ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR...
Transcript of ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR...
ETIKA PROFETIK PADA NOVEL MANTRA PEJINAK ULAR
KARYA KUNTOWIJOYO MELALUI PENDEKATAN
EKSPRESIF DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Sigit Purnomo
1110013000101
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
ABSTRAK
Sigit Purnomo, NIM: 1110013000101. Etika Profetik Pada Novel Mantra Pejinak
Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan Implikasi Terhadap
Pembelajaran Sastra, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan. Pembimbing:
Novi Diah Haryanti, M. Hum. 2015.
Novel Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo menceritakan tentang
kehidupan seorang pegawai pemerintahan yang sekaligus berprofesi sebagai dalang,
yang berusaha melawan kesewenang-wenangan Mesin Politik. Penelitian ini mencoba
menjabarkan etika profetik yang berupa humanisasi, liberasi, dan transendensi yang
terdapat pada novel tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan ekspresif, yakni
hubungan karya sastra dengan pengarangnya(pemikiran pengarang). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Hasil dari penelitian
yang dilakukan mendeskripsikan bahwa etika humanisasi yang muncul dalam novel
ini, yakni perlawan terhadap dehumanisasi tradisional, yang berupa mantra, sesaji,
serta ritual yang dilakukan sebelum mendalang, serta perlawanan terhadap objektivasi
manusia yang dilakukan pemerintah. Etika liberasi yang muncul yakni pembebasan
terhadap penindasan seni (politisasi seni), dan penindasan negara (terkait
pemerintahan yang otoriter membungkam oposisi, monoloyalitas pegawai negeri,
nepotisme, dan kronisme), dan terakhir etika transendensi muncul lewat kesenian
wayang yang mencoba memberi tuntunan kepada masyarakat, serta kesadaran tentang
menjaga alam dan mahluk hidupnya. Melalui novel ini siswa dapat mengetahui
bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel tersebut. Selain itu siswa dapat
mengetahui pemikiran khas pengarang Kuntowijoyo yang dituangkan dalam novel
tersebut, yakni etika profetik, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Mantra Pejinak Ular, Kuntowijoyo, Ekspresif, Etika Profetik, dan
Pembelajaran Sastra.
ii
ABSTRACT
Sigit Purnomo, NIM: 1110013000101 The Profetic Ethic on Mantra Pejinak Ular
Novel by Kuntowijoyo through Expressive Approach and The Implications on
Literature Learning, Faculty of Tarbiyah and Teachers' Training. Adviser: Novi
Diah Haryanti, M.Hum. 2015.
Mantra Pejinak Ular by Kuntowijoyo told about the life of a civil servant who
was also a puppeteer, who tried to fight against arbitrated politic machine. This
research tried to explain profetic ethic in forms of humanity, liberalization, and
transcendence which are in the novel. This research used expressive approach that try
to define correlation between the work and its author (author's idea). Method used in
this research is analytic descriptive method. The result of this research described the
humanity ethic appearing in this novel namely struggle against towards dehumanized
tradition such as magic-spell, offerings, or ritual before puppetry. In addition, it also
described the struggle against human objectivity did by government. The ethic of
liberalization appearing was the exemption of arts (arts politicization), and state
oppression (related to authorized government made oposition remain silent, civil
servant loyalty, nepotism, cronysm), and lastly transcendence appearing through
puppet which tried to give guidance to society, also awareness to preserve nature and
its life creature. Through this novel, students could understand how the intrinsics in
the novel. Besides, students were able to know charateristic idea of the author,
Kuntowijoyo, which was written in this novel, namely profetic ethic, and its
implication in real life.
Key Words: Mantra Pejinak Ular, Kuntowijoyo, Expressive, Profetic ethic, and
Literature instruction.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah
memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, para sahabat, dan pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi yang berjudul Etika Profetik pada Novel
Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo Melalui Pendekatan Ekspresif dan
Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA. Penulis banyak memerlukan
bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan
mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
penulis menyampaikan terima kasih pada:
1. Bapak dan Ibu tercinta, Karnadi dan Sumiyati yang senantiasa
memberikan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril. Adik
yang disayang, dan semua keluarga yang selalu mendoakan keberhasilan
penulis.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, sekaligus dosen penasehat akademik.
4. Novi Diah Haryanti, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah
memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan
6. Teman-teman PBSI angkatan 2010. Mereka teman terbaik yang selalu
membantu juga memberikan semangat kepada penulis.
iv
7. Teman Majelis Kantiniyah yang memberikan saran dan masukan dalam
mengerjakan skripsi ini.
8. Terakhir terima kasih atas semua pihak yang telah memberikan motivasi,
doa, semangat yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga
Allah membalas kebaikan kalian semua. Penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini. Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Jakarta, 18 Oktober 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 5
C. Batasan Masalah ............................................................................ 5
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian........................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian......................................................................... 7
G. Metodelogi Penelitian ................................................................... 7
1. Objek Penelitian ....................................................................... 7
2. Metode Penelitian..................................................................... 7
3. Jenis Penelitian ......................................................................... 9
4. Prosedur Penelitian................................................................... 9
5. Teknik Penulisan....................................................................... 10
6. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 10
7. Sumber Data............................................................................... 10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Novel ........................................................................... 11
B. Unsur Intrinsik Novel .................................................................... 12
1. Tema dan Amanat .................................................................... 12
2. Latar ......................................................................................... 13
3. Alur ........................................................................................... 15
4. Sudut Pandang ........................................................................... 15
5. Tokoh dan Penokohan ................................................................ 17
6. Gaya Bahasa ................................................................................ 19
vi
C. Etika Profetik................................................................................. 20
1. Humanisasi ............................................................................... 20
2. Liberasi ..................................................................................... 22
3. Transendensi ........................................................................... 23
D. Pendekatan Ekspresif .................................................................... 24
E. Pembelajaran Sastra ...................................................................... 26
F. Hasil Penelitian yang Relevan....................................................... 29
BAB III BIOGRAFI PENGARANG, PEMIKIRAN PENGARANG, DAN
SINOPSIS NOVEL
A. Biografi Kuntowijoyo ................................................................... 31
B. Pemikiran Kuntowijoyo ................................................................ 35
C. Sinopsis Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo ............ 40
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Novel Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo 42
1. Tema dan Amanat .................................................................... 42
2. Tokoh dan Penokohan .............................................................. 44
3. Sudut Pandang .......................................................................... 55
4. Plot ............................................................................................ 58
5. Latar .......................................................................................... 64
6. Gaya Bahasa .............................................................................. 72
B. Etika Profetik Pada Novel Mantra Pejinak Ular Karya
Kuntowijoyo..... .............................................................................. 75
a. Humanisasi ............................................................................... 75
b. Liberasi ...................................................................................... 91
c. Transendensi .............................................................................. 101
C. Implikasi Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra di
Sekolah...................... .................................................................... 108
BAB V PENUTUP
A. Simpulan........................................................................................ 113
B. Saran .............................................................................................. 118
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Karya sastra lahir dari tangan pengarang yang merupakan bagian dari
masyarakat. Bisa dikatakan bahwa karya sastra merupakan cerminan, gambaran,
atau refleksi kehidupan masyarakat. Namun tetap saja, meski dikatakan refleksi
kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra tidak dapat dikatakan kenyataan
sebenarnya. Hal ini dikarenakan sebuah karya sastra dibuat oleh pengarang dan
direka sedemikian rupa oleh pengarang untuk menyampaikan ide dan gagasannya.
“Setiap pengarang akan mengatur kesan dari kehidupan dan
pengalamannya sendiri, mengubahnya dan memanfaatkannya untuk
menyusun teks.”1
Karya sastra diibaratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan. Tetapi,
“potret itu tentu berbeda dengan cermin, karena sebagai kreasi manusia, di dalam
sastra terdapat banyak pendapat dan pandangan penulisnya, dari mana dan
bagaimana ia melihat kehidupan tersebut.2 Dapat dikatakan, pandangan yang
berupa ide, gagasan, maupun pemikiran yang tertuang di dalam karya sastra
berangkat dari kegelisahan pengarang akan keadaan di sekitar pengarang, baik itu
keadaan lingkungan, masyarakat, dan lainnya. Pemikiran, gagasan, maupun ide
yang ditawarkan pengarang dalam karya sastra dapat terlihat secara langsung, dan
adapula yang tersirat secara halus.
Profetik merupakan ide atau gagasan yang selalu disampaikan oleh
Kuntowijoyo dalam setiap karya-karya sastranya. Profetik sendiri menurut
pengertiannya berangkat dari kata prophet yang berarti Nabi. Profetik dapat juga
dikatakan sifat yang ada dalam diri seorang Nabi. Sifat tersebut tidak hanya
mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga
1 Jan Van Luxemburg, dkk., Tentang Sastra (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 8.
2 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, (Magelang: Indonesiatera), cet. 2, h. 20.
2
menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan
melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
Karya-karya yang lahir dari tangan Kuntowijoyo memilki muatan profetik,
yang memberi warna baru dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Karya-
karyanya banyak dikatakan oleh para penikmat sastra atau kritikus sastra sebagai
sastra profetik. Kuntowijoyo sendiri merumuskan apa yang disebutnya sebagai
etika profetik. Etika profetik tersebut yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Lebih jelasnya sebagai berikut:
“Tugas sastrawan pada dasarnya adalah tugas-tugas yang pernah
dilakukan Nabi. Tugas itu adalah amar ma‟ruf (mengajak pada kebenaran),
nahyi munkar (mencegah kemunkaran), dan tu‟minu billah (beriman
kepada Tuhan). Dalam bahasa Kuntowijoyo dirumuskan sebagai
humanisasi (amar ma‟ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi
(tu‟minu billah).3
Kuntowijoyo sendiri merupakan sastrawan yang menghasilkan banyak
buku. Arief Budiman pernah mengatakan di sebuah artikelnya yang dimuat di
Harian Kompas, Kunto adalah salah satu dari segelintir cendekiawan Indonesia
yang produktif, gagasannya biasanya mendalam, tidak hanya berupa kesan
selintas saja.4 Kiranya Kuntowijoyo adalah sedikit dari sastrawan yang memilki
kemampuan menulis fiksi dan nonfiksi sama kuatnya. Kuntowijoyo juga seorang
yang komplet dengan menghasilkan karya yakni puisi, cerpen, novel, dan drama.
Buku kumpulan puisi dari Kuntowijoyo yakni Suluk Awang-Uwung (1975),
Isyarat (1976), Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Lalu novelnya Kereta Api
yang Berangkat Pagi Hari (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1972),
Mantra Penjinak Ular (2000), Waspirin dan Satinah (2003). Kemudian cerpen-
cerpennya dimuat dalam buku kumpulan cerpen, yakni Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999). Terakhir naskah-naskah
drama Kuntowijoyo yakni Rumput-Rumput Danau Bento (1968), Tidak Ada
Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cardas (1972), dan Topeng Kayu (1973).
3 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 158-159.
4 Arief Budiman, “Sistem Sosial dan Sistem Budaya (Tanggapan untuk Kuntowijoyo), Kompas
13 Februari 1991, h. 4.
3
Etika profetik yang menjadi pemikiran kuntowijoyo selalu hadir dalam
setiap karyanya. Hal ini berangkat dari kegelisahan Kuntowijoyo terhadap dunia
Sastra Indonesia yang minim sastra-sastra transenden. Melalui sastra profetiknya
ini Kuntowijoyo mengisyarakatkan karya sastranya sebagai sastra ibadah dan
sastra yang murni.5 Hal inilah yang menjadi salah satu ketertarikan untuk
melakukan penelitian terhadap salah satu karya Kuntowijoyo.
Gaung novel-novel Kuntowijoyo di dalam kesusastraan Indonesia tidak
sepopuler cerpen-cerpennya. Hanya novel Khotbah di atas Bukit (1976) mungkin
yang ramai dibicarakan. Padahal masih ada empat novel Kuntowijoyo yang juga
merupakan karyanya yakni Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Pasar
(1972), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003). Meski
demikian, novel-novelnya tetap mendapat apresiasi baik di dunia kesusastraan.
Salah satunya novel Mantra Penjinak Ular. Novel tersebut merupakan salah satu
novel Kuntowijoyo yang terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas pada
tahun 2000.6 Dicetak dalam bentuk novel pada tahun yang sama, dan kemudian
dicetak ulang pada tahun 2013. Novel ini juga mendapat apresiasi yang baik dari
dunia kesusastraan. Novel Mantra Penjinak Ular berhasil meraih penghargaan
dari Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA).
Novel ini bercerita tentang seorang dalang yang berkerja menjadi pegawai
negeri. Dalang tersebut bernama Abu Kasan Sapari. Dengan latar budaya Jawa
dan segala macam mitos-mitosnya, dalam novel ini Abu Kasan Sapari tumbuh
dalam suatu proses dialektik zaman yang terus bergerak, pada kurun waktu kira-
kira menjelang akhir abad ke-20. Novel ini menggambarkan bagaimana mesin
politik Orde Baru Soeharto beroperasi sampai ke desa-desa. Kuntowijoyo dengan
sifat dan cerita yang khas menampilkan perlawanan terhadap mesin politik atau
kekuasaan politik kala itu yang menggenggam hingga ke desa-desa, sampai pada
kekuasaan terhadap kesenian. Banyak yang mengatakan kalau novel Mantra
Penjinak Ular merupakan riwayat perjalanan dari Kuntowijoyo sendiri.
5 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra, (Yogyakarta:
Mullti Presindo, 2013), h. 9. 6 “Cerber Baru: Mantra Penjinak Ular”, Kompas, 1 Mei 2000, h. 1.
4
Pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo akan etika profetik (sastra profetik) juga
tampil dalam novel Mantra Penjinak Ular. Pada novel ini tokoh Abu Kasan
Sapari sendiri yang banyak mewakili pemikiran Kuntowijoyo akan etika profetik
yang mencakup humanisasi, liberasi, dan transedensi. Kekhasan karya
Kuntowijoyo inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian terhadap
karya Kuntowijoyo ini yakni Mantra Penjinak Ular.
Ide, gagasan, atau pemikiran pengarang merupakan bagian dari unsur
eksternal karya sastra. Unsur ekstrinsik karya sastra terdiri dari biografi, psikologi
pengarang, pemikiran pengarang, dan keadaan zaman. Unsur ekstrinsik inilah
yang sekiranya dalam pembelajaran sastra di sekolah kurang diperhatikan baik itu
oleh peserta didik maupun pendidik. Kebanyakan peserta didik hanya mengetahui
secara teoretis mengenai unsur-unsur karya sastra, dan masih belum memahami
cara menganalisis sebuah karya sastra. Hal ini dikarenakan rendahnya minat baca
peserta didik akan karya sastra, serta rendahnya apresiasi peserta didik akan karya
sastra.
Kegagapan peserta didik dalam menganalisis karya sastra, agaknya
diakibatkan kurangnya fokus perhatian pendidik dalam mengajarkan pemahaman
akan sebuah karya sastra. Pendidik kadang hanya terpaku pada unsur-unsur
pembangun karya sastra saja, tidak mengajarkan bagaimana tujuan, proses
penciptaan, serta faktor-faktor yang menyebabkan karya sastra itu muncul (unsur
ekstrinsik sastra). Padahal unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra
merupakan sebuah kesatuan. Tidak dapat kita menganalisis karya sastra hanya
intrinsik saja, tanpa kita kaji unsur ekstrinsiknya, begitupun sebaliknya.
Penelitian ini diharapkan dapat berimplikasi terhadap peserta didik yang
ada di sekolah. Peserta didik dalam pembelajaran sastra di sekolah perlu
memahami karya sastra secara mendalam, dan menambah wawasan peserta didik
akan tema-tema atau masalah yang diangkat dalam sebuah karya sastra juga
semakin bertambah. Oleh karena itu penelitian ini akan memaparkan etika
5
profetik dalam hal ini humanisasi, liberasi, dan transendensi yang ada pada novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan tinjauan ekspresif.
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari novel sebagai pengalaman
estetik, kalaupun ada terlalu menitikberatkan pada pembahasan novel
sebagai ilmu sastra.
2. Kurangnya kesempatan peserta secara mendalam mempelajari sastra
khususnya novel, peserta didik hanya sebatas mempelajari unsur-unsur
intrinsik dari novel saja.
3. Kurangnya pemahaman peserta didik terhadap biografi pengarang
(pemikiran, gagasan, dan proses kreatif) karya sastra. Mereka hanya
sebatas mengetahui karya sastranya saja.
4. Kurangnya apresiasi pengajar terhadap novel sebagai bahan
pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada peserta
didik.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang
muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah
peneliti agar objek yang diteliti tidak melebar terlalu jauh, sehingga penelitian
lebih spesifik dan mendalam. Dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo banyak ditemukan temuan masalah, maka dari itu, penulis
membatasi dan memfokuskan penelitian pada:
6
1. Wujud etika profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo serta hubungannya dengan proses kreatif dan dunia
pengarang.
2. Implikasi dari novel Mantra Penjinak Ular terhadap pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas X.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah
penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud etika profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo, serta hubunganya dengan dunia pengarang?
2. Bagaimana implikasi pembahasan novel Mantra Penjinak Ular dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XI?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi etika profetik yang ada dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo, serta mendeskripsikan hubungan etika profetik
dengan dunia pengarang.
2. Mendeskripsikan implikasi novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
kelas XI.
7
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan ini diharapkan bermanfaat, baik itu
secara teoretis maupun praktis. Penelitian yang telah dilakukan ini secara teoretis
diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang khazanah sastra
Indonesia, khususnya pada pembelajaran sastra di sekolah. Selain itu penelitian
yang telah dilakukan ini diharapkan memberi sumbangan ke dalam dunia sastra
Indonesia, dalam hal ini kajian ekspresif terhadap karya sastra. Manfaat praktis
dari penelitian ini, diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih mengetahui
dan memahami isi serta kandungan dari novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo, dan juga diharapkan pembaca dapat memanfaatkan berbagai
pendekatan dalam mengkaji novel tersebut.
G. Metodologi Penelitian
a. Objek penelitian
Objek dalam penelitian ini berupa karya sastra, dalam genre novel, yaitu
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo cetakan ke-2, tahun 2013.
Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu tempat,
karena objek yang dikaji dalam penelitian ini berupa teks karya sastra.
b. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Fokus Penelitian
Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini yakni
menentukan teks sastra yang akan dikaji atau diteliti, dan setelah itu
menentukan persoalan apa yang muncul, untuk kemudian bisa dijelaskan
dan dicarikan solusinya melalui penelitian. Langkah selanjutnya dalam
penelitian ini setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah
menentukan fokus penelitian.
8
Secara umum penelitian sastra dapat dikategorikan ke dalam empat
fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu:
a) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan
penulis/penelitian genetik.
b) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.
c) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri.
d) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.7
Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam penelitian
ini penulis menggunakan fokus yang keempat, yaitu penelitian dengan
fokus teks dan hubungannya dengan penulis/ penelitian genetik. Fokus
penelitian ini memfokuskan teks dalam hubungannya dengan penulis.
Teks mencerminkan gagasan, pikiran dan perasaan penulis yang terlihat
melalui bentu-bentuk di dalam karya sastra yang dihasilkan
2. Bentuk dan Strategi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang
dilakukan adalah ekspresif, pendekatan yang fokus pada karya dan
hubungannya terhadap pengarangnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna,
metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-
fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Lebih lanjut, ia pun
menjelaskan pengertian metode deskriptif analitik sebagai berikut:
“Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti
menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari
bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai),
tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan,
melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif
komparatif, metode dengan cara menguraikan dan
membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode
7 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180
9
dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari
dalam ke luar.”8
Kemudian pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang tidak semata-
mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu
diciptakan pengarang, tetapi juga bentuk-bentuk yang muncul sebagai
hasil pemikiran pengarang.
c. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-
dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
d. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membaca Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
2. Menetapkan masalah yang akan diteliti dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
3. Membaca ulang dengan cermat karya Kuntowijoyo Mantra
Penjinak Ular untuk menentukan etika profetik yang terdapat di
dalam novel tersebut dan implikasinya terhadap pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
4. Menandai kata, kalimat, atau paragraf yang mengandung unsur
etika profetik.
5. Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis.
6. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan
pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.
7. Menyimpulkan hasil penelitian
8 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007), h. 53.
10
e. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada
buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.
f. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu
suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan,
buku, surat kabar, majalah dan berita online.
g. Sumber Data
1. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu novel Mantra Penjinak
Ular (2013) karya Kuntowijoyo.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber
dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian novel
Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus
disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya kemudian hari, novel dianggap
bersinonim dengan fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris – dan inilah yang
kemudian masuk ke Indonesia – berasal dari Bahasa Itali novella (yang dalam
bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang
kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.1 Novel
sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang diidealkan. Dunia tersebut
merupakan dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intirinsiknya
seperti peristiwa, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja ke
semuanya bersifat imajinatif.2
Novel cenderung berisfat expands “meluas” cenderung menitik beratkan
munculnya complexity “kompleksitas”. Sebuah novel tidak akan dapat selesai
dibaca dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara khusus
memilki peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam
sebuah perjalanan waktu (kronologi). Efek dari perjalanan waktu tersebut yakni
pengembangan karakter tokoh. Novel juga memungkinkan adanya penyajian lebar
mengenai tempat (ruang) tertentu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
posisi manusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu
menarik perhatian para novelis.3 Dapat diakatakan novel merupakan karya fiksi
berupa prosa. Novel merupakan karya sastra yang menyajikan kompleksitas di
dalamnya. Berbeda dengan cerpen, novel tidak dapat selesai dibaca dalam sekali
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),
h. 9. 2 Ibid, h. 4.
3 Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi, (Yogyakarta: Gama Media), h. 10-11.
12
duduk. Hal ini dikarenakan, novel menghadirkan pengungkapan cerita yang
cenderung lebih mendalam.
B. Unsur-unsur intrinsik novel
Novel memilki unsur intrinsik atau yang biasa disebut unsur pembangun
karya sastra. Pada umumnya para ahli membagi unsur instrinsik prosa atas tema
dan amanat, sudut pandang/titik pandang pengarang, tokoh, watak, dan
penokohan, alur/plot, latar/setting, gaya bahasa, dan gaya penceritaan.4 Unsur-
unsur tersebut saling berkaitan, dan juga saling membangun struktural sebuah
karya.
a. Tema dan amanat
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, tema adalah makna cerita,
gagasan sentral, atau dasar cerita. Tema merupakan gagasan sentral, yakni
sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui karya fiksi.5 Bisa
dikatan yang dimaksud dengan tema bukanlah sebuah pokok cerita dalam
sebuah karya fiksi melainkan gagasan sentral yang hendak diperjuangkan oleh
pengarang itu sendiri lewat karyanya.
Menentukan tema sebuah karya sastra haruslah disimpulkan dari
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Tema, walau sulit ditentukan secara pasti bukanlah makna yang
“disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema
merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia
akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.6
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan tema sendiri merupakan gagasan
sentral/ utama yang dapat diketahui dari unsur-unsur pembangun karya sastra
yang lain. Sebuah tema tidak dapat ditentukan berdasarkan bagian tertentu
dari sebuah cerita saja, melainkan tema didapat atau diketahui berdasarkan
4 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 142.
5 Sayuti, Op. Cit., h. 187.
6 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 68.
13
keseluruhan cerita. Bisa dipastikan unsur-unsur pembangun lainnya pastilah
menyiratkan tema, dan saling berkaitan mendukung eksistensi tema.
Sebuah karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang; itulah yang disebut amanat.7
Amanat disini dapat diartikan, pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral dan
nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan/ dikemukakan pengarang
lewat cerita.8 Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara impilisit
ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar ataupun ajaran moral itu
disiratkan dalamtingkah laku tokoh menjelang akhir. Eksplisit, jika pengarang
pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan,
nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya yang berkenaan dengan gagasan
yang mendasari cerita itu. 9 Dapat dikatakan, amanat merupakan pesan yang
ingin disampaikan pengarang lewat cerita, dalam hal ini karyanya. Pesan itu
dismpaikan baik secara eksplisit maupun inplisit. Pesan yang disampaikan
pada setiap cerita atau karya, diharapkan dapat diketahui oleh pembacanya,
dan dapat memberi pengaruh kepada pembacanya.
b. Latar
Latar di dalam sebuah karya sastra merupakan tempat pristiwa sebuah
cerita berlangsung. Latar dapat juga dpat diartikan sebagai waktu atau masa
berlangsungnya suatu pristiwa karena latar itu sekaligus merupakan
lingkungan yang dapat berfungsi sebaagai metonomia atau metafora untuk
mengekspresikan para tokoh.10
Latar/setting merupakan unsur yang berkaitan
erat dengan tokoh. Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. “Setting adalah
latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa,
serta memilki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.” Latar/setting digunakan
7 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), h. 57.
8 Zulfahnur Z. F dkk., Teori Sastra, Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III Tahun
1996/1997, Kearsipan Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah, Depdikbud, 1996, h. 26. 9 Sudjiman, Op. Cit., h. 57-58.
10 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1989), h. 290-291.
14
sebagai penegas suasana , maupun kondisi sekeliling si tokoh. Latar cerita
berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi satrawan, latar cerita dapat
digunakan untuk mengemban cerita. latar cerita dapat digunakan sebagai
penjelas tentang tempat, waktu dan suasana yang dialami tokoh.11
Dapat
dikatakan setiap gerak-gerik tokoh dalam sebuah cerita pastilah menimbulkan
peristiwa-peristiwa. Peristiwa tersebut tentunya berlangsung dalam suatu
tempat, suatu waktu, dan suatu suasana. Tempat, waktu dan suasan itulah latar
atau setting sebuah cerita.
Pendapat Abrams yang dikutip dari buku Teori Pengkajian Fiksi, latar
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan
plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan
dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi12
.
Latar sendiri dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni latar tempat, latar
waktu, latar sosial.
Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis
menyangkut tempat suatu peristiwa terjadi. Latar waktu berkaitan dengan
masalah historis, mengacu pada pada saat terjadinya sebuah peristiwa, dalam
plot. Rangkaian peristiwa tidak mungkin terjadi jika dilepaskan dari
perjalanan waktu, yang dapat berupa jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan
zaman tertentu yang melatar belakanginya kemudian yang terakhir latar sosial
berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan, latar sosial merupakan lukisan
status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh dalam
masyarakat yang ada dalam sekelilingnya.13
Dapat disimpulkan, latar/ setting
memberikan kesan realistis terhadap pembaca, menciptakan suasana tertentu
yang seolah-olah sungguh-sungguh terjadi. Latar juga amat erat kaitannya
dengan tokoh dan juga plot/alur. Peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh
11
Siswanto, Op. Cit., h.151. 12
Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 216. 13
Sayuti, Op. Cit., h. 127.
15
tidak dapat dilepaskan dari tempat, perjalanan waktu, dan keadaan sosial yang
melatarbelakangi peristiwa-peristiwa tersebut.
c. Alur
Abrams berpendapat, alur adalah rangkaiaan cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan
oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Dalam cerita modern, alur tidak selalu
dimulai dengan pengenalan dan diakhiri tahap penyelesaiaan. Ada
kemungkinan cerita dimulai dengan konflik. Ada kemungkinan cerita yang
dimulai dari penyelesaiaan.14
Sudjiman (1990) membagi atas alur utama dan
alur bawahan. Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang
menggerakkan jalan cerita. Alur bawahan adalah alur yang disusupkan di sela-
sela bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan adalah lakuan tersendiri
yang masih ada hubungannya dengan alur utama.15
Bagi pengarang yang lebih penting ialah menyusun peristiwa-peristiwa
cerita yang tidak terbatas pada tuntutan-tuntuatan murni kewaktuan saja, tetapi
juga dalam hubungan yang sudah diperhitungkan. Alur tidak hanya sebagai
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu
rangkaian tertentu, tetapi juga merupakan penyusunan yang dilakukan oleh
penulisnya berdasarkan hubungan-hubungan kausalitasnya.16
Dapat
disimpulkan, seorang pengarang tidak menghadirkan alur untuk memenuhi
tuntutan kewaktan saja. Akan tetapi, seorang pengarang menghadirkan
peristiwa-peristwa yang dihadirkan oleh pelaku berdasarkan hubungan sebab
akibat. Kausalitas peristiwa itulah yang membentuk alur, yang merupakan
unsur penting dalam sebuah cerita.
d. Sudut Pandang
14
Siswanto, Op. Cit., h. 160. 15
Ibid, h. 161. 16
Sayuti, Op. Cit., h. 30.
16
Unsur selanjutnya dari sebuah prosa, dalam hal ini novel adalah sudut
pandang (point of view). Sudut pandang adalah tempat atau titik dari mana
seorang melihat objek deskripsinya. Burhan Nurgiyantoro mengatakan dalam
bukunya Teori Pengkajian Fiksi, sudut pandang pada hakikatnya merupakan
strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya. Selanjutnya abrams berpendapat mengenai sudut
pandang (point of view):
“ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca”17
Secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua kelompok yakni
sudut pandang orang pertama: akuan dan sudut pandang orang ketiga: diaan,
atau insider dan outsider. Pada karya fiksi modern sering juga dijumpai sudut
pandang campuran, seperti pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Lazimnya,
sudut pandang yang umum dipergunakan pengarang dibagi menjadi empat
jenis, yakni:
1. Sudut pandang first person-central atau akuan sertaan, yaitu
pengarang secar langsung terlibat di dalam cerita.
2. Sudut pandang first person peripheral atau akuan tak sertaan, yaitu
tokoh “aku” hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang
lebih penting.
3. Sudut pandang third-person-omniscient atau diaan maha tahu, yaitu
pengarang berada di luar cerita, dan biasanya pengarang hanya
menjadi seorang pengamat yang maha tahu, bahkan mampu berdialog
langsung dengan pembaca.
4. Sudut pandang third-person-limited atau diaan terbatas, yaitu
pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang
17
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 248.
17
terbatas hak berceritanya. Disini pengarang hanya menceritakan apa
yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita. 18
Sudut pandang merupakan titik dimana seorang dalam hal ini pengarang
melihat objek deskripsinya. Sudut pandang juga bagi pengarang dijadikan
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita. Melaui sudut pandang sendiri, pada hakikatnya pengarang
menggunakannya untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
e. Tokoh dan penokohan
Perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/ pelaku cerita melalui
sifat-sifat dan tingkah laku dalam cerita. Penokohan dalam sebuah karya sastra
adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dengan wataknya,
yakni sifat, sikap, dan tingkah lakunya. Boleh juga dikatakan bahwa
penokohan itu merupakn cara penyerang untuk menampilkan watak para
tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak
terbentuk. Bentuk penokohan yang paling sederhana ialah pemberian nama
kepada para tokoh di dalam sebuah cerita.19
Adapun tokoh menurut Panuti
Sudjiman, sebagai berikut:
“tokoh adalah ndividu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami
peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam
cerita fiksi dapat berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun
mentalnya.”20
Sebuah karya sastra terdapat banyak ragam tokoh, seperti tokoh datar dan
tokoh bulat. Tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah cerita
yang hanya mempunyai satu dimensi sifat. Tokoh bulat ialah tokoh yang juga
berperan di dalam sebuah cerita yang yang memiliki sifat lebiha dari satu
dimensi.21
Sejalan dengan Wellek dan Waren, Foster juga membagi
perwatakan tokoh atas watak bulat (round character) dan watak datar (flat
18
Sayuti, Op. Cit., h. 159-160. 19
Wellek dan Warren, Op. Cit., h. 287. 20
Zulfahnur Z. F dkk, Op. Cit., h. 29. 21
Wellek dan Warren, Op. Cit., h. 288.
18
character). Tokoh datar diungkapkan atau disoroti dari satu segi wataknya
saja (Forster, 1955: 67-68) sikap atau obsesi tertentu saja dari si tokoh
(Kenney, 1966: 28). Tokoh datar bersifat statis; di dalam perkembangan
lakuan, watak tokoh itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak
berubah sama sekali. Sedangkan tokoh bulat ditampilkan lebih dari satu segi
wataknya dalam cerita. Berbagai segi wataknya itu ditampilkan tidak secara
sekaligus melainkan berangsur-angsur atau berganti-ganti, pergantian watak
yang dialami tokoh bulat juga haruslah dalam batas-batas kebolehjadian
(probability) juga.22
Dilihat dari watak yang di miliki tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan antagonis (Aminuddin, 1984: 85). Tokoh protagonis adalah
tokoh yang wataknya disukai pembaca. Biasanya berwatak baik dan positif.
Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembaca.
Biasanya memiliki watak buruk dan negatif.23
Ditinjau dari segi keterlibatannya tokoh fiksi dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu tokoh utama/ tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh utama/ sentral
merupakan tokoh yang mengambil bagian besar dalam peristiwa atau tokoh
yang paling sering diceritakan. Tokoh tersebut ditentukan dalam tiga cara,
yaitu (1) tokoh itu paling teribat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu paling
banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) tokoh itu paling memerlukan
waktu penceritaan. sedangkan tokoh bawhan itu sendiri merupakan tokoh
yang mengambil bagian kecil dalam peristiwa atau tokoh yang paling sedikit
diceritakan.24
Persoalan pengarang tidak hanya dalam hal memilih jenis tokoh yang akan
disajikan dalam cerita, tetapi juga dengan cara apakah ia akan menyajikan
tokoh ciptaanya. Ada yang membedakan cara-cara penggambaran tokoh
menjadi cara analitik dan dramatik, ada yang membedakannya menjadi
22
Sudjiman, Op. Cit., h. 20-21. 23
Siswanto, Op. Cit., h. 144. 24
Sayuti, Op. Cit., h. 74.
19
metode telling „uraian‟ dan showing „ragaan‟, dan pula yang membedakannya
menjadi metode diskursif, kontekstual, dan campuran. Pembedaan penyajian
watak tokoh tersebut memang memilki istilah yang berlainan, akan tetapi
sesungguhnya esensi yang dimilki kurang lebih sama.
f. Gaya Bahasa
Unsur intrinsik selanjutnya adalah Gaya Bahasa. Atar Semi mengatakan
bahwa tingkah laku berbahasa merupakan suatu sarana sastra yang amat
penting. Tanpa bahasa, sastra tidak ada. Betapapun dua atau tiga orang
pengarang mengungkapkan suatu tema, alur, karakter, atau latar yang sama,
hasil karya mereka akan berbeda bila gaya bahasa mereka berbeda.25
Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi menyebut
gaya bahasa dengan istilah style/ gaya. Gaya yang dikenal dengan kata style
diturunkan dari kata lain stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada
lempengan lilin. “kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian
untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan
keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.” Burhan
Nurgiyantoro berpendapat mengenai gaya (style) sebagai berikut:
“Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan.
Teknik itu sendiri merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat
dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam
karya.”26
Stile sendiri ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata,
struktur kalimat, bentuk-bentuk bahsa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-
lain.
Dapat diartikan gaya bahasa bahasa adalah cara yang khas, yang dipakai
pengarang untuk mengungkapkan sesuatu cerita dengan indah (dan sesuai khas
seorang pengarang). Hal tersebut meliputi ciri formal kebahasaan seperti
25
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 47. 26
Nurgiyantoro, op. Cit., h. 370.
20
pilihan kata, struktur kalimat, bahasa figuratif, dan penggunaan kohesi
sehingga dapat menyentuh emosi dari pembaca cerita/ karya si pengarang.
Tentunya setiap pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri dalam bercerita.
C. Etika Profetik
Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dalam memilih
satu premis, tema, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku.
Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika, itupun dengan sukarela
tidak memaksa.27
Dua prinsip pokok yang menopang konsep sastra profetik yakni
kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan.28
Sastra profetik digagas oleh Kuntowijoyo akhirnya merumuskan apa yang
disebutnya sebagai etika profetik. Etika itu disebut “profetik” karena ingin meniru
perbuatan Nabi, sang Prophet. Etika tersebut terdapat dalam Alqur‟an, 3: 110,
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma‟ruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah”. Setelah
menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnas) selanjutnya ayat
itu berisi tiga hal, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi), nahi
mungkar (mencegah kemungkaran, liberasi), dan tu’minu billah (beriman pada
Tuhan, transendensi).29
Dari kutipan maklumat sastra proftik kunto tersebut dapat
ditangkap bahwa etika profetik yang dimaksud oleh Kuntowijoyo diambil dari
kitab suci sebuah agama, dalam hal ini Islam. Kuntowijoyo menggunakan istilah
humanisasi, liberasi, dan transendensi yang merupakan isi dari etika profetik.
Ketiga inilah yang diinginkan oleh etika profetik, etika yang meniru perbuatan
nabi (sang prophet).
a. Humanisasi
Etika humanisasi yang dapat kita sederhana maknanya menjadi menjadi
manusia yang utuh. Humanisasi dilakukan dalam rangka melenyapkan
27
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur, (Yogyakarta: Multi
Presindo, 2013), h. 16. 28
Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 154. 29
Kuntowijoyo, Op. Cit., h. 16-17.
21
keadaan dehumanisasi yang melanda masyarakat modern sebagai dampak
negatif kemajuan teknologi dan industri. Dehumanisasi ialah objektivasi
manusia (teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan,
kriminalitas, loneliness (privatisasi, individualisasi), dan spritual alienation
(keterasingan spiritual, artinya orang telah menjadi asing dengan dirinya
sendiri)30
. Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai alam bawah
sadarnya daripada kesadaraannya. Tanpa disadari dehumanisasi sudah
menggerogoti masyarakat Indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin,
manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa.31
Humanisasi dalam etika
profetik merupakan upaya perlawanan terhadap dehumanisasi. Upaya
perlawanan terhadap apa yang dinamakan sebagai manusia mesin, manusia
dan masyarakat massa, dan budaya massa.
1. Manusia mesin
Jacques Ellul mengatakan manusia mesin (il’home machine) terjadi
karena penerapan teknik meluas dalam masyarakat modern kita.
Definisi teknik menurut Jacques Ellul ialah totalitas dari metode yang
secara rasional mencapai dan mempunyai efisiensi dalam setiap bidang
aktivitas manusia. James R. Chaplin pun mengatakan dalam
Dictionary of Psychology perilaku manusia mesin hanya berdasar pada
stimulus and response, seperti yang digambarkan dalam psikologi
behaviorisme. Perilaku manusia tidak lagi berdasar akal sehat, nilai,
dan norma. Agresivitas, korupsi, selingkuh, tawur adalah hasil dari
manusia mesin itu. Dapat dikatakan bahwa manusia mesin memberi
dampak disorganisasi nilai-nilai sosial dan personal. Menyebabkan
abnormalitas dalam masyarakat.32
2. Manusia dan masyarakat massa
Istilah manusia massa (il’home mass) berasal dari Gabriel Marcel,
seorag filsuf Eksistensialis-Katolik. Menurut Marcel dalam masyarakat
30
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), h. 107. 31
Ibid., h. 17. 32
Ibid., h. 17-18.
22
teknologis manusia tidak lagi memahami dirinya berdasar gambaran
tentang Tuhan (be image of God) tetapi gambaran tentang mesin (the
image of machine). Manusia massa itu memandang realitas tidak
secara utuh, lebih banyak menekankan aspek emosional daripada
intelektual. Kekuatan yang membentuk masyarakat massa ialah
teknologi (mekanisasi, industrialisasi), organisasi ekonomi (pabrik,
pasar advertensi), diferensiasi sosial (kelas, suku, agama), mobilisasi
politik (negara, partai), dan budaya (pop, musik pop, pendidikan,
media massa).33
3. Budaya massa
Manusia mesin serta manusia dan masyarakat massa itu juga
menghasilkan budaya, yakni budaya massa. Ada degradasi budaya
dalam budaya massa. Adorno mengatakan bahwa dalam budaya massa,
budaya sudah jadi komoditas, suatu comoditity fetichism. Budaya
bukan lagi sebuah promesse den bonheur (kebajikan) yang berupa
realitas yang melampaui kekinian. Basis sosial budaya massa ialah
generasi muda. Budaya massa itu terekspresikan dalam bentuk
bermacam-macam, yaitu kesenian (rap, dangdut, rock)kebjiaksanaan
populer (unhkapan plesetan, bahasa remaja), elektronika (CD, DVD,
film, sinetron), dan masih banyak bentuk yang lainnya.34
Di samping dehumanisasi modern yang dipaparkan di atas, ada juga
dehumanisasi tradisional. Kuntowijoyo mengatakan dehumanisasi tradisional
masih ada dalam masyarakat kita. Dehumanisasi itu ialah pemujaan wesi aji
dan batu mulia, kekeramatan kuburan, sesaji, topa macam-macam, tuyul,
jimat, mantra, santet, dan sebagainya.35
b. Liberasi
33
Ibid., h. 19. 34
Ibid., h. 19-20. 35
Ibid., h. 21.
23
Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetiknya mengatakan liberasi
terbagi menjadi dua. Ada liberasi dari kekuatan eksternal seperti kolonialisme,
agresi oleh negara adikuasa, dan kapitalisme dunia. Kemudian ada juga
liberasi dari kekuatan internal seperti penindasan politik (sistem politik),
penindasan atas rakyat oleh negara (di masa orde baru) , ketidakadilan
ekonomi, dan ketidakadilan gender. Etika liberasi yang dituju Kuntowijoyo
dalam maklumat sastra profetiknya yakni liberasi dari kekuatan internal
tersebut, yang terjadi di Indonesia.36
Sasaran liberasi sendiri ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem soisal,
sistem ekonomi, dan sistem politik.37
Liberasi perlu dilakukan untuk
mencegah dan melawan berbagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan
(sekelompok) manusia terhadap (kelompok) manusia lainnya. Dalam hal ini
penindasan yang dilakukan pejabat negara, permainan politik yang kotor,
penindasan para pemilik modal dalam kegiatan ekonomi, penindasan laki-laki
atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama tertentu kepada
etnis dan agama lainnya. Tentu saja pencegahan itu dilakukan menurut
hukum-hukum yang disepakati dan tidak menyimpang dari ajaran Tuhan.38
Dapat disimpulkan, liberasi memiliki sasaran sistem pengetahuan, sistem
politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Etika liberasi yang digagas
Kuntowijoyo sejalan dengan sasaran dari liberasi itu sendiri yakni liberasi dari
penindasan politik, penindasan rakyat oleh negara, ketidakadilan ekonomi,
dan ketidakadilan gender. Liberasi sendiri dilakukan dalam upaya mencegah
dan melawan berbagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan
(sekelompok) manusia terhadap (kelompok manusia lainnya). Liberasi inilah
yang Kuntowijoyo rumuskan dalam etika profetiknya.
c. Transendensi
36
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, Op. Cit., h. 22. 37
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 370. 38
Wan Anwar, Op. Cit., h. 159.
24
Etika transendensi, yaitu mengingatkan kembali keberadaan dan perilaku
manusia di bumi (antar manusia dan atntar mahluk) dengan keberadaan
kemahakuasaan Tuhan. Bersatu padunya kesadaran kemanusiaan dengan
kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap, dan di
sisni pulalah tercapai apa yang disebut kaffah (utuh dan lengkap), dimana
ibadah ritual kepada Allah seimbang dengan ibadah sosial kepada sesama
manusia (termasuk menjaga alam dan mahluk Tuhan lainnya).39
Transendensi sebenarnya tidak harus berarti kesadaran ketuhanan secara
agama saja, tapi bisa saja kesadaran apa saja yang melampaui batas
kemanusiaan. Roger Garaudy mengatakan unsur dari transendensi ada tiga
yaitu, pengakuan ketergantungan manusia terhadap Tuhan, adanya perbedaan
yang mutlak antar Tuhan dan manusia, dan pengakuan akan adanya norma-
norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari akal manusia.40
Dalam Islam
transendensi itu akan berupa sufisme. Kandungan sufisme seperti khauf
(penuh rasa takut), raja‟ (sangat berharap), tawakkal (pasrah), qana‟ah
(menerima pemberian Tuhan), syukur ikhlas dan sebagainya adalah tema-tema
sastra transendental.41
D. Pendekatan Ekspresif
Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat komponen utama.
Dimana diagram itu membentuk sebuah segitiga yang berisi empat pendekatan.
Pendekatan ekspresif dan pendekatan pragmatik yang berada dikanan dan kiri
segitiga, lalu ada pendekatan mimetik yang berada di puncak segitiga, dan
terakhir pendekatan objektif berada di dalam diagram segitiga tersebut. Dengan
39
Ibid., h. 159-160. 40
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 31. 41
Ibid., h. 31-32.
25
diagram tersebut Abrams menjelaskan bahwa karya sastra selain berdiri sendiri
juga terikat oleh kenyataan, pengarang, dan pembaca.
Dalam model pendekatan Abrams ini terkandunglah pendekatan kritis
yang utama terhadap karya sastra sebagai berikut:
a. Pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri; pendekatan ini
disebut obyektif;
b. Pendekatan yang menitikberatkan penulis, yang disebut ekspresif;
c. Pendekatan yang menitikberatkan semesta, yang disebut mimetik;
d. Pendekatan yang menitikberatkan pembaca, disebut pragmatik.42
M. H Abrams dalam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp
mengatakan secara umum, bahwa pendekatan ekspresif menitik beratkan
kajiannya terhadap pencipta (yang dalam hal ini pengarang), hal ini berangkat dari
fakta bahwa sebuah karya seni dihasilkan dari proses kreatif yang beroperasi di
bawah dorongan perasaan, dan mewujudkan produk gabungan dari persepsi
penyair, pikiran, dan perasaan.
“In general terms, the cultural tendency of the expresive theory may be
summarized in this way: A work of art is essentially the internal made
external, resulting form a creative process operating under the impluse of
feeling, and embodying the combined product of the poet’s perceptions,
thougthts, and feelings.”43
Kemudian hal-hal yang berada di luar penyair/ pengarang akan dikonversi oleh
perasaan dan operasi pikiran penyair sendiri.
“The primary source an subject matter of a poem, therefore, are the
attributes and actions of the poet's mind; or if aspects of the external
world, then these only as they are converted from fact to poetry by the
feelings and operations of the poet's own mind.”44
42
A. Teuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 50. 43
M. H. Abrams, The Mirror and The Lamp, (New York: Oxford University Press, 1980), h.
22. 44
Ibid, h. 22.
26
Pendekatan ekspresif memilki kesamaan dengan pendekatan biografis dalam hal
fungsi. Fungsi tersebut menempatkan karya sastra sebagai manifestasi subjek
kreator. Sebaliknya pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data
sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek
pencipta, jadi, sebagai data literer.45
Nyoman Kutha Ratna mengatakan, pendekatan ekspresif tidak semata-
mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan,
seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang
terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Maka wilayah studi ekspresif adalah
diri penyair, pikiran dan perasaan, dan hasil ciptaannya. Melalui indikator kondisi
sosio kultural pengarang dan ciri-ciri kreativitas imajinatif karya sastra, maka
pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan utnuk menggali ciri-ciri individualisme,
nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya sastra
individual maupun karya sastra dalam rangaka periodisasi.46
Secara historik, sama dengan pendekatan biografis, pendekatan ekspresif
dominan abad ke-19, pada zaman Romantik. di Belanda dikenal melalui Angkatan
1880 (80-an), di Indonesia melalui Angkatan 1930 (30-an), yaitu angkatan
Pujangga Baru, yang dipelopori oleh Tatengkeng, Amir Hamzah, dan Sanusi
Pane, dengan dominasi puisi lirik. Menurut Teeuw (1988: 167-168) tradisi ini
masih berlanjut hingga Sutardji Calzoum Bachri, tidak terbatas pada cipta sastra
tetapi juga pada kritik sastra. dalam tradisi sastra Barat pendekatan ini pernah
kurang mendapat perhatian, yaitu selama abad Pertengahan, sebagai akibat dari
dominasi agama Kristen. karya sastra semata-mata dianggap sebagai peniruan
terhadap kebesaran Tuhan dengan konsekuensi manusia sebagai pencipta harus
selalu di bawah Sang Pencipta.47
Jadi dapat disimpulkan pendekatan ekspresif tidak hanya memberi
perhatian kepada proses kreatif menciptakan sebuah karya, akan tetapi juga
45
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007), h. 68. 46
Ibid., h. 69. 47
Ibid., h. 69.
27
melihat bentuk-bentuk yang dihasilkan dalam karyanya. Wilayah pendekatan ini
meliputi penyair, pikiran dan perasaaan, dan hasil ciptaannya. Pendekatan ini
menempatkan karyas sastra sebagai manifestasi subjek kreator.
E. Implikasi Pembelajaran Sastra
Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik.
Lewat karya sastra, pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan
pembelajaran dari sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra mempunyai
impilikasi dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.
Rahmanto berpendapat seseorang yang telah banyak mendalami berbagai
karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal
mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-
pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih
banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup
manusia.”48
Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat
memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian
anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan
pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.
Sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa.
Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yakni menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam
kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan
mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto
menjelaskan sebagai berikut
“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek.
Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya
pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti,
ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”49
48
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h. 24. 49
Ibid.,h.38.
28
Sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti ilmu
pengetahuan lain. Sastra tidak memberikan pengetahuan dalam bentuk jadi seperti
ilmu pengetahuan pada umunya. Ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas
perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas
hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra karya lahir dalam perbedaan cara
pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi
perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini
Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya
besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar
merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”50
Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung
sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan
aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara
historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.
Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-
pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai
berikut:
“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-
lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan
atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam
konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap
karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit
dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri
merupakan objek kultural yang rumit.”51
Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra
memuat bagaimana semangat zaman yang menggambarkan perkembangan sosial
masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu dengan
pembelajaran sastra, siswa akan mampu peka melihat kedaan zamannya, masalah-
50
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.515 51
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 4.
29
masalah yang muncul dalam karya sastra sejalan dengan masalah yang ada dalam
dunia nyata. dengan kata lain lewat pembelajaran sastra siswa dapat lebih peka
akan keadaan sosial sekelilingnya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra dapat memberi pembelajaran
bagi siswa. Pembelajaran itu sendiri tidak hanya mengenai wawasan saja, akan
tetapi, juga memberikan pembentukan karkter siswa, pendidikan moral serta etika.
Pembelajaran dalam sastra sendiri tidaklah bersifat jadi. Pembelajaran yang
didapat siswa didapat ketika mereka membaca dan juga memahami isi dari sebuah
karya sastra.
F. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan merupakan hasil analisis atau penelitian lain yang
dijadikan acuan dalam melakukan penelitian. Penelitian yang relevan berguna
bagi peneliti untuk menopang penelitian yang akan dilakukan. Sebuah karya
ilmiah (hasil penelitian) mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna
menopang peelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari
makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.
Sepengetahuan penulis belum ada penelitian yang meneliti terkait etika
profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Adapun
penelitian yang masih ada hubungannya mengenai karya Kuntowijoyo ini yakni,
penelitian yang dilakukan Andri Arilaksa dari Universitas Muhammadiyah
Surakarta dengan judul “Aspek Budaya Jawa Novel Mantra Penjinak Ular Karya
Kuntowijoyo: Tinjauan Semiotik”. Penelitian yang dilakukan oleh Andri Arilaksa
yakni mencoba mengungkapkan budaya-budaya Jawa yang ada di dalam novel
Mantra Pejinak Ular.
Penelitian yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah skripsi dari
Mutmainah Hassan. Skripsi ini berjudul “Kajian Strukturalisme Genetik Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo”. Hasil analisis isi menunjukkan alur yang
digunakan adalah alur progresif, teknik pelukisan tokoh secara analitik dan
30
dramatik. Sudut pandang menggunakan sudut pandang dia-an dengan teknik dia
mahatahu dan dia pengamat. menggambarkan latar masa Orde baru dan temanya
adalah perubahan sosial dan politisasi kesenian. Pandangan dunia novel Mantra
Pejinak Ular menyangkut hal yang berhubungan dengan Tuhan, dunia dan
manusia yang selalu menyadai keterbatasan pada nilai ketuhanan. serta subjek
kolektif dan lingkungan sekitar Kuntowijoyo menggambarkan adanya campur
tangan kekuasaan terhadap kesenian untuk kepentingan politik.
31
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG, PEMIKIRAN PENGARANG, DAN
SINOPSIS NOVEL
A. Biografi Pengarang
Kuntowijoyo dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, 18 september 1943.
Kehidupan masa kecil Kuntowijoyo semasa kecil hidup dalam budaya dan tradisi
Islam dan Jawa. Ayahnya sebagai dalang dan pembaca macapat, sedangkan eyang
buyutnya sebagai seorang khathath (penulis mushaf al-quran dengan tangan).
Pendidikan formal Kuntowijoyo dimulai dari madrasah ibtidaiyah atau SRN di
Ngawonggo, Klaten (1956). Lulus sekolah dasar Kuntowijoyo melanjutkan
pendidikannya di SMP masih di daerah Klaten, yang kemudian lulus pada tahun
1959. Barulah menginjak SMA Kuntowijoyo meneruskan pendidikannya di
daerah lain yakni di sebuah SMA di daerah Surakarta (1962). Setelah lulus SMA,
Kuntowijoyo berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1969).
Jenjang pendidikan tingginya kemudian dilanjutkan dengan meraih gelar magister
di Universisity of Connecticut, AS (1974). Puncaknya didapat dengan meraih
gelar doktor dalam bidang ilmu sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980).
Dalam catatan Amien wangsitalaja, semasa kecil, di sebuah surau, di desa
kecil yang sunyi, Ngawonggo (kecamatan Ceper, Klaten), Kuntowijoyo pernah
belajar mendongeng dan berdeklamasi kepada M. Saribi Affin dan Yusmanan,
dua sastrawan yang cukup penting dalam sastra Indonesia. Sejak masih di
madrasah ibtidaiyah, selain rajin belajar deklamasi, mendongeng, dan mengaji, ia
gemar membaca suntuk di sebuah perpustakaan kota kecamatan. Begitu pula
ketika memasuki SMP, Kuntowijyo membaca karya Hamka, H.B Jassin,
Pramoedya Ananta Toer, Nugroho Notosusanto, hingga pada SMA berkenalan
32
dengan karya dunia, misalnya karya Charles Dickens dan Anton Chekov.1 Semasa
kuliah Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam
(Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama Dwam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul
Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya, Ikranagara, dan Abdul Hadi W.M).
Terlihatlah bahwa kuntowijoyo sedari dini memang sudah gemar membaca dan
sudah gemar terhadap karya-karya sastra. Bahkan ketika ia terbaring sakit
kegemaran membacanya itu pun masih dilakukannya bahkan sampai delapan jam
sehari.
Perjalanan karir Kuntowijoyo semasa hidupnya yang pernah diembannya,
yakni sebagai Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970), Dosen Fakultas
Sastra UGM (1970-2005), Sekretaris Lembaga Seni & Kebudayaan Islam (1963-
1969), Ketua Studi Grup Mantika (1969-1971), Pendiri Pondok Pesantren Budi
Mulia (1980), Pendiri Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di
Yogyakarta (1980). Kuntowijoyo juga dikenal sebagai seorang aktivis.
Kuntowijoyo merupakan seorang aktivis Muhammadiyah dan pernah menjadi
anggota PP Muhammadiyah. Bahkan ia pernah melahirkan sebuah karya
Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Menurut ketua PP
Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii Maarif, Kunto merupakan sosok pemikir Islam
yang sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah karena kritiknya cukup
pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.2
Kuntowijoyo selain sebagai sastrawan juga dikenal sebagai seorang
intelektual dan akademisi. Banyak karya sastra lahir dari tangannya, juga banyak
karya dan telaah ilmiah lahir dari tangannya. Kualitas karya pada dua bidang
tersebut pun tidak perlu diragukan. Karya-karya sastra dan juga telaah-telaah
ilmiahnya lahir dari endapan pengalaman hidup Kuntowijoyo dengan lingkungan
sekitarnya (yang dalam hal ini budaya Jawa dan tradisi Islam banyak memberi
pengaruh terhadap karya-karyanya).
1 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 3.
2 “Kuntowijoyo” , http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/, diakses pada tanggal
28 Desember 2014 pukul 23: 00 WIB.
33
Karya-karya sastra yang dihasilkan Kuntowijoyo terbilang cukup lengkap.
Hampir semua genre sastra pernah dihasilkan dari mulai puisi, prosa, sampai
naskah drama. Puisi-puisinya terdapat dalam tiga buku kumpulan sajaknya, yakni
kumpulan sajak Suluk Awang-Uwung (1975), kumpulan sajak Isyarat (1976), dan
kumpulan sajak Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Kemudian pada genre
prosa, produksi karyanya terbilang cukup banyak dibanding genre karya sastra
lain yang dihasilkannya. Adapun karya sastra bergenre prosa yang dihasilkannya,
antara lain Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1992), Hampir
Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari
(novel, 1966), Pasar (novel, 1972), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976), Mantra
Penjinak Ular (novel, 2000), dan terakhir Waspirin dan Satinah (novel, 2003).
Karya sastra lainnya yang dihasilkan kuntowijoyo berbentuk naskah drama, antara
lain Rumput-Rumput Daun Bento (drama, 1968), Tidak Ada Lagi Waktu Bagi
Nyonya Fatma, Barda, dan Cardas (drama, 1972), dan Topeng Kayu (drama,
1973). Selain itu karya-karya Kutowijoyo tersebar juga dalam berbagai antologi.
Selain menghasilkan karya sastra, Kuntowijoyo juga rajin menulis telaah-
telaah kritis terhadap masalah sosial, budaya, dan sejarah. Telaah-telaah yang
dihasilkannya antara lain Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985),
Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam: Interprteasi untuk Aksi
(1991), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam
(1997), Pengantar Ilmu Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat
Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Radikalisasi Petani: Esai-esai
Sejarah Kuntowijoyo (2002), dan Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-
1915 (2004). Dua buku Kuntowijoyo yang berharga yang belum sempat
dipublikasikan hingga Kuntowijoyo wafat pada 22 Februari 2005, yakni
Historical Experience (bahan pengantar kuliah sejarah) dan Sejarah Eropa Barat
(belakangan terbit dengan judul Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa).
Penghargaan-pengharaan yang pernah diterima Kuntowijoyo antara lain
Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan
Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk buku
34
Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI
(1995), Cerpen Terbaik Kompas (1995, 1996, 1997, dan 2005), Asean Award on
Culture (1997), Satyalencana Kbudayaan RI (1997), Mizan award (1998),
Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dan Menristek (1999),
dan SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1999). Naskah drama Rumput-
Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan
dari Dewan Kesenian Jakarta, Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku,
1972, dan Kuntowijoyo juga mendapatkan Hadiah Sastra dari Majelis Sastra Asia
Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).
Sartono Kartodirjo berpendapat, Kunto menulis dengan tidak partisan,
tidak mencampuradukan perasaan serta pendapat pribadi. Kunto juga seorang
inteektual yang tak memiliki ambisi untuk menjadi penguasa, apalagi menjadi
kaya.3 Selain Sartono, Binhad Nurohmat juga mengungkapkan pendapatnya
mengenai Kuntowijoyo, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Realisme Udik
Kuntowijoyo”. Binhad mengatakan,
“Bersastra bagi Kuntowijoyo adalah upaya mengintimi urusan-urusan
atau persoalan-persoalan yang mungkin segera dilupakan banyak orang
dengan cara membangun cara pandang baru, dan dia menuliskannya penuh
daya sentuh sehingga mampu mengajak untuk semakin menukik ke
kedalaman pengertian untuk menemukan inti kenyataan dari dalam
batinnya.”4
Rizal Pangabean mengatakan Kuntowijoyo ialah orang berbakat yang
mengagumkan. Ia mahir menggunakan puisi, cerpen, dan novel untuk
mengungapkan dan menyampaikan pesannya. Selain itu ia juga dapat
menggunakan medium esei dan karangan ilmiah lainnya di bidang sejarah, politik,
dan pemikiran Islam.5 Arief Fauzi Marzuki dalam artikelnya di harian Kompas
mengatakan,
3 Syafii Maarif, “Meruntuhkan Mitologi ala Kuntowijoyo”, Suara Merdeka, 2 April 2006, h.
27. 4 Binhad Nurohmat, “Realisme Udik Kuntowijoyo (1943-2005)”, Kompas, 20 Maret 2005, h.
17. 5 Rizal Pangabean, “Kritik Sosial Kuntowijoyo”, Tempo, Februari 2005, h. 14.
35
“Melihat produktivitas dan kedalaman karyanya, kita yakin
Kuntowijoyo mempunyai obsesi yang besar akan masa depan agama dan
bangsanya yang kini sedang tertatih keluar dari krisis. Tidak hanya krisis
ekonomi, tetapi juga krisis pengetahuan yang rasional obyektif.”6
Paparan riwayat Kuntowijoyo memberi alasan yang sekiranya cukup,
kenapa seorang Kuntowijoyo dikatakan bukan hanya sebagai seorang sastrawan
saja, melainkan juga seorang akademisi. Karya-karya baik fiksi maupun ilmiah
diciptakannya secara produktif, dan terbilang cukup berimbang produktivitasnya.
Baik sebagai sastrawan maupun sebagai akademisi itu semua ditekuni oleh
Kuntowijoyo secara berimbang, dan mempunyai porsi yang sama kuat bagi
dirinya. Hingga menjelang akhir hayatnya pun Kuntowijoyo masih terus menulis
dan menghasilkan karya.
B. Pemikiran Pengarang
Sebuah karya sastra tentunya mengandung buah pemikiran pengarangnya
(sastrawan). Pemikiran-pemikiran tersebut dapat terlihat secara tersurat lewat
pernyataan-pernyatan yang ada dalam karya tersebut, seperti contoh kalau dalam
novel dari perkataan-perkataan para tokoh-tokohnya. Pemikiran seorang
pengarang juga kadang tidak selalu tersurat, kadang tersirat seperti kalau dalam
novel lewat peristiwa-peristiwa yang muncul di dalamnya, atau juga lewat
perbuatan para tokoh-tokohnya. Seorang pengarang tentunya memilki pemikiran-
pemikiran yang diperolehnya dari suatu proses endapan pengalaman hidupnya.
Pemikiran-pemikiran tersebut dapat kita ketahui lewat karya-karyanya, atau juga
pengarang tersebut secara tegas menyatakan pemikiran-pemikirannya. Contoh
pengarang yang secara tegas menyatakan pemikiran-pemikirannya seperti Sutardji
Calzoum Bachri dengan Kredo Puisinya (membebaskan kata dari beban makna),
atau juga Seno Gumira Adjidarma dengan sebuah esai Ketika Jurnalisme
Dibungkam Sastra Berbicara (jurnalisme sastrawi), dan masih banyak pengarang
yang lainnya.
6 Arif Fauzi Marzuki, “Membangun Semesta Budaya Profetik”, Kompas, 21 September 2003,
h. 18.
36
Tidak terkecuali bagi seorang Kuntowijoyo. Lewat sastra jua inilah, Kunto
menyampaikan gagasan-gagasan atau pemikirannya. Kuntowijoyo yang dikenal
juga sebagai akademisi dan intelektual banyak menyampaikan gagasan-
gagasannya selain lewat bentuk karya sastra, juga lewat esai-esainya. Sebuah
harian berita yang berasal dari Yogyakarta mengatakan,
“Karya sastra Kuntowijoyo selalu mengandung pemikiran yang
mendasar tentang keberadaan manusia di tengah sejarah, di tengah nilai-
nilai imanen transendental. Ini merupakan refleksinya atas pemahaman
terhadap sejarah dan kebudayaan serta penghayatannya yang kuat terhadap
agama islam.”7
Kuntowijoyo merumuskan apa yang dinamakannya sebagai sastra
profetik. Gagasannya terhadap sastra profetik ditegaskannya lewat sebuah tulisan,
atau yang biasa Kuntowijoyo sebut sebagai maklumat sastra profetik. Gagasan
sastra profetik dari Kuntowijoyo sendiri telah menambah khazanah sastra
Indonesia. Gagasan sastra profetik itu berangkat dari kegundahan Kuntowijoyo.
Pada temu sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo
menandaskan bahwa sastra Indonesia memerlukan jenis sastra transendental,
yakni sastra yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang
serba birokratis, industrialis, pasar, dan instrumental. Sastra transendental
menghasratkan agar manusia tidak menjadi mahluk satu dimensi, melainkan
mahluk lengkap baik jasmani maupun rohani, berakar di bumi sekaligus
menjangkau langit. Dengan kata lain, tugas manusia (sastrawan) adalah
menyatukan/ mendialektiskan dikotomi: hubungan manusia dengan manusia
(habluminaanaas) dan hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminaallah).8
Sitor Situmorang juga berpendapat terkait makalah yang disajikan Kuntowijoyo
pada acara Temu Sastra di TIM saat itu. Sitor mengatakan,
“Lewat makalahnya berjudul “Saya kira kita memerlukan juga sebuah
sastra transendental”, dalam Temu Sastra 1982, di TIM Jakarta, tanpa
7 Anonim, “Kunto, “Resi” Kontemporer”, Berita Nasional, 25 Januari 1991, h. 6.
8 Wan anwar, Op. Cit., h. 11
37
mengatasnamakan Tradisi, ingin mengingatkan kita bersama pada dimensi
transendental dari budaya Indonesia.”9
Gagasan sastra transendental yang Kuntowijoyo kemukakan pada temu sastra
tersebutlah yang di kemudian hari diesbut sebagai sastra profetik. Gagasan sastra
profetik yang dikemukakan Kuntowijoyo memliki apa yang dinamakan sebagai
kaidah, etika, dan struktur.
Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra profetik mempunyai kaidah-kaidah
yang memberi dasar kegiatannya, sebab tidak saja menyerap, mengekspresikan,
tapi juga memberi arah realitas. Sastra profetik disebut Kuntowijoyo sebagai
sastra dialektik, artinya sastra yang berhadapan dengan realitas, melakukan
penilaian dan kritik sosial secara beradab. Oleh karena itu menurutnya sastra
profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Kaidah dalam
sastra profetik menurutnya pertama, yakni epistemologi struktualisme
transendental yang artinya sastra profetik merujuk pada pemahaman dan
penafsiran Kitab-kitab Suci atas realitas, kaidah kedua dari sastra profetik yakni
menyatakan sastra sebagai ibadah, dan kaidah ketiga ketiga sastra profetik,
menghendaki sastra memilki keterkaitan antar kesadaran.
Pada sastra profetik, menurut Kuntowijoyo juga dikehendaki apa yang
dinamakan sebagai etika profetik. Etika itu disebut profetik karena ingin meniru
perbuatan Nabi, Sang Phropet. Kuntowijoyo menyatakan etika tersebut
ditemukannya dalam Alqur’an, 3:110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada
kemunkaran, dan beriman kepada Allah”. Dari ayat tersebut Kunto pun
merumuskan apa yang dinamakannya sebagai etika profetik yakni berisi tiga hal,
yaitu humanisasi (amar ma’ruf: mengajak kepada kebaikan), liberasi (nahi
munkar: mencegah kemunkaran), dan transendensi (tu’minima billah: beriman
kepada Tuhan).10
Keinginan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo sebenarnya
9 Sitor Situmorang, “Himbauan Seni Transendental Kuntowijoyo”, Berita Buana, 21 Desember
1982. 10
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur, (Yogyakarta: Multi
Presindo, 2013), h. 16-17.
38
hanya sebatas etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. Kuntowijoyo
melalui maklumatnya menginginkan supaya sastra Indonesia lebih cendekia
dalam ekspresinya, sehingga sastra mendapat pengakuan sejajar dengan ilmu dan
teknologi. Sekarang ini menurutnya, sastra seolah menjadi beban masyarakat
tanpa sumbangan apa-apa. Sastra diakui adanya, diterbitkan buku-bukunya, dan
disanjung dengan hadiah-hadiah, tapi tetap dianggap sebagai mahluk aneh. Sastra
hanya dibaca sastrawan, krtikus sastra, dan mahasiswa sastra. Tidak menjadi
bacaan wajib anak-anak sekolah, dianggap tidak mendidik dan tidak
mencerdaskan.11
Kuntowijoyo menyatakan bahawa kandungan dalam sebuah karya sastra
perlu ditingkatkan. Kuntowijoyo menyatakan sebuah karya sastra harus tetap
deskriptif naratif, meskipun mengusung tema yang berdasarkan konsep analitis.
Kuntowijoyo menyebut bahwa untuk menjaga agar karya sastra tetap deskriptif
naratif ada dua cara, yakni menulis sastra dari dalam, dan menulis sastra dari
bawah. Menulis sastra dari dalam berarti peristiwa dipahami sebagaimana tokoh-
tokohnya memahami dunianya sendiri. Pengarang harus membiarkan tokoh-tokoh
imajinernya mereaksi peristiwa-peristiwa itu sendiri. Pengarang harus menjauh
dari tokoh-tokohnya, melakukan detachment. Kalau tokoh-tokoh imajiner itu
orang sederhana, pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga harus sederhana.
Selanjutnya menulis sastra dari bawah, Kuntowijoyo maksudkan artinya
pengarang tidak berangkat dari teori dan konsep yang merangkai karya sastra.
Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya dan koheren
dengan tema dan plotnya (penuturan yang runtut, jalan cerita yang masuk akal).
Dalam sebuah wawancara dengan Berita Buana (10 Februari 1987),
Kuntowijoyo mengatakan Serat Kalatida Ronggowarsito dan karya Mohammad
Iqbal adalah sastra profetik karena keduanya mengajak manusia untuk berakar di
langit, selain berakar di bumi. Dia menandaskan baik sastra transendental maupun
sastra profetik memilki dimensi dan aspek sosialnya.12
Ini menandakan bahwa
11
Ibid, h. 16. 12
Wan anwar, Op. Cit., h. 12.
39
gagasan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo memang sudah ada sebelum
Kunto menamakan apa yang dinamakan sebagai sastra profetik. Kemudian juga,
sastra profetik tetap memilki dimensi dan aspek-aspek sosial dalam karya-
karyanya.
Gagasan dan pemikiran Kuntowijoyo akan sastra profetik di kemudian
hari juga diterapkannya dalam ilmu sosial, yang sekarang dikenal sebaga ilmu
sosial profetik. Ilmu sosial tersebut bersandar pada konsep etika profetik. Masih
banyak gagasan atau pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo di
bidang selain sastra. Gagasan-gagasannya yang lainnya tersebut tersebar di dalam
buku-bukunya maupun tulisan-tulisan esainya. Bukan maksud penulis
mengecilkan bidang lain yang ditekuni Kuntowijoyo sehingga tidak membahas
pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo di bidang lain. Hal tersebut karena
keterbatasan dalam penulisan karya ilmiah ini agar tidak melebar terlalu jauh.
Pemikiran sastra profetik inilah gagasan atau pemikiran Kuntowijoyo yang
mungkin punya pengaruh besar bagi dirinya di bidang sastra. Tak dapat dipungkiri
pula konsep atau gagasan sastra profetik ini juga merupakan sumbangsih besar
Kuntowijoyo bagi khasanah sastra di Indonesia. Lewat karya-karya sastranya
yang mengusung konsep sastra profetik membuat dirinya menjadi sastrawan yang
namanya dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan hebat lainnya. Sastra
profetik yang digagas Kuntowijoyo tidak dapat dipungkiri akan memberi
pengaruh bagi sastrawan atau pengarang-pengarang muda untuk melahirkaan
karya-karya yang berkonsepkan sastra profetik.
C. Sinopsis Novel Mantra Penjinak Ular
Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo ini bercerita tentang
kehidupan Abu Kasan Sapari yang menjadi saksi perubahan-perubahan pada
masyarakat di sekelilingnya. Abu Kasan Sapari merupakan tokoh utama dalam
novel ini. Novel ini berlatar belakang masyarakat Jawa, yang tentunya juga
meampilkan bagaimana polosnya kehidupan masyarakat berikut dunia batin
40
masyarakat Jawa. Novel ini berlatar kehidupan masyarakat desa, di lereng
Gunung Lawu, Jawa Tengah.
Abu Kasan Sapari lahir dalam keluarga Jawa, kemudian tumbuh dalam
suatu zaman yang terus bergerak, menjelang akhir abad ke-20. Abu Kasan Sapari
sejak kecil sudah pandai mendalang, dia mewarisi segala olah batin dari para
leluhurnya. Hal itu tidak aneh karena Abu Kasan Sapari tumbuh dalam budaya
Jawa yang amat erat dengan banyak mitos-mitosnya. Abu Kasan Sapari remaja
diasuh oleh kakek nenek dari ibunya. Selesai SMA abu kasan lepas dari
pengasuhan kakek neneknya. Abu kasan dipungut anak oleh Ki Lebdocarito.
Dalam asuhan Ki Lebdocarito, Abu Kasan Sapari memperdalam pengetahuan dan
kemampuannya dalam mendalang. Hingga ketika dewasa dia menjadi pegawai
negeri, di tempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki gunung Lawu.
Ketika menjadi pegawai negeri, Abu Kasan Sapari belajar banyak tentang
birokrasi pemerintahan saat itu. Hingga ia pun sudah menjadi pegawai
pemerintahan yang bisa dibilang mumpuni. Ketika menjadi pegawai negeri pun,
Abu Kasan Sapari tidak meninggalkan kebiasaaanya mendalang. Abu Kasan
Sapari tetap mendalang dan juga aktif dalam perkumpulan dalang. Pada suatu
ketika entah dari mana asalanya Abu Kasan Sapari didatangi oleh seorang tua
renta yang memberikannya mantra atau ilmu penjinak ular. Seusai mendapat
mantra tersebut Abu Kasan Sapari dapat berinteraksi dengan ular, suatu kelebihan
yang memebawanya makin mencitai alam. Kecintaannya terhadap alam dan
penghuninya termasuk binatang, dan lebih khusus lagi ular membawanya aktif
dalam organisasi-organisasi pecinta alam dan satwa.
Kehidupan menjadi pegawai pemerintah dan juga sebagai dalang pada
zaman orde baru kadang tak sesuai dengan apa yang semestinya. Sudah tidak
dapat dipungkiri semua orang mengalami, bersentuhan, bertubrukan, atau
sedikitnya menjadi saksi bagaimana mesin politik orde baru berkerja. Hal itu
semua dirasakan oleh Abu Kasan Sapari. Perbenturan terhadap mesin politik,
inilah, yang ditampilkan Kuntowijoyo dalam novel ini. Bagaimana permasalahan
41
Abu Kasan Sapari dan para tokoh lain yang khas atas dunia. Perbenturan-
perbenturan terhadap mesin politik yang ada dalam novel ini membawa Abu
Kasan Sapari sampai dicap sebagai “dalang politik”, karena kegiatan dalangnya
dianggap tidak sejalan dengan program atau cara kerja mesin politik, alhasil Abu
Kasan Sapari dipindahtugaskan ke daerah lain, sampai pernah dipenjara.
Kuntowijoyo ingin memperilihatkan bagaimana kekuasaan orde baru lewat mesin
politiknya berkerja, bahkan sampai ke desa-desa. Menciptakan apa yang namanya
melanggengkan kekuasaan. Terlihat jelas bagaiman sikapa kuntowijoyo terhadap
mesin politik orba lewat Abu Kasan Sapari.
Pertemuannya dengan Lastri, kemudian kecintaanya terhadap Lastri
sedikit banyak mulai menjauhkan Abu Kasan Sapari dari ular. Hal tersebut
diperparah dengan lingkungan sekitar Abu Kasan Sapari tinggal yang tahu abu
memelihara ular di rumahnya, dan mereka merasa terganggu. Pada akhirnya abu
memutuskan untuk meninggalkan mantra penjinak ular dan semua hal tentang
ular. Hal tersebut juga atas kesadaran bahwa mitos memang harus diputus jangan
diwariskan, karena dapat menyeret kepada yang namanya syirik. Ular peliharaan
Abu Kasan Sapari diserahkan kepada kebun binatang. Abu Kasan Sapari pun
akhirnya memutuskan untuk menjadi penerus eyang Ronggowarsito, menjadi
dalang: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup.
42
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo
Unsur intrinsik karya sastra atau yang biasa disebut sebagai unsur
pembangun karya sastra merupakan bagian interen ketika mengkaji sebuah karya
sastra. Baik itu karya sastra berupa puisi, prosa, maupun naskah drama. Untuk
itulah penjelasan terhadap unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra, haruslah ada
di setiap pengkajian sebuah karya sastra. Oleh karenanya, dalam karya ilmiah ini
akan dijelaskan juga unsur intrinsik dari karya sastra yang dikaji dalam karya
ilmiah ini, yakni novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Karya yang
dikaji dalam makalah ini bergenre prosa, dalam hal ini novel. Oleh karena itu,
unsur intrinsik yang akan dijelaskan yakni, tema dan amanat, sudut pandang, alur,
tokoh dan penokohan, gaya bahasa, dan latar.
a. Tema dan amanat
Tema merupakan unsur pembangun yang tidak mungkin ditiadakan dalam
sebuah karya sastra. Tema dapat dikatakan menjadi pangkal dari semua unsur
pembangun sebuah karya sastra. Kadang seorang pembaca tertarik untuk
membaca sebuah novel karena yang dilihat pertama, yakni tema yang dibawakan
dalam novel tersebut. Meskipun tema menjadi pangkal dari semua unsur
pembangun karya sastra, terkadang sebuah tema barulah dapat terlihat ketika
karya sastra tersebut selesai dibaca.
Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo menceritakan tentang
kehidupan seorang pegawai pemerintah yang juga seorang dalang bernama Abu
Kasan Sapari. Novel ini menceritakan perjalanan kehidupan Abu Kasan Sapari
ketika menjadi pegawai pemerintahan dan juga menjadi dalang. Secara garis besar
novel ini menceritakan masalah tentang individu yang terbelenggu sistem politik
43
orde baru, lewat bentuk-bentuk objektivasi terhadap seseorang yang dilakukan
oleh mesin politik. Melalui novel ini Kuntowijoyo hendak mengangkat tema
pembebasan dan perlawanan. Kuntowijoyo mengangkat semangat pembebasan
dan perlawanan dari segala hal, baik itu yang sifatnya penindasan terhadap seni,
keterbelengguan manusia, serta pembatasan hak-hak sebagai manusia. Semangat
perlawanan dan pembebasan dilakukan oleh Abu Kasan Sapari lewat seni, yakni
dengan keahliannya menjadi dalang. Abu Kasan Sapari dengan keahliannya
menjadi dalang mencoba melakukan perlawanan terhadap sistem politik kala itu
yang licik berusaha mempertahankan kekuasaannya, meski ia pun harus susah
karena perlawanan tersebut.
“Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk
keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS (Abu Kasan Sapari)
berpendapat bahwa seni itu seperti air. ... Seni yang hanya menjadi antek
politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni”1
Kuntowijoyo juga melukiskan semangat pembebasan terhadap hal-hal
yang berbau mitos, yang dalam sastra profetik dikatakan sebagai dehumanisasi
tradisional.
“Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke
dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya
sendiri! Ia bermaksud memutus mata rantai itu, tidak mengajarkan mantra
pada siapapun.”2
Lewat perjalanan Abu Kasan Sapari dan mantranya itulah Kuntowijoyo
hendak memperlihatkan bagaimana manusia harus bebas dari keterbelengguan
yang berbau mitos, mantra, klenik, dan sebagainya. Manusia yang harus menjadi
manusia yang menggunakan ilmunya dan kepercayaan kepada Tuhan bukan
bersandar pada hal yang sifatnya mitos, mantra, klenik tersebut.
Melalui tema tersebut Kuntowijoyo menghadirkan amanat hendak
mengajak pembaca untuk menyadari kodrat sebagai manusia yang utuh. Manusia
yang bebas dari keterbelengguan, yang membelenggu kodratnya sebagai manusia.
1 Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: PT Kompas Gramedia, 2013), Cet. II, h. 170-
171. 2 Ibid, h. 270.
44
Manusia yang bersandar pada ilmu dan ketuhanannya. Kuntowijoyo
menghadirkan tema perlawanan dan pembebasan dalam novel dapat dikatakan
tidak penuh dengan kekerasan fisik, atau yang harus berdarah-darah. Akan tetapi,
Kuntowijoyo menampilkan sisi lain pembebasan dan perlawanan yakni dengan
menggunakan seni, dalam hal ini Abu Kasan Sapari dengan seni dalangnya.
b. Tokoh dan Penokohan
Peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah cerita tentunya dimainkan atau
dihasilkan dari perbuatan atau tindak tanduk tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.
Setiap tokoh dalam sebuah cerita membawa peran, watak dan karakternya masing-
masing. Dalam karya sastra bergenre prosa, tokoh menjadi unsur yang amat
sangat penting. Ketika penokohan dalam sebuah cerita digambarkan dengan jelas
(tidak kabur), itu akan memudahkan pembaca untuk memahami isi cerita. Hal ini
dikarenakan tokoh-tokoh itulah yang menciptakan peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita.
Novel Mantra Pejinak Ular menghadirkan tokoh-tokoh dengan penokohan
yang berbeda-beda. Novel Mantra Pejinak Ular ini banyak menghadirkan tokoh-
tokoh di dalamnya. Akan tetapi, dari sekian banyak tokoh di dalam novel ini. Ada
beberapa tokoh yang dianggap penting, dan merupakan tokoh yang menguasai
keseluruhan cerita. Tokoh-tokoh tersebut bila kehadirannya dihilangkan akan
berdampak pada rusaknya jalan cerita, dan rusaknya konflik utama yang dibangun
sedari awal. Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai tokoh utama dalam novel, yakni
Abu Kasan Sapari, Mesin Politik, dan Lastri. Tokoh-tokoh lain pun bukan serta
merta tidak dianggap penting. Kehadiran tokoh lainnya juga menambah hidup
cerita dalam novel ini. Ketiga tokoh di atas dibahas, dikarenakan memiliki porsi,
dan intesitas cukup banyak dalam novel ini. Selain itu, tokoh-tokoh tersebut
merupakan tokoh penggerak cerita dalam novel ini.
1. Abu Kasan Sapari
Abu Kasan Sapari merupakan tokoh utama dalam novel Mantra Pejinak
Ular. Abu Kasan Sapari diceritakan dalam novel ini menjabat sebagai
45
pegawai pemerintahan tingkat kecamatan. Selain sebagai pegawai
pemerintahan, tokoh Abu Kasan Sapari juga merangkap sebagai dalang
wayang kulit, sebagai dalang ia dikenal dengan sebutan Ki Abu Kasan Sapari.
Kemampuan mendalang yang didapatkannya semasa ia tinggal di rumah Ki
Lebdocarito, membuatnya mantap menjalani profesi sebagai dalang. Abu pun
memilih dalang sebagai profesi bukan tanpa maksud, melainkan ingin
menjadikan kesenian wayang sebagai tontonan sekaligus juga tuntunan bagi
masyarakat. Hal tersebut tampak dalam dari kutipan di bawah ini.
“Ia bisa mengatakan pada satu orang, tapi orang lainnya akan tetap
memanggilnya dengan „Ki‟. Jadi dalang itu tidak mudah. Harus arif,
banyak pengalaman, atau banyak membaca. Wayang itu sekaligus
tuntunan dan tontonan.”3
Abu Kasan Sapari lahir dari keluarga yang memegang tradisi Jawa dan
Islam yang cukup kental. Abu kecil diasuh oleh kakek dari pihak Ibu.
Pengasuhan Abu oleh keluarga dari Ibu Abu dikarenakan, itu merupakan salah
satu syarat ketika Ayah Abu hendak menikahi Ibu Abu.
“Mereka tidak bisa mencegah, sebab itu salah satu syarat perkawinan.
Kakek-nenek dari Ibu sudah berkorban sekian lama dengan melepaskan
anak perempuan satu-satunya.”4
Beranjak remaja Abu Kasan Sapari kemudian diasuh oleh Ki Lebdocarito.
Ketika diasuh oleh Ki Lebdocarito inilah Abu Kasan Sapari belajar seni
pedalangan hingga akhirnya mampu menguasainya. Lulus sekolah tingkat
SMA, Abu Kasan Sapari memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai
pemerintahan di sebuah kecamatan bernama Kemuning.
Sebagai seorang pegawai pemerintahan Abu Kasan Sapari banyak
mendapatkan ilmu kepemimpinan dari Camat Kemuning. Di sana Abu belajar
untuk melayani masyarakat. Abu juga paham tentang masyarakat di
kecamatan tersebut. Program-program pemerintah yang diketuai oleh Abu
3 Ibid, h. 32.
4 Ibid, h. 6.
46
berjalan dengan baik tidak aneh jika dia menjadi orang kepercayaan Camat
Kemuning.
Tokoh Abu Kasan Sapari di dalam cerita ini juga digambarkan
memiliki mantra pejinak ular. Mantra itu didapatnya ketika Abu datang ke
pasar malam. Di sana ia bertemu dengan Kakek Tua yang mengajarkan mantra
tersebut. Abu yang merasa dirinya terpilih bersedia menerima mantra tersebut.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada
orang yang tepat.”
“Apa itu?”
“Mantra pejinak ular.”
Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan
sebuah kalimat.
“Paham?”
Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu.
“Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra tidak boleh salah ucap.
Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.”
. . ..
Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan tangan,
membuatnya gembira. Ketika ia meloncat turun dan mengucapkan
terima kasih pada sopir kegembiraan yang tak ada taranya masih
dibawanya.”5
Inilah salah satu peristiwa penting dalam novel ini. Abu menggunakan
mantra ini dengan bijaksana. Mantra inilah yang menjadikan Abu Kasan
Sapari dikenal sebagai dukun ular, karena sering membantu warga dalam
mengusir ular. Mantra dan kecintaan abu kepada ular ini juga yang membuat
Abu tergerak untuk melaksanakan program-program pelesetarian lingkungan,
sebagai contoh hidup berdamai dengan ular. Mantra dan ular ini juga yang
membawa Abu Kasan Sapari berkonflik dengan warga sekitar rumahnya saat
tinggal di Tegalpandan. Warga tersebut tidak senang dengan keberadaan ular
di dalam rumah Abu Kasan Sapari.
Abu Kasan Sapari dalam novel ini juga diceritakan terlibat konflik
dengan Mesin Politik. Mesin Politik merupakan orang-orang yang bekerja
atau aktif di partai Randu. Konflik Abu Kasan Sapari dengan Mesin Politik
5 Ibid, h. 20.
47
merupakan konflik utama di dalam novel ini. Di mana Abu yang mencoba
melawan Mesin Politik yang beritndak semena-mena dan semaunya
memanfaatkan kekuasaan. Mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilu di
tahun 1997. Abu Kasan Sapari mencoba melawan Mesin Politik lewat seni
wayangnya. Akan tetapi, Abu Kasan tidak berdaya melawan Mesin Politik
yang begitu kuat, karena orang-orang Mesin Politik berada di tingkat
pemerintahan. Upaya Abu melawan akhirnya membawa Abu Kasan Sapari
dimutasi, bahkan sempat ditahan di polsek Karangmojo. Abu Kasan Sapari
dianggap sebagai batu sandungan bagi Mesin Politik. Hal ini dikarenakan Abu
menolak ajakan Mesin Politik untuk bergabung bersama mereka. Selain itu,
Abu Kasan Sapari juga menolak terlibatnya dalang dalam politik praktis.
Pernyataan sikap penolakan tersebut dimuat oleh teman wartawan Abu.
“Kalau begitu pedalangan harus lepas dari politik?
Dalang itu seperti halnya ulama, sastrawan, dan seniman, dan
ilmuwan tidak boleh menggunakan profesinya untuk kepentingan
suatu parpol. Dalang itu bagian dari masyarakatnya dalam arti terikat
unggah-ungguh, hukum, dan perundang-undangan persisi seperti
orang lain, tapi tidak boleh berpolitik melalui parpol. Politik dalam
arti pencerahan politik, pendidikan politik, dan kesadaran sebagai
warga negara itu sehat untuk kesenian, sebab itulah salah satu fungsi
dari seorang dalang. Fungsi lain ialah pencerahan moral, etika,
kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, kesadaran bermasyrakat,
dan sebagainya.”6
Hingga akhirnya, ketika pemilu perolehan suara partai Randu turun
tajam, dikarenakan gagalnya Mesin Politik menggunakan kesenian tradisional
seperti wayang, dan Mesin Politik menganggap Abu sebagai biang keladinya.
Abu Kasan Sapari dalam novel ini diceritakan memilki ketertarikan
dengan tokoh Lastri. Abu Kasan Sapari ketika dimutasi pindah ke kecamatan
Tegalpandan. Di sana ia tinggal di sebuah kos-kosan milik H. Syamsudin.
Lastri sendiri merupakan tetangga kos-kosannya Abu. Abu sering meminta
bantuan kepada Lastri. Abu juga diceritakan sering menggoda Lastri ketika
6 Ibid, h. 164-165.
48
sedang bercengkrama. Bahkan Abu Kasan Sapari menyatakan ketertarikannya
kepada Lastri lewat sajak-sajak romantis. Sajak-sajak tersebut ada dalam BAB
12 novel ini. Di BAB tersebut berisi sajak-sajak cinta Abu Kasan Sapari yang
ditunjukan kepada Lastri. Salah satu contoh penggalan sajak Abu Kasan
Sapari kepada Lastri,
“ Wajah Dunia yang Pertama
Dik Lastri sedang memanggil
Aku termangu sendiri di kamar
Wajah dunia yang pertama
Putih-putih salju
Mengalir dari ayat-ayat
Damailah hingar bingar hari ini
Lumat dalam alun bunyi
Maka adam dan Hawa pun putih kembali
Maka anak-anak Adam dan Hawa
Dentang senapan terlindih sepi
Pekik pertempuran terhenti
Para serdadu bersama terbantai
Terserat keramat ayat-ayat
Tidak terdengar lagi hingar bingar
Hari ini
. . ..”7
Ketertarikannya kepada Lastri ini juga yang membawanya bersedia melepas
ular kesayangannya, begitu juga mantranya. Melepas ular kesayangannya
merupakan bukti keseriusan Abu Kasan Sapari kepada Lastri.
Abu Kasan Sapari dalam perjalan cerita novel ini, setidaknya mengalami
beberapa perubahan sikap, di antaranya yakni perubahan sikap Abu Kasan
Sapari dalam memandang seni dan politik. Serta sikap Abu Kasan Sapari
terhadap mantra dan ular. Abu menjadikan seni sebagai media perlawan
hegemoni Mesin Politik. Akan tetapi, lambat laun Abu Kasan Sapari
menyadari bahwa seni haruslah bersih dari berbagai kepentingan, baik itu
kepentingan politik, maupun pribadi.
7 Ibid, h. 192-193.
49
Perubahan selanjutnya sikap Abu Kasan Sapari terhadap mantra dan ular.
Awalnya Abu sangat mengandalkan mantra tersebut dalam berinteraksi
dengan ular, namun ketika Abu mengetahui bahwa ilmu, dan keahlian dapat
membawanya mampu berinteraksi dengan ular, akhirnya Abu Kasan Sapari
mulai berpikir untuk tidak menggunakannya. Hingga pada akhir cerita Abu
melepas mantra tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan penggambaran tokoh Abu
Kasan Sapari memiliki watak suka menolong masyarakat yang ditindas
semena-mena oleh penguasa, memegang tradisi jawa, bijak, dan profesional
terhadap profesinya. Hal ini dapat terlihat ketika Abu mengatakan bahwa
dalang harus lepas dari politik praktis. Abu Kasan Sapari dalam novel ini
posisinya merupakan tokoh utama, yang menggerakan cerita. Dapat dikatakan
juga novel ini berupa catatarn hidup dari si tokoh utama ini, yakni Abu Kasan
Sapari.
2. Mesin Politik
Mesin Politik merupakan isitilah yang digunakan pengarang dalam novel
ini untuk orang-orang dari partai Randu. Mesin Politik di dalam novel ini
merupakan cerminan kelompok penguasa di dalam novel ini. Kekuasaan
Mesin Politik berada hampir di semua lini, termasuk di dalam pemerintahan.
Mesin Politik bekerja secara teroganisir dalam mempertahankan
kekuasaannya. Tokoh Mesin Politik inilah yang membawa konflik inti di
dalam novel ini.
Pada pemilihan kepala desa di kecamatan Kemuning, Mesin Politik
mendukung beberapa calon yang maju di pemilihan tersebut. Tentu Mesin
Politik tidak hanya sebatas mendukung, mereka juga melakukan intrik agar
pengumuman bakal calon kepala desa dipercepat. Sehingga, bakal calon yang
berasal dari luar Mesin Politik, akan gugur. Salah satu cerminan kekuasaan
mutlak dari Mesin Politik, yakni ketika Abu Kasan Sapari dimutasikan dari
Kemuning ke Tegapandan. Abu yang melawan hegemoni dengan mendukung
50
calon kepala desa dengan menyelanggarakan wayang, membuat calon-calon
yang didukung Mesin Politik beberapa mengalami kekalahan.
“Mesin Politik yang ikut dalam rombongan Bupati berbisik pada
Camat:
“Kami tahu, siapa aktor untelektual yang menyebabkan kami gagal.”
Pada waktu itu sedang terkenal istilah‟aktor intelektual‟, pemicu segala
macam keonaran. Aktor intelektual yang dimaksud mungkin dirinya
sendiri, mungkin orang lain.
Camat mengatakan, “Bukan gagal. Hanya tidak seratus persen.” Ia
sudah merasa ada sesuatu yang akan terjadi.”8
Hasilnya pun target yang dicapai Mesin Politik dalam pilkades di
Kemuning tidak memenuhi target. Abu dianggap sebagai batu sandungan, hal
ini membuat Mesin Politik akhirnya dengan kuasanya memberi teguran
terhadap Abu Kasan Sapari dengan memutasikannya ke Tegalpandan.
“Surat itu berisi tentang pemindahan Abu dari kecamatan itu.
“Maafkan, semua kesalahan saya, Pak.”
Tidak ada kesalahan, tidak ada yang harus dimaafkan. Kita semua
meghadapi soal yang sama. Jangan bilang-bilang, kita sama-sama
menghadapi keangkuhan kekuasaan.”9
Tidak sampai di situ saja konflik Mesin Politik dengan Abu Kasan Sapari.
Di Tegalpandan konflik Mesin Politik dan Abu mencapai puncak. Mesin
Politik gagal membujuk Abu untuk bergabung, dan Mesin Politik gagal
mengajak para dalang untuk terlibat dalam kampanye pemilu mereka. Abu
dengan Paguyuban Dalang Independennya yang dianggap sebagai biang
kerok, akhirnya di tahan, dengan tuduhan yang bukan-bukan. Mesin Politik
juga yang merekayasa penahanan Abu Kasan Sapari dan memaksa Kepala
Polisi Karangmojo untuk memproses Abu secepatnya.
“Kegagalan mencapai target itulah yang mendorong Bapilu Mesin
Poltik mengadakan evaluasi. Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan itu
disebabkan karena mereka tidak bisa memakai sarana tradisional, tidak
8 Ibid, h. 111.
9 Ibid, h. 112.
51
menyelenggarakan wayangan, wayang orang, dan ketoprak, krena para
seniman tidak mau terlibat dalam politik praktis. “Aku tahu biang
keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya
ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan
untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.”
Untungnya Abu bisa dibebaskan dikarenakan pihak militer bersikap netral
dalam pemilu tahun 1997, dan menganggap penahanan Abu Kasan Sapari
mengada-ada, dan tidak layak untuk diproses.
Secara keseluruhan penokohan Mesin Politik dalam novel ini digambarkan
dengan manusia-manusia yang berwatak selalu ingin menang, dan licik. Hal
ini dapat terlihat ketika Abu Kasan Sapari dibujuk untuk dijadikan caleg agar
Abu mau menggunakan seni wayangnya untuk berkampanye, sekaligus
membungkam Abu yang selalu mengatakan seni harus lepas dari politik.
“Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak
Abu sebagai caleg jadi,” kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos
ketimbang sembilan calon lain.”
Abu bingung. Ia tak pernah menghubingi atau dihubungi siapa-siapa.
Kejadian itu sangat tiba-tiba.
. . ..
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. tentu saja itu di luar harapan
para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya,
penolakan itu aneh bagi mereka.”10
Selanjutnya sikap Mesin Politik dalam novel ini digambarkan memiliki sikap
yang kasar, terhadap orang yang bersebrangan atau tidak menuruti
keninginannya. Hal ini dapat terlihat ketika mereka mengancam Abu Kasan
Sapari yang menolak dijadikan caleg oleh Masin Politik.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan
saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
“Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin berbuat
baik. Tapi, ya sudah. Kami beri waktu untuk berpikir satu kali dua puluh
10
Ibid, h. 162.
52
empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri akibatnya. Ingat, kami juga bisa
main kasar.”11
Pada novel ini, dapat disimpulkan tokoh bernama Mesin Politik
merupakan representasi bagaimana seorang penguasa hendak
mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Rezim kala itu berkuasa
dengan partai Randu, secara terorganisasi mempertahankan kekuasaan dengan
segala cara melalui orang-orang yang tergabung dalam Mesin Politik. Mesin
Politik secara garis besar tidak mengalami perubahan sikap yang berarti dalam
novel ini. Wataknya yang licik dalam novel ini, terlihat dari sangat bersahabat
dan baiknya mereka terhadap orang yang sejalan dengannya, namun juga
dapat melakukan hal sebaliknya bagi orang yang menghalanginya. Sikapnya
dalam novel ini ditampilkan kasar terhadap orang-orang yang tidak sejalan
atau bersebrangan dengannya. Sikapnya yang selalu ingin menang, watak, dan
perilakunya tersebut mungkin dapat dicap oleh sebagian pembaca sebagai
tokoh antagonis.
3. Lastri
Lastri adalah tokoh perempuan teman dekat Abu Kasan Sapari. Tokoh
Lastri ibarat penyegar suasana. Di tengah konflik Abu Kasan Sapari dengan
Mesin Politik, Lastri hadir sebagai pembawa kesejukan yang kadang dapat
menenangkan abu Kasan Sapari, dan juga memberi masukan kepada Abu
Kasan Sapari dalam menghadapi masalah. Kisahnya dengan Abu Kasan
Sapari membawa hiburan tersendiri untuk pembaca. Di mana keduanya saling
memiliki ketertarikan satu sama lain.
Lastri merupakan tetangga tempat di mana Abu Kasan Sapari tinggal
ketika di Tegalpandan. Lastri seorang janda yang hidup mandiri seorang diri.
Dia mempunyai usaha menjahit dengan beberapa karyawannya di pasar.
Seorang Lastri sudah cukup terkenal di Tegalpandan. Selain kecantikannya
11
Ibid, h. 163.
53
yang membuat banyak pria tertarik, kepopuleran Lastri juga dikarenakan
Lastri merupakan mantan penyanyi di sebuah klub keroncong.
“Seorang anak mengeluarkan sebuah tabloid dari tasnya.
“Mbak Lastri kan bintang.”
“Masak Iya?”
“Lihat ini!”
Dalam tabloid itu dimuat gambar Lastri sedang tersenyum. Cantik,
manis, muda.”12
“Yang membuat Lastri terkejut ialah ketika MC memintanya untuk
menyanyi. MC itu tahu betul bahwa Lastri penyanyi waktu jadi MC pada
cembengan Pabrik Gula Tasikmadu, di mana Lastri menyanyi untuk klub
keroncongnya. “Ayo maju, Yu. Jangan membuat malu bangsa, “kata Abu.
Lastri maju dan menyanyi. “Lagi! Lagi!” Lastri menyanyi sekali lagi.
“Dalam perjalanan pulang Abu bilang:
“Suaramu semakin koong lho Yu.”
“Kok koong, apa saya perkutut?”
“Ya, sudah. Kalau begitu kayak Anik Sunyahni?”13
Lastri dalam novel ini banyak membantu Abu Kasan Sapari, terlebih
ketika Abu Kasan Sapari berurusan dengan Mesin Politik, dan juga warga
yang hendak mengusir Abu dari rumahnya, dikarenakan memelihara ular.
Lastri juga menjadi tempat Abu Kasan Sapari bercerita tentang masalah-
masalah yang dihadapinya. Tak jarang, Lastri memberi saran dan solusi
terhadap masalah Abu Kasan Sapari. Contohnya ketika Abu Kasan Sapari
dihadapkan untuk melakukan upacara slametan untuk pohon Beringin yang
tumbang. Abu yang merasa itu sebuah kemunduran, mau tidak mau harus
melakukannya karena perintah dari para petinggi di kecamatan tersebut.
akhirnya dengan sara Lastri acara tersebut agar diganti menjadi ruwat bumi,
dan tidak ada sesaji atau laku-lakuan di dalamnya.
“Akan dicobanya minta pendapat Lastri.
“Mudah saja. Jangan sebut itu selametan,” kata Lastri.
“Lalu?”
“Ruwat bumi, atau apa begitu.”
12
Ibid, 247. 13
Ibid, 232.
54
“Wah kok cerdas, Yu.”
“Itu pengalaman Kakek saya.”
“Kakeknya juga suka mendalang, to?”
“Iaya amatiran saja. Misalnya, tujuhbelasan. Tapi sudah almarhum.”
“O, begitu. Lalu?”
“Undang seorang ustadz untuk berceramah sebelum wayang dimulai.”
“Lalu?”
Jangan pakai sesaji. Kata orang, itu malah mengundang setan.”14
Lastri dihadirkan oleh Kuntowijoyo dalam novel ini sebagai wanita yang
mandiri. Sebagai janda, yang mantan suaminya telah wafat, Lastri tidaklah
terburu-buru ketika hendak kembali memilih pasangan hidup. Dalam novel ini
Lastri disukai oleh banyak pria, dan banyak yang meminangnya untuk
dijadikan istri. Lastri yang merasa pria-pria tersebut tidak sesuai dengan
keinginannya, menolak keinginan pria-pria tersebut dengan sopan. Akan
tetapi, meski Lastri menolaknya dengan sopan, tidak jarang Lastri
mendapatkan perkataan yang tidak mengenakkan dari para pria yang
ditolaknya. Hal-hal tersebut membuatnya emosional Lastri kadang tidak stabil.
Seperti contoh saat dia menangis ketika mendapat perkataan yang tidak
mengenakkan dari Lurah Tegalpandan, hingga akhirnya jatuh sakit.
“Lastri tersinggung dikatakan „janda‟, lalu menyela, “Tapi, Pak. Maaf,
saya masih ingin sendiri.”
“Ya jangan begitu. Pikirlah yang panjang.”
Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat
sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia
membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng-kaleng ke
dipan.”15
Kuntowijoyo tetap saja menghadirkan Lastri sebagaimana wanita pada
umumnya. Meski mandiri sebagai seorang janda, Lastri tetap diceritakan
memilki keinginan untuk mempunyai pendamping hidup. Emosional khas
wanita yang berubah-ubah, tercermin dari perilaku Lastri ketika menghadapi
persoalan memilih pasangan hidup.
14
Ibid, 218. 15
Ibid, 223.
55
Dapat disimpulkan kehadiran Lastri dalam novel ini menambah warna
tersendiri bagi cerita dalam novel ini. Kisahnya dengan Abu Kasan Sapari
layakanya hiburan di tengah tegangnya konflik Abu Kasan Sapari melawan
Mesin Politik. Penokohan Lastri pada novel ini digambarkan berparas cantik
dan muda, seorang janda yang mempunyai sikap mandiri. Wataknya juga
digambarkan sebagai orang yang suka menolong dan peduli terhadap
permasalahan seseorang. Selain itu dalam berbicara tutur dan katanya juga
santun.
Selain ketiga tokoh utama tadi terdapat pula tokoh-tokoh tambahan yang
peranannya mendukung jalannya cerita dalam novel ini. Secara umum tokoh-
tokoh tambahan tersebut tidak terlalu banyak terlibat terhadap konflik yang
diceritakan. Tokoh-tokoh tembahan tersebut, yakni Ayah dan Ibu Abu Kasan
Sapari. Kakek dan Nenek dari pihak Ibu Abu, Kakek dari pihak Ayah Abu. Ki
Lebdocarito dan Istrinya, Camat Lama Kemuning, Camat Baru Kemuning,
Wartawan, Haji Syamsudin, Kakek pemberi mantra, Eyang, Camat Lama
Tegalpandan, Camat Baru Tegalpandan, Bupati Karangmojo, dan Kepala
Polisi Karangmojo. Tokoh-tokoh tersebut mempunyai perannya masing-
masing dalam mendukung tokoh-tokoh utama dalam novel ini, dan juga
mendukung jalannya cerita.
c. Sudut pandang
Unsur intrisik selanjutnya yakni sudut pandang. Sudut pandang adalah
tempat atau titik dari mana seorang melihat objek deskripsinya. Sudut pandang
dalam narasi itu menyatakan bagaimana fungsi seorang pengisah (narator) dalam
sebuah narasi, apakah ia mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaiaan
kejadian atau sebagai pengamat terhadap objek dari seluruh aksi atau tindak
tanduk dalam narasi.16
Biasanya yang umum ditemukan oleh pembaca, sebuah
karya sastra hanya memilki satu sudut pandang saja. Seiring perkembangan sastra
itu sendiri sudut pandang dalam karya prosa khususnya, terkadang memiliki lebih
16
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Umum, 2010), h. 114.
56
dari satu sudut pandang. Hal ini mungkin dikarenakan pengarang ingin
menghadirkan rentetatan peristiwa senatural mungkin, sehingga cerita yang
ditampilkan menjadi hidup.
Untuk mengetahui sudut pandang pengarang dalam sebuah cerita, haruslah
diketahui terlebih dahulu jenis-jenis sudut pandang yang ada, beserta ciri-cirinya.
Hal tersebut tidak usah dijelaskan panjang lebar karena telah dijelaskan pada bab
sebelumnya. Sudut pandang novel Mantra Penjinak Ular terlihat cukup menarik
karena Kuntowijoyo menampilkan dua teknik sudut pandang. Sudut pandang
yang digunakan tersebut yakni, sudut pandang persona ketiga, dengan teknik
“dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat..
Teknik sudut pandang “dia” maha tahu ini digunakan oleh pengarang
hampir di keseluruhan bab dalam novel ini. Dalam hal ini, pengarang mengetahui
berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motivasi yang
melatarbelakanginya. Seperti contoh dalam kutipan berikut dari novel Mantra
Penjinak Ular
“Tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa Abu menyesalkan perbuatannya
tidak ada yang tahu. Karena perbuatannya Camat Kemuning dipindahkan,
dan itu memberinya rasa bersalah yang besar. Bukan hanya dia, tapi orang
lain, ikut menanggung akibatnya. Namun, hobi lama Abu Kasan Sapari
untuk menyalahi mesin politik kambuh lagi . . .. Ia tidak tega melihat
seorang cakades diminta mundur oleh mesin politik.”17
Terlihat dari kutipan di atas, pengarang mengetahui betul bagaimana kemelut
batin tokoh Abu Kasan sapari. Pengarang juga mengetahui motivasi tindakan Abu
Kasan Sapari yang menyalahi mesin politik karena tidak tega melihat seorang
cekades diminta mundur oleh mesin politik.
“Kadang-kadang terpikir pada abu untuk pergi pada pak Camat atau
kepala pasar untuk menyatakan bahwa pemburuan dan jual beli ular
dinyatakan terlarang.” 18
17
Kuntowijoyo, op. Cit., h. 150. 18
Ibid, h. 55.
57
Kutipan tersebut juga menggambarkan sudut pandang yang diambil pengarang,
dia mengetahui sampai ke pikiran tokoh-tokohnya dan menceritakan apa yang
diinginkan si tokohnya, dimana Abu Kasan Sapari menginginkan pemburuan dan
jual beli ular dinyatakan terlarang.
Terlihatlah jelas dengan ciri-ciri yang ada bahwa yang digunakan
merupakan sudut pandang orang ketiga (dia) maha tahu. Pengarang seolah
mengetahui hingga bagian terdalam para tokoh-tokohnya. Meskipun demikian,
pengarang dalam sudut pandang ini bukan sebagai tokoh dalam cerita juga,
melainkan hanya sebagai pencerita yang maha tahu, yang berada di luar cerita.
Seperti dipaparkan sebelumnya dalam hal sudut pandang novel ini,
pengarang selain menggunakan teknik “dia” mahatahu, juga menggunakan teknik
“dia” terbatas, atau sebagai pengamat (observer). Teknik sudut pandang “dia”
sebagai pengamat (observer) digunakan oleh pengarang pada bab ke-13 (subjudul
novel Mencari Akar). Dalam bab ini pengarang menjadikan tokoh Kakek dari Abu
Kasan Sapari sebagai pusat pencerita. Tokoh Kakek menceritakan tentang
perjalanan tokoh Eyang (leluhur) dari Abu Kasan Sapari.
“(Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat dia dibesarkan. Kakek
bercerita). Kami juga dengar kau disidangkan, tapi belum sempat
menjenguk. Alhamdulillah, kau sudah pulang, tak kurang suatu apa, malah
sepertinya tambah gemuk. Ditahan? Sudah betul, kau harus jadi berani.
Kita ini jelek-jelek keturunan orang berani. Mula-mula desa kita adalah
sebuah perdikan, artinya tidak perlu setor pada pajak raja. Eyang pendiri
desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keraton. Dia berhasil
menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari perampok waktu
raja menyamar melihat-lihat kerajaannya.”19
“Eyang jadi lurah pertama. Meski muda, ia dicintai rakyat, disegani
kawan, ditakuti lawan. Desa kita menjadi tempat hunian yang makmur.”20
Dalam bab ke-13 ini kakek dari Abu Kasan Sapari menceritakan peristiwa-
peristiwa yang dialami oleh Eyang dari Abu Kasan Sapari beserta pikiran serta
tindakannya. Ciri-ciri ini memperlihatkan bukti pengarang juga menggunakan
19
Ibid, h. 195. 20
Ibid, h. 196.
58
teknik “dia” terbatas, pengamat (observer). Berbagai peristiwa dan tindakan yang
diceritakan disajikan lewat “pandangan” dan atau kesadaran seorang tokoh.21
Narator hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, atau
yang dapat dijangkau oleh indera.22
Pada bab ini kita mengetahu peristiwa-
peristiwa, tindakan, serta pikiran Eyangnya Abu Kasan Sapari lewat pandangan
atau kesadaran tokoh Kakek. Pengarang pada bab ini memposisikan dirinya tidak
lagi sebagai orang yang berada di luar cerita, tetapi sebagai pencerita lewat tokoh
dalam novel ini, yakni tokoh kakek.
Novel Mantra Pejinak ular dapat dikatakan menggunakan sudut pandang
persona ketiga. Sudut pandang persona ketiga dalam novel tersebut dihadirkan
dengan dua teknik, yakni dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” terbatas,
sebagai pengamat (observer). Penggunaan teknik “dia” mahatahu digunakan
pengarang hampir di semua Bab dalam novel ini, sedangkan penggunaan teknik
“dia” terbatas hanya digunakan pada Bab 13 novel ini. Adanya pergantian
fokalisasi tersebut mungkin saja dimaksudkan memperlengkap wawasan
pembaca, pembaca dapat memperoleh pandangan tentang masalah dari tokoh
yang ada di dalam cerita. Bisa juga pergantian fokalisasi yang digunakan
dilakukan untuk memperkuat unsur-unsur pembangun lain dalam novel ini,
semisal plot, tema, atau penokohan.
d. Plot
Plot merupakan unsur yang amat penting dalam sebuah karya sastra
khususnya prosa. Banyak pendapat umum karya prosa yang bagus baik itu cerpen
maupun novel dapat dilihat dari penyajian plot. Semakin logis rangkaian-
rangkaian peristiwa yang terjadi disajikan, maka semakin baik plot yang ada
dalam cerita tersebut. Kebanyakan plot yang dipilih yakni plot maju oleh para
pengarang. Namun, pada karya sastra modern khususnya prosa dan cerpen
modern, plot yang digunakan cenderung bervariasi tidak selalu plot maju, ada
21
Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 350. 22
Ibid, h. 351.
59
yang menggunakan plot mundur (flashback) bahkan juga ada yang menggunakan
plot campuran.
Plot yang digunakan Kuntowijoyo dalam novel mantra penjinak ular dapat
dikatakan merupakan plot campuran. Plot novel ini tidak selalu berjalan dari suatu
peristiwa ke peristiwa selanjutnya (maju), namun terdapat flashback/ sorot balik.
akan tetapi sorot balik/flashback yang ditampilkan masih dalam tataran yang
bersifat kronologis, dan berfungsi menguatkan penceritaan baik itu tentang tokoh,
tema, maupun hal lainnya. Burhan Nurgiyantoro, dalam Teori Pengkajian Fiksi
menyebut penceritaan seperti ini bersifat progresif kronologis.
Hal yang membuktikan bahwa plot dalam novel ini bersifat progresif
yakni pada bab pertama novel ini. Bab tersebut bercerita tentang pertumbuhan
Abu Kasan Sapari si tokoh utama dalam novel ini sedari kecil hingga dewasa.
Penceritaan tersebut diselingi dengan sorot balik penceritaan tentang Ayah dan
Ibu dari Abu Kasan Sapari, bagaimana mereka berdua bisa bertemu.
“Waktu itu ibu (calon Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar
dengan sepeda merk Raleigh yang biasa bunyi ck-ck-ck dan ayah (calon)
Abu menjualkan ternak apa saja milik para tetangga. Maka, bertemulah
ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan.” 23
Sorot balik yang dimunculkan tersebut berfungsi untuk menguatkan
penceritaan terhadap tokoh utama yakni Abu Kasan Sapari, tentang keluarganya
dan lingkungan tempat Abu Kasan Sapari tumbuh. Adapula sorot balik yang
menghabiskan satu bab dalam novel ini, yakni ketika tokoh kakek bercerita
tentang riwayat atau kisah mengenai tokoh Eyangnya Abu Kasan Sapari. Pada
BAB tersebut berisi peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Eyang dari Abu Kasan
Sapari.
“Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin.
Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari
perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia
mendapat hadiah sebuah hutan gung liwang-liwung, hutan lebat.”24
23
Kuntowijoyo, op. Cit., h. 8. 24
Ibid, h. 195.
60
Penceritaan tentang peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Eyang. Penceritaan
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh Eyang beserta solusinya, dan
penceritaan kebijaksanaan hidup yang diajarkan Eyang, hal tersebut dihadirkan
pengarang dalam upaya untuk menguatkan unsur tema dan amanat yang ada
dalam novel ini.
Penceritaan tentang pertemuan Ayah dan Ibu Abu Kasan Sapari, dan
penceritaan tentang kehidupan tokoh Eyang merupakan bagian dari sub-plot
dalam novel ini. Plot kedua sub-plot tersebut menggunakan plot sorot balik
(flashback) berbeda dengan plot utama yang bersifat progresif kronologis.
Hadirnya sub-plot tersebut selain untuk mendukung alur utama, juga guna
mempertegas unsur-unsur intrinsik lainnya dalam novel ini. Dapat dikatakan,
peristiwa sorot balik (flashback) dihadirkan bukan semata-mata sebagai variasi
semata dari plot yang disajikan, akan tetapi dihadirkan untuk mempertegas unsur-
unsur intrinsik yang ada dalam novel ini seperti tokoh, dan juga tema dalam novel
ini. Selain itu peristiwa sorot balik (flashback) dalam novel ini masih bersifat
kronologis. Sehingga plot dalam novel ini dapat dikatakan progresif kronologis.
Plot dalam sebuah cerita pastilah memiliki tahapan-tahapan di dalamnya.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam landasan teori, bahwa alur memiliki lima
tahapan. Tahapan-tahapan tersebut yakni, tahapan situation/ pengenalan, tahap
generating circumstances/ pemunculan konflik, tahap rising action/ konflik
meningkat, tahap climax/ puncak, dan tahap denouement/ penyelesaian.
Tahap awal/ situation dalam novel ini menceritakan pengenalan tokoh
utama Abu Kasan Sapari. Menceritakan kehidupan Abu Kasan Sapari sejak kecil
hingga dewasa. Penceritaan tersebut juga mengenalkan lingkungan serta budaya
tempat Abu Kasan Sapari tumbuh yang mempengaruhi kepribadian seorang Abu
Kasan Sapari, hingga mempunyai kemampuan mendalang dan menekuninya.
“Di sana Abu kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan
gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang, melihat
61
orang menata wayang, mendengarkan gamelan ditabuh. Di tempat itu
sepertinya kekerasan hati kakeknya luluh-lantak oleh bunyi gamelan.”25
Pada tahap ini juga memperkenalkan bagaimana Abu Kasan Sapari dewasa
dengan lingkungannya sebagai pegawai pemerintahan.
“Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda
dibuatnya di depan. Tapi saty hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah
di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang
jauhnya dua kilometer.”26
Tahap awal/ situation dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo dapat disimpulkan, berisi potret kehidupan tokoh utama novel ini
yakni, Abu Kasan Sapari. Dalam tahap ini, dijelaskan silsilah keluarga Abu Kasan
Sapari, lingkungan Abu Kasan Sapari tumbuh dewasa, sampai kepada penceritaan
Abu Kasan Sapari dalam mendapatkan kemampuan mendalangnya. Pada tahap ini
pula, diceritakan Abu Kasan Sapari yang beranjak dewasa, yang akhirnya menjadi
pegawai pemerintahan di kecamatan Kemuning.
Cerita berlanjut dengan munculnya berbagai konflik dalam cerita ini.
Tahap ini dinamakan tahap generating circumstances. Konflik-konflik mulai
muncul, di antaranya Abu Kasan Sapari yang mendapat mantra penjinak ular,
mulai bisa berinteraksi dengan ular yang kemudian membuatnya merasa iba
kepada ular-ular yang secara membabi buta dibunuh demi keuntungan pribadi.
“Pelan-pelan air matanya membasahi pipi. Bayangkan. Ular itu punya
anak-anak. Ia sedang dalam perjalanan mengunjungi anak-anaknya sebab
sudah janji. Tapi, tiba-tiba orang menangkapnya, mengurut badannya
sampai remuk tulangnya. Lalu dipotong kepalanya.”27
Konflik lainnya juga mengenai warga desa di Kecamatan Kemuning yang takut
dan benci dengan ular. Kemudian, konflik juga muncul ketika Abu Kasan Sapari
mulai menggunakan kemampuan mendalangnya untuk kegiatan-kegiatan
pemerintahan, seperti ketika Abu Kasan Sapari mendalang untuk mengajak warga
menanam jati (jatinisasi).
25
Ibid, h. 12. 26
Ibid, h. 17. 27
Ibid, h. 52.
62
“Tapi jangan heran kalau ada oknum politik yang terlalu bersemangat
dan menginginkan „pohon randu‟, dan bukan pohon jati. Ini tidak
menyenangkan, tapi itulah realitas, kalau saya ya dua-duanya. . ..”28
Hal tersebutlah tanda-tanda awal pertentangan Abu Kasan Sapari dengan mesin
politik, dimana program jatinisasi yang dilakukan di kecamatan Kemuning,
meskipun berjalan sukses, tetapi tidak sejalan dengan program mesin politik
yakni, randunisasi.
Konflik-konflik itu mulai berkembang dan mengalami penegangan.
Konflik Abu Kasan Sapari dengan mesin politik bertambah parah. Ketika musim
pilkades Abu Kasan Sapari mendalang untuk cakades-cakades yang bukan dari
partai politik, sehingga membuat mesin politik mengalami kegagalan target dalam
pilkades tersebut.
“Pengumuman pemilihan itu menunjukkan bahwa calon Mesin Politik
menang di lima kelurahan, kalah di empat desa. Dukungan Abu Kasan
Sapari masuk tiga, satu gagal, yaitu guru SLTP itu. Politik tingkat desa itu
oleh koran Suara Bengawan digambarkan setengah jujur setengah tidak.”29
Konflik makin berkembang dan menegang kala Abu Kasan Sapari
dipindahtugaskan dari Kemuning ke Tegalpandan. Dimana Abu Kasan Sapari
dihadapkan pada masalah yang sama. Dia dimintai tolong mendalang oleh salah
satu Cakades dari non randu. Padahal ia berjanji tidak akan menggunakan seni
untuk poliitik janji pada diri sendiri dan Camat Tegalpandan. Akan tetapi Abu
Kasan Sapari tetap memenuhi permintaan tersebut, akan tetapi calon yang
didukung Abu Kasan Sapari tersebut kalah.
“Namun, hobi lama Abu Kasan Sapari untuk menyalahi Mesin Politik
kambuh lagi di kecamatan Tegalpandan. Pesan Camat untuk tidak
mencampurkan politik dengan kesenian sudah dilupakannya. Ia tidak tega
melihat seorang Cakades diminta mundur oleh mesin politik”30
28
Ibid, h. 92. 29
Ibid, h. 110. 30
Ibid, h. 150.
63
“Abu jadi mendalang untuk Cakades. Cakades itu kalah dalam pilihan
lurah. Mesin politik ternyata jauh lebih perkasa. Fungsionaris mesin
politik datang lagi.”31
Cerita mulai mendekati klimaks, ketika Abu Kasan Sapari yang mulai
gerah dengan mesin politik yang ingin mempolitisasi seni demi kepentingan
politik akhirnya membentuk paguyuban dalang independen. Organisasi tersebut
menyatakan bahwa para dalang tidak ingin seni dipolitisasi demi kepentingan
politik, pendirian paguyuban tersebut sebagai respon dari para dalang terhadap
hasil wawancara dengan Abu Kasan Sapari yang dimuat di sebuah surat kabar.
“Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran
surat. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa interview itu
menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi
yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung seandainya
didirikan sebuah paguyuban.”32
Hal ini membuat gerah mesin politik, dan membuat mesin politik mendatangi Abu
Kasan Sapari untuk memperingatkan agar abu diam selama pemilu berlangsung.
Mesin politik bahkan mencalonkan Abu Kasan Sapari sebagai calon legislatif,
akan tetapi Abu Kasan Sapari menolak permintaan mesin politik tersebut.
“Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. tentu saja itu di luar harapan
para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya,
penolakan itu aneh bagi mereka.”33
Penggunaan kesenian yang kembali dilakukan oleh Abu Kasan Sapari, lalu hasil
wawancara yang diterbitkan oleh teman wartawan dan pendirian paguyuban
dalang independen telah membuat konflik antara Abu Kasan Sapari dan Mesin
Politik kian parah. Hal tersebut diperparah dengan penolakan Abu Kasan Sapari
yang diminta menjadi caleg jadi oleh mesin politik.
Akhirnya konflik pun mencapai puncaknya ketika mesin politik gagal
mengajak Abu Kasan Sapari untuk bergabung. Mereka mulai berkesimpulan Abu
31
Ibid, h. 152. 32
Ibid, h. 154. 33
Ibid, h. 162.
64
Kasan Sapari dengan organisasi Paguyuban Dalang Independen berpotensi
menghalangi mesin politik dalam pemilu nanti. Dengan kuasa mesin politik kala
itu, Abu Kasan Sapari ditahan dengan tuduhan anti-pancasila dan subversif.
“Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui
Camat, menuju ke kamar kerja abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah
surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh,
silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan.”34
“Ia melihat dokumen. “Lho, kok anti-pancasila, makar? Perintah
penangkapan yang saya tandatangani hanya soal kriminal biasa,”
Katanya.”35
Penangkapan serta penahanan Abu Kasan Sapari merupakan puncak konflik
antara Abu Kasan Sapari dengan mesin politik. Penahanan yang dibuat agar Abu
Kasan Sapari diam saat pemilu. Penahanan tersebut bukan karena Abu Kasan
Sapari berbuat melanggar hukum, penangkapan tersebut dilakukan untuk
menyukseskan rencana mesin politik. Karena mereka menganggap Abu Kasan
Sapari dengan kesenian wayangnya dapat menjadi batu sandungan mereka.
Cerita mulai mengalami penurunan atau yang disebut tahap penyelesaian/
denoument. Tuduhan yang dituduhkan kepada Abu Kasan Sapari oleh mesin
politik ternyata tidak terbukti. Akhirnya polisi memberhentikan penyelidikan dan
membebaskan Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari pun disambut layaknya
pahlawan/ pejuang demokrasi ketika pulang.
“Dua orang polisi mengiringi Abu Kasan Sapari menemui Camat.
Puluhan sepeda motor juga berhenti, mereka menyerahkan surat-surat
pada Camat. Permintaan maaf dari polisi kalau-kalau telah mengganggu
pekerjaan kecamatan. Satu lagi jaminan dari Kepala Polisi bahwa Abu
Kasan Sapati tidak bersalah apa pun.”36
Konflik Abu Kasan Sapari dengan warga sekitar juga selesai ketika abu berjanji
akan menyerahkan ular tersebut ke kebun binatang. Kemudian Abu Kasan Sapari
juga melepaskan mantra yang ada pada dirinya dan memutus rantai mantra
tersebut dengan tidak mengajarkannya kepada siapapun. Abu Kasan Sapari juga
34
Ibid, h. 165. 35
Ibid, h. 166. 36
Ibid, h. 177.
65
memilih untuk menjadi dalang menggantikan Ki Lebdocarito, dan berencana
pindah ke Palur.
e. Latar
Latar merupakan unsur khas yang dimiliki oleh cerita rekaan. Baik itu
prosa maupun naskah drama. Khususnya prosa latar memegang peran penting.
Latar merupakan bagian yang mendukung peristiwa-peristiwa berlangsung atau
dapat dikatakan latar sebagai media bergulirnya peristiwa-peristiwa dalam karya
prosa. Latar sendiri dibagi menjadi tiga ada latar waktu, latar tempat, dan juga
latar sosial. Setiap karya prosa khususnya novel pastilah memiliki ketiga latar
tersebut. Latar-latar yang ada dalam novel ini akan dipaparkan pada bagian ini.
Baik itu latar waktu, tempat, maupun latar sosialnya.
1. Latar waktu
Latar waktu dalam novel Mantra Penjinak Ular secara keseluruhan
berada dalam rentang tahun 90-an. Dimulai ketika penceritaan Abu Kasan
Sapari kecil, hingga dewasa dan menghadapi berbagai macam masalah.
Pada Bab ke-13 latar waktu mengalami flashback. Latar waktu tersebut
terjadi saat penceritaan Eyang oleh kakek, latar waktu peristiwa-peristiwa
yang dialami Eyang berada pada latar di masa kepemimpinan raja
Pakubuwana 2.
“Eyang pendiri desa kita masih muda menjadi prajurit keraton. Dia
berhasil menyelamtkan raja Pakubuwana II dari Suarakarta dari
perampok, waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya.”37
Latar waktu yang mengalami flashback tersebut, merupakan latar waktu
dari alur bawahan dalam novel ini. Alur bawahan dalam novel Mantra
Pejinak Ular ini sendiri menceritakan perjalanan hidup tokoh Eyang.
Novel ini memang secara keseluruhan berada dalam latar waktu rentang
90-an. Namun, peristiwa-peristiwa penting, ataupun konflik-konflik
37
Ibid, h. 195.
66
penting yang terjadi dalam novel ini memiliki latar pada tahun 1997, saat
Pemilu nasional diselenggarakan.
“Pemilu 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah
Tahanan) Karangmojo. Mesin politik menang di Karangmojo,
tetapi hanya dengan enam puluh persen suara”38
Pada novel ini dapat disimpulkan bahwa latar waktu peristiwa-
peristiwa berada pada rentang tahun 90-an. Peristiwa-peristiwa penting,
dan juga konflik-konflik penting dalam novel ini berlatar pada tahun 1997,
tahun di akhir-akhir masa kekuasan orde baru. Selain itu latar waktu dalam
rentang 90-an, novel ini juga memiliki latar waktu pada masa
kepemimpinan Raja Pakubuwana II. Dimana latar tersebut merupakan
latar waktu dari alur bawahan dalam novel ini yang berisi peristiwa-
peristiwa yang dialami oleh Eyang.
2. Latar Tempat
Latar tempat merupakan latar dimana peristiwa-peristiwa dalam cerita
rekaan terjadi. Pada novel Mantra Penjinak Ular, latar tempat peristiwa-
peristiwa yang ada dalam novel ini cukup luas. Hal ini dikarenakan alur
penceritaan novel ini yang cukup panjang, yakni bercerita tentang
perjalanan hidup Abu Kasan Sapari dari kecil hingga dewasa. Oleh karena
itu, latar tempat dalam novel ini dapat dibagi berdasarkan wilayah-wilayah
tempat Abu Kasan Sapari pernah tumbuh dan menetap.
Latar tempat pertama berada di desa Palar, Klaten. Abu Kasan Sapari
dilahirkan di desa tersebut. Ayah dan ibu Abu Kasan Sapari serta kakek
dari pihak ayah juga tinggal di desa tersebut. Abu Kasan Sapari Kecil
dibesarkan di desa Palar sampai umur satu tahun.
“Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang
dipimpin oleh modin desa. Kakek itu adalah juru kunci makam
Ronggowarsito di Desa Palar, Klaten.”39
38
Ibid, h. 174.
67
Semasa kanak-kanak Abu Kasan Sapari diasuh oleh kakek nenek dari
pihak Abu Kasan Sapari. Abu dibesarkan dalam rumah kakek dan nenek
dari pihak ibu.
“Kata pertama yang diucapkan Abu ialah mbah-mbah, kakek-nenek.
Itu biasa karena memang ia tinggal di rumah kakeknya”40
Rumah Ki Notocarito juga menjadi latar tempat peristiwa. Abu Kasan
Sapari pernah nyantri belajar mengaji, dan kesenian wayang di rumah Ki
Notocarito.
“Pada hari minggu pagi, waktu anak-anak lain main bola, Abu
diantar kakeknya ke dalang Notocarito (nama sebenarnya adalah
Bakuh), kawannya di sekolah Jawa (Sekolah Angka Loro) dan mengaji
di masjid dahulu yang mempunyai seperangkat gamelan dan satu set
wayang.”41
Pada saat menjelang akhir SMA Abu Kasan Sapari diangkat anak
oleh Ki Lebdocarito dan tinggal di desa Palur. Disini dia menekuni ilmu
mendalang pada dalang senior tersebut. desa Palur yang berada di daerah
Surakarta ini menjadi salah satu latar tempat dalam novel ini.
“Di rumah Ki Lebdo, Abu dapat mempergunakan sebuah sepeda
motor bebek. Kata Ki Lebdo suatu kali, “Tidak ada lagi yang dapat
kau kerjakan di sini. Kalau kau mau belajar, pergilah pada Anom
Suroto di Kertosuro atau Manut Sumarsono di Tegalpandan.”42
Barulah setelah lulus SMA, Abu Kasan Sapari memilih hidup mandiri
dan berkerja sebagai pegawai pemerintahan/ negeri di Kecamatan
Kemuning.
“Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda
dibuatnya di depan.”43
Di Kemuning inilah peristiwa-persitwa penting yang ada dalam novel
Mantra Penjinak Ular mulai muncul. Seperti mantra yang digunakan
39
Ibid, h. 4. 40
Ibid, h. 10. 41
Ibid, h. 12. 42
Ibid, h. 15. 43
Ibid, h. 17.
68
untuk menjinakkan ular didapat Abu Kasan Sapari di Kemuning,
kemudian Abu Kasan Sapari dengan kesenian wayangnya terlibat dalam
pilkades, yang menandai keterlibatannya dalam konflik dengan mesin
politik pun terjadi di Kemuning.
Kecamatan Tegalpandan merupakan latar tempat lainnya yang
memunculkan peristiwa-peristiwa penting dalam novel ini.
“Abu Kasan Sapari dipindahkan ke kecamatan Tegalpandan, jauh
lebih dekat dan mudah bila ingin ke ibu kota Kabupaten
Karangmojo.”44
Kecamatan Tegalpandan lebih kota dibandingkan dengan kecamatan
Kemuning. Kecamatan ini juga lebih dekat ke pusat pemerintahan
kapubaten Karangmojo. Konflik-konflik yang mulai mencapai klimaks
memiliki latar di kecamatan ini. Peristiwa Abu Kasan Sapari yang
menolak bergabung dengan partai politik, pendirian Paguyuban Dalang
Independen, berdirinya organisasi MPU Nogogini, pertemuannya dengan
Lastri, sampai kepada penangkapan Abu Kasan Sapari terjadi di
kecamatan ini.
Dapat dikatakan kecamatan Tegalpandan merupakan latar tempat
yang penting dalam novel ini. Hal ini dikarenakan, konflik mencapai
klimaksnya terjadi di kecamatan Tegalpandan ini. Sampai pada akhir
cerita novel ini pun masih berlatar di kecamatan Tegalpandan. Dapat
disimpulkan pula, latar tempat kecamatan tegalpandan menjadi latar
tempat peristiwa-peristiwa lebih banyak, ketimbang latar-latar tempat yang
lain yang ada dalam novel ini.
Latar tempat lain yang juga menjadi latar peristiwa dalam novel ini
yakni Kebon Binatang Curug, di Solo.
44
Ibid, h. 115.
69
“Sebagai realisasi kerjasama antara MPU dan bonbin ada
pertunjukan wayang di bonbin. Pertunjukan itu diadakan dalam
rangka Hari Lingkungan Sedunia.”45
Latar tersebut termasuk dalam latar yang cukup penting, karena
menghadirkan peristiwa Abu Kasan Sapari yang mendalang untuk
kegiatan pecinta lingkungan. Selain itu di kebon binatang ini, Abu Kasan
Sapari mulai menyadari bahwa mantra dan laku-lakuan bukan satu-satunya
cara berinteraksi dengan ular. Perekrutan Abu Kasan Sapari oleh dua
orang anggota Partai Hijau untuk terlibat dalam Politik juga terjadi di
Kebon Binatang ini.
Latar tempat dalam novel Mantra Penjinak Ular dapat disimpulkan
antara lain, Desa Palar, Desa Palur, Kecamatan Kemuning, Kecamatan
Tegalpandan, dan Kebon Binatang Curug di Solo. Secara keseluruhan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel ini berada di wilayah-
wilayah tersebut. Latar tempat yang memegang peran penting yakni latar
tempat di wilayah Kecamatan Tegalpandan. Hal ini dikarenakan konflik-
konflik mencapai klimaks berlatar di wilayah tersebut.
3. Latar sosial
Latar sosial tidak bisa terlepas dari latar tempat yang dihadirkan dalam
novel ini. Latar tempat dalam novel pastilah memunculkan bentuk-bentuk
interaksi sosial yang khas di dalamnya. Seperti yang diuraikan pada
paparan sebelumnya bahwa latar tempat dalam novel ini dibagi
berdasarkan wilayah-wilayah, yakni desa Palar, desa Palur, kecamatan
Kemuning, kecamatan Tegalpandan, dan Kebon Binatang curug di solo.
Latar sosial yang muncul di desa Palar yang khas yakni lurah haruslah
bersih dan tidak boleh berkelakuan jelek. Di desa ini seorang lurah
haruslah menjadi tuntunan. Jadi apabila seorang Lurah melakukan ma-
45
Ibid, h. 141.
70
lima, yakni madon, minum, madat, dan maling maka orang tersebut tidak
pantas menjadi lurah.
“Masyarakat akan membiarkan kelakuan yang jelek pada orang
biasa, tapi tidak pada lurah. Sejak saat itu jabatan lurah tidak pernah
dipegang keluarga besar juru kunci.”46
Masyarakat desa tersebut tidak menolerir kelakuan yang jelek dari
pemimpin mereka, yang dalam hal ini seorang lurah. Masyarakat desa
beranggapan bahwa orang biasa boleh berkelakuakan jelek, tapi tidak
untuk lurah.
Interaksi sosial yang khas pada masyarakat di desa Palur, yakni
kepedulian terhadap sesama, dan saling mengingatkan. Hal ini dapat
terlihat pada saat kakek dan nenek Abu Kasan Sapari membunyikan
lonceng untuk mengingatkan Abu Kasan Sapari yang sedang asik bermain
“Kakek atau nenek akan membunyikan lonceng itu. Tetangga
yang tahu Abu masih keluyuran akan bilang padanya, “Pulanglah,
embahmu mencarimu”.”47
Hal tersebut memperlihatkan bagaimana masih ada rasa kepedulian
terhadap sesama. Padahal Abu Kasan Sapari bukan merupakan tanggung
jawab mereka. Terkadang interaksi masyarakat seperti ini menjadi suatu
yang jarang di tengah masyarakat modern.
Kecamatan Kemuning juga memiliki suasana sosial yang khas dalam
novel Mantra Penjinak Ular. Kita bisa melihat kebiasaan warga
Kemuning yang mandi setiap hari sekali di sendang.
“Tapi untuk mandi orang harus ke Sendang di atas yang jauhnya
dua kilometer. Jadi diputuskannya hanya mandi sekali sehari di
sendang sepuas-puasnya seperti semua orang.”48
46
Ibid, h. 5. 47
Ibid, h. 11. 48
Ibid, h. 17.
71
Mandi di sendang yang mengalir ini merupakan suasana sosial pedesaan
yang khas, menandakan Kemuning merupakan sebuah kecamatan yang
jauh dari suasana kota.
Kemajuan peradaban sosial masyarakat pedesaan ditunjukkan dengan
kemajuan pembangunan desa-desa di Kemuning, serta ditemukannya situs
candi Tiban, sehingga menjadikan Kemuning sebagai obyek wisata, serta
menjadi desa agrowisata.
“Kemuning dapat menjadi tempat agrowisata. Lebih indah dari
Tawamangu, tempat peristirahatan itu. Dari kemuning orang dapat
menikmati matahari tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan
yang mulus sampai puncak-puncak bukit.”49
Kecamatan Kemuning juga menampilkan pasar dengan interaksi
sosial yang khas bagi pembaca. Suasana yang khas tersebut yakni
ramainya pasar ditentukan oleh hari pasaran. Berbeda dengan pasar-pasar
yang berada di kota yang ramai setiap hari, pasar di Kecamatan Kemuning
ini menampilkan khas pasar masyarakat desa khususnya di daerah Jawa.
Masyarakat Kemuning masih mempercayai hari baik ketika berdagang
adalah hari pasaran/ pasar. Orang-orang dari desa membawa ternak serta
barang dagangannya untuk dijual di pasar. Sehingga pasar saat hari pasar
tiba akan begitu ramai dibanding hari biasa.
“Hari itu hari pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di
pasar ternak sebelah selatan pasar, yang ada orang-orang menalikan
ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang
tawar-menawar, kumandang pasar itu.”50
.
Kegiatan pasar yang berdasarkan hari pasar, serta tawar menawar antara
penjual dan pembeli menjadi sesuatu yang khas. Ini merupakan potret
pasaran pada masyarakat pedesaan. Kegiatan tawar-menawar ini mungkin
sudah tidak ada pada kebudayaan kota, sebab toko-toko telah
49
Ibid, h. 95. 50
Ibid, h. 49.
72
menempelkan harga-harga pada barang tersebut, hingga orang tidak perlu
lagi menawar.
Latar sosial lainnya yang ada di Kemuning yakni sebuah budaya
masyarakatnya yang masih memegang budaya feodalisme. Hal ini
diperlihatkan dengan kebiasaan berkata setuju tanpa memperimbangkan
terlebih dahulu.
“seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang “setuju!”
pada pidato pimpinan.”51
Tegalpandan pun memiliki kultur sosial masyarakat yang juga khas.
Keamanan menjadi prioritas di Kecamatan Tegalpandan. Diberlakukannya
siskamling merupakan salah satu kultur sosial dalam wilayah ini. Obrol-
obrolan ringan di gardu merupakan cara mempererat hubungan antar-
warga. Interaksi sosial semacam itu menjadi latar sosial di Tegalpandan.
“Sebagai penghuni laki-laki Abu Kasan Sapari mendapat giliran
ronda untuk setiap kepala keluarga. Di gardu Abu terkenal sebagai
tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cangak lek (membuat
terbangun) hidup.”52
Dapat disimpulkan latar tempat yang berada di dalam novel ini dibagi
berdasarkan wilayah dan hubungannya dalam cerita, yakni Desa Palur,
Desa Palar, Kecamatan Kemuning, dan Kecamatan Tegalpandan. Latar
waktu dalam novel ini berlatar sekitar tahun 90-an, namun diselingi juga
oleh flashback yang berlatar jauh sebelumnya. Selanjutnya untuk latar
sosial, masing-masing kedaerahan tadi memiliki latar sosialnya sendiri
yang khas, seperti Kecamatan Kemuning dengan latar sosia masyarakat
desanya yang masih guyup, dan adapula Kecamatan Tegalpandan dengan
latar sosial masyarakatnya yang sudah mulai berbau kota, dan cenderung
idividualistis.
f. Gaya bahasa
51
Ibid, h. 84. 52
Ibid, h. 127.
73
Novel Mantra Penjinak Ular menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti. Susunan kalimat serta kata-kata dan istilah yang digunakan mudah
dipahami. Bahasa yang digunakan oleh Kuntowijoyo dalam novel ini
menampilkan ciri khasnya dalam menulis prosa, yakni bahasa yang sederhana.
Seolah ia sedang bercerita kepada pembaca.
Pada novel ini juga banyak terselip banyak bahasa-bahasa Jawa pada
penceritaannya. Bahasa Jawa tersebut sering muncul dalam percakapan para
tokoh-tokohnya. Selain Bahasa Jawa ada juga tembang-tembang macapatan yang
ada dalam novel ini.
“Anakkidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lara
Kalisa bilai kabeh
Jim setan datam purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Agni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah
Mring mami
Tuju dudu pisan sirna”53
Tembang macapatan dilagukan ketika Abu Kasan Sapari lahir. Tembang
tersebut merupakan peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa keselamatan.
Memasukan tembang macapat seperti ini sepertinya digunakan pengarang untuk
menguatkan unsur latar dalam novel ini, yang berlatar Jawa. Hal tersebut juga
untuk menguatkan penceritaan latar belakang tokoh Abu Kasan Sapari.
Dalam novel ini banyak diselipkan peribahasa-peribahasa Jawa.
Peribahasa-peribahasa tersebut seperti “nggembol watu item”(diam di luar tapi
penuh isi di dalam), “kowe kok tela, apa gaplekmu”(kamu kok iri, apa punyamu).
Peribahasa-peribahasa tersebut muncul dalam percakapan para tokoh-tokohnya.
Peribahasa-peribahasa tersebut digunakan untuk menguatkan karakter masyarakat
53
Ibid, h. 3.
74
Jawa pada para tokohnya. Seperti sudah diketahui masyarakat Jawa ketika hendak
mengatakan sesuatu tidaklah secara terang-terangan. Mereka lebih memilih untuk
mengatakannya secara tersirat yang terkadang lewat peribahasa-peribahasa
semacam itu.
Layaknya sebuah karya sastra pada umumnya. Novel ini juga
menggunakan majas-majas dalam penceritaannya. Majas-majas tersebut di
antaranya “harganya melangit”, “jalan-jalan yang mulus”, “duit terus mengalir”,
“matanya berkaca-kaca”. Selain majas-majas yang digunakan dalam novel ini
juga terdapat istilah-istilah bahasa asing, di antranya “to the point”, “leterlijk”.
Keunikan lain dalam novel ini yakni munculnya sajak-sajak dalam satu
bab penuh. Sajak-sajak yang ada dalam novel ini dalam cerita dibuat oleh Abu
Kasan Sapari yang diperuntukan untuk Lastri. Sajak-sajak yang menggambarkan
suasana hati Abu Kasan Sapari terhadap Lastri. Sajak-sajak yang muncul secara
tidak langsung menggambarkan gaya bersajak pengarang novel ini yakni
Kuntowijoyo. Kehadiran sajak-sajak pada novel ini menambah keunikan gaya
bahasa yang digunakan Kuntowijoyo.
“Di Rumpun Bambu Burung Kecil
Pada suatu kali dalam perjalanan
Di suatu rumpun bambu kutemukan
Sebuah sarang dan didalamnya
Seekor burung kecil yang manis
Senyum di wajahnya
Menyambut pengembara
Lagu digendangkan
Aku pun berhenti
. . .
. . ..” 54
Banyaknya percakapan yang terselip kata-kata atau peribahasa Bahasa
Jawa dalam novel ini dpengaruhi oleh latar cerita novel ini yang merupakan
kehidup masyarakat Jawa. Selain itu penggunaan Bahasa Jawa, tembang
macapatan, peribahasa-peribahasa Jawa, dan gaya penuturan yang sederhana
54
Ibid, h. 162.
75
selain karena novel ini berlatar kehidupan masyarakat Jawa, kontribusi pegalaman
pengarang juga terlihat dari gaya bahasa yang digunakannya. Kuntowijoyo
merupakan pengarang yang hidup dalam lingkungan dan budaya Jawa. Sedikit
banyak interaksi pengarang dengan lingkungan dan budaya tempat dia
berkembang, tentunya berpengaruh terhadap karya-karyanya, termasuk novel
Mantra Penjinak Ular.
B. Etika Profetik dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo
Layaknya karya sastra pada umumnya, baik itu yang bergenre prosa, puisi,
ataupun naskah drama pastilah terkandung pemikiran seorang pengarangnya
dalam karya sastra tersebut. Sebut saja kredo puisinya Sutardji Calzoum Bachri
tentang melepaskan kata dari beban makna, yang terlihat dalam puisi-puisinya
contohnya Sihka-Winka, dan YB. Mangunwijaya dengan sufistiknya yang terasa
kuat pada puisi-puisinya. Oleh karenanya mengetahui biografi seorang pengarang
dengan mengetahui pemikiran-pemikiran pengarang menjadi cukup penting ketika
hendak mengkaji karya sastra yang dibuat pengarang tersebut.
Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo yang dibahas dalam
karya ilmiah ini juga banyak mengandung buah-buah pemikiran dari
pengarangnya. Kuntowijoyo selain sebagai sastrawan, dia juga dikenal sebagai
akademisi, dan sejarawan. Salah satu buah pemikiran Kuntowijoyo dalam bidang
sastra yang khas yakni, konsep sastra profetik. Seperti telah dibahas pada
sebelumnya salah satu aspek yang termasuk dalam konsep sastra profetik yang
digagas Kuntowijoyo adalah etika profetik. Etika Profetik ini tersendiri terdiri dari
humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga etika profetik tersebut hadir dalam
novel ini dengan gaya yang khas Kuntowijoyo. Oleh karena itu pembahasan
terhadap erika profetik yang terkandung dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo menjadi bahasan utama dalam karya ilmiah ini.
a. Humanisasi
76
Humanisai menjadi salah satu dari ketiga etika profetik yang disebutkan
Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetiknya. Istilah humanisasi yang
digunakan oleh Kuntowijoyo berangkat dari istlah nahi munkar, yang berarti
menyuruh kepada kebaikan. Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid,
berpendapat mengenai humanisasi.
“Dalam bahasa latin humanitas berarti “mahluk manusia”, “kondisi
menjadi manusia”, jadi humanisasi artinya memanusiakan manusia;
menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian
dari manusia.”55
Kuntowijoyo berpendapat bahwa humanisasi amatlah diperlukan pada zaman era
modern saat ini. Dimana era pembangunan, dan kemajuan teknologi sedang
berkembang sangat pesat. Kuntowijoyo berpendapat mengenai hal tersebut dalam
maklumat sastra profetiknya.
“humanisasi kita perlukan sebab ada tanda-tanda bahwa masyarakat kita
sedang menuju ke arah dehumanisai. Dehumanisasi ialah objektivasi
manusia (teologis, budaya, massa, negara), loneliness (privatisasi,
individualisasi), dan spiritual alienation (keterasingan spritual). Dalam
dehumanisai perilaku manusia dikuasai oleh alam bawah sadarnya
daripada oleh kesadarannya. Tanpa kita sadari dehumanisasi sudah
menggerogoti masyarakat indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin,
manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa”56
Berdasarkan kutipan uraian Kuntowijoyo, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa humanisasi diperlukan dalam upaya mencegah apa yang dinamakan
sebagai bentuk-dehumanisai seperti objektivasi, loneliness, dan spiritual
alineation. Selain daripada bentuk-bentuk dehumanisasi tersebut, kuntowijoyo
juga menyinggung tentang istilah menghilangkan “kebendaan”. Kuntowijoyo
menyebit arti lain dari “kebendaan” sebagai dehumanisasi tradisional. Bentuk-
bentuk dehumanisasi tradisional yang masih melanda masyarakat diantaranya
pemujaan wesi aji dan batu mulia, kekeramatan kuburan, sesaji, topa macam-
macam, tuyul, jimat, mantra, santet, dan sebagainya.
55
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h. 364. 56
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur, (Yogyakarta: Multi
Presindo, 2013), h. 17.
77
Bentuk-bentuk dehumanisasi yang Kuntowijoyo sebutkan dalam
maklumat sastra profetiknya, juga muncul dalam karya-karya sastranya. Banyak
karya-karya sastra yang dihasilkan Kuntowijoyo yang menampilkan masalah
terkait bentuk-bentuk dehumanisasi, tidak terkecuali novel Mantra Penjinak Ular.
Bentuk dehumanisasi yang pertama akan dipaparkan yakni objektivitasi manusia
(manusia hanya jadi objek). Masalah objektivasi manusia ini dialami oleh tokoh
utama dalam novel ini, yakni Abu Kasan Sapari. Objektivasi manusia tersebut
dilakukan oleh negara (dalam hal ini pemerintah) dan juga oleh mesin politik
partai yang berkuasa kala itu. Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan pegawai
negeri/ pemerintahan bekerja di bawah naungan pemerintah. Selain berkerja
sebagai pegawai negeri Abu Kasan juga dikenal sebagai dalang. Sebagai pegawai
negeri dia merupakan pegawai negeri yang berhasil di bidangnya, begitu pun juga
sebagai dalang dia cukup terkenal.
Bentuk-bentuk objektivasi oleh negara dan mesin politik ini berawal
diakrenakan Abu Kasan Sapari yang terlibat dalam pilkades desa dengan kesenian
wayang. Abu Kasan Sapari mendalang untuk beberapa permintaan calon lurah-
lurah di kecamatan kemuning. Tanpa disadari Abu Kasan Sapari, keterlibatannya
dirinya dan kesenian wayang pada saat itu membuat beberapa calon lurah dari
mesin politik kalah. Inilah yang membuat target kemenangan pilkades dari mesin
politik tidak tercapai. Menyadari bahwa kegagalan pilkades tersebut disebabkan
oleh Abu Kasan Sapari, mesin politik partai penguasa kala itu yang disebut dalam
novel ini sebagai partai randu dengan kekuasaannya berhasil memutasikan Abu
Kasan Sapari.
Ketika dimutasikan ke kecamatan Tegalpandan, di sinilah bentuk-bentuk
objektivasi oleh negara bermunculan. Abu Kasan Sapari sendiri makin dikenal di
kecamatan tegalpandan karena menjadi ketua organisasi pecinta ular (MPU
Nogogini) serta juga menndirikan paguyuban dalang independen bersama kawan-
kawannya. Selain itu artikel seorang wartawan yang merupakan kawan Abu
Kasan Sapari menuliskan tentang visi misi seorang dalang. Artikel tersebut
bersumber dari wawncara Abu Kasan Sapari dengan wartawan tersebut. Artikel
78
tersebut berhasil menyedot perhatian banyak kalangan karena memperlihatkan
bahwa kesenian wayang harus terbebas dari berbagai unsur kepentingn, termasuk
politik. Potensi Abu Kasan Sapari yang dapat menjadi batu sandungan mesin
politik, disadari oleh mereka. Hal ini dikarneakan Bapilu mesin poltik telah
memutuskan untuk menggunakan media kesenian wayang sebagai kampanye
pemilu. Akhirnya mesin politik dari partai Randu mengajak Abu Kasan Sapari
untuk bergabung dengan partai mereka. Abu Kasan Sapari terpilih menjadi caleg
dari partai Randu tersebut. padahal Abu Kasan Sapari tidak pernah mendaftarkan
atau didaftarkan untuk menjadi caleg.
Abu Kasan Sapari menyadari dirinya hanya dijadikan objek oleh mesin
politik partai Randu. Hal ini dikarenakan posisi Abu Kasan Sapari sebagai dalang
dan juga sebagai pendiri Paguyuban Dalang Indpenden dapat memuluskan
langkah mereka dalam mencapai target di pemilu. Penggunaan media kesenian
wayang dalam kampanye pun tidak terpengaruh dengan gerakan dalang
independen tersebut apabila Abu Kasan Sapari menjadi caleg. Abu Kasan Sapari
menolak tawaran menjadi caleg dan ikut dalam partai tersebut.
“Terimalah ucapan selamat kami. Kami DPD telah memilih Pak Abu
sebagai caleg jadi, “ kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos ketimbang
sembilan calon lain.” . . .. Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. tentu
saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi
caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.”57
“Abu Kasan Sapari heran, besar benar harga dirinya? Mungkin karena
Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan media pedalangan
untuk kampanye? Kedudukannya sebagai Ketua Paguyuban Pdelangan
jadi penting? Organisasi pedalangan tanpa anggota, eh “tiga puluh” orang
itu? Jadi, ini semua pasti gara-gara angka yang ditulis wartawan itu.”58
“Akhir-akhir ini ada sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk
keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS berpendapat seni itu seperti air.
Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan
menutupinya.” 59
57
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 162. 58
Ibid, h. 163. 59
Ibid, h. 170.
79
Abu Kasan Sapari menyadari bahwa ada bentuk-bentuk objektivasi kepada
dirinya sebagai dalang oleh mesin politik. Abu Kasan Sapari mengatakan bahwa
dalang dengan kesenian wayang tidak memihak pada suatu kepentingan politik.
Seni menurut Abu Kasan Sapari jangan hanya menjadi antek politik karena akan
mengingkari tugasnya terhadap seni.
Bentuk-bentuk objektivasi oleh mesin politik juga dialami oleh Abu Kasan
Sapari dalam bentuk yang berbeda, namun tetap memiliki tujuan yang sama.
Bentuk objektivasi kali ini berhubungan dengan organisasi MPU Nogogini yang
diketuai oleh Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari yang pada saat itu telah
menjadi ketua MPU Nogogini mengadakan pementasan di Bonbin Curug di
Surabaya. Selesai pementasan Abu Kasan Sapari didatangi oleh dua orang dari
partai Hijau Jawa Tengah, sebuah partai yang berusaha menyadarkan lingkungan.
Abu Kasan Sapari diundang untuk datang ke sebuah rapat dan Abu Kasan Sapari
diusulkan sebagai ketua departemen Propaganda.
“Rapat membahas kelengkapan susunan pengurus. “Ini adalah embrio
Partai Hijau di Jawa Tengah”, kata Pimpinan sidang, Ketua Partai Hijau.
“Kita akan melakukan propaganda, kemudian organisasi, kemudian aksi.”
Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai kandidat Ketua Departemen
Propaganda. Semua setuju.”60
Pada rapat tersebut Abu Kasan Sapari menolak dengan nama partai,
dikarenakan untuk urusan lingkungan politik lebih menyulitkan ketimbang
memudahkan. Abu Kasan yang Sapari menyadari adanya bentuk objektivasi
dirinya dengan organisasi MPU Nogogini yang diketuainya menolak usul
pendirian partai dan mengusulkan dibentuknya LSM.
“. . .. “Dibentuk saja LSM”, usul Abu. “Politik itu soal kalah-menang.
Padahal soal lingkungan bukan soal kalah-menang. Siapa pun yang
berkuasa akan menghadapi masalah lingkungan.”. ..”61
Penolakan Abu Kasan Sapari terhadap bentuk-bentuk objektivasi tersebut,
mencerminkan etika humanisasi yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dalam
60
Ibid, h. 143. 61
Ibid, h. 144.
80
maklumat sastra profetik. Penolakannya untuk bergabung dengan partai politik
baik Randu maupun Partai Hiijau, diikuti oleh keinginannya sendiri sebagai
manusia. Abu Kasan Sapari melihat politik yang dijalankan oleh mesin politik
Randu banyak yang merugikan masyarakat, penuh dengan kecurangan. Selain itu
mesin politik bergerak bagai mesin yang siap menerima perintah dari
penguasanya. Secara tidak langsut lewat kata yang dipakai Kuntowijoyo dengan
istilah mesin politik menandakan bahwa mereka yang tergabung ke dalam mesin
poltik telah kehilangan derajata kemanusiaannya dan hanya bergerak seperti
mesin tidak lagi bergerak berdasarkan rasa kemanusiaan mereka seperti akal
sehat, nilai, dan norma.
“Perilaku manusia mesin hanya berdasar stimulus and response, seperti
digambarkan dalam psikologi behaviorism. Perilaku manusia tidak lagi
berdasar akal sehat, nilai, dan norma. Agresivitas, korupsi, selingkuh,
tawur, dan semua kriminalitas adalah hasil dari manusia mesin itu.”62
Abu sebagai manusia dengan kesadaran dirinya menolak untuk ikut bergabung,
meskipun diimingi oleh kenaikan pangkat dan berbagai keuntungan. Inilah yang
dimaksud humanisasi menurut etika profetik Kuntowijoyo. Kesadaraan
kemanusaiaan yang lahir dari dalam diri, dan menolak bentuk-bentuk
dehumanisasi seperti objektivasi yang dialami Abu Kasan Sapari tersebut.
Pada novel mantra penjinak ular, selain memunculkan bentuk-bentuk
dehumanisasi modern dihadirkan pula bentuk bentuk dehumanisasi tradisonal.
Dehumanisasi tradisional disebut Kuntowijoyo sebagai “kebendaan”. Pemujaan
wesi aji dan batu mulia, kekramatan kuburan, sesaji, topa macam-macam, tuyul,
jimat, mantra, santet, dan sebagainya.63
Bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional
seperti ini menurut Kuntowijoyo masih terjadi di era masyarakat modern. Bentu-
bentuk dehumanisasi tradisinoal tersebut dimunculkan oleh Kuntowijoyo dalam
novelnya Mantra Penjinak Ular.
Bentuk dehumanisasi tradisional yang pertama yakni tercermin dari
perilaku kakek Abu Kasan Sapari dari pihak ayah. Ketika Abu Kasan Sapari
62
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 16. 63
Ibid, h. 21.
81
masih bayi, dia dibawa oleh kakeknya ke kuburan Ronggo Warsito untuk ngalap
berkah.
“Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang
terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah,
meminta restu.”64
Ngalap berkah ke kuburan seperti itu dilakukan agar bayi tersebut mendapat
berkah dan restu dari Ronggowarsito, selain itu juga mengharapkan si bayi nanti
bisa seperti Ronggowarsito yang disegani dan dihormati. Selain ngalap berkah ke
kuburan (mengkramatkan kuburan), terkadang setiap sore saat terang bulan kakek
tersebut membawa Abu Kasan Sapari ke tepi saawah untuk digendongnya
mengharap berkah dari bulan.
“Pada sore terang bulan kakek itu akan membawanya ke tepi swah,
sebab di tempat itu bulan tidak terhalang pohon-pohon dan rumah-rumah.
Sambil mengharap berkah bulan ia akan berkata, “Run-turun. Bulan, minta
kuningmu. Bulan, minta cahayamu.”65
Mengkramatkan suatu benda juga dilakukan oleh masyarakat Tegalpandan.
Mereka mengkramatkan pohon beringin tua di depan terminal.
“Mereka menggermuni pohon yang tergeletak di tanah. Mereka
tertegun. Ada ketakutan di wajah mereka. pohon yang entah kapan
menanamnya. Pohon yang sudah menyatu dengan Tegalpandan. Waktu
mereka kawin meskipun sedikit harus mengambil hiasan dari daun-daunan
yang berasal dari pohon itu. Orang-orang tua masih harus membakar
kemenyan di bawahnya. Pagi itu ada aturan baru untuk bis. Orang-orang
pasar juga memerlukan menengok beringin itu sebelum memasang
dagangan.”66
Terlihat bagaimana masyarakat masih terjebak dengan budaya-budaya
yang merupakan bentuk dehumanisasi tradisional. Pada artikel yang dimuat di
Harian Kompas edisi Senin, 30 Desember tahun 2000. Kuntowijoyo
mengkategorikan fenomena dehumanisasi tersebut sebagai sakralisasi
(mengkramatkan), dalam hal ini sakralisasi tempat.
64
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 2. 65
Ibid, h. 5. 66
Ibid, h. 215.
82
“Sakralisasi tempat kita temukan pada pemuliaan pada kepercayaan
tentang manjurnya doa di makam-makam keramat, tentang gunung,
tentang sendhang, tentang senthong (kamar dalam-tengah rumah Jawa).”67
Mengkramatkan sebuah pohon dan menganggap pohon tersebut dapat
mendatangkan berkah atau kesialan bagi diri merka, secara tidak sadar telah
menghilangkan derajat kemanusian yang ada dalam diri mereka. Sama halnya
juga yang dilakukan oleh tokoh Kakek yang mengarap berkah terhadap makam-
makam leluhur di desa. Dimana bentuk-bentuk itu merupakan
sakralisasi(mengkramatkan). Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo bentuk-bentuk
dehumanisai tradisional tersebut dikarenakan keadaan manusia yang lebih
dikuasai bawah sadarnya, ketimbang kesadarannya.
Dehumanisasi tradisional selanjutnya yakni mantra. Mantra ini menjadi
bentuk dehumanisasi tradisional yang dominan dalam novel ini. Hal tersebut
dikarenakan ini merupakan permasalahan yang dihadapi tokoh utma dalam novel
ini Abu Kasan Sapari. Abu menggunakan mantra tersebut untuk menaklukan dan
berinteraksi dengan ular. Awal mula Abu Kasan Sapari mendapat mantra tersebut
ketika berada di acara cembeng sebuah perayaan yang diadakan di pabrik gula
tasikmadu. Dia didatangi oleh seorang kakek yang memilihnya untuk menurunkan
mntra penjinak ular miliknya. Mantra tersebut memiliki beberapa syarat dan
ketentuan sebelum dikuasai penuh oleh pemiliknya.
“Bagus itu sudah betul. Ada laku yang harus dijalankan dan wewaler,
pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya adalah kau harus ngebleng
tidak makan minum selama tiga hari, kemudian mutih tidak makan garam
selama tujuh hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak
boleh melangkahi ular sekalipun ular itu boleh membiarkan ada ular mati
tanpa dikuburkan. ...”68
Abu Kasan Sapari yang merasa dirinya terpilih senang, dan melakukakn semua
syarat tersebut. Singkat kata Abu Kasan Sapari berhasil menguasai mantra
tersebut, berhasil berinteraksi dengan ular. Abu Kasan Sapari juga mengerjakan
67
Kuntowijoyo, “Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”, Kompas, Sabtu, 30
Desember 2000, h. 4. 68
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 21.
83
syarat-syarat yang dianjurkan oleh kakek tersebut, seperti selalu mengubur
bangkai ular yang dilihatnya di manapun.
“Sebentar ular itu berhenti, Abu mengerti itu artinya ucapan terima
kasih, kemudian menghilang di semak-semak. Ia berdiri, baru menyadari
sepenuhnya apa yang telah terjadi dan ia tersenyum. Ia telah menguasai
ilmu penjinak ular.”69
Dapat dikatakan mantra yang dimiliki Abu Kasan Sapari tidaklah terlalu
buruk bagi dirinya. Lewat mantra tersebut dia bisa lebih denkat dengan ular dan
alam, kemudian membuatnya sebagai aktivis pecinta lingkungan dan mengajak
masyarakat tidak lagi memburu ular dan bersahabat dengan ular. Bisa dikatakan
saat itu mantra tersebut tidak berdampak buruk kepada Abu Kasan Sapari. Akan
tetapi lambat laun kecintaan Abu Kasan Sapari terhadap ular makin menggila
dengan memelihara ular di dalam rumahnya. Tentunya itu membuat kepanikan
tersendiri bagi warga di sekitar tempat Abu Kasan Sapari tinggal. Abu juga selalu
memakai mantranya untuk berinteraksi dengan ular tersebut. Kecintaan Abu
Kasan terhadap ular membuat dirinya kehilangan kesadaran diri tentang hidup
bermasyarakat. Tentang warga sekitar rumahnya yang panik Abu Kasan Sapari
memelihara ular di rumahnya. Dengan berbagai alasan Abu Kasan Sapari
mencoba meyakinkan warga sekitar rumahnya bahwa ular itu tidak berbahaya.
Dapat disimpulkan ketergantungan Abu Kasan Sapari terhadap mantra
pejinak ular miliknya, kemudian melakukan pantangan-pantangan agar mantranya
dapat dikuasai membuat Abu Kasan Sapari jatuh pada bentuk dehumanisasi
tradisional. Kehilangan kesadaran diri bahwa setiap manusia harus dapat hidup
bermasyarakat dengan baik juga dialami Abu Kasan Sapari akibat kecintaannya
yang berlebihan terhadap ular, dengan memlihara ular di dalam rumahnya hal
itulah yang membuat warga resah.
Abu Kasan Sapari mulai menyadari bahwa dia amat ketergantungan
dengan mantranya. Abu Kasan Sapari menyadari bahwa mantra bukan sastu-
satunya jalan untuk berinteraksi dengan ular.
69
Ibid, h. 28.
84
“Abu pulang dengan kesimpulan bahwa mantra, laku, dan pantangan
adalah salah satu cara, tapi bukan satu-satunya.”70
Abu juga mulai menyadari dirinya makin dijauhi oleh masyarakat karena ular
peliharaannya tersebut. Abu Kasan Sapari mulai sadar bahwa dia harus melepas
mantra yang dimilikinya dan juga melepas klanengannya (peliharaannya).
Kesadaran Abu untuk melepas mantranya dimantapkan setelah dia bermimpi
bertemu Eyangnya.
“Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan
doa, bukan mantra.” Eyangnya turun dari dipan, dan melesat dengan kuda
semberani.”71
Selain disarankan oleh Eyang dia juga disarankan oleh H. Syamsudin agar
melepas mantra itu dan tidak meneruskannya ke orang lain.
“Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman.
Karenanya malahan kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang
zaman modern, bukan zamannya mantra lagi.” 72
Abu akhirnya memutuskan untuk memutus mata rantai mantra tersebut atas
berbagai fakta yang dilihatnya dan pertimbangan dari orang-orang yang Abu
Kasan Sapari percaya. Selain itu juga, dia akan menyerahkan ular peliharaannya
kepada kebon binatang. Hal tersebut dikarenakan dirinya akan menikahi Lastri,
dimana Lastri takut terhadap ular, dan kurang setuju Abu Kasan Sapari
memelihara ular.
Pelepasan mantra yang dan pemutusan mata rantai yang dilakukan Abu
Kasan Sapari merupakan wujud etika humanisasi. Abu Kasan Sapari menemukan
kesadaran diri bahwa yang dibutuhkan manusia bukanlah mantra tapi ilmu,
teknologi, dan doa seperti yang dikatakan eyangnya. Mantra hanya akan
membuatnya lambat laun kehilangan kesadaran diri sebagai manusia di dalam
dirinya. dengan memutus mata rantai mantra penjinak ular yang ada pada dirinya,
tokoh Abu Kasan Sapari telah berhasil melawan bentuk-bentuk dehumanisasi
70
Ibid, h. 141. 71
Ibid, h. 257. 72
Ibid, h. 259.
85
tradisional pada dirinya. Dapat disimpulkan, pemutusan mata rantai mantra
penjinak ular merupakan wujud etika humanisasi yang telah dilakukan Abu Kasan
Sapari atas dehumanisasi tradisional (mantra) yang terjadi pada dirinya.
Perlawanan Abu Kasan Saparai terhadap dehumanisasi tradisional tidak
hanya terkait dengan mantra pejinak ular saja. Perlawanan Abu terhadap
dehumanisasi tradisional lainnya yakni menolak segala macam sesaji dan
pantangan yang berurusan dengan kesenian wayang. Seperti pada kasus pagelaran
wayang yang diadakan untuk ruwat bumi, meskipun lurah setempat mengadakan
itu dengan upaya untuk selamtan karena setelah pohon beringin di depan terminal
tumbang para warga banyak mengalami gangguan-gangguan yang berbau mistis.
Abu menerima permintan mendalang dengan berbagai syarat diantaranya tidak
ada sesaji. Juga namanya diganti dari slametan menjadi ruwat bumi. Hal tersebut
dilakukan oleh Abu Kasan Sapari setelah berunding dengan Lastri
“Mudah saja. Jangan sebut itu selamatan,” kata Lastri.
“Lalu?”
“Ruwat Bumi, atau apa begitu.”
“Wah kok cerdas, Yu.”
“Undang seorang ustadz untuk berceramah sebelum wayang dimulai.”
“Lalu?”
“Jangan pakai sesaji. Kata orang, itu malah mengundang setan.” 73
Humanisasi terhadap bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional juga hadir
dalam penceritaan riwayat Eyang pada bab 13 dengan subjudul mencari akar.
Eyang sewaktu muda menolak bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional seperti
memberi sesaji ketika ingin menebang pohon, sihir, takhayul, takut pada sebangsa
jin. Seperti contoh ketika Eyang ingin menebang pohon dia tidak menggunakan
sesaji apapun, dia juga tidak percaya pada kekramatan pohon-pohon yang
ditumbangnya. Eyang hanya menggunakan orang-orang dan doa untuk menebang
pohon-pohon tersebut, tanpa sesaji sedikitpun.
73
Ibid, h. 217-218.
86
“Sebab, waktu itu sekarang saja juga demikian pohon-pohon tua dan
besar itu dikira banyak penghuninya, dikeramatkan. Orang semula takut
menebang. Hanya setelah dia mengucapkan doa-doa pengusir jin, orang
berani menebang.”74
“... . Tidak seorang pun berani menebang. Orang-oramg takut, kata
mereka pohon itu banyak penunggunya. Jadi orang takut kualat. Tolong
ditunggii, supaya orang berani. Sehari sebelum penebangan, eyang datang.
Malam hari dia sengaja tidur dekat pohon untuk meminta para penghuni
pergi. ...”75
“Dulu itu ada yang disebut gendhel, bekas sayatan yang membengkak.
Untuk menyembuhkannya orang biasa mencari batu-batu yang panas dan
ditempelkan, dengan harapan bengkak itu segera mengering. Tetapi,
mungkin batu itu justru yang menyebabkan bengkaknya tidak juga
sembuh. Istilahnya sekarang mungkin batu itu tidak steril... . Eyang
membuat ramuan yang istimewa, dan melarang pemuda itu menggunakan
batu. Setengah bulan kemudian bengkaknya kempes-pes.”76
Dalam riwayat Eyang pada bab 13 dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia merupakan mahluk yang paling tinggi derajatnya. Seorang manusia
jangan sampai jatuh pada bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional yang malah
justru membuat derajat manusia itu turun. Manusia tidaklah lagi membutuhkan
hal-hal yang berbau mitos dan klenik seperti sesaji, pantangan, dan laku-lakuan.
Manusia hanyalah butuh ilmu, teknologi, dan doa sebagai senjatan terakhirnya.
Dapat dikatakan bentuk humanisasi terhadap dehumanisasi tradisional menurut
Eyang bisa dapat dilakukan dengan ilmu, teknologi, dan doa.
Peryataan Eyang yang mengatakan melawan bentuk-bentuk dehumanisasi
tradisional dengan ilmu, teknologi, dan doa, sejalan dengan apa yang dikatakan
Kuntowijoyo. Pada sebuah tulisan M. Mustthafa, di sana dikutip pendapat
Kuntowijoyo mengenai perlawanan terhadap mitologisasi (dehumanisasi
tradisional).
74
Ibid, h. 196. 75
Ibid, h. 201. 76
Ibid, h. 207.
87
“Menurut Kuntowijoyo, ada beberapa media yang dapat menjalankan
fungsi demitologisasi, yaitu ilmu dan teknologi, gerakan puritanisme
agama, serta sejarah dan seni.”77
Pada saat pilkades di desa kemuning, banyak calon lurah yang
menggunakan dukun untuk memenangkan mereka dalam pemilihan kepala desa
tersebut. Dukun tersebut memberi anjuran laku-lakuan yang harus dilakukan oleh
calon lurah jika ingin memenangi pilkades di desanya. Laku-lakuan tersebut
seperti mandi di sendan, lek-lekan selama tujuh malam, dan sebagainya. Semua
laku-lakuan yang dianjurkan oleh dukun tersebut dilakukan oleh calon lurah
tersebut.
“Dia sudah mengimbanginya dengan lek-lekan selama tujuh malam.
Untuk mencegah kantuk, orang bermain kartu cina, dengan sedikit
taruhan. Dukun telah memlihkan gambaran yang tepat, yaitu “Obor”. Dia
juga telah memenuhi saran dukun untuk nyekar di makam cakal bakal
desa.”78
Dapat dikatakan kepercayaan dan ketergantungan calon lurah tersebut
kepada dukun, merupakan salah satu bentuk dari dehumanisasi tradisional. Calon
lurah tersebut terjebak pada apa yang disebut dehumanisasi tradisional. Calon
lurah tersebut kehilangan kesadaran dirinya sebagai manusia yang harusnya
percaya pada hal-hal yang realistis bukan percaya pada mitos, laku-lakuan, dan
pantangan-pantangan yang sifatnya abstrak. Pada akhirnya calon lurah yang
didukung dukun tersebut kalah. Itu artinya segala bentuk mitos, laku-lakuan, dan
pantangan yang sifatnya abstrak tidak bisa diandalkan untuk menarik simpati
warga untuk memilihnya, karena perilaku seperti laku-lakuan itu manfaatnya
tidak bisa dirasakan oleh masyarakat. Hal-hal yang bersifat realistis seperti
wayangan semalam suntuk yang dilakukan, mungkin akan lebih bisa menarik
simpati warga karena manfaatnya bisa dirasakan oleh warga.
Kuntowijoyo menyinggung di dalam maklumat sastra profetiknya
mengenai manusia mesin. Perilaku manusia mesin hanya berdasarkan stimulus
and responce, seperti digambarkan dalam psikologi behaviorisme. Perilaku
77
M. Musthafa, “Demitologisasi Melalui Seni”, Kompas, 12 November 2001, h. 35. 78
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 109.
88
manusia tidak lagi berdasarkan akal sehat, nilai, dan norma. Kuntowijoyo
menyebut fenomena tersebut sebagai otomatisme (manusia jadi otomaton,
bergerak secara otomatis). Fenomena manusia mesin seperti itu dimunculkan oleh
Kuntowijoyo dalam novelnya Mantra Penjinak Ular. Pada novel tersebut bisa
dilihat perilaku manusia mesin dapat terlihat dalam perilaku mesin politik.
Mesin politik dalam novel Mantra Penjinak Ular merupakan mesin yang
berkerja untuk partai Randu. Mesin politik berisi orang-orang Randu/ loyalis
Randu. Orang-orang tersebut tidak hanya orang yang berkecimpung di partai saja,
melainkan juga para pegawai pemerintahan yang juga ikut menjadi bagian dari
mesin politik. Mesin politik bertugas untuk menjaga hegemoni kekuasaan partai
randu di masyarakat menjelang pemilu. Mesin politik berkerja hingga desa-desa
(contohnya dalam pilkades) untuk menghegemoni masyarakat supaya randu bisa
menang dalam pemilu.
Target tersebut berusaha dicapai mesin politik lewat berbagai hal, dan
menghalalkan segala cara. Seperti ketika mereka membuat konsopirasi penahanan
Abu Kasan Sapari yang mencoba melawan mesin politik. Kemudian juga, mesinin
politik lewat kekuasaannya sebagai mesin dari partai penguasa pemerintahan kala
itu, melakukan pemutasian kepada pegawai pemerintahan yang tidak loyal
terhadap randu, sebagai contoh peristiwa pemutasian Abu Kasan Sapari dan
Camat Baru Kemuning. Hal-hal abnormal yang dilakukan oleh mesin politik
tersebut telah mencirikan apa yang dinamakan sebagai manusia mesin. Orang-
orang yang ada dalam mesin politik bergerak atau berkerja berdasarkan perintah
dari randu (penguasa).
“ingat, target pilkades dan pemilu kita ialah seratus persen. Itu kalau
kau masih mau jadi sekda,” bisik mesin politik lagi.79
Melihat kutipan tersebut, bisa terlihat mesin politik menginginkan
kemenangan randu seratus persen dalam pilkades dan pemilu. Mereka mencoba
mencapai target tersebut dengan menekan camat untuk mengkondisikan warganya
79
Ibid, h. 111.
89
agar memilih Randu. Penekanan kepada camat tersebut berupa sebuah bentuk
nepotisme, yakni tawaran jabatan sebagai Sekda. Mereka, orang-orang yang ada
dalam mesin politik tidak lagi melihat apa yang mereka kerjakan berdasarkan
nilai, norma, dan akal sehat. Akan tetapi, mereka berkerja atau bergerak hanya
berdasarkan perintah. Dengan kata lain mereka seperti mesin yang bergerak atau
berkeja sesuai apa yang diinginkan penggunanya.
Secara tidak sadar mereka para mesin politik lewat perintah-perintah dan
target-target yang diembankan kepada mereka, telah menghilangkan harkat
kemanusiaan mereka. Mereka tidak lagi mempertimbangkan akal sehat mereka,
norma, serta nilai yang ada dalam diri mereka. Para mesin politik hanya bergerak
berdasarkan perintah yang diembankan kepada mereka. para mesin politik tidak
lagi menjadi manusia yang utuh karena mereka tidak menggunakan kesadaran
(akal sehat, norma, serta nilai) dalam melaksanakan perintah. Jadi dapat
disimpulkan mesin politik yang muncul dalam novel mantra penjinak Ular
mencerminkan apa yang dinamakan manusia mesin. Lewat perilakunya yang
abnormal, melakukan sesuatu tidak berdasrakan kesadaran, karena hanya
mementngkan perintah dan target yang ingin mereka capai. Menurut
Kuntowijoyo terbentuknya manusia mesin sebagai akibat dari dehumanisasi,
dimana perilaku manusia hanya dikuasai oleh bawah sadarnya ketimbang
kesadarannya.
Pada novel Mantra Pejinak Ular ada konflik antara Abu Kasan Sapari
dengan para warga desa yang tidak setuju Abu Kasan Sapari memelihara ular.
Konflik tersebut berujung pada peristiwa gropyokan. Peristiwa tersebut dilakukan
oleh para warga untuk menusir Abu Kasan Sapari dan ularnya. Mereka melakukan
gropyokan karena tidak puas dengan hasil pertemuan yang dilakukan di mana
pertemuan tersebut menghasilkan keputusan Abu Kasan Sapari boleh memelihara
ular di dalam rumahnya. Dalam melakukan gropyokan tersebut, para warga tidak
berhasil menemui Abu Kasan Sapari. Kekecewaan mereka, dilampaiaskan dengan
tindakan agresif dengan meenggedor-gedor pintu dengan linggis, kemudian
mendobrak pintu kos Abu Kasan Sapari.
90
“pada dini hari orang-orang mulai menggebrak-gebrak pintu dengan
linggis. Mereka jadi lebih galak, lebih beringas. Makin lama makin
banyak.”80
Peristiwa gropyokan dapat dikatakan sebagai sebuah agrseivitas kolektif. Hal ini
dapat dibuktikan dengan tindakan para warga yang tidak bisa menerima keputusan
pertemuan. Mereka mencoba mengusir Abu Kasan Sapari dan ularnya, yang jelas-
jelas belum pernah membuat masalah di sekitar lingkungannya. Mereka juga
bertindak agresif dalam gropyokan dengan membawa senjata-senjata,
menggebrak-gebrak pintu, sampai pada mendobrak pintu. Hal-hal tersebut sudah
cukup menandakan peristiwa gropyokan tersebut sebagai sebuah agresivitas
kolektif.
Kuntowijoyo menyebut bahwa agresivitas kolektif ini merupakan bagian
dari manusia massa. Manusia massa menurut Kuntowijoyo memandang realitas
tidak secara utuh, lebih banyak menekankan aspek emosional daripada
intelektual.81
Memandang realitas tidak secara utuh dan lebih banyak menekankan
aspek emosional sejalan dengan apa yang tercermin dari peristiwa gropyokan
dalam novel mantra penjinak ular. Para warga merasa takut akan ular yang
dipelihara Abu Kasan Sapari di dalam rumahnya, dan berpikir yang tidak-tidak
mengenai ular tersebut. Ketakutan mereka membuat mereka tidak bisa melihat
realita yang ada bahwa ular yang dipelihara Abu Kasan Sapari itu jinak, ular
tersebut juga ada di dalam kandang yang kuat dan tidak mungkin bisa kabur dan
memangsa hewan ternak seperti yang dituduhkan warga kepada ular tersebut.
Ketakutan warga itulah yang menimbulkan gropyokan yang berisi
tindakan-tindakan agresif. Dapat disimpulkan, ketakutan dalam diri orang-orang
yang melakukan gropyokan tersebut menghasilkan suatu tindakan agresif yang
dilakukan secara kolektif. Ketakutan mereka dalam hal ini aspek emosional dalam
diri mereka membuat mereka tidak bisa memandang realitas keadaan
sesungguhnya secara utuh.
80
Ibid, h. 268. 81
Kuntowioyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 19.
91
Pada novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo terdapat banyak
bentuk-bentuk dehumanisasi. Baik itu berupa dehumanisasi modern maupun
tradisional. Dehumanisasi moedern muncul dalam bentuk objektivasi manusia dan
juga manusia mesin. Kemudian dalam dehumanisasi tradisional, Kuntowijoyo
menghadirkan bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional, seperti sakralisasi
(mengkramatkan) tempat, keterikatan terhadap mantra, dan melakukan laku-
lakuan serta pantangan. Etika humanisasi, tercermin dari proses mencapai
kesadaran sebagai manusia seutuhnya ditampilkan oleh Abu Kasan Sapari yang
terbebas dari dehumanisasi. Baik itu dehumanisasi modern, seperti objektivasi
dirinya oleh Mesin Politik, maupun dehumanisasi tradisional, yakni mantra
penjinak ular yang dikuasai dirinya.
b. Liberasi
Liberasi dalam etika profetik yang dirumuskan Kuntowijoyo berakar dari
makna nahi munkar. Nahi munkar sendiri memiliki makna mencegah kepada hal-
hal yang munkar/ mencegah kepada kemunkaran. Istilah liberasi berasal dari kata
latin liberare yang berarti memerdekakan/ pembebasan, semuanya dengan
konotasi yang mempunyai signifikansi sosial.82
Seperti yang diketahui sasaran
liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan
sistem politik.83
Masalah-masalah belenggu terhadap suatu sistem yang menjadi
sasaran liberasi tersebut, dimunculkan oleh Kuntowijoyo dalam karya-karya
sastranya, tidak terkecuali novel yang menjadi objek penelitian ini yakni mantra
penjinak ular.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan etika liberasi muncul dalam
bentuk masalah-masalah yang dihadapi para tokohnya dalam novel mantra
penjinak ular. Secara tidak sadar beberapa tokoh dalam novel ini telah melakukan
apa yang dinamakan etika profetik, yakni etika liberasi. Etika yang dikonsepkan
Kuntowijoyo dalam pemikirannya tentang sastra profetik. Perwujudan etika
82
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, op. Cit., h. 365. 83
Ibid, h. 370.
92
liberasi beserta masalah-masalahnya akan dipaparkan jelas di paragraf
selanjutnya.
Pada novel Mantra Penjinak Ular muncul masalah terkait penindasan
mesin politik terhadap kebebasan berkesenian. Penindasan tersebut yakni upaya
mempolitisasi kesenian. Upaya tersebut berupa memanfaatkan kesenian wayang
untuk kepentingan-kepentingan politik. Kesenian wayang digunakan untuk
menghegemoni masyarakat. Hal tersebut digunakan Mesin Politik dalam upaya
mempertahankan kekuasaan kaum penguasa kala itu, yakni randu.
Memanfaatkan seni untuk melanggengkan kekuasaan atau kepentingan
politik di negeri ini memang bukan hal yang baru. Memanfaatkan seni sebagai
propaganda politik ini dilakukan pula pada saat era presiden Soekarno.
“Di bawah kepempinan presiden pertama Indonesia, Soekarno, semua
partai politik tahu cara memanfaatkan pertunjukan wayang kulit Jawa
untuk tujuan-tujuan propaganda. Setiap partai berusaha menggambarkan
dirinya sebagai pihak yang benar dan unggul sehingga
mengidentifikasikan dirinya sebagai Pandawa‟yang berada di pihak yang
benar‟ dalam kisah Mahabharata.”84
Nirwan Dewanto dalam tulisannya “Politik (dan) Kesenian: Pelajaran dari Dua
Zaman” pun berpendapat bagaimana pentingnya seni guna mempertahankan
kekuasaan,
“Dan agar publik terpesona kepadanya – mengakui dan mendukungnya
– kekuasaan juga menyediakan panggung penampilan. Kekuasaan
memerlukan keindahan yang, secara langsung atau tidak, bisa
melegitimasikannya. Demikianlah kita memahami mengapa suatu politik
kesenian diselenggarakan.”85
Memanfaatkan seni untuk menarik hati masyarakat dilakukan Mesin
Politik. Sebagai contohnya dalam novel ini, Mesin Politik berusaha menggunakan
media wayang sebagai media kampanye sebelum pemilu diselenggarakan, mereka
84
Marshall Alexander Clark, Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru,
(Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2008), h. 23. 85
Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan, (Yogyakarta: Bentang, 1996), h. 91.
93
menggunakan hal tersebut agar masyarakat memilih Randu pada saat pemilu
nanti.
“Ia mendapat keterangan bahwa untuk keperluan kampanye Mesin
Politik berencana mengumpulkan para dalang. Di setiap desa akan
diselenggarakan wayangan. Sebagai dedengkot para dalang, ia sudah
disowani Mesin Politik untuk diminta restunya.”86
Mengumpulkan para dalang untuk mendukung sebuah partai politik (Randu) yang
muncul dalam novel Mantra Penjinak Ular, mirip dengan apa yang dilakukan
presiden Soeharto ketika masa kepemimpinannya. Kala itu presiden Soeharto
memanfaatkan media wayang untuk menyampaikan propaganda pemerintah dan
juga untuk mendukung partainya, yakni Golkar.
“Rezim Orde Baru Soeharto mengarahkan para dalang untuk secara
terbuka mendukung partai politik pemerintah, Golkar, dan pertunjukan
wayang sering digunakan untuk menyampaikan propaganda pemerintah.
Dari waktu ke waktu Soeharto menyampaikan pidato yang menunjukkan
bahwa wayang dpergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan seperti
pentingnya pembangunan ekonomi dan keluarga berencana (Sears,
1996).”87
Selain Mesin Politik, kesenian juga digunakan tokoh utama Abu Kasan
Sapari dalam upaya melawan kekuasaan kaum penguasa beserta mesin politiknya.
Perwujudan politisasi kesenian yang dilakukan Abu Kasan Sapari dalam novel ini
terlihat pada bab VII novel ini dengan sub judul Abu Versus Mesin Politik, Botoh,
dan Dukun. Pada bab tersebut bercerita tentang peristiwa dilakukannya pilkades
serentak di Kecamatan Kemuning. Pada pilkades di daerah tempat kerjanya
tersebut, Abu kasan Sapari melihat banyak kecurangan dalam hajat demokrasi
tersebut. Di sana ada campur tangan mesin politik, botoh, dan peran dukun. Abu
Kasan Sapari yang saat itu sudah dikenal sebagai dalang diminta oleh beberapa
lurah untuk mendalang dalam kampanye lurah-lurah tersebut. Pemanfaatan
kesenian wayang tersebut tidak disadari oleh abu kasan sapari sebagai bentuk
politisasi kesenian, dimana pertunjukan wayang tersebut digunakan untuk
menarik simpati masyarakat untuk memilih lurah-lurah tersebut. Benar saja dari
86
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 156. 87
Alexander Clark, op. Cit., h. 23.
94
empat calon lurah yang menggunakan kesenian wayang dalam kampanye, tiga
diantaranya terpilh sebagai lurah.
“Dukungan Abu Kasan Sapari masuk tiga, satu gagal, yaitu guru SLTP
itu. Politik tingkat desa itu oleh koran Suara Bengawan digambarkan
setengah jujur setengah tidak. Sebab, ada keterlibatan sihir. Sihir itu
bernama mesin politik, botoh, dukun dan kesenian.”88
Politisasi kesenian yang sengaja dilakukan oleh mesin politik, maupun
yang secara tidak sengaja dilakukan Abu Kasan Sapari tersebut dapat dikatakan
telah membelenggu kesenian wayang (seni) itu sendiri. Wayang (seni) yang
seyogyanya banyak memiliki nilai-nilai di dalamnya, dan berfungsi sebagai
kesenian yang multifungsi sekaligus banyak menyampaikan pesan-pesan kepada
masyarakat setelah dipolitisasi seolah membelenggu kesenian wayang itu sendiri.
Wayang menjadi kesenian yang hanya bertujuan dan berfungsi sebagai alat
politik, sebagai alat mempertahankan kekuasaan maupun melawan kekuasaan.
Secara tidak sengaja dan tidak disadari Abu Kasan Sapari telah melakukan
politisasi kesenian untuk memenangkan lurah-lurah yang meminta tolong
padanya. Ia baru menyadari bahwa Ia melakukan politisasi kesenian ketika
membaca surat kabar Bengawan yang menyebutkan bahwa politik tingkat desa itu
digambarkan setengah jujur setengah tidak. Karena ada campur tangan mesin
politik, botoh, dukun, dan kesenian.
“Sihir itu bernama Mesin Politik, botoh, dukun, dan kesenian. Sihir itu
meskipun tidak melanggar peraturan, tetapi mempengaruhi kemurnian
suara. orang terpengaruh oleh gaya, tidak oleh isi. Karena di sebut-sebut
kesenian, Abu mengerti bahwa yang dimaksud adalah wayangan.”89
Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari menyadari bahwa kesenian tidak boleh
dipolitisasi, kesenian itu keindahan yang otonom.
Kesadaran Abu Kasan Sapari akan kesenian yang harus bebas dari
belenggu sistem politik. Upaya pembebasan terhadap sistem politik kepada
kesenian tidak hanya dalam kesadaran semata, tapi juga dalam bentuk upaya yang
88
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 110. 89
Ibid, h. 110.
95
nyata, dengan mendirikan paguyuban dalang independen. Pendirian paguyuban
tersebut berangkat dari pengalaman Abu Kasan Sapari yang pernah melakukan
politisasi kesenian, dan membuatnya harus berurusan dengan mesin politik karena
dianggap sebagai penghalang mesin politik dalam mempertahankan hegemoninya
dalam masyarakat. Petikan yang menggambarkan pemikiran abu terhadap
kesenian yang harus otonom dan independen terlihat pada petikan wawancaranya
dengan teman wartawan.
“Nanti dulu. Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang sebagai seni
pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang
jangan mempergunakan seni pedalangan untuk keperluan politik, artinya
mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara
mutlak. Tetapi, dalam hal kedua, diam diam seorang dalang boleh
menggunakannya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol.
Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang
dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari
komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal
kedua itu.”90
pemikiran-pemikiran Abu Kasan Sapari terkait liberasi kesenian juga terlihat pada
tulisan wartawan pada halaman 170 novel ini.
“Akhir-akhir ini ada sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk
keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS berpendapat bahwa seni itu
seperti air. Artinya kalau ada yang benjol-bejol dalam masyarakat seni
akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni
menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat bahwa seni memberi air
mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan,
memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya
menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni.”91
Bisa terlihat perwujudan liberasi kesenian yang dilakukan oleh Abu Kasan
Sapari yakni dalam bentuk, tidak lagi melibatkan wayang dalam kegiatan politik,
seperti contoh kampanye. Selain tidak lagi melibatkan wayang dalam kegiatan
politik, Abu Kasan juga mendirikan Paguyuban Dalang Independen, paguyuban
tersebut menginginkan kesenian wayang yang bebas dari penindasan politik
berupa intervensi kepada para dalang, maupun politisasi kesenian wayang itu
90
Ibid, h. 154. 91
Ibid, h. 170-171.
96
sendiri. Dapat disimpulkan, Abu Kasan Sapari yang sebelumnya pernah
memanfaatkan kesenian untuk calon-calon lurah, akhirnya menyadari
kesalahannya. Kesalahannya tersebut merupakan bentuk penindasan terhadap
seni. Kesadaran Abu Kasan Sapari yang tidak lagi melibatkan wayang dalam
kepentingan politik tersebut mencerminkan kesadaran liberasi/ etika liberasi.
Etika liberasi tersebut berupa liberasi terhadap kesenian.
Perwujudan masalah lain dalam novel ini terkait etika liberasi, yakni
adanya masalah terkait pemerintahan yang otoriter membungkam oposisi,
monoloyalitas pegawai negeri, nepotisme, dan kronisme. Pada masalah
pemerintahan yang otoriter kita bisa melihat perwujudannya ketika abu kasan
sapari sebagai ketua paguyuban dalang independen diminta untuk diam sejenak
dan tidak bersuara (tidak berkata apa-apa yang bisa merugikan Mesin Politik)
ketika musim pemilu oleh mesin politik yang saat itu berkuasa di pemerintahan.
Abu yang menyadari hal tersebut sebagai bentuk pembelengguan terhadap dirinya
tidak mengindahkan peringatan dari mesin politik tersebut. Hal tersebut menjadi
salah satu faktor ditahannya Abu Kasan Sapari oleh polisi. Penahanan tersebut
direkayasa sedemikian rupa dengan harapan Abu Kasan Sapari kapok, diam, dan
tidak lagi melawan penguasa (dalam hal ini Mesin Politik). Dapat terlihat
rekayasa penahanan abu yang mencerminkan otoriternya penguasa, dengan
menyematkan tuduhan anti pancasila, subversi, dan makar.
“Ia melihat dokumen, “Lho, kok anti-Pancasila, subversi, makar?
Perintah penangkapan yang saya tandatangani hanya soal kriminal biasa,”
katanya. “kalau begitu ini tugas tentara, bukan polisi.”92
“Seorang polisi menyerahkan secarik kertas kepada Kepala Polisi. “Ada
memo dari randu”
“Isinya?”
“Supaya menyukseskan pemeriksaan terhadap AKS.”
“Sudah diperiksa, to?”
“Sudah, tapi tidak ditemukan indikasi apa-apa.”
“Kalau begitu memo ini mblegedhes!”
“Mbleghedes!”
92
Ibid, h. 166.
97
Kepala Polisi lalu membuat SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan).”93
Masalah lain yang menyangkut liberasi, yakni monoloyalitas pegawai
negeri. Terkait masalah monoloyalitas pegawai negeri, pada Bab VI novel ini
dengan subjudul Wahyu Pohonan penggambaran seorang pegawai negeri harus
loyal kepada pemerintahan. Ini semacam belenggu bagi para pegawai negeri.
Monoloyalitas pegawai negeri inilah kadang yang mengenyampingkan
kepentingan-kepentingan masyarakat di dalamnya. Monoloyalitas ini merupakan
bentuk mempertahankan kekuasaan penguasa kala itu. Sudah bukan barang tabu
ketika membahas monoloyalitas, bila seorang pegawai tidak loyal, tentunya
mereka akan dipersulit karirnya. Kita bisa melihat perwujudan belenggu tersebut
dalam diri camat baru kemuning. Diceritakan dalam novel ini bahwa camat baru
kemuning tersebut karir puncaknya tidak lebih dari camat, hal itu dikarenakan dia
tidak loyal kepada pemerintahan
“Setidaknya, ia bukan tipe “camat santai”. Kabarnya dia sudah dicap
bahwa kariernya seumur hidup hanya akan setingkat camat. Karena dinilai
tidak loyal istilahnya tidak monolyalitas dia tidak akan pernah menjadi
Sekda Kabupaten, meskupun sebenarnya waktunya sudah sampai.” 94
Ketidakloyalan camat Kemuning dapat kita katakan sebagai bentuk liberasi
terhadap apa yang membelenggu pegawai negeri, belenggu tersebut berupa
monoloyalitas. Bentuk-bentuk liberasi yang dilakukan camat baru Kemuning
terlihat dalam program-program yang dilaksanakannya. Program camat baru
Kemuning tersebut berlawanan dengan program dari penguasa/ Mesin Politik
Randu terhadap desa. Seperti program jatinisasi yang dilaksanakan di kemuning
berlawanan dengan program randunisasi oleh penguasa/ Mesin Poltik (Randu).
“Tapi jangan heran kalau ada oknum politik yang terlalu bersemangat
dan menginginkan „pohon randu‟, dan bukan pohon jati. Ini tidak
menyenangkan, tapi itulah realitas kita. Kalau saya ya dua-duanya... .”95
93
Ibid, h. 175. 94
Ibid, h. 83. 95
Ibid, h. 93.
98
Mesin Politik bertindak semena-mena dengan melakukan berbagai macam
upaya curang, dimulai dengan memajukan jarak pengumaman bakal calon lurah
dengan hari pemilihan dipercepat, hal ini memungkinkan hanya calon-calon dari
mesin politiklah yang lolos dikarenakan kesiapan mereka yang sudah disokong
oleh mesin politik. Camat baru diminta oleh mesin politik untuk mempercepat
pengumuman bakal calon lurah namun tidak dilaksanakan oleh camat baru
kemuning tersebut.
“... .ia memerintahkan Sekcam (Sekertaris Kecamatan) untuk membuat
konsep SK Camat yang berisi bahwa Pilkades diadakan dua minggu
setelah pengumuman.”96
Tokoh Abu Kasan Sapari juga dapat dikatakan menjadi pegawai negeri
yang tidak monoloyalitas. Perlawanan abu terhadap mesin politik pada pilkades di
kemuning saat itu membuatnya dicap sebagai pegawai negeri yang tidak loyal.
Hal itu pun secara sadar dirasakan oleh Abu Kasan Sapari. Mesin politik
menganggap Abu Kasan Sapari menjadi penyebab tidak terpenuhinya target dari
mesin politik. Permasalahan tersebut yang akhirnya membuat Abu /kasan Sapari
dimutasikan.
“... . Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha
memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di
Kemunging jauh sebelumnya. Pasalnya lurah-lurah yang dijagoi Randu
banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius
memperjuangkan Randu. Ada andi Abu dalam kegagalannya, dan itu
membuat Abu tidak enak dengannya pada hari-hari berikutnya.”97
“Surat itu berisi pemindahan Abu dari kecamatan itu. “Maafkan, semua
kesalahan saya, Pak.”/ “tidak ada kesalahan, tidak ada yang harus
dimaafkan. Kita semua menghadapi soal yang sama. Jangan bilang-
bilanng, kita sama-sama menghadapi keangkuhan kekuasaan.”98
Permasalahan terkait monoloyalitas pegawai negeri menjadi permasalahan
yang cukup menarik. Meskipun dalam novel ini tidak mendapat porsi peristiwa
yang lebih banyak. Dalam novel ini dapat terlihat perbedaan pegawai negri yang
loyal kepada penguasa (randu) dan pegawai yang tidak loyal pada penguasa
96
Ibid, h. 102. 97
Ibid, h. 99. 98
Ibid, h. 112.
99
(randu). Camat lama Kemuning akibat monolyalitasnya kepada randu, serta
prestasinya yang bisa menjaga kecamatan bebas dari hal-hal yang menggangu
kekuasaan (randu) camat lama Kemuning dipromosikan sebagai pembantu bupati.
Sedangkan camat baru yang tidak monolyalitas karirinya puncaknya tidak lebih
dari camat.
Bentuk-bentuk mutasi pegawai tanpa alasan yang jelas menjadi sebuah
bentuk hukuman bagi pegawai negeri yang tidak monolyalitas. Bisa terlihat dari
kasus Abu Kasan Sapari yang sebelumnya berkerja di bagian bangdes kecamatan
kemuning dimutasi ke kecmatan tegalpandan dan mendapat bagian statistisk.
Bupati karangmojo yang tidak bisa menyusekseskan pemilu dengan memenuhi
target kemenangan mesin politik pun akhirnya dimutasi. Jadi dapat dilihat
bagaimana permasalahan monolyalitas pegawai negeri ini cukup menarik karena
berlangsung tidak hanya dalam lingkup kecamatan saja, tapi juga terus ke atas
hingga tingkatan gubernur, dan bentuk-bentuk hukuman oleh penguasa terhadap
pegawai-pegawai yang tidak monolyalitas hampir sama yakni pemindahan tugas
kerja (mutasi).
Pada catatan harian tokoh Abu Kasan Sapari ada sebuah paragraf yang
juga menyinggung etika liberasi. Pada paragraf tersebut diceritakan masalah
terkait belenggu-belenggu yang datangnya dari kekuatan luar/ eksternal yang
berlangsung sampai pada era modern
“Kata penatar P-4, Indonesia dijajah 350 tahun. Kata dosen sejarah
saya, itu hanya mitos, itu bohong. Mungkin kurang, mungkin lebih. Aceh,
misalnya, baru awal abad-20 dijajah. Irian dijajah sampai 1963. Dan
Timtim? Sekarang kita masih dijajah, tidak penjajahan politik, tapi
ekonomi dan kebudayaan. Ya lumayan, daripada semua dijajah. Ya
politiknya, ya ekonominya, ya kebudayaannya.”99
Inilah masalah yang dikategorikan oleh Kuntowijoyo dalam maklumat sastra
profetik sebagai ketidakadilan/ liberasi yang berasal dari kekuatan eksternal.
Dimana dia menyebutkan
99
Ibid, h. 45.
100
“Ada liberasi dari kekuatan eksternal dan ada liberasi dari kekuatan
internal, yang kedua-duanya dapat menjadi tema sastra. Maklumat tidak
akan membicarakan liberasi dari kekuatan ekternal, yaitu (1) kolonialisme
yang sekarang hanya ada di Palestina, (2) agresi oleh negara adikuasa
kepada negala yang lemah, dan (3) kapitalisme yang menyerbu negara-
negara ketiga lewat berbagai rekayasa eknomis.”100
Dari paragraf-paragraf yang ada pada catatan harian tokoh Abu Kasan
Sapari tersebut, dapat terlihat masalah-masalah terkait kekuatan yang datang dari
luar memang masih terjadi meskipun tidak lagi di zaman kolonial. Bentuk-bentuk
ketidakadilan eksternal baik itu kapitalisme ataupun kolonialisme, terjadi secara
tidak kentara atau dapat dikatakan halus, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa
mereka terbelenggu oleh kekuatan eksternal baik itu kapitalisme maupun
kolonialisme. Jadi kolonialisme di era modern berupa penjajahan terhadap
ekonomi, kebudayaan, bahkan sampai kepada penjajahan politik. Semangat
pembangunan, dan revolusi industri di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya
pabrik-pabrik tanpa disadari telah membuat Indonesia terjerat dalam belenggu
kapitalisme. Belenggu yang membuat Indonesia ikut merasakan malapateka
ekonomi dunia pada tahun 1930.
Etika liberasi dari sistem politik pada novel mantra penjinak ular ini bisa
terlihat dari cerminan Kepala Polisi Tegalpandaan. Kepala polisi tersebut diminta
proses penangkapan dan peminadaan Abu Kasan Sapari dilakukan lebih cepat
sesuai rencana.
“... . “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh
karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu
diproses sesuai rencana.”101
Tetapi perintah dari DPD Randu tersebut tidak serta merta dilakukan oleh kepala
polisi, meskipun ia tahu bahwa partai randu merupakan partai yang menguasai
pemerintahan. Setelah pemeriksaan dilakukan terhadap Abu Kasan Sapari. Tidak
ditemukan adanya tanda-tanda yang dituduhkan oleh oknum partai Randu
100
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik: Kaidah,Etika, dan Struktur, op. Cit., h. 22. 101
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 174.
101
tersebut. Akhirnya kepala polisi yang menyadari bahwa institusinya hanya
diperalat memutuskan menghentikan penyidikan terhadap Abu Kasan Sapari.
Pemutusan penyidikan terhadap Abu Kasan Sapari dapat disimpulkan
sebagai tindakan yang mencerminkan etika liberasi. Hal ini disebabkan kepala
polisi tersebut menyadari dirinya dan rekan-rekannya diperalat hanya untuk
mengghukum orang yang tidak bersalah, hanya untuk suatu kepentingan,
melanggar hukum yang harusnya mereka tegakkan. Kepolisian mengatakan
sebagai pegaman negara bahwa mereka bersikap netral, tidak berpihak kepada
siapapun meskipun itu kepada partai politik, yakni partai Randu. Pernyataan sikap
netral, serta penghentian penyidikan yang direkayasa terhadap Abu Kasan Sapari,
telah menandakan terlepasnya belenggu kepolisian dari sistem politik.
Etika liberasi dalam novel ini hadir dalam perlawanan terhadap belenggu
sistem politik secara garis besar. Wujudnya berupa politisasi kesenian,
monolyalitas pegawai negeri, dan belenggu terhadap penegak keadilan (dalam hal
ini polisi). Belenggu-belenggu tersebut dijalankan oleh penguasa kala itu Randu
dengan Mesin Politiknya. Perlawanan Abu Kasan Sapari, Camat Baru Kemuning,
serta Kepala Polisi Karangmojo
c. Transendensi
Berbicara mengenai etika transendensi, tidak bisa dilepaskan dari etika
profetik yang lainnya, yakni humanisasi dan liberasi. Kuntowijoyo
mengkonsepkan etika transendensi sebagai unsur yang mengikat etika humanisasi
dan juga etika liberasi. Dapat pula etika transendensi dikatakan sebagai
penyempurna etika humanisasi dan liberasi. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
oleh Wan Anwar dalam bukunya Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya.
“Kedua sikap dan tindakan itu kemudian disempurnakan oleh etika
transendensi, yaitu mengingatkan kembali keberadaan manusia di bumi
(antar manusia dan antar mahluk) dengan keberadaan dan kemahakuasaan
102
Tuhan. Di sinilah bersatupadunya kesadaran kemanusiaan dengan
kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap.”102
Dapat dikatakan transendensi yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dalam etika
profetiknya bukanlah ibadah ketuhanan semata. Akan tetapi etika transendensi
yang dimaksud selain ibadah ketuhanan, harus juga diimbangi dengan tindakan-
tindakan sosial kepada sesama manusia, dan mahluk hidup lainnya. Dalam kata-
kata Kuntowijoyo di maklumat sastra profetiknya,
“Bagi-Nya kesadaran ketuhanan belum berarti kaffah kalau tidak
disertai kesadaran kemanusiaan. Sastra profetik menghendaki keduanya,
kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan.”103
Selain itu transendensi yang dikonsepkan oleh Kuntowijoyo yang tidak
menafikan urusan sosial, ternyata juga diamini oleh Hasta Indriyana penyair
sekaligus pengamat sastra. Dalam artikelnya berjudul Transendentalitas Karya-
karya Kuntowijoyo yang dimuat di harian Republika mengatakan,
“Kuntowijoyo menekankan spritual tanpa menafikkan urusan dunia.
Urusan manusia dengan Tuhan adalah urusan pribadi atas ketentraman
dunia akhirat, sedangkan urusan dunia adalah hubungan dengan manusia
lain untuk membangun bumi manusia menjadi lebih baik.”104
Pada novel ini maslah-masalah terkait etika transendensi dimunculkan
oleh Kuntowijoyo tidak terlalu intens layaknya karyanya yang lain, seperti
Khotbah di Atas Bukit (novel), atau Sepotong Kayu untuk Tuhan (Cerpen). Etika
transendensi yang dimunculkan Kuntowijoyo lahir lewat wajah lain yakni lewat
seni (dalam hal ini wayang). Seperti diketahui tokoh utama novel ini yakni Abu
Kasan Sapari merupakan seorang dalang. Bagaimana seorang Abu Kasan Sapari
yang menjadi dalang merasa memiliki tugas untuk memperbaiki lingkungan sosial
masyarakat sekelilingnya.
Pada cerita ini etika transendensi kental terlihat pada Bab ke 3. Pada bab
dengan subjudul “Abu Kasan Sapari tentang Alam”, menceritakan bagaimana
102
Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 159. 103
Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, op. Cit., h. 14. 104
Hasta Indriyana, “Transendentalitas Karya-karya Kuntowijoyo”, Republika, No. 66, 13
Maret 2005, h. 8.
103
Abu Kasan Sapari bercerita tentang alam. Abu Kasan Sapari menceritakan tentang
apa yang ada di alam seperti angin, batu, bukit, bahkan manusia. Pada Bab ini
diceritakan juga hubungan manusia dengan isi dari alam tersebut dan sangat
bergantung pada isi alam tersebut.
”Tuhan memanjakan alam. Surat-surat dalam Alquran kebanyakan
merujuk ke alam. Alam dan hasil karya-Nya. Ia berkata “kun fayakun”,
maka jadilah alam ini... . Kata dosen filsafat saya manusia mempunyai
peradaban justru karena berjuang menundukan alam. Saya pikir
“menundukan” itu langkah yang salah. Itu semacam kesombongan
manusia. Yang benar ialah manusia harus berdamai dengan alam. Sebelum
ada sekolahan manusia berguru dengan alam”105
“Tuhan memuliakan bukit. Ketika Tuhan akan menyebutkan bahwa
manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya didahuluinya ayat itu
dengan sumpah kepada buah tin, pohin zaitun, bukit tursina, dan daerah
yang penuh berkah. Nabi Musa ditunjukkan kekuasaan Tuhan dan
menerima “Ten Commandment” di atas bukit. “Khotbah di atas Bukit”
Nabi Isa juga dikenang umat manusia.”106
Dalam bab ini secara tidak langsung Kuntowijoyo menampilkan apa yang
dinamakannya sebagai saksi eksistensi Tuhan, di mana manusia melihat serta
menikmati alam beserta isinya yang merupakan tanda keberadaan Tuhan.
Kesadaran ketuhanan melalui alam semesta yang ditampilkan oleh tokoh
Abu Kasan Sapari, mirip dengan pendapat Abdul Majid yang dikutip dalam buku
Pendidikan Profetik karya Khoiron Rosyadi. Abdul Majid menyatakan,
“Pengenalan terhadap Allah bukanlah berusaha mengenal eksistensiNya
dan substansiNya dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang pelik
dan panjang sebagaimana yang dilakukan oleh ahli kalam, melainkan
dengan melihat faktor-faktor empiris sebagai cerminan dari sifat perbuatan
allah yang mengingatkan manusia kepada eksistensi dan substansi Allah,
mengenal Allah melalui ciptaanNya.”107
Secara jelas Abdul Majad mengatakan bahwa eksistensi keberadan Tuhan (Allah),
bisa dirasakan atau dikenali melalui ciptaan-ciptaanNya, yang dalam hal ini
berupa alam semesta beserta isinya.
105
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 33-34. 106
Ibid, h. 36. 107
Khiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 48.
104
Manusia sudah sewajarnya memiliki kesadaran akan ketuhanan, dari hal
yang paling dekat dengan kehidupannya, yakni alam beserta isinya. Secara nyata
dapat terlihat kesadaran transendensi tokoh Abu Kasan Sapari tulisan-tulisan
pendapatnya mengenai alam dalam catatan hariannya. Lewat catatan harian Abu
Kasan Sapari Kuntowijoyo menampilkan kesadaran transendensi yang berupa
kesadaran eksistensi Tuhan lewat ciptaannya yakni, alam beserta isinya.
Pada Bab ke-4 novel ini dengan subjudul Cinta Ular Cinta Lingkungan,
muatan transendensi muncul kuat dalam Bab ini. Etika transendensi yang muncul
ditampilkan berbeda dengan Bab sebelumnya. Kalau sebelumnya Kuntowijoyo
menampilkan kesadaran transendensi sebagai saksi dari eksistensi Tuhan, pada
Bab ini Kuntowijoyo menampilkannya dengan tindakan langsung dari tokohnya.
Pada Bab ke-4 ini ditampilkan masalah tentang ular dan warga. Warga desa di
kecamatan kemuning banyak yang memburu ular untuk dijadikan keuntungan
untuk diri sendiri. Pemburuan ular untuk dijadikan obat dan abon secara membabi
buta tersebut terancam akan membunuh populasi ular di kecamatan tersebut.
Abu Kasan Sapari yang menguasai mantra penjinak ular mengetahui hal
ini merasa kasihan pada ular-ular tersebut. dia beranggapan bahwa ular tidak
seharusnya diperlakukan seperti itu. Sesama mahluk yang hidup di bumi para
warga seharusnya bisa hidup tanpa mengganggu ular-ular tersebut. Akhirnya, Abu
Kasan Sapari yang menyadari bahwa pemburuan ular akan menyebabkan
kerusakan ingkungan akhirnya mengajak warga untuk tidak lagi memburu ular-
ular tersebut. Saat rapat di kecamatan dengan para kepala desa. Abu Kasan Sapari
mengimbau para warga untuk berdamai dengan ular, jangan lagi memburu ular
karena akan merusak lingkungan. Imbauan tersebut juga dibarengi dengan
pertunjukan wayangan yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari dengan lakon
penjamuan ular.
“Prinsipnya ialah membalas dendam itu bukan budaya Indonesia.
Budaya kita menekankan harmoni, rukun, ada pepatah rukun agawe
105
santosa, sama dengan bersatu kita teguh”. Lakonnya begini pak . Prabu
janamejaya tidak mengadaka “sesaji ular” tapi penjamuan ular”108
.
Dapat disimpulkan dalam dalam BAB ini Kuntowijoyo menampilkan kesadaran
transednesi dengan wajah yang lebih nyata. Tidak hanya sebagai saksi eksistensi
Tuhan, akan tetapi juga menjaga apa yang diberikan Tuhan, yakni lingkungan. Di
mana manusia harus hidup rukun dengan mahluk yang lainnya di alam ini.
Apa yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari dengan menghormati mahluk
lain yang berada di alam (ular), selaras dengan pendapat pengarang novel ini
yakni Kuntowijoyo yang diungkapkannya lewat tulisan berjudul “Mitologi dan
Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”. Dalam tulisan yang dimuat di Harian Kompas
tersebut Kuntowijoyo mengatakan,
“Alam dihormati lagi. Ia sekaligus adalah subyek dan obyek. Orang
Jawa sekarang dan masa depan mulai berpikir ulang tentang hubungannya
dengan alam: alam adalah subyek-obyek.”109
Dengan kata lain Kuntowijoyo dalam pendapatnya di tulisan tersebut, menyatakan
bahwa alam seharusnya di hormati oleh manusia. Ular yang merupakan bagian
kecil dari alam semesta harusnya dapat dijaga oleh manusia, bukan malah
membunuh secara sembarangan. Bila merujuk kepada pendapat Kuntowijoyo di
atas, maka tindakan Abu Kasan Sapari yang menjaga ular dan melarang warga
membunuhnya secara sembarangan merupakan bentuk dari menghormati alam.
Abu Kasan Sapari yang mencoba mengarahkan warga dengan wayangnya
agar bisa berdamai dengan ular, tidak lagi memburunya merupakan cerminan
kesadaran transedensi kepada sesama mahluk yang memiliki muatan sosial di
dalamnya. Kesadaran transendensi juga tercermin dari perilaku warga yang
akhirnya bisa berdamai dengan ular yang merupakan tindakan nyata dalam
menjaga lingkungan yang merupakan ciptaan Tuhan atau dalam hal ini wujud
eksistensi Tuhan.
108
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 64. 109
Kuntowijoyo, “Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”, Kompas, 30 Desember
2000, h. 4.
106
Kesenian wayang dalam novel ini memiliki porsi yang cukup banyak
untuk menampilkan kesadaran transedensi. Hampir sama seperti masalah
sebelumnya terkait hubungan manusia dengan lingkungan. Pada BAB ke-6
dengan subjudul Wahyu Pohonan kembali Abu Kasan Sapari mengajak para
warga menjaga alam lingkungan yang mereka tempati untuk masa yang akan
datang. Diceritakan di kecamatan Kemuning sedang diadakan program jatinisasi.
Program tersebut pada awalnya mengalami kendala, karena banyak warga yang
tidak mau menanam benih Jati, dikarenakan pohon tersebut tidak produktif, hanya
batangnya saja yang bisa digunakan. Padahal program tersebut merupakan
program jangka panjang kecamatan Kemuning untuk menjaga lingkungan di masa
yang akan datang. Alhasil setelah berdiskusi dengan camat baru Kemuning,
pertunjukkan wayang berlangsung dengan lakon wahyu pohonan. Dalam
pertujukan wayang tersebut terdapat muatan transendensi yang cukup kuat terlihat
dalam kutipan ringkasan lakon, sebagai berikut:
“Abiyasa memberi nasihat tentang pageblug dan tentang musuh yang
menyerang Astina. Mengenai yang pertama, ia menganjurkan agar setiap
rumah dipagari dengan pohon jati dan agar setiap orang selalu eling (ingat)
kepada Tuhan. Eling itu seperti pohon yang kokoh, yang akarnya jauh
menghujam ke bumi dan cabangnya menembus ke langit. Eling adalah
pemahaman yang benar tentang keesaan Tuhan, perkataan yang lurus, dan
perbuatan yang baik.”110
Dari kutipan di atas terlihat jelas simbol simbol pohon yang digunakan
Kuntowijoyo dalam diksinya menampilkan makna yang sejalan dengan etika
transedensi. Disebutkan bahwa pohon yang menjulang ke langit dan akarnya
menghujam ke bumi, memperlihatkan bagaimana manusia selain harus mengingat
urusan ketuhanan (dalam hal ini manusia dengan Tuhan), manusia juga harus
memberi perhatian terhadap urusan sosialnya (dalam hal ini dengan sesama
manusia).
Pagelaran wayang yang dilakukan Abu Kasan Sapari memliki pesan
bagaimana urusan sosial harus sama porsinya dengan urusan ketuhanan. Karena
dalam kehidupan manusia dituntut untuk menjaga sesamanya dan mahluk lain
110
Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular, op. Cit., h. 91
107
yang ada di muka bumi, sebagai bentuk dari kesadaran ketuhanan dan kesadaran
akan eksistensi dan apa yang diberikan Tuhan.
Kuntowijoyo dalam novel ini menapilkan kesenian wayang dengan
membawa wujud dari etika transedensi. Tokoh Abu Kasan Sapari yang di dalam
novel ini dengan wayangnya berusaha mengubah perilaku masyarakat
sekelilingnya menjadi lebih baik. Abu Kasan Sapari dengan kemampuannya
mendalang menempatkan kesenian sebagai wahana untuk mengenali dan
memahami kehidupan masyarakat di sekelilingnya, dan juga digunakan oleh Abu
/kasan Sapari untuk mengenali sang Pencipta.
Wahana Abu untuk mengenali Tuhan dilakukan melalui perenungan Abu
Kasan Sapari terhadap alam. Alam yang merupakan bukti eksistensi Tuhan
membawa Abu Kasan Sapari menyadari nilai-nilai keesaan sang Pencipta. Hasil
perenungan tersebut, tidak hanya dinikmati seorang diri oleh Abu Kasan Sapari.
Akan tetapi, Abu Kasan Sapari mengajak warga sekelilingnya untuk ikut juga
merenung tentang alam dan menjaga alam sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan,
dan juga ibadah sosial kepada sesama mahluk ciptaan Tuhan. Secara tidak
langsung renungan dan semangat menjaga alam (lingkungan), hal tersebut telah
menampilkan etika transedensi yang unik dan khas dalam novel ini.
Wujud-wujud etika transedensi dalam novel ini terkadung dalam kesenian
wayang yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Lewat kesenian wayang tersebut
selain sebagai media mengenali sang Pencipta, Abu Kasan Sapari juga mencoba
memperbaiki keadaan masyarakat di sekitarnya. Dari mulai politisasi kesenian
(dalam hal ini wayang), melepaskan pertunjukan wayang dari berbaagai mitos,
sampai mengajak warga untuk menjaga alam/lingkungan. Akhir cerita novel ini di
mana Abu Kasan Sapari memilih untuk meneruskan menjadi dalang
menggantikan Ki Lebdocarito seolah ingin menegaskan. Bahwa Abu Kasan
Sapari telah melakukam etika transedensi dengan memilih menjadi dalang bukan
menjadi PNS. Karena lewat dalang selain Abu Kasan Sapari dapat mempelajari
nilai-nilai ketuhanan di dalamnya, Abu Kasan Sapari juga ingin terjun dalam
108
urusan sosial dengan sesama manusia (dalam hal ini masyarakat), yakni mengajak
masyarakat lewat keseniannya ke arah yang lebih baik.
“Oleh karena itu, berbeda dengan kesenian yang bersifat memaksa,
kesenian dalam keyakinan Kuntowijoyo atau Abu Kasan Sapari adalah
wahana atau aktivitas simbolik untuk membujuk (bukan menggurui)
masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam prinsip kesenian seperti itulah
proyek humanisasi dan liberasi berbasis transendensi dilangsungkan.”111
YB. Mangunwijaya pernah menuliskan pada Sastra dan Religiositas terkait
tentang transendensi dalam karya-karya Kuntowijoyo. YB. Mangunwijaya
mengatakan,
“Maka kita sampai pada suatu pasal religiositas manusia yang utuh,
yakni kesadaran untuk beramal, menolong orang lain. Teristimewa
menolong mereka yang paling menderita atau tersungkur di lembah nista;
yang dibuat sendiri oleh karena kesalahan sendiri, atau karena kesalahan
pihak luar. Religiositas yang praktis. Yang tidak hanya abstrak-abstrakan
belaka.”112
Hal ini sejalan dengan transendensi yang muncul dalam novel ini. Keseninan
wayang yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari untuk seperti sebuah bentuk
religios yang utuh, yakni kesadaran untuk membantu sesama untuk membujuk
masyarakat ke arah yang lebih baik. Jadi dapat disimpulkan etika transendensi
terkandung dalam seni wayang yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Di mana,
kesenian tersebut selain sebagai media Abu Kasan Sapari memahami nilai-nilai
ketuhanan, juga sebagai sarana ibadah sosial Abu Kasan Sapari terhadap sesama
manusia.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Menanamkan pembelajaran sastra di sekolah secara serius mau tidak mau
menjadi suatu keharusan bagi para pengajar. Mengingat tidak dapat dipungkiri
111
Wan Anwar, op. Cit., 2007, h. 161-162. 112
YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 55.
109
bahwa keterampilan bersastra dapat memberikan dampak positif bagi
perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengajaran sastra di sekolah
memiliki peluang besar untuk menigkatkan apresiasi dan keakraban siswa pada
sastra. Peluang tersebut sejauh ini belum termanfaatkan di antaranya karena tidak
terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dengan kemampuan apresiasi
siswa.113
Jadi dapat dikatakan harusnya pembelajaran sastra tidak hanya
menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca dan
menikmati karya sastra secara langsung, kemudian memberi apresiasi terhadap
karya sastra yang dibaca. Dari aktivitas membaca, siswa mampu menafsirkan dan
memperoleh pengetahuan baru (kognitif). Kemudian dalam segi apresiasi, respon
dari siswa dapat diketahui adakah ketertarikan atau tidak setelah membaca karya
sastra tersebut (afektif). Kemudian adanya penyerapan pesan setelah membaca
karya sastra sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa
(psikomotor).
Melalui kajian ilmiah yang dilakukan terhadap novel Mantra Pejinak Ular
karya Kuntowijoyo, implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah adalah agar
para siswa dapat memahami serta menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
dalam novel tersebut. Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa
saja yang ada di dalam novel Mantra Penjinak Ular. Hal ini sesuai dengan
indikator pencapaian kompetensi, yakni siswa mampu menemukan unsur intrinsik
novel berupa tema, latar, tokoh dan perwatakannya. Setelah siswa membaca novel
Mantra Penjinak Ular dan menemukan unsur-unsur intrinsiknya, siswa dapat
mengaitkannya dengan kejadian di luar karya sastra atau yang biasa disebut
sebagai unsur ekstrinsik karya sastra. Disesuaikan dengan indikator maka siswa
mampu menemukan dan memahami pemikiran pengarang dalam mebuat novel
tersebut. Ide-ide apa saja yang disampaikan pengarang yang terlihat dalam novel
tersebut. Dengan begitu siswa tidak hanya sekedar tahu hal-hal yang ada di dalam
karya sastra. Tapi juga mengetahu bagaiman proses kreatif pengarang dengan ide-
ide serta pemikirannya yang dituangkannya dalam karya sastra yang dibuatnya.
113
Agus R. Sardjono, Sastra dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
2001), h. 209.
110
Siswa mendapat pengetahuan lebih tentang biografi pengarang bagaimana
kehidupannya, bagaimana aktivitasnya, juga bagaimana pemikiran-pemikirannya.
Jadi dengan memahami unsur-unsur di luar karya sastra tersebut akan menambah
kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra.
Dapat dikatakan, jika pembelajaran sastra dikaitkan dengan kajian yang
telah dilakukan terhadap novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo, maka
siswa dapat mengetahui bagaimana unsur-unsur intrinsik dalam novel tersebut.
Selain itu siswa dapat mengetahui pemikiran khas pengarang Kuntowijoyo yang
dituangkan dalam novel tersebut, dalam hal ini etika profetik. Bagaimana
pemikiran-pemikiran pengarang yang merupakan unsur di luar novel dapat
muncul dengan sendirinya melalui unsur-unsur yang dalam novel tersebut.
Pendidik dapat mengajarkan kepada siswa tentang etika profetik yang berisi
humanisas, liberasi, dan transendensi. Etika tersebut merupakan etika yang
berlandaskan pada kitab suci, dan juga merupakan buah dari pemikiran
Kuntowijoyo sebagai pengarang novel Mantra Penjinak Ular. Tidak hanya pihak
guru yang aktif mengajar tetapi siswa diharapkan setelah membaca dan
memahami novel tersebut diharapkan dapat lebih mendalam lagi dalam
memahami karya sastra tidak hanya terpaku pada unsur intrinsik saja, melainkan
unsur di luar karya sastra seperti pemikiran pengarang juga berpengaruh penting
terhadap lahirnya sebuah karya sastra. Pemikiran etika profetik yang terkandung
dalam novel Mantra Penjinak Ular juga diharapkan dapat diimplikasikan oleh
siswa dalam kehidupan sehari-hari.
111
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap Novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini.
1. Novel Mantra Pejinak Ular merupakan novel yang menceritakan tentang
perjalanan hidup seorang pegawai pemerintahan yang juga sebagai
seorang dalang. Novel ini menceritakan perjalanan hidup tokoh utamanya
yakni, Abu Kasan Sapari. Kuntowijoyo menghadirkan novel ini dengan
mengambil latar kehidupan masyarakat jawa sekitar tahun 90-an, atau
lebih tepatnya tahun 1997. Selain tokoh utama abu Kasan Sapari,
Kuntowijoyo juga menghadirkan tokoh-tokoh utama lain, yakni Sulastri,
dan Mesin Politik. Cerita dalam novel ini memilik alur progresif
kronologis, dimana terkadang sesekali cerita mengalami sorot
balik/Flashback. Dalam penyajian konflik Kuntowijoyo menghadirkan
konflik utama yakni Abu Kasan Sapari dengan Mesin Politik, dimana Abu
Kasan Sapari dengan seni pedalangan wayangnya mencoba melawan
hegemoni Mesin Politik. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo
mengambil sudut pandang dalam novel ini sebagai orang ketiga maha
tahu, dan ada di satu BAB yakni BAB 13 sudut pandang pengarang
berubah menjadi sudut pandang orang ketiga/ diaan sebagai pengamat,
dengan kata lain pengarang menjadi salah satu tokoh dalam cerita. Gaya
bahasa yang digunakan dalam novel ini terbilang sederhana, dan banyak
terdapat falsafah, serta peribahasa-peribahasa Jawa. Layaknya bahasa yang
digunakan orang yang sedang bercerita atau mendongeng, hal ini sudah
menjadi ciri khas dari Kuntowijoyo.
112
2. Seperti pada karya sastra Kuntowijoyo lainnya, muatan etika profetik juga
muncul dalam novel ini. Etika profetik yakni, humanisasi, liberasi, dan
transendensi ditampilkan dengan berbagai masalahnya dalam novel ini.
Etika humanisasi dalam novel ini hadir lewat tokoh-tokohnya diantaranya
Abu Kasan Sapari dan Camat Baru Kemuning, yang menghadapi
dehumanisasi modern berupa objektivasi manusia oleh Mesin Politik.
Selain dehumanisasi modern, dalam novel ini ditampilkan pula
dehumanisasi tradisional berupa mitos, jimat, dukun, dan botoh. Hal-hal
tersebut dihadapi oleh Abu Kasan Sapari dan Abu Kasan Sapari pun
melepaskan dirinya dari jerat dehumanisasi tradisional tersebut, dengan
meninggalkan mantra penjinak ular yang telah dikuasainya. Pada novel ini
juga disajikan berbagai bentuk masalah terkait penindasan yang
berhubungan dengan etika liberasi. Penindasan terhadap berkesenian
merupakan masalah terkait liberasi yang dihadirkan. Mesin politik
berusaha menggunakan kesenian untuk kepentingan politik, begitu pun
dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Akan tetapi Abu Kasan Sapari akhirnya
tidak lagi menggunakan kesenian untuk kepentingan kampanye, telah
memperlihatkan etika liberasi yang dilakukan. Selanjutnya penindasan
terhadap sistem birokrasi oleh penguasa, yakni monoloyalitas pegawai
negeri. Dalam hal ini Kuntowijoyo menghadirkan etika liberasi akan
masalah ini lewat tokoh Camat Batu Kemuning, dan Abu Kasan Sapari.
Perlawanan mereka harus dibayar dengan pemutasian mereka. Masalah
lain terkait liberasi, yakni pembebasan dari sistem politik yang mencoba
memanfaatkan semua lini untuk menguasainya. Perlawanan atau
pembebasan terhadap sistem politik dihadirkan Kuntowijoyo lewat tokoh
Kepala Polisi Karangmojo, yang menghentikan rekayasa penyidikan Abu
Kasan Sapari. Terakhir yang disajikan dalam novel ini yakni etika
transednensi, yakni etika yang menyatukan etika liberasi dan etika
humanisasi. Etika transendensi ditampilkan lewat seni dan juga alam/
lingkungan,. Abu dan seni pedalangan wayangnya telah mengajak atau
membujuk masyarakat ke arah yang lebih baik. Lewat seni pedalangan ini
113
Abu Kasan Sapari selain membujuk masyrakat di sekelilingnya agar
berbuat lebih baik, menjaga alam, dan hidup rukun terhadap sesama
mahluk, lewat seni ini juga Abu Kasan Sapari dapat melihat keesaan
Tuhan.
3. Implikasi kajian ini terhadap pembelajaran sastra di sekolah yakni siswa
dapat memahami unsur ekstrinsik karya sastra berupa pemikiran
pengarang, ide-ide pengarang, serta biografi pengarang yang merupakan
unsur yang tidak kalah penting seperti unsur-unsur intrinsik karya sastra.
Bagaimana etika profetik dapat dipahami siswa, dimana itu merupakan
pemikiran atau gagasan pengarang yang di sampaikan dalam novel Mantra
Penjinak Ular ini. Siswa dapat bertambah wawasannya tidak hanya sebatas
karya sastra yang dibacanya saja, melainkan mengenai pengarang yang
membuat karya sastra tersebut. Etika profetik juga menanamkan siswa
untuk menyelaraskan antara urusan sosial dengan urusan ketuhanan.
B. Saran
Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, ada beberapa saran yang
diajukan oleh penulis sebagai berikut.
1. Penulis mengharapkan pendidik dalam hal ini guru dapat
memanfaatkan hasil penelitian ini. Bagaimana siswa diajarkan agar
juga memahami gagasan pemikiran pengarang dalam tiap karyanya.
Dalam hal ini pendidik dapat mengajarkan siswa bagaimana Etika
Profetik merupakan pemikiran Kuntowijoyo yang khas, yang dapat
terlihat di dalam karya-karyanya. Khususnya dalam hal ini Mantra
Pejinak Ular
2. Penulis mengharapkan agar penelitian mengenai etika profetik ini
dapat diambil pesannya oleh siswa. Melalui pembelajaran sastra
diharapkan peserta didik lebih kritis dan dapat mengembangkan
kreativitasnya dalam belajar sastra serta mengaplikasikan pesan etika
profetik yang terkandung dalam karya sastra di kehidupan sehari-hari.
114
3. Bagi pembaca umum diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan pembaca, dan menambah khazanah penelitian terhadap
karya sastra.
Daftar Pustaka.
“Cerber Baru: Mantra Penjinak Ular”. Kompas, 1 Mei 2000.
Abrams, H. M. The Mirror and The Lamp. New York: Oxford University Press.
1980.
Anonim. “Kuntowijoyo”. Artikel diakses tanggal 28 Desember 2014. Dari
http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/.
Anonim. “Kunto, Resi Kontemporer”. Harian Berita Nasional, 25 Januari 1991.
Anwar, Wan. Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT. Grasindo. 2007.
Arilaksa, Andri. “Aspek Sosial Budaya Jawa Novel Mantra Pejinak Ular Karya
Kuntowijoyo: Tinjauan Semiotik”. Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2008.
Budianta, Melani. dkk. Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera. cet. 2. 1989.
Budiman, Arief. “Sistem Sosial dan Sistem Budaya (Tanggapan untuk
Kuntowijoyo)”. Kompas, 13 Februari 1991.
Clark, Marshall Alexander. Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir
Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). 2008.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1978.
Dewanto, Nirwan. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang. 1996.
Indriyana, Hasta. “Transendentalitas Karya-karya Kuntowijoyo”. Republika, 13
Maret 2005.
Keraf, Goys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Cet-
12. 2001.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogyakarta. 1987.
_____. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur. Yogyakarta: Muti
Presindo. 2013.
_____. Mantra Penjinak Ular. Jakarta: PT Kompas Gramedia. 2013.
_____. “Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa”. Kompas, Sabtu, 30
Desember 2000.
_____. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan. 2001.
_____. “Selamat Tinggal Mitos”. Kompas, 24 Agustus 2000.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007
_____. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
Luxemburg, Jan Van. dkk. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. 1989.
Maarif, Syafii. “Meruntuhkan Mitologi ala Kuntowijoyo”. Suara Merdeka, 2
April 2006.
Mangunwijaya, YB. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan. 1982.
Marzuki, Arif Fauzi. “Membangun Semesta Budaya Profetik”. Kompas. 21
September 2003.
Mohamad, Goenawan. “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”. Horison, 1
Juli 1966.
Muhammad, Damhuri. Darah-danging Sastra Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
2010.
Musthafa, M. “Demitologisasi Melalui Seni”. Kompas, 12 November 2001.
Mutmainah, Hassan. “Kajian Strutualisme Genetik Novel Mantra Pejinak Ular
Karya Kuntowijoyo”. Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sriwijaya Indralaya. 2014.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2013.
Nurohmat, Binhad. “Realisme Udik Kuntowijoyo (1943-2005)”. Kompas, 20
Maret 2005.
Pangabean, Rizal. “Kritik Sosial Kuntowijoyo”. Tempo, Februari 2005.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988.
Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Sayuti, Suminto A. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
2000.
Sardjono, Agus R. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya. 2001.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.
Situmorang, Sitor. “Himbauan Seni Transendental Kuntowijoyo”. Berita Buana,
21 Desember 1982.
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.
Wellek Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 1989..
LAMPIRAN 1
SILABUS
Sekolah : SMA/MA....
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas : XI
Semester : 2
Standar Kompetensi : Membaca
Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca novel
Kompetensi
Dasar
Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator
Pencapaian
Kompetensi
Penilaian Alokasi
Waktu
Sumber
/Bahan/
Alat
Menganalisis
unsur-unsur
intrinsik dan
ekstrinsik novel
Novel
unsur-unsur intrinsik
(tema, tokoh, perwatakan,
latar, sudut pandang, alur,
amanat, dan gaya bahasa)
unsur ekstrinsik (agama,
sejarah, sosial, budaya)
Novel
Mengidentifikasi unsur
intrinsik cerpen yang
telah dibaca
Mengaitkan novel
dengan kejadian di luar
karya (unsur ekstrinsik)
Menganalisis
unsur-unsur
ekstrinsik dan
intrinsik
Jenis Tagihan:
Tugas individu
Tugas kelompok
Ulangan
Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat
4 Buku novel
Internet
LAMPIRAN 2
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
SEKOLAH : SMA N 9 Bekasi
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : XI
SEMESTER : 2
Alokasi Waktu : 4 x 40 menit
A. STANDAR KOMPETENSI
Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca novel
B. KOMPETENSI DASAR
Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
1 Mampu menemukan unsur intrinsik yang
berupa tema dan amanat, latar, tokoh dan
perwatakan, alur, gaya bahasa, dan sudut
pandang .
Bersahabat/
Komunikatif
Kreatif
2 Mampu mengaitkan novel dengan
kejadian di luar karya (pemikiran
pengarang, sejarah, sosial, dan budaya)
D. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat:
1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh
dan perwatakan.
2. Mampu mengaitkan novel dengan kejadian di luar karya ( pemikiran
pengarang, sejarah, sosial, dan budaya)
E. METODE PEMBELAJARAN
Pemodelan
Inkuiri
Tanya jawab
Penugasan
F. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Menjelaskan
pengertian unsur
intrinsik dan
ekstrinsik
Membaca novel
Menemukan unsur
intrinsik yang
berupa tema, latar,
tokoh dan
perwatakan
Mengaitkan novel
dengan kejadian di
luar karya
(pemikiran
pengarang,
sejarah, sosial, dan
budaya)
Siswa dapat
mendeskripsikan
dan menemukan
unsur intrinsik
(tema, latar, tokoh
dan perwatakan)
dan mengaitkannya
dengan kejadian di
luar novel
G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBALAJARAN
Pertemuan Pertama
No Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
1 Kegiatan Awal:
Guru memberi salam
Guru menyapa dan menanyakan kabar
siswa
Guru mengabsen siswa
Guru menjelaskan tujuan dan manfaat
pembelajaran hari ini
Guru memotivasi siswa sebelum
memulai pembelajaran
Guru membuka schemata siswa
mengenai materi yang akan dipelajari
Religius,
bersahabat/
komunikatif
2 Kegiatan Inti:
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi:
Guru bertanya jawab dengan
siswa tentang unsur intrinsik
Mandiri, kreatif,
gemar membaca,
percaya diri
Siswa menyebutkan unsur
intrinsik novel (tema, latar,
tokoh dan perwatakan)
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi:
Siswa mengamati kutipan novel yang
disediakan oleh guru
Siswa menemukan unsur intrinsik cerita
berupa Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
Menjelaskan tema dan amanat, latar,
tokoh dan perwatakan, alur, gaya
bahasa, dan sudut pandang
Menyimpulkan tentang materi yang
telah disampaikan
3 Kegiatan Akhir:
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran
hari ini
Penugasan
Bersahabat/
Komunikatif
Pertemuan Kedua
No Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
1 Kegiatan Awal:
Guru memberi salam
Guru menyapa dan menanyakan kabar
siswa
Guru mengabsen siswa
Guru menjelaskan tujuan dan manfaat
pembelajaran hari ini
Guru memotivasi siswa sebelum
memulai pembelajaran
Guru membuka schemata siswa
mengenai materi yang akan dipelajari
Religius,
bersahabat/
komunikatif
2 Kegiatan Inti:
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi:
Guru bertanya jawab dengan siswa
tentang materi unsur ekstrinsik novel
Elaborasi
Mandiri, kreatif,
gemar membaca,
percaya diri
Dalam kegiatan elaborasi:
Siswa mengamati kutipan novel yang
disediakan oleh guru
Siswa mendiskusikan dan menganalisis
unsur ekstrinsik (pemikiran pengarang
(biografi), sejarah, sosial, dan budaya)
novel disertai bukti yang mendukung
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
Menjelaskan unsur ekstrinsik
Menyimpulkan tentang materi yang
telah disampaikan
3 Kegiatan Akhir:
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran
hari ini
Penugasan
Bersahabat/
Komunikatif
H. SUMBER BELAJAR/ ALAT/ BAHAN:
Buku paket Bahasa Indonesia untuk kelas X semester 1
Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo
Biografi Kuntowijoyo
Cara menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
I. PENILAIAN
1. Teknik
Tes (PG, isian, dan uraian)
Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik
2. Bentuk Instrumen Soal
a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?
b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel Mntra
Pejinak Ular?
c. Sebut dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam novel Mantra
Pejinak Ular?
J. FORMAT PENILAIAN
UNSUR PENILAIAN
No Unsur Intrinsik
SKOR
Unsur Ekstrinsik
SKOR
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 Menganalisis
dengan cermat dan
tepat
Menganalisis dengan
cermat dan tepat
2 Menemukan unsur-
unsur dengan bukti
yang tepat
Menemukan unsur-
unsur dengan bukti
yang tepat
3 Mendeskripsikan
hasil analisis
dengan tepat
Mendeskripsikan hasil
analisis dengan tepat
4 Amanat yang bisa
diambil dari unsur
intrinsik
Amanat yang bisa
diambil dari unsur
ekstrinsik
Perolehan Nilai = Total
skor x 5
Perolehan Nilai =
Total skor x 5
Mengetahui : Jakarta, .............
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra
Indonesia
( ) Sigit Purnomo
NIM: 1110013000101
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Sigit Purnomo, biasa dipanggil Sigit yang lahir di Jakarta, 2 Juli
1992. Menuntaskan pendidikan dasar di SD Negeri Mekarsari 1, Tambun
Selatan. Setelahnya melanjutkan jenjang ke SMP Negeri 2 Tambun Selatan,
dan SMA Negeri 9 Bekasi. Pada tahun 2010, penulis meneruskan
pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis
tinggal di daerah Bekasi bersama ayah, ibu, dan adiknya. Ayahnya bekerja sebagai pedagang
dan membuka warung sembako dan sayur di rumah, sedangkan Ibunya tidak bekerja. Adik
dari penulis sendiri kini melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengan penulis.
Sebagai mahasiswa, penulis banyak memperoleh pengalaman yang didapat selama
masa kuliah. Penulis di kampus sendiri menjadi pegiat komunitas sastra Majelis Kantiniyah.
Pernah mengajar di MTS Negeri 13 Jakarta. Kemudian, menjadi tenaga freelance di bagian
Litbang Harian Kompas. Selain menjadi tenaga freelance, penulis yang mempunyai hobi
membaca karya fiksi ini juga sedang menekuni hobi aquascape.
Bagi penulis, dunia pendidikan amatlah sangat penting bagi sebuah bangsa. Tidak
akan maju suatu bangsa jikalau sistem pendidikan di suatu bangsa belum berjalan dengan
baik. Baik dari tenaga pendidik, sistem pendidikan, maupun sampai ke sarana dan prasaran
pendidikan. Oleh karena itu penulis juga berkeinginan menjadi salah satu tenaga pendidik
yang profesioanl dan inovatif dalam mengajar ataupun turun berkontribusi dalam memajukan
dunia pendidikan ke arah yang lebih baik. Bagi penulis mencerdaskan anak bangsa memang
merupakan tugas dari seorang tenaga pendidik, akan tetapi tugas itu pun berlaku untuk semua
orang yang peduli akan kemajuan bangsa ini. Bangsa yang maju ditentukan dari bagiamana
genereasi penerusya dididik.