Teknik Perwatakan
-
Upload
azharul-fazri-siagian -
Category
Documents
-
view
734 -
download
0
Transcript of Teknik Perwatakan
a. Teknik Perwatakan
Teknik perwatakan yang digunakan dalam Novel Jangan Miringkan
Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro antara lain :
1) Teknik secara langsung (Ekspositori)
Teknik secara langsung (ekspositori) sering juga disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan cara memberikan deskripsi dan uraian secara langsung. Tokoh cerit hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 195).
Berdasarkan teori teknik pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan
pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan pelukisan tokoh dalam novel
“Jangan Miringkan Sadahmu” karya Muhammad B. Anggoro yang
sesuai dengan teori di atas.
Kutipan novel sebagai berikut :
Bapak mertuanya berasal dari kalangan militer. Wataknya keras, tegas, disiplin. Kalau melakukan sesuatu, tanpa banyak kompromi dan harus saat itu juga. Paling tidak senang kalau ada orang yang membangkang perintahnya. Paling tidak senang kalau ada orang yang hanya menghambur-hamburkan waktunya percuma. Dalam kamusnya, praktis tidak mengenal kata bermalas-malasan. Semuanya harus dikerjakan tepat waktu dan dikerjakannya dengan tanpa banyak membantah, persis kaya robot (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 6).
Kutipan novel tersebut sangat memberikan bagaimana karakter
mertua Nastiti yang keras, disiplin dan tegas serta benci dengan sifat
bermalas-malasan. Teknik semacam ini sangat efektif untuk
mengarahkan pembaca secara langsung memahami karakter tokoh
tanpa berpikir dan terlibat secara aktif dan ekoomis.
Kelemahan teknik ini pembaca seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan, kurang dituntut aktif untuk memberikan tanggapan secara imajinatif terhadap tokoh cerita dengan pemhamannya terhadap cerita dan persepsinya terhadap sifat-sifat kemanusiaan sebagaimana halnya yang sering dilakukan pada orang-orang yang dijumpai di dunia nyata (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 197).
Selain kutipan teknik pelikisan tokoh secara langsung (ekspositori) di
atas masih ada lagi kutipan sejenis dalam novel tersebut yang
menganut teori teknik ekspositori, kutipannya sebagai berikut :
Siang itu suasana dusun Banyu Bening telihat sepi. Banyak penduduk dusun pulang kembali ke rumah mereka masing-masing setelah seharian bekerja di sawah. Namun, suasana terik matahari masih terasa memanggang bumi. Sinarnya yang berwarna kuning keemasan tiada henti menghangati segenap penjuru dusun.
Tak jauh dari luar dusun, seorang laki-laki muda tengah duduk sendirian. Wajahnya tampan dengan rambutnya yang dipotong rapi. Kulitnya yang berwarna kuning dibungkus dengan pakaian yang sederhana, hanya mengenakan kaus putih dan selana ala kadarnya yang biasa digunakan ke sawah. Kedua matanya tajam dengan hidung yang sedikit mancung, namun serasi sekali dengan bentuk wajah yang oval (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 27-28).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat penulis garis bawahi bahwa
watak dan parasnya sederhana dan tampan, serta berpendirian tegas.
Hal ini terlihat dalam deret kalimat kedua matanya tajam dan
rambutnya yang dipotong rapi menggambarkan satu sisi sifat yang
bersahaja.
Kutipan berikut juga masih dalam ranah teknik pelukisan tokoh
secara langsung (ekspositori).
Rata-rata santri yang belajar di pondok pesantren itu juga senang dengan perhatian dan sikap Kiai Akhmad Badawi. Disamping itu, Kiai Akhmad Badawi sendiri juga memiliki ilmu agama yang dalam, penampilannya pun sangat sederhana, rendah hati dan tidak sombong. Jika ada santrinya yang ingin mengajaknya berdebat, dia juga tidak mau menang sendiri. Sebaliknya, dia tetap bersikap santun walaupun mungkin ada perbedaan pandangan dari para santrinya, namun tidak jarang juga Kiai Akhmad Badawi sering meluruskan pokok permasalahan yang tengah diperdebatkan itu jika memang ada santri-santrinya yang kurang memahami pada hal-hal yang tengah diperdebatkan (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 72).
Memahami kutipan novel di atas tidaklah terlalu sulit. Pembaca tidak
lagi perlu berpikir serius untuk menebak watak Kiai Akhmad
Badawi. Watak kiai tersebut telah jelas terlukis dalam deskripsi
pelukisan tokoh dengan cara ekspositori, atau teknik pelukisan tokoh
secara langsung, atau teknik uraian (telling) atau juga teknik diskursif
(discursive).
Teknik semacam ini penulisan temukan pula dalam novel, khususnya
halaman 288-289, sebagai berikut kutipan.
Nastiti tahu, Hafizh memang sosok suai yang ideal bagi dirinya maupun wanita manapun juga. Sebenarnya ayahnya tidak salah bermaksud menjodohkan dirinya dengan Hafizh, apalagi praktis tidak ada yang kurang dalam diri Hafizh. Wajahnya pun tampan, tidak kalah dengan ketampanan Jati. Ilmu agamanya pun dalam, karena selama ini Hafizh banyak menghabiskan waktunya di Pondok Pesantren (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 288-289).
Pembaca tentu tidak lagi bertanya-tanya tentang karakter Hafizh.
Pembaca langsung bisa menebak bahwa Hafizh adalah seorang yang
alim dan dalam ilmu agamanya, serta baik dan tampan. Dari
kacamata agama, seseorang yang dalam ilmu agamanya tentu orang
tersebut baik dan soleh.
2) Teknik Teknik Pelukisan Tokoh Secara Tidak Langsung (Dramatik)
Teknik semacam ini menuntut pembaca secara langsung terlibat aktif
dalam memahami perwatakan tokoh cerita. Keterlibatan ini
dikarenakan deskripsi tokoh atau pelukisan tokoh dikemas dalam
bentuk potongan, baik potongan sifat tertentu, sikap, aktivitas verbal
maupun noverbal lewat tindakan dan tingkah laku, dan melalui
peristiwa yang terjadi. Singkat kata teknik dramatik menampilkan
sifat kediria tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap.
Keunggulan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih
sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Perwujudan prilaku manusia
dalam konteks kehidupan nyata tidak secara utuh diperhatikan,
melainkan sebagian demi sebagian ditampilkan sehingga lambat laun
akan bisa disimpulkan satu sifat utuh manusia.
Selain kelebihan yang dimiliki oleh teknik pelukisan tidak langsung (dramatik), terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain akibat kebebasan pembaca dalam menafsirkan sifat-sifat tokoh cerita akan menimbulkan kemungkinan salah tafsir. Kelemahan berikutnya adalah tidak ekonomis, karena dalam mendeskripsikan kedirian tokoh diperlukan banyak kata (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 200).
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan teknik pelukisan tokoh,
penulis hanya menggaris bawahi tidak ada satupun teknik yang
ampuh dalam melukiskan kedirian tokoh. Artinya dalam praktiknya
sebuah novel dikemas oleh pengarangnya dengan cara
menggabungkan beberapa teknik agar lebih berkesan dan hidup.
Dengan cara ini kelemahan diantara keduanya bisa saling tertutupi.
Bentuk pelukisan tokoh dengan teknik dramatik meliputi : teknik
cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus
kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik
pelukisan fisik dan teknik pelukisan latar. Berikut ini deskripsi
masing-masing teknik berikut dengan kutipan yang
membuktikannya.
a) Teknik cakapan
Tidak mudah menentukan sifat kedirian tokoh melalui teknik
cakapan. Sulit karena karakter tokoh dalam teknik ini
memerlukan pendalaman pikiran dan pemahaman dialog
antartokoh. Teknik cakapan yang baik adalah yang menunjukkan
perkembangan plot dan sekaligus mecerminkan sifat kedirian
tokoh pelakunya. Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya
Muhammad B. Anggoro mengikuti teknik ini. Berikut penulisan
kutipan :
“Maaf pak Kiai! Lama saya tidak bisa sowan kemari, “ ujar Jati malu-malu. Ada perasaan bersalah karena lama tidak menemui Kiai Akhmad Badawi.“Tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Kiai Akhmad Badawi.“Oh ya? Ngomong-ngomong, bagaimana dengan istrimu? Kenapa tidak diajak sekalian kemari?“Itulah yang ingin saya bicarakan dengan pak Kiai. Terus terang saya bingung sedang bingung sekali, pak Kiai….”“Lho! Memang ada apa?Jati tidak langsung menjawab pertanyaan Kiai Akhmad Badawi.Dia malah diam tercenung memikirkan persoalan yang tengah dihadapinya.
“Ssss… saya ….saya sudah menjatuhkan talak kepada istri saya pak Kiai” ujar Jati lirih , lalu kembali diam menundukkan kepalanya.“Talak” Kiai Akhmad Badawi terkejut. “cerai maksudmu!”“Iiiiiiii… iya pak Kiai…!“Kalau sudah cerai ya sudah! Lalu, apalagi persoalannya?”“Saya………..saya…masih mencintai istri saya , pak Kiai..!”“Kalau begitu rujuk saja kalau memang istrimu masih mau sama kamu, Jati! Kenapa kamu bingung?”“Itulah persoalannya pak Kiai. Saya dan istri saya sudah gak bisa rujuk lagi, pak Kia”“Maksudmu?”Kiai Akhmad Badawi memandangi bekas santrinya itu tajam. Dia masih belum mengerti maksud pembicaraan bekas santrinya itu.“Sssss….saya.. saya sudah mentalaknya tiga kali, pak Kiai”“Astagfirullahulazhim…! Kaia Akhmad Badawi tampak terkejut” kenapa bisa begitu , Jat?“Ssss…saya khilaf, pak Kiai…”“Apa kamu tidak tahu akibat dari talakmu ini?”“Saya tahu pak Kiai…”“Kalau sudah tahu, apalagi persoalannya?”“Sssss… saya ingin minta tolong kepada pak Kiai, saya sangat mencintai istri saya, pak Kiai. Saya tidak ingin berpisah dengan istri saya, pak Kiai. Ssss … saya…ingin kembali menikahi istri saya, pak Kiai…” tangis Jati memelas.“Nggak bisa begitu Jati, walaupun kamu sampai menangis darah sekalipun nggak mungkin bisa langsung menikahi istrimu lagi. Kecuali istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 76-77).
Berdasarkan dialog pada kutipan di atas, Jati mempunyai watak
yang keras sedangkan Kiai Ahmad Badawi berwatak tegas.
b) Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku mengarah pada tingkah laku verbal berupa
kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran kepada
tindakan nonverbal dan fisik. Apa yang dilakukan orang dalam
mewujudkan tindakan dan tingkah laku dalam banyak hal dapat
dipandang sebagai pencerminan tingkah laku, reaksi, tanggapan,
sifat dan sikap yang mencerminkan kediriannya (Burhan
Nurgiyantoro, 2007 : 203)
Hal ini tergambar pada :
Jati baru akan menghentikan langkahnya manakala dia tidak tahu
lagi harus membuang waktunya siang itu, membuang
kekecewaan dalam hatinya yang kian tidak menentu. Jati benar-
benar bingung (2008 :89)
c) Teknik Pikiran dan Perasaan
Teknik ini digambarkan pada kalimat :
“Mas Jati kenapa diam saja?” Desis nastiti perih. Lagi-lagi Jati
tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia malah meremas-remas
rambutnya sendiri. “Hentikan Mas! Mas aku sendiri tidak
sanggup menerima kenyataan ini, Mas …. Aku … Nggak
mungkin bisa hidup tanpamu, Mas…” (2008: )
d) Teknik Arus Kesadaran
Teknik ini tergambar pada kalimat :
Ya Allah…! Dosa apakah hingga Kau timpakan cobaan seberat
ini kepada hamba? Ya Allah ...! Bagaimana mungkin hamba
sanggup menghadapi cobaan yang demikian beratnya jika tanpa
ada orang yang hamba kasihi di sisi hamba? Ya Allah ..!
(Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sajadahmu, 2008 :
92).
e) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh digambarkan pada kalimat :
Bukan main gusarnya hati Jati saat itu. Seketika hatinya mendidih. Canda dan tawa mereka terlihat begitu mesra sekali di mata Jati. Bahkan saking asyiknya mereka bercanda tawa, Nastiti mau terpelanting ke kubangan sawah. Untung saja Hafizh segera merai tangan Nastiti sehingga dia tidak terjatuh ke kubangan sawah (2008 : 164).
f) Teknik Teaksi Tokoh Lain
Teknik reaksi tokoh lain digambarkan pada kalimat :
Tidak dapat dipungkiri , semakin lama cintanya semakin tertambat cinta Jati. Setiap kali mereka bertemu, harapan dan
cinta dalam diri Nastiti semakin membuncah ruah. Dia tidak ingin laki-laki yang sangat dicintainya itu jatuh kedalam pelukan gadis-gadis lainnya di dusunnya maupun gadis-gadis manapun juga. Baginya Jati adalah cinta pertamanya yang tidak mungkin akan diabaikan begitu saja. Sebisa munkin dia harus bisa mendapatkan cintanya yang banyak diperebutkan gadis-gadis lain di dusunnya (2008 : 97-98)
g) Teknik Pelukisan Latar
Teknik pelukisan latar digambarkan pada kalimat :
Nastiti yang dibesarkan dari kalangan petani biasa tentu saja sangat kaget melihat kebiasaan-kebiasaan di rumah mertuanya. Dia biasa hidup pasrah, nrimo ing pandum, tidak pernah macam-macam dalam menjalani hidup maupun dalam mengerjakan sesuatu. Akan tetapi kali ini Nastiti harus dihadapkan pada suasana yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dihadapi di rumah kedua orang tuanya (2008 : 7)
h) Teknik Pelukisan Fisik
Teknik pelukisan fisik digambarkan pada kalimat :
Dimata Hafizh, Nastiti adalah seorang wanita tercantik yang
pernah dilihatnya. Kecantikan wajahnya mampu membuat bulan
bersinar malu-malu. Keanggunannya mampu menyihir siapapun
juga yang melihatnya. Kerling matanya mampu meredupkan
cahaya bulan. Kemolekannya tidak jarang sering memuat orang
terpaku karena terpesonanya. Walau sekarang Nastiti seorang
janda. Di mata Hafizh, Nastiti tetap menawan. Tidak kalah jika
dibandingkan dengan gadis-gadis di dusunnya (2008 : 136).
b. Perwatakan
1) Tokoh Jati
Jati adalah seorang anak yang berbakti kapada kedua orang tuanya
terutama kepada bapaknya sehingga ia lebih memilih bapaknya
daripada istrinya sendiri. Jati sangat menyayangi bapaknya apalagi
setelah ibunya meninggal dunia.
“Tak tega rasanya Jati memperhatikan sosok bapaknya. Hatinya serasa dirobek-robek karena rasa sayangnya yang sangat mendalam kepada bapaknya. Dia ingin sekali membahagiakan bapaknya. Dia ingin sekali menyenangkan hati bapaknya di hari-hari tuanya”, (2008 : 42).
Jati juga seorang muslim yang taat kepada Allah SWT terlihat dari
kalimat sebagai berikut :
”Pada kerlap-kerlip bintang kemintang di kejauhan sanalah dia seolah ingin mengadukan nasibnya. Tapi, Jati sadar tak mungkin dia melakukan hal itu. Perbuatan semacam itu jelas-jelas syirik karena telah meninggalkan keagungan-Nya. Tidak sepantasnya dia mengeluhkan semua persoalan hidup yang tengah membelenggunya itu kepada selain Allah”, (2008 : 61).
Digambarkan juga jika Jati takut melanggar syariah agamanya :
“Itulah yang membuat aku bingung, Nas. Aku nggak mungkin bisa
menikahimu lagi sebelum kamu menikah terlebih dahulu dengan orang
lain, Nas”, (2008 : 260)
Dalam novel ini Jati juga digambarkan sebagai seorang suami yang
terlalu tegas dan terlalu cepat dalam mengambil sikap dan keputusan
sehingga jatuhlah talak tiga kepada istrinya.
“Baik, kalau kau benar-benar nekat maka aku tak segan-segan lagi
menjatuhkan talak kepadamu, Nas! Ingat itu!” (2008 :18).
2) Tokoh Nastiti
Nastiti digambarkan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya
namun kurang bisa menerima bapak mertuanya yang bersikap
kekanak-kanakan karena penyakit pikunnya.
“Ironisnya Nastiti malah tidak bisa menerima. Dia bahkan malah merasa sebal atau malah memusuhi bapaknya. Bisa jadi sikap Nastiti yang kurang dapat menyenangkan hati bapaknya itulah yang semakin membuat sikap bapaknya seperti anak kecil, sering berbuat aneh-aneh hanya sekedar untuk memancing perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya” (2008 : 33).
Digambarkan juga jika Nastiti kurang bisa bersabar menghadapi
sikap bapak mertuanya, seperti dalam kalimat :
“Hanya saja, lagi-lagi memang patut disayangkan, ternyata Nastiti
malah tidak sabar menghadapi sikap bapaknya. Dia merasa tidak
sanggup lagi menghadapi sikap bapak mertuanya” (2008 : 34).
3) Tokoh Hafizh
Hafizh adalah seorang pemuda yang telah lama memendam cinta
kepada Nastiti sampai Nastiti menjadi janda pun Hafizh masih
mencintainya. Hafizh digambarkan sebagai seorang lelaki tampan
yang tenang dan sabar, juga seorang jebolan pesantren yang pantang
menyerah mendekati Nastiti yang masih belum bisa menerima pria
lain di hatinya.
“Hafizh sendiri bukannya tidak tahu. Dia tahu kalau Nastiti bersikap biasa saja terhadap dirinya. Tapi, hafizh tidak putus asa. Sebisa mungkin dia berusaha mengusir kemurungan Nastiti. Dengan begitu,dia bukan hanya akan dapat mengusir kemurungan Nastiti, melainkan sekaligus juga berusaha menarik perhatiannya” (2008 : 168).
Setelah menjadi seorang suami, Hafizh digambarkan sebagai suami
yang baik, terlihat dalam kalimat berikut:
“Hafizh adalah seorang suami yang baik, pengertian, penyabar kepada dirinya.Tidak pernah berlaku kasar kepada dirinya. Tidak pernah emosinya meledak-ledak walau dirinya telah melakukan kesalahan. Tidak pernah menegur terang-terangan walau dia telah berbuat salah. Hafizh selalu menunjukan kalau dirinya adalah sosok
seorang suami yang menyenangkan, penyayang dan mau mengerti istrinya”(2008 : 352).
Hafizh juga seorang santri yang menginginkan istrinya taat kepada
Allah Swt dalam hal berjilbab, terlihat dalam kalimat :
“Sewaktu Nastiti kesal dan tidak lagi memakai jilbab, Hafizh tidak pernah langsung menegurnya namun Hafizh mengajak Nastiti berdiskusi untuk mengamati dan menilai tentang apa itu perempuan, apa yang tidak boleh dan harus dilakukan sebagai seorang muslimah. Aurat-aurat mana saja yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan dimuka umum hingga Nastiti pun mengenakan jilbabnya kembali” (2008 : 353).
4) Tokoh Ayah Jati / Bapak Mertua Nastiti
Ayah Jati digambarkan berwatak disiplin, keras dan tegas karena
dulunya ayah Jati adalah seorang tentara. Namun setelah tua ia mulai
pikun, sikapnya menjadi seperti anak kecil dan tidak jarang meminta
sesuatu yang tidak masuk akal seperti digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Jat…… ! Cepat bukain pintunya,Jat! Cepat………….! Kalau tidak
bapak jebol pintunya! Kamu dengar nggak, Jat?” (2008 : 8).
“Bapak nggak bisa tidur, Jat. Bapak barusan mimpi menakutkan.
Bapak takut, Jat. Bapak takut……!, Ayo temani bapak ngobrol!”
(2008 : 10).
Kepikunan bapak Jati mengakibatkan ia sering lupa jika Jati telah
bercerai. Digambarkan dalam kalimat berikut :
“Kenapa Nastiti nggak pulang-pulang? Suruh dia cepat pulang,Jat.
Bapak kan sendirian terus di rumah. Bapak sepi kalau nggak ada dia”
(2008 : 46).
5) Tokoh Kiai Ahmad Badawi
Kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang pernah menjadi guru
Jati sewaktu Jati mondok di pondok pesantren at-Tauhid. Kyai
Ahmad Badawi digambarkan sebagai seorang kyai yang perhatian
terhadap para santrinya, sederhana, rendah hati, memiliki ilmu agama
yang dalam namun tidak sombong.
Kesederhanaan Kiai Ahmad badawi digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Suasana di dalam rumah Kyai Ahmad Badawi sendiri juga tidak terlalu banyak berbeda seperti saat Jati masih mondok disana. Tetap masih seperti dulu, sebuah karpet berwana hijau tua tergelar di ruang tamu. Di sampingnya terdapat rak besar berisi puluhan kitab kuning karya ulama-ulama besar islam” (2008 : 72).
Kiai Ahmad Badawi juga seorang ulama yang taat kepada syariah
islam dan tidak mau anak didiknya berkompromi dengan aturan
agama untuk meluluskan keinginan Jati menikahi lagi istrinya, seperti
tertulis dalam kalimat:
“Nggak bisa begitu, Jati walau kamu sampai menangis darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung menikahi istrimu lagi kecuali jika istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa menikahi istrimu lagi. Itupun kalau suami kedua dari istrimu itu mau menceraikan istrimu. Kalau tidak, kamu ya tetap tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat……….” (2008 : 75).
Juga dalam kalimat “Talak yang sudah kamu jatuhkan adalah talak bain kubro ,talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga bukan main-main. Mereka juga harus bercampur terlebih dahulu, Jat” (2008 :76).
6) Tokoh Ayah Nastiti
Ayah Nastiti digambarkan sebagai seorang yang sederhana,
bijaksana dan sangat menyayangi anaknya. Ayah Nastiti selalu
mendorong anaknya agar melupakan masa lalunya seperti
digambarkan dalam kalimat :
“Sudahlah, Nastiti! Kamu sudah nggak perlu lagi memikirkan Jati.
Percuma saja kamu memikirkan dia! Toh, tetap saja kalian nggak
akan bisa bersatu lagi” (2008 : 144).
Ayah Nastiti juga selalu membujuk anaknya agar mau melupakan Jati
dan menerima laki-laki lain seperti dalam kalimat :
“Boleh saja kamu masih mencintai mantan suamimu itu. Tapi, tetap
saja percuma Nastiti. Cobalah mulai sekarang kamu alihkan perasaan
cinta kamu kepada laki-laki lain, selain Jati, Nastiti” (2008 : 145).
Ayah Nastiti juga memberikan dukungan kepada Hafizh untuk
mendekati Nastiti. Hal tersebut tampak dalam kalimat :
“Dalam satu minggu ini pula, sudah tiga kali Hafizh datang berkunjung kerumahnya. Ayah Nastiti senang sekali melihat kedatangan Hafizh. Dia tahu kalau kedatangan Hafizh memang untuk menemui anaknya. Dia sama sakali tidak keberatan. Dia malah sangat mendukung hubungan Hafizh dan Nastiti” (2008 : 156).
7) Ibu Nastiti
Ibu Nastiti digambarkan sebagai seorang ibu yang sangat
menyayangi putri tunggalnya. Kasih sayang itu ditunjukan dengan
perhatian yang tercurah penuh pada Nastiti yang tergambarkan pada
pertanyaan berikut :
“Kamu kenapa Nas? Kok kelihatan kesal sekali? Ada apa? Kok pakai
nangis segala?” (2008 : 241).
“Ibu jadi semakin nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini kamu berubah
aneh. Apa kamu masih memikirkan Jati?” (2008 : 242).
8) Tokoh Aini
Aini digambarkan sebagi gadis cantik, baik hati yang diam-diam
mencintai jati. Kecantikan Aini digambarkan dalam kalimat berikut :
“Ya, tapi kamu bukan hanya baik, Aini. Kau juga cantik sekali Aini.
Kau anggun sekali…….” (2008 : 405).
Aini digambarkan sebagai gadis yang suka menolong dan penuh
perhatian terhadap Jati. Seperti dalam kalimat berikut:
“Iya bapakmu sakit. Tadi terjatuh di rumah. Untung ada Aini yang
menolong”, (2008 : 76).
“Aini yang melihat kesedihan Jati mendekat. Dia menghibur Jati agar
tetap sabar dan tabah menerima cobaan dari-Nya, (2008 : 183).
Perhatian Aini terhadap Jati terlihat dari seringnya Aini
membawakan makanan untuk Jati. Digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Nggak ada apa-apa kok mas. Ini tadi aku menggoreng pisang, lalu
tiba-tiba aku teringat sama mas Jati, lalu aku kemari saja untuk
mengantarkan pisang goreng ini untuk mas Jati. Enak kok mas “
(2008 : 228).
Juga dalam kalimat :
Oh ya Mas. Ini tadi aku masak opor tahu sama sambal goreng.
Dicobain deh, mas. Enak nggak?” (2008 : 272).
9) Tokoh Ibu Aini
Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini digambarkan
dalam kalimat :
Wah…!itu juga masakan kesukaan ayahmu aini. Dulu waktu Ibu
naksir sama ayahmu, Ibu juga sering membuatkan pepes ikan untuk
ayahmu, aini. Jangan-jangan kamu juga begitu, ya?” (2008 : 376).
10) Tokoh Ferry (kakak Jati)
Ferry digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada
orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :
“Bagaimana keadaan Bapak, Jat?“ tanya Fery panik”. (2008 : 200).
11) Tokoh Nanang (kakak Jati)
Nanang digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada
orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :
“Ya…! Kamu benar, Jat. Melihat kondisi Bapak yang seperti ini,
Bapak memang harus dirawat di rumah sakit, Jat“.(2008 : 201).
12) Tokoh Ningsih (kakak ipar Jati)
Ningsih digambarkan sebagai kakak yang baik, lembut, dan penuh
perhatian, hal ini digambarkan dalam kalimat berikut :
“Dik Jati, kenapa Dik Jati belum tidur ?”
“Belum kok Mbak, belum mengantuk”.
“Tapi, ini sudah malam, Dik Jati. Sudah jam dua belas malam lebih”.
(2008 : 206).
13) Tokoh Mantri Untung
Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan
bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :
“Tenang, Dik! Tenang! Biar saya priksa dulu!”. (2008 : 303).
c. Penggambaran Watak Tokoh
1) Penggambaran watak Jati
Penggambaran watak Jati secara langsung digambarkan oleh
pengarang sebagai seorang anak yang sangat berbakti kepada orang
tuanya terutama kepada bapaknya, dapat dibuktikan dalam kalimat
sebagai berikut :
“Dia memapah bapaknya itu sebentar dan mendudukan bapaknya di kursi ruang tengah. Sebentar kemudian, baru Jati pergi ke warung untuk membelikan obat untuk bapaknya. Tapi, kepergian Jati juga tidak lama. Tidak sampai lima menit kemudian, jati sudah kembali
pulang kerumahnya sambil membawa obat yang diinginkan bapaknya” (2008 : 53).
Kasih sayang Jati terhadap bapaknya dibuktikan pada kalimat :
“Jati membantu membukakan obat berbentuk tablet itu sebentar.Dia juga segera berlari ke dapur untuk mengambilkan air putih. Semuanya itu dilakukannya dengan penuh kasih sayang. Perasaan iba dan sayangnya yang begitu mendalam terhadap bapaknya membuat Jati tidak tega melihat kesendirian bapaknya. Dialah yang selama ini merawat bapaknya. Sebab, bapaknya tidak mau tinggal bersama kedua orang kakaknya yang sekarang tinggal di kota” (2008 : 154).
Selain berbakti, Jati juga seorang yang lembut hatinya. Meski Jati
tidak mencintai Aini namun dia sungguh menyesal telah melukai hati
dan perasaan Aini. Maka Jati menemui Aini untuk meminta maaf dan
meluruskan kesalah pahaman diantara mereka. Kelembutan hati Jati
dibuktikan dalam kalimat :
“Aku benar-benar menyesal, Aini. Demi Allah, aku tidak bermaksud
menyinggungmu apalagi sampai membuatmu semarah ini padaku.
Terus terang, aku kemari hanyalah ingin mengharapkan maafmu,
Aini. Mau kan kamu memaafkanku?” (2008 : 285).
Jati digambarkan juga berwatak taat kepada syariah agama meski
awalnya ia juga ingin membelokan syariah agamanya. Hal itu
dilukiskan pada kalimat :
“Aku nggak tahu Nas. Demi Allah, aku benar-benar nggak tahu apa
yang harus aku lakukan agar kita dapat bersatu kembali seperti dulu.
Belenggu syariah telah menghalangi cinta kita. Dan, kita nggak
mungkin menerjang belenggu itu……..” (2008 : 260).
2) Penggambaran watak Nastiti
Penggambaran watak Nastiti secara langsung digambarkan oleh
pengarang dalam kalimat berikut :
“Dengar, mas! Apapun yang terjadi, nggak mungkin aku bisa
melupakanmu. Aku sangat mencintaimu, mas aku sangat
mencintaimu, mas…..!” (2008 : 85).
Nastiti digambarkan sangat mencintai Jati meski sudah tidak lagi
menjadi istrinya. Sungguh besar cinta Nastiti terhadap Jati hanya
karena dia kurang bisa bersabar menghadapi kepikunan bapak
mertuanya maka dia bercerai dari Jati. Hal itu sungguh sangat
disesalinya namun penyesalan selalu datang terlambat karena tak
mungkin dia bersatu lagi dengan Jati sebelum menikah lagi dengan
lelaki lain.
3) Penggambaran watak Hafizh
Watak Hafizh digambarkan sebagai seorang suami yang menyayangi
istrinya meski istrinya masih mencintai mantan suami pertamanya.
Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :
“Hafizh tahu kalau istrinya saat itu tentu sedang melamunkan Jati.
Namun lagi-lagi Hafizh sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Dengan penuh cinta kasih dia malah ikut duduk di samping istrinya
dan memandanginya dengan cemas” (2008 : 396).
Hafizh sangat besar pengertiannya terhadap Nastiti. Dilukiskan
dengan kalimat :
“Kamu nggak perlu meminta maaf seperti itu Nastiti. Aku maklum kok. Memang tidak mudah untuk melupakan orang yang sangat kita cintai. Apalagi mas Jati dulu adalah mantan suamimu. Tentu kamu merasa sulit sekali untuk melupakan mas Jati begitu saja. Iya kan, Nas 2008 :397).
4) Penggambaran watak Bapak Jati
Bapak Jati digambarkan berasal dari kalangan militer sehingga
membuatnya berwatak disiplin, keras dan tegas. Namun dihari tuanya
bapak Jati mulai pikun dan bersikap kekanak-kanakan, hal itu
digambarkan dalam kalimat:
“Ya biar saja! Toh, rumah ini juga rumahku sendiri. Aku tidak
numpang pada orang lain. Mau aku meludah sembarangan kek, nggak
kek, mau aku bakar rumahku kek, nggak kek. Apa peduli kamu?
(2008 : 23).
5) Penggambaran watak Kyai Ahmad Badawi
Penggambaran watak kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang
dalam ilmu agamanya dan tegas terhadap kelurusan syariah agama.
Digambarkan secara langsung oleh pengarang dengan kalimat:
“Tetap saja nggak bisa Jat. Ini semua sudah kertentuan Allah. Nggak bisa diakal-kali lagi. Kecuali kalau talak raj’i, kamu masih bisa rujuk atau menikahi istrimu lagi. Tapi, talak yang sudah kamu jatuhkan ini adalah bain kubro, talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat” (2008 :75 – 76).
“Kamu nggak bisa merekayasa hukum-hukum Allah sekehendak
hatimu, Jat. Perbuatanmu ini tentu sangat dimurkai Allah! Kamu
bukannya mendapat manfaat malah akan menambah dosamu yang
bertumpuk-tumpuk, 92008 : 76)
6) Penggambaran watak Ayah Nastiti
Penggambaran watak Ayah Nastiti adalah orang yang baik, bijaksana
dan tegas. Hal ini digambarkan dalam kalimat :
“Sudah, nggak usah menangis! Sekarang kamu harus bisa menetukan
sikap! Mau tetap menyiksa diri seperti ini terus, atau mau berpikir
realistis dan melupakan mantan suamimu itu!” (2008, 246)
7) Penggambaran wata Ibu Nastiti
Ibu Nastiti berwatak lembut, sabar dan penuh perhatian. Perhatian
Ibu Nastiti tercurah dalam kalimat :
“ Ada apa sih , Nas? Kenapa kamu sering uring-uringan sendiri?”
“ Kenapa diam saja , Nas ? apa pertanyaan Ibu tadi ada yang salah?”
( 2008 : 241).
Ibu Nastiti akhirnya mengeluh panjang. Tak tahu lagi apa yang mesti
diperbuat melihat sikap diam anaknya. Dia hanya bisa memandangi
anaknya itu penuh tanda tanya,( 2008 : 242 ).
8) Penggambaran watak Aini
Aini digambarkan berwatak sedikit manja namun penuh perhatian
terhadap jati seperti ketika Jati mengetahui Nastiti sudah menikah lagi
dan membuat Jati sangat frustasi, Aini selalu mengunjungi Jati dan
mencemaskan keadaan Jati. Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :
“Satu-satu orang yang paling mencemaskan dirinya adalah Aini. Tidak
bosan-bosannya dia mengunjungi Jati di rumahnya walau Jati enggan
menemuinya. Seperti pagi itu, Aini kembali menemui Jati. Dia terus
berteriak-teriak memanggil Jati sampai suaranya serak ( 2008 : 336 ).
Aini digambarkan dimata pengarang sebagai gadis yang setia dan
ikhlas menyayangi Jati. Terlihat dalam kalimat :
“Inilah perhatian dan cintanya kepada kekasihnya. Inilah bukti pengabdiannya kepada kekasih hatinya. Aini ingin sepenuhnya menemani kekasih hatinya di saat-saat ia membutuhkan dukungan dan perhatiannya.Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya untuk meninggalkan kekasih hatinya. Tidak mungkin dia akan tega melakukan itu semua………….( 2008 : 390 ).
9) Penggambaran watak ibu Aini
Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini dapat digambarkan
dalam kalimat :
“Masak apa sih, anak ibu ini ? Kok seneng banget kelihatannya hari
ini ?”goda ibu. (2008 : 376).
10) Penggambaran watak Ferry
Watak Ferry digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, bijaksana.
Dan berbakti pada orang tua Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :
“Bagaimana ceritanya sampai Bapak terkena gejala stroke seperti ini,
Jat? Lanjut Ferry (2008 : 200).
“Ya sudahlah, yang terjadi biarlah terjadi ! Aku juga turut prihatin atas
perceraiannmu dengan Nasiti (2008 : 201).
11) Penggambaran watak Nanang
Watak Nanang digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, dan
bijaksana. Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :
“Iya, Jat. Aku sama istriku juga prihatin sekali suatu mendengar berita
kalau kamu dan Nasiti telah bercerai”.(2008 : 201).
12) Penggambaran watak Ningsih
Watak Ningsih digambarkan sebagai seorang kakak ipar yang berhati
mulia, bijaksana dan penuh perhatian. Hal tersebut digambarkan dalam
kalimat :
“Memangnya ada apa sih, Dik ? kok kelihatannya suntuk sekali? Apa
lagi mikirin Bapak yang sedang dirawat di rumah sakit ?”(2008 : 207).
13) Penggambaran watak Matri Untung
Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan
bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :
“Maaf Dik, terus terang saya tidak berani menanganinya lagi, “ujar
Pak Untung akhirnya.
“Maksud Bapak?”.
“Teman Adik ini harus segera dibawa ke rumah sakit !Mumpung
belum terlanjur parah.(2008 : 303)
d. Identifikasi Tokoh
Identifikasi tokoh sangatlah penting bagi suatu analisis. Penting sebab
dari analisis tokoh tersebut dapat kita tentukan mana tokoh protagonist,
antagonis, tambahan, tokoh bulat, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh
tipikal dan tokoh netral.
Sebelum penulis uraikan lebih lanjut, perlu penulis ketengahkan
perbedaan tokoh dengan penokohan. Penokohan atau perwatakan adalah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.
Sedangkan tokoh adalan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
kelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (B. Rahmanto, 1998 :
213). Secara singkat dapat dikatakan bahwa tokoh menyangkut diri/fisik
sedangkan penokohan berkaitan dengan sifat-sifat kedirian tokoh.
Berpedoman pada pencermatan penulis terhadap kajian analisis
perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu!” karya Muhammad B.
Anggoro dapat penulis rinci para pelaku cerita tersebut. Para tokoh cerita
dalam novel tersebut antara lain Jati, Nastiti, Kyai Ahmad Badawi,
Hafizh, Aini, Ibu Aini, Mas Ferry, Mas Nanang, Pak Untung, Mbak
Ningsih dan mbak Lastri serta ayah Jati (tidak disebutkan namanya),
kedua orang tua Nastiti yang juga tidak disebutkan namanya oleh
pengarangnya.
Berdasarkan landasan teori tentang tokoh dapat penulis simpulkan bahwa
tokoh utama adalah Jati dan Nastiti sedangkan selebihnya berkedudukan
sebagai peran tambahan. Secara universal, deskripsi tokoh/penokohan
hampir semua tokoh menganut sistem tokoh statis/ sederhana. Mungkin
hal ini disengaja oleh pengarang agar cerita tersebut lancar untuk dicerna
oleh setiap insan mengingat novel ini termasuk novel dakwah agama,
tentang hikmah qubro dan resikonya bila dilaksanakan tergesa-gesa hanya
menurutkan hawa nafsu belaka.
Pada novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro,
lebih banyak menggunakan teknik dramatik, karena novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro ini menuntut
pembaca secara langsung terlibat aktif dalam memahami perwatakan
tokoh cerita dan sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan
nyata.
yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku atau bahkan juga ciri fisiknya (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 195).
Berdasarkan teori teknik pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan
pelukisan tokoh dapat penulis kutipkan kediriannya pelukisan tokoh
dalam novel “Jangan Miringkan Sadahmu” karya Muhammad B.
Anggoro yang sesuai dengan teori di atas.
Kutipan novel sebagai berikut :
Bapak mertuanya berasal dari kalangan militer. Wataknya keras, tegas, disiplin. Kalau melakukan sesuatu, tanpa banyak kompromi dan harus saat itu juga. Paling tidak senang kalau ada orang yang membangkang perintahnya. Paling tidak senang kalau ada orang yang hanya menghambur-hamburkan waktunya percuma. Dalam kamusnya, praktis tidak mengenal kata bermalas-malasan. Semuanya harus dikerjakan tepat waktu dan dikerjakannya dengan tanpa banyak membantah, persis kaya robot (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 6).
Kutipan novel tersebut sangat memberikan bagaimana karakter
mertua Nastiti yang keras, disiplin dan tegas serta benci dengan sifat
bermalas-malasan. Teknik semacam ini sangat efektif untuk
mengarahkan pembaca secara langsung memahami karakter tokoh
tanpa berpikir dan terlibat secara aktif dan ekoomis.
Kelemahan teknik ini pembaca seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan, kurang dituntut aktif untuk memberikan tanggapan secara imajinatif terhadap tokoh cerita dengan pemhamannya terhadap cerita dan persepsinya terhadap sifat-sifat kemanusiaan sebagaimana halnya yang sering dilakukan pada orang-orang yang dijumpai di dunia nyata (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 197).
Selain kutipan teknik pelikisan tokoh secara langsung (ekspositori) di
atas masih ada lagi kutipan sejenis dalam novel tersebut yang
menganut teori teknik ekspositori, kutipannya sebagai berikut :
Siang itu suasana dusun Banyu Bening telihat sepi. Banyak penduduk dusun pulang kembali ke rumah mereka masing-masing setelah seharian bekerja di sawah. Namun, suasana terik matahari masih terasa memanggang bumi. Sinarnya yang berwarna kuning keemasan tiada henti menghangati segenap penjuru dusun.
Tak jauh dari luar dusun, seorang laki-laki muda tengah duduk sendirian. Wajahnya tampan dengan rambutnya yang dipotong rapi. Kulitnya yang berwarna kuning dibungkus dengan pakaian yang sederhana, hanya mengenakan kaus putih dan selana ala kadarnya yang biasa digunakan ke sawah. Kedua matanya tajam dengan hidung yang sedikit mancung, namun serasi sekali dengan bentuk wajah yang oval (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 27-28).
Berdasrakan kutipan tersebut dapat penulis garis bawahi bahwa
watak dan parasnya sederhana dan tampan, serta berpendirian tegas.
Hal ini terlihat dalam deret kalimat kedua matanya tajam dan
rambutnya yang dipotong rapi menggambarkan satu sisi sifat yang
bersahaja.
Kutipan berikut juga masih dalam ranah teknik pelukisan tokoh
secara langsung (ekspositori).
Rata-rata santri yang belajar di pondok pesantren itu juga senang dengan perhatian dan sikap Kiai Akhmad Badawi. Disamping itu,
Kiai Akhmad Badawi sendiri juga memiliki ilmu agama yang dalam, penampilannya pun sangat sederhana, rendah hati dan tidak sombong. Jika ada santrinya yang ingin mengajaknya berdebat, dia juga tidak mau menang sendiri. Sebaliknya, dia tetap bersikap santun walaupun mungkin ada perbedaan pandangan dari para santrinya, namun tidak jarang juga Kiai Akhmad Badawi sering meluruskan pokok permasalahan yang tengah diperdebatkan itu jika memang ada santri-santrinya yang kurang memahami pada hal-hal yang tengah diperdebatkan (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 72).
Memahami kutipan novel di atas tidaklah terlalu sulit. Pembaca tidak
lagi perlu berpikir serius untuk menebak watak Kiai Akhmad
Badawi. Watak kiai tersebut telah jelas terlukis dalam deskripsi
pelukisan tokoh dengan cara ekspositori, atau teknik pelukisan tokoh
secara langsung, atau teknik uraian (telling) atau juga teknik diskursif
(discursive).
Teknik semacam ini penulisan temukan pula dalam novel, khususnya
halaman 288-289, sebagai berikut kutipan.
Nastiti tahu, Hafizh memang sosok suai yang ideal bagi dirinya maupun wanita manapun juga. Sebenarnya ayahnya tidak salah bermaksud menjodohkan dirinya dengan Hafizh, apalagi praktis tidak ada yang kurang dalam diri Hafizh. Wajahnya pun tampan, tidak kalah dengan ketampanan Jati. Ilmu agamanya pun dalam, karena selama ini Hafizh banyak menghabiskan waktunya di Pondok Pesantren (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 288-289).
Pembaca tentu tidak lagi bertanya-tanya tentang karakter Hafizh.
Pembaca langsung bisa menebak bahwa Hafizh adalah seorang yang
alim dan dalam ilmu agamanya, serta baik dan tampan. Dari
kacamata agama, seseorang yang dalam ilmu agamanya tentu orang
tersebut baik dan soleh.
3) Teknik Teknik Pelukisan Tokoh Secara Tidak Langsung (Dramatik)
Teknik semacam ini menuntut pembaca secara langsung terlibat aktif
dalam memahami perwatakan tokoh cerita. Keterlibatan ini
dikarenakan deskripsi tokoh atau pelukisan tokoh dikemas dalam
bentuk potongan, baik potongan sifat tertentu, sikap, aktivitas verbal
maupun noverbal lewat tindakan dan tingkah laku, dan melalui
peristiwa yang terjadi. Singkat kata teknik dramatik menampilkan
sifat kediria tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap.
Keunggulan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih
sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Perwujudan prilaku manusia
dalam konteks kehidupan nyata tidak secara utuh diperhatikan,
melainkan sebagian demi sebagian ditampilkan sehingga lambat laun
akan bisa disimpulkan satu sifat utuh manusia.
Selain kelebihan yang dimiliki oleh teknik pelukisan tidak langsung (dramatik), terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain
akibat kebebasan pembaca dalam menafsirkan sifat-sifat tokoh cerita akan menimbulkan kemungkinan salah tafsir. Kelemahan berikutnya adalah tidak ekonomis, karena dalam mendeskripsikan kedirian tokoh diperlukan banyak kata (Burhan Nurgiyantoro, 2008 : 200).
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan teknik pelukisan tokoh,
penulis hanya menggaris bawahi tidak ada satupun teknik yang
ampuh dalam melukiskan kedirian tokoh. Artinya dalam praktiknya
sebuah novel dikemas oleh pengarangnya dengan cara
menggabungkan beberapa teknik agar lebih berkesan dan hidup.
Dengan cara ini kelemahan diantara keduanya bisa saling tertutupi.
Bentuk pelukisan tokoh dengan teknik dramatik meliputi : teknik
cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus
kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik
pelukisan fisik dan teknik pelukisan latar. Berikut ini deskripsi
masing-masing teknik berikut dengan kutipan yang
membuktikannya.
i) Teknik cakapan
Tidak mudah menentukan sifat kedirian tokoh melalui teknik
cakapan. Sulit karena karakter tokoh dalam teknik ini
memerlukan pendalaman pikiran dan pemahaman dialog
antartokoh. Teknik cakapan yang baik adalah yang menunjukkan
perkembangan plot dan sekaligus mecerminkan sifat kedirian
tokoh pelakunya. Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya
Muhammad B. Anggoro mengikuti teknik ini. Berikut penulisan
kutipan :
“Maaf pak Kiai! Lama saya tidak bisa sowan kemari, “ ujar Jati malu-malu. Ada perasaan bersalah karena lama tidak menemui Kiai Akhmad Badawi.“Tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Kiai Akhmad Badawi.“Oh ya? Ngomong-ngomong, bagaimana dengan istrimu? Kenapa tidak diajak sekalian kemari?“Itulah yang ingin saya bicarakan dengan pak Kiai. Terus terang saya bingung sedang bingung sekali, pak Kiai….”“Lho! Memang ada apa?Jati tidak langsung menjawab pertanyaan Kiai Akhmad Badawi.Dia malah diam tercenung memikirkan persoalan yang tengah dihadapinya.“Ssss… saya ….saya sudah menjatuhkan talak kepada istri saya pak Kiai” ujar Jati lirih , lalu kembali diam menundukkan kepalanya.“Talak” Kiai Akhmad Badawi terkejut. “cerai maksudmu!”“Iiiiiiii… iya pak Kiai…!“Kalau sudah cerai ya sudah! Lalu, apalagi persoalannya?”“Saya………..saya…masih mencintai istri saya , pak Kiai..!”“Kalau begitu rujuk saja kalau memang istrimu masih mau sama kamu, Jati! Kenapa kamu bingung?”“Itulah persoalannya pak Kiai. Saya dan istri saya sudah gak bisa rujuk lagi, pak Kia”“Maksudmu?”Kiai Akhmad Badawi memandangi bekas santrinya itu tajam. Dia masih belum mengerti maksud pembicaraan bekas santrinya itu.“Sssss….saya.. saya sudah mentalaknya tiga kali, pak Kiai”
“Astagfirullahulazhim…! Kaia Akhmad Badawi tampak terkejut” kenapa bisa begitu , Jat?“Ssss…saya khilaf, pak Kiai…”“Apa kamu tidak tahu akibat dari talakmu ini?”“Saya tahu pak Kiai…”“Kalau sudah tahu, apalagi persoalannya?”“Sssss… saya ingin minta tolong kepada pak Kiai, saya sangat mencintai istri saya, pak Kiai. Saya tidak ingin berpisah dengan istri saya, pak Kiai. Ssss … saya…ingin kembali menikahi istri saya, pak Kiai…” tangis Jati memelas.“Nggak bisa begitu Jati, walaupun kamu sampai menangis darah sekalipun nggak mungkin bisa langsung menikahi istrimu lagi. Kecuali istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain (Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sadahmu, 2008 : 76-77).
Berdasarkan dialog pada kutipan di atas, Jati mempunyai watak
yang keras sedangkan Kiai Ahmad Badawi berwatak tegas.
j) Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku mengarah pada tingkah laku verbal berupa
kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran kepada
tindakan nonverbal dan fisik. Apa yang dilakukan orang dalam
mewujudkan tindakan dan tingkah laku dalam banyak hal dapat
dipandang sebagai pencerminan tingkah laku, reaksi, tanggapan,
sifat dan sikap yang mencerminkan kediriannya (Burhan
Nurgiyantoro, 2007 : 203)
Hal ini tergambar pada :
Jati baru akan menghentikan langkahnya manakala dia tidak tahu
lagi harus membuang waktunya siang itu, membuang
kekecewaan dalam hatinya yang kian tidak menentu. Jati benar-
benar bingung (2008 :89)
k) Teknik Pikiran dan Perasaan
Teknik ini digambarkan pada kalimat :
“Mas Jati kenapa diam saja?” Desis nastiti perih. Lagi-lagi Jati
tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dia malah meremas-remas
rambutnya sendiri. “Hentikan Mas! Mas aku sendiri tidak
sanggup menerima kenyataan ini, Mas …. Aku … Nggak
mungkin bisa hidup tanpamu, Mas…” (2008 : )
l) Teknik Arus Kesadaran
Teknik ini tergambar pada kalimat :
Ya Allah…! Dosa apakah hingga Kau timpakan cobaan seberat
ini kepada hamba? Ya Allah ...! Bagaimana mungkin hamba
sanggup menghadapi cobaan yang demikian beratnya jika tanpa
ada orang yang hamba kasihi di sisi hamba? Ya Allah ..!
(Muhammad B. Anggoro, Jangan Miringkan Sajadahmu, 2008 :
92).
m) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh digambarkan pada kalimat :
Bukan main gusarnya hati Jati saat itu. Seketika hatinya mendidih. Canda dan tawa mereka terlihat begitu mesra sekali di mata Jati. Bahkan saking asyiknya mereka bercanda tawa, Nastiti mau terpelanting ke kubangan sawah. Untung saja Hafizh segera merai tangan Nastiti sehingga dia tidak terjatuh ke kubangan sawah (2008 : 164).
n) Teknik Teaksi Tokoh Lain
Teknik reaksi tokoh lain digambarkan pada kalimat :
Tidak dapat dipungkiri , semakin lama cintanya semakin tertambat cinta Jati. Setiap kali mereka bertemu, harapan dan cinta dalam diri Nastiti semakin membuncah ruah. Dia tidak ingin laki-laki yang sangat dicintainya itu jatuh kedalam pelukan gadis-gadis lainnya di dusunnya maupun gadis-gadis manapun juga. Baginya Jati adalah cinta pertamanya yang tidak mungkin akan diabaikan begitu saja. Sebisa munkin dia harus bisa mendapatkan cintanya yang banyak diperebutkan gadis-gadis lain di dusunnya (2008 : 97-98)
o) Teknik Pelukisan Latar
Teknik pelukisan latar digambarkan pada kalimat :
Nastiti yang dibesarkan dari kalangan petani biasa tentu saja sangat kaget melihat kebiasaan-kebiasaan di rumah mertuanya. Dia biasa hidup pasrah, nrimo ing pandum, tidak pernah macam-macam dalam menjalani hidup maupun dalam mengerjakan sesuatu. Akan tetapi kali ini Nastiti harus dihadapkan pada
suasana yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dihadapi di rumah kedua orang tuanya (2008 : 7)
p) Teknik Pelukisan FisikTeknik pelukisan fisik digambarkan pada kalimat :
Dimata Hafizh, Nastiti adalah seorang wanita tercantik yang
pernah dilihatnya. Kecantikan wajahnya mampu membuat bulan
bersinar malu-malu. Keanggunannya mampu menyihir siapapun
juga yang melihatnya. Kerling matanya mampu meredupkan
cahaya bulan. Kemolekannya tidak jarang sering memuat orang
terpaku karena terpesonanya. Walau sekarang Nastiti seorang
janda. Di mata Hafizh, Nastiti tetap menawan. Tidak kalah jika
dibandingkan dengan gadis-gadis di dusunnya (2008 : 136).
e. Perwatakan
14) Tokoh Jati
Jati adalah seorang anak yang berbakti kapada kedua orang tuanya
terutama kepada bapaknya sehingga ia lebih memilih bapaknya
daripada istrinya sendiri. Jati sangat menyayangi bapaknya apalagi
setelah ibunya meninggal dunia.
“Tak tega rasanya Jati memperhatikan sosok bapaknya. Hatinya serasa dirobek-robek karena rasa sayangnya yang sangat mendalam kepada
bapaknya. Dia ingin sekali membahagiakan bapaknya. Dia ingin sekali menyenangkan hati bapaknya di hari-hari tuanya”, (2008 : 42).
Jati juga seorang muslim yang taat kepada Allah SWT terlihat dari
kalimat sebagai berikut :
”Pada kerlap-kerlip bintang kemintang di kejauhan sanalah dia seolah ingin mengadukan nasibnya. Tapi, Jati sadar tak mungkin dia melakukan hal itu. Perbuatan semacam itu jelas-jelas syirik karena telah meninggalkan keagungan-Nya. Tidak sepantasnya dia mengeluhkan semua persoalan hidup yang tengah membelenggunya itu kepada selain Allah”, (2008 : 61).
Digambarkan juga jika Jati takut melanggar syariah agamanya :
“Itulah yang membuat aku bingung, Nas. Aku nggak mungkin bisa
menikahimu lagi sebelum kamu menikah terlebih dahulu dengan orang
lain, Nas”, (2008 : 260)
Dalam novel ini Jati juga digambarkan sebagai seorang suami yang
terlalu tegas dan terlalu cepat dalam mengambil sikap dan keputusan
sehingga jatuhlah talak tiga kepada istrinya.
“Baik, kalau kau benar-benar nekat maka aku tak segan-segan lagi
menjatuhkan talak kepadamu, Nas! Ingat itu!” (2008 :18).
15) Tokoh Nastiti
Nastiti digambarkan sebagai seorang istri yang mencintai suaminya
namun kurang bisa menerima bapak mertuanya yang bersikap
kekanak-kanakan karena penyakit pikunnya.
“Ironisnya Nastiti malah tidak bisa menerima. Dia bahkan malah merasa sebal atau malah memusuhi bapaknya. Bisa jadi sikap Nastiti yang kurang dapat menyenangkan hati bapaknya itulah yang semakin membuat sikap bapaknya seperti anak kecil, sering berbuat aneh-aneh hanya sekedar untuk memancing perhatian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya” (2008 : 33).
Digambarkan juga jika Nastiti kurang bisa bersabar menghadapi
sikap bapak mertuanya, seperti dalam kalimat :
“Hanya saja, lagi-lagi memang patut disayangkan, ternyata Nastiti
malah tidak sabar menghadapi sikap bapaknya. Dia merasa tidak
sanggup lagi menghadapi sikap bapak mertuanya” (2008 : 34).
16) Tokoh Hafizh
Hafizh adalah seorang pemuda yang telah lama memendam cinta
kepada Nastiti sampai Nastiti menjadi janda pun Hafizh masih
mencintainya. Hafizh digambarkan sebagai seorang lelaki tampan
yang tenang dan sabar, juga seorang jebolan pesantren yang pantang
menyerah mendekati Nastiti yang masih belum bisa menerima pria
lain di hatinya.
“Hafizh sendiri bukannya tidak tahu. Dia tahu kalau Nastiti bersikap biasa saja terhadap dirinya. Tapi, hafizh tidak putus asa. Sebisa mungkin dia berusaha mengusir kemurungan Nastiti. Dengan begitu,dia bukan hanya akan dapat mengusir kemurungan Nastiti, melainkan sekaligus juga berusaha menarik perhatiannya” (2008 : 168).
Setelah menjadi seorang suami, Hafizh digambarkan sebagai suami
yang baik, terlihat dalam kalimat berikut:
“Hafizh adalah seorang suami yang baik, pengertian, penyabar kepada dirinya.Tidak pernah berlaku kasar kepada dirinya. Tidak pernah emosinya meledak-ledak walau dirinya telah melakukan kesalahan. Tidak pernah menegur terang-terangan walau dia telah berbuat salah. Hafizh selalu menunjukan kalau dirinya adalah sosok seorang suami yang menyenangkan, penyayang dan mau mengerti istrinya”(2008 : 352).
Hafizh juga seorang santri yang menginginkan istrinya taat kepada
Allah Swt dalam hal berjilbab, terlihat dalam kalimat :
“Sewaktu Nastiti kesal dan tidak lagi memakai jilbab, Hafizh tidak pernah langsung menegurnya namun Hafizh mengajak Nastiti berdiskusi untuk mengamati dan menilai tentang apa itu perempuan, apa yang tidak boleh dan harus dilakukan sebagai seorang muslimah. Aurat-aurat mana saja yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan dimuka umum hingga Nastiti pun mengenakan jilbabnya kembali” (2008 : 353).
17) Tokoh Ayah Jati / Bapak Mertua Nastiti
Ayah Jati digambarkan berwatak disiplin, keras dan tegas karena
dulunya ayah Jati adalah seorang tentara. Namun setelah tua ia mulai
pikun, sikapnya menjadi seperti anak kecil dan tidak jarang meminta
sesuatu yang tidak masuk akal seperti digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Jat…… ! Cepat bukain pintunya,Jat! Cepat………….! Kalau tidak
bapak jebol pintunya! Kamu dengar nggak, Jat?” (2008 : 8).
“Bapak nggak bisa tidur, Jat. Bapak barusan mimpi menakutkan.
Bapak takut, Jat. Bapak takut……!, Ayo temani bapak ngobrol!”
(2008 : 10).
Kepikunan bapak Jati mengakibatkan ia sering lupa jika Jati telah
bercerai. Digambarkan dalam kalimat berikut :
“Kenapa Nastiti nggak pulang-pulang? Suruh dia cepat pulang,Jat.
Bapak kan sendirian terus di rumah. Bapak sepi kalau nggak ada dia”
(2008 : 46).
18) Tokoh Kiai Ahmad Badawi
Kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang pernah menjadi guru
Jati sewaktu Jati mondok di pondok pesantren at-Tauhid. Kyai
Ahmad Badawi digambarkan sebagai seorang kyai yang perhatian
terhadap para santrinya, sederhana, rendah hati, memiliki ilmu agama
yang dalam namun tidak sombong.
Kesederhanaan Kiai Ahmad badawi digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Suasana di dalam rumah Kyai Ahmad Badawi sendiri juga tidak terlalu banyak berbeda seperti saat Jati masih mondok disana. Tetap masih seperti dulu, sebuah karpet berwana hijau tua tergelar di ruang tamu. Di sampingnya terdapat rak besar berisi puluhan kitab kuning karya ulama-ulama besar islam” (2008 : 72).
Kiai Ahmad Badawi juga seorang ulama yang taat kepada syariah
islam dan tidak mau anak didiknya berkompromi dengan aturan
agama untuk meluluskan keinginan Jati menikahi lagi istrinya, seperti
tertulis dalam kalimat:
“Nggak bisa begitu, Jati walau kamu sampai menangis darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung menikahi istrimu lagi kecuali jika istrimu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa menikahi istrimu lagi. Itupun kalau suami kedua dari istrimu itu mau menceraikan istrimu. Kalau tidak, kamu ya tetap tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat……….” (2008 : 75).
Juga dalam kalimat “Talak yang sudah kamu jatuhkan adalah talak bain kubro ,talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga bukan main-main. Mereka juga harus bercampur terlebih dahulu, Jat” (2008 :76).
19) Tokoh Ayah Nastiti
Ayah Nastiti digambarkan sebagai seorang yang sederhana,
bijaksana dan sangat menyayangi anaknya. Ayah Nastiti selalu
mendorong anaknya agar melupakan masa lalunya seperti
digambarkan dalam kalimat :
“Sudahlah, Nastiti! Kamu sudah nggak perlu lagi memikirkan Jati.
Percuma saja kamu memikirkan dia! Toh, tetap saja kalian nggak
akan bisa bersatu lagi” (2008 : 144).
Ayah Nastiti juga selalu membujuk anaknya agar mau melupakan Jati
dan menerima laki-laki lain seperti dalam kalimat :
“Boleh saja kamu masih mencintai mantan suamimu itu. Tapi, tetap
saja percuma Nastiti. Cobalah mulai sekarang kamu alihkan perasaan
cinta kamu kepada laki-laki lain, selain Jati, Nastiti” (2008 : 145).
Ayah Nastiti juga memberikan dukungan kepada Hafizh untuk
mendekati Nastiti. Hal tersebut tampak dalam kalimat :
“Dalam satu minggu ini pula, sudah tiga kali Hafizh datang berkunjung kerumahnya. Ayah Nastiti senang sekali melihat kedatangan Hafizh. Dia tahu kalau kedatangan Hafizh memang untuk menemui anaknya. Dia sama sakali tidak keberatan. Dia malah sangat mendukung hubungan Hafizh dan Nastiti” (2008 : 156).
20) Ibu Nastiti
Ibu Nastiti digambarkan sebagai seorang ibu yang sangat
menyayangi putri tunggalnya. Kasih sayang itu ditunjukan dengan
perhatian yang tercurah penuh pada Nastiti yang tergambarkan pada
pertanyaan berikut :
“Kamu kenapa Nas? Kok kelihatan kesal sekali? Ada apa? Kok pakai
nangis segala?” (2008 : 241).
“Ibu jadi semakin nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini kamu berubah
aneh. Apa kamu masih memikirkan Jati?” (2008 : 242).
21) Tokoh Aini
Aini digambarkan sebagi gadis cantik, baik hati yang diam-diam
mencintai jati. Kecantikan Aini digambarkan dalam kalimat berikut :
“Ya, tapi kamu bukan hanya baik, Aini. Kau juga cantik sekali Aini.
Kau anggun sekali…….” (2008 : 405).
Aini digambarkan sebagai gadis yang suka menolong dan penuh
perhatian terhadap Jati. Seperti dalam kalimat berikut:
“Iya bapakmu sakit. Tadi terjatuh di rumah. Untung ada Aini yang
menolong”, (2008 : 76).
“Aini yang melihat kesedihan Jati mendekat. Dia menghibur Jati agar
tetap sabar dan tabah menerima cobaan dari-Nya, (2008 : 183).
Perhatian Aini terhadap Jati terlihat dari seringnya Aini
membawakan makanan untuk Jati. Digambarkan dalam kalimat
berikut :
“Nggak ada apa-apa kok mas. Ini tadi aku menggoreng pisang, lalu
tiba-tiba aku teringat sama mas Jati, lalu aku kemari saja untuk
mengantarkan pisang goreng ini untuk mas Jati. Enak kok mas “
(2008 : 228).
Juga dalam kalimat :
Oh ya Mas. Ini tadi aku masak opor tahu sama sambal goreng.
Dicobain deh, mas. Enak nggak?” (2008 : 272).
22) Tokoh Ibu Aini
Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini digambarkan
dalam kalimat :
Wah…!itu juga masakan kesukaan ayahmu aini. Dulu waktu Ibu
naksir sama ayahmu, Ibu juga sering membuatkan pepes ikan untuk
ayahmu, aini. Jangan-jangan kamu juga begitu, ya?” (2008 : 376).
23) Tokoh Ferry (kakak Jati)
Ferry digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada
orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :
“Bagaimana keadaan Bapak, Jat?“ tanya Fery panik”. (2008 : 200).
24) Tokoh Nanang (kakak Jati)
Nanang digambarkan sebagai kakak yang baik dan berbakti kepada
orang tua, hal ini tergambar dalam kalimat berikut :
“Ya…! Kamu benar, Jat. Melihat kondisi Bapak yang seperti ini,
Bapak memang harus dirawat di rumah sakit, Jat“.(2008 : 201).
25) Tokoh Ningsih (kakak ipar Jati)
Ningsih digambarkan sebagai kakak yang baik, lembut, dan penuh
perhatian, hal ini digambarkan dalam kalimat berikut :
“Dik Jati, kenapa Dik Jati belum tidur ?”
“Belum kok Mbak, belum mengantuk”.
“Tapi, ini sudah malam, Dik Jati. Sudah jam dua belas malam lebih”.
(2008 : 206).
26) Tokoh Mantri Untung
Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan
bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :
“Tenang, Dik! Tenang! Biar saya priksa dulu!”. (2008 : 303).
f. Penggambaran Watak Tokoh
14) Penggambaran watak Jati
Penggambaran watak Jati secara langsung digambarkan oleh
pengarang sebagai seorang anak yang sangat berbakti kepada orang
tuanya terutama kepada bapaknya, dapat dibuktikan dalam kalimat
sebagai berikut :
“Dia memapah bapaknya itu sebentar dan mendudukan bapaknya di kursi ruang tengah. Sebentar kemudian, baru Jati pergi ke warung untuk membelikan obat untuk bapaknya. Tapi, kepergian Jati juga tidak lama. Tidak sampai lima menit kemudian, jati sudah kembali pulang kerumahnya sambil membawa obat yang diinginkan bapaknya” (2008 : 53).
Kasih sayang Jati terhadap bapaknya dibuktikan pada kalimat :
“Jati membantu membukakan obat berbentuk tablet itu sebentar.Dia juga segera berlari ke dapur untuk mengambilkan air putih. Semuanya itu dilakukannya dengan penuh kasih sayang. Perasaan iba dan sayangnya yang begitu mendalam terhadap bapaknya membuat Jati tidak tega melihat kesendirian bapaknya. Dialah yang selama ini merawat bapaknya. Sebab, bapaknya tidak mau tinggal bersama kedua orang kakaknya yang sekarang tinggal di kota” (2008 : 154).
Selain berbakti, Jati juga seorang yang lembut hatinya. Meski Jati
tidak mencintai Aini namun dia sungguh menyesal telah melukai hati
dan perasaan Aini. Maka Jati menemui Aini untuk meminta maaf dan
meluruskan kesalah pahaman diantara mereka. Kelembutan hati Jati
dibuktikan dalam kalimat :
“Aku benar-benar menyesal, Aini. Demi Allah, aku tidak bermaksud
menyinggungmu apalagi sampai membuatmu semarah ini padaku.
Terus terang, aku kemari hanyalah ingin mengharapkan maafmu,
Aini. Mau kan kamu memaafkanku?” (2008 : 285).
Jati digambarkan juga berwatak taat kepada syariah agama meski
awalnya ia juga ingin membelokan syariah agamanya. Hal itu
dilukiskan pada kalimat :
“Aku nggak tahu Nas. Demi Allah, aku benar-benar nggak tahu apa
yang harus aku lakukan agar kita dapat bersatu kembali seperti dulu.
Belenggu syariah telah menghalangi cinta kita. Dan, kita nggak
mungkin menerjang belenggu itu……..” (2008 : 260).
15) Penggambaran watak Nastiti
Penggambaran watak Nastiti secara langsung digambarkan oleh
pengarang dalam kalimat berikut :
“Dengar, mas! Apapun yang terjadi, nggak mungkin aku bisa
melupakanmu. Aku sangat mencintaimu, mas aku sangat
mencintaimu, mas…..!” (2008 : 85).
Nastiti digambarkan sangat mencintai Jati meski sudah tidak lagi
menjadi istrinya. Sungguh besar cinta Nastiti terhadap Jati hanya
karena dia kurang bisa bersabar menghadapi kepikunan bapak
mertuanya maka dia bercerai dari Jati. Hal itu sungguh sangat
disesalinya namun penyesalan selalu datang terlambat karena tak
mungkin dia bersatu lagi dengan Jati sebelum menikah lagi dengan
lelaki lain.
16) Penggambaran watak Hafizh
Watak Hafizh digambarkan sebagai seorang suami yang menyayangi
istrinya meski istrinya masih mencintai mantan suami pertamanya.
Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :
“Hafizh tahu kalau istrinya saat itu tentu sedang melamunkan Jati.
Namun lagi-lagi Hafizh sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Dengan penuh cinta kasih dia malah ikut duduk di samping istrinya
dan memandanginya dengan cemas” (2008 : 396).
Hafizh sangat besar pengertiannya terhadap Nastiti. Dilukiskan
dengan kalimat :
“Kamu nggak perlu meminta maaf seperti itu Nastiti. Aku maklum kok. Memang tidak mudah untuk melupakan orang yang sangat kita cintai. Apalagi mas Jati dulu adalah mantan suamimu. Tentu kamu merasa sulit sekali untuk melupakan mas Jati begitu saja. Iya kan, Nas 2008 :397).
17) Penggambaran watak Bapak Jati
Bapak Jati digambarkan berasal dari kalangan militer sehingga
membuatnya berwatak disiplin, keras dan tegas. Namun dihari tuanya
bapak Jati mulai pikun dan bersikap kekanak-kanakan, hal itu
digambarkan dalam kalimat:
“Ya biar saja! Toh, rumah ini juga rumahku sendiri. Aku tidak
numpang pada orang lain. Mau aku meludah sembarangan kek, nggak
kek, mau aku bakar rumahku kek, nggak kek. Apa peduli kamu?
(2008 : 23).
18) Penggambaran watak Kyai Ahmad Badawi
Penggambaran watak kyai Ahmad Badawi adalah seorang kyai yang
dalam ilmu agamanya dan tegas terhadap kelurusan syariah agama.
Digambarkan secara langsung oleh pengarang dengan kalimat:
“Tetap saja nggak bisa Jat. Ini semua sudah kertentuan Allah. Nggak bisa diakal-kali lagi. Kecuali kalau talak raj’i, kamu masih bisa rujuk atau menikahi istrimu lagi. Tapi, talak yang sudah kamu jatuhkan ini adalah bain kubro, talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang lain, Jat” (2008 :75 – 76).
“Kamu nggak bisa merekayasa hukum-hukum Allah sekehendak
hatimu, Jat. Perbuatanmu ini tentu sangat dimurkai Allah! Kamu
bukannya mendapat manfaat malah akan menambah dosamu yang
bertumpuk-tumpuk, 92008 : 76)
19) Penggambaran watak Ayah Nastiti
Penggambaran watak Ayah Nastiti adalah orang yang baik, bijaksana
dan tegas. Hal ini digambarkan dalam kalimat :
“Sudah, nggak usah menangis! Sekarang kamu harus bisa menetukan
sikap! Mau tetap menyiksa diri seperti ini terus, atau mau berpikir
realistis dan melupakan mantan suamimu itu!” (2008, 246)
20) Penggambaran wata Ibu Nastiti
Ibu Nastiti berwatak lembut, sabar dan penuh perhatian. Perhatian
Ibu Nastiti tercurah dalam kalimat :
“ Ada apa sih , Nas? Kenapa kamu sering uring-uringan sendiri?”
“ Kenapa diam saja , Nas ? apa pertanyaan Ibu tadi ada yang salah?”
( 2008 : 241).
Ibu Nastiti akhirnya mengeluh panjang. Tak tahu lagi apa yang mesti
diperbuat melihat sikap diam anaknya. Dia hanya bisa memandangi
anaknya itu penuh tanda tanya,( 2008 : 242 ).
21)Penggambaran watak Aini
Aini digambarkan berwatak sedikit manja namun penuh perhatian
terhadap jati seperti ketika Jati mengetahui Nastiti sudah menikah lagi
dan membuat Jati sangat frustasi, Aini selalu mengunjungi Jati dan
mencemaskan keadaan Jati. Hal tersebut dilukiskan dalam kalimat :
“Satu-satu orang yang paling mencemaskan dirinya adalah Aini. Tidak
bosan-bosannya dia mengunjungi Jati di rumahnya walau Jati enggan
menemuinya. Seperti pagi itu, Aini kembali menemui Jati. Dia terus
berteriak-teriak memanggil Jati sampai suaranya serak ( 2008 : 336 ).
Aini digambarkan dimata pengarang sebagai gadis yang setia dan
ikhlas menyayangi Jati. Terlihat dalam kalimat :
“Inilah perhatian dan cintanya kepada kekasihnya. Inilah bukti pengabdiannya kepada kekasih hatinya. Aini ingin sepenuhnya menemani kekasih hatinya di saat-saat ia membutuhkan dukungan dan perhatiannya.Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya untuk meninggalkan kekasih hatinya. Tidak mungkin dia akan tega melakukan itu semua………….( 2008 : 390 ).
22) Penggambaran watak ibu Aini
Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana. Hal ini dapat digambarkan
dalam kalimat :
“Masak apa sih, anak ibu ini ? Kok seneng banget kelihatannya hari
ini ?”goda ibu. (2008 : 376).
23) Penggambaran watak Ferry
Watak Ferry digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, bijaksana.
Dan berbakti pada orang tua Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :
“Bagaimana ceritanya sampai Bapak terkena gejala stroke seperti ini,
Jat? Lanjut Ferry (2008 : 200).
“Ya sudahlah, yang terjadi biarlah terjadi ! Aku juga turut prihatin atas
perceraiannmu dengan Nasiti (2008 : 201).
24) Penggambaran watak Nanang
Watak Nanang digambarkan sebagai seorang kakak yang baik, dan
bijaksana. Hal tersebut digambarkan dalam kalimat :
“Iya, Jat. Aku sama istriku juga prihatin sekali suatu mendengar berita
kalau kamu dan Nasiti telah bercerai”.(2008 : 201).
25) Penggambaran watak Ningsih
Watak Ningsih digambarkan sebagai seorang kakak ipar yang berhati
mulia, bijaksana dan penuh perhatian. Hal tersebut digambarkan dalam
kalimat :
“Memangnya ada apa sih, Dik ? kok kelihatannya suntuk sekali? Apa
lagi mikirin Bapak yang sedang dirawat di rumah sakit ?”(2008 : 207).
26) Penggambaran watak Matri Untung
Mantri Untung digambarkan sebagai seorang yang baik, tegas dan
bijaksana. Hal ini digambarkan pada kalimat :
“Maaf Dik, terus terang saya tidak berani menanganinya lagi, “ujar
Pak Untung akhirnya.
“Maksud Bapak?”.
“Teman Adik ini harus segera dibawa ke rumah sakit !Mumpung
belum terlanjur parah.(2008 : 303)
g. Identifikasi Tokoh
Identifikasi tokoh sangatlah penting bagi suatu analisis. Penting sebab
dari analisis tokoh tersebut dapat kita tentukan mana tokoh protagonist,
antagonis, tambahan, tokoh bulat, tokoh statis, tokoh berkembang, tokoh
tipikal dan tokoh netral.
Sebelum penulis uraikan lebih lanjut, perlu penulis ketengahkan
perbedaan tokoh dengan penokohan. Penokohan atau perwatakan adalah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.
Sedangkan tokoh adalan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
kelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (B. Rahmanto, 1998 :
213). Secara singkat dapat dikatakan bahwa tokoh menyangkut diri/fisik
sedangkan penokohan berkaitan dengan sifat-sifat kedirian tokoh.
Berpedoman pada pencermatan penulis terhadap kajian analisis
perwatakan novel “Jangan Miringkan Sajadahmu!” karya Muhammad B.
Anggoro dapat penulis rinci para pelaku cerita tersebut. Para tokoh cerita
dalam novel tersebut antara lain Jati, Nastiti, Kyai Ahmad Badawi,
Hafizh, Aini, Ibu Aini, Mas Ferry, Mas Nanang, Pak Untung, Mbak
Ningsih dan mbak Lastri serta ayah Jati (tidak disebutkan namanya),
kedua orang tua Nastiti yang juga tidak disebutkan namanya oleh
pengarangnya.
Berdasarkan landasan teori tentang tokoh dapat penulis simpulkan bahwa
tokoh utama adalah Jati dan Nastiti sedangkan selebihnya berkedudukan
sebagai peran tambahan. Secara universal, deskripsi tokoh/penokohan
hampir semua tokoh menganut sistem tokoh statis/ sederhana. Mungkin
hal ini disengaja oleh pengarang agar cerita tersebut lancar untuk dicerna
oleh setiap insan mengingat novel ini termasuk novel dakwah agama,
tentang hikmah qubro dan resikonya bila dilaksanakan tergesa-gesa hanya
menurutkan hawa nafsu belaka.
Pada novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro,
lebih banyak menggunakan teknik dramatik, karena novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro ini menuntut
pembaca secara langsung terlibat aktif dalam memahami perwatakan
tokoh cerita dan sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan
nyata.
Bagan Perwatakan “Novel Jangan Miringkan Sajadahmu”
Karya Muhammad B. Anggoro
No Nama Tokoh Jenis Tokoh Perwatakan/Karakter1 Jati Tokoh Utama
ProtagonisSeorang suami yang baik, taat beribadah, tegas dan berbakti kepada orang tua.
2 Nasiti Tokoh utamaAntagonis
Anak tunggal dan seorang istri yang miliki kesabaran.
3 Hafizh Tokoh TambahanProtagonis
Seorang lelaki yang sholeh, penyabar dan ulet.
4 Ayah Jati Tokoh TambahanProtagonis
Pensiunan tentara yang memiliki sifat disiplin, keras, tegas tetapi sudah pikun.
5 Kiai Ahmad Badawi
Tokoh TambahanProtagonis
Seorang ulama yang baik, rendah hati, bijaksana, tegas dan taat dalam menjalankan syari’ah agama.
6 Ayah Nastiti Tokoh TambahanProtagonis
Ayah yang baik, bijaksana dan tegas.
7 Ibu Nastiti Tokoh TambahanProtagonis
Ibu yang berhati lembut, sabar dan penuh perhatian.
8 Aini Tokoh TambahanProtagonis
Adik Hafizh yang berhati mulia, penuh pengertian dan setia.
9 Ibu Aini Tokoh TambahanProtagonis
Seorang ibu yang berhati mulia dan bijaksana.
10 Ferry Tokoh TambahanProtagonis
Kakak yang baik, bijaksana dan penuh pengertian.
11 Nanang Tokoh TambahanProtagonis
Kakak yang baik, bijaksana dan penuh pengertian.
12 Ningsih Tokoh TambahanProtagonis
Kakak ipar yang baik, lembut dan penuh perhatian.
13 Mantri Untung
Tokoh TambahanProtagonis
Seorang yang baik, bijaksana dan tegas