Teknik Perwatakan

92
a. Teknik Perwatakan Teknik perwatakan yang digunakan dalam Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro antara lain : 1) Teknik secara langsung (Ekspositori) Teknik secara langsung (ekspositori) sering juga disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan cara memberikan deskripsi dan uraian secara langsung. Tokoh cerit hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 195). Berdasarkan teori teknik pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan pelukisan tokoh dalam novel “Jangan Miringkan Sadahmu” karya Muhammad B. Anggoro yang sesuai dengan teori di atas.

Transcript of Teknik Perwatakan

Page 1: Teknik Perwatakan

a. Teknik Perwatakan

Teknik perwatakan yang digunakan dalam Novel Jangan Miringkan

Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro antara lain :

1) Teknik secara langsung (Ekspositori)

Teknik secara langsung (ekspositori) sering juga disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan cara memberikan deskripsi dan uraian secara langsung. Tokoh cerit hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 195).

Berdasarkan teori teknik pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan

pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan pelukisan tokoh dalam novel

“Jangan Miringkan Sadahmu” karya Muhammad B. Anggoro yang

sesuai dengan teori di atas.

Kutipan novel sebagai berikut :

Bapak mertuanya berasal dari kalangan militer. Wataknya keras, tegas, disiplin. Kalau melakukan sesuatu, tanpa banyak kompromi dan harus saat itu juga. Paling tidak senang kalau ada orang yang membangkang perintahnya. Paling tidak senang kalau ada orang yang hanya menghambur-hamburkan waktunya percuma. Dalam kamusnya, praktis tidak mengenal kata bermalas-malasan. Semuanya harus dikerjakan tepat waktu dan dikerjakannya dengan tanpa banyak membantah, persis kaya robot (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 6).

Page 2: Teknik Perwatakan

Kutipan novel tersebut sangat memberikan bagaimana karakter

mertua Nastiti yang keras, disiplin dan tegas serta benci dengan sifat

bermalas-malasan. Teknik semacam ini sangat efektif untuk

mengarahkan pembaca secara langsung memahami karakter tokoh

tanpa berpikir dan terlibat secara aktif dan ekoomis.

Kelemahan teknik ini pembaca seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan, kurang dituntut aktif untuk memberikan tanggapan secara imajinatif terhadap tokoh cerita dengan pemhamannya terhadap cerita dan persepsinya terhadap sifat-sifat kemanusiaan sebagaimana halnya yang sering dilakukan pada orang-orang yang dijumpai di dunia nyata (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 197).

Selain kutipan teknik pelikisan tokoh secara langsung (ekspositori) di

atas masih ada lagi kutipan sejenis dalam novel tersebut yang

menganut teori teknik ekspositori, kutipannya sebagai berikut :

Siang itu suasana dusun Banyu Bening telihat sepi. Banyak penduduk dusun pulang kembali ke rumah mereka masing-masing setelah seharian bekerja di sawah. Namun, suasana terik matahari masih terasa memanggang bumi. Sinarnya yang berwarna kuning keemasan tiada henti menghangati segenap penjuru dusun.

Tak jauh dari luar dusun, seorang laki-laki muda tengah duduk sendirian. Wajahnya tampan dengan rambutnya yang dipotong rapi. Kulitnya yang berwarna kuning dibungkus dengan pakaian yang sederhana, hanya mengenakan kaus putih dan selana ala kadarnya yang biasa digunakan ke sawah. Kedua matanya tajam dengan hidung yang sedikit mancung, namun serasi sekali dengan bentuk wajah yang oval (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 27-28).

Page 3: Teknik Perwatakan

Berdasarkan kutipan tersebut dapat penulis garis bawahi bahwa

watak dan parasnya sederhana dan tampan, serta berpendirian tegas.

Hal ini terlihat dalam deret kalimat kedua matanya tajam dan

rambutnya yang dipotong rapi menggambarkan satu sisi sifat yang

bersahaja.

Kutipan berikut juga masih dalam ranah teknik pelukisan tokoh

secara langsung (ekspositori).

Rata-rata santri yang belajar di pondok pesantren itu juga senang dengan perhatian dan sikap Kiai Akhmad Badawi. Disamping itu, Kiai Akhmad Badawi sendiri juga memiliki ilmu agama yang dalam, penampilannya pun sangat sederhana, rendah hati dan tidak sombong. Jika ada santrinya yang ingin mengajaknya berdebat, dia juga tidak mau menang sendiri. Sebaliknya, dia tetap bersikap santun walaupun mungkin ada perbedaan pandangan dari para santrinya, namun tidak jarang juga Kiai Akhmad Badawi sering meluruskan pokok permasalahan yang tengah diperdebatkan itu jika memang ada santri-santrinya yang kurang memahami pada hal-hal yang tengah diperdebatkan (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 72).

Memahami kutipan novel di atas tidaklah terlalu sulit. Pembaca tidak

lagi perlu berpikir serius untuk menebak watak Kiai Akhmad

Badawi. Watak kiai tersebut telah jelas terlukis dalam deskripsi

pelukisan tokoh dengan cara ekspositori, atau teknik pelukisan tokoh

Page 4: Teknik Perwatakan

secara langsung, atau teknik uraian (telling) atau juga teknik diskursif

(discursive).

Teknik semacam ini penulisan temukan pula dalam novel, khususnya

halaman 288-289, sebagai berikut kutipan.

Nastiti tahu, Hafizh memang sosok suai yang ideal bagi dirinya maupun wanita manapun juga. Sebenarnya ayahnya tidak salah bermaksud menjodohkan dirinya dengan Hafizh, apalagi praktis tidak ada yang kurang dalam diri Hafizh. Wajahnya pun tampan, tidak kalah dengan ketampanan Jati. Ilmu agamanya pun dalam, karena selama ini Hafizh banyak menghabiskan waktunya di Pondok Pesantren (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 288-289).

Pembaca tentu tidak lagi bertanya-tanya tentang karakter Hafizh.

Pembaca langsung bisa menebak bahwa Hafizh adalah seorang yang

alim dan dalam ilmu agamanya, serta baik dan tampan. Dari

kacamata agama, seseorang yang dalam ilmu agamanya tentu orang

tersebut baik dan soleh.

2) Teknik Teknik Pelukisan Tokoh Secara Tidak Langsung (Dramatik)

Teknik semacam ini menuntut pembaca secara langsung terlibat aktif

dalam memahami perwatakan tokoh cerita. Keterlibatan ini

dikarenakan deskripsi tokoh atau pelukisan tokoh dikemas dalam

bentuk potongan, baik potongan sifat tertentu, sikap, aktivitas verbal

maupun noverbal lewat tindakan dan tingkah laku, dan melalui

Page 5: Teknik Perwatakan

peristiwa yang terjadi. Singkat kata teknik dramatik menampilkan

sifat kediria tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap.

Keunggulan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih

sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Perwujudan prilaku manusia

dalam konteks kehidupan nyata tidak secara utuh diperhatikan,

melainkan sebagian demi sebagian ditampilkan sehingga lambat laun

akan bisa disimpulkan satu sifat utuh manusia.

Selain kelebihan yang dimiliki oleh teknik pelukisan tidak langsung (dramatik), terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain akibat kebebasan pembaca dalam menafsirkan sifat-sifat tokoh cerita akan menimbulkan kemungkinan salah tafsir. Kelemahan berikutnya adalah tidak ekonomis, karena dalam mendeskripsikan kedirian tokoh diperlukan banyak kata (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 200).

Terlepas dari kelebihan dan kelemahan teknik pelukisan tokoh,

penulis hanya menggaris bawahi tidak ada satupun teknik yang

ampuh dalam melukiskan kedirian tokoh. Artinya dalam praktiknya

sebuah novel dikemas oleh pengarangnya dengan cara

menggabungkan beberapa teknik agar lebih berkesan dan hidup.

Dengan cara ini kelemahan diantara keduanya bisa saling tertutupi.

Bentuk pelukisan tokoh dengan teknik dramatik meliputi : teknik

cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus

Page 6: Teknik Perwatakan

kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik

pelukisan fisik dan teknik pelukisan latar. Berikut ini deskripsi

masing-masing teknik berikut dengan kutipan yang

membuktikannya.

a) Teknik cakapan

Tidak mudah menentukan sifat kedirian tokoh melalui teknik

cakapan. Sulit karena karakter tokoh dalam teknik ini

memerlukan pendalaman pikiran dan pemahaman dialog

antartokoh. Teknik cakapan yang baik adalah yang menunjukkan

perkembangan plot dan sekaligus mecerminkan sifat kedirian

tokoh pelakunya. Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya

Muhammad B. Anggoro mengikuti teknik ini. Berikut penulisan

kutipan :

“Maaf pak Kiai! Lama saya tidak bisa sowan kemari, “ ujar Jati malu-malu. Ada perasaan bersalah karena lama tidak menemui Kiai Akhmad Badawi.“Tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Kiai Akhmad Badawi.“Oh ya? Ngomong-ngomong, bagaimana dengan istrimu? Kenapa tidak diajak sekalian kemari?“Itulah yang ingin saya bicarakan dengan pak Kiai. Terus terang saya bingung sedang bingung sekali, pak Kiai….”“Lho! Memang ada apa?Jati tidak langsung menjawab pertanyaan Kiai Akhmad Badawi.Dia malah diam tercenung memikirkan persoalan yang tengah dihadapinya.

Page 7: Teknik Perwatakan

“Ssss… saya ….saya sudah menjatuhkan talak kepada istri saya pak Kiai” ujar Jati lirih , lalu kembali diam menundukkan kepalanya.“Talak” Kiai Akhmad Badawi terkejut. “cerai maksudmu!”“Iiiiiiii… iya pak Kiai…!“Kalau sudah cerai ya sudah! Lalu, apalagi persoalannya?”“Saya………..saya…masih mencintai istri saya , pak Kiai..!”“Kalau begitu rujuk saja kalau memang istrimu masih mau sama kamu, Jati! Kenapa kamu bingung?”“Itulah persoalannya pak Kiai. Saya dan istri saya sudah gak bisa rujuk lagi, pak Kia”“Maksudmu?”Kiai Akhmad Badawi memandangi bekas santrinya itu tajam. Dia masih belum mengerti maksud pembicaraan bekas santrinya itu.“Sssss….saya.. saya sudah mentalaknya tiga kali, pak Kiai”“Astagfirullahulazhim…! Kaia Akhmad Badawi tampak terkejut” kenapa bisa begitu , Jat?“Ssss…saya khilaf, pak Kiai…”“Apa kamu tidak tahu akibat dari talakmu ini?”“Saya tahu pak Kiai…”“Kalau sudah tahu, apalagi persoalannya?”“Sssss… saya ingin minta tolong kepada pak Kiai, saya sangat mencintai istri saya, pak Kiai. Saya tidak ingin berpisah dengan istri saya, pak Kiai. Ssss … saya…ingin kembali menikahi istri saya, pak Kiai…” tangis Jati memelas.“Nggak bisa begitu Jati, walaupun kamu sampai menangis darah sekalipun nggak mungkin bisa langsung menikahi istrimu lagi. Kecuali istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 76-77).

Berdasarkan dialog pada kutipan di atas, Jati mempunyai watak

yang keras sedangkan Kiai Ahmad Badawi berwatak tegas.

Page 8: Teknik Perwatakan

b) Teknik Tingkah Laku

Teknik tingkah laku mengarah pada tingkah laku verbal berupa

kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran kepada

tindakan nonverbal dan fisik. Apa yang dilakukan orang dalam

mewujudkan tindakan dan tingkah laku dalam banyak hal dapat

dipandang sebagai pencerminan tingkah laku, reaksi, tanggapan,

sifat dan sikap yang mencerminkan kediriannya (Burhan

Nurgiyantoro, 2007 : 203)

Hal ini tergambar pada :

Jati baru akan menghentikan langkahnya manakala dia tidak tahu

lagi harus membuang waktunya siang itu, membuang

kekecewaan dalam hatinya yang kian tidak menentu. Jati benar-

benar bingung (2008 :89)

c) Teknik Pikiran dan Perasaan

Teknik ini digambarkan pada kalimat :

“Mas Jati kenapa diam saja?” Desis nastiti perih. Lagi-lagi Jati

tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia malah meremas-remas

rambutnya sendiri. “Hentikan Mas! Mas aku sendiri tidak

Page 9: Teknik Perwatakan

sanggup menerima kenyataan ini, Mas …. Aku … Nggak

mungkin bisa hidup tanpamu, Mas…” (2008: )

d) Teknik Arus Kesadaran

Teknik ini tergambar pada kalimat :

Ya Allah…! Dosa apakah hingga Kau timpakan cobaan seberat

ini kepada hamba? Ya Allah ...! Bagaimana mungkin hamba

sanggup menghadapi cobaan yang demikian beratnya jika tanpa

ada orang yang hamba kasihi di sisi hamba? Ya Allah ..!

(Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sajadahmu, 2008 :

92).

e) Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh digambarkan pada kalimat :

Bukan main gusarnya hati Jati saat itu. Seketika hatinya mendidih. Canda dan tawa mereka terlihat begitu mesra sekali di mata Jati. Bahkan saking asyiknya mereka bercanda tawa, Nastiti mau terpelanting ke kubangan sawah. Untung saja Hafizh segera merai tangan Nastiti sehingga dia tidak terjatuh ke kubangan sawah (2008 : 164).

f) Teknik Teaksi Tokoh Lain

Teknik reaksi tokoh lain digambarkan pada kalimat :

Tidak dapat dipungkiri , semakin lama cintanya semakin tertambat cinta Jati. Setiap kali mereka bertemu, harapan dan

Page 10: Teknik Perwatakan

cinta dalam diri Nastiti semakin membuncah ruah. Dia tidak ingin laki-laki yang sangat dicintainya itu jatuh kedalam pelukan gadis-gadis lainnya di dusunnya maupun gadis-gadis manapun juga. Baginya Jati adalah cinta pertamanya yang tidak mungkin akan diabaikan begitu saja. Sebisa munkin dia harus bisa mendapatkan cintanya yang banyak diperebutkan gadis-gadis lain di dusunnya (2008 : 97-98)

g) Teknik Pelukisan Latar

Teknik pelukisan latar digambarkan pada kalimat :

Nastiti yang dibesarkan dari kalangan petani biasa tentu saja sangat kaget melihat kebiasaan-kebiasaan di rumah mertuanya. Dia biasa hidup pasrah, nrimo ing pandum, tidak pernah macam-macam dalam menjalani hidup maupun dalam mengerjakan sesuatu. Akan tetapi kali ini Nastiti harus dihadapkan pada suasana yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dihadapi di rumah kedua orang tuanya (2008 : 7)

h) Teknik Pelukisan Fisik

Teknik pelukisan fisik digambarkan pada kalimat :

Dimata Hafizh, Nastiti adalah seorang wanita tercantik yang

pernah dilihatnya. Kecantikan wajahnya mampu membuat bulan

bersinar malu-malu. Keanggunannya mampu menyihir siapapun

juga yang melihatnya. Kerling matanya mampu meredupkan

cahaya bulan. Kemolekannya tidak jarang sering memuat orang

terpaku karena terpesonanya. Walau sekarang Nastiti seorang

Page 11: Teknik Perwatakan

janda. Di mata Hafizh, Nastiti tetap menawan. Tidak kalah jika

dibandingkan dengan gadis-gadis di dusunnya (2008 : 136).

b. Perwatakan

1) Tokoh Jati

Jati adalah seorang anak yang berbakti kapada kedua orang tuanya

terutama kepada bapaknya sehingga ia lebih memilih bapaknya

daripada istrinya sendiri. Jati sangat menyayangi bapaknya apalagi

setelah ibunya meninggal dunia.

“Tak tega rasanya Jati memperhatikan sosok bapaknya. Hatinya serasa dirobek-robek karena rasa sayangnya yang sangat mendalam kepada bapaknya. Dia ingin sekali membahagiakan bapaknya. Dia ingin sekali menyenangkan hati bapaknya di hari-hari tuanya”, (2008 : 42).

Jati juga seorang muslim yang taat kepada Allah SWT terlihat dari

kalimat sebagai berikut :

”Pada kerlap-kerlip bintang kemintang di kejauhan sanalah dia seolah ingin mengadukan nasibnya. Tapi, Jati sadar tak mungkin dia melakukan hal itu. Perbuatan semacam itu jelas-jelas syirik karena telah meninggalkan keagungan-Nya. Tidak sepantasnya dia mengeluhkan semua persoalan hidup yang tengah membelenggunya itu kepada selain Allah”, (2008 : 61).

Digambarkan juga jika Jati takut melanggar syariah agamanya :

Page 12: Teknik Perwatakan

“Itulah yang membuat aku bingung, Nas. Aku nggak mungkin bisa

menikahimu lagi sebelum kamu menikah terlebih dahulu dengan orang

lain, Nas”, (2008 : 260)

Dalam novel ini Jati juga digambarkan sebagai seorang suami yang

terlalu tegas dan terlalu cepat dalam mengambil sikap dan keputusan

sehingga jatuhlah talak tiga kepada istrinya.

“Baik, kalau kau benar-benar nekat maka aku tak segan-segan lagi

menjatuhkan talak kepadamu, Nas! Ingat itu!” (2008 :18).

2) Tokoh Nastiti

Nastiti digambarkan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya

namun kurang bisa menerima bapak mertuanya yang bersikap

kekanak-kanakan karena penyakit pikunnya.

“Ironisnya Nastiti malah tidak bisa menerima. Dia bahkan malah merasa sebal atau malah memusuhi bapaknya. Bisa jadi sikap Nastiti yang kurang dapat menyenangkan hati bapaknya itulah yang semakin membuat sikap bapaknya seperti anak kecil, sering berbuat aneh-aneh hanya sekedar untuk memancing perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya” (2008 : 33).

Digambarkan juga jika Nastiti kurang bisa bersabar menghadapi

sikap bapak mertuanya, seperti dalam kalimat :

Page 13: Teknik Perwatakan

“Hanya saja, lagi-lagi memang patut disayangkan, ternyata Nastiti

malah tidak sabar menghadapi sikap bapaknya. Dia merasa tidak

sanggup lagi menghadapi sikap bapak mertuanya” (2008 : 34).

3) Tokoh Hafizh

Hafizh adalah seorang pemuda yang telah lama memendam cinta

kepada Nastiti sampai Nastiti menjadi janda pun Hafizh masih

mencintainya. Hafizh digambarkan sebagai seorang lelaki tampan

yang tenang dan sabar, juga seorang jebolan pesantren yang pantang

menyerah mendekati Nastiti yang masih belum bisa menerima pria

lain di hatinya.

“Hafizh sendiri bukannya tidak tahu. Dia tahu kalau Nastiti bersikap biasa saja terhadap dirinya. Tapi, hafizh tidak putus asa. Sebisa mungkin dia berusaha mengusir kemurungan Nastiti. Dengan begitu,dia bukan hanya akan dapat mengusir kemurungan Nastiti, melainkan sekaligus juga berusaha menarik perhatiannya” (2008 : 168).

Setelah menjadi seorang suami, Hafizh digambarkan sebagai suami

yang baik, terlihat dalam kalimat berikut:

“Hafizh adalah seorang suami yang baik, pengertian, penyabar kepada dirinya.Tidak pernah berlaku kasar kepada dirinya. Tidak pernah emosinya meledak-ledak walau dirinya telah melakukan kesalahan. Tidak pernah menegur terang-terangan walau dia telah berbuat salah. Hafizh selalu menunjukan kalau dirinya adalah sosok

Page 14: Teknik Perwatakan

seorang suami yang menyenangkan, penyayang dan mau mengerti istrinya”(2008 : 352).

Hafizh juga seorang santri yang menginginkan istrinya taat kepada

Allah Swt dalam hal berjilbab, terlihat dalam kalimat :

“Sewaktu Nastiti kesal dan tidak lagi memakai jilbab, Hafizh tidak pernah langsung menegurnya namun Hafizh mengajak Nastiti berdiskusi untuk mengamati dan menilai tentang apa itu perempuan, apa yang tidak boleh dan harus dilakukan sebagai seorang muslimah. Aurat-aurat mana saja yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan dimuka umum hingga Nastiti pun mengenakan jilbabnya kembali” (2008 : 353).

4) Tokoh Ayah Jati / Bapak Mertua Nastiti

Ayah Jati digambarkan berwatak disiplin, keras dan tegas karena

dulunya ayah Jati adalah seorang tentara. Namun setelah tua ia mulai

pikun, sikapnya menjadi seperti anak kecil dan tidak jarang meminta

sesuatu yang tidak masuk akal seperti digambarkan dalam kalimat

berikut :

“Jat…… ! Cepat bukain pintunya,Jat! Cepat………….! Kalau tidak

bapak jebol pintunya! Kamu dengar nggak, Jat?” (2008 : 8).

“Bapak nggak bisa tidur, Jat. Bapak barusan mimpi menakutkan.

Bapak takut, Jat. Bapak takut……!, Ayo temani bapak ngobrol!”

(2008 : 10).

Page 15: Teknik Perwatakan

Kepikunan bapak Jati mengakibatkan ia sering lupa jika Jati telah

bercerai. Digambarkan dalam kalimat berikut :

“Kenapa Nastiti nggak pulang-pulang? Suruh dia cepat pulang,Jat.

Bapak kan sendirian terus di rumah. Bapak sepi kalau nggak ada dia”

(2008 : 46).

5) Tokoh Kiai Ahmad Badawi

Kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang pernah menjadi guru

Jati sewaktu Jati mondok di pondok pesantren at-Tauhid. Kyai

Ahmad Badawi digambarkan sebagai seorang kyai yang perhatian

terhadap para santrinya, sederhana, rendah hati, memiliki ilmu agama

yang dalam namun tidak sombong.

Kesederhanaan Kiai Ahmad badawi digambarkan dalam kalimat

berikut :

“Suasana di dalam rumah Kyai Ahmad Badawi sendiri juga tidak terlalu banyak berbeda seperti saat Jati masih mondok disana. Tetap masih seperti dulu, sebuah karpet berwana hijau tua tergelar di ruang tamu. Di sampingnya terdapat rak besar berisi puluhan kitab kuning karya ulama-ulama besar islam” (2008 : 72).

Kiai Ahmad Badawi juga seorang ulama yang taat kepada syariah

islam dan tidak mau anak didiknya berkompromi dengan aturan

Page 16: Teknik Perwatakan

agama untuk meluluskan keinginan Jati menikahi lagi istrinya, seperti

tertulis dalam kalimat:

“Nggak bisa begitu, Jati walau kamu sampai menangis darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung menikahi istrimu lagi kecuali jika istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa menikahi istrimu lagi. Itupun kalau suami kedua dari istrimu itu mau menceraikan istrimu. Kalau tidak, kamu ya tetap tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat……….” (2008 : 75).

Juga dalam kalimat “Talak yang sudah kamu jatuhkan adalah talak bain kubro ,talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga bukan main-main. Mereka juga harus bercampur terlebih dahulu, Jat” (2008 :76).

6) Tokoh Ayah Nastiti

Ayah Nastiti digambarkan sebagai seorang yang sederhana,

bijaksana dan sangat menyayangi anaknya. Ayah Nastiti selalu

mendorong anaknya agar melupakan masa lalunya seperti

digambarkan dalam kalimat :

“Sudahlah, Nastiti! Kamu sudah nggak perlu lagi memikirkan Jati.

Percuma saja kamu memikirkan dia! Toh, tetap saja kalian nggak

akan bisa bersatu lagi” (2008 : 144).

Ayah Nastiti juga selalu membujuk anaknya agar mau melupakan Jati

dan menerima laki-laki lain seperti dalam kalimat :

Page 17: Teknik Perwatakan

“Boleh saja kamu masih mencintai mantan suamimu itu. Tapi, tetap

saja percuma Nastiti. Cobalah mulai sekarang kamu alihkan perasaan

cinta kamu kepada laki-laki lain, selain Jati, Nastiti” (2008 : 145).

Ayah Nastiti juga memberikan dukungan kepada Hafizh untuk

mendekati Nastiti. Hal tersebut tampak dalam kalimat :

“Dalam satu minggu ini pula, sudah tiga kali Hafizh datang berkunjung kerumahnya. Ayah Nastiti senang sekali melihat kedatangan Hafizh. Dia tahu kalau kedatangan Hafizh memang untuk menemui anaknya. Dia sama sakali tidak keberatan. Dia malah sangat mendukung hubungan Hafizh dan Nastiti” (2008 : 156).

7) Ibu Nastiti

Ibu Nastiti digambarkan sebagai seorang ibu yang sangat

menyayangi putri tunggalnya. Kasih sayang itu ditunjukan dengan

perhatian yang tercurah penuh pada Nastiti yang tergambarkan pada

pertanyaan berikut :

“Kamu kenapa Nas? Kok kelihatan kesal sekali? Ada apa? Kok pakai

nangis segala?” (2008 : 241).

“Ibu jadi semakin nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini kamu berubah

aneh. Apa kamu masih memikirkan Jati?” (2008 : 242).

Page 18: Teknik Perwatakan

8) Tokoh Aini

Aini digambarkan sebagi gadis cantik, baik hati yang diam-diam

mencintai jati. Kecantikan Aini digambarkan dalam kalimat berikut :

“Ya, tapi kamu bukan hanya baik, Aini. Kau juga cantik sekali Aini.

Kau anggun sekali…….” (2008 : 405).

Aini digambarkan sebagai gadis yang suka menolong dan penuh

perhatian terhadap Jati. Seperti dalam kalimat berikut:

“Iya bapakmu sakit. Tadi terjatuh di rumah. Untung ada Aini yang

menolong”, (2008 : 76).

“Aini yang melihat kesedihan Jati mendekat. Dia menghibur Jati agar

tetap sabar dan tabah menerima cobaan dari-Nya, (2008 : 183).

Perhatian Aini terhadap Jati terlihat dari seringnya Aini

membawakan makanan untuk Jati. Digambarkan dalam kalimat

berikut :

“Nggak ada apa-apa kok mas. Ini tadi aku menggoreng pisang, lalu

tiba-tiba aku teringat sama mas Jati, lalu aku kemari saja untuk

mengantarkan pisang goreng ini untuk mas Jati. Enak kok mas “

(2008 : 228).

Page 19: Teknik Perwatakan

Juga dalam kalimat :

Oh ya Mas. Ini tadi aku masak opor tahu sama sambal goreng.

Dicobain deh, mas. Enak nggak?” (2008 : 272).

9) Tokoh Ibu Aini

Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini digambarkan

dalam kalimat :

Wah…!itu juga masakan kesukaan ayahmu aini. Dulu waktu Ibu

naksir sama ayahmu, Ibu juga sering membuatkan pepes ikan untuk

ayahmu, aini. Jangan-jangan kamu juga begitu, ya?” (2008 : 376).

10) Tokoh Ferry (kakak Jati)

Ferry digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada

orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :

“Bagaimana keadaan Bapak, Jat?“ tanya Fery panik”. (2008 : 200).

11) Tokoh Nanang (kakak Jati)

Nanang digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada

orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :

“Ya…! Kamu benar, Jat. Melihat kondisi Bapak yang seperti ini,

Bapak memang harus dirawat di rumah sakit, Jat“.(2008 : 201).

Page 20: Teknik Perwatakan

12) Tokoh Ningsih (kakak ipar Jati)

Ningsih digambarkan sebagai kakak yang baik, lembut, dan penuh

perhatian, hal ini digambarkan dalam kalimat berikut :

“Dik Jati, kenapa Dik Jati belum tidur ?”

“Belum kok Mbak, belum mengantuk”.

“Tapi, ini sudah malam, Dik Jati. Sudah jam dua belas malam lebih”.

(2008 : 206).

13) Tokoh Mantri Untung

Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan

bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :

“Tenang, Dik! Tenang! Biar saya priksa dulu!”. (2008 : 303).

c. Penggambaran Watak Tokoh

1) Penggambaran watak Jati

Penggambaran watak Jati secara langsung digambarkan oleh

pengarang sebagai seorang anak yang sangat berbakti kepada orang

tuanya terutama kepada bapaknya, dapat dibuktikan dalam kalimat

sebagai berikut :

“Dia memapah bapaknya itu sebentar dan mendudukan bapaknya di kursi ruang tengah. Sebentar kemudian, baru Jati pergi ke warung untuk membelikan obat untuk bapaknya. Tapi, kepergian Jati juga tidak lama. Tidak sampai lima menit kemudian, jati sudah kembali

Page 21: Teknik Perwatakan

pulang kerumahnya sambil membawa obat yang diinginkan bapaknya” (2008 : 53).

Kasih sayang Jati terhadap bapaknya dibuktikan pada kalimat :

“Jati membantu membukakan obat berbentuk tablet itu sebentar.Dia juga segera berlari ke dapur untuk mengambilkan air putih. Semuanya itu dilakukannya dengan penuh kasih sayang. Perasaan iba dan sayangnya yang begitu mendalam terhadap bapaknya membuat Jati tidak tega melihat kesendirian bapaknya. Dialah yang selama ini merawat bapaknya. Sebab, bapaknya tidak mau tinggal bersama kedua orang kakaknya yang sekarang tinggal di kota” (2008 : 154).

Selain berbakti, Jati juga seorang yang lembut hatinya. Meski Jati

tidak mencintai Aini namun dia sungguh menyesal telah melukai hati

dan perasaan Aini. Maka Jati menemui Aini untuk meminta maaf dan

meluruskan kesalah pahaman diantara mereka. Kelembutan hati Jati

dibuktikan dalam kalimat :

“Aku benar-benar menyesal, Aini. Demi Allah, aku tidak bermaksud

menyinggungmu apalagi sampai membuatmu semarah ini padaku.

Terus terang, aku kemari hanyalah ingin mengharapkan maafmu,

Aini. Mau kan kamu memaafkanku?” (2008 : 285).

Jati digambarkan juga berwatak taat kepada syariah agama meski

awalnya ia juga ingin membelokan syariah agamanya. Hal itu

dilukiskan pada kalimat :

Page 22: Teknik Perwatakan

“Aku nggak tahu Nas. Demi Allah, aku benar-benar nggak tahu apa

yang harus aku lakukan agar kita dapat bersatu kembali seperti dulu.

Belenggu syariah telah menghalangi cinta kita. Dan, kita nggak

mungkin menerjang belenggu itu……..” (2008 : 260).

2) Penggambaran watak Nastiti

Penggambaran watak Nastiti secara langsung digambarkan oleh

pengarang dalam kalimat berikut :

“Dengar, mas! Apapun yang terjadi, nggak mungkin aku bisa

melupakanmu. Aku sangat mencintaimu, mas aku sangat

mencintaimu, mas…..!” (2008 : 85).

Nastiti digambarkan sangat mencintai Jati meski sudah tidak lagi

menjadi istrinya. Sungguh besar cinta Nastiti terhadap Jati hanya

karena dia kurang bisa bersabar menghadapi kepikunan bapak

mertuanya maka dia bercerai dari Jati. Hal itu sungguh sangat

disesalinya namun penyesalan selalu datang terlambat karena tak

mungkin dia bersatu lagi dengan Jati sebelum menikah lagi dengan

lelaki lain.

Page 23: Teknik Perwatakan

3) Penggambaran watak Hafizh

Watak Hafizh digambarkan sebagai seorang suami yang menyayangi

istrinya meski istrinya masih mencintai mantan suami pertamanya.

Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :

“Hafizh tahu kalau istrinya saat itu tentu sedang melamunkan Jati.

Namun lagi-lagi Hafizh sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Dengan penuh cinta kasih dia malah ikut duduk di samping istrinya

dan memandanginya dengan cemas” (2008 : 396).

Hafizh sangat besar pengertiannya terhadap Nastiti. Dilukiskan

dengan kalimat :

“Kamu nggak perlu meminta maaf seperti itu Nastiti. Aku maklum kok. Memang tidak mudah untuk melupakan orang yang sangat kita cintai. Apalagi mas Jati dulu adalah mantan suamimu. Tentu kamu merasa sulit sekali untuk melupakan mas Jati begitu saja. Iya kan, Nas 2008 :397).

4) Penggambaran watak Bapak Jati

Bapak Jati digambarkan berasal dari kalangan militer sehingga

membuatnya berwatak disiplin, keras dan tegas. Namun dihari tuanya

bapak Jati mulai pikun dan bersikap kekanak-kanakan, hal itu

digambarkan dalam kalimat:

Page 24: Teknik Perwatakan

“Ya biar saja! Toh, rumah ini juga rumahku sendiri. Aku tidak

numpang pada orang lain. Mau aku meludah sembarangan kek, nggak

kek, mau aku bakar rumahku kek, nggak kek. Apa peduli kamu?

(2008 : 23).

5) Penggambaran watak Kyai Ahmad Badawi

Penggambaran watak kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang

dalam ilmu agamanya dan tegas terhadap kelurusan syariah agama.

Digambarkan secara langsung oleh pengarang dengan kalimat:

“Tetap saja nggak bisa Jat. Ini semua sudah kertentuan Allah. Nggak bisa diakal-kali lagi. Kecuali kalau talak raj’i, kamu masih bisa rujuk atau menikahi istrimu lagi. Tapi, talak yang sudah kamu jatuhkan ini adalah bain kubro, talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat” (2008 :75 – 76).

“Kamu nggak bisa merekayasa hukum-hukum Allah sekehendak

hatimu, Jat. Perbuatanmu ini tentu sangat dimurkai Allah! Kamu

bukannya mendapat manfaat malah akan menambah dosamu yang

bertumpuk-tumpuk, 92008 : 76)

6) Penggambaran watak Ayah Nastiti

Penggambaran watak Ayah Nastiti adalah orang yang baik, bijaksana

dan tegas. Hal ini digambarkan dalam kalimat :

Page 25: Teknik Perwatakan

“Sudah, nggak usah menangis! Sekarang kamu harus bisa menetukan

sikap! Mau tetap menyiksa diri seperti ini terus, atau mau berpikir

realistis dan melupakan mantan suamimu itu!” (2008, 246)

7) Penggambaran wata Ibu Nastiti

Ibu Nastiti berwatak lembut, sabar dan penuh perhatian. Perhatian

Ibu Nastiti tercurah dalam kalimat :

“ Ada apa sih , Nas? Kenapa kamu sering uring-uringan sendiri?”

“ Kenapa diam saja , Nas ? apa pertanyaan Ibu tadi ada yang salah?”

( 2008 : 241).

Ibu Nastiti akhirnya mengeluh panjang. Tak tahu lagi apa yang mesti

diperbuat melihat sikap diam anaknya. Dia hanya bisa memandangi

anaknya itu penuh tanda tanya,( 2008 : 242 ).

8) Penggambaran watak Aini

Aini digambarkan berwatak sedikit manja namun penuh perhatian

terhadap jati seperti ketika Jati mengetahui Nastiti sudah menikah lagi

dan membuat Jati sangat frustasi, Aini selalu mengunjungi Jati dan

mencemaskan keadaan Jati. Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :

“Satu-satu orang yang paling mencemaskan dirinya adalah Aini. Tidak

bosan-bosannya dia mengunjungi Jati di rumahnya walau Jati enggan

Page 26: Teknik Perwatakan

menemuinya. Seperti pagi itu, Aini kembali menemui Jati. Dia terus

berteriak-teriak memanggil Jati sampai suaranya serak ( 2008 : 336 ).

Aini digambarkan dimata pengarang sebagai gadis yang setia dan

ikhlas menyayangi Jati. Terlihat dalam kalimat :

“Inilah perhatian dan cintanya kepada kekasihnya. Inilah bukti pengabdiannya kepada kekasih hatinya. Aini ingin sepenuhnya menemani kekasih hatinya di saat-saat ia membutuhkan dukungan dan perhatiannya.Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya untuk meninggalkan kekasih hatinya. Tidak mungkin dia akan tega melakukan itu semua………….( 2008 : 390 ).

9) Penggambaran watak ibu Aini

Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini dapat digambarkan

dalam kalimat :

“Masak apa sih, anak ibu ini ? Kok seneng banget kelihatannya hari

ini ?”goda ibu. (2008 : 376).

10) Penggambaran watak Ferry

Watak Ferry digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, bijaksana.

Dan berbakti pada orang tua Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :

“Bagaimana ceritanya sampai Bapak terkena gejala stroke seperti ini,

Jat? Lanjut Ferry (2008 : 200).

“Ya sudahlah, yang terjadi biarlah terjadi ! Aku juga turut prihatin atas

perceraiannmu dengan Nasiti (2008 : 201).

Page 27: Teknik Perwatakan

11) Penggambaran watak Nanang

Watak Nanang digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, dan

bijaksana. Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :

“Iya, Jat. Aku sama istriku juga prihatin sekali suatu mendengar berita

kalau kamu dan Nasiti telah bercerai”.(2008 : 201).

12) Penggambaran watak Ningsih

Watak Ningsih digambarkan sebagai seorang kakak ipar yang berhati

mulia, bijaksana dan penuh perhatian. Hal tersebut digambarkan dalam

kalimat :

“Memangnya ada apa sih, Dik ? kok kelihatannya suntuk sekali? Apa

lagi mikirin Bapak yang sedang dirawat di rumah sakit ?”(2008 : 207).

13) Penggambaran watak Matri Untung

Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan

bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :

“Maaf Dik, terus terang saya tidak berani menanganinya lagi, “ujar

Pak Untung akhirnya.

“Maksud Bapak?”.

“Teman Adik ini harus segera dibawa ke rumah sakit !Mumpung

belum terlanjur parah.(2008 : 303)

Page 28: Teknik Perwatakan

d. Identifikasi Tokoh

Identifikasi tokoh sangatlah penting bagi suatu analisis. Penting sebab

dari analisis tokoh tersebut dapat kita tentukan mana tokoh protagonist,

antagonis, tambahan, tokoh bulat, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh

tipikal dan tokoh netral.

Sebelum penulis uraikan lebih lanjut, perlu penulis ketengahkan

perbedaan tokoh dengan penokohan. Penokohan atau perwatakan adalah

penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.

Sedangkan tokoh adalan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

kelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (B. Rahmanto, 1998 :

213). Secara singkat dapat dikatakan bahwa tokoh menyangkut diri/fisik

sedangkan penokohan berkaitan dengan sifat-sifat kedirian tokoh.

Berpedoman pada pencermatan penulis terhadap kajian analisis

perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu!” karya Muhammad B.

Anggoro dapat penulis rinci para pelaku cerita tersebut. Para tokoh cerita

dalam novel tersebut antara lain Jati, Nastiti, Kyai Ahmad Badawi,

Hafizh, Aini, Ibu Aini, Mas Ferry, Mas Nanang, Pak Untung, Mbak

Ningsih dan mbak Lastri serta ayah Jati (tidak disebutkan namanya),

Page 29: Teknik Perwatakan

kedua orang tua Nastiti yang juga tidak disebutkan namanya oleh

pengarangnya.

Berdasarkan landasan teori tentang tokoh dapat penulis simpulkan bahwa

tokoh utama adalah Jati dan Nastiti sedangkan selebihnya berkedudukan

sebagai peran tambahan. Secara universal, deskripsi tokoh/penokohan

hampir semua tokoh menganut sistem tokoh statis/ sederhana. Mungkin

hal ini disengaja oleh pengarang agar cerita tersebut lancar untuk dicerna

oleh setiap insan mengingat novel ini termasuk novel dakwah agama,

tentang hikmah qubro dan resikonya bila dilaksanakan tergesa-gesa hanya

menurutkan hawa nafsu belaka.

Pada novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro,

lebih banyak menggunakan teknik dramatik, karena novel Jangan

Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro ini menuntut

pembaca secara langsung terlibat aktif dalam memahami perwatakan

tokoh cerita dan sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan

nyata.

yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 195).

Berdasarkan teori teknik pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan

pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan kediriannya pelukisan tokoh

Page 30: Teknik Perwatakan

dalam novel “Jangan Miringkan Sadahmu” karya Muhammad B.

Anggoro yang sesuai dengan teori di atas.

Kutipan novel sebagai berikut :

Bapak mertuanya berasal dari kalangan militer. Wataknya keras, tegas, disiplin. Kalau melakukan sesuatu, tanpa banyak kompromi dan harus saat itu juga. Paling tidak senang kalau ada orang yang membangkang perintahnya. Paling tidak senang kalau ada orang yang hanya menghambur-hamburkan waktunya percuma. Dalam kamusnya, praktis tidak mengenal kata bermalas-malasan. Semuanya harus dikerjakan tepat waktu dan dikerjakannya dengan tanpa banyak membantah, persis kaya robot (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 6).

Kutipan novel tersebut sangat memberikan bagaimana karakter

mertua Nastiti yang keras, disiplin dan tegas serta benci dengan sifat

bermalas-malasan. Teknik semacam ini sangat efektif untuk

mengarahkan pembaca secara langsung memahami karakter tokoh

tanpa berpikir dan terlibat secara aktif dan ekoomis.

Kelemahan teknik ini pembaca seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan, kurang dituntut aktif untuk memberikan tanggapan secara imajinatif terhadap tokoh cerita dengan pemhamannya terhadap cerita dan persepsinya terhadap sifat-sifat kemanusiaan sebagaimana halnya yang sering dilakukan pada orang-orang yang dijumpai di dunia nyata (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 197).

Page 31: Teknik Perwatakan

Selain kutipan teknik pelikisan tokoh secara langsung (ekspositori) di

atas masih ada lagi kutipan sejenis dalam novel tersebut yang

menganut teori teknik ekspositori, kutipannya sebagai berikut :

Siang itu suasana dusun Banyu Bening telihat sepi. Banyak penduduk dusun pulang kembali ke rumah mereka masing-masing setelah seharian bekerja di sawah. Namun, suasana terik matahari masih terasa memanggang bumi. Sinarnya yang berwarna kuning keemasan tiada henti menghangati segenap penjuru dusun.

Tak jauh dari luar dusun, seorang laki-laki muda tengah duduk sendirian. Wajahnya tampan dengan rambutnya yang dipotong rapi. Kulitnya yang berwarna kuning dibungkus dengan pakaian yang sederhana, hanya mengenakan kaus putih dan selana ala kadarnya yang biasa digunakan ke sawah. Kedua matanya tajam dengan hidung yang sedikit mancung, namun serasi sekali dengan bentuk wajah yang oval (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 27-28).

Berdasrakan kutipan tersebut dapat penulis garis bawahi bahwa

watak dan parasnya sederhana dan tampan, serta berpendirian tegas.

Hal ini terlihat dalam deret kalimat kedua matanya tajam dan

rambutnya yang dipotong rapi menggambarkan satu sisi sifat yang

bersahaja.

Kutipan berikut juga masih dalam ranah teknik pelukisan tokoh

secara langsung (ekspositori).

Rata-rata santri yang belajar di pondok pesantren itu juga senang dengan perhatian dan sikap Kiai Akhmad Badawi. Disamping itu,

Page 32: Teknik Perwatakan

Kiai Akhmad Badawi sendiri juga memiliki ilmu agama yang dalam, penampilannya pun sangat sederhana, rendah hati dan tidak sombong. Jika ada santrinya yang ingin mengajaknya berdebat, dia juga tidak mau menang sendiri. Sebaliknya, dia tetap bersikap santun walaupun mungkin ada perbedaan pandangan dari para santrinya, namun tidak jarang juga Kiai Akhmad Badawi sering meluruskan pokok permasalahan yang tengah diperdebatkan itu jika memang ada santri-santrinya yang kurang memahami pada hal-hal yang tengah diperdebatkan (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 72).

Memahami kutipan novel di atas tidaklah terlalu sulit. Pembaca tidak

lagi perlu berpikir serius untuk menebak watak Kiai Akhmad

Badawi. Watak kiai tersebut telah jelas terlukis dalam deskripsi

pelukisan tokoh dengan cara ekspositori, atau teknik pelukisan tokoh

secara langsung, atau teknik uraian (telling) atau juga teknik diskursif

(discursive).

Teknik semacam ini penulisan temukan pula dalam novel, khususnya

halaman 288-289, sebagai berikut kutipan.

Nastiti tahu, Hafizh memang sosok suai yang ideal bagi dirinya maupun wanita manapun juga. Sebenarnya ayahnya tidak salah bermaksud menjodohkan dirinya dengan Hafizh, apalagi praktis tidak ada yang kurang dalam diri Hafizh. Wajahnya pun tampan, tidak kalah dengan ketampanan Jati. Ilmu agamanya pun dalam, karena selama ini Hafizh banyak menghabiskan waktunya di Pondok Pesantren (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 288-289).

Page 33: Teknik Perwatakan

Pembaca tentu tidak lagi bertanya-tanya tentang karakter Hafizh.

Pembaca langsung bisa menebak bahwa Hafizh adalah seorang yang

alim dan dalam ilmu agamanya, serta baik dan tampan. Dari

kacamata agama, seseorang yang dalam ilmu agamanya tentu orang

tersebut baik dan soleh.

3) Teknik Teknik Pelukisan Tokoh Secara Tidak Langsung (Dramatik)

Teknik semacam ini menuntut pembaca secara langsung terlibat aktif

dalam memahami perwatakan tokoh cerita. Keterlibatan ini

dikarenakan deskripsi tokoh atau pelukisan tokoh dikemas dalam

bentuk potongan, baik potongan sifat tertentu, sikap, aktivitas verbal

maupun noverbal lewat tindakan dan tingkah laku, dan melalui

peristiwa yang terjadi. Singkat kata teknik dramatik menampilkan

sifat kediria tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap.

Keunggulan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih

sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Perwujudan prilaku manusia

dalam konteks kehidupan nyata tidak secara utuh diperhatikan,

melainkan sebagian demi sebagian ditampilkan sehingga lambat laun

akan bisa disimpulkan satu sifat utuh manusia.

Selain kelebihan yang dimiliki oleh teknik pelukisan tidak langsung (dramatik), terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain

Page 34: Teknik Perwatakan

akibat kebebasan pembaca dalam menafsirkan sifat-sifat tokoh cerita akan menimbulkan kemungkinan salah tafsir. Kelemahan berikutnya adalah tidak ekonomis, karena dalam mendeskripsikan kedirian tokoh diperlukan banyak kata (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 200).

Terlepas dari kelebihan dan kelemahan teknik pelukisan tokoh,

penulis hanya menggaris bawahi tidak ada satupun teknik yang

ampuh dalam melukiskan kedirian tokoh. Artinya dalam praktiknya

sebuah novel dikemas oleh pengarangnya dengan cara

menggabungkan beberapa teknik agar lebih berkesan dan hidup.

Dengan cara ini kelemahan diantara keduanya bisa saling tertutupi.

Bentuk pelukisan tokoh dengan teknik dramatik meliputi : teknik

cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus

kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik

pelukisan fisik dan teknik pelukisan latar. Berikut ini deskripsi

masing-masing teknik berikut dengan kutipan yang

membuktikannya.

i) Teknik cakapan

Tidak mudah menentukan sifat kedirian tokoh melalui teknik

cakapan. Sulit karena karakter tokoh dalam teknik ini

memerlukan pendalaman pikiran dan pemahaman dialog

antartokoh. Teknik cakapan yang baik adalah yang menunjukkan

Page 35: Teknik Perwatakan

perkembangan plot dan sekaligus mecerminkan sifat kedirian

tokoh pelakunya. Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya

Muhammad B. Anggoro mengikuti teknik ini. Berikut penulisan

kutipan :

“Maaf pak Kiai! Lama saya tidak bisa sowan kemari, “ ujar Jati malu-malu. Ada perasaan bersalah karena lama tidak menemui Kiai Akhmad Badawi.“Tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Kiai Akhmad Badawi.“Oh ya? Ngomong-ngomong, bagaimana dengan istrimu? Kenapa tidak diajak sekalian kemari?“Itulah yang ingin saya bicarakan dengan pak Kiai. Terus terang saya bingung sedang bingung sekali, pak Kiai….”“Lho! Memang ada apa?Jati tidak langsung menjawab pertanyaan Kiai Akhmad Badawi.Dia malah diam tercenung memikirkan persoalan yang tengah dihadapinya.“Ssss… saya ….saya sudah menjatuhkan talak kepada istri saya pak Kiai” ujar Jati lirih , lalu kembali diam menundukkan kepalanya.“Talak” Kiai Akhmad Badawi terkejut. “cerai maksudmu!”“Iiiiiiii… iya pak Kiai…!“Kalau sudah cerai ya sudah! Lalu, apalagi persoalannya?”“Saya………..saya…masih mencintai istri saya , pak Kiai..!”“Kalau begitu rujuk saja kalau memang istrimu masih mau sama kamu, Jati! Kenapa kamu bingung?”“Itulah persoalannya pak Kiai. Saya dan istri saya sudah gak bisa rujuk lagi, pak Kia”“Maksudmu?”Kiai Akhmad Badawi memandangi bekas santrinya itu tajam. Dia masih belum mengerti maksud pembicaraan bekas santrinya itu.“Sssss….saya.. saya sudah mentalaknya tiga kali, pak Kiai”

Page 36: Teknik Perwatakan

“Astagfirullahulazhim…! Kaia Akhmad Badawi tampak terkejut” kenapa bisa begitu , Jat?“Ssss…saya khilaf, pak Kiai…”“Apa kamu tidak tahu akibat dari talakmu ini?”“Saya tahu pak Kiai…”“Kalau sudah tahu, apalagi persoalannya?”“Sssss… saya ingin minta tolong kepada pak Kiai, saya sangat mencintai istri saya, pak Kiai. Saya tidak ingin berpisah dengan istri saya, pak Kiai. Ssss … saya…ingin kembali menikahi istri saya, pak Kiai…” tangis Jati memelas.“Nggak bisa begitu Jati, walaupun kamu sampai menangis darah sekalipun nggak mungkin bisa langsung menikahi istrimu lagi. Kecuali istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 76-77).

Berdasarkan dialog pada kutipan di atas, Jati mempunyai watak

yang keras sedangkan Kiai Ahmad Badawi berwatak tegas.

j) Teknik Tingkah Laku

Teknik tingkah laku mengarah pada tingkah laku verbal berupa

kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran kepada

tindakan nonverbal dan fisik. Apa yang dilakukan orang dalam

mewujudkan tindakan dan tingkah laku dalam banyak hal dapat

dipandang sebagai pencerminan tingkah laku, reaksi, tanggapan,

sifat dan sikap yang mencerminkan kediriannya (Burhan

Nurgiyantoro, 2007 : 203)

Hal ini tergambar pada :

Page 37: Teknik Perwatakan

Jati baru akan menghentikan langkahnya manakala dia tidak tahu

lagi harus membuang waktunya siang itu, membuang

kekecewaan dalam hatinya yang kian tidak menentu. Jati benar-

benar bingung (2008 :89)

k) Teknik Pikiran dan Perasaan

Teknik ini digambarkan pada kalimat :

“Mas Jati kenapa diam saja?” Desis nastiti perih. Lagi-lagi Jati

tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia malah meremas-remas

rambutnya sendiri. “Hentikan Mas! Mas aku sendiri tidak

sanggup menerima kenyataan ini, Mas …. Aku … Nggak

mungkin bisa hidup tanpamu, Mas…” (2008 : )

l) Teknik Arus Kesadaran

Teknik ini tergambar pada kalimat :

Ya Allah…! Dosa apakah hingga Kau timpakan cobaan seberat

ini kepada hamba? Ya Allah ...! Bagaimana mungkin hamba

sanggup menghadapi cobaan yang demikian beratnya jika tanpa

ada orang yang hamba kasihi di sisi hamba? Ya Allah ..!

Page 38: Teknik Perwatakan

(Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sajadahmu, 2008 :

92).

m) Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh digambarkan pada kalimat :

Bukan main gusarnya hati Jati saat itu. Seketika hatinya mendidih. Canda dan tawa mereka terlihat begitu mesra sekali di mata Jati. Bahkan saking asyiknya mereka bercanda tawa, Nastiti mau terpelanting ke kubangan sawah. Untung saja Hafizh segera merai tangan Nastiti sehingga dia tidak terjatuh ke kubangan sawah (2008 : 164).

n) Teknik Teaksi Tokoh Lain

Teknik reaksi tokoh lain digambarkan pada kalimat :

Tidak dapat dipungkiri , semakin lama cintanya semakin tertambat cinta Jati. Setiap kali mereka bertemu, harapan dan cinta dalam diri Nastiti semakin membuncah ruah. Dia tidak ingin laki-laki yang sangat dicintainya itu jatuh kedalam pelukan gadis-gadis lainnya di dusunnya maupun gadis-gadis manapun juga. Baginya Jati adalah cinta pertamanya yang tidak mungkin akan diabaikan begitu saja. Sebisa munkin dia harus bisa mendapatkan cintanya yang banyak diperebutkan gadis-gadis lain di dusunnya (2008 : 97-98)

o) Teknik Pelukisan Latar

Teknik pelukisan latar digambarkan pada kalimat :

Nastiti yang dibesarkan dari kalangan petani biasa tentu saja sangat kaget melihat kebiasaan-kebiasaan di rumah mertuanya. Dia biasa hidup pasrah, nrimo ing pandum, tidak pernah macam-macam dalam menjalani hidup maupun dalam mengerjakan sesuatu. Akan tetapi kali ini Nastiti harus dihadapkan pada

Page 39: Teknik Perwatakan

suasana yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dihadapi di rumah kedua orang tuanya (2008 : 7)

p) Teknik Pelukisan FisikTeknik pelukisan fisik digambarkan pada kalimat :

Dimata Hafizh, Nastiti adalah seorang wanita tercantik yang

pernah dilihatnya. Kecantikan wajahnya mampu membuat bulan

bersinar malu-malu. Keanggunannya mampu menyihir siapapun

juga yang melihatnya. Kerling matanya mampu meredupkan

cahaya bulan. Kemolekannya tidak jarang sering memuat orang

terpaku karena terpesonanya. Walau sekarang Nastiti seorang

janda. Di mata Hafizh, Nastiti tetap menawan. Tidak kalah jika

dibandingkan dengan gadis-gadis di dusunnya (2008 : 136).

e. Perwatakan

14) Tokoh Jati

Jati adalah seorang anak yang berbakti kapada kedua orang tuanya

terutama kepada bapaknya sehingga ia lebih memilih bapaknya

daripada istrinya sendiri. Jati sangat menyayangi bapaknya apalagi

setelah ibunya meninggal dunia.

“Tak tega rasanya Jati memperhatikan sosok bapaknya. Hatinya serasa dirobek-robek karena rasa sayangnya yang sangat mendalam kepada

Page 40: Teknik Perwatakan

bapaknya. Dia ingin sekali membahagiakan bapaknya. Dia ingin sekali menyenangkan hati bapaknya di hari-hari tuanya”, (2008 : 42).

Jati juga seorang muslim yang taat kepada Allah SWT terlihat dari

kalimat sebagai berikut :

”Pada kerlap-kerlip bintang kemintang di kejauhan sanalah dia seolah ingin mengadukan nasibnya. Tapi, Jati sadar tak mungkin dia melakukan hal itu. Perbuatan semacam itu jelas-jelas syirik karena telah meninggalkan keagungan-Nya. Tidak sepantasnya dia mengeluhkan semua persoalan hidup yang tengah membelenggunya itu kepada selain Allah”, (2008 : 61).

Digambarkan juga jika Jati takut melanggar syariah agamanya :

“Itulah yang membuat aku bingung, Nas. Aku nggak mungkin bisa

menikahimu lagi sebelum kamu menikah terlebih dahulu dengan orang

lain, Nas”, (2008 : 260)

Dalam novel ini Jati juga digambarkan sebagai seorang suami yang

terlalu tegas dan terlalu cepat dalam mengambil sikap dan keputusan

sehingga jatuhlah talak tiga kepada istrinya.

“Baik, kalau kau benar-benar nekat maka aku tak segan-segan lagi

menjatuhkan talak kepadamu, Nas! Ingat itu!” (2008 :18).

15) Tokoh Nastiti

Page 41: Teknik Perwatakan

Nastiti digambarkan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya

namun kurang bisa menerima bapak mertuanya yang bersikap

kekanak-kanakan karena penyakit pikunnya.

“Ironisnya Nastiti malah tidak bisa menerima. Dia bahkan malah merasa sebal atau malah memusuhi bapaknya. Bisa jadi sikap Nastiti yang kurang dapat menyenangkan hati bapaknya itulah yang semakin membuat sikap bapaknya seperti anak kecil, sering berbuat aneh-aneh hanya sekedar untuk memancing perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya” (2008 : 33).

Digambarkan juga jika Nastiti kurang bisa bersabar menghadapi

sikap bapak mertuanya, seperti dalam kalimat :

“Hanya saja, lagi-lagi memang patut disayangkan, ternyata Nastiti

malah tidak sabar menghadapi sikap bapaknya. Dia merasa tidak

sanggup lagi menghadapi sikap bapak mertuanya” (2008 : 34).

16) Tokoh Hafizh

Hafizh adalah seorang pemuda yang telah lama memendam cinta

kepada Nastiti sampai Nastiti menjadi janda pun Hafizh masih

mencintainya. Hafizh digambarkan sebagai seorang lelaki tampan

yang tenang dan sabar, juga seorang jebolan pesantren yang pantang

menyerah mendekati Nastiti yang masih belum bisa menerima pria

lain di hatinya.

Page 42: Teknik Perwatakan

“Hafizh sendiri bukannya tidak tahu. Dia tahu kalau Nastiti bersikap biasa saja terhadap dirinya. Tapi, hafizh tidak putus asa. Sebisa mungkin dia berusaha mengusir kemurungan Nastiti. Dengan begitu,dia bukan hanya akan dapat mengusir kemurungan Nastiti, melainkan sekaligus juga berusaha menarik perhatiannya” (2008 : 168).

Setelah menjadi seorang suami, Hafizh digambarkan sebagai suami

yang baik, terlihat dalam kalimat berikut:

“Hafizh adalah seorang suami yang baik, pengertian, penyabar kepada dirinya.Tidak pernah berlaku kasar kepada dirinya. Tidak pernah emosinya meledak-ledak walau dirinya telah melakukan kesalahan. Tidak pernah menegur terang-terangan walau dia telah berbuat salah. Hafizh selalu menunjukan kalau dirinya adalah sosok seorang suami yang menyenangkan, penyayang dan mau mengerti istrinya”(2008 : 352).

Hafizh juga seorang santri yang menginginkan istrinya taat kepada

Allah Swt dalam hal berjilbab, terlihat dalam kalimat :

“Sewaktu Nastiti kesal dan tidak lagi memakai jilbab, Hafizh tidak pernah langsung menegurnya namun Hafizh mengajak Nastiti berdiskusi untuk mengamati dan menilai tentang apa itu perempuan, apa yang tidak boleh dan harus dilakukan sebagai seorang muslimah. Aurat-aurat mana saja yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan dimuka umum hingga Nastiti pun mengenakan jilbabnya kembali” (2008 : 353).

17) Tokoh Ayah Jati / Bapak Mertua Nastiti

Ayah Jati digambarkan berwatak disiplin, keras dan tegas karena

dulunya ayah Jati adalah seorang tentara. Namun setelah tua ia mulai

Page 43: Teknik Perwatakan

pikun, sikapnya menjadi seperti anak kecil dan tidak jarang meminta

sesuatu yang tidak masuk akal seperti digambarkan dalam kalimat

berikut :

“Jat…… ! Cepat bukain pintunya,Jat! Cepat………….! Kalau tidak

bapak jebol pintunya! Kamu dengar nggak, Jat?” (2008 : 8).

“Bapak nggak bisa tidur, Jat. Bapak barusan mimpi menakutkan.

Bapak takut, Jat. Bapak takut……!, Ayo temani bapak ngobrol!”

(2008 : 10).

Kepikunan bapak Jati mengakibatkan ia sering lupa jika Jati telah

bercerai. Digambarkan dalam kalimat berikut :

“Kenapa Nastiti nggak pulang-pulang? Suruh dia cepat pulang,Jat.

Bapak kan sendirian terus di rumah. Bapak sepi kalau nggak ada dia”

(2008 : 46).

18) Tokoh Kiai Ahmad Badawi

Kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang pernah menjadi guru

Jati sewaktu Jati mondok di pondok pesantren at-Tauhid. Kyai

Ahmad Badawi digambarkan sebagai seorang kyai yang perhatian

terhadap para santrinya, sederhana, rendah hati, memiliki ilmu agama

yang dalam namun tidak sombong.

Page 44: Teknik Perwatakan

Kesederhanaan Kiai Ahmad badawi digambarkan dalam kalimat

berikut :

“Suasana di dalam rumah Kyai Ahmad Badawi sendiri juga tidak terlalu banyak berbeda seperti saat Jati masih mondok disana. Tetap masih seperti dulu, sebuah karpet berwana hijau tua tergelar di ruang tamu. Di sampingnya terdapat rak besar berisi puluhan kitab kuning karya ulama-ulama besar islam” (2008 : 72).

Kiai Ahmad Badawi juga seorang ulama yang taat kepada syariah

islam dan tidak mau anak didiknya berkompromi dengan aturan

agama untuk meluluskan keinginan Jati menikahi lagi istrinya, seperti

tertulis dalam kalimat:

“Nggak bisa begitu, Jati walau kamu sampai menangis darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung menikahi istrimu lagi kecuali jika istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa menikahi istrimu lagi. Itupun kalau suami kedua dari istrimu itu mau menceraikan istrimu. Kalau tidak, kamu ya tetap tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat……….” (2008 : 75).

Juga dalam kalimat “Talak yang sudah kamu jatuhkan adalah talak bain kubro ,talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga bukan main-main. Mereka juga harus bercampur terlebih dahulu, Jat” (2008 :76).

19) Tokoh Ayah Nastiti

Ayah Nastiti digambarkan sebagai seorang yang sederhana,

bijaksana dan sangat menyayangi anaknya. Ayah Nastiti selalu

Page 45: Teknik Perwatakan

mendorong anaknya agar melupakan masa lalunya seperti

digambarkan dalam kalimat :

“Sudahlah, Nastiti! Kamu sudah nggak perlu lagi memikirkan Jati.

Percuma saja kamu memikirkan dia! Toh, tetap saja kalian nggak

akan bisa bersatu lagi” (2008 : 144).

Ayah Nastiti juga selalu membujuk anaknya agar mau melupakan Jati

dan menerima laki-laki lain seperti dalam kalimat :

“Boleh saja kamu masih mencintai mantan suamimu itu. Tapi, tetap

saja percuma Nastiti. Cobalah mulai sekarang kamu alihkan perasaan

cinta kamu kepada laki-laki lain, selain Jati, Nastiti” (2008 : 145).

Ayah Nastiti juga memberikan dukungan kepada Hafizh untuk

mendekati Nastiti. Hal tersebut tampak dalam kalimat :

“Dalam satu minggu ini pula, sudah tiga kali Hafizh datang berkunjung kerumahnya. Ayah Nastiti senang sekali melihat kedatangan Hafizh. Dia tahu kalau kedatangan Hafizh memang untuk menemui anaknya. Dia sama sakali tidak keberatan. Dia malah sangat mendukung hubungan Hafizh dan Nastiti” (2008 : 156).

20) Ibu Nastiti

Ibu Nastiti digambarkan sebagai seorang ibu yang sangat

menyayangi putri tunggalnya. Kasih sayang itu ditunjukan dengan

Page 46: Teknik Perwatakan

perhatian yang tercurah penuh pada Nastiti yang tergambarkan pada

pertanyaan berikut :

“Kamu kenapa Nas? Kok kelihatan kesal sekali? Ada apa? Kok pakai

nangis segala?” (2008 : 241).

“Ibu jadi semakin nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini kamu berubah

aneh. Apa kamu masih memikirkan Jati?” (2008 : 242).

21) Tokoh Aini

Aini digambarkan sebagi gadis cantik, baik hati yang diam-diam

mencintai jati. Kecantikan Aini digambarkan dalam kalimat berikut :

“Ya, tapi kamu bukan hanya baik, Aini. Kau juga cantik sekali Aini.

Kau anggun sekali…….” (2008 : 405).

Aini digambarkan sebagai gadis yang suka menolong dan penuh

perhatian terhadap Jati. Seperti dalam kalimat berikut:

“Iya bapakmu sakit. Tadi terjatuh di rumah. Untung ada Aini yang

menolong”, (2008 : 76).

“Aini yang melihat kesedihan Jati mendekat. Dia menghibur Jati agar

tetap sabar dan tabah menerima cobaan dari-Nya, (2008 : 183).

Page 47: Teknik Perwatakan

Perhatian Aini terhadap Jati terlihat dari seringnya Aini

membawakan makanan untuk Jati. Digambarkan dalam kalimat

berikut :

“Nggak ada apa-apa kok mas. Ini tadi aku menggoreng pisang, lalu

tiba-tiba aku teringat sama mas Jati, lalu aku kemari saja untuk

mengantarkan pisang goreng ini untuk mas Jati. Enak kok mas “

(2008 : 228).

Juga dalam kalimat :

Oh ya Mas. Ini tadi aku masak opor tahu sama sambal goreng.

Dicobain deh, mas. Enak nggak?” (2008 : 272).

22) Tokoh Ibu Aini

Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini digambarkan

dalam kalimat :

Wah…!itu juga masakan kesukaan ayahmu aini. Dulu waktu Ibu

naksir sama ayahmu, Ibu juga sering membuatkan pepes ikan untuk

ayahmu, aini. Jangan-jangan kamu juga begitu, ya?” (2008 : 376).

23) Tokoh Ferry (kakak Jati)

Page 48: Teknik Perwatakan

Ferry digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada

orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :

“Bagaimana keadaan Bapak, Jat?“ tanya Fery panik”. (2008 : 200).

24) Tokoh Nanang (kakak Jati)

Nanang digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada

orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :

“Ya…! Kamu benar, Jat. Melihat kondisi Bapak yang seperti ini,

Bapak memang harus dirawat di rumah sakit, Jat“.(2008 : 201).

25) Tokoh Ningsih (kakak ipar Jati)

Ningsih digambarkan sebagai kakak yang baik, lembut, dan penuh

perhatian, hal ini digambarkan dalam kalimat berikut :

“Dik Jati, kenapa Dik Jati belum tidur ?”

“Belum kok Mbak, belum mengantuk”.

“Tapi, ini sudah malam, Dik Jati. Sudah jam dua belas malam lebih”.

(2008 : 206).

26) Tokoh Mantri Untung

Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan

bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :

“Tenang, Dik! Tenang! Biar saya priksa dulu!”. (2008 : 303).

Page 49: Teknik Perwatakan

f. Penggambaran Watak Tokoh

14) Penggambaran watak Jati

Penggambaran watak Jati secara langsung digambarkan oleh

pengarang sebagai seorang anak yang sangat berbakti kepada orang

tuanya terutama kepada bapaknya, dapat dibuktikan dalam kalimat

sebagai berikut :

“Dia memapah bapaknya itu sebentar dan mendudukan bapaknya di kursi ruang tengah. Sebentar kemudian, baru Jati pergi ke warung untuk membelikan obat untuk bapaknya. Tapi, kepergian Jati juga tidak lama. Tidak sampai lima menit kemudian, jati sudah kembali pulang kerumahnya sambil membawa obat yang diinginkan bapaknya” (2008 : 53).

Kasih sayang Jati terhadap bapaknya dibuktikan pada kalimat :

“Jati membantu membukakan obat berbentuk tablet itu sebentar.Dia juga segera berlari ke dapur untuk mengambilkan air putih. Semuanya itu dilakukannya dengan penuh kasih sayang. Perasaan iba dan sayangnya yang begitu mendalam terhadap bapaknya membuat Jati tidak tega melihat kesendirian bapaknya. Dialah yang selama ini merawat bapaknya. Sebab, bapaknya tidak mau tinggal bersama kedua orang kakaknya yang sekarang tinggal di kota” (2008 : 154).

Selain berbakti, Jati juga seorang yang lembut hatinya. Meski Jati

tidak mencintai Aini namun dia sungguh menyesal telah melukai hati

dan perasaan Aini. Maka Jati menemui Aini untuk meminta maaf dan

meluruskan kesalah pahaman diantara mereka. Kelembutan hati Jati

dibuktikan dalam kalimat :

Page 50: Teknik Perwatakan

“Aku benar-benar menyesal, Aini. Demi Allah, aku tidak bermaksud

menyinggungmu apalagi sampai membuatmu semarah ini padaku.

Terus terang, aku kemari hanyalah ingin mengharapkan maafmu,

Aini. Mau kan kamu memaafkanku?” (2008 : 285).

Jati digambarkan juga berwatak taat kepada syariah agama meski

awalnya ia juga ingin membelokan syariah agamanya. Hal itu

dilukiskan pada kalimat :

“Aku nggak tahu Nas. Demi Allah, aku benar-benar nggak tahu apa

yang harus aku lakukan agar kita dapat bersatu kembali seperti dulu.

Belenggu syariah telah menghalangi cinta kita. Dan, kita nggak

mungkin menerjang belenggu itu……..” (2008 : 260).

15) Penggambaran watak Nastiti

Penggambaran watak Nastiti secara langsung digambarkan oleh

pengarang dalam kalimat berikut :

“Dengar, mas! Apapun yang terjadi, nggak mungkin aku bisa

melupakanmu. Aku sangat mencintaimu, mas aku sangat

mencintaimu, mas…..!” (2008 : 85).

Nastiti digambarkan sangat mencintai Jati meski sudah tidak lagi

menjadi istrinya. Sungguh besar cinta Nastiti terhadap Jati hanya

Page 51: Teknik Perwatakan

karena dia kurang bisa bersabar menghadapi kepikunan bapak

mertuanya maka dia bercerai dari Jati. Hal itu sungguh sangat

disesalinya namun penyesalan selalu datang terlambat karena tak

mungkin dia bersatu lagi dengan Jati sebelum menikah lagi dengan

lelaki lain.

16) Penggambaran watak Hafizh

Watak Hafizh digambarkan sebagai seorang suami yang menyayangi

istrinya meski istrinya masih mencintai mantan suami pertamanya.

Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :

“Hafizh tahu kalau istrinya saat itu tentu sedang melamunkan Jati.

Namun lagi-lagi Hafizh sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Dengan penuh cinta kasih dia malah ikut duduk di samping istrinya

dan memandanginya dengan cemas” (2008 : 396).

Hafizh sangat besar pengertiannya terhadap Nastiti. Dilukiskan

dengan kalimat :

“Kamu nggak perlu meminta maaf seperti itu Nastiti. Aku maklum kok. Memang tidak mudah untuk melupakan orang yang sangat kita cintai. Apalagi mas Jati dulu adalah mantan suamimu. Tentu kamu merasa sulit sekali untuk melupakan mas Jati begitu saja. Iya kan, Nas 2008 :397).

Page 52: Teknik Perwatakan

17) Penggambaran watak Bapak Jati

Bapak Jati digambarkan berasal dari kalangan militer sehingga

membuatnya berwatak disiplin, keras dan tegas. Namun dihari tuanya

bapak Jati mulai pikun dan bersikap kekanak-kanakan, hal itu

digambarkan dalam kalimat:

“Ya biar saja! Toh, rumah ini juga rumahku sendiri. Aku tidak

numpang pada orang lain. Mau aku meludah sembarangan kek, nggak

kek, mau aku bakar rumahku kek, nggak kek. Apa peduli kamu?

(2008 : 23).

18) Penggambaran watak Kyai Ahmad Badawi

Penggambaran watak kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang

dalam ilmu agamanya dan tegas terhadap kelurusan syariah agama.

Digambarkan secara langsung oleh pengarang dengan kalimat:

“Tetap saja nggak bisa Jat. Ini semua sudah kertentuan Allah. Nggak bisa diakal-kali lagi. Kecuali kalau talak raj’i, kamu masih bisa rujuk atau menikahi istrimu lagi. Tapi, talak yang sudah kamu jatuhkan ini adalah bain kubro, talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat” (2008 :75 – 76).

“Kamu nggak bisa merekayasa hukum-hukum Allah sekehendak

hatimu, Jat. Perbuatanmu ini tentu sangat dimurkai Allah! Kamu

Page 53: Teknik Perwatakan

bukannya mendapat manfaat malah akan menambah dosamu yang

bertumpuk-tumpuk, 92008 : 76)

19) Penggambaran watak Ayah Nastiti

Penggambaran watak Ayah Nastiti adalah orang yang baik, bijaksana

dan tegas. Hal ini digambarkan dalam kalimat :

“Sudah, nggak usah menangis! Sekarang kamu harus bisa menetukan

sikap! Mau tetap menyiksa diri seperti ini terus, atau mau berpikir

realistis dan melupakan mantan suamimu itu!” (2008, 246)

20) Penggambaran wata Ibu Nastiti

Ibu Nastiti berwatak lembut, sabar dan penuh perhatian. Perhatian

Ibu Nastiti tercurah dalam kalimat :

“ Ada apa sih , Nas? Kenapa kamu sering uring-uringan sendiri?”

“ Kenapa diam saja , Nas ? apa pertanyaan Ibu tadi ada yang salah?”

( 2008 : 241).

Ibu Nastiti akhirnya mengeluh panjang. Tak tahu lagi apa yang mesti

diperbuat melihat sikap diam anaknya. Dia hanya bisa memandangi

anaknya itu penuh tanda tanya,( 2008 : 242 ).

21)Penggambaran watak Aini

Page 54: Teknik Perwatakan

Aini digambarkan berwatak sedikit manja namun penuh perhatian

terhadap jati seperti ketika Jati mengetahui Nastiti sudah menikah lagi

dan membuat Jati sangat frustasi, Aini selalu mengunjungi Jati dan

mencemaskan keadaan Jati. Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :

“Satu-satu orang yang paling mencemaskan dirinya adalah Aini. Tidak

bosan-bosannya dia mengunjungi Jati di rumahnya walau Jati enggan

menemuinya. Seperti pagi itu, Aini kembali menemui Jati. Dia terus

berteriak-teriak memanggil Jati sampai suaranya serak ( 2008 : 336 ).

Aini digambarkan dimata pengarang sebagai gadis yang setia dan

ikhlas menyayangi Jati. Terlihat dalam kalimat :

“Inilah perhatian dan cintanya kepada kekasihnya. Inilah bukti pengabdiannya kepada kekasih hatinya. Aini ingin sepenuhnya menemani kekasih hatinya di saat-saat ia membutuhkan dukungan dan perhatiannya.Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya untuk meninggalkan kekasih hatinya. Tidak mungkin dia akan tega melakukan itu semua………….( 2008 : 390 ).

22) Penggambaran watak ibu Aini

Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini dapat digambarkan

dalam kalimat :

“Masak apa sih, anak ibu ini ? Kok seneng banget kelihatannya hari

ini ?”goda ibu. (2008 : 376).

23) Penggambaran watak Ferry

Page 55: Teknik Perwatakan

Watak Ferry digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, bijaksana.

Dan berbakti pada orang tua Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :

“Bagaimana ceritanya sampai Bapak terkena gejala stroke seperti ini,

Jat? Lanjut Ferry (2008 : 200).

“Ya sudahlah, yang terjadi biarlah terjadi ! Aku juga turut prihatin atas

perceraiannmu dengan Nasiti (2008 : 201).

24) Penggambaran watak Nanang

Watak Nanang digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, dan

bijaksana. Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :

“Iya, Jat. Aku sama istriku juga prihatin sekali suatu mendengar berita

kalau kamu dan Nasiti telah bercerai”.(2008 : 201).

25) Penggambaran watak Ningsih

Watak Ningsih digambarkan sebagai seorang kakak ipar yang berhati

mulia, bijaksana dan penuh perhatian. Hal tersebut digambarkan dalam

kalimat :

“Memangnya ada apa sih, Dik ? kok kelihatannya suntuk sekali? Apa

lagi mikirin Bapak yang sedang dirawat di rumah sakit ?”(2008 : 207).

26) Penggambaran watak Matri Untung

Page 56: Teknik Perwatakan

Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan

bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :

“Maaf Dik, terus terang saya tidak berani menanganinya lagi, “ujar

Pak Untung akhirnya.

“Maksud Bapak?”.

“Teman Adik ini harus segera dibawa ke rumah sakit !Mumpung

belum terlanjur parah.(2008 : 303)

g. Identifikasi Tokoh

Identifikasi tokoh sangatlah penting bagi suatu analisis. Penting sebab

dari analisis tokoh tersebut dapat kita tentukan mana tokoh protagonist,

antagonis, tambahan, tokoh bulat, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh

tipikal dan tokoh netral.

Sebelum penulis uraikan lebih lanjut, perlu penulis ketengahkan

perbedaan tokoh dengan penokohan. Penokohan atau perwatakan adalah

penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.

Sedangkan tokoh adalan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

kelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (B. Rahmanto, 1998 :

213). Secara singkat dapat dikatakan bahwa tokoh menyangkut diri/fisik

sedangkan penokohan berkaitan dengan sifat-sifat kedirian tokoh.

Page 57: Teknik Perwatakan

Berpedoman pada pencermatan penulis terhadap kajian analisis

perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu!” karya Muhammad B.

Anggoro dapat penulis rinci para pelaku cerita tersebut. Para tokoh cerita

dalam novel tersebut antara lain Jati, Nastiti, Kyai Ahmad Badawi,

Hafizh, Aini, Ibu Aini, Mas Ferry, Mas Nanang, Pak Untung, Mbak

Ningsih dan mbak Lastri serta ayah Jati (tidak disebutkan namanya),

kedua orang tua Nastiti yang juga tidak disebutkan namanya oleh

pengarangnya.

Berdasarkan landasan teori tentang tokoh dapat penulis simpulkan bahwa

tokoh utama adalah Jati dan Nastiti sedangkan selebihnya berkedudukan

sebagai peran tambahan. Secara universal, deskripsi tokoh/penokohan

hampir semua tokoh menganut sistem tokoh statis/ sederhana. Mungkin

hal ini disengaja oleh pengarang agar cerita tersebut lancar untuk dicerna

oleh setiap insan mengingat novel ini termasuk novel dakwah agama,

tentang hikmah qubro dan resikonya bila dilaksanakan tergesa-gesa hanya

menurutkan hawa nafsu belaka.

Pada novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro,

lebih banyak menggunakan teknik dramatik, karena novel Jangan

Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro ini menuntut

Page 58: Teknik Perwatakan

pembaca secara langsung terlibat aktif dalam memahami perwatakan

tokoh cerita dan sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan

nyata.

Bagan Perwatakan “Novel Jangan Miringkan Sajadahmu”

Karya Muhammad B. Anggoro

No Nama Tokoh Jenis Tokoh Perwatakan/Karakter1 Jati Tokoh Utama

ProtagonisSeorang suami yang baik, taat beribadah, tegas dan berbakti kepada orang tua.

2 Nasiti Tokoh utamaAntagonis

Anak tunggal dan seorang istri yang miliki kesabaran.

3 Hafizh Tokoh TambahanProtagonis

Seorang lelaki yang sholeh, penyabar dan ulet.

4 Ayah Jati Tokoh TambahanProtagonis

Pensiunan tentara yang memiliki sifat disiplin, keras, tegas tetapi sudah pikun.

5 Kiai Ahmad Badawi

Tokoh TambahanProtagonis

Seorang ulama yang baik, rendah hati, bijaksana, tegas dan taat dalam menjalankan syari’ah agama.

6 Ayah Nastiti Tokoh TambahanProtagonis

Ayah yang baik, bijaksana dan tegas.

7 Ibu Nastiti Tokoh TambahanProtagonis

Ibu yang berhati lembut, sabar dan penuh perhatian.

8 Aini Tokoh TambahanProtagonis

Adik Hafizh yang berhati mulia, penuh pengertian dan setia.

9 Ibu Aini Tokoh TambahanProtagonis

Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana.

10 Ferry Tokoh TambahanProtagonis

Kakak yang baik, bijaksana dan penuh pengertian.

11 Nanang Tokoh TambahanProtagonis

Kakak yang baik, bijaksana dan penuh pengertian.

12 Ningsih Tokoh TambahanProtagonis

Kakak ipar yang baik, lembut dan penuh perhatian.

13 Mantri Untung

Tokoh TambahanProtagonis

Seorang yang baik, bijaksana dan tegas