitu :
a) Monolog interior tak langsungb) Monolog interior langsung
Monolog interior artinya yang kehadirannya tidak ditunjukkan kepada siapapun baik pembaca maupun tokoh lain.
c) Pengarang serba tahuPengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah-seolah pada diri seorang tokoh, pengarang ada di dalamnya.
d) Teknik solilokuiTeknik solilokui atau percakapan batin artinya pengarang menggambarkan watak melalui percakapan tokoh itu sendiri. Dari percakapan dapat diketahui batin pelaku dan dari sikap batin itu dapat diketahui watak pelakunya.
Selanjutnya menurut Burhan Nurgiyantoro (2007 : 194) perwatakan
dapat dibedakan dengan dua cara yaitu :
a) Pelukisan secara langsung
Pelukisan secara langsung disebut juga dengan teknik ekspositori
atau teknik analitik yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara
14
langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang
kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit melainkan begitu
saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang berupa
sikap, sifat, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya.
b) Pelukisan secara tidak langsung
Pelukisan secara tidak langsung disebut juga dengan teknik dramatik yaitu pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah tangkah laku tokoh. Pengarang membiarkan (menyiasati) para tokoh, cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalaui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 198).
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007: 201-210), teknik pelukisan
tokoh secara tidak langsung meliputi :
i) Teknik cakapanTeknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh. Percakapan yang dilakukan oleh (baca : diterapkan pada) tokoh-tokoh cerita biasanya dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik yang efektif yang lebih fungsional adalah yang menunjuk perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.
ii) Teknik tingkah lakuTeknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dalam banyak hal dapat dipandang sebagai pencerminan tingkah laku, reaksi,
15
tanggapan, sifat dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
iii) Teknik pikiran dan perasaanTeknik pikiran dan perasaan tidak bisa dipisahkan dengan tingkah laku. Bahkan pada hakekatnya “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang dikemudian diejahwantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal. Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan.
iv) Teknik arus kesadaranTeknik arus kesadaran (stream of consciousness) merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha merangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, dimana tanggapan indra bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi, asosiasi acak, Abrams.
v) Teknik reaksi tokohTeknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian masalah, keadaan, kata dan sikap tingkah laku orang lain dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kedirian tokoh.
vi) Teknik reaksi tokoh lainReaksi tokoh (tokoh) lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya yang berupa pandangan, pendapat, komentar dan lain-lain. Pendek kata penilaian kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. Pada hakekatnya tokoh-tokoh lain melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca. (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 209).
16
vii) Teknik pelukisan latarSuasana latar (baca : tempat) sekitar tokoh lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh. Keadaan latar tertentu memang dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula dipihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh.
viii)Teknik pelukisan fisikKeaadan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal itu berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perwatakan
adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap
dan tingkah lakunya dalam sebuah cerita.
3) Identifikasi Tokoh
Identifikasi tokoh sangat penting bagi suatu analisis. Dengan
mengidentifikasi tokoh-tokoh tersebut kita dapat menentukan mana
tokoh protogonis, tokoh antgonis, tokoh tambahan, tokoh bulat,
tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral.
Tokoh cerita, utama ataupun tambahan sebagaimana dikemukakan hadir kehadapan pembaca tidak sekaligus menampakkan seluruh
17
kediriannya melainkan sedikit demi sedikit sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan cerita. Untuk mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh cerita, kita perlu mengidentifikasi kedirian tokoh (tokoh) itu secara cermat. (Burhan Nurgiyantoro, 2007 : 211-212)
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identifikasi
tokoh adalah usaha untuk mengetahui kedirian tokoh.
B. Pembahasan
1. Penyajian Data
SINOPSIS NOVEL JANGAN MIRINGKAN SAJADAHMU!KARYA MUHAMMAD B. ANGGORO
Judul : Jangan Miringkan sajadahmu!Penulis : Muhammad B. AnggoroPenerbit : DIVA Press Tahun Terbit : 2008Tebal Buku : 418 Halaman
Mengerikan sekali jika membayangkan seorang suami menjatuhkan talak tiga gara-gara emosi sesaat sedangkan mereka masih saling cinta. Hasilnya secara syariah harus ada laki-laki lain yang menikahi istrinya. Dalam dunia nyata, kejadian seperti ini pun seringkali terjadi. Kiranya novel “Jangan Miringkan Sajadahmu!” ini dapat menjadi renungan bagi para suami istri.
Cerita awalnya dimulai dengan pertengkaran antara sepasang suami istri yang saleh dan salehah. Dikarenakan si istri tidak mampu menerima kondisi ayah mertuanya yang mulai pikun dan bersikap kekanak-kanakan maka si istri pun mulai merasa lelah mengurus ayah mertuanya hingga berakibat pada pertengkaran dengan suaminya yang berakhir pada jatuhnya talak tiga oleh Jati terhadap Nastiti.
Proses perceraian antara Jati dengan Nastiti telah diajukan ke pengadilan. Sekarang mereka tinggal menunggu keputusannya saja. Proses perceraian ini adalah yang ketiga kalinya bagi Jati dan Nastiti.
18
Kini, Jati dan Nastiti dirundung penyesalan. Sudah tak ada lagi iddah untuk rujuk. Tak ada pula iddah untuk menikahi kembali mantan istrinya kecuali Nastiti telah menikah dengan orang lain dan bercerai dengan suami keduanya. Jati menyesali dirinya yang telah berlaku tegas menalak nastiti hanya karena Nastiti meminta ayah Jati pindah ke rumah lain. Sementara Nastiti menyesali dirinya yang kurang sabar menghadapi perilaku ayah mertuanya yang bersikap kekanak-kanakan dan mulai pikun.
Setiap hari Jati melamun, ia menyesal telah menalak tiga istrinya. Ia mulai merasakan betapa pentingnya kehadiran seorang istri. Tetapi nasi telah menjadi bubur inilah kenyataan pahit yang harus ditelannya. Dia harus berpisah dengan Nastiti, bercerai dengannya, harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini karena dia lebih memilih menjaga dan mengurus bapaknya yang telah tua ketimbang hidup dan bahagia dengan Nastiti. Kini hanya ada penyesalan-penyesalan dan kekecewaan-kekecewaan yang kian bertumpuk-tumpuk memenuhi hatinya.
Suatu hari Jati mendatangi Kyai Ahmad Badawi, beliau adalah ustad di pondok pesantren At tauhid tempat dia pernah nyantri. Jati menceritakan penyebab mengapa ia menalaq istrinya, ia menangis dan ia menginginkan kembali menikahi istrinya. Mendengar keluhan Jati, Kyai Ahmad Badawi justru menjawab dengan tegas bahwa Jati tidak bisa menikahi istrinya lagi, kecuali mantan istrinya telah dinikahi laki-laki lain dan ceraikan kembali. Jati menangis tanpa henti, ia tak mengerti apa yang harus dilakukannya kini.
Terbayangkah bagaimana rasanya bila sepasang suami istri yang shalih shalihah, hanya sebab emosi sesaat, terlontarlah talak tiga. Maka jatuhnya talak tiga yang penuh nafsu yang mengakibatkan terpisahnya cinta dan kasih itu. Demi syariah yang ditetapkan Allah SWT, Jati dan Nastiti menerima sosok Hafizh dalam kehidupan mereka. Tetapi rupanya harga diri, emosi, cinta, cemburu, nafsu, sesal, getir, patuh dan rasa takut kehilangan sungguh tidak sesederhana itu. Apalagi selalu ada setan yang tak kunjung capek menarik-narik sajadah kepatuhan di hati mereka agar tidak lurus kembali.
Aini kembali membawakan hasil masakannya sendiri ke rumah Jati. Semenjak ayah Jati meninggal, Aini mulai sering membawakan Jati makanan karena kini Jati tinggal seorang diri di rumahnya. Tapi bukan itu saja alasan Aini kerap memasak untuk Jati, Aini mulai merasa jatuh cinta dengan duda yang mantan istrinya kini didekati oleh kakak kandungnya, Hafizh.
19
Tapi bagaimana Jati bisa menerima Aini jika Jati tidak bisa membuka pintu hatinya untuk Aini, karena dalam hati Jati hanya ada Nastiti. Semua cinta, seluruh rindunya hanya untuk Nastiti seorang. Sudut-sudut relung hatinya hanya berisi wajah cantik Nastiti.. Seluruh pikiran, lamunan dan harapannya hanya ada Nastiti saja.
Nastiti menangis. Meski tanpa suara tapi air mata membanjiri kedua pipinya. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Hafizh, pemuda yang telah lama menaruh hati padanya sebelum dia menikah dengan Jati. Tamu-tamu yang datang menghadiri acara syukuran pernikahan Nastiti dan Hafizh mengira itu adalah air mata kebahagiaan sang pengantin, namun hanya Nastiti yang tahu kalau air matanya adalah air mata kepedihan karena dia menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Cintanya telah habis diserahkan kepada seorang Jati yang kini menjadi mantan suaminya.
Sementara Jati menyusun rencana demi mendapatkan kembali Nasiti, dia tengah merencanakan perceraian Nasiti dengan Hafizh. Suatu hari Jati menemui Nasiti dan menyampaikan maksudnya agar Nasiti meminta cerai dari Hafizh, tetapi betapa kecewanya Jati Nasiti menolaknya karena Nasiti tengah mengandung anak Hafizh.
Hari-hari yang dilalui jati dirasakannya begitu sunyi, walaupun ada seorang wanita yang sangat mencintai dan mengharapkannya tetapi Jati tidak mempedulikannya. Di hatinya hanya ada Nasiti seorang. Akibat terlalu memikirkan Nasiti akhirnya Jati jatuh sakit hingga suatu hari Nasiti dan Hafizh menjenguknya. Jati yang terbaring lemah terperanjat dengan kedatangan mantan istrinya itu, ia memandangi perut Nasiti yang sudah membesar. Betapa hancur hati Jati, ingin rasanya ia menangis sejadi-jadinya tapi itu tak mungkin terjadi. Rupanya perasaan itu juga tengah dirasakan oleh Nasiti, ia merasa menyesal bercerai dengan Jati, ia juga menyesal mernikah dengan Hafizh apalagi dengan kehamilannya. Andai ia tidak hamil mungkin ia akan segera meminta cerai dengan Hafizh. Perasaan itu dibawanya sampai kepulangannya dari rumah sakit.
Pagi hari ketika manusia sibuk dengan pekerjaanya, tiba-tiba terdengar suara dari masjid dekat rumah Nasiti, suara itu adalah suara seseorang yang mengabarkan berita kematian dan ternyata orang yang dikabarkan meninggal itu adalah Jati. Betapa hancur hati Nasiti mendengar berita itu. Begitu juga dengan Aini wanita yang tak kalah cintanya dengan Jati. Ketika jezah Jati datang Nasiti dan Aini jatuh pingsan tak kuasa menahan kepedihan.
20
Gundukan tanah merah di pekuburan itu masih basah, masih penuh taburan bunga-bunga aneka warna. Di samping makam itu masih bersimpuh dua wanita yang sangat mencintai laki-laki yang kini telah menghadap Allah Swt. Nastiti dan Aini masih meratap, masih menangis, masih belum percaya kalau kini Jati telah pergi menghadap Tuhannya.
2. Analisis Data
Tokoh utama dalam novel “Jangan Miringkan sajadahmu!” adalah Jati dan
Nastiti. Tokoh pendukung dalam novel tersebut antara lain : bapak Jati (bapak
mertua Nastiti), Aini, Kyai Ahmad Badawi, Hafizh Ayah Nastiti, Ibu Nastiti,
Ibu Aini, Fery, Nanang, Ningsih, Pak Untung, Lastri.
Perwatakan
Perwatakan yang digunakan pada Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya
Muhammad B. Anggoro menggunakan tiga dimensi yaitu :
a. Dimensi Fisik
1. Tokoh Jati
Jati adalah seorang lelaki yang tampan, berkulit kuning, bermata
tajam, berhidung mancung dan berwajah oval. Hal ini digambarkan
pada kalimat :
Tak jauh dari luar dusun, seorang lelaki muda tengah duduk sendirian. Wajahnya tampan, dengan rambutnya dipotong rapi. Kulitnya yang berwarna kuning, dibungkus dengan pakaian sederhana, hanya mengenakan kaos putih dan celana alakadarnya yang biasa dia gunakan ke sawah. Kedua matanya tajam, dengan hidungnya sedikit
21
mancung, namun serasi sekali dengan bentuk wajahnya yang oval (2008:28).
2. Nasiti
Nasiti adalah seorang perempuan yang cantik, anggun dan molek. Hal
ini tergambar pada kalimat :
“Di mata Hafizh, Nasiti adalah seorang wanita tercantik yang pernah dilihatnya. Kecantikan wajahnya mampu membuat bulan mersinar malu-malu. Keanggunannya mampu menyihir siapapun juga yang melihatnya. Kerlingan matanya mampu meredupkan cahaya bulan. Kemolekannya tidak jarang sering membuat orang terpaku karena pesonanya (2008:136).
3. Ayah Jati
Seorang lelaki yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun lebih,
rambutnya beruban dan sudah pikun. Hal ini tergambar pada kalimat :
“Jati tidak berani menganggu bapaknya yang tidak kuat. Bahkan penyakit pikunnya semakin menjadi sejak kematian ibunya. Sosok yang dulu begitu gagah dan tampan diwaktu mudasekarang sudah tidak terlihat sama sekali. Wajahnya dipenuhi keriput. Rambutnya dipenuhi dengan uban berwarna putih. Praktis hampir seluruh rambutnya itu berwarna putih. Sosok tubuhnya yang dulu tinggi tegap sekarang begitu tampak ringkih seperti orang penyakitan (2008:42).
4. Ayah Nasiti
Ayah Nasiti adalah seorang lelaki paruh baya hal ini tergambar pada
kalimat “Akan tetapi, laki-laki paruh baya itu tidak ingin menganggu
putrinya lagi. Dia hanya sempat geleng-geleng kepala sebentar, lalu
kembali masuk ke dalam kamarnya (2008:147).
22
5. Lastri
Lastri adalah seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Hal ini
tergambar pada kalimat “Tak jauh dari hadapan mereka, seorang gadis
kecil berumur sembilan tahunan tengah berlari-lari mengahmpiri
mereka berdua.(2008: 103)
6. Hafizh
Hafizh adalah seorang lelaki yang tampan dan shaleh. Hal ini
tergambar pada kalimat :
Sebenarnya, ayahnya tidak salah bermaksud menjodohkan dirinya dengan Hafizh; apalagi praktis tidak ada yang kurang dalam diri Hafizh. Wajahnya pun tampan, tidak kalah dengan ketampanan Jati. Ilmu agamanya pun dalam karena selama ini Hafizh banyak menghabiskan waktunya di pondok pesantren. Latar belakang ekonominya pun tidak terlalu mengecewakan. Cukup untuk menghidupi rumah tangganya. (2008: 289)
7. Aini
Aini adalah seorang gadis yang cantik berkulit putih bersih dan
bertubuh mungil. Hal ini tergambar pada kalimat :
Beberapa saat kemudian, Aini semakin tidak dapat mengendalikan hatinya sendiri. Air matanya itu semakin membanjiri kedua belah pipinya yang berkulit putih bersih. Akan tetapi, sebentar kemudian, tiba-tiba gadis itu berlari meninggalkan tempat pemakaman. Sosok tubuhnya yang mungil terus berlari dan berlari di antara semak belukar. (2008:222)
23
8. Ibu Aini
Ibu Aini adalah seorang wanita paruh baya. Hal ini tergambar pada
kalimat “Jati memperhatikannya sebentar. Sepertinya ada sesuatu
yang ingin disampaikan oleh ibunya Aini. Jati menunggu sampai
perempuan paruh baya itu membuka suara. (2008:283)
9. Ibu Nastiti
Ibu Nastiti adalah seorang wanita paruh baya. Hal ini tergambar pada
kalimat:
Nastiti masih saja enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya.
Dia malah diam terpekur memandangi dinding kamarnya. akhirnya
wanita paruh baya itu mengeluh panjang dan pergi meninggalkan
kamar anaknya”. (2008:242)
b. Dimensi psikis
1) Jati
Jati adalah seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya
terutama kepada bapaknya. apalagi setelah ibunya meninggal
dunia. Hal ini tergambar pada kalimat :
“Tak tega rasanya Jati memperhatikan sosok bapaknya. Hatinya serasa dirobek-robek karena rasa sayangnya yang sangat mendalam kepada bapaknya. Dia ingin sekali membahagiakan bapaknya. dia ingin sekali menyenangkan hati bapaknya di hari-hari tuanya” (2008:42).
24
Jati juga seorang muslim yang taat kepada Allah SWT. Hal ini
terlihat pada kalimat :
Pada kerlap-kerlip bintang kemintang di kejauhan sanalah dia seolah ingin mengadukan nasibnya. Tapi, Jati sadar tak mungkin dia melakukan hal itu. Perbuatan semacam itu jelas-jelas syirik karena telah meninggalkan keagungan-Nya. Tidak sepantasnya dia mengeluhkan semua persoalan hidup yang tengah membelenggunya itu kepada selain Allah”, (2008 : 61).
Jati juga digambarkan sebagai suami yang tegas. Hal ini tergambar
pada kalimat :
“Baik, kalau kau benar-benar nekat maka aku tak segan-segan lagi
menjatuhkan talak kepadamu, Nas! Ingat itu!” (2008 :18).
2) Nastiti
Nastiti digambarkan sebagai seorang istri yang mencintai
suaminya namun kurang bisa menerima bapak mertuanya yang
bersikap kekanak-kanakan karena penyakit pikunnya.
“Ironisnya Nastiti malah tidak bisa menerima. Dia bahkan malah merasa sebal atau malah memusuhi bapaknya. Bisa jadi sikap Nastiti yang kurang dapat menyenangkan hati bapaknya itulah yang semakin membuat sikap bapaknya seperti anak kecil, sering berbuat aneh-aneh hanya sekedar untuk memancing perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya” (2008 : 33).
Nastiti juga memiliki sifat tidak sabar dan berwatak keras. Hal ini
tergambar pada kalimat :
25
Iya. Tapi, sampai kapan rumah tangga kita seperti ini terus, Mas ?
Mas pikir aku kuat apa ? Kalau begini terus, bisa jadi malah aku
yang stres sendiri, Mas!” Sembur Nastiti bukan main (2008:14).
3) Ayah Jati
Ayah Jati digambarkan berwatak disiplin, keras dan tegas karena
dulunya ayah Jati adalah seorang tentara. Namun setelah tua ia
mulai pikun, sikapnya menjadi seperti anak kecil dan tidak jarang
meminta sesuatu yang tidak masuk akal seperti digambarkan
dalam kalimat berikut :
“Jat…… ! Cepat bukain pintunya,Jat! Cepat………….! Kalau
tidak bapak jebol pintunya! Kamu dengar nggak, Jat?” (2008 : 8).
“Bapak nggak bisa tidur, Jat. Bapak barusan mimpi menakutkan.
Bapak takut, Jat. Bapak takut……!, Ayo temani bapak ngobrol!”
(2008 : 10).
Kepikunan bapak Jati mengakibatkan ia sering lupa jika Jati telah
bercerai. Digambarkan dalam kalimat berikut :
“Kenapa Nastiti nggak pulang-pulang? Suruh dia cepat pulang,Jat.
Bapak kan sendirian terus di rumah. Bapak sepi kalau nggak ada
dia” (2008 : 46).
26
4) Ayah Nastiti
Ayah Nastiti digambarkan sebagai seorang yang sederhana,
bijaksana dan sangat menyayangi anaknya. Ayah Nastiti selalu
mendorong anaknya agar melupakan masa lalunya seperti
digambarkan dalam kalimat :
“Sudahlah, Nastiti! Kamu sudah nggak perlu lagi memikirkan Jati.
Percuma saja kamu memikirkan dia! Toh, tetap saja kalian nggak
akan bisa bersatu lagi” (2008 : 144).
Ayah Nastiti juga selalu membujuk anaknya agar mau melupakan
Jati dan menerima laki-laki lain seperti dalam kalimat :
“Boleh saja kamu masih mencintai mantan suamimu itu. Tapi,
tetap saja percuma Nastiti. Cobalah mulai sekarang kamu alihkan
perasaan cinta kamu kepada laki-laki lain, selain Jati, Nastiti”
(2008 : 145).
Ayah Nastiti juga seorang yang berwatak tegas hal ini tergambar
pada kalimat :
Sudah, nggak usah menangis! Sekarang kamu harus bisa
menetukan sikap! Mau tetap menyiksa diri seperti ini terus, atau
27
mau berpikir realistis dan melupakan mantan suamimu itu!”
(2008, 246)”.
5) Kyai Ahmad Badawi
Kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang pernah menjadi
guru Jati sewaktu Jati mondok di pondok pesantren at-Tauhid.
Kyai Ahmad Badawi digambarkan sebagai seorang kyai yang
perhatian terhadap para santrinya, sederhana, rendah hati, memiliki
ilmu agama yang dalam namun tidak sombong.
Kesederhanaan Kiai Ahmad badawi digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Suasana di dalam rumah Kyai Ahmad Badawi sendiri juga tidak terlalu banyak berbeda seperti saat Jati masih mondok disana. Tetap masih seperti dulu, sebuah karpet berwana hijau tua tergelar di ruang tamu. Di sampingnya terdapat rak besar berisi puluhan kitab kuning karya ulama-ulama besar islam” (2008 : 72).
Kiai Ahmad Badawi juga seorang ulama yang taat kepada syariah
islam dan tidak mau anak didiknya berkompromi dengan aturan
agama untuk meluluskan keinginan Jati menikahi lagi istrinya,
seperti tertulis dalam kalimat:
“Nggak bisa begitu, Jati walau kamu sampai menangis darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung menikahi istrimu lagi kecuali jika istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa menikahi istrimu lagi. Itupun kalau suami kedua
28
dari istrimu itu mau menceraikan istrimu. Kalau tidak, kamu ya tetap tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat……….” (2008 : 75).
Juga dalam kalimat “Talak yang sudah kamu jatuhkan adalah talak bain kubro ,talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga bukan main-main. Mereka juga harus bercampur terlebih dahulu, Jat” (2008 :76).
6) Lastri
Lastri adalah seorang gadis kecil berwatak lugu dan polos, hal ini
tergambar pada kalimat :
Gadis kecil yang tadi dipanggil Lastri itu terus mendekati Nastiti.
Sikapnya sungguh sangat polos. Sama sekali tidak menyedari
kalau kedatangannya mengganggu mereka (2008:103).
7) Hafizh
Hafizh adalah seorang pemuda yang telah lama memendam cinta
kepada Nastiti sampai Nastiti menjadi janda pun Hafizh masih
mencintainya. Hafizh digambarkan sebagai seorang lelaki tampan
yang tenang dan sabar, juga seorang jebolan pesantren yang
pantang menyerah mendekati Nastiti yang masih belum bisa
menerima pria lain di hatinya.
“Hafizh sendiri bukannya tidak tahu. Dia tahu kalau Nastiti bersikap biasa saja terhadap dirinya. Tapi, hafizh tidak putus asa. Sebisa mungkin dia berusaha mengusir kemurungan Nastiti. Dengan begitu,dia bukan hanya akan dapat mengusir kemurungan
29
Nastiti, melainkan sekaligus juga berusaha menarik perhatiannya” (2008 : 168).
Setelah menjadi seorang suami, Hafizh digambarkan sebagai
suami yang baik, terlihat dalam kalimat berikut:
“Hafizh adalah seorang suami yang baik, pengertian, penyabar kepada dirinya.Tidak pernah berlaku kasar kepada dirinya. Tidak pernah emosinya meledak-ledak walau dirinya telah melakukan kesalahan. Tidak pernah menegur terang-terangan walau dia telah berbuat salah. Hafizh selalu menunjukan kalau dirinya adalah sosok seorang suami yang menyenangkan, penyayang dan mau mengerti istrinya”(2008 : 352).
Hafizh juga seorang santri yang menginginkan istrinya taat kepada
Allah Swt dalam hal berjilbab, terlihat dalam kalimat :
“Sewaktu Nastiti kesal dan tidak lagi memakai jilbab, Hafizh tidak pernah langsung menegurnya namun Hafizh mengajak Nastiti berdiskusi untuk mengamati dan menilai tentang apa itu perempuan, apa yang tidak boleh dan harus dilakukan sebagai seorang muslimah. Aurat-aurat mana saja yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan dimuka umum hingga Nastiti pun mengenakan jilbabnya kembali” (2008 : 353).
30
8) Aini
Aini digambarkan sebagi gadis cantik, baik hati yang diam-diam
mencintai jati. Kecantikan Aini digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Ya, tapi kamu bukan hanya baik, Aini. Kau juga cantik sekali
Aini. Kau anggun sekali…….” (2008 : 405).
Aini digambarkan sebagai gadis yang suka menolong dan penuh
perhatian terhadap Jati. Seperti dalam kalimat berikut:
“Iya bapakmu sakit. Tadi terjatuh di rumah. Untung ada Aini yang
menolong”, (2008 : 76).
“Aini yang melihat kesedihan Jati mendekat. Dia menghibur Jati
agar tetap sabar dan tabah menerima cobaan dari-Nya, (2008 :
183).
Perhatian Aini terhadap Jati terlihat dari seringnya Aini
membawakan makanan untuk Jati. Digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Nggak ada apa-apa kok mas. Ini tadi aku menggoreng pisang, lalu
tiba-tiba aku teringat sama mas Jati, lalu aku kemari saja untuk
31
mengantarkan pisang goreng ini untuk mas Jati. Enak kok mas “
(2008 : 228).
Juga dalam kalimat :
Oh ya Mas. Ini tadi aku masak opor tahu sama sambal goreng.
Dicobain deh, mas. Enak nggak?” (2008 : 272).
9) Ibu Aini
Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini
digambarkan dalam kalimat :
Wah…!itu juga masakan kesukaan ayahmu aini. Dulu waktu Ibu
naksir sama ayahmu, Ibu juga sering membuatkan pepes ikan
untuk ayahmu, aini. Jangan-jangan kamu juga begitu, ya?” (2008 :
376).
10) Ibu Nastiti
Ibu Nastiti digambarkan sebagai seorang ibu yang sangat
menyayangi putri tunggalnya. Kasih sayang itu ditunjukan dengan
perhatian yang tercurah penuh pada Nastiti yang tergambarkan
pada pertanyaan berikut :
32
“Kamu kenapa Nas? Kok kelihatan kesal sekali? Ada apa? Kok
pakai nangis segala?” (2008 : 241).
“Ibu jadi semakin nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini kamu
berubah aneh. Apa kamu masih memikirkan Jati?” (2008 : 242).
11) Ferry
Ferry digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada
orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :
“Bagaimana keadaan Bapak, Jat?“ tanya Fery panik”. (2008 : 200).
12) Nanang
Nanang digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada
orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :
“Ya…! Kamu benar, Jat. Melihat kondisi Bapak yang seperti ini,
Bapak memang harus dirawat di rumah sakit, Jat“.(2008 : 201).
13) Ningsih
Ningsih digambarkan sebagai kakak yang baik, lembut, dan penuh
perhatian, hal ini digambarkan dalam kalimat berikut :
“Dik Jati, kenapa Dik Jati belum tidur ?”
“Belum kok Mbak, belum mengantuk”.
“Tapi, ini sudah malam, Dik Jati. Sudah jam dua belas malam
lebih”.(2008 : 206).
33
14) Pak Untung
Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan
bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :
“Maaf Dik, terus terang saya tidak berani menanganinya lagi, “ujar Pak Untung akhirnya.“Maksud Bapak?”.“Teman Adik ini harus segera dibawa ke rumah sakit !Mumpung belum terlanjur parah.(2008 : 303)
c. Dimensi Sosiologis
1. Jati
Jati adalah seorang yang tinggal di Desa dan bekerja sebagai petani
dan penderes kelapa. Hal ini tergambar pada kalimat “Kulitnya
yang berwarna kuning, dibungkus dengan pakaian sederhana,
hanya mengenakan kaos putih dan celana alakadarnya yang biasa
dia gunakan ke sawah” dan pada kalimat :
Kaki-kaki Jati terus bergerak lincah dari lubang satu ke lubang lainnya. bersamaan dengan gerakan tubuhnya yang bergerak naik sura-sura bumbung kosong dari pohon batang bambu yang digendong di belakang punggungnya kembali berbunyi (2008 :163)”.
2. Nastiti
Seorang janda yang kemudian menikah dengan sahabat mantan
suaminya. Hal ini tergambar pada kalimat:
34
Risih sekali Nasiti menyandang predikat itu (2008:20). Dan pada
kalimat “Demi Allah aku bingung Mas, aku nggak tau apa yang
harus aku lakukan. Aku nggak menginginkan pernikahan itu. Aku
nggak menginginkan itu semua, Mas…”(2008:316).
3. Ayah Jati
Ayah Jati digambarkan berwatak disiplin, keras dan tegas karena
dulunya ayah Jati adalah seorang tentara.
4. Ayah Nastiti
Ayah Nastiti adalah seorang petani, hal ini tergambar pada
kalimat “Sebentar kemudian, Ayah Nastiti pergi ke sawahnya
sambil memanggul cangkul di pundaknya(2008 : 28).
5. Kiyai Ahmad Badawi
Seorang kiyai yang memimpin pondok At Tauhid di dusun
Kenjeran hal ini terlihat pada kalimat “Aziz segera mengajak Jati
menemui Kiai Ahmad Badawi, guru mereka di pondok pesantren
(2008:70)”.
6. Lastri
Lastri adalah gadis kecil tetangganya Nasiti, hal ini tergambar pada
kalimat “Ya, sudah Mba, Lastri pulang dulu, ya ? (2008:104)”.
35
7. Hafizh
Lelaki sholeh, sahabat mantan suami Nasiti yang tinggal sedusun.
hal ini tergambar pada kalimat :
Dia adalah seorang pemuda di dusunnya yang dulu mengejar-
ngejar cintanya. Tapi, bagaimana mungkin dia sekarang di sini?
Bukankah dia sedang nyantri di salah sebuah pondok pesantren di
Jawa Timur (2008 :114)”.
8. Aini
Aini adalah adiknya Hafizh yang sangat mencintai Jati. Hal ini
tergambar pada kalimat :
Saking cemasnya akan keselamatan dari laki-laki yang sangat
dicintainya itu, ainipun terus berlari mengejar Jati yang tengah
dipapah oleh dua orang pemuda di dusunnya, di depan sana
(2008:330)”.
9. Ibu Aini
Ibu Aini adalah seorang ibu rumah tangga. Hal ini tergambar pada
kalimat “Orang ibu dulu juga sering ngasih ikan pepes pada
ayahmu(2008:376)”.
36
10. Ibu Nastiti
Ibu Nasiti adalah seorang ibu rumah tangga. Hal ini tergambar
pada kalimat”Nas…itu ditunggu ayah di meja makan(2008:195)”.
11. Ferry
Ferry adalah kakak kandung Jati yang tinggal di kota. Hal ini
tergambar pada kalimat:
Kalau Mas tetap menghendaki aku tinggal disini, suruh saja bapak tinggal di rumahnya Mas Ferry atau di rumahnya Mas Nanang! Kan selesai persoalannya, Mas ?“Nggak bisa begitu dong, Nas! kamu kayak nggak tau bapak saja. Bapak itu nggak mau tinggal di kota. Makanya, bapak nggak mau tinggal di rumah Mas Ferry maupun di rumah mas Nanang (2008:15)”.
12. Nanang
Nanang adalah kakak kandung Jati yang tinggal di kota. Hal ini
tergambar pada kalimat :
Nggak bisa begitu dong, Nas! kamu kayak nggak tau bapak saja.
Bapak itu nggak mau tinggal di kota. Makanya, bapak nggak mau
tinggal di rumah Mas Ferry maupun di rumah mas Nanang
(2008:15)”.
37
13. Ningsih
Ningsih adalah kakak ipar Jati. Hal ini tergambar pada kalimat :
Buru-buru Jati memalingkan kepalanya ke samping. Ternyata,
orang yang tengah berjalan mendekati dirinya itu, tidak lain adalah
Mbak Ningsih, kakak iparnya(2008 : 206)”.
14. Pak Untung
Pak Untung adalah seorang mantri yang tinggal di dusun sebelah.
Hal ini tergambar pada kalimat :
Biasanya banyak penduduk dusunnya maupun dusun-dusun
disekitarnya meminta bantuan Pak Untung untuk mengobati
anggota keluarganya (2008 : 381)”.
38
BAGAN PERTWAKAN NOVEL “JANGAN MIRINGKAN SAJADAHMU”KARYA KARYA MUHAMMAD B. ANGGORO
No Tokoh Dimensi Fisik Dimensi Psikis Dimensi Sisiologis
1 Jati Orangnya tampan dan tinggi atletis (28 dan 57)
Berwatak keras dan tegas (18) sederhana (28),berbakti pada orang tua (42 &153), tanggungjawab (51), mudah iba (54 & 55), pesimis (41 & 92), pencemburu (153) dan setia (257)
Seorang petani dan penderes kelapa (28 dan 51)
2 Nastiti Orangnya cantik, anggun dan molek (135 dan 136)
Wataknya yang pemarah (5), tidak sabar (14), keras kepala (17 & 18) dan pencemburu (238) hingga memuatnya menyesal (66)
Seorang janda (20)
3 Ayah Jati Seorang ayah sudah berumur 75 tahun lebih dan rambutnya beruban dan sudah pikun (42)
Berwatak keras dan tidak sabaran (8), pikun (23, 46 & 47) dan erasa kurang perhatian (33)
Pensiunan militer (8)
4 Ayah Natiti
Seorang laki-laki paruh baya (147)
Seorang yang bijaksana (26, 117 dan 145) dan tegas (242)
Seorang petani (26)
5 Kiai Ahmad Badawi
Seorang yang bijak (72) dan tegas (75 & 76)
Kiai di Pondok Pesantren At-Tauhid di dusun Kanjeran (70)
6 Lastri Seorang gadis kecil (103)
Berwatak lugu dan polos (103)
Gadis kecil tetangga Nastiti (104)
7 Hafizh Lelaki yang tampan Berwatak tenang dan Lelaki soleh,
39
dan soleh (289) optimis (115), baik, penyayang, sabar dan santun (352)
sahabat Jati dan tinggal se dusun dengan Jati dan Nastiti (114)
8 Aini Seorang gadis catik, berkulit putih bersih dan bertubuh mungil (222)
Sifatnya baik, suka menolong dan perhatian (180)
Adik dari Hafizh yang sangat mencintai Jati (330)
9 Ibu Aini Seorang wanita paruh baya (283)
Seorang Ibu yang penuh perhatian (376) bijaksana dan pengertian (284)
10 Ibu Nastiti Seorang wanita keibuan berumur paruh baya (242)
Seorang ibu yang penuh perhatian (145, 196, 242) dan bijaksana (244 & 245)
11 Ferry Kakak yang baik, bijaksana dan berbakti pada orang tua (200 & 201)
Kakak kandung Jati yang tinggal di Kota (15)
12 Nanang Kakak yang penuh perhatian dan bijaksana (201)
Kakak kandung Jati tinggal di kota (15)
13 Ningsih Kakak ipar yang bijaksana dan penuh perhatian (207)
Kakak ipar Jati istri Ferry (206)
14 Pak Untung
Berwatak baik, tegas dan bijaksana (383)
Seorang mantra yang tinggal di dusun sebelah (381)
40
III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pencermatan penulis tentang Analisis Perwatakan Novel “Jangan
Miringkan Sajadahmu!” karya Muhammad B. Anggoro
dapat penulis simpulkan :
1. Perwatakan yang digunakan dalam Novel “Jangan Miringkan Sajadahmu”
karya Muhammad B. Anggoro adalah dengan menggunakan tiga dimensi
yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi sosiologi.
2. Tokoh utama dalam Novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” karya Muhammad
B. Anggoro yaitu jati dan Nastiti. Adapun tokoh tambahannya adalah Ayah
Jati, ayah Nastiti, Kiai ahmad Badawi, Lastri, Hafizh, Aini, Ibu Aini, Ibu
Nastiti, Ferry, Nanang, Ningsih dan Pak Untung.
3. Tokoh protagonis dalam Novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” karya
Muhammad B. Anggoro adalah Jati, sedangkan tokoh antagonis adalah
Nastiti.
41
B. Saran
1. Mengingat bahwa nilai sebuah novel bagi kehidupan sangat penting maka
sudah saatnyalah pembaca lebih banyak membaca dan memahami sebuah
cerita. Karena novel dapat memberikan nilai ganda kepada kita yaitu nilai
keindahan dan kegunaan. Atau menurut Horace sastra itu dapat memberikan
fungsi dulce et utile (indah dan bermanfaat).
2. Hasil penelitian pada novel”Jangan Miringkan Sajadahmu” karya
Muhammad B. Anggoro, lebih banyak menggunakan tiga dimensi sehingga
ceritanya jelas dan mudah dipahami.
3. Perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” karya Muhammad B.
Anggoro,syarat akan hikmah dan menarik sehingga dapat dijadikan teladan
bagi anak didik. Untuk itu novel ini, dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif bahan pembelajaran sastra di sekolah, khususnya SMA.
42