ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR...

140
ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR KARYA KUNTOWIJOYO MELALUI PENDEKATAN EKSPRESIF DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Sigit Purnomo 1110013000101 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

Transcript of ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR...

Page 1: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR

KARYA KUNTOWIJOYO MELALUI PENDEKATAN

EKSPRESIF DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN

SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Sigit Purnomo

1110013000101

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

Page 2: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 3: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 4: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 5: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

i

ABSTRAK

Sigit Purnomo, NIM: 1110013000101. Etika Profetik Pada Novel Mantra Pejinak

Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi Terhadap

Pembelajaran Sastra, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan. Pembimbing:

Novi Diah Haryanti, M. Hum. 2015.

Novel Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo menceritakan tentang

kehidupan seorang pegawai pemerintahan yang sekaligus berprofesi sebagai dalang,

yang berusaha melawan kesewenang-wenangan Mesin Politik. Penelitian ini mencoba

menjabarkan etika profetik yang berupa humanisasi, liberasi, dan transendensi yang

terdapat pada novel tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan ekspresif, yakni

hubungan karya sastra dengan pengarangnya(pemikiran pengarang). Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Hasil dari penelitian

yang dilakukan mendeskripsikan bahwa etika humanisasi yang muncul dalam novel

ini, yakni perlawan terhadap dehumanisasi tradisional, yang berupa mantra, sesaji,

serta ritual yang dilakukan sebelum mendalang, serta perlawanan terhadap objektivasi

manusia yang dilakukan pemerintah. Etika liberasi yang muncul yakni pembebasan

terhadap penindasan seni (politisasi seni), dan penindasan negara (terkait

pemerintahan yang otoriter membungkam oposisi, monoloyalitas pegawai negeri,

nepotisme, dan kronisme), dan terakhir etika transendensi muncul lewat kesenian

wayang yang mencoba memberi tuntunan kepada masyarakat, serta kesadaran tentang

menjaga alam dan mahluk hidupnya. Melalui novel ini siswa dapat mengetahui

bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel tersebut. Selain itu siswa dapat

mengetahui pemikiran khas pengarang Kuntowijoyo yang dituangkan dalam novel

tersebut, yakni etika profetik, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci: Mantra Pejinak Ular, Kuntowijoyo, Ekspresif, Etika Profetik, dan

Pembelajaran Sastra.

Page 6: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

ii

ABSTRACT

Sigit Purnomo, NIM: 1110013000101 The Profetic Ethic on Mantra Pejinak Ular

Novel by Kuntowijoyo through Expressive Approach and The Implications on

Literature Learning, Faculty of Tarbiyah and Teachers' Training. Adviser: Novi

Diah Haryanti, M.Hum. 2015.

Mantra Pejinak Ular by Kuntowijoyo told about the life of a civil servant who

was also a puppeteer, who tried to fight against arbitrated politic machine. This

research tried to explain profetic ethic in forms of humanity, liberalization, and

transcendence which are in the novel. This research used expressive approach that try

to define correlation between the work and its author (author's idea). Method used in

this research is analytic descriptive method. The result of this research described the

humanity ethic appearing in this novel namely struggle against towards dehumanized

tradition such as magic-spell, offerings, or ritual before puppetry. In addition, it also

described the struggle against human objectivity did by government. The ethic of

liberalization appearing was the exemption of arts (arts politicization), and state

oppression (related to authorized government made oposition remain silent, civil

servant loyalty, nepotism, cronysm), and lastly transcendence appearing through

puppet which tried to give guidance to society, also awareness to preserve nature and

its life creature. Through this novel, students could understand how the intrinsics in

the novel. Besides, students were able to know charateristic idea of the author,

Kuntowijoyo, which was written in this novel, namely profetic ethic, and its

implication in real life.

Key Words: Mantra Pejinak Ular, Kuntowijoyo, Expressive, Profetic ethic, and

Literature instruction.

Page 7: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah

memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, para sahabat, dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi yang berjudul Etika Profetik pada Novel

Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan

Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA. Penulis banyak memerlukan

bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan

mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar

sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,

penulis menyampaikan terima kasih pada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, Karnadi dan Sumiyati yang senantiasa

memberikan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril. Adik

yang disayang, dan semua keluarga yang selalu mendoakan keberhasilan

penulis.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, sekaligus dosen penasehat akademik.

4. Novi Diah Haryanti, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah

memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian ini dengan baik.

5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu

pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan

6. Teman-teman PBSI angkatan 2010. Mereka teman terbaik yang selalu

membantu juga memberikan semangat kepada penulis.

Page 8: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

iv

7. Teman Majelis Kantiniyah yang memberikan saran dan masukan dalam

mengerjakan skripsi ini.

8. Terakhir terima kasih atas semua pihak yang telah memberikan motivasi,

doa, semangat yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga

Allah membalas kebaikan kalian semua. Penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini. Semoga

penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Jakarta, 18 Oktober 2015

Penulis

Page 9: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

ABSTRAK ...................................................................................................... i

ABSTRACT .................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 5

C. Batasan Masalah ............................................................................ 5

D. Rumusan Masalah ......................................................................... 6

E. Tujuan Penelitian........................................................................... 6

F. Manfaat Penelitian......................................................................... 7

G. Metodelogi Penelitian ................................................................... 7

1. Objek Penelitian ....................................................................... 7

2. Metode Penelitian..................................................................... 7

3. Jenis Penelitian ......................................................................... 9

4. Prosedur Penelitian................................................................... 9

5. Teknik Penulisan....................................................................... 10

6. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 10

7. Sumber Data............................................................................... 10

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Novel ........................................................................... 11

B. Unsur Intrinsik Novel .................................................................... 12

1. Tema dan Amanat .................................................................... 12

2. Latar ......................................................................................... 13

3. Alur ........................................................................................... 15

4. Sudut Pandang ........................................................................... 15

5. Tokoh dan Penokohan ................................................................ 17

6. Gaya Bahasa ................................................................................ 19

Page 10: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

vi

C. Etika Profetik................................................................................. 20

1. Humanisasi ............................................................................... 20

2. Liberasi ..................................................................................... 22

3. Transendensi ........................................................................... 23

D. Pendekatan Ekspresif .................................................................... 24

E. Pembelajaran Sastra ...................................................................... 26

F. Hasil Penelitian yang Relevan....................................................... 29

BAB III BIOGRAFI PENGARANG, PEMIKIRAN PENGARANG, DAN

SINOPSIS NOVEL

A. Biografi Kuntowijoyo ................................................................... 31

B. Pemikiran Kuntowijoyo ................................................................ 35

C. Sinopsis Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo ............ 40

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik Novel Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo 42

1. Tema dan Amanat .................................................................... 42

2. Tokoh dan Penokohan .............................................................. 44

3. Sudut Pandang .......................................................................... 55

4. Plot ............................................................................................ 58

5. Latar .......................................................................................... 64

6. Gaya Bahasa .............................................................................. 72

B. Etika Profetik Pada Novel Mantra Pejinak Ular Karya

Kuntowijoyo..... .............................................................................. 75

a. Humanisasi ............................................................................... 75

b. Liberasi ...................................................................................... 91

c. Transendensi .............................................................................. 101

C. Implikasi Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra di

Sekolah...................... .................................................................... 108

BAB V PENUTUP

A. Simpulan........................................................................................ 113

B. Saran .............................................................................................. 118

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 11: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Karya sastra lahir dari tangan pengarang yang merupakan bagian dari

masyarakat. Bisa dikatakan bahwa karya sastra merupakan cerminan, gambaran,

atau refleksi kehidupan masyarakat. Namun tetap saja, meski dikatakan refleksi

kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra tidak dapat dikatakan kenyataan

sebenarnya. Hal ini dikarenakan sebuah karya sastra dibuat oleh pengarang dan

direka sedemikian rupa oleh pengarang untuk menyampaikan ide dan gagasannya.

“Setiap pengarang akan mengatur kesan dari kehidupan dan

pengalamannya sendiri, mengubahnya dan memanfaatkannya untuk

menyusun teks.”1

Karya sastra diibaratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan. Tetapi,

“potret itu tentu berbeda dengan cermin, karena sebagai kreasi manusia, di dalam

sastra terdapat banyak pendapat dan pandangan penulisnya, dari mana dan

bagaimana ia melihat kehidupan tersebut.2 Dapat dikatakan, pandangan yang

berupa ide, gagasan, maupun pemikiran yang tertuang di dalam karya sastra

berangkat dari kegelisahan pengarang akan keadaan di sekitar pengarang, baik itu

keadaan lingkungan, masyarakat, dan lainnya. Pemikiran, gagasan, maupun ide

yang ditawarkan pengarang dalam karya sastra dapat terlihat secara langsung, dan

adapula yang tersirat secara halus.

Profetik merupakan ide atau gagasan yang selalu disampaikan oleh

Kuntowijoyo dalam setiap karya-karya sastranya. Profetik sendiri menurut

pengertiannya berangkat dari kata prophet yang berarti Nabi. Profetik dapat juga

dikatakan sifat yang ada dalam diri seorang Nabi. Sifat tersebut tidak hanya

mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga

1 Jan Van Luxemburg, dkk., Tentang Sastra (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 8.

2 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, (Magelang: Indonesiatera), cet. 2, h. 20.

Page 12: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

2

menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan

melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.

Karya-karya yang lahir dari tangan Kuntowijoyo memilki muatan profetik,

yang memberi warna baru dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Karya-

karyanya banyak dikatakan oleh para penikmat sastra atau kritikus sastra sebagai

sastra profetik. Kuntowijoyo sendiri merumuskan apa yang disebutnya sebagai

etika profetik. Etika profetik tersebut yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Lebih jelasnya sebagai berikut:

“Tugas sastrawan pada dasarnya adalah tugas-tugas yang pernah

dilakukan Nabi. Tugas itu adalah amar ma‟ruf (mengajak pada kebenaran),

nahyi munkar (mencegah kemunkaran), dan tu‟minu billah (beriman

kepada Tuhan). Dalam bahasa Kuntowijoyo dirumuskan sebagai

humanisasi (amar ma‟ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi

(tu‟minu billah).3

Kuntowijoyo sendiri merupakan sastrawan yang menghasilkan banyak

buku. Arief Budiman pernah mengatakan di sebuah artikelnya yang dimuat di

Harian Kompas, Kunto adalah salah satu dari segelintir cendekiawan Indonesia

yang produktif, gagasannya biasanya mendalam, tidak hanya berupa kesan

selintas saja.4 Kiranya Kuntowijoyo adalah sedikit dari sastrawan yang memilki

kemampuan menulis fiksi dan nonfiksi sama kuatnya. Kuntowijoyo juga seorang

yang komplet dengan menghasilkan karya yakni puisi, cerpen, novel, dan drama.

Buku kumpulan puisi dari Kuntowijoyo yakni Suluk Awang-Uwung (1975),

Isyarat (1976), Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Lalu novelnya Kereta Api

yang Berangkat Pagi Hari (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1972),

Mantra Penjinak Ular (2000), Waspirin dan Satinah (2003). Kemudian cerpen-

cerpennya dimuat dalam buku kumpulan cerpen, yakni Dilarang Mencintai

Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999). Terakhir naskah-naskah

drama Kuntowijoyo yakni Rumput-Rumput Danau Bento (1968), Tidak Ada

Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cardas (1972), dan Topeng Kayu (1973).

3 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 158-159.

4 Arief Budiman, “Sistem Sosial dan Sistem Budaya (Tanggapan untuk Kuntowijoyo), Kompas

13 Februari 1991, h. 4.

Page 13: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

3

Etika profetik yang menjadi pemikiran kuntowijoyo selalu hadir dalam

setiap karyanya. Hal ini berangkat dari kegelisahan Kuntowijoyo terhadap dunia

Sastra Indonesia yang minim sastra-sastra transenden. Melalui sastra profetiknya

ini Kuntowijoyo mengisyarakatkan karya sastranya sebagai sastra ibadah dan

sastra yang murni.5 Hal inilah yang menjadi salah satu ketertarikan untuk

melakukan penelitian terhadap salah satu karya Kuntowijoyo.

Gaung novel-novel Kuntowijoyo di dalam kesusastraan Indonesia tidak

sepopuler cerpen-cerpennya. Hanya novel Khotbah di atas Bukit (1976) mungkin

yang ramai dibicarakan. Padahal masih ada empat novel Kuntowijoyo yang juga

merupakan karyanya yakni Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Pasar

(1972), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003). Meski

demikian, novel-novelnya tetap mendapat apresiasi baik di dunia kesusastraan.

Salah satunya novel Mantra Penjinak Ular. Novel tersebut merupakan salah satu

novel Kuntowijoyo yang terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas pada

tahun 2000.6 Dicetak dalam bentuk novel pada tahun yang sama, dan kemudian

dicetak ulang pada tahun 2013. Novel ini juga mendapat apresiasi yang baik dari

dunia kesusastraan. Novel Mantra Penjinak Ular berhasil meraih penghargaan

dari Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA).

Novel ini bercerita tentang seorang dalang yang berkerja menjadi pegawai

negeri. Dalang tersebut bernama Abu Kasan Sapari. Dengan latar budaya Jawa

dan segala macam mitos-mitosnya, dalam novel ini Abu Kasan Sapari tumbuh

dalam suatu proses dialektik zaman yang terus bergerak, pada kurun waktu kira-

kira menjelang akhir abad ke-20. Novel ini menggambarkan bagaimana mesin

politik Orde Baru Soeharto beroperasi sampai ke desa-desa. Kuntowijoyo dengan

sifat dan cerita yang khas menampilkan perlawanan terhadap mesin politik atau

kekuasaan politik kala itu yang menggenggam hingga ke desa-desa, sampai pada

kekuasaan terhadap kesenian. Banyak yang mengatakan kalau novel Mantra

Penjinak Ular merupakan riwayat perjalanan dari Kuntowijoyo sendiri.

5 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra, (Yogyakarta:

Mullti Presindo, 2013), h. 9. 6 “Cerber Baru: Mantra Penjinak Ular”, Kompas, 1 Mei 2000, h. 1.

Page 14: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

4

Pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo akan etika profetik (sastra profetik) juga

tampil dalam novel Mantra Penjinak Ular. Pada novel ini tokoh Abu Kasan

Sapari sendiri yang banyak mewakili pemikiran Kuntowijoyo akan etika profetik

yang mencakup humanisasi, liberasi, dan transedensi. Kekhasan karya

Kuntowijoyo inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian terhadap

karya Kuntowijoyo ini yakni Mantra Penjinak Ular.

Ide, gagasan, atau pemikiran pengarang merupakan bagian dari unsur

eksternal karya sastra. Unsur ekstrinsik karya sastra terdiri dari biografi, psikologi

pengarang, pemikiran pengarang, dan keadaan zaman. Unsur ekstrinsik inilah

yang sekiranya dalam pembelajaran sastra di sekolah kurang diperhatikan baik itu

oleh peserta didik maupun pendidik. Kebanyakan peserta didik hanya mengetahui

secara teoretis mengenai unsur-unsur karya sastra, dan masih belum memahami

cara menganalisis sebuah karya sastra. Hal ini dikarenakan rendahnya minat baca

peserta didik akan karya sastra, serta rendahnya apresiasi peserta didik akan karya

sastra.

Kegagapan peserta didik dalam menganalisis karya sastra, agaknya

diakibatkan kurangnya fokus perhatian pendidik dalam mengajarkan pemahaman

akan sebuah karya sastra. Pendidik kadang hanya terpaku pada unsur-unsur

pembangun karya sastra saja, tidak mengajarkan bagaimana tujuan, proses

penciptaan, serta faktor-faktor yang menyebabkan karya sastra itu muncul (unsur

ekstrinsik sastra). Padahal unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra

merupakan sebuah kesatuan. Tidak dapat kita menganalisis karya sastra hanya

intrinsik saja, tanpa kita kaji unsur ekstrinsiknya, begitupun sebaliknya.

Penelitian ini diharapkan dapat berimplikasi terhadap peserta didik yang

ada di sekolah. Peserta didik dalam pembelajaran sastra di sekolah perlu

memahami karya sastra secara mendalam, dan menambah wawasan peserta didik

akan tema-tema atau masalah yang diangkat dalam sebuah karya sastra juga

semakin bertambah. Oleh karena itu penelitian ini akan memaparkan etika

Page 15: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

5

profetik dalam hal ini humanisasi, liberasi, dan transendensi yang ada pada novel

Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan tinjauan ekspresif.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,

maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari novel sebagai pengalaman

estetik, kalaupun ada terlalu menitikberatkan pada pembahasan novel

sebagai ilmu sastra.

2. Kurangnya kesempatan peserta secara mendalam mempelajari sastra

khususnya novel, peserta didik hanya sebatas mempelajari unsur-unsur

intrinsik dari novel saja.

3. Kurangnya pemahaman peserta didik terhadap biografi pengarang

(pemikiran, gagasan, dan proses kreatif) karya sastra. Mereka hanya

sebatas mengetahui karya sastranya saja.

4. Kurangnya apresiasi pengajar terhadap novel sebagai bahan

pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada peserta

didik.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang

muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah

peneliti agar objek yang diteliti tidak melebar terlalu jauh, sehingga penelitian

lebih spesifik dan mendalam. Dalam novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo banyak ditemukan temuan masalah, maka dari itu, penulis

membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

Page 16: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

6

1. Wujud etika profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo serta hubungannya dengan proses kreatif dan dunia

pengarang.

2. Implikasi dari novel Mantra Penjinak Ular terhadap pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas X.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah

penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana wujud etika profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo, serta hubunganya dengan dunia pengarang?

2. Bagaimana implikasi pembahasan novel Mantra Penjinak Ular dalam

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XI?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi etika profetik yang ada dalam novel Mantra Penjinak

Ular karya Kuntowijoyo, serta mendeskripsikan hubungan etika profetik

dengan dunia pengarang.

2. Mendeskripsikan implikasi novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

kelas XI.

Page 17: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

7

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan ini diharapkan bermanfaat, baik itu

secara teoretis maupun praktis. Penelitian yang telah dilakukan ini secara teoretis

diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang khazanah sastra

Indonesia, khususnya pada pembelajaran sastra di sekolah. Selain itu penelitian

yang telah dilakukan ini diharapkan memberi sumbangan ke dalam dunia sastra

Indonesia, dalam hal ini kajian ekspresif terhadap karya sastra. Manfaat praktis

dari penelitian ini, diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih mengetahui

dan memahami isi serta kandungan dari novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo, dan juga diharapkan pembaca dapat memanfaatkan berbagai

pendekatan dalam mengkaji novel tersebut.

G. Metodologi Penelitian

a. Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini berupa karya sastra, dalam genre novel, yaitu

novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo cetakan ke-2, tahun 2013.

Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu tempat,

karena objek yang dikaji dalam penelitian ini berupa teks karya sastra.

b. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Fokus Penelitian

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini yakni

menentukan teks sastra yang akan dikaji atau diteliti, dan setelah itu

menentukan persoalan apa yang muncul, untuk kemudian bisa dijelaskan

dan dicarikan solusinya melalui penelitian. Langkah selanjutnya dalam

penelitian ini setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah

menentukan fokus penelitian.

Page 18: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

8

Secara umum penelitian sastra dapat dikategorikan ke dalam empat

fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu:

a) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan

penulis/penelitian genetik.

b) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.

c) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri.

d) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.7

Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam penelitian

ini penulis menggunakan fokus yang keempat, yaitu penelitian dengan

fokus teks dan hubungannya dengan penulis/ penelitian genetik. Fokus

penelitian ini memfokuskan teks dalam hubungannya dengan penulis.

Teks mencerminkan gagasan, pikiran dan perasaan penulis yang terlihat

melalui bentu-bentuk di dalam karya sastra yang dihasilkan

2. Bentuk dan Strategi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang

dilakukan adalah ekspresif, pendekatan yang fokus pada karya dan

hubungannya terhadap pengarangnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna,

metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-

fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Lebih lanjut, ia pun

menjelaskan pengertian metode deskriptif analitik sebagai berikut:

“Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti

menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari

bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai),

tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan,

melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan

secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif

komparatif, metode dengan cara menguraikan dan

membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode

7 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180

Page 19: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

9

dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari

dalam ke luar.”8

Kemudian pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang tidak semata-

mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu

diciptakan pengarang, tetapi juga bentuk-bentuk yang muncul sebagai

hasil pemikiran pengarang.

c. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-

dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

d. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membaca Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

2. Menetapkan masalah yang akan diteliti dalam novel Mantra

Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

3. Membaca ulang dengan cermat karya Kuntowijoyo Mantra

Penjinak Ular untuk menentukan etika profetik yang terdapat di

dalam novel tersebut dan implikasinya terhadap pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

4. Menandai kata, kalimat, atau paragraf yang mengandung unsur

etika profetik.

5. Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis.

6. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan

pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.

7. Menyimpulkan hasil penelitian

8 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2007), h. 53.

Page 20: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

10

e. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada

buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2013.

f. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu

suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan,

buku, surat kabar, majalah dan berita online.

g. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung

objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu novel Mantra Penjinak

Ular (2013) karya Kuntowijoyo.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk

membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber

dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.

Page 21: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian novel

Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus

disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya kemudian hari, novel dianggap

bersinonim dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris – dan inilah yang

kemudian masuk ke Indonesia – berasal dari Bahasa Itali novella (yang dalam

bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang

kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.1 Novel

sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang diidealkan. Dunia tersebut

merupakan dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intirinsiknya

seperti peristiwa, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja ke

semuanya bersifat imajinatif.2

Novel cenderung berisfat expands “meluas” cenderung menitik beratkan

munculnya complexity “kompleksitas”. Sebuah novel tidak akan dapat selesai

dibaca dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara khusus

memilki peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam

sebuah perjalanan waktu (kronologi). Efek dari perjalanan waktu tersebut yakni

pengembangan karakter tokoh. Novel juga memungkinkan adanya penyajian lebar

mengenai tempat (ruang) tertentu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika

posisi manusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu

menarik perhatian para novelis.3 Dapat diakatakan novel merupakan karya fiksi

berupa prosa. Novel merupakan karya sastra yang menyajikan kompleksitas di

dalamnya. Berbeda dengan cerpen, novel tidak dapat selesai dibaca dalam sekali

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),

h. 9. 2 Ibid, h. 4.

3 Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi, (Yogyakarta: Gama Media), h. 10-11.

Page 22: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

12

duduk. Hal ini dikarenakan, novel menghadirkan pengungkapan cerita yang

cenderung lebih mendalam.

B. Unsur-unsur intrinsik novel

Novel memilki unsur intrinsik atau yang biasa disebut unsur pembangun

karya sastra. Pada umumnya para ahli membagi unsur instrinsik prosa atas tema

dan amanat, sudut pandang/titik pandang pengarang, tokoh, watak, dan

penokohan, alur/plot, latar/setting, gaya bahasa, dan gaya penceritaan.4 Unsur-

unsur tersebut saling berkaitan, dan juga saling membangun struktural sebuah

karya.

a. Tema dan amanat

Dalam pengertiannya yang paling sederhana, tema adalah makna cerita,

gagasan sentral, atau dasar cerita. Tema merupakan gagasan sentral, yakni

sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui karya fiksi.5 Bisa

dikatan yang dimaksud dengan tema bukanlah sebuah pokok cerita dalam

sebuah karya fiksi melainkan gagasan sentral yang hendak diperjuangkan oleh

pengarang itu sendiri lewat karyanya.

Menentukan tema sebuah karya sastra haruslah disimpulkan dari

keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.

Tema, walau sulit ditentukan secara pasti bukanlah makna yang

“disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema

merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia

akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.6

Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan tema sendiri merupakan gagasan

sentral/ utama yang dapat diketahui dari unsur-unsur pembangun karya sastra

yang lain. Sebuah tema tidak dapat ditentukan berdasarkan bagian tertentu

dari sebuah cerita saja, melainkan tema didapat atau diketahui berdasarkan

4 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 142.

5 Sayuti, Op. Cit., h. 187.

6 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 68.

Page 23: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

13

keseluruhan cerita. Bisa dipastikan unsur-unsur pembangun lainnya pastilah

menyiratkan tema, dan saling berkaitan mendukung eksistensi tema.

Sebuah karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau

pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang; itulah yang disebut amanat.7

Amanat disini dapat diartikan, pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral dan

nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan/ dikemukakan pengarang

lewat cerita.8 Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara impilisit

ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar ataupun ajaran moral itu

disiratkan dalamtingkah laku tokoh menjelang akhir. Eksplisit, jika pengarang

pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan,

nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya yang berkenaan dengan gagasan

yang mendasari cerita itu. 9 Dapat dikatakan, amanat merupakan pesan yang

ingin disampaikan pengarang lewat cerita, dalam hal ini karyanya. Pesan itu

dismpaikan baik secara eksplisit maupun inplisit. Pesan yang disampaikan

pada setiap cerita atau karya, diharapkan dapat diketahui oleh pembacanya,

dan dapat memberi pengaruh kepada pembacanya.

b. Latar

Latar di dalam sebuah karya sastra merupakan tempat pristiwa sebuah

cerita berlangsung. Latar dapat juga dpat diartikan sebagai waktu atau masa

berlangsungnya suatu pristiwa karena latar itu sekaligus merupakan

lingkungan yang dapat berfungsi sebaagai metonomia atau metafora untuk

mengekspresikan para tokoh.10

Latar/setting merupakan unsur yang berkaitan

erat dengan tokoh. Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. “Setting adalah

latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa,

serta memilki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.” Latar/setting digunakan

7 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), h. 57.

8 Zulfahnur Z. F dkk., Teori Sastra, Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III Tahun

1996/1997, Kearsipan Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah, Depdikbud, 1996, h. 26. 9 Sudjiman, Op. Cit., h. 57-58.

10 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1989), h. 290-291.

Page 24: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

14

sebagai penegas suasana , maupun kondisi sekeliling si tokoh. Latar cerita

berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi satrawan, latar cerita dapat

digunakan untuk mengemban cerita. latar cerita dapat digunakan sebagai

penjelas tentang tempat, waktu dan suasana yang dialami tokoh.11

Dapat

dikatakan setiap gerak-gerik tokoh dalam sebuah cerita pastilah menimbulkan

peristiwa-peristiwa. Peristiwa tersebut tentunya berlangsung dalam suatu

tempat, suatu waktu, dan suatu suasana. Tempat, waktu dan suasan itulah latar

atau setting sebuah cerita.

Pendapat Abrams yang dikutip dari buku Teori Pengkajian Fiksi, latar

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat peristiwa-peristiwa yang

diceritakan. Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan

plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan

dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi12

.

Latar sendiri dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni latar tempat, latar

waktu, latar sosial.

Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis

menyangkut tempat suatu peristiwa terjadi. Latar waktu berkaitan dengan

masalah historis, mengacu pada pada saat terjadinya sebuah peristiwa, dalam

plot. Rangkaian peristiwa tidak mungkin terjadi jika dilepaskan dari

perjalanan waktu, yang dapat berupa jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan

zaman tertentu yang melatar belakanginya kemudian yang terakhir latar sosial

berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan, latar sosial merupakan lukisan

status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh dalam

masyarakat yang ada dalam sekelilingnya.13

Dapat disimpulkan, latar/ setting

memberikan kesan realistis terhadap pembaca, menciptakan suasana tertentu

yang seolah-olah sungguh-sungguh terjadi. Latar juga amat erat kaitannya

dengan tokoh dan juga plot/alur. Peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh

11

Siswanto, Op. Cit., h.151. 12

Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 216. 13

Sayuti, Op. Cit., h. 127.

Page 25: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

15

tidak dapat dilepaskan dari tempat, perjalanan waktu, dan keadaan sosial yang

melatarbelakangi peristiwa-peristiwa tersebut.

c. Alur

Abrams berpendapat, alur adalah rangkaiaan cerita yang dibentuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan

oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Dalam cerita modern, alur tidak selalu

dimulai dengan pengenalan dan diakhiri tahap penyelesaiaan. Ada

kemungkinan cerita dimulai dengan konflik. Ada kemungkinan cerita yang

dimulai dari penyelesaiaan.14

Sudjiman (1990) membagi atas alur utama dan

alur bawahan. Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang

menggerakkan jalan cerita. Alur bawahan adalah alur yang disusupkan di sela-

sela bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan adalah lakuan tersendiri

yang masih ada hubungannya dengan alur utama.15

Bagi pengarang yang lebih penting ialah menyusun peristiwa-peristiwa

cerita yang tidak terbatas pada tuntutan-tuntuatan murni kewaktuan saja, tetapi

juga dalam hubungan yang sudah diperhitungkan. Alur tidak hanya sebagai

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu

rangkaian tertentu, tetapi juga merupakan penyusunan yang dilakukan oleh

penulisnya berdasarkan hubungan-hubungan kausalitasnya.16

Dapat

disimpulkan, seorang pengarang tidak menghadirkan alur untuk memenuhi

tuntutan kewaktan saja. Akan tetapi, seorang pengarang menghadirkan

peristiwa-peristwa yang dihadirkan oleh pelaku berdasarkan hubungan sebab

akibat. Kausalitas peristiwa itulah yang membentuk alur, yang merupakan

unsur penting dalam sebuah cerita.

d. Sudut Pandang

14

Siswanto, Op. Cit., h. 160. 15

Ibid, h. 161. 16

Sayuti, Op. Cit., h. 30.

Page 26: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

16

Unsur selanjutnya dari sebuah prosa, dalam hal ini novel adalah sudut

pandang (point of view). Sudut pandang adalah tempat atau titik dari mana

seorang melihat objek deskripsinya. Burhan Nurgiyantoro mengatakan dalam

bukunya Teori Pengkajian Fiksi, sudut pandang pada hakikatnya merupakan

strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan

gagasan dan ceritanya. Selanjutnya abrams berpendapat mengenai sudut

pandang (point of view):

“ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada

pembaca”17

Secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua kelompok yakni

sudut pandang orang pertama: akuan dan sudut pandang orang ketiga: diaan,

atau insider dan outsider. Pada karya fiksi modern sering juga dijumpai sudut

pandang campuran, seperti pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Lazimnya,

sudut pandang yang umum dipergunakan pengarang dibagi menjadi empat

jenis, yakni:

1. Sudut pandang first person-central atau akuan sertaan, yaitu

pengarang secar langsung terlibat di dalam cerita.

2. Sudut pandang first person peripheral atau akuan tak sertaan, yaitu

tokoh “aku” hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang

lebih penting.

3. Sudut pandang third-person-omniscient atau diaan maha tahu, yaitu

pengarang berada di luar cerita, dan biasanya pengarang hanya

menjadi seorang pengamat yang maha tahu, bahkan mampu berdialog

langsung dengan pembaca.

4. Sudut pandang third-person-limited atau diaan terbatas, yaitu

pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang

17

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 248.

Page 27: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

17

terbatas hak berceritanya. Disini pengarang hanya menceritakan apa

yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita. 18

Sudut pandang merupakan titik dimana seorang dalam hal ini pengarang

melihat objek deskripsinya. Sudut pandang juga bagi pengarang dijadikan

sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

membentuk cerita. Melaui sudut pandang sendiri, pada hakikatnya pengarang

menggunakannya untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

e. Tokoh dan penokohan

Perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/ pelaku cerita melalui

sifat-sifat dan tingkah laku dalam cerita. Penokohan dalam sebuah karya sastra

adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dengan wataknya,

yakni sifat, sikap, dan tingkah lakunya. Boleh juga dikatakan bahwa

penokohan itu merupakn cara penyerang untuk menampilkan watak para

tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak

terbentuk. Bentuk penokohan yang paling sederhana ialah pemberian nama

kepada para tokoh di dalam sebuah cerita.19

Adapun tokoh menurut Panuti

Sudjiman, sebagai berikut:

“tokoh adalah ndividu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami

peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam

cerita fiksi dapat berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun

mentalnya.”20

Sebuah karya sastra terdapat banyak ragam tokoh, seperti tokoh datar dan

tokoh bulat. Tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah cerita

yang hanya mempunyai satu dimensi sifat. Tokoh bulat ialah tokoh yang juga

berperan di dalam sebuah cerita yang yang memiliki sifat lebiha dari satu

dimensi.21

Sejalan dengan Wellek dan Waren, Foster juga membagi

perwatakan tokoh atas watak bulat (round character) dan watak datar (flat

18

Sayuti, Op. Cit., h. 159-160. 19

Wellek dan Warren, Op. Cit., h. 287. 20

Zulfahnur Z. F dkk, Op. Cit., h. 29. 21

Wellek dan Warren, Op. Cit., h. 288.

Page 28: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

18

character). Tokoh datar diungkapkan atau disoroti dari satu segi wataknya

saja (Forster, 1955: 67-68) sikap atau obsesi tertentu saja dari si tokoh

(Kenney, 1966: 28). Tokoh datar bersifat statis; di dalam perkembangan

lakuan, watak tokoh itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak

berubah sama sekali. Sedangkan tokoh bulat ditampilkan lebih dari satu segi

wataknya dalam cerita. Berbagai segi wataknya itu ditampilkan tidak secara

sekaligus melainkan berangsur-angsur atau berganti-ganti, pergantian watak

yang dialami tokoh bulat juga haruslah dalam batas-batas kebolehjadian

(probability) juga.22

Dilihat dari watak yang di miliki tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh

protagonis dan antagonis (Aminuddin, 1984: 85). Tokoh protagonis adalah

tokoh yang wataknya disukai pembaca. Biasanya berwatak baik dan positif.

Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembaca.

Biasanya memiliki watak buruk dan negatif.23

Ditinjau dari segi keterlibatannya tokoh fiksi dibedakan menjadi dua jenis,

yaitu tokoh utama/ tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh utama/ sentral

merupakan tokoh yang mengambil bagian besar dalam peristiwa atau tokoh

yang paling sering diceritakan. Tokoh tersebut ditentukan dalam tiga cara,

yaitu (1) tokoh itu paling teribat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu paling

banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) tokoh itu paling memerlukan

waktu penceritaan. sedangkan tokoh bawhan itu sendiri merupakan tokoh

yang mengambil bagian kecil dalam peristiwa atau tokoh yang paling sedikit

diceritakan.24

Persoalan pengarang tidak hanya dalam hal memilih jenis tokoh yang akan

disajikan dalam cerita, tetapi juga dengan cara apakah ia akan menyajikan

tokoh ciptaanya. Ada yang membedakan cara-cara penggambaran tokoh

menjadi cara analitik dan dramatik, ada yang membedakannya menjadi

22

Sudjiman, Op. Cit., h. 20-21. 23

Siswanto, Op. Cit., h. 144. 24

Sayuti, Op. Cit., h. 74.

Page 29: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

19

metode telling „uraian‟ dan showing „ragaan‟, dan pula yang membedakannya

menjadi metode diskursif, kontekstual, dan campuran. Pembedaan penyajian

watak tokoh tersebut memang memilki istilah yang berlainan, akan tetapi

sesungguhnya esensi yang dimilki kurang lebih sama.

f. Gaya Bahasa

Unsur intrinsik selanjutnya adalah Gaya Bahasa. Atar Semi mengatakan

bahwa tingkah laku berbahasa merupakan suatu sarana sastra yang amat

penting. Tanpa bahasa, sastra tidak ada. Betapapun dua atau tiga orang

pengarang mengungkapkan suatu tema, alur, karakter, atau latar yang sama,

hasil karya mereka akan berbeda bila gaya bahasa mereka berbeda.25

Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi menyebut

gaya bahasa dengan istilah style/ gaya. Gaya yang dikenal dengan kata style

diturunkan dari kata lain stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada

lempengan lilin. “kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian

untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan

keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.” Burhan

Nurgiyantoro berpendapat mengenai gaya (style) sebagai berikut:

“Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan

kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan.

Teknik itu sendiri merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat

dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam

karya.”26

Stile sendiri ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata,

struktur kalimat, bentuk-bentuk bahsa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-

lain.

Dapat diartikan gaya bahasa bahasa adalah cara yang khas, yang dipakai

pengarang untuk mengungkapkan sesuatu cerita dengan indah (dan sesuai khas

seorang pengarang). Hal tersebut meliputi ciri formal kebahasaan seperti

25

M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 47. 26

Nurgiyantoro, op. Cit., h. 370.

Page 30: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

20

pilihan kata, struktur kalimat, bahasa figuratif, dan penggunaan kohesi

sehingga dapat menyentuh emosi dari pembaca cerita/ karya si pengarang.

Tentunya setiap pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri dalam bercerita.

C. Etika Profetik

Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dalam memilih

satu premis, tema, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku.

Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika, itupun dengan sukarela

tidak memaksa.27

Dua prinsip pokok yang menopang konsep sastra profetik yakni

kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan.28

Sastra profetik digagas oleh Kuntowijoyo akhirnya merumuskan apa yang

disebutnya sebagai etika profetik. Etika itu disebut “profetik” karena ingin meniru

perbuatan Nabi, sang Prophet. Etika tersebut terdapat dalam Alqur‟an, 3: 110,

“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada

yang ma‟ruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah”. Setelah

menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnas) selanjutnya ayat

itu berisi tiga hal, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi), nahi

mungkar (mencegah kemungkaran, liberasi), dan tu’minu billah (beriman pada

Tuhan, transendensi).29

Dari kutipan maklumat sastra proftik kunto tersebut dapat

ditangkap bahwa etika profetik yang dimaksud oleh Kuntowijoyo diambil dari

kitab suci sebuah agama, dalam hal ini Islam. Kuntowijoyo menggunakan istilah

humanisasi, liberasi, dan transendensi yang merupakan isi dari etika profetik.

Ketiga inilah yang diinginkan oleh etika profetik, etika yang meniru perbuatan

nabi (sang prophet).

a. Humanisasi

Etika humanisasi yang dapat kita sederhana maknanya menjadi menjadi

manusia yang utuh. Humanisasi dilakukan dalam rangka melenyapkan

27

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur, (Yogyakarta: Multi

Presindo, 2013), h. 16. 28

Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 154. 29

Kuntowijoyo, Op. Cit., h. 16-17.

Page 31: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

21

keadaan dehumanisasi yang melanda masyarakat modern sebagai dampak

negatif kemajuan teknologi dan industri. Dehumanisasi ialah objektivasi

manusia (teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan,

kriminalitas, loneliness (privatisasi, individualisasi), dan spritual alienation

(keterasingan spiritual, artinya orang telah menjadi asing dengan dirinya

sendiri)30

. Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai alam bawah

sadarnya daripada kesadaraannya. Tanpa disadari dehumanisasi sudah

menggerogoti masyarakat Indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin,

manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa.31

Humanisasi dalam etika

profetik merupakan upaya perlawanan terhadap dehumanisasi. Upaya

perlawanan terhadap apa yang dinamakan sebagai manusia mesin, manusia

dan masyarakat massa, dan budaya massa.

1. Manusia mesin

Jacques Ellul mengatakan manusia mesin (il’home machine) terjadi

karena penerapan teknik meluas dalam masyarakat modern kita.

Definisi teknik menurut Jacques Ellul ialah totalitas dari metode yang

secara rasional mencapai dan mempunyai efisiensi dalam setiap bidang

aktivitas manusia. James R. Chaplin pun mengatakan dalam

Dictionary of Psychology perilaku manusia mesin hanya berdasar pada

stimulus and response, seperti yang digambarkan dalam psikologi

behaviorisme. Perilaku manusia tidak lagi berdasar akal sehat, nilai,

dan norma. Agresivitas, korupsi, selingkuh, tawur adalah hasil dari

manusia mesin itu. Dapat dikatakan bahwa manusia mesin memberi

dampak disorganisasi nilai-nilai sosial dan personal. Menyebabkan

abnormalitas dalam masyarakat.32

2. Manusia dan masyarakat massa

Istilah manusia massa (il’home mass) berasal dari Gabriel Marcel,

seorag filsuf Eksistensialis-Katolik. Menurut Marcel dalam masyarakat

30

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), h. 107. 31

Ibid., h. 17. 32

Ibid., h. 17-18.

Page 32: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

22

teknologis manusia tidak lagi memahami dirinya berdasar gambaran

tentang Tuhan (be image of God) tetapi gambaran tentang mesin (the

image of machine). Manusia massa itu memandang realitas tidak

secara utuh, lebih banyak menekankan aspek emosional daripada

intelektual. Kekuatan yang membentuk masyarakat massa ialah

teknologi (mekanisasi, industrialisasi), organisasi ekonomi (pabrik,

pasar advertensi), diferensiasi sosial (kelas, suku, agama), mobilisasi

politik (negara, partai), dan budaya (pop, musik pop, pendidikan,

media massa).33

3. Budaya massa

Manusia mesin serta manusia dan masyarakat massa itu juga

menghasilkan budaya, yakni budaya massa. Ada degradasi budaya

dalam budaya massa. Adorno mengatakan bahwa dalam budaya massa,

budaya sudah jadi komoditas, suatu comoditity fetichism. Budaya

bukan lagi sebuah promesse den bonheur (kebajikan) yang berupa

realitas yang melampaui kekinian. Basis sosial budaya massa ialah

generasi muda. Budaya massa itu terekspresikan dalam bentuk

bermacam-macam, yaitu kesenian (rap, dangdut, rock)kebjiaksanaan

populer (unhkapan plesetan, bahasa remaja), elektronika (CD, DVD,

film, sinetron), dan masih banyak bentuk yang lainnya.34

Di samping dehumanisasi modern yang dipaparkan di atas, ada juga

dehumanisasi tradisional. Kuntowijoyo mengatakan dehumanisasi tradisional

masih ada dalam masyarakat kita. Dehumanisasi itu ialah pemujaan wesi aji

dan batu mulia, kekeramatan kuburan, sesaji, topa macam-macam, tuyul,

jimat, mantra, santet, dan sebagainya.35

b. Liberasi

33

Ibid., h. 19. 34

Ibid., h. 19-20. 35

Ibid., h. 21.

Page 33: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

23

Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetiknya mengatakan liberasi

terbagi menjadi dua. Ada liberasi dari kekuatan eksternal seperti kolonialisme,

agresi oleh negara adikuasa, dan kapitalisme dunia. Kemudian ada juga

liberasi dari kekuatan internal seperti penindasan politik (sistem politik),

penindasan atas rakyat oleh negara (di masa orde baru) , ketidakadilan

ekonomi, dan ketidakadilan gender. Etika liberasi yang dituju Kuntowijoyo

dalam maklumat sastra profetiknya yakni liberasi dari kekuatan internal

tersebut, yang terjadi di Indonesia.36

Sasaran liberasi sendiri ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem soisal,

sistem ekonomi, dan sistem politik.37

Liberasi perlu dilakukan untuk

mencegah dan melawan berbagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan

(sekelompok) manusia terhadap (kelompok) manusia lainnya. Dalam hal ini

penindasan yang dilakukan pejabat negara, permainan politik yang kotor,

penindasan para pemilik modal dalam kegiatan ekonomi, penindasan laki-laki

atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama tertentu kepada

etnis dan agama lainnya. Tentu saja pencegahan itu dilakukan menurut

hukum-hukum yang disepakati dan tidak menyimpang dari ajaran Tuhan.38

Dapat disimpulkan, liberasi memiliki sasaran sistem pengetahuan, sistem

politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Etika liberasi yang digagas

Kuntowijoyo sejalan dengan sasaran dari liberasi itu sendiri yakni liberasi dari

penindasan politik, penindasan rakyat oleh negara, ketidakadilan ekonomi,

dan ketidakadilan gender. Liberasi sendiri dilakukan dalam upaya mencegah

dan melawan berbagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan

(sekelompok) manusia terhadap (kelompok manusia lainnya). Liberasi inilah

yang Kuntowijoyo rumuskan dalam etika profetiknya.

c. Transendensi

36

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, Op. Cit., h. 22. 37

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 370. 38

Wan Anwar, Op. Cit., h. 159.

Page 34: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

24

Etika transendensi, yaitu mengingatkan kembali keberadaan dan perilaku

manusia di bumi (antar manusia dan atntar mahluk) dengan keberadaan

kemahakuasaan Tuhan. Bersatu padunya kesadaran kemanusiaan dengan

kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap, dan di

sisni pulalah tercapai apa yang disebut kaffah (utuh dan lengkap), dimana

ibadah ritual kepada Allah seimbang dengan ibadah sosial kepada sesama

manusia (termasuk menjaga alam dan mahluk Tuhan lainnya).39

Transendensi sebenarnya tidak harus berarti kesadaran ketuhanan secara

agama saja, tapi bisa saja kesadaran apa saja yang melampaui batas

kemanusiaan. Roger Garaudy mengatakan unsur dari transendensi ada tiga

yaitu, pengakuan ketergantungan manusia terhadap Tuhan, adanya perbedaan

yang mutlak antar Tuhan dan manusia, dan pengakuan akan adanya norma-

norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari akal manusia.40

Dalam Islam

transendensi itu akan berupa sufisme. Kandungan sufisme seperti khauf

(penuh rasa takut), raja‟ (sangat berharap), tawakkal (pasrah), qana‟ah

(menerima pemberian Tuhan), syukur ikhlas dan sebagainya adalah tema-tema

sastra transendental.41

D. Pendekatan Ekspresif

Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat komponen utama.

Dimana diagram itu membentuk sebuah segitiga yang berisi empat pendekatan.

Pendekatan ekspresif dan pendekatan pragmatik yang berada dikanan dan kiri

segitiga, lalu ada pendekatan mimetik yang berada di puncak segitiga, dan

terakhir pendekatan objektif berada di dalam diagram segitiga tersebut. Dengan

39

Ibid., h. 159-160. 40

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 31. 41

Ibid., h. 31-32.

Page 35: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

25

diagram tersebut Abrams menjelaskan bahwa karya sastra selain berdiri sendiri

juga terikat oleh kenyataan, pengarang, dan pembaca.

Dalam model pendekatan Abrams ini terkandunglah pendekatan kritis

yang utama terhadap karya sastra sebagai berikut:

a. Pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri; pendekatan ini

disebut obyektif;

b. Pendekatan yang menitikberatkan penulis, yang disebut ekspresif;

c. Pendekatan yang menitikberatkan semesta, yang disebut mimetik;

d. Pendekatan yang menitikberatkan pembaca, disebut pragmatik.42

M. H Abrams dalam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp

mengatakan secara umum, bahwa pendekatan ekspresif menitik beratkan

kajiannya terhadap pencipta (yang dalam hal ini pengarang), hal ini berangkat dari

fakta bahwa sebuah karya seni dihasilkan dari proses kreatif yang beroperasi di

bawah dorongan perasaan, dan mewujudkan produk gabungan dari persepsi

penyair, pikiran, dan perasaan.

“In general terms, the cultural tendency of the expresive theory may be

summarized in this way: A work of art is essentially the internal made

external, resulting form a creative process operating under the impluse of

feeling, and embodying the combined product of the poet’s perceptions,

thougthts, and feelings.”43

Kemudian hal-hal yang berada di luar penyair/ pengarang akan dikonversi oleh

perasaan dan operasi pikiran penyair sendiri.

“The primary source an subject matter of a poem, therefore, are the

attributes and actions of the poet's mind; or if aspects of the external

world, then these only as they are converted from fact to poetry by the

feelings and operations of the poet's own mind.”44

42

A. Teuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 50. 43

M. H. Abrams, The Mirror and The Lamp, (New York: Oxford University Press, 1980), h.

22. 44

Ibid, h. 22.

Page 36: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

26

Pendekatan ekspresif memilki kesamaan dengan pendekatan biografis dalam hal

fungsi. Fungsi tersebut menempatkan karya sastra sebagai manifestasi subjek

kreator. Sebaliknya pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data

sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek

pencipta, jadi, sebagai data literer.45

Nyoman Kutha Ratna mengatakan, pendekatan ekspresif tidak semata-

mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan,

seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang

terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Maka wilayah studi ekspresif adalah

diri penyair, pikiran dan perasaan, dan hasil ciptaannya. Melalui indikator kondisi

sosio kultural pengarang dan ciri-ciri kreativitas imajinatif karya sastra, maka

pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan utnuk menggali ciri-ciri individualisme,

nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya sastra

individual maupun karya sastra dalam rangaka periodisasi.46

Secara historik, sama dengan pendekatan biografis, pendekatan ekspresif

dominan abad ke-19, pada zaman Romantik. di Belanda dikenal melalui Angkatan

1880 (80-an), di Indonesia melalui Angkatan 1930 (30-an), yaitu angkatan

Pujangga Baru, yang dipelopori oleh Tatengkeng, Amir Hamzah, dan Sanusi

Pane, dengan dominasi puisi lirik. Menurut Teeuw (1988: 167-168) tradisi ini

masih berlanjut hingga Sutardji Calzoum Bachri, tidak terbatas pada cipta sastra

tetapi juga pada kritik sastra. dalam tradisi sastra Barat pendekatan ini pernah

kurang mendapat perhatian, yaitu selama abad Pertengahan, sebagai akibat dari

dominasi agama Kristen. karya sastra semata-mata dianggap sebagai peniruan

terhadap kebesaran Tuhan dengan konsekuensi manusia sebagai pencipta harus

selalu di bawah Sang Pencipta.47

Jadi dapat disimpulkan pendekatan ekspresif tidak hanya memberi

perhatian kepada proses kreatif menciptakan sebuah karya, akan tetapi juga

45

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2007), h. 68. 46

Ibid., h. 69. 47

Ibid., h. 69.

Page 37: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

27

melihat bentuk-bentuk yang dihasilkan dalam karyanya. Wilayah pendekatan ini

meliputi penyair, pikiran dan perasaaan, dan hasil ciptaannya. Pendekatan ini

menempatkan karyas sastra sebagai manifestasi subjek kreator.

E. Implikasi Pembelajaran Sastra

Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik.

Lewat karya sastra, pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan

pembelajaran dari sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra mempunyai

impilikasi dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.

Rahmanto berpendapat seseorang yang telah banyak mendalami berbagai

karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal

mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-

pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih

banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup

manusia.”48

Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat

memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian

anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan

pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.

Sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa.

Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yakni menyimak,

berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam

kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan

mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto

menjelaskan sebagai berikut

“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek.

Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya

pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti,

ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”49

48

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h. 24. 49

Ibid.,h.38.

Page 38: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

28

Sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti ilmu

pengetahuan lain. Sastra tidak memberikan pengetahuan dalam bentuk jadi seperti

ilmu pengetahuan pada umunya. Ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas

perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas

hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra karya lahir dalam perbedaan cara

pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi

perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini

Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya

besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar

merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”50

Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung

sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan

aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara

historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.

Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-

pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai

berikut:

“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-

lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan

atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam

konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap

karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit

dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri

merupakan objek kultural yang rumit.”51

Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra

memuat bagaimana semangat zaman yang menggambarkan perkembangan sosial

masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu dengan

pembelajaran sastra, siswa akan mampu peka melihat kedaan zamannya, masalah-

50

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.515 51

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 4.

Page 39: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

29

masalah yang muncul dalam karya sastra sejalan dengan masalah yang ada dalam

dunia nyata. dengan kata lain lewat pembelajaran sastra siswa dapat lebih peka

akan keadaan sosial sekelilingnya.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra dapat memberi pembelajaran

bagi siswa. Pembelajaran itu sendiri tidak hanya mengenai wawasan saja, akan

tetapi, juga memberikan pembentukan karkter siswa, pendidikan moral serta etika.

Pembelajaran dalam sastra sendiri tidaklah bersifat jadi. Pembelajaran yang

didapat siswa didapat ketika mereka membaca dan juga memahami isi dari sebuah

karya sastra.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan merupakan hasil analisis atau penelitian lain yang

dijadikan acuan dalam melakukan penelitian. Penelitian yang relevan berguna

bagi peneliti untuk menopang penelitian yang akan dilakukan. Sebuah karya

ilmiah (hasil penelitian) mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna

menopang peelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari

makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.

Sepengetahuan penulis belum ada penelitian yang meneliti terkait etika

profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Adapun

penelitian yang masih ada hubungannya mengenai karya Kuntowijoyo ini yakni,

penelitian yang dilakukan Andri Arilaksa dari Universitas Muhammadiyah

Surakarta dengan judul “Aspek Budaya Jawa Novel Mantra Penjinak Ular Karya

Kuntowijoyo: Tinjauan Semiotik”. Penelitian yang dilakukan oleh Andri Arilaksa

yakni mencoba mengungkapkan budaya-budaya Jawa yang ada di dalam novel

Mantra Pejinak Ular.

Penelitian yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah skripsi dari

Mutmainah Hassan. Skripsi ini berjudul “Kajian Strukturalisme Genetik Mantra

Penjinak Ular karya Kuntowijoyo”. Hasil analisis isi menunjukkan alur yang

digunakan adalah alur progresif, teknik pelukisan tokoh secara analitik dan

Page 40: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

30

dramatik. Sudut pandang menggunakan sudut pandang dia-an dengan teknik dia

mahatahu dan dia pengamat. menggambarkan latar masa Orde baru dan temanya

adalah perubahan sosial dan politisasi kesenian. Pandangan dunia novel Mantra

Pejinak Ular menyangkut hal yang berhubungan dengan Tuhan, dunia dan

manusia yang selalu menyadai keterbatasan pada nilai ketuhanan. serta subjek

kolektif dan lingkungan sekitar Kuntowijoyo menggambarkan adanya campur

tangan kekuasaan terhadap kesenian untuk kepentingan politik.

Page 41: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

31

BAB III

BIOGRAFI PENGARANG, PEMIKIRAN PENGARANG, DAN

SINOPSIS NOVEL

A. Biografi Pengarang

Kuntowijoyo dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, 18 september 1943.

Kehidupan masa kecil Kuntowijoyo semasa kecil hidup dalam budaya dan tradisi

Islam dan Jawa. Ayahnya sebagai dalang dan pembaca macapat, sedangkan eyang

buyutnya sebagai seorang khathath (penulis mushaf al-quran dengan tangan).

Pendidikan formal Kuntowijoyo dimulai dari madrasah ibtidaiyah atau SRN di

Ngawonggo, Klaten (1956). Lulus sekolah dasar Kuntowijoyo melanjutkan

pendidikannya di SMP masih di daerah Klaten, yang kemudian lulus pada tahun

1959. Barulah menginjak SMA Kuntowijoyo meneruskan pendidikannya di

daerah lain yakni di sebuah SMA di daerah Surakarta (1962). Setelah lulus SMA,

Kuntowijoyo berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1969).

Jenjang pendidikan tingginya kemudian dilanjutkan dengan meraih gelar magister

di Universisity of Connecticut, AS (1974). Puncaknya didapat dengan meraih

gelar doktor dalam bidang ilmu sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980).

Dalam catatan Amien wangsitalaja, semasa kecil, di sebuah surau, di desa

kecil yang sunyi, Ngawonggo (kecamatan Ceper, Klaten), Kuntowijoyo pernah

belajar mendongeng dan berdeklamasi kepada M. Saribi Affin dan Yusmanan,

dua sastrawan yang cukup penting dalam sastra Indonesia. Sejak masih di

madrasah ibtidaiyah, selain rajin belajar deklamasi, mendongeng, dan mengaji, ia

gemar membaca suntuk di sebuah perpustakaan kota kecamatan. Begitu pula

ketika memasuki SMP, Kuntowijyo membaca karya Hamka, H.B Jassin,

Pramoedya Ananta Toer, Nugroho Notosusanto, hingga pada SMA berkenalan

Page 42: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

32

dengan karya dunia, misalnya karya Charles Dickens dan Anton Chekov.1 Semasa

kuliah Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam

(Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama Dwam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul

Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya, Ikranagara, dan Abdul Hadi W.M).

Terlihatlah bahwa kuntowijoyo sedari dini memang sudah gemar membaca dan

sudah gemar terhadap karya-karya sastra. Bahkan ketika ia terbaring sakit

kegemaran membacanya itu pun masih dilakukannya bahkan sampai delapan jam

sehari.

Perjalanan karir Kuntowijoyo semasa hidupnya yang pernah diembannya,

yakni sebagai Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970), Dosen Fakultas

Sastra UGM (1970-2005), Sekretaris Lembaga Seni & Kebudayaan Islam (1963-

1969), Ketua Studi Grup Mantika (1969-1971), Pendiri Pondok Pesantren Budi

Mulia (1980), Pendiri Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di

Yogyakarta (1980). Kuntowijoyo juga dikenal sebagai seorang aktivis.

Kuntowijoyo merupakan seorang aktivis Muhammadiyah dan pernah menjadi

anggota PP Muhammadiyah. Bahkan ia pernah melahirkan sebuah karya

Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Menurut ketua PP

Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii Maarif, Kunto merupakan sosok pemikir Islam

yang sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah karena kritiknya cukup

pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.2

Kuntowijoyo selain sebagai sastrawan juga dikenal sebagai seorang

intelektual dan akademisi. Banyak karya sastra lahir dari tangannya, juga banyak

karya dan telaah ilmiah lahir dari tangannya. Kualitas karya pada dua bidang

tersebut pun tidak perlu diragukan. Karya-karya sastra dan juga telaah-telaah

ilmiahnya lahir dari endapan pengalaman hidup Kuntowijoyo dengan lingkungan

sekitarnya (yang dalam hal ini budaya Jawa dan tradisi Islam banyak memberi

pengaruh terhadap karya-karyanya).

1 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 3.

2 “Kuntowijoyo” , http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/, diakses pada tanggal

28 Desember 2014 pukul 23: 00 WIB.

Page 43: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

33

Karya-karya sastra yang dihasilkan Kuntowijoyo terbilang cukup lengkap.

Hampir semua genre sastra pernah dihasilkan dari mulai puisi, prosa, sampai

naskah drama. Puisi-puisinya terdapat dalam tiga buku kumpulan sajaknya, yakni

kumpulan sajak Suluk Awang-Uwung (1975), kumpulan sajak Isyarat (1976), dan

kumpulan sajak Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Kemudian pada genre

prosa, produksi karyanya terbilang cukup banyak dibanding genre karya sastra

lain yang dihasilkannya. Adapun karya sastra bergenre prosa yang dihasilkannya,

antara lain Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1992), Hampir

Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari

(novel, 1966), Pasar (novel, 1972), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976), Mantra

Penjinak Ular (novel, 2000), dan terakhir Waspirin dan Satinah (novel, 2003).

Karya sastra lainnya yang dihasilkan kuntowijoyo berbentuk naskah drama, antara

lain Rumput-Rumput Daun Bento (drama, 1968), Tidak Ada Lagi Waktu Bagi

Nyonya Fatma, Barda, dan Cardas (drama, 1972), dan Topeng Kayu (drama,

1973). Selain itu karya-karya Kutowijoyo tersebar juga dalam berbagai antologi.

Selain menghasilkan karya sastra, Kuntowijoyo juga rajin menulis telaah-

telaah kritis terhadap masalah sosial, budaya, dan sejarah. Telaah-telaah yang

dihasilkannya antara lain Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985),

Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam: Interprteasi untuk Aksi

(1991), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam

(1997), Pengantar Ilmu Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat

Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Radikalisasi Petani: Esai-esai

Sejarah Kuntowijoyo (2002), dan Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-

1915 (2004). Dua buku Kuntowijoyo yang berharga yang belum sempat

dipublikasikan hingga Kuntowijoyo wafat pada 22 Februari 2005, yakni

Historical Experience (bahan pengantar kuliah sejarah) dan Sejarah Eropa Barat

(belakangan terbit dengan judul Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa).

Penghargaan-pengharaan yang pernah diterima Kuntowijoyo antara lain

Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan

Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk buku

Page 44: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

34

Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI

(1995), Cerpen Terbaik Kompas (1995, 1996, 1997, dan 2005), Asean Award on

Culture (1997), Satyalencana Kbudayaan RI (1997), Mizan award (1998),

Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dan Menristek (1999),

dan SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1999). Naskah drama Rumput-

Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan

dari Dewan Kesenian Jakarta, Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku,

1972, dan Kuntowijoyo juga mendapatkan Hadiah Sastra dari Majelis Sastra Asia

Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).

Sartono Kartodirjo berpendapat, Kunto menulis dengan tidak partisan,

tidak mencampuradukan perasaan serta pendapat pribadi. Kunto juga seorang

inteektual yang tak memiliki ambisi untuk menjadi penguasa, apalagi menjadi

kaya.3 Selain Sartono, Binhad Nurohmat juga mengungkapkan pendapatnya

mengenai Kuntowijoyo, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Realisme Udik

Kuntowijoyo”. Binhad mengatakan,

“Bersastra bagi Kuntowijoyo adalah upaya mengintimi urusan-urusan

atau persoalan-persoalan yang mungkin segera dilupakan banyak orang

dengan cara membangun cara pandang baru, dan dia menuliskannya penuh

daya sentuh sehingga mampu mengajak untuk semakin menukik ke

kedalaman pengertian untuk menemukan inti kenyataan dari dalam

batinnya.”4

Rizal Pangabean mengatakan Kuntowijoyo ialah orang berbakat yang

mengagumkan. Ia mahir menggunakan puisi, cerpen, dan novel untuk

mengungapkan dan menyampaikan pesannya. Selain itu ia juga dapat

menggunakan medium esei dan karangan ilmiah lainnya di bidang sejarah, politik,

dan pemikiran Islam.5 Arief Fauzi Marzuki dalam artikelnya di harian Kompas

mengatakan,

3 Syafii Maarif, “Meruntuhkan Mitologi ala Kuntowijoyo”, Suara Merdeka, 2 April 2006, h.

27. 4 Binhad Nurohmat, “Realisme Udik Kuntowijoyo (1943-2005)”, Kompas, 20 Maret 2005, h.

17. 5 Rizal Pangabean, “Kritik Sosial Kuntowijoyo”, Tempo, Februari 2005, h. 14.

Page 45: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

35

“Melihat produktivitas dan kedalaman karyanya, kita yakin

Kuntowijoyo mempunyai obsesi yang besar akan masa depan agama dan

bangsanya yang kini sedang tertatih keluar dari krisis. Tidak hanya krisis

ekonomi, tetapi juga krisis pengetahuan yang rasional obyektif.”6

Paparan riwayat Kuntowijoyo memberi alasan yang sekiranya cukup,

kenapa seorang Kuntowijoyo dikatakan bukan hanya sebagai seorang sastrawan

saja, melainkan juga seorang akademisi. Karya-karya baik fiksi maupun ilmiah

diciptakannya secara produktif, dan terbilang cukup berimbang produktivitasnya.

Baik sebagai sastrawan maupun sebagai akademisi itu semua ditekuni oleh

Kuntowijoyo secara berimbang, dan mempunyai porsi yang sama kuat bagi

dirinya. Hingga menjelang akhir hayatnya pun Kuntowijoyo masih terus menulis

dan menghasilkan karya.

B. Pemikiran Pengarang

Sebuah karya sastra tentunya mengandung buah pemikiran pengarangnya

(sastrawan). Pemikiran-pemikiran tersebut dapat terlihat secara tersurat lewat

pernyataan-pernyatan yang ada dalam karya tersebut, seperti contoh kalau dalam

novel dari perkataan-perkataan para tokoh-tokohnya. Pemikiran seorang

pengarang juga kadang tidak selalu tersurat, kadang tersirat seperti kalau dalam

novel lewat peristiwa-peristiwa yang muncul di dalamnya, atau juga lewat

perbuatan para tokoh-tokohnya. Seorang pengarang tentunya memilki pemikiran-

pemikiran yang diperolehnya dari suatu proses endapan pengalaman hidupnya.

Pemikiran-pemikiran tersebut dapat kita ketahui lewat karya-karyanya, atau juga

pengarang tersebut secara tegas menyatakan pemikiran-pemikirannya. Contoh

pengarang yang secara tegas menyatakan pemikiran-pemikirannya seperti Sutardji

Calzoum Bachri dengan Kredo Puisinya (membebaskan kata dari beban makna),

atau juga Seno Gumira Adjidarma dengan sebuah esai Ketika Jurnalisme

Dibungkam Sastra Berbicara (jurnalisme sastrawi), dan masih banyak pengarang

yang lainnya.

6 Arif Fauzi Marzuki, “Membangun Semesta Budaya Profetik”, Kompas, 21 September 2003,

h. 18.

Page 46: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

36

Tidak terkecuali bagi seorang Kuntowijoyo. Lewat sastra jua inilah, Kunto

menyampaikan gagasan-gagasan atau pemikirannya. Kuntowijoyo yang dikenal

juga sebagai akademisi dan intelektual banyak menyampaikan gagasan-

gagasannya selain lewat bentuk karya sastra, juga lewat esai-esainya. Sebuah

harian berita yang berasal dari Yogyakarta mengatakan,

“Karya sastra Kuntowijoyo selalu mengandung pemikiran yang

mendasar tentang keberadaan manusia di tengah sejarah, di tengah nilai-

nilai imanen transendental. Ini merupakan refleksinya atas pemahaman

terhadap sejarah dan kebudayaan serta penghayatannya yang kuat terhadap

agama islam.”7

Kuntowijoyo merumuskan apa yang dinamakannya sebagai sastra

profetik. Gagasannya terhadap sastra profetik ditegaskannya lewat sebuah tulisan,

atau yang biasa Kuntowijoyo sebut sebagai maklumat sastra profetik. Gagasan

sastra profetik dari Kuntowijoyo sendiri telah menambah khazanah sastra

Indonesia. Gagasan sastra profetik itu berangkat dari kegundahan Kuntowijoyo.

Pada temu sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo

menandaskan bahwa sastra Indonesia memerlukan jenis sastra transendental,

yakni sastra yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang

serba birokratis, industrialis, pasar, dan instrumental. Sastra transendental

menghasratkan agar manusia tidak menjadi mahluk satu dimensi, melainkan

mahluk lengkap baik jasmani maupun rohani, berakar di bumi sekaligus

menjangkau langit. Dengan kata lain, tugas manusia (sastrawan) adalah

menyatukan/ mendialektiskan dikotomi: hubungan manusia dengan manusia

(habluminaanaas) dan hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminaallah).8

Sitor Situmorang juga berpendapat terkait makalah yang disajikan Kuntowijoyo

pada acara Temu Sastra di TIM saat itu. Sitor mengatakan,

“Lewat makalahnya berjudul “Saya kira kita memerlukan juga sebuah

sastra transendental”, dalam Temu Sastra 1982, di TIM Jakarta, tanpa

7 Anonim, “Kunto, “Resi” Kontemporer”, Berita Nasional, 25 Januari 1991, h. 6.

8 Wan anwar, Op. Cit., h. 11

Page 47: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

37

mengatasnamakan Tradisi, ingin mengingatkan kita bersama pada dimensi

transendental dari budaya Indonesia.”9

Gagasan sastra transendental yang Kuntowijoyo kemukakan pada temu sastra

tersebutlah yang di kemudian hari diesbut sebagai sastra profetik. Gagasan sastra

profetik yang dikemukakan Kuntowijoyo memliki apa yang dinamakan sebagai

kaidah, etika, dan struktur.

Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra profetik mempunyai kaidah-kaidah

yang memberi dasar kegiatannya, sebab tidak saja menyerap, mengekspresikan,

tapi juga memberi arah realitas. Sastra profetik disebut Kuntowijoyo sebagai

sastra dialektik, artinya sastra yang berhadapan dengan realitas, melakukan

penilaian dan kritik sosial secara beradab. Oleh karena itu menurutnya sastra

profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Kaidah dalam

sastra profetik menurutnya pertama, yakni epistemologi struktualisme

transendental yang artinya sastra profetik merujuk pada pemahaman dan

penafsiran Kitab-kitab Suci atas realitas, kaidah kedua dari sastra profetik yakni

menyatakan sastra sebagai ibadah, dan kaidah ketiga ketiga sastra profetik,

menghendaki sastra memilki keterkaitan antar kesadaran.

Pada sastra profetik, menurut Kuntowijoyo juga dikehendaki apa yang

dinamakan sebagai etika profetik. Etika itu disebut profetik karena ingin meniru

perbuatan Nabi, Sang Phropet. Kuntowijoyo menyatakan etika tersebut

ditemukannya dalam Alqur’an, 3:110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan

untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada

kemunkaran, dan beriman kepada Allah”. Dari ayat tersebut Kunto pun

merumuskan apa yang dinamakannya sebagai etika profetik yakni berisi tiga hal,

yaitu humanisasi (amar ma’ruf: mengajak kepada kebaikan), liberasi (nahi

munkar: mencegah kemunkaran), dan transendensi (tu’minima billah: beriman

kepada Tuhan).10

Keinginan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo sebenarnya

9 Sitor Situmorang, “Himbauan Seni Transendental Kuntowijoyo”, Berita Buana, 21 Desember

1982. 10

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur, (Yogyakarta: Multi

Presindo, 2013), h. 16-17.

Page 48: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

38

hanya sebatas etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. Kuntowijoyo

melalui maklumatnya menginginkan supaya sastra Indonesia lebih cendekia

dalam ekspresinya, sehingga sastra mendapat pengakuan sejajar dengan ilmu dan

teknologi. Sekarang ini menurutnya, sastra seolah menjadi beban masyarakat

tanpa sumbangan apa-apa. Sastra diakui adanya, diterbitkan buku-bukunya, dan

disanjung dengan hadiah-hadiah, tapi tetap dianggap sebagai mahluk aneh. Sastra

hanya dibaca sastrawan, krtikus sastra, dan mahasiswa sastra. Tidak menjadi

bacaan wajib anak-anak sekolah, dianggap tidak mendidik dan tidak

mencerdaskan.11

Kuntowijoyo menyatakan bahawa kandungan dalam sebuah karya sastra

perlu ditingkatkan. Kuntowijoyo menyatakan sebuah karya sastra harus tetap

deskriptif naratif, meskipun mengusung tema yang berdasarkan konsep analitis.

Kuntowijoyo menyebut bahwa untuk menjaga agar karya sastra tetap deskriptif

naratif ada dua cara, yakni menulis sastra dari dalam, dan menulis sastra dari

bawah. Menulis sastra dari dalam berarti peristiwa dipahami sebagaimana tokoh-

tokohnya memahami dunianya sendiri. Pengarang harus membiarkan tokoh-tokoh

imajinernya mereaksi peristiwa-peristiwa itu sendiri. Pengarang harus menjauh

dari tokoh-tokohnya, melakukan detachment. Kalau tokoh-tokoh imajiner itu

orang sederhana, pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga harus sederhana.

Selanjutnya menulis sastra dari bawah, Kuntowijoyo maksudkan artinya

pengarang tidak berangkat dari teori dan konsep yang merangkai karya sastra.

Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya dan koheren

dengan tema dan plotnya (penuturan yang runtut, jalan cerita yang masuk akal).

Dalam sebuah wawancara dengan Berita Buana (10 Februari 1987),

Kuntowijoyo mengatakan Serat Kalatida Ronggowarsito dan karya Mohammad

Iqbal adalah sastra profetik karena keduanya mengajak manusia untuk berakar di

langit, selain berakar di bumi. Dia menandaskan baik sastra transendental maupun

sastra profetik memilki dimensi dan aspek sosialnya.12

Ini menandakan bahwa

11

Ibid, h. 16. 12

Wan anwar, Op. Cit., h. 12.

Page 49: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

39

gagasan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo memang sudah ada sebelum

Kunto menamakan apa yang dinamakan sebagai sastra profetik. Kemudian juga,

sastra profetik tetap memilki dimensi dan aspek-aspek sosial dalam karya-

karyanya.

Gagasan dan pemikiran Kuntowijoyo akan sastra profetik di kemudian

hari juga diterapkannya dalam ilmu sosial, yang sekarang dikenal sebaga ilmu

sosial profetik. Ilmu sosial tersebut bersandar pada konsep etika profetik. Masih

banyak gagasan atau pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo di

bidang selain sastra. Gagasan-gagasannya yang lainnya tersebut tersebar di dalam

buku-bukunya maupun tulisan-tulisan esainya. Bukan maksud penulis

mengecilkan bidang lain yang ditekuni Kuntowijoyo sehingga tidak membahas

pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo di bidang lain. Hal tersebut karena

keterbatasan dalam penulisan karya ilmiah ini agar tidak melebar terlalu jauh.

Pemikiran sastra profetik inilah gagasan atau pemikiran Kuntowijoyo yang

mungkin punya pengaruh besar bagi dirinya di bidang sastra. Tak dapat dipungkiri

pula konsep atau gagasan sastra profetik ini juga merupakan sumbangsih besar

Kuntowijoyo bagi khasanah sastra di Indonesia. Lewat karya-karya sastranya

yang mengusung konsep sastra profetik membuat dirinya menjadi sastrawan yang

namanya dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan hebat lainnya. Sastra

profetik yang digagas Kuntowijoyo tidak dapat dipungkiri akan memberi

pengaruh bagi sastrawan atau pengarang-pengarang muda untuk melahirkaan

karya-karya yang berkonsepkan sastra profetik.

C. Sinopsis Novel Mantra Penjinak Ular

Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo ini bercerita tentang

kehidupan Abu Kasan Sapari yang menjadi saksi perubahan-perubahan pada

masyarakat di sekelilingnya. Abu Kasan Sapari merupakan tokoh utama dalam

novel ini. Novel ini berlatar belakang masyarakat Jawa, yang tentunya juga

meampilkan bagaimana polosnya kehidupan masyarakat berikut dunia batin

Page 50: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

40

masyarakat Jawa. Novel ini berlatar kehidupan masyarakat desa, di lereng

Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Abu Kasan Sapari lahir dalam keluarga Jawa, kemudian tumbuh dalam

suatu zaman yang terus bergerak, menjelang akhir abad ke-20. Abu Kasan Sapari

sejak kecil sudah pandai mendalang, dia mewarisi segala olah batin dari para

leluhurnya. Hal itu tidak aneh karena Abu Kasan Sapari tumbuh dalam budaya

Jawa yang amat erat dengan banyak mitos-mitosnya. Abu Kasan Sapari remaja

diasuh oleh kakek nenek dari ibunya. Selesai SMA abu kasan lepas dari

pengasuhan kakek neneknya. Abu kasan dipungut anak oleh Ki Lebdocarito.

Dalam asuhan Ki Lebdocarito, Abu Kasan Sapari memperdalam pengetahuan dan

kemampuannya dalam mendalang. Hingga ketika dewasa dia menjadi pegawai

negeri, di tempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki gunung Lawu.

Ketika menjadi pegawai negeri, Abu Kasan Sapari belajar banyak tentang

birokrasi pemerintahan saat itu. Hingga ia pun sudah menjadi pegawai

pemerintahan yang bisa dibilang mumpuni. Ketika menjadi pegawai negeri pun,

Abu Kasan Sapari tidak meninggalkan kebiasaaanya mendalang. Abu Kasan

Sapari tetap mendalang dan juga aktif dalam perkumpulan dalang. Pada suatu

ketika entah dari mana asalanya Abu Kasan Sapari didatangi oleh seorang tua

renta yang memberikannya mantra atau ilmu penjinak ular. Seusai mendapat

mantra tersebut Abu Kasan Sapari dapat berinteraksi dengan ular, suatu kelebihan

yang memebawanya makin mencitai alam. Kecintaannya terhadap alam dan

penghuninya termasuk binatang, dan lebih khusus lagi ular membawanya aktif

dalam organisasi-organisasi pecinta alam dan satwa.

Kehidupan menjadi pegawai pemerintah dan juga sebagai dalang pada

zaman orde baru kadang tak sesuai dengan apa yang semestinya. Sudah tidak

dapat dipungkiri semua orang mengalami, bersentuhan, bertubrukan, atau

sedikitnya menjadi saksi bagaimana mesin politik orde baru berkerja. Hal itu

semua dirasakan oleh Abu Kasan Sapari. Perbenturan terhadap mesin politik,

inilah, yang ditampilkan Kuntowijoyo dalam novel ini. Bagaimana permasalahan

Page 51: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

41

Abu Kasan Sapari dan para tokoh lain yang khas atas dunia. Perbenturan-

perbenturan terhadap mesin politik yang ada dalam novel ini membawa Abu

Kasan Sapari sampai dicap sebagai “dalang politik”, karena kegiatan dalangnya

dianggap tidak sejalan dengan program atau cara kerja mesin politik, alhasil Abu

Kasan Sapari dipindahtugaskan ke daerah lain, sampai pernah dipenjara.

Kuntowijoyo ingin memperilihatkan bagaimana kekuasaan orde baru lewat mesin

politiknya berkerja, bahkan sampai ke desa-desa. Menciptakan apa yang namanya

melanggengkan kekuasaan. Terlihat jelas bagaiman sikapa kuntowijoyo terhadap

mesin politik orba lewat Abu Kasan Sapari.

Pertemuannya dengan Lastri, kemudian kecintaanya terhadap Lastri

sedikit banyak mulai menjauhkan Abu Kasan Sapari dari ular. Hal tersebut

diperparah dengan lingkungan sekitar Abu Kasan Sapari tinggal yang tahu abu

memelihara ular di rumahnya, dan mereka merasa terganggu. Pada akhirnya abu

memutuskan untuk meninggalkan mantra penjinak ular dan semua hal tentang

ular. Hal tersebut juga atas kesadaran bahwa mitos memang harus diputus jangan

diwariskan, karena dapat menyeret kepada yang namanya syirik. Ular peliharaan

Abu Kasan Sapari diserahkan kepada kebun binatang. Abu Kasan Sapari pun

akhirnya memutuskan untuk menjadi penerus eyang Ronggowarsito, menjadi

dalang: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.

Page 52: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

42

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo

Unsur intrinsik karya sastra atau yang biasa disebut sebagai unsur

pembangun karya sastra merupakan bagian interen ketika mengkaji sebuah karya

sastra. Baik itu karya sastra berupa puisi, prosa, maupun naskah drama. Untuk

itulah penjelasan terhadap unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra, haruslah ada

di setiap pengkajian sebuah karya sastra. Oleh karenanya, dalam karya ilmiah ini

akan dijelaskan juga unsur intrinsik dari karya sastra yang dikaji dalam karya

ilmiah ini, yakni novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Karya yang

dikaji dalam makalah ini bergenre prosa, dalam hal ini novel. Oleh karena itu,

unsur intrinsik yang akan dijelaskan yakni, tema dan amanat, sudut pandang, alur,

tokoh dan penokohan, gaya bahasa, dan latar.

a. Tema dan amanat

Tema merupakan unsur pembangun yang tidak mungkin ditiadakan dalam

sebuah karya sastra. Tema dapat dikatakan menjadi pangkal dari semua unsur

pembangun sebuah karya sastra. Kadang seorang pembaca tertarik untuk

membaca sebuah novel karena yang dilihat pertama, yakni tema yang dibawakan

dalam novel tersebut. Meskipun tema menjadi pangkal dari semua unsur

pembangun karya sastra, terkadang sebuah tema barulah dapat terlihat ketika

karya sastra tersebut selesai dibaca.

Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo menceritakan tentang

kehidupan seorang pegawai pemerintah yang juga seorang dalang bernama Abu

Kasan Sapari. Novel ini menceritakan perjalanan kehidupan Abu Kasan Sapari

ketika menjadi pegawai pemerintahan dan juga menjadi dalang. Secara garis besar

novel ini menceritakan masalah tentang individu yang terbelenggu sistem politik

Page 53: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

43

orde baru, lewat bentuk-bentuk objektivasi terhadap seseorang yang dilakukan

oleh mesin politik. Melalui novel ini Kuntowijoyo hendak mengangkat tema

pembebasan dan perlawanan. Kuntowijoyo mengangkat semangat pembebasan

dan perlawanan dari segala hal, baik itu yang sifatnya penindasan terhadap seni,

keterbelengguan manusia, serta pembatasan hak-hak sebagai manusia. Semangat

perlawanan dan pembebasan dilakukan oleh Abu Kasan Sapari lewat seni, yakni

dengan keahliannya menjadi dalang. Abu Kasan Sapari dengan keahliannya

menjadi dalang mencoba melakukan perlawanan terhadap sistem politik kala itu

yang licik berusaha mempertahankan kekuasaannya, meski ia pun harus susah

karena perlawanan tersebut.

“Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk

keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS (Abu Kasan Sapari)

berpendapat bahwa seni itu seperti air. ... Seni yang hanya menjadi antek

politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni”1

Kuntowijoyo juga melukiskan semangat pembebasan terhadap hal-hal

yang berbau mitos, yang dalam sastra profetik dikatakan sebagai dehumanisasi

tradisional.

“Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke

dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya

sendiri! Ia bermaksud memutus mata rantai itu, tidak mengajarkan mantra

pada siapapun.”2

Lewat perjalanan Abu Kasan Sapari dan mantranya itulah Kuntowijoyo

hendak memperlihatkan bagaimana manusia harus bebas dari keterbelengguan

yang berbau mitos, mantra, klenik, dan sebagainya. Manusia yang harus menjadi

manusia yang menggunakan ilmunya dan kepercayaan kepada Tuhan bukan

bersandar pada hal yang sifatnya mitos, mantra, klenik tersebut.

Melalui tema tersebut Kuntowijoyo menghadirkan amanat hendak

mengajak pembaca untuk menyadari kodrat sebagai manusia yang utuh. Manusia

yang bebas dari keterbelengguan, yang membelenggu kodratnya sebagai manusia.

1 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: PT Kompas Gramedia, 2013), Cet. II, h. 170-

171. 2 Ibid, h. 270.

Page 54: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

44

Manusia yang bersandar pada ilmu dan ketuhanannya. Kuntowijoyo

menghadirkan tema perlawanan dan pembebasan dalam novel dapat dikatakan

tidak penuh dengan kekerasan fisik, atau yang harus berdarah-darah. Akan tetapi,

Kuntowijoyo menampilkan sisi lain pembebasan dan perlawanan yakni dengan

menggunakan seni, dalam hal ini Abu Kasan Sapari dengan seni dalangnya.

b. Tokoh dan Penokohan

Peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah cerita tentunya dimainkan atau

dihasilkan dari perbuatan atau tindak tanduk tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.

Setiap tokoh dalam sebuah cerita membawa peran, watak dan karakternya masing-

masing. Dalam karya sastra bergenre prosa, tokoh menjadi unsur yang amat

sangat penting. Ketika penokohan dalam sebuah cerita digambarkan dengan jelas

(tidak kabur), itu akan memudahkan pembaca untuk memahami isi cerita. Hal ini

dikarenakan tokoh-tokoh itulah yang menciptakan peristiwa-peristiwa dalam

sebuah cerita.

Novel Mantra Pejinak Ular menghadirkan tokoh-tokoh dengan penokohan

yang berbeda-beda. Novel Mantra Pejinak Ular ini banyak menghadirkan tokoh-

tokoh di dalamnya. Akan tetapi, dari sekian banyak tokoh di dalam novel ini. Ada

beberapa tokoh yang dianggap penting, dan merupakan tokoh yang menguasai

keseluruhan cerita. Tokoh-tokoh tersebut bila kehadirannya dihilangkan akan

berdampak pada rusaknya jalan cerita, dan rusaknya konflik utama yang dibangun

sedari awal. Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai tokoh utama dalam novel, yakni

Abu Kasan Sapari, Mesin Politik, dan Lastri. Tokoh-tokoh lain pun bukan serta

merta tidak dianggap penting. Kehadiran tokoh lainnya juga menambah hidup

cerita dalam novel ini. Ketiga tokoh di atas dibahas, dikarenakan memiliki porsi,

dan intesitas cukup banyak dalam novel ini. Selain itu, tokoh-tokoh tersebut

merupakan tokoh penggerak cerita dalam novel ini.

1. Abu Kasan Sapari

Abu Kasan Sapari merupakan tokoh utama dalam novel Mantra Pejinak

Ular. Abu Kasan Sapari diceritakan dalam novel ini menjabat sebagai

Page 55: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

45

pegawai pemerintahan tingkat kecamatan. Selain sebagai pegawai

pemerintahan, tokoh Abu Kasan Sapari juga merangkap sebagai dalang

wayang kulit, sebagai dalang ia dikenal dengan sebutan Ki Abu Kasan Sapari.

Kemampuan mendalang yang didapatkannya semasa ia tinggal di rumah Ki

Lebdocarito, membuatnya mantap menjalani profesi sebagai dalang. Abu pun

memilih dalang sebagai profesi bukan tanpa maksud, melainkan ingin

menjadikan kesenian wayang sebagai tontonan sekaligus juga tuntunan bagi

masyarakat. Hal tersebut tampak dalam dari kutipan di bawah ini.

“Ia bisa mengatakan pada satu orang, tapi orang lainnya akan tetap

memanggilnya dengan „Ki‟. Jadi dalang itu tidak mudah. Harus arif,

banyak pengalaman, atau banyak membaca. Wayang itu sekaligus

tuntunan dan tontonan.”3

Abu Kasan Sapari lahir dari keluarga yang memegang tradisi Jawa dan

Islam yang cukup kental. Abu kecil diasuh oleh kakek dari pihak Ibu.

Pengasuhan Abu oleh keluarga dari Ibu Abu dikarenakan, itu merupakan salah

satu syarat ketika Ayah Abu hendak menikahi Ibu Abu.

“Mereka tidak bisa mencegah, sebab itu salah satu syarat perkawinan.

Kakek-nenek dari Ibu sudah berkorban sekian lama dengan melepaskan

anak perempuan satu-satunya.”4

Beranjak remaja Abu Kasan Sapari kemudian diasuh oleh Ki Lebdocarito.

Ketika diasuh oleh Ki Lebdocarito inilah Abu Kasan Sapari belajar seni

pedalangan hingga akhirnya mampu menguasainya. Lulus sekolah tingkat

SMA, Abu Kasan Sapari memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai

pemerintahan di sebuah kecamatan bernama Kemuning.

Sebagai seorang pegawai pemerintahan Abu Kasan Sapari banyak

mendapatkan ilmu kepemimpinan dari Camat Kemuning. Di sana Abu belajar

untuk melayani masyarakat. Abu juga paham tentang masyarakat di

kecamatan tersebut. Program-program pemerintah yang diketuai oleh Abu

3 Ibid, h. 32.

4 Ibid, h. 6.

Page 56: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

46

berjalan dengan baik tidak aneh jika dia menjadi orang kepercayaan Camat

Kemuning.

Tokoh Abu Kasan Sapari di dalam cerita ini juga digambarkan

memiliki mantra pejinak ular. Mantra itu didapatnya ketika Abu datang ke

pasar malam. Di sana ia bertemu dengan Kakek Tua yang mengajarkan mantra

tersebut. Abu yang merasa dirinya terpilih bersedia menerima mantra tersebut.

“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada

orang yang tepat.”

“Apa itu?”

“Mantra pejinak ular.”

Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan

sebuah kalimat.

“Paham?”

Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu.

“Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra tidak boleh salah ucap.

Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.”

. . ..

Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan tangan,

membuatnya gembira. Ketika ia meloncat turun dan mengucapkan

terima kasih pada sopir kegembiraan yang tak ada taranya masih

dibawanya.”5

Inilah salah satu peristiwa penting dalam novel ini. Abu menggunakan

mantra ini dengan bijaksana. Mantra inilah yang menjadikan Abu Kasan

Sapari dikenal sebagai dukun ular, karena sering membantu warga dalam

mengusir ular. Mantra dan kecintaan abu kepada ular ini juga yang membuat

Abu tergerak untuk melaksanakan program-program pelesetarian lingkungan,

sebagai contoh hidup berdamai dengan ular. Mantra dan ular ini juga yang

membawa Abu Kasan Sapari berkonflik dengan warga sekitar rumahnya saat

tinggal di Tegalpandan. Warga tersebut tidak senang dengan keberadaan ular

di dalam rumah Abu Kasan Sapari.

Abu Kasan Sapari dalam novel ini juga diceritakan terlibat konflik

dengan Mesin Politik. Mesin Politik merupakan orang-orang yang bekerja

atau aktif di partai Randu. Konflik Abu Kasan Sapari dengan Mesin Politik

5 Ibid, h. 20.

Page 57: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

47

merupakan konflik utama di dalam novel ini. Di mana Abu yang mencoba

melawan Mesin Politik yang beritndak semena-mena dan semaunya

memanfaatkan kekuasaan. Mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilu di

tahun 1997. Abu Kasan Sapari mencoba melawan Mesin Politik lewat seni

wayangnya. Akan tetapi, Abu Kasan tidak berdaya melawan Mesin Politik

yang begitu kuat, karena orang-orang Mesin Politik berada di tingkat

pemerintahan. Upaya Abu melawan akhirnya membawa Abu Kasan Sapari

dimutasi, bahkan sempat ditahan di polsek Karangmojo. Abu Kasan Sapari

dianggap sebagai batu sandungan bagi Mesin Politik. Hal ini dikarenakan Abu

menolak ajakan Mesin Politik untuk bergabung bersama mereka. Selain itu,

Abu Kasan Sapari juga menolak terlibatnya dalang dalam politik praktis.

Pernyataan sikap penolakan tersebut dimuat oleh teman wartawan Abu.

“Kalau begitu pedalangan harus lepas dari politik?

Dalang itu seperti halnya ulama, sastrawan, dan seniman, dan

ilmuwan tidak boleh menggunakan profesinya untuk kepentingan

suatu parpol. Dalang itu bagian dari masyarakatnya dalam arti terikat

unggah-ungguh, hukum, dan perundang-undangan persisi seperti

orang lain, tapi tidak boleh berpolitik melalui parpol. Politik dalam

arti pencerahan politik, pendidikan politik, dan kesadaran sebagai

warga negara itu sehat untuk kesenian, sebab itulah salah satu fungsi

dari seorang dalang. Fungsi lain ialah pencerahan moral, etika,

kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, kesadaran bermasyrakat,

dan sebagainya.”6

Hingga akhirnya, ketika pemilu perolehan suara partai Randu turun

tajam, dikarenakan gagalnya Mesin Politik menggunakan kesenian tradisional

seperti wayang, dan Mesin Politik menganggap Abu sebagai biang keladinya.

Abu Kasan Sapari dalam novel ini diceritakan memilki ketertarikan

dengan tokoh Lastri. Abu Kasan Sapari ketika dimutasi pindah ke kecamatan

Tegalpandan. Di sana ia tinggal di sebuah kos-kosan milik H. Syamsudin.

Lastri sendiri merupakan tetangga kos-kosannya Abu. Abu sering meminta

bantuan kepada Lastri. Abu juga diceritakan sering menggoda Lastri ketika

6 Ibid, h. 164-165.

Page 58: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

48

sedang bercengkrama. Bahkan Abu Kasan Sapari menyatakan ketertarikannya

kepada Lastri lewat sajak-sajak romantis. Sajak-sajak tersebut ada dalam BAB

12 novel ini. Di BAB tersebut berisi sajak-sajak cinta Abu Kasan Sapari yang

ditunjukan kepada Lastri. Salah satu contoh penggalan sajak Abu Kasan

Sapari kepada Lastri,

“ Wajah Dunia yang Pertama

Dik Lastri sedang memanggil

Aku termangu sendiri di kamar

Wajah dunia yang pertama

Putih-putih salju

Mengalir dari ayat-ayat

Damailah hingar bingar hari ini

Lumat dalam alun bunyi

Maka adam dan Hawa pun putih kembali

Maka anak-anak Adam dan Hawa

Dentang senapan terlindih sepi

Pekik pertempuran terhenti

Para serdadu bersama terbantai

Terserat keramat ayat-ayat

Tidak terdengar lagi hingar bingar

Hari ini

. . ..”7

Ketertarikannya kepada Lastri ini juga yang membawanya bersedia melepas

ular kesayangannya, begitu juga mantranya. Melepas ular kesayangannya

merupakan bukti keseriusan Abu Kasan Sapari kepada Lastri.

Abu Kasan Sapari dalam perjalan cerita novel ini, setidaknya mengalami

beberapa perubahan sikap, di antaranya yakni perubahan sikap Abu Kasan

Sapari dalam memandang seni dan politik. Serta sikap Abu Kasan Sapari

terhadap mantra dan ular. Abu menjadikan seni sebagai media perlawan

hegemoni Mesin Politik. Akan tetapi, lambat laun Abu Kasan Sapari

menyadari bahwa seni haruslah bersih dari berbagai kepentingan, baik itu

kepentingan politik, maupun pribadi.

7 Ibid, h. 192-193.

Page 59: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

49

Perubahan selanjutnya sikap Abu Kasan Sapari terhadap mantra dan ular.

Awalnya Abu sangat mengandalkan mantra tersebut dalam berinteraksi

dengan ular, namun ketika Abu mengetahui bahwa ilmu, dan keahlian dapat

membawanya mampu berinteraksi dengan ular, akhirnya Abu Kasan Sapari

mulai berpikir untuk tidak menggunakannya. Hingga pada akhir cerita Abu

melepas mantra tersebut.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan penggambaran tokoh Abu

Kasan Sapari memiliki watak suka menolong masyarakat yang ditindas

semena-mena oleh penguasa, memegang tradisi jawa, bijak, dan profesional

terhadap profesinya. Hal ini dapat terlihat ketika Abu mengatakan bahwa

dalang harus lepas dari politik praktis. Abu Kasan Sapari dalam novel ini

posisinya merupakan tokoh utama, yang menggerakan cerita. Dapat dikatakan

juga novel ini berupa catatarn hidup dari si tokoh utama ini, yakni Abu Kasan

Sapari.

2. Mesin Politik

Mesin Politik merupakan isitilah yang digunakan pengarang dalam novel

ini untuk orang-orang dari partai Randu. Mesin Politik di dalam novel ini

merupakan cerminan kelompok penguasa di dalam novel ini. Kekuasaan

Mesin Politik berada hampir di semua lini, termasuk di dalam pemerintahan.

Mesin Politik bekerja secara teroganisir dalam mempertahankan

kekuasaannya. Tokoh Mesin Politik inilah yang membawa konflik inti di

dalam novel ini.

Pada pemilihan kepala desa di kecamatan Kemuning, Mesin Politik

mendukung beberapa calon yang maju di pemilihan tersebut. Tentu Mesin

Politik tidak hanya sebatas mendukung, mereka juga melakukan intrik agar

pengumuman bakal calon kepala desa dipercepat. Sehingga, bakal calon yang

berasal dari luar Mesin Politik, akan gugur. Salah satu cerminan kekuasaan

mutlak dari Mesin Politik, yakni ketika Abu Kasan Sapari dimutasikan dari

Kemuning ke Tegapandan. Abu yang melawan hegemoni dengan mendukung

Page 60: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

50

calon kepala desa dengan menyelanggarakan wayang, membuat calon-calon

yang didukung Mesin Politik beberapa mengalami kekalahan.

“Mesin Politik yang ikut dalam rombongan Bupati berbisik pada

Camat:

“Kami tahu, siapa aktor untelektual yang menyebabkan kami gagal.”

Pada waktu itu sedang terkenal istilah‟aktor intelektual‟, pemicu segala

macam keonaran. Aktor intelektual yang dimaksud mungkin dirinya

sendiri, mungkin orang lain.

Camat mengatakan, “Bukan gagal. Hanya tidak seratus persen.” Ia

sudah merasa ada sesuatu yang akan terjadi.”8

Hasilnya pun target yang dicapai Mesin Politik dalam pilkades di

Kemuning tidak memenuhi target. Abu dianggap sebagai batu sandungan, hal

ini membuat Mesin Politik akhirnya dengan kuasanya memberi teguran

terhadap Abu Kasan Sapari dengan memutasikannya ke Tegalpandan.

“Surat itu berisi tentang pemindahan Abu dari kecamatan itu.

“Maafkan, semua kesalahan saya, Pak.”

Tidak ada kesalahan, tidak ada yang harus dimaafkan. Kita semua

meghadapi soal yang sama. Jangan bilang-bilang, kita sama-sama

menghadapi keangkuhan kekuasaan.”9

Tidak sampai di situ saja konflik Mesin Politik dengan Abu Kasan Sapari.

Di Tegalpandan konflik Mesin Politik dan Abu mencapai puncak. Mesin

Politik gagal membujuk Abu untuk bergabung, dan Mesin Politik gagal

mengajak para dalang untuk terlibat dalam kampanye pemilu mereka. Abu

dengan Paguyuban Dalang Independennya yang dianggap sebagai biang

kerok, akhirnya di tahan, dengan tuduhan yang bukan-bukan. Mesin Politik

juga yang merekayasa penahanan Abu Kasan Sapari dan memaksa Kepala

Polisi Karangmojo untuk memproses Abu secepatnya.

“Kegagalan mencapai target itulah yang mendorong Bapilu Mesin

Poltik mengadakan evaluasi. Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan itu

disebabkan karena mereka tidak bisa memakai sarana tradisional, tidak

8 Ibid, h. 111.

9 Ibid, h. 112.

Page 61: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

51

menyelenggarakan wayangan, wayang orang, dan ketoprak, krena para

seniman tidak mau terlibat dalam politik praktis. “Aku tahu biang

keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya

ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan

untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.”

Untungnya Abu bisa dibebaskan dikarenakan pihak militer bersikap netral

dalam pemilu tahun 1997, dan menganggap penahanan Abu Kasan Sapari

mengada-ada, dan tidak layak untuk diproses.

Secara keseluruhan penokohan Mesin Politik dalam novel ini digambarkan

dengan manusia-manusia yang berwatak selalu ingin menang, dan licik. Hal

ini dapat terlihat ketika Abu Kasan Sapari dibujuk untuk dijadikan caleg agar

Abu mau menggunakan seni wayangnya untuk berkampanye, sekaligus

membungkam Abu yang selalu mengatakan seni harus lepas dari politik.

“Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak

Abu sebagai caleg jadi,” kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos

ketimbang sembilan calon lain.”

Abu bingung. Ia tak pernah menghubingi atau dihubungi siapa-siapa.

Kejadian itu sangat tiba-tiba.

. . ..

Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. tentu saja itu di luar harapan

para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya,

penolakan itu aneh bagi mereka.”10

Selanjutnya sikap Mesin Politik dalam novel ini digambarkan memiliki sikap

yang kasar, terhadap orang yang bersebrangan atau tidak menuruti

keninginannya. Hal ini dapat terlihat ketika mereka mengancam Abu Kasan

Sapari yang menolak dijadikan caleg oleh Masin Politik.

“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?”

“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan

saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”

“Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin berbuat

baik. Tapi, ya sudah. Kami beri waktu untuk berpikir satu kali dua puluh

10

Ibid, h. 162.

Page 62: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

52

empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri akibatnya. Ingat, kami juga bisa

main kasar.”11

Pada novel ini, dapat disimpulkan tokoh bernama Mesin Politik

merupakan representasi bagaimana seorang penguasa hendak

mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Rezim kala itu berkuasa

dengan partai Randu, secara terorganisasi mempertahankan kekuasaan dengan

segala cara melalui orang-orang yang tergabung dalam Mesin Politik. Mesin

Politik secara garis besar tidak mengalami perubahan sikap yang berarti dalam

novel ini. Wataknya yang licik dalam novel ini, terlihat dari sangat bersahabat

dan baiknya mereka terhadap orang yang sejalan dengannya, namun juga

dapat melakukan hal sebaliknya bagi orang yang menghalanginya. Sikapnya

dalam novel ini ditampilkan kasar terhadap orang-orang yang tidak sejalan

atau bersebrangan dengannya. Sikapnya yang selalu ingin menang, watak, dan

perilakunya tersebut mungkin dapat dicap oleh sebagian pembaca sebagai

tokoh antagonis.

3. Lastri

Lastri adalah tokoh perempuan teman dekat Abu Kasan Sapari. Tokoh

Lastri ibarat penyegar suasana. Di tengah konflik Abu Kasan Sapari dengan

Mesin Politik, Lastri hadir sebagai pembawa kesejukan yang kadang dapat

menenangkan abu Kasan Sapari, dan juga memberi masukan kepada Abu

Kasan Sapari dalam menghadapi masalah. Kisahnya dengan Abu Kasan

Sapari membawa hiburan tersendiri untuk pembaca. Di mana keduanya saling

memiliki ketertarikan satu sama lain.

Lastri merupakan tetangga tempat di mana Abu Kasan Sapari tinggal

ketika di Tegalpandan. Lastri seorang janda yang hidup mandiri seorang diri.

Dia mempunyai usaha menjahit dengan beberapa karyawannya di pasar.

Seorang Lastri sudah cukup terkenal di Tegalpandan. Selain kecantikannya

11

Ibid, h. 163.

Page 63: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

53

yang membuat banyak pria tertarik, kepopuleran Lastri juga dikarenakan

Lastri merupakan mantan penyanyi di sebuah klub keroncong.

“Seorang anak mengeluarkan sebuah tabloid dari tasnya.

“Mbak Lastri kan bintang.”

“Masak Iya?”

“Lihat ini!”

Dalam tabloid itu dimuat gambar Lastri sedang tersenyum. Cantik,

manis, muda.”12

“Yang membuat Lastri terkejut ialah ketika MC memintanya untuk

menyanyi. MC itu tahu betul bahwa Lastri penyanyi waktu jadi MC pada

cembengan Pabrik Gula Tasikmadu, di mana Lastri menyanyi untuk klub

keroncongnya. “Ayo maju, Yu. Jangan membuat malu bangsa, “kata Abu.

Lastri maju dan menyanyi. “Lagi! Lagi!” Lastri menyanyi sekali lagi.

“Dalam perjalanan pulang Abu bilang:

“Suaramu semakin koong lho Yu.”

“Kok koong, apa saya perkutut?”

“Ya, sudah. Kalau begitu kayak Anik Sunyahni?”13

Lastri dalam novel ini banyak membantu Abu Kasan Sapari, terlebih

ketika Abu Kasan Sapari berurusan dengan Mesin Politik, dan juga warga

yang hendak mengusir Abu dari rumahnya, dikarenakan memelihara ular.

Lastri juga menjadi tempat Abu Kasan Sapari bercerita tentang masalah-

masalah yang dihadapinya. Tak jarang, Lastri memberi saran dan solusi

terhadap masalah Abu Kasan Sapari. Contohnya ketika Abu Kasan Sapari

dihadapkan untuk melakukan upacara slametan untuk pohon Beringin yang

tumbang. Abu yang merasa itu sebuah kemunduran, mau tidak mau harus

melakukannya karena perintah dari para petinggi di kecamatan tersebut.

akhirnya dengan sara Lastri acara tersebut agar diganti menjadi ruwat bumi,

dan tidak ada sesaji atau laku-lakuan di dalamnya.

“Akan dicobanya minta pendapat Lastri.

“Mudah saja. Jangan sebut itu selametan,” kata Lastri.

“Lalu?”

“Ruwat bumi, atau apa begitu.”

12

Ibid, 247. 13

Ibid, 232.

Page 64: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

54

“Wah kok cerdas, Yu.”

“Itu pengalaman Kakek saya.”

“Kakeknya juga suka mendalang, to?”

“Iaya amatiran saja. Misalnya, tujuhbelasan. Tapi sudah almarhum.”

“O, begitu. Lalu?”

“Undang seorang ustadz untuk berceramah sebelum wayang dimulai.”

“Lalu?”

Jangan pakai sesaji. Kata orang, itu malah mengundang setan.”14

Lastri dihadirkan oleh Kuntowijoyo dalam novel ini sebagai wanita yang

mandiri. Sebagai janda, yang mantan suaminya telah wafat, Lastri tidaklah

terburu-buru ketika hendak kembali memilih pasangan hidup. Dalam novel ini

Lastri disukai oleh banyak pria, dan banyak yang meminangnya untuk

dijadikan istri. Lastri yang merasa pria-pria tersebut tidak sesuai dengan

keinginannya, menolak keinginan pria-pria tersebut dengan sopan. Akan

tetapi, meski Lastri menolaknya dengan sopan, tidak jarang Lastri

mendapatkan perkataan yang tidak mengenakkan dari para pria yang

ditolaknya. Hal-hal tersebut membuatnya emosional Lastri kadang tidak stabil.

Seperti contoh saat dia menangis ketika mendapat perkataan yang tidak

mengenakkan dari Lurah Tegalpandan, hingga akhirnya jatuh sakit.

“Lastri tersinggung dikatakan „janda‟, lalu menyela, “Tapi, Pak. Maaf,

saya masih ingin sendiri.”

“Ya jangan begitu. Pikirlah yang panjang.”

Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat

sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia

membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng-kaleng ke

dipan.”15

Kuntowijoyo tetap saja menghadirkan Lastri sebagaimana wanita pada

umumnya. Meski mandiri sebagai seorang janda, Lastri tetap diceritakan

memilki keinginan untuk mempunyai pendamping hidup. Emosional khas

wanita yang berubah-ubah, tercermin dari perilaku Lastri ketika menghadapi

persoalan memilih pasangan hidup.

14

Ibid, 218. 15

Ibid, 223.

Page 65: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

55

Dapat disimpulkan kehadiran Lastri dalam novel ini menambah warna

tersendiri bagi cerita dalam novel ini. Kisahnya dengan Abu Kasan Sapari

layakanya hiburan di tengah tegangnya konflik Abu Kasan Sapari melawan

Mesin Politik. Penokohan Lastri pada novel ini digambarkan berparas cantik

dan muda, seorang janda yang mempunyai sikap mandiri. Wataknya juga

digambarkan sebagai orang yang suka menolong dan peduli terhadap

permasalahan seseorang. Selain itu dalam berbicara tutur dan katanya juga

santun.

Selain ketiga tokoh utama tadi terdapat pula tokoh-tokoh tambahan yang

peranannya mendukung jalannya cerita dalam novel ini. Secara umum tokoh-

tokoh tambahan tersebut tidak terlalu banyak terlibat terhadap konflik yang

diceritakan. Tokoh-tokoh tembahan tersebut, yakni Ayah dan Ibu Abu Kasan

Sapari. Kakek dan Nenek dari pihak Ibu Abu, Kakek dari pihak Ayah Abu. Ki

Lebdocarito dan Istrinya, Camat Lama Kemuning, Camat Baru Kemuning,

Wartawan, Haji Syamsudin, Kakek pemberi mantra, Eyang, Camat Lama

Tegalpandan, Camat Baru Tegalpandan, Bupati Karangmojo, dan Kepala

Polisi Karangmojo. Tokoh-tokoh tersebut mempunyai perannya masing-

masing dalam mendukung tokoh-tokoh utama dalam novel ini, dan juga

mendukung jalannya cerita.

c. Sudut pandang

Unsur intrisik selanjutnya yakni sudut pandang. Sudut pandang adalah

tempat atau titik dari mana seorang melihat objek deskripsinya. Sudut pandang

dalam narasi itu menyatakan bagaimana fungsi seorang pengisah (narator) dalam

sebuah narasi, apakah ia mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaiaan

kejadian atau sebagai pengamat terhadap objek dari seluruh aksi atau tindak

tanduk dalam narasi.16

Biasanya yang umum ditemukan oleh pembaca, sebuah

karya sastra hanya memilki satu sudut pandang saja. Seiring perkembangan sastra

itu sendiri sudut pandang dalam karya prosa khususnya, terkadang memiliki lebih

16

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Umum, 2010), h. 114.

Page 66: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

56

dari satu sudut pandang. Hal ini mungkin dikarenakan pengarang ingin

menghadirkan rentetatan peristiwa senatural mungkin, sehingga cerita yang

ditampilkan menjadi hidup.

Untuk mengetahui sudut pandang pengarang dalam sebuah cerita, haruslah

diketahui terlebih dahulu jenis-jenis sudut pandang yang ada, beserta ciri-cirinya.

Hal tersebut tidak usah dijelaskan panjang lebar karena telah dijelaskan pada bab

sebelumnya. Sudut pandang novel Mantra Penjinak Ular terlihat cukup menarik

karena Kuntowijoyo menampilkan dua teknik sudut pandang. Sudut pandang

yang digunakan tersebut yakni, sudut pandang persona ketiga, dengan teknik

“dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat..

Teknik sudut pandang “dia” maha tahu ini digunakan oleh pengarang

hampir di keseluruhan bab dalam novel ini. Dalam hal ini, pengarang mengetahui

berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motivasi yang

melatarbelakanginya. Seperti contoh dalam kutipan berikut dari novel Mantra

Penjinak Ular

“Tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa Abu menyesalkan perbuatannya

tidak ada yang tahu. Karena perbuatannya Camat Kemuning dipindahkan,

dan itu memberinya rasa bersalah yang besar. Bukan hanya dia, tapi orang

lain, ikut menanggung akibatnya. Namun, hobi lama Abu Kasan Sapari

untuk menyalahi mesin politik kambuh lagi . . .. Ia tidak tega melihat

seorang cakades diminta mundur oleh mesin politik.”17

Terlihat dari kutipan di atas, pengarang mengetahui betul bagaimana kemelut

batin tokoh Abu Kasan sapari. Pengarang juga mengetahui motivasi tindakan Abu

Kasan Sapari yang menyalahi mesin politik karena tidak tega melihat seorang

cekades diminta mundur oleh mesin politik.

“Kadang-kadang terpikir pada abu untuk pergi pada pak Camat atau

kepala pasar untuk menyatakan bahwa pemburuan dan jual beli ular

dinyatakan terlarang.” 18

17

Kuntowijoyo, op. Cit., h. 150. 18

Ibid, h. 55.

Page 67: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

57

Kutipan tersebut juga menggambarkan sudut pandang yang diambil pengarang,

dia mengetahui sampai ke pikiran tokoh-tokohnya dan menceritakan apa yang

diinginkan si tokohnya, dimana Abu Kasan Sapari menginginkan pemburuan dan

jual beli ular dinyatakan terlarang.

Terlihatlah jelas dengan ciri-ciri yang ada bahwa yang digunakan

merupakan sudut pandang orang ketiga (dia) maha tahu. Pengarang seolah

mengetahui hingga bagian terdalam para tokoh-tokohnya. Meskipun demikian,

pengarang dalam sudut pandang ini bukan sebagai tokoh dalam cerita juga,

melainkan hanya sebagai pencerita yang maha tahu, yang berada di luar cerita.

Seperti dipaparkan sebelumnya dalam hal sudut pandang novel ini,

pengarang selain menggunakan teknik “dia” mahatahu, juga menggunakan teknik

“dia” terbatas, atau sebagai pengamat (observer). Teknik sudut pandang “dia”

sebagai pengamat (observer) digunakan oleh pengarang pada bab ke-13 (subjudul

novel Mencari Akar). Dalam bab ini pengarang menjadikan tokoh Kakek dari Abu

Kasan Sapari sebagai pusat pencerita. Tokoh Kakek menceritakan tentang

perjalanan tokoh Eyang (leluhur) dari Abu Kasan Sapari.

“(Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat dia dibesarkan. Kakek

bercerita). Kami juga dengar kau disidangkan, tapi belum sempat

menjenguk. Alhamdulillah, kau sudah pulang, tak kurang suatu apa, malah

sepertinya tambah gemuk. Ditahan? Sudah betul, kau harus jadi berani.

Kita ini jelek-jelek keturunan orang berani. Mula-mula desa kita adalah

sebuah perdikan, artinya tidak perlu setor pada pajak raja. Eyang pendiri

desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keraton. Dia berhasil

menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari perampok waktu

raja menyamar melihat-lihat kerajaannya.”19

“Eyang jadi lurah pertama. Meski muda, ia dicintai rakyat, disegani

kawan, ditakuti lawan. Desa kita menjadi tempat hunian yang makmur.”20

Dalam bab ke-13 ini kakek dari Abu Kasan Sapari menceritakan peristiwa-

peristiwa yang dialami oleh Eyang dari Abu Kasan Sapari beserta pikiran serta

tindakannya. Ciri-ciri ini memperlihatkan bukti pengarang juga menggunakan

19

Ibid, h. 195. 20

Ibid, h. 196.

Page 68: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

58

teknik “dia” terbatas, pengamat (observer). Berbagai peristiwa dan tindakan yang

diceritakan disajikan lewat “pandangan” dan atau kesadaran seorang tokoh.21

Narator hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, atau

yang dapat dijangkau oleh indera.22

Pada bab ini kita mengetahu peristiwa-

peristiwa, tindakan, serta pikiran Eyangnya Abu Kasan Sapari lewat pandangan

atau kesadaran tokoh Kakek. Pengarang pada bab ini memposisikan dirinya tidak

lagi sebagai orang yang berada di luar cerita, tetapi sebagai pencerita lewat tokoh

dalam novel ini, yakni tokoh kakek.

Novel Mantra Pejinak ular dapat dikatakan menggunakan sudut pandang

persona ketiga. Sudut pandang persona ketiga dalam novel tersebut dihadirkan

dengan dua teknik, yakni dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” terbatas,

sebagai pengamat (observer). Penggunaan teknik “dia” mahatahu digunakan

pengarang hampir di semua Bab dalam novel ini, sedangkan penggunaan teknik

“dia” terbatas hanya digunakan pada Bab 13 novel ini. Adanya pergantian

fokalisasi tersebut mungkin saja dimaksudkan memperlengkap wawasan

pembaca, pembaca dapat memperoleh pandangan tentang masalah dari tokoh

yang ada di dalam cerita. Bisa juga pergantian fokalisasi yang digunakan

dilakukan untuk memperkuat unsur-unsur pembangun lain dalam novel ini,

semisal plot, tema, atau penokohan.

d. Plot

Plot merupakan unsur yang amat penting dalam sebuah karya sastra

khususnya prosa. Banyak pendapat umum karya prosa yang bagus baik itu cerpen

maupun novel dapat dilihat dari penyajian plot. Semakin logis rangkaian-

rangkaian peristiwa yang terjadi disajikan, maka semakin baik plot yang ada

dalam cerita tersebut. Kebanyakan plot yang dipilih yakni plot maju oleh para

pengarang. Namun, pada karya sastra modern khususnya prosa dan cerpen

modern, plot yang digunakan cenderung bervariasi tidak selalu plot maju, ada

21

Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 350. 22

Ibid, h. 351.

Page 69: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

59

yang menggunakan plot mundur (flashback) bahkan juga ada yang menggunakan

plot campuran.

Plot yang digunakan Kuntowijoyo dalam novel mantra penjinak ular dapat

dikatakan merupakan plot campuran. Plot novel ini tidak selalu berjalan dari suatu

peristiwa ke peristiwa selanjutnya (maju), namun terdapat flashback/ sorot balik.

akan tetapi sorot balik/flashback yang ditampilkan masih dalam tataran yang

bersifat kronologis, dan berfungsi menguatkan penceritaan baik itu tentang tokoh,

tema, maupun hal lainnya. Burhan Nurgiyantoro, dalam Teori Pengkajian Fiksi

menyebut penceritaan seperti ini bersifat progresif kronologis.

Hal yang membuktikan bahwa plot dalam novel ini bersifat progresif

yakni pada bab pertama novel ini. Bab tersebut bercerita tentang pertumbuhan

Abu Kasan Sapari si tokoh utama dalam novel ini sedari kecil hingga dewasa.

Penceritaan tersebut diselingi dengan sorot balik penceritaan tentang Ayah dan

Ibu dari Abu Kasan Sapari, bagaimana mereka berdua bisa bertemu.

“Waktu itu ibu (calon Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar

dengan sepeda merk Raleigh yang biasa bunyi ck-ck-ck dan ayah (calon)

Abu menjualkan ternak apa saja milik para tetangga. Maka, bertemulah

ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan.” 23

Sorot balik yang dimunculkan tersebut berfungsi untuk menguatkan

penceritaan terhadap tokoh utama yakni Abu Kasan Sapari, tentang keluarganya

dan lingkungan tempat Abu Kasan Sapari tumbuh. Adapula sorot balik yang

menghabiskan satu bab dalam novel ini, yakni ketika tokoh kakek bercerita

tentang riwayat atau kisah mengenai tokoh Eyangnya Abu Kasan Sapari. Pada

BAB tersebut berisi peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Eyang dari Abu Kasan

Sapari.

“Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin.

Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari

perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia

mendapat hadiah sebuah hutan gung liwang-liwung, hutan lebat.”24

23

Kuntowijoyo, op. Cit., h. 8. 24

Ibid, h. 195.

Page 70: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

60

Penceritaan tentang peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Eyang. Penceritaan

tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh Eyang beserta solusinya, dan

penceritaan kebijaksanaan hidup yang diajarkan Eyang, hal tersebut dihadirkan

pengarang dalam upaya untuk menguatkan unsur tema dan amanat yang ada

dalam novel ini.

Penceritaan tentang pertemuan Ayah dan Ibu Abu Kasan Sapari, dan

penceritaan tentang kehidupan tokoh Eyang merupakan bagian dari sub-plot

dalam novel ini. Plot kedua sub-plot tersebut menggunakan plot sorot balik

(flashback) berbeda dengan plot utama yang bersifat progresif kronologis.

Hadirnya sub-plot tersebut selain untuk mendukung alur utama, juga guna

mempertegas unsur-unsur intrinsik lainnya dalam novel ini. Dapat dikatakan,

peristiwa sorot balik (flashback) dihadirkan bukan semata-mata sebagai variasi

semata dari plot yang disajikan, akan tetapi dihadirkan untuk mempertegas unsur-

unsur intrinsik yang ada dalam novel ini seperti tokoh, dan juga tema dalam novel

ini. Selain itu peristiwa sorot balik (flashback) dalam novel ini masih bersifat

kronologis. Sehingga plot dalam novel ini dapat dikatakan progresif kronologis.

Plot dalam sebuah cerita pastilah memiliki tahapan-tahapan di dalamnya.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam landasan teori, bahwa alur memiliki lima

tahapan. Tahapan-tahapan tersebut yakni, tahapan situation/ pengenalan, tahap

generating circumstances/ pemunculan konflik, tahap rising action/ konflik

meningkat, tahap climax/ puncak, dan tahap denouement/ penyelesaian.

Tahap awal/ situation dalam novel ini menceritakan pengenalan tokoh

utama Abu Kasan Sapari. Menceritakan kehidupan Abu Kasan Sapari sejak kecil

hingga dewasa. Penceritaan tersebut juga mengenalkan lingkungan serta budaya

tempat Abu Kasan Sapari tumbuh yang mempengaruhi kepribadian seorang Abu

Kasan Sapari, hingga mempunyai kemampuan mendalang dan menekuninya.

“Di sana Abu kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan

gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang, melihat

Page 71: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

61

orang menata wayang, mendengarkan gamelan ditabuh. Di tempat itu

sepertinya kekerasan hati kakeknya luluh-lantak oleh bunyi gamelan.”25

Pada tahap ini juga memperkenalkan bagaimana Abu Kasan Sapari dewasa

dengan lingkungannya sebagai pegawai pemerintahan.

“Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda

dibuatnya di depan. Tapi saty hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah

di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang

jauhnya dua kilometer.”26

Tahap awal/ situation dalam novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo dapat disimpulkan, berisi potret kehidupan tokoh utama novel ini

yakni, Abu Kasan Sapari. Dalam tahap ini, dijelaskan silsilah keluarga Abu Kasan

Sapari, lingkungan Abu Kasan Sapari tumbuh dewasa, sampai kepada penceritaan

Abu Kasan Sapari dalam mendapatkan kemampuan mendalangnya. Pada tahap ini

pula, diceritakan Abu Kasan Sapari yang beranjak dewasa, yang akhirnya menjadi

pegawai pemerintahan di kecamatan Kemuning.

Cerita berlanjut dengan munculnya berbagai konflik dalam cerita ini.

Tahap ini dinamakan tahap generating circumstances. Konflik-konflik mulai

muncul, di antaranya Abu Kasan Sapari yang mendapat mantra penjinak ular,

mulai bisa berinteraksi dengan ular yang kemudian membuatnya merasa iba

kepada ular-ular yang secara membabi buta dibunuh demi keuntungan pribadi.

“Pelan-pelan air matanya membasahi pipi. Bayangkan. Ular itu punya

anak-anak. Ia sedang dalam perjalanan mengunjungi anak-anaknya sebab

sudah janji. Tapi, tiba-tiba orang menangkapnya, mengurut badannya

sampai remuk tulangnya. Lalu dipotong kepalanya.”27

Konflik lainnya juga mengenai warga desa di Kecamatan Kemuning yang takut

dan benci dengan ular. Kemudian, konflik juga muncul ketika Abu Kasan Sapari

mulai menggunakan kemampuan mendalangnya untuk kegiatan-kegiatan

pemerintahan, seperti ketika Abu Kasan Sapari mendalang untuk mengajak warga

menanam jati (jatinisasi).

25

Ibid, h. 12. 26

Ibid, h. 17. 27

Ibid, h. 52.

Page 72: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

62

“Tapi jangan heran kalau ada oknum politik yang terlalu bersemangat

dan menginginkan „pohon randu‟, dan bukan pohon jati. Ini tidak

menyenangkan, tapi itulah realitas, kalau saya ya dua-duanya. . ..”28

Hal tersebutlah tanda-tanda awal pertentangan Abu Kasan Sapari dengan mesin

politik, dimana program jatinisasi yang dilakukan di kecamatan Kemuning,

meskipun berjalan sukses, tetapi tidak sejalan dengan program mesin politik

yakni, randunisasi.

Konflik-konflik itu mulai berkembang dan mengalami penegangan.

Konflik Abu Kasan Sapari dengan mesin politik bertambah parah. Ketika musim

pilkades Abu Kasan Sapari mendalang untuk cakades-cakades yang bukan dari

partai politik, sehingga membuat mesin politik mengalami kegagalan target dalam

pilkades tersebut.

“Pengumuman pemilihan itu menunjukkan bahwa calon Mesin Politik

menang di lima kelurahan, kalah di empat desa. Dukungan Abu Kasan

Sapari masuk tiga, satu gagal, yaitu guru SLTP itu. Politik tingkat desa itu

oleh koran Suara Bengawan digambarkan setengah jujur setengah tidak.”29

Konflik makin berkembang dan menegang kala Abu Kasan Sapari

dipindahtugaskan dari Kemuning ke Tegalpandan. Dimana Abu Kasan Sapari

dihadapkan pada masalah yang sama. Dia dimintai tolong mendalang oleh salah

satu Cakades dari non randu. Padahal ia berjanji tidak akan menggunakan seni

untuk poliitik janji pada diri sendiri dan Camat Tegalpandan. Akan tetapi Abu

Kasan Sapari tetap memenuhi permintaan tersebut, akan tetapi calon yang

didukung Abu Kasan Sapari tersebut kalah.

“Namun, hobi lama Abu Kasan Sapari untuk menyalahi Mesin Politik

kambuh lagi di kecamatan Tegalpandan. Pesan Camat untuk tidak

mencampurkan politik dengan kesenian sudah dilupakannya. Ia tidak tega

melihat seorang Cakades diminta mundur oleh mesin politik”30

28

Ibid, h. 92. 29

Ibid, h. 110. 30

Ibid, h. 150.

Page 73: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

63

“Abu jadi mendalang untuk Cakades. Cakades itu kalah dalam pilihan

lurah. Mesin politik ternyata jauh lebih perkasa. Fungsionaris mesin

politik datang lagi.”31

Cerita mulai mendekati klimaks, ketika Abu Kasan Sapari yang mulai

gerah dengan mesin politik yang ingin mempolitisasi seni demi kepentingan

politik akhirnya membentuk paguyuban dalang independen. Organisasi tersebut

menyatakan bahwa para dalang tidak ingin seni dipolitisasi demi kepentingan

politik, pendirian paguyuban tersebut sebagai respon dari para dalang terhadap

hasil wawancara dengan Abu Kasan Sapari yang dimuat di sebuah surat kabar.

“Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran

surat. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa interview itu

menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi

yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung seandainya

didirikan sebuah paguyuban.”32

Hal ini membuat gerah mesin politik, dan membuat mesin politik mendatangi Abu

Kasan Sapari untuk memperingatkan agar abu diam selama pemilu berlangsung.

Mesin politik bahkan mencalonkan Abu Kasan Sapari sebagai calon legislatif,

akan tetapi Abu Kasan Sapari menolak permintaan mesin politik tersebut.

“Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. tentu saja itu di luar harapan

para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya,

penolakan itu aneh bagi mereka.”33

Penggunaan kesenian yang kembali dilakukan oleh Abu Kasan Sapari, lalu hasil

wawancara yang diterbitkan oleh teman wartawan dan pendirian paguyuban

dalang independen telah membuat konflik antara Abu Kasan Sapari dan Mesin

Politik kian parah. Hal tersebut diperparah dengan penolakan Abu Kasan Sapari

yang diminta menjadi caleg jadi oleh mesin politik.

Akhirnya konflik pun mencapai puncaknya ketika mesin politik gagal

mengajak Abu Kasan Sapari untuk bergabung. Mereka mulai berkesimpulan Abu

31

Ibid, h. 152. 32

Ibid, h. 154. 33

Ibid, h. 162.

Page 74: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

64

Kasan Sapari dengan organisasi Paguyuban Dalang Independen berpotensi

menghalangi mesin politik dalam pemilu nanti. Dengan kuasa mesin politik kala

itu, Abu Kasan Sapari ditahan dengan tuduhan anti-pancasila dan subversif.

“Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui

Camat, menuju ke kamar kerja abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah

surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh,

silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan.”34

“Ia melihat dokumen. “Lho, kok anti-pancasila, makar? Perintah

penangkapan yang saya tandatangani hanya soal kriminal biasa,”

Katanya.”35

Penangkapan serta penahanan Abu Kasan Sapari merupakan puncak konflik

antara Abu Kasan Sapari dengan mesin politik. Penahanan yang dibuat agar Abu

Kasan Sapari diam saat pemilu. Penahanan tersebut bukan karena Abu Kasan

Sapari berbuat melanggar hukum, penangkapan tersebut dilakukan untuk

menyukseskan rencana mesin politik. Karena mereka menganggap Abu Kasan

Sapari dengan kesenian wayangnya dapat menjadi batu sandungan mereka.

Cerita mulai mengalami penurunan atau yang disebut tahap penyelesaian/

denoument. Tuduhan yang dituduhkan kepada Abu Kasan Sapari oleh mesin

politik ternyata tidak terbukti. Akhirnya polisi memberhentikan penyelidikan dan

membebaskan Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari pun disambut layaknya

pahlawan/ pejuang demokrasi ketika pulang.

“Dua orang polisi mengiringi Abu Kasan Sapari menemui Camat.

Puluhan sepeda motor juga berhenti, mereka menyerahkan surat-surat

pada Camat. Permintaan maaf dari polisi kalau-kalau telah mengganggu

pekerjaan kecamatan. Satu lagi jaminan dari Kepala Polisi bahwa Abu

Kasan Sapati tidak bersalah apa pun.”36

Konflik Abu Kasan Sapari dengan warga sekitar juga selesai ketika abu berjanji

akan menyerahkan ular tersebut ke kebun binatang. Kemudian Abu Kasan Sapari

juga melepaskan mantra yang ada pada dirinya dan memutus rantai mantra

tersebut dengan tidak mengajarkannya kepada siapapun. Abu Kasan Sapari juga

34

Ibid, h. 165. 35

Ibid, h. 166. 36

Ibid, h. 177.

Page 75: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

65

memilih untuk menjadi dalang menggantikan Ki Lebdocarito, dan berencana

pindah ke Palur.

e. Latar

Latar merupakan unsur khas yang dimiliki oleh cerita rekaan. Baik itu

prosa maupun naskah drama. Khususnya prosa latar memegang peran penting.

Latar merupakan bagian yang mendukung peristiwa-peristiwa berlangsung atau

dapat dikatakan latar sebagai media bergulirnya peristiwa-peristiwa dalam karya

prosa. Latar sendiri dibagi menjadi tiga ada latar waktu, latar tempat, dan juga

latar sosial. Setiap karya prosa khususnya novel pastilah memiliki ketiga latar

tersebut. Latar-latar yang ada dalam novel ini akan dipaparkan pada bagian ini.

Baik itu latar waktu, tempat, maupun latar sosialnya.

1. Latar waktu

Latar waktu dalam novel Mantra Penjinak Ular secara keseluruhan

berada dalam rentang tahun 90-an. Dimulai ketika penceritaan Abu Kasan

Sapari kecil, hingga dewasa dan menghadapi berbagai macam masalah.

Pada Bab ke-13 latar waktu mengalami flashback. Latar waktu tersebut

terjadi saat penceritaan Eyang oleh kakek, latar waktu peristiwa-peristiwa

yang dialami Eyang berada pada latar di masa kepemimpinan raja

Pakubuwana 2.

“Eyang pendiri desa kita masih muda menjadi prajurit keraton. Dia

berhasil menyelamtkan raja Pakubuwana II dari Suarakarta dari

perampok, waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya.”37

Latar waktu yang mengalami flashback tersebut, merupakan latar waktu

dari alur bawahan dalam novel ini. Alur bawahan dalam novel Mantra

Pejinak Ular ini sendiri menceritakan perjalanan hidup tokoh Eyang.

Novel ini memang secara keseluruhan berada dalam latar waktu rentang

90-an. Namun, peristiwa-peristiwa penting, ataupun konflik-konflik

37

Ibid, h. 195.

Page 76: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

66

penting yang terjadi dalam novel ini memiliki latar pada tahun 1997, saat

Pemilu nasional diselenggarakan.

“Pemilu 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah

Tahanan) Karangmojo. Mesin politik menang di Karangmojo,

tetapi hanya dengan enam puluh persen suara”38

Pada novel ini dapat disimpulkan bahwa latar waktu peristiwa-

peristiwa berada pada rentang tahun 90-an. Peristiwa-peristiwa penting,

dan juga konflik-konflik penting dalam novel ini berlatar pada tahun 1997,

tahun di akhir-akhir masa kekuasan orde baru. Selain itu latar waktu dalam

rentang 90-an, novel ini juga memiliki latar waktu pada masa

kepemimpinan Raja Pakubuwana II. Dimana latar tersebut merupakan

latar waktu dari alur bawahan dalam novel ini yang berisi peristiwa-

peristiwa yang dialami oleh Eyang.

2. Latar Tempat

Latar tempat merupakan latar dimana peristiwa-peristiwa dalam cerita

rekaan terjadi. Pada novel Mantra Penjinak Ular, latar tempat peristiwa-

peristiwa yang ada dalam novel ini cukup luas. Hal ini dikarenakan alur

penceritaan novel ini yang cukup panjang, yakni bercerita tentang

perjalanan hidup Abu Kasan Sapari dari kecil hingga dewasa. Oleh karena

itu, latar tempat dalam novel ini dapat dibagi berdasarkan wilayah-wilayah

tempat Abu Kasan Sapari pernah tumbuh dan menetap.

Latar tempat pertama berada di desa Palar, Klaten. Abu Kasan Sapari

dilahirkan di desa tersebut. Ayah dan ibu Abu Kasan Sapari serta kakek

dari pihak ayah juga tinggal di desa tersebut. Abu Kasan Sapari Kecil

dibesarkan di desa Palar sampai umur satu tahun.

“Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang

dipimpin oleh modin desa. Kakek itu adalah juru kunci makam

Ronggowarsito di Desa Palar, Klaten.”39

38

Ibid, h. 174.

Page 77: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

67

Semasa kanak-kanak Abu Kasan Sapari diasuh oleh kakek nenek dari

pihak Abu Kasan Sapari. Abu dibesarkan dalam rumah kakek dan nenek

dari pihak ibu.

“Kata pertama yang diucapkan Abu ialah mbah-mbah, kakek-nenek.

Itu biasa karena memang ia tinggal di rumah kakeknya”40

Rumah Ki Notocarito juga menjadi latar tempat peristiwa. Abu Kasan

Sapari pernah nyantri belajar mengaji, dan kesenian wayang di rumah Ki

Notocarito.

“Pada hari minggu pagi, waktu anak-anak lain main bola, Abu

diantar kakeknya ke dalang Notocarito (nama sebenarnya adalah

Bakuh), kawannya di sekolah Jawa (Sekolah Angka Loro) dan mengaji

di masjid dahulu yang mempunyai seperangkat gamelan dan satu set

wayang.”41

Pada saat menjelang akhir SMA Abu Kasan Sapari diangkat anak

oleh Ki Lebdocarito dan tinggal di desa Palur. Disini dia menekuni ilmu

mendalang pada dalang senior tersebut. desa Palur yang berada di daerah

Surakarta ini menjadi salah satu latar tempat dalam novel ini.

“Di rumah Ki Lebdo, Abu dapat mempergunakan sebuah sepeda

motor bebek. Kata Ki Lebdo suatu kali, “Tidak ada lagi yang dapat

kau kerjakan di sini. Kalau kau mau belajar, pergilah pada Anom

Suroto di Kertosuro atau Manut Sumarsono di Tegalpandan.”42

Barulah setelah lulus SMA, Abu Kasan Sapari memilih hidup mandiri

dan berkerja sebagai pegawai pemerintahan/ negeri di Kecamatan

Kemuning.

“Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda

dibuatnya di depan.”43

Di Kemuning inilah peristiwa-persitwa penting yang ada dalam novel

Mantra Penjinak Ular mulai muncul. Seperti mantra yang digunakan

39

Ibid, h. 4. 40

Ibid, h. 10. 41

Ibid, h. 12. 42

Ibid, h. 15. 43

Ibid, h. 17.

Page 78: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

68

untuk menjinakkan ular didapat Abu Kasan Sapari di Kemuning,

kemudian Abu Kasan Sapari dengan kesenian wayangnya terlibat dalam

pilkades, yang menandai keterlibatannya dalam konflik dengan mesin

politik pun terjadi di Kemuning.

Kecamatan Tegalpandan merupakan latar tempat lainnya yang

memunculkan peristiwa-peristiwa penting dalam novel ini.

“Abu Kasan Sapari dipindahkan ke kecamatan Tegalpandan, jauh

lebih dekat dan mudah bila ingin ke ibu kota Kabupaten

Karangmojo.”44

Kecamatan Tegalpandan lebih kota dibandingkan dengan kecamatan

Kemuning. Kecamatan ini juga lebih dekat ke pusat pemerintahan

kapubaten Karangmojo. Konflik-konflik yang mulai mencapai klimaks

memiliki latar di kecamatan ini. Peristiwa Abu Kasan Sapari yang

menolak bergabung dengan partai politik, pendirian Paguyuban Dalang

Independen, berdirinya organisasi MPU Nogogini, pertemuannya dengan

Lastri, sampai kepada penangkapan Abu Kasan Sapari terjadi di

kecamatan ini.

Dapat dikatakan kecamatan Tegalpandan merupakan latar tempat

yang penting dalam novel ini. Hal ini dikarenakan, konflik mencapai

klimaksnya terjadi di kecamatan Tegalpandan ini. Sampai pada akhir

cerita novel ini pun masih berlatar di kecamatan Tegalpandan. Dapat

disimpulkan pula, latar tempat kecamatan tegalpandan menjadi latar

tempat peristiwa-peristiwa lebih banyak, ketimbang latar-latar tempat yang

lain yang ada dalam novel ini.

Latar tempat lain yang juga menjadi latar peristiwa dalam novel ini

yakni Kebon Binatang Curug, di Solo.

44

Ibid, h. 115.

Page 79: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

69

“Sebagai realisasi kerjasama antara MPU dan bonbin ada

pertunjukan wayang di bonbin. Pertunjukan itu diadakan dalam

rangka Hari Lingkungan Sedunia.”45

Latar tersebut termasuk dalam latar yang cukup penting, karena

menghadirkan peristiwa Abu Kasan Sapari yang mendalang untuk

kegiatan pecinta lingkungan. Selain itu di kebon binatang ini, Abu Kasan

Sapari mulai menyadari bahwa mantra dan laku-lakuan bukan satu-satunya

cara berinteraksi dengan ular. Perekrutan Abu Kasan Sapari oleh dua

orang anggota Partai Hijau untuk terlibat dalam Politik juga terjadi di

Kebon Binatang ini.

Latar tempat dalam novel Mantra Penjinak Ular dapat disimpulkan

antara lain, Desa Palar, Desa Palur, Kecamatan Kemuning, Kecamatan

Tegalpandan, dan Kebon Binatang Curug di Solo. Secara keseluruhan

peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel ini berada di wilayah-

wilayah tersebut. Latar tempat yang memegang peran penting yakni latar

tempat di wilayah Kecamatan Tegalpandan. Hal ini dikarenakan konflik-

konflik mencapai klimaks berlatar di wilayah tersebut.

3. Latar sosial

Latar sosial tidak bisa terlepas dari latar tempat yang dihadirkan dalam

novel ini. Latar tempat dalam novel pastilah memunculkan bentuk-bentuk

interaksi sosial yang khas di dalamnya. Seperti yang diuraikan pada

paparan sebelumnya bahwa latar tempat dalam novel ini dibagi

berdasarkan wilayah-wilayah, yakni desa Palar, desa Palur, kecamatan

Kemuning, kecamatan Tegalpandan, dan Kebon Binatang curug di solo.

Latar sosial yang muncul di desa Palar yang khas yakni lurah haruslah

bersih dan tidak boleh berkelakuan jelek. Di desa ini seorang lurah

haruslah menjadi tuntunan. Jadi apabila seorang Lurah melakukan ma-

45

Ibid, h. 141.

Page 80: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

70

lima, yakni madon, minum, madat, dan maling maka orang tersebut tidak

pantas menjadi lurah.

“Masyarakat akan membiarkan kelakuan yang jelek pada orang

biasa, tapi tidak pada lurah. Sejak saat itu jabatan lurah tidak pernah

dipegang keluarga besar juru kunci.”46

Masyarakat desa tersebut tidak menolerir kelakuan yang jelek dari

pemimpin mereka, yang dalam hal ini seorang lurah. Masyarakat desa

beranggapan bahwa orang biasa boleh berkelakuakan jelek, tapi tidak

untuk lurah.

Interaksi sosial yang khas pada masyarakat di desa Palur, yakni

kepedulian terhadap sesama, dan saling mengingatkan. Hal ini dapat

terlihat pada saat kakek dan nenek Abu Kasan Sapari membunyikan

lonceng untuk mengingatkan Abu Kasan Sapari yang sedang asik bermain

“Kakek atau nenek akan membunyikan lonceng itu. Tetangga

yang tahu Abu masih keluyuran akan bilang padanya, “Pulanglah,

embahmu mencarimu”.”47

Hal tersebut memperlihatkan bagaimana masih ada rasa kepedulian

terhadap sesama. Padahal Abu Kasan Sapari bukan merupakan tanggung

jawab mereka. Terkadang interaksi masyarakat seperti ini menjadi suatu

yang jarang di tengah masyarakat modern.

Kecamatan Kemuning juga memiliki suasana sosial yang khas dalam

novel Mantra Penjinak Ular. Kita bisa melihat kebiasaan warga

Kemuning yang mandi setiap hari sekali di sendang.

“Tapi untuk mandi orang harus ke Sendang di atas yang jauhnya

dua kilometer. Jadi diputuskannya hanya mandi sekali sehari di

sendang sepuas-puasnya seperti semua orang.”48

46

Ibid, h. 5. 47

Ibid, h. 11. 48

Ibid, h. 17.

Page 81: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

71

Mandi di sendang yang mengalir ini merupakan suasana sosial pedesaan

yang khas, menandakan Kemuning merupakan sebuah kecamatan yang

jauh dari suasana kota.

Kemajuan peradaban sosial masyarakat pedesaan ditunjukkan dengan

kemajuan pembangunan desa-desa di Kemuning, serta ditemukannya situs

candi Tiban, sehingga menjadikan Kemuning sebagai obyek wisata, serta

menjadi desa agrowisata.

“Kemuning dapat menjadi tempat agrowisata. Lebih indah dari

Tawamangu, tempat peristirahatan itu. Dari kemuning orang dapat

menikmati matahari tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan

yang mulus sampai puncak-puncak bukit.”49

Kecamatan Kemuning juga menampilkan pasar dengan interaksi

sosial yang khas bagi pembaca. Suasana yang khas tersebut yakni

ramainya pasar ditentukan oleh hari pasaran. Berbeda dengan pasar-pasar

yang berada di kota yang ramai setiap hari, pasar di Kecamatan Kemuning

ini menampilkan khas pasar masyarakat desa khususnya di daerah Jawa.

Masyarakat Kemuning masih mempercayai hari baik ketika berdagang

adalah hari pasaran/ pasar. Orang-orang dari desa membawa ternak serta

barang dagangannya untuk dijual di pasar. Sehingga pasar saat hari pasar

tiba akan begitu ramai dibanding hari biasa.

“Hari itu hari pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di

pasar ternak sebelah selatan pasar, yang ada orang-orang menalikan

ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang

tawar-menawar, kumandang pasar itu.”50

.

Kegiatan pasar yang berdasarkan hari pasar, serta tawar menawar antara

penjual dan pembeli menjadi sesuatu yang khas. Ini merupakan potret

pasaran pada masyarakat pedesaan. Kegiatan tawar-menawar ini mungkin

sudah tidak ada pada kebudayaan kota, sebab toko-toko telah

49

Ibid, h. 95. 50

Ibid, h. 49.

Page 82: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

72

menempelkan harga-harga pada barang tersebut, hingga orang tidak perlu

lagi menawar.

Latar sosial lainnya yang ada di Kemuning yakni sebuah budaya

masyarakatnya yang masih memegang budaya feodalisme. Hal ini

diperlihatkan dengan kebiasaan berkata setuju tanpa memperimbangkan

terlebih dahulu.

“seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang “setuju!”

pada pidato pimpinan.”51

Tegalpandan pun memiliki kultur sosial masyarakat yang juga khas.

Keamanan menjadi prioritas di Kecamatan Tegalpandan. Diberlakukannya

siskamling merupakan salah satu kultur sosial dalam wilayah ini. Obrol-

obrolan ringan di gardu merupakan cara mempererat hubungan antar-

warga. Interaksi sosial semacam itu menjadi latar sosial di Tegalpandan.

“Sebagai penghuni laki-laki Abu Kasan Sapari mendapat giliran

ronda untuk setiap kepala keluarga. Di gardu Abu terkenal sebagai

tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cangak lek (membuat

terbangun) hidup.”52

Dapat disimpulkan latar tempat yang berada di dalam novel ini dibagi

berdasarkan wilayah dan hubungannya dalam cerita, yakni Desa Palur,

Desa Palar, Kecamatan Kemuning, dan Kecamatan Tegalpandan. Latar

waktu dalam novel ini berlatar sekitar tahun 90-an, namun diselingi juga

oleh flashback yang berlatar jauh sebelumnya. Selanjutnya untuk latar

sosial, masing-masing kedaerahan tadi memiliki latar sosialnya sendiri

yang khas, seperti Kecamatan Kemuning dengan latar sosia masyarakat

desanya yang masih guyup, dan adapula Kecamatan Tegalpandan dengan

latar sosial masyarakatnya yang sudah mulai berbau kota, dan cenderung

idividualistis.

f. Gaya bahasa

51

Ibid, h. 84. 52

Ibid, h. 127.

Page 83: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

73

Novel Mantra Penjinak Ular menggunakan bahasa yang mudah

dimengerti. Susunan kalimat serta kata-kata dan istilah yang digunakan mudah

dipahami. Bahasa yang digunakan oleh Kuntowijoyo dalam novel ini

menampilkan ciri khasnya dalam menulis prosa, yakni bahasa yang sederhana.

Seolah ia sedang bercerita kepada pembaca.

Pada novel ini juga banyak terselip banyak bahasa-bahasa Jawa pada

penceritaannya. Bahasa Jawa tersebut sering muncul dalam percakapan para

tokoh-tokohnya. Selain Bahasa Jawa ada juga tembang-tembang macapatan yang

ada dalam novel ini.

“Anakkidung rumeksa ing wengi

Teguh ayu luputa ing lara

Kalisa bilai kabeh

Jim setan datam purun

Paneluhan tan ana wani

Miwah panggawe ala

Gunaning wong luput

Agni atemahan tirta

Maling adoh tan ana ngarah

Mring mami

Tuju dudu pisan sirna”53

Tembang macapatan dilagukan ketika Abu Kasan Sapari lahir. Tembang

tersebut merupakan peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa keselamatan.

Memasukan tembang macapat seperti ini sepertinya digunakan pengarang untuk

menguatkan unsur latar dalam novel ini, yang berlatar Jawa. Hal tersebut juga

untuk menguatkan penceritaan latar belakang tokoh Abu Kasan Sapari.

Dalam novel ini banyak diselipkan peribahasa-peribahasa Jawa.

Peribahasa-peribahasa tersebut seperti “nggembol watu item”(diam di luar tapi

penuh isi di dalam), “kowe kok tela, apa gaplekmu”(kamu kok iri, apa punyamu).

Peribahasa-peribahasa tersebut muncul dalam percakapan para tokoh-tokohnya.

Peribahasa-peribahasa tersebut digunakan untuk menguatkan karakter masyarakat

53

Ibid, h. 3.

Page 84: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

74

Jawa pada para tokohnya. Seperti sudah diketahui masyarakat Jawa ketika hendak

mengatakan sesuatu tidaklah secara terang-terangan. Mereka lebih memilih untuk

mengatakannya secara tersirat yang terkadang lewat peribahasa-peribahasa

semacam itu.

Layaknya sebuah karya sastra pada umumnya. Novel ini juga

menggunakan majas-majas dalam penceritaannya. Majas-majas tersebut di

antaranya “harganya melangit”, “jalan-jalan yang mulus”, “duit terus mengalir”,

“matanya berkaca-kaca”. Selain majas-majas yang digunakan dalam novel ini

juga terdapat istilah-istilah bahasa asing, di antranya “to the point”, “leterlijk”.

Keunikan lain dalam novel ini yakni munculnya sajak-sajak dalam satu

bab penuh. Sajak-sajak yang ada dalam novel ini dalam cerita dibuat oleh Abu

Kasan Sapari yang diperuntukan untuk Lastri. Sajak-sajak yang menggambarkan

suasana hati Abu Kasan Sapari terhadap Lastri. Sajak-sajak yang muncul secara

tidak langsung menggambarkan gaya bersajak pengarang novel ini yakni

Kuntowijoyo. Kehadiran sajak-sajak pada novel ini menambah keunikan gaya

bahasa yang digunakan Kuntowijoyo.

“Di Rumpun Bambu Burung Kecil

Pada suatu kali dalam perjalanan

Di suatu rumpun bambu kutemukan

Sebuah sarang dan didalamnya

Seekor burung kecil yang manis

Senyum di wajahnya

Menyambut pengembara

Lagu digendangkan

Aku pun berhenti

. . .

. . ..” 54

Banyaknya percakapan yang terselip kata-kata atau peribahasa Bahasa

Jawa dalam novel ini dpengaruhi oleh latar cerita novel ini yang merupakan

kehidup masyarakat Jawa. Selain itu penggunaan Bahasa Jawa, tembang

macapatan, peribahasa-peribahasa Jawa, dan gaya penuturan yang sederhana

54

Ibid, h. 162.

Page 85: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

75

selain karena novel ini berlatar kehidupan masyarakat Jawa, kontribusi pegalaman

pengarang juga terlihat dari gaya bahasa yang digunakannya. Kuntowijoyo

merupakan pengarang yang hidup dalam lingkungan dan budaya Jawa. Sedikit

banyak interaksi pengarang dengan lingkungan dan budaya tempat dia

berkembang, tentunya berpengaruh terhadap karya-karyanya, termasuk novel

Mantra Penjinak Ular.

B. Etika Profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo

Layaknya karya sastra pada umumnya, baik itu yang bergenre prosa, puisi,

ataupun naskah drama pastilah terkandung pemikiran seorang pengarangnya

dalam karya sastra tersebut. Sebut saja kredo puisinya Sutardji Calzoum Bachri

tentang melepaskan kata dari beban makna, yang terlihat dalam puisi-puisinya

contohnya Sihka-Winka, dan YB. Mangunwijaya dengan sufistiknya yang terasa

kuat pada puisi-puisinya. Oleh karenanya mengetahui biografi seorang pengarang

dengan mengetahui pemikiran-pemikiran pengarang menjadi cukup penting ketika

hendak mengkaji karya sastra yang dibuat pengarang tersebut.

Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo yang dibahas dalam

karya ilmiah ini juga banyak mengandung buah-buah pemikiran dari

pengarangnya. Kuntowijoyo selain sebagai sastrawan, dia juga dikenal sebagai

akademisi, dan sejarawan. Salah satu buah pemikiran Kuntowijoyo dalam bidang

sastra yang khas yakni, konsep sastra profetik. Seperti telah dibahas pada

sebelumnya salah satu aspek yang termasuk dalam konsep sastra profetik yang

digagas Kuntowijoyo adalah etika profetik. Etika Profetik ini tersendiri terdiri dari

humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga etika profetik tersebut hadir dalam

novel ini dengan gaya yang khas Kuntowijoyo. Oleh karena itu pembahasan

terhadap erika profetik yang terkandung dalam novel Mantra Penjinak Ular karya

Kuntowijoyo menjadi bahasan utama dalam karya ilmiah ini.

a. Humanisasi

Page 86: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

76

Humanisai menjadi salah satu dari ketiga etika profetik yang disebutkan

Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetiknya. Istilah humanisasi yang

digunakan oleh Kuntowijoyo berangkat dari istlah nahi munkar, yang berarti

menyuruh kepada kebaikan. Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid,

berpendapat mengenai humanisasi.

“Dalam bahasa latin humanitas berarti “mahluk manusia”, “kondisi

menjadi manusia”, jadi humanisasi artinya memanusiakan manusia;

menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian

dari manusia.”55

Kuntowijoyo berpendapat bahwa humanisasi amatlah diperlukan pada zaman era

modern saat ini. Dimana era pembangunan, dan kemajuan teknologi sedang

berkembang sangat pesat. Kuntowijoyo berpendapat mengenai hal tersebut dalam

maklumat sastra profetiknya.

“humanisasi kita perlukan sebab ada tanda-tanda bahwa masyarakat kita

sedang menuju ke arah dehumanisai. Dehumanisasi ialah objektivasi

manusia (teologis, budaya, massa, negara), loneliness (privatisasi,

individualisasi), dan spiritual alienation (keterasingan spritual). Dalam

dehumanisai perilaku manusia dikuasai oleh alam bawah sadarnya

daripada oleh kesadarannya. Tanpa kita sadari dehumanisasi sudah

menggerogoti masyarakat indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin,

manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa”56

Berdasarkan kutipan uraian Kuntowijoyo, kita dapat menarik kesimpulan

bahwa humanisasi diperlukan dalam upaya mencegah apa yang dinamakan

sebagai bentuk-dehumanisai seperti objektivasi, loneliness, dan spiritual

alineation. Selain daripada bentuk-bentuk dehumanisasi tersebut, kuntowijoyo

juga menyinggung tentang istilah menghilangkan “kebendaan”. Kuntowijoyo

menyebit arti lain dari “kebendaan” sebagai dehumanisasi tradisional. Bentuk-

bentuk dehumanisasi tradisional yang masih melanda masyarakat diantaranya

pemujaan wesi aji dan batu mulia, kekeramatan kuburan, sesaji, topa macam-

macam, tuyul, jimat, mantra, santet, dan sebagainya.

55

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 364. 56

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur, (Yogyakarta: Multi

Presindo, 2013), h. 17.

Page 87: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

77

Bentuk-bentuk dehumanisasi yang Kuntowijoyo sebutkan dalam

maklumat sastra profetiknya, juga muncul dalam karya-karya sastranya. Banyak

karya-karya sastra yang dihasilkan Kuntowijoyo yang menampilkan masalah

terkait bentuk-bentuk dehumanisasi, tidak terkecuali novel Mantra Penjinak Ular.

Bentuk dehumanisasi yang pertama akan dipaparkan yakni objektivitasi manusia

(manusia hanya jadi objek). Masalah objektivasi manusia ini dialami oleh tokoh

utama dalam novel ini, yakni Abu Kasan Sapari. Objektivasi manusia tersebut

dilakukan oleh negara (dalam hal ini pemerintah) dan juga oleh mesin politik

partai yang berkuasa kala itu. Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan pegawai

negeri/ pemerintahan bekerja di bawah naungan pemerintah. Selain berkerja

sebagai pegawai negeri Abu Kasan juga dikenal sebagai dalang. Sebagai pegawai

negeri dia merupakan pegawai negeri yang berhasil di bidangnya, begitu pun juga

sebagai dalang dia cukup terkenal.

Bentuk-bentuk objektivasi oleh negara dan mesin politik ini berawal

diakrenakan Abu Kasan Sapari yang terlibat dalam pilkades desa dengan kesenian

wayang. Abu Kasan Sapari mendalang untuk beberapa permintaan calon lurah-

lurah di kecamatan kemuning. Tanpa disadari Abu Kasan Sapari, keterlibatannya

dirinya dan kesenian wayang pada saat itu membuat beberapa calon lurah dari

mesin politik kalah. Inilah yang membuat target kemenangan pilkades dari mesin

politik tidak tercapai. Menyadari bahwa kegagalan pilkades tersebut disebabkan

oleh Abu Kasan Sapari, mesin politik partai penguasa kala itu yang disebut dalam

novel ini sebagai partai randu dengan kekuasaannya berhasil memutasikan Abu

Kasan Sapari.

Ketika dimutasikan ke kecamatan Tegalpandan, di sinilah bentuk-bentuk

objektivasi oleh negara bermunculan. Abu Kasan Sapari sendiri makin dikenal di

kecamatan tegalpandan karena menjadi ketua organisasi pecinta ular (MPU

Nogogini) serta juga menndirikan paguyuban dalang independen bersama kawan-

kawannya. Selain itu artikel seorang wartawan yang merupakan kawan Abu

Kasan Sapari menuliskan tentang visi misi seorang dalang. Artikel tersebut

bersumber dari wawncara Abu Kasan Sapari dengan wartawan tersebut. Artikel

Page 88: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

78

tersebut berhasil menyedot perhatian banyak kalangan karena memperlihatkan

bahwa kesenian wayang harus terbebas dari berbagai unsur kepentingn, termasuk

politik. Potensi Abu Kasan Sapari yang dapat menjadi batu sandungan mesin

politik, disadari oleh mereka. Hal ini dikarneakan Bapilu mesin poltik telah

memutuskan untuk menggunakan media kesenian wayang sebagai kampanye

pemilu. Akhirnya mesin politik dari partai Randu mengajak Abu Kasan Sapari

untuk bergabung dengan partai mereka. Abu Kasan Sapari terpilih menjadi caleg

dari partai Randu tersebut. padahal Abu Kasan Sapari tidak pernah mendaftarkan

atau didaftarkan untuk menjadi caleg.

Abu Kasan Sapari menyadari dirinya hanya dijadikan objek oleh mesin

politik partai Randu. Hal ini dikarenakan posisi Abu Kasan Sapari sebagai dalang

dan juga sebagai pendiri Paguyuban Dalang Indpenden dapat memuluskan

langkah mereka dalam mencapai target di pemilu. Penggunaan media kesenian

wayang dalam kampanye pun tidak terpengaruh dengan gerakan dalang

independen tersebut apabila Abu Kasan Sapari menjadi caleg. Abu Kasan Sapari

menolak tawaran menjadi caleg dan ikut dalam partai tersebut.

“Terimalah ucapan selamat kami. Kami DPD telah memilih Pak Abu

sebagai caleg jadi, “ kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos ketimbang

sembilan calon lain.” . . .. Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. tentu

saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi

caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.”57

“Abu Kasan Sapari heran, besar benar harga dirinya? Mungkin karena

Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan media pedalangan

untuk kampanye? Kedudukannya sebagai Ketua Paguyuban Pdelangan

jadi penting? Organisasi pedalangan tanpa anggota, eh “tiga puluh” orang

itu? Jadi, ini semua pasti gara-gara angka yang ditulis wartawan itu.”58

“Akhir-akhir ini ada sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk

keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS berpendapat seni itu seperti air.

Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan

menutupinya.” 59

57

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 162. 58

Ibid, h. 163. 59

Ibid, h. 170.

Page 89: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

79

Abu Kasan Sapari menyadari bahwa ada bentuk-bentuk objektivasi kepada

dirinya sebagai dalang oleh mesin politik. Abu Kasan Sapari mengatakan bahwa

dalang dengan kesenian wayang tidak memihak pada suatu kepentingan politik.

Seni menurut Abu Kasan Sapari jangan hanya menjadi antek politik karena akan

mengingkari tugasnya terhadap seni.

Bentuk-bentuk objektivasi oleh mesin politik juga dialami oleh Abu Kasan

Sapari dalam bentuk yang berbeda, namun tetap memiliki tujuan yang sama.

Bentuk objektivasi kali ini berhubungan dengan organisasi MPU Nogogini yang

diketuai oleh Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari yang pada saat itu telah

menjadi ketua MPU Nogogini mengadakan pementasan di Bonbin Curug di

Surabaya. Selesai pementasan Abu Kasan Sapari didatangi oleh dua orang dari

partai Hijau Jawa Tengah, sebuah partai yang berusaha menyadarkan lingkungan.

Abu Kasan Sapari diundang untuk datang ke sebuah rapat dan Abu Kasan Sapari

diusulkan sebagai ketua departemen Propaganda.

“Rapat membahas kelengkapan susunan pengurus. “Ini adalah embrio

Partai Hijau di Jawa Tengah”, kata Pimpinan sidang, Ketua Partai Hijau.

“Kita akan melakukan propaganda, kemudian organisasi, kemudian aksi.”

Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai kandidat Ketua Departemen

Propaganda. Semua setuju.”60

Pada rapat tersebut Abu Kasan Sapari menolak dengan nama partai,

dikarenakan untuk urusan lingkungan politik lebih menyulitkan ketimbang

memudahkan. Abu Kasan yang Sapari menyadari adanya bentuk objektivasi

dirinya dengan organisasi MPU Nogogini yang diketuainya menolak usul

pendirian partai dan mengusulkan dibentuknya LSM.

“. . .. “Dibentuk saja LSM”, usul Abu. “Politik itu soal kalah-menang.

Padahal soal lingkungan bukan soal kalah-menang. Siapa pun yang

berkuasa akan menghadapi masalah lingkungan.”. ..”61

Penolakan Abu Kasan Sapari terhadap bentuk-bentuk objektivasi tersebut,

mencerminkan etika humanisasi yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dalam

60

Ibid, h. 143. 61

Ibid, h. 144.

Page 90: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

80

maklumat sastra profetik. Penolakannya untuk bergabung dengan partai politik

baik Randu maupun Partai Hiijau, diikuti oleh keinginannya sendiri sebagai

manusia. Abu Kasan Sapari melihat politik yang dijalankan oleh mesin politik

Randu banyak yang merugikan masyarakat, penuh dengan kecurangan. Selain itu

mesin politik bergerak bagai mesin yang siap menerima perintah dari

penguasanya. Secara tidak langsut lewat kata yang dipakai Kuntowijoyo dengan

istilah mesin politik menandakan bahwa mereka yang tergabung ke dalam mesin

poltik telah kehilangan derajata kemanusiaannya dan hanya bergerak seperti

mesin tidak lagi bergerak berdasarkan rasa kemanusiaan mereka seperti akal

sehat, nilai, dan norma.

“Perilaku manusia mesin hanya berdasar stimulus and response, seperti

digambarkan dalam psikologi behaviorism. Perilaku manusia tidak lagi

berdasar akal sehat, nilai, dan norma. Agresivitas, korupsi, selingkuh,

tawur, dan semua kriminalitas adalah hasil dari manusia mesin itu.”62

Abu sebagai manusia dengan kesadaran dirinya menolak untuk ikut bergabung,

meskipun diimingi oleh kenaikan pangkat dan berbagai keuntungan. Inilah yang

dimaksud humanisasi menurut etika profetik Kuntowijoyo. Kesadaraan

kemanusaiaan yang lahir dari dalam diri, dan menolak bentuk-bentuk

dehumanisasi seperti objektivasi yang dialami Abu Kasan Sapari tersebut.

Pada novel mantra penjinak ular, selain memunculkan bentuk-bentuk

dehumanisasi modern dihadirkan pula bentuk bentuk dehumanisasi tradisonal.

Dehumanisasi tradisional disebut Kuntowijoyo sebagai “kebendaan”. Pemujaan

wesi aji dan batu mulia, kekramatan kuburan, sesaji, topa macam-macam, tuyul,

jimat, mantra, santet, dan sebagainya.63

Bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional

seperti ini menurut Kuntowijoyo masih terjadi di era masyarakat modern. Bentu-

bentuk dehumanisasi tradisinoal tersebut dimunculkan oleh Kuntowijoyo dalam

novelnya Mantra Penjinak Ular.

Bentuk dehumanisasi tradisional yang pertama yakni tercermin dari

perilaku kakek Abu Kasan Sapari dari pihak ayah. Ketika Abu Kasan Sapari

62

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 16. 63

Ibid, h. 21.

Page 91: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

81

masih bayi, dia dibawa oleh kakeknya ke kuburan Ronggo Warsito untuk ngalap

berkah.

“Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang

terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah,

meminta restu.”64

Ngalap berkah ke kuburan seperti itu dilakukan agar bayi tersebut mendapat

berkah dan restu dari Ronggowarsito, selain itu juga mengharapkan si bayi nanti

bisa seperti Ronggowarsito yang disegani dan dihormati. Selain ngalap berkah ke

kuburan (mengkramatkan kuburan), terkadang setiap sore saat terang bulan kakek

tersebut membawa Abu Kasan Sapari ke tepi saawah untuk digendongnya

mengharap berkah dari bulan.

“Pada sore terang bulan kakek itu akan membawanya ke tepi swah,

sebab di tempat itu bulan tidak terhalang pohon-pohon dan rumah-rumah.

Sambil mengharap berkah bulan ia akan berkata, “Run-turun. Bulan, minta

kuningmu. Bulan, minta cahayamu.”65

Mengkramatkan suatu benda juga dilakukan oleh masyarakat Tegalpandan.

Mereka mengkramatkan pohon beringin tua di depan terminal.

“Mereka menggermuni pohon yang tergeletak di tanah. Mereka

tertegun. Ada ketakutan di wajah mereka. pohon yang entah kapan

menanamnya. Pohon yang sudah menyatu dengan Tegalpandan. Waktu

mereka kawin meskipun sedikit harus mengambil hiasan dari daun-daunan

yang berasal dari pohon itu. Orang-orang tua masih harus membakar

kemenyan di bawahnya. Pagi itu ada aturan baru untuk bis. Orang-orang

pasar juga memerlukan menengok beringin itu sebelum memasang

dagangan.”66

Terlihat bagaimana masyarakat masih terjebak dengan budaya-budaya

yang merupakan bentuk dehumanisasi tradisional. Pada artikel yang dimuat di

Harian Kompas edisi Senin, 30 Desember tahun 2000. Kuntowijoyo

mengkategorikan fenomena dehumanisasi tersebut sebagai sakralisasi

(mengkramatkan), dalam hal ini sakralisasi tempat.

64

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 2. 65

Ibid, h. 5. 66

Ibid, h. 215.

Page 92: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

82

“Sakralisasi tempat kita temukan pada pemuliaan pada kepercayaan

tentang manjurnya doa di makam-makam keramat, tentang gunung,

tentang sendhang, tentang senthong (kamar dalam-tengah rumah Jawa).”67

Mengkramatkan sebuah pohon dan menganggap pohon tersebut dapat

mendatangkan berkah atau kesialan bagi diri merka, secara tidak sadar telah

menghilangkan derajat kemanusian yang ada dalam diri mereka. Sama halnya

juga yang dilakukan oleh tokoh Kakek yang mengarap berkah terhadap makam-

makam leluhur di desa. Dimana bentuk-bentuk itu merupakan

sakralisasi(mengkramatkan). Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo bentuk-bentuk

dehumanisai tradisional tersebut dikarenakan keadaan manusia yang lebih

dikuasai bawah sadarnya, ketimbang kesadarannya.

Dehumanisasi tradisional selanjutnya yakni mantra. Mantra ini menjadi

bentuk dehumanisasi tradisional yang dominan dalam novel ini. Hal tersebut

dikarenakan ini merupakan permasalahan yang dihadapi tokoh utma dalam novel

ini Abu Kasan Sapari. Abu menggunakan mantra tersebut untuk menaklukan dan

berinteraksi dengan ular. Awal mula Abu Kasan Sapari mendapat mantra tersebut

ketika berada di acara cembeng sebuah perayaan yang diadakan di pabrik gula

tasikmadu. Dia didatangi oleh seorang kakek yang memilihnya untuk menurunkan

mntra penjinak ular miliknya. Mantra tersebut memiliki beberapa syarat dan

ketentuan sebelum dikuasai penuh oleh pemiliknya.

“Bagus itu sudah betul. Ada laku yang harus dijalankan dan wewaler,

pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya adalah kau harus ngebleng

tidak makan minum selama tiga hari, kemudian mutih tidak makan garam

selama tujuh hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak

boleh melangkahi ular sekalipun ular itu boleh membiarkan ada ular mati

tanpa dikuburkan. ...”68

Abu Kasan Sapari yang merasa dirinya terpilih senang, dan melakukakn semua

syarat tersebut. Singkat kata Abu Kasan Sapari berhasil menguasai mantra

tersebut, berhasil berinteraksi dengan ular. Abu Kasan Sapari juga mengerjakan

67

Kuntowijoyo, “Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”, Kompas, Sabtu, 30

Desember 2000, h. 4. 68

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 21.

Page 93: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

83

syarat-syarat yang dianjurkan oleh kakek tersebut, seperti selalu mengubur

bangkai ular yang dilihatnya di manapun.

“Sebentar ular itu berhenti, Abu mengerti itu artinya ucapan terima

kasih, kemudian menghilang di semak-semak. Ia berdiri, baru menyadari

sepenuhnya apa yang telah terjadi dan ia tersenyum. Ia telah menguasai

ilmu penjinak ular.”69

Dapat dikatakan mantra yang dimiliki Abu Kasan Sapari tidaklah terlalu

buruk bagi dirinya. Lewat mantra tersebut dia bisa lebih denkat dengan ular dan

alam, kemudian membuatnya sebagai aktivis pecinta lingkungan dan mengajak

masyarakat tidak lagi memburu ular dan bersahabat dengan ular. Bisa dikatakan

saat itu mantra tersebut tidak berdampak buruk kepada Abu Kasan Sapari. Akan

tetapi lambat laun kecintaan Abu Kasan Sapari terhadap ular makin menggila

dengan memelihara ular di dalam rumahnya. Tentunya itu membuat kepanikan

tersendiri bagi warga di sekitar tempat Abu Kasan Sapari tinggal. Abu juga selalu

memakai mantranya untuk berinteraksi dengan ular tersebut. Kecintaan Abu

Kasan terhadap ular membuat dirinya kehilangan kesadaran diri tentang hidup

bermasyarakat. Tentang warga sekitar rumahnya yang panik Abu Kasan Sapari

memelihara ular di rumahnya. Dengan berbagai alasan Abu Kasan Sapari

mencoba meyakinkan warga sekitar rumahnya bahwa ular itu tidak berbahaya.

Dapat disimpulkan ketergantungan Abu Kasan Sapari terhadap mantra

pejinak ular miliknya, kemudian melakukan pantangan-pantangan agar mantranya

dapat dikuasai membuat Abu Kasan Sapari jatuh pada bentuk dehumanisasi

tradisional. Kehilangan kesadaran diri bahwa setiap manusia harus dapat hidup

bermasyarakat dengan baik juga dialami Abu Kasan Sapari akibat kecintaannya

yang berlebihan terhadap ular, dengan memlihara ular di dalam rumahnya hal

itulah yang membuat warga resah.

Abu Kasan Sapari mulai menyadari bahwa dia amat ketergantungan

dengan mantranya. Abu Kasan Sapari menyadari bahwa mantra bukan sastu-

satunya jalan untuk berinteraksi dengan ular.

69

Ibid, h. 28.

Page 94: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

84

“Abu pulang dengan kesimpulan bahwa mantra, laku, dan pantangan

adalah salah satu cara, tapi bukan satu-satunya.”70

Abu juga mulai menyadari dirinya makin dijauhi oleh masyarakat karena ular

peliharaannya tersebut. Abu Kasan Sapari mulai sadar bahwa dia harus melepas

mantra yang dimilikinya dan juga melepas klanengannya (peliharaannya).

Kesadaran Abu untuk melepas mantranya dimantapkan setelah dia bermimpi

bertemu Eyangnya.

“Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan

doa, bukan mantra.” Eyangnya turun dari dipan, dan melesat dengan kuda

semberani.”71

Selain disarankan oleh Eyang dia juga disarankan oleh H. Syamsudin agar

melepas mantra itu dan tidak meneruskannya ke orang lain.

“Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman.

Karenanya malahan kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang

zaman modern, bukan zamannya mantra lagi.” 72

Abu akhirnya memutuskan untuk memutus mata rantai mantra tersebut atas

berbagai fakta yang dilihatnya dan pertimbangan dari orang-orang yang Abu

Kasan Sapari percaya. Selain itu juga, dia akan menyerahkan ular peliharaannya

kepada kebon binatang. Hal tersebut dikarenakan dirinya akan menikahi Lastri,

dimana Lastri takut terhadap ular, dan kurang setuju Abu Kasan Sapari

memelihara ular.

Pelepasan mantra yang dan pemutusan mata rantai yang dilakukan Abu

Kasan Sapari merupakan wujud etika humanisasi. Abu Kasan Sapari menemukan

kesadaran diri bahwa yang dibutuhkan manusia bukanlah mantra tapi ilmu,

teknologi, dan doa seperti yang dikatakan eyangnya. Mantra hanya akan

membuatnya lambat laun kehilangan kesadaran diri sebagai manusia di dalam

dirinya. dengan memutus mata rantai mantra penjinak ular yang ada pada dirinya,

tokoh Abu Kasan Sapari telah berhasil melawan bentuk-bentuk dehumanisasi

70

Ibid, h. 141. 71

Ibid, h. 257. 72

Ibid, h. 259.

Page 95: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

85

tradisional pada dirinya. Dapat disimpulkan, pemutusan mata rantai mantra

penjinak ular merupakan wujud etika humanisasi yang telah dilakukan Abu Kasan

Sapari atas dehumanisasi tradisional (mantra) yang terjadi pada dirinya.

Perlawanan Abu Kasan Saparai terhadap dehumanisasi tradisional tidak

hanya terkait dengan mantra pejinak ular saja. Perlawanan Abu terhadap

dehumanisasi tradisional lainnya yakni menolak segala macam sesaji dan

pantangan yang berurusan dengan kesenian wayang. Seperti pada kasus pagelaran

wayang yang diadakan untuk ruwat bumi, meskipun lurah setempat mengadakan

itu dengan upaya untuk selamtan karena setelah pohon beringin di depan terminal

tumbang para warga banyak mengalami gangguan-gangguan yang berbau mistis.

Abu menerima permintan mendalang dengan berbagai syarat diantaranya tidak

ada sesaji. Juga namanya diganti dari slametan menjadi ruwat bumi. Hal tersebut

dilakukan oleh Abu Kasan Sapari setelah berunding dengan Lastri

“Mudah saja. Jangan sebut itu selamatan,” kata Lastri.

“Lalu?”

“Ruwat Bumi, atau apa begitu.”

“Wah kok cerdas, Yu.”

“Undang seorang ustadz untuk berceramah sebelum wayang dimulai.”

“Lalu?”

“Jangan pakai sesaji. Kata orang, itu malah mengundang setan.” 73

Humanisasi terhadap bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional juga hadir

dalam penceritaan riwayat Eyang pada bab 13 dengan subjudul mencari akar.

Eyang sewaktu muda menolak bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional seperti

memberi sesaji ketika ingin menebang pohon, sihir, takhayul, takut pada sebangsa

jin. Seperti contoh ketika Eyang ingin menebang pohon dia tidak menggunakan

sesaji apapun, dia juga tidak percaya pada kekramatan pohon-pohon yang

ditumbangnya. Eyang hanya menggunakan orang-orang dan doa untuk menebang

pohon-pohon tersebut, tanpa sesaji sedikitpun.

73

Ibid, h. 217-218.

Page 96: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

86

“Sebab, waktu itu sekarang saja juga demikian pohon-pohon tua dan

besar itu dikira banyak penghuninya, dikeramatkan. Orang semula takut

menebang. Hanya setelah dia mengucapkan doa-doa pengusir jin, orang

berani menebang.”74

“... . Tidak seorang pun berani menebang. Orang-oramg takut, kata

mereka pohon itu banyak penunggunya. Jadi orang takut kualat. Tolong

ditunggii, supaya orang berani. Sehari sebelum penebangan, eyang datang.

Malam hari dia sengaja tidur dekat pohon untuk meminta para penghuni

pergi. ...”75

“Dulu itu ada yang disebut gendhel, bekas sayatan yang membengkak.

Untuk menyembuhkannya orang biasa mencari batu-batu yang panas dan

ditempelkan, dengan harapan bengkak itu segera mengering. Tetapi,

mungkin batu itu justru yang menyebabkan bengkaknya tidak juga

sembuh. Istilahnya sekarang mungkin batu itu tidak steril... . Eyang

membuat ramuan yang istimewa, dan melarang pemuda itu menggunakan

batu. Setengah bulan kemudian bengkaknya kempes-pes.”76

Dalam riwayat Eyang pada bab 13 dapat ditarik kesimpulan bahwa

manusia merupakan mahluk yang paling tinggi derajatnya. Seorang manusia

jangan sampai jatuh pada bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional yang malah

justru membuat derajat manusia itu turun. Manusia tidaklah lagi membutuhkan

hal-hal yang berbau mitos dan klenik seperti sesaji, pantangan, dan laku-lakuan.

Manusia hanyalah butuh ilmu, teknologi, dan doa sebagai senjatan terakhirnya.

Dapat dikatakan bentuk humanisasi terhadap dehumanisasi tradisional menurut

Eyang bisa dapat dilakukan dengan ilmu, teknologi, dan doa.

Peryataan Eyang yang mengatakan melawan bentuk-bentuk dehumanisasi

tradisional dengan ilmu, teknologi, dan doa, sejalan dengan apa yang dikatakan

Kuntowijoyo. Pada sebuah tulisan M. Mustthafa, di sana dikutip pendapat

Kuntowijoyo mengenai perlawanan terhadap mitologisasi (dehumanisasi

tradisional).

74

Ibid, h. 196. 75

Ibid, h. 201. 76

Ibid, h. 207.

Page 97: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

87

“Menurut Kuntowijoyo, ada beberapa media yang dapat menjalankan

fungsi demitologisasi, yaitu ilmu dan teknologi, gerakan puritanisme

agama, serta sejarah dan seni.”77

Pada saat pilkades di desa kemuning, banyak calon lurah yang

menggunakan dukun untuk memenangkan mereka dalam pemilihan kepala desa

tersebut. Dukun tersebut memberi anjuran laku-lakuan yang harus dilakukan oleh

calon lurah jika ingin memenangi pilkades di desanya. Laku-lakuan tersebut

seperti mandi di sendan, lek-lekan selama tujuh malam, dan sebagainya. Semua

laku-lakuan yang dianjurkan oleh dukun tersebut dilakukan oleh calon lurah

tersebut.

“Dia sudah mengimbanginya dengan lek-lekan selama tujuh malam.

Untuk mencegah kantuk, orang bermain kartu cina, dengan sedikit

taruhan. Dukun telah memlihkan gambaran yang tepat, yaitu “Obor”. Dia

juga telah memenuhi saran dukun untuk nyekar di makam cakal bakal

desa.”78

Dapat dikatakan kepercayaan dan ketergantungan calon lurah tersebut

kepada dukun, merupakan salah satu bentuk dari dehumanisasi tradisional. Calon

lurah tersebut terjebak pada apa yang disebut dehumanisasi tradisional. Calon

lurah tersebut kehilangan kesadaran dirinya sebagai manusia yang harusnya

percaya pada hal-hal yang realistis bukan percaya pada mitos, laku-lakuan, dan

pantangan-pantangan yang sifatnya abstrak. Pada akhirnya calon lurah yang

didukung dukun tersebut kalah. Itu artinya segala bentuk mitos, laku-lakuan, dan

pantangan yang sifatnya abstrak tidak bisa diandalkan untuk menarik simpati

warga untuk memilihnya, karena perilaku seperti laku-lakuan itu manfaatnya

tidak bisa dirasakan oleh masyarakat. Hal-hal yang bersifat realistis seperti

wayangan semalam suntuk yang dilakukan, mungkin akan lebih bisa menarik

simpati warga karena manfaatnya bisa dirasakan oleh warga.

Kuntowijoyo menyinggung di dalam maklumat sastra profetiknya

mengenai manusia mesin. Perilaku manusia mesin hanya berdasarkan stimulus

and responce, seperti digambarkan dalam psikologi behaviorisme. Perilaku

77

M. Musthafa, “Demitologisasi Melalui Seni”, Kompas, 12 November 2001, h. 35. 78

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 109.

Page 98: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

88

manusia tidak lagi berdasarkan akal sehat, nilai, dan norma. Kuntowijoyo

menyebut fenomena tersebut sebagai otomatisme (manusia jadi otomaton,

bergerak secara otomatis). Fenomena manusia mesin seperti itu dimunculkan oleh

Kuntowijoyo dalam novelnya Mantra Penjinak Ular. Pada novel tersebut bisa

dilihat perilaku manusia mesin dapat terlihat dalam perilaku mesin politik.

Mesin politik dalam novel Mantra Penjinak Ular merupakan mesin yang

berkerja untuk partai Randu. Mesin politik berisi orang-orang Randu/ loyalis

Randu. Orang-orang tersebut tidak hanya orang yang berkecimpung di partai saja,

melainkan juga para pegawai pemerintahan yang juga ikut menjadi bagian dari

mesin politik. Mesin politik bertugas untuk menjaga hegemoni kekuasaan partai

randu di masyarakat menjelang pemilu. Mesin politik berkerja hingga desa-desa

(contohnya dalam pilkades) untuk menghegemoni masyarakat supaya randu bisa

menang dalam pemilu.

Target tersebut berusaha dicapai mesin politik lewat berbagai hal, dan

menghalalkan segala cara. Seperti ketika mereka membuat konsopirasi penahanan

Abu Kasan Sapari yang mencoba melawan mesin politik. Kemudian juga, mesinin

politik lewat kekuasaannya sebagai mesin dari partai penguasa pemerintahan kala

itu, melakukan pemutasian kepada pegawai pemerintahan yang tidak loyal

terhadap randu, sebagai contoh peristiwa pemutasian Abu Kasan Sapari dan

Camat Baru Kemuning. Hal-hal abnormal yang dilakukan oleh mesin politik

tersebut telah mencirikan apa yang dinamakan sebagai manusia mesin. Orang-

orang yang ada dalam mesin politik bergerak atau berkerja berdasarkan perintah

dari randu (penguasa).

“ingat, target pilkades dan pemilu kita ialah seratus persen. Itu kalau

kau masih mau jadi sekda,” bisik mesin politik lagi.79

Melihat kutipan tersebut, bisa terlihat mesin politik menginginkan

kemenangan randu seratus persen dalam pilkades dan pemilu. Mereka mencoba

mencapai target tersebut dengan menekan camat untuk mengkondisikan warganya

79

Ibid, h. 111.

Page 99: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

89

agar memilih Randu. Penekanan kepada camat tersebut berupa sebuah bentuk

nepotisme, yakni tawaran jabatan sebagai Sekda. Mereka, orang-orang yang ada

dalam mesin politik tidak lagi melihat apa yang mereka kerjakan berdasarkan

nilai, norma, dan akal sehat. Akan tetapi, mereka berkerja atau bergerak hanya

berdasarkan perintah. Dengan kata lain mereka seperti mesin yang bergerak atau

berkeja sesuai apa yang diinginkan penggunanya.

Secara tidak sadar mereka para mesin politik lewat perintah-perintah dan

target-target yang diembankan kepada mereka, telah menghilangkan harkat

kemanusiaan mereka. Mereka tidak lagi mempertimbangkan akal sehat mereka,

norma, serta nilai yang ada dalam diri mereka. Para mesin politik hanya bergerak

berdasarkan perintah yang diembankan kepada mereka. para mesin politik tidak

lagi menjadi manusia yang utuh karena mereka tidak menggunakan kesadaran

(akal sehat, norma, serta nilai) dalam melaksanakan perintah. Jadi dapat

disimpulkan mesin politik yang muncul dalam novel mantra penjinak Ular

mencerminkan apa yang dinamakan manusia mesin. Lewat perilakunya yang

abnormal, melakukan sesuatu tidak berdasrakan kesadaran, karena hanya

mementngkan perintah dan target yang ingin mereka capai. Menurut

Kuntowijoyo terbentuknya manusia mesin sebagai akibat dari dehumanisasi,

dimana perilaku manusia hanya dikuasai oleh bawah sadarnya ketimbang

kesadarannya.

Pada novel Mantra Pejinak Ular ada konflik antara Abu Kasan Sapari

dengan para warga desa yang tidak setuju Abu Kasan Sapari memelihara ular.

Konflik tersebut berujung pada peristiwa gropyokan. Peristiwa tersebut dilakukan

oleh para warga untuk menusir Abu Kasan Sapari dan ularnya. Mereka melakukan

gropyokan karena tidak puas dengan hasil pertemuan yang dilakukan di mana

pertemuan tersebut menghasilkan keputusan Abu Kasan Sapari boleh memelihara

ular di dalam rumahnya. Dalam melakukan gropyokan tersebut, para warga tidak

berhasil menemui Abu Kasan Sapari. Kekecewaan mereka, dilampaiaskan dengan

tindakan agresif dengan meenggedor-gedor pintu dengan linggis, kemudian

mendobrak pintu kos Abu Kasan Sapari.

Page 100: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

90

“pada dini hari orang-orang mulai menggebrak-gebrak pintu dengan

linggis. Mereka jadi lebih galak, lebih beringas. Makin lama makin

banyak.”80

Peristiwa gropyokan dapat dikatakan sebagai sebuah agrseivitas kolektif. Hal ini

dapat dibuktikan dengan tindakan para warga yang tidak bisa menerima keputusan

pertemuan. Mereka mencoba mengusir Abu Kasan Sapari dan ularnya, yang jelas-

jelas belum pernah membuat masalah di sekitar lingkungannya. Mereka juga

bertindak agresif dalam gropyokan dengan membawa senjata-senjata,

menggebrak-gebrak pintu, sampai pada mendobrak pintu. Hal-hal tersebut sudah

cukup menandakan peristiwa gropyokan tersebut sebagai sebuah agresivitas

kolektif.

Kuntowijoyo menyebut bahwa agresivitas kolektif ini merupakan bagian

dari manusia massa. Manusia massa menurut Kuntowijoyo memandang realitas

tidak secara utuh, lebih banyak menekankan aspek emosional daripada

intelektual.81

Memandang realitas tidak secara utuh dan lebih banyak menekankan

aspek emosional sejalan dengan apa yang tercermin dari peristiwa gropyokan

dalam novel mantra penjinak ular. Para warga merasa takut akan ular yang

dipelihara Abu Kasan Sapari di dalam rumahnya, dan berpikir yang tidak-tidak

mengenai ular tersebut. Ketakutan mereka membuat mereka tidak bisa melihat

realita yang ada bahwa ular yang dipelihara Abu Kasan Sapari itu jinak, ular

tersebut juga ada di dalam kandang yang kuat dan tidak mungkin bisa kabur dan

memangsa hewan ternak seperti yang dituduhkan warga kepada ular tersebut.

Ketakutan warga itulah yang menimbulkan gropyokan yang berisi

tindakan-tindakan agresif. Dapat disimpulkan, ketakutan dalam diri orang-orang

yang melakukan gropyokan tersebut menghasilkan suatu tindakan agresif yang

dilakukan secara kolektif. Ketakutan mereka dalam hal ini aspek emosional dalam

diri mereka membuat mereka tidak bisa memandang realitas keadaan

sesungguhnya secara utuh.

80

Ibid, h. 268. 81

Kuntowioyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 19.

Page 101: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

91

Pada novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo terdapat banyak

bentuk-bentuk dehumanisasi. Baik itu berupa dehumanisasi modern maupun

tradisional. Dehumanisasi moedern muncul dalam bentuk objektivasi manusia dan

juga manusia mesin. Kemudian dalam dehumanisasi tradisional, Kuntowijoyo

menghadirkan bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional, seperti sakralisasi

(mengkramatkan) tempat, keterikatan terhadap mantra, dan melakukan laku-

lakuan serta pantangan. Etika humanisasi, tercermin dari proses mencapai

kesadaran sebagai manusia seutuhnya ditampilkan oleh Abu Kasan Sapari yang

terbebas dari dehumanisasi. Baik itu dehumanisasi modern, seperti objektivasi

dirinya oleh Mesin Politik, maupun dehumanisasi tradisional, yakni mantra

penjinak ular yang dikuasai dirinya.

b. Liberasi

Liberasi dalam etika profetik yang dirumuskan Kuntowijoyo berakar dari

makna nahi munkar. Nahi munkar sendiri memiliki makna mencegah kepada hal-

hal yang munkar/ mencegah kepada kemunkaran. Istilah liberasi berasal dari kata

latin liberare yang berarti memerdekakan/ pembebasan, semuanya dengan

konotasi yang mempunyai signifikansi sosial.82

Seperti yang diketahui sasaran

liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan

sistem politik.83

Masalah-masalah belenggu terhadap suatu sistem yang menjadi

sasaran liberasi tersebut, dimunculkan oleh Kuntowijoyo dalam karya-karya

sastranya, tidak terkecuali novel yang menjadi objek penelitian ini yakni mantra

penjinak ular.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan etika liberasi muncul dalam

bentuk masalah-masalah yang dihadapi para tokohnya dalam novel mantra

penjinak ular. Secara tidak sadar beberapa tokoh dalam novel ini telah melakukan

apa yang dinamakan etika profetik, yakni etika liberasi. Etika yang dikonsepkan

Kuntowijoyo dalam pemikirannya tentang sastra profetik. Perwujudan etika

82

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, op. Cit., h. 365. 83

Ibid, h. 370.

Page 102: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

92

liberasi beserta masalah-masalahnya akan dipaparkan jelas di paragraf

selanjutnya.

Pada novel Mantra Penjinak Ular muncul masalah terkait penindasan

mesin politik terhadap kebebasan berkesenian. Penindasan tersebut yakni upaya

mempolitisasi kesenian. Upaya tersebut berupa memanfaatkan kesenian wayang

untuk kepentingan-kepentingan politik. Kesenian wayang digunakan untuk

menghegemoni masyarakat. Hal tersebut digunakan Mesin Politik dalam upaya

mempertahankan kekuasaan kaum penguasa kala itu, yakni randu.

Memanfaatkan seni untuk melanggengkan kekuasaan atau kepentingan

politik di negeri ini memang bukan hal yang baru. Memanfaatkan seni sebagai

propaganda politik ini dilakukan pula pada saat era presiden Soekarno.

“Di bawah kepempinan presiden pertama Indonesia, Soekarno, semua

partai politik tahu cara memanfaatkan pertunjukan wayang kulit Jawa

untuk tujuan-tujuan propaganda. Setiap partai berusaha menggambarkan

dirinya sebagai pihak yang benar dan unggul sehingga

mengidentifikasikan dirinya sebagai Pandawa‟yang berada di pihak yang

benar‟ dalam kisah Mahabharata.”84

Nirwan Dewanto dalam tulisannya “Politik (dan) Kesenian: Pelajaran dari Dua

Zaman” pun berpendapat bagaimana pentingnya seni guna mempertahankan

kekuasaan,

“Dan agar publik terpesona kepadanya – mengakui dan mendukungnya

– kekuasaan juga menyediakan panggung penampilan. Kekuasaan

memerlukan keindahan yang, secara langsung atau tidak, bisa

melegitimasikannya. Demikianlah kita memahami mengapa suatu politik

kesenian diselenggarakan.”85

Memanfaatkan seni untuk menarik hati masyarakat dilakukan Mesin

Politik. Sebagai contohnya dalam novel ini, Mesin Politik berusaha menggunakan

media wayang sebagai media kampanye sebelum pemilu diselenggarakan, mereka

84

Marshall Alexander Clark, Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru,

(Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2008), h. 23. 85

Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan, (Yogyakarta: Bentang, 1996), h. 91.

Page 103: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

93

menggunakan hal tersebut agar masyarakat memilih Randu pada saat pemilu

nanti.

“Ia mendapat keterangan bahwa untuk keperluan kampanye Mesin

Politik berencana mengumpulkan para dalang. Di setiap desa akan

diselenggarakan wayangan. Sebagai dedengkot para dalang, ia sudah

disowani Mesin Politik untuk diminta restunya.”86

Mengumpulkan para dalang untuk mendukung sebuah partai politik (Randu) yang

muncul dalam novel Mantra Penjinak Ular, mirip dengan apa yang dilakukan

presiden Soeharto ketika masa kepemimpinannya. Kala itu presiden Soeharto

memanfaatkan media wayang untuk menyampaikan propaganda pemerintah dan

juga untuk mendukung partainya, yakni Golkar.

“Rezim Orde Baru Soeharto mengarahkan para dalang untuk secara

terbuka mendukung partai politik pemerintah, Golkar, dan pertunjukan

wayang sering digunakan untuk menyampaikan propaganda pemerintah.

Dari waktu ke waktu Soeharto menyampaikan pidato yang menunjukkan

bahwa wayang dpergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan seperti

pentingnya pembangunan ekonomi dan keluarga berencana (Sears,

1996).”87

Selain Mesin Politik, kesenian juga digunakan tokoh utama Abu Kasan

Sapari dalam upaya melawan kekuasaan kaum penguasa beserta mesin politiknya.

Perwujudan politisasi kesenian yang dilakukan Abu Kasan Sapari dalam novel ini

terlihat pada bab VII novel ini dengan sub judul Abu Versus Mesin Politik, Botoh,

dan Dukun. Pada bab tersebut bercerita tentang peristiwa dilakukannya pilkades

serentak di Kecamatan Kemuning. Pada pilkades di daerah tempat kerjanya

tersebut, Abu kasan Sapari melihat banyak kecurangan dalam hajat demokrasi

tersebut. Di sana ada campur tangan mesin politik, botoh, dan peran dukun. Abu

Kasan Sapari yang saat itu sudah dikenal sebagai dalang diminta oleh beberapa

lurah untuk mendalang dalam kampanye lurah-lurah tersebut. Pemanfaatan

kesenian wayang tersebut tidak disadari oleh abu kasan sapari sebagai bentuk

politisasi kesenian, dimana pertunjukan wayang tersebut digunakan untuk

menarik simpati masyarakat untuk memilih lurah-lurah tersebut. Benar saja dari

86

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 156. 87

Alexander Clark, op. Cit., h. 23.

Page 104: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

94

empat calon lurah yang menggunakan kesenian wayang dalam kampanye, tiga

diantaranya terpilh sebagai lurah.

“Dukungan Abu Kasan Sapari masuk tiga, satu gagal, yaitu guru SLTP

itu. Politik tingkat desa itu oleh koran Suara Bengawan digambarkan

setengah jujur setengah tidak. Sebab, ada keterlibatan sihir. Sihir itu

bernama mesin politik, botoh, dukun dan kesenian.”88

Politisasi kesenian yang sengaja dilakukan oleh mesin politik, maupun

yang secara tidak sengaja dilakukan Abu Kasan Sapari tersebut dapat dikatakan

telah membelenggu kesenian wayang (seni) itu sendiri. Wayang (seni) yang

seyogyanya banyak memiliki nilai-nilai di dalamnya, dan berfungsi sebagai

kesenian yang multifungsi sekaligus banyak menyampaikan pesan-pesan kepada

masyarakat setelah dipolitisasi seolah membelenggu kesenian wayang itu sendiri.

Wayang menjadi kesenian yang hanya bertujuan dan berfungsi sebagai alat

politik, sebagai alat mempertahankan kekuasaan maupun melawan kekuasaan.

Secara tidak sengaja dan tidak disadari Abu Kasan Sapari telah melakukan

politisasi kesenian untuk memenangkan lurah-lurah yang meminta tolong

padanya. Ia baru menyadari bahwa Ia melakukan politisasi kesenian ketika

membaca surat kabar Bengawan yang menyebutkan bahwa politik tingkat desa itu

digambarkan setengah jujur setengah tidak. Karena ada campur tangan mesin

politik, botoh, dukun, dan kesenian.

“Sihir itu bernama Mesin Politik, botoh, dukun, dan kesenian. Sihir itu

meskipun tidak melanggar peraturan, tetapi mempengaruhi kemurnian

suara. orang terpengaruh oleh gaya, tidak oleh isi. Karena di sebut-sebut

kesenian, Abu mengerti bahwa yang dimaksud adalah wayangan.”89

Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari menyadari bahwa kesenian tidak boleh

dipolitisasi, kesenian itu keindahan yang otonom.

Kesadaran Abu Kasan Sapari akan kesenian yang harus bebas dari

belenggu sistem politik. Upaya pembebasan terhadap sistem politik kepada

kesenian tidak hanya dalam kesadaran semata, tapi juga dalam bentuk upaya yang

88

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 110. 89

Ibid, h. 110.

Page 105: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

95

nyata, dengan mendirikan paguyuban dalang independen. Pendirian paguyuban

tersebut berangkat dari pengalaman Abu Kasan Sapari yang pernah melakukan

politisasi kesenian, dan membuatnya harus berurusan dengan mesin politik karena

dianggap sebagai penghalang mesin politik dalam mempertahankan hegemoninya

dalam masyarakat. Petikan yang menggambarkan pemikiran abu terhadap

kesenian yang harus otonom dan independen terlihat pada petikan wawancaranya

dengan teman wartawan.

“Nanti dulu. Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang sebagai seni

pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang

jangan mempergunakan seni pedalangan untuk keperluan politik, artinya

mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara

mutlak. Tetapi, dalam hal kedua, diam diam seorang dalang boleh

menggunakannya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol.

Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang

dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari

komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal

kedua itu.”90

pemikiran-pemikiran Abu Kasan Sapari terkait liberasi kesenian juga terlihat pada

tulisan wartawan pada halaman 170 novel ini.

“Akhir-akhir ini ada sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk

keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS berpendapat bahwa seni itu

seperti air. Artinya kalau ada yang benjol-bejol dalam masyarakat seni

akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni

menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat bahwa seni memberi air

mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan,

memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya

menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni.”91

Bisa terlihat perwujudan liberasi kesenian yang dilakukan oleh Abu Kasan

Sapari yakni dalam bentuk, tidak lagi melibatkan wayang dalam kegiatan politik,

seperti contoh kampanye. Selain tidak lagi melibatkan wayang dalam kegiatan

politik, Abu Kasan juga mendirikan Paguyuban Dalang Independen, paguyuban

tersebut menginginkan kesenian wayang yang bebas dari penindasan politik

berupa intervensi kepada para dalang, maupun politisasi kesenian wayang itu

90

Ibid, h. 154. 91

Ibid, h. 170-171.

Page 106: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

96

sendiri. Dapat disimpulkan, Abu Kasan Sapari yang sebelumnya pernah

memanfaatkan kesenian untuk calon-calon lurah, akhirnya menyadari

kesalahannya. Kesalahannya tersebut merupakan bentuk penindasan terhadap

seni. Kesadaran Abu Kasan Sapari yang tidak lagi melibatkan wayang dalam

kepentingan politik tersebut mencerminkan kesadaran liberasi/ etika liberasi.

Etika liberasi tersebut berupa liberasi terhadap kesenian.

Perwujudan masalah lain dalam novel ini terkait etika liberasi, yakni

adanya masalah terkait pemerintahan yang otoriter membungkam oposisi,

monoloyalitas pegawai negeri, nepotisme, dan kronisme. Pada masalah

pemerintahan yang otoriter kita bisa melihat perwujudannya ketika abu kasan

sapari sebagai ketua paguyuban dalang independen diminta untuk diam sejenak

dan tidak bersuara (tidak berkata apa-apa yang bisa merugikan Mesin Politik)

ketika musim pemilu oleh mesin politik yang saat itu berkuasa di pemerintahan.

Abu yang menyadari hal tersebut sebagai bentuk pembelengguan terhadap dirinya

tidak mengindahkan peringatan dari mesin politik tersebut. Hal tersebut menjadi

salah satu faktor ditahannya Abu Kasan Sapari oleh polisi. Penahanan tersebut

direkayasa sedemikian rupa dengan harapan Abu Kasan Sapari kapok, diam, dan

tidak lagi melawan penguasa (dalam hal ini Mesin Politik). Dapat terlihat

rekayasa penahanan abu yang mencerminkan otoriternya penguasa, dengan

menyematkan tuduhan anti pancasila, subversi, dan makar.

“Ia melihat dokumen, “Lho, kok anti-Pancasila, subversi, makar?

Perintah penangkapan yang saya tandatangani hanya soal kriminal biasa,”

katanya. “kalau begitu ini tugas tentara, bukan polisi.”92

“Seorang polisi menyerahkan secarik kertas kepada Kepala Polisi. “Ada

memo dari randu”

“Isinya?”

“Supaya menyukseskan pemeriksaan terhadap AKS.”

“Sudah diperiksa, to?”

“Sudah, tapi tidak ditemukan indikasi apa-apa.”

“Kalau begitu memo ini mblegedhes!”

“Mbleghedes!”

92

Ibid, h. 166.

Page 107: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

97

Kepala Polisi lalu membuat SP3 (Surat Perintah Penghentian

Penyidikan).”93

Masalah lain yang menyangkut liberasi, yakni monoloyalitas pegawai

negeri. Terkait masalah monoloyalitas pegawai negeri, pada Bab VI novel ini

dengan subjudul Wahyu Pohonan penggambaran seorang pegawai negeri harus

loyal kepada pemerintahan. Ini semacam belenggu bagi para pegawai negeri.

Monoloyalitas pegawai negeri inilah kadang yang mengenyampingkan

kepentingan-kepentingan masyarakat di dalamnya. Monoloyalitas ini merupakan

bentuk mempertahankan kekuasaan penguasa kala itu. Sudah bukan barang tabu

ketika membahas monoloyalitas, bila seorang pegawai tidak loyal, tentunya

mereka akan dipersulit karirnya. Kita bisa melihat perwujudan belenggu tersebut

dalam diri camat baru kemuning. Diceritakan dalam novel ini bahwa camat baru

kemuning tersebut karir puncaknya tidak lebih dari camat, hal itu dikarenakan dia

tidak loyal kepada pemerintahan

“Setidaknya, ia bukan tipe “camat santai”. Kabarnya dia sudah dicap

bahwa kariernya seumur hidup hanya akan setingkat camat. Karena dinilai

tidak loyal istilahnya tidak monolyalitas dia tidak akan pernah menjadi

Sekda Kabupaten, meskupun sebenarnya waktunya sudah sampai.” 94

Ketidakloyalan camat Kemuning dapat kita katakan sebagai bentuk liberasi

terhadap apa yang membelenggu pegawai negeri, belenggu tersebut berupa

monoloyalitas. Bentuk-bentuk liberasi yang dilakukan camat baru Kemuning

terlihat dalam program-program yang dilaksanakannya. Program camat baru

Kemuning tersebut berlawanan dengan program dari penguasa/ Mesin Politik

Randu terhadap desa. Seperti program jatinisasi yang dilaksanakan di kemuning

berlawanan dengan program randunisasi oleh penguasa/ Mesin Poltik (Randu).

“Tapi jangan heran kalau ada oknum politik yang terlalu bersemangat

dan menginginkan „pohon randu‟, dan bukan pohon jati. Ini tidak

menyenangkan, tapi itulah realitas kita. Kalau saya ya dua-duanya... .”95

93

Ibid, h. 175. 94

Ibid, h. 83. 95

Ibid, h. 93.

Page 108: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

98

Mesin Politik bertindak semena-mena dengan melakukan berbagai macam

upaya curang, dimulai dengan memajukan jarak pengumaman bakal calon lurah

dengan hari pemilihan dipercepat, hal ini memungkinkan hanya calon-calon dari

mesin politiklah yang lolos dikarenakan kesiapan mereka yang sudah disokong

oleh mesin politik. Camat baru diminta oleh mesin politik untuk mempercepat

pengumuman bakal calon lurah namun tidak dilaksanakan oleh camat baru

kemuning tersebut.

“... .ia memerintahkan Sekcam (Sekertaris Kecamatan) untuk membuat

konsep SK Camat yang berisi bahwa Pilkades diadakan dua minggu

setelah pengumuman.”96

Tokoh Abu Kasan Sapari juga dapat dikatakan menjadi pegawai negeri

yang tidak monoloyalitas. Perlawanan abu terhadap mesin politik pada pilkades di

kemuning saat itu membuatnya dicap sebagai pegawai negeri yang tidak loyal.

Hal itu pun secara sadar dirasakan oleh Abu Kasan Sapari. Mesin politik

menganggap Abu Kasan Sapari menjadi penyebab tidak terpenuhinya target dari

mesin politik. Permasalahan tersebut yang akhirnya membuat Abu /kasan Sapari

dimutasikan.

“... . Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha

memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di

Kemunging jauh sebelumnya. Pasalnya lurah-lurah yang dijagoi Randu

banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius

memperjuangkan Randu. Ada andi Abu dalam kegagalannya, dan itu

membuat Abu tidak enak dengannya pada hari-hari berikutnya.”97

“Surat itu berisi pemindahan Abu dari kecamatan itu. “Maafkan, semua

kesalahan saya, Pak.”/ “tidak ada kesalahan, tidak ada yang harus

dimaafkan. Kita semua menghadapi soal yang sama. Jangan bilang-

bilanng, kita sama-sama menghadapi keangkuhan kekuasaan.”98

Permasalahan terkait monoloyalitas pegawai negeri menjadi permasalahan

yang cukup menarik. Meskipun dalam novel ini tidak mendapat porsi peristiwa

yang lebih banyak. Dalam novel ini dapat terlihat perbedaan pegawai negri yang

loyal kepada penguasa (randu) dan pegawai yang tidak loyal pada penguasa

96

Ibid, h. 102. 97

Ibid, h. 99. 98

Ibid, h. 112.

Page 109: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

99

(randu). Camat lama Kemuning akibat monolyalitasnya kepada randu, serta

prestasinya yang bisa menjaga kecamatan bebas dari hal-hal yang menggangu

kekuasaan (randu) camat lama Kemuning dipromosikan sebagai pembantu bupati.

Sedangkan camat baru yang tidak monolyalitas karirinya puncaknya tidak lebih

dari camat.

Bentuk-bentuk mutasi pegawai tanpa alasan yang jelas menjadi sebuah

bentuk hukuman bagi pegawai negeri yang tidak monolyalitas. Bisa terlihat dari

kasus Abu Kasan Sapari yang sebelumnya berkerja di bagian bangdes kecamatan

kemuning dimutasi ke kecmatan tegalpandan dan mendapat bagian statistisk.

Bupati karangmojo yang tidak bisa menyusekseskan pemilu dengan memenuhi

target kemenangan mesin politik pun akhirnya dimutasi. Jadi dapat dilihat

bagaimana permasalahan monolyalitas pegawai negeri ini cukup menarik karena

berlangsung tidak hanya dalam lingkup kecamatan saja, tapi juga terus ke atas

hingga tingkatan gubernur, dan bentuk-bentuk hukuman oleh penguasa terhadap

pegawai-pegawai yang tidak monolyalitas hampir sama yakni pemindahan tugas

kerja (mutasi).

Pada catatan harian tokoh Abu Kasan Sapari ada sebuah paragraf yang

juga menyinggung etika liberasi. Pada paragraf tersebut diceritakan masalah

terkait belenggu-belenggu yang datangnya dari kekuatan luar/ eksternal yang

berlangsung sampai pada era modern

“Kata penatar P-4, Indonesia dijajah 350 tahun. Kata dosen sejarah

saya, itu hanya mitos, itu bohong. Mungkin kurang, mungkin lebih. Aceh,

misalnya, baru awal abad-20 dijajah. Irian dijajah sampai 1963. Dan

Timtim? Sekarang kita masih dijajah, tidak penjajahan politik, tapi

ekonomi dan kebudayaan. Ya lumayan, daripada semua dijajah. Ya

politiknya, ya ekonominya, ya kebudayaannya.”99

Inilah masalah yang dikategorikan oleh Kuntowijoyo dalam maklumat sastra

profetik sebagai ketidakadilan/ liberasi yang berasal dari kekuatan eksternal.

Dimana dia menyebutkan

99

Ibid, h. 45.

Page 110: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

100

“Ada liberasi dari kekuatan eksternal dan ada liberasi dari kekuatan

internal, yang kedua-duanya dapat menjadi tema sastra. Maklumat tidak

akan membicarakan liberasi dari kekuatan ekternal, yaitu (1) kolonialisme

yang sekarang hanya ada di Palestina, (2) agresi oleh negara adikuasa

kepada negala yang lemah, dan (3) kapitalisme yang menyerbu negara-

negara ketiga lewat berbagai rekayasa eknomis.”100

Dari paragraf-paragraf yang ada pada catatan harian tokoh Abu Kasan

Sapari tersebut, dapat terlihat masalah-masalah terkait kekuatan yang datang dari

luar memang masih terjadi meskipun tidak lagi di zaman kolonial. Bentuk-bentuk

ketidakadilan eksternal baik itu kapitalisme ataupun kolonialisme, terjadi secara

tidak kentara atau dapat dikatakan halus, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa

mereka terbelenggu oleh kekuatan eksternal baik itu kapitalisme maupun

kolonialisme. Jadi kolonialisme di era modern berupa penjajahan terhadap

ekonomi, kebudayaan, bahkan sampai kepada penjajahan politik. Semangat

pembangunan, dan revolusi industri di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya

pabrik-pabrik tanpa disadari telah membuat Indonesia terjerat dalam belenggu

kapitalisme. Belenggu yang membuat Indonesia ikut merasakan malapateka

ekonomi dunia pada tahun 1930.

Etika liberasi dari sistem politik pada novel mantra penjinak ular ini bisa

terlihat dari cerminan Kepala Polisi Tegalpandaan. Kepala polisi tersebut diminta

proses penangkapan dan peminadaan Abu Kasan Sapari dilakukan lebih cepat

sesuai rencana.

“... . “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD

Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh

karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu

diproses sesuai rencana.”101

Tetapi perintah dari DPD Randu tersebut tidak serta merta dilakukan oleh kepala

polisi, meskipun ia tahu bahwa partai randu merupakan partai yang menguasai

pemerintahan. Setelah pemeriksaan dilakukan terhadap Abu Kasan Sapari. Tidak

ditemukan adanya tanda-tanda yang dituduhkan oleh oknum partai Randu

100

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah,Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 22. 101

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 174.

Page 111: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

101

tersebut. Akhirnya kepala polisi yang menyadari bahwa institusinya hanya

diperalat memutuskan menghentikan penyidikan terhadap Abu Kasan Sapari.

Pemutusan penyidikan terhadap Abu Kasan Sapari dapat disimpulkan

sebagai tindakan yang mencerminkan etika liberasi. Hal ini disebabkan kepala

polisi tersebut menyadari dirinya dan rekan-rekannya diperalat hanya untuk

mengghukum orang yang tidak bersalah, hanya untuk suatu kepentingan,

melanggar hukum yang harusnya mereka tegakkan. Kepolisian mengatakan

sebagai pegaman negara bahwa mereka bersikap netral, tidak berpihak kepada

siapapun meskipun itu kepada partai politik, yakni partai Randu. Pernyataan sikap

netral, serta penghentian penyidikan yang direkayasa terhadap Abu Kasan Sapari,

telah menandakan terlepasnya belenggu kepolisian dari sistem politik.

Etika liberasi dalam novel ini hadir dalam perlawanan terhadap belenggu

sistem politik secara garis besar. Wujudnya berupa politisasi kesenian,

monolyalitas pegawai negeri, dan belenggu terhadap penegak keadilan (dalam hal

ini polisi). Belenggu-belenggu tersebut dijalankan oleh penguasa kala itu Randu

dengan Mesin Politiknya. Perlawanan Abu Kasan Sapari, Camat Baru Kemuning,

serta Kepala Polisi Karangmojo

c. Transendensi

Berbicara mengenai etika transendensi, tidak bisa dilepaskan dari etika

profetik yang lainnya, yakni humanisasi dan liberasi. Kuntowijoyo

mengkonsepkan etika transendensi sebagai unsur yang mengikat etika humanisasi

dan juga etika liberasi. Dapat pula etika transendensi dikatakan sebagai

penyempurna etika humanisasi dan liberasi. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan

oleh Wan Anwar dalam bukunya Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya.

“Kedua sikap dan tindakan itu kemudian disempurnakan oleh etika

transendensi, yaitu mengingatkan kembali keberadaan manusia di bumi

(antar manusia dan antar mahluk) dengan keberadaan dan kemahakuasaan

Page 112: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

102

Tuhan. Di sinilah bersatupadunya kesadaran kemanusiaan dengan

kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap.”102

Dapat dikatakan transendensi yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dalam etika

profetiknya bukanlah ibadah ketuhanan semata. Akan tetapi etika transendensi

yang dimaksud selain ibadah ketuhanan, harus juga diimbangi dengan tindakan-

tindakan sosial kepada sesama manusia, dan mahluk hidup lainnya. Dalam kata-

kata Kuntowijoyo di maklumat sastra profetiknya,

“Bagi-Nya kesadaran ketuhanan belum berarti kaffah kalau tidak

disertai kesadaran kemanusiaan. Sastra profetik menghendaki keduanya,

kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan.”103

Selain itu transendensi yang dikonsepkan oleh Kuntowijoyo yang tidak

menafikan urusan sosial, ternyata juga diamini oleh Hasta Indriyana penyair

sekaligus pengamat sastra. Dalam artikelnya berjudul Transendentalitas Karya-

karya Kuntowijoyo yang dimuat di harian Republika mengatakan,

“Kuntowijoyo menekankan spritual tanpa menafikkan urusan dunia.

Urusan manusia dengan Tuhan adalah urusan pribadi atas ketentraman

dunia akhirat, sedangkan urusan dunia adalah hubungan dengan manusia

lain untuk membangun bumi manusia menjadi lebih baik.”104

Pada novel ini maslah-masalah terkait etika transendensi dimunculkan

oleh Kuntowijoyo tidak terlalu intens layaknya karyanya yang lain, seperti

Khotbah di Atas Bukit (novel), atau Sepotong Kayu untuk Tuhan (Cerpen). Etika

transendensi yang dimunculkan Kuntowijoyo lahir lewat wajah lain yakni lewat

seni (dalam hal ini wayang). Seperti diketahui tokoh utama novel ini yakni Abu

Kasan Sapari merupakan seorang dalang. Bagaimana seorang Abu Kasan Sapari

yang menjadi dalang merasa memiliki tugas untuk memperbaiki lingkungan sosial

masyarakat sekelilingnya.

Pada cerita ini etika transendensi kental terlihat pada Bab ke 3. Pada bab

dengan subjudul “Abu Kasan Sapari tentang Alam”, menceritakan bagaimana

102

Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 159. 103

Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, op. Cit., h. 14. 104

Hasta Indriyana, “Transendentalitas Karya-karya Kuntowijoyo”, Republika, No. 66, 13

Maret 2005, h. 8.

Page 113: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

103

Abu Kasan Sapari bercerita tentang alam. Abu Kasan Sapari menceritakan tentang

apa yang ada di alam seperti angin, batu, bukit, bahkan manusia. Pada Bab ini

diceritakan juga hubungan manusia dengan isi dari alam tersebut dan sangat

bergantung pada isi alam tersebut.

”Tuhan memanjakan alam. Surat-surat dalam Alquran kebanyakan

merujuk ke alam. Alam dan hasil karya-Nya. Ia berkata “kun fayakun”,

maka jadilah alam ini... . Kata dosen filsafat saya manusia mempunyai

peradaban justru karena berjuang menundukan alam. Saya pikir

“menundukan” itu langkah yang salah. Itu semacam kesombongan

manusia. Yang benar ialah manusia harus berdamai dengan alam. Sebelum

ada sekolahan manusia berguru dengan alam”105

“Tuhan memuliakan bukit. Ketika Tuhan akan menyebutkan bahwa

manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya didahuluinya ayat itu

dengan sumpah kepada buah tin, pohin zaitun, bukit tursina, dan daerah

yang penuh berkah. Nabi Musa ditunjukkan kekuasaan Tuhan dan

menerima “Ten Commandment” di atas bukit. “Khotbah di atas Bukit”

Nabi Isa juga dikenang umat manusia.”106

Dalam bab ini secara tidak langsung Kuntowijoyo menampilkan apa yang

dinamakannya sebagai saksi eksistensi Tuhan, di mana manusia melihat serta

menikmati alam beserta isinya yang merupakan tanda keberadaan Tuhan.

Kesadaran ketuhanan melalui alam semesta yang ditampilkan oleh tokoh

Abu Kasan Sapari, mirip dengan pendapat Abdul Majid yang dikutip dalam buku

Pendidikan Profetik karya Khoiron Rosyadi. Abdul Majid menyatakan,

“Pengenalan terhadap Allah bukanlah berusaha mengenal eksistensiNya

dan substansiNya dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang pelik

dan panjang sebagaimana yang dilakukan oleh ahli kalam, melainkan

dengan melihat faktor-faktor empiris sebagai cerminan dari sifat perbuatan

allah yang mengingatkan manusia kepada eksistensi dan substansi Allah,

mengenal Allah melalui ciptaanNya.”107

Secara jelas Abdul Majad mengatakan bahwa eksistensi keberadan Tuhan (Allah),

bisa dirasakan atau dikenali melalui ciptaan-ciptaanNya, yang dalam hal ini

berupa alam semesta beserta isinya.

105

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 33-34. 106

Ibid, h. 36. 107

Khiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 48.

Page 114: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

104

Manusia sudah sewajarnya memiliki kesadaran akan ketuhanan, dari hal

yang paling dekat dengan kehidupannya, yakni alam beserta isinya. Secara nyata

dapat terlihat kesadaran transendensi tokoh Abu Kasan Sapari tulisan-tulisan

pendapatnya mengenai alam dalam catatan hariannya. Lewat catatan harian Abu

Kasan Sapari Kuntowijoyo menampilkan kesadaran transendensi yang berupa

kesadaran eksistensi Tuhan lewat ciptaannya yakni, alam beserta isinya.

Pada Bab ke-4 novel ini dengan subjudul Cinta Ular Cinta Lingkungan,

muatan transendensi muncul kuat dalam Bab ini. Etika transendensi yang muncul

ditampilkan berbeda dengan Bab sebelumnya. Kalau sebelumnya Kuntowijoyo

menampilkan kesadaran transendensi sebagai saksi dari eksistensi Tuhan, pada

Bab ini Kuntowijoyo menampilkannya dengan tindakan langsung dari tokohnya.

Pada Bab ke-4 ini ditampilkan masalah tentang ular dan warga. Warga desa di

kecamatan kemuning banyak yang memburu ular untuk dijadikan keuntungan

untuk diri sendiri. Pemburuan ular untuk dijadikan obat dan abon secara membabi

buta tersebut terancam akan membunuh populasi ular di kecamatan tersebut.

Abu Kasan Sapari yang menguasai mantra penjinak ular mengetahui hal

ini merasa kasihan pada ular-ular tersebut. dia beranggapan bahwa ular tidak

seharusnya diperlakukan seperti itu. Sesama mahluk yang hidup di bumi para

warga seharusnya bisa hidup tanpa mengganggu ular-ular tersebut. Akhirnya, Abu

Kasan Sapari yang menyadari bahwa pemburuan ular akan menyebabkan

kerusakan ingkungan akhirnya mengajak warga untuk tidak lagi memburu ular-

ular tersebut. Saat rapat di kecamatan dengan para kepala desa. Abu Kasan Sapari

mengimbau para warga untuk berdamai dengan ular, jangan lagi memburu ular

karena akan merusak lingkungan. Imbauan tersebut juga dibarengi dengan

pertunjukan wayangan yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari dengan lakon

penjamuan ular.

“Prinsipnya ialah membalas dendam itu bukan budaya Indonesia.

Budaya kita menekankan harmoni, rukun, ada pepatah rukun agawe

Page 115: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

105

santosa, sama dengan bersatu kita teguh”. Lakonnya begini pak . Prabu

janamejaya tidak mengadaka “sesaji ular” tapi penjamuan ular”108

.

Dapat disimpulkan dalam dalam BAB ini Kuntowijoyo menampilkan kesadaran

transednesi dengan wajah yang lebih nyata. Tidak hanya sebagai saksi eksistensi

Tuhan, akan tetapi juga menjaga apa yang diberikan Tuhan, yakni lingkungan. Di

mana manusia harus hidup rukun dengan mahluk yang lainnya di alam ini.

Apa yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari dengan menghormati mahluk

lain yang berada di alam (ular), selaras dengan pendapat pengarang novel ini

yakni Kuntowijoyo yang diungkapkannya lewat tulisan berjudul “Mitologi dan

Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”. Dalam tulisan yang dimuat di Harian Kompas

tersebut Kuntowijoyo mengatakan,

“Alam dihormati lagi. Ia sekaligus adalah subyek dan obyek. Orang

Jawa sekarang dan masa depan mulai berpikir ulang tentang hubungannya

dengan alam: alam adalah subyek-obyek.”109

Dengan kata lain Kuntowijoyo dalam pendapatnya di tulisan tersebut, menyatakan

bahwa alam seharusnya di hormati oleh manusia. Ular yang merupakan bagian

kecil dari alam semesta harusnya dapat dijaga oleh manusia, bukan malah

membunuh secara sembarangan. Bila merujuk kepada pendapat Kuntowijoyo di

atas, maka tindakan Abu Kasan Sapari yang menjaga ular dan melarang warga

membunuhnya secara sembarangan merupakan bentuk dari menghormati alam.

Abu Kasan Sapari yang mencoba mengarahkan warga dengan wayangnya

agar bisa berdamai dengan ular, tidak lagi memburunya merupakan cerminan

kesadaran transedensi kepada sesama mahluk yang memiliki muatan sosial di

dalamnya. Kesadaran transendensi juga tercermin dari perilaku warga yang

akhirnya bisa berdamai dengan ular yang merupakan tindakan nyata dalam

menjaga lingkungan yang merupakan ciptaan Tuhan atau dalam hal ini wujud

eksistensi Tuhan.

108

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 64. 109

Kuntowijoyo, “Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”, Kompas, 30 Desember

2000, h. 4.

Page 116: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

106

Kesenian wayang dalam novel ini memiliki porsi yang cukup banyak

untuk menampilkan kesadaran transedensi. Hampir sama seperti masalah

sebelumnya terkait hubungan manusia dengan lingkungan. Pada BAB ke-6

dengan subjudul Wahyu Pohonan kembali Abu Kasan Sapari mengajak para

warga menjaga alam lingkungan yang mereka tempati untuk masa yang akan

datang. Diceritakan di kecamatan Kemuning sedang diadakan program jatinisasi.

Program tersebut pada awalnya mengalami kendala, karena banyak warga yang

tidak mau menanam benih Jati, dikarenakan pohon tersebut tidak produktif, hanya

batangnya saja yang bisa digunakan. Padahal program tersebut merupakan

program jangka panjang kecamatan Kemuning untuk menjaga lingkungan di masa

yang akan datang. Alhasil setelah berdiskusi dengan camat baru Kemuning,

pertunjukkan wayang berlangsung dengan lakon wahyu pohonan. Dalam

pertujukan wayang tersebut terdapat muatan transendensi yang cukup kuat terlihat

dalam kutipan ringkasan lakon, sebagai berikut:

“Abiyasa memberi nasihat tentang pageblug dan tentang musuh yang

menyerang Astina. Mengenai yang pertama, ia menganjurkan agar setiap

rumah dipagari dengan pohon jati dan agar setiap orang selalu eling (ingat)

kepada Tuhan. Eling itu seperti pohon yang kokoh, yang akarnya jauh

menghujam ke bumi dan cabangnya menembus ke langit. Eling adalah

pemahaman yang benar tentang keesaan Tuhan, perkataan yang lurus, dan

perbuatan yang baik.”110

Dari kutipan di atas terlihat jelas simbol simbol pohon yang digunakan

Kuntowijoyo dalam diksinya menampilkan makna yang sejalan dengan etika

transedensi. Disebutkan bahwa pohon yang menjulang ke langit dan akarnya

menghujam ke bumi, memperlihatkan bagaimana manusia selain harus mengingat

urusan ketuhanan (dalam hal ini manusia dengan Tuhan), manusia juga harus

memberi perhatian terhadap urusan sosialnya (dalam hal ini dengan sesama

manusia).

Pagelaran wayang yang dilakukan Abu Kasan Sapari memliki pesan

bagaimana urusan sosial harus sama porsinya dengan urusan ketuhanan. Karena

dalam kehidupan manusia dituntut untuk menjaga sesamanya dan mahluk lain

110

Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 91

Page 117: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

107

yang ada di muka bumi, sebagai bentuk dari kesadaran ketuhanan dan kesadaran

akan eksistensi dan apa yang diberikan Tuhan.

Kuntowijoyo dalam novel ini menapilkan kesenian wayang dengan

membawa wujud dari etika transedensi. Tokoh Abu Kasan Sapari yang di dalam

novel ini dengan wayangnya berusaha mengubah perilaku masyarakat

sekelilingnya menjadi lebih baik. Abu Kasan Sapari dengan kemampuannya

mendalang menempatkan kesenian sebagai wahana untuk mengenali dan

memahami kehidupan masyarakat di sekelilingnya, dan juga digunakan oleh Abu

/kasan Sapari untuk mengenali sang Pencipta.

Wahana Abu untuk mengenali Tuhan dilakukan melalui perenungan Abu

Kasan Sapari terhadap alam. Alam yang merupakan bukti eksistensi Tuhan

membawa Abu Kasan Sapari menyadari nilai-nilai keesaan sang Pencipta. Hasil

perenungan tersebut, tidak hanya dinikmati seorang diri oleh Abu Kasan Sapari.

Akan tetapi, Abu Kasan Sapari mengajak warga sekelilingnya untuk ikut juga

merenung tentang alam dan menjaga alam sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan,

dan juga ibadah sosial kepada sesama mahluk ciptaan Tuhan. Secara tidak

langsung renungan dan semangat menjaga alam (lingkungan), hal tersebut telah

menampilkan etika transedensi yang unik dan khas dalam novel ini.

Wujud-wujud etika transedensi dalam novel ini terkadung dalam kesenian

wayang yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Lewat kesenian wayang tersebut

selain sebagai media mengenali sang Pencipta, Abu Kasan Sapari juga mencoba

memperbaiki keadaan masyarakat di sekitarnya. Dari mulai politisasi kesenian

(dalam hal ini wayang), melepaskan pertunjukan wayang dari berbaagai mitos,

sampai mengajak warga untuk menjaga alam/lingkungan. Akhir cerita novel ini di

mana Abu Kasan Sapari memilih untuk meneruskan menjadi dalang

menggantikan Ki Lebdocarito seolah ingin menegaskan. Bahwa Abu Kasan

Sapari telah melakukam etika transedensi dengan memilih menjadi dalang bukan

menjadi PNS. Karena lewat dalang selain Abu Kasan Sapari dapat mempelajari

nilai-nilai ketuhanan di dalamnya, Abu Kasan Sapari juga ingin terjun dalam

Page 118: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

108

urusan sosial dengan sesama manusia (dalam hal ini masyarakat), yakni mengajak

masyarakat lewat keseniannya ke arah yang lebih baik.

“Oleh karena itu, berbeda dengan kesenian yang bersifat memaksa,

kesenian dalam keyakinan Kuntowijoyo atau Abu Kasan Sapari adalah

wahana atau aktivitas simbolik untuk membujuk (bukan menggurui)

masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam prinsip kesenian seperti itulah

proyek humanisasi dan liberasi berbasis transendensi dilangsungkan.”111

YB. Mangunwijaya pernah menuliskan pada Sastra dan Religiositas terkait

tentang transendensi dalam karya-karya Kuntowijoyo. YB. Mangunwijaya

mengatakan,

“Maka kita sampai pada suatu pasal religiositas manusia yang utuh,

yakni kesadaran untuk beramal, menolong orang lain. Teristimewa

menolong mereka yang paling menderita atau tersungkur di lembah nista;

yang dibuat sendiri oleh karena kesalahan sendiri, atau karena kesalahan

pihak luar. Religiositas yang praktis. Yang tidak hanya abstrak-abstrakan

belaka.”112

Hal ini sejalan dengan transendensi yang muncul dalam novel ini. Keseninan

wayang yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari untuk seperti sebuah bentuk

religios yang utuh, yakni kesadaran untuk membantu sesama untuk membujuk

masyarakat ke arah yang lebih baik. Jadi dapat disimpulkan etika transendensi

terkandung dalam seni wayang yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Di mana,

kesenian tersebut selain sebagai media Abu Kasan Sapari memahami nilai-nilai

ketuhanan, juga sebagai sarana ibadah sosial Abu Kasan Sapari terhadap sesama

manusia.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Menanamkan pembelajaran sastra di sekolah secara serius mau tidak mau

menjadi suatu keharusan bagi para pengajar. Mengingat tidak dapat dipungkiri

111

Wan Anwar, op. Cit., 2007, h. 161-162. 112

YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 55.

Page 119: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

109

bahwa keterampilan bersastra dapat memberikan dampak positif bagi

perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengajaran sastra di sekolah

memiliki peluang besar untuk menigkatkan apresiasi dan keakraban siswa pada

sastra. Peluang tersebut sejauh ini belum termanfaatkan di antaranya karena tidak

terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dengan kemampuan apresiasi

siswa.113

Jadi dapat dikatakan harusnya pembelajaran sastra tidak hanya

menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca dan

menikmati karya sastra secara langsung, kemudian memberi apresiasi terhadap

karya sastra yang dibaca. Dari aktivitas membaca, siswa mampu menafsirkan dan

memperoleh pengetahuan baru (kognitif). Kemudian dalam segi apresiasi, respon

dari siswa dapat diketahui adakah ketertarikan atau tidak setelah membaca karya

sastra tersebut (afektif). Kemudian adanya penyerapan pesan setelah membaca

karya sastra sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa

(psikomotor).

Melalui kajian ilmiah yang dilakukan terhadap novel Mantra Pejinak Ular

karya Kuntowijoyo, implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah adalah agar

para siswa dapat memahami serta menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik

dalam novel tersebut. Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa

saja yang ada di dalam novel Mantra Penjinak Ular. Hal ini sesuai dengan

indikator pencapaian kompetensi, yakni siswa mampu menemukan unsur intrinsik

novel berupa tema, latar, tokoh dan perwatakannya. Setelah siswa membaca novel

Mantra Penjinak Ular dan menemukan unsur-unsur intrinsiknya, siswa dapat

mengaitkannya dengan kejadian di luar karya sastra atau yang biasa disebut

sebagai unsur ekstrinsik karya sastra. Disesuaikan dengan indikator maka siswa

mampu menemukan dan memahami pemikiran pengarang dalam mebuat novel

tersebut. Ide-ide apa saja yang disampaikan pengarang yang terlihat dalam novel

tersebut. Dengan begitu siswa tidak hanya sekedar tahu hal-hal yang ada di dalam

karya sastra. Tapi juga mengetahu bagaiman proses kreatif pengarang dengan ide-

ide serta pemikirannya yang dituangkannya dalam karya sastra yang dibuatnya.

113

Agus R. Sardjono, Sastra dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,

2001), h. 209.

Page 120: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

110

Siswa mendapat pengetahuan lebih tentang biografi pengarang bagaimana

kehidupannya, bagaimana aktivitasnya, juga bagaimana pemikiran-pemikirannya.

Jadi dengan memahami unsur-unsur di luar karya sastra tersebut akan menambah

kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra.

Dapat dikatakan, jika pembelajaran sastra dikaitkan dengan kajian yang

telah dilakukan terhadap novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo, maka

siswa dapat mengetahui bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel tersebut.

Selain itu siswa dapat mengetahui pemikiran khas pengarang Kuntowijoyo yang

dituangkan dalam novel tersebut, dalam hal ini etika profetik. Bagaimana

pemikiran-pemikiran pengarang yang merupakan unsur di luar novel dapat

muncul dengan sendirinya melalui unsur-unsur yang dalam novel tersebut.

Pendidik dapat mengajarkan kepada siswa tentang etika profetik yang berisi

humanisas, liberasi, dan transendensi. Etika tersebut merupakan etika yang

berlandaskan pada kitab suci, dan juga merupakan buah dari pemikiran

Kuntowijoyo sebagai pengarang novel Mantra Penjinak Ular. Tidak hanya pihak

guru yang aktif mengajar tetapi siswa diharapkan setelah membaca dan

memahami novel tersebut diharapkan dapat lebih mendalam lagi dalam

memahami karya sastra tidak hanya terpaku pada unsur intrinsik saja, melainkan

unsur di luar karya sastra seperti pemikiran pengarang juga berpengaruh penting

terhadap lahirnya sebuah karya sastra. Pemikiran etika profetik yang terkandung

dalam novel Mantra Penjinak Ular juga diharapkan dapat diimplikasikan oleh

siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Page 121: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

111

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap Novel Mantra

Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini.

1. Novel Mantra Pejinak Ular merupakan novel yang menceritakan tentang

perjalanan hidup seorang pegawai pemerintahan yang juga sebagai

seorang dalang. Novel ini menceritakan perjalanan hidup tokoh utamanya

yakni, Abu Kasan Sapari. Kuntowijoyo menghadirkan novel ini dengan

mengambil latar kehidupan masyarakat jawa sekitar tahun 90-an, atau

lebih tepatnya tahun 1997. Selain tokoh utama abu Kasan Sapari,

Kuntowijoyo juga menghadirkan tokoh-tokoh utama lain, yakni Sulastri,

dan Mesin Politik. Cerita dalam novel ini memilik alur progresif

kronologis, dimana terkadang sesekali cerita mengalami sorot

balik/Flashback. Dalam penyajian konflik Kuntowijoyo menghadirkan

konflik utama yakni Abu Kasan Sapari dengan Mesin Politik, dimana Abu

Kasan Sapari dengan seni pedalangan wayangnya mencoba melawan

hegemoni Mesin Politik. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo

mengambil sudut pandang dalam novel ini sebagai orang ketiga maha

tahu, dan ada di satu BAB yakni BAB 13 sudut pandang pengarang

berubah menjadi sudut pandang orang ketiga/ diaan sebagai pengamat,

dengan kata lain pengarang menjadi salah satu tokoh dalam cerita. Gaya

bahasa yang digunakan dalam novel ini terbilang sederhana, dan banyak

terdapat falsafah, serta peribahasa-peribahasa Jawa. Layaknya bahasa yang

digunakan orang yang sedang bercerita atau mendongeng, hal ini sudah

menjadi ciri khas dari Kuntowijoyo.

Page 122: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

112

2. Seperti pada karya sastra Kuntowijoyo lainnya, muatan etika profetik juga

muncul dalam novel ini. Etika profetik yakni, humanisasi, liberasi, dan

transendensi ditampilkan dengan berbagai masalahnya dalam novel ini.

Etika humanisasi dalam novel ini hadir lewat tokoh-tokohnya diantaranya

Abu Kasan Sapari dan Camat Baru Kemuning, yang menghadapi

dehumanisasi modern berupa objektivasi manusia oleh Mesin Politik.

Selain dehumanisasi modern, dalam novel ini ditampilkan pula

dehumanisasi tradisional berupa mitos, jimat, dukun, dan botoh. Hal-hal

tersebut dihadapi oleh Abu Kasan Sapari dan Abu Kasan Sapari pun

melepaskan dirinya dari jerat dehumanisasi tradisional tersebut, dengan

meninggalkan mantra penjinak ular yang telah dikuasainya. Pada novel ini

juga disajikan berbagai bentuk masalah terkait penindasan yang

berhubungan dengan etika liberasi. Penindasan terhadap berkesenian

merupakan masalah terkait liberasi yang dihadirkan. Mesin politik

berusaha menggunakan kesenian untuk kepentingan politik, begitu pun

dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Akan tetapi Abu Kasan Sapari akhirnya

tidak lagi menggunakan kesenian untuk kepentingan kampanye, telah

memperlihatkan etika liberasi yang dilakukan. Selanjutnya penindasan

terhadap sistem birokrasi oleh penguasa, yakni monoloyalitas pegawai

negeri. Dalam hal ini Kuntowijoyo menghadirkan etika liberasi akan

masalah ini lewat tokoh Camat Batu Kemuning, dan Abu Kasan Sapari.

Perlawanan mereka harus dibayar dengan pemutasian mereka. Masalah

lain terkait liberasi, yakni pembebasan dari sistem politik yang mencoba

memanfaatkan semua lini untuk menguasainya. Perlawanan atau

pembebasan terhadap sistem politik dihadirkan Kuntowijoyo lewat tokoh

Kepala Polisi Karangmojo, yang menghentikan rekayasa penyidikan Abu

Kasan Sapari. Terakhir yang disajikan dalam novel ini yakni etika

transednensi, yakni etika yang menyatukan etika liberasi dan etika

humanisasi. Etika transendensi ditampilkan lewat seni dan juga alam/

lingkungan,. Abu dan seni pedalangan wayangnya telah mengajak atau

membujuk masyarakat ke arah yang lebih baik. Lewat seni pedalangan ini

Page 123: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

113

Abu Kasan Sapari selain membujuk masyrakat di sekelilingnya agar

berbuat lebih baik, menjaga alam, dan hidup rukun terhadap sesama

mahluk, lewat seni ini juga Abu Kasan Sapari dapat melihat keesaan

Tuhan.

3. Implikasi kajian ini terhadap pembelajaran sastra di sekolah yakni siswa

dapat memahami unsur ekstrinsik karya sastra berupa pemikiran

pengarang, ide-ide pengarang, serta biografi pengarang yang merupakan

unsur yang tidak kalah penting seperti unsur-unsur intrinsik karya sastra.

Bagaimana etika profetik dapat dipahami siswa, dimana itu merupakan

pemikiran atau gagasan pengarang yang di sampaikan dalam novel Mantra

Penjinak Ular ini. Siswa dapat bertambah wawasannya tidak hanya sebatas

karya sastra yang dibacanya saja, melainkan mengenai pengarang yang

membuat karya sastra tersebut. Etika profetik juga menanamkan siswa

untuk menyelaraskan antara urusan sosial dengan urusan ketuhanan.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, ada beberapa saran yang

diajukan oleh penulis sebagai berikut.

1. Penulis mengharapkan pendidik dalam hal ini guru dapat

memanfaatkan hasil penelitian ini. Bagaimana siswa diajarkan agar

juga memahami gagasan pemikiran pengarang dalam tiap karyanya.

Dalam hal ini pendidik dapat mengajarkan siswa bagaimana Etika

Profetik merupakan pemikiran Kuntowijoyo yang khas, yang dapat

terlihat di dalam karya-karyanya. Khususnya dalam hal ini Mantra

Pejinak Ular

2. Penulis mengharapkan agar penelitian mengenai etika profetik ini

dapat diambil pesannya oleh siswa. Melalui pembelajaran sastra

diharapkan peserta didik lebih kritis dan dapat mengembangkan

kreativitasnya dalam belajar sastra serta mengaplikasikan pesan etika

profetik yang terkandung dalam karya sastra di kehidupan sehari-hari.

Page 124: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

114

3. Bagi pembaca umum diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah

wawasan pembaca, dan menambah khazanah penelitian terhadap

karya sastra.

Page 125: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

Daftar Pustaka.

“Cerber Baru: Mantra Penjinak Ular”. Kompas, 1 Mei 2000.

Abrams, H. M. The Mirror and The Lamp. New York: Oxford University Press.

1980.

Anonim. “Kuntowijoyo”. Artikel diakses tanggal 28 Desember 2014. Dari

http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/.

Anonim. “Kunto, Resi Kontemporer”. Harian Berita Nasional, 25 Januari 1991.

Anwar, Wan. Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT. Grasindo. 2007.

Arilaksa, Andri. “Aspek Sosial Budaya Jawa Novel Mantra Pejinak Ular Karya

Kuntowijoyo: Tinjauan Semiotik”. Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2008.

Budianta, Melani. dkk. Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera. cet. 2. 1989.

Budiman, Arief. “Sistem Sosial dan Sistem Budaya (Tanggapan untuk

Kuntowijoyo)”. Kompas, 13 Februari 1991.

Clark, Marshall Alexander. Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir

Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). 2008.

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1978.

Dewanto, Nirwan. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang. 1996.

Indriyana, Hasta. “Transendentalitas Karya-karya Kuntowijoyo”. Republika, 13

Maret 2005.

Page 126: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

Keraf, Goys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Cet-

12. 2001.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Yogyakarta. 1987.

_____. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur. Yogyakarta: Muti

Presindo. 2013.

_____. Mantra Penjinak Ular. Jakarta: PT Kompas Gramedia. 2013.

_____. “Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”. Kompas, Sabtu, 30

Desember 2000.

_____. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan. 2001.

_____. “Selamat Tinggal Mitos”. Kompas, 24 Agustus 2000.

Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2007

_____. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2010.

Luxemburg, Jan Van. dkk. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. 1989.

Maarif, Syafii. “Meruntuhkan Mitologi ala Kuntowijoyo”. Suara Merdeka, 2

April 2006.

Mangunwijaya, YB. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan. 1982.

Marzuki, Arif Fauzi. “Membangun Semesta Budaya Profetik”. Kompas. 21

September 2003.

Mohamad, Goenawan. “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”. Horison, 1

Juli 1966.

Muhammad, Damhuri. Darah-danging Sastra Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

2010.

Page 127: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

Musthafa, M. “Demitologisasi Melalui Seni”. Kompas, 12 November 2001.

Mutmainah, Hassan. “Kajian Strutualisme Genetik Novel Mantra Pejinak Ular

Karya Kuntowijoyo”. Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sriwijaya Indralaya. 2014.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2013.

Nurohmat, Binhad. “Realisme Udik Kuntowijoyo (1943-2005)”. Kompas, 20

Maret 2005.

Pangabean, Rizal. “Kritik Sosial Kuntowijoyo”. Tempo, Februari 2005.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988.

Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Sayuti, Suminto A. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

2000.

Sardjono, Agus R. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya. 2001.

Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.

Situmorang, Sitor. “Himbauan Seni Transendental Kuntowijoyo”. Berita Buana,

21 Desember 1982.

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.

Wellek Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama. 1989..

Page 128: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 129: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

LAMPIRAN 1

SILABUS

Sekolah : SMA/MA....

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas : XI

Semester : 2

Standar Kompetensi : Membaca

Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca novel

Kompetensi

Dasar

Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator

Pencapaian

Kompetensi

Penilaian Alokasi

Waktu

Sumber

/Bahan/

Alat

Menganalisis

unsur-unsur

intrinsik dan

ekstrinsik novel

Novel

unsur-unsur intrinsik

(tema, tokoh, perwatakan,

latar, sudut pandang, alur,

amanat, dan gaya bahasa)

unsur ekstrinsik (agama,

sejarah, sosial, budaya)

Novel

Mengidentifikasi unsur

intrinsik cerpen yang

telah dibaca

Mengaitkan novel

dengan kejadian di luar

karya (unsur ekstrinsik)

Menganalisis

unsur-unsur

ekstrinsik dan

intrinsik

Jenis Tagihan:

Tugas individu

Tugas kelompok

Ulangan

Bentuk Instrumen:

Uraian bebas

Pilihan ganda

Jawaban singkat

4 Buku novel

Internet

Page 130: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

LAMPIRAN 2

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP)

SEKOLAH : SMA N 9 Bekasi

MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia

KELAS : XI

SEMESTER : 2

Alokasi Waktu : 4 x 40 menit

A. STANDAR KOMPETENSI

Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca novel

B. KOMPETENSI DASAR

Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI

No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan

Karakter Bangsa

1 Mampu menemukan unsur intrinsik yang

berupa tema dan amanat, latar, tokoh dan

perwatakan, alur, gaya bahasa, dan sudut

pandang .

Bersahabat/

Komunikatif

Kreatif

2 Mampu mengaitkan novel dengan

kejadian di luar karya (pemikiran

pengarang, sejarah, sosial, dan budaya)

D. TUJUAN PEMBELAJARAN

Siswa dapat:

1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh

dan perwatakan.

2. Mampu mengaitkan novel dengan kejadian di luar karya ( pemikiran

pengarang, sejarah, sosial, dan budaya)

E. METODE PEMBELAJARAN

Page 131: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

Pemodelan

Inkuiri

Tanya jawab

Penugasan

F. STRATEGI PEMBELAJARAN

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

Menjelaskan

pengertian unsur

intrinsik dan

ekstrinsik

Membaca novel

Menemukan unsur

intrinsik yang

berupa tema, latar,

tokoh dan

perwatakan

Mengaitkan novel

dengan kejadian di

luar karya

(pemikiran

pengarang,

sejarah, sosial, dan

budaya)

Siswa dapat

mendeskripsikan

dan menemukan

unsur intrinsik

(tema, latar, tokoh

dan perwatakan)

dan mengaitkannya

dengan kejadian di

luar novel

G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBALAJARAN

Pertemuan Pertama

No Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan

Karakter Bangsa

1 Kegiatan Awal:

Guru memberi salam

Guru menyapa dan menanyakan kabar

siswa

Guru mengabsen siswa

Guru menjelaskan tujuan dan manfaat

pembelajaran hari ini

Guru memotivasi siswa sebelum

memulai pembelajaran

Guru membuka schemata siswa

mengenai materi yang akan dipelajari

Religius,

bersahabat/

komunikatif

2 Kegiatan Inti:

Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi:

Guru bertanya jawab dengan

siswa tentang unsur intrinsik

Mandiri, kreatif,

gemar membaca,

percaya diri

Page 132: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

Siswa menyebutkan unsur

intrinsik novel (tema, latar,

tokoh dan perwatakan)

Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi:

Siswa mengamati kutipan novel yang

disediakan oleh guru

Siswa menemukan unsur intrinsik cerita

berupa Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:

Menjelaskan tema dan amanat, latar,

tokoh dan perwatakan, alur, gaya

bahasa, dan sudut pandang

Menyimpulkan tentang materi yang

telah disampaikan

3 Kegiatan Akhir:

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran

hari ini

Penugasan

Bersahabat/

Komunikatif

Pertemuan Kedua

No Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan

Karakter Bangsa

1 Kegiatan Awal:

Guru memberi salam

Guru menyapa dan menanyakan kabar

siswa

Guru mengabsen siswa

Guru menjelaskan tujuan dan manfaat

pembelajaran hari ini

Guru memotivasi siswa sebelum

memulai pembelajaran

Guru membuka schemata siswa

mengenai materi yang akan dipelajari

Religius,

bersahabat/

komunikatif

2 Kegiatan Inti:

Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi:

Guru bertanya jawab dengan siswa

tentang materi unsur ekstrinsik novel

Elaborasi

Mandiri, kreatif,

gemar membaca,

percaya diri

Page 133: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

Dalam kegiatan elaborasi:

Siswa mengamati kutipan novel yang

disediakan oleh guru

Siswa mendiskusikan dan menganalisis

unsur ekstrinsik (pemikiran pengarang

(biografi), sejarah, sosial, dan budaya)

novel disertai bukti yang mendukung

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:

Menjelaskan unsur ekstrinsik

Menyimpulkan tentang materi yang

telah disampaikan

3 Kegiatan Akhir:

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran

hari ini

Penugasan

Bersahabat/

Komunikatif

H. SUMBER BELAJAR/ ALAT/ BAHAN:

Buku paket Bahasa Indonesia untuk kelas X semester 1

Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo

Biografi Kuntowijoyo

Cara menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

I. PENILAIAN

1. Teknik

Tes (PG, isian, dan uraian)

Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik

2. Bentuk Instrumen Soal

a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?

b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel Mntra

Pejinak Ular?

c. Sebut dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam novel Mantra

Pejinak Ular?

Page 134: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

J. FORMAT PENILAIAN

UNSUR PENILAIAN

No Unsur Intrinsik

SKOR

Unsur Ekstrinsik

SKOR

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 Menganalisis

dengan cermat dan

tepat

Menganalisis dengan

cermat dan tepat

2 Menemukan unsur-

unsur dengan bukti

yang tepat

Menemukan unsur-

unsur dengan bukti

yang tepat

3 Mendeskripsikan

hasil analisis

dengan tepat

Mendeskripsikan hasil

analisis dengan tepat

4 Amanat yang bisa

diambil dari unsur

intrinsik

Amanat yang bisa

diambil dari unsur

ekstrinsik

Perolehan Nilai = Total

skor x 5

Perolehan Nilai =

Total skor x 5

Mengetahui : Jakarta, .............

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

Bahasa dan Sastra

Indonesia

( ) Sigit Purnomo

NIM: 1110013000101

Page 135: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 136: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 137: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 138: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 139: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi
Page 140: ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42176/1/Skripsi... · Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Sigit Purnomo, biasa dipanggil Sigit yang lahir di Jakarta, 2 Juli

1992. Menuntaskan pendidikan dasar di SD Negeri Mekarsari 1, Tambun

Selatan. Setelahnya melanjutkan jenjang ke SMP Negeri 2 Tambun Selatan,

dan SMA Negeri 9 Bekasi. Pada tahun 2010, penulis meneruskan

pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan

mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis

tinggal di daerah Bekasi bersama ayah, ibu, dan adiknya. Ayahnya bekerja sebagai pedagang

dan membuka warung sembako dan sayur di rumah, sedangkan Ibunya tidak bekerja. Adik

dari penulis sendiri kini melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengan penulis.

Sebagai mahasiswa, penulis banyak memperoleh pengalaman yang didapat selama

masa kuliah. Penulis di kampus sendiri menjadi pegiat komunitas sastra Majelis Kantiniyah.

Pernah mengajar di MTS Negeri 13 Jakarta. Kemudian, menjadi tenaga freelance di bagian

Litbang Harian Kompas. Selain menjadi tenaga freelance, penulis yang mempunyai hobi

membaca karya fiksi ini juga sedang menekuni hobi aquascape.

Bagi penulis, dunia pendidikan amatlah sangat penting bagi sebuah bangsa. Tidak

akan maju suatu bangsa jikalau sistem pendidikan di suatu bangsa belum berjalan dengan

baik. Baik dari tenaga pendidik, sistem pendidikan, maupun sampai ke sarana dan prasaran

pendidikan. Oleh karena itu penulis juga berkeinginan menjadi salah satu tenaga pendidik

yang profesioanl dan inovatif dalam mengajar ataupun turun berkontribusi dalam memajukan

dunia pendidikan ke arah yang lebih baik. Bagi penulis mencerdaskan anak bangsa memang

merupakan tugas dari seorang tenaga pendidik, akan tetapi tugas itu pun berlaku untuk semua

orang yang peduli akan kemajuan bangsa ini. Bangsa yang maju ditentukan dari bagiamana

genereasi penerusya dididik.