MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

231
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS Oleh MUHARRINA HARAHAP 077009017/LNG SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Transcript of MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Page 1: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS

Oleh

MUHARRINA HARAHAP 077009017/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

Page 2: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHARRINA HARAHAP 077009017/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 3: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Judul Tesis : MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO

Nama Mahasiswa : Muharrina Harahap Nomor Pokok : 077009017 Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing,

(Prof. Syaifuddin, M.A., Ph. D.) (Dr. Drs. Eddy Setia, M. Ed. TESP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

Tanggal lulus: 27 Juni 2009

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 4: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Telah diuji pada

Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP

2. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

3. Dr. Asmita Surbakti, M.Hum.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 5: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

ABSTRAK

Ketiga novel Kuntowijoyo yang dibahas dalam penelitian ini memiliki

kesamaan tema atau gagasan, yakni menggambarkan realitas budaya Jawa. Ketiga novel itu adalah Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan Satinah (WdS). Ketiga novel itu diciptakan oleh Kuntowijoyo.

Penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan menguraikan mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut. Untuk itu digunakan teori antropologi sastra dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode hermeneutika.

Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo terlihat melalui wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa dan pandangan hidup orang Jawa. Wujud sikap kosmologis itu tercermin melalui upacara tradisi seperti slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan ruwatan. Pandangan hidup orang Jawa diaktualisasikan pada empat hal yaitu raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut Selatan. Kemudian mitologi Jawa tersebut berkembang menjadi mitos-mitos masa kini yang telah bergeser maknanya seiring dengan perkembangan zaman.

Sementara itu, filsafat Jawa yang juga merupakan bagian dari mitos terungkap melalui tiga aspek yakni, metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Kemudian dijelaskan pula representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo melalui tokoh-tokohnya yang hidup dan berinteraksi dengan serangkaian mitos dan realitas. Simpulan dari tesis ini menunjukkan bahwa unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pada akhirnya bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa (javanisme). Kata kunci : mitos, kosmologi, dan nilai budaya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 6: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

ABSTRACT

Three novels created by Kuntowijoyo which are analysed in this research

have the same themes or ideas, namely to depict Javanese cultural reality. There are Pasar (P), Mantra Pejinak Ular ( MPU), and also Wasripin dan Satinah ( Wds). Those are created by Kuntowijoyo.

This research aims to analyse and elaborates mythological, philosophical, and cultural Javanese representative values in the novels. Therefore, it is used anthropological and semiotics theories. The method used in this research is hermeneutics.

The results of the analyses find that mythology in the novels seen passing the presentation of cosmology attitude from Javanese society and way of life from the novels. The presentation of cosmology attitude are reflected in traditional ceremony such as slametan, sesajen, cult the people, naming of children, and also sowan and ruwatan ritual. The way of life from Javanese society is to actualize at four aspects, i.e. a king as concentration strength cosmic, a palace as empire numinous central, Gunung Merapi, and Laut Selatan. Furthermore, the mythology of Javanese expands become myths today which have shifted it’s meaning through the period of time.

Besides, the philosophy of Javanese is also part of the myth expresses of passing three aspects namely, metaphysics, epistemology, and axiology. In the next, the explained cultural of Javanese representative values in the novels through the actors with a series of mythology and reality.

The conclusion shows that mythological, philosophical, and cultural Javanese values cannot be separated each other because the ending is about a unity, i.e. Javanese culture (javanisme).

Keywords : myth, cosmology, and social value.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 7: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan

hidayah-Nyalah tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul, Mitologi Jawa dalam

Novel-Novel Kuntowijoyo. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai

derajat magister pada Program Studi Magister (S2) Linguistik, Konsentrasi Analisis

Wacana Kesusastraan, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa

mengucapkan salawat dan salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Selama proses pengerjaan tesis ini, penulis memeroleh bantuan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Pembimbing Akademik dan juga

pembimbing I. Selama penulis menjadi mahasiswa di Program Magister, Program

Studi Linguistik beliau telah banyak memberikan pelajaran yang berharga. Kesabaran

dan ketelatenan beliau dalam membimbing dari penyusunan proposal hingga

selesainya tesis ini juga menimbulkan semangat yang sangat berharga bagi penulis.

Telah banyak arahan, masukan, dan motivasi yang diberikan beliau kepada penulis

dalam penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Drs. Eddy

Setia M.Ed. TESP, yang telah bersedia menjadi pembimbing II. Beliau dengan penuh

ketelitian dan perhatian memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi yang sangat

berharga demi kebaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan dorongan semangat

bagi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor

Universitas Sumatera Utara, Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

Dekan Fakultas Sastra, serta Ketua dan Sekretaris Program Magister Linguistik

Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan karyawan, yang telah memberikan

peluang dan berbagai kemudahan kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga

menyelesaikan tesis ini.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 8: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak

Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Beliau selalu bersedia membagi waktu untuk

berbincang-bincang tentang banyak hal yang memberikan pelajaran yang sangat

berharga bagi penulis. Pengalaman dan keterbukaan beliau telah membuka wawasan

penulis tentang hidup dan kehidupan. Sikap kebapakan dan pengayoman menjadi

teladan yang baik bagi penulis.

Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga

kepada ayahanda, ibunda, abang-abang, kakak-kakak, adik, ipar-ipar, dan orang-

orang tersayang di keluarga penulis yang selalu memberikan dorongan dan bantuan

selama penulis kuliah. Juga tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada teman-

teman satu stambuk di Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik USU,

khususnya personil Komunitas Larukina Gusroma yang baru saja didirikan, yaitu

Kak Lela, Kak Ruly, Kiki, Pak Gustaf, Bu Rosita, dan Bu Erma. Terima kasih juga

penulis ucapkan kepada kepala sekolah, rekan-rekan pengajar, dan siswa-siswi di

SMA Swasta Bandung serta seluruh pihak yang turut membantu yang belum tersebut

namanya pada kesempatan ini.

Medan, Juni 2009

Penulis,

Muharrina Harahap, S.S.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 9: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muharrina Harahap

Tempat, Tanggal Lahir : Labuhan Batu, 11 Maret 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Perintis I No. 18 Komp. Veteran Purn. ABRI

Medan Estate 20371

Pendidikan Formal :

1. SD Negeri No.101776 Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan (Tamat 03 Juni

1995)

2. SLTP Negeri 27 Medan (Tamat 01 Juni 1998)

3. SMU Negeri 11 Medan (Tamat 21 Juni 2001)

4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 25 Juni 2005)

5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007)

Pendidikan Nonformal :

1. Diklat Jurnalistik Suara USU di Medan (2003)

2. Diklat Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah (IMM) di Medan (2004)

3. Workshop Finalis Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) dan Mengulas

Karya Sastra (LMKS) di Cipayung Bogor (2008)

Pekerjaan :

1. Staf Pengajar di BT/BS Adzkia Medan (2003-2004)

2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Ta’dib Al-Syakirin, Titi

Kuning, Medan (2004-2005)

3. Staf Pengajar di Yayasan Pendidikan Azkiaschool Langsa, NAD (2005-2006)

4. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Swasta Bandung, Medan

Tembung (Sejak 2006)

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 10: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................. i

ABSTRACT ............................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP................................................................................................ v

DAFTAR ISI.......................................................................................................... vi

DAFTAR BAGAN ................................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... x

DAFTAR ISTILAH .............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 8

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 8

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 8

1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 9

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ........................................................................ 9

1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ...................................................................... 11

2.1 Kajian Pustaka...................................................................................... 11

2.2 Konsep ................................................................................................ 14

2.2.1 Nilai Budaya ........................................................................ 14

2.2.2 Budaya Jawa ........................................................................ 16

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 11: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

2.2.3 Mitologi ................................................................................ 19

2.2.4 Kosmologi ............................................................................ 22

2.2.5 Filsafat Jawa ......................................................................... 24

2.3 Landasan Teori ................................................................................... 28

2.4 Model Penelitian ................................................................................. 35

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 38

3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 38

3.2 Sumber Data ........................................................................................ 43

3.3 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 43

3.4 Teknik Analisis Data ........................................................................... 44

BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRAN PENGARANG ............................................................. 47 4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo ......................................... 47

4.1.1 Pasar .......................................................................................... 47

4.1.2 Mantra Pejinak Ular .................................................................. 48

4.1.3 Wasripin dan Satinah ................................................................. 51

4.2 Pemikiran Tentang Sastra .................................................................. 55

4.2.1 Sastra Profetik ............................................................................ 61

4.2.2 Dialektika Dua Dunia ................................................................. 70

BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO ................................................................................. 74

5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa ................................................... 74

5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa .............................. 78

5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa ................................................... 88

5.2 Mitos-Mitos Masa Kini ....................................................................... 107

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 12: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB VI FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO ............................................................................... 118

6.1 Metafisika ......................................................................................... 119

6.2 Epistemologi .................................................................................... 123

6.3 Aksiologi .......................................................................................... 127

BAB VII REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVEL- NOVEL KUNTOWIJOYO ................................................................ 133

7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo ..................... 133

7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan .......................................... 136

7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam ........................................... 147

7.1.3 Hubungan Manusia dengan Masyarakat ................................. 155

7.1.4 Hubungan Manusia dengan Orang Lain ................................ 162

7.1.5 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri ........................... 164

7.2 Kontekstualisasi ............................................................................... 174

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 176

8.1 Simpulan ......................................................................................... 176

8.2 Saran ................................................................................................. 179

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 180

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 13: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman

1. Model Penelitian ....................................................................................... 35

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 14: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Foto dan Biografi Pengarang...................................................................... 185

2. Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo.......................................................... 188

3. Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo.................................................. 212

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 15: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

DAFTAR ISTILAH

Abstraksi : proses/perbuatan memisahkan. Adikodrati : alam gaib Aksiologi : kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia ; kajian tentang

nilai.

Akal : daya pikir untuk memahami sesuatu. Animisme : kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu,

sungai, gunung, dsb.)

Dialektik : seni berpikir secara teratur dan logis Dialektika : hal berbahasa dan bernalar dengan dialog untuk menyelidiki suatu

masalah.

Ekologi : ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).

Ekspansif : dapat/cenderung meluas. Ekstase : keadaan di luar kesadaran diri (bersemadi). Epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar/batas-batas pengetahuan. Epos : cerita kepahlawanan. Filosofis : berdasarkan filsafat. Filsafat : pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat

segala yang ada, sebab, asal-usul dan hukumnya.

Gaib : tidak kelihatan ; tersembunyi ; tidak nyata. Intuisi : daya atau kemampuan mengetahui/memahami sesuatu tanpa

dipikirkan atau dipelajari ; bisikan hati.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 16: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kejawen : aliran kebatinan masyarakat Jawa ; berasal dari kata ke-jawa-an. Kosmologi : ilmu (cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan

hubungan ruang waktu dari alam semesta ; ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagad raya ; ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan.

Kosmos : jagat raya ; alam semesta. Magi : sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan

gaib yang dapat menguasai alam semesta.

Magis : bersifat magi ; berkaitan dengan hal/perbuatan magi. Metafisika : ilmu tentang hal-hal yang tidak kelihatan (metafisik). Mistik : hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Mistis : bersifat mistik. Mite : cerita sejarah, dipercaya benar-benar terjadi, suci, dan dewa. Mitologi : ilmu tentang sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci

mengenai kehidupan dewa/makhluk halus dalam suatu kebudayaan.

Mitos : cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul alam, manusia, bangsa, tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

Monisme : pandangan bahwa semesta itu merupakan satu kesatuan tunggal. Pandangan : konsep yang dimiliki seseorang/golongan dalam masyarakat yang

bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini.

Patrap : tata aturan yang mengatur kehidupan masyarakat Jawa. Pedoman : kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan ; hal-hal pokok yang menjadi dasar.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 17: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Penalaran : pertimbangan tentang baik-buruk ; akal budi. Priayi : orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya

dianggap terhormat ; misal golongan pegawai negeri. Profetik : konsep sastra yang digagas Kuntowijoyo yang memusatkan

penciptaan karya sastra pada perilaku nabi. Rasio : penalaran menurut akal sehat ; akal budi ; nalar. Ritual : berkenaan dengan ritus. Ritus : tata cara dalam upacara keagamaan Struktur : susunan yang memperlihatkan tata hubungan antarunsur pembentuk

karya sastra ; rangkaian yang tersusun terpadu.

Strukturalisme : doktrin/metode yang menganggap objeknya bukan unsur yang terpisah-pisah, melainkan sebagai gabungan beberapa unsur.

Totem : benda dan binatang yang dianggap suci dan dipuji. Totemisme : sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilinial

adalah keturunan dewa-dewa. Transenden : di luar segala kesanggupan manusia ; luar biasa. Transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 18: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau sebaliknya

tidaklah begitu sulit jika dilihat dari sudut pandang antropologi, terlebih setelah

munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling

hubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun

pada tataran kajian fenomena empiris, menjadi semakin jelas dan kuat. Sebagai

sebuah disiplin yang perkembangannya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan

dalam bentuk etnografi, tulisan atau karya tulis tentang kebudayaan satu atau

beberapa suku bangsa tertentu, maka antropologi budaya memang tidak akan pernah

terlepas dari sastra, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal

ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu

masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu, ataupun sebagai salah satu unsur

kebudayaan yang sedang dipelajari. Lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan

implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan

mengembangkan antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin tidak

cuma bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat

memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan

masyarakat tertentu.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 19: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Memang, dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer

seperti mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnya

merupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable). Suatu hal

yang lumrah apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para ahli

antropologi beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar

atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai

sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan sebagai dokumen kultural.

Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persepsi-

persepsi pengarang terhadap dunia ─ terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial ─

telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.

Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi

sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe

masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi

analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Tradisi pertama, menelusuri jejak-

jejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai

ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra.

Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada

umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini

tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Ratna, 2004:354).

Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila

pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk

menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 20: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala

sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas

bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu

sendiri.

Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos

pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang

pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan

sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan

begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan

suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat

mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang

telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang

mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos

pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat.

Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan

cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian

alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme,

tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama,

adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak

penganut spiritual. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra.

Mitologi Jawa yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini hendaknya

ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang dunia mite orang Jawa. Beberapa mite itu

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 21: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

menjadi mitos bagi kelayakan hidup perseorangan dalam masyarakat yang mewakili

mite tesebut. Mite orang Jawa yang paling menonjol adalah cerita wayang yang

bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Mungkin kalau dilacak lebih jauh

dunia mite orang Jawa berasal dan boleh jadi berakar pada mitologi Hindu yang

membawa tradisi cerita kedua epos tersebut.

Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra terjadi dalam

konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi,

konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan

dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120). Sastra

yang ditulis pada suatu waktu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma

dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku warga

masyarakat dan menyapa pembaca yang juga sama-sama dengannya merupakan

warga masyarakat tersebut. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk

menganalisa sistem masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk.

(1989:26) menyatakan bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam

menganalisa sistem masyarakat.

Sumardjo (1982:39), pernah menyatakan tentang adanya kebangkitan kembali

kebudayaan Jawa dalam kesusastraan Indonesia. Maksudnya, karya sastra dapat

dipandang sebagai sumber informasi tentang manifestasi budaya Jawa. Menurut

Suseno (2003:1), salah satu ciri khas kebudayaan Jawa tersebut terletak pada

kemampuan luar biasanya mempertahankan keasliannya di tengah membanjirnya

gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 22: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi

kebudayaan Jawa hanya akan menemukan identitasnya. Kebudayaan Jawa, termasuk

filsafat Jawa, merupakan bagian dari kebudayaan luhur masyarakat dan bangsa yang

harus tetap lestari dan berkembang.

Sebagai salah satu aspek kebudayaan, novel selalu hadir dan dapat dilihat dari

dua sisi, yaitu apa yang dikisahkan dan bagaimana pengarang menuturkan kisah.

Lalu, Chatman (1978:19) membagi studi terhadap cerita (fiksi) ke dalam dua bagian

pokok. Pertama, studi isi (content) dan kedua, studi wacana (discourse). Baik isi

maupun cara pengarang menyampaikan isi dalam novelnya, secara serempak akan

dilihat dalam satu kesatuan pembahasan.

Menurut Rosidi (1995:119) adalah wajar apabila dalam karya-karya seorang

sastrawan ditemukan latar belakang kehidupan, pendidikan, dan kebudayaan

penulisnya. Dan keragaman latar belakang budaya para penulis Indonesia telah

memberikan warna-warni mozaik yang menyusun keindahan sastra Indonesia.

Dilihat dari segi budaya yang mengasuhnya, Kuntowijoyo hidup dalam dua

budaya besar: Yogyakarta dan Surakarta. Sebagaimana yang dikatakan Wangsitalaja

(Anwar, 2007:9), kedua budaya itu sama-sama berlatar kejawen, tetapi memiliki

sejumlah perbedaan bahkan pertentangan. Budaya Yogyakarta bersifat “serba

seadanya-gagah-maskulin-aktif”, sedangkan budaya Surakarta bersifat “kenes-penuh

bunga-feminin-kontemplatif”. Kedua warna budaya yang kental ini merasuki karya-

karya Kuntowijoyo, berdialektika dengan budaya Barat dan peradaban Islam yang

intensif digeluti dan dihidupinya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 23: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Sastra Indonesia sendiri, yang mula-mula memperlihatkan pengaruh sastra

Belanda yang kuat, seperti nampak pada karya para pengarang Angkatan Balai

Pustaka dan Pujangga Baru, kemudian memperlihatkan kaki-langit yang lebih luas;

sementara pengaruh sastra Islam melalui bahasa Arab ─ meskipun tidak menonjol ─

tetap merupakan nada dasar, kecuali pada beberapa orang pengarang seperti Hamka.

Kehidupan, kepercayaan, cita-cita yang terdapat dalam Islam, dengan mudah akan

dijumpai dalam berbagai karya sastra Balai Pustaka, bahkan juga karya sastra para

sastrawan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45. Meskipun untuk waktu yang lama

keislaman ini tidak muncul secara sadar dan menonjol, tetapi ia tetap jelas menjadi

latar belakang hampir setiap karya sastra yang ditulis. Pada dua-tiga dasawarsa yang

terakhir ini, nampak bahwa keislaman telah muncul secara lebih sadar dalam

kehidupan sastra Indonesia seperti tampak dalam karya-karya Bahrum Rangkuti,

A.A. Navis, dan Kuntowijoyo.

Keanekaragaman karya sastra nasional Indonesia tidaklah memperlihatkan

mozaik yang berdasarkan agama saja, melainkan juga berdasarkan keanekaragaman

budaya dan kesenian. Kehidupan masing-masing suku bangsa yang mempunyai adat-

istiadat yang berlainan, jenis kesenian yang berbeda, memberi kemungkinan untuk

memperkaya keindahan mozaik itu.

Keanekaragaman budaya tersebut ditemukan dalam novel-novel Kuntowijoyo.

Novel-novel Kuntowijoyo ini bukan jenis karya sastra yang meremehkan gagasan

atau pesan yang ingin disampaikan. Gagasan dan pesan bergulir dalam jalinan narasi

realis yang berupaya menggali makna hidup dalam dinamika sejarah dan perubahan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 24: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sosial budaya masyarakat. Sebagai tambahan, Anwar (2007:53) mengemukakan

bahwa karya Kuntowijoyo dikatakan sebagai karya di mana “visi menggelindingkan

narasi”.

Kuntowijoyo merupakan figur yang menunjukkan realitas budaya Jawa.

Dilihat dari latar belakang pendidikannya beliau adalah sejarawan. Akan tetapi,

karya-karyanya menunjukkan bahwa beliau juga merupakan cendikiawan, agamawan,

dan budayawan. Gelar tersebut melekat karena ia banyak sekali memberikan

kontribusi pada bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial, dan pengintegrasian ilmu

agama dan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Dalam membicarakan

tentang alur pemikiran yang dilontarkan beliau, dapat dibahas dari sastra yang ia

goreskan pada karya-karyanya. Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya

tersebut melalui karya-karyanya yang bercorak transendental (religius) dan profetik

(mengutamakan kebebasan manusia). Sastra yang bercorak transendental dapat dilihat

dalam novelnya Khotbah di Atas Bukit (1976), Impian Amerika, Dilarang Mencintai

Bunga-Bunga, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, serta kumpulan puisinya yang

berjudul Suluk Awang-Uwung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik yakni,

Pasar, Mantra Penjinak Ular, Makhrifat Daun Daun Makhrifat, dan yang terakhir

Wasripin dan Satinah. Novel Wasripin dan Satinah ( 2003 ) merupakan karya

terakhir Kuntowijoyo sebelum virus meningo enchepalitis merenggut nyawanya pada

tanggal 22 Februari 2005.

Novel-novel Kuntowijoyo yang akan dianalisis pada kesempatan ini adalah

Pasar (1972, terbit ulang 1994 & 2002), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 25: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dan Satinah (2003). Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Jawa dalam karya sastra

tersebut, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti tentang mitologi Jawa

dalam novel-novel Kuntowijoyo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

1. Bagaimanakah mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?

2. Bagaimanakah filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?

3. Bagaimanakah representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel

Kuntowijoyo?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memperkaya khasanah pembicaraan atau kajian sastra dan budaya.

2. Memaparkan keterikatan atau hubungan kebudayaan dengan sastra.

3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan novel-novel Kuntowijoyo secara luas

dan mendalam.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 26: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

2. Menganalisis filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

3. Menguraikan nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk

merangsang penelitian sastra Indonesia yang selama ini berfokus pada

penelitian intrinsik dan struktural. Penelitian ini diharapkan dapat

membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya

Jawa dan novel-novel Kuntowijoyo.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah

pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia dan puitika sastra

Indonesia.

3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitian-penelitian

berikutnya, baik penelitian novel-novel Kuntowijoyo maupun penelitian

karya sastra Indonesia lainnya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 27: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membantu masyarakat untuk memahami nilai budaya, mitos, dan filsafat

Jawa.

2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan

kebudayaan daerah masing-masing.

3. Memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 28: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian

sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku.

Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sabagai berikut.

Tanggapan terhadap karya Kuntowijoyo melalui artikel, dimulai Prihatmi di

Kompas pada tanggal 13 Oktober 1971 lewat “Sorotan Selintas atas Khotbah di Atas

Bukit” dan tahun 1988 beliau juga menulis makalah serupa yaitu, “Karya

Kuntowijoyo: Menolak Ratu Adil dan Gagasan Nietsche Tentang Manusia Agung”.

Kemudian, Mangunwijaya pun menulis artikel dalam Berita Buana pada tanggal 02

Desember 1986 yang berjudul “Roman Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo,

Beberapa Catatan”. Lalu, Pinem menulis di koran yang sama pada tanggal 07

Februari 1989. Artikel itu bertajuk “Suluk Awang-Uwung, Renungan Sufistik

Kuntowijoyo”. Tidak mau ketinggalan, Sumardjo juga menulis “Khotbah di Atas

Bukit Karya Kuntowijoyo” di Pikiran Rakyat tanggal 2 Juli 1976.

Terakhir,Wangsitalaja menulis artikel tentang Kuntowijoyo ini di majalah yang sama

dan waktu yang bersamaan pula. Masing-masing dimuat di Horison dan pada

Februari 2001, berjudul “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dan “Kuntowijoyo:

Bermula dari Sebuah Surau”.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 29: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Penulisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Jabrohim yang berjudul Pasar

dalam Perspektif Greimas, terbit tahun 1996. Buku ini merupakan naskah laporan

penelitian beliau yang diformat ulang oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Jabrohim menggunakan pendekatan struktural A.J. Greimas terhadap novel Pasar

karya Kuntowijoyo dengan menggunakan skema aktan dan struktur fungsionalnya.

Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami struktur fungsional novel

Pasar tersebut.

Wan Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten yang juga pengamat

sastra, menulis buku yang berjudul Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya, terbit tahun

2007. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Kuntowijoyo:

Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999), Khotbah

di Atas Bukit (1971), Pasar (1972), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin dan

Satinah (2003). Juga dibahas tiga kumpulan puisi Kuntowijoyo : Suluk Awang-

Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Buku

yang ditulis Anwar ini sangat membantu penulis dalam memahami novel-novel

Kuntowijoyo.

Selanjutnya, Maria A. Sardjono menganalisis paham Jawa lewat bukunya

yang berjudul Menguak Falsafah Hidup Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir

Indonesia, terbit tahun 1995 di Jakarta. Metode pendekatan yang digunakan oleh

Maria A. Sardjono adalah deskripsi fenomenologis dan analisis filosofis. Buku ini

memberi kesimpulam bahwa para pengarang dalam karya-karya itu banyak

menampilkan pribadi-pribadi manusia Jawa yang memandang ke dalam diri mereka

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 30: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sendiri, yang lebih asyik mencari jalan keluar dalam menanggulangi kenyataan atau

pengalaman yang dihadapinya daripada mengenai gambaran tentang masalah-

masalah sosial yang lebih luas. Sedikit banyaknya penelitian ini akan mengacu pada

buku tersebut, terutama untuk memahami budaya Jawa yang terdapat dalam novel-

novel Kuntowijoyo.

Djoko Suryono, tahun 1998 pernah menulis tentang budaya Jawa dalam

disertasinya yang berjudul Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi

Indonesia. Beliau menggunakan pendekatan sosiokultural dalam memahami nilai-

nilai budaya Jawa. Tesis tersebut menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini,

terutama mengenai sosiokultural masyarakat Jawa.

Sementara itu, pembicaraan tentang mitologi Jawa terhadap karya sastra

sudah dilakukan oleh Zaidan A. Rozak dkk. yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, Jakarta tahun 1997. Penelitian itu berjudul Mitologi Jawa

dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970. Penelitian ini memfokuskan mitologi

pada wayang sebagai kerangka acuan dan arah orientasinya. Penelitian ini dapat

membantu penulis memahami penerapan mitologi Jawa terhadap karya sastra.

Dengan demikian, diketahui bahwa pembicaraan tentang mitologi terhadap

novel-novel Kuntowijoyo, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh

karena itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang mitologi Jawa dalam

novel-novel Kuntowijoyo.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 31: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

2.2 Konsep

2.2.1 Nilai Budaya

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat

berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan

karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya

langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan

masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil.

Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu

sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia,

dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia.

Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat

ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk

kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya

tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu

rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar

dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna

penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak

berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat

dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam

etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem

hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 32: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai budaya daerah

tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah

budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya

masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan

sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret,

manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya

orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan,

lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.

Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan

bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut Kluckhohn, yaitu :

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia,

2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia,

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,

4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,

5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya

(Koentjaraningrat, 2002:191).

Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang

sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga

merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep

ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan

warga masyarakatnya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 33: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

2.2.2 Budaya Jawa

Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak

dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat

diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat

bahwa kata budaya sebagai suatu perkenbangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya

dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’.

Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa.

Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah

antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai

sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama.

Jawa (Java), atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau yang

terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa (Javanese) adalah orang

yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian

tengah dan timur Pulau Jawa (Suseno, 2003:15). Kemudian, Geertz (Sani, 2008:7)

membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu kaum abangan,

priyayi, dan santri. Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi

sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur

petani di antara penduduk. Lalu, priyayi adalah kelompok yang sikapnya

menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur

birokrasi, sedangkan kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi

Islam dan sinkretisme pada umumnya berhubungan dengan kaum pendatang dan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 34: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

petani. Klasifikasi masyarakat Jawa ini menjelaskan budaya hierarkis masyarakat

Jawa.

Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang

Jawa tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di

Cirebon Jawa Barat, di banyak kepulauan Indonesia kini sampai Irian Barat setelah

transmigrasi, di semenanjung Malaysia, di Muangthai, Birma, dan Vietnam yang

dibawa oleh Jepang sebagai romusha, di Suriname, Kurasao, Kaledonia Baru sejak

zaman penjajahan sebagai tenaga perkebunan. Yang amat sedikit diketahui adalah

orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka, dan Asia Tenggara.

Menurut Partokusumo (Setyodarmodjo, 2007:73), salah seorang pakar budaya

dari Lembaga Javanologi, jumlah orang Jawa di berbagai tempat di penjuru dunia itu

tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di seluruh kepulauan

Indonesia ± 60% dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah

lebih dari 160 juta.

Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak merupakan

sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya keanekaragaman yang sifatnya

regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional

kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan

tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga,

kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994:25).

Oleh karena budaya yang tidak homogen tadi, maka sifat tablat

pendukungnya berbeda satu sama lain. Semua mempunyai individualitas yang kuat,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 35: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

tidak ada yang khas ‘Jawa’. Ada yang polos, dan ada yang berbelit-belit, ada yang

halus, ada yang kasar, ada yang berterus terang, ada yang malu-malu, ada yang

bersikap seenaknya, dan ada yang bekerja fanatik, serta ada yang tidak bertindak

sendirian dan yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya (Suseno, 2003:31).

Mengingat kenyataan bahwa kebudayaan Jawa tidak homogen dan sifat orang

Jawa berbeda satu sama lain, maka watak dan tingkah laku orang Jawa tidak dapat

dipukul rata. Meskipun demikian, kiranya patut dikemukakan sifat-sifat orang Jawa

hingga sekarang masih banyak dilestarikan, yakni sifat yang lebih umum namun tetap

khas Jawa antara lain : rukun, damai, hormat, ramah, tenggang rasa (tepa selira), dan

keselarasan (harmonis). Sifat-sifat ini membangkitkan kemampuan memahami

perbedaan, tetapi tetap berpegang pada pendapat dan pendiriannya sendiri tanpa

menimbulkan suatu ketegangan. Inilah yang disebut kebijaksanaan. Sifat-sifat itulah

sebagai ‘kiblat’ manusia Jawa mengenal asal usulnya di mana pun mereka berada.

Hardjowirogo (1984:7) juga menambahkan bahwa semua orang Jawa itu

berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa

Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam

penghayatan hidup budaya mereka, baik yang tinggal di Pulau Jawa maupun yang di

tempat lain, bahkan yang tinggal di Suriname, orientasi nilai mereka tetap terarah ke

kota Solo dan Yogya. Oleh sebab itulah, kesatuan budaya yang dipegang oleh orang

Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini, mau ataupun tidak, mempunyai

pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 36: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Bagi orang Jawa ‘budaya’ bukanlah konsep antropologi yang samar-samar,

melainkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan itu disadari benar. Hidup

yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, mengetahui dan memperlihatkan

tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas, mempertahankan

tatanan yang ada, manusia dan benda-benda berada di tempat masing-masing yang

teratur, dapat diramalkan, dan tanpa gangguan (Mulder, 2005:42).

Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat

tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan

hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya, baik secara langsung

maupun tidak langsung serta disadari atau tidak. Dari pengalaman hidup ini,

kemudian diperoleh citra lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai

apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah definisi yang dituliskan oleh Partokusumo

tersebut bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi

manusia Jawa yang merangkum kemauan, cita-citanya, idenya, maupun semangatnya

dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.

2.2.3 Mitologi

Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie,

yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang

pokok ceritanya sama; studi tentang mitos.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 37: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Mitos juga berasal dari kata myth (Inggris), mythe (Prancis), dan mythos

(Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan

legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa

lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita

anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos

diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita,

maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai

cerita yang mempunyai struktur berarti mitos dibangun oleh satuan-satuan minimal

yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur cerita mitologis sehingga

struktur itu sendiri mengandung makna.

Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu

sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa

mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang

membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu

ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat

berlaku hanya karena penganutnya memercayai sebuah mitos. Dan ketakutan manusia

akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang

sebenarnya.

Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang

bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang

ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali

ditinggalkan masa itu, ia tak akan berlaku lagi.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 38: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Mitos bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi

pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat

ini. Namun, mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama

atau dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan

dengan aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan

bermakna, serta menjadi pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan

tempat tinggalnya.

Antropolog sosial, seperti Malinowski dalam buku William A. Lessa dan

Evon Z. Vogt yang berjudul Reader In Comparative Religion (1979:101) berpendapat

bahwa mitos sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukanlah semata-

mata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos

merupakan daya aktif dalam kehidupan masyarakat primitif. Atas dasar ‘realitas’

mitos menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada (Minsarwati,

2002:27).

Senada dengan Malinowski, Anderson (2008:10) mendefinisikan mitologi

sebagai seperangkat simbol-simbol nasional atau kultural yang membangkitkan

kesetiaan yang boleh dikatakan seragam pada masyarakat, baik secara horizontal

lintas wilayah maupun secara vertikal lintas kelas.

Simbol-simbol nasional dan kultural tersebut tercermin dalam sebuah karya

sastra. Karya sastra yang merupakan produk kebudayaan menyimpan berbagai mitos

kedaerahan masing-masing. Kebudayaan Jawa, misalnya penuh dengan mitologisasi

(memitoskan), sakralisasi (mengkeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 39: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sesuatu sebagai misteri). Kesemuanya itu merupakan mitologi yang dapat ditemukan

pada orang, tempat, waktu, dan peristiwa. Hal tersebut terlihat menonjol dalam nama,

kelahiran, waktu, keberuntungan, angka, dan huruf.

Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan manusia melalui bentuk

upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti

menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi

masyarakat Jawa, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos tidak

hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model

tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan mengulangi

kembali apa yang telah Tuhan dan alam supranatural kerjakan pada waktu permulaan.

Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Jawa bukan merupakan pemikiran

intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual

dan mental untuk berhubungan dengan yang Illahi.

2.2.4 Kosmologi

Secara etimologi kosmologi berasal dari istilah Yunani, yaitu kosmos yang

berarti susunan, atau ketersusunan yang baik. Menurut Bakker (1995:27) kosmologi

adalah ilmu pengetahuan tentang alam ataupun dunia. Titik tolak konkret kosmologi

adalah kesatuan manusia dan dunia. Pemahaman antara manusia dan dunia dalam

antropologi ini selanjutnya dikatakan kosmologi yang bersifat metafisik.

Hal itu sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari Antropologi

karena setiap struktur metafisik dalam substansi-substansi duniawi, pertama-tama

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 40: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

direalisasikan dalam manusia dengan cara paling jelas dan sadar sejauh substansi

lainnya (dalam rangka dunia) merupakan bayangan dan pemikiran manusia yang

berkurang. Namun, kosmologi juga berbeda karena secara implisit terkandung

kesimpulan-kesimpulan tentang substansi-substansi dunia lainnya, tetapi dalam

kosmologi substansi-substansi dunia lain itu termasuk obyek penyelidikan secara

langsung (Bakker, 1995:38).

Kosmologi selalu berhubungan dengan lingkungan, salah satunya adalah

ekologi. Ekologi yang diartikan sebagai ilmu tentang lingkungan hidup, merupakan

ilmu majemuk atau disiplin lintas semu (an inter diciplinary study). Ekologi memiliki

keistimewaan di antara ilmu-ilmu spesifik, terutama yang eksakta, sebab dengan jelas

berciri normatif. Ekologi bukan hanya mempelajari struktur alam dunia, tetapi juga

menentukan norma-norma untuk memelihara dan mengembangkan.

Pemahaman antara kosmologi dan ekologi menambah pengertian bahwa

gagasan pengalaman-pengalaman hidup manusia merupakan fungsi dari kualitas alam

lingkungan yang terlihat dari perjuangan antara manusia dengan alam. Melalui sudut

ini akan terlihat bahwa sekalipun kosmologi bukan ilmu praktis yang dapat

menyajikan pemecahan untuk persoalan ekologi, tetapi kosmologi dapat menyediakan

dasar tempat suatu filsafat lingkungan dapat dibangun. Kosmologi menjadi ruang

dialog ekologi dan keduanya bersama-sama memberi pengertian skala besar dan skala

kecil tentang oikos.

Berdasarkan uraian di atas, kerjasama antara kosmologi dengan ekologi,

maupun antropologi ternyata mampu memahami keberadaan alam semesta konkret,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 41: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

baik itu asal mula, gejala-gejala, substansi-substansi, serta sebab-akibat yang

ditimbulkannya, maka sangat relevan sekali apabila kosmologi ini sebagai bagian dari

ilmu pengetahuan alam yang berusaha tampil untuk menunjukkan bahwa ilmu

pengetahuan tetap mengacu pada manusia makhluk dengan kecerdasan dan kesadaran

diri.

Sehubungan dengan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat

dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung ataupun tidak,

dan disadari ataupun tidak ia akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan

lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya. Dari

pengalaman hidup ini kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang

memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi

kebaikan hidupnya. Keberadaan kosmos dengan keteraturannya mengantarkan pada

pemahaman yang lebih realistis, bahkan alam dengan gejala-gejala yang muncul pasti

ada yang mengatur dan mengendalikan.

2.2.5 Filsafat Jawa

Brown dalam bukunya yang berjudul Psycolinguistics (1980:11) berpendapat

bahwa salah satu hakikat bahasa adalah dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk

beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kemampuan

berbahasa manusia dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka

hilanglah kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 42: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

generasi berikutnya. Dengan bahasa pula, manusia dapat berpikir secara sistematis

dan teratur.

Anderson (2008:10) juga menambahkan bahwa bahasa berhubungan erat

dengan budaya tempat bahasa itu berada. Kelahiran bahasa itu bergandengan dengan

kelahiran budaya. Melalui budaya segala cipta kognisi seseorang dapat dimiliki oleh

orang lain dan dapat juga diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sejak adanya

manusia, ada dua evolusi yang bersamaan, yaitu evolusi fisiologi (berkenaan dengan

tubuh) dan evolusi budaya. Keduanya diikuti pembesaran otak manusia dan perluasan

pemakaian bahasa. Jadi, dapat dipastikan bahwa manusia, bahasa, dan budaya lahir

dan tumbuh secara bersama-sama.

Pada kenyataannya, tidak semua manusia berbahasa secara lugas. Adakalanya

dalam menyampaikan maksudnya, manusia menggunakan perbandingan-

perbandingan atau simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, manusia memerlukan

proses berpikir dan perenungan yang cukup panjang untuk memahami maksud

tersebut. Di sinilah, muncul filsafat budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan

pengarah kebudayaan tertentu. Salah satu pengemban kebudayaan yang cukup besar

di Indonesia adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa itu telah mengejawantahkan

pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kehidupannya. Pemikiran filosofis itu

disebut Ciptoprawiro sebagai filsafat Jawa.

Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157), memberikan pengertian tentang filsafat

Jawa. Menurutnya filsafat Jawa adalah ‘filsafat Sangkan Paraning Dumadi’. Jika

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka dapat dialihbahasakan menjadi

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 43: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

‘filsafat asal dan arahnya yang ada’. Bila disebut pandangan hidup orang Jawa itu

dengan kata-kata filsafat, maka kita perlu berhati-hati dalam mengartikannya. Hal ini

karena arti kata filsafat itu sendiri bermacam-macam.

Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157) juga mengartikan filsafat atas tiga

pengertian. Pertama, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan hidup, atau yang

dalam bahasa Jerman dinamakan ‘Weltanschauung’. Kedua, filsafat diartikan sebagai

pemikiran yang logis, radikal sistematis tentang apa yang ada dalam kerangka

kesemestaan atau universalitas. Sebagai contoh, bagaimana filsafat kebenaran itu

menurut seorang pemikir. Demikian pula filsafat tentang susila, hukum, kekuasaan,

dan seterusnya. Ketiga, filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang filsafat yang

disebutkan dalam arti pertama dan/atau arti yang kedua.

Di pihak lain, Ciptoprawiro (2000:11) mendefinisikan filsafat sebagai suatu

pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang

bersifat mendalam dan mendasar. Berfilsafat dalam arti luas, dalam kebudayaan Jawa

berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik

jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu.

Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan tiga komponen pokok yang

memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan

bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan

cipta, rasa, dan karsa, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘trisakti jiwa’.

Kemudian oleh Bung Karno dalam sambutannya pada upacara menerima gelar

Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1951,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 44: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dijadikan trilogi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu : nationale geest, nationale will,

nationale doad (jiwa nasional, kemauan nasional, dan perilaku nasional).

Pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup merupakan satu kesatuan

yang bulat dan utuh. Dan keutuhan itu secara konsekuen dipegang teguh oleh orang

Jawa dalam berolah filsafat. Inilah yang memberi ciri khas pandangan hidup (filsafat)

dan ilmu (kawruh) Kejawen yang secara diametral berlawanan dengan filsafat serta

penerapan ilmu pengetahuan manusia Barat yang cenderung memisahkan jiwa dan

materi dan menjurus ke suatu dualisme.

Jadi, perbandingan antara filsafat Barat dan filsafat Jawa dapat dirumuskan,

sebagaimana yang dinyatakan oleh Ciptoprawiro (2000:16) bahwa filsafat Barat

mengidentifikasikan aku (ego) manusia dengan ciptanya (rasio, akal). Dengan

demikian, cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya hingga terlepasnya

dari hubungan dengan lingkungannya hingga terjadi jarak (distansi) antara manusia

dengan lingkungannya. Bagi filsafat Barat, manusia adalah manusia lepas hubungan.

Filsafat Barat beranggapan bahwa manusia adalah animal rationale (binatang yang

bernalar, Socrates).

Sebaliknya, menurut filsafat Jawa manusia itu selalu dalam hubungan dengan

lingkungannya, yaitu Tuhan serta Alam Semesta, dan menyadari kesatuannya. Maka

bagi filsafat Jawa manusia adalah manusia dalam hubungan. Saat mempergunakan

kodrat kemampuannya, manusia Jawa senantiasa mengusahakan kesatuan cipta-rasa-

karsa. Filsafat Jawa (Filsafat Timur umumnya) beranggapan bahwa dalam diri

manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Ciptoprawiro, 2000:15).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 45: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia

terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan.

Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan

orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Penelitian antropologi

sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan

dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya

banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra

dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan

antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara

interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang

manusia.

Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan

relevansi manusia (anthoropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua

macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra

dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang

dihasilkan oleh manusia, seperti : bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat,

dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk

kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 46: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada

kompleks ide.

Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara

kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam

rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra

ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural

suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber

yang sangat penting.

Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu

dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh

pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat,

sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik

Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-

dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian

berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang

secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional (1908), yang

kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda (1928), karya sastra Indonesia modern

diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun

emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra

Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk

memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan

spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 47: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-

mainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra (Ratna, 2004:352).

Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan

manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan

sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti

tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua,

meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek

budaya masyarakat.

Menurut Kleden (2004:356), refleksi kebudayaan harus selalu diadakan

karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi,

bukan tidak mungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam

determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis

kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan

bukannya juga produk-produk bersama yang telah dihasilkan dan diciptakan, dan

karena itu dapat selalu berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan

keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus

kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja

kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat

Wallace (1966:70) bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan

yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti

makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 48: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Hoed (2007:122) menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung

prinsip-prinsip supraindividual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing

mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai

meninggalkan sebagian prinsip-prinsip supraindividual dalam kebudayaan

internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru.

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah

hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai

animal rationale. Cassirer (1990:65) menyatakan bahwa sistem simbol mendahului

sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut

teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses

simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh Eliade (2002:12) bahwa pemikiran

simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalah

awal dari bahasa dan pemikiran deskriptif.

Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi

sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan

diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem

komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.

Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch (Ratna, 2004:351), manusia

adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling

memengaruhi, yaitu : a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan

manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 49: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu

tertentu, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.

Menurut Forde (Minsarwati, 2002:48), hubungan antara aktivitas manusia

dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini

manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan

hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau

pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika

dan pandangan.

Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (Endraswara,

2008:109) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia/orang, (b) artikel tentang

sastra, (c) bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan seorang

peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data

tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami

karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.

Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan

arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa

lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan

modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng,

fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan ini

ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images yang

terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut

menguasai sistem dan budaya masyarakat.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 50: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Scott (Sikana, 2008:137), dalam buku teori klasiknya Five Approaches of

Literary Criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual,

dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis

yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur

estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan

psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dari tindakan-

tindakan yang berbentuk budaya dan kesenian.

Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga

merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih

lanjut, Jung (Sikana, 2008:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama

pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap

sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa

manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di

samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang

berlaku dalam masyarakatnya.

Sangat beralasan jika Sikana mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat

diterapkan pada karya-karya yang kaya dengan unsur-unsur mitos. Hal itu sejalan

dengan pendapat Frye, yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat

dihubungkan dengan mitologisme dan arkaisme ini ialah yang bercorak keagamaan,

yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi; seperti animisme, totemisme, berhala, dan

agama Kristiani sendiri. Menurutnya, setiap kepercayaan itu kaya dengan unsur-unsur

mitos; malah kelahiran kepercayaan itu sendiri dibina oleh mitos-mitos (Sikana,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 51: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

2008:134). Mitos ini pula dalam interpretasi yang luas dapat dikaitkan dengan teori

psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi sastra dapat mengkajinya dalam

bentuk paparan etnografi.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 52: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

2.4 Model Penelitian

↓ ↨ ↓ .

↔ ↔

↔ ↔

↓ ↓ ↓

↔ ↔

Bagan 1 : Model Penelitian

← Budaya Jawa

Peneliti/Pengamat Pengarang Novel-Novel Kuntowijoyo

Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, Wasripin

Mitologi Representasi Nilai Budaya Filsafat

- Hubungan manusia dengan Tuhan

- Hubungan manusia dengan alam

-Hubungan manusia dengan masyarakat

- Hubungan manusia dengan orang lain

- Hubungan manusia dengan diri sendiri

- Sikap kosmologis

- Pandangan hidup

- Mitos-mitos masa kini

- Metafisika

- Epistemologi

- Aksiologi

Antropologi Sastra

Page 53: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Keterangan:

→ : Hubungan langsung

: Hubungan tidak langsung

Model penelitian merupakan kerangka berpikir dari suatu penelitian.

Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan paradigma budaya yang dikaitkan

dengan budaya Jawa, khususnya mitologi.

Pengarang yang menggunakan budaya Jawa yang berpusat di Solo dan

Yogyakarta sebagai inspirasi untuk menciptakan novel-novel P, MPU, dan WdS

memadukannya dengan keadaan dan situasi soaial, budaya, dan politik.

Peneliti atau pengamat menginterpretasikan novel-novel Kuntowijoyo dalam

bentuk mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya sebagai suatu kajian yang

berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena hubungan realitas budaya Jawa dengan

novel-novel Kuntowijoyo bukanlah hubungan langsung, maka untuk memahami

mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya tersebut dipergunakan teori

antropologi sastra dan semiotika.

Mitologi Jawa yang merupakan struktur dari novel-novel Kuntowijoyo

diamati secara totalitas dan dipadukan pada tokoh Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan

Wasripin, sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu.

Kemudian, tokoh-tokoh tersebut dihubungkan dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga

tergambar sikap kosmologis masyarakat, pandangan hidup, dan mitos-mitos masa

kini. Sementara itu, filsafat Jawa akan diuraikan pada tingkatan metafisika,

Page 54: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

epistemologi, dan aksiologi. Melalui tahapan-tahapan tersebut akan terlihat keutuhan

filsafat Jawa.

Representasi nilai budaya dikaitkan pada lima buah hubungan manusia yang

paling mendasar yakni : hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia

dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan

orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 55: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika. Metode hermeneutika

sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang

terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yamg muncul pada

fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya

filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, tari-

tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi,

etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80).

Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang

terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia,

melalui pemahaman dan interpretasi. Prinsip hermeneutika menurut Schleimacher

(Kaelan, 2005:80), adalah untuk menangkap objective geist, yang terkandung dalam

objek penelitian. Objective geist dapat pula diartikan sebagai makna yang terdalam,

hakikat nilai yang terkandung dalam objek penelitian.

Pada ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah

ditekankan karena tanpa interpretasi pembaca mungkin sulit mengerti dan memahami

jiwa zaman pada saat kesusastraan itu diciptakan (Nasution, 2007:60). Gadamer

(Selden, 1991:122), mengemukakan bahwa semua tafsiran kesusastraan masa lampau

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 56: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

timbul dari sebuah dialog antara masa lampau dan masa sekarang. Usaha tersebut

untuk memahami sebuah karya akan bergantung pada pertanyaan yang ditimbulkan

oleh lingkungan kebudayaan itu sendiri.

Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Tidak semua

buah pikiran dapat terungkapkan dengan bahasa secara jelas karena bahasa harus

sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Untuk itu diperlukan hermeneutik.

Hermeneutik mencoba membahas, menganalisis, serta mengevaluasi bahasa melalui

media tulis dan karya-karya sastra.

Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja

hermeneuein ‘menafsirkan’, dan kata benda hermeneia ‘interpretasi’. Hermeneutik

dapat diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti.

Hermeneutik dalam pandangan klasik Aristoteles, yaitu bahwa bahasa yang kita

ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis

adalah simbol-simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.

Menurut Palmer (2003:38), hermeneutik dapat didefinisikan menjadi enam

bentuk yang berbeda, sebagai berikut :

Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 57: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Masing-masing definisi ini sekadar merupakan tahapan-tahapan historis,

menunujuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi.

Secara esensial, masing-masing definisi ini merepresentasikan sudut pandang dari

mana hermeneutika dilihat. Muatan hermeneutika itu sendiri cenderung dibentuk

kembali melalui perubahan sudut pandang ini.

Kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat “triadic” (mempunyai segi

yang saling berhubungan). Pada proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang

diarahkan pada objek dalam pikiran penafsir itu sendiri. Orang melakukan interpretasi

harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks

sehingga yang pada mulanya “lain” kini menjadi “aku” penafsir itu sendiri.

Wolf (Djojosuroto, 2007:242) menyatakan bahwa hermeneutik merupakan

seni menemukan makna sebuah teks. Ada tiga jenis hermeneutik atau interpretasi,

yaitu :

(1) Interpretasi gramatikal, yang berhubungan dengan bahasa.

(2) Interpretasi historis, yang berhubungan dengan fakta dan waktu.

(3) Interpretasi retorik, yang mengontrol kedua jenis interpretasi yang

terdahulu, ditambah kefasihan gaya dan seni.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode “tafsir

sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan kedua

metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua

metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya

sendiri atas konteks historis-kultural.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 58: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Dengan demikian, ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu:

pertama, hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai

“totalitas kultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau

masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan

melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial

sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu

pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu

pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik

dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan

pemahaman trans-historis dengan konsep masa lalu dengan masa kininya.

Hermeneutik sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks

atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra

dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna

bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra

dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman

makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks

sastra (Djojosuroto, 2007:243).

Sehubungan dengan itu, Ricoeur (Bleicher, 2003:335) mengemukakan

pendapatnya bahwa simbol-simbol dan mitos-mitos mengundang pemikiran tertentu.

Simbol dan mitos memberikan makna sehingga harus diinterpretasikan di ranah

mereka sendiri melalui serangkaian aturan spesifik. Pada tahap ini, Ricoeur

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 59: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

membatasi konsep interpretasi menjadi investigasi atas makna yang tersembunyi

dalam makna literal yang tampak.

Menurut Ricoeur (Djojosuroto, 2007:239) juga, salah satu sasaran yang

hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan

distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat

interpretasi dengan baik. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap

peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang

sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut

vorhabe (apa yang dimiliki), voorischt (apa yang dilihat), dan vorgriff (apa yang akan

menjadi konsepnya kemudian).

Di bidang filsafat sendiri, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan

secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah

“interpretasi”dan “pembahasan” seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa

kebijaksanaan manusia (Djojosuroto, 2007:241).

Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan

seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermeneutik merupakan

metode yang dilakukan secara dialektik, artinya peneliti harus bolak-balik dari bagian

ke keseluruhan, dari keseluruhan ke bagian, kemudian dari unsur intrinsik ke

ekstrinsik dan dari ekstrinsik ke intrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran

yang berupa spiral, sehingga menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis.

Pemahaman dan interpretasi terhadap objek merupakan ciri khas metode ini dan lebih

dipentingkan daripada mengambil jarak dari objeknya. Pemahaman dan interpretasi

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 60: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

objek dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknnya.

Dengan demikian, metode hermeneutik tersebut sangat dibutuhkan dalam penelitian

ini.

3.2 Sumber Data

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tiga novel karya

Kuntowijoyo, yaitu Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan

Satinah (WdS). Dipilih ketiga novel tersebut karena bersifat tematis, yakni

menonjolkan realitas budaya Jawa dalam penceritaannya.

Di samping itu, sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah-

majalah, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan lain, juga dari diskusi-diskusi, dan

seminar-seminar yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka

(library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis

lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan terhadap

semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau

kejadian (Moeliono, 1990:713).

Metode pengumpulan data secara hermeneutik dimulai dengan membaca

novel-novel Kuntowijoyo tersebut, karena sumber data yang dominan ada pada karya

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 61: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sastra itu. Untuk itu, peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah

selanjutnya dapat dilakukan dengan :

1. Dengan bekal pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang

dimiliki, peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan seteliti-

telitinya seluruh sumber data.

2. Membaca sumber data secara berkesinambunganan berulang-ulang sesuai

dengan prinsip dialektik sehingga diperoleh pengertian antara bagian dan

keseluruhan dari objek yang diteliti.

3. Setelah langkah kedua, peneliti membaca sekali lagi sumber data untuk

memberi tanda bagian-bagian yang diangkat menjadi data yang akan

dianalisis lebih lanjut.

Dengan langkah-langkah tersebut, dapat diperoleh data penghayatan dan

pemahaman arti dan makna tentang karya sastra yang diteliti secara mendalam dan

mencukupi.

Sehubungan dengan itu, peneliti akan mengadakan analisis terhadap data

utama, yaitu novel-novel Kuntowijoyo. Untuk membantu dan melengkapi data utama

tersebut maka dikumpulkan juga buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis

konten (content analysis). Analisis konten digunakan peneliti untuk mengungkap,

memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 62: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun konsep yang akan

diungkap, baru memasuki karya sastra. Aspek penting dari analisis konten adalah

bagaimana hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan pada siapa saja (Endraswara,

2008:161).

Pada proses pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Peneliti membaca novel-novel Kuntowijoyo yang menjadi objek penelitian

secara

berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Membaca

hermeneutik berlangsung dalam dua tataran (tingkat). Pertama, membaca

heuristik, yaitu membaca dengan dasar pemahaman pada konvensi bahasa.

Kedua, membaca hermeneutik, yaitu dicari makna tersirat. Penafsiran ini

memerlukan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Jadi, membaca

hermeneutik memungkinkan pemberian makna yang khas, bervariasi, dan

mendalam.

2. Peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikasi seluruh data serta

memfokuskan interpretasi pada objek yang berkaitan dengan mitologi,

filsafat, dan nilai budaya Jawa. Analisis data tidak dikerjakan per sumber data,

tetapi per butir masalah yang telah dirumuskan. Jadi, analisis data dikerjakan

secara utuh-bulat (holistik) dan menyeluruh (komprehensif).

3. Kemudian peneliti menafsirkan kembali seluruh data yang teridentifikasi dan

terklsifikasi untuk menemukan kepaduan, kesatuan, dan hubungan antardata

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 63: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh-bulat dan menyeluruh tentang

hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 64: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB IV

GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN

PEMIKIRAN PENGARANG

4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo

4.1.1 Pasar

Novel P bertemakan perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Tokoh utama

novel ini adalah Pak Mantri yang diceritakan sebagai pemimpin pasar kecamatan di

sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan sosial dan kebudayaan. Pak

Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama

Jawa. Karakter Pak Mantri dijelaskan sebagai orang Jawa yang tahu betul sopan

santun dan tata krama Jawa, khususnya tata krama priayi.

Orang-orang mengakui hal ini, termasuk tokoh Pak Camat dan para pegawai

kecamatan lainnya. Perhatikan kutipan berikut.

Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri pasar. Sebab tidak seorangpun – kecuali Kasan Ngali – yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat dan Pak Kepala Polisi dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup yang jujur, setia, sopan-santun, tahu diri menumpuk pada dirinya (P:1). Dengan menggunakan alur maju, novel ini dikisahkan dengan hangat dan

lincah yang melibatkan pembaca sehingga sudut pandang “dia”-an berpadu dengan

sudut pandang “aku”-an yang membuat tokoh cerita atau pencerita dapat langsung

bicara pada para pembaca. Penuturan yang hangat dan lincah itu menggambarkan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 65: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan

terpelajar.

Kasan Ngali merupakan tokoh protagonis dalam cerita yang ditampilkan

sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan

perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa.

Jabrohim benar ketika mengatakan bahwa novel Pasar kuntowijoyo

mengisahkan proses pewarisan nilai-nilai budaya Jawa dalam perubahan sosial di

sebuah kota kecamatan (1996:5). Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan

kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman

modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar

yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk

memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai

priayi (Pak Mantri), nilai-nilai profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank),

progresivitas usaha (Kasan Ngali, wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan

orang Jawa.

4.1.2 Mantra Pejinak Ular

Dua masalah pokok yang menonjol dalam novel MPU adalah perubahan

sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang

berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan

terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial

budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 66: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

(mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang akhirnya sanggup menjebol

dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan

etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu adalah novel sejarah.

Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan

politisasi kesenian.

Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari lahir di

tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak–tanduknya masih kental

dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput

dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni

Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan), sedangkan Sapar adalah bulan ketika

ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan tembang Jawa, misalnya Dhandanggula

peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi

sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah catatan etnografis yang memperlihatkan

pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan,

dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun.

Latar cerita digambarkan di kaki Gunung Lawu. Kegitan Abu Kasan dan

masyarakat Jawa pedesaan dipusatkan di kaki gunung tersebut, yakni saat

membangun desa: membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat

memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya

menyadarkan masyarakat akan hak-hak politik sebagai warga negara. Di bawah

komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan-

gerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 67: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo,

dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan

berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari,

meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan dididik secara priayi oleh kakek-neneknya,

akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan.

Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting

dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khususnya dalam

konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana

Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian

sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil

tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir

novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat

dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”.

Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak

berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan),

bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan

Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya:

“Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan

mantra” (MPU:231).

Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan

mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya

dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 68: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo

menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar

ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah).

Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal tokoh lain yakni, seorang perempuan

yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan

perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak

menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat

kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik

yang tidak menyukainya.

Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep

wayang dituturkan dengan alur maju dan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh

bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang

dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan

sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat

Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala

desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru

hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis,

bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.

4.1.3 Wasripin dan Satinah

Novel WdS mengungkapkan bagaimana penguasa fobia dengan agama Islam,

khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos yang para

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 69: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan bila

Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama

pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan tokoh Pak Modin yang dipaksa

penguasa mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan

jahat penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah.

Perhatikan kutipan berikut.

Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar...(WdS:231).

Wasripin merupakan tokoh utama novel ini. Ia lahir di sebuah desa di pantai

utara Cirebon dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup

miskin, amat meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima

keadaan, termasuk keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang

dosa dan kenistaan. Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di

Jakarta dapat dilihat pada kutipan berikut.

Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 70: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa (WdS:4).

Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku

kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia

kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia

membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan

mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa

dan kehinaan. Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan

meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara

Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa

inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara.

Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khususnya MPU, novel ini berpijak

pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain sebagai novel

esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan etnografis”

mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari kehidupan dan

kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah dipahami

keberadaannya oleh orang-orang miskin itu.

Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan

menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia

bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan

yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama

masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 71: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai

tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi

pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi

pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah.

Sama seperti dua novel sebelumnya, novel WdS ini pun dikemas dengan

menggunakan alur maju yang menggambarkan kehidupan Wasripin hidup di sebuah

kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik, terutama permainan Partai Randu

(sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU), partai penguasa yang dapat

memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi, tentara) dan para penguasa.

Wasripin suka menolong siapa saja, tidak pandang bulu. Itu sebabnya ia

nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya Wasripin dituduh sebagai penyebar

ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang tidak lain alat penguasa untuk

mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama. Sekali lagi harus ditegaskan,

penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama, khususnya agama Islam.

Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan

jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang

tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar

berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen

(1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa

kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan.

Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka

benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 72: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang

kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.

4.2 Pemikiran Tentang Sastra

Pada tahun 80-an, selain bergulir isu sastra kontekstual yang digagas Arief

Budiman, dalam sastra Indonesia bergulir pemikiran yang kemudian dikenal sastra

sufistik dan profetik. Selain identik dengan Abdul Hadi W.M., pemikiran ini melekat

pada diri Kuntowijoyo. Dialah tokoh yang menggagas prinsip penulisan sastra

profetik. Di kemudian hari, bukan hanya sastra profetik yang ia gagas, melainkan

ilmu sosial profetik yang berpijak pada humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi

munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Dalam kerangka itulah manusia dan

masyarakat Islam sepantasnya melakukan aksi kemanusiaan dan kemasyarakatan

sehingga mampu memberikan andil bagi perubahan dan perkembangan peradaban

manusia di bumi ini.

Hadi W.M. (2004:45) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah sastra kesufian

dalam arti karya sastra itu dipengaruhi, diilhami, digenangi wawasan kesufian. Beliau

juga menegaskan bahwa sastra sufistik merupakan sastra yang tampil untuk

mengingatkan manusia kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra

sufistik selalu mengaitkan seni dan penciptaan dengan kehidupan yang lebih luas,

mencoba menyatukan kembali bumi dan langit, dunia lahir dan dunia batin, dimensi

sosial dan dimensi transendental, mikrokosmik dan makrokosmik, manusia dan

Khalik.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 73: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Sejalan dengan itu, Kuntowijoyo mengartikan sastra profetik sebagai sastra

yang melakukan perlawanan terhadap sistem sosial yang menurunkan derajat manusia

ke jurang kekerdilan sehingga menyebabkan dehumanisasi. Sebelum tegas menyebut

istilah “sastra profetik”, Kuntowijoyo menyebut istilah “sastra transendental”. Pada

Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo menandaskan

bahwa sastra Indonesia memerlukan jenis sastra transendental, yakni sastra yang

mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba birokratis,

industrialis, pasar, dan instrumental. Sastra transendental menghasratkan agar

manusia tidak menjadi makhluk satu dimensi, tetapi makhluk yang lengkap jasmani

maupun rohani, berakar di bumi sekaligus menjangkau langit. Dengan kata lain,

terutama dalam kerangka Islam, tugas manusia (sastrawan) adalah

menyatukan/mendialektiskan dikotomi: hubungan manusia dengan Tuhan

(hablumminaallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas).

Seluruh dasar pikir dan konsep sastra transendental di kemudian hari teruraikan

dalam istilah sastra profetik.

Meskipun umumnya karya-karya bernafas Islam yang ditulis sastrawan Islam

dirujuk sebagai sastra sufistik atau profetik, gagasan Kuntowijoyo dan Abdul Hadi

W.M. tidak sesempit itu. Ketika membicarakan sastra sufistik atau profetik, rujukan

mereka cukup luas meliputi karya-karya sastrawan/intelektual/rohaniawan non-

muslim. Goethe, Hoelderlin, Dostoyevski, T.S. Eliot, Walt Whitman, Tagore, dan

Khalil Gibran misalnya disebut Hadi W.M. sebagai sastrawan yang melahirkan

karya-karya sufistik. Karya-karya mereka, seperti karya sastra keagamaan umumnya,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 74: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

mencerminkan gerak merdeka menuju Tuhan, menuju penemuan dan pengenalan

kembali hakikat manusia, karena hanya dengan mengingat Tuhanlah manusia akan

mengingat dirinya dan hanya dengan menyelami dirinya manusia dapat mengenal

Tuhan.

Dalam sebuah wawancara dalam Berita Buana (10 Februari 1987),

Kuntowijoyo mengatakan Serat Kalatida Ronggowarsito dan karya Mohamad Iqbal

adalah sastra profetik karena keduanya mengajak manusia untuk berakar di langit,

selain berakar di bumi. Dengan dua contoh sastrawan itu, ia menandaskan baik sastra

transendental maupun sastra profetik memiliki dimensi dan aspek-aspek sosialnya.

Istilah sastra sufistik/profetik sesungguhnya berdekatan dengan istilah sastra

keagamaan yang mengungkapkan pengalaman dan perasaan manusia dalam melakoni

kehidupan, entah perasaan dosa (guilt feeling), takut (fear to God), dan kebesaran

Tuhan (God’s glory). Perbedaannya, jika pun ada, terletak pada eksplorasi gerak

kehendak merdeka individu dalam mengkritisi sekaligus menempuh perjalanan

menuju hakikat diri. Banyak karya sastra bernapas keagamaan/ketuhanan, khususnya

yang berpijak pada ajaran Islam, tampil amat harfiah dan bersifat doktrinal sehingga

kehendak merdeka individu terbatasi dan karena itu nilai kesufistikannya menjadi

cair. Karya bernapas keagamaan yang mengedepankan dakwah tidak akan mampu

mencapai estetika sufistik/profetik yang mendalam. Dalam kerangka sastra

sufistik/profetik, dakwah menjadi bagian penting yang hadir dengan bagian penting

yang hadir dengan sendirinya, menyatu bersama estetika karya itu sendiri.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 75: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Pemikiran sastra sufistik/profetik dalam khasanah sastra Indonesia

sesungguhnya sudah ada sebelum abad ke-20. Kehadiran sastra sufistik/profetik tidak

terlepas dari gerakan tasawuf. Jika melihat sejarah perkembangan tasawuf yang

menjadi dasar gerakan sufistik/profetik, dapatlah dikatakan sastra sufistik/profetik

sudah lama usianya. Hamzah Fansyuri, Syamsuddin Sumatrani, Raja Ali Haji,

Nuruddin Ar-Raniri, K.H. Mustafa, Yasadipura I, dan Ronggowarsito adalah sufi-sufi

yang menulis karya sufistik/profetik. Mereka berjasa dalam pertumbuhan tradisi

sastra dan peradaban tasawuf Islam. Tulisan mereka yang berupa karya sastra (suluk)

dimaksudkan untuk mengekspresikan pengalaman keilahian yang bersifat personal.

Dalam karya-karya sejenis itu, unsur dakwah atau doktrin agama (tasawuf) tidak

mengemuka secara harfiah, sesuatu yang jelas berbeda dengan tulisan yang tegas

dimaksudkan untuk menyebarkan suatu paham atau ajaran keagamaan (ketasawufan).

Dalam hal ini Braginski (Anwar, 2007:13) membagi teks tasawuf ke dalam

dua jenis: teks tasawuf puitik dan teks tasawuf (kitab) doktrinal. Gema tasawuf puitik

terus berlangsung hingga perkembangan sastra Melayu (Malaysia dan Indonesia)

mutakhir. Selain berpijak pada ajaran tasawuf atau mistik Islam, teks tasawuf puitik

dalam sastra Indonesia meliputi pula ajaran “kejawen” atau “kebatinan”. Tidak

seperti teks tasawuf doktrinal, teks tasawuf puitik dalam sastra Malaysia dan

Indonesia belum cukup banyak dilakukan.

Pada abad ke-20, mulai tahun 30-an, hembusan sufistik/profetik terasa dalam

karya Hamka, Sanusi Pane, Achdiat K. Mihardja, dan terutama Amir Hamzah. Sastra

sufistik/profetik menjadi amat ramai dan tumbuh subur sesudah tahun 70-an ketika

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 76: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sastra Indonesia “kelelahan” setelah bergumul dengan persoalan-persoalan politik

pada tahun 60-an. Gerakan ini mulai berbarengan dengan tumbuhnya hasrat menggali

akar tradisi dan kearifan lokal. Sastrawan yang dapat disebut menghasilkan karya

sufistik/profetik pada masa itu, antara lain: Abdul Hadi W.M., Kuntowijoyo, Danarto,

Taufiq Ismail, Muhammad Diponegoro, Sutardji Calzoum Bachri, Arifin C. Noer,

Fudoli Zaini, Zawawi Imron, Damiri Mahmud, hingga kemudian Emha Ainun

Nadjib, Ahmadun Y. Herfanda, Ahmad Syubanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy,

Acep Zamzam Noor, dan Jamal D. Rahman.

Munculnya kecenderungan menulis sastra sufistik/profetik pada tahun 70-80-

an disemangati ghiroh untuk menolak nilai-nilai hidup yang terjebak pada

materialistis yang dengan sendirinya mengancam nilai-nilai spiritual manusia.

Gerakan manulis karya bernapas keagamaan atau sufistik/profetik, khususnya dalam

tradisi Islam, tidak hanya terjadi di negeri ini. Menurut Kemala, sastrawan sekaligus

kritikus sastra Malaysia, hal sejenis terjadi pula di Malaysia. Jika pada tahun 50-an

sastrawan Malaysia yang menulis sastra bernapas Islam masih tergolong minoritas,

pada tahun 80-an gejala itu sudah menjadi hal yang biasa (Anwar, 2007:14).

Seperti yang telah disebutkan bahwa gerakan sastra sufistik/profetik tidak

lepas dari gerakan tasawuf. Setiap penganut tasawuf umumnya memiliki hasrat untuk

mengekspresikan pengalaman personal keilahiannya sekaligus menyebarkan

pengetahuan dan pengalaman tasawufnya kepada khalayak. Kebutuhan akan

penyebaran itulah yang mendorong kepustakaan sufisme dipenuhi kitab doktrinal

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 77: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

(tasawuf kitab), riwayat hidup sufi (agriografi), dan naskah-naskah alegoris (tasawuf

puitik) baik puisi maupun baik puisi maupun prosa artistik.

Kepustakaan sufisme alegoris biasanya berupa karya sastra yang kemudian

disebut sastra sufi atau sastra tasawuf. Sastra sufi atau sastra tasawuf pada dasarnya

berbeda dengan sastra sufistik/profetik. Perbedaan itu menurut Badrun (1996:53)

terletak dalam hal isi dan kedudukan penulisnya. Jika sastra tasawuf isinya

mengungkapkan ajaran-ajaran tasawuf dan penulisnya seorang sufi, sastra sufistik

isinya mengungkapkan pengalaman dan penghayatan tasawuf, tetapi penulisnya

belum tentu seorang sufi.

Tokoh-tokoh yang dapat disebut sebagai penulis sastra tasawuf (sastra sufi),

antara lain adalah Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Qunyawi, Nizami,

Sa’di, Iraqi, Hafiz, dan Muhammad Iqbal. Mereka berperan penting dalam

menghidupkan kembali kebudayaan dan peradaban Islam yang hampir mati di negeri

Iran, Turki, dan Indo-Pakistan. Dilihat dari rumusan yang dikemukakan Badrun,

tentunya karya Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufq Ismail, dan

Abdul hadi W.M. , misalnya lebih tepat dikatakan sastra sufistik/profetik daripada

sastra tasawuf/sufi. Mereka adalah sastrawan yang berupaya mengungkapkan

penghayatan dan pengalaman batinnya ketika bersentuhan dengan kehidupan manusia

dengan pendekatan kesufistikan/keprofetikan. Dengan intuisi dan kesadaran

personalnya sebagai penyair, mereka berusaha menangkap cahaya dalam perjalanan

rohani mereka ke posisi diri yang lebih tinggi.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 78: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

4.2.1 Sastra Profetik

Anwar (2007:153) menjelaskan bahwa Kuntowijoyo sangat menekankan

perlunya kehadiran sastra transendental dalam sastra Indonesia. Sastra tersebut

merupakan kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasi/subhumanisasi sebagai

dampak negatif modernisasi yang menempatkan manusia tidak lebih sebagai mesin

dan instrumental dalam logika pasar industri. Sastra transendental dibutuhkan untuk

mengembalikan keberadaan manusia dalam posisinya sebagai makhluk yang utuh

lahir dan batin. Tujuan akhir sastra transendental adalah manusia, bukan estetika.

Sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap peradaban kita ingin membuat

dunia lebih bermakna, dan sastra adalah salah satu dari makna itu.

Apa yang digagas dalam sastra transendental pada dasarnya tidak berbeda

jauh dengan konsep sastra profetik. Atau bisa dikatakan sastra profetik merupakan

penyempurnaan konsep Kuntowijoyo mengenai sastra yang mengupayakan manusia

berpijak di bumi (terlibat dengan masalah-masalah manusia/sosial) sekaligus

menjangkau langit (terkait dengan kesadaran transendensi adanya Tuhan). Dua

prinsip pokok yang menopang konsep sastra profetik adalah kesadaran kemanusiaan

dan kesadaran ketuhanan.

Pada dasawarsa terakhir ini sastra Indonesia diramaikan oleh kahadiran sastra

yang diberi label “sastra Islam” atau “sastra ibadah”. Dalam konteks ini, sastrawan

Helvy Tiana Rosa dan Forum Lingkar Pena merupakan lokomotif gerakan tersebut.

Meski belum ada seorang pun dari mereka yang merumuskan secara konseptual sastra

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 79: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang mereka anut, dengan mengamati sejumlah karyanya sedikit banyak akan dapat

dipahami keberadaan dan orientasi sastra Islam atau sastra ibadah itu.

Dengan mengamati karya-karya “sastra Islam’ atau “sastra ibadah” model

Forum Lingkar Pena, agaknya ghirah mereka dimaksudkan untuk merespons

kehidupan yang mengarah pada sekularisme dengan menghadirkan tokoh-tokoh,

peristiwa, dan jalinan plot yang berpijak pada doktrin Islam. Motif ibadah secara

penuh tampak disadari, selain strategi tutur dan orientasi karya mereka berbeda

dengan sastra sufistik yang digagas Abdul Hadi W.M. atau sastra

transendental/profetik yang digagas Kuntowijoyo. Perbedaan terutama pada tekanan

“dakwah” yang membuat karya mereka kurang kuat dalam pergulatan dan

perenungan, selain pola hitam putih (kebenaran dan kejahatan) yang cenderung

eksplisit dan harfiah. Dua hal inilah yang justru secara lahir tidak terlalu kentara

dalam karya-karya sufistik/profetik.

Dalam hal sastra, Kuntowijoyo menginginkan selain sebagai ibadah, sastra

harus pula dipandang sebagai sastra murni belaka. Berikut pernyataan Kuntowijoyo

mengenai hal tersebut.

“Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang tidak lebih. (Kuntowijoyo, 2005:8).

Pernyataan Kuntowijoyo tentu mewujud dalam karya-karyanya. Karya-karya

beliau diberangkatkan dari proses pergulatan dan penciptaan sastra sebagai sastra atau

“sastra murni” sebagaimana yang dikatakannya. Itulah yang menyebabkan, meski

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 80: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

kental dengan gagasan dan pesan tertentu, karya-karyanya tidak tampil sebagai

dakwah. Dakwahnya yang berpijak pada transedensi ketuhanan telah melebur dalam

tubuh karya itu sendiri. Strukturasi pengalaman, imajinasi, dan nilai menyatu dalam

karyanya.

Menurut Kuntowijoyo (2005:8), sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang

memberikan dasar kegiatannya karena ia tidak hanya menyerap, mengekspresikan,

tapi juga memberi arah realitas. Sastra profetik berpijak pada prinsip dialektis

sebagaimana umumnya dianut dalam menulis, baik karya sastra maupun karya

ilmiah. Dengan kata lain, sastra dihadapkan pada realitas untuk melakukan kritik dan

penilaian sosial budaya secara beradab. Itu sebabnya sastra profetik adalah sastra

yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan/kemasyarakatan. Oleh karena itu, sastra

profetik tidak terlepas dari kehidupan.

Kaidah pertama adalah sastra profetik bersandar pada kaidah “strukturalisme

transendental”. Dasar pemikiran strukturalisme transendental itu adalah kitab suci

(misalnya Al-Qur’an). Bagi Kuntowijoyo, semua kitab suci dan agama selalu berupa

struktur sekaligus bersifat transendental. Dengan makna struktur dimaksudkan apa

yang terdapat dalam kitab suci selalu koheren (utuh) ke dalam dan konsisten ke luar,

elemen yang satu tidak bertentangan dengan yang lain karena merupakan satu

kesatuan.

Adapun yang dimaksud dengan transendental tidak lain karena semua kitab

suci merupakan wahyu dari Allah Yang Maha Transenden. Oleh karena itu, semua

kitab suci melampaui zamannya meskipun sudah tua dan lahir pada suatu zaman,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 81: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

kenyataannya masih selalu relevan dengan zaman kapan pun. Jadi, karya sastra

profetik adalah karya sastra yang ketat dalam struktur (ada pergulatan bentuk ucap)

sekaligus memiliki kaitan dengan Yang Maha Abadi. Tidak mengherankan bila karya

sastra yang sebenar-benarnya selalu melampaui zamannya. Hal yang sering berbeda

dengan produk seni atau budaya lain, terutama yang tidak menyadari

ketransendentalannya.

Kaidah kedua adalah sastra sebagai aktivitas ibadah. Jika sastra profetik

bersandar pada prinsip struktur dan transendental, suka tidak suka sastra profrtik

adalah sastra orang-orang beriman. Di tangan orang beriman seluruh kegiatan

manusia akan dipandang sebagai aktivitas ibadah. Oleh karena itu, sastrawan yang

menulis sastra profetik adalah sastrawan yang harus menjalankan agama secara

kaffah (lengkap). Kuntowijoyo mengibaratkan sastrawan yang mendirikan sholat,

menunaikan zakat, berhaji dengan uang halal, berpuasa, akan disebut belum kaffah

jika tidak meniatkan kegiatan sastra sebagai aktivitas ibadah.

Keimanan dan aktivitas ibadah yang kaffah menjadi landasan sastra profetik

karena sastrawan beriman menyadari Tuhan dan itu Maha Segalanya. Pada titik ini

Tuhan bersifat totaliter karena totalitarian memang hak-Nya sebagai Khalik. Akan

tetapi, kekuasaan Tuhan berbeda dengan kekuasaan manusia. Jika kekuasaan manusia

bersifat mengikat, kekuasaan Tuhan bersifat membebaskan.

Kaidah ketiga adalah keterkaitan antarkesadaran. Konsep kaffah dalam Islam

tidak hanya menuju kesadaran keimanan kepada Tuhan saja, tetapi kesadaran

manusia dalam posisinya sebagai manusia. Dengan menyandarkan diri pada prinsip

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 82: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablumminallah

(hubungan manusia dengan Tuhan), dalam kaidah ketiga ini Kuntowijoyo

menegaskan adanya keterkaitan antara kesadaran kemanusiaan dengan kesadaran

ketuhanan. Kegiatan ibadah kepada Tuhan (ibadah ritual) sudah selayaknya

sebanding dengan kegiatan ibadah kepada sesama manusia/masyarakat (ibadah

sosial). Ini pulalah yang menjadi dasar pandangan strukturalisme transendental

Kuntowijoyo.

Kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan adalah dua tema besar dalam sastra....Bandul dua kesadaran itu harus berimbang, tidak bisa salah satunya dimenagkan. Kesadaran ketuhanan melalui sufisme yang ekstrem, dengan uzlah (mengasingkan diri), wadat (tidak kawin), dan kerahiban dilarang dalam Islam. Sebaliknya, perjuangan untuk manusia (kemerdekaan, demokrasi, HAM) juga harus memperhatikan hak-hak Tuhan. (Kuntowijoyo, 2005:10).

Konsep sastra sufistik Hadi W.M. pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep

sastra profetik Kuntowijoyo. Keduanya menghasratkan sastra, yang selain menggulati

masalah-masalah sosial manusia, juga mengaitkan diri dengan kekuasaan Tuhan.

Akan tetapi, Kuntowijoyo memilih istilah profetik yang berasal dari kati prophet

(Nabi), bukan sufistik yang berasal dari kata sufi. Pilihan itu bukan tanpa alasan.

Dengan mencermati kutipan di atas, praktik sufisme cenderung identik dengan

perilaku yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan istilah

profetik agaknya Kuntowijoyo ingin menegaskan bahwa gagasannya ditekankan pada

perilaku nabi: mengurus dunia (umat) dan menghamba kepada Tuhan. Itulah

selayaknya yang dilakukan manusia, mengikuti sunah nabi, khususnya dalam konteks

aplikasi kegiatan menulis sastra.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 83: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kuntowijoyo merumuskan sastra profetik, selain berpijak pada perjalanan

sastra Indonesia, pastilah berpijak pada kenyataan manusia dan masyarakat di zaman

modern ini. Manusia modern yang cenderung ditempatkan sebagai alat, instrumen,

dan mesin di tengah banjir produksi massa (budaya massa) yang digerakkan industri

kapitalisme akhirnya cenderung menjadikan manusia sebagai manusia massa. Sebagai

manusia massa, selain segi pribadi yang lemah, kekuatan modernitas menjadikannya

tidak lebih sebagai eksemplar dari aktivitas kehidupan yang menjelma mesin. Pada

saat itulah kemanusiaan manusia terancam, di samping kesadaran ketuhanannya. Pada

posisi itu sastra profetik tertantang untuk merespons dan menggulatinya.

Kemudian Kuntowijoyo merumuskan etika profetik. Sumber etika tersebut

tentu saja perilaku nabi (prophet), dalam konteks Islam adalah Nabi Muhammad

SAW. Kuntowijoyo meyakini tugas sastrawan pada dasarnya adalah tugas-tugas yang

pernah dilakukan nabi. Tugas itu adalah amar ma’ruf (mengajak pada kebenaran),

nahyi munkar (mencegah kemunkaran), dan tu’minunabillah (beriman kepada Allah).

Dalam bahasa Kuntowijoyo dirumuskan sebagai humanisasi (amar ma’ruf), liberasi

(nahyi munkar), dan transendensi (tu’minubillah).

Humanisasi dilakukan dalam rangka melawan dan melenyapkan keadaan

dehumanisasi yang melanda masyarakat modern sebagai dampak negatif kemajuan

industri dan teknologi. Manusia mesin yang hanya memiliki satu dimensi, yang hanya

dihitung sebagai angka dalam kalkulasi pasar dengan orientasi material, sepantasnya

dikritik dengan mengedepankan semangat humanisasi (pemanusiaan) yang berpijak

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 84: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

pada ajaran-ajaran Tuhan. Segala tindak-tanduk manusia yang cenderung

merendahkan derajatnya sebagai manusia dalam paradigma Tuhan harus diperbaiki.

Oleh karena itu, liberasi perlu dilakukan untuk mencegah dan melawan

sebagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan sekelompok manusia terhadap

manusia lainnya. Dalam hal inilah penindasan dilakukan pejabat negara, permainan

politik yang kotor, penindasan para pemilik modal dalam kegiatan ekonomi,

penindasan laki-laki atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama

tertentu kepada etnis dan agama lainnya. Tentu saja pencegahan itu dilakukan

menurut hukum-hukum yang disepakati dan tidak menyimpang dari ajaran Tuhan.

Kedua sikap dan tindakan itu kemudian disempurnkan oleh etika transendensi,

yang mengikatkan kembali keberadaan dan perilaku manusia di bumi (antarmanusia

dan antramakhluk) dengan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Di sinilah

bersatupadunya kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap.

Dan di sini pulalah tercapai apa yang disebut perilaku kaffah (utuh dan lengkap),

yang mana ibadah ritual kepada Allah seimbang dengan ibadah sosial kepada sesama

manusia (termasuk menjaga alam dan makhluk Tuhan lainnya). Seperti pernyataan

Kuntowijoyo berikut.

Bagi saya, sastra saya semua sebenarnya adalah transendensi. Saya menulis karena bagi saya hidup ini adalah misteri yang mengagumkan.... Seorang pengarang mempunyai kewajiban ganda. Sebagai manusia ia harus menjadi saksi eksistensi Tuhan. Dan sebagai pengarang ia harus menjadi saksi rahasia Tuhan....Artinya pengarang adalah saksi kreatif-imajiner “misteri” kehidupan manusia ciptaan-Nya. (Kuntowijoyo, 2005:16).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 85: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Jika diamati secara seksama, seluruh karya Kuntowijoyo pada dasarnya

mengandung kaidah dan etika profetik sebagaimana dikemukakan di atas. Tentu saja

setiap karya Kuntowijoyo menunjukkan tekanan dan kecenderungan yang berbeda

untuk setiap kaidah atau etika profetik yang dirumuskannya. Kumpulan puisi Suluk

Awang-Uwung (1975) dan novel Khotbah di Atas Bukit (1976), misalnya tampak

lebih memberikan penekanan perlunya manusia untuk mengikatkan diri pada

kesadaran ketuhanan yang secara fitrah telah bersemayam dalam dirinya. Meski Suluk

Awang-Uwung berpijak pada referensi kejawen dan Khotbah di Atas Bukit berpijak

pada renungan eksistensi, tetapi kesadaran ketuhanan (Yang Maha Gaib) amat kental

terasa. Perlu dicatat, karena kesadaran ketuhanan itu muncul sebagai respons terhadap

kehidupan modern yang materialistis, dalam dua karya di atas etika humanisasi dan

liberasi juga terasa.

Demikian pula dengan novel Mantra Pejinak Ular (2000) dan Wasripin dan

Satinah (2003) yang cenderung memberi tekanan pada segi etika liberasi, tetapi etika

humanisasi, dan transendensi di beberapa bagian kedua novel itu tetap muncul di

permukaan. Tema politisasi kesenian, kebudayaan, dan agama yang hadir dalam

novel Mantra Pejinak Ular, selain benar-benar melawan bentuk-bentuk penindasan,

juga mengupayakan terciptanya suatu tatanan masyarakat dan negara yang

menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan yang terbebas dari mitos dan

syirik. Begitu pula tema mitos pembangkangan rakyat kecil (Islam) yang menindas

orang-orang tidak berdaya dalam Wasripin dan Satinah, akhirnya mengusung

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 86: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

gagasan untuk memanusiakan hubungan antara mereka yang berkuasa (para pejabat

dan pimpinan partai) dan rakyat biasa.

Demikian uraian mengenai konsep sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo.

Selain rumusannya cukup ketat, koheren, dan konsisten sebagai sebuah struktur ilmu

(paradigma) yang berbasis manusia dan Tuhan, seluruh karyanya mendukung

keutuhan kaidah dan etika profetik yang digagasnya. Disebabkan Kuntowijoyo

menganggap karya sastra adalah strukturisasi pengalaman dan ia mengaku menulis

begitu saja apa yang dirasa baik untuk ditulis, boleh jadi rumusan konsep sastra

profetik lahir sebagai akibat pergulatannya dengan sastra, ilmu pengetahuan, dan

peristiwa-peristiwa empiris di sekitarnya. Itu sebabnya sastra dalam pandangan

Kuntowijoyo kurang lebih berusaha menjangkau langit (kesadaran ketuhanan) dengan

tetap berpijak di bumi (kesadaran kemanusiaan) (Anwar, 2007:161).

Sosok Kuntowijoyo sendiri sebagai sastrawan dan banyak hal mirip dengan

tokoh ciptaannya sendiri dalam novel Mantra Pejinak Ular, yakni Abu Kasan Sapari.

Sebagai dalang (seniman), sebagimana Kuntowijoyo sendiri, Abu Kasan

menempatkan kesenian sebagai wahana untuk mengenali dan memahami kehidupan

masyarakat di sekelilingnya, sekaligus sebagai wahana untuk mengenali Sang

Pencipta. Oleh karena itu, berbeda dengan kekuasaan yang bersifat memaksa,

kesenian dalam keyakinan Kuntowijoyo atau Abu Kasan Sapari adalah wahana atau

aktivitas simbolik untuk membujuk (bukan menggurui) masyarakat ke arah yang

lebih baik. Dalam prinsip kesenian seperti itulah proyek humanisasi dan liberalisasi

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 87: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang berbasis transendensi dilangsungkan. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo

melalui tokoh Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular berikut.

“Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.”(MPU:83).

Dengan demikian, hampir semua novel Kuntowijoyo membersitkan filosofi-

psikologi manusia dan budaya Jawa, konsep dan gagasan yang berpijak pada

pemikiran Islam, realitas dunia kehidupan sehari-hari, mistik yang dihadapkan

dengan ilmu sosial dan empiris, untuk akhirnya mengelaborasi spritualitas manusia

dan menautkannya pada segi transendensi manusia itu sendiri. Sebagai karya

intelektual, karya Kuntowijoyo selalu bertendens pada keyakinan gagasan

sebagaimana dikonsepkannya sendiri, termasuk konsepnya mengenai sastra

transendental/sastra profetik.

4.2.2. Dialektika Dua Dunia

Putra (Anwar, 2007:114) menyebut bahwa novel-novel Kuntowijoyo, kecuali

Khotbah di Atas Bukit, dapat dikatakan dongeng etnografis kehidupan manusia dan

masyarakat Jawa dalam perubahan sosial dari budaya agraris ke budaya kota. Dengan

gaya realisme yang melukiskan manusia di sebuah masyarakat, novel-novel

Kuntowijoyo kental dengan informasi etnografis, bahkan informasi kesejarahan.

Akan tetapi, sebagai novel pastilah Kuntowijoyo tidak bermaksud menyampaikan

informasi etnografis dan unsur kesejarahan, melainkan memandang bagaimana

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 88: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

perubahan sosial berlangsung di suatu masyarakat yang dengan sendirinya mengubah

sistem masyarakat. Perubahan itu sendiri merupakan gerak sejarah yang niscaya

dalam pertumbuhan masyarakat.

Novel-novel Kuntowijoyo konsen merenungi masalah-masalah kemanusiaan

dan kemasyarakatan. Rujukannya pada realitas tertentu, bahkan peristiwa sosial dan

sejarah, tidak terlalu sulit dibuktikan. Novel Kuntowijoyo lebih tepat disebut sebagai

novel sosial karena sebagaimana dikonsepkannya, novel sosial dapat menggunakan

peristiwa sejarah kontemporer sebagai bahannya. Peristiwa sejarah kontemporer

barangkali di zaman pengarang hidup hanya disebut sebagai peristiwa sosial saja.

Akan tetapi, pada suatu hari bukan tidak mungkin peristiwa sosial sudah dipahami

sebagai peristiwa sejarah.

Seperti umumnya cerpen-cerpen Kuntowijoyo, novel-novelnya juga

dituturkan dengan gaya realisme. Realisme adalah gaya penulisan yang menurut

Lukacs merupakan jalinan lengkap hubungan antara manusia, alam, dan sejarah. Oleh

karena itu, tugas seorang penulis realis adalah meluaskan kecenderungan dan

kekuatan khusus dalam mewujudkan perasaan dan tindakan individu. Seorang realis

senantiasa mengintegrasikan individu ke dalam keseluruhan masyarakat dan

menginformasikan setiap kekhususan dalam kehidupan sosial dengan kekuatan

“sejarah” atau sebuah pergerakan (Eagleton, 1976:28).

Kuntowijoyo tentu bukan seorang Marxis, meski karya-karyanya menggali

persoalan masyarakat kecil, miskin, dan terpinggirkan terutama oleh perilaku politik

rezim Orde Baru dan kerakusan kapitalisme yang membendakan manusia. Sementara

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 89: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

itu, dari bentuk ucap karyanya, khususnya cerpen dan novel, Kuntowijoyo bukan

jenis novelis yang amat peduli dengan formalistik suatu bentuk ucap. Isi atau pokok

soal (subject matter) sering menjadi perkara yang lebih penting yang kemudian

menentukan kehadiran bentuk karya itu sendiri.

Dari segi penuturan, hampir semua karya-karya Kuntowijoyo cenderung

dituturkan dalam kombinasi narasi telling (ceritaan) dan showing (ragaan). Suatu

gaya yang sebenarnya cukup umum dilakukan para pengarang Indonesia, kecuali

Budi Darma yang cenderung bergaya telling atau Umar Kayam dan Putu Wijaya yang

umumnya bergaya showing. Jika cerita yang menggunakan gaya telling

menitikberatkan pada jalinan narasi, maka gaya showing berusaha menghadirkan para

tokoh secara langsung, terutama malalui dialog, sehingga seakan langsung melakukan

“pertunjukan” di hadapan para pembaca (Boot, 1973:215). Pendek kata, cara bercerita

Kuntowijoyo memadukan gaya telling dan showing.

Novel-novel Kuntowijoyo menghadirkan dua dunia yang bersebrangan. Dua

dunia itu berdialektika yang kemudian memunculkan semacam sintesis. Selain gaya

berpadunya penceritaan telling dan showing, unsur-unsur kisah lainnya menunjukkan

dua dunia yang berpadu: tokoh tua-muda dan tokoh pria-wanita, sikap kasar-lembut

dan jahat-baik, latar kota-desa dan pasar-mesjid, keberadaan yang lahir-yang gaib dan

manusia-Tuhan, peristiwa budaya tradisi-modern dan mitos-realitas. Dikotomi itu

berhadapan, tetapi hampir tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama penting, saling

terkait, dan tidak terelakkan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 90: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Pola cerita yang dibangun secara dikotomis itu adakalanya menjadi kisah

tampak sekali hitam-putih. Dengan sendirinya, di luar dunia yang dihadapkan masih

banyak segi dan masalah yang tidak tergali. Pergulatan bahasa yang digunakan

Kuntowijoyo tampak lebih menonjol sifat alegoris dan didaktisnya. Selain karakter

tersebut, keyakinan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo turut memengaruhi

kecenderungan hitam-putih novel-novel tersebut. Itu sebabnya pesan atau gagasan

dalam karya Kuntowijoyo tidak terlalu sulit untuk digali dan dirumuskan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 91: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB V

MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO

5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

Secara etimologi kosmologi berasal dari perkataan “kosmos” yang berarti

dunia, aturan, atau alam, dan logos yang berarti rasio atau akal. Jadi, kosmologi dapat

diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang alam (dunia), akan tetapi

dikatakan bahwa kosmologi merupakan ajaran atau ulasan tentang dunia (Bertens,

1985:13).

Kosmologi juga merupakan telaah mengenai alam semesta skala besar. Istilah

kosmologi yang berasal dari bahasa Yunani kosmos diterapkan pertama kali oleh

Pythagoras (580-500 SM) untuk menggambarkan keteraturan dan harmoni

pergerakan benda-benda langit. Istilah ini dipakai lagi dalam pembagian filsafat

Christian Wolf (1679-1754). Dalam pengertian Wolf ini, alam semesta diselidiki

menurut menurut inti dan hakikat yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan

maknanya. Titik tolak kosmologi adalah kesatuan manusia dan alam semesta serta

dunia yang dialami manusia.

Hegel berpendapat bahwa topik pokok kosmologi meliputi persoalan-

persoalan contingensi (kemungkinan, hal-hal yang kebetulan), necessity (keharusan),

limitations and formal laws of the world (batas-batas formal dalam hukum-hukum

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 92: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

formal alam), dan the freedom of man and the origin of evil (kebebasan manusia dan

asal mula kejahatan) (Minsarwati, 2002:42).

Apabila keempat topik pokok yang dikemukakan Hegel tersebut dihubungkan

dengan keberadaan suatu mitos maka terdapat hubungan yang erat antara keduanya,

karena dalam tema sentral suatu mitos adalah manusia (antroposentris) dan dunia

(kosmogenesis).

Kosmologi sebagai suatu kepercayaan dan asumsi orang tentang alam, yaitu

makhluk-makhluk dan kekuasaan yang mengandaikannya, bagaimana organisasi

alam semesta itu, apa peranan dan tempat manusia di dalam alam, jawaban yang

diberikan bisa berupa suatu kemungkinan ataupun suatu keharusan yang terjadi pada

mitos. Ternyata antara manusia dan alam mempunyai hubungan yang erat sebab

manusia secara obyektif tidak hanya merupakan bagian dunia saja, tetapi juga

menguasai diri dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia. Ini

berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh

merupakan refleksi atas dunia. Jadi, manusia dan dunia saling mengimplikasikan.

Peranan mitos dalam diri manusia terungkap pula dalam antropologi budaya,

karena mitos sebagai suatu cerita suci berbentuk simbolis, yang mengisahkan

serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-

perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrat manusia,

pahlawan dan masyarakat, sebagai suatu semantik budaya khas, cerita sakral tentang

keadaan purba masa lampau yang membahas hal-hal yang tidak dikehendaki dan

mencoba menjawab sebagai masalah dasar.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 93: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Menurut Syaifuddin (2005:79) kajian kosmologi selalu bertolak dari kisah-

kisah yang diistilahkan dengan mitos yang berasaskan tradisi lisan yang merupakan

sebagian dari budaya rakyat. Hal ini tampak misalnya pada keterkaitan hubungan

sifat bahasa, sistem kepercayaan, agama, dan adat dengan kosmologi budaya

masyarakat Melayu Pesisir Timur. Pada masyarakat Melayu ini, sifat manusia, alam

semesta, alam gaib, kehidupan manusia dan magik lebih kentara. Keterkaitan

hubungan ini sekaligus menunjukkan kepercayaan mereka terhadap kebudayaannya.

Hubungan antara manusia dan alam dalam pandangan filsafat Jawa pun ini

sangat erat kaitannya, karena secara kosmologis kehidupan di dunia merupakan

bagian dari kesatuan yang meliputi segalanya. Dalam kesatuan itu, semua gejala

mempunyai tempat dan berada dalam hubungan-hubungan yang saling melengkapi

dan terkoordinasi satu sama lain. Kesatuan eksistensi itu mendapatkan titik

puncaknya pada pusat yang meliputi segalanya, pada Yang Maha Satu (Hyang

Suksma), yaitu hidup (urip). Darimana suksma eksistensi itu berasal dan kepada siapa

harus kembali (Mulder, 1985:17-18).

Pemikiran mitologis pertamakali diruntuhkan ketika muncul pemahaman

kosmologi pada zaman Yunani kuno dengan dimulai suatu pertanyaan: apakah asal

mula dari kehidupan itu atau apa penyusun dasar dari kehidupan? Cetusan itu

pertamakali muncul pada filsuf Thales yang mengatakan bahwa alam semesta

terbentuk dari air, kemudian Anaximenes berpendapat bahwa awal mula kehidupan

dari udara, sedangkan Anaximander mengatakan bahwa awal mula kehidupan dari

apeiron, dan Heroklitos meyakini bahwa awal mula kehidupan berasal dari api

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 94: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

(Bertens, 1984:26). Ketiga komponen penyusun kehidupan ini berupa air, udara, dan

api merupakan substansi penyusun dasar alam semesta, dan ketiga substansi itu

semua ada pada diri manusia karena manusia hidup memerlukan air, udara, dan api.

Sedang dalam alam semesta tidak didapatkan unsur manusia. Jadi, di sini manusia

memerlukan sekali kehadiran alam sehingga terjadi hubungan yang erat antara

manusia dan alam.

Pendapat ini sesuai dengan pendapat Strauss (Minsarwati, 2002:46) bahwa

alam menjadi suatu pengalaman yang menentukan hidup. Ia meyakini bahwa manusia

bukanlah makhluk di luar alam dan makhluk agresif terhadap alam, melainkan

sebagai bagian dari alam; manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang

menentukan hidup dan pikirannya. Manusia bukan subyek bebas, otonom, sadar,

yang mahakuasa, melainkan ia memainkan peranan sebagai sarana dalam proses

pemekaran diri alam itu.

Manusia juga sering menggunakan segi-segi yang lembut dalam alam raya

untuk menggambarkan kelembutan manusia dan menggunakan sifat-sifat alam yang

perkasa untuk menggambarkan seorang prajurit yang sedang maju perang.

Berdasarkan uraian di atas, terlihatlah bahwa manusia Jawa dalam novel-

novel Kuntowijoyo berkedudukan sebagai makrokosmos (jagad besar) karena di

dalam tubuh manusia terdapat unsur air, udara, dan api. Sedangkan pasar dan

pedesaan yang merupakan salah satu bagian dari lingkungan alam berlaku sebagai

mikrokosmos (jagad kecil). Keduanya ternyata mempunyai hubungan yang erat yang

tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya merupakan satu kesatuan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 95: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Dengan kata lain, manusia tanpa dunia adalah tidak mungkin, sebaliknya dunia tanpa

manusia bukanlah dunia manusia. Kemanunggalan alam dan semua makhluknya yang

ada di dalam itu merupakan unsur pokok dalam pikiran orang Jawa. Jadi, dapat

dikatakan bahwa filsafat Jawa bertendensi monistik. Semua berasal dari Tuhan

sebagai pencipta alam dan akhirnya kembali pada-Nya.

5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa

Salah satu mitos yang bercorak kosmologis tercermin pada masyarakat

pedesaan yang diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara tradisi. Masyarakat Jawa

memahami benar anugerah yang diberikan Yang Maha Kuasa, untuk itu mereka

melakukan upacara atau selamatan secara turun temurun yang dimaksudkan untuk

memeroleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan-gangguan makhluk halus.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa selain manusia sebuah desa juga dihuni oleh

makhluk halus.

Keyakinan adanya makhluk halus ini pun dirasakan oleh Abu Kasan Sapari

dalam novel MPU, berikut cuplikannya.

Orang Jawa bilang jim untuk jin...Jin adalah makhluk alamiah, seperti halnya batu, bukit, dan langit...Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab, di sana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya jin ialah Nyi Lara Kidul (MPU:36-37).

Sebagai wujud penghargaan kepada makhluk halus tersebut, masyarakat Jawa

memberikan upeti, yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan. Menurut

Koentjaraningrat (2002:84) bahwa tindakan kehidupan keagamaan orang Jawa

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 96: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara

keagamaan dan perbuatan keramat. Mengenai selamatan dikenal ada bermacam-

macam bentuk. Hal tersebut selalu berkaitan dengan kelahiran, kematian, dan

pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.

Wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi

slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan

ruwatan yang dijelaskan sebagai berikut.

a. Slametan

Hal yang menonjol dari masyarakat Jawa adalah kuatnya ikatan solideritas

sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan

pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh

tersebut (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-

relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan roh nenek moyang menjadi

sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.

Ritus ritual sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen, adalah slametan,

suatu perjamuan makan seremonial sederhana; semua tetangga harus diundang dan

keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Pada acara

ini terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai

kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus menimbulkan perasaan kuat

bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang

memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 97: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Ritus selamatan sebagai sebuah awal kerja besar pada hakikatnya merupakan

manifestasi pengakuan pada permohonan dan pemuliaan terhadap Yang Menciptakan

Jagad. Pengakuan dan permohonan sampai pemuliaan tersebut, sesuai dengan tradisi

kuno nenek moyang, akhirnya merupakan penjelmaan simbol konkretisasi tindakan.

Oleh karena itu, ritus selamatan ibarat surat ijin formal.

Ritus selamatan itu pula, dalam berbagai bentuk dan tujuan, dilakukan oleh

banyak anggota etnik di Indonesia – kelahiran, pernikahan, kematian, yang masing-

masing dianggap tidak cukup hanya diselamati satu dua kali – pada gilirannya

menyematkan identitas dan predikat bahwa bangsa Indonesia diasuh dan ditayang

oleh tradisi budaya magis-mistis. Sedangkan preparasi yang dipakai ritus pastilah

bervariasi ragam dan modelnya, bergantung pada tradisi yang sudah diwariskan

secara turun-temurun. Langkanya usaha melakukan riset, transkripsi, dan penerbitan

cetak pada era transformasi budaya tradisional dan modern akhir abad 20

mengakibatkan masalah yang berkaitan erat dengan budaya upacara hanya dihafal

oleh para pemuka komunitas etnik atau para lokal jenius dan cendikiawan setempat.

Itulah sebabnya pada konteks kehidupan urban masa kini seluk-beluk yang

menyangkut tradisi ritual komunitas etnik tetap bernasib serba lisan.

Tradisi slametan berakar dari budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata

slamet ( Arab : salamah ) yang berarti selamat, bahagia, dan sentosa. Slametan adalah

kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara

di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang besar, mulai dari tedak siti

(upacara menginjak tanah), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 98: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan

penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk

menahan kekuatan kekacauan (tolak bala). Menurut Pamberton (Mulder, 2005:89),

praktik yang sarat dengan makna slametan tersebut dilaksanakan dengan maksud agar

dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan roh penunggu

desa ( dhanyang ).

Hal ini pun terlihat jelas dalam novel P, meskipun sudah berpikiran modern

masyarakat Jawa masih saja memercayai tradisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut.

Selamatan pasar baru! Dan dia datang untuk itu! Ikut bersenang bersama keruntuhan pekerjaannya! Macam-macam pikirannya waktu makan...Setelah selesai makan. Paijo baru sadar sungguh, ia orang asing di situ dan selamatan itu juga ditujukan untuk menyelamati bangkrutnya pasarnya (P:57).

Novel P menggambarkan Kasan Ngali sebagai tokoh yang menghalalkan

segala cara demi memuaskan nafsunya. Ia mendirikan pasar baru di depan rumahnya

untuk menyaingi pasar pemerintah yang dipimpin oleh Pak Mantri, yang pada

akhirnya pasar saingannya itu bangkrut. Untuk merayakan berdirinya pasar baru

miliknya sekaligus merayakan kebangkrutan pasar pemerintah itu, Kasan Ngali

mengadakan selamatan. Ia mengundang warga setempat, termasuk Paijo. Padahal

Paijo adalah pegawai pasar pemerintah dan orang kepercayaan Pak Mantri.

Di dalam novel ini terjadi pergeseran fungsi dan pemahaman pada masyarakat

Jawa tentang selamatan. Selamatan yang awalnya ditujukan untuk niat yang baik dan

untuk keselarasan seluruh makhluk di bumi berubah maknanya bagi orang-orang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 99: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai

alat untuk melancarkan usahanya semata.

b. Sesajen

Tradisi sesajen (sajen) dijadikan sebagai sarana ritual keagamaan untuk

memohon restu nenek moyang. Dalam ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap

sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon

wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama

asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut ‘religion magic’ dan merupakan

sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya

masyarakat Jawa.

Sajian terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah yang sangat kecil,

yang antara lain terdiri dari nasi tumpeng, berbagai jenis panganan, rempah-rempah,

bermacam-macam benda kecil yang diatur di atas sebuah pinggan kecil yang terbuat

dari sebuah bambu (acak).

Orang-orang desa selalu meletakkan sajen di sudut-sudut petak sawah pada

saat-saat kritis dalam siklus pertanian ; para keluarga petani di desa maupun orang

kota meletakkannya di berbagai tempat di sekitar rumah, di halaman, dan di

persimpangan jalan, pada tiap hari Kamis malam (malem Jemuwah).

Perhatikan kutipan berikut.

Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain ketua rombongan …harus ada restu danyang kuburan...Tapi restu bersyarat : danyang minta sajen…kembang menyan setiap malem Jum’at (WdS:112).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 100: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang

dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, Smith

(Sani, 2008:2) menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat

pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk

berbakti kepada dewa ataupun mencari kepuasan batin yang bersifat individual saja,

tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian

dari kewajiban sosial.

c. Penamaan Anak

Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu

memperhitungkan hari-hari baik. Orang Jawa mengenal adanya perputaran musim

yaitu, waktu selama lima hari yang disebut hari pasaran. Hari pasaran tersebut yakni,

Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kemudian perputaran waktu selama tujuh hari

yang disebut Saptawaca yaitu: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan

Minggu. Sistem yang dipergunakan dalam pasaran atau disebut Pancakara,

berhubungan dengan mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu

memerintah dunia untuk pertamakalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian

yaitu: Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasa Kliwon

dan Jum’at Kliwon dianggap sebagai hari sakral karena pada hari-hari itu banyak

makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia.

Realitas budaya Jawa saat pemberian nama pada anak tergambar melalui

tokoh Satinah. Orang tua Satinah berulang-ulang mengganti nama anaknya karena

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 101: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dianggap kurang serasi memakai nama tertentu. Ada kepercayaan bahwa nama

menentukan nasib si anak kelak. Mistifikasi nama akan berpengaruh pada pemilihan

jodoh karena huruf pertama dari nama diyakini dapat menentukan jodoh-tidaknya

pasangan. Mistifikasi kelahiran dapat dilihat pada perhitungan soal neptu.

Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem…Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Jawa…Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai…nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia…karenanya nama harus serba baik. Sati itu bahasa Hindu, artinya setia (WdS:42-43).

Kecenderungan sikap tersebut disebabkan karena masyarakat Jawa sebagian

besar adalah petani pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan

kedekatan dengan alam. Oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya

anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus

melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya

ketidakselarasan (disharmoni) dan ketidaksinambungan (diskontiniusitas) kosmos,

yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum

mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos

sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah

(status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang

dicita-citakan. Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara

empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media

yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan kenyataan ( das sein ), sekaligus

sebagai pengatur (regulator) perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 102: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

perubahan, masyarakat Jawa bisa menerima dengan perlahan, tanpa paksaan dan

berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.

d. Pengkultusan Orang

Mitologisasi orang yang diyakini masyarakat Jawa hingga sekarang yaitu

mitos tentang Walisongo. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga. Sebelum menjadi

penyebar agama Islam di Jawa, konon Sang Wali bertemu dengan Nabi Khidir

sehingga memiliki kesaktian tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Para

Wali Sanga (Sembilan Wali) inilah yang berhasil mengubah suatu sistem hierarki

kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai pelaksana perintah Tuhan YME

saja dan bukan sebagai Tuhan.

Hal serupa pun diyakini masyarakat dialami tokoh Wasripin dalam novel

WdS. Wasripin diyakini masyarakat di Perkampungan Nelayan pernah didatangi Nabi

Khidir dan memiliki kesaktian. Tokoh Wasripin direfleksikan sebagai perwujudan

sikap baik yang setara dengan Nabi Khidir yang membawa keberuntungan pada siapa

pun. Akibatnya apa yang dilakukan Wasripin akan dilakukan juga masyarakat

tersebut.

Kabar bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu telah menular pada semua orang (WdS:29). … Para nelayan melaut dengan foto Wasripin di perahunya…perolehan nelayan selalu besar…bahwa foto Wasripin membawa keberuntungan…(WdS:101) … Saya tidak dapat menangkap seekor ikan pun, saya sebut nama Wasripin, ikan-ikan seperti ditumpahkan dari langit. Anak saya demam, saya sebut nama

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 103: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Wasripin… sembuh. Suami saya pegel…Wasripin datang memijat…paginya ia bekerja…Istri saya bengek…sembuh. (WdS:242-243) Penanaman watak pengkultusan ini direpresentasikan melalui media jual beli.

Penduduk yang notabene nelayan menularkan kepercayaan itu pada orang-orang di

pasar. Orang-orang di pasar menyampaikan pada keluarganya. Para nelayan dan

orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh desa dan kecamatan.

Terkait dengan perilaku mitos dan perilaku kejawen, masyarakat Jawa

menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua simbol memiliki kadar kekayaan

makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan terus, di masa lampau tradisi besar

Islam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu membendung pembentukan

mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para wali misalnya, adalah lebih merupakan

mitos daripada sejarah.

e. Ritual Sowan dan Ruwatan

Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan orang Jawa begitu kuat

sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. Akibatnya, memunculkan

budaya sowan dan ruwatan pada masyarakat sebagai ritual buang sial. Mereka

memutuskan untuk melaksanakan ritual tersebut karena telah mengakar sejak lama.

Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus SD tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi kesialan pada ayah-ibunya malahan bertambah... Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar dan minta nama baru lagi …Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak diruwat dia akan dimakan Batara Kala (WdS:43-45). Orang tua Satinah dalam novel WdS melakukan ritual sowan dan ruwatan

untuk melindungi putrinya karena Satinah merupakan anak tunggal dalam

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 104: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

keluarganya. Upacara ruwatan dimaksudkan untuk melindungi anak-anak terhadap

bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bhatara Kala, yakni Dewa

Kehancuran. Berbagai jenis kombinasi dalam satu keluarga yang dianggap berbahaya,

menyebabkan bahwa anak-anak tersebut mudah terkena bahaya, penyakit, dan

kematian karena mereka menjadi mangsa Bathara Kala itu. Berbagai kombinasi anak

yang berbahaya adalah:

1. Anak tunggal (ontang-anting).

2. Anak pria dengan beberapa adik wanita (pancuran piniring sendhang).

3. Anak wanita dengan beberapa adik pria (sendhang piniring pancuran).

4. Dua bersaudara : seorang pria dan seorang wanita (kedhana-kedhini).

5. Empat bersaudara : dua pria dan dua wanita (sekar sepasang).

6. Anak kembar (putra kembar).

7. Anak pria dengan seorang kakak dan seorang adik wanita (pancuran kapit

sendhang).

8. Anak wanita dengan seorang kakak pria dan adik pria (sendhang kapit

pancuran).

9. Anak pria di antara tiga saudara wanita (uger-uger lawang).

10. Anak wanita di antara tiga saudara pria (upit-upit).

11. Empat anak yang semuanya pria (putra sarombe).

12. Empat anak wanita yang semuanya wanita (putra sarimpi).

13. Lima anak yang semuanya pria (putra pandhawa).

14. Lima anak yang semuanya wanita (putra pandhawa padangan).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 105: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Ritual ruwatan juga perlu diadakan bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat

menyebabkan keadaan bahaya, seperti apabila batu penggiling rempah-rempah

(gandhik atau pipisan) atau periuk untuk menanak nasi, jatuh atau pecah. Apabila

orang memutuskan untuk mengadakan ritual ruwatan maka seorang dhukun petangen

dimintai pertolongan untuk memilih hari baik untuk menyelenggarakan upacara

tersebut.

Pemahaman masyarakat tentang sowan dan ruwatan ini berasal dari pengaruh

agama Hindu di Jawa. Tradisi itu mengakar melalui dongeng-dongeng yang

disampaikan masyarakatnya secara turun-temurun. Menurut Danandjaja (2002:50),

cerita-cerita seperti itu digolongkan pada jenis mite (myth). Mite adalah cerita prosa

rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya

cerita. Mite menceritakan tokoh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa

terjadi di dunia lain, atau dunia yang bukan kita kenal seperti sekarang ini.

5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa

Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup.

Pandangan ini terbentuk oleh suatu cara berpikir dan merasakan tentang nilai-nilai,

organisasi sosial, perilaku, peristiwa-peristiwa, dan segi-segi lain dari pengalaman.

Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman itu dan pada

gilirannya mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.

Pandangan hidup orang Jawa berakar pada adat-istiadat (tradisi) agama,

kepercayaan, dan kebudayaan. Pandangan hidup tersebut pada dasarnya menekankan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 106: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

keselarasan dan keseimbangan, baik terhadap diri sendiri, alam, maupun Tuhan.

Sikap hidup seperti ini sudah diatur dalam macam-macam peraturan seperti kaidah-

kaidah, etika Jawa (tata krama) yang mengatur keselarasan dalam masyarakat,

peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan, dan kaidah-

kaidah moral yang menekankan sikap dan perbuatan moral. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Mulder (2005:20) bahwa javanisme yaitu agama beserta

pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan

keseimbangan, sikap “nrimo” terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil

menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta.

Hakikat hidup yang benar adalah hidup berselaras dengan diri sendiri, masyarakat,

dan Tuhan.

Pada hakikatnya sistem kepercayaan orang Jawa bersumber pada sistem etika

dan pandangan hidup. Dengan demikian, dalam sistem kepercayaan Jawa terdapat

serangkaian pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan serta cara-cara

mencapai sesuatu yang sebaik-baiknya. Bermacam-macam pengetahuan, petunjuk,

perintah, resep, dan strategi-satrategi adalah untuk menyesuaikan diri dan

membudidayakan lingkungan hidup yang bersumber pada sistem etika dan

pandangan hidup masyarakat Jawa. Dengan demikian, di sini dijumpai berbagai

aturan dan ukuran untuk menilai tujuan-tujuan hidup dan menentukan mana yang

lebih lama dan berharga, serta beragam cara ini juga mengidentifikasi bahaya yang

mengancam dan bagaimana cara mengatasinya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 107: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Serangkaian pengetahuan tersebut dipenuhi oleh kompleksitas nilai yang

mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan sang

pencipta serta alam adikodrati. Oleh karena itu masyarakat pedesaan Jawa dalam

menghadapi sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbangan-

pertimbangan rasional, akan tetapi juga melibatkan emosi, sehingga seolah-olah telah

menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan yang dijadikan pedoman

hidupnya.

Orang Jawa percaya terhadap dunia gaib, khususnya yang tinggal di daerah

pedesaan. Menurut kepercayaan mereka dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk halus

dan kekuatan-kekuatan gaib. Pandangan hidup dan kejadian-kejadian yang dialami

berkaitan dengan alam gaib (adikodrati) tersebut. Melalui bersemedi atau bertapa,

orang akan dapat memeroleh kekuatan sakti. Kekuatan itu dapat dipakai untuk

mengabdi pada masyarakat dan bisa juga dipergunakan untuk kepentingan pribadi

yang dapat merugikan orang lain.

Orang Jawa tidak membedakan antara sifat religius dan bukan religius.

Interaksi sosial sekaligus dinyatakan sebagai sikap terhadap alam yang mempunyai

relevansi sosial. Pandangan terhadap orang bersifat keseluruhan, artinya tidak ada

pemisahan secara tegas antara individu dengan lingkungan, golongan, zaman,

maupun dengan alam adikodrati. Oleh sebab itu, dengan sendirinya orang Jawa tidak

mampu memisahkan urusan dunia sini (empirik) dengan dunia sana (metaempirik)

(Suseno, 2003:82).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 108: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Apabila diperhatikan, dalam pandangan hidup maupun kepercayaan orang

Jawa, akan tampak secara khusus alam pikiran orang Jawa yang memercayai hal-hal

gaib. Untuk menggambarkannya maka orang Jawa mengenal apa yang disebut

dengan simbol dan mitos. Dunia Jawa adalah dunia yang penuh dengan simbol,

karena itu untuk memahami orang Jawa kita harus memahami simbol-simbol yang

melingkupinya.

Pandangan hidup orang Jawa, khususnya masyarakat pedesaan percaya pada

hal-hal yang bersifat mitis. Banyak cerita-cerita atau gugon tuhon yang muncul dalam

berbagai versi tentang mitos terjadinya sebuah desa atau kerajaan di Jawa. Penduduk

tersebut mengenal pendiri desa atau kerajaan melalui cerita-cerita secara turun-

temurun. Asal-usul tokoh itu selalu dihubungkan dengan cerita-cerita yang terdapat

dalam pertunjukan wayang atau ketoprak, yaitu para ksatria keraton yang memiliki

kesaktian dan pengikut. Kuburan atau peninggalan para tokoh dianggap keramat dan

dipercayai bahwa roh-roh mereka masih tinggal di sekitar desa sehingga dapat

dimintai pertolongan.

Masyarakat Jawa juga memercayai bahwa cerita-cerita yang berasal dari epos

Ramayana dan Mahabrata terjadi di Pulau Jawa. Sebagai contoh, mereka percaya

bahwa Yudhistira, salah satu tokoh Pandawa dalam epos Mahabrata dimakamkan di

pekarangan mesjid Demak, Jawa Tengah, dan makam itu berukuran 3 meter. Mereka

juga percaya bahwa negeri Amartapura, tempat para Pandawa tinggal adalah Pulau

Jawa.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 109: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Sedemikian besar penghayatan mereka pada mitologi Jawa yang berasal dari

epos Ramayana dan Mahabrata sehingga mereka memandang bahwa hidup ini

sebagai peperangan antara kekuatan khaos (kekacauan) dan kekuatan ordo

(ketertiban) (Sardjono, 1992:22). Dalam Mahabrata, pihak Kurawa melambangkan

kekuatan khaos dan pihak Pandawa melambangkan kekuatan ordo.

Peranan tokoh pewayangan ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat

Jawa. Tidaklah berlebihan jika Sardjono (1992:24) mengatakan bahwa wayang

merupakan identitas utama manusia Jawa. Mereka mengidentifikasikan dirinya

dengan tokoh-tokoh dari pihak Pandawa, dan menghindari pengidentifikasian dengan

tokoh-tokoh Kurawa. Dengan kata lain, tokoh-tokoh tersebut menyimbolkan watak

dan perilaku manusia untuk mencapai tujuan hidup. Berikut penjelasan tentang hal-

hal yang dijadikan pandangan hidup masyarakat Jawa, yaitu: raja sebagai pemusatan

kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut

Selatan.

1. Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis

Raja merupakan orang yang memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang

besar dalam dirinya sendiri, sebagai orang yang sakti sesakti-saktinya. Raja bisa

dianggap sebagai pintu air yang menampung seluruh air sungai dan bagi tanah yang

lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan. Atau sebagai lensa

pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya ke bawah.

Kesakten sang raja diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 110: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dipegangnya. Semakin besar kekuasaan raja, semakin luas pula wilayah

kekuasaannya. Perhatikan kutipan berikut.

Raja itu mempunyai tiga macam wahyu. Wahyu nurbuwat, artinya raja mempunyai kekuasaan, raja dapat menentukan abang-birunya kerajaan, kalau sekarang ya hijau-kuning-merahnya wilayah. Kedua, wahyu hukumah artinya wewenang mengadili, yang sekarang ada pada pengadilan. Ketiga, wahyu wilayah, artinya ia adalah wali Tuhan, harus menjadi contoh bagi masyarakatnya (MPU:79). Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari seorang raja yang

berkuasa mengalirlah ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekelilingnya.

Kekuasaan raja juga tampak dalam kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi

bencana-bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi.

Disebabkan semua peristiwa alam berasal dari kekuatan kosmis yang sama yang

dipusatkan dalam diri raja, maka tidak mungkin ada kekuatan-kekuatan, termasuk

kekuatan alam, yang bisa bergerak. Oleh karena itu, kekuasaan raja kentara semuanya

tentram, panen yang berlimpah ruah, atau yang disebut orang Jawa sebagai adil

makmur. Masyarakat semacam itu merealisasikan cita-cita Jawa tentang keadaan

yang tata tentrem karta raharja.

Apabila sesorang sudah menjadi raja, ia akan berusaha untuk terus

memperbesar kekuasaannya. Demi tujuan itu ia akan mengumpulkan semua potensi

magis yang terdapat dalam wilayah kekuasaannya, misalnya benda-benda keramat,

terutama pusaka-pusaka kerajaan, seperti keris, tombak, dan gamelan. Ia ingin

dikelilingi oleh manusia-manusia yang dianggap keramat, menarik dukun-dukun dan

resi-resi termasyhur ke keratonnya, tetapi juga orang-orang aneh seperti orang-orang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 111: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

cacat, bule dan eksot-eksot lain. Kecuali itu, secara teratur raja mengunjungi candi-

candi dan tempat-tempat ziarah dalam kerajaannya, terutama makam-makam raja-raja

dahulu. Dengan mengunjungi mereka, raja yang hidup mewarisi kekuasaan

adikodrati.

Sebagaimana kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan

kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri, begitu pula seorang raja dapat kehilangan

kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan itu. Tanda bahwa

kekuasaannya mulai runtuh ialah kekacauan-kekacauan, pemberontakan-

pemberontakan, rasa tidak puas rakyat, kebejatan moral yang semakin merajalela,

serta bencana-bencana alam dan panen yang gagal. Sebagai utusan keruntuhan yang

akan datang muncullah para resi, begawan, dan ajar. Tetapi bukan mereka yang sudah

tetap tinggal di keraton dan oleh karena itu barangkali terkena korupsi. Melainkan

orang-orang keramat yang hidup menyepi jauh dari masyarakat di gunung-gunung

dan di hutan-hutan, dikelilingi oleh murid-muridnya. Apabila mereka meninggalkan

padepokan-padepokan mereka untuk muncul di keraton dan menyuarakan

kemerosotan yang semakin meluas serta untuk memperingatkan bahwa dinasti yang

berkuasa akan jatuh. Maka penguasa sudah berada dalam situasi yang kritis baginya.

Reaksi yang biasanya kasar dan penuh kekerasan hanya membuktikan bahwa ia

memang tidak lagi dapat mengontrol keadaan, karena andaikata ia masih berkuasa

maka tdaka perlu memakai cara-cara yang kasar, bahkan tidak perlu menghiraukan

para pengkritik.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 112: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti

hawa nafsu pribadinya, mengumpulkan kekayaan, dan mencari hidup yang enak-enak

saja, sebenarnya menyiapkan keruntuhannya sendiri. Ia memboroskan energi batin,

menjadi kasar, dan semakin tergantung dari luar. Menurut Anderson (2003:70)

pertentangan antara yang baik dan buruk alam wayang harus dipahami sebagai

pertentangan antara mereka yang bebas dari pamrih dan mereka yang membiarkan

kekuasaan menguap karena berpamrih, dan oleh karena itu akhirnya juga dikalahkan.

Begitu pula dengan kiseh pewayangan, misalnya Rahwana yang sedemikian sakti

sehingga para dewa pun gemetar, dalam Ramayana dapat dikalahkan oleh Rama,

karena ia menuruti hawa nafsunya dan menculik Sinta, istri Rama.

Jadi, bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari luar,

melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak dapat

berbuat apa-apa selama ia dapat memusatkan segala energi kosmis dari dalam

dirinya, tetapi ia kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya

menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egoisnya.

Perilaku penguasa (Orde Baru) yang irasional dan sewenang-wenang demi

mempertahankan kekuasaan tampak pula dalam novel-novel Kuntowijoyo, khususnya

dalam novel MPU dan WdS. Abu Kasan Sapari, Wasripin, dan Pak Modin dituduh

sebagai anti-negara dan anti-Pancasila. Perhatikan kutipan berikut.

Ketua Partai Randu Desa yang meliputi perkampungan nelayan pagi-pagi sekali menemui Wasripin. “Ini rahasia. Saya dapat bocoran informasi penghargaan itu tidak akan diberikan. Pusat yang melarangnya, alasannya macam-macam yang anehlah. Di antaranya, KTP tidak ada. Jadi kau penduduk gelap. Kau dituduh PKI atau DI/TII...”(WdS:188).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 113: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Begitulah rezim penguasa Orde Baru sekian lama mempertahankan kekuasaan

dengan berbagai cara, termasuk menuduh warga negaranya secara serampangan.

Perilaku para politikus dan pejabat pemerintah dan tindak-tanduknya semata-mata

memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dikisahkan pula pada tokoh Abu

Kasan Sapari berikut.

Abu Kasan Sapari diperiksa polisi untuk menyusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Ia disuruh menyebutkan nama, pekerjaan, nama-nama orang tua, paman, dan saudara-saudaranya, serta pekerjaan mereka. Terlibat perkara polisi? Tidak seorang pun. Apakah ada di antara mereka semua yang terlibat G30S/PKI? Tidak seorang pun. Ekstrem kanan, tidak seorang pun. “Apa Saudara tahu mengapa ditahan?” tanya polisi. Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. Polisi pemeriksa geleng-geleng. Pemeriksa lapor bahwa tidak ditemukam tanda-tanda kriminalitas, juga tanda-tanda ekstrem kiri dan ekstrem kanan (MPU:157). Sebagai seniman yang akrab dengan masyarakat, mendalang merupakan

aktivitas efektif untuk menyampaikan informasi kepada masyrakat. Meski kisah

dalam wayang bersifat simbolis, masyarakat Jawa pada dasarnya cepat tanggap dalam

memahami simbol. Namun, kegiatan mendalang itulah yang membuat Abu Kasan

harus menghadapi nerbagai kendala, terlibat dalam konflik, terutama ketika mesin

politik (Golkar) merasa tersinggung karena kegiatan mendalang Abu Kasan tidak

sejalur dengan kebijakan mesin politik. Setelah camat “teladan” dipindahtugaskan,

tidak lama Abu Kasan pun dipindahtugaskan.

Begitulah, melalui novel ini Kuntowijoyo menunjukkan bahwa orang yang

berkarakter “jati” (Abu Kasan dan camat baru yang bersih dan visioner) tidak

bertahan lama karena disingkirkan mesin politik yang mendukung gerakan-garakan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 114: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Partai Randu. Program “jatinisasi” harus dipandang sebagai simbol karena budaya

Jawa, seperti juga dunia wayang kental dengan permainan simbol.

Abu Kasan hidup di zaman Orde Baru. Seperti dikatakan Budiman dalam

Anwar (2007:94) bahwa demokrasi di zaman Orde Baru seperti “gelang karet” atau

seperti melepas kucing tetapi kakinya diikat. Demikianlah jika masyarakat sejahtera

secara ekonomi, tidak ada kekurangan pasokan pangan, tidak gagal panen, kekangan

terhadap politik dilonggarkan (dalam kondisi semacam itu Abu Kasan bisa leluasa

bekerja dan mendalang). Namun, jika kesejahteraan masyarakat tersendat, ada

bencana, gagal panen, pasokan panen berkurang, dan rakyat mulai berkumpul-

kumpul dan bicara, kendali terhadap politik dikencangkan. Abu Kasan, khususnya

dalam kegiatan mendalang bisa terkena kekangannya.

Di zaman Orde Baru, seperti tampak dalam novel ini semua orang harus

bergerak untuk pembangunan. Akan tetapi, definisi dan makna pembangunan sudah

dirumuskan mesin politik yang memiliki tiga alat utama: partai, birokrasi, dan militer.

Dalam novel ini Partai Randu, Lurah-Camat-Bupati, dan Koramil. Jika keluar dari

irama pembangunan, termasuk dalam kegitan mendalang, akan dicap subversif atau

anti-Pancasila.

Demikianlah, Abu Kasan berada dalam pusaran pembangunan Orde Baru dan

kekuatan mesin politik. Itulah gambaran hubungan kekuasaan antara birokrasi

(pejabat kekuasaan) dengan mesin politik.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 115: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

2. Keraton sebagai Pusat Kerajaan Numinus

Bagi masyarakat Jawa, keraton itu bukan hanya suatu pusat politik dan

budaya, melainkan juga merupakan pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat

raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang

mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan. Paham ini

terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat kerajaan di Jawa

Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram II, dua ratus tahun yang lalu. Kedua

penguasa Jogjakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku jagad raya)

dan Paku Alam , para penguasa Surakarta bernama Paku Buwana (Paku jagad raya)

dan Mangkunagara (yang memangku negara).

Di zaman pra-Islam, raja dipandang sebagai penjelmaan dewa (raja-dewa)

atau sebagai berasal dari dewa. Biasanya Siwa dianggap menjelma dalam raja, tetapi

ada juga raja-raja yang dianggap sebagai penjelmaaan Wisnu. Raja Kertarajasa

(meninggal tahun 1316 M), pendiri Kerajaan Majapahit diabadikan dalam sebuah

patung yang memperlihatkannya sebagai hari-hara, sebagai campuran Wisnu dan

Siwa. Walaupun agam Islam yang antara abad XV dan XVIII meresapi seluruh Pulau

Jawa dan menolak gagasan raja-dewa, namun itu paham lama itu tetap bertahan.

Tentang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram II di dekat Jogjakarta

(meninggal tahun 1601), diceritakan bahwa ia sedemikian penuh kekuatan mistik

sehingga kawin dengan dewi penguasa Laut Selatan Nyai Roro Kidul. Sampai

sekarang pusaka sultan Jogjakarta, khususnya kereta kencana dan perangkat gamelan,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 116: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

oleh rakyat dianggap sebagai pemberi kesuburan. Apabila setiap tahun pada perayaan

Grebeg Mulud, kereta kencana dicuci, masyarakat berdesak-desakan untuk dapat

membawa pulang sedikit air cucian itu.

Pandangan tentang keraton sebagai pusat keramat kerajaan menentukan

paham negara Jawa. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, di

dekat raja, di keraton. Keraton dikelilingi oleh ibukota bagaikan cincin, di mana

keluarga-keluarga sekelompok bawahan tinggal yang langsung atau tidak langsung

hidup dari pengabdiannya atau pekerjaannya di keraton. Dari ibu kota kekuatan raja

memancar sampai ke desa-desa. Apabila seorang raja dengan kesaktian yang ampuh

menaiki tahta maka pancaran kekuatannya diperkuat dan batas-batas kerajaan meluas

sehingga lebih banyak desa masuk ke dalam wilayah penyinaran raja itu. Dalam

konsepsi Jawa, batas-batas tidak mempunyai fungsi, kenegaraan kerajaan terwujud

terutama dalam ibukota yang juga terungkap dalam kata ‘negara” yang sekaligus

berarti ibukota dan negara.

Pandangan tentang kenegaraan sebagai wilayah penguasaan kekuatan gaib

raja ini mempunyai akibat bahwa dalam paham politik Jawa, gagasan pluralitas

kekuasaan tidak pernah muncul (suatu perspektif yang dalam tahun lima puluhan

abad ini dalam Republik Indonesia muda dengan sekian banyak suku bangsa yang

bangga atas kepribadiannya sendiri menimbulkan ketegangan-ketegangan yang

berat). Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi raja. Secara khusus, ide

suatu hukum yang berada di atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam filsafat politik

Jawa. Memang, apabila kekuasaan politik dipahami sebagai aliran kekuatan yang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 117: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

hampir fisik sifatnya, yang berasal dari pribadi raja, tidak ada tempat bagi paham

hukum sebagai syarat legitimitas kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya. Raja

adalah sumber kedaulatannya, maka dalam kepustakaan Jawa tidak terdapat apa pun

yang dapat dibandingkan dengan dalam filsafat Yunani kuno tentang penguasa yang

terbaik lawan kekuasaan hukum. Hampir tidak perlu ditambah bahwa gagasan suatu

undang-undang dasar sebagai dasar hukum bagi kegiatan Negara sama sekali tidak

cocok dengan pandangan Jawa.

Keraton Jogjakarta merupakan simbolisasi dari sang pemimpin yang bergelar

Ngarso-Dalem Sampeyan-Dalem Ingkang Sinuhun-Kanjen Sultan Hamengkubuwono

Ing Ngalogo Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng

Ing Ngayogyakatra Hadiningrat, mengandung arti pemimpin yang senantiasa di

depan sebagai teladan, mempersatukan dengan kekuasaan, ngrengkuh, sengguh ora

mingguh mempersatukan, mengutamakan, dan melindungi rakyatnya (makna

Hamengku, Hamangku, Hamengkoni), karena sebagai panglima perang harus mampu

menghalau musuh manusia yang berwujud kebodohan, keterbelakangan, dan

kemiskinan, akibat ulah nafsu duniawi, dalam kapasitas dirinya sebagai hamba Allah

yang senantiasa tunduk akan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pemimpin di

tengah rakyatnya, mendorong menuju tujuan serta mewujudkan kesejahteraan dengan

keteguhan keyakinan hanya karena Allah.

Di dalam novel MPU pun, keagungan keraton itu tersirat dalam praktik

pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Berikut kutipannya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 118: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kita harus memelihara lingkungan kita, jangan malah merusak. Umpamanya, kita jangan menebangi pohon seenaknya. Jaman dulu Gunungkidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah manusia, sekali lagi, karena ulah manusia, Gunungkidul menjadi gundul, sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya (MPU:55). Keraton Yogya sebagai pusat pemerintahan kerajaan diyakini masyarakat

Jawa memiliki nilai lebih yang masih diagungkan keberadaannya. Keraton memiliki

nilai sakral yang mampu mengarahkan masyarakat untuk berbuat baik terhadap alam

dan lingkungannya.

3. Gunung Merapi

Gunung Merapi dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai keraton makhluk

halus tempat tinggal para roh leluhur, danyang, dan lelembut. Merapi juga dianggap

sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya

banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap Merapi erat kaitannya dengan

alam adikodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai kerangka landasan

untuk beradaptasi dan berinteraksi serta mendayagunakan sumber daya Merapi.

Kepercayaan ini diyakini pula oleh Keraton Jogjakarta yang diwujudkan dalam

bentuk upacara labuhan Gunung Merapi (Minsarwati, 2002:36).

Upacara labuhan adalah salah satu bentuk upacara religius yang mempunyai

makna kosmologis karena di sini terjalin hubungan yang harmonis antara kesatuan

makrokosmos dan mikrokosmos yaitu, hubungan antara Gunung Merapi-Keraton

Jogjakarta-Laut Selatan. Sesungguhnya Gunung Merapi adalah sebuah keraton yang

dibangun dengan hierarki yang sama dengan yang terdapat di Keraton Jogjakarta

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 119: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang terlatak 20 km arah selatan. Gunung Merapi ini sebagai bagian dari alam yang

diwujudkan dalam bentuk simbol api. Api mempunyai sifat panas, tidak kenal

kompromi, dan mampu membakar apa saja tanpa membeda-bedakan satu sama

lainnya. Kemudian, keberadaan Keraton Jogjakarta yang terletak persis di antara

Gunung Merapi dan Laut Selatan mempunyai simbol sebagai udara yang mengisi

kekosongan yang ada, keraton ini sebagai perpaduan antara api dan air yang dipahami

sebagai setubuh dan sejiwa. Selanjutnya, Laut Selatan yang mempunyai simbol air

mempunyai sifat rata permukaan, luas, dan selalu mengalir ke bawah.

Hubungan semacam itu juga diceritakan dalam mitos bagaimana Senopati

sebagai sultan pertama dari Kerajaan Mataram di pusat Pulau Jawa suatu hari

melakukan semedi dengan khusuk, sehingga Gunung Merapi bergetar dan menjulur-

julurkan lidah apinya, lalu laut pun bergelora dan ribuan makhluk halus berguling-

guling di tanah dan dipukuli sampai pingsan oleh kekuatan semedi itu. Roh Kanjeng

Ratu Kidul akhirnya keluar dari lautan dan menampakkan diri di depan sultan. Sang

ratu pun lalu jatuh hati dan mengucap sumpah di hadapan Senopati untuk menjadi

kekasih selamanya bahkan untuk sultan-sultan berikutnya, asalkan Senopati bersedia

makan Endhog Jagad yang diberikannya. Namun, karena merasa telur itu akan

mengubahnya menjadi jiwa tanpa raga, maka sultan pun memberikan pada tukang

kebun istana. Tukang kebun itu pun berubah menjadi roh yang menyeramkan.

Disebabkan buruk rupa maka Ki Juru Taman lalu pergi dan bersembunyi di

kedalaman perut Gunung Merapi, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Sapu

Jagad, penjaga Keraton Mataram.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 120: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Sejak itu, para sultan turun-temurun pada hari ulang tahunnya membuat sesaji

dengan mengirimkan makanan dan pakaian-pakaian kepada Kyai Sapu Jagad. Itulah

asal mula cerita sesaji di Gunung Merapi. Demikian juga sesaji dilakukan di Laut

Selatan untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul. Dan upacara ini sampai sekarang

masih dilakukan yang dikenal dengan upacara labuhan.

Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa terjadinya letusan Gunung Merapi

dikarenakan sebagai pertanda perkawinan antara dewa laki-laki yaitu Kyai Sapu

Jagad dan perempuannya Nyai Roro Kidul. Peristiwa letusan itu terjadi karena Kyai

Sapu Jagad bersama Nyai Roro Kidul sedang mencari korban manusia yang rohnya

dijadikan bala tentara mereka yaitu berupa keluarnya lahar (sebagai aspek primer)

yang memang kadang-kadang membawa korban manusia (sebagai aspek sekunder).

Hal ini juga serupa dengan keyakinan orang Jawa bahwa “gunung” dilambangkan

sebagai kekuatan laki-laki dan “laut” melambangkan perempuan. Peristiwa letusan

yang ditandai dengan keluarnya benih laki-laki pada saat persetubuhan, tanda

persetubuhan laki-laki dan perempuan. Perpaduan muntahan Gunung Merapi menuju

ke laut melambangkan wiji (sperma) calon raja Senopati. Konsepsi perpaduan itu

bermakna kesuburan yang akan menurunkan berkah. Interpretasi ini didasarkan atas

pemahaman kejawen, bahwa gunung yang diasosiasikan dengan Yoni simbol dari

istri Siwa yaitu Umo.

Seperti halnya perkawinan yang seolah-olah tidak bisa dicegah, tetapi bisa

ditata, maka “perkawinan dua kekuatan alam” atau letusan Gunung Merapi juga tidak

bisa dicegah dan perlu ditata. Oleh karena itu, untuk mendapatkan selamat, penduduk

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 121: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

tidak bisa menolak Nyai Roro Kidul berhubungan dengan Merapi, tetapi mereka

meminta agar jika Nyai Roro Kidul mengutus atau menginginkan sesuatu dari

Gunung Merapi (yaitu benih laki-laki) jangan melalui desa mereka, tetapi cukup di

kiri-kanan desa saja. Untuk itu mereka memberikan sesaji kepada kekuatan-kekuatan

gaib tersebut agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin sehingga

mereka bisa dijauhkan dari bencana Merapi.

Perhatikan kutipan berikut.

Gunung Lawu itu dulu dianggap keramat. Ditunggui raja jin bernama Sunan Lawu. Sekarang, entah ke mana raja jin itu bersembunyi, tetapi orang dengan membayar seribu rupiah dapat melewati puncaknya (MPU:32) ... Di sekitar Gunung Merapi, terdapat batu-batu. Dari mana batu-batu untuk Candi Borobudur, Mendut, Kalasan, Prambanan, dan Sewu kalau tidak dari batu-batu Gunung Merapi? Demikian juga orang Jawa dikubur di bawah batu. Mungkin orang berpikir kalau sudah berlindung di bawah batu itu aman dari siksa kubur (MPU:34).

Segala mitos tentang Gunung Merapi tidak boleh dilecehkan oleh masyarakat

Jawa. Mitologi letusan Gunung Merapi tersebut dipakai dalam konseptual nilai-nilai

yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan

pencipta hidup serta alam kodrati. Masyarakat di pedesaan Jawa dalam menghayati

sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbangan-pertimbangan

rasional akal, tetapi melibatkan perasaan dan emosi, sehingga seolah-olah untuk

menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan Jawa atau agama. Intinya

didasarkan pada prinsip-prinsip utama yang menyangkut konsep mengenai eksistensi

dan tempat manusia di alam semesta beserta segala isinya, seperti berbagai kegiatan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 122: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konsep wadah dan isi, serta equilibrium

dan ketidaktentuan unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah.

4. Laut Selatan

Laut selatan mengandung kekayaan alam yang tidak terhingga. Deburan

ombak yang berharmoni menunjukkan kekuasaan “sang pemimpin”. Nyai Roro

Kidul, yang diyakini sebagai penguasa Laut Selatan memiliki kuasa atas kebaikan

dan keburukan yang dirasakan oleh penduduk setempat. Jika kehidupan masyarakat

sentosa dan tentram, itu karena sang penguasa bermurah hati. Sebaliknya, jika

kehidupan masyarakat sekitar mengalami musibah atau bencana, maka dipahami

bahwa sang ratu sedang murka.

Eksistensi Laut Selatan sebagai salah satu wujud sikap kosmologis

masyarakat Jawa, sampai saat ini masih memiliki pengaruh yang besar bagi

kehidupan warga di sekitarnya. Seperti yang terlihat pada novel MPU berikut ini.

Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab, di sana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya ialah Nyi Lara Kidul (MPU:37). Meskipun berbentuk mitos, sampai saat ini Laut Selatan tetap dipandang

masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang sakral.

Berdasarkan uraian di atas, tiga makna simbol dari Gunung Merapi, Keraton

Jogjakarta, dan Laut Selatan dapat disimpulkan tentang makna kosmologi yang ada

pada mitos letusan Gunung Merapi, yaitu terjadinya “dua kekuatan alam”yaitu

Gunung Merapi sebagai kekuatan api dan Laut Selatan sebagai kekuatan air. Hasil

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 123: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

perpaduan dari dua kekuatan ini berupa calon raja Senopati yang berada di Keraton

Jogjakarta, yaitu berupa keraton sebagai unsur udara.

Ketiga unsur kekuatan alam yang menyatu berupa api-udara-air itu merupakan

salah satu bagian dari kosmos. Sedang kosmos selalu berhubungan dengan manusia,

padahal dalam tubuh manusia selalu terdapat unsur-unsur yang dimiliki oleh kosmos.

Hal ini disebabkan karena dalam hidupnya manusia memerlukan makan, minum,

bernafas, serta bertenaga, yang kesemuanya itu diperoleh dari kosmos (alam), yaitu

bisa dari Gunung Merapi, Keraton Jogjakarta, ataupun Laut Selatan. Manusia ternyata

bukan hanya realitas fisik atau hanya sekedar ekspresi fisik dari tatanan hidup, tetapi

manusia adalah makhluk yang “pinunjul”, yang memiliki jiwa dan memiliki

penghayatan pada yang gaib seperti keberadaan Gunung Merapi dan Laut Selatan

yang dipahami mempunyai kekuatan gaib. Mulder (2005:32) mengatakan bahwa

dalam batin manusia membawa percikan dalam hakikat hidup yang menjiwai

kosmos, secara mistik ia adalah suatu mikrokosmos.

Mitos pada dasarnya akan menjelaskan agar manusia selalu menjaga

keselarasan kosmos, mengusahakan dan memelihara keberadaan antara lingkungan

alam dan manusia. Ketika di dunia Barat mitologi mulai ditinggalkan, beberapa

pertanyaan radikal mengenai unsur pembentuk jagad raya muncul dan menimbulkan

tiga alternatif jawaban: bahwa unsur itu adalah air (menurut Thales), udara (menurut

Anaximenes), dan apeiron “api” (menurut Anaximander). Dunia Timur juga

menanyakan hal serupa bahwa ketiga unsur itu sudah lama dikenal sebagai Trimurti

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 124: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

AUM: agni (api), udara (angin), dan maruta (air). Hanya saja kalau di Barat tingkatan

pemikiran masih berlanjut, di Timur agaknya masih berupa mitologi.

Masyarakat Jawa, terutama di daerah rawan bencana, sangat mempercayai hal

yang berbau mitos. Namun, karena mitos selalu berhubungan dengan yang sakral

(alam adikodrati) maka perlu jawaban yang tentu saja bisa diterima oleh akal. Oleh

karena itu, peristiwa-peristiwa empiris selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa

metaempiris. Seperti ungkapan gugon tuhon yang disampaikan oleh juru kunci atau

sesepuh desa, yaitu tidak boleh mencari rumput atau kayu bakar di tempat-tempat

angker, memindahkan batu atau menebang pohon mendirikan rumah menghadap kea

rah gunung, berburu binatang di hutan, dsb. Dibalik larangan-larangan (tabu) itu

sebenarnya tersimpan kearifan ekologi penduduk terhadap lingkungan alam Gunung

Merapi dan selalu berhubungan dengan pelestarian lingkungannya (ekosistem).

5.2 Mitos-Mitos Masa Kini

Barthes mengemukakan teori tentang mitos dengan mengetengahkan konsep

konotasi, yakni pengembangan segi signifie (petanda ‘makna’) oleh pemakai bahasa.

Pada saat konotasi menjadi mantap, ia menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi

mantap, ia menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh

masyarakat sebagai hasil konotasi.

Menurut Barthes (1995:89) sebuah ekspresi bisa memiliki beberapa isi atau

konten yang terhubung melalui sebuah relasi tertentu. Ekspresi ditandai dengan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 125: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

makna denotasi yang kemudian berkembang menjadi beberapa isi (konten) yang

disebut sebagai makna konotasi.

Masyarakat Indonesia, baik masa lalu maupun masa kini, mengenal mitos

dalam pengertian Barthes di atas. Mitos masa kini yang dimaksud penulis adalah

berkaitan dengan makna mitos tersebut. Artinya, makna mitos tersebut yang baru

(masa kini), bukan mitos itu yang baru. Ada beberapa fenomena budaya masa kini

yang diberi konotasi oleh masyarakat luas, dan yang sudah mantap menjadi mitos.

Fenomena tersebut antara lain: gotong royong, aja dumeh, reformasi, ramah tamah,

dan mahasiswa sebagai kekuatan moral.

1. Gotong Royong

Gotong royong dianggap merupakan bagian dari tradisi masyarakat Jawa

bahkan rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Dalam pemakaiannya mempunyai

denotasi ‘bekerjasama dan saling membantu untuk mengerjakan sesuatu, khususnya

untuk sesuatu yang bermakna secara sosial, seperti pembangunan mesjid, pembuatan

jalan desa, atau pemadaman kebakaran.

Perhatikan kutipan berikut.

Kita mesti sanggup berbuat. Asal perbuatan baik, Jo. Kita mesti kuatkan jiwa kita. Hidup ini hanya sebentar, engkau dalam perjalanan jauh, dan hidup ialah sekadar mampir minum, sebentar saja...Korbankanlah dirimu untuk tujuan yang lebih besar. Dan masyarakat lebih berarti dari sekadar kesenanganmu (P:201). Pak Mantri mewariskan budaya gotong royong pada Paijo dengan

meyakinkannya bahwa kepentingan umum lebih penting di atas kepentingan pribadi.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 126: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Sikap rela berkorban ini menjadi cikal bakal lahirnya budaya gotong royong dalam

masyarakat di Indonesia. Melalui kutipan tersebut, gotong royong merupakan sebuah

ekspresi yang dimaknai oleh Pak Mantri dan Paijo sebagai ‘perbuatan baik’ (makna

denotasi).

Pada kondisi sekarang, gotong royong sebagai ekspresi (expression)

memperoleh isi (content) beberapa konotasi sesuai dengan pengalaman masyarakat.

Ada dua konotasi yang penting, yaitu (1) kewajiban membantu tetangga yang sedang

kesusahan dan (2) kewajiban bekerja untuk memperbaiki prasarana di desa. Intinya,

konotasi dasarnya adalah “kewajiban”. Sebagai masyarakat yang kehidupannya masih

komunal, kewajiban ini tidak dirasakan memberatkan (kewajiban yang berterima),

khususnya bila tujuan gotong royong adalah membantu tetangga yang sedang berada

dalam kesulitan. Di samping itu, relasi yang menghubungkan antara ekspresi dan isi

tersebut adalah kondisi masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat memengaruhi

pemaknaan terhadap gotong royong itu sendiri.

Pada sekelompok orang, misalnya di kota gotong royong sudah mempunyai

konotasi ‘kewajiban yang memberatkan’ karena setiap orang sudah lebih banyak

mempunyai kewajiban sendiri yang berbeda-beda. Dengan cara mengupas makna

konotatifnya, telah terjadi pembongkaran semiologis (demontage semiologique).

Di dalam hal gotong royong dimaknai sebagai “kewajiban berterima”, dapat

dilihat di sebuah desa atau kota bahwa ada pembayaran uang pengganti untuk mereka

yang tidak ikut bergotong royong memperbaiki jalan, misalnya gotong royong tidak

jarang dimaknai semacam “kerja paksa” yang kalau dilanggar dapat memberi akibat

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 127: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

pengucilan dan penghukuman. Mereka yang memaknai gotong royong sebagai

“kewajiban berat” menghindari gotong royong dengan misalnya, pura-pura sakit atau

bepergian dari lingkungannya.

Gotong royong telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang

dilandasi nilai solideritas sosial. Ia telah mengalami pembongkaran semiologis dan

dekonstruksi untuk memperoleh makna lain dan baru, sehingga mungkin menjadi

mitos baru yang tidak menyenangkan. Masyarakat telah mengalami perubahan istilah

gotong royong telah mengalami diversifikasi makna.

2. Aja Dumeh

Aja dumeh ‘jangan mentang-mentang’ adalah ajaran yang berkembang dalam

tradisi lisan. Makna denotatifnya adalah ‘jangan suka mentang-mentang’ dan ‘jangan

sombong’. Ini sudah menjadi mitos dalam masyarakat karena sudah dipandang

sebagai cara yang baik dalam masyarakat. Namun, mitos ini sedang mengalami

perubahan dalam kalangan tertentu. Para eksekutif muda dan para yupies banyak

yang mempelajari mitos lain, yakni justru ‘harus berani menonjolkan kemampuan

diri’ dan ‘harus memiliki kebanggaan akan diri sendiri (self system)’. Ini merupakan

mitos lain dalam hal bersikap dalam masyarakat tertentu, yang merupakan mitos yang

bersikap datang dari kebudayaan industri Barat. Bagi kalangan yang masih

memegang mitos aja dumeh, mitos di kalangan para eksekutif muda dan yupies ini

dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Sebaliknya, aja dumeh dipandang sebagai hal

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 128: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang tidak mendorong kemajuan oleh para eksekutif muda dan yupies. Dua mitos itu

bersama-sama hidup dalam masyarakat kita.

Di dalam novel MPU mitos ini juga hidup dalam diri tokohnya. Perhatikan

kutipan berikut.

Pelajaran dari cerita ini ialah orang itu ojo dumeh, jangan mumpung. Jangan mumpung berkuasa, lalu sewenang-wenang. Jangan mumpung kaya, lalu menghambur-hamburkan uang (MPU:37). ... Jangan dumeh sudah jadi orang besar. Maksudnya dielu-elukan orang banyak. Jangan mentang-mentang jadi dalang kondang. Mentang-mentang dekat koran ucapan-ucapan yang tak akan keluar dari mulut orang-orang yang kenal dia. Kata-kata yang diucapkan dengan penuh dendam, seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali. Terdengar jelas di telinga Abu (MPU:236). Aja dumeh merupakan ekspresi (expression) yang dimaknai Abu Kasan Sapari

memiliki beberapa isi (content) yang bermakna konotasi. Makna denotasi aja dumeh

‘jangan mentang-mentang’ berkembang menjadi ‘jangan mentang-mentang kaya’,

‘jangan mumpung berkuasa’, jangan mentang-mentang terkenal’, dan sebagainya

menjadi makna konotasi akibat perkembangan pola pikir manusia. Perubahan makna

tersebut terjadi karena ada relasi waktu yang menghubungkan keduanya. Mitos ini

hidup dan berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun terjadi

pergeseran-pergeseran makna pada mitos tersebut, namun tetap saja mitos ini masih

memberikan nilai yang positif bagi setiap individu.

Generasi baru di kota kalangan bisnis sedang mendekonstruksi aja dumeh

yang memberi makna ‘tidak boleh maju’ dan ‘tidak boleh menonjolkan diri’. Ini

merupakan hal yang menyebabkan aja dumeh menjadi tidak berterima karena

menghambat kemajuan dalam masyarakat perkotaan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 129: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

3. Reformasi

Kata reformasi menjadi bagian dari tradisi lisan baru meskipun memasuki

kosa kata bahasa Indonesia melalui buku-buku Barat yang dibaca oleh para

cendikiawan. Reformasi mempunyai denotasi ‘perubahan radikal untuk perbaikan di

bidang sosial, politik, ekonomi, atau agama di suatu masyarakat atau negara’. Dalam

sejarah politik kita, reformasi terjadi pada bulan Mei 1998 dimulai dengan jatuhnya

kekuasaan Presiden Soeharto. Setelah itu, berbagai perubahan kebiasaan dan bahkan

perubahan nilai terjadi. Reformasi menjadi kata yang frekuensi pemakaiannya sangat

tinggi. Ia menjadi bagian dari tradisi lisan “baru” dan pegangan moral dan harapan

hidup masyarakat Indonesia. Namun, berbagai peristiwa yang terjadi

memperlihatkan bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik, hukum, dan sosial

tidak dirasakan sebagai “perbaikan-perbaikan” oleh masyarakat awam. Reformasi

akhirnya dewasa ini memperoleh konotasi ‘tindakan mengutuk Orde Baru’,

‘pergantian kekuasaan’, ‘perubahan kebijakan’, ‘boleh berbuat sesukanya’, ‘boleh

mengkritik atasan, pemerintah, dan aparat’, serta ‘melakukan pembalasan terhadap

pejabat dari zaman Orde Baru’.

Perubahan serupa juga dijelaskan Kuntowijoyo dalam novel MPU. Perhatikan

kutipan kutipan berikut.

Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis. Abu berpikir untuk mengubah MPU jadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan)...Orang Jawa harus cepat mengerti meski sedikit saja dikatakan, dengan isyarat pula...Yang berubah itu zamannya, bukan orangnya (MPU:214).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 130: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Melalui kutipan tersebut dapat dimengerti bahwa tokoh Abu Kasan Sapari

tanggap akan perubahan yang sedang berlangsung di zamannya. Ketika terjadi

perubahan situasi politik di daerahnya maka ia pun mengadakan perubahan dengan

mengganti nama organisasi MPU (Masyarakat Penggemar Ular) yang dipimpinnya

menjadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan). Menurutnya orang Jawa harus

cepat tanggap terhadap perubahan meskipun perubahan itu berupa isyarat sekalipun.

Artinya reformasi pun harus berlaku pada masyarakat Jawa. Reformasi (ekspresi)

dimaknai Abu Kasan Sapari sebagai makna konotasi, yaitu ‘cepat tanggap’(isi) yang

terealisasi melalui relasi perubahan zaman.

Meskipun reformasi ‘lahir’ pada tahun 1998, namun telah lama terpendam di

bawah permukaan kehidupan sosial politik bangsa kita. Reformasi sering

berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif

‘kebebasan’ dan ‘keberanian melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan

demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif ‘kebebasan’ dan ‘keberanian

melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan civil society yang juga telah

memasuki tradisi lisan karena banyak dibicarakan orang san memeroleh konotasi

‘masyarakat yang tidak dikuasai militer’, ‘masyarakat yang dikuasai oleh sipil’, ‘sipil

menguasai militer’, dan ‘militer hanya alat negara dan berada di bawah kekuasaan

pemerintah sipil’. Meskipun baru beberapa tahun, kedua kata itu – yang lahir dari

lahirnya reformasi – sudah berkembang menjadi mitos. Sejumlah cendikiawan

berusaha melakukan pembongkaran semiologis dengan mengetengahkan makna

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 131: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sebenarnya, yakni denotasinya. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa upaya itu tidak –

atau belum? – berhasil sejauh ini.

Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna ‘perbaikan’

dan ‘sama rasa sama rata’ serta ‘kepatuhan terhadap etika dan hukum’ dapat

menggantikan mitos buruk yang berkembang ke notasi salah kaprah itu.

4. Ramah Tamah

Tradisi lisan mengenal kata ramah-tamah yang dilekatkan pada sifat bangsa

Indonesia. Ia juga merupakan bagian dari tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan

sudah menjadi mitos. Dalam diri orang Jawa, ramah tamah ini sudah merupakan

suatu ‘kewajiban’ dalam berinteraksi dalam masyarakat. Seperti kutipan berikut ini.

Maksud untuk sekadar menghabiskan waktu itu mengecewakan Zaitun. Mantri Pasar itu malahan menuduhnya. Hasil kunjungan ramah tamah yang istimewa (P:22). Kunjungan yang dikakukan Siti Zaitun pada Pak Mantri merupakan cerminan

ramah tamah orang Jawa yang menjadi ciri khasnya. Lazimnya, sikap tersebut

dimulai oleh orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua atau bawahan

terhadap atasannya. Meskipun kadang-kadang sikap itu berpotensi untuk disambut

dengan sikap sebaliknya, tetap saja sikap itu masih dipertahankan dalam kehidupan

sehari-hari.

Ramah tamah sebagai ekspresi (expression) dimaknai Pak Mantri dengan

‘sikap berpura-pura’. Sikap berpura-pura ini merupakan makna konotasi yang juga isi

(content) yang terealisasi melalui relasi sikap atau tindakan Siti Zaitun.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 132: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Khususnya setelah reformasi, terjadi banyak peristiwa yang membuat mitos

ini menjadi luntur. Terlepas dari apa penyebabnya, kenyataan menunjukkan bahwa

bangsa Indonesia telah kehilangan sifat ramah tamahnya. Bentrokan antaragama,

antarsuku, terjadi di berbagai bagian negeri kita. Tawuran sudah menjadi bagian dari

tradisi lisan baru. Tawuran terjadi di kalangan pelajar dan bahkan mahasiswa. Dalam

bertetangga kita masih melihat keramahtamahan sebagian bangsa kita. Akan tetapi,

begitu seseorang berada dalam kemudi mobil atau motor, ia menjadi orang lain yang

sama sekali tidak ramah tamah. Mitos bangsa yang ramah tamah menjadi pudar dan

sedang berproses menjadi mitos baru; ‘bangsa yang suka berkelahi’. Perkembangan

budaya masyarakat memperlihatkan ingroupness menjadi menonjol.

Sikap ramah tamah terhadap bangsa asing juga pernah merupakan mitos

dalam masyarakat kita. Mitos ini pun sudah memudar di berbagai tempat, kita

mengamati terjadinya sikap tidak ramah terhadap kehadiran orang asing sehingga

berpotensi merugikan peristiwa dan investasi asing. Mitos ini termasuk juga pudar

karena berbagai peristiwa di tanah air yang tidak menunjukkan bahwa bangsa kita

adalah bangsa yang ramah tamah.

5. Mahasiswa Kekuatan Moral

Mahasiswa kekuatan moral dan harapan bangsa merupakan bagian dari

tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan menjadi mitos. Namun, pengamatan

memperlihatkan bahwa mitos ini terancam pudar. Perilaku mahasiswa sudah banyak

berubah dan sering terbawa oleh arus permainan politik. Banyak di antara mereka

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 133: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang sudah terkena kebiasaan menggunakan narkoba dan terlibat dalam tawuran

hanya akibat persoalan sepele. Perhatikan tawuran antarkampus dan bahkan

antarfakultas dalam suatu kampus yang masih selalu terjadi. Makna mitis ‘generasi

penerus dan calon pemimpin’ sedang terancam berubah menjadi ‘lost generation’

yang tidak lagi mempunyai kekuatan moral dan tidak menjadi harapan bangsa.

Menurut Hoed (2007:158) faktor di luar langage de culture de masse ‘bahasa

kebudayaan massa’ dapat mengubah atau menggeser makna sebuah mitos. Faktor luar

itu adalah kehidupan politik yang makin memberikan kemungkinan untuk melakukan

banyak hal yang hampir tanpa batas. Di samping itu, kehidupan ekonomi yang

mengacu pada individualisme dan cenderung mendorong berkembangnya hedonisme

merupakan faktor luar yang mengubah makna mitos-mitos tersebut.

Akan tetapi, dalam novel MPU mitos ini belum bergeser. Kuntowijoyo masih

memegang mitos bahwa mahasiswa adalah kekuatan moral dan harapan bangsa. Hal

itu tergambar melalui tokohnya, yakni Abu Kasan Sapari.

Untuk jerih payah membuat uraian teoretik dan praktik mendalang Abu Kasan Sapari dinyatakan lulus. Sebenarnya, dia bisa cum laude, tapi tidak bisa karena tahun kuliah sudah melonjak...Hari wisuda datang. Orang tua Abu datang berdua. Setelah upacara selesai, seorang tukang foto mendekat dan mengambil gambar mereka di depan sekolah Tinggi (MPU:222-223). Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mahasiswa tetap

memiliki kelebihan yang khusus dibanding pemuda biasa yang tidak mengenyam

pendidikan tinggi. Predikat cum laude masih menjadi kebanggaan seorang mahasiswa

dalam menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ekspresi (expression) mahasiswa

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 134: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sebagai kekuatan moral masih dipegang teguh oleh Abu Kasan Sapari sebagai makna

denotasi (content) dengan relasi perilaku mahasiswa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa mitologi Jawa dalam novel-

novel Kuntowijoyo tercermin dalam diri tokoh-tokohnya, antara lain Pak Mantri,

Abu Kasan Sapari, dan Wasripin. Mitologi tersebut terwujud melalui serangkaian

upacara tradisi dan ritual-ritual khusus yang terangkum pada sikap kosmologis dan

pandangan hidup masyarakat Jawa. Pergeseran makna mitos juga terjadi dalam

kehidupan masyarakat Jawa (bangsa Indonesia) seiring dengan perkembangan zaman.

Perubahan pola hidup masyarakat dewasa ini menyebabkan perubahan makna mitos

yang lama menjadi mitos-mitos masa kini.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 135: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB VI

FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO

Filsafat Jawa menekankan pentingnya kesempurnaan hidup. Manusia berpikir

dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas dirinya dalam kaitannya

dengan Tuhan. Dimensi ini adalah karakteristik yang dominan dan tidak dapat

dilepaskan dengan kecenderungan hidup manusia Jawa. Pemikiran-pemikiran

manusia Jawa merupakan suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup. Oleh

karena itu, intuisi memegang peranan penting.

Pada prinsipnya antara pemikiran Barat dan Jawa itu memiliki tujuan yang

sama, yaitu mengenal diri. Namun, cara pencapaian dan pengembangannya berbeda.

Di samping pandangan tentang hubungan antara manusia dan alam serta manusia dan

Tuhan juga berbeda.

Perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’ yang berarti cinta

kebijaksanaan (the love of wisdom). Bagi filsafat Jawa pengetahuan (filsafat)

senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Filsafat Jawa

tidak mempertanyakan apakah manusia dan apakah Tuhan? Eksistensi manusia

diasumsikan sebagai kenyataan. Dari kenyataan itu dipertanyakan darimana asalnya

dan kemana tujuan akhirnya. Adapun perumusan ketiga bidang filsafat Jawa tersebut

adalah metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Akan dijelaskan sebagai berikut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 136: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

6.1 Metafisika

Ungkapan tentang ada (Ada semesta, Alam semesta), Tuhan, dan manusia,

dapat dianggap sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau

penghayatan manusia. Hasil pemikiran itu dinyatakan berupa penuturan dengan kata

(verbal) dan tersusun secara sistematis, maka disebut sebagai filsafat dalam arti

sempit. Ciri- ciri dasarnya adalah: (1) Tuhan adalah ada Semesta atau Ada Mutlak;

(2) Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan; dan (3) Alam semesta dan

manusia merupakan satu kesatuan, yang biasanya disebut makrokosmos dan

mikrokosmos (Ciptoprawiro, 2000:22).

Pemikiran filsafat bertitik tolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia

sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan pancaindra. Bukan dasar awal

yang dicari dan dipertanyakan seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani,

melainkan darimana dan kemana semua wujud ini atau dengan istilah sangkan paran:

- sangkan paraning dumadi: awal-akhir alam semesta

- sangkan paraning manungsa: awal-akhir manusia

- dumadining manungsa: penciptaan manusia

Pencarian manusia akan berakhir dengan wikan, weruh, atau mengerti

sangkan paran. Filsafat Jawa sepanjang masa tetap berkesimpulan bahwa Tuhan

merupakan Sangkan Paraning Dumadi dan Manungsa, artinya Awal berarti berasal

dari Tuhan dan Akhir berarti kembali kepada Tuhan. Usaha manusia untuk kembali

pada asalnya atau Tuhan dilakukan dengan baik, baik jasmani maupun rohani atau

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 137: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

jalan lahir dan jalan batin. Jalan batin ini umumnya didapatkan pula pada kehidupan

budaya bangsa lain dan biasanya disebut mistik atau mistisisme.

Penggambaran Tuhan, manusia, dan alam semesta dapat dirinci secara

metafisik, sebagai berikut.

a. Tuhan

Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun (dat kang tan kena

kinayangapa), dekat namun tidak bersentuhan (cedhak tanpa senggolan), dan jauh

tetapi tidak ada batasan (adoh tanpa wangenan). Rumusan Barat: Imanen-

Transenden. Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama yang umumnya

menggambarkan sifat-Nya, seperti sang Hyang Taya (tiada), Wenang, Tunggal, dsb.

Tuhan mengibaratkan jiwa yang mati jadi hidup berkat siraman agama, seperti hujan yang turun dari langit dan membuat pohon-pohon di bumi menggeliat. Kalimat thayibah digambarkan seperti pohon yang akarnya menghunjam ke bumi dan cabang-cabangnya menggapai langit. Juga disebutkan dalam agama langit berlapis tujuh, ada yang menghubungkannya dengan jumlah planet, ada yang menghubungkannya dengan perbedaan tekanan udara (MPU:36).

Pengakuan akan kekuasaan Tuhan dalam novel-novel Kuntowijoyo ini terlihat

melalui pengakuan agama yang dianut tokoh-tokohnya. Agama menjadi sarana

mendekatkan diri pada Sang Pencipta tersebut. Meskipun kadang-kadang agama yang

dianutnya bercampur dengan budaya Jawa yang berasal dari agama Hindu.

b. Manusia

Manusia digambarkan atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur

jasmani meliputi pancaindra, sedangkan rohani meliputi nafsu, kemampuan cipta,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 138: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

rasa, dan karsa. Penggambaran manusia secara khusus dijelaskan Kuntowijoyo

dalam novel MPU berikut.

Manusia. Ketika selesai menciptakan manusia yang bernama Adam, Tuhan memerintahkan malaikat untuk menghormat dengan bersujud. Ah, alangkah mulianya manusia! Tapi iblis membantah perintah Tuhan itu. Katanya: “Bagaimana mungkin kami menghormatnya, dia engkau jadikan dari tanah, sedangkan kami dari api?” Ada orang yang tak bisa mempertahankan kemuliaan itu, lalu jadi leletheking jagad. Bahwa manusia dibuat dari tanah itu betul...Manusia memang makhluk istimewa. Waktu masih bayi ia lemah, tapi waktu sudah dewasa ia kuat bukan main, penuh kemungkinan (MPU:38). Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan atas tiga komponen pokok yang

memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan

bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan

dengan cipta, rasa, dan karsa. Berkat cipta-rasa-karsanya itu manusia mampu hidup

mandiri dan menentukan pola hidup sesuai dengan kepribadiannya. Pola hidup

melahirkan tiga perilaku manusia yang didasarkan atas kesadaran paling dalam,

dalam dirinya, yaitu pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup. Orang hanya

melihat sosok manusia Jawa dari aspek ‘patrap hidupnya’ belaka terlepas dari

kesatuan kaitannya dengan ‘pandangan hidup’ dan ‘sikap hidupnya’.

Manusia-manusia Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo ini pun memiliki

sikap serupa, mereka masih memegang tiga ciri khas manusia tersebut yang diakui

sebagai kelebihan yang diberikan Tuhan pada masyarakat Jawa. Pak Mantri, Abu

Kasan Sapari, dan Wasripin merupakan cerminan masyarakat Jawa yang mengemban

tugas sebagai manusia Jawa seutuhnya dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 139: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

c. Alam semesta (Dunia)

Penuturan tentang penciptaan dunia (kosmogoni) dan gambaran dunia

(kosmologi) beraneka ragam dengan bentuk unsur-unsur budaya Hindu, Budha, dan

Islam. Yang sangat menonjol adalah susunan hierarki (hierarchical order) di

dalamnya. Perhatikan kutipan berikut.

Alam...Tuhan memanjakan alam. Surat-surat dalam Al-Quran kebanyakan merujuk ke alam. Alam adalah hasil karya-Nya. Ia berkata “kun fayakun” maka jadilah alam ini. Tidak ada satu surat pun dari 114 surat dalam Al-Quran yang merujuk ke teknologi, misalnya “demi sepeda motor”. Kata dosen filsafat saya, manusia mempunyai peradaban justru karena berjuang menundukkan alam. Saya pikir “menundukkan” itu langkah yang salah. Itu semacam kesombongan, arogansi manusia. Yang benar ialah manusia harus berdamai dengan alam. Sebelum ada sekolahan, manusia berguru pada alam...Jadi alam itu bukan hanya obyek ilmu, tapi juga obyek seni. Orang dapat mencari ilmu di bulan. Tapi para penyair, pelukis, dan pemusik yang melukiskan bulan harus dianggap sebagai mengagungkan Nama Tuhan (MPU:31-32).

Dapat dipahami mengapa Abu Kasan Sapari begitu mengagungkan

keberadaan alam berikut isinya. Alam diyakini masyarakat Jawa sebagai pusat dari

kosmologi yang mengatur kehidupan makhluknya. Jika manusia dapat bersahabat

dengan alam maka kehidupan yang harmonis dapat tercipta dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa alam pikir filsafat Jawa selalu

bermuara pada titik akhir, yakni Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang

disebut Sangkan Paraning Dumadi. Tuhan tidak pernah menjadi persoalan, asumsi

dasarnya bahwa Tuhan ada. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia

harus menunjukkan citra harmonis. Sementara itu, kesempurnaan manusia akan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 140: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

terwujud bilamana telah melepaskan diri dari ke-akuan-nya dan tidak terbelenggu

dengan dunia yang kasar.

6.2 Epistemologi

Epistemologi mempelajari proses untuk memeroleh pengetahuan (knowledge).

Ada dua jalan atau metode untuk memeroleh pengetahuan dengan mempergunakan

kodrat kemampuan manusia, yaitu penalaran, akal, rasio, abstraksi (Aristoteles) dan

intuisi (Plato). Epistemologi Jawa adalah bagaimana mencapai tahap ekstase sehingga

diperoleh tahap “widya”. Rumusan ini terdiri atas empat tahapan yang dikenal dengan

catur sembah (sembah empat) yaitu, sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan

sembah rasa. Akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Sembah Raga

Sembah raga tampak pada perbuatan lahir. Dalam mencapai kebenaran mutlak

atau kenyataan diawali dengan mengusahakan dengan jalan yang wajar dan rasional.

Langkah pertama adalah menguasai ilmu dasar (syariat), langkah selanjutnya

menjalankan apa saja yang telah diperintahkan dalam ilmu syariat itu tanpa

mempertanyakan mengapa harus demikian.

Perhatikan kutipan berikut.

Orang-orang di surau kehilangan Wasripin. Pak Modin yang memimpin sembahyang menanti-nantinya...Wasripin yang tidur di emperan surau itu ternyata telah menjadi bagian dari mereka. Di surau mereka masih berkumpul lama setelah sembahyang selesai (WdS:20).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 141: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Melalui kutipan tersebut tergambar keadaan masyarakat tempat tinggal

Wasripin. Mereka masih melaksanakan syariat Islam dengan melaksanakan solat

secara berjamaah. Sembah raga itu terwujud dalam bentuk kepatuhan untuk

menjalankan secara tertib dan kontiniu syariat itu, yang mengandung maksud untuk

melatih segi jasmani manusia. Artinya, bahwa manusia dibiasakan menjaga

kebersihan jasmani, dan latihan dasar untuk mengendalikan hawa nafsu. Apabila

sembah raga ini dijalankan dengan tekun, tertib, dan teratur maka akan mengantarkan

pada langkah sembah berikutnya.

b. Sembah Cipta

Sembah cipta merupakan tataran kedua dari sembah empat. Untuk mencapai

pengetahuan yang sesungguhnya, sembah cipta atau sering disebut sembah kalbu

adalah paduan antara sembah raga dengan ditambahkan dengan proses konsentrasi,

dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, mengekang hawa nafsu, dan

bertindak serta berkata-kata dengan waspada. Mencurahkan konsentrasinya untuk

mengingat Tuhan.

Sembah cipta ini pun terlihat dalam novel WdS yang juga terpusat pada tokoh

Wasripin. Emak angkat Wasripin sekaligus sebagai induk semangnya mengajarkan

tentang pentingnya tataran sembah cipta dalam kehidupan manusia. Apabila sembah

cipta ini dilakukan seseorang, maka hal itu merupakan salah satu wujud berterima

kasih kepada Allah.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 142: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Wasripin melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia tahu tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana saja. Ia bisa mandi dan berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri, menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang kekayaan, kata emak angkatnya, ‘’Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” dan ‘’Tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada dirimu bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterima kasih pada Gusti Allah (WdS:6-7). Melalui kutipan itu terlihat bahwa pengekangan hawa nafsu untuk tidak

mencuri, menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang merupakan peraturan

yang tertuang pada tingkatan sembah cipta.

c. Sembah Jiwa

Adapun sembah jiwa itu merupakan yang sebenarnya dipersembahkan kepada

Tuhan, yakni dengan jalan selalu memelihara kehidupan rohani, selalu waspada

dalam perbuatan, selalu ingat dengan hari kemudian (akhirat), sehingga semakin

bertambah rasa “pasrah” berserah diri (sumarah) kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Jiwa yang berpandangan menyeluruh, bahwa kehidupan dunia masih

berkelanjutan dengan kehidupan yang akan datang dan menyesuaikan diri dalam

perbuatan, itulah jiwa yang dimaksud dengan sembah jiwa. Jiwa yang berpandangan

seperti itu senantiasa akan terjaga kesuciannya karena akan ingat setiap saat pada

kekuasaan Tuhan.

Pada novel MPU sembah jiwa ini terpusat pada tokoh Abu Kasan Sapari.

Praktik sembah jiwa ini diwujudkan Abu Kasan dalam menjaga lingkungan.

Pelestarian alam perlu dilakukan dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Dalam

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 143: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

hal ini, Abu Kasan menjadikan ular sebagai simbol lingkungan yang senantiasa harus

dijaga kelestariannya.

Seperti sulap, rupanya berita tentang ular dan pelestarian lingkungan itu telah sampai di Jakarta. Akibatnya, peringatan Hari Lingkungan akan dipusatkan di Kemuning...Pada waktu itu akan berkumpul para pemenang (I, II, dan III) lomba Darling (Sadar Lingkungan) dari tiga propinsi, yaitu pabrik-pabrik yang mengelola limbah dengan baik (MPU:58). Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Abu Kasan Sapari melakukan

perbuatan yang memelihara kelestarian alam demi kelangsungan hidup manusia di

dunia.

d. Sembah Rasa

Di dalam sembah rasa ini, tidak lagi kegiatan ritual yang menjadi titik pusat

aktivitas melainkan semua gerak anggota badan, semua langkah kaki, semua kegiatan

hidup, serasa mendapat rasa “pasrah” (berserah diri) dalam menunaikan kewajiban,

tidak lagi was-was dan ragu-ragu serta penuh harap bahwa perbuatan itu

diperuntukkan untuk kedamaian hidup.

Di dalam novel P, Pak Mantri adalah tokoh yang mampu mencapai tingkatan

terakhir pada sembah empat ini. Dia benar-benar memahami dan mempraktikkan

tujuan akhir kehidupan manusia dengan berusaha terus-menerus memperbaiki setiap

kesalahan yang dilakukannya. Perhatikan kutipan berikut.

Hidup kita pusatnya di sini, Pak Mantri menunjuk jantungnya. Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang penting ialah rasa. Rasa itu di sini letaknya. Pusat engkau bernafas. Pusat

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 144: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

peredaran darahmu...Rasa selalu terjaga. Ia adalah milik kita yang abadi. Bahkan ia akan kita bawa sesudah mati (P:116-117). Melalui rasa hidup menjadi lebih bersemangat, perasaan menjadi halus, dan

rohani menjadi bersih. Keadaan rohani itu memancar keluar sebagai suatu pribadi

yang berwibawa.

Dari keempat sembah itu dapat dipahami bahwa untuk mencapai pengetahuan

yang sungguh tentang Tuhan memerlukan tahap-tahap. Puncak pengetahuan adalah

terbukanya tabir kenyataan ‘ada’ sehingga manusia dapat menghayati hidupnya

dengan ringan, yakni dengan penuh ketentraman dan kebahagiaan. Dimensi arti

pragmatis inilah yang menjadi ke-khas-an epistemologi Jawa.

Tataran sembah empat ini pun diamalkan Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan

Wasripin dalam kehidupannya. Terbukti, pada akhirnya mereka benar-benar mampu

melepaskan segala nafsu duniawi dan menyatu dengan Yang Illahi dengan menjadi

manusia panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Inilah yang dituju manusia dalam

filsafat sangkan paraning dumadi, baik awal dan akhirnya. Mereka terlahir sebagai

bayi yang suci dan berakhir (meninggal) dalam keadaan yang baik pula.

6.3 Aksiologi

a. Estetika

Estetika (keindahan) pada zaman Jawa-Hindu selalu dianggap sebagai

pengejawantahan dari yang Mutlak. Oleh karena itu, semua keindahan adalah satu.

Sementara itu, pada zaman Jawa-Islam, dalam kesusastraan Suluk diperpadat seluruh

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 145: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

20 sifat dan nama-nama indah (asma’ul husna) Allah menjadi 4 sifat, yaitu keindahan

dikategorikan menjadi:

1. Agung (jalal)

2. Elok (jamal, indah)

3. Wisesa (kahar, kuasa)

4. Sempurna (kamal)

Novel Kuntowijoyo ini pun berpijak pada filosofi, tradisi, dan budaya Jawa,

khususnya ditonjolkan melalui seni pewayangan. Seperti halnya wayang,

Kuntowijoyo dalam novel MPU ini berperan sebagai dalang. Sebagai dalang, ia

tampak begitu bebas bercerita, termasuk ketika memasukkan unsur nyanyian dan

“goro-goro” dalam novelnya. Bagaimana lakon, wayang dimainkan Abu Kasan

Sapari dengan geguritan atau sajak-sajak cinta untuk Lastri, renungan-renungan Abu

Kasan Sapari tentang alam dan lingkungan, digambarkan dengan penuh keindahan.

Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang

maka harus dituturkan dengan bahasa sederhana, lugas, dan santai.

(Abu Kasan Sapari menulis geguritan – puisi bebas bahasa Jawa – dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba waktunya...Terjemahan kata demi kata tidak selancar aslinya, tetapi biarlah demikian. Aneh, tidak ada bau sel tahanan, dendam politik, dan tipu-daya Randu (MPU:163). ... Beberapa hari Abu menatah wayang. Kali ini Limbuk, istri Petruk, dan Cangik, biyung alias ibu Limbuk. Setelah jadi, sehabis Isya’ ia memegang wayang-wayang itu di tangannya. Disandarkannya wayang-wayang di dinding tembok kotangan. Cangik adalah suara Abu, sedangkan Limbuk suara Lastri (MPU:224).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 146: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Di dasari atas empat sifat Allah itu, Abu Kasan menjelaskan seni sebagai

sesuatu yang penting dalam rangka menjaga keselarasan hubungan makhluk di dunia,

termasuk dalam urusan percintaan.

b. Etika

Etika (kesusilaan) mempermasalahkan adanya baik buruk (good-evil) yang

memengaruhi perilaku manusia yang juga berhubungan dengan adanya Tuhan

(Theodice). Dalam filsafat Jawa, baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi

manusia yang terjelma dalam empat sifat nafsu, yaitu mutmainnah, amarah,

lawwamah, dan supiah.

Keinginan baik (mutmainnah) akan selalu berhadapan dengan keinginan

buruk (amarah, lawwamah, supiah) untuk menjelmakan perilaku manusia. Tujuan

hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan, yang menjelmakan sifat Illahi dengan

mencapai “manunggaling kawula gusti”, maka pertentangan baik buruk akan diatasi

dengan peningkatan kesadaran yang disebut juga kedewasaan jiwa manusia atau

manusia yang bijaksana.

Bagaimana konsep-konsep Islam ini masuk ke dalam novel ini melalui suara

Pak Mantri, perhatikan kutipan berikut.

“Kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah, ialah hak membuatmu angkara, mendorong ke perbuatan jahat. Nafsu lawamah, ialah memberi pertimbangan, berada di tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu mutmainah ialah yang menuntunmu pada kebaikan. Orang yang sempurna ialah orang yang menguasai nafsu amarahnya, menuruti pertimbangan baik dari nafsu lawamah. Kita mesti mempunyai nafsu mutmainah. Dan manusia sempurna ialah manusia sejati, ialah nafsu mutmainah, ialah insan kamil, ialah cahaya sebesar lidi yang memancar di tengah angkasa (P:223).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 147: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Pengetahuan sebagaimana digambarkan di atas, akhirnya betul-betul

diwujudkan Pak Mantri. Pengetahuan, keyakinan, dan penghayatan ke-Jawa-annya

mampu menuntun merealisasikan konsep nafsu sebagaimana dikutip di atas. Dengan

kemampuan merasakan rasa, mawas diri, dan menguasai ketiga nafsu itu, Pak Mantri

legowo menyerahkan jabatan kepala pasar kepada Paijo.

Novel Kuntowijoyo ini menghadapkan berbagai etika dan nilai yang

berkembang di sebuah masyarakat yang perlahan tapi pasti mengalami perubahan.

Sosok kepala pasar yang di satu sisi merupakan agen pemerintah dan di sisi lain

berurusan langsung dengan masyarakat merupakan titik pusat pergulatan nilai-nilai.

Pergulatan itu semakin intansif manakala kepala pasar berhadapan dengan

profesionalitas kerja modern (bank), progresivitas kalangan swasta (Kasan Ngali),

dan tuntutan masyarakat.

Sosok kepala pasar yang berada dalam lingkaran “suksesi” yang berjalan

damai dan menimbulkan keharmonisan di semua elemen masyarakat. Di tangan

Paijo-lah pasar akan berdenyut meningkahi gerak zaman kehidupan alam modern.

Paijo jelas orang Jawa, tetapi Jawa yang sudah kompleks dan karena itu Jawa

yang menerima dan mengkritisi perubahan zaman. Jika orang Jawa tidak siap

menerima dan mentransformasikan Jawa ke dalam gerak perubahan kehidupan

sekarang, jika tidak ada yang konsen “memelihara” Jawa dalam konteks transformasi,

bukan tidak mungkin manusia dan budaya Jawa, juga manusia dan budaya etnik lain

di negeri ini, akan lenyap terbawa arus zaman yang digerakkan manusia dan

kebudayaan yang berkuasa. Itu sebabnya Kuntowijoyo menutup novel ini dengan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 148: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dialog Pak Mantri dan Paijo yang merupakan perpaduan nada getir, bangga, berharap,

bahkan bercanda.

“Kitalah orang Jawa yang terakhir, Nak.” Mereka berjalan lagi. “Yang mementingkan budi, lebih daripada ini.”Pak Mantri menggeserkan empu jarinya dengan telunjuk, “Yang mementingkan martabat lebih dari pangkat.” (P:270). Dengan demikian, kesusilaan tidak terlepas dari perilaku dalam perjalanan

menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang

akan menentukan laku susilanya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang

dengan watak-watak pendeta, pandita ratu, satria, dituyaksa, dan cendala. Tingkat

kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri

sewaktu hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahir. Jadi, ada pengakuan tentang

innate ideas dalam hal watak dan bakat, yang tampak dalam ungkapan “kacang ora

ninggalno lanjaran”. Dari pandangan inilah kemudian terbentuknya adanya perbedaan

ungkapan antara budaya wong cilik dan priayi.

Demikianlah gambaran bagi orang yang tidak mengenal kenyataan “ada”

dengan tidak menjalankan atau mencari pengetahuan, maka dari segi etikanya orang

akan memiliki budi pekerti rendah.

Dengan demikian, berfilsafat dalam arti luas dalam kebudayaan Jawa berarti

ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani

maupun rohani, untuk mencapai tujuan itu. Usaha itu merupakan satu kesatuan,

kebulatan. Jadi, jelaslah bahwa antara metafisika, epistemologi, dan aksiologi dalam

filsafat Jawa masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Ketiga bidang itu merupakan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 149: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

segi yang tidak terpisahkan dalam gerak usaha manusia menuju kesempurnaan.

Dapatlah dirumuskan, dengan memakai analogi filosofi Yunani, filsafat Jawa berarti

cinta kesempurnaan (the love of perfection).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 150: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB VII

REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVEL-NOVEL

KUNTOWIJOYO

7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo

Honigmann dalam Koentjaraningrat (2002:186), membedakan tiga

kebudayaan atas tiga wujud, yaitu : (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma, peraturan, dsb.; (2) wujud kebudayaan

sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam

masyarakat ; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak

dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau dalam alam pikiran warga

masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat

tadi menyatakan gagasan mereka melalui tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal

sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis. Sekarang

kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip koleksi microfilm dan

microfish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer.

Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu

masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada

lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli

antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya (cultural system).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 151: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang tepat untuk menyebut wujud

ideal dari kebudayaan ini yaitu adat, atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social system,

mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari

aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul,

satu dengan lain dari waktu ke waktu selalu menurut pola-pola tertentu yang

berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam

suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret terjadi di sekeliling kita sehari-

hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Wujud ini tidak

memerlukan banyak penjelasan karena berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas,

perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret

karena berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Ketiga wujud dari kebudayaan yang terurai di atas, dalam kenyataan

kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan

adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik

pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan

benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu

lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari

lingkungan alamiahnya sehingga memengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan

juga cara berpikirnya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 152: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketiga wujud masing-

masing tadi. Seperti apa yang telah tersebut di atas dalam rangka tiap kebudayaan,

adat-istiadat itu secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan

cita-cita norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan.

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak

dari adat-istadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-

konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga

sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan

penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi

arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.

Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam

masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu sangat bersifat umum,

mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara

rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret

itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional

dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.

Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang

hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar

dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan

tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat,

dengan cara mendiskusikannya secara rasional.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 153: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada

sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu

sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan

memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.

Menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2002:191), tiap sistem nilai budaya

dalam kebudayaan itu terdapat lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima

masalah dasar tersebut digambarkan dengan jelas dalam novel-novel Kuntowijoyo

sebagai berikut.

7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan

Pada umumnya orang Jawa tidak banyak meminati tindakan-tindakan religius

intensif seperi mencintai Allah, memuji-Nya, dan mempersembahkan diri kepada-

Nya. Mereka jarang menganggap diri sebagai hamba yang tidak pantas di hadapan

Allah atau pantas dikutuk. Kata dosa dalam kesadaran religius Jawa – sejauh tidak

ditanamkan di dalamnya agama Islam atau agama Kristiani – tidak tampak

memainkan peranan penting. Begitu pula kehidupan sesudah kematian, juga tidak

menimbulkan banyak perhatian (yang penting hanyalah kewajiban mereka yang

masih hidup untuk menjamin penguburan sesuai dengan adat kebiasaan agar tidak

menimbulkan kemarahan arwahnya).

Hubungan orang Jawa dengan Allah bersifat tenang. Kesadaran akan Yang

Ilahi lebih merupakan semacam latar belakang yang hanya dieksplisitkan apabila ada

alasan-alasan khusus. Sebelum peristiwa-peristiwa kehidupan penting atau dalam

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 154: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

keadaan terdesak diucapkan doa-doa, barangkali dengan berziarah ke tempat keramat

atau naik ke Gunung Merapi untuk berdoa dan menawarkan sesajen. Kecuali itu,

perhatian orang Jawa diarahkan pada kehidupan sehari-hari.

Pada akhir abad XVIII hampir seluruh Pulau Jawa secara resmi beragama

Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda-beda. Pusat Islam yang paling sadar

adalah kota-kota di pesisir utara. Di situlah titik berat kebudayaan santri. Juga dalam

semua kota di pedalaman Jawa terdapat kampung-kampung santri. Kebudayaan santri

itu berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman Jawa. Walaupun, keraton-

keraton secara resmi memeluk agama Islam, namun tradisi Hindu-Jawa lebih

menonjol. Keraton menjadi pusat kebudayaan Jawa klasik dengan tari-tarian dan

pertunjukan wayang, dengan gamelan dan dengan suatu ritual keagamaan yang

memang diadakan pada hari-hari besar Islam, tetapi yang isinya berasal dari zaman

Hindu-Jawa. Agama Islam dianggap sebagai salah satu persiapan untuk memperoleh

kesatuan dengan Illahi, dan apabila kesatuan itu telah tercapai bentuk persiapan itu

dianggap tidak begitu penting lagi. Di keraton-keraton, khususnya di Surakarta

berkembanglah kesusastraan mistik yang sangat dipengaruhi oleh mistik Islam,

namun pada hakikatnya bersifat heterodoks.

Potret gambaran tentang perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan sampai

meninggal dunia, diilustrasikan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat; yakni

dari tembang Mijil sampai Pucung. Bahkan, para pujangga bukan sekadar memotret

fase-fase penting dalam perjalanan hidup manusia, tetapi juga memberikan solusi atau

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 155: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi; baik mengenai makna, hikmah

serta penyikapannya (solusi) yang semuanya dikemas secara simbolik (metafor).

Refleksi perjalanan manusia dalam novel-novel Kuntowijoyo yang terekam

dalam macapat tersebut, yakni sebagai berikut.

1. Mijil

Mijil berarti keluar atau lahir, bayi yang baru lahir dari gua garba (rahim ibu).

Bayi yang baru saja dilahirkan, tentu dalam keadaan fitrah, suci, atau murni dan tanpa

dosa; ibaratnya seperti kertas putih. Pada dasarnya usia 0-15 tahun, seorang anak

memiliki kecenderungan pada boneka (doll). Pengertian boneka di sini, yakni

mainan; segala sesuatu yang bersifat materi.

Dalam tuntunan agama Islam, Allah SWT ─ sebagaimana dinyatakan dalam

Alqur’an ─ telah menyatakan bahwa bayi yang fitrah; apakah ia akan beragama

Islam, Nasrani, atau Yahudi maka orang tua yang bertanggungjawab sebab mereka

yang mendidik anaknya sejak lahir.

Di sinilah peran penting orang tua dalam mengasuh anaknya. Secara sederhana,

kewajiban orang tua dalam mengasuh anak, antara lain sebagai berikut.

a. Memberikan nama yang baik kepada anaknya. Nama yang baik tadi

merupakan doa dan harapan orang tua sehingga si anak kelak setelah dewasa

menjadi orang, sesuai harapan orang tuanya.

b. Memberikan kebutuhan si anak, baik menyangkut sandang, pangan, dan

papan (tempat tinggal) sehingga terjalin suasana yang baik dalam

keluarganya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 156: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

c. Memberikan pengajaran, pendidikan, atau menyekolahkan dalam rangka

menuntut ilmu. Kebutuhan yang azasi bagi seorang manusia adalah menuntut

ilmu. Itulah yang terdeteksi dari proses perjalanan nabi Adam as, saat

mendapatkan pengajaran yang baik oleh Allah SWT ketika berada di surga.

d. Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW pernah menganjurkan agar orang tua

memberikan tiga pelatihan kepada anak-anaknya; 1) melatihnya memanah

dengan anak panah; 2) melatih berenang; dan 3) melatih menunggang kuda.

e. Dari kelahiran si jabang bayi sebagai ungkapan syukur, diharapkan orang

tuanya menyembelih kambing yang diniatkan untuk aqiqah ─ dimaksudkan

sebagai ‘penebusan’ hawa nafsu si bayi yang telah tergadaikan ─ yang

dagingnya diberikan kepada fakir miskin atau tetangganya.

f. Setelah besar atau kira-kira berusia 7-12 tahun, si anak (laki-laki) dikhitankan.

Dalam persfektif kejawen, khitan tadi diistilahkan sebagai ‘mengislamkan’ si

anak.

g. Orang tua diharapkan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan

melindungi, menjaga, dan merawatnya dengan baik.

h. Orang tua diharapkan bisa mendidik anak-anaknya secara baik, yakni dengan

konsep pengajaran Jawa, yakni dengan mulat (mengetahui), milolo

(mendorong), miluta (membimbing), palidarma (memaafkan kepada anak-

anak).

Tradisi macapat ini muncul pada masa Jawa-Islam yang dibawa oleh

walisongo saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Tembang ini diyakini dapat

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 157: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

berpengaruh baik pada kehidupan seorang anak yang baru lahir. Macapat ini

dinyanyikan dengan iringan gamelan yang bertujuan untuk mendoakan si anak agar

menjadi orang yang berguna kelak. Perhatikan kutipan berikut.

Pada hari kelima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orang tuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada jabang bayi yang baru lahir. Kemudian dengan suara serak seseorang tua melagukan Dandanggula, peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa keselamatan: Ana kidung rumeksa ing wengi (Ada nyanyian menjaga malam teguh ayu luputa ing lara aman sentosa tidak terkena penyakit kalisa bilai kabeh luput dari semua penderitaan jim setan datan purun jin dan setan tidak mau mengganggu paneluhan tan ana wani santet tidak berani mendekat miwah panggawe ala dan semua perbuatan jahat gunaning wong luput guna-guna dari orang salah agni atemahan tirta api menjadi air maling adoh tan ana ngarah mring mami pencuri jauh tidak menuju saya tuju dudu pan sirna maksud jahat akan musnah) Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang dipimpin oleh modin desa (MPU:2-3). Mijil atau lahir, secara maknawi bisa saja dikontekstualkan sebagai lahirnya

gagasan, ide, intuisi batin atau semacam uneg-uneg dan sebagainya. Bahkan, dalam

kepribadian pun seseorang bisa ‘dilahirkan’ kembali setelah hijrah dari kegelapan

menuju terang-benderang. Begitu pula dengan ‘kelahiran baru’, ‘semangat baru’,

‘motivasi baru’, ‘rencana baru’ dan seterusnya.

Seorang tokoh sufi besar, Imam Hasan al-Bashri saat berumur 70 tahun

pernah merefleksikan kesuksesan Simeon ketika meninggal dunia pada usia 70 tahun

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 158: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

setelah bersyahadat (membaca syahadat). Padahal sebelumnya Simeon selama 70

tahun adalah seorang penyembah api (beragama Majusi).

Peristiwa di atas mengisyaratkan bahwa meski usia Simeon telah 70 tahun

tetapi sebenarnya ia baru saja mengalami proses ‘kelahirannya kembali’ setelah

membaca syahadat dengan meninggalkan keyakinan yang telah digelutinya selama 70

tahun.

2. Asmarandana

Asmarandana artinya fase atau masa di mana seseorang telah berhubungan

dengan asmara atau cinta terhadap lawan jenis. Begitulah tema tentang cinta atau

percintaan antara laki-laki dan perempuan merupakan ‘tema abadi’ dari zaman Nabi

Adam hingga kiamat. Tema tentang cinta dianggap oleh banyak orang merupakn

peristiwa manusia dari bagian hidup yang teramat penting (dari tiga hal penting;

yakni, kelahiran, perkawinan, dan kematian). Orang yang terlibat cinta misalnya

seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan cantik, bisa menimbulkan

semangat dan gairah hidup. Sebaliknya, orang yang mengalami kegagalan cinta bisa

mengalami patah hati, frustasi hingga tega melakukan bunuh diri, sebagaimana yang

terekspresikan dalam kisah cinta Romeo dan Juliet.

Pada fase ini, biasanya usia belasan tahun (17 tahun), seseorang sudah

mengenal cinta pertama alias ‘cinta monyet’. Tentu, ini masih berada dalam tahap

yang masih awal dalam fase percintaan yang sesungguhnya (cinta sejati). Setelah

berusia 25 tahun bagi laki-laki dan 22 tahun bagi perempuan, biasanya mereka telah

mulai matang (dewasa) yang sebenarnya untuk memasuki masa perkawinan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 159: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Purwadi dalam Susetya (2007:11) menyatakan masalah percintaan (asmara)

yang disalurkan sesuai dengan moral agama akan membuahkan sesuatu yang baik,

menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika

seseorang bermain-main dalam urusan percintaan, maka akan menyebabkan problem

solving dalam urusan sosial kemasyarakatan.

Dalam budaya Jawa sering diungkapkan ‘witing tresna jalaran suka kulina’

(cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulan atau

persahabatan antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan masalah

percintaan, namun lama-kelamaan akan bisa menumbuhkan cinta di antara mereka;

lantaran kulina (kebiasaan sehari-hari). Mungkin kebiasaan karena seringnya bertemu

satu dengan lainnya. Bisa saja karena terjadi interaksi dengan saling membantu di

antara mereka, atau karena sama-sama bekerja di instansi yang sama, sehingga sering

bertemu dan bertegur-sapa, hingga lahirlah cinta dari lubuk hatinya.

Namun, dalam Islam sama sekali tidak mengenal istilah pacaran karena bukan

muhrim-nya, antara laki-laki dan perempuan dilarang saling pandang, bergaul secara

bebas, duduk dan bepergian berduaan, dst. Hal tersebut dimaksudkan untuk

mengantisipasi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan sebab betapa banyaknya laki-

laki atau perempuan telah terseret arus pergaulan bebas.

Pada novel MPU, Abu Kasan banyak membuat geguritan asmaradana untuk

kekasihnya Lastri. Salah satunya dapat dilihat pada kutipan berikut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 160: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Di Rumpun Bambu Burung Kecil

Pada suatu kali dalam perjalanan Di suatu rumpun bambu kutemukan Sebuah sarang dan di dalamnya Seekor burung kecil yang manis

Burung kecilku yang manis Senyum di wajahnya Menyambut pengembara Lagu didendangkan Aku pun berhenti

... Cinta pengembara yang gairah Cinta pengembara yang gelisah

Burung kecilku yang manis Katakan cintamu padaku Cintamu air bening sahara Cintamu penghapus duka

.... (MPU:163-164)

3. Kinanthi

Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga

memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya yakni kehidupan berumah

tangga. Pujangga Jawa, dalam rambu-rambu perkawinan, telah memberikan

nasihatnya melalui senandung tembang, yang jika diperhatikan oleh masyarakat Jawa

akan sangat bermanfaat, sebagai berikut :

Gegarane wong akrami (rambu-rambu dalam perkawinan) dudu bandha dudu rupa (bukan karena harta, bukan karena wajah) amung ati pawitane (hanya hati modalnya) luput pisan kena pisan (gagal sekali, tepat sekali) yen angel angel kelangkung (jika terlanjur sulit, sulit sekali) tan kena tinumbas arta (jika benar/tepat ibaratnya tidak bisa dibeli

harta) (WdS:19)

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 161: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Barangkali makna tembang tersebut menafsirkan ajaran dalam agama Islam

bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi

seseorang dalam kedewasaan keyakinannya. Ini artinya seseorang tadi telah memiliki

modal kuat dalam hati dan kepribadiannya berkaitan dengan agamanya. Nabi SAW

memang memberikan alternatif sebagai rambu-rambu dalam perkawinan, di

antaranya menikah karena: 1) agamanya; 2) memiliki nashab/ keturunan yang baik

atau mulia; 3) kecantikan/ketampanan wajahnya; dan 4) hartanya.

Setelah memasuki perkawinan, biasanya para sesepuh, ulama, orang tua

masing-masing mendoakan agar dalam kehidupan perkawinannya, pasangan suami-

isteri dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah; yakni

kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Allah SWT.

4. Dhandhanggula

Dhandhanggula sebenarnya terdiri dari dua kata; dhandhang yang artinya pait

(pahit) dan gula yang berarti manis. Jadi, dhandhanggula berarti gambaran pahit-

manis alias suka-duka dalam kehidupan terutama setelah seseorang memasuki

kehidupan berumah tangga. Pada fase ini, pasangan suami isteri, di samping

mengalami kenikmatan dan kebahagiaan hidup, misalnya telah mendapatkan

momongan (anak) dari perkawinannya serta penghasilan yang cukup, tetapi mereka

juga makin memiliki tanggung jawab yang besar sehingga mereka harus menjalani

kehidupannya dengan lara lapa (prihatin).

Makna dhandhanggula menurut Purwadi (dalam Susetya, 2007:17), yakni

rasa optimis terhadap masa depan yang lebih manis, lebih cerah, dan lebih gemilang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 162: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

harus melewati masa pahit terlebih dahulu. Oleh karena itu, masa depan yang cerah

dan baik harus dilewati dengan agenda hidup yang lebih jelas dan tertata rapi,

lumampah anut wirama (berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku).

Pada novel WdS tembang dhandanggula ini dilantunkan oleh Satinah, seperti

terlihat dalam kutipan berikut.

Setelah selesai, katanya, Saya akan menyanyikan ‘Dandanggula Tanah Merindukan Hujan...yang penting tembang ini jujur. Mulai, ya?” Adhuh Gusti, tan jawah puniki (Aduh Tuhan, hujan tidak datang Lemah-lemah selak padha bengkah tanah-tanah sudah tidak tahan Grimis we mendah senenge gerimis saja betapa senang) ...

Mengko neka keduwung (nanti kalau menyesal Yen ana sing andhisiki jika ada yangmendahului Nyiram banyu tawa menyiram air tawar Wong selak pikun sebab keburu pikun)

Aywa suwe-suwe to (jangan terlalu lama Anggonmu mikir kuwi kau memikirkan Wong butuh tenan kakang soalnya saya membutuhkan,

kakang) (WdS:192-193)

5. Megatruh

Megatruth berarti megat (memutuskan), sedang ruh (roh), sehingga

memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia. Ini adalah fase terakhir manusia,

yakni mengahadapi kematian. Purwadi dalam Susetya (2007:23) menyatakan bahwa

pada tingkat megatruh ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir

batin sehingga mencapai ‘mati sajroning urip’hingga mencapai akhir hidup yang baik.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 163: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Pada novel MPU tembang ini menceritakan menceritakan perjalanan Jaka

Tingkir melewati Bengawan Solo yang masa itu dikenal sebagai sungai yang banyak

buayanya. Perhatikan kutipan berikut.

Dengan tembang Megatruh, diceritakan perjalanan Jaka Tingkir alias Mas Karebet dari Padepokan Banyubiru ke Demak lewat Bengawan Solo. Pada abad ke-16 Bengawan Solo pasti masih banyak buayanya. Sigra milir (segera hanyut Sang gethek sinangga bajul rakit didukung buaya

Kawan dasa kang jageni empat puluh buaya yang menjaga Ing ngarsa miwahing pungkur di muka dan di belakang Tinepi ing kanan kering di tepi kanan dan kiri Sang gethek lampahnya alon rakit berjalan perlahan-lahan) (WdS:41-42) Megatruh ini dinyanyikan orang Jawa ketika mereka merasa ajalnya sudah

dekat. Ini juga merupakan tembang perpisahan kepada dunia beserta isinya.

Sementara itu, tembang macapat yang tergolong pada sinom, maskumambang,

durma, pangkur, gambuh, dan pucung tidak terdapat dalam novel-novel

Kuntowijoyo. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis tidak menjelaskannya.

Selanjutnya, salah satu yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya

Jawa adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh

Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa

yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah

melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga

terhadap sistem agama.

Cerita Ajisaka yang datang ke Pulau Jawa kemudian mengubah huruf India ke

dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 164: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses

transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana

dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena golongan

cendikiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka

golongan cendikiawan Jawa menjadi kaum bangsawan (priyayi), yang pada akhirnya

ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.

Kuntowijoyo mentransmisikan sosiohistoris tersebut pada tokoh ‘Ayah

Satiyem’. Tokoh tersebut berpandangan bahwa agama apapun seorang baik itu Islam,

Kristen, Hindu, ataupun Budha harus tetap mempertahankan budayanya. Agaknya ini

juga merupakan pemikiran Kuntowijoyo selaku budayawan yang tersirat melalui

novel tersebut.

Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja : Islam-Kristen-Budha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup (WdS:45).

Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat

terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu

baik, maka sangat wajarlah jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot

atau serba memuat).

7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam

Alam bukan lagi lingkungan yang asing bagi manusia karena dalam

memperoleh pemahaman, keduanya merupakan jalinan kesatuan. Untuk memahami

tentang alam, ada dua komponen yang tergabung di sini yaitu, alam sebagai alam dan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 165: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

alam sebagai budaya. Alam sebagai alam adalah sebagaimana ditentukan dalam

pengalaman langsung, alam yang telah menghadirkan dan mendahului pemahaman.

Namun, alam yang masuk ke dalam pemahaman itu adalah alam sebagaimana tertepis

oleh cakrawala yang terikat pada sejarah kehadiran pemahaman itu sendiri, dan

membentuk alam sebagai budaya.

Alam sebagai budaya adalah alam sebagai kumpulan gagasan yang

menunjukkan proses penyelidikan terus-menerus bagi landasan tindakan

pengetahuan. Alam ini adalah hasil upaya manusia untuk menghubungkan berbagai

makna dalam pengalaman, dalam cara meneguhkan pengalaman-pengalaman yang

bernilai serta dengan melakukan penyelidikan dan pengujian untuk menentukan apa

yang terbukti yang akan terus bernilai (Leksono dalam Minsarwati, 2002:45).

Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia

dan kodrat alam senantiasa saling memengaruhi, sekaligus bahwa manusia harus

sanggup melawan kodrat untuk dapat mewujudkan kehendaknya, cita-citanya,

ataupun fantasi hidupnya agar selamat sejahtera dan bahagia lahir batin. Hasil

perjuangan (melawan kodrat) berarti kemajuan atau pengetahuan bagi lingkungan

atau masyarakatnya, maka terjalinlah kebersamaan yang disebut gotong-royong,

hormat-menghormati, tenggang rasa (tepaselira), rukun, dan damai hingga mawas

diri.

Menurut Minsarwati (2002:41) titik tolak hubungan manusia dan alam adalah

kesatuan manusia dan alam semesta serta dunia yang dialami manusia, yang disebut

sebagai kosmologi. Menurut Bakker dalam Minsarwati (2002:43) manusia secara

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 166: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui

dirinya dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia ini. Ini berarti

bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh

merupakan pula refleksi atas dunia. Jadi, dunia tidak dapat dipakai tanpa manusia.

Demikian juga sebaliknya, manusia dan dunia dapat saling mengimplikasikan.

a. Manusia yang Bersatu dengan Alam

Berhadapan dengan alam, manusia berusaha untuk sedapatnya membebaskan

diri daripadanya dengan merohanikan atau menghaluskannya. Alam pada dirinya

sendiri sejauh berada dalam keasliannya termasuk alam kasar. Alam asli bagi orang

Jawa adalah angker, mengerikan, dan menakutkan, tempat kebuasan, kekacauan,

penuh bahaya, dan penuh roh-roh yang tidak dikenal. Bagi orang yang mencari

kesaktian, alam merupakan tempat tinggal sementara dan tempat untuk membuktikan

diri.

Hubungan antara manusia dan alam sekelilingnya tidak bersifat eksploitatif

agar dapat diperoleh keuntungan. Hubungan ini lebih bersifat saling menjaga

sehingga terciptanya keselarasan. Masyarakat Jawa percaya bahwa siapa yang

melanggar interaksi tersebut akan terkena hukuman baik dari warga maupun

kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dan berasal dari alam adikodrati.

Hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola

kebudayaan. Dengan kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan

lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 167: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola kompleks nilai yang bersumber dari etika

dan pandangan (Minsarwati, 2002:48).

Sikap kosmologis masyarakat Jawa terhadap lingkungan alam ini tercermin

pada saat terjadinya letusan tanggal 22 November 1994 baik itu terjadi di Desa

Purwobinangun, Turgo, Kepoharjo, Kaliadem,Umbulharjo, dan Kinahrejo. Di sini,

tampak sekali bagaimana manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam

Gunung Merapi. Mereka tidak mau meninggalkan daerahnya yang tertimpa bencana

walaupun daerah itu sudah hancur lebur dilalap awan panas dan dijadikan sebagai

daerah terlarang yang tidak layak huni. Kenyataan ini bisa dipahami sebagai sebuah

sikap hidup atau sebuah kearifan atau kebijaksanaan hidup terhadap lingkungan alam

dan budayanya yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang berjiwa. Terjadinya

letusan itu lebih dipaham sebagai sebuah takdir.

Keengganan masyarakat untuk meninggalkan daerah menurut pandangan

masyarakat umum di Yogyakarta lebih didasari oleh kewajaran. Hal ini menyangkut

eksistensinya sebagai masyarakat lereng Merapi yang berbudaya yang mampu hidup

berdampingan secara serasi dan harmonis dengan alam.

Keberadaan Merapi tetap dipandang sebagai anugerah. Manusia selalu tunduk

dan dikuasai oleh Gunung Merapi, hal ini bisa dilihat betapa masyarakat tidak berani

menebang pohon seenaknya, berburu binatang di hutan, memindahkan batu-batu

besar di tempat-tempat tertentu, mendirikan rumah menghadap ke arah Gunung

Merapi, apalagi punya keberanian untuk membakar hutan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 168: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Makna kosmologis ini tentunya bermanfaat besar dalam meningkatkan

martabat manusia pada tingkat pertama, sampai yang terakhir karena setelah itu maka

ada tugas manusia adalah memayu hayuning bawana. Konsep ini dipandang sebagai

etika kosmologis. Artinya, berupa ajakan moral yang implisit dalam hukum alam.

Manusia harus membuat seluruh isi alam menjadi tenteram dan damai, untuk itu

manusia harus menyadarinya dengan cara menaati tatanan yang berlaku dan hidup

harmonis dan selaras. Oleh karena itu, manusia harus menciptakan keharmonisan

terhadap alam dengan berlaku hidup selaras, serasi, dan seimbang.

b. Manusia yang Menaklukkan atau Mendayagunakan Alam

Strauss (Minsarwati, 2002:46) menyatakan bahwa alam menjadi suatu

pengalaman yang menentukan hidup. Ia meyakini bahwa manusia bukanlah makhluk

di luar alam dan makhluk agresif terhadap alam, melainkan sebagai bagian dari alam;

manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang menentukan hidup dan pikirannya.

Manusia bukan subyek bebas, otonom, dan sadar, yang maha kuasa, melainkan ia

memainkan peranan sebagai sarana dalam proses pemekaran diri alam itu.

Bagi orang Jawa alam adalah wilayah yang dibabat untuk memperoleh tanah

yang memberi berkat bagi manusia. Hutan yang sebelumnya adalah tempat roh-roh

dan binatang-binatang buas, kemudian dijadikan pemukiman bagi manusia. Dalam

berhubungan dengan alam, orang Jawa berusaha menghaluskannya. Itu dilakukan

melalui seni. Obyek penghalusan itu pertama-tama dari segi alamiah manusia itu

sendiri, yaitu tubuhnya. Tubuh dihaluskan terutama melalui seni tari. Di situ termasuk

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 169: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

juga berbagai bentuk wayang, khususnya wayang kulit yang diukir indah dengan

wujud berabstraksi tinggi. Termasuk juga orkes gamelan yang musiknya tidak pernah

kehilangan sifatnya yang tenang. Seni batik pun termasuk di sini.

Pengaturan hubungan manusia dengan alam lahir membuka jalan untuk turun

ke dalam batin sendiri, semakin dalam penghayatan tersebut akan menimbulkan

kesadaran peersatuan dengan semua makhluk.

Tatanan kehidupan manusia modern sekarang ini, cenderung bangga bila

menaklukkan dan menguasai alam. Tindakan tersebut bisa mengarah pada hal yang

bersifat positif dan negatif. Pemanfaatan sumber daya alam dengan cara

mempertahankan kelestarian alam maka manusia tidak akan mengalami kerugian.

Sebaliknya, apabila pemanfaatan sumber daya alam tersebut dilakukan dengan cara-

cara yang merusak maka hal itu akan menimbulkan kerugian pada manusia itu

sendiri.

Pada novel MPU digambarkan juga tokoh Abu Kasan yang berpendidikan dan

berkebudayaan modern, tetapi basis perasaan dan pemikirannya adalah alam dan

lingkungan (agraris). Dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an, melalui suara Abu

Kasan, Kuntowijoyo menunjukkan bahwa pada surat 114 dalam Al-Qur’an semuanya

merujuk kepada alam. Abu Kasan menolak paham orang Barat yang mengatakan

bahwa peradaban manusia menundukkan alam. Bagi Abu Kasan “menundukkan”

alam itu langkah yang salah. Malah itu sejenis kesombongan sebab yang benar

manusia harus “berdamai” dengan alam. Di sini terlihat prinsip keselarasan (harmoni)

yang dianut orang Jawa menjadi landasan berpikir Abu Kasan Sapari.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 170: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Melalui Abu Kasan, Kuntowijoyo mengungkapkan bukit, batu, langit, jin,

manusia, kuda, angin, buaya, rempah-rempah, tebu, dan logam, yang tidak lain adalah

alam itu sendiri, khususnya tentang bukit dan alam umumnya. Perhatikan kutipan

berikut.

Tuhan memuliakan bukit. Ketika Tuhan akan menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya didahuluinya dengan sumpah kepada buah Tin, pohon Zaitun, bukit Tursina, dan daerah yang penuh berkah. Nabi Musa ditunjukkan kekuasaan Tuhan dan menerima “Ten Commandment” di atas bukit. “Khotbah di Atas Bukit” Nabi Isa juga dikenang umat manusia (MPU:33).

Dapatlah kiranya ditegaskan bahwa posisi bukit (alam) menduduki tempat

penting dalam renungan-renungan Abu Kasan Sapari yang agaknya tidak lain refleksi

pandangan Kuntowijoyo sendiri.

Dengan berpijak pada sejarah, melalui renungan-renungan Abu Kasan,

Kuntowijoyo ingin menunjukkan bahwa rempah-rempah (alam) dulu pernah menjadi

amat penting di negeri ini sehingga orang-orang Eropa datang dan kemudian

menjajah. Demikian pula dengan revolusi industri di Indonesia yang dimulai dari

berdirinya pabrik-pabrik tebu (alam). Itulah yang membuat Indonesia mejadi bagian

penting dalam perekonomian dunia. Kita dapat saja menambahkan apa saja yang

disampaikan novel itu, mengingat hingga hari ini negeri kita merupakan negeri yang

kaya dengan kekayaan alamnya (aneka tambang, ikan, minyak, gas, kayu, dan lain-

lain). Tidak mengherankan bila Abu Kasan (Kuntowijoyo) berfilsafat tentang alam,

tidak lain untuk menyadarkan semua orang bahwa alam amatlah penting; oleh karena

itu, manusia harus menjaga dan berdamai bukan menundukkan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 171: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Alam dan lingkungan menjadi tema pagelaran wayang Abu Kasan pada

akhirnya, dan ular bagi Abu Kasan adalah simbol alam dan lingkungan. Oleh karena

itu, ular seperti alam dan lingkungan, harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh,

apalagi dijadikan sebagai abon ular untuk obat kuat sekaligus obat penyakit kulit.. ia

melawan orang-orang yang suka membunuh dan memperjualbelikan ular. Cinta ular

berarti cinta lingkungan, begitu pandangan Abu Kasan. Betapa pentingnya

lingkungan, lihat kutipan berikut yang mengacu pada sejarah.

“....Zaman dahulu Gunung Kidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah manusia sekali lagi karena ulah manusia, Gunungkidul menjadi gundul, sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya. Bukan tidak mungkin cucu-cucu kita akan mengalami hal yang sama. Prinsip melestarikan lingkungan ialah membiarkan sesuatu di tempatnya“ (MPU:55).

Abu Kasan berhasil mengajak camat, lurah, dan masyarakat akan kesadaran

pada alam dan lingkungan, juga pada ular. Maka dilukiskanlah seorang anak yang

bermain-main di sawah dengan ular, orang-orang bertetangga dengan ular, bahkan

ada ular bercanda dengan orang dengan cara mengambil topi yang sedang dijemur

atau ular-ular nongkrong di pohon menyaksikan permainan sepak bola di lapangan

kecamatan. Pelukisan ini memang agak tidak masuk akal, sedikit aneh, kocak, bahkan

luar biasa, tidak lain karena ular oleh Abu Kasan Sapari dan pengarang ditempatkan

sebagai sesuatu yang penting, tidak kalah penting dengan kedudukan manusia sendiri.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 172: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

7.1.3 Hubungan Manusia dengan Masyarakat

Menurut Geertz (Suseno, 2003:38), ada dua kaidah yang paling menentukan

pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama, mengatakan bahwa dalam

setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai

menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam berbicara dan

membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan

derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut sebagai prinsip kerukunan dan

kaidah kedua disebut sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip ini merupakan kerangka

normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret semua interaksi. Tuntutan dua

prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa agar kelakuannya selalu sesuai dengan

prinsip itu. Kedua prinsip tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Prinsip Kerukunan

Prinsip kerukunan ini terbagi atas tiga, yakni rukun, gotong royong, dan

musyawarah. Di dalam mencapai prinsip itu, ketiganya tidak bisa dipisahkan satu

sama lain karena saling berkaitan dalam pelaksanaannya pada masyarakat. Berikut

penjelasannya.

1. Rukun

Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam

keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada

dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”,

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 173: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

bersatu dalam maksud saling membantu. Rukun adalah keadaan ideal yang

diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial.

Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial merupakan

keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu.

Namun, berbagai kepentingan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang

mengarah ke konflik dan mengancam prinsip kerukunan itu. Oleh karena itu,

masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan

dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau

sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi tersebut pecah

secara terbuka. Norma-norma itu dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri

dan menguasai emosi-emosi.

Orang Jawa terutama harus berhati-hati dalam situasi di mana kepentingan-

kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Suatu permintaan atau tawaran

tidak boleh langsung ditolak. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa

adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar secara tidak

langsung. Perhatikan kutipan berikut.

Orang-orang tua dulu berbicara dengan lambang-lambang, tidak thok leh alias to the point. Tapi orang sering salah menafsirkan lambang-lambang itu, kadang orang hanya menangkap secara letterlijk, padahal hanya lambang. Misalnya, di Bayat, Klaten, di bukit Jabalkad, di makam Sunan Pandan Arang ada sebuah tempat air dari tembikar yang berlobang-lobang. Orang yang hanya menangkap yang lahir akan bilang, “Wah tempayan yang demikian, bagaimana mengisinya!” Memang itu hanya perlambang. Arti yang ada di balik tempayan itu ialah bahwa otak itu tidak akan penuh meskipun menampung banyak ilmu (MPU:43).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 174: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk

berpura-pura. Orang Jawa bicara tentang ethok-ethok. Kemampuan untuk ber-ethok-

ethok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa di

luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaannya yang

sebenarnya. Itu terutama berlaku tentang perasaan-perasaan yang negatif.

Orang Jawa telah membatinkan dalam dirinya bahwa kesejahteraannya,

bahkan eksistensinya tergantung dari kesatuan dengan kelompoknya. Menentang

kehendak orang lain secara langsung atau menunjukkan permusuhan sangat

bertentangan dengan perasaannya. Oleh karena itu, setiap kelakuan yang

menyimpang dari prinsip kerukunan akan berhadapan dengan perlawanan psikis yang

kuat. Secara psikologis, keadaan rukun diterjemahkan dalam keadaan di mana tidak

terdapat perasaan-perasaan negatif suatu keadaan yang aman dan tentram.

2. Gotong Royong

Praktik gotong-royong pun mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong

dimaksudkan dapat saling membantu dan melakukan pekerjaan demi kepentingan

bersama. Menurut Koentjaraningrat (2002:65), ada tiga nilai yang disadari orang desa

dalam melakukan gotong-royong: pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam

hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia

harus selalu berupaya untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya; kedua,

orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya; ketiga, orang itu harus bersifat

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 175: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

conform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk

menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya.

Kerukunan masyarakat Jawa dalam novel WdS tampak ketika masyarakat

mengadakan upacara-upacara besar. Gotong royong sangat dibutuhkan dalam

menjaga kerukunan dalam masyarakat. Masing-masing pihak telah mengetahui fungsi

dan perannya masing-masing.

Wasripin juga diberitahu di mana duduk, tempat duduk teman-teman yang mengantar, dan kapan dia dipanggil maju untuk menerima. Sesudah upacara, kapolri berkenan omong-omong sebentar dengan Wasripin dan lima orang teman di pendopo kabupaten. Undangan itu hanya sedikit mengubah rencana. Sesudah akad nikah mereka kan datang di stadion, tempat upacara. Mereka bergerombol dan mencoba menebak-nebak makna dari undangan. Para nelayan menafsirkannya sebagai “kerjasama penguasa dan masyarakat”, “peranserta masyarakat”, “kepercayaan pada masyarakat”, dan “ada perubahan di atas sana” (WdS:212-213). Orang Jawa sepenuhnya menyadari kepentingan individualnya nampak juga

dalam cara bergotong-royong. Bentuk gotong-royong yang spontan, misalnya

membantu dalam kasus kematian (layat) dan melaksanakan proyek-proyek tertentu

demi kepentingan seluruh kampung (gugur gunung). Sementara itu, memenuhi

undangan pesta merupakan suatu kewajiban sosial dan dari setiap tamu diharapkan

sejumlah uang untuk tuan rumah (njurung). Besarnya sumbangan itu diingat oleh

kedua belah pihak dan si pemberi boleh berharap akan menerima sumbangan serupa

apabila mengadakan perayaan yang sama. Dalam segala macam bentuk gotong-

rotong itu, orang Jawa tahu persis jumlah waktu kerja atau jumlah uang berapa yang

masih harus dikembalikannya dan berapa yang masih berhak dituntut orang lain.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 176: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Jadi, prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai

kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial

untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok.

3. Musyawarah

Usaha untuk menjaga kerukunan mendasari juga kebiasaan musyawarah, yaitu

proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Secara ideal,

bermusyawarah adalah prosedur di mana semua suara dan pendapat didengarkan.

Semua suara dan pendapat dianggap sama benar dan membantu untuk memecahkan

masalah. Musyawarah berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan

pendapat, yang bisa juga diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan

dan pendapat para partisipan.

Pada novel MPU pun musyawarah digambarkan dalam keluarga Abu Kasan

Sapari saat mengambil keputusan. Musyawarah menjadi sebuah tradisi yang harus

dilakukan masyarakat Jawa meskipun pada akhirnya keputusan tersebut tetap

berpusat pada orang yang lebih dominan. Perhatikan kutipan berikut.

Musyawarah antara kakek-nenek dan orang tuanya hanya menghasilkan bahwa segalanya terserah Abu sendiri. Dan ia mengatakan akan sembahyang istikharah, maneges kersaning Allah, menanyakan kehendak Tuhan. Pagi harinya ia menyatakan ‘ya’, setelah bermimpi naik trap-trapan memasuki suatu gedung (MPU:13).

Pengambilan keputusan melalui musyawarah yang dilakukan keluarga Abu

Kasan Sapari pun masih diwarnai mitos. Mimpi Abu Kasan diyakini sebagai jawaban

atas sembahyang istikharah yang dilakukannya. Mitos mimpi Abu Kasan melahirkan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 177: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

kebulatan tekad untuk mengambil sebuah keputusan. Kebulatan itu merupakan

jaminan kebenaran den ketepatan keputusan yang hendak dicapai, karena kebenaran

termuat dalam kesatuan dan keselarasan kelompok yang bermusyawarah. Orang Jawa

lebih mengunggulkan musyawarah dalam mengambil keputusan dibandingkan

dengan cara pemungutan suara. Tujuan musyawarah itu diharapkan agar setiap orang

bisa mengemukakan pendapatnya.

b. Prinsip Hormat

Kaidah kedua yang berperan penting dalam mengatur interaksi dalam

masyarakat Jawa ialah prinsip hormat. Prinsip ini menekankan bahwa setiap orang

dalam berbicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap

orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Apabila dua orang bertemu,

terutama dua orang Jawa, bahasa dan sikapnya harus mengungkapkan suatu

pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial

yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama

yang sesuai dengan mengambil sikap hormat yang tepat.

Perhatikan kutipan berikut.

Sekali ini benar-benar tontonan jarang. Agak canggung rasanya bagi Pak Mantri. Ia malu, harus berurusan dengan orang-orang. Kikuklah. Tidak seorang pun dari kerumunan itu melerai. Tentu, mereka takut pada Pak Mantri. Bagi Pak Mantri sungguh aib besar, bertarik-tarikan dengan orang pasar itu. Lagipula ia sadar kalau orang-orang itu benar-benar melawannya ia akan terseret. Kewibawaanlah yang menolongnya. Tidak, ia tak mundur. Kemudian Pak Mantri beranjak. Memang begitulah sopan santunnya, harus Pak Mantri yang meninggalkan pedagang kambing, bukan sebaliknya. Ada kemenangan di pihaknya (P:66).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 178: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Prinsip hormat berdasarkan pendapat dilihat dari hubungan dalam masyarakat

yang teratur secara hierarkis. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak

meresapi seluruh kehidupan masyarakat Jawa. Masyarakat biasa dalam novel P

tersebut sangat menjaga sikap hormat terhadap Pak Mantri, yang mereka pandang

lebih tinggi strata sosialnya. Dalam bahasa Jawa, tidak ada kemungkinan untuk

menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan

bagaimana menaksirkan kedudukan sosialnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam

prinsip kerukunan, orang Jawa dalam menyapa seseorang mempergunakan istilah-

istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan dalam

menunjukkan kedudukan yunior-senior.

Perhatikan juga kutipan berikut.

“Belum datang juga Pak Camat?” “Belum Pak.” “Polisi?” “Belum.” “Selamat siang, Ning.” “Selamat siang, Pak.” Uh! Aduh biyung! Gadis itu memanggilnya ‘pak’(P:92 & 133). ... Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yangn segera menarik tangannya. ”Anggap saja Yu Lastri ini anakmu, kalau dia mau,” kelakar Abu (MPU:155). ... Waduh, Paklik. Ada GPL. “ Satinah membelokkan motor, mau kembali. “Jangan terus saja...Terus saja,” kata Paman Satinah (WdS:122). Melalui kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa apabila lawan bicara

memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi, dipergunakan istilah senior. Sebaliknya

apabila kedudukannya lebih rendah maka digunakan istilah yunior. Seorang lelaki

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 179: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

yang lebih tua biasa disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang sama umurnya

atau lebih muda disebut kak atau kang, yang jauh lebih muda disebut dhik; seorang

wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang sama umurnya disebut

mbakyu (kakak perempuan), yang lebih muda dhik. Penggunaan istilah-istilah itu

masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial; makin tinggi kedudukan seseorang,

makin tua dia dalam sebutan, dan sebaliknya. Dan apabila mereka itu betul-betul

masih keluarga, maka tanpa memperhatikan perbandingan umur yang nyata harus

dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai dengan hubungan generasi.

7.1.4 Hubungan Manusia dengan Orang Lain

Tepa Sarira

Dalam sejarah budaya Jawa, secara tradisi dan turun-temurun para leluhur

Jawa dulu telah banyak mewariskan peninggalan adiluhung mengenai tepa sarira

(tepa selira), yakni seseorang mau dan mampu memahami perasaan orang lain. Sri

Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama-nya juga mengilustrasikan mengenai

praktik tepa serira seperti yang dicontohkan kepribadian Panembahan Senapati di

Mataram, yakni sebagai: “Karyenak tyase sesama” (membuat enak, senang, dan

damai perasaan sesama manusia).

Lebih dari sikap itu, orang yang ber-tepa serira sangat jauh dari sifat jail atau

usil kepada orang lain. Secara khas, orang yang ber-tepa serira selalu memiliki

empati dan kepedulian terhadap penderitaan, beban hidup, dan kesulitan yang

dihadapi orang lain.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 180: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Hardjowirogo (1983:54) juga menambahkan bahwa orang yang ber-tepa

serira terkait erat dengan aplikasi hukum; asas praduga tidak bersalah. Dalam

mengambil keputusan harus berhati-hati dan tidak mau apriori terhadap segala

sesuatu yang dihadapinya. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

merupakan salah satu patokan hukum yang penting. Berdasarkan patokan ini

seseorang baru dianggap bersalah bila hakim telah memutuskan bahwa seseorang itu

bersalah. Suatu patokan yang selain dapat menyelamatkan orang dari pernyataan

salah selagi perkaranya belum diputuskan oleh hakim, tentu dapat lebih menjamin

adanya peradilan yang adil terhadap diri tertuduh.

Permasalahan tentang tepa serira dapat dilihat dalam cuplikan novel P

sebagai berikut.

“Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. ‘’Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang mengangguk-angguk (P:26). Melalui kutipan tersebut terlihat bahwa praktik tepa serira tidak di jalankan

oleh Pak Mantri. Selaku pemimpin yang baik seharusnya Pak Mantri lebih peka pada

pedagang yang berjualan di pasar yang dipimpinnya. Burung-burung dara peliharaan

Pak Mantri sangat menyusahkan para pedagang.

Akhirnya, Pak Mantri menyadari bahwa tepa serira lebih penting dalam

menjaga keharmonisan dengan orang lain dibanding sekadar hobi memelihara burung

dara. Hal itu terlihat melalui kutipan berikut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 181: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

‘’Ketahuilah, orang itu tidak hidup sendiri, tetapi bersama orang lain. Kita mesti mengenal hak-hak dan kewajiban. Ada hak kita, ada hak orang. Ada kewajiban kita, ada kewajiban orang. Masing-masing ada tempatnya” (P:119).

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat praktik tepa serira yang dipahami Pak

Mantri dan sesuai dengan pendapat Hardjowirogo (1983:55) yang mengatakan bahwa

tepa serira berarti berusaha menempatkan diri dalam keadaan orang lain hingga dapat

mengerti perasaan yang dialami orang lain. Orang yang memiliki tepa serira dalam

kesehariannya tidak mudah menyalahkan orang lain, termasuk ketika melakukan

tindak pidana sekalipun. Orang yang ber-tepa serira berusaha mencari informasi

mengenai latar belakang keterlibatan orang saat melakukan suatu tindakan tertentu.

Dengan demikian, watak dan sifat orang yang ber-tepa serira sangat menjauhi sikap

grasa-grusu atau gegabah dan menyalahkan orang lain.

7.1.5 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri

Usaha pengenalan diri biasanya dilakukan orang Jawa dengan lima lelaku

utama, yakni rila, nrima, sabar, temen, dan budi luhur. Rila merupakan kesanggupan

untuk melepaskan hak milik dan kemampuan serta hasil-hasil pekerjaan sendiri

apabila sudah menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Hal ini harus dipahami

sebagai keutamaan positif.

Nrima berarti menerima segala sesuatu tanpa protes dan pemberontakan. Hal

ini termasuk sikap Jawa yang paling sering dikritik karena disalahpahami sebagai

kesediaan untuk menerima segala-galanya secara apatis. Sebenarnya nrima itu sikap

hidup yang positif. Orang yang dalam kekecewaan dan kesulitan dapat bereaksi

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 182: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

rasional dengan tidak berputus asa terhadap masalah yang dialaminya. Nrima ini

menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan dengan tidak

membiarkan diri dihancurkan oleh keadaan. Sikap ini juga memberi daya tahan

menghadapi segala hal terburuk yang dihadapi manusia.

Orang Jawa juga bersikap sabar. Sabar merupakan tanda seseorang itu adalah

pemimpin yang baik. Sabar diyakini akan memberikan nasib yang baik pada manusia

pada waktunya. Orang yang sabar akan memunculkan sikap-sikap positif lainnya

dalam diri manusia sehubungan dengan interaksi terhadap sesamanya.

Selanjutnya, orang Jawa dituntut hendaknya selalu jujur (temen). Orang yang

jujur dapat diandalkan janjinya dan akan bersikap adil. Orang Jawa percaya bahwa

menepati janji merupakan prasyarat untuk bisa bertemu dengan Allah. Dengan

demikian, orang Jawa itu harus bersikap sederhana (prasaja), bersedia untuk

menganggap diri lebih rendah daripada orang lain (andhapasor), dan sadar akan

batas-batas dalam berbuat (tepa selira).

Penerapan sifat-sifat tersebut akan mewujudkan sikap budi luhur. Sikap budi

luhur ini merupakan rangkuman dari segala apa yang dianggap watak utama oleh

orang Jawa. Orang yang berbudi luhur seakan-akan menyinarkan kehadiran Allah

dalam diri manusia terhadap lingkungannya. Budi luhur sekaligus memuat sikap yang

paling terpuji terhadap sesama. Orang yang berbudi luhur mengetahui bagaimana cara

bersikap terhadap orang lain dengan, baik orang yang baik maupun orang yang jahat

sekalipun.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 183: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Orang Jawa tidak menganggap bahwa sesama manusia sebagai obyek yang

dipakai untuk memuaskan segala kebutuhannya, melainkan bahwa sesama merupakan

suatu kebutuhan penting terhadap kelanjutan hidupnya. Dengan kata lain,

kebersamaan itu adalah tujuan dari setiap diri manusia. Kenyataan ini sesuai dengan

pepatah Jawa yang berbunyi : mangan ora mangan asal ngumpul (makan atau tidak

makan, pokoknya kita bersama).Setiap masyarakat Jawa merasa berkepentingan

untuk melindungi keselarasan dan keharmonisan dalam lingkungannya. Untuk itu,

segenap pihak dituntut agar mampu menguasai diri, menjaga kerukunan, dan

menyadari kedudukan masing-masing. Tuntutan itu sudah ditanamkan sejak kecil

oleh masing-masing individu. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi konflik dan

menjaga keselarasan dalam masyarakat. Untuk menjaga keselarasan itu, maka dalam

diri setiap individu dituntut untuk bersikap mawas diri. Akan dijelaskan sebagai

berikut.

Mawas Diri

Soedjatmoko dalam Susetya (2007:25) mengungkapkan bahwa mawas diri

(introspeksi) dapat diangkat dari tingkat moralisme ke tingkat pengertian psikologis

dan historis perilaku manusia. Hal itu disebabkan moralitas termasuk rangkaian besar

kebudayaan manusia yang harus diperjuangkan ke arah pengalamannya secara

optimal. Terlebih dengan perkembangan zaman yang makin mengglobal maka proses

dinamisasi, inovasi, emansipasi, serta humanisasi memerlukan proses mawas diri

tersebut dalam masyarakat.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 184: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Terlepas apakah mawas diri akan menjadi inti pokok kebudayaan atau tidak,

tetapi yang jelas mawas diri merupakan bagian moralisme yang bisa dipahami

sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidup manusia dalam

kehidupannya. Dalam masyarakat Jawa, tema-tema instropeksi diri ini berkaitan

dengan komunikasi antarsesama manusia dan lingkungan hidupnya serta perilakunya

terhadap sesamanya tersebut. Proses interaksi manusia dengan sesamanya memakai

aturan-aturan yang terdapat dalam budaya. Untuk mendukung interaksi yang baik

dengan orang lain dibutuhkan pengkajian diri dalam diri setiap individu demi

mencapai keharmonisan dalam kehidupan.

Pada novel P dapat dilihat hubungan ini, yaitu melalui tokoh Pak Mantri. Pak

Mantri digambarkan sebagai orang Jawa ideal yang mengetahui tata krama, filosofi,

dan psikologi orang Jawa. Pak Mantri sering mengkritik dan mengutuk dalam hatinya

karena sering melihat sikap dan perilaku Pak Camat dan Kepala Polisi yang tidak

sesuai dengan tata krama priyayi Jawa. Dalam pandangannya, seorang pemimpin

harus bermental priayi yang mampu mawas diri dalam segala tindakan yang

diambilnya.

Perhatikan kutipan berikut.

Orang bijaksana mesti tahu diri, kalau hatimu sedang risau jangan mengurus sesuatu yang sangat penting... Tetapi jangan berburuk sangka, itu tidak boleh. Usahakan menenangkan pikiran sebelum bertindak, memerlukan ketenangan jiwa. Sebab, bukankah Ciptoning, pikiran jernih juga, yang mengalahkan raksasa? Hanya hati yang bening mengalahkan si pemurka (P:41).

Akan tetapi, Pak Mantri bukan manusia sempurna. Sejak awal hal itu sudah

dikabarkan pengarang, bahkan dianggap wajar. Pada bagian-bagian awal agaknya

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 185: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kuntowijoyo tengah melakukan semacam kritik halus terhadap perilaku priyayi (Pak

Mantri) yang luput dari pengamatan dan kesadaran dirinya sendiri. Pak Mantri suka

mengajari orang agar bersikap sopan, berpijak pada “rasa”, mawas diri, dengan penuh

wibawa dan martabat. Ia rajin mengajari dan mengingatkan tindak-tanduk Paijo yang

menurut tatakrama Jawa tidak pantas dilakukan. Ia mencela habis-habisan sikap dan

perilaku Kasan Ngali, seorang pedagang yang sama sekali jauh dari tata krama

kepriyayian. Diibaratkannya Kasan Ngali sebagai tikus yang bila dikasih daging tetap

saja mencuri daging lainnya. Sayangnya, mawas diri Pak Mantri tidak terjadi pada

dirinya, ia alpa mengoreksi sebagian sikap dan perilakunya sendiri. Inilah pangkal

mula Pak Mantri menghadapi masalah dalam mengelola pasar.

Pak Mantri masih belum mampu mawas diri dan mengoreksi dirinya.

Kematian burung-burung masih ditimpakan semata-mata pada kesalahan orang lain.

Padahal burung-burung miliknyalah yang membuat pasar menjadi sepi. Burung-

burungnyalah yang membuat bank pasar tidak menerima tabungan karena para

pedagang pasar tidak memiliki uang. Sebuah kritik halus Kuntowijoyo bagi priayi

yang tidak mampu mawas diri kepriayiannya, sesuatu yang sering dibanggakan para

priayi.

Pak Mantri akhirnya menyerah dan meyadari keadaan. Meski kesadaran itu

datangnya agak tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada

siapa saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar

dibongkar. Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa

khas priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 186: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

ketika Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk

dilepaskan lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya.

Kesadaran Pak Mantri telah mencapai apa yang dalam psikologi dan filosofi

Jawa dikenal dengan “rasa” dan “mawas diri”. Rasa mengacu pada pengecapan

(taste), perasaan (cinta), takut, marah, gelisah, dan sebagainya), sifat dasar

(character), suara suci kodrat Illahi, kenikmatan terdalam (delight), halus dan

mendalam yang merupakan “air”, atau “sari” buah-buahan dan tumbuhan. Sementara

itu, mawas diri adalah kemampuan meneliti kenyataan-kenyataan diri sendiri yang

akan membawa manusia pada pemahaman, penyerahan, dan penyadaran diri (Jatman,

1997:26 & 35).

Tentang “rasa”, Pak Mantri berkhotbah sekaligus upaya mewariskan nilai dan

filosofi Jawa kepada Paijo yang akan menggantikannya sebagai kepala pasar, sebagai

berikut.

“Hidup kita pusatnya di sini, “Pak Mantri menunjuk jantungnya. “Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang penting ialah rasa. Rasa itu di sini letaknya. Pusat engkau bernafas. Pusat peredaran darahmu. Kalau kau takut engkau gemetar, di situlah rasa. Kalau kau senang engkau berdebar, sebab di ditulah rasa. Kebahagiaan adalah rasa itu. Bukan akal...”(P:157). Masalah pentingnya mawas diri dan “rasa” bertebaran dalam berbagai

peristiwa di novel ini. Rasa itu diyakini orang Jawa, sebagaimana tertulis dalam novel

ini, lebih ampuh dan sekaligus mampu mengatasi akal. Bagi Pak Mantri akal harus

tunduk kepada rasa dan orang akan bahagia.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 187: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Hal ini sejalan dengan pendapat Stange (1998:11) yang menyatakan bahwa

rasa itu sebuah alat atau unsur psikologi manusia, dalam makna yang sama sebagai

sebuah alat atau unsur psikologi. Rasa adalah alat yang digunakan untuk menangkap

kebenaran-kebenaran alam batiniah.

Di dalam novel P , Pak Mantri mampu mengendalikan rasa yang dimilikinya.

Dia mengakui bahwa tindakannya memelihara burung dara di pasar itu merupakan

satu kesalahan. Untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya, akhirnya dia

memutuskan untuk melepaskan burung-burung itu dan menyerahkan jabatan mantri

pasar kepada Paijo. Hal itu dilakukannya karena rasa yang dimilikinya mampu

mengendalikan pikirannya selama ini. Perhatikan kutipan berikut.

Paijo senang mendengar keputusan Pak Mantri. Perhitungannya bahwa dengan habisnya burung-burung dara pekerjaannya akan lancar memberi harapan baru baginya. Sayang Pak Mantri harus mengorbankan begitu banyak. Itulah yang menyedihkannya. Pak Mantri menjadi makhluk lain di matanya. Ternyata laki-laki tua benar mulia jiwanya. Begitu banyak yang dikorbankannya (P:200). Rasa yang terbina dalam diri Pak Mantri memberi keuntungan bagi orang

terdekatnya, yakni Paijo. Paijo merasa memiliki harapan baru dengan keputusan Pak

Mantri, meskipun untuk itu Pak Mantri harus berkorban banyak. Pengorbanan Pak

Mantri itu dipandang Paijo sebagai sesuatu perbuatan yang mulia.

Sementara itu, mawas diri dalam wilayah psikologi merupakan kegiatan

manusia untuk menembus ke dataran religius etis (Jatman, 1997:61). Mawas diri

dimulai dengan meneliti rasa senang dan susahnya sendiri yakni rasa orang dalam

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 188: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

hubungannya dengan benda, orang lain, dan gagasan. Dengan demikian, praktik

mawas diri mencoba memahami keadaan diri dengan sejujurnya.

Jatman (1997:62) menambahkan bahwa dalam diri manusia memang terdiri

dari ‘dua aku’; yaitu ‘aku tidak tetap’ dan ‘aku tetap’. ‘Aku tidak tetap ini

menghadirkan diri sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan kenyataan di luar.

Jatman kemudian memberikan istilah bahwa ‘ aku tidak tetap’ ini sebagai ‘aku

kontekstual’, yang dalam bahasa Jawa disebut kradamangsa individual, artinya yang

memusatkan pengalaman pada diri sendiri dan untuk diri sendiri. Dengan kata lain,

seseorang tersebut merupakan ‘abdi keinginannya’. Sedangkan ‘aku tetap’ adalah

‘aku yang universal’, yang telah bebas dari catatan-catatannya sendiri, bahkan bisa

mengawasi diri sendiri.

Di lain pihak, Hardjowirogo (1983:58) mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan mawas diri ialah meninjau ke dalam, ke hati nurani guna mengetahui benar

tidaknya suatu tindakan yang telah dilakukan. Secara teknis-psikologis, usaha

tersebut dinamakan juga instropeksi. Pada dasarnya berarti pencarian tanggung

jawab ke dalam hati nurani seseorang mengenai suatu perbuatan.

Bagi orang Jawa, karena ungkapan mawas diri berasal dari bahasa Jawa maka

tidak begitu sulit dalam mempraktikkannya. Terlebih, ungkapan mawas diri tadi

sudah dipakai dalam khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Biasanya bagi

orang Jawa, mawas diri tadi diterapkan untuk mendapatkan jawaban atas persoalan

yang dihadapi. Apakah suatu perbuatan yang dilakukan atau tindakan yang diambil

dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Hal itu dilakukan dengan cara menelaah

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 189: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

hati nurani. Praktik mawas diri begitu mendalam dihayati oleh orang Jawa hingga

dimasukkan dalam kancah perspektif kebatinan dalam kebudayaan Jawa (kejawen),

sebab di dalamnya mengandung nilai-nilai kerohanian yang mendalam pula.

Meski mawas diri merupakan persoalan yang amat penting, tetapi sayangnya

tidak dapat dilihat secara konkret bagaimana hasil dari praktik mawas diri tersebut.

Hal ini cenderung terkesan hanya bersifat formalitas sosial. Untuk itu, seorang

pemimpin harus dituntut untuk mengajak anak buahnya agar melakukan mawas diri

atau berintrospeksi disertai dengan praktik nyata dalam kehidupan. Salah satu aplikasi

mawas diri menurut Susetya (2007:34), yakni dengan mengendalikan diri. Orang

yang berusaha mngendalikan dirinya akan selalu menjaga sikap agar tidak menyakiti

perasaan orang lain.

Di dalam novel P praktik mawas diri ini diyakini pak Mantri sebagai sebaik-

baik perbuatan manusia. Proses interaksi antarmanusia dan makhluk hidup lainnya

akan selaras jika sikap itu benar-benar dilakukan manusia dalam kehidupannya.

Pemahaman mawas diri itu dimulai dari diri sendiri, barulah dapat ditularkan kepada

orang lain.

Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela nafas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja...Mungkin Paijo biasa saja, hanya dia sendirilah yang mengira ada perubahan-perubahan pada orang. Sebaik-baik perbuatan ialah melihat diri sendiri, mawas diri (P:7). Pentingnya mawas diri pada Pak Mantri (selaku atasan dan orang yang lebih

tua) sangat dibutuhkan untuk menjaga kerukunan dengan Paijo. Di samping masih

muda, Paijo juga adalah bawahan dalam struktur jabatan pekerjaan, yang pengalaman

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 190: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

hidupnya masih sedikit bila dibandingkan dengan Pak Mantri. Jadi, tidak salah jika

Pak Mantri harus lebih mawas diri dalam menghadapi sikap Paijo.

Mawas diri merupakan dasar yang harus dimiliki pribadi setiap individu agar

tercipta keselarasan. Keselarasan akan terlaksana jika mawas diri dimulai dari diri

sendiri terlebih dahulu. Agar keselarasan tersebut dapat tercapai, ada dua keutamaan

dasar etika Jawa yang harus ditanamkan dalam diri setiap individu. Keutamaan itu

adalah untuk membatasi diri (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi

kewajiban masing-masing dengan setia (rame ing gawe). Dua keutamaan ini

mempunyai ciri teoretis yang cukup menarik. Keutamaan-keutamaan itu bersifat

formal dan negatif. Artinya, tidak dikatakan sikap mana yang dituntut, akan tetapi

sikap mana yang harus dicegah. Yang dituntut adalah suatu kesediaan hati pada

umumnya, bukan suatu sikap tertentu.

Dua keutamaan sikap ini menjadi landasan utama bagi Pak Mantri, Abu

Kasan Sapari, dan Wasripin dalam membina hubungannya dengan Tuhan, alam,

masyarakat, dan dengan orang lain. Ketiganya pada akhirnya memahami bahwa

kedua sikap tersebut benar-benar dibutuhkan dalam mencapai kehidupan yang

sempurna.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa

representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo menghasilkan sikap

hidup positif yang didasarkan pada logika standar (standart logic) dan bukan logika

standar (non standart logic) dalam diri manusia dalam menjaga hubungan dengan

Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, dan dengan diri sendiri.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 191: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

7.2 Kontekstualisasi

Penelitian terhadap novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan

Satinah karya Kuntowijoyo pada hakikatnya bersifat melengkapi dan memberi

temuan baru pada penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan tidak terdapat penelitian

yang sama dengan penelitian ini. Demikian juga tidak ditemukan penelitian yang

menggunakan teori antropologi sastra serta teori semiotik secara bersamaan dalam

menganalisis ketiga novel karya Kuntowijoyo tersebut.

Sebelumnya, penelitian terhadap ketiga novel tersebut dilakukan secara

terpisah. Novel Pasar pernah diteliti oleh Jabrohim (1996) dengan memusatkan

perhatian pada perspektif Greimas. Jabrohim menemukan kenyataan bahwa skema

aktan dan struktur fungsional novel tersebut mampu membuktikan bahwa sebuah

novel dapat dianalisis dengan pendekatan structural A.J. Greimas. Analisis tersebut

ditulis oleh Jabrohim dalam sebuah laporan penelitian.

Penelitian terhadap novel-novel Kuntowijoyo dalam lingkup yang lebih luas

dan memiliki hubungan yang kontekstual dengan penelitian ini dilakukan oleh Wan

Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten (2007). Penelitian tersebut

menggunakan teori strukturalisme dalam menganalisis hampir semua karya

Kuntowijoyo. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan metode

sosiologi sastra dengan mengutamakan biografi pengarang dan struktur novel.

Sebaliknya, penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode sosial historis

dengan mengutamakan deskripsi mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa dalam

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 192: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

novel-novel Kuntowijoyo. Mitologi Jawa berupa wujud sikap kosmologis dan

pandangan hidup orang Jawa. Filsafat Jawa terangkum melalui tiga aspek, yaitu

metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Terakhir, representasi nilai budaya dikaitkan

dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan orang lain,

hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan

manusia dengan orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Dari kedua hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini memiliki

kontekstualitas yang bersifat melengkapi dan memberi temuan baru. Bersifat

melengkapi karena penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra dalam

menganalisis tiga buah novel karya Kuntowijoyo tersebut. Kemudian, bersifat

memberi temuan baru karena penelitian ini menunjukkan adanya pergeseran makna

mitos dalam masyarakat yang cikal bakalnya berasal dari mitologi Jawa. Temuan

baru tersebut memberi isyarat bahwa sebuah mitos tidak akan pernah mati, akan

tetapi masih berkembang dalam masyarakat.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 193: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Di dalam alam kehidupan mitologis tidak terlihat garis pemisah yang tegas

antara manusia dan alam atau antara subjek dan objek, bahkan adakalanya manusia

belum dapat disebut subjek.

Terbentuknya mitos bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima

begitu saja fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Oleh

karena dorongan naluri yang amat kuat, pikiran manusia itu ingin mencari sesuatu

yang dianggap lebih konkret daripada kenyataan duniawi. Namun, dalam usaha

menemukan yang lebih nyata dan kekal itu, seseorang atau sekelompok masyarakat

tertentu cenderung membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri. Itulah

cikal bakal lahirnya mitos.

Mitos bersifat mendidik, irasional, dan intuitif, bukan uraian filosofis yang

sistematis. Istilah ini mengacu pada wilayah makna yang berkaitan dengan

kepercayaan, folklor, antropologi, sosiologi, psikologi, dan karya seni, termasuk seni

sastra. Penghormatan kepada leluhur, kepercayaan pada pohon kehidupan,

kekaguman pada keteraturan tata surya, misalnya dapat menjadi awal lahirnya mitos.

Mitos itu dapat juga dikatakan cerita anonim mengenai asal mula alam semesta serta

tujuan hidup. Selain itu, mitos tidak hanya bertujuan untuk mengenang peristiwa

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 194: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk menghargai dan menyikapi keadaan masa

kini dan masa yang akan datang.

Sebab pada prinsipnya ada masyarakat yang lebih tanggap pada masa lampau,

masa sekarang, atau masa yang akan datang. Mitos itu bersifat ganda, sekaligus

berhubungan dan tidak berhubungan dengan sejarah. Jadi, mitos dapat berubah sesuai

dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakat atau individu dalam masyarakat

yang memiliki mitos.

Novel-novel Kuntowijoyo secara garis besar digambarkan dengan bahasa

yang baik dan mudah dipahami. Watak masing-masing tokoh juga digambarkan

terikat erat dengan adat-istiadat budaya Jawa. Kesetiaan pada kebudayaannya inilah

yang kemudian menimbulkan sikap memercayai mitos-mitos yang ada dalam

masyarakat. Mitos-mitos tersebut termasuk pada sikap kosmologis masyarakat Jawa

dan pandangan hidup orang Jawa, yang kemudian menurunkan filsafat Jawa dalam

kehidupannya.

Salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa adalah adanya kekuatan

kosmologi antara Keraton Jogjakarta - Gunung Merapi - Laut Selatan, yang sangat

memengaruhi baik buruk kehidupan masyarakat bahkan kondisi negeri itu sendiri.

Untuk itu dilakukan berbagai penghormatan kepada alam adikodrati (alam gaib)

berupa acara slametan, sesajen, upacara labuhan, dsb. yang bertujuan untuk

memeroleh kehidupan yang aman dan tentram.

Masalah filsafat juga ditekankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai

pedoman hidup manusia Jawa. Filsafat ini yang mengarahkan manusia agar dapat

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 195: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

bersatu pada Yang Illahi pada akhir hidupnya, yang dikenal dengan istilah Sangkan

Paraning Dumadi, artinya manusia pada awal dan akhir hidupnya harus berakhir

dengan baik (ngudi kasampurnaan).

Unsur mitologi dan filsafat Jawa ini, pada akhirnya bermuara pada

representasi nilai budaya yang berlaku pada masyarakat Jawa, yang meliputi lima hal

yaitu:

a. Hubungan manusia dengan Tuhan

b. Hubungan manusia dengan alam semesta

c. Hubungan manusia dengan masyarakat (sosial)

d. Hubungan manusia dengan orang lain (sesama manusia)

e. Hubungan manusia dengan diri sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa

simpulan sebagai berikut :

1. Mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tercermin dalam diri tokoh-

tokohnya dan terwujud melalui serangkaian upacara tradisi dan ritual-ritual

khusus, yang terangkum pada sikap kosmologis dan pandangan hidup

masyarakat Jawa. Pergeseran makna mitos juga terjadi seiring perkembangan

zaman.

2. Ketiga aspek dalam filsafat Jawa yang terdiri dari ; metafisika, epistemologi,

dan aksiologi merupakan segi yang tidak terpisahkan dalam gerak usaha

manusia menuju kesempurnaan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 196: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

3. Representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo

menghasilkan sikap hidup positif bergantung pada logika standar (standart

logic) atau bukan logika standar (non standart logic) dalam diri manusia

dalam menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat, orang

lain, dan dirinya sendiri.

8.2 Saran

Penelitian ini sudah menjelaskan tiga novel yang memiliki kesatuan tema.

penelitian lebih lanjut penting dilakukan dengan sudut pandang yang berbeda, baik

teori maupun metode. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya karya sastra,

sehingga tidak menutup kemungkinan penafsiran lain terhadap novel-novel

Kuntowijoyo ini dan tidak menutup kemungkinan pemberian makna lain bagi

penelitian ini.

Penelitian sastra yang dikaitkan dengan budaya merupakan hal yang sangat

baik untuk pengembangan bidang sastra, terutama bidang ilmu sastra. Karya sastra

tidak akan pernah lepas dari proses budaya dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu,

penelitian sastra haruslah menyangkut bidang budaya.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 197: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R.O’G. 2008. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Terj.

Revianto B. Santoso dan Luthfi Wulandari. Yogyakarta : Jejak. Anwar, Wan. 2007. Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya. Jakarta : Grasindo. Badrun, Ahmad. 1996. Makna Ketasawufan dalam Puisi-Puisi Abdul Hadi W.M.

Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia. Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi : Filsafat Tentang Kosmos Sebagai

Rumahtangga Manusia. Yogyakarta : Kanisius. Barthes, Roland. 1985. Elements of Semiology. Translated from the French by

Annette Lavers and Colin Smith. New York : Hill and Wang. ____________. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Terj. Ahmad Norma Permata

Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru. Boot, Wayne C. 1873. The Rhetoric of Fiction. Cetakan X. Chicago & London: The

University of Chicago Press. Brown, R. 1980. Psycolinguistics. New York : The Free Press. Bruinessen, Martin van. 1999. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Cetakan Kedua.

Yogyakarta: Bentang. Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia.

Terj. Alois A. Nugroho. Jakarta : Gramedia. Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse : Narrative Structure in Fiction and

Film. Ithaca & London : Cornel University Press. Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 198: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Dananjdaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Cet. VI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Dewan Redaksi. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung : Titian Ilmu. Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher. Eagleton, Terry. 1976. Marxism and Literary Criticism. Cetakan Pertama. London:

Mathuen & Co.Ltd. Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah.

Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra : Epistemologi, Model,

Teori,dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Pressindo. Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra

Sufistik dan Seni Rupa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Matahari. Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta : Idayu Press. Hoed, Benny H. 2007. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Cetakan Pertama. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Jatman, Darmanto. 1997. Psikologi Jawa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya. Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma. Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis &

Fundamentalis.Cetakan Pertama. Magelang: Indonesiatera. Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan : Esai-Esai Sastra

dan Budaya. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. _____________. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 199: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kuntowijoyo. 1982. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sastra Transendental”, Temu Sastra 1982, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

___________. 2002. Pasar. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. ___________. 2002. Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-Esai

Budaya dan Politik. Cetakan Pertama. Bandung: Mizan Pustaka. ___________. 2003. Mantra Pejinak Ular. Cetakan Kedua. Jakarta: Kompas. ___________. 2003. Wasripin dan Satinah. Cetakan Pertama. Jakarta: Kompas. ___________. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”,

Horison, Mei. Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta :

Gramedia. Malinowski. 1979. “The Function of Religion in Human Society”, dalam William A. Lessa & Ivon Z. Vogt, Reader In Comparative Religion. New York : Harper &

Row. Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi & Kearifan Ekologi : Menguak Bahasa

Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Sikap Hidup Sehari-Hari Orang Jawa :

Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Gramedia. _________________. 2005. Mysticism in Java : Ideology in Indonesia. Yogyakarta :

Kanisius. Nasution, Ikhwanuddin. 2000. Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad

Tohari. Denpasar : Program Pascasarjana Universitas Udayana. Nurelide. 2006. “Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigalegale” dalam Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan Medan Makna. Vol 5/2006 hal 46-61.

Medan : Balai Bahasa.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 200: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

__________________. 2007. Dwilogi Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami : Perspektif Kajian Budaya. Denpasar : Program Studi Kajian Budaya.

__________________. 2003. ‘’Hermeneutik : Sebuah Metode Penelitian Sastra”

dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya Studia Kultura. Nomor 4/2003 hal 311-317.

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra : dari

Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________________. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________________. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar. __________________. 2008. Postkolonialisme Indonesia : Relevansi Sastra.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner : Menyandingkan Sastra dan

Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta : Qalam. Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya : Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta

: Pustaka Jaya. Rosliani. 2006. Citra Manusia Indonesia : Mitologi Suku Asli Sumatera Utara :

Laporan Penelitian. Medan : Balai Bahasa. Sani. 2008. “Sastra Profetik : Mengenal Sastra Kuntowijoyo”. Dalam Tulisan Sani,

Jakarta. Sardjono, Maria A. 1995. Paham Jawa : Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa

Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan. Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press. Setyodarmodjo, Soenarko. 2007. Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta :

Prestasi Pustaka.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 201: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Sikana, Mana. 2008. Teori Sastera Kontemporari. Selangor : Pustaka Karya. Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian : Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta :

LKIS. Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Populer Indonesia. yogyakarta : Nurcahaya. Suryadi AG, Linus. 1993. Regol Megal Megol : Fenomena Kosmogoni Jawa.

Yogyakarta : Andi Offset. Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang

Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia. Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen: Tradisi Jawa Melepaskan

Keduniawian Menggapai Kemanunggalan. Yogyakarta: Narasi. Syaifuddin Hj. Wan Mahzim. 2005. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat

Melayu Pesisir di Sumatera Utara: Kajian Tentang Fungsi dan Nilai-Nilai Budaya. Malaysia:Universiti Sains Malaysia.

______________________. 2007. “Mitos dan Ritual dalam Pemikiran” dalam Jurnal

Ilmiah Ilmu Budaya Studia Kultura. Nomor 12/2007 hal 179-191. Thomson, Jhon B. 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Terj. Abdullah K.

Affandi. Surabaya : Visi Humanika. Umri, Shafwan Hady. 2006. “Mitos-Realitas dalam Novel Janji Gintamini” dalam

Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan Medan Makna. Nomor 3/2006 hal 43-47. Medan : Balai Bahasa.

Wallace, A. 1966. Religion : An Anthropological View. New York : Random House. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.

Jakarta : Gramedia. Zaidan, A. Rozak. 1997. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970.

Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme dan Monisme

dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta : Gramedia.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 202: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Lampiran 1

Foto dan Biografi Kuntowijoyo

Kuntowijoyo adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan Indonesia. Sebagai

intelektual dan akademisi beliau banyak menghasilkan telaah-telaah kritis terhadap

berbagai masalah sosial, budaya, dan sejarah. Perhatian terhadap sejarah, sosial, dan

budaya terlihat dari buku-bukunya yang banyak beredar di masyarakat. Buku-buku

tersebut antara lain; Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan

Masyarakat (1987), Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi (1991), Demokrasi

dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam (1997), Pengantar Ilmu

Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat

Datang Realitas (2002), Radikalisasi Petani : Esai-Esai Sejarah Kuntowijoyo (2000),

Page 203: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Raja, Priyayi, dan Kawula : Surakarta 1900-1915 (2004), dan Penjelasan Sejarah

(2008).

Semasa hidupnya, ia mengajar di jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

(sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas Gadjah Mada. Peraih gelar doktor dari

Universitas Colombia, dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society :

Madura 1850-1940, ini banyak menerima penghargaan atas karya-karyanya di bidang

sastra.

Karya sastra Kuntowijoyo antara lain terkumpul dalam buku Suluk Awang-

Uwung (kumpulan sajak, 1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (kumpulan sajak,

1995), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1992), Hampir Sebuah

Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel,

1996), Pasar (novel, mendapat hadiah Hari Buku 1972), Khotbah di Atas Bukit

(novel, 1976), Mantra Pejinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003),

Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma,

Barda, dan Cartas (drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya tersebar pula

dalam berbagai antologi.

Sebagai sastrawan beliau banyak menerima penghargaan, antara lain Hadiah

Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulisan

Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk Buku Dilarang Mencintai

Bunga-Bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI (1995), Cerpen Terbaik

Kompas (1995,1996, 1997, dan 2005), ASEAN Award on Culture (1997),

Satyalencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Penghargaan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 204: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan Sea Write

Award dari Pemerintah Thailand (1999).

Sastrawan kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 ini adalah

alumni Universitas Gadjah Mada. Semasa mahasiswa, Kuntowijoyo mendirikan

Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama

Dawam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya,

Ikranegara, dan Abdul Hadi W.M.). Kematangannya sebagai sastrawan dan

intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya semasa dan setelah ia

menyelesaikan studi S-2 (University of Connecticut, 1974) dan S-3 (Columbia

University, 1980) di Amerika Serikat.

Tidak banyak sastrawan Indonesia yang sukses sebagai sastrawan sekaligus

sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis

karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang

sejarah atau pemikiran sosial berbasis Islam. Baik dalam sastra (khususnya prosa)

maupun dalam dunia intelektual/akademisi, Kuntowijoyo menduduki posisi penting

dan terhormat. Dua aktivitas itu dijalaninya dengan khusyuk, dengan perhatian dan

penekanan yang seimbang.

Kuntowijoyo wafat pada tanggal 22 Februari 2005 disebabkan penyakit

meningo enchepalitis yang telah dideritanya selama bertahun-tahun. Meskipun

menderita penyakit parah, beliau masih saja menulis beberapa buku yang baru terbit

setelah kepergiannya menghadap Illahi.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 205: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Lampiran 2

Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo

a. Pasar

Novel Pasar mengisahkan lika-liku perjalanan kehidupan Pak Mantri dalam

memimpin pasar kecamatan, sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan

sosial dan kebudayaan. Sebagai kepala pasar, Pak Mantri harus mengelola kehidupan

pasar, mulai dari menarik orang agar melakukan kegiatan jual beli di pasar, membina

hubungan dengan aparatur pemerintah (camat dan polisi), bekerjasama dengan dunia

usaha, baik yang profesional (bank) maupun para pedagang. Untuk menjalankan

tugas operasionalnya, Pak Mantri dibantu oleh seorang pegawai/penarik karcis

bernama Paijo.

Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan

tata krama Jawa. Orang-orang mengakui hal ini, termasuk Pak Camat dan para

pegawai kecamatan lainnya.

Penuturan yang hangat dan lincah dari pengarang menggambarkan kepada

pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar.

Namun, Pak Mantri tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kesusahan bagi

para pedagang pasar. Burung-burung dara milik Pak Mantri, selain mengotori pasar

dan mengganggu pengunjung pasar, juga merugikan para pedagang beras , jagung,

gaplek, dsb. Bukannya menyadari kesalahannya, malahan Pak Mantri menyalahkan

orang-orang yang menolak kehadiran burung tersebut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 206: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Orang berbudi adalah orang yang bertanggungjawab. Memelihara burung itu adalah amanat. Itu tanggung jawab kita terhadap yang Mencipta burung. Meskipun tidak ada undang-undangnya. Ialah hukum yang tak tertulis. Siapa menyiakan makhluk lain, ia akan disia-siakan pula, suatu kali. Dan tahukah kau, bahwa hidup itu lebih dari hanya makan untuk diri sendiri? (P:8). Burung itu peliharaan penting dan spiritual dalam budaya Jawa. Selain simbol

amanat Yang Mencipta sebagaimana yang diyakini Pak Mantri, memelihara burung

juga merupakan bentuk kehalusan dan mencintai keindahan. Tidak ada orang Jawa

yang benar-benar orang Jawa tidak mencintai rasa halus dan keindahan. Masalahnya,

cara Pak Mantri memelihara burung merugikan orang lain, bahkan merugikan negara.

Selain burung itu mengganggu pengunjung dan merugikan pedagang, burung juga

menyita waktu kerja Paijo yang seorang abdi negara. Pak Mantri mencampuradukkan

antara kepentingan sebagai kepala pasar dan kepentingan pribadi dalam urusan

burung ketika memakai tenaga Paijo. Hal ini merupakan gaya khas Kuntowijoyo

yang menggambarkan tokoh Pak Mantri yang seorang priayi terpelajar, tetapi di sisi

lain merugikan orang lain. Pak Mantri bicara tata krama dan mawas diri gaya Jawa,

namun ia sendiri tidak mawas diri.

Hari demi hari burung dara di atap kantor bank pasar semakin bertambah

jumlahnya. Burung-burung bebas beterbangan ke sana kemari, mengganggu lalu

lalang orang-orang di pasar, bahkan mematuki barang-barang dagangan yang dijual

di pasar. Akibatnya, para pedagang tidak betah berjualan. Mula-mula mereka pindah

ke luar pagar pasar sehingga memacetkan jalan umum. Kasan Ngali sebagai

pengusaha kecamatan melihat peluang ini. Dibukalah pasar swasta di halaman

rumahnya, tidak jauh dari pasar Pak Mantri. Berpindahlah para pedagang ke pasar

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 207: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kasan Ngali, apalagi pasar Kasan Ngali tidak memungut bayaran sebagaimana pasar

kecamatan yang dipimpin Pak Mantri.

Melihat pasarnya ditinggalkan orang, Pak Mantri tersinggung bukan kepalang.

Namun, ia berusaha menahan diri. Sebagai priayi tidak baik mengumbar kemarahan.

Begitu keyakinannya. Namun, ketika pasar nyaris bangkrut ia merasa harus bertindak.

Ia melapor kepada camat perihal “pembangkangan” pedagang pasar dan keberadaan

pasar tidak resmi milik Kasan Ngali. Camat menerima Pak Mantri dengan sopan,

tetapi tidak ada realisasi atas laporan itu. Meski di hadapan Pak Camat selalu sopan,

hati Pak Mantri mengutuk-ngutuk dan mengatakan camat tidak tahu aturan, tidak

mengerti kepriayian. Demikianlah orang Jawa, segala sesuatu disimpan dalam hati

dan karena itu dalam beberapa hal jadi munafik.

Motif Kasan Ngali mendirikan pasar di halaman rumahnya tidak semata-mata

karena alasan ekonomi. Itu sebabnya ia tidak memungut bayaran. Motif yang paling

penting, seperti kemudian ia juga membuka bank swasta, adalah unjuk diri dan

kekayaan kepada Siti Zaitun, pegawai bank pasar, yang diam-diam disukainya.

Sebagai lelaki kaya yang doyan perempuan, ia tidak bisa mencegah dirinya untuk

menyukai Siti Zaitun.

Memang pasar dan bank milik Kasan Ngali tidak banyak memberikan

keuntungan ekonomi baginya. Keuntungan diperolehnya lebih banyak dari usahanya

memborong gaplek dan hasil tani di musim panen untuk dikeluarkan pada musim

paceklik dengan harga amat mahal. Atau meminjamkan uang kepada banyak orang di

musim paceklik untuk membayar gaplek atau hasil tani lainnya di musim panen.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 208: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kasan Ngali adalah tengkulak dan begitulah umumnya watak tengkulak di mana pun.

Ini semakin menimbulkan kebencian Pak Mantri terhadapnya, apalagi Pak Mantri

tahu bahwa Kasan Ngali mengincar Siti Zaitun. Pak Mantri sendiri, sebagai bujangan

tua, meski dipendam dalam hati, diam-diam menyukai Siti Zaitun. Ia pun secara

terang-terangan mengutuk Kasan Ngali di hadapan Paijo.

Puncak kemarahan Pak Mantri adalah ketika mendapati burung-burungnya

mati bergeletakan di halaman pasar. Kemarahan semakin telak manakala menyadari

hadiah daging yang diberikan Siti Zaitun kepadanya adalah daging burung

peliharaannya sendiri. Ia marah dan melapor kepada polisi, tetapi tindak lanjut polisi

tidak juga menggembirakan.

Pak Mantri akhirnya menyerah dan menyadari keadaan. Meski kesadaran itu

datangnya tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada siapa

saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar dibongkar.

Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa khas

priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk ketika

Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk dilepaskan

lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya. Sekali lagi Kasan Ngali yang

bermental tengkulak memamerkan kekayaan, tidak lain tidak bukan dalam rangka

memikat hati Siti Zaitun dan mengejek Pak Mantri yang priayi itu. Kasan Ngali

ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer

kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi

priayi Jawa.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 209: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi

kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat

“Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan

sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai

nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi (Pak Mantri), nilai-nilai

profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank), progresivitas usaha (Kasan Ngali,

wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.

b. Mantra Pejinak Ular

Masalah pokok yang menonjol dalam novel Mantra Pejinak Ular adalah

perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan

agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu

menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses

perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika

kelompok politik dominan (mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang

akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya,

selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu

adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan

sosial budaya dan politisasi kesenian.

Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari, orang udik yang sempat

mengecap pendidikan (mula-mula SMA, lalu STSI Solo). Kemudian menjadi

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 210: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

pegawai negeri yang pandai mendalang. Oleh karena itu, ia terlibat dalam proses

pembangunan, perubahan sosial budaya, dan akhirnya secara tidak sengaja tercebur

ke dalam dinamika politik. Ia lahir di desa, dari seorang ayah yang kurang pendidikan

dan seorang ibu keturunan priayi di pedesaan. Dari pihak ibu, konon leluhur Abu

Kasan Sapari masih ada pertalian darah dengan pujangga besar Ronggowarsito. Oleh

karena itu, kakek dan nenek Abu Kasan Sapari dari pihak ibu, sejak kecil

mengasuhnya dalam tata krama seorang priayi. Sebagai orang yang tergolong kaya di

desanya, kakek-nenek Abu Kasan Sapari berharap suatu hari cucunya menjadi priayi

yang antara lain mengetahui dan menghayati kesenian Jawa, khususnya dunia

wayang dan dalang.

Abu Kasan Sapari hidup serba cukup dalam asuhan kakek-neneknya dari

pihak ibu, bahkan ketika kakek-neneknya bangkrut karena pabrik-pabrik tekstil

modern di negeri ini mengahancurkan industri tenun tradisional yang digelutinya.

Menginjak masa SMA, selepas dari pengasuhan kakek-neneknya, Abu Kasan

dipungut menjadi anak angkat Ki Lebdocarito, seorang dalang di Palar yang masih

memiliki garis silsilah keturunan dengan Ronggowarsito. Di rumah Ki Lebdocarito

itulah Abu Kasan memperdalam pengetahuan dan kemampuan menjadi pegawai

negeri, ditempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu.

Sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, Abu Kasan sudah diziarahkan ke

makam Ronggowarsito oleh kakeknya, ngalap berkah (meminta restu), karena

kakeknya punya firasat Abu Kasan akan menjadi seorang pujangga. Perhatikan

kutipan berikut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 211: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “ Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan menjadi pujangga. Aku mendapat firasat ketika aku keluar dari makam ada rombongan yang membarang, menyayi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (MPU:2) Abu Kasan kecil lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan

tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam.

Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang

mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan),

sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan

tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan

dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah

catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris

dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi

budaya turun-temurun.

Di tengah dominasi budaya agraris itulah perlahan-lahan budaya modern

(kota) masuk ke desa Abu Kasan. Bangkrutnya perusahaan tenun tradisional

kakeknya tidak lain oleh munculnya pabrik-pabrik tekstil dengan budaya dan

teknologi modern. Demikian pula dengan dibangunnya sekolah-sekolah di luar

sekolah agama (madrasah) dan sekolah gamelan (belajar mendalang). Perkenalan

ayah dan ibu Abu Kasan pun sudah terpengaruh perkenalan tokoh-tokoh dalam film-

film modern yang diputar di bioskop kota kabupaten. Sementara Abu Kasan sendiri

mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti kursus cara-cara

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 212: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

membangun desa (agar modern tentunya), yang artinya bersentuhan erat dengan

kebudayaan modern. Pada zaman itu hampir di seluruh tempat di Indonesia sedang

berlangsung modernisasi, terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa.

Abu Kasan Sapari menjadi pegawai kecamatan dan oleh karena itu dia harus

membangun desa. Berbekal kursus-kursus modern, Abu Kasan berhasil mengajak

masyarakat di kaki Gunung Lawu untuk membangun desa: membuat saluran air,

membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan,

membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hak-

hak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya

ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan-gerakan penataran P-4, perpustakaan

masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan perekonomian desa (penyuluhan cara

beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan

mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada

modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan

dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi

pembangunan.

Di sela-sela kesibukannya membangun desa, tepatnya pada sebuah pesta pasar

malam, Abu Kasan mengalami peristiwa yang tidak masuk akal. Di tengah keramaian

pasar malam, ia didatangi seseorang yang tidak dikenal, memakai ikat kepala lepasan,

baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak, yang mewariskan “mantra pejinak ular”.

Peristiwa ini adalah bukti bahwa masyarakat tempat Abu Kasan masih berada dalam

transisi tradisi Jawa-Islam dan modernisasi. Perhatikan kutipan berikut.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 213: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

“Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar, “kata orang itu. Di kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat”.

“Apa itu?” “Mantra pejinak ular”.

Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.”

“Mantranya kok bahasa Arab, ya?” “Ya, ini semua dari Al-Qur’an...”(MPU:19). Setelah Abu Kasan mampu melafalkan mantra itu dan lelaki tua yang

misterius memintanya agar puasa mutih (hanya makan nasi putih sekepal) selama

tujuh hari tujuh malam. Kemudian orang itu pun menghilang. Abu Kasan yang telah

memasuki alam pikiran dan dunia modern tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari

tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik (mitos).

Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting

dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khusunya dalam

konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana

Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian

sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil

tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir

novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat

dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”.

Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 214: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan),

bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan

Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya:

“Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan

mantra” (MPU:231).

Atau kata-kata Haji Syamsudin kepada Abu Kasan yang bimbang karena

mantra pejinak ular hanya bisa dibuang kalau ia sudah menemukan orang yang tepat

untuk mewarisinya.

Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi (MPU:233).

Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan

mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya

dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan

diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo

menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar

ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah).

Abu Kasan, pegawai kecamatan yang cerdas, terampil, jujur, dan yang lebih

penting lagi pandai mendalang sehingga pandai dikenal dan dekat dengan

masyarakat. Kecamatan tempat Abu Kasan bekerja dapat dibilang sukses

menjalankan program pembangunan. Oleh karena itu, camat senang sekali dan sering

memuji Abu Kasan. Begitu pula dengan tokoh-tokoh masyarakat.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 215: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Selain sebagai pegawai kecamatan dan pawang ular, Abu Kasan adalah

dalang. Ia mencoba memadukan ular sebagai simbol lingkungan dengan dalang,

bersama kelompok Masyarakat Penggemar Ular (MPU) dan Pengurus Kebon

Binatang, Abu Kasan mendalang tentang lingkungan dengan lakon “Perjamuan Ular”,

lakon di luar pakem yang menimbulkan prokontra di masyarakat.

Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal seorang perempuan yang akan

dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias

pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong

kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada

Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang

tidak menyukainya.

Sebagai pegawai kecamatan, Abu Kasan berada dalam struktur

negara/pemerintahan. Akan tetapi, karena ia berada di luar jaringan mesin politik

(Partai Randu), ia berada di luar sistem. Inilah yang merepotkan Abu Kasan. Berkali-

kali ia ditawari menjadi calon legislatif oleh Partai Randu dan ia menolak. Ia malah

mendirikan kelompok “Paguyuban Pedalangan Independen” yang segera dipahami

mesin politik sebagai dalang non-pemerintah, lalu berubah menjadi dalang anti-

Pancasila, subversif, dan sejenisnya. Ia dilaporkan mesin politik, ditangkap polisi,

meski kemudian dilepaskan karena tidak ada bukti unsur subversif. Tentang kesenian

dan politik, termasuk sikap Abu Kasan tentang seni dan politik, berikut jawabannya

yang diberikan pada seorang wartawan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 216: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal kedua itu (MPU:137). AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni....(MPU:153). Sikap Abu Kasan jelas. Meski akan menerangi masyarakat, ia tidak akan

menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Namun, karena ia menolak tawaran

mesin politik, ia dipandang lain. Inilah yang membuat Abu Kasan diawasi Partai

Randu yang berkuasa di bawah komando mesin politik, hingga kemudian ditangkap

dan dituduh yang aneh-aneh.

Akan tetapi, siapakah sesungguhnya yang berpandangan dan menggunakan

kesenian sebagai alat politik. Kuntowijoyo menjawabnya bahwa pemerintahlah yang

justru memperlakukan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi,

Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi

dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang amat jelas kentara

politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan

dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde

Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya (Anwar, 2007:97-98).

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 217: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Demikianlah, Abu Kasan sebagai sosok seniman yang berpijak pada alam

(seni seperti air), yang dengan jernih mampu membedakan mana bagian kesenian dan

mana bagian politik, termasuk dalam dirinya sendiri. Ia mampu membedakan

pegawai negeri sebagai abdi negara dengan pegawai negeri yang menyerahkan

seluruh sikap dan tindak-tanduknya bagi kepentingan mesin politik. Dalam novel ini

sikap Abu Kasan banyak mendapat dukungan, termasuk ketika ia ditangkap orang-

orang banyak yang protes. Ia termasuk sedikit dari pegawai negeri yang lolos dari

jerat mesin politik. Ia telah mengalami suka duka menjadi pegawai sekaligus seniman

di zaman Orde Baru, hingga kemudian Orde Baru runtuh dan datanglah zaman

reformasi. Abu Kasan telah berperan dalam hal ini, melalui konsep seni sebagai air

yang meratakan benjol-benjol dalam masyarakat.

Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep

wayang dituturkan dengan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel

bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini

merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai

dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki

Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai

persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga

keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan

klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.

Pada bagian akhir ditampilkan seorang tokoh bernama Kismo Kengser

(artinya “tanah tergusur”) yang mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 218: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

politik dan kekuasaan Soeharto di zaman Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser

meramalkan Orde Baru akan segera jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di

mana-mana. Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tapi maling

betulan, maling berdasi, maling berbintang, dan maling berpendidikan.

Persekongkolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Partai Randu dalam rangka

memeras rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon besar

tumbang.

Orang sekitar terminal mendengar suara, “Rak-rak-reketeg! Brrruuk!” Suara itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosok hujan dan angin ribut. Lhadalah! Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! (MPU:193). Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Abu Kasan

lulus dari STSI Solo dan ia jadi sarjana. Ki Lebdocarito, ayah angkat Abu Kasan,

meninggal dunia dan menunjuk Abu Kasan sebagai ahli waris seluruh perlengkapan

gamelan wayang miliknya. Ki Lebdocarito adalah dalang yang setia pada pakem,

sedangkan Abu Kasan dalang yang inovatif, yang sudah bersilaturahmi dengan dunia

modern. Maka mantra ular yang dimiliki Abu Kasan (mitos-mitos) segera dibuang,

selain mengarah kepada syirik (membahayakan tauhid Islam), tidak sesuai pula

dengan dunia modern yang berpijak pada realitas, ilmu, dan teknologi. Abu Kasan

memberikan ular peliharaannya ke kebun binatang, kemudian berencana menikahi

Lastri, dan menjalani hidup sebagai seorang sarjana dalang.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 219: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

c. Wasripin dan Satinah

Novel Wasripin dan Satinah mengungkapkan bagaimana penguasa fobia

dengan agama Islam, khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos

yang para penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan

bila Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama

pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan Pak Modin yang dipaksa penguasa

mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan jahat

penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah.

Demikianlah Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal

kehidupan manusia dan seluruh organisasi, dengan berbagai cara menyingkirkan

siapa saja yang dianggap subversif dan “anti-Pancasila”, sebuah cap yang sepenuhnya

dirumuskan oleh kacamata penguasa. Pancasila menjadi ideologi yang terus-menerus

didoktrinkan untuk melanggengkan kepentingan politik para penguasa Orde Baru. Di

tengah suasana politik seperti inilah Wasripin, Pak Modin, Satinah, dan Paman

Satinah hidup, yang akhirnya merampas kahidupan dan masa depan mereka. Dengan

segala tipu daya, kebohongan, fitnah yang keji, dan manipulasi yang rapi, penguasa

Orde Baru dapat dengan gampang menangkap dan mendiskreditkan seseorang,

sebagaimana dialami Wasripin.

Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 220: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar...(WdS:231).

Manipulasi dan fitnah yang sempurna. Dengan cara seperti itu penguasa

berharap, mereka yang membangkang atau ada indikasi membangkang, baik atas

nama “ekstrim kanan” (Islam) maupun “ekstrim kiri” (PKI), akan miris dengan berita

sejenis itu. Tentu saja penguasa tidak terlalu peduli, apakah ekstrim kanan atau kiri

itu ada atau tidak, apakah Wasripin itu benar bersalah atau tidak. Rekayasa

merupakan strategi Orde Baru untuk menutupi segala kebusukan sekaligus dalam

rangka melanggengkan kekuasaan. Islamofobia (istilah Taufik Abdullah)

sebagaimana diuraikan Kamaruzzaman (2001:131-132) sesungguhnya sudah muncul

sejak republik ini lahir. Pada masa Orde Baru, Islamofobia dibentuk oleh pemerintah

dengan jargon ekstrim kanan tidak lain sebagai bagian rekayasa rezim Orde Baru

untuk melanggengkan kekuasaan.

Akan tetapi, siapakah Wasripin? Betulkah ia komandan DI/TII dan

berkeinginan mendirikan negara Islam? Betulkah ia bersama Pak Modin

memanfaatkan surau untuk memperkuat basis pembangkangan? Novel ini

membuktikan bahwa itu semua tidak benar.

Wasripin adalah orang miskin. Ia lahir di sebuah desa di pantai utara Cirebon

dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup miskin, amat

meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima keadaan, termasuk

keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang dosa dan kenistaan.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 221: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di Jakarta dapat dilihat pada

kutipan berikut.

Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa (WdS:4).

Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku

kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia

kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia

membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan

mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa

dan kehinaan. Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan

meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara

Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa

inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara.

Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khusunya Mantra Pejinak Ular, novel

ini berpijak pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain

sebagai novel esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan

etnografis” mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 222: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

kehidupan dan kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah

dipahami keberadaannya oleh orang-orang miskin itu.

Kehadiran Wasripin di perkampungan nelayan di pantai utara diterima dengan

baik, bahkan menjadi orang yang sangat dibutuhkan, karena Wasripin memancarkan

harapan bagi para nelayan yang sekian lama hidup miskin dan tidak pernah lepas dari

masalah. Di tengah warga nelayan Wasripin dianggap sebagai pemimpin, sesuatu

yang nyaris tidak dapat dipahami oleh Wasripin sendiri yang cuma orang miskin

lulusan SD. Ia dibutuhkan warga karena ternyata Wasripin “orang yang cerdas”. Ia

bisa memijit, bahkan mengobati orang sakit menahun dengan pijitannya itu. Ia bisa

menduga dan menafsirkan kejadian-kejadian. Ia bisa mengusir jin yang mengganggu

masyarakat. Singkat kata, kehadirannya membawa keberuntungan.

Pangkal semua itu adalah tidur selama tiga hari tiga malam, begitu ia tiba di

surau di perkampungan nelayan. Ini peristiwa aneh, menggemparkan, membuat

Wasripin secepat kilat terkenal di kampung itu. Ia dianggap sebagai Nabi Khaidir,

simbol pengetahuan dan pertolongan. Dan memang dalam tidur selama tiga hari itu ia

bermimpi bertemu lelaki tua yang mengajarinya banyak hal, meski tidak sepenuhnya

dipahami Wasripin.

Kehadiran Wasripin di kampung nelayan mirip kehadiran “Ratu Adil” di

sebuah masyarakat yang sudah sekian lama menantikannya. Di titik ini Kuntowijoyo

sedang memotret sebuah masyarakat yang berada dalam ketidakberdayaan: miskin,

menderita, terbelenggu, merasa terancam oleh kesewenang-wenangan dan

ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa tiran. Bagi orang Jawa, Indonesia

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 223: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

umumnya, Ratu Adil adalah simbol pembebasan yang dinanti-nantikan kehadirannya.

Di tengah masyarakat semacam itu, mitos dan hal-hal yang tidak rasional mewarnai

sikap dan tindak-tanduk mereka. Perhatikan tanggapan penduduk kampung nelayan

berikut.

“Jangan-jangan Nabi Hidhir.” “Ya, jangan-jangan Sang Nabi.” “Pasti. Baunya harum!” “Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita.” “Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!” “Tak sudi lagi dipaksa-paksa!” “Kita perlu pemimpin!” “Yang muda!” “Pemberani!” (WdS:20-21). Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan

menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia

bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan

yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama

masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja

menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai

tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi

pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi

pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Wasripin diterima penduduk

nelayan dengan sukacita. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari menjadi

pegawai oleh seorang pedagang. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari

pengurus beberapa partai. Namun, ia memilih tawaran kepala TPI menjadi satpam

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 224: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

TPI. Di tempat inilah Wasripin tiba-tiba bisa menaklukkan jin yang suka

mengganggu lokasi TPI.

Wasripin semakin terkenal dan disukai masyarakat. Kehadiran Wasripin

memang membawa keberuntungan. Jika ia ikut melaut maka nelayan akan

mendapatkan ikan banyak. Jika ia duduk dekat seorang pedagang maka dagangan

orang itu akan laku. Jika sekelompok nelayan diterjang badai di lautan, dengan

menyebut nama Wasripin badai akan menghilang. Maka potret-potret Wasripin

beredar dibawa orang ke mana-mana, termasuk ketika melaut, karena diyakini

membawa keberuntungan. Wasripin nyaris dikultuskan menjadi mitos di tengah

kehidupan nelayan. Akan tetapi, karena itu pulalah ia dicurigai pemimpin partai,

tentara, polisi, intel, dan semua penguasa. Itu pulalah yang kemudian menyeret

Wasripin berurusan dengan polisi, tentara, intel, para penguasa, hingga ujungnya ia

difitnah, dijebak, dituduh, kemudian dibunuh.

Wasripin hidup di sebuah kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik,

terutama permainan Partai Randu (sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU),

partai penguasa yang dapat memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi,

tentara) dan para penguasa. Maka tidak mengherankan ketika Pak Modin

memenangkan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), atas intruksi pusat Pak Modin tidak

dilantik. Ketika rakyat protes, penguasa malah memanggil Pak Modin untuk

diperiksa.

Pak Modin diminta mengisi formulir, semuanya tentang pekerjaan, organisasi sosial, kegiatan politik, dan kondisi keuangan. Ia harus mengisi tentang ia sendiri: orang tuanya, mertuanya, paman-pamannya, keponakan-

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 225: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

keponakannya. Semua tinggal mencoretnya, tidak punya siapa-siapa. Hanya ketika harus mengisi soal anak, nampak matanya berkaca-kaca, agak ragu-ragu. “Anakmu masuk CGMI, ya?” (WdS:89).

Dan yang terjadi adalah Pak Modin dibatalkan untuk menjadi Kepala Desa

oleh Bupati, tidak lain semata-mata demi keberlangsungan Partai Randu (Golkar).

Begitulah kebusukan penguasa semakin menjadi. Tidak ada lagi keadilan. Tidak ada

lagi moral. Bahkan ketua partai menanggung aib besar karena menghamili seorang

guru yang diangkat jadi pengurus Partai Randu. Tidak ada yang bisa menyelesaikan

dampak dari aib itu, kecuali Wasripin. Wasripin suka menolong siapa saja, tidak

pandang bulu. Itu sebabnya ia nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya

Wasripin dituduh sebagai penyebar ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang

tidak lain alat penguasa untuk mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama.

Sekali lagi harus ditegaskan, penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama,

khususnya agama Islam.

Wasripin diawasi terus-menerus oleh intel, berkali-kali dipanggil, diinterogasi

dan diintimidasi, meski penguasa tidak pernah punya bukti untuk menahan dan

menghukumnya. Hingga pada suatu hari Wasripin lagi-lagi ditangkap dengan

tuduhan pemimpin Gerakan Pemuda Liar (GPL). Namun, Wasripin lagi-lagi tidak

bisa dijerat, termasuk tuduhan berikutnya berkaitan dengan ramainya peristiwa

“pembunuhan” dukun santet. Dengan alasan Wasripin orang yang pandai, penguasa

menuduh pastilah Wasripin yang membunuh dukun santet. Akan tetapi, Wasripin

tidak dapat dijerat. Ia tidak terbukti dan karena itu dilepaskan. Wasripin dituduh

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 226: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

golput, tetapi tidak dapat dibuktikan. Wasripin dituduh PKI karena tidak punya KTP,

tetapi masih dapat dielakkan.

Berbagai cara terus dilakukan Partai Randu (penguasa) untuk meringkus

Wasripin dan pak Modin. Sementara Wasripin dan Pak Modin semakin populer di

masyarakat, strategi pun diubah. Partai Randu mencoba merayu Wasripin agar mau

jadi pengurus atau calon anggota DPR, tetapi Wasripin menolaknya. Hingga pada

suatu hari, Wasripin dikabarkan akan mendapat Anugerah “Adhikarta” dari Mabes di

Jakarta. Pemimpin Partai Randu gerah. Segala persiapan dilakukan. Namun,

menjelang hari-H, tiba-tiba ada berita pemberian anugerah dibatalkan. Semua itu atas

usaha keras Partai Randu Kabupaten yang menelepon Ketua Umum Pusat agar minta

petunjuk Ketua Dewan Pembina Partai Randu.

Partai Randu memang lihai memanipulasi dan memaksakan keinginan.

Berbagai lobi dan upaya selalu dilakukan demi kemajuan Partai Randu, termasuk

memolitisasi agama. Ketika DPRD sepakat aklamasi untuk menetapkan K.H. Rifa’i

Kalisasak sebagai Pahlawan Nasional, Partai Randu kelabakan. Mereka beranggapan

para pengikut tarekat aliran Rifaiyah kebanyakan golput, jadi penobatan K.H. Rifa’i

sebagai Pahlawan Nasional akan merepotkan Partai Randu. Partai Randu berupaya

dengan berbagai cara. Akan tetapi, karena masyarakat terus mendesak, akhirnya

K.H.Rifa’i dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Di sini tampak bagaimana

politisasi agama berlangsung, termasuk di tubuh Badan Pengawas Agama yang

menjadi antek Partai Randu.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 227: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Akan tetapi, seperti telah dikemukakan, Partai Randu terus-menerus bekerja

keras menyingkirkan orang-orang yang akan menghalangi langkahnya dalam

mempertahankan kekuasaan. Maka inilah rekayasa yang berhasil melumpuhkan

Wasripin hingga ia ditahan dan kemudian dilenyapkan. Wasripin ditangkap dengan

tuduhan menyimpan seonggok senapan dengan granat di bawah dipan tempat

tidurnya. Senjata dan granat itu sengaja disimpan intel di kamar Wasripin.

Penangkapan Wasripin sudah diatur sedemikian rupa, termasuk mengajak kru televisi

dan wartawan koran. Maka tamatlah riwayat Wasripin.

Hal yang menimpa Wasripin, menimpa Pak Modin pula. Dengan alasan yang

tidak masuk akal, Pak Modin dipaksa mengakui bahwa ia adalah Presiden NII.

Bagaimana keras dan kejamnya intimidasi itu hingga pada suatu hari Pak Modin

dipulangkan secara liar ke kampung nelayan dalam kondisi menyedihkan. Perhatikan

kutipan berikut.

Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu...

“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.”

“Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap.

“Tidak, Pak.” (WdS:255). Pak Modin dipapah memasuki kampung dalam keadaan trauma di tengah

penduduk kampung yang amat mencintainya.

Sepeninggal Wasripin, kampung nelayan terus-menerus mengalami keributan.

Penduduk memasang bendera setengah tiang atas hilangnya Wasripin. Polisi dan

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 228: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

tentara mengintimidasi dan menegaskan bahwa itu merupakan pembangkangan. Para

nelayan tidak mau melaut, tetapi polisi dan tentara memaksa. Kerusuhan tidak

terhindarkan hingga pada suatu hari Ketua Partai Randu di desa nelayan itu

mengundurkan diri dan membubarkan partai. Oleh karena nelayan tetap mogok,

penguasa dengan sewenang-wenang menaikkan pajak sehingga terpaksalah para

nelayan melaut seraya memanggil-manggil nama Wasripin.

Adapun Satinah kembali ke desanya setelah pamannya meninggal dunia dan

Wasripin menghilang tidak tahu rimbanya. Pada suatu hari, emak angkat Wasripin

tiba di kampung nelayan itu, bermaksud meminta maaf kepada Wasripin dan kepada

Paman Satinah yang tidak lain suami emak angkat Wasripin.

Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan

jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang

tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar

berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen

(1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa

kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan.

Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka

benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah

anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang

kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Page 229: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

Lampiran 3

Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo

a. Pasar

Page 230: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009

b. Mantra Pejinak Ular

Page 231: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS …

c. Wasripin dan Satinah

Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009