Putri Ular Putih

194

description

putri ular putih

Transcript of Putri Ular Putih

Page 1: Putri Ular Putih
Page 2: Putri Ular Putih

PUTRIULARPUTIH

Dituturkan kembali oleh Zhang Hen-shui Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Myra Ellis

Illustrasi oleh Kwan Shan Mei

Penerjemah: Resyanti Bayusono dan Tati Bambang Rancangan Kulit Muka: Kwan Shan Mei

Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti Kelapa Gading Boulevard TN-2 No. 14-15

Jakarta 14240 Anggota IKAPI

Cetakan Pertama, 1991

Versi PDF: http://ebooklink.co.ccScan: k80

Convert & Edit: clickers

BELILAH BUKU ASLINYA

Page 3: Putri Ular Putih

PPEENNGGAANNTTAARR PPEENNEERRBBIITT

ahwa dua niat baik tidak selalu bisa sejalan, bahkan bisa menimbulkan konflik, terlihat jelas

di dalam kisah ini. Bai Su-zhen, peri ular yang menikah dengan manusia biasa, ingin selalu membahagiakan suaminya. Ia rela melakukan apa saja, termasuk mempertaruhkan nyawa, demi sang suami, Xu Xian. Di pihak lain, pendeta Fa Hai yang merasa mengemban tugas melindungi manusia dari pengaruh buruk setan, berusaha memisahkan Xu Xian dari istrinya yang dianggapnya sebagai ular iblis. Pertarungan dua kemauan baik ini tersulut karena adanya prasangka dan sikap menutup mata salah satu pihak.

Jalinan kisah yang indah, juga gaya yang halus dan mengharukan dalam menyampaikan ajaran kearifan, menjadikan buku ini sebuah karya yang asyik dibaca.

B

Page 4: Putri Ular Putih

KKAATTAA PPEENNGGAANNTTAARR DDAARRII PPEENNEERRJJEEMMAAHHVVEERRSSII BBAAHHAASSAA IINNGGGGRRIISS

utri Ular Putih adalah sebuah kisah legenda Cina kuno yang telah beredar di seluruh Cina selama

ribuan tahun. Kisah ini diceritakan secara turun-temurun oleh para pendongeng yang mencari nafkah dengan mempesona para pendengarnya. Melalui mereka, kisah ini menjelma ke dalam berbagai versi yang berbeda. Buku berbahasa Cina yang diterjemahkan di sini adalah salah satu versi yang paling terkenal yang ditulis oleh Zhang Hen-shui.

Legenda ini menceritakan nasib Bai Su-zhen dan Xiao Qing, yang datang ke bumi untuk hidup di tengah-tengah manusia. Bai Su-zhen bertemu dengan Xu Xian yang kemudian menikahinya. Mereka hidup berbahagia, hingga akhirnya seorang pendeta bernama Fa Hai merusakkan kebahagiaan mereka, karena menyangka Bai Su-zhen adalah seorang peri jahat. Bai dan Xu mengalami serangkaian kejadian dan pengalaman supernatural. Akhirnya mereka berdua dipisahkan secara tragis.

Di dalam buku ini dapat diamati berbagai sifat manusia. Xiao Qing misalnya memiliki semangat tinggi, pendendam, dan sangat setia; sedangkan Bai Su-zhen bersifat tenang, penuh kasih sayang dan pengorbanan. Sementara itu Fa Hai adalah manusia yang menjengkelkan, keras kepala dan tak mau mendengarkan pendapat orang lain. Sifat-sifat ini bertentangan dengan sifat lemah yang dimiliki Xu Xian dan keluarganya. Mereka jujur, rendah hati,

P

Page 5: Putri Ular Putih

pekerja keras, dan selalu siap membantu orang yang ditimpa kesusahan.

Saya berharap kisah ini bukan sekedar terjemahan kata-kata karena sesungguhnya lewat bahasa yang lazim digunakan dewasa ini, saya berkeinginan menyampaikan semangat yang terkandung di dalamnya. Saya sangat berterima kasih atas segala bantuan dan dorongan yang diberikan kepada saya oleh Mrs. Teh Kheng Geok dari United World College of Southeast Asia. Penghargaan dan terima kasih juga saya tujukan kepada Dr. Koh Tai Ann yang telah mengedit dan memberi komentar atas terjemahan saya ini. Segala kesalahan dan penghapusan yang terdapat pada terjemahan ini, seluruhnya menjadi tanggung jawab saya.

Myra Ellis

Page 6: Putri Ular Putih

BBAABB 11

ada Perayaan Qing Ming, hujan sering turun di bagian selatan daerah terendah sungai Chang

Jiang. Cuaca pada saat itu sering tidak menentu. Kadang-kadang hari begitu cerah, tak segumpal awan mengotori langit. Tetapi kemudian awan hitam datang bergulung-gulung dari segala penjuru dan hujan pun segera turun dengan derasnya. Jadi, siapa pun yang bepergian, lama atau sebentar, tak akan lupa membawa payung.

Pada suatu pagi di hari Qing Ming, langit cerah tak berawan; bumi bermandikan cahaya keemasan. Matahari menyinari sebuah halaman dengan sederet bangunan di depannya. Seorang pria muda berpakaian biru dan bertopi hitam muncul. Ia membawa keranjang bambu di tangan kanannya, berisi kertas mantra berwarna kuning emas dan seikat petasan kecil, serta lilin-lilin yang biasa dibawa bila berkunjung ke makam keluarga. Di tangan kirinya ia memegang payung yang disandangnya di atas bahu.

Ketika berjalan melintasi halaman, ia berteriak lewat jendela, “Aku harus pergi sekarang. Kemarin aku telah mendapatkan izin cuti dari kepala bagian keuangan karena hari ini ada perayaan Qing Ming. Aku akan pergi ke Gunung Selatan untuk mengunjungi makam orang tuaku. Perjalananku jauh, jadi aku tidak akan kembali sampai malam. Bantulah aku menjaga toko.”

P

Page 7: Putri Ular Putih

Seseorang di dalam rumah menjawab, “Xu Xian, Saudaraku. Karena engkau telah mendapat izin cuti hari ini, pergilah dengan tenang. Kami akan membantumu menjaga toko. Engkau tidak perlu khawatir. Tetapi mengapa engkau membawa payung di hari yang cerah ini?”

Xu Xian menjawab, “Kendati matahari cerah bersinar; tanpa terduga cuaca mungkin saja berubah sore ini. Jadi lebih baik aku membawa payung. Bukankah cuaca akhir-akhir ini tak tertahankan panasnya dan matahari serasa membakar kulit! Karena itu payung ini kupakai untuk berlindung dari sengatannya!”

“Engkau benar. Pergilah dan jangan resah,” jawab orang yang berada di dalam rumah.

Xu Xian melanjutkan perjalanannya sementara dua pegawai muda membantu menjaga barang-barang di tokonya. Setelah berjalan beberapa waktu, ia tiba di Gerbang Qing Bo, sebuah pelabuhan dengan pemandangan Danau Barat. Di sana tertambat beberapa perahu kecil dengan tali yang panjangnya tidak lebih dari sepuluh meter. Di antara perahu-perahu itu, terdapat sebuah perahu beratap yang ditumpangi banyak orang. Perahu ini adalah feri yang digunakan untuk menyeberangi danau.

Xu Xian turun ke bawah, ikut dalam antrian dan melangkah ke dalam perahu. Setelah menyelusup di antara para penumpang, ia berhasil mendapatkan tempat duduk di atas sebuah papan. Biasanya pada waktu yang sama, ia sedang duduk memeriksa setumpuk rekening di toko obat. Sungguh sukar dibayangkan bahwa kini ia sedang duduk di sebuah perahu memandang keindahan alam luar kota, tanpa sejumlah hitungan di kepalanya. Ketika ia melihat

Page 8: Putri Ular Putih

sekilas ke sekelilingnya, gunung-gunung yang melingkungi Danau Barat pada tiga sisinya seakan menghalangi hiruk pikuknya suasana Hangzhou. Su Ti dan Bai Ti, dua jalur jalan dengan pohon-pohon di kiri kanan, menjorok ke tengah danau. Barisan pohon ini membentang bertingkat-tingkat ke arah kaki gunung yang menjulang tinggi seperti kursi bertangan, sejauh empat kilometer melingkari Hangzhou. Air danau yang berwarna hijau seperti batu giok, berpadu dengan bayangan puncak-puncak gunung di atas permukaan air, menciptakan pemandangan yang indah tiada tara.

“Pemandangan di sini sungguh memukau!” seru Xu Xian. “Tetapi orang-orang di kota terlalu disibukkan oleh tugas mereka sehari-hari sehingga tidak sempat menikmati pemandangan alam seindah ini. Sungguh sayang!”

Seseorang yang duduk di sebelahnya menjawab, “Oh, tetapi Anda dapat mencuri waktu barang beberapa menit setiap tiga atau lima hari untuk menikmatinya, bukan?”

Xu Xian mengangguk membenarkan. Perahu kecil itu mulai bergerak, begitu pula mata Xu Xian. Perlahan ia mengalihkan pandangan dari pepohonan ke beberapa rumah yang mengapung di tepian danau. Betapa indahnya, pikir Xu Xian.

Apabila kunjungannya ke pemakaman selesai lebih cepat dan hari masih siang, ia akan kembali untuk menikmati pemandangan Danau Barat ini barang sebentar, sebelum kembali ke kota. Niat semacam ini masih memenuhi benaknya pada saat ia kembali dari makam siang harinya sekitar pukul tiga atau empat.

Dan karena tidak ada yang dapat dikerjakan, Xu Xian mencari kedai minum, dan memesan seteko teh

Page 9: Putri Ular Putih

sambil menghilangkan penat di kakinya. Kemudian sambil membawa payungnya, ia keluar dari kedai dan berjalan menyusuri sebuah lorong yang sempit.

Pada musim bunga dan musim gugur Danau Barat selalu ramai dikunjungi orang, begitu pula pada hari libur Qing Ming. Sebagian dari para pengunjung datang dengan menunggang kuda, sebagian naik tandu, dan sebagian lagi berjalan kaki menyelusup di antara orang-orang yang mengalir datang tak habis-habisnya.

Xu Xian berjalan sepanjang jalan kecil yang menuju ke arah Gunung Go dan tiba di bawah sekumpulan pohon. Di sampingnya terdapat sebuah jembatan batu yang terentang di atas kelokan danau. Ketika ia baru saja akan menyeberang, angin datang dari timur dan berhembus ke arah pepohonan. Di bawah salah satu pohon, ia melihat dua wanita muda berdiri bersebelahan. Yang seorang berusia sekitar sembilan belas tahun, mengenakan baju biru dan rok sutera panjang berwarna putih. Yang seorang lagi berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun, mengenakan baju dan rok panjang berwarna hijau. Kedua wanita itu menunjuk ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Sebagai seorang pria muda yang mengenal sopan santun, Xu Xian menundukkan mata dan kepalanya ketika berjalan melewati kedua wanita itu.

Tiba-tiba wanita yang berpakaian putih menunjuk ke langit dua kali. Xu Xian, yang saat itu sedang berada di atas jembatan, melihat awan hitam muncul dengan tiba-tiba. Semakin lama semakin banyak, menggantung di atas kepala. Langit pun menjadi gelap. Xu Xian memandang berkeliling. Awan telah bergumpal di atas puncak-puncak gunung dari utara

Page 10: Putri Ular Putih

ke selatan. Daun-daun saling bergesekan dan baju Xu Xian berkibar-kibar oleh tiupan angin. Dalam sekejap mata, hujan turun dengan lebat sehingga Xu Xian terpaksa berlari mencari tempat berteduh.

Xu Xian membuka payungnya dengan cepat dan bergegas kembali ke arah pepohonan. Badai saat itu benar-benar aneh. Hujan yang datang dari arah belakang, bagaikan anjing penjaga mengejar mangsa. Karena bingung, orang-orang pun berlarian tak menentu. Begitu pula yang sedang berjalan-jalan di lereng gunung dan bermain air. Semuanya kalang-kabut.

Karena lebatnya hujan, pepohonan bergoyang-goyang dan air Danau Barat menjadi bergelora. Selapis kabut hijau timbul di atas permukaan danau. Hujan yang bertambah lebat bagaikan lapisan mi yang berlapis-lapis, membuat pemandangan menjadi kabur. Para pengunjung berlarian mencari tempat berteduh di bawah pepohonan atau berdesak-desakan mencari perahu yang kosong. Xu Xian memandang dengan takjub ke sekitarnya. Namun ia tak dapat terus berdiri di situ di bawah siraman hujan. Ia mulai berpikir untuk mencari perahu yang akan mengangkutnya pulang, karena hujan tampaknya tak akan segera reda. Pada saat itu seorang pria berjas hujan muncul dengan tiba-tiba, mengayuh sebuah perahu kecil.

Xu Xian sangat bergembira melihatnya. Ia menaikkan payungnya dan berseru, “Hai Tukang Perahu, Apakah perahumu disewakan?”

Sambil mendayung perlahan-lahan, tukang perahu itu menjawab dari balik topinya, “Ya, tetapi bayaran yang saya minta agak lebih mahal dari biasanya.”

“Aku mengerti. Pada cuaca seperti ini, setiap orang

Page 11: Putri Ular Putih

pasti lebih senang tinggal di rumah daripada berbasah-basah disiram hujan dan badai. Kalau aku menyewamu sampai ke Gerbang Qing Bo, berapa ongkosnya?”

“Ongkosnya seratus tail saja.” “Tidakkah itu terlalu mahal?” kata Xu Xian.

“Bagaimana kalau kurang sedikit, misalnya 70 tail?” “Baiklah. Anda tampaknya orang jujur. Mari saya

antar hingga ke tujuan!” Tukang perahu itu kemudian mendayung

perahunya hingga haluannya menyentuh tepian sungai. Xu Xian segera melompat ke dalam perahu. Setelah berada di atas haluan, Xu Xian menutup payung dan mengibaskan bajunya. Kemudian ia masuk ke bagian perahu yang beratap dan meninggalkan payungnya di atas dek.

Bagian perahu yang beratap ini luasnya sekitar dua tempat tidur. Dua papan diletakkan berjajar sebagai tempat duduk. Sambil duduk di salah satu papan, Xu Xian berkata, “Mari kita berangkat. Aku sudah menyewa perahu ini, jadi kita tidak perlu menunggu penumpang lain.”

“Tentu saja,” jawab tukang perahu. Ia merangkuh dayung dan mulai mengayuh.

Tiba-tiba seseorang memanggil dari arah pepohonan, “Perahu!”

Tukang perahu itu berpaling dan melihat dua orang wanita, seorang berbaju putih dan lainnya berbaju hijau basah kuyup disiram hujan. Keduanya berteduh di bawah pohon yang tidak cukup luas untuk berdua.

Tukang perahu berteriak, “Maaf Nona-nona. Perahu ini tidak disewakan!”

“Dalam cuaca seburuk ini, tidak ada sebuah

Page 12: Putri Ular Putih

perahu pun yang kosong,” keluh wanita yang memanggil perahu. “Dan sekarang setelah yang ditunggu tiba, kami tak dapat menyewanya! Padahal ketika tadi melihat perahumu datang, kami mengira Tuhan mengirimkannya untuk kami. Lihatlah! Kami telah basah kuyup. Apakah engkau benar-benar tidak dapat menolong kami?”

“Tetapi bagaimana bila kalian tidak searah?” tanya tukang perahu. “Kami akan ke Gerbang Qing Bo. Ke mana tujuan kalian berdua?”

“Kami juga ke Qing Bo.” Dari bawah atap perahu yang tidak berdinding, Xu

Xian dapat melihat dengan jelas kedua wanita itu, yang sebelumnya ia jumpai di jembatan Xi Leng. Ia lalu berkata kepada tukang perahu, “Pak, menepilah. Biarkan mereka menumpang. Aku kasihan melihat mereka.”

Si tukang perahu segera berteriak untuk memberitahukan bahwa mereka dapat menumpang. Kemudian ia mendayung perahunya ke tepi.

Xu Xian berkata, “Pinjamkan payungku ini agar baju mereka tidak basah, bila mereka harus berjalan dari pohon ke perahu.”

Wanita yang berbaju hijau mendengarnya dan mengerling ke arah yang berbaju putih. Kemudian yang berbaju putih menjawab, “Terima kasih banyak. Tetapi biar sajalah.”

Keduanya segera masuk ke dalam perahu. Air hujan mengucur membasahi tubuh mereka. Di depan ruangan perahu yang beratap rendah, keduanya terpaksa duduk meringkuk. Namun bila mereka tetap berdiri di atas dek, tubuh mereka pasti basah kuyup. Karena kebingungan, mereka tak dapat segera menentukan pilihan!

Page 13: Putri Ular Putih

Melihat kesulitan dua gadis itu, Xu Xian berkata dengan ramah. “Nona-nona, mendekatlah kemari Ada dua bangku di sini. Silakan duduk. Dan karena aku membawa payung, lebih baik akulah yang berdiri di luar. Marilah masuk!”

Salah seorang dari kedua nona itu menjawab, “Oh, jangan!” Yang seorang lagi menyambung, “Biarlah kami berdua duduk di papan ini, agar Tuan dapat duduk di papan lainnya.” Kemudian mereka masuk ke ruangan beratap itu.

Xu Xian segera bangkit. Dengan sopan ia berkata, “Tempat duduk ini terlalu sempit bagi kalian berdua. Saya khawatir badan kalian akan pegal-pegal dan tidak dapat duduk dengan santai.”

“Saya sudah pernah mengalami sesuatu yang lebih buruk. Biar sajalah! Jangan pedulikan kami.”

“Ya, begitu pula bagi saya. Berteduh di bawah pohon sungguh tidak menyenangkan! Dan kami tentunya masih tetap akan berada di sana, kalau saja perahu ini tidak lewat. Maka bila Tuan berkeras berdiri di atas dek, berarti kami berdua telah menyusahkan Tuan!”

“Baik, terserah kalian,” kata Xu Xian sambil membungkuk dengan hormat. Kedua wanita itu balas mengangguk, melangkah ke bangku lalu duduk berdampingan, menghadap ke arah Xu Xian. Dengan mata memandang ke lantai perahu, Xu Xian berpikir apakah kedua wanita ini bermaksud menghormati dirinya. Sebab, keduanya duduk menghadap ke arahnya, bukan memunggunginya. Ia duduk dengan tenang, tak berani berkata-kata.

Tak lama kemudian, hujan mulai mereda dan tukang perahu tetap mendayung perlahan. Kedua wanita itu melihat bahwa Xu Xian selalu

Page 14: Putri Ular Putih

menundukkan kepalanya. Wanita yang berbaju putih berbisik, “Xiao Qing, pria ini benar-benar sopan. Kita beruntung dapat menumpang di kapal ini, tetapi rasanya tidak sopan bila kita tidak mengetahui namanya.”

Xiao Qing mengangguk, dan berkata. “Aku akan menanyakannya.” Ia lalu berpaling ke arah Xu Xian. “Maaf, kami belum mengetahui nama Tuan. Sungguh tidak pantas bila kami tidak mengetahuinya, padahal Tuan telah menyelamatkan kami di saat badai.”

Barulah kemudian Xu Xian berani mengangkat kepalanya dan menjawab sambil tersenyum, “Oh, jangan hendaknya saya dikenang sebagai ‘Penyelamat di Saat Badai’. Nama saya Xu Xian.”

“Ah, Xu Xian. Apakah Tuan berasal dari daerah ini?”

“Ya, saya berasal dari Qian Tang.” “Apakah orangtua Tuan masih hidup?” “Tidak, saya yatim piatu. Sesungguhnya saya baru

pulang dari mengunjungi makam mereka.” “Apakah Tuan memiliki saudara laki-laki?” “Tidak, saya hanya memiliki seorang kakak

wanita.”Ketika mereka berbicara, Xu Xian melihat ke arah

wanita yang satunya, yang berbaju putih. Ia memiliki bentuk tubuh yang sangat indah dan sepasang mata elok yang bersinar tajam. Rambutnya yang berhias bulu burung digelung berbentuk sanggul, tidak dibiarkan tergerai, sehingga terlindung dari air hujan. Adapun Xiao Qing, walaupun berpenampilan seperti petani, ia tampak terpelajar. Berbeda dengan teman seperjalanannya, gadis itu memiliki wajah bulat telur dan murah senyum. Ia juga lebih banyak berbicara dan tidak henti-hentinya mengajukan pertanyaan

Page 15: Putri Ular Putih

kepada Xu Xian. “Apa pekerjaan Tuan?” “Saya bekerja di bagian keuangan di sebuah toko

obat.” “Berapa usia Tuan?” “Dua puluh tahun,” jawab Xu Xian tanpa merasa

terganggu dengan pertanyaan Xiao Qing yang bertubi-tubi.

Mendengar jawaban ini, Xiao Qing menjawab, “Kalau begitu usia Tuan kira-kira sama dengan usia kakak1 saya ini. Usia Tuan dua puluh tahun. Pasti Tuan sudah menikah. Berapa usia istri Tuan?”

“Sekalipun usia saya sudah dua puluh tahun, hidup saya masih tergantung pada kakak dan suaminya, bahkan tinggal serumah dengan mereka. Jadi bagaimana mungkin saya menikah!” jawab Xu Xian dengan mata bersinar.

Xiao Qing berpaling ke arah saudaranya yang menunduk malu, memandang pakaiannya yang basah. “Kakak saya tidak tahu apa yang harus ia katakan. Apakah Tuan ingin menanyakan sesuatu kepadanya?”

“Ya,” jawab Xu Xian. “Siapa namanya?” tanyanya tanpa berpikir panjang, tak tahu apa yang harus ia tanyakan. Yang ditanya melirik dan tersenyum.

Namun Xiao Qing tidak memberi kesempatan kepada saudaranya untuk menjawab.

“Namanya Bai Shu-zhen. Kami berasal dari Sizhou dan majikan kami adalah pemimpin Chuzhou. 1 Penggunaan kata 'kakak' atau 'adik' antara Bai Su-zhen dan Xiao Qing menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat akrab, walaupun mereka tidak benar-benar bersaudara kandung. Di Cina orang sering saling mengangkat saudara dan menyayangi kawan seperti layaknya orang bersaudara.

Page 16: Putri Ular Putih

Sayangnya, majikan dan istrinya sudah meninggal, jadi tidak ada lagi yang menjaga kami. Semasa hidupnya, majikan kami tinggal di sebuah rumah di Hangzhou, dan mengajak kami tinggal bersamanya. Di sana kami membantu mengurus rumah tangga majikan. Kami tidak mempunyai saudara lain di sana. Nah! Kami telah menceritakan semuanya kepada Tuan. Apakah Tuan masih ingin bertanya?”

Dengan rendah hati Xu Xian menjawab, “Kalian adalah keluarga bangsawan. Maafkan kebodohan saya.” Ia berdiri dan membungkukkan badannya. Bai Shu-zhen membalas penghormatan itu. “Jika kalian berdua tidak mempunyai saudara dan kenalan, tentunya kalian merasa kesepian di Hangzhou,” lanjut Xu Xian sungguh-sungguh.

Bai Su-zhen menarik napas panjang. Xiao Qing berkata sambil menggoda, “Tuan Xu,

Anda dan kakak saya sama-sama bernasib malang.” “Ya,” kata Xu Xian sambil mengangguk, “Saya

memang kurang beruntung.” Hujan semakin reda dan berganti dengan gerimis.

Kumpulan pepohonan di tepi pematang Su Bo mulai terlihat, karena uap kabut mulai menghilang dari Danau Barat. San Tan Yin Yue dan Ruan Gong Dun pun tampak di cakrawala. Rintik gerimis masih menetes di atas perahu. Selapis kabut yang indah menebar di atas air danau.

Xiao Qing berseru, “Danau Barat memang luar biasa! Pemandangan sebelum dan sesudah hujan sangat berbeda. Tuan Xu, maukah Anda duduk di sini sebentar bersama kami untuk menikmati pemandangan yang indah ini?”

“Kabut masih tebal. Sebaiknya kita pulang saja. Hari ini saya mendapat cuti sehari penuh. Saya

Page 17: Putri Ular Putih

berpikir sebaiknya saya segera pulang untuk menghindari teguran majikan.”

Bai Su-zhen mengangguk tanda setuju. Sementara mereka berbicara, perahu telah tiba di Gerbang Qing Bo. Ketika kemudian tukang perahu menepikan perahunya, Bai Su-zhen mengambil uang dari sakunya dan memberikannya kepada Xiao Qing. Sambil mengulurkannya kepada tukang perahu, Xiao Qing berkata, “Karena Tuan Xu menyewa perahu sebanyak 70 tail, kami berdua ingin menambahnya 30 tail. Jadi jumlah seluruhnya 100 tail untuk kami bertiga. Hitung, Pak!”

Mendengar kata-kata Xiao Qing, Xu Xian berpaling. “Hai!” serunya. “Jangan terima uangnya, Pak! Aku tidak ingin mereka membayar ongkos sewanya.”

Bai Su-zhen berusaha meyakinkan Xu Xian, “Tidak apa-apa Tuan, jangan khawatir.”

Tukang perahu memeriksa uangnya dan berkata, “Saya tidak perduli siapa yang akan membayar. Yang penting uangnya cukup.”

“Kalau begitu baiklah. Terima kasih banyak!” kata Xu Xian.

Tukang perahu menambatkan perahunya pada sebatang pohon di tepian danau. “Kita telah sampai. Silakan turun.”

Xu Xian melirik ke arah Bai Su-zhen yang sedang menunjuk kembali ke arah langit sebanyak dua kali. Sekalipun Xu Xian tidak memahami maknanya, ia diam saja.

“Kakak, hari masih hujan. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Xiao Qing kepada Bai Su-zhen.

“Ambillah payung saya ini. Pasti cukup besar

Page 18: Putri Ular Putih

untuk kalian berdua,” kata Xu Xian. “Tapi bagaimana dengan Anda?” tanya Bai Su-

zhen.“Jangan khawatir. Tempat tinggal saya sudah

dekat.” Setelah mengucapkan terima kasih, Xiao Qing

mengambil payung itu dari tangan Xu Xian, lalu berjalan ke luar dari ruang perahu yang beratap itu diikuti oleh Bai Su-zhen. Tiba-tiba Bai Su-zhen menoleh kepada Xu Xian dan berkata, “Di mana toko Anda, Tuan Xu, agar kami dapat mengantarkan payung Anda besok pagi?”

“Jangan khawatir. Kalau tidak berhalangan, biar saya yang mengambilnya. Di mana Anda tinggal?”

“Di luar Gerbang Qing Bo, di samping Qian Wang Ci. Di sana ada sebuah pintu merah dengan secarik kertas putih di atasnya. Itu rumah kami. Kami akan menanti Anda, Tuan.”

Xu Xian berkata penuh semangat, “Baik! Walaupun hari hujan, saya akan ke sana.”

Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan ke atas dek sementara Xiao Qing memayunginya. Sejenak mereka berdiri tak bergerak di atas dek perahu. Tetesan hujan belum juga berhenti, airnya bergulir di atas payung dan turun ke tanah.

“Pukul berapa Anda akan datang, Tuan Xu?” kata Xiao Qing.

“Besok sore” “Jadi, besok sore, hujan ataupun panas Anda akan

datang. Kami akan menanti Anda.” Bai Su-zhen tersenyum sambil memandang ke dalam perahu.

“Saya pasti datang,“ kata Xu Xian seraya bangkit dari tempat duduknya.

Page 19: Putri Ular Putih

Kedua wanita itu melompat ke darat. Sambil berjalan berdekatan, mereka segera pergi di bawah rintik air hujan dan hembusan angin.

Xu Xian juga segera meninggalkan tempat itu. Di bawah siraman hujan gerimis, ia tiba di bawah Gerbang Qing Bo dan berlari pulang. Badannya basah kuyup. Walaupun baju barunya basah dan kusut, hati Xu Xian sangat gembira karena akan bertemu kembali dengan kedua wanita itu esok harinya. Sebenarnya ia ingin menceritakan pengalamannya kepada kakak dan iparnya, namun karena takut mereka akan menghujaninya dengan pertanyaan, akhirnya Xu Xian memutuskan untuk menyimpannya. Semalaman ia tidak dapat memicingkan mata, memikirkan kedua wanita itu.

Page 20: Putri Ular Putih

BBAABB 22

eesokan harinya, matahari bersinar cerah. Bai Su-zhen duduk seorang diri. Ia sedang memasang

sebatang bambu pada serumpun bunga mawar di dalam pot di halaman rumahnya. Karena asyiknya, ia tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Xiao Qing diam-diam datang membawa secangkir teh. Minuman itu kemudian diletakkannya di atas meja di hadapan Bai Su-zhen.

“Kau pasti sedang berpikir, apakah ia benar-benar akan menepati janjinya, bukan?” tanya Xiao Qing lembut.

Sambil menatap Xiao Qing, Bai Su-zhen menjawab. “Tuan Xu pasti datang. Ia tidak seperti yang lain. Aku yakin ia dapat memegang janji.”

“Hujan yang kauciptakan kemarin benar-benar membantumu untuk meminjam payungnya.”

“Ya! Itu harus kulakukan. Anggur minuman sudah kausiapkan?”

“Tidak perlu engkau risaukan. Apakah engkau takut ia tak datang hari ini?”

“Ia pasti datang.” “Kakak, ingatlah. Walaupun kaukatakan Xu Xian

orang baik-baik, kau harus sanggup menguasai perasaanmu.”

“Xiao Qing, Aku tahu! Bukankah telah kukatakan bahwa ia adalah orang baik-baik. Ia tidak berani memandang wajah kita dan selalu menundukkan kepalanya. Ia selalu menjawab segala pertanyaan kita

K

Page 21: Putri Ular Putih

dengan jujur. Ketika kutanyakan berapa saudaranya, ia menjawab bahwa ia hanya mempunyai seorang kakak perempuan. Ia juga tidak berdusta, ketika kautanyakan apakah ia sudah menikah. Dengan terus terang ia berkata bahwa ia belum sanggup berdiri sendiri apalagi menghidupi keluarga. Tidakkah itu jawaban yang jujur? Dan ketika ia meminjamkan payungnya kepada kita ia tidak mengatakan akan mengambilnya kembali; apalagi menanyakan alamat kita. Setelah kukatakan bahwa kita akan mengembalikan payung itu ke rumahnya, baru ia berani menanyakan alamat kita agar dapat mengambil kembali payungnya. Xu Xian berkata jujur. Ia bukan pula seorang yang pandai menjual kata-kata. Jadi aku benar-benar mempunyai alasan cukup untuk mempercayainya.”

Setelah mendengar kata-kata Bai Su-zhen, Xiao Qing menyadari bahwa kakaknya tidak lagi ragu-ragu. “Bila sebesar itu keyakinanmu, tak ada gunanya aku berbicara lebih banyak lagi.”

“Jalan masuk sudah disapu bersih?” “Sudah, sudah kubersihkan tadi,” jawab Xiao Qing

meyakinkan saudaranya. “Sayur-sayuran segar sudah kaubeli?” “Semua perintahmu telah kukerjakan! Masihkah

ada yang harus kukerjakan? Katakan segera.” Bai Su-zhen meneguk teh yang disiapkan oleh Xiao

Qing untuknya, sambil memandang daun teh yang mengambang di dalam cangkir. Xiao Qing tahu bahwa saudaranya sedang berpikir. Ia berdiri diam di samping tanpa berbicara.

“Apa lagi yang kautunggu?” tanya Bai Su-zhen sambil mengangkat kepalanya.

“Tidakkah baru saja kukatakan bahwa aku

Page 22: Putri Ular Putih

menunggu perintahmu?” jawab Xiao Qing dengan sabar.

“Kau telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Aku tak menemukan kekurangan sekecil apa pun,” kata Bai Su-zhen dengan lembut. Matanya berpendar-pendar. “Buatlah agar kehadirannya di rumah ini benar-benar menyenangkan hatinya.”

Xiao Qing menghela napas lalu meninggalkan halaman. Sambil melirik dari balik bahunya, ia meringis dan bergumam, “Siapa sebenarnya laki-laki itu, Kakak?”

Bai Su-zhen kembali menundukkan kepalanya. Ia tersenyum kecil.

“Aku akan melihat ke luar,” kata Xiao Qing. “Kalau Xu Xian tiba, akan kubawa ia ke sini.”

Setelah Xiao Qing ke luar, Bai Su-zhen meletakkan cangkirnya. Ia berjalan mengelilingi ruangan sambil terus berpikir. “Aneh! Mengapa aku tak henti memikirkan Xu Xian sejak melihatnya untuk pertama kali? Ia benar-benar cocok bagiku. Umurnya dua puluh, dan di atas segala-galanya, kejujurannya sungguh mengesankan. Jika nanti aku dapat menyambutnya dengan baik, ia pasti bersedia menikahiku.”

Ketika Bai Su-zhen sedang berkhayal bagaimana memikat hati pria idamannya, matanya terpaku pada sebuah jambangan bunga yang berisi bunga mawar berwarna merah tua. Harumnya semerbak memabukkan. “Seandainya saja ia mau memetik sekuntum bunga ini, dan menyematkannya di rambutku, bunga ini pasti akan menjadi lebih indah!” lamunnya.

Tiba-tiba ia merasa khawatir, seseorang akan menganggapnya aneh karena melihatnya berputar-

Page 23: Putri Ular Putih

putar dalam ruangan. Bai Su-zhen pun menghentikan langkahnya. Ia lalu memandang ke luar jendela. Matahari yang saat itu hampir terbenam bersinar ke arah timur. Debu-debu beterbangan. “Seharusnya ia sudah datang sekarang,” pikirnya dengan tak sabar.

Di tokonya, sementara bekerja pun Xu Xian tidak dapat melupakan Bai Su-zhen. Ia tak sabar menunggu datangnya petang. Setelah toko tutup, ia bergegas pulang dan berganti baju. Kepada kakaknya, Xu Xian berkata bahwa ia akan berkunjung ke rumah sahabatnya.

Xu Xian tiba di Gerbang Qing Bo. Tepat seperti yang telah dikatakan oleh Bai Su-zhen, ia melihat sebuah pintu merah yang masih baru dan di atasnya melekat secarik kertas putih. Sejenak Xu Xian berdiri dengan ragu-ragu di luar bangunan itu. Belum pernah ia berkunjung ke rumah sebesar ini.

“Jadi di sinilah mereka tinggal! Penghuninya pasti kaya raya. Aku tak akan berani masuk.” Ia pun menjadi ragu untuk mengetuk pintu. Namun, tiba-tiba pintu itu terbuka. Xu Xian berdiri terpaku karena merasa takut. Hampir saja ia melangkah pergi.

“Xu Xian, apakah Anda baru saja tiba?” kata Xiao Qing menyambut dengan gembira. Xu Xian berhenti melangkah dan mengatur sikapnya.

“Kakak saya khawatir Anda tidak dapat menemukan rumah ini,” kata Xiao Qing sambil tetap berdiri di pintu. “Itu sebabnya ia memintaku untuk melihat ke luar, jangan-jangan Anda sudah tiba. Mari silakan masuk! Ia sudah lama menunggu kedatangan Anda!”

Xiao Qing menarik Xu Xian ke dalam sebuah

Page 24: Putri Ular Putih

lorong. Di ujung lorong itu, ia melihat sebuah jambangan besar penuh bunga. Di belakangnya, terhampar halaman yang luas, sarat dengan pepohonan dan tanaman bunga. Dua buah pohon yang rindang berdiri tegar mengapit pintu masuk.

Di sebelah kiri terdapat serumpun bambu yang berbentuk seperti jendela. Tempat itu sangat bersih. Tidak ada sehelai daun pun tergeletak di lantai. “Xu Xian telah datang,” kata Xiao Qing sambil menyibak kain pintu.

Xu Xian berdiri di sebuah ruang tamu yang luas. Ruangan itu berisi sebuah tempat tidur kayu berukir. Di atasnya terdapat sebuah kasur bersulam. Di samping tempat tidur, terdapat sebuah meja yang juga berukir. Di dekat meja, terdapat enam kursi besar yang mengelilingi empat meja teh. Semuanya berukir indah. Di sebelah kanan, terdapat sebuah meja kecil dari kayu cendana. Meja ini dikelilingi oleh empat buah kursi dengan tempat duduk bersulam yang empuk. Di sebelah kiri, terdapat sebuah harpa yang besar dan sebuah meja kecil.

Di atas meja kecil itu, ada jambangan yang berisi bunga-bunga yang sangat indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja kecil panjang. Meja itu dipenuhi dengan pot-pot dan jambangan-jambangan bunga dari batu koral dan akik. Sebuah lukisan kaligrafi tergantung di dinding. Xu Xian berdiri terpaku. “Melihat pajangan rumahnya, aku yakin Keluarga Bai ini benar-benar hartawan,“ katanya pada dirinya sendiri.

Bai Su-zhen masuk ke dalam ruangan dengan anggun. Lamunan Xu Xian pun terputus. “Selamat datang! Sudah lama saya menanti kedatangan Anda.”

“Maafkan saya. Hari ini banyak langganan yang

Page 25: Putri Ular Putih

datang ke toko. Saya tidak dapat pulang lebih awal. Saya harap Anda mau mengerti, karena toko itu bukanlah milik saya.”

“Anda pasti lelah. Silakan duduk,” kata Bai Su-zhen dengan ramah.

Xu Xian duduk di salah satu kursi yang besar, Bai Su-zhen di hadapannya. Xiao Qing masuk membawa dua cangkir teh di atas sebuah baki dan meletakkannya di atas meja.

“Karena tidak mempunyai keluarga di sini,” kata Bai Su-zhen menjelaskan, “Kami harus cepat-cepat mencari tempat tinggal. Itu sebabnya rumah ini belum benar-benar rapi dan hiasannya pun sangat bersahaja.”

“Oh, tetapi ini pun sudah sangat indah,” kata Xu Xian. “Seumur hidup, belum pernah saya melihat rumah seindah ini.”

“Anda pasti belum makan. Saya harap Anda tidak berkeberatan untuk mencicipi masakan yang telah saya siapkan.”

“Oh, jangan terlalu merepotkan diri.” “Tuan Xu,” kata Bai Su-zhen dengan rendah hati,

“Karena tidak ada seorang pria pun di sini, maka saya sendirilah yang harus mengatur segalanya. Tetapi kadangkala hasilnya kurang memuaskan, seperti masakan yang saya siapkan khusus bagi Anda. Bila nanti hidangannya kurang memenuhi selera, jangan hendaknya ditertawakan.”

“Saya tidak akan melakukannya.” Kemudian Xu Xian diajak ke bagian timur rumah

itu. Di ruangan ini, lilin sudah dinyalakan dalam dua buah tempat lilin yang besar. Meja makan diatur untuk tiga orang. Ada sebuah kursi besar bersandaran di ujung meja.

Page 26: Putri Ular Putih

“Tuan Xu, silakan duduk di ujung meja,” kata Bai Su-zhen. “Adik saya akan duduk di sebelah kananmu, dan saya di sebelah kirimu.”

Setelah mereka duduk, seorang pelayan wanita datang. Xu Xian sekilas memperhatikan peralatan makan, seluruhnya terbuat dari bahan porselin pilihan. Namun, ia tidak dapat melihat piring makan. Xiao Qing menuangkan anggur dari sebuah tempat anggur yang sangat indah.

“Cangkir ini terlalu besar. Saya hanya minum sedikit,” kata Xu Xian cepat-cepat.

Sambil memandang Bai Su-zhen penuh arti, Xiao Qing menjawab, “Anda harus minum lebih banyak. Kami sengaja membuatnya kemarin untuk menyambut kedatangan Anda, yang sepantasnya kami rayakan.”

“Tetapi, saya harus bangun pagi-pagi sekali. Kalau saya mabuk, saya akan terlambat datang di tempat kerja. Apa yang harus saya katakan kepada majikan?” sanggah Xu Xian.

“Tuan Xu benar,” kata Bai Su-zhen. “Minumlah sebanyak Anda suka.” Kemudian ia mengangkat gelasnya ke arah Xu Xian. “Untuk kesehatan Anda, Tuan Xu. Dan terima kasih untuk segala kebaikan dan bantuan Anda kemarin. Tanpa payung, mudah-mudahan Anda tidak demam.”

Xu Xian meneguk anggurnya dan tersenyum, “Sama sekali tidak.”

“Apakah toko Anda masih sibuk sekarang ini?” “Ya, Kami tidak mempunyai cukup banyak waktu

untuk beristirahat.” “Pasti gaji Anda besar,” kata Bai Su-zhen ingin

tahu. “Sebaliknya. Gaji saya sedang-sedang saja.”

Page 27: Putri Ular Putih

“Kalau begitu, sebaiknya Anda membuka toko sendiri.”

“Tampaknya Anda kurang dapat memahami betapa sulitnya mencari uang saat ini!” keluh Xu Xian. “Saya telah bekerja dengan baik, dan tidak pernah membuat gusar majikan. Namun, dari mana saya dapat memperoleh uang cukup sebagai modal?”

“Yah! Siapa tahu ada seseorang yang bersedia membantu.”

Xiao Qing menoleh kepada Bai Su-zhen, dan berkata, “Tuan Xu, silakan ambil sendiri makanan dan minumannya. Masih banyak waktu untuk berpikir, dari mana Anda dapat memperoleh uang itu.”

“Mudah-mudahan,” jawab Xu Xian. “Pertolongan Anda kemarin sungguh sangat...”

kata Bai Su-zhen dengan bimbang. “...sangat kebetulan” sambung Xiao Qing. Xu Xian tak berani menafsirkan kata-kata mereka.

Ia memusatkan perhatiannya kepada minumannya. Sekilas dipandangnya wajah kedua wanita itu, namun ia belum juga menemukan jawaban yang dicarinya.

Bai Su-zhen berkata, “Tuan Xu, apa yang paling membahagiakan Anda?”

“Menurut pendapat saya, tidak ada yang paling menyenangkan selain bercakap-cakap dengan kawan-kawan. Bagaimana dengan Anda?”

Bai Su-zhen ragu-ragu sebentar. Sambil memainkan sumpitnya, ia tersenyum sedikit. “Teh sudah menjadi dingin,” katanya. “Biar saya buatkan seteko lagi yang hangat. Xiao Qing akan menemani Anda berbincang-bincang.”

Kemudian ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke

Page 28: Putri Ular Putih

pintu keluar sambil tersenyum penuh arti kepada Xiao Qing. Melihat isyarat Bai Su-zhen, Xiao Qing lalu berkata, “Anggurnya hampir habis. Saya akan mengambilnya lagi.”

“Sudahlah. Di sini pun masih banyak,” kata Xu Xian.

Xiao Qing mengambil guci anggur, tertawa dan berjalan ke luar. “Jangan khawatir, Anda tidak akan mabuk,” katanya.

Di luar ruangan, Xiao Qing bertemu dengan Bai Su-zhen yang memang sedang menunggunya. Ia menyapa Bai Su-zhen dengan wajah menggoda, “Apakah Tuan Xu harus segera diusir?” Bai Su-zhen merapatkan bibirnya. Ia merasa malu.

Xiao Qing terus menggoda, “Apakah kau tidak ingin ia tinggal di sini?”

Pipi Bai Su-zhen me.nerah, “Adik, jangan goda aku. Kau tahu benar bagaimana perasaanku. Aku mengharapkan bantuanmu.”

Xiao Qing mencibir dan berkata, “O, jadi aku harus menjadi Mak Comblang bagi kalian berdua? Baiklah, berapa bayaranku?”

Sambil menarik Xiao Qing ke dekatnya, Bai Su-zhen membisikkan rencananya di telinga Xiao Qing.

Xu Xian mulai merasa bosan ketika Xiao Qing kembali ke ruangan. Ia bergegas mengisi gelas Xu Xian yang hampir kosong. Tetapi Xu Xian bangkit. “Terima kasih, tetapi saya harus segera pergi. Rumah saya jauh. Hari sudah larut malam.”

Tanpa mendengar jawaban Xu Xian, Xiao Qing tetap mengisi gelas Xu Xian dan menyuruhnya duduk kembali. “Jangan terburu-buru. Kami dapat meminjamkan lentera kepada Anda. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda.”

Page 29: Putri Ular Putih

“Baiklah,” kata Xu Xian dengan sopan. “Tuan Xu, usia Anda sudah 20 tahun, tetapi

mengapa Anda belum menikah?” tanya Xiao Qing sambil meneguk anggur dan memperhatikan wajah Xu Xian.

“Saya orang miskin. Wanita manakah yang mau menikah dengan orang seperti saya!” jawab Xu Xian.

“Saya dapat mencarikan seorang calon istri untuk Anda,” kata Xiao Qing.

“Jangan bergurau. Bagaimana mungkin, orang semiskin saya dapat memperoleh seorang istri?”

“Ikuti saja saran saya. Masalah uang tidak perlu Anda risaukan.”

“Mana mungkin?,” kata Xu Xian tidak percaya. “Mengapa tidak? Kakak saya Bai Su-zhen juga

berumur 20 tahun, dan ia masih seorang diri. Ia mendambakan pria jujur yang taat kepada hukum. Ia juga menyukai pria yang tidak gemar berbicara. Kemarin, ketika kita bertemu, ia langsung jatuh cinta kepada Anda.”

Xu Xian menjadi bingung, “Bagaimana mungkin kami menikah?”

“Tuan Xu, duduklah dan dengarkan saya. Apakah Anda bersedia menikahinya?”

“Tentu saja saya ingin menikahinya. Tapi saya sangat miskin. Untuk menikah, paling tidak saya butuh uang sebanyak dua ratus tail. Dari mana dapat saya peroleh uang sebanyak itu?” Kata Xu Xian dengan sedih.

“Bukankah sudah saya katakan bahwa hal itu tidak perlu Anda risaukan? Jika Anda setuju, saya akan menyediakan uang itu dan mengatur perkawinan Anda. Tenang-tenang sajalah.”

Xu Xian menggelengkan kepalanya dengan rasa

Page 30: Putri Ular Putih

tidak percaya. “Saya pasti sedang bermimpi,” gumamnya.

“Anda tidak bermimpi. Semua yang saya katakan benar adanya,” kata Xiao Qing, tidak sabar.

Xu Xian berdiri dan mengangguk hormat. “Terima kasih. Tetapi aku sedang berpikir, apa yang dapat kuberikan kepada calon istri saya nanti?”

Xiao Qing menjawab, “Itu pun sudah saya pikirkan.”

“Anda sungguh baik hati. Saya hanya mampu mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Anda. Tetapi terlebih dahulu saya harus memberi tahu kakak dan suaminya mengenai berita gembira ini. Baru setelah itu kita dapat menetapkan hari perkawinan.”

“Oh, itu tidak perlu,” tukas Xiao Qing. “Saya akan mengatur ruangan ini dan Anda dapat menikah di sini. Bagaimana?”

Xu Xian memandang ke sekitarnya. “Kalau benar demikian, saya setuju,” katanya.

“Karena kita tidak perlu lagi meminta izin kepada siapa pun, Bai Su-zhen akan segera saya panggil agar pernikahan kalian dapat segera dilangsungkan.”

Xiao Qing memanggil kakaknya yang kemudian datang dengan kepala tertunduk, lalu duduk di depan mereka.

Xu Xian berdiri, sambil mengetuk-ngetuk meja ia berkata dengan terbata-bata, “Begini adik, Anda mengatakan...ia mengusulkan...dan saya berpendapat, gagasannya benar-benar cemerlang!”

“Kakak,” kata Xiao Qing dengan suara tegas, “Kami telah mengatur pernikahanmu. Tuan Xu menyangka ia sedang bermimpi. Kau masih ingin menyatakan sesuatu?”

Page 31: Putri Ular Putih

Bai Su-zhen berdiri dan berkata dengan lembut, “Tuan Xu, saya sangat berterima kasih Anda bersedia menjadi suami saya. Anda pasti bertanya-tanya mengapa saya memilih Anda dan bukan pria lain yang lebih kaya dan berpangkat. Karena mempunyai cukup uang, saya tidak membutuhkan pria kaya yang berkedudukan. Saya hanya menginginkan pria yang memiliki kejujuran. Namun karena semuanya hanya pandai bermanis-manis di muka dan berkhianat di belakang punggung, saya tidak berminat menerima lamaran mereka. Yang saya inginkan adalah pria yang jujur dan berkata apa adanya seperti Anda.”

“Tetapi dengan keadaan saya yang seperti ini, saya takut Anda nanti akan malu karenanya,” kata Xu Xian sambil menundukkan kepala.

“Asal Anda berlaku baik. Itulah yang terpenting bagi saya. Menurut Xiao Qing...” Bai Su-zhen menoleh ke arah saudaranya sambil menunduk malu.

“Malam ini indah sekali. Mari kita segera laksanakan upacara perkawinan kalian,” kata Xiao Qing dengan tegas.

Xiao Qing mengajak keduanya untuk berdoa kepada dewa-dewa dan memulai upacara perkawinan. Ditanggalkannya sebuah selendang merah dari pinggangnya, lalu diberikannya kepada Bai Su-zhen dan Xu Xian. Dimintanya mereka memegang selendang itu, masing-masing di salah satu ujungnya. Dengan dipimpin oleh Xiao Qing, mereka membaca mantra-mantra perkawinan, dan berjalan ke kamar pengantin.

Xiao Qing segera meninggalkan ruangan setelah sejenak menggoda kakaknya. Bai Su-zhen

Page 32: Putri Ular Putih

mengejarnya ke luar, lalu berbisik. “Terima kasih banyak, engkau telah menikahkan kami. Tetapi masih ada sesuatu yang kubutuhkan. Bersediakah engkau membantuku?”

“Ya, katakan segera.” Karena takut terdengar oleh Xu Xian, Bai Su-zhen

mengajak Xiao Qing menjauh. “Sekarang aku sudah menikah. Kita tidak akan

kembali lagi ke E Mei. Namun, kami berdua memerlukan uang untuk membiayai rumah tangga dan membuka usaha. Padahal Xu Xian tidak mempunyai tabungan. Bagaimana caranya mendapatkan uang?”

“Kau pasti sudah gila!” jawab Xiao Qing sambil tertawa. “Aku juga orang baru di sini dan tidak punya kenalan seorang pun. Bagaimana aku dapat mencari uang. Jika kau membutuhkan uang, aku terpaksa mempergunakan ilmu sihir.”

Setelah berpikir sejenak, Bai Su-zhen menjawab. “Aku tahu. Tapi kalau kita menciptakan uang palsu dan akhirnya ketahuan, kita sendirilah yang celaka. Lebih baik kita pinjam saja dari Bendahara Kota. Di sana tak seorang pegawai pun bekerja jujur. Mereka senang memeras rakyat. Lebih baik kita mengambil uang mereka.”

Kemudian Xiao Qing pergi, dan Bai Su-zhen kembali ke kamar pengantin.

Xiao Qing lalu terbang ke kantor Bendahara Kota dan masuk menembus dinding gedung tempat penyimpanan uang. Ia memandang ke sekitarnya. Keadaan sangat sunyi, tidak ada seorang pun di sana. Xiao Qing melihat sebuah ruangan yang kokoh dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat. Dengan perlahan ia mengetuk dinding ruangan itu.

Page 33: Putri Ular Putih

Tiba-tiba tampak sebuah lubang. Xiao Qing segera memasukkan tangannya ke dalam ruangan lewat lubang itu, dan diambilnya segenggam penuh emas batangan. Kemudian, Xiao Qing mengarahkan telunjuknya kembali kepada lubang itu. Lubang itu menghilang, dan dindingnya kembali seperti sedia kala.

Esok harinya Xiao Qing menyerahkan emas-emas itu kepada Bai Su-zhen. Semuanya ada 60 batang emas. Bai Su-zhen tertawa gembira. “Untuk mengangkat emas sebanyak ini, paling tidak dibutuhkan dua orang kuli.”

Pada saat yang sama, di kantor kas kota, Bendahara, dikejutkan oleh hilangnya uang sebanyak tiga ribu tail emas. Ia lalu sibuk mencari dalih hilangnya uang itu.

Page 34: Putri Ular Putih

BBAABB 33

ada hari setelah pernikahan, matahari bersinar cerah. Xu Xian terbangun. Dari tempat tidur ia

melihat Bai Su-zhen sedang duduk di depan meja hias menyisir rambut. Pada saat itu, matahari menyinari dinding putih bagian barat. Di sebelah dinding terdapat bunga-bunga indah dan dedaunan yang hijau segar. Betapa indah pemandangan yang dilihatnya. “Pemandangan sangat indah, bukan?” kata Bai Su-zhen sambil memandang ke luar jendela.

“Aku tidak melihatnya. Aku sedang asyik memperhatikanmu menyisir rambut. Dan itu jauh lebih indah dari pemandangan di luar.”

“Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya pujangga menulis puisi tentang wanita yang menyisir rambutnya.”

“Aku tidak bicara soal puisi dan pujangga. Aku hanya senang melihatmu menyisir rambut.”

“Benarkah? Jika kau mau, aku akan mengubah tata rambutku. Bagaimana pendapatmu?”

“Aku suka semua tata rambut yang kaupilih.” “Ini adalah kata-kata suami yang mencintai

istrinya. Mudah-mudahan kau selalu demikian kepadaku.”

“Aku bersumpah akan selalu menyayangimu,” kata Xu Xian bersungguh-sungguh.

“Tak perlu bersumpah. Aku percaya. Bagaimana kalau rambutku disanggul saja?”

“Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kau

P

Page 35: Putri Ular Putih

mengatur rambut,” kata Xu Xian sambil bangkit dari tempat tidur.

“Nah, lihatlah kemari...begini caranya.” Bai Su-zhen lalu mengangkat dan menekuk rambutnya ke atas dengan rapi.

Xu Xian yang berdiri di sebelahnya berkata. “Indah sekali.” Keduanya lalu tertawa gembira.

“Ya, memang indah. Tetapi pada musim panas seperti ini, biasanya orang tidak memakai tusuk konde dari tulang. Aku akan mencari bunga-bunga berwarna merah untuk hiasan rambutku,” kata Bai Su-zhen.

“Bagaimana kalau aku yang memetiknya untukmu?” usul Xu Xian.

“Baiklah. Aku akan menemanimu memetik bunga.” Xu Xian berjalan ke luar, lalu memetik tiga

kuntum bunga dan memberikannya kepada Bai Su-zhen. “Apakah bunga-bunga ini cocok untuk rambutmu?”

“Ya. Tetapi masih ada tugas lain untukmu. Tolong atur bunga ini di sanggulku.”

Xu Xian memandang rambut istrinya dan tersenyum. “Inilah tugas yang sangat kusukai. Tunggu Aku harus tahu di mana sebaiknya bunga-bunga ini kutancapkan. Aku tidak ingin merusak rambutmu.”

Bai Su-zhen tersenyum lembut dan membiarkan Xu Xian berjalan mengitarinya. Setelah berpikir sejenak, Xu Xian lalu memasang sekuntum pada sisi kiri sanggul Bai Su-zhen, sekuntum lagi pada sisi kanannya, sedangkan kuntum bunga ketiga tepat di tengah-tengah sanggul. Lalu ia berdiri di belakang istrinya untuk menilai hasilnya.

Pada waktu yang sama Xiao Qing datang membawa

Page 36: Putri Ular Putih

teh. Ia tersenyum gembira melihat pemandangan yang mengasyikkan itu. Setelah meletakkan teh di atas meja, ia berjalan ke luar.

“Adik Xiao Qing,” kata Xu Xian. “Jangan pergi. Bagaimana pendapatmu tentang bunga-bunga ini?”

“Maksudmu bunga di rambut Bai Su-zhen?” tanya Xiao Qing. “Tentu saja sangat indah.”

Lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua kembali, duduk berdampingan sambil menikmati teh. Bai Su-zhen tiba-tiba tersenyum.

“Mengapa engkau tersenyum?” tanya Xu Xian. “Aku geli melihat caramu memandangku!” “Karena engkau sangat cantik. Hari pertama

cutiku telah kita lewatkan dalam kesibukan. Hanya tinggal hari ini dan esok sajalah aku dapat menikmati kehadiranmu di sampingku.”

“Jadi, setelah tiga hari, engkau harus kembali bekerja?”

“Tentu saja.” Bai Su-zhen berpikir sebentar dan berkata. “Dalam

setahun paling banyak engkau mendapatkan dua ribu tail. Dengan gaji sekecil itu, tidak seharusnya kau merasa terikat pada pekerjaanmu. Ayahku banyak menabung selama hidupnya. Peninggalannya cukup banyak untuk kita berdua selama delapan hingga sepuluh tahun. Engkau sebaiknya berhenti bekerja dari toko itu.”

“Engkau sangat baik hati, Sayangku,” kata Xu Xian. “Tetapi seorang pria tidak bisa duduk bermalas-malasan sepanjang tahun tanpa bekerja.”

“Ya, aku tahu. Tetapi, tidaklah bijaksana bila engkau terus bekerja di toko dengan gaji sekecil itu. Kita masih mempunyai dua hari untuk memikirkannya. Jadi kau tidak perlu khawatir.”

Page 37: Putri Ular Putih

Pada saat itu dari luar terdengar suara genderang dan gong yang dibunyikan dengan keras.

“Saat ini ibu kota dipindahkan ke Hangzhou. Para pegawai kotapraja sedang bergembira. Mereka merayakannya di danau pada pagi ini,” Xu Xian menjelaskan.

“Nanti malam bulan purnama. Danau Barat pasti sangat indah. Kita harus menyewa perahu dan bermain-main di sana. Kita beruntung tinggal di tepi danau. Jadi kita dapat bersenang-senang hingga larut malam. Bagaimana pendapatmu?” tanya Bai Su-zhen dengan bersemangat.

“Betul! Semakin larut, semakin sedikit orang di sana. Itu lebih baik bagi kita berdua.”

“Apa maksudmu dengan semakin sedikit orang di sana?”

“Artinya, kita bisa berdua saja di sana.” “Kakak, jadi aku tidak boleh ikut bersama kalian

malam ini?” kata Xiao Qing yang muncul dengan tiba-tiba dari ruang sebelah.

“Tentu saja engkau boleh ikut. Aku tidak bersungguh-sungguh tadi,” kata Xu Xian menenangkannya.

Dengan menahan tawa, Bai Su-zhen berkata kepada Xiao Qing, “Setelah makan siang, pergilah menyewa sebuah perahu kecil dan bersih untuk nanti malam. Sesudah makan malam kita berangkat dan bersenang-senang di danau.”

“Jadi, aku boleh ikut juga, bukan?” tanya Xiao Qing.

Xu Xian bangkit dan membungkukkan badannya. “Maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bersungguh-sungguh.”

Mereka bertiga tertawa berderai-derai.

Page 38: Putri Ular Putih

Malam itu bulan bersinar penuh di timur langit. Indahnya bayangan bulan, puncak gunung dan pepohonan di atas air sungguh tak terlukiskan. Demikian pula pantulan Gunung Gu dan Ge yang berpadu dengan cahaya dari kota Hangzhou. Perahu-perahu yang berlayar menyebabkan air bergoyang-goyang. Gerakan airnya membuat lukisan yang terpantul di permukaan air berpendar-pendar memukau mata.

Perahu yang disewa Xiao Qing, mempunyai sebuah ruangan, bertirai hijau. Atapnya berwarna biru. Di dalamnya terdapat sebuah meja dengan 2 buah kursi. Pada atap ruangan itu tergantung dua buah lentera. Di atas meja terdapat teh satu teko dan empat buah mangkok berisi buah delima, kacang, biji buah melon, dan gula-gula.

Xu Xian berseru. “Xiao Qing, pandai sekali engkau memilih perahu. Kalian berdua duduk di kursi ini, dan aku di atas papan.”

Xiao Qing menjawab, “Jangan berbasa-basi. Kursi-kursi itu khusus untuk pengantin baru. Aku dapat duduk di tempat lain.”

“Oh,...tetapi itu tidak...” kata Xu Xian. Dengan berbisik Bai Su-zhen berkata, “Ayo

duduklah. Orang-orang di perahu lain akan mendengar suara kita.” Xu Xian menurut.

Perahu mulai bergerak. Xu Xian melihat sebarisan perahu berlayar ke tengah danau. Perahu berukuran besar berlayar di barisan depan, masing-masing memasang lampu yang terang benderang seperti mata naga. Penumpangnya membunyikan genderang dan gong. Perahu-perahu yang lebih kecil mengikuti dari belakang.

“Lebih baik menjauh saja,” usul Bai Su-zhen. “Kita

Page 39: Putri Ular Putih

cari tempat yang lebih tenang.” “Usul yang bagus. Bukankah sudah kukatakan

kemarin...” suara Xu Xian tertahan ketika dilihatnya Xiao Qing memandang ke arahnya, “Semakin sepi semakin asyik.”

Xiao Qing tersenyum, “Ya, lebih sunyi lebih baik.” Perahu mereka menjauh dari perahu-perahu yang lain.

“Sungguh menyenangkan. Semua bergerak-gerak menurut aliran air,” seru Xu Xian.

“Lihat puncak-puncak gunung itu,” kata Bai Su-zhen. “Seperti dua buah tangan yang menaungi danau ini seisinya, termasuk kita bertiga.”

Mereka berlayar di antara bunga-bunga lili yang menari-nari membentur dinding perahu.

“Mereka tidak mengerti betapa indahnya ketenangan,” kata Bai Su-zhen. “Mereka pasti berpikir kita ini gila!”

Sebuah ranting jatuh ke dalam air, berdesir di antara celah-celah sinar purnama, “Seandainya saja kita bisa menghilangkan seluruh kebisingan ini,” kata Xu Xian.

“Kita beruntung dapat menemukan tempat yang agak tenang,” goda Xiao Qing.

Perlahan mereka mendekati jalan kecil Su Ti. Bulan mengintip dari balik pepohonan. Pemandangan sangat memukau. Selapis kabut mengambang di atas air danau, dilatarbelakangi puncak-puncak gunung yang kehijauan bagai batu zamrud. Tukang perahu membiarkan perahu terombang-ambing sebentar di pinggir sungai.

“Ah! Tempat ini sungguh sangat indah. Air, gunung, sinar bulan, perahu, dan kita bertiga! Semoga kebahagiaan dan keindahan selalu bersama

Page 40: Putri Ular Putih

kita,” kata Bai Su-zhen. Suaranya mengisyaratkan kekhawatiran.

“Tetapi, bila aku hanya menggantungkan seluruh kehidupanku kepadamu dan tidak bekerja, hidup kita tidak akan berkecukupan,” ujar Xu Xian sambil mengernyitkan dahinya.

“Mengapa engkau masih saja khawatir? Bukankah sudah kukatakan, besok akan kuputuskan pekerjaan manakah yang sesuai untukmu?”

“Ya, tentu saja. Dan aku akan mengikutimu hingga akhir dunia.”

Xiao Qing menggoda, “Tuan Xu! Jangan berdusta.” “Aku tidak berdusta,” sanggah Xu Xian. “Xiao Qing, ia tidak berdusta. Tidak ada sesuatu

pun yang pantas dicurigai,” kata Bai Su-zhen membela suaminya.

“Ya. Tetapi ia berkata bahwa ia akan mengikutimu ke ujung dunia!” sergah Xiao Qing.

“Aku mengatakan yang sebenarnya,” tandas Xu Xian sekali lagi.

“Sudahlah. Kita harus pulang sekarang. Hari semakin gelap,” ujar Bai Su-zhen menenangkan mereka.

Danau mulai sepi. Hanya tinggal beberapa lampu yang masih menyala. Ketika melewati jalan Bai Ti, bayangan pohon-pohon di tepian terlihat seperti lukisan. Di kejauhan terlihat jembatan batu dengan sebuah rumah di atasnya.

“Itulah jembatan pertama di atas Bai Ti. Apa nama jembatan itu?” tanya Xiao Qing.

“Jembatan Patah,” jelas Xu Xian. “Aku tidak menyukai nama itu,” kata Bai Su-zhen.

“Jembatan itu kokoh dan meyakinkan. Nama ‘Jembatan Patah’ sungguh tidak sesuai.”

Page 41: Putri Ular Putih

“Ya, tetapi nama itu sudah sedemikian akrab, dan aku pun selalu menyebutnya tanpa memikirkan artinya.”

“Kurasa, orang menyeberangi jembatan itu menggapai masa depan yang cerah, sesuatu yang baik dan membahagiakan. Menurut pendapatku, sebaiknya nama itu diubah. Misalnya menjadi ‘Jembatan Penolong’, ‘Jembatan Keberuntungan’ atau ‘Jembatan Harapan’.”

“Kalau begitu, mari kita ganti saja namanya,” kata Xu Xian.

“Jangan berbuat bodoh,” kata Bai Su-zhen tertawa. “Nama jembatan itu ‘Jembatan Patah’. Kita tidak boleh seenaknya menggantinya. Selama kita tidak memulai masa depan kita di atas jembatan itu, apa yang harus dikhawatirkan.”

“Tentu saja tidak ada,” kata Xu Xian dengan gugup. “Bukankah kita hanya bergurau.”

Page 42: Putri Ular Putih

BBAABB 44

alam itu, mereka bercakap-cakap hingga pagi. Karena sangat lelah, mereka jatuh tertidur.

Xiao Qing berdiri di samping tempat tidur Xu Xian. Ia berbisik di telinga Xu Xian, “Tuan Xu, ada tamu di luar. Mereka sudah lama menunggumu. Bangunlah.”

Xu Xian melompat bangun. “Cepat sekali engkau bangun! Pukul berapa sekarang?”

“Pukul 12 siang. Istrimu telah bangun semenjak fajar. Kini ia duduk menemani para tamu. Ia menyuruhku memanggilmu.”

“Apakah tamu-tamu itu ingin menemuiku?” tanya Xu Xian.

“Mereka adalah bekas pegawai-pegawai kami,” jawab Xiao Qing. “Yang seorang bernama Ma Zi-hou dan yang seorang lagi bernama Li Ben-liang. Mereka ingin berbicara kepadamu.”

Xu Xian pun mandi dan bergegas mengenakan pakaiannya, kemudian pergi menemui tamunya. Mereka mengangguk tiga kali kepada Xu Xian. Ma Zi-hou memakai topi persegi. Jubahnya yang panjang berwarna abu-abu terbuat dari bahan sutera dan satin, jenggotnya panjang dan usianya sekitar lima puluh tahun. Li Ben-liang memakai topi cekung dan berbaju ungu. Usianya kira-kira empat puluh tahun.

Xu Xian membuka percakapan dengan meminta maaf. “Maaf, aku baru saja bangun. Kami berperahu semalaman.”

Bai Su-zhen memberi isyarat kepada Xu Xian agar

M

Page 43: Putri Ular Putih

ia segera duduk. Kemudian ia berkata, “Tuan-tuan ini adalah pegawai ayahku. Tuan Ma adalah kepala pegawai di toko obat kami. Ia sangat ahli di bidangnya. Sedangkan Tuan Li, walaupun bukan ahli, ia sangat mengenal seluk-beluk perdagangan. Aku meminta kedua Tuan ini untuk datang dan membicarakan kemungkinan membuka toko obat kita. Tuan Li menyatakan bahwa ia akan mengalihkan toko obatnya kepada kita, karena ia tidak mempunyai keluarga lagi di sini. Agar rencana ini terlaksana, terlebih dahulu kita harus membereskan beberapa hal. Tuan Li akan membantu mengatur segalanya. Dan aku merencanakan pindah ke Suzhou. Tuan Ma telah menyetujui rencanaku. Jadi tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Bagaimana menurutmu, Suamiku?”

Bai Su-zhen mempunyai tiga alasan mengapa ia ingin pindah dari Hangzhou. Sebab, Xu Xian cukup dikenal di kota itu. Jika ia tiba-tiba menjadi kaya, orang akan mempergunjingkannya. Kedua, semua teman Xu Xian bekerja di toko obat itu. Apabila ia membuka sebuah toko obat baru, maka teman-temannya akan menjadi iri. Ketiga, Suzhou tidak begitu jauh dari Sungai Chang Jiang. Jika Xu Xian pindah ke Suzhou, ia masih dapat mengunjungi keluarganya di Hangzhou.

Xu Xian tidak mengetahui alasan-alasan ini. Jadi ia menyetujui saja kata-kata istrinya. Katanya, “Istriku benar. Tetapi aku....”

Namun Bai Su-zhen memotong, “Mengenai modal awal, Tuan Li sudah mengumpulkan sisa-sisa peninggalan almarhum ayahku. Jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membuka sebuah toko obat baru.”

Page 44: Putri Ular Putih

Xu Xian berpikir dalam-dalam. “Aku orang bebas dan dapat pergi ke mana saja. Yang menjadi pikiranku hanyalah masalah uang. Jadi apa lagi yang harus kukhawatirkan? Istriku telah mengurus segalanya. Kami telah siap untuk membuka toko obat yang cukup pantas.”

Xu Xian memandang istrinya yang segera memahami maksud suaminya. “Semua telah dibereskan dan dipersiapkan untukmu. Aku hanya minta persetujuanmu. Apakah engkau bersedia pindah ke Suzhou?”

“Aku bersedia, bila modal sudah ada.” Ma Zi-hou meyakinkannya, “Asalkan Anda

bersedia pindah ke Suzhou, tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.”

“Ya,” Li Ben-liang menambahkan. “Serahkan segala urusan persiapan kepada kami. Anda tidak perlu cemas.”

Bai Su-zhen tertawa. “Nah! Apa lagi yang kita khawatirkan? Kau boleh bergembira sekarang!”

Xu Xian tidak pernah menyangka betapa mudahnya membuka sebuah toko obat. Modal telah tersedia, begitu pula pegawai yang akan mengurus pengelolaannya. Benar-benar di luar dugaannya! Tuan Ma dan Tuan Li adalah bekas pegawai. Namun karena mereka sudah lama tidak bekerja, Xu Xian merasa perlu membicarakan masalah keuangan dengan mereka.

“Tuan-tuan, karena kalian bersedia membantuku, kita harus bicara.”

Bai Su-zhen kemudian meminta diri untuk menyiapkan makan siang. “Aku akan menyiapkan makanan. Tanyakan segala sesuatunya kepada mereka mengenai toko obat. Buktikan sendiri apakah

Page 45: Putri Ular Putih

mereka benar-benar ahli.” Mula-mula Xu Xian tidak tahu apa yang harus ia

tanyakan. Namun Ma Zi-hou segera mengajukan pertanyaan tentang pengalaman kerja Xu Xian di toko obat. Ternyata masih banyak hal yang belum ia ketahui. Dari percakapannya dengan Tuan Li, Xu Xian segera menyadari bahwa ia pun tak memiliki pengalaman dalam bidang keuangan. Mereka terus saja bercakap-cakap selama makan siang, lalu kedua tamu itu pulang.

“Suamiku, bagaimana pendapatmu tentang dua pegawai almarhum ayahku ini?” tanya Bai Su-zhen kemudian.

“Mereka sepuluh kali lipat lebih pandai dibandingkan diriku.”

Bai Su-zhen menjawab, “Mungkin saja. Tetapi engkau adalah suamiku dan engkau tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Kita harus membicarakan beberapa hal lagi dengan mereka. Setelah itu mereka harus segera berangkat ke Suzhou.”

“Aku menyetujui semua rencanamu.” “Sekalipun aku yang memanggil kedua orang itu

ke sini, tetapi engkaulah kelak yang akan menjadi majikan. Besok pagi mintalah izin berhenti bekerja kepada majikanmu.”

“Secepat itu?” kata Xu Xian. “Tidakkah lebih baik memberinya waktu barang tiga hari?”

“Berapa jumlah gaji yang belum ia berikan kepadamu?” tanya Bai Su-zhen.

“Dua bulan gaji,” kata Xu Xian. “Bagi seorang pemilik toko, uang adalah segalanya.

Besok pagi bila kau meminta izin kepada majikanmu, katakan kepadanya bahwa ia tidak perlu membayar

Page 46: Putri Ular Putih

lagi sisa gajimu.” Xu Xian menyadari bahwa semakin cepat ia dapat

membereskan urusannya di kota itu semakin baik pula hasilnya. Keesokan hari sesudah makan siang, ia pergi ke toko obat tempat ia biasa bekerja. Keempat pegawai keuangan di sana terkejut melihat kedatangan Xu Xian yang saat itu mengenakan topi persegi abu-abu dan baju baru dari kain satin. Salah seorang dari mereka berteriak, “Hei! Lihat Xu Xian datang, kelihatannya, ia tidak datang untuk bekerja.”

Xu Xian menyalami teman-temannya sambil tersenyum. “Ya, memang demikian,” katanya.

Semua orang menjabat tangannya. Seorang temannya yang bernama Wu berkata, “Kudengar istrimu kaya. Engkau beruntung. Majikan baru saja mengetahui bahwa engkau belum masuk kerja dan ia agak marah. Kukatakan kepadanya bahwa engkau baru saja menikah, sehingga terlambat masuk. Bukankah istri lebih penting daripada pekerjaan? Ha, ha, ha!”

“Terima kasih. Engkau sudah membelaku,” kata Xu Xian. “Tetapi sejak pernikahanku aku menemukan tempat kerja baru. Jadi, aku datang kemari untuk memberitahukan bahwa aku tidak akan bekerja lagi di sini.”

“Berhenti?” tanya Wu dengan terkejut. “Ya, itulah sebabnya aku datang sekarang,” jawab

Xu Xian dengan tenang. “Majikan ada?” “Ya, ia berada di ruang bendahara,” jelas Wu. Xu

Xian mengangguk lalu pergi menemui majikannya, yang saat itu sedang memeriksa buku laporan keuangan bersama salah seorang pegawainya. Xu Xian masuk dan mengangguk.

“Ini dia pengantin baru dengan baju barunya!”

Page 47: Putri Ular Putih

hardiknya sambil meletakkan buku laporan. Ia menatap Xu Xian dengan tajam. “Dalih apa lagi yang akan kau sampaikan, Anak muda? Kau sudah kuberi cuti selama tiga hari. Namun hari ini kau masih saja datang terlambat? Begitukah sikapmu terhadap rekan-rekanmu?”

Xu Xian menjawab dengan ragu-ragu. “Bukan begitu, Tuan.”

Sang bendahara mencoba menenangkan suasana. “Xu Xian memang lalai. Tetapi ia pegawai yang baik, dan baru saja menikah. Maafkanlah keterlambatannya. Dengan syarat ia tak mengulanginya sekali lagi.”

Majikannya berkata, “Lihatlah, ia membelamu, Xu Xian. Engkau harus berterima kasih kepadanya.”

“Tidak,” kata Xu Xian dengan sopan. “Saya tidak datang untuk bekerja, melainkan untuk berpamitan. Saya akan keluar dan tidak lagi bekerja di sini.”

Majikannya berdiri sambil berpegangan pada meja. Ia terkejut.

“Apa? Kau mau berhenti?” “Ya. Itulah sebabnya saya datang,” kata Xu Xian

sekali lagi. “Maafkan saya karena tidak menunggu hingga akhir tahun.”

“Temanku, Xu Xian,” kata temannya. “Kau masih muda. Jangan bertindak semata-mata karena dorongan hati saja. Mengapa engkau ingin berhenti? Majikan sudah memaafkanmu.”

“Aku ingin berhenti bukan karena majikan memarahiku. Aku akan meninggalkan kota Hangzhou. Itu sebabnya aku ingin mohon diri.”

Bendaharawan itu berdiri dan memandang Xu Xian. Baju Xu Xian memang bukan baju untuk bekerja. “Kau akan ke mana?”

Page 48: Putri Ular Putih

“Ke Suzhou. Tetapi aku belum tahu di mana tempatnya,” jawab Xu Xian.

“Kau sudah memutuskan untuk pergi ke sana, tetapi belum juga tahu di mana tempat tinggal barumu?” kata temannya dengan heran. “Sebaiknya kau pertimbangkan lagi keputusanmu. Jangan terburu nafsu.”

“Terima kasih atas perhatianmu. Aku belum menerima dua bulan gaji. Namun karena aku tiba-tiba berhenti, kau tidak perlu membayarku lagi. Menurut pendapatku tidak pantas aku menerimanya.”

Majikan Xu Xian belum juga dapat mempercayai kata-kata Xu Xian. Ia terheran-heran mendengar niat Xu Xian dan berpikir Xu Xian pasti mempunyai alasan yang kuat mengapa secara mendadak mengajukan permohonan berhenti. Lalu ia berkata, “Kudengar istrimu keturunan orang terpandang. Barangkali ia mempunyai banyak uang. Jadi...” Ia tak melanjutkan kata-katanya, dipandangnya Xu Xian untuk melihat reaksinya.

Dengan berpura-pura tidak mendengar sindirannya, Xu Xian berkata, “Tuan, saya bersungguh-sungguh. Saya tidak ingin dibayar.”

“Kalau kau benar-benar mau pergi, aku tidak dapat menahanmu,” kata majikannya. “Mengenai gajimu, akan kusimpan saja. Siapa tahu akan berguna nantinya. Apakah kau akan berangkat hari ini?”

“Begitulah,” kata Xu Xian sambil mengangguk penuh hormat kepada majikannya dan sang bendahara, “Saya benar-benar ingin mengundurkan diri.”

Sesungguhnya majikan merasa sangat berat hati

Page 49: Putri Ular Putih

melepaskan Xu Xian. Karena Xu Xian seorang pegawai yang amat patuh dan tidak pernah bertingkah. Ia meminta Xu Xian untuk mampir, seandainya ia kebetulan berkunjung ke Hangzhou.

Xu Xian lalu berpamitan kepada seluruh teman sekerjanya. “Majikan sudah menyetujui kepergianku. Aku harus pergi sekarang.”

Lin membawa seteko teh dan menawarkannya kepada Xu Xian. Ia berkata, “Sekarang kau menjadi tamu kami. Mari kita minum teh bersama untuk mengantar kepergianmu.”

Xu Xian sangat terharu melihat keramahtamahan teman-temannya. “Karena sekarang aku telah menikah, kalian boleh datang ke rumah, bila ada waktu senggang.”

Seseorang bertanya, “Bagaimana dengan barang-barangmu? Semuanya akan kaubawa? Atau kau akan mengirim seseorang untuk mengambilnya besok pagi?”

“Akan kubawa hari ini juga. Jumlahnya tidak seberapa. Kalau tidak terbawa, biar saja di sini.”

Xu Xian meminum tehnya, lalu masuk ke dalam untuk membereskan barang-barangnya. Ia menyewa seorang kuli untuk mengambil bungkusannya dan membawanya pulang. Xu Xian mendatangi kakaknya, Fu Yun, dan kakak iparnya, Li Ren. Ketika melihat penampilan dan baju Xu Xian, Fu Yun ternganga Hampir-hampir ia tidak mengenali adiknya!

Kemudian Xu Xian menceritakan seluruh kejadian dari awal pertemuan hingga perkawinannya dengan Bai Su-zhen. Fu Yun mengangguk berkali-kali. Ia kagum akan keberuntungan adiknya. Betapa mudahnya perkawinan Xu Xian, pikirnya.

“Istriku keturunan bangsawan,” kata Xu Xian.

Page 50: Putri Ular Putih

“Tabungannya cukup banyak. Hari ini aku telah mengundurkan diri dari toko obat tempatku bekerja, karena bermaksud membuka toko obat milik kami sendiri.”

Wajah Fu Yun berseri. “Tetaplah berhati-hati,” katanya memperingatkan Xu Xian. “Karena kau baru akan melakukannya untuk yang pertama kali. Pertimbangkan langkahmu masak-masak.”

Karena Xu Xian yatim piatu sejak masa kanak-kanak, kakaknyalah yarig merawatnya dengan penuh kasih sayang. Xu Xian lalu mengeluarkan uang 20 tail dari saku bajunya dan memberikannya kepada kakaknya. Fu Yun hampir tidak dapat berkata-kata.

Kemudian Xu Xian kembali ke rumah Bai Su-zhen. Ia dibanjiri pertanyaan tentang pengalamannya hari itu. Dengan terkikik Bai Su-zhen berkata, “Jadi majikanmu tidak percaya engkau benar-benar akan berhenti bekerja. Syukurlah engkau tidak meminta gajimu. Dengan demikian mereka tidak akan memburuk-burukkan namamu. Sekarang beristirahatlah selama beberapa hari. Kita pasti akan sibuk bila nanti toko kita benar-benar telah dibuka. Kakakmu pasti akan merasa kehilangan engkau. Sebaiknya kau sering mengirimkan hadiah kepadanya.”

Tuan Ma dan Tuan Li berkali-kali datang untuk melaporkan semua perkembangan kepada Bai Su-zhen. Persiapan sudah hampir selesai. Perjanjian kerja akan segera ditandatangani. Karena ingin mengetahui semua permasalahannya, Xu Xian pun tak henti mengajukan berbagai pertanyaan kepada Tuan Ma dan Tuan Li. Akhirnya ia merasa puas dan yakin bahwa keduanya benar-benar ahli yang dapat diandalkan.

Page 51: Putri Ular Putih

Beberapa hari kemudian, pada awal bulan April, Bai Su-zhen dan Xu Xian mengirim Tuan Ma dan Tuan Li ke Suzhou.

Suatu sore Xiao Qing berkata kepada Xu Xian, “Akhir-akhir ini, pemandangan di danau sangat indah. Sekarang, karena telah bebas dari majikan dan tokomu, kau harus menikmati keindahannya.”

“Engkau benar. Tetapi, karena aku biasa bekerja, aku takut bila terlalu lama bersantai-santai, aku akan menjadi malas. Sekalipun belum ada yang harus kukerjakan, aku tidak ingin membuang-buang waktu. Kuharap kau mau mengerti, Xiao Qing.”

“Memang benar. Tetapi jangan khawatir. Dalam waktu setengah bulan, kita akan mendengar kabar dari Suzhou. Kakakku sedang sibuk mempelajari buku obat-obatan di ruang belakang sebagai pengisi waktu. Kau harus menirunya.”

“Jadi, ia juga mengerti tentang obat-obatan?” “Kurasa ia lebih pandai daripada tabib.” “Tentunya buku obat-obatan itu berasal dari

keluarganya. Aku harus belajar dari istriku.” Ketika mereka sedang berbicara, Bai Su-zhen

datang dan mendengar percakapan mereka. “Suamiku! Kau ingin belajar obat-obatan?”

“Aku baru tahu hari ini bahwa engkau adalah seorang ahli obat. Aku siap menjadi muridmu.”

“Kelak kita akan mempunyai banyak waktu untuk bersama-sama. Dan engkau pun akan sempat mempelajari banyak hal.”

“Sekarang adalah waktu yang tepat untuk belajar, karena aku tidak mempunyai kesibukan.”

“Kalau demikian, baiklah. Xiao Qing akan menyapu ruang belakang. Kita dapat belajar di ruangan itu. Namun, seni menyembuhkan orang

Page 52: Putri Ular Putih

tidak semata-mata dipelajari dari buku saja. Pengalaman juga penting. Setelah membuka toko obat nanti, aku akan memberikan pelayanan gratis kepada siapa saja yang hendak menanyakan penyakitnya. Bagaimana pendapatmu?”

“Aku setuju sepenuhnya,” jawab Xu Xian. Pada saat mereka berbicara, matahari mulai

bergulir ke barat. “Sekarang, mari kita berjalan-jalan,” kata Bai Su-

zhen kepada Xu Xian. Xiao Qing berdiri di samping meja berbunga. Ia

mengernyitkan keningnya. “Saat ini mereka sangat berbahagia. Apakah kebahagiaan ini akan berlanjut di hari-hari mendatang?”

Page 53: Putri Ular Putih

BBAABB 55

iao Qing menyapu ruangan belakang seperti yang diperintahkan Bai Su-zhen. Di sana berjejer dua

rak buku. Di sampingnya terdapat sebuah meja panjang dengan alat tulis-menulis, buku, dan dua jambangan bunga di atasnya. Di luar ruangan, tampak sebidang halaman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga mawar Cina dan serumpun bambu. Bai Su-zhen menginginkan supaya ruangan itu selalu diatur rapi, agar ia dapat memusatkan pikiran dan perhatiannya. Bai Su-zhen dan Xu Xian duduk berjam-jam di ruangan ini. Mereka mempelajari berbagai buku tentang obat-obatan. Bai Su-zhen menjelaskan beberapa prinsip dasar obat-obatan kepada suaminya. Suatu pagi ketika mereka sedang asyik belajar, Xiao Qing datang. “Ada tamu di luar.”

Bai Su-zhen segera keluar menemuinya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan wajah sukacita. “Kabar baik, Suamiku! Tuan Ma dan Tuan Li telah mengirim surat. Mereka memberitahukan bahwa toko kita terletak di tepi jalan besar dan siap dibuka. Semua telah lengkap. Mereka ingin tahu kapan kita datang.”

“Baik betul mereka! Aku tidak perlu bersusah-susah dan semuanya telah siap. Aku siap berangkat sewaktu-waktu.”

“Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat pertengahan bulan depan,” kata Bai Su-zhen memutuskan.

Xu Xian lalu mengunjungi keluarga dan

X

Page 54: Putri Ular Putih

kerabatnya. Pada suatu hari yang cerah, ia berlari-lari masuk ke rumah, “Istriku, kakakku datang! Untuk menjengukmu!”

Kakak Xu Xian berjalan mengikutinya dari belakang. Itu adalah kunjungannya yang kedua, dan ia mulai mengenal baik adik iparnya. Menurut Fu Yun, Bai Su-zhen adalah wanita dan istri yang cocok bagi adiknya.

Bai Su-zhen menyambut Fu Yun dan berkata, “Hari ini, karena libur, kau punya waktu untuk berbincang-bincang bersama kami?”

“Aku tidak pernah libur! Tetapi karena adikku bercerita bahwa kalian segera pindah ke Suzhou untuk meresmikan toko obat kalian, jadi aku menyempatkan diri untuk datang kemari.”

Bai Su-zhen mengajak Fu Yun ke ruang tamu untuk minum teh. Tak lama kemudian Xu Xian datang, dan ikut berbincang-bincang.

Bai Su-zhen membuka percakapan. “Di toko obatnya dahulu, gaji Xu Xian hanya dua ribu tail setahun. Ini jauh dari memadai. Itu sebabnya ia berhenti bekerja beberapa hari setelah kami menikah. Karena cukup mengenal seluk-beluk bidang obat-obatan, kami pun berminat membuka toko obat. Dan karena kabarnya di Suzhou banyak penyakit, maka kukirimkan dua orang bekas pegawai ayahku ke sana. Mereka kusuruh mencari tempat dan mengatur segala persiapannya. Kemarin, kami menerima surat. Semua telah siap. Sesungguhnya kami bermaksud mengunjungimu dalam waktu dekat untuk berpamitan. Tetapi ternyata engkau sudah mendahului datang.”

“Jadi, kalian benar-benar akan pergi dalam beberapa hari ini,” kata Fu Yun. Raut mukanya

Page 55: Putri Ular Putih

menyiratkan keharuan. Suaranya terdengar sedih. “Begitulah.”Fu Yun memandang Xu Xian dan tersenyum

lembut, “Engkau akan membuka tokomu sendiri, dan istrimu telah menyiapkan segalanya untukmu.” Kemudian ia berpaling kepada Bai Su-zhen, “Adikku tidak berpengalaman, jadi kuharap kau bersedia membantunya. Ia terlalu jujur dan lugu.”

“Engkau benar,” kata Xu Xian membenarkan ucapan kakaknya. “Istrikulah yang mengusulkan untuk membuka usaha ini. Aku setuju, asal ia mau membantuku. Karena tidak berpengalaman, aku takut gagal.”

Xiao Qing yang berdiri di pintu berkata kepada Fu Yun, “Kedua pegawai yang disewa kakakku adalah ahli-ahli yang berpengalaman. Kakakku sendiri ahli obat-obatan. Usaha ini memerlukan kerja sama.”

“Oh,” kata Fu Yun setengah berteriak. “Engkau pun ahli obat rupanya. Hebat sekali.”

“Istriku pandai sekali di bidang ini. Separuh rumah ini berisi buku obat-obatan,” kata Xu Xian bangga.

“Jadi, engkau akan membantunya,” kata Fu Yun. “Tidak, suamikulah yang akan menjadi majikan

usaha ini. Dan karena saudaraku juga akan membantu, pekerjaan sehari-hari di toko tidak akan mendatangkan masalah.”

“Engkau benar-benar rendah hati,” kata Fu Yun. “Setelah kalian berangkat, aku siap membantu bila sewaktu-waktu diperlukan.”

“Kuharap hal itu tidak akan pernah terjadi,” kata Xu Xian. “Kalau pun ada, aku akan menulis surat.”

Fu Yun menjawab dengan mata berbinar-binar, “Nanti bila kalian kembali ke sini, kuharap kalian sudah mempunyai anak. Mereka pasti memerlukan

Page 56: Putri Ular Putih

perawat.” Xiao Qing menukas, “Sebaiknya kita makan

sekarang. Entah kapan kita akan dapat bertemu lagi.”

Bai Su-zhen mengulangi undangan itu dan memaksa Fu Yun untuk tidak cepat-cepat pergi. Selesai makan, mereka masih bercakap-cakap. Baru sesudahnya, Fu Yun mohon diri, diantar Xu Xian sampai ke rumahnya.

“Adikku, istrimu sangat baik. Karenanya kau harus memperlakukannya dengan baik pula. Dan ingatlah! Bila nanti uangmu sudah menumpuk, berhati-hatilah terhadap kawan-kawanmu. Karena mereka akan dapat mendatangkan kesulitan. Sungguh tidak adil bagi Bai Su-zhen.”

“Ya, aku harus berlaku baik kepada istriku.” Setiba di rumah Fu Yun, Xu Xian segera

berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal. Malam harinya Bai Su-zhen bertanya, “Bagaimana keadaan kota Hangzhou dalam beberapa waktu terakhir?”

Xu Xian menjawab, “Kudengar kantor Bendahara Kota kecurian uang sebanyak tiga ribu tail emas.”

Bai Su-zhen menanggapi dengan hati-hati, “Bukankah kantornya selalu dikunci rapat. Siapa yang berani mendobrak dan mencuri isi lemari?”

“Itulah anehnya, “jawab Xu Xian. “Kabarnya kuncinya tetap dalam keadaan baik dan dindingnya tidak dirusak. Uang menghilang begitu saja, seperti menguap di udara.”

Bai Su-zhen menjawab, “Wah! Para pegawai yang tak jujur itu pasti akan memeras rakyat untuk mengganti uang yang hilang. Mudah-mudahan mereka tidak menangkap rakyat yang tidak bersalah.”

Page 57: Putri Ular Putih

Beberapa hari kemudian, Xu Xian menyewa sebuah perahu dan tiga pegawai untuk mengangkut barang-barangnya. Ia juga mengajak serta tiga orang pembantu. Mereka lalu berangkat ke Sizhou. Biasanya dengan perahu sebesar itu, perjalanan akan memakan waktu sekurangnya sepuluh hari. Namun, begitu Bai Su-zhen naik ke atas perahu, angin berhembus kencang. Perahu berlayar kira-kira 15 kilometer dalam sehari. Setiap kali mereka berhenti, angin pun berhenti berhembus.

Para penumpang lainnya di perahu menduga bahwa mereka beruntung. Mereka tidak mencurigai hal-hal lain. Tetapi keesokan harinya, Bai Su-zhen sudah terjaga semenjak fajar. Sesaat setelah ia mengacungkan telunjuknya beberapa kali ke langit, angin datang, dan perahu pun mulai berlayar lagi. Ia tidak menyadari bahwa Xu Xian memperhatikan dirinya dan terheran-heran istrinya dapat mengatur hujan dan angin. Namun ia diam saja dan baru ketika makan siang ia memberanikan diri untuk bertanya.

“Istriku, pagi ini kulihat engkau menunjuk ke langit, dan sesudahnya angin mulai berhembus. Apakah engkau dapat mengatur angin dan hujan?”

Bai Su-zhen memandang lagi ke langit dan tersenyum. “Bagaimana mungkin aku dapat melakukan hal itu? Aku hanya menunjuk bintang!”

Karena mengira bahwa dirinya bermimpi, Xu Xian tidak lagi bertanya. Hingga mereka tiba di Suzhou, angin selalu berhembus kencang dan perahu berlayar tanpa gangguan.

Akhirnya mereka pun tiba di Gerbang Surga, kota Suzhou. Xu Xian melihat tokonya berdiri dengan megah di tepi jalan utama di kota itu. Dipimpin oleh

Page 58: Putri Ular Putih

Tuan Ma dan Tuan Li, para pegawai datang menyambut dan menyalaminya.

Xu Xian benar-benar kagum melihat toko barunya. “Setidaknya kuperlukan waktu enam bulan untuk membangun toko sebesar ini,” pikirnya. “Semua botol dan guci tersusun rapi. Tiga bangunan yang terdiri dari tempat tinggal, toko, dan apotik, semuanya dalam keadaan sempurna. Bai Su-zhen mengatakan bahwa dengan bantuan Tuan Li dan Tuan Ma, aku tidak perlu khawatir. Kupikir ia hanya ingin menenangkan hatiku. Ternyata ia tidak berbohong. Betapa beruntungnya kau ini, Xu Xian.”

Setelah menyalami Tuan Ma dan Tuan Li, Xu Xian segera menurunkan barang-barang dari perahu dan membawanya masuk ke dalam toko.

Ia mengusulkan agar bangunan yang terletak di tengah, dijadikan tempat tinggal, agar ia dapat mengawasi bangunan toko di kiri kanannya. Bangunan itu sangat luas, terang dan mempunyai banyak jendela. Ruang keluarga pun lebar. Xu Xian meletakkan meja kursi yang ia bawa dari rumah mereka di Hangzhou. Kamar itu berada di depan. Di dalamnya terdapat meja hias dari kayu cendana. Di sampingnya ada lemari pajangan yang berisi barang-barang antik. Di sebelah kirinya terlihat dua lemari pakaian, dua kursi yang terbuat dari kayu pohon pir, dan sebuah tempat tidur berukir. Sebuah kaca besar terletak di sebelah meja hias.

Dari pintu Xiao Qing memanggil, “Semua peti pakaian dan lemari di ruang belakang. Tetapi di sana ada tempat tidur anak-anak. Aku tidak tahu di mana sebaiknya tempat tidur itu diletakkan.”

“Bukankah kami belum mempunyai anak,” kata Xu Xian.

Page 59: Putri Ular Putih

“Cepat atau lambat, kalian akan memilikinya!” “Xiao Qing sedang menggoda kita,” kata Bai Su-

zhen.“Aku tidak menggoda. Apakah kalian benar-benar

tidak ingin mempunyai anak?” tanya Xiao Qing. Xu Xian berusaha menyembunyikan senyumnya

dan berpura-pura melanjutkan mengatur ruangan. Kemudian ia bertanya kepada istrinya, “Di mana engkau akan memeriksa pasien-pasienmu?”

“Bangunan paling depan mempunyai tiga ruangan. Cocok untuk dijadikan tempat menerima pasien. Kalau nantinya terlalu kecil, kita cari ruangan lain.”

“Dengan pemeriksaan gratis, aku yakin orang akan berduyun-duyun ke sini. Dengan adanya tiga ruang berderetan, kurasa kaudapat memeriksa banyak orang, dan tidak akan memerlukan tambahan ruangan.”

“Kita lihat saja nanti.” Karena pengetahuan istrinya tentang obat-obatan

cukup mendalam, Xu Xian tidak berani membantah, sekalipun di dalam hati ia merasa ragu.

Atas usul Bai Su-zhen, toko itu dinamakan ‘Rumah Kasih’. Ia ingin tokonya terkenal sebagai tempat menolong orang dan bukan sekedar tempat mencari untung. Dari pagi hingga waktu makan siang, Bai Su-zhen memeriksa pasien. Setiap pasien menerima nomor. Siapa datang lebih cepat akan dipanggil lebih awal. Tetapi bila suatu kali datang seorang pasien yang sakit parah, ia akan mendapat pelayanan tanpa harus menunggu giliran. Resep obat pun segera diberikan. Orang miskin boleh tidak membayar.

Mula-mula hanya sedikit orang yang datang, karena mereka menyangsikan kemampuan ‘tabib

Page 60: Putri Ular Putih

wanita’. Tetapi kemudian tempat itu segera ramai dipadati pasien yang hendak berobat.

Suatu hari setelah makan malam, Xu Xian berkata kepada Bai Su-zhen, “Setiap hari kau memeriksa tiga puluh orang tanpa istirahat. Sebaiknya mulai hari ini kaubatasi jumlah pasienmu.”

Bai Su-zhen tersenyum. “Benar katamu. Tetapi ingat! Mereka yang datang adalah orang-orang miskin. Aku tidak sampai hati menolak mereka.”

“Engkau benar-benar wanita yang baik. Namun, bila terus berlanjut, engkau pasti kelelahan. Apalagi kau bekerja tanpa makan dan minum,” ungkap Xu Xian pula.

Sebelum Bai Su-zhen menjawab, Xiao Qing menyela, “Xu Xian benar. Aku yang hanya bertugas menulis resep bergantian dengan Xu Xian, tak sempat beristirahat. Kurasa lebih baik bila jumlah pasien kita batasi.”

Bai Su-zhen akhirnya setuju. Ia berjanji untuk menerima paling banyak tujuh belas pasien sehari. Bila yang datang lebih dari jumlah yang ditentukan, mereka akan dilayani keesokan harinya. Xu Xian menempel pengumuman mengenai hal ini di pintu luar.

Semakin hari pasien Bai Su-zhen semakin bertambah banyak. Ia berhasil menyembuhkan wanita lumpuh yang hampir buta, wanita lanjut usia yang terkena disentri, seorang pria muda yang terserang demam dan hampir saja meninggal, seorang wanita yang menderita sakit dada sehingga tidak dapat menelan.

Orang-orang mulai memuji keberhasilannya. Seseorang mengusulkan untuk mengirim upeti kepada Bai Su-zhen. “Ia benar-benar orang suci. Kita

Page 61: Putri Ular Putih

tidak perlu membayar ongkos pemeriksaan dan obat. Kita harus mengumpulkan uang dan menandatangani surat ucapan terima kasih, yang akan kita gantungkan di pintu rumahnya. Dengan demikian, kebaikannya tak akan terlupakan.”

Semuanya setuju. Surat pernyataan terima kasih itu segera dibuat.

“Ibu Tabib Bai Su-zhen, pemilik Rumah Kasih. Anda kami anggap Dewi Bai. Dengan ini kami beritahukan bahwa kami telah sembuh berkat perawatan yang Anda berikan. Tuan Xu dan Nona Xiao Qing juga telah membantu kami dengan tulus ikhlas. Kebaikan Anda bertiga tidak akan pernah kami lupakan.”

Di bawah tulisan ini, lima puluh orang membubuhkan tanda tangannya. Dengan genderang dan gong, mereka membawa surat pernyataan ini dengan khidmat ke toko Xu Xian. Bai Su-zhen merasa terharu atas perbuatan mereka ini. Begitu pula Xu Xian dan Xiao Qing.

Page 62: Putri Ular Putih

BBAABB 66

ejak Surat Pernyataan itu digantungkan di pintu toko, rumah pengobatan mereka semakin ramai

dikunjungi orang. Bai Su-zhen pun lebih giat bekerja tanpa mengenal lelah. Namanya semakin dikenal di segala penjuru.

Pada suatu saat, Suzhou terjangkit wabah suatu penyakit. Toko obat Bai Su-zhen menjual pil penyembuh dan pencegah penyakit itu.

Pada tanggal 14 April, Lu Dong Bin berulang tahun. Ia merayakannya secara besar-besaran di kuil keluarga Lu, yang dikenal sebagai tabib terkemuka. Xu Xian berdiri di luar memandang beratus-ratus orang yang lalu-lalang di muka tokonya. Sebagian akan pergi ke kuil Lu, sebagian yang lain kembali dari sana. Xu Xian kemudian pergi menemui istrinya.

“Hari ini keluarga Lu sedang merayakan ulang tahun,” katanya. “Karena kita juga punya toko obat, aku bermaksud pergi ke kuil untuk membakar kemenyan. Apakah engkau mau ikut?”

“Aku sangat lelah. Pergilah seorang diri, karena aku tidak dapat pergi bersamamu. Tetapi cepat-cepatlah kembali. Masih banyak pekerjaan menunggu di toko.”

“Baiklah. Aku tidak akan lama.” Xu Xian lalu berangkat ke kuil Lu, dengan

membawa beberapa batang hio. Saat itu kuil keluarga Lu telah dipenuhi pengunjung. Mereka berdoa sambil membakar kemenyan. Di luar, para pedagang ramai

S

Page 63: Putri Ular Putih

berjualan. Para pendeta pun memanfaatkan kesempatan dengan menjual mantra-mantra sakti yang ditulis pada kertas-kertas khusus.

Xu Xian memandang ke sekelilingnya. Ia membakar kemenyan dan berdoa. Pada saat ia bermaksud pulang ke rumahnya, dilihatnya orang-orang bergerak ke sudut kanan kuil. Seseorang berkata, “Mari kita ke sana.” Karena ingin tahu Xu Xian ikut berjalan mengikuti pengunjung yang lain.

Di luar ruang utama, ia melihat sebuah pengumuman yang digantungkan di dinding:

“Aku diperintahkan guru-guruku untuk berdoa dan memelihara hubungan baik dengan para dewa. Apa pun penyakitmu, datanglah kepadaku. Sekarang aku di sini. Jika Anda menempelkan tulisan keramat2 ini di rumah Anda, kujamin semua setan dan penyakit akan hilang. Namaku Guo Wei dan aku mempunyai kemampuan menguasai elemen3 kehidupan dan mengusir roh jahat. Siapa pun yang datang menyembah Yang Abadi, ia tidak akan salah jalan.”

Xu Xian mengenalinya sebagai pendeta penjual obat-obatan. Ia datang mendekat. Pendeta itu memakai topi berwarna keemasan, dengan lambang swastika, lambang keberuntungan di atasnya, dan mengenakan baju penganut agama Tao dari bahan linen dan sepasang sandal. Alis matanya tebal dan mulutnya lebar. Di hadapannya, terdapat sebuah meja berisi kertas, tinta dan alat tulis, bendera

2 Tulisan keramat adalah huruf-huruf Cina yang ditulis dengan tinta hitam pada sehelai kertas merah, dan dipakai sebagai jimat. Orang percaya bahwa ini adalah mantra dari para dewa yang mempunyai kekuatan untuk mengusir roh jahat, dan melindungi kebaikan.3 Lima Elemen kehidupan yang diyakini orang Cina adalah lima kekuatan alam, yaitu: Emas atau Metal, Kayu, Air, Api, dan Bumi atau Tanah.

Page 64: Putri Ular Putih

berbintang tujuh, pedang bermata ganda, dan alat-alat lain untuk keperluan upacara.

Karena tidak tertarik, Xu Xian bersiap-siap untuk pergi. Tiba-tiba pendeta itu berseru. “Wo! Wo! Ada roh jahat di sini.”

Xu Xian berhenti. Ia melihat pendeta itu sedang menunjuk dirinya, sambil berseru, “Roh jahat mendekam dalam tubuh orang ini.”

Beberapa orang yang mengenal Xu Xian tertawa. “Ia keliru. Bukankah kita semua tahu bahwa Xu Xian adalah suami Nona Bai, penyelamat kita. Tidak ada roh jahat di dalam dirinya.”

Xu Xian pun ikut tersenyum. Namun tampaknya pendeta itu tak tergoyahkan. “Namaku Guo Wei. Aku sangat berpengalaman dalam mengusir roh jahat. Orang ini dikuasai dua roh jahat. Istrinya adalah roh jahat itu.”

Xu Xian berpikir, “Bagaimana mungkin istriku yang tidak bersalah dikatakan roh jahat. Memang benar ia mendapat uang dengan mudah. Tetapi ia baik hati.”

Dengan suara keras Xu Xian berkata, “Ada tiga orang di dalam rumah saya. Semuanya orang baik-baik. Bukan roh jahat.”

Guo Wei menjawab, “Aku yakin ada roh jahat di sana. Di mana keluarga istrimu tinggal?”

“Ia tidak punya keluarga. Mereka semua telah meninggal.”

“Dari mana istrimu berasal?” “Dari Sizhou. Ia membawa dua pembantu dari

sana. Karena saya belum pernah ke Sizhou, saya tidak dapat berbicara banyak mengenai kota itu.”

Guo Wei lalu memejamkan matanya, dan membukanya kembali. “Kekuatan gaibku mengatakan

Page 65: Putri Ular Putih

bahwa istrimu adalah seorang peri yang jahat.” “Apa maksud Tuan?” “Aku tidak tahu. Yang jelas, bila roh jahat ini tidak

segera dibinasakan, akibatnya akan sangat buruk untukmu!” kata pendeta itu mengingatkan.

Xu Xian menggelengkan kepala tak percaya, “Saya yakin Tuan hanya membual.”

“Ambil saja jimatku ini tanpa harus membayar,” kata Guo Wei. “Karena bila aku meminta ongkosnya, kaupikir aku ingin menipumu. Dengan ketiga jimat ajaib ini, engkau dapat menangkap roh jahat itu dan berterima kasih kepadaku. Bila tidak terjadi sesuatu, aku takkan mengganggumu lagi.”

“Baiklah! Berikan ketiga jimat itu kepada saya,” kata Xu Xian.

Guo Wei memandang pengunjung yang berkerumun di sekelilingnya. “Tuan Xu setuju untuk memusnahkan roh jahat itu. Aku sekarang akan memberinya tiga jimat ajaib.” Ia menoleh ke arah Xu Xian dan mengajarkan cara menggunakan ketiga jimat itu. “Jimat yang pertama akan melindungimu. Engkau harus menyembunyikannya di balik kursimu. Yang kedua harus kautempelkan di pintu agar roh jahat itu tidak dapat melarikan diri. Yang ketiga adalah jimat untuk menangkap roh itu. Jika engkau melihatnya bersembunyi, peganglah jimat ini. Roh jahat itu akan kembali ke bentuk aslinya, dan setelah itu engkau akan dapat menangkapnya.”

“Kata-katamu benar-benar keterlaluan,” kata Xu Xian. Ia ragu-ragu untuk menerima ketiga jimat itu.

“Ia tidak minta bayaran,” teriak seseorang. “Jadi, tidak ada ruginya mencoba.”

Xu Xian mengangguk, “Baiklah, akan kucoba.” Pendeta itu lalu menulis tiga tulisan keramat.

Page 66: Putri Ular Putih

Jimat yang pertama disembunyikannya pada topi Xu Xian. Jimat yang kedua dan ketiga ia letakkan pada tangan kiri dan kanan Xu Xian.

“Tulisan yang ketiga ini adalah yang paling penting,” katanya mengingatkan. “Jagalah agar mereka tidak melihatnya. Lakukan seperti yang kukatakan, maka roh jahat itu akan kalah.”

“Masih ada hal lain yang saya perlukan?” “Tidak. Aku tahu kau tinggal di Rumah Kasih. Aku

akan datang ke rumahmu nanti dan melihat apa yang terjadi.”

“Kalau kukatakan hal ini kepada Bai Su-zhen, pasti ia tertawa,” kata Xu Xian kepada dirinya sendiri. Ia bergegas pulang. Setibanya di rumah ia berteriak memanggil istrinya sambil melambai-lambaikan jimat itu. “Istriku, aku bertemu seorang pendeta aneh di kuil Lu. Ia mengatakan bahwa ada roh jahat di rumah kita. Lalu ia memberiku tiga tulisan keramat untuk menangkap roh jahat itu. Lucu sekali!”

Bai Su-zhen menahan napasnya. Karena tidak juga menjawab, Xu Xian tiba-tiba merasa takut dan menahan langkahnya.

“Aku mendengar apa yang kaukatakan,” teriak Bai Su-zhen dari dalam. “Mengapa engkau tidak segera masuk?”

Bai Su-zhen tertawa, “Kalau aku benar-benar roh jahat, apakah engkau akan menangkapku? Kalau bukan, orang-orang akan tahu bahwa pendeta itu penipu, ‘kan?”

Xu Xian masuk ke dalam dan menceritakan di mana ia menyimpan ketiga jimatnya.

“Lakukanlah apa yang diajarkannya kepadamu,” kata Bai Su-zhen dengan tenang. “Kalau tidak terjadi sesuatu, engkau akan merasa lega.”

Page 67: Putri Ular Putih

Xu Xian membenarkan kata-kata istrinya. Setelah menempelkan jimat yang kedua di pintu, Xu Xian memandang istrinya. Namun dilihatnya istrinya tenang-tenang saja.

“Bagaimana dengan jimat yang ketiga?” tanyanya. Xu Xian bersandar di ambang pintu. “Aku takut

menggunakannya.”“Apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanya

Bai Su-zhen menantang. “Bukan demikian. Akan kulakukan sekarang juga.”

Ia segera menghadapkan jimat itu ke arah Bai Su-zhen. Namun ternyata tidak sesuatu pun terjadi. Xu Xian membiarkan jimat itu jatuh ke lantai. Bai Su-zhen tetap tidak bergerak.

“Engkau tahu, dari tadi sudah kukatakan bahwa pendeta itu berbohong,” kata Xu Xian. “Tetapi mengapa ia menuduh orang yang tidak bersalah?”

“Tidakkah engkau mengerti, Semua orang di sini mengenalku. Ia telah mempengaruhimu dengan bualannya, dan memberimu jimat ini untuk menangkap roh jahat. Engkau telah membuktikan sendiri, tidak sesuatu pun terjadi. Maka engkau pun berpikir bahwa pendeta itu menipumu. Namun ingatlah, ia tidak minta dibayar dan engkau tidak memberinya uang. Tetapi engkau telah memberinya sesuatu yang lebih besar kepercayaanmu. Setelah engkau pergi, ia akan mengatakan kepada semua orang bahwa Xu Xian, suami Nona Bai, percaya kepadanya, dan dalam waktu dekat engkau akan kembali dan memberinya uang. Dengan demikian mereka akan membeli dagangannya. Dan karena ia mengatakan bahwa ia akan segera pergi dari kota ini, maka orang-orang akan bergegas membeli dagangannya. Bukankah begitu?”

Page 68: Putri Ular Putih

“Benar juga. Akan kudatangi ia sekarang,” kata Xu Xian dengan marah.

Bai Su-zhen memberinya secangkir teh, dan tersenyum lembut. “Apa maksudmu? Jika engkau datangi ia kembali untuk mengatakan bahwa jimatnya palsu, ia pasti akan menjawab, ‘Tuan Xu, ternyata aku keliru. Syukurlah engkau belum memberiku uang. Dengan demikian, tidak ada masalah, bukan?’ Kali ini engkau telah tertipu. Kuharap lain kali engkau lebih berhati-hati. Apa gunanya berpayah-payah mendatanginya kembali?”

Xu Xian menangkap maksud Bai Su-zhen dan dengan geram melempar ketiga jimat itu ke tempat sampah. “Pendeta tua itu penipu. Mengapa semudah itu aku dipengaruhi?”

Bai Su-zhen memanggil Xiao Qing dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Diperintahkannya agar Xiao Qing pun berhati-hati.

“Apakah engkau membiarkan pendeta tua itu pergi begitu saja?” tanya Xiao Qing.

“Oh, ia hanya pendeta biasa. Biarkan saja.” “Aku tidak setuju,” bantah Xiao Qing. “Dengarkan

aku. Engkau sangat terkenal sekarang. Aku yakin ia akan mencoba lagi. Tentunya hal itu akan menimbulkan masalah. Ia harus tahu bahwa engkau tidak takut pada jimat apa pun. Engkau juga harus membuktikan kepada orang banyak bahwa ia penipu. Aku akan menciptakan angin untuk menerbangkannya ke Yunnan. Ia tidak boleh berada di kota ini. Sungguh tidak aman bagi kita.”

Bai Su-zhen berpikir sebentar. “Aku rasa engkau benar,” keluhnya. “Baiklah, tetapi jangan lukai dia.”

“Tentu saja tidak,” kata Xiao Qing tak sabar. Bai Su-zhen menceritakan kepada Xu Xian apa

Page 69: Putri Ular Putih

yang akan mereka lakukan. Namun ia tidak menyebut rencana Xiao Qing menerbangkan pendeta itu ke Yunnan.

Xu Xian menyetujui sepenuhnya rencana mereka. “Pendeta Guo benar-benar penipu. Jangan biarkan

ia tinggal di kota ini.” Kemudian Xu Xian menyewa dua tandu untuk

membawa dirinya bersama Bai Su-zhen ke tempat pendeta Guo. Saat itu si pendeta tua sedang duduk menanti Xu Xian. Ia melihat Xu Xian datang bersama dua orang lainnya. Dari tempat duduknya ia dapat melihat sinar putih memancar dari rambut Bai Su-zhen dan sinar hijau dari rambut Xiao Qing. Ia berteriak ketakutan.

“Roh jahat berani datang ke kuil. Gawat!” “Lihat,” kata Xu Xian, “Itu dia di sana.” Bai Su-zhen mendekati Guo Wei. Ia melihat

pendeta itu sedang memejamkan mata sambil membaca mantra-mantra.

“Iblis, berani benar engkau datang ke mari!” kata Guo Wei.

Tanpa merasa bersalah, Bai Su-zhen menatap lurus ke matanya. “Mengapa engkau menyumpah-nyumpah? Kaubilang aku roh jahat. Suamiku telah melakukan apa yang kauajarkan kepadanya, dan ternyata tidak sesuatu pun terjadi. Itu sebabnya aku sengaja datang ke sini, agar engkau dapat mencobanya dan buktikan sendiri apakah aku benar-benar roh jahat. Dan apa yang akan kaulakukan bila dugaanmu keliru?”

Orang-orang pun mulai berdatangan, “Ya, apa yang akan kaulakukan, Pendeta?”

Guo Wei menjawab, “Ia adalah roh jahat. Seandainya kata-kataku keliru, aku akan berhenti

Page 70: Putri Ular Putih

menjadi pendeta, dan meninggalkan negeri ini.” “Kalau aku roh jahat,” kata Bai Su-zhen, “Aku

akan mati. Kalau tidak, engkau harus segera pergi. Adil, bukan?”

Bai Su-zhen melihat ke sekitarnya. Orang-orang berteriak, “Tidak, itu tidak adil!”

“Kaudengar sendiri,” lanjutnya. “Itu tidak adil. Tetapi karena aku tidak ingin menyulitkan dirimu, jadi aku menyetujui persyaratan yang kauajukan.”

“Aku akan menuliskan sebuah jimat yang harus kautelan. Aku yakin engkau akan kembali ke bentukmu sesungguhnya,” kata Guo Wei.

“Baik. Silakan,” kata Bai Su-zhen tenang. Lalu ia mengambil jimat itu dan berkata, “Aku

akan menelan kertas ini. Tapi katakan dulu roh macam apa aku ini.”

Pendeta itu tidak terlalu pandai. Ia tidak tahu bahwa Bai Su-zhen secara diam-diam telah mengubah bentuk aslinya menjadi seekor rubah. Karena yang dilihatnya adalah bentuk seekor rubah, maka ia berkata, “Engkau adalah seekor rubah, bukan?”

“Baiklah. Aku adalah seekor rubah. Tuan-tuan, lihatlah. Aku akan segera memakan jimat ini.” Bai Su-zhen lalu menelan kertas itu, dan meneguk secangkir air, dan meletakkan kembali cangkir itu. Kemudian dengan tenang ia berjalan ke halaman.

Guo Wei menyadari kecerdikan Bai Su-zhen. Ia mampu menyembunyikan bentuk aslinya. Tetapi siapa yang akan mempercayai kata-katanya? Pendeta itu menjadi kebingungan dan menyadari bahwa ia tidak dapat melarikan diri.

“Nah! Aku telah menelan kertas jimatmu, dan ternyata tidak sesuatu pun terjadi”

Page 71: Putri Ular Putih

“Ini sungguh-sungguh aneh,” kata si pendeta tergagap-gagap.

Sementara itu Xiao Qing yang telah menciptakan lima roh berbentuk manusia, berdiri di antara orang-orang yang mengerumuni mereka. Kelima roh itu berteriak, “Usir penipu tua ini!”

Guo Wei merasa keadaannya tidak aman. Ia segera kabur, menyeruak di antara kerumunan orang, dan berlari dari pintu kuil.

Xiao Qing berdiri di halaman berkecak pinggang. Matanya membelalak. Bai Su-zhen memanggilnya, “Xiao Qing, engkau tidak melakukan apa yang kuperintahkan. Tetapi orang-orang telah melihat pendeta itu pergi. Mari kita segera pulang. Aku yakin pendeta itu tidak akan mengganggu kita lagi.”

Xiao Qing memahami maksud kakaknya. Ia segera pergi meninggalkan kuil itu, lalu memanggil angin hitam yang kemudian menerbangkannya ke tempat Guo Wei yang saat itu sedang berlari menyusuri lorong Xiao Qing mencegatnya.

“Hei pendeta! Mau ke mana engkau?” panggilnya. Melihat Xiao Qing, Guo Wei berhenti berlari. Ia

tahu bahwa Xiao Qing telah menggunakan ilmu sihirnya “Dari mana engkau tahu aku ada di sini?”

Xiao Qing tertawa. “Kepandaian sihirmu harus kumusnahkan,” katanya.

“Aku tidak ingin membicarakan hal itu sekarang. Aku hanya ingin melarikan diri dari Suzhou. Aku tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang saudaramu,” kata Guo Wei gugup.

“Aku tahu engkau sudah meninggalkan Suzhou. Tetapi suatu saat engkau akan kembali lagi bersama orang-orang yang jauh lebih pandai. Sekarang engkau harus mengikuti perintahku,” bentak Xiao Qing.

Page 72: Putri Ular Putih

“Mengikuti perintahmu? Maksudmu, engkau akan menyakiti diriku? Oh, betapa sengsaranya aku!” tangis Guo Wei.

“Menyakitimu? Tidak. Bila aku ingin membunuhmu, aku dapat melakukannya kapan saja. Untuk membuktikannya, akan kutunjukkan sesuatu.”

Xiao Qing melihat ke sekelilingnya. Ia melihat serpihan-serpihan batu besar yang tersebar di kaki dinding. Xiao Qing menunjuk benda itu, dan berkata, “Terbang dan bersatulah!”

Serpihan-serpihan itu menyatu menjadi sebuah batu yang besar dan berat, dan terbang ke awang-awang.

Guo Wei gelagapan. Xiao Qing berseru lagi, “Kembalilah ke tempatmu semula!” Batu itu turun kembali, dan menjadi serpihan-serpihan yang menyebar di kaki dinding.

“Mari!” ajak Xiao Qing. “Sekalipun di sini sepi, sewaktu-waktu akan ada orang lewat. Naiklah!”

Guo Wei mendapatkan dirinya terbang di langit. Ia memejamkan matanya ketakutan. Xiao Qing memegangnya erat-erat. Mereka melaju dengan cepat berkat angin ciptaan Xiao Qing. Guo Wei tidak berdaya dan terpaksa menaati perintah Xiao Qing. Ia tidak tahu berapa lama mereka terbang, namun bulan telah bersinar ketika mereka mendarat di suatu jalan besar.

“Engkau berada di Yunnan sekarang,” kata Xiao Qing. “Kota terdekat kira-kira 16 km jauhnya dari sini Pergilah ke sana. Aku telah meminta kepada dewa-dewa di bumi ini untuk mencegahmu pergi dari Yunnan. Bertindaklah lebih hati-hati!”

Guo Wei tak dapat membantah. Xiao Qing

Page 73: Putri Ular Putih

kemudian memasukkan tangan ke sakunya untuk mengambil sejumlah uang dan memberikannya kepada Guo Wei. “Ini untukmu, pakailah. Setiap kali engkau membayar dengan uang ini, engkau akan teringat pada kemurahan hatiku.”

Guo Wei tidak menyangka bahwa Xiao Qing akan memberinya uang. Ia membungkuk dalam-dalam dan berkata, “Aku sangat berterima kasih kepadamu.”

Xiao Qing menjawab, “Setidaknya, engkau telah berhutang budi kepadaku. Pergilah sekarang juga!”

Kemudian dengan mengendarai angin Xiao Qing terbang kembali ke rumahnya.

Page 74: Putri Ular Putih

BBAABB 77

ai Su-zhen menggunakan kekuatannya untuk menyibakkan jalan dari kerumunan orang. Ia

memberi isyarat kepada Xu Xian untuk mengikutinya.

Dalam perjalanan pulang, Xu Xian berkata, “Sayangku, begitu marahnya aku tadi sehingga hampir tidak sanggup berkata-kata. Aku bersyukur kau berhasil menguasai keadaan. Aku yakin orangtuamu telah mewariskan sifat-sifat yang baik kepadamu.”

“Sekarang semuanya telah berlalu. Sebaiknya kita lupakan saja kejadian hari ini,” kata Bai Su-zhen.

“Ya! Bila tidak ada lagi yang harus kaukerjakan, sebaiknya kita segera menyewa tandu untuk pulang.”

“Jangan. Jalanan sudah sepi, lebih baik kita berjalan kaki saja.”

Lalu keduanya berjalan pulang. Tak seorang pun di toko mengetahui kejadian di kuil Lu. Semua bekerja seperti biasa. Dan Xu Xian pun tidak mengatakan sesuatu.

Meskipun Xiao Qing adalah orang pertama yang keluar dari kuil, ia belum juga tiba di rumah, ketika keduanya sampai.

“Ke mana Xiao Qing?” tanya Xu Xian khawatir. “Sedang mengunjungi seorang kawan. Ia tidak

akan salah jalan,” jawab Bai Su-zhen. Xu Xian merasa lega.

Suatu malam, ketika Xu Xian sedang duduk

B

Page 75: Putri Ular Putih

seorang diri di kantornya memeriksa keuangan, Bai Su-zhen melihat bulan bersinar di langit yang tak berawan. Pemandangan sangat indah. Setelah memanggil Xiao Qing, keduanya lalu naik ke loteng dan memandang ke kota Suzhou. Bayang-bayang hitam rumah penduduk terlihat bagai orang yang sedang tidur nyenyak.

Angin dingin berhembus. Karena melihat Bai Su-zhen mengenakan baju yang sangat tipis, Xiao Qing pun berkata, “Kakak, hari semakin dingin. Mari kita turun sekarang. Aku takut kau akan jatuh sakit”

“Jangan khawatir. Kita duduk sebentar di sini,” jawab Bai Su-zhen. “Memandang bulan sungguh membahagiakan hati.”

“Xu Xian agak aneh beberapa waktu terakhir ini,” kata Xiao Qing.

“Ya! Tetapi ia jujur, tak pernah merahasiakan sesuatu. Seperti kejadian Guo Wei, ia menceritakannya secara terus terang kepadaku.”

“Ia memang orang yang sangat baik.” Bai Su-zhen tertawa. “Sebagai seorang suami, ia

sangat terpuji. Ia tidak pernah berbohong kepadaku.” Ketika Xiao Qing akan mengatakan sesuatu, Xu

Xian berteriak memanggil. Xiao Qing menjawab, “Kami di sini, memandang

bulan. Naiklah ke loteng!” Xu Xian pergi ke halaman belakang. Sambil

menaiki tangga ia berkata, “Rupanya kalian sedang bercengkerama. Sungguh menyenangkan.”

Sambil memegang tangan Xu Xian, Bai Su-zhen berkata, “Lihat! Walaupun bulan tidak penuh, sinarnya cukup terang. Indah, bukan?”

Tiba-tiba Xu Xian berteriak, “Tanganmu dingin sekali, sayang. Sebaiknya kita segera masuk.”

Page 76: Putri Ular Putih

“Jangan khawatir. Tinggallah di sini barang sebentar. Semua orang yang tidur tak akan tahu betapa indahnya bulan malam ini. Kesejukan seperti ini sungguh menyenangkan!”

“Tapi angin bertiup kencang,” bantah Xu Xian, “Dan bajumu terlalu tipis. Masuklah!”

Bai Su-zhen menggigil kedinginan. Sambil menggandeng Xu Xian, ia pun turun. Tiba-tiba ia merasa kurang enak badan, tanpa tahu sebabnya.

Sekitar hari kelima bulan kelima, mereka benar-benar sibuk. Xu Xian berjalan hilir-mudik di tokonya, Bai Su-zhen dan Xiao Qing sibuk membuat nasi dan kue apel.

Tiba-tiba seorang pegawai masuk ke dalam memanggil Xu Xian. Di luar ada seorang pendeta Budha yang ingin menemuinya.

“Mengapa menggangguku? Beri saja ia uang dan suruh ia pergi,” kata Xu Xian tak sabar.

“Tidak! Ia ingin menemui Anda,” kata pegawai itu. “Aneh.” Xu Xian terpaksa menghentikan

pekerjaannya. “Mula-mula saya mengira ia ingin minta sedekah.

Tetapi ia menggelengkan kepalanya ketika saya memberinya uang. Ia berkata bahwa ia ingin menemui Anda. Ia tidak minta uang atau obat.”

“Apakah ia mengetahui namaku?” “Ya. Mungkin ia teman Anda?” Xu Xian menggelengkan kepalanya, terkejut.

“Temanku? Siapa? Perayaan Naga baru akan berlangsung esok hari. Mengapa ia ingin menemuiku hari ini.”

Sambil menyiapkan makanan Bai Su-zhen berkata, “Sebaiknya kautemui saja dia, Suamiku, barangkali ia memerlukan bantuanmu.”

Page 77: Putri Ular Putih

Xu Xian keluar untuk menemui tamunya. Pendeta itu sedang bersandar di pintu. Usianya sekitar enam puluh tahun. Ia memakai topi jerami, baju kuning dari bahan kasar dan sepasang sandal. Alis matanya lebat, matanya memanjang, dan kepalanya botak berkilat-kilat.

Xu Xian mengangguk, “Tuan! Anda ingin menemui saya?”

Pendeta itu berkata, “Jadi engkaulah pemilik Rumah Kasih ini?”

“Ya, sayalah pemiliknya. Saya yakin kita belum pernah berjumpa. Saya masih muda dan teman saya tidak banyak.”

“Engkau tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu Xu Xian.”

“Benarkah? Berita apakah yang akan Anda sampaikan kepadaku?”

Pendeta itu memandang ke seluruh ruangan dan berkata sambil tersenyum kecil. “Aku ingin bicara kepadamu. Apakah engkau mempunyai waktu?”

“Tentu saja. Anda dapat segera menyampaikannya kepada saya.”

“Aku lebih suka bicara berdua saja. Ada tempat yang agak sepi di halaman belakang. Kita dapat berbicara di sana.”

Dalam hati Xu Xian berkata bahwa usul si pendeta cukup aneh. Bila ia ingin berbicara, mengapa harus mencari tempat sepi? “Tidak ada orang lain di toko,” katanya. “Anda dapat berbicara bebas di sini.”

“Aku ingin menceritakan suatu rahasia,” kata pendeta itu. Xu Xian memandang wajah si pendeta. Karena toko sedang banyak pengunjung, pendeta itu diajaknya pergi ke halaman belakang.

“Nah, ceritakanlah!” kata Xu Xian.

Page 78: Putri Ular Putih

Pendeta itu mengibaskan tongkatnya dan berkata, “Untuk sementara tidak akan ada yang dapat masuk ke sini.” Katanya setelah memerintahkan lima peri menjaga pintu masuk. “Apakah engkau belum juga mengenal diriku?”

“Saya tidak tahu dari mana Tuan datang, dan bagaimana saya harus memanggil Anda?” jawab Xu Xian.

“Aku seorang pendeta dari Gunung Emas. Namaku Fa Hai.”

Xu Xian mengangguk, “Jadi Tuanlah pendeta yang terkenal itu.”

Fa Hai berkata, “Engkau terkena penyakit, Tuan Xu. Aku datang untuk menyembuhkanmu.”

Xu Xian terkejut, “Tetapi, saya merasa sehat, dan istri saya dapat mengobati bila saya jatuh sakit.”

“Justru istrimulah penyebabnya,” kata Fa Hai hampir berbisik.

“Jangan berkata yang bukan-bukan,” kata Xu Xian.

“Kaukira ia adalah wanita yang paling cantik di dunia. Engkau keliru. Karena sesungguhnya ia adalah seekor ular putih.”

Xu Xian semakin terkejut, “Ular putih?” Ia menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin! Lagi pula, ia tidak sendirian ketika kami berjumpa untuk pertama kalinya. Ia bersama adiknya, Xiao Qing.”

“Xiao Qing juga seekor ular; ular hijau,” lanjut pendeta itu.

Xu Xian benar-benar dibuatnya kikuk, “Ah!... ‘Bai’ dan ‘Qing’4 memang warna-warna ular. Tetapi saya tidak percaya. Saya orang miskin. Mengapa mereka 4 Dalam bahasa Cina, 'Bai' berarti putih, dan 'Qing' berarti hijau.

Page 79: Putri Ular Putih

ingin mendekati saya? Setelah kami menikah, justru merekalah yang memberi saya uang dan Bai juga telah berbuat baik kepada banyak orang. Rakyat di sini memanggilnya ‘Dewi Bai’.”

“Ia menipumu. Hal seperti ini mudah saja dilakukan roh jahat seperti dirinya. Ia dapat mengubah bentuknya seperti manusia. Jika Engkau tetap bersamanya, sesuatu yang mengerikan akan terjadi padamu!” kata Fa Hai yang rupanya sudah sangat mengenal Bai Su-zhen.

Xu Xian ketakutan. Dengan cemas ia mengetukkan kakinya berkali-kali ke lantai.

Fa Hai meneruskan keterangannya, “Kira-kira sebulan yang lalu, di kuil keluarga Lu, seorang pendeta memberimu tiga jimat, bukan?”

“Ya,” kata Xu Xian membenarkan. Ia gemetar memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Kekuatan pendeta ini kurang kuat. Ia tidak mampu mengetahui bentuk asli istrimu. Jadi, jimat yang diberikannya kepadamu tidak berpengaruh. Kemudian istrimu menghinanya di kuil itu dan Xiao Qing mengusirnya ke Yunnan.”

“Benarkah itu?” tanya Xu Xian. Ia mulai mempercayai pendeta itu.

“Kejadian itu terjadi kurang dari sebulan yang lalu. Semua orang mengetahuinya. Sekarang coba jawab pertanyaanku. Dari mana istrimu mendapat uang untuk pindah ke Suzhou dan membuka toko?”

“Itu uang keluarganya.” “Siapa yang membawa uang itu?” “Dua pegawai almarhum ayahnya. Tetapi saya

sendiri belum pernah melihat uang itu. Mereka langsung membawanya ke Suzhou untuk membuka toko,” kata Xu Xian membela diri.

Page 80: Putri Ular Putih

Fa hai tertawa, “Kedua pegawai itu sebenarnya adalah seekor kura-kura dan seekor kepiting. Aku tidak tertarik kepada mereka, karena mereka tidak mengganggu orang.”

“Tetapi toko obat ini berdiri berkat jasa mereka berdua,” kata Xu Xian. “Mereka berdua benar-benar orang baik-baik.”

“Anda belum juga percaya kepadaku. “Xu Xian menggeleng. “Sekalipun saya mempertimbangkannya, tetapi saya tidak dapat mempercayai kata-kata Tuan. Karena semenjak kami menikah, usaha saya maju pesat. Istri saya berasal dari keluarga baik-baik. Sejak kecil ia belajar ilmu silat dan sangat berpendidikan dan saya mempercayainya. Bila saya berbuat salah, ia segera memperbaikinya. Dan bukankah ular adalah binatang yang menakutkan manusia dan anak-anak? Padahal banyak orang menyukai istri saya. Saya yakin Anda telah menuduh orang yang tidak bersalah. Lebih baik kita tidak membicarakan hal ini lebih lanjut.”

Fa Hai melihat ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ia mengangguk dan berkata, “Aku tidak mempunyai cukup bukti untuk membuatmu percaya. Tetapi besok ada perayaan Perahu Naga. Pada pukul tiga sore, istrimu akan berubah ke bentuk aslinya. Kalau engkau sudah melihatnya, baru engkau percaya kepadaku. Sebut nama dewa-dewa tiga kali, dan aku akan datang menyelamatkanmu. Apakah engkau dapat melakukannya, Xu Xian?”

“Jika ia seekor ular, Aku pasti akan... ah... tetapi, ia bukan ular, bukan!!” kata Xu Xian mencoba meyakinkan dirinya.

Fa Hai mengeluh, “Rupanya engkau benar-benar tidak mau mempercayai kata-kataku. Apakah istrimu

Page 81: Putri Ular Putih

dan adiknya akan ikut bersembahyang pada perayaan Perahu Naga, besok?”

“Tentu saja.” “Bagus! Siapkan anggur kuning, dan berikan

minuman itu kepada istrimu. Usahakan agar ia mau meminumnya. Lihatlah apa yang akan terjadi.”

“Kata-katamu membuat saya takut,” kata Xu Xian. “Tetapi saya yakin istri saya bukanlah ular yang menyamar.”

“Aku hanya mengatakan yang kuketahui. Apa yang kemudian akan terjadi akan membukakan matamu,” jawab Fa Hai samar-samar.

Selesai berbicara, pendeta itu memanggil anak buahnya, lalu meminta diri.

Perlahan-lahan Xu Xian kembali ke rumahnya, sambil memikirkan kata-kata pendeta itu. Jika istrinya benar-benar seekor ular, ia pasti sudah menjadi korban. Mengapa pula ia bersusah payah mendirikan toko? Ketika ia sedang memikirkan kata-kata si pendeta, Bai Su-zhen datang mendekat. Dipandangnya Bai Su-zhen lekat-lekat. Ia tetap saja cantik, tidak membuatnya takut. Maka Xu Xian pun memutuskan untuk tidak berterus terang kepada istrinya.

“Suamiku, apa yang diminta pendeta itu?” Karena tidak tahu apa yang harus ia katakan, Xu

Xian menjawab sambil tertawa, “Sedekah! Untuk perayaan Perahu Naga besok pagi.”

“Sudah kuduga. Sebagian pendeta harus hidup hanya dari hasil sedekah. Tetapi sebaiknya kau pertimbangkan baik-baik sebelum memberi uang kepada mereka.”

Xiao Qing datang membawa seteko teh dan meletakkannya di depan Bai Su-zhen yang saat itu

Page 82: Putri Ular Putih

duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. Xu Xian memperhatikan tingkah laku Bai Su-zhen

dan Xiao Qing. Semua tampak wajar, tak ada yang aneh. Ketika Bai Su-zhen minum, teh panas itu menumpahi tangannya. Ia cepat-cepat meletakkan cangkir dan mengambil sapu tangan untuk mengeringkan kulitnya yang basah. Perbuatannya wajar. Xu Xian semakin yakin, bahwa pendeta tadi mengada-ada. Ia berniat menceritakan semuanya kepada istrinya.

“Apa yang sedang kauperhatikan?” tanya Bai Su-zhen.

“Aku sedang melihatmu menyeka teh yang tertumpah di tanganmu. Betapa rapi dan telitinya engkau.”

Jawaban yang ia sampaikan benar-benar menghilangkan kecurigaan Bai Su-zhen.

“Kebiasaan sejak aku masih kecil,” jawabnya sambil tersenyum.

“Akan kuceritakan terus terang besok pagi,” pikir Xu Xian. “Bila ia mendengar ceritaku setelah minum anggur, ia pasti tertawa.”

Xu Xian tersenyum dan berkata, “Kebiasaanmu benar-benar mengagumkan.”

Page 83: Putri Ular Putih

BBAABB 88

ari Perahu Naga selalu dirayakan dengan meriah. Di kota-kota besar, orang-orang makan bakpau

di siang hari dan minum anggur di sore hari. Pertandingan Perahu Naga yang disukai anak-anak muda dilangsungkan di sungai-sungai. Pada hari tersebut, semua orang bersenang-senang. Para remaja biasanya mengenakan baju baru. Pegawai dan anak sekolah diliburkan.

Hari itu, Bai Su-zhen bangun pagi-pagi. Setelah mencuci muka, ia meminum tehnya sambil memandang uap panas yang keluar dari cangkirnya.

Xiao Qing datang dan berbisik kepadanya. “Kakak, aku akan bersembunyi di gunung, agar

tidak berada di sini pada pukul tiga nanti. Kau bagaimana?”

Dengan tenang Bai Su-zhen meletakkan tehnya, “Aku telah berpengalaman ribuan tahun. Kupikir sebaiknya aku tinggal di sini saja. Pergilah bersembunyi.”

“Walaupun telah berpengalaman, kau harus tetap waspada. Sesuatu yang tidak terduga mungkin saja terjadi. Sebaiknya kau ikut bersamaku.”

“Tidak! Aku dapat menjaga diri,” kata Bai Su-zhen dengan penuh keyakinan. “Pergilah.”

“Baiklah, aku pergi dulu.” Bai Su-zhen tinggal sendiri di dalam rumah. Xu

Xian datang dan berkata, “Karena hari libur, aku ingin menonton lomba perahu. Tampaknya kau

H

Page 84: Putri Ular Putih

kurang sehat. Benarkah demikian?” Bai Su-zhen tersenyum, “Apakah wajahku pucat?” “Kau sakit?” tanya Xu Xian sambil menarik

kursinya ke dekat Bai Su-zhen dan memandangnya dari dekat.

“Bagaimana wajahku? Pucatkah?” tanya Bai Su-zhen.

“Gurauanmu menunjukkan bahwa sesungguhnya kau sehat-sehat saja,” sahut Xu Xian.

“Aku memang merasa kurang enak badan,” Bai Su-zhen mengaku.

“Kenapa?” tanya Xu Xian bersemangat. Bai Su-zhen tertawa malu. “Tidak apa-apa. Hanya

aku sudah hamil beberapa bulan.” Xu Xian menggenggam tangan istrinya dan tertawa

gembira.“Benarkah? Mengapa baru sekarang kauceritakan

kepadaku?”“Kalau kukatakan dari dulu, aku takut kau akan

khawatir. Karena hari ini kau akan pergi berjalan-jalan, aku memutuskan untuk berterus terang kepadamu.”

“Engkau wanita yang tak ada duanya,” kata Xu Xian dengan hangat, “Selalu memikirkan orang lain, bukan dirimu sendiri! Kau ingin makan sesuatu?” katanya sambil berdiri. “Di mana Xiao Qing?”

“Nah, betul bukan, kataku?” goda Bai Su-zhen. “Kau langsung panik. Aku tidak ingin makan. Sebaiknya undanglah segera pegawai-pegawai kita untuk makan bakpau. Setelah itu liburkan mereka, agar mereka dapat menonton perlombaan perahu. Dan kau pun harus berdoa di kuil. Toko tidak perlu dijaga.”

“Aku sudah pergi bersembahyang. Di mana Xiao

Page 85: Putri Ular Putih

Qing?”“Xiao Qing sudah melayaniku bertahun-tahun. Ia

sangat jarang bersenang-senang. Jadi hari ini kusuruh ia menonton perlombaan perahu,” kata Bai Su-zhen dengan cepat.

“Kau benar. Kalau begitu akan kusuruh pelayan menghidangkan bakpau untukmu.”

Pelayan segera datang menghidangkan bakpau di atas meja makan, lengkap dengan mangkok, cangkir, dan sumpitnya. Seguci anggur terdapat di sudut meja.

“Kemari dan duduklah,” kata Xu Xian. Bai Su-zhen duduk dengan susah payah. Xu Xian

menuangkan anggur untuknya, lalu mengisi gelasnya sendiri. Kemudian ia mengangkat guci anggur sambil tersenyum, “Kita harus minum untuk merayakan hari ini.”

“Aku tidak boleh minum anggur lagi, karena sedang hamil,” kata Bai Su-zhen sambil meraih bakpau dan melepaskan pembungkusnya. Xu Xian meminum anggurnya.

“Apakah engkau benar-benar tidak mau minum?” tanyanya. “Ya! Untuk sementara waktu. Minumlah! Dan cepatlah berangkat ke danau. Aku tidak dapat pergi bersamamu,” kata Bai Su-zhen.

Xu Xian berpikir, “Benar juga kata Fa Hai. Tetapi karena hamil, ia mempunyai dalih untuk tidak minum anggur. Fa Hai berkata bahwa aku harus memaksanya. Aku akan mencoba membujuknya. Lagipula minum anggur segelas, pada perayaan hari ini konon dapat mengusir roh jahat.”

Maka Xu Xian berdiri dan berkata, “Kalau kau tidak mau makan lagi, sudahlah. Tetapi sekarang aku mengajakmu minum anggur untuk merayakan hari

Page 86: Putri Ular Putih

ini.”Bai Su-zhen sama sekali tidak menaruh curiga

ketika Xu Xian mengambil sebuah botol, lalu menuangkan isi gelas Bai Su-zhen ke dalam botol, dan mengisi gelas Bai Su-zhen yang sudah kosong, dengan anggur berwarna kuning.

“Apa ini?” kata Bai Su-zhen. “Anggur kuning. Aku baru saja menelitinya. Kalau

engkau meminumnya sementara sedang berfermentasi, perasaanmu akan menjadi lebih segar.”

Bai Su-zhen mengernyitkan dahinya. “Aku tidak dapat meminumnya.” “Mengapa tidak? Anggur ini akan menghilangkan

demam dan cacing dari tubuhmu.” “Apakah engkau lupa bahwa aku hamil? Kalau kau

memaksaku minum anggur ini, perutku akan mual,” kata Bai Su-zhen berkeras menolak.

Namun Xu Xian mengambil gelas itu dan berkata, “Anggur ini akan membuat tubuhmu lebih sehat. Cacing dan demam juga akan musnah dari tubuh janin yang kaukandung.”

“Tidak,” ulang Bai Su-zhen sambil berdiri. “Biasanya kau tidak begini,” bantah Xu Xian.

“Tetapi mengapa tiba-tiba kau jadi keras hati? Minumlah! Betapa harum baunya.”

Xu Xian terus memaksa. Dari kekuatan gaibnya, Bai Su-zhen dapat merasakan bahwa anggur kuning itu tidak akan berbahaya baginya.

“Baiklah,” katanya. “Aku akan minum satu gelas saja.”

Ia lalu mengambil gelas itu dan minum isinya sampai habis. Mendadak sekujur tubuhnya terasa sakit. Bai Su-zhen berdiri sambil berpegang pada

Page 87: Putri Ular Putih

meja. Mukanya merah padam. “Apakah engkau baik-baik saja?” tanya Xu Xian

khawatir.“Aku ingin merebahkan diri sebentar,” kata Bai Su-

zhen.Xu Xian bergegas memapahnya. Tapi Bai Su-zhen

menepis tangannya. “Tenanglah. Aku hanya ingin beristirahat

sebentar.”Bai Su-zhen beranjak dari meja dan bergegas

menuju ke kamarnya. Di pintu ia berkata perlahan, “Aku ingin beristirahat. Tinggalkan aku sendirian di kamar! Jangan ganggu aku. Dalam beberapa jam, aku akan sehat kembali,” ujarnya sambil menutup pintu, ia bergegas masuk kamar.

“Aku tidak dapat berdiri saja di sini, tanpa melakukan sesuatu,” cetus Xu Xian dalam hati. “Tampaknya ia benar-benar sakit. Aku akan mencari obat untuk menolongnya.”

Ia menemukan sebotol kecil obat yang dikiranya akan dapat menyembuhkan istrinya. Kemudian ia mengisi cangkir dengan air hangat hingga setengah penuh, lalu segera berlari ke kamar.

“Jangan khawatir, istriku. Minumlah ini, dan engkau akan sehat kembali,” kata Xu Xian. Karena Bai Su-zhen tidak menjawab, Xu Xian berjalan menghampiri tempat tidur yang seluruhnya tertutup kelambu.

“Mungkin anggur itu telah membuatnya sakit,” pikir Xu Xian pula. “Sebaiknya kutanyakan mengapa wanita hamil tidak boleh minum anggur.”

Sambil memegang gelas berisi obat di tangan kanan, Xu Xian menyibakkan kelambu dengan tangan kirinya. Begitu melihat yang terbaring di atas

Page 88: Putri Ular Putih

tempat tidur, ia menjerit, dan berlari ke luar kamar seperti orang gila. Karena panik, gelas obatnya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Xu Xian terjerembab pingsan!

Saat itu di dalam rumah, tidak ada siapa pun kecuali Xu Xian dan Bai Su-zhen. Yang satu tergeletak pingsan di lantai karena ketakutan. Sedangkan yang lainnya, baru saja kembali ke bentuk asalnya, terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur.

Xiao Qing baru kembali dari tempat persembunyian sore harinya.

“Xu Xian pasti sedang menonton lomba perahu dan Bai Su-zhen pasti sendirian di rumah,” pikirnya sambil memasuki rumahnya. Di ruang makan, ia melihat sisa-sisa makanan dan anggur yang belum habis. Dengan cemas, ia memanggil Bai Su-zhen. Namun karena tak ada jawaban, ia mengira Bai Su-zhen sedang ke luar rumah.

Xiao Qing lalu berjalan ke ruang tengah. Di sana ia menemukan Xu Xian yang menggeletak di lantai. Ia segera memeriksa denyut nadinya, dan ternyata Xu Xian tidak bernafas lagi.

Dengan ketakutan diangkatnya Xu Xian ke atas kasur dan bergegas masuk ke kamar tidur sambil menjerit-jerit membangunkan Bai Su-zhen, “Kakak, cepat bangun!”

Kelambu tersibak, Bai Su-zhen keluar dari balik kelambu dalam bentuk manusia. “Jadi engkau sudah pulang,” katanya.

“Mengapa kakak bertindak ceroboh? Kau telah membuat Xu Xian mati ketakutan!” ,

Bai Su-zhen segera turun dari tempat tidur dan menghampiri Xu Xian. Tetapi Xu Xian sudah tak

Page 89: Putri Ular Putih

bernafas lagi dan tubuhnya pun telah dingin. Melihat keadaan Xu Xian, Bai Su-zhen pun

menangis.“Aku telah membunuh suamiku. Aku rela

memberikan jiwaku untuk menghidupkannya kembali!”

Kemudian ia berdiri dan menyeka air matanya dengan lengan baju, sambil berpikir ke mana ia harus mencari obat.

“Bagaimana mungkin kaudapat menghidupkan orang yang telah mati?” tanya Xiao Qing. “Menurutmu, dapatkah engkau menyelamatkannya?”

“Maksudmu, engkau pun tak sanggup melakukannya?” tanya Bai Su-zhen dengan cemas. “Kalau saja aku dapat memperoleh ‘Rumput Abadi’ dalam tiga hari ini, Xu Xian mungkin masih dapat tertolong.”

“Bukankah rumput yang kaumaksudkan tumbuh di Gunung Kun Lun? Dan engkau tahu sendiri tempat itu dijaga ketat. Bagaimana caramu mendapatkannya?”

“Akan kukatakan bahwa aku akan mati kalau tidak makan rumput itu,” jawab Bai Su-zhen. “Setelah aku pergi, baringkan Xu Xian di tempat tidurnya, tutuplah tirai dan katakan kepada yang lain bahwa Xu Xian sedang sakit, agar tak seorang pun mengganggunya. Bila dalam waktu tiga hari aku tidak kembali, umumkanlah bahwa Xu Xian telah meninggal dunia. Baru setelah itu kita pikirkan lagi rencana kita selanjutnya.”

“Tetapi bila dalam waktu tiga hari engkau tidak kembali, di manakah aku harus mencarimu?” tanya Xiao Qing sambil menangis.

“Ke mana lagi, Adik? Kalau dalam tiga hari aku

Page 90: Putri Ular Putih

tidak kembali berarti aku telah tertangkap atau terbunuh oleh para penjaga rumput itu. Dengan kata lain, aku telah mati.”

Air mata meleleh di pipi Xiao Qing. Ia berdiri kaku tak bergerak.

“Jangan menangis, Adik,” kata Bai Su-zhen. “Sekarang ambilkan aku dua bilah pedang.”

“Ya! Kau harus membawanya untuk melindungi dirimu,” kata Xiao Qing. “Berhati-hatilah, jumlah mereka sangat banyak. Aku khawatir kau kehabisan tenaga. Jadi sebaiknya hindari perkelahian dan simpan tenagamu.”

“Aku tahu,” kata Bai Su-zhen dengan tenang. Setelah menyeka air matanya, Xiao Qing pergi

mengambil sepasang pedang mustika untuk kakaknya.

Bai Su-zhen menyisir rambutnya dengan cepat, lalu mengikatnya dengan kain sutera putih. Untuk melindungi dadanya, ia memakai kain putih berkancing-kancing. Di pinggangnya ia melilitkan sehelai selendang putih dan mengikat kedua pedang itu di punggungnya. Setelah memeriksa segala perlengkapan di depan cermin, ia berkata kepada Xiao Qing.

“Beres! Aku berangkat sekarang. Jaga rumah kita dengan baik.”

“Hati-hati,” kata Xiao Qing. Bai Su-zhen memandang Xu Xian, dan berdoa

sejenak untuk kesembuhannya. “Aku akan mengambil rumput itu untuk

menyembuhkanmu, Suamiku. Mungkin engkau menyesal telah mengambil diriku sebagai istrimu Tetapi, lihat apa yang masih dapat kita lakukan nanti setelah rumput itu kuperoleh. Kau tak akan

Page 91: Putri Ular Putih

menduganya.” Ketika melangkah ke luar rumah, air mata Bai Su-

zhen menetes lagi. “Cepatlah pergi,” kata Xiao Qing. “Semakin cepat

pergi, akan semakin cepat pula kau kembali.” “Doakan aku,” pesan Bai Su-zhen pula. Dalam sekejap ia telah menghilang dari

pandangan.

Page 92: Putri Ular Putih

BBAABB 99

ersebutlah sebuah pegunungan yang sangat terkenal, E Mei namanya. Pegunungan itu terletak

di bagian barat daya propinsi Sizhou. Puncak-puncaknya saling berhimpitan, sementara di lerengnya terdapat gua-gua besar yang dalam. Untuk mendaki hingga ke puncaknya, dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya dua hari dua malam.

Suhu di puncak gunung sangat dingin. Di musim panas pun, orang harus memakai baju tebal yang hangat. Dan karena cuacanya itu, hanya pohon pinus, cemara, dan beberapa jenis bunga saja yang dapat tumbuh di sana. Di hutan hanya beberapa jenis burung yang sanggup bertahan hidup. Tak mengherankan bila tak seorang manusia pun sudi menjejakkan kakinya di tempat itu. Pada hari-hari paling dingin di musim salju, air hujan langsung menjadi bongkahan-bongkahan es.

Dari pegunungan inilah Bai Su-zhen berasal. Di suatu tempat yang terpencil di daerah itu, terdapat sebuah gua besar, yang dikenal dengan nama Gua Awan Putih. Bai Su-zhen lahir dalam bentuk seekor ular putih. Namun selama ribuan tahun, binatang ini tak pernah mengganggu siapa pun. Di tempat ini pula Bai Su-zhen mempelajari ilmu sihir. Setelah belajar dengan tekun dalam waktu yang cukup lama, akhirnya ia menjelma menjadi seorang wanita muda yang sangat cantik.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan, Bai

T

Page 93: Putri Ular Putih

Su-zhen bertemu dengan Rui Zhi, peri yang memiliki ilmu sihir yang sangat tinggi. Bai Su-zhen tahu bahwa peri itu memiliki kesaktian yang tak tertandingi. Karena itu ia bermaksud mendatanginya. Setelah berkenalan, Rui Zhi menanyakan asal-usulnya. Cerita Bai Su-zhen membuat peri itu merasa terkesan, sehingga Bai Su-zhen pun diterima menjadi muridnya.

Sejak saat itu Bai Su-zhen mempelajari berbagai macam ilmu sihir, seperti cara menguasai hujan dan angin; cara mengubah diri menjadi bermacam-macam bentuk. Dari Rui Zhi, Bai Su-zhen juga mendengar berbagai cerita tentang kehidupan manusia di dunia. Ia merasa tertarik dan mulai berangan-angan untuk meninggalkan gunung sepi yang telah menjadi tempat tinggalnya selama ribuan tahun. Ia ingin pergi melihat dunia ramai.

Pada suatu malam, saat langit cerah diterangi sinar bulan, hati Ular Putih sedih karena kesepian. Karenanya ia memutuskan untuk berjalan ke luar dari guanya. Di langit, tampak sebuah bola raksasa yang memancarkan sinar kehijauan. Ia tahu bahwa itu adalah adiknya, Ular Hijau, yang sedang asyik berlatih Tari Pedang. Ketika dilihatnya Ular Putih datang, Ular Hijau segera berhenti menari.

“Sudah larut malam!” kata Ular Putih kepada adiknya. “Kau terlalu rajin berlatih. Tidakkah engkau merasa lelah?”

“Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya merasa bosan tinggal di tempat ini. Terlampau sepi bagiku! Dan karena tidak ada kesibukan apa pun, maka aku berlatih menari,” jawab Ular Hijau. “Kebetulan sekali,” kata sang kakak pula. “Tak tahu mengapa, aku juga merasa bosan.”

Page 94: Putri Ular Putih

“Bagaimana kalau kita turun gunung dan bersenang-senang di sana?” usul Ular Hijau.

Dengan hati gembira Ular Putih menerima usul adiknya. Lalu keduanya pergi ke Jiangnan, tempat Xu Xian tinggal. Di sanalah awal mula cerita tentang Bai Su-zhen dan Xiao Qing.

Saat itu, ketika Bai Su-zhen sang jelmaan Ular Putih tiba di puncak Gunung Kun Lun untuk mencari obat untuk Xu Xian, ia teringat akan rumah lamanya. Ingin rasanya ia menangkap awan lalu pergi berkunjung ke tempat itu.

Namun hal itu tak mungkin dapat ia lakukan, karena waktunya sangat terbatas. Ia melihat gumpalan awan di kejauhan yang menutupi ceruk bukit. Ia segera tahu bahwa di tempat itu tinggal Peri Tua dari Kutub Selatan. Karena itu ia harus lebih berhati-hati. Tetapi dari bunyi gesekan pohon dan angin yang berhembus, ia segera tahu bahwa tidak ada seorang pun di sana.

Jejeran pohon pinus berdiri berhadap-hadapan, menuju puncak dua buah gunung yang letaknya berdampingan. Di puncaknya terdapat pohon-pohon cemara dan bambu. Di sanalah tempat para peri berdiam.

Bai Su-zhen berjalan mendekati puncak gunung lalu bersembunyi di bawah sebuah pohon pinus yang tinggi. “Jadi di sinilah istana Peri Tua dari Kutub Selatan,” kata Bai Su-zhen di dalam hati. “Akan segera kutemui dia, lalu kuceritakan semua kesulitanku kepadanya. Aku akan memohon agar ia berkenan memberi Rumput Abadi kepadaku. Kalau ia merasa kasihan, ia pasti akan memberikan rumput yang kuminta. Namun, bila ia sedang sibuk, atau seandainya ia juga tak berani memberikan rumput

Page 95: Putri Ular Putih

itu kepadaku tanpa izin dari para dewa yang lebih tinggi, maka semua usahaku akan sia-sia,” pikir Bai Su-zhen.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencuri rumput itu. “Bila di kemudian hari mereka menanyaiku, aku akan mengaku bersalah. Tetapi setidaknya, pada saat itu, Xu Xian sudah hidup kembali.”

Bai Su-zhen mulai merayap ke arah gua. Ia harus menemukan tempat rumput itu tumbuh. Pada saat ia merayap ke arah depan istana, ia melihat tiga penjaga sedang asyik bercakap-cakap.

Ia menduga rumput yang dicarinya tidak mungkin tumbuh di sana. Ia tahu tak jauh dari air terjun terdapat sebuah lubang yang sangat besar. Ia akan masuk lewat lubang itu, dengan demikian penjaga tidak akan melihatnya.

Cucuran air dari air terjun jatuh ke dasar lubang dan membentuk sebuah kolam kecil. Dinding kolamnya yang tinggi ditumbuhi lumut yang tebal.

Bai Su-zhen bergerak perlahan-lahan, agar kehadirannya tidak terdengar oleh peri penjaga awan.

Ia lalu memanjat ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke sekitarnya. Dari tempat itu, ia melihat sebuah istana bertingkat dua yang terletak di sebuah dataran luas. Di sekelilingnya berdiri dua bukit dan pohon-pohon pinus.

Bai Su-zhen perlahan-lahan memanjat sebatang pohon pinus yang besar agar dapat memandang lebih jelas ke sekitarnya. Gedung istana terbagi dua, berdiri berhadap-hadapan, dipisahkan oleh pelataran.

Di pelataran tumbuh berbagai bunga dan rumput yang aneh. Di suatu bagian khusus, tumbuh sejenis rumput berbentuk jamur. Rumput itu panjangnya sekitar sepuluh hingga dua belas senti meter. Itulah

Page 96: Putri Ular Putih

Rumput Abadi yang dicari Bai Su-zhen. Bila dilihat dari tempat tumbuhnya, tampaknya

rumput itu tidak berbeda dengan rumput-rumput lainnya. Namun, rumput ajaib itu memiliki bau tajam yang khas. Jadi, siapa pun yang membawa atau mencuri rumput itu, pasti akan segera tertangkap basah.

Ketika Bai Su-zhen sedang mengatur rencana selanjutnya, ia mendengar seseorang berteriak.

“Hari sudah mulai gelap. Karena hari ini ada perayaan Perahu Naga, para makhluk halus pasti sedang bersembunyi dan tak mungkin datang kemari. Aku ingin berjalan-jalan sebentar. Jadi, jagalah tempat ini. Berhati-hatilah.”

“Baiklah, jangan khawatir,” yang lain menjawab. Kemudian Bai Su-zhen melihat seorang peri muda

pergi mengendarai awan, sementara yang seorang lagi datang menggantikan tugasnya menjaga istana. Agaknya karena melihat situasi aman, sang penjaga segera kembali ke belakang.

Bai Su-zhen mengenali mereka. Mereka adalah Bangau Putih yang baru saja pergi dan Rusa Kuning. Karena takut terlihat, Bai Su-zhen pun langsung merapatkan tubuhnya ke batang pohon.

Ketika hari mulai gelap sebuah kristal tampak melayang ke luar dari gua ke arah pelataran. Tepat di atas Rumput Abadi bola kristal itu berhenti.

Bai Su-zhen memutuskan untuk secepat mungkin mengambil Rumput Abadi, memanfaatkan longgarnya penjagaan.

“Seandainya Rusa Kuning muncul dengan tiba-tiba, ia akan segera kubereskan agar tidak membuat keributan,” katanya dalam hati.

Bai Su-zhen melompat turun dari pohon. Ia

Page 97: Putri Ular Putih

mencabut beberapa helai yang kemudian ia sembunyikan di balik bajunya. Selama beberapa detik, ia menenangkan diri untuk mengawasi situasi di sekitarnya. Setelah yakin keadaan cukup aman, ia pun segera berlari sekencang-kencangnya menyeberangi pelataran. Tetapi begitu ia akan meloncat terbang ke awan, terdengar bentakan di belakangnya.

“Ular tak tahu malu. Berani benar engkau datang ke mari dan mencuri harta pusaka kami!”

Bai Su-zhen menghunus pedangnya. Ia melihat Rusa Kuning datang mengejar dan serta merta menusukkan pedangnya begitu mereka saling berhadapan muka.

Sambil menangkis tusukannya Bai Su-zhen berseru, “Oh, Yang Abadi, tolonglah aku. Aku ingin mengajukan suatu permintaan.”

“Apa yang kauinginkan, pencuri?” sahut Rusa Kuning dengan nada geram.

“Aku menikahi seorang manusia bernama Xu Xian di Hangzhou dan sangat mencintainya. Kami kemudian pindah ke Suzhou berjualan obat-obatan dan hidup berbahagia. Tetapi hari ini, saya telah minum anggur yang sangat keras. Akibatnya, saya kehilangan kesadaran dan kembali ke bentuk semula. Begitu melihat saya, Xu Xian sangat ketakutan hingga tak bernafas lagi dan mati. Dalam keadaan panik saya teringat akan Rumput Abadi. Saya tahu, kalau saya berhasil mengambilnya dan memberikannya kepada suami saya, ia akan hidup kembali. Tolong, kasihanilah saya.”

“Apakah engkau sudah mendapat izin?” kata Rusa Kuning tetap bersikeras.

“Saya...,” Bai Su-zhen tergagap-gagap.

Page 98: Putri Ular Putih

“Jadi, jelas sekarang. Engkau adalah pencuri!” hardik Rusa Kuning. “Kesalahanmu sungguh tak dapat dimaafkan. Oleh karenanya terimalah ini!” Ia mengangkat pedangnya untuk menebas tubuh Bai Su-zhen. Namun, Bai Su-zhen berhasil mengelak.

“Saya akan menanyakannya kepada Dewa Tertinggi. Mudah-mudahan ia mau mengerti.”

“Engkau telah mencuri rumput ajaib itu,” jawab Rusa Kuning. “Mengapa masih ingin menemui Dewa Tertinggi? Kalau kau tidak ingin kulukai dengan pedangku ini, segeralah lari dari tempat ini!” ancam Rusa Kuning pula.

Untuk yang ketiga kalinya, Rusa Kuning berusaha menebas tubuh Bai Su-zhen. Tetapi Bai Su-zhen berhasil melompat dan menghindar.”Ini adalah pukulanmu yang ketiga,” ejek Bai Su-zhen dengan nada marah. “Tetapi ternyata aku masih hidup, dan tak akan membiarkan dirimu melakukan tebasan yang selanjutnya.”

Rusa Kuning tidak menjawab. Ia segera mengangkat pedangnya lagi. Dalam hati Bai Su-zhen berkata, “Penjaga ini sebenarnya tidak bersalah. Tetapi, aku terburu-buru dan tak dapat lagi membuang-buang waktu. Aku terpaksa harus membunuhnya.”

Lalu secepat kilat ia menusuk Rusa Kuning dengan pedangnya, tepat menembus leher kanannya. Dengan mengerang panjang, Rusa Kuning jatuh terpuruk.

Bai Su-zhen memandang ke atas. Ia melihat seorang peri berpakaian putih turun dari langit sambil menghunus pedang. Ia adalah Bangau Putih. Bai Su-zhen segera menyambutnya dan berkata, “Oh, Yang Abadi, bukan saya yang memulai perkelahian ini.”

Page 99: Putri Ular Putih

Bangau Putih tertawa dingin. “Sejak tadi saya melihatmu, bahkan ketika engkau

tengah mengambil rumput. Perbuatanmu tidak dapat dimaafkan. Bersiaplah untuk menghadapi ajalmu.”

Bangau Putih mengangkat pedangnya, sementara Bai Su-zhen bersiap-siap menghindar. Ia tahu bahwa ilmu silat Bangau Putih yang telah dipelajari selama lebih dari dua ribu tahun akan mendatangkan kesulitan baginya. Apalagi menghadapi sapuan pedangnya yang cepat laksana kilat.

Belum lama mereka bertempur, tiba-tiba Bangau Putih terbang ke langit dan menjelma menjadi seekor bangau raksasa, semakin lama semakin besar. Kepala dan paruhnya yang besar dan panjang berusaha mati-matian mematuk Bai Su-zhen. Menyadari bahaya yang tengah ia hadapi, Bai Su-zhen segera bersiap-siap untuk berlindung.

Pada saat itu sebuah suara terdengar menggema dari balik pepohonan.

“Jangan bunuh ia. Biar aku mempertimbangkan kesalahannya.”

Bangau itu segera menghentikan serangannya. Kemudian tampak seorang tua melompat turun dari sebuah pohon pinus. Rambutnya yang putih diikat ke atas dengan pita biru. Bajunya berwarna kuning dari bulu-bulu burung. Alis matanya sangat panjang hingga hampir menutup kedua matanya. Jenggotnya yang putih menjuntai panjang hingga ke dada. Ia adalah Peri Tua dari Kutub Selatan. Setelah mengambil pedang Bai Su-zhen dan menyembunyikannya di belakang punggungnya ia pun berkata, “Berlututlah!”

Bai Su-zhen berlutut memberi hormat, lalu bergerak mendekati Peri Tua. Dengan telunjuk

Page 100: Putri Ular Putih

terarah kepada Bai Su-zhen, Peri Tua berkata dengan suara penuh wibawa, “Karena telah terbukti mencuri Rumput Abadi, kau harus dihukum.”

Dengan sedih Bai Su-zhen menundukkan kepalanya.

“Saya tak dapat lagi menahan diri begitu melihatnya. Suami saya meninggal karena ia ketakutan melihat bentuk saya yang sebenarnya, sehingga mendorong saya untuk mencurinya. Dan karena tidak dapat lagi membuang-buang waktu, saya tidak lagi peduli bahwa rumput ini dijaga sedemikian ketat. Itulah sebabnya saya tertangkap oleh Bangau Putih dan Rusa Kuning. Kini hidup saya sepenuhnya berada di tangan Yang Tertinggi, dan saya menunggu keputusannya.”

Begitu menyelesaikan kata-katanya, Bai Su-zhen menangis tersedu-sedu. Badannya berguncang keras, sehingga beberapa helai rumput terjatuh dari balik bajunya.

Peri Tua memandangnya iba. “Mengapa engkau menangis?” Pertanyaan ini membuat Bai Su-zhen semakin tak

mampu menahan tangisnya. “Tanpa sengaja saya telah membunuh Xu Xian.

Kalau saya berhasil memberikan rumput ini kepadanya, ia akan hidup kembali. Itulah yang mendorong saya untuk datang kemari. Saya pertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya. Asalkan Xu Xian dapat hidup kembali, saya bersedia mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Tetapi kini, karena saya pun tertangkap, berarti Xu Xian tidak dapat pula diselamatkan. Semua usaha ternyata sia-sia.”

Peri Tua mengibaskan tongkatnya dan berkata

Page 101: Putri Ular Putih

dengan lembut. “Kau telah berkata jujur. Aku terharu dan bersedia

memaafkan semua kesalahanmu. Kau boleh memiliki rumput yang telah kauambil.”

Bai Su-zhen menyeka air matanya dan mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Peri Tua. Ia segera meninggalkan tempat itu dan pulang mengendarai awan.

Setiba di rumah, ia bergegas masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Xiao Qing duduk dan memandangi tubuh Xu Xian. Bai Su-zhen segera meletakkan rumput itu di atas meja. Ketika baunya tercium, Xiao Qing segera tahu bahwa kakaknya telah tiba. Ia langsung berdiri menyambutnya dengan gembira.

“Kakak telah kembali!” teriaknya. “Jadi kakak berhasil mendapat rumput itu?”

“Lihat ini,” jawab Bai Su-zhen sambil memperlihatkan Rumput Abadi kepada Xiao Qing.

“Apakah para pegawai tidak mengatakan sesuatu tentang Xu Xian?”

“Kukatakan kepada mereka bahwa Xu Xian sedang sakit. Semua percaya. Bagaimana Kakak berhasil mendapat rumput itu?”

Bai Su-zhen tidak menjawab. Ia memandang tubuh Xu Xian yang telah terbujur kaku dan kedua matanya tertutup rapat.

Kemudian sambil menarik napas dalam-dalam Bai Su-zhen berkata, “Aku hampir saja tidak dapat kembali. Nanti akan kuceritakan semuanya. Sekarang tolong jaga dia. Aku harus lebih dulu meramu obat ini.”

Bai Su-zhen menyerahkan pedangnya kepada Xiao Qing, lalu bergegas membawa rumput ke dapur. Sekitar setengah jam kemudian, ia kembali membawa

Page 102: Putri Ular Putih

sebuah cangkir porselin dan sebuah sendok. Xiao Qing menerangi wajah Xu Xian dengan lilin, agar Bai Su-zhen dapat memasukkan obat itu ke dalam mulut Xu Xian.

Beberapa saat kemudian, Xu Xian mulai bernapas lagi. Karena kegirangan Bai Su-zhen tak dapat berkata-kata. Ia hanya berdiri di samping tempat tidur sambil memandang Xu Xian yang perlahan-lahan tersadar kembali.

“Kau benar-benar membuatku mati ketakutan,” kata Xu Xian.

“Suamiku, engkau pingsan. Apa yang terjadi?” tanya Bai Su-zhen.

Xu Xian memperhatikan Bai Su-zhen. Karena ternyata istrinya tidak berubah sedikit pun, Xu Xian pun berpikir, dari mana datangnya ular putih besar itu.

“Ketika aku membawakan obat untukmu, aku melihat seekor ular besar berwarna putih melingkar di atas tempat tidur. Sungguh menyeramkan.”

“Ketika kau masuk membawa obat, aku sedang pergi ke belakang. Ketika kudengar teriakanmu, aku segera berlari ke luar dan melihat kau tergeletak di lantai. Dan ketika tempat tidurnya kuperiksa, ternyata di sana ada seekor ular yang amat besar. Lalu kuambil pedang dan kubunuh ular itu. Bangkainya dibuang oleh Xiao Qing. Kalau kau tak percaya, sekarang benda itu tergantung di pohon halaman belakang. Kaudapat melihatnya sekarang juga,” kata Bai Su-zhen.

Sambil berbicara kepada Xu Xian, secara diam-diam Bai Su-zhen memberikan isyarat kepada Xiao Qing.

“Jadi, binatang itu telah kaubunuh?” sahut Xu

Page 103: Putri Ular Putih

Xian dengan wajah penuh kelegaan. “Boleh aku melihatnya? Di mana bangkai binatang keparat itu?”

“Engkau ingin melihatnya sekarang?” tanya Xiao Qing agak terkejut.

“Ya! Karena sudah sehat kembali, aku ingin melihatnya agar pikiranku tenang. Kau tak perlu memapahku. Aku sanggup berjalan sendiri.” Xu Xian berdiri dan memakai sepatunya. Sementara itu, Xiao Qing mengambil sebuah lilin. Lalu diajaknya Xu Xian menuju halaman belakang.

Bai Su-zhen segera membuka jendela ruang belakang. Kemudian ia menggantungkan sehelai selendang putih di sebuah pohon. Setelah mengucapkan beberapa mantra, ia menutup lagi jendela itu.

Tak lama kemudian, Xu Xian dengan wajah terkejut kembali ke kamar bersama Xiao Qing.

“Ya, benar! Itulah ularnya,” katanya. “Bagaimana kaudapat membunuhnya sekali pukul?”

“Ketika ayahku masih hidup, ia mengajar kami ilmu silat. Tentu saja kubunuh ular itu dengan ilmu silat yang kumiliki,” katanya menerangkan.

“Aku tak mau tinggal di rumah ini lagi,” kata Xu Xian dengan rasa jijik.

“Mengapa?” tanya Bai Su-zhen. Sambil mundur beberapa langkah, Xu Xian

menunjuk tempat tidur. “Aku takut. Tidakkah kau merasa khawatir bila ada ular masuk ke tempat tidur ini?”

“Apa lagi yang ditakutkan?” tanya Xiao Qing. “Bukankah ular itu sudah mati sekarang?”

“Ya. Tetapi, ular lain dapat saja datang ke sini,” bantah Xu Xian.

“Benar juga,” kata Bai Su-zhen. “Sebaiknya kita

Page 104: Putri Ular Putih

pindah saja ke lantai atas di gedung sebelah.” Sekalipun telah melihat sendiri bangkai ularnya,

Xu Xian masih saja memikirkan kata-kata Fa Hai. Memang di atas tempat tidurnya benar-benar ada seekor ular. Tetapi ular itu sudah mati. Berarti Bai Su-zhen bukanlah ular itu. Tanpa disadarinya, badannya bergetar.

“Mengapa Engkau gemetar?” tanya Bai Su-zhen khawatir.

“Aku masih ngeri memikirkan kejadian sore tadi.” “Jangan takut. Bukankah kita selalu

menemanimu. Jika kau takut tidur di sini. Tidurlah di tempat lain,” kata Bai Su-zhen.

Xu Xian membiarkan Bai Su-zhen membantunya berbaring Tetapi selama itu, ia tak berhenti mengawasi semua perbuatan Bai Su-zhen dan Xiao Qing. Sekalipun dari luar mereka seperti manusia biasa, namun Xu Xian masih saja merasa takut. Kata-kata pendeta itu senantiasa terngiang-ngiang di telinganya. Ular itu ternyata benar-benar ada, tetapi istrinya telah membunuh binatang itu! Fa Hai tidak bohong. Di rumah itu benar-benar ada roh ular. Xu Xian menjadi ngeri.

“Agaknya ia belum pulih benar,” kata Bai Su-zhen kepada adiknya. “Xiao Qing, kita berdua harus menjaganya. Apakah sebaiknya kuceritakan apa yang terjadi ketika aku mengambil rumput ajaib?”

Bai Su-zhen duduk di samping Xiao Qing dan menceritakan pengalamannya. Tentu saja ia tidak menyinggung tentang teriakan peri-peri yang memanggilnya ‘Roh Ular’.

Karena ikut mendengarkan tiba-tiba Xu Xian bangkit lalu duduk di tempat tidurnya, “Istriku, kau benar-benar hebat. Kalau saja kau tidak menolongku,

Page 105: Putri Ular Putih

aku pasti sudah tidak bernyawa lagi. Betapa besarnya hutang budiku kepadamu. Terima kasih!”

Dan ketika kemudian ia akan berlutut memberikan hormat, Bai Su-zhen segera menariknya kembali. Melihat adegan itu, Xiao Qing tak dapat menahan tawa.

Page 106: Putri Ular Putih

BBAABB 1100

etelah mendengar cerita Bai Su-zhen, Xu Xian merasa lega dan langsung tertidur. Keesokan

harinya, ia terbangun pagi sekali. Kegiatan di tokonya berlangsung seperti biasa. Bai Su-zhen memindahkan barang-barang mereka ke lantai atas. Walaupun toko sibuk, Bai Su-zhen tetap sanggup mengatasinya.

Ketika Xu Xian sedang bekerja di kantornya tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak di luar.

“Demi dewa-dewa, apakah majikanmu ada di rumah?”

Melihat Fa Hai yang datang, Xu Xian segera keluar menyambutnya. Fa Hai memutar-mutar tongkatnya dan berkata, “Kita tidak dapat berbicara di sini. Sebaiknya kita berbicara di balik dinding itu.”

Karena tak mau menyinggung perasaan Fa Hai, Xu Xian menuruti saja usul Fa Hai.

“Apa yang akan Tuan bicarakan kepadaku?” Fa Hai tersenyum, “Istrimu benar-benar telah

minum anggur itu?” “Ia mulanya menolak minum, namun akhirnya ia

minum juga segelas.” “Lalu?” tanya Fa Hai. “Ia mengeluh kurang enak badan, dan menyuruh

saya meninggalkannya sendirian, karena ia ingin berbaring-baring. Ketika saya lihat ia sakit, saya pergi mengambil obat. Dan karena saya berpikir ia masih berada di tempat tidur, jadi saya sibakkan kelambu. Ternyata di atas tempat tidur melingkar seekor ular

S

Page 107: Putri Ular Putih

putih yang sangat besar. Saya menjerit dan jatuh pingsan.”

Fa Hai berkata, “Aku tidak membohongimu, bukan?”

“Ya! Tetapi istri saya mengatakan bahwa ia telah membunuh ular itu. Karena melihat saya terbujur tak bernapas lagi, ia lalu pergi ke sebuah gunung yang terpencil untuk mengambil sejenis rumput yang dapat menghidupkan orang meninggal. Berkat pertolongannya, saya dapat hidup kembali.”

Fa Hai tertawa terbahak-bahak. “Cerita itu tidak seluruhnya benar, karena ular yang kaulihat itu sesungguhnya adalah bentuk asli istrimu. Tetapi cerita bahwa ia membunuh ular itu hanyalah bohong belaka.”

“Tak mungkin!” teriak Xu Xian. “Saya sudah melihat sendiri bangkainya itu. Kepalanya terbelah.”

“Itu adalah hasil ilmu sihir roh jahat itu. Benda yang kaulihat sesungguhnya bukan ular, tetapi hanya sehelai selendang. Bai Su-zhen-lah ular itu. Suatu hari seseorang pasti akan membunuhnya,” ramal Fa Hai.

“Selendang?” kata Xu Xian tak percaya. “Jadi cerita bahwa ia pergi ke gunung dan mencuri rumput itu juga tidak benar?”

“Mengenai hal itu ia tidak berdusta. Sebenarnya maksudku datang ke mari untuk mengajakmu menjadi pendeta. Karena istrimu adalah roh ular, sebaiknya tinggalkan saja dia!”

“Tuan berbicara seakan-akan ia berbahaya bagi orang banyak,” protes Xu Xian. “Padahal ia tidak pernah menyakiti siapa pun. Jadi, mengapa saya harus meninggalkannya?”

Fa Hai tertawa mengejek, “Ternyata engkau

Page 108: Putri Ular Putih

sungguh-sungguh bodoh. Manusia adalah manusia, tetapi iblis berbeda. Tampaknya ia tidak membahayakan sekarang, tetapi lain kali, ia akan menyakitimu. Dengan demikian kalian tidak akan saling menyakiti.”

Namun karena Xu Xian tidak pernah bercita-cita menjadi pendeta, ia pun segera menjawab, “Biar saya mempertimbangkannya terlebih dahulu.”

“Aku tahu, kau pasti akan menolak,” kata Fa Hai. “Tetapi, setelah nanti kaulihat keahlian para pendeta Budha...”

Fa Hai melempar tongkatnya ke tanah. Tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar berwarna keemasan. Kemudian ia mengibaskan jubahnya, dan segera meloncat ke atas punggung naga itu sambil berkata, “Aku akan kembali dalam sepuluh hari lagi untuk mendengar jawabanmu.”

Dalam sekejap, pendeta dan naga itu terbang ke langit dan hilang dari pandangan. Xu Xian berdiri terpaku tak mampu berkata-kata. Kemudian ia kembali ke tokonya tanpa mengatakan sesuatu.

Tiga hari kemudian, Xiao Qing mendatangi Xu Xian dan berkata bahwa Bai Su-zhen memanggilnya.

“Katakan aku sedang sibuk,” kata Xu Xian. “Aku harus menyelesaikan hitungan ini dahulu. Aku akan segera datang, setelah pekerjaan ini selesai.”

“Mari kubantu menyelesaikannya,” kata Ma Zi-hou. “Jika Bai Su-zhen ingin membicarakan sesuatu sebaiknya kau datang secepatnya.”

Ketika Bai melihat Xu Xian datang, Bai Su-zhen berseru, “Tampaknya kau sangat sibuk semenjak dua hari terakhir ini!”

Xu Xian menjawab, “Sejak perayaan kemarin, neraca keuangan belum juga seimbang. Adakah

Page 109: Putri Ular Putih

sesuatu yang ingin kaubicarakan?” “Sejak perayaan hari itu, kita belum pernah makan

bersama. Bagaimana kalau malam ini kita makan bersama? Aku sudah menyiapkan makanan.”

“Saranmu baik sekali!” kata Xu Xian. Xiao Qing tersenyum penuh arti. Bai Su-zhen lalu

mengajak Xu Xian ke ruang makan. Segala macam makanan telah terhidang di atas meja.

“Mari kita makan! Mumpung makanannya masih panas,” kata Xu Xian.

Xiao Qing berkata, “Xu Xian, lihatlah betapa baiknya istrimu. Ia mengajak dan menungguimu makan. Jika kau tidak datang, ia pun tidak ingin makan. Bukankah itu sia-sia?”

“Ya, betul,” jawab Xu Xian. “Dan kau Xiao Qing, kau tidak ingin makan bersama kami?”

Xiao Qing segera duduk berhadap-hadapan dengan Bai Su-zhen, sedangkan Xu Xian duduk di ujung meja. Ketika Bai Su-zhen menuangkan anggurnya ke dalam gelas Xu Xian, dilihatnya Xu Xian hanya meneguknya sedikit. Ia pun tak makan dengan lahap.

“Apakah engkau sakit, Suamiku?” “Tidak,” jawab Xu Xian. “Biar kuterka. Kau masih mencurigaiku, bukan?”

tuduhnya “Tidak juga,” kata Xu Xian. “Kau bohong,” sembur Xiao Qing. “Coba jawab

pertanyaanku. Apa yang dikatakan pendeta itu kepadamu?”

“Hm... Ia...” jawab Xu Xian terbata-bata. “Apa katanya?” kata Bai Su-zhen tak sabar. Xu Xian meletakkan sumpitnya dan menunduk

memandang meja. Xiao Qing meneruskan kata-katanya. “Ia pendeta dari Biara Gunung Emas,

Page 110: Putri Ular Putih

namanya Fa Hai, bukan?” Mendengar perkataan Xiao Qing, Xu Xian berhenti

menyuap. Dipandangnya Xiao Qing. “Ya...” jawabnya perlahan. “Aku yakin ada hal penting yang ingin

dibicarakannya kepadamu,” lanjut Bai Su-zhen. “Kalau tidak, tentunya ia tidak akan datang dua kali ke sini.”

“Ia menyuruhku menjadi pendeta, sahut Xu Xian. Tetapi kukatakan kepadanya bahwa aku tidak ingin meninggalkanmu,” aku Xu Xian. Mendengar kata Xu Xian, Bai Su-zhen menangis.

Dan ketika dilihatnya kakaknya menangis, Xiao Qing pun berdiri. Sambil menunjuk Bai Su-zhen ia berkata, “Lihatlah kakakku! Cobalah berpikir sebentar. Ketika kalian menikah, karena kau tak punya uang sepeser pun, kakakku memberimu uang agar kau dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Karena engkau tak punya modal, kakakku memberimu banyak uang sehingga kalian dapat pindah ke Suzhou dan mendirikan sebuah toko yang cukup megah. Tetapi semua kebaikannya itu sungguh tidak sebanding dengan pengorbanannya untuk menyembuhkanmu. Hanya untuk mencari obat bagimu, ia rela mendaki gunung dan mempertaruhkan nyawanya. Dan akhirnya ia berhasil. Kau pasti juga tahu, tidak banyak istri yang bersedia berkorban bagi suami seperti yang telah ia lakukan. Aku yakin seluruh dunia, bahkan hantu dan dewa-dewa pun akan menangis mendengar kisahnya.”

Kata-kata Xiao Qing sungguh-sungguh mengena di hati Xu Xian. Tetapi ketika ia ingin minta maaf, Bai Su-zhen segera menarik tangannya dan berkata.

Page 111: Putri Ular Putih

Kalau ada sesuatu yang harus kauceritakan kepadaku, duduklah dan ceritakan semuanya. Tetapi jangan merendahkan dirimu seperti ini.

Xu Xian membalikkan tubuhnya dan membungkuk tiga kali kepada Xiao Qing.

“Kata-katamu membuat hatiku benar-benar terharu. Aku malu! Aku berjanji tak akan pernah lagi mendengarkan kata-kata pendeta itu.”

Xiao Qing tertawa, “Sekarang ceritakan kepada kami apa yang telah dikatakannya kepadamu!”

“Ia berkata bahwa kakakmu adalah seekor ular putih yang menyamar. Dan kau...” kata Xu Xian terbata-bata.

“Ya...?” desak Xiao Qing “Bahwa engkau sesungguhnya adalah seekor ular

hijau yang juga sedang menyamar.” Xiao Qing tak dapat menahan tawanya. Ia

memandang Bai Su-zhen dan berkata, “Kalau benar demikian, berarti kami berdua adalah roh jahat. Jadi apa pengaruhnya bagimu, Xu Xian?”

“Suamiku,” lanjut Bai Su-zhen bersungguh-sungguh. “Akan kuceritakan hal yang sebenarnya kepadamu. Kami adalah dua wanita yang mempelajari ilmu gaib selama hampir lebih dari seribu tahun. Dengan pernikahan kita, sesungguhnya aku telah melanggar Hukum Kayangan. Itu sebabnya Fa Hai ingin merusak kebahagiaan kita. Padahal aku tidak berkeinginan lagi mematuhi aturan untuk para peri, dan aku sangat menikmati kehangatan hidup berkeluarga.”

“Aku mengerti sekarang,” kata Xu Xian. “Tak mengherankan Fa Hai marah karena melihat aku menikahimu.”

Kemudian ia berpaling kepada Xiao Qing, “Karena

Page 112: Putri Ular Putih

kau telah mendalami ilmu gaib selama ratusan tahun, mudah saja bagimu untuk mengikuti kakakmu. Tetapi, bagaimana dengan aku? Karena aku manusia biasa, dan aku tidak ingin kalian tinggalkan.”

“Tetapi berjanjilah untuk tidak bercerita kepada siapa pun tentang apa yang telah kami katakan kepadamu,” kata Xiao Qirig.

“Tentu saja,” Xu Xian berjanji. “Kekuatan Fa Hai sebanding dengan kekuatan

kita,” kata Bai Su-zhen. “Tetapi kau tak perlu khawatir. Bersembunyilah di dalam rumah, kami berdua akan melindungimu. Nanti setelah bayi kita lahir, kita akan mencari tempat tinggal baru agar Fa Hai tidak mengganggu kita lagi.”

Xu Xian merasa yakin akan kebenaran kata-kata Bai Su-zhen. Ia lalu berjanji tidak akan mempercayai kata-kata pendeta Fa Hai. “Aku percaya,” kata Bai Su-zhen. “Sekarang mari kita makan sementara makanan masih hangat.”

Rasa curiga dan keragu-raguannya sudah hilang sama sekali. Ketiganya makan dengan gembira. Malam itu Xu Xian tidur di samping istrinya. Mereka berdua tampak sibuk bercakap-cakap dan tak berhenti tertawa-tawa.

“Xu Xian telah berubah,” kata Xiao Qing kepada kakaknya.

“Ya. Ia sekarang benar-benar mempercayaiku. Mudah-mudahan kita tidak terlalu keras kepadanya!”

“Karena sikapnya kepada kakak semakin baik, aku juga akan berlaku baik kepadanya. Tetapi, kalau nanti pikirannya berubah lagi, aku pun tak sudi....”

Ketika berbicara, Xiao Qing tak dapat menyembunyikan rasa marahnya. Dahinya berkerut

Page 113: Putri Ular Putih

dan alis matanya menyatu. “Jangan terlalu keras hati,” kata Bai Su-zhen. Ia

mencoba menenangkan Xiao Qing. “Xu Xian sangat baik bila ia sedang bersamaku.”

“Oh, kau memang terlalu mudah terpengaruh! Bagaimana kalau ia membuatmu celaka untuk kedua kalinya?” tanya Xiao Qing. Tetapi kemudian, ia segera tersenyum lagi.

Xu Xian sudah melupakan keragu-raguannya terhadap Bai Su-zhen. Beberapa minggu telah berlalu. Tetapi Xu Xian masih saja khawatir Fa Hai akan datang kembali. Ia tak berani menerima tamu.

Suatu sore, ketika sedang duduk di lantai atas, seorang pegawai tokonya menghampiri Xu Xian.

“Tuan Xu, ada seorang pendeta di bawah. Ia ingin bertemu dengan anda.”

“Ia kembali lagi,” kata Xu Xian. “Aku tak berani ke luar.”

Bai Su-zhen pun pergi ke luar dan bertanya kepada pegawai itu, apa sesungguhnya yang diinginkan sang pendeta.

“Ia tidak mengatakan apa-apa,” kata pegawai itu. “Saya hanya melaksanakan perintah Tuan Xu untuk melapor setiap kali ada pendeta yang datang.”

“Lebih baik aku yang keluar menemuinya,” kata Bai Su-zhen kepada suaminya. “Kautunggu saja di sini. Aku akan mengusirnya.”

“Aku ikut,” kata Xiao Qing dengan marah. “Ilmu sihir Fa Hai sangat tinggi,” kata Bai Su-zhen.

“Bila engkau keluar dan mengejeknya dengan kata-kata tajammu itu, kita sendirilah yang akan susah. Lebih baik engkau di sini saja menjaga Xu Xian, biar aku yang keluar menyambutnya.”

Ternyata yang datang hanyalah seorang pendeta

Page 114: Putri Ular Putih

biasa. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Ia sedang minum teh yang diberikan oleh si penjaga toko.

Karena telah mendalami ilmu gaib selama ribuan tahun, Bai Su-zhen segera dapat mengetahui apakah pendeta yang ia hadapi bukan pendeta yang menyamar. Ternyata ia hanya seorang pendeta pengembara yang tak sepantasnya dicurigai.

“Apakah Tuan memerlukan sesuatu?” tanya Bai Su-zhen dengan ramah.

Pendeta itu menoleh ke arah Bai Su-zhen. Karena menyangka Bai Su-zhen adalah pemilik toko. Ia segera meletakkan cangkirnya untuk memberi hormat kepada Bai Su-zhen.

“Aku pendeta miskin dari Hebei,” katanya. “Tujuanku kemari ialah untuk meminta bantuan memperbaiki biara kami. Aku bermaksud meminta sedekah.”

“Tidak ada keperluan lain?” tanya Bai Su-zhen. “Tidak! Hanya itu saja,” jawab pendeta itu. Bai Su-zhen lalu meminta Ma zi-hou untuk

memberi uang kepada pendeta itu. Setelah pendeta itu pergi, Bai Su-zhen masuk kembali ke dalam rumah.

“Apa lagi yang diinginkan Fa Hai?” tanya Xu Xian dengan cemas.

“Kau tak perlu takut. Hanya seorang pendeta yang ingin minta sedekah. Jadi kusuruh pegawai toko melayaninya,” kata Bai Su-zhen sambil tertawa.

“Jadi, ia bukan Fa Hai,” kata Xiao Qing dengan lega. “Sekalipun demikian, kita harus selalu waspada.”

Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya.

Page 115: Putri Ular Putih

BBAABB 1111

ada bulan Juni, kota Jiangnan sangat panas. Karena panasnya, banyak orang lebih suka tidur

di lantai. Demikian pula Xu Xian. Hari itu ia mengambil sebuah kasur yang lebar lalu duduk-duduk di halaman belakang.

“Panas sekali,” keluhnya. “Seandainya saja hujan turun.”

“Kau kepanasan?” tanya Bai Su-zhen, “Mudah-mudahan sebentar lagi akan turun hujan lebat. Dan setelah hujan berhenti, kita dapat berjalan-jalan.”

“Tetapi lihatlah ke langit! Bersih. Tak ada segumpal awan pun. Hujan tak mungkin turun,” kata Xu Xian.

“Mana engkau tahu?” jawab Bai Su-zhen perlahan-lahan, lalu berjalan ke dalam.

Tak lama kemudian, ia muncul lagi sambil tersenyum.

Di langit awan gelap mulai tampak. Hari menjadi lebih sejuk oleh angin yang bertiup kencang. Sesaat kemudian badai pun tiba dan hujan turun dengan lebatnya. Xu Xian berdiri di dekat Xiao Qing dan Bai Su-zhen, asyik memandang hujan. Tak lama kemudian, hujan berangsur-angsur mereda.

Xu Xian tertawa gembira. “Semuanya terasa sejuk sekarang. Bukankah kau tadi ingin berjalan-jalan, Istriku?”

“Aku ingin menyewa sebuah perahu agar kita dapat pergi ke daerah Huqiu,” usul Bai Su-zhen. “Dan

P

Page 116: Putri Ular Putih

pulangnya sebaiknya kita naik tandu, agar kaki tidak basah.”

Mereka mengenakan pakaian yang rapi dan baru. Pegawai toko disuruh memanggil tiga buah tandu untuk mengantar mereka ke tempat penyewaan perahu di Gerbang Chang. Dari sana, mereka bertiga menyewa perahu dan pergi ke Huqiu, sebuah gunung yang sepi dan terpencil, lewat sungai. Di sekeliling gunung itu terdapat ribuan rumah penduduk. Sedangkan di dataran yang landai, barisan pohon-pohon pinus dan bambu berdiri berjajar mengelilingi sebuah pemakaman.

Matahari mulai terbenam ketika Bai Su-zhen dan Xiao Qing berjalan-jalan di halaman tanah pekuburan. Karena enggan, Xu Xian berjalan-jalan seorang diri tanpa setahu istri dan adik iparnya. Rupanya Bai Su-zhen tidak menciptakan mahluk halusnya untuk menjaga Xu Xian.

Tiba-tiba dua orang berpakaian kuning muncul di samping Xu Xian dan memberi salam kepadanya.

“Tuan Xu, Fu Wei mengundangmu untuk menemuinya.”

“Saya tidak kenal seseorang yang bernama Fu Wei,” kata Xu Xian heran.

“Kalau kau nanti melihatnya, pasti kau akan mengenalnya,” kata kedua orang itu.

“Tunggu dulu! Biar kupanggil dulu istriku. Nanti ia akan kebingungan mencariku.”

“Tak usah khawatir. Mereka juga diundang dan keduanya sudah berada di sana.”

“Di mana Fu Wei sekarang? Ia berada jauh dari sini?” tanya Xu Xian.

“Sama sekali tidak,” kata orang itu. “Itu dia di sana.”

Page 117: Putri Ular Putih

Mereka menunjuk ke arah barat. Tiba-tiba Xu Xian telah berada di atas awan.

Barulah ia sadar bahwa ia ditipu. Ia berteriak, namun tidak seorang pun mendengarnya. Dan ketika ia mencoba lari, tangan-tangan memeganginya. Karena takut terjatuh, Xu Xian tak berani membuka mulut hingga mereka tiba di tempat tujuan.

Salah seorang penculiknya berkata, “Kita sudah tiba. Bukalah matamu!”

Ia menurut dan membuka matanya. Pada saat itu ia telah berada di halaman sebuah biara yang luas. Di depannya berdiri Fa Hai. Xu Xian sangat terkejut hingga tidak mampu berkata-kata.

“Kami telah berhasil membawanya ke mari,” kata salah seorang penculiknya, “Apa lagi yang harus kami kerjakan?”

“Cukup sekarang. Pergilah!” jawab Fa Hai. Kedua orang itu tiba-tiba menghilang. “Xu Xian,” kata Fa Hai. “Apa pendapatmu tentang

kekuatan gaibku?” “Tuan,” Kata Xu Xian merendah, “Karena saya

hanya manusia biasa, saya tak akan mampu memahaminya. Saya tidak menyadari bahwa kedua orang yang menangkap saya adalah anak buah Tuan. Mereka baru berbicara tentang Fu Wei, dan tiba-tiba saja saya telah berada di sini.”

“Ular Putih dan Xiao Qing tidak akan mengira bahwa kau telah pergi. Aku terpaksa menipumu karena takut kau akan berteriak dan menggagalkan rencanaku. Sebenarnya orang-orangku dapat saja meringkusmu, tapi aku ingin memperlihatkan betapa besarnya kekuatan sihirku. Kalau Xiao Qing menemanimu ke mana-mana, aku tak dapat berbuat apa-apa. Sekarang kau sudah di sini bersamaku,

Page 118: Putri Ular Putih

Xiao Qing tak akan dapat lagi mengawasimu,” Kata Fa Hai dengan gembira.

“Kemampuan Tuan sungguh hebat,” kata Xu Xian. “Izinkan saya pergi untuk menceritakannya kepada mereka.”

“Apa?” tanya Fa Hai dengan mata membelalak. “Kau ingin kembali? Sadarkah kau bahwa anak buahku telah menerbangkanmu ke sini. Dan tahukah kau berapa jarak dari Zhenjiang ke Suzhou?”

“Kira-kira seratus kilometer,” jawab Xu Xian. Fa Hai benar-benar tak menduga Xu Xian masih

berkeinginan kembali ke rumah istrinya. “Maksudku, kau tidak takut kepada Ular Putih dan

Ular Hijau?” “Tak seorang pun mengira bahwa mereka adalah

ular yang menyamar. Istri saya sangat baik. Saya tidak takut kepadanya.”

“Kau tidak takut kepadanya. Tetapi baru-baru ini kau hampir saja mati ketakutan. Dan kedatanganku ke sini sesungguhnya dengan maksud menyelamatkanmu.”

Xu Xian tertawa dingin. “Mengapa, mengapa waktu itu Tuan tidak datang

menolong saya? Sebaliknya, istri sayalah yang pergi menyabung nyawa demi mencari obat untuk menyembuhkan saya.”

Fa Hai tak dapat segera menjawab kata-kata Xu Xian. Namun, dengan tenang ia berkata, “Sekarang kau sudah selamat, dan akan menjadi pendeta di biara kami. Mereka tidak akan berani datang ke sini dan tidak akan pernah menemukan dirimu.”

Xu Xian segera berlutut di hadapan pendeta Fa Hai sambil mengiba-iba, “Pendeta saya mohon... Biarkan saya pergi! Karena saya tidak pernah berminat ingin

Page 119: Putri Ular Putih

menjadi pendeta Budha. Tak ada gunanya menahan saya di sini!”

Fa Hai menolak tubuh Xu Xian dengan kasar, “Ah! Aku tak ingin berbantah lagi. Fa Shan?”

Seorang pendeta setengah tua datang dan memberi hormat kepadanya. Fa Hai berkata, “Ini Xu Xian. Aku telah menyuruh anak buahku untuk menyelamatkan dan membawanya ke sini. Sekarang kuserahkan penjagaannya kepadamu. Jangan biarkan ia jauh darimu. Waspadalah terhadap Ular Putih.”

“Oh, saya mohon... Biarkan saya pergi,” pinta Xu Xian. “Saya tak ingin menjadi pendeta.”

“Kau tak perlu menjadi pendeta,” kata Fa Shan. “Tetapi beristirahatlah di sini selama beberapa hari. Ada kamar kepala biara di sini. Jangan takut, ikuti aku.”

Xu Xian menyadari bahwa Fa Hai tidak akan menyerah. Ia terpaksa mengikuti Fa Shan dengan hati sedih.

Sementara itu, Bai Su-zhen dan Xiao Qing bingung mencari Xu Xian ke segala penjuru.

“Semenit yang lalu ia masih berada di sini,” kata Bai Su-zhen. “Ke mana ia pergi? Kukira ia telah masuk perangkap.”

“Benar-benar tak masuk akal,” kata Xiao Qing bersungut-sungut.

Bai Su-zhen menunduk dan memusatkan pikirannya. Tiba-tiba ia berseru, “Gawat! Dua anak buah Fa Hai bersorban kuning telah membawanya ke Gunung Emas. Kita harus mengejar mereka.”

Dengan mengendarai awan Bai Su-zhen dan Xiao Qing terbang ke arah Barat, langsung menuju Gunung Emas. Tetapi karena tak ada tanda-tanda yang menunjukkan Xu Xian berada di sana, mereka

Page 120: Putri Ular Putih

segera tahu bahwa mereka harus pergi ke biara Fa Hai, yang terlindung oleh awan ajaib.

“Kalau Xu Xian ditangkap Fa Hai, apa yang harus kita lakukan?” tanya Xiao Qing, sambil memandang dengan bingung ke sekitarnya.

“Malam semakin larut,” kata Bai Su-zhen sambil menunjuk ke langit. “Fa Hai benar-benar pandai, Kita tak dapat masuk ke biaranya. Besok saja kita kembali.”

“Para pendeta sering kali tidak menggunakan akalnya. Apa sesungguhnya salah kita sehingga ia menculik Xu Xian?” tanya Xiao Qing.

“Hari sudah malam. Kita bicarakan lagi besok pagi. Akan kutanyakan kepada Fa Hai apa yang ia inginkan,” kata Bai Su-zhen.

Keesokan harinya, mereka menceritakan kejadian yang mereka alami kepada Ma Zi-hou yang diperintahkan untuk menjaga toko sementara mereka pergi ke Zhenjiang. Mereka tiba di Biara Gunung Emas pada tengah hari. Namun pintu gerbang biara dibiarkan terbuka lebar, sehingga tak ada sesuatu pun yang menghalangi mereka.

Bai Su-zhen pun masuk ke dalam biara. Ketika bertemu dengan seorang pendeta, ia cepat-cepat membungkuk memberi hormat. Rupanya pendeta ini telah diperintahkan oleh Fa Hai untuk waspada. Sehingga ketika ia melihat Bai Su-zhen kecurigaannya timbul.

Sambil mundur beberapa langkah, ia membalas salam hormat Bai Su-zhen, “Nona-nona, adakah yang dapat kubantu?”

“Kemarin Xu Xian suamiku diundang ke sini oleh Fa Hai. Hingga hari ini ia belum juga pulang. Itu sebabnya aku datang ke sini untuk menjemputnya,

Page 121: Putri Ular Putih

agar kami dapat pulang bersama,” jelas Bai Su-zhen. Mendengar kata-kata Bai Su-zhen, pendeta itu

terkejut. Ia menjawab sambil tergagap-gagap. “Kalian adalah... kalian kemari untuk menjemput Xu Xian, dan ingin... pp... pulang bersamanya? Aku khawatir permintaan kalian tak dapat kupenuhi.”

“Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan Fa Hai,” lanjut Bai Su-zhen.

“Ya, ya,” kata pendeta itu dengan lega. “Silakan menunggu di sini.”

Tak lama kemudian Fa Hai tiba. “Sungguh baik Tuan bersedia menemui saya,” kata

Bai Su-zhen dengan hormat. “Roh jahat,” teriak Fa Hai. “Xu Xian memang

berada di sini. Berani benar kau menjemput ke sini. Apakah kau tidak takut melanggar hukum Surga?”

“Kami saling mencintai sebagaimana pasangan suami-istri. Bukankah hal itu tidak melanggar hukum Surga?” sanggah Bai Su-zhen.

“Engkau Ular Putih!” kata Fa Hai, “Dan engkau adalah Ular Hijau,” teriaknya sambil menunjuk marah kepada Xiao Qing dengan tongkatnya. “Aku tak akan membiarkan kalian bergaul dengan manusia biasa dan merusak peradaban mereka. Aku tahu bahwa sampai saat ini kalian belum merugikan manusia. Tetapi, aku bertekad menyelamatkan Xu Xian agar tidak bergaul lagi dengan kalian. Perbuatan kalian kuanggap telah melewati batas, berani memasuki biara ini. Aku yakin kalian tahu bagaimana kemampuanku.”

Mendengar kata-kata Fa Hai, Xiao Qing menjadi geram. Hampir saja ia menghunus pedangnya untuk menantang pendeta itu berkelahi kalau saja Bai Su-zhen tidak menghalanginya. Dengan tenang Bai Su-

Page 122: Putri Ular Putih

zhen mendekapkan kedua tangannya di dada dan berkata dengan nada sedih, “Tuan Yang Terhormat, saya tahu betapa tangguhnya ilmu yang Tuan miliki. Namun saya benar-benar mencintai Xu Xian. Oleh karena itu saya memohon belas kasihan Tuan.”

Fa Hai mengangkat kepalanya dengan angkuh, “Kauharap aku mengasihani dirimu? Cepat pergi dari sini. Carilah tempat yang sepi, dan berlatihlah lebih giat lagi!”

“Bagaimana dengan Xu Xian?” tanya Bai Su-zhen. “Akan kupaksa ia menjadi pendeta.” Dengan berapi-api Bai Su-zhen menjawab, “Tuan

tidak mempunyai hak untuk memaksanya menjadi pendeta. Bebaskan ia.”

“Kalau kau ingin mencari gara-gara, aku pun dapat berlaku kasar,” ancam Fa Hai.

Dengan berurai air mata, Bai Su-zhen memohon. “Oh Tuan yang terhormat dan baik hati, sekali lagi

saya mohon kepada Tuan. Kasihanilah saya,” ujarnya sambil berlutut di kaki Fa Hai.

Sementara Bai Su-zhen berbicara dengan Fa Hai, Xiao Qing diam tak berkata-kata. Namun, ketika ia melihat kakaknya berlutut dan menangis, ia tak tahan lagi dan ikut menangis.

Fa Hai menepuk dadanya dan berteriak, “Aku tak akan membiarkan Xu Xian celaka.”

Xiao Qing tak kuasa lagi menahan marahnya. Dengan telunjuknya ia menuding Fa Hai.

“Lihatlah, betapa kakakku telah merendahkan diri meminta belas kasihanmu. Namun sebagai pendeta ternyata kau tak punya belas kasihan sedikit pun. Cepat bebaskan Xu Xian. Kupikir, sebaiknya engkaulah yang harus belajar lagi, agar dapat memahami hati seorang wanita.”

Page 123: Putri Ular Putih

Fa Hai hanya tertawa, “Ternyata kau jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kakakmu. Ia tidak berani kurang ajar kepadaku, apalagi menuding dan memakiku! Kau harus diberi pelajaran, agar dapat memahami arti sopan santun.”

Bai Su-zhen segera bangkit dan memarahi Xiao Qing.

“Jaga sikapmu, Xiao Qing. Mintalah maaf kepadanya!”

Tetapi Xiao Qing bersikeras tidak bersedia mengindahkan kata-kata kakaknya. Ia malahan memalingkan muka seolah tak sudi menatap Fa Hai.

Fa Hai lalu berkata, “Ular Putih, tak ada gunanya kau berlutut dan memohon kepadaku. Engkau tahu, aku mempunyai alasan untuk menahan Xu Xian di sini. Sekarang cepatlah pergi dari sini!”

Mendengar kata-kata Fa Hai, sadarlah Bai Su-zhen bahwa hati Fa Hai tak lagi dapat dilunakkan. Ia berdiri dan berkata, “Jadi, kau tetap tak mau membebaskannya? Bagaimana saya dapat hidup tanpa Xu Xian di sampingku? Sebaiknya jangan terlalu membanggakan ilmumu. Jangan pula membuatku marah, kau takkan mungkin selamat. Engkau tak akan selamat.”

Fa Hai menggerakkan tongkatnya, sehingga gelang-gelang yang melekat di tongkat itu mengeluarkan bunyi gemerincing. Makhluk-makhluk halus ciptaannya bermunculan memenuhi ruangan dan mengambil sikap siap menyerang.

“Aku datang menemuimu dengan maksud baik. Mengapa kini kau memanggil mereka dan mengancamku seperti ini?” seru Bai Su-zhen.

Namun Fa Hai tetap tidak mengacuhkan kata-kata Bai Su-zhen.

Page 124: Putri Ular Putih

“Jika kau masih menyayangi nyawamu, dengarlah nasihatku. Pergilah cepat dari sini. Kalau tidak mereka akan segera mematahkan semangatmu, dengan demikian kau tak akan seenaknya memamerkan kekuatan sihirmu.”

Bai Su-zhen melihat Xiao Qing tak mau berbicara. Akhirnya ia pun berkata, “Baiklah, kini kami akan segera pergi. Tetapi, bila Xu Xian tidak juga kaubebaskan, biara ini akan kugenangi air. Bahkan bebek dan anjing pun akan mati.”

“Cepat tunjukkan kebolehanmu,” ejek Fa Hai. Xiao Qing memandang sekitarnya, terutama ke

arah bala tentara Fa Hai. Ia lalu berkata, “Kami ke sini untuk menjemput Xu Xian, bukan untuk berkelahi. Tetapi kalau harus bertempur, kami tidak gentar.” Sambil berbicara ia menggulung lengan bajunya dan bersiap-siap menyerang.

Dengan bingung Bai Su-zhen berteriak, “Xiao Qing! Fa Hai telah mengatakan bahwa para makhluk halus ini didatangkan untuk menjaga Xu Xian dan kita dapat pergi dari sini. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Dan kau Fa Hai, dengarkan baik-baik kataku.”

“Bicaralah,” jawab Fa Hai. “Kami akan pergi sekarang. Kau kuberi waktu

hingga esok siang untuk membebaskan Xu Xian. Tetapi bila setelah tengah hari kau tetap menahannya di sini, kau pasti akan menyesal.”

Selesai berbicara, Bai Su-zhen dan Xiao Qing berjalan ke luar menuju pintu gerbang, dan meninggalkan biara Gunung Emas.

Page 125: Putri Ular Putih

BBAABB 1122

i bawah langit berbintang, Bai Su-zhen dan Xiao Qing tampak sibuk membicarakan kejadian yang

mereka alami dan menyusun rencana selanjutnya. “Kejadian sore tadi sungguh memalukan.

Sebaiknya besok kita memanggil Manusia Air5 untuk menghabisi nyawa semua pendeta di biara itu. Kita baru akan berhenti kalau Xu Xian telah berhasil ditemukan,” kata Xiao Qing.

Bai Su-zhen tidak segera memberikan jawaban. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata, “Panggil Ma Zi-hou dan Li Ben-liang ke sini. Aku ingin bicara dengan mereka.”

Xiao Qing segera keluar melaksanakan perintah kakaknya. Begitu berhadapan dengan Bai Su-zhen, keduanya membungkuk hormat dan menanyakan apa yang harus mereka lakukan.

Bai Su-zhen berdiri, dan dengan nada bersungguh-sungguh ia berkata, “Besok, pagi-pagi sekali, tutuplah toko untuk sementara waktu. Cepatlah pergi ke mulut sungai Chang Jiang dan kumpulkan seluruh kekuatan yang telah berlatih selama enam ratus tahun terakhir. Lalu kembalilah ke sini untuk menerima perintahku. Xiao Qing tentu sudah bercerita tentang perlakuan Fa Hai kepadaku. Jelaskan kejadian ini kepada Manusia Air.”

5 Manusia Air adalah makhluk halus yang tinggal di dalam air dan bertugas menjaga bumi.

D

Page 126: Putri Ular Putih

“Kami telah mendengar tentang keangkuhan Fa Hai,” kata Ma Zi-hou. “Satu-satunya cara untuk menghadapi orang seperti dia ialah dengan menghancurkan biaranya, dan membuatnya memohon ampun kepada kita.”

Li Ben-liang menambahkan, “Bila seluruh tentara telah dikerahkan, saya yakin kita dapat mengalahkan musuh-musuh kita agar mereka dapat merasakan pembalasan kita.”

“Engkau sangat berani, dan terima kasih atas bantuanmu,” kata Bai Su-zhen hangat. “Namun, sebaiknya kalian jangan bertindak kejam, dan jangan lupa untuk senantiasa menaati perintahku. Tetapi kalian juga harus segera beristirahat. Karena pada waktu matahari terbit esok pagi, kalian sudah harus berada di sungai Chang Jiang. Temui aku tengah hari.”

Bai Su-zhen dan Xiao Qing kemudian berganti baju dengan warna putih dan hijau. Dengan menyandang dua bilah pedang, mereka mulai menyelidiki sungai Chang Jiang.

Di bagian timur, mereka melihat secercah cahaya putih yang berkilauan. Bai Su-zhen mengucapkan mantra-mantra untuk mencari tempat Roh Bumi. Tiba-tiba muncul sekitar tiga puluh orang tua. Bai Su-zhen segera menyambutnya.

“Besok sore, sungai Chang Jiang akan membanjiri biara Gunung Emas. Namun, rakyat di sini tidak bersalah. Karena itu, kumpulkan makhluk-makhluk halus untuk membuat dua jalan agar penduduk yang tinggal di dekat sungai dapat menyelamatkan diri.”

Para makhluk halus itu mengetahui besarnya kekuatan sihir Bai Su-zhen. Mereka tidak berani membantah ataupun bertanya. Semuanya menyetujui

Page 127: Putri Ular Putih

siasat yang diambil oleh Bai Su-zhen. “Sebelum banjir datang, aku akan berteriak

‘Bangun’ dari bawah biara. Begitu mendengar aba-abaku, Kalian harus bekerja. Jangan ceritakan rencana ini kepada siapa pun. Sekarang kalian boleh pergi.”

Esoknya, tepat pada tengah hari Bai Su-zhen dan Xiao Qing tiba di gerbang Biara Gunung Emas, untuk mendengar jawaban Fa Hai. Mereka melihat pintu biara sudah rusak. Tidak ada seorang pun di sana. Halaman biara benar-benar kosong. Patung tanah liat yang terletak di pintu gerbang seakan-akan meringis mengejek mereka, sementara empat serdadu Budha di sekitar gerbang memandang mereka dengan bengis.

“Di mana Fa Hai?” tanya Bai Su-zhen. Seorang pendeta berlari menghampiri mereka dan

berkata, “Telah kami katakan bahwa Xu Xian tak akan pernah kami serahkan kembali kepadamu. Tak ada gunanya kalian datang dan menanyakannya lagi.”

“Siapa pun boleh masuk ke dalam biara. Jadi mengapa kau melarangku?” tanya Bai Su-zhen sambil melangkah ke dalam biara.

Saat itu Fa Hai berada di dalam biara bersama empat pendeta pengawalnya, masing-masing dua orang di sisi kiri dan kanannya. Tangannya menunjuk kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing, ketika dilihatnya kedua wanita itu terus saja berjalan. Maksudnya ialah agar keduanya tidak dapat maju lebih jauh.

“Tuan,” kata Bai Su-zhen sambil mengangguk memberi hormat kepada Fa Hai. “Waktunya telah tiba. Apakah engkau akan membebaskan Xu Xian

Page 128: Putri Ular Putih

atau tidak?” “Seperti kukatakan kemarin, Xu Xian akan

menjadi pendeta. Jadi ia tidak boleh meninggalkan tempat ini. Pergilah,” jawab Fa Hai dengan tegas.

“Ini akan berakibat buruk bagimu,” kata Bai Su-zhen memperingatkan.

Fa Hai menyeringai. “Kau sudah selesai berbicara? Tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak sabar lagi.”

Bai Su-zhen tertawa menghina sambil menghunus pedangnya. Xiao Qing berdiri memandang Fa Hai yang sedang bersiap-siap melemparkan tongkatnya ke tanah. Dalam sekejap, tongkat itu menggeliat dan berubah menjadi seekor naga emas.

Melihat Bai Su-zhen dan Xiao Qing menghunus pedang, naga itu segera menyerang. Cakar, sisik, rambut, dan giginya yang berwarna keperakan bersinar menyilaukan. Dengan lincahnya, naga itu menggeliat mengurung Bai Su-zhen.

Tetapi dengan tegar Bai Su-zhen menghadangnya dengan acungan pedang sambil berteriak, “Kembali ke bentuk aslimu!”

Seketika itu juga, lenyaplah sang naga emas dan menjelma kembali menjadi sebatang tongkat, yang menggeletak di tanah.

“Apa lagi yang akan kaupamerkan?” tantang Bai Su-zhen dengan nada angkuh.

“Ini! Mana angin dan api?” teriak Fa Hai. Kemudian, tampak sebuah kasur terbang dari

bawah kakinya. Dalam sekejap, angin kencang berhembus dan dari dalamnya ke luar lidah-lidah api yang panjangnya lima atau enam sentimeter.

Angin dan api segera menyerang Xiao Qing. Namun Xiao Qing secepat kilat mengacungkan pedangnya untuk menangkis serangan. Gabungan serangan

Page 129: Putri Ular Putih

angin dan api membuat Xiao Qing kalang-kabut. Bai Su-zhen segera melompat ke depan dengan

pedang teracung sambil mengucapkan mantranya. Tiba-tiba angin dan api buatan menghilang dan kasur yang semula terbang melayang-layang jatuh kembali ke kaki Fa Hai.

Bai Su-zhen menyilangkan pedang di dadanya. “Kutunggu yang lain, Fa Hai!” tantangnya. “Ini!” raung Fa Hai sambil menggumamkan sebuah

mantra. “Mana Jia Lian? Kerahkan Serdadu Surga dan kalahkan kedua ular ini.”

Bai Su-zhen dan Xiao Qing menyadari bahwa serangan yang berikut akan mendatangkan kesulitan bagi mereka. Dengan segera keduanya terbang ke Sungai Changjiang.

“Bila Fa Hai tetap bersikeras, sebaiknya kita segera mengirimkan Manusia Air untuk membanjiri Gunung Emas,” kata Xiao Qing.

“Mana Manusia Air?” teriak Bai Su-zhen seketika itu juga. Maka terdengarlah bunyi gelembung-gelembung air, dan langit pun menjadi gelap. Angin yang bertiup kencang menyebabkan timbulnya ombak besar di sungai-sungai. Permukaan air semakin lama semakin tinggi.

Bai Su-zhen dan Xiao Qing melompat ke sebuah perahu. Dengan suatu teriakan dari Xiao Qing, perahu melesat ke tengah sungai. Di sana Bai Su-zhen melihat ribuan manusia berbentuk gelembung muncul dari balik ombak.

“Kami menunggu perintahmu, Putri!” Bai Su-zhen berkata, “Kuharap kalian segera

membanjiri Gunung Emas sekarang dengan ombak dan gelombang. Berhentilah setelah kuberi tanda.”

Manusia Air serempak menyambut kata-kata Bai

Page 130: Putri Ular Putih

Su-zhen. Mereka melompat kembali ke dalam air. Sesaat kemudian terdengar teriakan.

“Peri-peri Sungai, mulailah bekerja.” Maka langit pun bertambah kelam dan angin

tenggara mulai menyapu sungai Chang Jiang. Sedemikian kuatnya tiupan angin sehingga tak seorang pun bisa bertahan. Tetesan air hujan sebesar biji kacang pun berjatuhan menghantam tanah dan menggenangi daratan.

Tebalnya kabut yang menyelimuti tepi sungai, menghalangi pemandangan. Tetapi dengan tiba-tiba muncullah sebentuk jalan di dekat sungai.

Sementara itu, dari biara Gunung Emas, Fa Hai melihat langit semakin gelap. Tiupan angin dan hujan pun semakin menggila.

“Angin dan hujan ini pastilah hasil perbuatan kedua ular itu. Pergi dan selidikilah keadaan badai di atas sungai!”

Dua pendeta bergegas turun ke tepi sungai. Sebentar kemudian mereka kembali ke kuil.

“Permukaan air semakin tinggi dan tampaknya akan segera menggenangi biara.”

Fa Hai menggelengkan kepalanya. “Jangan takut. Ambilkan jubahku yang bertambal

seribu, dan letakkan separuhnya di tepi sungai dan separuh lagi di atas air. Berapa pun tingginya air, ia tidak akan dapat mencapai biara ini.”

Kedua pendeta itu segera menjalankan perintah Fa Hai. Air pun mulai mereda, walaupun hujan belum juga berhenti. Dengan hati gembira kedua pendeta itu bergegas menghadap Fa Hai.

“Aku yakin Ular Putih pasti akan putus asa. Duduklah kalian semua di sini, dan tunggulah apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata Fa Hai.

Page 131: Putri Ular Putih

Para pendeta menaati perintahnya. Beberapa di antara mereka segera duduk, sementara yang lain berdiri atau berjalan ke sana-kemari. Jia Lian menunggu perintah dari Fa Hai untuk menyerang musuhnya bersama lima ratus prajuritnya. Mereka menunggu di balik awan.

Rupanya Bai Su-zhen tidak menyadari keadaan ini. Ketika waktu menunjukkan pukul tiga, air masih bertahan di lereng gunung. Bersama Xiao Qing, ia menaiki sebuah perahu untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Karena putus asa, ia segera mendayung perahunya ke samping gunung. Di sana ia berteriak, “Bebaskan Xu Xian, dan semua ini akan kuhentikan. Kalau kalian menolak, akan kuperintahkan Manusia Air untuk membunuh semua penghuni biara.”

Tetapi berapa pun kerasnya ia berteriak, Fa Hai tak juga menjawab.

“Rupanya mereka belum juga menyadari akibat banjir ini bagi mereka?” kata Xiao Qing. “Kita dibantu oleh ribuan Manusia Air. Tidakkah lebih baik sekarang kita suruh mereka membanjiri biara itu? Lihat saja apakah Fa Hai masih akan sanggup bertahan.”

Bai Su-zhen segera berdiri di atas perahu. “Baiklah,” katanya. “Kalau aku tidak

membunuhnya sekarang juga, aku yang akan menjadi korban tongkat ajaibnya.”

“Tidak!” teriak Xiao Qing dengan berapi-api. “Nenek moyang kita berkata bahwa kemenangan selalu berada di pihak yang benar. Dan kita berada di pihak yang benar.”

“Aku akan segera memberi aba-aba. Bersiap-siaplah!” seru Bai Su-zhen.

Page 132: Putri Ular Putih

Kemudian mereka meneriakkan aba-aba dan ribuan Manusia Air keluar dari luapan air sungai menunggu perintah Bai Su-zhen.

“Manusia Fa Hai adalah orang yang menjijikkan. Betapa pun alasan yang kita ajukan, ia tidak akan mau mendengarkan. Apakah kalian siap menyerang? Selamatkan Xu Xian bila di antara kalian ada yang melihatnya. Tetapi ingat, kalian hanya boleh menyerang Fa Hai. Karena pendeta yang tidak bersalah tidak boleh disakiti, kecuali jika mereka mendahului menyerang.”

Pada saat itulah semua Manusia Air berubah bentuk menjadi manusia, masing-masing membawa pedang. Dengan jeritan yang memekakkan telinga, mereka mulai menyerang biara. Bai Su-zhen dan Xiao Qing berjalan di depan, memimpin pasukan.

Rupanya Fa Hai telah menunggu kedatangan mereka. Ketika mendengar Bai Su-zhen memberi aba-aba, ia pun segera berteriak. “Jia Lian, siapkan prajuritmu dan bersiagalah!”

Pasukan Fa Hai segera berdiri di tepi jalan yang menuju ke gunung, dipimpin oleh Jia Lian yang berbaju besi berwarna emas. Di antara para prajurit, Bangau Putih melangkah dengan gagahnya. Kehadirannya di dalam barisan, pasti akan mendatangkan kesulitan bagi Bai Su-zhen.

Saat itu Bai Su-zhen mengangkat tombaknya dua kali. Ia memberi tanda kepada pasukannya untuk berhenti. Begitu berhadapan dengan musuh, Bai Su-zhen memberi salam.

“Kalau ada yang hendak kaukatakan, cepat ucapkan sekarang juga,” kata Jia Lian.

“Aku hanya menginginkan pembebasan Xu Xian. Tak ada gunanya memanggil semua pasukan,” kata

Page 133: Putri Ular Putih

Bai Su-zhen. “Lalu apa artinya awan hitam serta ombak yang

setinggi langit itu? Bukankah itu pasukanmu?” jawab Jia Lian. “Sebaiknya kau mundur saja. kalau tidak, kau sendirilah yang akan menderita.”

Dewa-dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir menyaksikan semua kejadian ini dari langit. Ketika Jia Lian berbicara, petir berkelebat.

Bai Su-zhen tidak merasa gentar. “Jika Xu Xian tidak segera dibebaskan, aku terpaksa mengambil alih biara ini.”

Jia Lian segera memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang. Hujan pun berhenti dan mereka bertempur di bawah sinar bulan yang tertutup kabut. Angin berubah arah dan bertiup dengan kencang menyerang Manusia Air, sehingga mereka tidak dapat bergerak maju. Namun tampaknya mereka juga pantang mundur. Sambil bertahan di tempat, mereka berteriak, “Bunuh! Serang!”

Bai Su-zhen dan Xiao Qing yang berada di barisan terdepan, serempak mengacungkan pedang. “Pasukan, jangan gentar.”

Terpesona oleh semangat Bai Su-zhen, pasukan Manusia Air menyambut dengan teriakan perang mereka. Mereka terus mencoba maju melawan tiupan angin.

Jia Lian mengacungkan tombaknya, untuk menghalangi jalan musuh. Pada saat itu, keempat Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir bergabung dengan pasukan Jia Lian. Semuanya melengkapi diri dengan senjata sakti yang melekat di pinggang.

Bai Su-zhen dan Xiao Qing tetap bertempur dengan penuh semangat. Dengan dibantu oleh

Page 134: Putri Ular Putih

Manusia Air, mereka tak berhenti menghentak mengibaskan pedang. Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir pun mundur, diikuti oleh Jia Lian. Ketika dilihatnya mereka bersiap-siap menggunakan senjata sakti, Bai Su-zhen berteriak, “Biarkan saja. Berikan kesempatan kepada Bangau Putih untuk menyerang!”

Bangau Putih menjawab, “Aku di sini. Menyingkirlah!”

Sesungguhnya dari semua peri yang ada, yang paling membuat gentar Bai Su-zhen dan Xiao Qing adalah Bangau Putih. Dengan mengenakan busana berbulu burung, Bangau Putih sekarang memimpin pasukan. Bai Su-zhen sadar bahwa Fa Hai telah mempersiapkan segalanya. Tetapi semangat pasukannya pun sangat tinggi. Namun begitu melihat Bangau Putih, keberanian yang semula menyala-nyala seketika lenyap. Mereka tidak berani maju tanpa perintah dari Bai Su-zhen.

Bai Su-zhen segera berteriak lantang. “Bangau Putih, aku telah mengampunimu ketika kita terakhir kali bertemu di gunung tempat tinggal Peri Tua di Kutub Selatan. Ia memberikan kebebasan dan Rumput Abadi kepadaku. Tidakkah kausadari betapa jahatnya Fa Hai? Ia telah menculik Xu Xian dan merusak kebahagiaan rumah tangga kami. Seharusnya kau tidak bertempur di pihaknya. Cepatlah menyingkir.”

Bangau Putih menunjuk ke sungai dan berkata. “Banjir ini akan menggenangi biara. Apakah itu bukan kejahatan? Dengarkan aku! Tarik mundur pasukanmu sebelum aku terbang ke angkasa dan membunuhmu.”

Bai Su-zhen menjawab dengan marah. “Banjir ini hanya akan menggenangi biara. Kami

Page 135: Putri Ular Putih

telah membuat jalan khusus untuk menyelamatkan rakyat dari banjir. Tak akan ada yang menderita!”

“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Bersiap-siaplah!” Bangau Putih segera terbang ke udara dan menjelma menjadi bangau raksasa. Paruhnya memanjang hingga satu setengah depa. Dengan membabi buta ia menyerang Bai Su-zhen dan Xiao Qing.

Kedua wanita itu langsung menghunus pedang dan bersiap-siap untuk menyerang kembali. Pada saat itu tiba-tiba terdengar seorang berteriak, “Jangan bunuh mereka, Peri Tua datang.”

Mereka memandang ke atas dan melihat Peri Tua dari Kutub Selatan berdiri di awan. Rambutnya yang putih panjang diikat dengan dua pita kuning. Ia mengenakan jubah kuning dan menggenggam sebuah tongkat berbentuk kepala naga pada pegangannya.

Bangau Putih menghentikan serangannya. “Bai Su-zhen mencari suaminya. Salahkah itu?

Seharusnya kau tidak melibatkan diri dalam pertempuran ini,” kata Peri Tua.

Bangau Putih yang saat itu telah kembali pada ukurannya semula, berlutut di hadapan Peri Tua.

“Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir, tuntutan Bai Su-zhen sama sekali bukan urusan kalian. Mengapa kalian melibatkan diri?”

Karena malu, mereka pun mundur setelah membungkuk memberikan hormat. Bai Su-zhen dan Xiao Qing berlutut di hadapan Peri Tua. Mereka memohon kepada Peri Tua untuk menyelamatkan Xu Xian. Bila permohonan itu dikabulkan, mereka berjanji untuk segera menarik mundur seluruh pasukan.

Melihat yang sedang terjadi, hati Fa Hai khawatir,

Page 136: Putri Ular Putih

takut biaranya digenangi banjir. Ia segera berlari ke pintu gerbang sambil membungkuk dengan takzim.

Peri Tua berkata, “Aku datang untuk menengahi pertempuran, bukan untuk berkelahi. Bai Su-zhen, jangan menyerang lagi. Panggil pasukanmu. Dan kau Fa Hai, jangan khawatir, biaramu tak akan tergenang banjir.”

Bai Su-zhen dan Xiao Qing pun segera naik ke pintu masuk biara yang dijaga ketat oleh tiga lapis pasukan. Fa Hai berdiri di balik pintu. Bai Su-zhen berteriak.

“Jia Lian, lihatlah! Anak buahku sudah mundur. Apakah engkau masih berkeras kepala menolak pembebasan Xu Xian? Pintu masuk akan segera kami hancurkan.”

Manusia Air tertawa terkekeh-kekeh mendengar kata-kata Bai Su-zhen. Suaranya menggema, menggetarkan hati. Jia Lian melihat Manusia Air mulai bergerak turun dari gunung dan membentuk barisan lima lapis di depan pintu masuk. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah air yang menghampar. Semua manusia air menyandang senjata. Setiap gerakan yang mereka lakukan mendatangkan tiupan angin dingin. Ombak sungai yang semakin tinggi tampak mendekati Gunung Emas.

Kemudian langit menjadi gelap lagi dan petir pun menyambar. Bunyinya benar-benar memekakkan telinga.

Dengan lantang Bai Su-zhen berteriak kepada pasukannya. “Yang Abadi sendiri telah menyatakan bahwa kami berada di pihak yang benar. Sekarang pergi dan usirlah Fa Hai!”

Perintahnya disambut dengan gegap gempita.

Page 137: Putri Ular Putih

Pasukan Manusia Air pun segera mendesak maju, walaupun lima ratus Pasukan Surga menghadang.

Tiba-tiba Bai Su-zhen mengeluh kesakitan. Ia tak mampu mengangkat pedang dan terpaksa mundur beberapa langkah.

Xiao Qing terkejut dan menghampiri kakaknya. “Kakak sakit?” tanyanya dengan khawatir. Bai Su-zhen membungkuk menahan sakit. “Rasanya saat melahirkan telah dekat. Pasukan

kita tak akan mampu mendesak maju terus tanpa komandan. Perintahkan mereka agar segera mundur.”

Karena melihat pasukan sudah tiba di pintu masuk dan hampir meraih kemenangan, Xiao Qing tidak segera melaksanakan perintah kakaknya. Maka Bai Su-zhen yang saat itu hampir tak mampu lagi berdiri, segera mengangkat pedangnya dan berseru, “Saudara-saudara, jangan menyerang. Mundur! Aku tak sanggup lagi memimpin kalian.”

Pasukan Surga menduga bahwa mundurnya lawan hanya siasat Bai Su-zhen. Mereka tidak berusaha mengejar, hanya memandang dari kejauhan pasukan musuh yang mundur dan kembali ke dalam air.

“Mari kita pergi,” erang Bai Su-zhen. “Sakitnya semakin tak tertahankan. Aku tak ingin melahirkan di sini.”

Lalu keduanya naik ke angkasa dan menunggang awan menuju ke suatu tempat yang lebih tenang. Bai Su-zhen bersandar pada Xiao Qing. “Di mana kita sekarang?” tanyanya berbisik.

Xiao Qing menunjuk ke bawah dan menjawab, “Itu jalan menuju Hangzhou. Mari kita beristirahat sebentar.”

Page 138: Putri Ular Putih

BBAABB 1133

elama pertempuran berlangsung, Xu Xian ditahan di tempat perlindungan dan dijaga oleh seorang

pendeta. Ia tidak mengerti mengapa hujan turun deras sekali. Namun ia mendengar bahwa Ular Putih dan Ular Hijau membawa sepasukan Manusia Air untuk membanjiri biara. Ia pun mendengar bahwa untuk mencegah banjir pendeta Fa Hai meletakkan jubahnya di tepi sungai. Ia juga tahu bahwa sekalipun biara tergenang air, ia akan tetap selamat. Ia yakin akan kemampuan istrinya.

Seorang pendeta tiba-tiba masuk tergopoh-gopoh, mengatakan bahwa Ular Putih dan Ular Hijau telah datang menyerang biara. Xu Xian sangat senang mendengarnya. Pendeta yang lain menambahkan, ia tidak perlu merasa khawatir karena Pasukan Surga pasti akan mampu mempertahankan biara. Dengan kesaktian dan jumlah pasukan yang besar yang tersebar di seluruh kota, mereka pasti tidak terkalahkan. Kegembiraan hati Xu Xian pun musnah.

Fa Shan, pendeta penjaga, berkata kepadanya. “Pertempuran sudah mencapai pintu masuk biara. Ini benar-benar peristiwa luar biasa. Aku ingin melihat ke luar. Dan kau?”

“Kalau Tuan mau melihat ke luar, silakan,” jawab Xu Xian.

“Kuharap kau tidak akan melarikan diri,” sahut pendeta khawatir.

“Melarikan diri?” seru Xu Xian. “Ke mana? Kalau

S

Page 139: Putri Ular Putih

tidak bertemu Fa Hai, aku pun pasti akan mati.” Jawaban Xu Xian melegakan hati Fa Shan. Ia lalu

berkata, “Tetaplah duduk di sini. Aku akan segera kembali.”

“Pergilah. Aku tidak akan melarikan diri,” ulang Xu Xian.

Tetapi begitu pendeta meninggalkan ruangan, hujan berhenti. Bintang dan bulan muncul di langit. Xu Xian berjalan ke luar untuk melihat keadaan di luar. Tak seorang pun terlihat di sana.

“Sekarang tiba saatnya aku melarikan diri,” ujarnya. “Karena semua orang berada di depan, aku akan melarikan diri dari pintu belakang. Dengan demikian tidak seorang pun akan melihatku.”

Perlahan-lahan Xu Xian mengendap-endap menyeberangi halaman biara dan akhirnya ia berada di pintu gerbang. Dengan gembira ia membukanya, menyelinap ke luar, dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Karena tidak tahu arah dan tujuan, Xu Xian berjalan saja mengikuti kehendak kakinya.

Jalan itu berakhir di sebuah desa. Sambil melangkahkan kaki ia membayangkan bagaimana akhir pertempuran itu. Bila istrinya menang, ia pasti akan mencari Xu Xian. Tetapi bila istrinya kalah, paling tidak ia telah berada di luar biara. Itu jauh lebih baik, karena ia tidak ingin menjadi pendeta.

Kemudian Xu Xian tiba di sebuah bangunan bersegi delapan. Ia mendongakkan kepalanya ke atas. Bulan dilihatnya mulai tenggelam di barat. Xu Xian berniat untuk sejenak beristirahat hingga datang fajar. Baru kemudian ia akan memikirkan rencana selanjutnya. Ia lalu membaringkan tubuhnya di sebuah bangku batu, dan jatuh tertidur.

“Xu Xian, bangunlah!” terdengar teriakan

Page 140: Putri Ular Putih

seseorang. Xu Xian terkejut dan terbangun. Ia tidak dapat melihat siapa yang memanggilnya, karena matanya masih kabur oleh kantuk.

“Dari mana Tuan tahu nama saya?” tanya Xu Xian heran.

“Bukan saja namamu yang kuketahui, aku juga tahu mengapa engkau melarikan diri.”

Xu Xian duduk dan menyeka matanya. Orang itu tidak bertopi, tetapi berpakaian seperti pendeta Budha.

Kemudian lelaki tua itu berkata, “Gunung Emas berada di dekatmu. Aku yakin kau tak akan dapat memicingkan mata.”

Xu Xian terkejut. Orang ini benar-benar mengetahui kesulitan yang ia alami. Dengan penuh hormat ia membungkukkan badannya, “Kakek, tolonglah hamba. Pendeta Fa Hai adalah manusia yang berbahaya. Tetapi siapa sesungguhnya nama Tuan?”

Orang tua itu melihat ke sekeliling untuk meyakinkan diri bahwa tak seorang pun berada di dekatnya kecuali mereka berdua. “Aku adalah Peri Tua dari Kutub Selatan.”

“Oh!” seru Xu Xian dengan gembira. “Jadi Tuankah yang telah memberikan Rumput Abadi kepada istri saya. Dan berkat badi itulah saya hidup kembali. Saya benar-benar bersyukur dapat berjumpa dengan Tuan. Dengan demikian saya bisa mengucapkan terima kasih.”

Sambil berbicara, Xu Xian berlutut memberi hormat. “Mohon katakan kepada saya, apa yang harus saya lakukan?” tanyanya sambil bangkit berdiri.

“Aku sengaja datang ke mari untuk menyuruhmu

Page 141: Putri Ular Putih

pulang ke Hangzhou,” kata orang tua itu. “Hangzhou? Saya memang berasal dari sana.

Tetapi, di kota itu saya tidak mempunyai kerabat, kecuali seorang kakak perempuan yang telah berkeluarga.”

“Pada saat ini, Bai Su-zhen dan Xiao Qing berada di Danau Barat. Temui mereka di sana,” perintah Peri Tua.

Hati Xu Xian sangat gembira. “Tetapi, bukankah saya sekarang berada di

Zhenjiang, ratusan kilometer jauhnya dari Hangzhou,” katanya.

“Aku akan membawamu ke sana. Ikuti saja kata-kataku. Engkau segera akan bertemu dengan mereka,” kata Peri Tua.

“Terima kasih! Apakah mereka kalah sehingga harus melarikan diri ke Hangzhou?”

“Mereka hampir saja menang. Tetapi istrimu tiba-tiba sakit dan harus segera pergi. Tenangkan hatimu. Istrimu akan menjelaskan segala-galanya.”

“Bagaimana caranya agar saya dapat segera menemuinya?” tanya Xu Xian penuh semangat.

“Bergantunglah pada tongkatku. Kalau kuperintahkan tutup matamu, artinya kita akan segera terbang. Kalau kuperintahkan buka matamu, berarti engkau sudah berada di Hangzhou.”

Xu Xian pernah terbang mengendarai awan ketika ia diculik oleh pendeta Sorban Kuning. Jadi ia mengetahui apa yang harus ia lakukan. Dipegangnya tongkat Peri Tua erat-erat.

“Pegang tongkatku ini. Apa pun yang terjadi, jangan dilepaskan. Dan jangan pula bertanya, di mana kau sedang berada,” kata orang tua itu.

Kemudian Peri Tua memberi tanda bahwa mereka

Page 142: Putri Ular Putih

akan segera terbang. Angin dingin berhembus di telinganya. Ketika membuka matanya, Xu Xian melihat atap rumah-rumah penduduk, di sekitarnya terlihat langit luas penuh awan dan bintang-bintang yang bersinar. Karena ngeri, ia segera menutup kembali matanya.

“Berhenti!” demikian teriak Peri Tua, dan Xu Xian mendapatkan dirinya berdiri di sebuah jalan. Di ujungnya ia melihat dua buah gunung yang mengapit sebuah danau.

Sekali matanya memandang berkeliling. Benar! Ia telah berada di Danau Barat dengan pohon-pohonnya yang khas.

“Aku berada di jalan Su Ti!” serunya. “Ah, rupanya engkau mengenalinya,” kata orang

tua itu. “Sekarang kau telah berada di daratan. Teruslah berjalan, dan engkau akan segera tiba di rumah.”

Xu Xian menatap wajah Peri Tua yang selalu tersenyum. Dengan ragu-ragu, Xu Xian bertanya, “Orang yang akan saya temui di rumah adalah Bai Su-zhen dan Xiao Qing, bukan?”

“Tentu saja.” Sambil mencekal baju Peri Tua, Xu Xian berkata,

“Dan saya tak perlu khawatir, bukan?” “Sama sekali tidak!” jawab Peri Tua. “Tetapi tentu

saja mereka akan merasa kesal, karena gara-gara perbuatanmu semuanya jadi kacau.”

Xu Xian mendesah, “Fa Hai-lah penyebabnya. Jika nanti saya meminta maaf, istri saya pasti bersedia melupakan semuanya. Tetapi Xiao Qing belum tentu mau mengerti.”

“Jangan khawatir,” ulang Peri Tua. “Berjanjilah untuk tidak mengulangi kesalahanmu itu. Lihat,

Page 143: Putri Ular Putih

mereka memanggilmu.” Xu Xian melihat mereka di kejauhan, namun ia

tidak mendengar apa pun. Dan ketika ia membalikkan tubuhnya, orang tua itu tak terlihat lagi. Dalam hati ia bersyukur dan mengucapkan terima kasih. Namun ia masih saja merasa khawatir; ia yakin Xiao Qing marah kepadanya.

Matahari di. atas gunung menyinari danau, bagai kaca tembaga raksasa yang memantulkan bayangan bangunan-bangunan di sekitarnya.

Xu Xian belum juga meyakini kebenaran kata-kata Peri Tua bahwa Bai Su-zhen dan Xiao Qing akan datang ke tempat itu. Namun, karena ia masih mempunyai kenalan baik di kota itu, ia merencanakan untuk tinggal menumpang di rumah temannya. Ketika tiba di Jembatan Patah, Xu Xian sejenak melamun. Di kejauhan ia melihat dua orang wanita duduk di bawah pohon di tepi sungai. Mereka adalah Bai Su-zhen dan Xiao Qing. Karena kelelahan bertempur, mereka-tak bertenaga lagi untuk meneruskan perjalanan.

“Kakak,” kata Xiao Qing sambil duduk di sebuah batu besar. “Bagaimana keadaanmu?”

“Baik-baik saja. Namun, rasa sakit belum juga hilang,” jawab Bai Su-zhen.

“Kita sudah tiba di Hangzhou. Sebaiknya kita segera mencari tempat yang sepi.”

“Karena Xu Xian masih ditahan Fa Hai, kita belum dapat beristirahat. Sebaiknya kita tidak ke luar kota,” kata Bai Su-zhen.

Xiao Qing menggelengkan kepalanya, “Bah! Xu Xian bukan lagi kawan kita. Lupakan saja dia.”

Bai Su-zhen hanya tersenyum, “Xu Xian jujur dan baik hati! Kejadian di Gunung Emas benar-benar

Page 144: Putri Ular Putih

bukan kesalahannya. Waktu kita bertempur tadi, perutku mendadak sakit. Kurasa waktu melahirkan hampir tiba.”

“Kita akan beristirahat di Hangzhou,” Xiao Qing memutuskan.

Tiba-tiba Bai Su-zhen mengerang, “Oh! Sakitnya datang lagi.” Xu Xian tak dapat lagi menahan hatinya. Ia segera berlari menghampiri Bai Su-zhen, “Istriku, kau sakit?”

Bai Su-zhen sangat gembira melihat Xu Xian. Sejenak ia melupakan rasa sakitnya. “Xu Xian!” teriaknya dengan sukacita.

Xu Xian kembali bertanya, “Istriku, bagaimana keadaanmu?”

Xiao Qing tetap diam dan berdiri membelakangi mereka berdua, seakan-akan tidak pernah mengenal Xu Xian.

Bai Su-zhen berkata, “Perbuatanmu telah mendatangkan kesulitan kepada kami. Gara-gara ulahmu, aku terpaksa mengerahkan Manusia Air untuk menyerang biara, dan Fa Hai telah menghimpun bala bantuannya untuk memerangi kami. Ketika kami hampir memasuki biara, mendadak perutku sakit, sehingga kami terpaksa mundur, lalu terbang ke sini. Tetapi, mengapa engkau tidak datang ketika kami sedang bertempur?”

“Aku ditahan di ruangan belakang,” kata Xu Xian. “Perang memang berkecamuk di luar. Tetapi di dalam, aku tidak melihat sesuatu pun. Lagi pula, aku dijaga ketat oleh para pendeta, sehingga tidak dapat bergerak.”

“Tetapi bagaimana engkau dapat melarikan diri ke sini?” tanya Bai Su-zhen.

Xu Xian menceritakan seluruh kejadian yang

Page 145: Putri Ular Putih

dialaminya, “Jarak Zhenjiang-Hangzhou jauh sekali. Kalau tidak ada yang menolongku, bagaimana mungkin aku dapat melarikan diri dan tiba di sini?”

Dengan gembira, Bai Su-zhen berkata, “Rasa-rasanya aku harus berterima kasih kepada Peri Tua sekali lagi!”

Tiba-tiba Xiao Qing menghentikan kalimatnya, “Jangan percaya kepadanya. Siapa tahu ia dikirim ke mari oleh Fa Hai untuk menipu kita,” katanya sambil memandang Xu Xian dengan marah.

Xu Xian membungkuk dan berkata tanpa merasa bersalah, “Xiao Qing, kau marah kepada Fa Hai, bukan?”

“Tidak, aku marah kepadamu,” jawabnya. Xu Xian tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Xiao Qing berkata lagi, “Aku benar-benar membencimu. Kami telah menyabung nyawa gara-gara ulahmu!”

Xu Xian menoleh kepada Bai Su-zhen. Tampaknya ia pun membela adiknya. Dalam hati Xu Xian berpikir, “Kedua wanita itu sanggup mengerahkan Manusia Air untuk menyerang biara. Jadi, kalau mau, mereka dapat saja membunuhku sekarang.” Badan Xu Xian gemetar ketakutan.

“Ayo, mengakulah! Kalau tidak...” kata Xiao Qing mengancam.

Dengan gigi gemeletuk ketakutan, Xu Xian berkata, “Memang benar! Akulah penyebab semua kekacauan ini. Apa lagi yang dapat kukatakan?”

“Apa yang diperintahkan Fa Hai kepadamu?” tanya Xiao Qing.

“Ia hanya menginginkan agar aku bersedia menjadi pendeta.”

“Huh! Pasti ia mengirimmu kemari untuk

Page 146: Putri Ular Putih

mengkhianati kami, bukan?” tuduh Xiao Qing sambil mendekati Xu Xian.

Melihat betapa marahnya Xiao Qing, Xu Xian menoleh kepada istrinya. “Istriku, aku tidak berdusta.”

“Dulu, kami memang mempercayaimu. Tetapi sekarang tidak lagi,” lanjut Xiao Qing dengan geram. “Katamu, kau tidak berdusta, tetapi mengapa kau tak berteriak ketika mereka menculikmu? Cepatlah mengaku! Ayo!”

Xiao Qing mengangkat tangannya. Xu Xian hanya dapat bersembunyi di balik istrinya.

Bai Su-zhen yang saat itu sedang menahan sakit berbisik kepada Xiao Qing. “Aku tahu engkau sangat marah. Tetapi, berilah kesempatan kepadanya untuk berbicara!”

Adiknya menjawab, “Baik. Bicaralah cepat!” “Ketika kita sedang berada di Gunung Hu Qiu, dua

pendeta bersorban kuning mengatakan bahwa kalian berdua diundang Fa Hai dan sudah berada di tempatnya. Itu sebabnya ketika mereka membawaku, aku tidak berteriak. Baru kemudian aku sadar bahwa mereka telah menipuku. Namun segalanya sudah terlambat.”

Xiao Qing menukas, “Itu tidak...” Namun Xu Xian segera berlutut dan memotong kalimatnya.

“Aku bersumpah kepada dewa-dewa. Kalau aku berdusta, biarlah aku mati tertusuk pedang sekarang juga.”

Bai Su-zhen menariknya, “Xu Xian, bangkitlah!” Kata Xu Xian, “Xiao Qing. Mungkin sebaiknya aku

pergi saja.” “Kalau saja Bai Su-zhen tidak sakit,” sahut Xiao

Qing, “Aku tidak akan pernah memaafkan dirimu.

Page 147: Putri Ular Putih

Tetapi, karena ia menderita dan karena kau mengenal kota ini dengan baik, cepat katakan ke mana kita bisa mencari tempat untuk beristirahat?”

“Ke rumah kakakku,” tegas Xu Xian. “Kakak iparku, Li Ren pasti mau membantu kita. Tetapi ini hanya sekadar usul. Apakah kau menyetujuinya, Istriku? Dan kau Xiao Qing?”

Xiao Qing tak dapat menahan senyumnya melihat sikap Xu Xian.

“Aku setuju. Aku dapat tidur di mana saja. Bai Su-zhen akan segera melahirkan. Saranmu cukup baik. Kami juga membawa uang, sehingga tidak akan menyulitkan kakakkmu.”

Xu Xian menoleh kepada Bai Su-zhen. “Kalau kakakmu dan suaminya mau menerima kita, alangkah baiknya,” kata Bai Su-zhen.

Rasa sakit kembali datang. Bai Su-zhen menyandarkan tubuhnya kepada Xiao Qing. Kemudian, mereka berjalan perlahan-lahan menuju rumah Fu Yun, kakak Xu Xian.

“Istriku, tentunya sulit bagimu untuk berjalan jauh,” kata Xu Xian. “Duduk sajalah di sini bersama Xiao Qing. Aku akan memanggil dua tandu untuk membawa kalian ke rumah kakakku.”

“Usulmu hebat,” kata Xiao Qing. “Tetapi, kurasa cukup satu tandu saja. Jangan pikirkan diriku.”

“Aku pergi sebentar,” kata Xu Xian sambil berlari menyeberangi Jembatan Patah. Di sana ia menemukan tempat pemberhentian tandu, dan berhasil memperoleh tiga buah tandu.

Ketika mereka akan masuk ke dalam tandu, Bai Su-zhen berkata, “Xu Xian, ada satu hal yang harus kauingat. Bila kita sudah tiba di rumah kakakmu, jangan ceritakan apa pun tentang kejadian di Biara

Page 148: Putri Ular Putih

Gunung Emas. Katakan saja kita datang kemari karena aku akan melahirkan.”

“Baiklah,” Xu Xian berjanji.

Page 149: Putri Ular Putih

BBAABB 1144

u yun sangat gembira melihat kedatangan Xu Xian, Bai Su-zhen, dan Xiao Qing. Ia berlari

menyambut mereka dengan gembira. “Oh, kejutan yang menyenangkan! Kami mendengar kalian berhasil. Tidak pernah kuduga akan bertemu kalian secepat ini.”

“Sebentar lagi aku akan melahirkan,” kata Bai Su-zhen. “Karena hanya kalianlah keluarga kami di sini, maka aku sengaja datang kemari untuk meminta bantuan.” Bai Su-zhen sambil berjalan ke dalam rumah.

Fu Yun berkata, “Tampaknya saat kelahiran sudah dekat.”

“Benarkah?” kata Xu Xian khawatir. “Apakah kalian punya kamar kosong?”

“Tentu saja! Uang pemberian kalian, kami jadikan modal untuk berdagang. Dari keuntungan yang kami dapat kami mendirikan bangunan tambahan di belakang rumah ini, dan baru selesai dua hari yang lalu. Tempatilah rumah itu. Perabotannya memang belum ada, tetapi kalian dapat mengaturnya kemudian. Dalam satu-dua hari, kalian akan seperti di rumah sendiri.”

Bai Su-zhen duduk dengan hati-hati dan mengucapkan terima kasihnya kepada Fu Yun. Dengan susah payah ia berkata, “Kakak ipar, maafkan kami bila tidak dapat membalas segala kebaikanmu.”

F

Page 150: Putri Ular Putih

“Jangan pikirkan hal itu!” seru Fu Yun. “Kau akan segera melahirkan. Akan kupanggilkan dua wanita untuk membantu persalinanmu.”

“Tak perlu buru-buru,” jawab Bai Su-zhen. “Saatnya belum tiba. Izinkan kami melihat rumah itu.”

“Ya. kau harus mempersiapkan diri, sebelum tiba saat melahirkan,” kata Fu Yun.

Fu Yun memanggil nyonya Jiang yang kemudian ia perkenalkan kepada Bai Su-zhen. Ia juga memberikan kunci rumah kepada Bai Su-zhen, dan menyuruh ketiganya masuk. Bai Su-zhen tampak lega, Xu Xian dan Xiao Qing disuruhnya melihat-lihat ke dalam.

Dinding rumah itu terbuat dari batu kapur. Kayu-kayu dan atapnya dicat rapi. Seluruh bangunan terbagi atas lima ruangan yang sama besar.

“Bagus sekali,” kata Xu Xian. “Tetapi tempat tidur dan perabotan lainnya belum tersedia. Karena Bai Su-zhen akan segera melahirkan, sebaiknya untuk sementara kita tinggal saja dulu di rumah Fu Yun.”

Xiao Qing bertanya kepada nyonya Jiang, “Apakah rumah ini mempunyai pintu belakang?”

“Oh ada, di belakang ruangan ini,” jawab nyonya Jiang.

“Bagus,” kata Xiao Qing. “Ketika datang ke sini, kulihat ada beberapa toko yang menjual barang-barang keperluan rumah tangga. Aku akan pergi membeli barang-barang yang diperlukan Bai Su-zhen. Aku akan kembali sekitar satu jam lagi.”

Xu Xian tahu benar siapa Xiao Qing. Itu sebabnya ia mengangguk saja tanda setuju. “Pergilah. Karena istriku akan segera melahirkan, tampaknya tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Tetapi tentunya kau

Page 151: Putri Ular Putih

membutuhkan uang cukup banyak untuk membeli perabotan.”

“Jangan khawatir. Tolong kunci pintu gerbang” Nyonya Jiang dan Xu Xian pergi mengunci pintu

dan menunggu di luar. Dengan menggunakan kekuatan sihirnya, Xiao Qing kemudian menciptakan perabotan-perabotan rumah tangga. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, ruangan itu dikuncinya dari dalam. Setelah satu jam, Xiao Qing membuka pintu dan memanggil. “Semuanya beres. Masuk dan lihatlah.”

Ketika pintu dibuka, Nyonya Jiang terkejut. Halaman rumah telah dipenuhi pot-pot bunga yang indah, dan guci-guci emas yang sangat besar dan berat yang berisi batu-batu karang kecil. Di kamar tidur ia melihat sebuah dipan kayu berukir, ditutup dengan kain bersulam. Di dekat tempat mencuci tangan, terdapat mangkok-mangkok porselin. Nyonya Jiang ternganga, tak dapat berkata-kata.

“Masuklah Nyonya Jiang,” kata Xiao Qing. Nyonya Jiang melihat berkeliling. “Xiao Qing,

apakah engkau seorang peri? Seisi rumah penuh dengan barang-barang besar dan berat yang memerlukan waktu berjam-jam untuk mengangkatnya kemari. Bagaimana kau dapat membereskannya seorang diri?”

Xu Xian tidak terkejut lagi melihat keajaiban-keajaiban seperti itu. “Xiao Qing memang wanita yang sangat pandai. Ia juga mempunyai banyak uang untuk membeli semua barang ini,” jelasnya.

Fu Yun dan Bai Su-zhen datang. Fu Yun terkejut melihat keadaan di dalam rumah. Bai Su-zhen hanya berdiri sambil mendesis menahan sakit.

“Adik,” kata Fu Yun kepada Bai Su-zhen.

Page 152: Putri Ular Putih

“Beristirahatlah dulu. Semua sudah diatur rapi. Kau dapat melahirkan dengan tenang.”

Xu Xian menyambung, “Ya, lebih baik kau beristirahat. Bila memerlukan sesuatu, biar kuambilkan.”

“Yang kuperlukan sekarang adalah mempersiapkan kelahiran bayiku,” kata Bai Su-zhen.

“Aku sudah membeli barang-barang yang diperlukan,” kata Xiao Qing. “Tetapi masih ada beberapa benda yang tidak kudapatkan di toko. Tentunya kakak bersedia meminjamkannya kepada kami.”

“Jangan khawatir,” jawab Fu Yun. “Apa pun yang kauperlukan, akan kusediakan. Tetapi tentunya banyak yang sudah agak usang!” kata Fu Yun dengan mata berbinar-binar.

“Kami benar-benar merasa beruntung kakak berada di sini bersama kami,” kata Bai Su-zhen hangat.

Setelah Fu Yun pergi dengan Nyonya Jiang untuk mencari pakaian-pakaian bayi, Bai Su-zhen menyuruh Xu Xian pergi membeli baskom dan handuk. Ketika ia tinggal berdua saja bersama Xiao Qing, Bai Su-zhen berkata kepada Xiao Qing, “Kau telah mengisi rumah ini dengan baik. Tetapi karena terlalu cepat, kurasa mereka agak curiga.”

“Biar saja. Asalkan mereka tidak menyangka bahwa aku adalah seorang peri,” jawab Xiao Qing.

“Ya, tetapi lain kali kita harus lebih hati-hati,” kata Bai Su-zhen. “Pendeta Fa Hai benar-benar jahat. Ia telah merusak ketenangan hidup dan menyebabkan kita terpaksa bersembunyi. Menurut pendapatmu, apa lagi yang kita perlukan untuk seorang bayi? Cepat kausiapkan sementara orang-orang lain belum

Page 153: Putri Ular Putih

kembali ke sini.” “Ayunan, baju bayi, baju hangat, dua bantal kecil,

semuanya telah tersedia. Hei, mengapa pula kau ini?” Bai Su-zhen mencekal pinggiran tempat tidurnya

sambil menggigit kedua bibirnya. “Oh, sakit rasanya!” katanya terengah-engah. “Xiao

Qing, cepat lakukan sesuatu.” “Aku akan memanggil Fu Yun,” jawab Xiao Qing. “Jangan pergi sekarang. Siapkan terlebih dahulu

barang-barang yang kuperlukan. Waktumu sempit!” Sekali lagi Xiao Qing menggunakan kekuatan

sihirnya. Beberapa saat kemudian, Fu Yun datang membawa setumpuk pakaian bayi. Dilihatnya Bai Su-zhen hanya sendirian di kamarnya. Fu Yun bertanya, “Bagaimana sakitnya?”

“Kalau serangan datang, sakitnya tak tertahankan. Tetapi sekarang tidak lagi,” sahut Bai Su-zhen.

Sambil meletakkan baju-baju yang dibawanya, Fu Yun bertanya, “Sudah ada tanda-tanda kelahiran?”

“Ya! Darah! Tetapi hanya sedikit.” “Ya ampun! Itu tandanya bayi akan segera keluar.

Ia dapat lahir sewaktu-waktu. Mana Xiao Qing?” “Aku di sini, sedang mempersiapkan barang-

barang untuk bayi,” teriak Xiao Qing dari ruangan lain.

“Cepat kemari. Aku akan menjemput Nyonya Jiang. Ia sudah berpengalaman membantu kelahiran.”

Tak lama setelah ia pergi, Xu Xian datang membawa baskom dan barang-barang lain. Melihat Bai Su-zhen sendirian di kamarnya, ia bertanya dengan khawatir, “Bagaimana? Aku benar-benar malu. Xiao Qing sibuk mempersiapkan segala-galanya. Semua diperolehnya dengan mudah.

Page 154: Putri Ular Putih

Sedangkan aku, hanya ini yang dapat kuperoleh.” “Ia dapat lahir sewaktu-waktu,” jawab istrinya.

“Aku senang engkau berhasil membeli barang-barang yang kuminta. Sekarang, keluarlah! Biar para wanita yang mengurusnya.”

Fu Yun dan Nyonya Jiang berlari menghampiri Bai Su-zhen. Nyonya Jiang bertanya kepada Bai Su-zhen tentang beberapa hal. Melihat Xu Xian masih saja berada di ruangan, ia berkata, “Suamiku, keluarlah. Bila telah selesai, kau akan kami panggil.”

Xu Xian melihat wajah istrinya yang menahan sakit. Ketika dilihatnya Nyonya Jiang mulai menanggalkan baju Bai Su-zhen, perasaannya semakin tak menentu.

“Adik, cepatlah keluar!” perintah Fu Yun. “Tenagamu tidak diperlukan di sini.”

Dengan berat hati, Xu Xian beranjak ke luar. Dan pintu pun segera dikunci dari dalam. Xu Xian berjalan mengitari ruangan, sambil menunggu dengan was-was.

Dari luar ia mendengar suara-suara, “Semoga Budha membantumu. Dorong! Ayo! Dorong sekali lagi.”

Dari apa yang terdengar, Xu Xian dapat membayangkan betapa susahnya melahirkan! Ingin rasanya ia membantu, namun Bai Su-zhen melarangnya masuk. Karena itu ia hanya berjalan mondar-mandir di luar kamar, sambil memasang telinga mendengarkan dengan hati pedih jerit kesakitan istrinya. Ia lalu berdoa dalam hati, “Wahai para nenek moyang. Bantulah istriku. Aku akan memujamu sepenuh hatiku.”

Tiba-tiba didengarnya Fu Yun berseru dengan gembira.

Page 155: Putri Ular Putih

“Bagus, kepalanya sudah tampak. Dorong sekali lagi. Bagus, bagus! Bayinya besar sekali. Aku akan segera membersihkannya... Selamat, Dik!”

Jantung Xu Xian serasa berhenti berdenyut. Ia berjalan ke pintu dan menguping. Didengarnya suara tangisan bayi.

“Aku akan menggendongnya,” terdengar suara Fu Yun. “Nah, sekarang peganglah ia dengan hati-hati.”

Xu Xian mendengar suara Bai Su-zhen dan suara-suara lain di dalam ruangan, “Selamat! Selamat!” Semuanya penuh sukacita.

Xu Xian berterima kasih kepada Yang Di Atas, kepada para dewa di langit, di bumi, dan kepada para nenek moyang!

Xiao Qing keluar dari kamar untuk mengucapkan selamat kepada Xu Xian, “Selamat! Engkau mendapat bayi laki-laki yang sehat.”

Xu Xian tidak menyangka Xiao Qing akan bersikap ramah kepadanya. Semenjak kejadian di Gunung Emas, baru saat itulah Xiao Qing berbaik hati kepadanya. Ia pun menjawab, “Ya, Adik, kau telah mempersiapkan segalanya dengan baik.”

“Jangan tergesa-gesa masuk. Kami sedang beres-beres,” kata Xiao Qing, sambil melangkah masuk ke dalam kamar.

Kebahagiaan Xu Xian tak dapat dilukiskan. Ingin rasanya ia melompat-lompat untuk melampiaskan kebahagiaan hatinya.

Ia merasa seakan harus menunggu berabad-abad sebelum akhirnya Fu Yun mempersilakannya masuk untuk melihat bayinya. Dilihatnya Bai Su-zhen duduk di atas tempat tidurnya. Sebuah selimut bersulam berwarna merah menutup kedua kakinya. Namun, tempat tidur kecil di sampingnya tetap

Page 156: Putri Ular Putih

kosong. “Kau mencari anakmu?” tanya Bai Su-zhen

lembut, “Ia berada di sini,” katanya sambil mengangkat bayi yang terbaring di sampingnya dan menyerahkannya kepada Xu Xian. Xu Xian memandang bayinya yang dibungkus kain tebal berwarna merah. Wajahnya bulat dan rambutnya hitam lebat.

“Ia mirip ayahnya,” kata Fu Yun. “Tetapi, matanya seperti mata ibunya,” kata Xu

Xian.“Engkau harus memberinya nama,” kata Bai Su-

zhen.“Anakku! Kau kuberi nama Shi Lin6. Dan kau

harus mempunyai banyak adik, lelaki dan perempuan.”

Fu Yun bertepuk tangan. “Nama yang bagus,” katanya menyetujui. “Bagaimana menurut pendapatmu, Adik?”

“Nama yang sangat indah,” jawab Bai Su-zhen dengan halus. Kemudian terdengar Nyonya Jiang berkata, “Kau sudah cukup lama menggendong anakmu. Sekarang biarkan ia tidur.” Lalu ia mengambil bayi itu dari gendongan Xu Xian dan dibaringkannya di tempat tidur bayi.

Dari luar terdengar teriakan, “Hai! Saudara Xu telah kembali. Ia pasti kaya raya! Lihatlah bunga-bunga di tamannya!”

“Kakak iparmu pulang,” kata Fu Yun, “Adik, cepat temui ia. Nanti ia mencari-cari kita.”

6 Kata 'Lin' berarti hutan. Hutan terdiri dari banyak pohon. Jadi nama Shi Lin dimaksudkan agar ia kelak mempunyai banyak adik, laki-laki dan perempuan.

Page 157: Putri Ular Putih

Xu Xian berlari ke luar menemui Li Ren. Melihat Xu Xian, Li Ren terkejut dan segera tertawa gembira.

“Sudah lama kita tak bertemu, Li Ren,” kata Xu Xian

sambil membungkuk memberi hormat. “Lebih dari setahun,” kata Li Ren. “Tetapi, lihatlah

rumah ini! Kau telah mengubahnya dalam waktu singkat.” Dengan terheran-heran Li Ren memandang meja, kursi dan perabotan lainnya serta barang-barang porselin di ruang tengah. Bahkan pada dinding-dindingnya pun tergantung lukisan-lukisan. Jambangan-jambangan bunga yang indah terletak di atas meja.

“Kami datang dari jauh,” kata Xu Xian. “Semuanya masih berantakan.”

“Apa maksudmu? Berantakan?” kata Li Ren tertawa. “Oh ya! Di mana istrimu?”

“Masih ada berita baik untukmu,” kata Xu Xian dengan bangga. “Istriku baru saja melahirkan. Bayinya laki-laki. Namanya Shi Lin.”

Li Ren menjabat tangan Xu Xian. Dengan gembira ia berteriak, “Selamat! Ini benar-benar berita baik! Kita harus merayakannya.”

Sebelum Xu Xian menjawab, Bai Su-zhen berteriak dari dalam, “Kakak ipar! Aku tak dapat menyambutmu ke luar. Tetapi, aku setuju bila kelahirannya kita rayakan.”

Sambil menepuk dadanya, Li Ren berkata dengan ceria kepada Xu Xian, “Kaudengar itu, Dik? Kita harus merayakannya!”

Page 158: Putri Ular Putih

BBAABB 1155

emua tetangga berebut membantu persiapan pesta. Padahal saat itu Xu Xian sedang

kebingungan karena hanya membawa beberapa keping uang logam di sakunya. Namun ia enggan meminta uang kepada istrinya. Sebagai pengusaha yang berhasil di Suzhou, orang tidak akan menyangka bahwa sesungguhnya ia tak mempunyai banyak uang. Hal itu akan memaksanya untuk bercerita tentang kejadian di Gunung Emas. Padahal ia telah berjanji kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing untuk tidak bercerita kepada siapa pun. Semalam sebelum pesta dimulai, ketika Bai Su-zhen sedang menidurkan bayinya, Xu Xian bertanya kepada istrinya.

“Bagaimana keadaanmu, Istriku?” tanya Xu Xian lembut.

“Cukup sehat, sekalipun masih terlalu lemah untuk berdiri. Tetapi jangan terlalu mencemaskan diriku.”

“Jeritanmu saat melahirkan benar-benar membuatku takut. Namun sekarang kau tampak jauh lebih sehat,” kata Xu Xian dengan wajah bahagia.

Bai Su-zhen tersenyum. “Anak ini benar-benar mirip ayahnya. Apakah kau ingin menggendongnya?” tanyanya.

Ketika Bai Su-zhen akan meraih bayinya, Xu Xian melarang. “Ia sedang tidur. Jangan diganggu. Aku

S

Page 159: Putri Ular Putih

ingin bertanya sesuatu kepadamu. Tidak ada orang lain di sini, ‘kan?” tanya Xu Xian kepada istrinya.

Bai Su-zhen duduk. “Tentang kejadian di biara itu?” tanyanya.

“Bukan. Aku sudah mengetahuinya,” jawab Xu Xian. “Yang hendak kutanyakan ialah tentang toko kita di Suzhou. Apakah toko itu masih ada?”

“Duduklah, akan kujelaskan,” jawab istrinya. “Kita sekarang tidak dapat kembali ke Suzhou. Kalau kita tetap membuka toko itu, berarti kita hanya mencari keuntungan. Bukan itu tujuan kita. Itu sebabnya, Ma Zi-hou dan Li Ben-liang telah kusuruh menutup toko. Tentu saja hal ini membutuhkan waktu.”

“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Xu Xian dengan khawatir.

“Apa yang membuatmu khawatir? Masih ada uang di dalam lemari. Dengarkan aku. Walaupun mulanya uang kita berasal dari kekuatan sihirku, uang yang kita punyai sekarang benar-benar hasil keringat kita.”

“Menurut pendapatmu, kita dapat mengundang semua tetangga?” tanya Xu Xian.

“Tentu saja. Walaupun mereka tidak minta diundang, aku bermaksud mengundang mereka semua. Suamiku, keluarga Xu kini sudah mempunyai keturunan. Aku sangat bahagia. Beberapa orang masih berkata bahwa aku adalah makhluk halus. Mereka mengatakan bahwa bayi ini bukanlah milikku.”

Xu Xian menjawab dengan bersemangat, “Ya! Benar-benar tidak masuk akal. Sekarang, aku akan menghitung jumlah tamu yang akan kita undang.”

“Tenanglah! Kau dapat mengundang siapa saja. Aku akan bisa mengatasinya. Tetapi jangan kaukatakan kepada kakakmu asal-usul uang itu.”

Page 160: Putri Ular Putih

“Tentu saja tidak!” Bai Su-zhen memasukkan tangannya ke bawah

bantal, lalu mengambil sebuah kunci besar dan memberikannya kepada Xu Xian. “Ini adalah kunci peti kita. Semua isi peti itu berasal dari Suzhou. Bagaimana barang-barang itu sampai kemari...” Bai Su-zhen tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh kepada Xu Xian.

“Aku tahu. Makhluk halus telah mengangkutnya kemari,” kata Xu Xian menyambung kata-kata istrinya.

“Jangan pernah mengatakan sesuatu tentang kunci ini, kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun juga,” kata Bai Su-zhen. “Kunci ketiga adalah kunci untuk peti kedua. Bukalah peti itu.”

Xu Xian pergi ke ruang belakang dan membuka peti. Ia menemukan semua uangnya di bawah lapisan kain. “Banyak sekali!” serunya.

“Jangan bicara terlalu keras,” kata Bai Su-zhen. Xu Xian mengunci peti, dan kembali ke kamar Bai

Su-zhen.“Menurut pendapatmu uang itu cukup untuk

membiayai pesta kita?” tanya Bai Su-zhen. “Lebih dari cukup,” jawab Xu Xian dengan wajah

tak percaya. “Aku tahu. Aku ingin kau melihat sendiri uang itu.

Sekarang tak ada lagi yang perlu engkau khawatirkan!. Aturlah segalanya.”

Xu Xian memberikan kembali kunci itu kepada istrinya, “Engkau harus menjaga uang itu. Aku takut kuncinya hilang.”

Dengan penuh pengertian Bai Su-zhen berkata, “Aku juga akan membantumu mencari nafkah.”

Mendengar perkataan istrinya, hati Xu Xian sangat

Page 161: Putri Ular Putih

bahagia. Perlahan-lahan ia datang mendekat, lalu duduk di ujung tempat tidur. “Engkau telah melakukan terlalu banyak untukku. Terima kasih,” katanya tulus. Matanya menyiratkan cinta kasih. “Engkau telah memberikan kekayaan kepadaku selama ini, dan aku sangat berbahagia bila kau akan tetap bersedia membimbingku. Di mana kita akan bekerja nantinya?”

“Untuk menuju biara Gunung Emas, siapa pun akan melewati daerah sekitar Sungai Changjiang,” jawab Bai Su-zhen. “Dan kalau kita mampu melewatinya, demikian pula Fa Hai. Kalau kita ingin hidup tenang, sebaiknya kita tidak tinggal terlalu lama di Hangzhou.”

“Jadi, di mana kita akan tinggal?” “Di mana saja,” kata Bai Su-zhen dengan penuh

keyakinan. “Namun, untuk saat ini yang harus kita pikirkan adalah anak kita.”

Kata-kata Bai Su-zhen melegakan Xu Xian. Tinggal masalah pesta yang harus ia pikirkan.

Dua hari kemudian, tubuh Bai Su-zhen mulai pulih. Ia bangkit dari tempat tidur lalu duduk di tepi jendela. Kemudian ia menyusui Shi Lin. Xu Xian memandang sambil tertawa.

Bai Su-zhen mengerlingkan matanya, “Tidakkah lebih baik bila kau cari tempat yang sejuk dan menyegarkan, daripada memandangiku saja tanpa henti. Panasnya sungguh tak tertahankan!”

“Aku sedang berpikir untuk menyewa seorang ibu susuan bagi anak kita untuk menggantikanmu. Pada cuaca sepanas ini, engkau perlu juga beristirahat.”

Bai Su-zhen menggeleng. “Bukankah semua ibu susuan juga mempunyai anak? Dan aku pun dapat melakukannya sendiri.” Dengan hati terharu Xu Xian

Page 162: Putri Ular Putih

berkata, “Kau benar-benar istri yang berbakti. Karena biasanya orang kaya akan menyewa ibu susuan bagi putranya, apalagi dalam cuaca sepanas ini.”

“Mungkin,” kata Bai Su-zhen sungguh-sungguh. “Lebih baik mulai merencanakan pesta. Bagaimana persiapannya?”

“Aku telah membuat daftar undangan. Jumlahnya kira-kira dua puluh orang. Makanan pun sudah dipesan. Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku,” kata Xu Xian.

“Uang kita cukup banyak. Apa lagi yang engkau khawatirkan?”

“Ruangan manakah yang dapat kita gunakan untuk meletakkan meja makan?”

“Aku tahu,” jawab Bai Su-zhen dengan tenang. “Tanyakan kepada pemilik rumah makan di depan rumah ini, apakah kita boleh menyewa rumah makannya untuk berpesta. Aku yakin ia pasti bersedia meminjamkannya kepada kita.”

Xu Xian bertepuk tangan, “Ya! Ya! Kau benar!” teriaknya bersemangat. “Kami telah lama bertetangga. Aku yakin bila kita undang, pasti ia datang.”

“Bicarakan baik-baik masalah ini bersamanya,” kata Bai Su-zhen. “Bila ia setuju, kau dapat menulis undangannya. Dan buatlah undangan yang menarik agar semua tamu ingin datang. Sebutkan pula bahwa para tamu diharapkan untuk tidak membawa bingkisan. Kalau mereka berkeras membawanya, bingkisan itu akan kita kirimkan kembali.”

“Baiklah,” kata Xu Xian agak ragu-ragu. “Tetapi, apakah hal itu tidak akan terlalu merepotkan?”

Bai Su-zhen tertawa mendengar kata-kata Xu Xian. “Tentu saja itu semua hanya basa-basi. Harga barang-barang sangat mahal akhir-akhir ini. Mereka

Page 163: Putri Ular Putih

pasti akan merasa senang bila tidak harus membawa bingkisan. Tetapi kalau kakak iparmu ingin memberikan sesuatu, kita akan menerimanya dengan tangan terbuka. Betul, ‘kan?”

Ketika Shi Lin berumur satu bulan, matahari bersinar cerah. Bai Su-zhen mendandaninya dengan baju tunik merah dan celana panjang hijau. Pipinya pun kemerah-merahan.

Di ruang utama terdapat sebuah meja altar dan teko-teko baru. Lilin-lilin besar dinyalakan dalam tempat lilin yang terbuat dari kuningan. Wangi kayu cendana tercium di seluruh ruangan, seakan mengucapkan selamat datang kepada para tamu.

Bai Su-zhen menggendong bayinya dan menerima ucapan dari para tamu. Di hadapan para tamu, ia berkata, “Paman dan bibi anak ini telah berbaik hati meminjamkan rumahnya kepada saya, sehingga saya dapat melahirkan dengan selamat di sini. Kebaikan dan kemurahan hati mereka tak akan dapat saya lupakan. Kini di hadapan hadirin sekalian, saya akan memberi penghormatan kepada mereka sebagai ucapan terima kasih kami.”

Bai Su-zhen membungkuk memberi hormat. Mula-mula kepada Xu Xian, Fu Yun, dan kemudian kepada Li Ren. Setelah Bai Su-zhen selesai memberikan penghormatan, Xiao Qing maju ke depan. Ia juga ingin mengucapkan terima kasih. Ditariknya Nyonya Jiang ke dekatnya, lalu katanya, “Nyonya Jiang juga pantas mendapat penghormatan. Ia telah membantu kakak saya melahirkan dan mengurus segalanya.”

Bai Su-zhen membungkuk di depan Nyonya Jiang untuk memberikan penghormatan. Nyonya Jiang menarik seikat uang dari sakunya, dan berkata, “Aku telah menabung. Kuberikan uang ini kepada Shi Lin.

Page 164: Putri Ular Putih

Kalau ia menyimpannya, mudah-mudahan ia hidup lebih dari seratus tahun.”

Bai Su-zhen menerimanya dengan penuh sukacita. Ia mengangguk sekali lagi tanda terima kasih. Xiao Qing berseru, “Semoga bayi ini mewarisi sifat jujur ayahnya. Tetapi mudah-mudahan ia tidak pemalu dan pencemas seperti ayahnya.”

Semua tamu di ruangan itu tertawa keras dan acara dilanjutkan. Bai Su-zhen membawa bayinya berkeliling. Dihampirinya para tamu satu demi satu, sehingga mereka dapat melihatnya dari dekat dan mengucapkan selamat kepadanya. Para tamu berseru, “Ia benar-benar mirip ayahnya. Setelah menikah Xu Xian berhasil. Kalau anak ini mau bekerja keras, ia akan mendapat kedudukan yang terhormat.”

Walaupun banyak tamu yang sekadar berbasa-basi, Bai Su-zhen dapat merasakan adanya ketulusan dan kejujuran. Bai Su-zhen tersenyum kepada tamu-tamunya dan berkata, “Terima kasih akan doa restu kalian pada kesempatan ini. Saya juga berdoa agar kesehatan dan keberhasilan selalu menyertai kalian semua.”

Kemudian Xu Xian dan Li Ren mengajak para tamu pergi ke rumah makan di depan rumah. Setelah semuanya berkumpul, Li Ren mengumumkan kedatangan Bai Su-zhen dan bayinya yang digendong oleh Xiao Qing. Bai Su-zhen kemudian berpidato untuk mengucapkan terima kasih kepada para tamu. Ia lalu menghampiri para tamu untuk bercakap-cakap, didampingi Xiao Qing yang menggendong Shi Lin. Hadirin yang baru melihat Bai Su-zhen untuk pertama kali, sangat mengagumi kecantikan dan keanggunannya. Semua berkata bahwa Xu Xian

Page 165: Putri Ular Putih

sangat beruntung mempunyai istri secantik Bai Su-zhen.

Bai Su-zhen mempersilakan tamu-tamunya duduk. Sambil tersenyum sekilas, ia berkata, “Mudah-mudahan Anda menyukai makanan yang dihidangkan. Kami juga menghidangkan anggur. Silakan minum sepuasnya.”

Para tamu menyambut gembira. “Mari kira minum anggur.”

Bai Su-zhen tertawa dan berkata, “Bila hadirin tidak berkeberatan, saya ingin mengumumkan sesuatu. Sejak kami menikah, saya mendengar bahwa banyak orang merasa curiga dari mana kami mendapat uang. Usaha kami di Suzhou sangat berhasil. Namun masih saja ada orang yang merasa curiga: Mana mungkin kami mendapat banyak uang dari toko sekecil itu dan menduga bahwa kekayaan kami berasal dari sumber lain. Bahkan yang terakhir, saya mendengar ada yang mengatakan bahwa saya adalah makhluk halus. Dalam kesempatan ini, izinkan saya memberikan penjelasan. Pertama, ketika kami baru menikah, uang yang saya gunakan sebagai modal adalah uang peninggalan almarhum ayah saya. Kedua, uang dan segala harta benda yang kami peroleh di Suzhou adalah hasil dari kerja Xu Xian dan tabungan kami. Karena saya mempunyai sedikit pengetahuan tentang obat-obatan, saya pun bekerja sebagai tabib untuk membantu Xu Xian. Terakhir, mengenai ilmu silat. Sejak kecil almarhum ayah telah mengajari kami ilmu silat. Semua ini tidak ada hubungannya dengan makhluk halus. Namun, saya tak dapat memaksa Anda sekalian untuk mempercayai semua yang saya katakan. Lagi pula, tidak ada makhluk halus yang dapat memberikan

Page 166: Putri Ular Putih

keturunan bagi suaminya. Saya hanya berharap, mudah-mudahan segala keraguan terhadap diri saya dan Xiao Qing, adik saya, tidak ada lagi mulai hari ini.”

Rupanya di antara para tamu, memang pernah ada yang mendengar desas-desus tersebut. Setelah para tamu diberi keterangan oleh Bai Su-zhen, mereka semua percaya kepadanya. Mereka menganggap kelahiran Shi Lin sebagai bukti bahwa Bai Su-zhen tidak berdusta.

Bai Su-zhen kemudian menyerahkan Shi Lin kepada Xiao Qing. Ia mengisi gelasnya dengan anggur dan mengajak para tamu untuk minum bersama. Pesta berlanjut hingga larut malam.

Page 167: Putri Ular Putih

BBAABB 1166

eberapa hari setelah pesta, Li Ren melihat Xu Xian menggendong anaknya.

“Xu Xian, hari masih pagi. Kalau tak ada pekerjaan di rumah, mari kita berjalan-jalan sebentar ke danau.”

Dengan senang hati Xu Xian menuruti ajakan kakak iparnya. Sesampai di jalan Bai Ti, dalam perjalanan pulang dari danau, seseorang memanggil Xu Xian.

“Xu Xian. Sudah lama kita tidak bertemu.” Jantung Xu Xian serasa hendak berhenti berdetak.

Fa Hai! Sekalipun merasa terperangkap, ia tetap menghampiri sang pendeta dan membungkuk memberi hormat kepadanya. “Memang. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” jawabnya.

“Kau berhasil melarikan diri dari Zhenjiang. Tetapi aku selalu berhasil menemukanmu kembali,” kata Fa Hai.

“Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak ingin menjadi pendeta,” kata Xu Xian cepat-cepat.

Fa Hai memandangnya dan berkata. “Aku tak mau berbicara di sini. Terlalu banyak

telinga yang ikut mendengarkan. Tetapi terlebih dahulu kau harus menyadari keadaanmu.”

Xu Xian merasa senang pendeta itu tidak mendesaknya. Lalu ia cepat-cepat pergi, setelah mengangguk kepada Fa Hai.

“Apa yang diinginkan pendeta itu?” tanya Li Ren.

B

Page 168: Putri Ular Putih

Rupanya ia tidak mendengar percakapan mereka. “Oh, ia dulu pernah menolongku,” kata Xu Xian. Ia

berusaha berbicara wajar. “Ia ingin minta sedekah.” Li Ren tidak bertanya lagi. Tetapi hati Xu Xian

diliputi kebimbangan, bagaimana ia harus bercerita kepada Bai Su-zhen mengenai pertemuannya dengan Fa Hai. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiam diri, takut membuat Bai Su-zhen khawatir, karena ia baru saja melahirkan.

Beberapa hari berlalu tanpa kejadian yang berarti. Hingga suatu hari, ketika Bai Su-zhen sedang menyisir rambut di depan meja rias, Xu Xian memandanginya tak berkedip.

“Ada sesuatu yang aneh pada diriku? Mengapa kau tak berhenti memandangku? Bukankah aku hanya menyisir rambut?” tanya Bai Su-zhen.

Xu Xian menepuk bahu istrinya sambil berkata. “Sementara engkau menyisir rambut aku mencium

bau yang sangat harum. Ini membuatku terkenang kembali pada hari-hari pertama pernikahan kita, saat kausuruh aku menyematkan bunga-bunga di rambutmu. Sekalipun kejadian itu sudah setahun berlalu, tetapi aku tidak pernah bosan mengingatnya dan memandangimu.”

Sambil memandang ke cermin, Bai Su-zhen mengalihkan pembicaraan.

“Karena sekarang cuaca mulai dingin, aku merencanakan untuk segera menyewa perahu. Kita pindah ke San Xiang.”

“Suatu tempat yang tenang,” kata Xu Xian, “Maksudmu kita pindah ke sana, agar para pendeta tidak dapat menemukan kita?”

Tiba-tiba Nyonya Jiang memanggilnya, “Tuan Xu, ada seorang pendeta yang ingin bertemu denganmu.”

Page 169: Putri Ular Putih

Xu Xian tersedak. “Ia ingin menemuiku?” tanyanya lemas. Apa lagi

ketika dilihatnya Fa Hai berjalan ke arahnya sambil berteriak.

“Xu Xian! Hari ini aku datang sendiri.” Xu Xian berlari ke ruang utama dan mengangguk

di depan pintu. Ia berkata, “Ah, Pendeta Fa Hai. Silakan masuk.”

Fa Hai tetap berjalan dan mengangguk-anggukkan kepalanya dengan angkuh.

“Aku membawa senjata,” teriaknya. “Bawa Ular Putih ke hadapanku. Cepat!”

Xu Xian melihat Fa Hai mengeluarkan sebuah mangkok besar tempat menaruh uang sedekah dari dadanya, lalu diulurkannya kepada Xu Xian. Xu Xian tak berani memegang benda itu. Ia mundur beberapa langkah ke arah dinding.

“Jangan berbuat yang bukan-bukan,” perintah Fa Hai.

“Istriku, cepat lari,” teriak Xu Xian. Bai Su-zhen tak sempat lagi melarikan diri, karena

sibuk mencari senjatanya. Tetapi ruangan itu sudah dikepung oleh Pasukan Surga. Jendela pun sudah ditutup rapat. Tak ada pilihan lain bagi Bai Su-zhen, selain mendatangi Fa Hai.

“Ular Putih,” desis Fa Hai. “Telah kuperintahkan kepadamu untuk meninggalkan Xu Xian dan kembali ke gunung guna menyempurnakan ilmumu. Tetapi engkau tak juga mengindahkan nasihatku. Hari ini aku akan membalas dendam atas nama penghuni Biara Gunung Emas.” Sambil berbicara Fa Hai mengangkat mangkok sedekah dan mengguncangkannya ke arah kepala Bai Su-zhen.

Dengan mata bersinar, Bai Su-zhen menjawab,

Page 170: Putri Ular Putih

“Ketika kami membanjiri Gunung Emas, kami telah membangun dua jalan kecil untuk mengungsi, agar penduduk yang tak berdosa tidak tenggelam.”

“Aku tidak ingin mendengar ceritamu,” kata Fa Hai. “Kini aku hanya ingin memperlihatkan bentuk aslimu kepada Xu Xian dan setelah itu mengurungmu di Pagoda Puncak Kilat untuk selamanya.”

Badan Xu Xian gemetar. Ia merasa takut, putus asa, dan dirundung rasa bersalah. Ketika dilihatnya Fa Hai menyodorkan mangkok sedekah itu kepada Bai Su-zhen, ia berseru dengan sedih, “Istriku, mengapa kau tidak lari ketika kuperingatkan?”

“Tak sempat lagi,” jawab Bai Su-zhen. “Pasukan Surga telah mengepung. Lagi pula, mangkok itu. Pedangku pun diambilnya, sehingga aku terpaksa keluar.”

“Apa yang akan kaulakukan?” tanya Xu Xian. “Apakah kita akan memohon kemurahan hatinya?” Xu Xian segera menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Fa Hai.

“Kuizinkan kau melihat anakmu untuk terakhir kalinya,” teriak Fa Hai dengan geram.

Dengan berurai air mata, Xu Xian berkata kepada istrinya, “Pak Pendeta mengizinkanmu melihat anak kita untuk yang terakhir kalinya!”

“Ya, tolong bawa ia ke sini,” jawab Bai Su-zhen sambil memandang ke sekelilingnya, mencari peluang untuk melarikan diri. Namun hal itu tak dapat ia lakukan, karena mangkok sedekah kembali diarahkan ke kepalanya.

Xu Xian menggendong Shi Lin dan memberikannya kepada Bai Su-zhen. Bai Su-zhen segera mencium Shi Lin dan berkata sambil menangis, “Anakku, Fa

Page 171: Putri Ular Putih

Hai akan membawaku. Aku terpaksa meninggalkanmu. Bayiku yang malang, kau tak akan beribu lagi meski dalam tahun pertama usiamu.”

Seakan-akan memahami perkataan ibunya, bayi itu mulai menangis.

“Tuan,” pinta Bai Su-zhen, “Lihatlah betapa sedihnya bayiku ini. Maukah Anda memaafkan saya?”

“Engkau adalah roh ular,” jawab Fa Hai, tanpa menunjukkan belas kasihan. “Engkau dapat berbicara manis seperti ini karena nyawamu terancam. Tetapi jika kau kulepaskan, kau akan menimbulkan bencana. Letakkan anakmu sekarang, kalau trdak, anak itu akan mati bersamamu.”

Bai Su-zhen menyerahkan anaknya kepada Xu Xian dan berkata dengan berani, “Kau sudah menolak permohonanku. Kini aku hanya menunggu apa yang akan kaulakukan kepadaku.”

Perlahan-lahan Fa Hai melemparkan mangkoknya ke udara, dalam keadaan terbalik. Berjuta-juta sinar keemasan berpendar dari mangkok itu dan menutupi kepala Bai Su-zhen. Namun, Bai Su-zhen belum juga mau menyerah. Mangkok di atas kepala Bai Su-zhen itu laksana besi puluhan kilogram beratnya, sehingga membuat dirinya terdorong ke lantai. Tetapi Bai Su-zhen tetap berusaha mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan tekanan dari mangkok Fa Hai.

“Kau masih belum juga menyerah?” ejek Fa Hai. “Aku hanya tinggal mengucapkan satu mantra khusus, dan kau akan segera mati. Tetapi, aku tidak berniat membunuhmu.”

Mangkok itu semakin menekan tubuh Bai Su-zhen, dan Bai Su-zhen masih mampu bertahan. “Selama lebih dari seribu tahun aku

Page 172: Putri Ular Putih

menyempurnakan ilmuku. Aku datang ke dunia kehidupan manusia dan menikah dengan Xu Xian. Belum pernah aku mencelakakan siapa pun. Sebaliknya, aku telah menyelamatkan banyak orang ketika kami membuka toko obat di Sizhou. Kau tak takut, bukan, Suamiku?”

Xu Xian berdiri menggendong anaknya dan menangis.

“Tidak! Aku hanya menginginkan istriku,” katanya. Tiba-tiba seseorang berteriak dari ruangan lain. “Aku akan bertempur melawanmu Fa Hai!

Kakakku telah memohon belas kasihanmu, tetapi kau tak punya belas kasihan.” Xiao Qing datang menyerang Fa Hai sambil menghunus pedangnya.

Fa Hai berteriak, “Wei Tuo!” Dalam sekejap seorang ksatria yang mengenakan

baju besi turun dari langit-langit dan menangkis serangan Xiao Qing.

“Xiao Qing,” panggil Bai Su-zhen dengan khawatir. “Kekuatanmu masih belum sebanding dengan kekuatanku. Jangan mempertaruhkan nyawamu. Wei Tuo telah datang, lari dan selamatkanlah dirimu.”

Kemudian Xiao Qing melihat mangkok sedekah yang menekan Bai Su-zhen. Ia segera menyadari bahwa keadaan sudah gawat. Maka ia berkata, “Kakak, jagalah dirimu. Aku akan membalas dendam untukmu.”

Xiao Qing menyerang Wei Tuo, untuk kemudian menghilang dari pandangan. Namun Wei Tuo tidak begitu saja menyerah. Ia mengejar Xiao Qing dengan bersemangat.

Fa Hai berteriak, “Ular Putih, apakah engkau akan mengatakan sesuatu?”

Pada saat itu Fu Yun dan dua orang pelayan

Page 173: Putri Ular Putih

berada di luar kamar. Mereka tidak dapat masuk ke dalam ruangan, tertahan oleh sebentuk sinar ajaib. Mereka tak dapat bergerak. Tubuh Xu Xian bergetar keras dari kepala hingga ke kaki.

“Aku takkan mengatakan apa-apa lagi,” jawab Bai Su-zhen dengan tenang. “Aku hanya memohon belas kasihanmu.”

“Tiga kali sudah aku menyuruhmu agar kau kembali ke bentuk asalmu. Tetapi engkau selalu melawan. Sekarang, terimalah ini!” Fa Hai mengarahkan tongkat ajaibnya pada mangkok di atas kepala Bai Su-zhen dan berteriak, “Jadilah!”

Pada saat itulah mangkok itu semakin menekan Bai Su-zhen hingga kepalanya tertutup sama sekali. Kemudian mangkok itu berubah bentuk, dan semakin panjang. Bai Su-zhen tak mampu menahan serangan Fa Hai. Tubuhnya terdesak dan terlipat. Ia menjerit, “Suamiku! Anakku!”

“Kurung dia,” perintah Fa Hai. Sekali lagi ia mengarahkan tongkat ajaibnya kepada mangkok itu yang telah menjadi semakin besar dan menutup seluruh tubuh Bai Su-zhen. Xu Xian menjerit sedih.

“Kejahatan apa yang telah diperbuat istriku?” ratapnya. “Ia tak pantas menerima hukuman sekejam ini.”

Fa Hai tersenyum mencemooh. “Xu Xian,” katanya. “Kau sungguh bodoh!

Tidakkah engkau tahu bahwa aku telah menyelamatkan dirimu. Sekarang angkat mangkok itu, dan lihatlah sendiri, apa yang telah terjadi.”

Xu Xian menjerit. “Istriku sayang. Sekalipun kau telah kembali ke

bentuk aslimu, aku tidak takut lagi. Apalagi kau telah melahirkan Shi Lin. Aku tak berhenti memohon

Page 174: Putri Ular Putih

kepada pendeta ini agar ia segera mengangkat mangkok ini dan membebaskanmu.”

“Bodoh!” hina Fa Hai. “Rupanya kau belum sadar juga. Aku tahu Bai Su-zhen telah mendalami ilmu gaib selama ribuan tahun. Oleh karena itu, aku tak akan membunuhnya. Ada sebuah pagoda bernama Puncak Guntur. Ia akan kukurung di sana. Tempat itu dijaga oleh para makhluk halus dan tidak mempunyai jalan keluar. Dengan demikian, kau tak akan dapat melihatnya lagi.”

Xu Xian berlari ke ruangan sebelah untuk meletakkan Shi Lin, dan kembali menghampiri Fa Hai sambil berteriak.

“Pendeta, aku tantang kau berkelahi!” Ia berlari menerjang Fa Hai. Fa Hai tertawa

terkekeh-kekeh dan menunjuk Xu Xian dengan tongkatnya. Tubuh Xu Xian menjadi kaku, tak mampu bergerak lagi. Ia terpaku di pintu, matanya membelalak hampa.

“Xu Xian, jangan terlalu memaksakan dirimu,” kata Fa Hai menenangkan. “Dalam beberapa saat lagi, kaudapat bergerak seperti sedia kala. Ayo para peri! Bawa mangkok ini ke Pagoda Puncak Guntur.”

Pasukan Surga berkumpul. Mangkok itu pun terangkat ke atas dan melayang di udara. Walaupun tak dapat bergerak, indera pendengarannya masih dapat bekerja. Ketika mendengar perintah Fa Hai, Xu Xian menangis tersedu-sedu.

Fa Hai mencoba menghiburnya. “Jangan khawatir. Kau boleh datang ke Pagoda

Puncak Guntur, tetapi kau tak akan dapat melihat istrimu lagi. Selamat tinggal.”

Fa Hai kemudian terbang mengendarai awan menuju ke Pagoda Puncak Guntur. Pagoda ini

Page 175: Putri Ular Putih

dibangun oleh seorang raja pada periode Lima Dinasti. Semula bangunan itu direncanakan bertingkat tiga belas, tetapi karena persediaan kayu tidak mencukupi, hanya tujuh tingkat yang dapat diselesaikan. Fa Hai mendarat sambil mengacungkan tongkatnya ke arah pagoda yang kokoh itu. Dengan suara mendesir, pintu di lantai dasar membuka. Pasukan Surga membawa turun mangkok yang berisi Bai Su-zhen.

Fa Hai mengejek. “Kini engkau telah berada di Pagoda Puncak

Guntur dan dikepung oleh Pasukan Surga. Kami akan mengurungmu di dalamnya, sehingga kau tak akan dapat melarikan diri.”

Fa Hai merentangkan tangannya. Mangkok itu melayang dan kembali dalam ukurannya semula. Bai Su-zhen sudah menjelma kembali menjadi manusia dan berdiri di atas mangkok itu. Seberkas sinar menyilaukan memancar dari matanya.

“Ular Putih. Pagoda ini adalah tempat pengasinganmu. Masuklah!” perintah Fa Hai.

Bai Su-zhen menegakkan kepala dan merapikan bajunya. Dengan perlahan-lahan ia melangkah ke dalam pagoda.

Fa Hai memberi perintah kepada anak buahnya. “Kalian harus membangun beberapa tingkat lebih

tinggi. Setelah pekerjaan itu selesai, Raja Danau Barat akan mengawasinya. Jika Bai Su-zhen ingin melarikan diri, terlebih dahulu ia harus menghancurkan pagoda ini.”

Setelah berkata, Fa Hai pun menghilang. Awan kelabu menyelimuti langit. Kabut tebal menghalangi pemandangan. Kilat sabung-menyabung.

Namun keesokan harinya, cuaca sekali lagi

Page 176: Putri Ular Putih

menjadi cerah. Pagoda itu telah bertambah tinggi, kini sembilan lantainya.

Page 177: Putri Ular Putih

BBAABB 1177

etelah Fa Hai pergi, Xu Xian tepekur di depan meja rias.

Fu Yun menghampirinya dan berkata lembut, “Aku tidak melihat yang baru saja terjadi. Ceritakanlah kepadaku semua kejadian dari awal mula. Baru kemudian kita putuskan apa yang masih dapat kita lakukan.”

Xu Xian menyapu air matanya. Ia melihat Fu Yun bersama beberapa orang lainnya.

“Seperti halnya kalian, aku pun mengira Bai Su-zhen adalah seorang wanita biasa yang lemah lembut. Setelah kalah bertempur melawan Fa Hai, pendeta itu mengubahnya ke bentuk semula, yaitu seekor ular besar berwarna putih. Ternyata ia telah mendalami ilmu gaib selama lebih dari seribu tahun. Seandainya ia tidak menikah denganku, ia akan hidup selama-lamanya.”

Semua orang terkejut, “Benarkah ceritamu itu? Bagaimana Xiao Qing?”

“Ia adalah Ular Hijau,” jawab Xu Xian. “Tetapi Xiao Qing tidak sepandai kakaknya, karena ia baru berlatih selama enam ratus tahun.”

Fu Yun berkata, “Bai Su-zhen adalah orang baik. Tetapi kami tidak mengerti mengapa ia dianggap melanggar Hukum Surga setelah menikah denganmu.”

“Bai Su-zhen sendiri pun tidak menduga hal itu,” keluh Xu Xian. “Baru setelah kita menikah...

S

Page 178: Putri Ular Putih

Duduklah. Biar kulanjutkan ceritaku.” Semua yang hadir merasa tertarik mendengar

cerita Xu Xian. Mereka mencari kursi dan duduk berkeliling.

Xu Xian menceritakan seluruh peristiwa, dari awal mula, sejak terjadinya badai di Danau Barat hingga peristiwa yang baru saja terjadi ketika Fa Hai membawa Bai Su-zhen pergi. Seusai bercerita, Xu Xian berkata, “Aku sebenarnya tidak merasa takut, walaupun ia seekor ular. Ia tidak pernah mencelakakan aku, dan aku bahagia hidup bersamanya. Namun kini semua impianku telah berakhir. Kini aku harus menjalani kehidupan ini hanya bersama Shi Lin, anakku.” Lalu ia mulai meratap lagi.

“Walaupun ia telah pergi,” kata Fu Yun, “Aku yakin ia masih hidup. Mudah-mudahan pendeta itu merasa kasihan kepadanya dan berkenan membebaskannya. Ya! Siapa tahu? Kini tugasmu adalah membesarkan Shi Lin. Bila suatu kali istrimu kembali ia pasti akan memujimu.”

“Apakah ia masih akan kembali?” tanya Xu Xian tak percaya. “Bila hari ini cuaca baik, aku bermaksud pergi ke Pagoda Puncak Guntur untuk menjenguknya. Aku akan sangat berterima kasih apabila kau bersedia menjaga Shi Lin.”

“Berangkatlah,” sahut Fu Yun penuh kasih sayang. “Tetapi berhati-hatilah! Anak buah Fa Hai pasti menjaga ketat tempat itu.”

“Jangan khawatir,” kata Xu Xian. “Kita hanya manusia biasa. Mereka tidak akan mengganggu kita. Kita berdoa saja kepada dewa-dewa di surga agar melindungi kita.”

Xu Xian berjalan ke rumahnya seorang diri. Ia

Page 179: Putri Ular Putih

pergi ke ruang utama, namun Bai Su-zhen dan Xiao Qing tak ada di sana. Begitu pula di ruangan yang lain. Perasaannya mengatakan bahwa Bai Su-zhen dan Xiao Qing tidak hadir lagi di sana.

Tak seorang pun dapat meredakan kesedihannya. Xu Xian hanya duduk tepekur sambil menangis. Suasana semakin mengharukan karena Shi Lin pun ikut menangis, sehingga Xu Xian harus menggendong dan menenangkannya.

Fu Yun mendekati Xu Xian dan berkata, “Tak tahu aku bagaimana dapat meringankan kesedihanmu. Tetapi, di rumah sebelah ada seorang bayi yang kurang lebih seumur dengan Shi Lin.”

“Usulmu sangat baik. Sedemikian sedihnya hatiku sehingga Shi Lin hampir terlupakan,” jawab Xu Xian.

Fu Yun segera menggendong Shi Lin dan menutup tubuh anak itu dengan sehelai selimut tipis.

“Jangan hanya duduk dan menangis,” kata Fu Yun menasihati adiknya. “Lakukanlah sesuatu.”

Namun sepeninggal Fu Yun, Xu Xian masih saja duduk melamun. Terbayang kembali semua percakapan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan bersama Bai Su-zhen. Begitu pula gurauan bersama Xiao Qing. Tangis Xu Xian semakin menjadi-jadi, ketika menyadari bahwa kebahagiaannya benar-benar telah berakhir.

Keesokan harinya, cuaca hangat dan cerah. Xu Xian terbangun dengan mata pedih karena semalaman ia tak dapat tidur. Pikirannya hanya tertuju kepada istrinya dan bau rambutnya yang harum. Xu Xian memutuskan untuk pergi ke pagoda. Namun ia tak tahu bagaimana caranya.

Li Ren masih berada di rumah. Dari halaman belakang ia berteriak.

Page 180: Putri Ular Putih

“Adik, kalau kau hanya duduk, kau akan jatuh sakit. Kudengar kau ingin pergi ke pagoda. Aku bersedia mengantarmu ke sana.”

“Terima kasih,” jawab Xu Xian. “Tetapi, aku tak ingin menyusahkan hatimu.”

“Apa pula ini,” kata Li Ren dengan kesal. “Bagiku, membantu adik dalam kesulitan adalah suatu kewajiban. Aku tidak merasa terganggu.”

Xu Xian segera menyetujui saran Li Ren. setelah mengambil uang secukupnya, keduanya lalu berangkat melalui jalan Su Ti dan Bai Ti menuju ke pagoda. Walaupun hari masih pagi, terik matahari terasa membakar kulit.

Pagoda itu terlihat menjulang tinggi di kejauhan, di atas sebuah bukit. Pohon-pohon pinus berdiri tegak mengelilinginya. Pada saat mereka mulai mendaki, pepohonan itu seakan mendesah oleh hembusan angin tenggara yang datang dari arah danau.

Pagoda bulat itu, tampak sangat megah dengan bangunannya yang berlantai sembilan. Atap dan dindingnya berwarna putih.

“Bagaimana caranya agar kita dapat masuk ke dalam pagoda?” tanya Xu Xian.

Namun pagoda itu dikelilingi oleh dinding putih yang tinggi dan tidak berpintu. Sedangkan pintu di lantai dasar pagoda terkunci rapat, di atasnya terdapat tulisan yang tak dapat dibaca dari kejauhan. Di lantai dua, tampak sebuah lempengan tembaga bertuliskan kata-kata peringatan dalam warna merah. Bunyinya: ‘Bila pagoda ini hancur, Ular Putih akan meninggalkan dunia yang fana ini.’

“Lihat,” ujar Li Ren sambil menunjuk ke atas pagoda. “Dua lantai teratas pagoda itu baru saja dibuat, begitu pula dinding tinggi yang

Page 181: Putri Ular Putih

mengelilinginya.”Xu Xian dan Li Ren merasa putus asa. Mereka

berdiri tanpa berkata-kata. Xu Xian mulai menangis. “Istriku,” tangisnya. “Apakah kau benar-benar

dikurung di tempat ini? Aku datang untuk menjengukmu. Katakanlah sesuatu.”

Angin yang bertiup di puncak pagoda seakan menjawab desiran pepohonan. Namun jawaban yang ditunggu dari pagoda tak juga terdengar.

“Sampai kapan pun kita berdiri di sini, aku yakin keadaannya tidak pernah akan berubah,” kata Xu Xian. “Sebaiknya kita turun saja. Mudah-mudahan kita dapat menemukan sesuatu.”

Xu Xian dan Li Ren berjalan mengelilingi pagoda dengan perasaan sedih. Xu Xian mengangkat kepalanya dan kembali meratap. Air matanya jatuh berderai-derai.

“Istriku, masih ingatkah kau pada pertemuan kita di perayaan Qing Ming tahun lalu? Juga ketika kita naik perahu bersama? Kuharap kau tak akan pernah melupakan saat kita bersenang-senang di danau. Kemudian kita dipertemukan lagi di Jembatan Patah setelah kita kembali dari Gunung Emas. Aku sangat mencintaimu! Kebaikanmu tak terhitung lagi. Aku memikirkan kepergianmu.”

Tak ada jawaban maupun gerakan dari pagoda pada saat Xu Xian berhenti berbicara. Di sela-sela tangisnya Xu Xian melihat ke atas pagoda.

“Atau kau tidak berada di sini, Istriku?” tangisnya. “Jika kau benar-benar berada di tempat ini, mengapa pertanyaanku tak juga kaujawab?”

Tangis Xu Xian terdengar semakin keras. Karena tak dapat lagi menahan rasa sedihnya, Xu Xian jatuh terduduk di tanah.

Page 182: Putri Ular Putih

Li Ren berlutut di sampingnya, berusaha meredakan perasaan Xu Xian.

“Adik. Berhentilah menangis. Ingatlah bahwa kita hanyalah manusia biasa. Kita tidak tahu apakah Budha memang menghendaki istrimu dikurung Fa Hai di tempat ini.”

“Aku tahu,” keluh Xu Xian. “Tetapi kau pun tahu bahwa Budha sangat murah hati dan penuh belas kasih. Pada saat istriku menyabung nyawanya untuk mencari obat untukku, Peri Tua dari Kutub Selatan jatuh kasihan kepadanya dan memberinya Rumput Abadi. Dan kini anakku tak beribu lagi. Aku benar-benar tak akan pernah dapat melupakan segala kebaikan yang diberikan istriku kepadaku.”

Tiba-tiba angin bertiup kencang dan langit menjadi gelap. Awan bergumpal di puncak menara.

“Mari kita pulang,” kata Li Ren dengan khawatir. “Sebentar lagi hujan akan turun.”

Pada saat Xu Xian dan Li Ren akan beranjak pergi, angin bertambah kencang, membuat mereka terdiam kaku tak dapat lagi bergerak. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar; jendela di lantai dua pagoda yang semula tertutup rapat, kini terbuka. Xu Xian dan Li Ren tertegun. Sebentuk tubuh muncul di jendela, dan Xu Xian segera mengenalinya.

“Istriku, oh istriku tersayang!” teriaknya. “Suamiku tercinta, kakak Li Ren. Aku telah

mendengar semua yang kaukatakan, Xu Xian. Namun aku tak dapat menjawab karena Tentara Surga menjaga ketat. Namun ketika melihat Xu Xian menangis, Jia Lian berbelas hati lalu membuka jendela ini bagiku, agar kalian dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa aku memang berada di sini.”

Page 183: Putri Ular Putih

“Istriku, Shi Lin dan aku selalu merindukan kedatanganmu,” ujar Xu Xian sambil mengulurkan tangannya.

Bai Su-zhen memotong kalimat Xu Xian. “Suamiku, jangan! Penjaga tak akan pernah

membiarkan aku pergi dari sini.” “Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku

membutuhkan kehadiranmu,” keluh Xu Xian. “Kita harus berterima kasih kepada Dewa Danau

Barat yang telah mempertemukan kita untuk yang terakhir kalinya. Karena sesudahnya tak seorang pun yang akan dapat melihatku. Semoga kau bertemu dengan seorang wanita yang baik yang dapat kauambil sebagai istri, agar kaudapat membesarkan Shi Lin, anak kita, bersamanya.”

“Aku tak akan melakukannya,” jerit Xu Xian dengan getir. “Aku akan membesarkan Shi Lin seorang diri dan selalu setia menunggu kedatanganmu. Mudah-mudahan Dewa-dewa akan mengasihani kita dan membebaskanmu dua atau tiga tahun lagi.”

“Aku diperintahkan untuk menutup jendela,” teriak Bai Su-zhen mengingatkan dengan sedih. “Tak ada gunanya memohon lagi. Xu Xian! Li Ren! Selamat tinggal.”

Teriakan Bai Su-zhen semakin lama semakin sayup. Pada saat itu terdengar bunyi gemuruh dan di sekitar pagoda kilat sambar-menyambar menyilaukan mata. Xu Xian mengejapkan matanya. Jendela pagoda kini telah menutup dan tampaknya tak akan pernah dibuka kembali. Bai Su-zhen pun telah hilang dari pandangan. “Adik,” kata Li Ren dengan gemetar. “Kau harus menerima nasibmu. Setidaknya kau harus bersyukur masih diperkenankan memandang

Page 184: Putri Ular Putih

istrimu untuk terakhir kali. Sekarang mari kita pulang.”

Xu Xian berdiri tak bergerak. Ia masih saja memandang ke jendela. Tatapan matanya kosong. Begitu pula hatinya. “Tak ada gunanya kauturutkan perasaanmu. Mari kita pulang, Adik,” kata Li Ren lembut.

Ia menarik tangan Xu Xian dan membimbingnya pulang. Sepanjang perjalanan Xu Xian tak henti-hentinya menangis. Hatinya benar-benar hancur.

Page 185: Putri Ular Putih

BBAABB 1188

ementara itu, Xiao Qing memutuskan untuk mengungsi dan bersembunyi di suatu pulau yang

sepi, di suatu tempat yang tak berpenghuni. Di sana tak ada makhluk halus maupun kaki tangan Fa Hai. Ia lalu pergi menyusuri pantai Laut Cina Timur. Sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat hanyalah ombak yang bergulung-gulung di tepi pantai. Di atas permukaan laut burung-burung camar putih terlihat beterbangan. Xiao Qing menyempatkan diri melihat berkeliling saat ia mengendarai awan. Beberapa pulau yang dilihatnya tampak terlalu besar sebagai tempat persembunyian, sementara yang lain terlalu kecil sehingga mudah ditelan ombak dan badai. Syukurlah bahwa pada akhirnya ia menemukan sebuah pulau yang agak terpencil. Tempat itu ditumbuhi hutan hijau yang lebat dan diselimuti bunga-bunga yang indah. Di sana juga terdapat tiga buah gunung. Satu di antara ketiga gunung itu tingginya sekitar seratus meter. Xiao Qing menyebutnya Pagoda Puncak Guntur. Setelah melatih diri dan mencoba ilmu sihirnya terhadap ketiga gunung ini, ia berniat menuntut balas dan membebaskan Bai Su-zhen.

Satu atau dua tahun kemudian, Xiao Qing berdiri di tepi pantai memegang dua bilah pedang.

“Tebas gunung itu!” teriaknya seraya melempar kedua pedangnya ke udara. Matanya memandang ke gunung kecil di depannya. Hatinya kecewa, sebab

S

Page 186: Putri Ular Putih

pedangnya kembali ke sarungnya, gunung itu tetap diam tak bergeming, utuh tak terbelah.

Delapan tahun kemudian, Xiao Qing berdiri di tempat yang sama. Ia kembali berteriak.

“Tebas gunung itu!” Maka dilihatnya gunung itu terpotong oleh

pedangnya sehingga tingginya berkurang. Bertahun-tahun kemudian, Xiao Qing berhasil

memotong puncak gunung itu. Pecahannya menyebar menjadi serpihan-serpihan kecil. Pada saat itulah ia merasa yakin dapat menghancurkan Pagoda Puncak Guntur. Agar lebih aman, ia memutuskan untuk berlatih lagi.

Beberapa puluh tahun kemudian, ia bahkan berhasil menghilangkan gunung itu. Xiao Qing semakin yakin bahwa ia dapat menghancurkan pagoda tempat Bai Su-zhen dikurung dan mengalahkan para makhluk halus yang menjaganya, sekaligus melenyapkan Fa Hai.

Maka terbanglah Xiao Qing mengendarai angin ke mulut Sungai Chang Jiang. Ia harus bertindak sangat hati-hati, karena tahu jalan menuju pagoda dijaga ketat oleh para peri yang kekuatannya tak dapat diabaikan. Ia berharap, setelah melihat kehebatan ilmunya, mereka akan merasa gentar dan mengundurkan diri, tanpa bertempur.

Ketika ia sedang sibuk berpikir, dua tubuh muncul dari dalam danau. Mereka adalah Ma Zi-hou dan Li Ben-liang.

“Lama sekali kita tak bertemu,” ucap mereka sambil memberi hormat kepada Xiao Qing.

“Tiba saatnya kita harus menghancurkan Pagoda Puncak Guntur. Aku datang untuk memanggil kalian agar kalian segera membentuk pasukan,” kata Xiao

Page 187: Putri Ular Putih

Qing.“Akan segera kami lakukan,” jawab Ma Zi-hou.

“Karena sesungguhnya kami pun memiliki keinginan serupa. Namun kami tak berani mencoba, karena menyadari kekuatan kami yang tidak seberapa. Jika Anda bersedia memimpin kami, kami yakin semua akan dengan senang hati membantu Anda.”

Xiao Qing tersenyum puas. “Sekarang aku tidak lagi seperti Xiao Qing di masa

lalu. Lihat ke depanmu. Aku akan segera membuat gunung di atas danau!” Dengan satu gerakan, tiba-tiba sebuah gunung kecil muncul dari bawah air danau. Ma Zi-hou dan Li Ben-liang terkesima.

“Dengan kekuatan seperti ini,” seru Li Ben-liang, “Kita tak perlu takut lagi kepada Fa Hai maupun kaki tangannya. Izinkan saya memanggil Manusia Air.”

Beberapa saat kemudian, ribuan Manusia Air sudah berhasil dikumpulkan.

Setelah memberi salam, Xiao Qing berkata, “Fa Hai telah menahan kakakku di Pagoda Puncak Guntur dan menugasi para makhluk halus untuk menjaganya. Kakakku tak pantas mendapat perlakuan seburuk itu. Jadi aku merencanakan untuk menyerbu pagoda itu dan menyelamatkannya. Siapa yang bersedia membantu?”

Mendengar ajakan Xiao Qing, mereka serempak berseru.

“Kami ikut! Kami akan membantu! Kami tak akan berhenti sebelum membebaskan Putri Bai Su-zhen.”

Xiao Qing mengangkat pedangnya dan menyilangkannya di udara.

“Terima kasih! Mari kita berangkat ke Hangzhou sekarang juga.”

Kemudian semuanya naik ke atas awan dan

Page 188: Putri Ular Putih

bergerak menuju Hangzhou. Saat itu perayaan Qing Ming telah dekat.

Penduduk Hangzhou dan para pengunjung sedang melakukan berbagai persiapan di Danau Barat. Pemandangan danau terlihat sangat indah oleh perpaduan warna hijau dan biru dari pepohonan dan air danau.

Sore harinya, awan hitam mulai bergulung-gulung. Angin dan hujan lebat turun dengan bunyi yang memekakkan telinga. Hujan pun turun semakin deras, seperti pada saat Xu Xian bertemu untuk pertama kalinya dengan Bai Su-zhen dan Xiao Qing.

Badai yang terjadi saat itu sesungguhnya hasil ciptaan Xiao Qing yang sedang terbang menuju Pagoda Puncak Guntur. Kemudian ia berteriak dengan keras, “Semua makhluk yang menjaga tempat ini, buka pagoda dan bebaskan Bai Su-zhen.”

Kilat bersambaran di langit dan seseorang berbaju besi warna keemasan turun menantang Xiao Qing, sambil mengacungkan tongkat ajaibnya.

“Aku Wei Tuo,” teriaknya. “Aku bertugas menjaga Bai Su-zhen hari ini. Siapa berani membuat keributan di tempat ini?”

Xiao Qing tertawa mengejek. “Kau tak ingat lagi kepadaku? Aku tahu siapa

dirimu. Waktu itu kau mengejarku dari rumah Xu Xian. Setelah berlatih bertahun-tahun aku tidak lagi seperti Xiao Qing yang kaukenal. Aku tidak akan mempergunakan ilmuku terhadapmu, karena aku tahu engkau hanya menjalankan perintah Fa Hai. Kini, sebaiknya kau cepat memilih. Cepat bebaskan Bai Su-zhen atau kau ingin Manusia Air menyerangmu?”

Wei Tuo melihat ke sekitarnya. Sejauh mata

Page 189: Putri Ular Putih

memandang, yang tampak hanyalah jutaan Manusia Air.

“Aku tahu engkau membawa banyak pasukan. Tentu kau pula yang menciptakan hujan dan badai ini,” kata Wei Tuo membusungkan dadanya dengan angkuh. “Tetapi aku bertugas menjaga tempat ini. Tak. seorang pun diizinkan membuka pintu pagoda.”

“Perintah siapa?” tanya Xiao Qing dengan tajam. “Engkau telah menahan seorang wanita yang tidak bersalah. Ayo cepat lakukan perintahku. Buka segera pintu pagoda!”

Wei Tuo dengan cepat menghitung jumlah pasukannya. Jia Lian membawa sekitar seratus orang yang semuanya tak terlihat oleh mata manusia. Dengan sengaja ia mengulur-ulur waktu dengan menyuruh Xiao Qing menunggu sementara ia memanggil bala bantuan.

Namun Xiao Qing segera menghunus pedangnya dan tertawa dingin.

“Kau ingin memanggil bala bantuan, bukan? Mereka tidak akan pernah datang karena aku tak akan memberi mereka kesempatan untuk datang bergabung.”

Kemudian Xiao Qing bersiul nyaring. Dari segala arah, awan datang bergumpal-gumpal membawa pasukannya. Pasukan yang pertama mendarat adalah mereka yang memiliki ilmu tertinggi. Yang kedua adalah mereka yang berkesaktian menengah, sedangkan yang ketiga membawa hujan dan angin tenggara.

Wei Tuo menyadari bahwa walaupun ia memiliki pasukan yang kuat, jumlah mereka tak sebanding dengan pasukan Xiao Qing. Ia ketakutan.

Melihat kekhawatiran Wei Tuo, Xiao Qing

Page 190: Putri Ular Putih

tersenyum puas. “Nah! Bagaimana sekarang?” Wei Tuo menggerakkan tongkatnya dan menyuruh

pasukannya berkumpul berkeliling. Xiao Qing segera menyerang Wei Tuo dengan dua berkas sinar hijau yang memancar dari kedua sisi tubuhnya, bagai dua buah gunung yang menghimpit Wei Tuo. Pasukan terdepan Manusia Air pun ikut menyerang.

Begitu menjejakkan kaki di tanah, Wei Tuo segera berpikir untuk melepaskan Bai Su-zhen. Ia menyadari bahaya yang sedang dihadapinya.

“Xiao Qing,” teriaknya. “Kesaktianmu sangat hebat. Aku menyerah.”

Wei Tuo berkata sambil menyibakkan pasukan Xiao Qing yang berada di sudut dan menghadap ke utara. Setelah menangkis beberapa pedang dengan tongkatnya, ia terbang meninggalkan pagoda.

Melihat kepala penjaga melarikan diri, Pasukan Surga pun menyerah.

“Kami akan pergi. Pasukanmu terlalu kuat.” Jia Lian memerintahkan pasukannya untuk

mundur, yang didesak oleh Manusia Air yang tampaknya sangat kesal karena urung bertempur. Atas perintah Wei Tuo, Pasukan Surga pun pergi dari sana dan menghilang dari pandangan.

Xiao Qing terbang ke langit dan melihat ke sekitarnya. Ia memberi isyarat kepada pasukannya.

“Kurasa mereka tak akan kembali. Kalian tak perlu mengejar.”

Xiao Qing tersenyum di tengah-tengah pekik kemenangan anak buahnya. Semua pasukan Xiao Qing kemudian turun dari langit dan berdiri mengelilingi pagoda. Saat itu matahari hampir terbenam.

Ia berkata kepada pasukannya dengan suara yang

Page 191: Putri Ular Putih

menyiratkan kekhawatiran. “Pagoda ini ditutup dan dikunci dengan guntur

dan kilat. Jika aku mengucapkan mantra, pintunya akan terbuka. Namun karena Bai Su-zhen telah dikurung di dalamnya selama bertahun-tahun, aku khawatir ia tak akan kuat menahan ledakan yang akan kuciptakan.”

Manusia Air menjawab dengan penuh keyakinan. “Jadi bagaimana? Mungkin kami yang dipercaya

untuk meruntuhkannya?” Setelah berpikir sejenak, Xiao Qing mengangguk.

Manusia Air segera berkerumun dan membanjiri pagoda hingga ke puncaknya, dan berusaha melubangi dinding pagoda. Namun belum lama mereka bekerja, wajah mereka tampak memerah kelelahan. Mereka sadar bahwa kekuatan yang mereka miliki, tak mempan menembus dinding.

Xiao Qing berseru. “Berhentilah! Biaraku yang melakukannya.” Tetapi ia terdiam dan merasa ragu. Tiba-tiba

sebuah suara terdengar berteriak dari balik tembok pagoda.

“Xiao Qing, aku tahu engkau telah datang membawa pasukan untuk membalas dendam. Apakah musuh sudah ditaklukkan?”

Xiao Qing berteriak dengan gembira. “Oh, Kakak, engkaukah itu? Dugaanmu benar.

Mereka telah kami kalahkan.” “Kita dapat membuka tempat ini” kata Bai Su-

zhen. “Engkau berusaha dari luar sementara aku membantumu dari dalam. Perintahkan kepada Manusia Air untuk sementara menyingkir.”

Manusia Air segera terbang menjauh. Xiao Qing berdiri tiga meter dari pagoda sambil mengacungkan

Page 192: Putri Ular Putih

pedangnya. Ia lalu berteriak, “Tebas!” Pedang itu melayang dan dalam sekejap tembok dan atap pagoda meledak. Pecahannya terlempar ke segala penjuru. Tak lama kemudian tempat itu telah menjadi puing. Di tengah reruntuhan pagoda, Bai Su-zhen berdiri mengenakan pakaian serba putih. Rambutnya digelung. Ia memakai sepatu putih bersulam.

Xiao Qing berlari menghampirinya sambil berteriak gembira, “Kakak! Oh, senang sekali aku dapat melihatmu lagi.”

Bai Su-zhen dan Xiao Qing berpelukan erat. Air mata Bai Su-zhen jatuh berderai-derai. Untuk beberapa saat ia tak mampu berkata-kata.

“Aku sungguh berterima kasih atas segala jerih payahmu,” katanya sambil terisak.

Manusia Air berkumpul di sekitar mereka dan bersorak-sorai, “Putri kita telah bebas! Hidup Putri kita!”

Bai Su-zhen berlutut dan memberi hormat kepada pasukannya. Kemudian ia berkata, “Karena para penjaga telah melarikan diri, kalian boleh pulang. Besok aku akan mengunjungi kalian untuk menyatakan terima kasihku.”

Manusia Air segera meninggalkan tempat itu. Hujan segera mereda dan angin pun berhenti bertiup. Bulan sabit muncul di langit yang tak berawan, bersinar di atas danau. Suasana terasa sangat tenang, menyejukkan hati.

“Sudah lama sekali kita tidak bersenang-senang di danau,” ucap Bai Su-zhen. “Mari ikut bersamaku. Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu.”

Bai Su-zhen dan Xiao Qing berjalan perlahan-lahan di sepanjang jalan Su Ti sambil bercakap-cakap.

Page 193: Putri Ular Putih

“Hari ini ada perayaan Qing Ming, bukan?” kata Bai Su-zhen sedih. “Masih segar dalam ingatanku saat kita meminjam payung milik Xu Xian.”

“Jangan pikirkan lagi hal itu,” kata Xiao Qing. “Aku hendak bertanya,” Bai Su-zhen terus berkata.

“Bagaimana keadaan rumah tangga Xu Xian?” Xiao Qing terkejut, “Rupanya kau tidak ingat lagi

berapa lama kau dikurung di pagoda itu?” “Tidak, aku tidak lupa,” jawab Bai Su-zhen. “Tetapi

Xu Xian orang baik dan ia telah membesarkan Shi Lin dengan baik pula,” katanya sambil terisak.

“Jangan menyesali masa lalu,” kata Xiao Qing lembut. “Mereka berdua orang-orang yang terhormat, seperti yang selalu kaukatakan. Tidak seorang pun di Hangzhou yang tidak mengenal mereka. Semua orang menghormati mereka berdua.”

Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya dan terus melangkah. Akhirnya mereka tiba di jalan Bai Ti.

“Oh, lihat! Bukankah itu Jembatan Patah?” seru Bai Su-zhen sambil menunjuk ke depan.

“Masa lalu rupanya terlalu sulit untuk dilupakan” bisik Xiao Qing.

Bai Su-zhen berhenti dan memegang tangan Xiao Qing. “Kehidupan manusia tak ubahnya seperti bulan. Lihat, malam ini bulan tidak penuh. Dan seperti bulan, kehidupan kita pun kadang kala terang, dan kadang kala gelap. Karena itu, kita harus selalu bersiap-siap agar tidak kehilangan kesempatan ketika bulan bersinar terang. Jembatan Patah membuatku berpikir. Barangkali di masa lalu aku tidak terlalu memusingkan masa depan. Kalau saja dulu kita berpindah tempat lebih awal, Fa Hai tak mungkin menemukan kita. Dan kita tidak akan menyeberangi Jembatan Patah ini.”

Page 194: Putri Ular Putih

Xiao Qing tidak menjawab. Ia hanya berdiri memandang bulan yang tertutup pepohonan. Cahayanya menyembul dari celah-celah dedaunan. Ia tengah menghayati kata-kata Bai Su-zhen.

Kehidupan tidak selalu menjanjikan kebahagiaan. Dan di balik setiap kebahagiaan ada kekecewaan, yang sebaiknya segera diatasi. Seperti bulan di langit, suatu saat purnama, di saat lain hanya terlihat seulas, untuk kemudian muncul kembali dengan cahayanya yang benderang. Bukankah lebih baik memandang jauh ke depan dan mempersiapkan diri menghadapi masa yang akan datang, daripada tenggelam dan dihanyutkan masa lalu?

-- --