BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II.pdf · hormat bK terdiri atas tiga macam,...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II.pdf · hormat bK terdiri atas tiga macam,...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam penelitian ini terdiri atas buku cetakan, baik dalam
negeri maupun luar negeri, disertasi, tesis, dan artikel yang memiliki keterkaitan
dengan kesantunan berbahasa, bahasa Korea, dan P dalam KPW. Kajian pustaka
dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
Park (1984), dalam bukunya yang berjudul Speaking Korean memberikan
gambaran umum tentang bK dan tata cara berbahasa Korea. Park menjelaskan
penggunaaan bentuk hormat bK yang dilekatkan pada bentuk kata dasar. Bentuk
hormat bK terdiri atas tiga macam, yaitu (1) honorifik subjek, yaitu dengan
menambahkan imbuhan sisipan bentuk hormat –im/-nim pada bagian subjek, (2)
pada kata kerja akan diberikan imbuhan sisipan bentuk hormat -si-, penggunaan
bentuk honorifik ini disesuaikan dengan faktor usia, derajat kedekatan hubungan
pembicara dan lawan bicara, serta posisi sosial, (3) speech style dipakai dengan
memilih bentuk imbuhan akhiran pada akar kata kerja sesuai dengan kondisi dan
situasi terjadinya suatu tuturan. Selain penggunaan bentuk hormat, Park (1984)
juga menjelaskan perilaku budaya masyarakat Korea dalam berbicara yang terdiri
atas unsur suprasegmental sebagai penunjang unsur verbal dalam berkomunikasi.
Dari segi tata cara berbahasa, Park (1984) menjelaskan tentang ragam atau gaya
tuturan bK berdasarkan konteks situasi penggunaannya yang meliputi (1) tuturan
hormat resmi (the formal polite style), (2) tuturan hormat tidak resmi (the informal
polite style), (3) tuturan netral (the plain style), dan (4) tuturan intim (the intimate
style). Perbedaan keempat ragam atau gaya tuturan ini ditentukan oleh
penggunaan pemarkah imbuhan sufiks yang dilekatkan pada kata kerja dan
disesuaikan dengan konteks situasi penggunaannya.
Buku yang berjudul Speaking Korea ini bermanfaat bagi penelitian ini
karena dapat digunakan sebagai acuan dan informasi awal mengenai penggunaan
kesantunan berbahasa P dengan WK di Bali. Adapun perbedaan dengan
penelitian ini adalah Park (1984) mengambil contoh percakapan pada situasi
umum sesama orang Korea, sedangkan penelitian ini mengambil contoh
percakapan interaksi P dengan WK dalam KPW.
Simpen (2008) dalam disertasinya yang berjudul “Kesantunan Berbahasa
pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur” menyatakan bahwa tujuan
melakukan penelitian adalah untuk menemukan, mendeskripsikan, dan
menganalisis karakteristik kesantunan berbahasa masyarakat tutur bahasa
Kambera. Landasan teori yang digunakan bertumpu pada teori linguistik
kebudayaan dan teori sosiopragmatik. Metode penelitian yang diterapkan dalam
penelitian Simpen adalah metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian Simpen,
yaitu (1) masyarakat tutur bahasa Kambera memiliki dasar pandangan hidup yang
tertuang dalam suatu ideologi yang didasarkan atas nilai-nilai yang telah
diwariskan oleh leluhur orang Sumba, (2) perilaku kesantunan berbahasa
menyiratkan latar belakang budaya, (3) unsur suprasegmental dan unsur
paralinguistik ditemukan sebagai unsur nonverbal yang menyertai unsur verbal, (4)
ditemukannnya bentuk kesantunan yang khas, yaitu ajakan umum, dan (5)
pandangan teoretis yang menyatakan bahwa kesantunan hanya untuk orang lain
saja tidak selalu benar.
Tulisan ini sangat relevan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama meneliti
kesantunan berbahasa dan menggunakan kajian sosiopragmatik. Kajian
sosiopragmatik tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakangi
penutur. Perbedaannya adalah Simpen (2008) meneliti salah satu penutur bahasa
daerah yang ada di Indonesia, sedangkan penelitian ini meneliti bahasa asing
(bahasa Korea).
Kristianto (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Tuturan Wisatawan
Jerman di Bali : Sebuah Studi Perilaku Berbahasa” meneliti aspek bentuk, fungsi,
dan makna tuturan wisatawan Jerman (WJ) dengan pramuwisata (P) dalam
peristiwa tutur pemanduan wisata di Bali. Kajian yang digunakan pada tesis ini
adalah sosiopragmatik, yaitu penggabungan dua teori, yaitu sosiolinguistik dan
pragmatik. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan
interpretatif. Dalam tesisnya, Kristianto (2009) memberikan gambaran perilaku
berbahasa WJ yang berkaitan dengan maksim-maksim kesantunan yang
dilatarbelakangi aspek sosiokultural dalam suatu peristiwa tutur dan situasi tutur.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa aspek paralinguistik sangat memengaruhi
peristiwa tutur WJ dengan P.
Hasil penelitian Kristianto (2009) sangat relevan dengan penelitian ini
karena sama-sama menganalisis aspek komunikasi yang dilakukan antara
pramuwisata dan wisatawan dengan menggunakan teori tindak tutur. Selanjutnya,
adanya kesamaan teori yang digunakan dalam penganalisisan, yaitu perpaduan
teori sosiolinguistik dan teori pragmatik. Perbedaannya adalah Kristianto (2009)
meneliti bahasa Jerman yang memiliki karakteristik berbeda dengan bahasa Korea.
Bahasa Jerman memiliki sistem gender dalam penggunaannya, sedangkan bK
tidak mengenal adanya sistem gender. Akan tetapi, memiliki unsur penanda dalam
kalimat untuk menentukan kesantunan berbahasa.
Budiarsa, dkk. (2010) dalam artikelnya yang berjudul “Bentuk, Fungsi,
dan Makna Pragmatik Tuturan Pemandu Wisata di daerah Pariwisata Badung dan
Denpasar, Bali” meneliti bentuk, fungsi, dan makna ungkapan verbal yang
digunakan oleh pramuwisata (PW). Dalam analisisnya menggunakan metode
penelitian eksploratif dan deskriptif kualitatif. Adapun data yang dianalisis adalah
dalam bentuk dialog PW dengan W yang mengandung unsur-unsur pragmatik dan
berlatar belakang budaya. Hasil penelitian Budiarsa dkk. (2010) menunjukkan
bahwa sebagian besar ungkapan verbal yang digunakan PW dalam bentuk tindak
tutur langsung dan berfungsi ekspresif.
Makna tuturan secara pragmatik mengungkapkan makna lokusi yang
membentuk tuturan tersebut. Penggunaan jargon dan register oleh PW dalam
kegiatan pemanduan wisata dengan tujuan mempererat hubungan dengan
wisatawan. Dalam artikel ini juga disinggung kesantunan yang menunjukkan
bahwa ungkapan verbal yang digunakan PW sangat santun. Dikatakan lebih lanjut,
bahwa kontak PW dengan wisatawan tidak lepas dari peranan faktor budaya yang
memengaruhi komunikasi antara PW dan W. Tulisan Budiarsa dkk. (2010) ini
sangat relevan dan menambah wawasan untuk melakukan penelitian ini.
Suamba (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Sistem Sapaan Bahasa
Korea pada Komunitas Korea di Denpasar” meneliti bentuk sistem sapaan orang
Korea yang tinggal di kawasan Denpasar. Suamba (2011) meneliti bentuk-bentuk
sapaan bahasa Korea yang terdiri atas nomina kekerabatan, pronominal personal,
faktor-faktor yang memengaruhi digunakannya suatu bentuk kata sapaan, dan
dinamika sistem sapaan bK yang terjadi pada komunitas Korea di Denpasar.
Adapun salah satu contoh penelitian Suamba (2011) yang mendeskripsikan
bentuk-bentuk sapaan bK dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Nomina Kekerabatan
Secara morfologis bentuk sapaan pada nomina kekerabatan terdiri atas
morfem bebas dan terikat. Contoh dalam tabel nomor 1 berikut ini.
Tabel 1. Nomina Kekerabatan
Istilah Menyapa Gloss
Istilah Menyebut Morfem bebas Morfem terikat
Nuna Nuna Nunim „kakak perempuan‟
Hyeong Hyeong Hyeongnim „kakak laki-laki‟
Puchin, aboji appa, aboji Abonim „ayah‟
Mochin, omoni Omma, omani Omonim „ibu‟
Sapaan pada morfem bebas umumnya dipakai pada percakapan bentuk
akrab dan intim pada situasi informal. Apabila morfem bebas diikuti dengan
tambahan imbuhan bentuk hormat –im/-nim, digunakan penutur pada
percakapan bentuk formal resmi atau informal resmi yang menyatakan bentuk
sapaan hormat dan santun kepada lawan tutur.
b. Pronomina Persona (PP)
Bentuk pronomina persona merupakan salah satu bentuk sapaan yang
dipakai untuk kata ganti orang. Dalam bK PP terdiri atas PP1, PP2, PP3.
Contoh PP1, yaitu kata ganti yang merujuk pada si pembicara. Bentuk PP1
tunggal bK memiliki dua varian, yaitu na/ne dan Je/Jŏi dengan arti yang sama.
Dalam percakapan bentuk na digunakan bila diikuti imbuhan kontras nŭn atau
tanpa imbuhan, sedangkan ne digunakan bila diikuti imbuhan penanda subjek
-ga atau diikuti bentuk posesif. Bentuk Je dan Jŏi memiliki kesamaan makna.
Bentuk Je digunakan bila diikuti imbuhan penanda –ga dan bentuk Jŏi diikuti
oleh imbuhan –nŭn atau –i. Bentuk Je/Jŏi dalam percakapan digunakan untuk
merendahkan diri si pembicara. Bentuk PP1 jamak bK terdiri atas bentuk uri
dan Jŏi. Bentuk uri dapat digunakan berdiri sendiri atau dirangkai dengan
imbuhan jamak –dŭl. Bentuk ini digunakan dalam suatu pembicaraan yang
menunjukkan suatu solidaritas atau dengan orang yang memiliki kedudukan
sederajat. Bentuk Jŏi merupakan bentuk yang digunakan untuk merendahkan
diri dalam pembicaran yang merujuk bentuk hormat.
Dalam tulisan Suamba (2011) juga dijelaskan besarnya faktor kekuasaan
dan solidaritas dalam pemilihan bentuk sapaan bK. Hal tersebut disebabkan oleh
persamaan dan perbedaan faktor usia, status sosial, gender, dan status perkawinan.
Dalam dinamika sistem sapaan masyarakat Korea di Denpasar terjadi beberapa
perubahan, yaitu penyederhanaan pemakaian sapaan, perluasan penggunaan
bentuk sapaan, dan perubahan penggunaaan bentuk sapaan dalam dunia kerja.
Tulisan Suamba (2011) sangat bermanfaat dalam penelitian ini karena
salah satu cara membentuk kesantuan berbahasa adalah penggunaan bentuk
sapaan. Tulisan ini memiliki kesamaan fokus kajian, yaitu sama-sama mengkaji
bahasa Korea. Perbedaannya adalah Suamba (2011) hanya meneliti sistem sapaan
bK dan mendeskripsikan perubahan, baik penyederhanaan maupun perluasan
sistem sapaan bK yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa. Perbedaan
lainnya adalah fokus penelitian yang digunakan oleh Suamba adalah masyarakat
Korea yang ada di Denpasar, sedangkan penelitian ini berfokus pada interaksi
komunikasi P dengan WK.
Lestari (2012) dengan judul buku Tata Bahasa Korea menjelaskan
karakteristik bahasa Korea. Karakteristik bK terbagi menjadi lima. Pertama, pola
kalimat bK adalah S-O-P (subjek-objek-predikat). Kedua, Bahasa Korea
mempunyai berbagai macam imbuhan penanda. Kedudukan kata dalam kalimat
ditentukan oleh imbuhan penanda imbuhan yang melekat padanya. Berkaitan
dengan hal ini, urutan kata dalam kalimat bK menjadi fleksibel. Di mana pun letak
subjek, objek, dan keterangan, kata tersebut akan berfungsi sebagai subjek, objek,
dan keterangan. Perubahan letak kata dalam kalimat tidak memengaruhi
kedudukan dan maknanya meskipun agak janggal terdengar. Ketiga, subjek dapat
dihilangkan jika konteksnya jelas. Keempat, bahasa Korea tidak membedakan
gender. Namun, membedakan tingkat kesopanan berbahasa (politeness, honorific)
dan memperhatikan situasi apakah formal atau informal. Jadi, perhatian dengan
siapa, di mana, dan dalam situasi seperti apa Anda bicara. Kelima, predikat dalam
kalimat bK dibentuk dengan mengonjugasi kata dasarnya (kata-kata dalam kamus
yang berakhir dengan –ta. Perubahan terjadi pada predikat setelah adanya
tambahan sisipan penanda untuk membedakan kala (tenses), tingkat kesopanan
berbahasa, dan konteks situasi.
Buku ini sangat bermanfaat untuk mengungkapkan bentuk kesantunan dan
ketidaksantunan yang diujarkan secara verbal oleh P kepada WK. Perbedaannya,
tulisan Lestari (2012) menggunakan sampel percakapan umum dalam
mendeskripsikan bK, sedangkan penelitian ini secara spesifik mengambil tuturan
lisan P dengan WK yang dipengaruhi konteks budaya dan konteks situasi KPW.
Selanjutnya, buku ini tidak menyertakan unsur suprasegmental dan unsur kinesik
yang menyertai pola ujaran dalam bK.
2.2 Konsep
Konsep dalam penelitian ini memberikan batasan terhadap terminologi
teknis yang merupakan komponen-komponen dari kerangka teori yang dilengkapi
dengan uraian kualitatif. Konsep yang dimaksud mencakup kesantunan berbahasa,
tuturan, tindak tutur, konteks situasi, suprasegmental dan kinesik.
2.2.1 Kesantunan Berbahasa
Sibarani (2004:168) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa adalah tata
cara berbahasa seseorang yang dipengaruhi oleh norma-norma budaya suku
bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa seorang P yang
mengikuti norma-norma bahasa dan budaya petutur akan menghasilkan
kesantunan berbahasa dengan tujuan demi kelancaran komunikasi para peserta
komunikasi (komunikator dan komunikan).
Holmes (2001:268) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa merupakan
tindakan berbahasa yang menggunakan pilihan-pilihan bahasa yang tepat yang
didasarkan atas hubungan sosial antara penutur dan petutur sehingga perasaan
petutur tetap terjaga. Sementara itu, Nadar (2009:251) menyatakan bahwa
kesantunan berbahasa adalah tindakan berbahasa yang diambil oleh penutur dalam
rangka meminimalisasi atau mengurangi derajat perasaan tidak senang atau sakit
hati petutur sebagai akibat tuturan yang diungkapkan oleh seorang penutur.
Konsep kesantunan berbahasa Sibarani (2004), Holmes (2001), dan Nadar
(2009) digunakan pada penelitian ini karena dalam interaksi komunikasi P dengan
WK, seorang P melakukan tindakan bertutur lebih memperhatikan penggunaan
pilihan-pilihan bahasa yang tepat yang dilatarbelakangi oleh norma, kaidah, dan
budaya WK. Tujuannya adalah untuk meminimalisasi perasaan tidak senang atau
sakit hati WK sebagai akibat tuturan yang diungkapkan oleh P.
2.2.2 Tuturan
Menurut Kridalaksana (2008:221) tuturan adalah wacana yang
menonjolkan serangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama
dengan partisipan dan keadaan tertentu. Wijana dan Rohmadi (2009:16)
berpendapat bahwa tuturan adalah bentuk tindakan atau aktivitas dan produk
tindak verbal antara penutur dan petutur. Selanjutnya, Chaer (2010:22)
menyatakan tuturan sebagai realisasi dari bahasa. Dalam realisasinya, karena
penutur suatu bahasa terdiri atas berbagai kelompok yang heterogen, maka tuturan
suatu bahasa menjadi tidak seragam. Jadi, tuturan dalam penelitian ini adalah
bentuk tindakan dan produk verbal berupa kata, frase, klausa, dan kalimat yang
digunakan tidak seragam dalam satu bahasa serta terjadi pada suatu serangkaian
peristiwa dan waktu tertentu antara penutur dan petutur.
2.2.3 Tindak Tutur
Rahardi (2009:6) menyatakan bahwa tindak tutur pada dasarnya
merupakan pernyataan konkret dari fungsi-fungsi bahasa (performance of
language functions). Di dalam kesantunan berbahasa, fungsi dapat pula diartikan
sebagai peran yang dijalankan oleh setiap tuturan dalam suatu tindak tutur.
Dengan kata lain, fungsi mempersoalkan untuk tujuan apa tuturan itu dipilih.
Austin (1962) menyatakan bahwa pada dasarnya sebuah tuturan atau
kalimat tidak saja berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi dengan mengatakan
sesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan yang disebut kalimat
performatif atau tuturan performatif. Menurut Austin (1962) tuturan performatif
tidak mengandung nilai salah dan benar. Pengertian tindak tutur menurut Chaer
(2010:27) adalah tuturan seorang penutur yang bersifat psikologis dan yang dilihat
dari makna tindakan dalam tuturanya itu. Tindak tutur memiliki keterkaitan
dengan makna kesantunan karena tindak berbicara atau mengeluarkan tuturan
yang dilakukan penutur saat berkomunikasi sebenarnya memiliki maksud
melakukan sesuatu. Jadi, tindak tutur dalam penelitian ini berguna untuk
penentuan fungsi dan makna kesantunan.
2.2.4 Konteks Situasi Tutur
Menurut Wijana (1996:9), pada hakikatnya konteks situasi tutur adalah
semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan
lawan tutur. Halliday (1992:16) menyatakan bahwa konteks situasi meliputi tiga
variabel, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Medan akan
merujuk apa yang terjadi sebagai gambaran proses sosial, apa yang sedang
dilakukan partisipan dengan bahasa, dan lingkungan tempat terjadinya. Pelibat
akan menunjuk siapa saja yang berperan di dalam kejadian sosial, bagaimana
sifat-sifatnya, status dan peran sosial yang dimiliki. Sarana akan menunjuk pada
apa yang diperankan dengan bahasa, hal yang diharapkan oleh para pelibat
diperankan bahasa dalam situasi itu. Jadi, konteks situasi tutur dalam penelitian
ini adalah semua latar belakang pengetahuan yang terdiri atas medan, pelibat, dan
sarana penggunaan bahasa.
2.2.5 Suprasegmental dan Kinesik
Dalam interaksi berbahasa seorang penutur hendaknya tidak saja dilihat
dari kemampuan berbahasa, tetapi juga diperlukan kemampuan komunikatif, yaitu
mampu menggunakan unsur kebahasaan sesuai dengan aturan-aturan dalam suatu
budaya. Aturan penggunaan bahasa terkait dengan norma suatu budaya dikenal
dengan nama etika berbahasa. Salah satu aturan yang perlu diperhatikan dari etika
berbahasa adalah kualitas suara dan sikap fisik di dalam berbicara (Chaer &
Agustina, 2010;172).
Kualitas suara berkenaan dengan unsur suprasegmental yang terdiri atas
tekanan kata atau kalimat (stress), nada (pitch), yaitu turun naiknya bunyi dan
jeda (juncture), yaitu mengenai adanya perhentian bunyi. Sikap fisik atau disebut
juga dengan nama kinesik adalah unsur yang melekat pada diri penutur dan
petutur. Kinesik yang berwujud gerak-gerik tubuh, ekspresi muka, gerakan kepala,
gerakan tangan, dan gerakan tubuh dapat menggantikan “maksud” suatu tuturan
(Chaer, 2010:20). Unsur suprasegmental dan kinesik merupakan alat komunikasi
nonverbal dalam berkomunikasi.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi santun dan tidaknya P dalam interaksi berbahasa dengan WK
adalah unsur suprasegmental dan kinesik P saat berkomunikasi dengan WK dalam
KPW.
2.3 Landasan Teori
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini menggunakan
perpaduan dua teori dasar, yaitu teori sosiolinguistik dan teori pragmatik.
Perpaduan dari dua teori tersebut menghasilkan kajian bahasa yang dikenal
dengan nama sosiopragmatik. Teori sosiolinguistik yang digunakan adalah teori
variasi tutur (bahasa) oleh Park (1984), Byon (2009), dan Brown (2011) serta
etika berbahasa oleh Masinambouw (dalam Chaer,2010). Teori-teori tersebut
digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab masalah nomor (2) dan (4), yaitu
bentuk-bentuk satuan verbal yang digunakan P dan faktor-faktor yang
memengaruhi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa. Teori pragmatik terdiri
atas teori strategi pengancaman muka oleh Brown dan Levinson (1978) serta teori
tindak tutur oleh Austin (1962 ; 1983) dan Searle (1983) digunakan dalam
penelitian ini untuk menjawab masalah nomor (1) dan (3), yaitu bagaimana
penerapan strategi kesantunan dan fungsi serta makna kesantunan P dengan WK
dalam KPW. Teori kerja sama Grice (1975) dan teori kesantunan Leech (1983)
sebagai bawahan dari teori pragmatik digunakan untuk menjawab permasalahan
nomor (2) dan (3). Teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Sosiolinguistik
Holmes (2001:1) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa
yang mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat, yang bertujuan untuk
menjelaskan variasi bahasa yang digunakan dalam konteks situasi sosial yang
berbeda, mengidentifikasikan fungsi-fungsi sosial bahasa, dan cara-cara yang
digunakan untuk menyampaikan makna sosial. Teori sosiolinguistik yang
digunakan pada penelitian ini adalah teori variasi tutur dan teori etika berbahasa
yang dapat diuraikan sebagai berikut.
2.3.1.1 Teori Variasi Tutur
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri atas berbagai orang
dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama
(Chaer, 2012;55). Karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama,
maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi atau beragam. Pada saat KPW
variasi tutur yang digunakan oleh P terkait dengan variasi tutur bidang
kepramuwisataan dan pariwisata. Variasi ini dapat dikatakan sebagai variasi
penggunaan tutur pada bidang profesi. Terkait dengan bidang profesi pramuwisata
dan pariwisata dapat dijabarkan menjadi beberapa variasi tutur. Adapun variasi
yang sesuai dengan penelitian ini terdiri atas (1) ragam atau stlye, (2) register,
dan (3) jargon.
1) Ragam atau style
Park (1984:57--58) menjelaskan bahwa ragam atau style dalam bK
mengacu kepada situasi yang berhubungan dengan situasi pertuturan dan status
sosial lawan tutur. Berdasarkan ragam tuturannya (style of speech), bK dapat
dibedakan menjadi empat ragam tutur, yaitu sebagai berikut.
a) Tuturan hormat resmi (the formal polite style) digunakan pada saat berbicara
kepada orang asing, kenalan, dan orang yang memiliki status sosial serta
pekerjaan yang lebih tinggi. Bentuk ini juga digunakan kepada status sosial
yang lebih rendah dalam situasi formal (Park, 1984:58).
b) Tuturan hormat tidak resmi (the informal polite style) secara umum
digunakan ketika berbicara dengan orang yang memiliki status sosial lebih
tinggi daripada penutur. Tingkat status profesi yang lebih tinggi, seperti
dokter, manajer, atau guru. Bentuk ini digunakan dalam konteks situasi
informal (Park, 1984:166).
c) Tuturan netral (the plain style) juga dikenal dengan nama ordinary style atau
familiar style yang digunakan di kalangan mahasiswa, pekerja, prajurit,
pelayan dalam situasi antara penutur dan petutur memiliki hubungan
persahabatan atau pertemanan akrab. Tuturan ini juga digunakan dengan
teman yang benar-benar dekat atau ketika berbicara dengan orang yang
memiliki status sosial rendah. Orang asing jarang menggunakan tuturan ini,
kecuali ketika berbicara kepada anak-anak (Park,1984:356).
d) Tuturan intim (the intimate style) merupakan gaya tutur yang paling rendah.
Bentuk ini umumnya digunakan oleh penutur yang memiliki keterkaitan
hubungan yang sangat erat, misalnya antara suami dan istri, orang tua dengan
anak, hubungan keluarga dengan tingkat usia yang sama atau tidak terlampau
jauh. Bentuk ini kadang kala digunakan oleh penutur pada saat keadaan
emosional tertentu, seperti marah, memaki, atau mengejek. Umumnya
bentuk ini jarang digunakan oleh orang asing (Park, 1984:432).
Pemilihan penggunaan ragam tutur bK bukanlah berkenaan dengan isi
pembicaraaan, tetapi berkaitan dengan kesantunan bertutur yang ditujukan kepada
mitra tutur. Dalam lingkup sosial dan budaya masyarakat Korea, kesantunan
berbahasa dipengaruhi oleh perbedaan usia, status sosial, status pekerjaan, dan
hubungan kedekatan dengan lawan tutur. Dari segi penggunaannya, kesantunan
bK dapat ditentukan pada penggunaan ujaran bentuk hormat (honorific) bK.
Brown (2011:17) menyatakan ujaran bK terbagi menjadi dua, yaitu:
ujaran bentuk hormat (choŭndaemal) dan ujaran bentuk umum (banmal). Ujaran
bentuk hormat (choŭndemal) digunakan pada situasi formal dan informal dengan
tujuan menghormati mitra tutur, sedangkan ujaran bentuk umum (banmal)
digunakan pada situasi informal dan hanya digunakan apabila hubungan antara
penutur dan petutur memiliki hubungan yang erat. Tuturan hormat resmi dan
tuturan hormat tidak resmi merupakan bagian dari ujaran bentuk hormat
(choŭndaemal) dan ujaran bentuk umum (banmal) terdiri atas tuturan netral dan
tuturan intim ( Brown, 2011 : 22).
Perbedaan penggunaan bentuk ujaran dan ragam tuturan bK yang santun
dapat diamati dari tataran morfologi dan sintaksis bK. Tataran morfologi bK
terkait dengan struktur internal kata atau leksikal bK dan tataran sintaksis terkait
dengan kesantunan gramatikal bK yang diwujudkan dengan bentuk satuan verbal
kata, frase, klausa, dan kalimat. Bentuk satuan verbal terkait dengan kesantunan
bK pada tataran morfologi dan sintaksis dapat dipaparkan sebagai berikut.
Secara leksikal, kata dalam bK dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
kata dasar (uninflected word) dan kata jadian (inflected word). Menurut Byon
(2009:16), kata adalah unit dasar yang membentuk kalimat. Kata dasar adalah kata
yang dibangun dari satu morfem bebas, sedangkan kata jadian adalah kata yang
dibangun dari dua morfem atau lebih baik dari proses penambahan imbuhan
penanda, pemajemukan maupun penggabungan kata ( Byon, 2009:15).
Kesantunan verbal bK dalam bentuk kata dasar (uninflected word) dapat
ditentukan berdasarkan penggunaan ragam ujaran bentuk hormat (choŭndaemal)
dan ujaran bentuk umum (banmal) (Brown, 2011:17). Perbedaan kedua jenis
bentuk ragam ujaran tersebut dapat diamati pada kata dasar. Sebagai contoh
perbedaan kata dasar dilihat dari kedua jenis ujaran tersebut dapat digambarkan
pada tabel nomor (2) berikut ini.
Tabel 2. Perbedaan Kata Dasar dari Dua Ragam Ujaran
Bentuk Umum ( Banmal) Bentuk Hormat (Choŭndemal) Arti kata
„mŏgda‟( Verb) „siksa‟( Verb) Makan
„allida‟ (verb) „aloeda(Verb) Menginformasikan
„malhada‟( Verb) „yŏjjuda‟( Verb) Memanggil
„juda‟( Verb) „terida‟(Verb) Memberi
„nega‟(Noun) „Joi‟(Noun) Saya
Kesantunan pada bentuk kata jadian (inflected word) atau kata berimbuhan
meliputi hal-hal berikut. Pertama, honorifik subjek, yaitu dengan menambahkan
imbuhan sufiks bentuk hormat –im/-nim pada bagian subjek. Kedua, pada kata
kerja akan diberikan penanda imbuhan infiks bentuk hormat -si-. Penggunaan
bentuk honorifik ini disesuaikan dengan faktor usia, derajat kedekatan hubungan
pembicara dan lawan bicara, serta posisi sosial. Ketiga, speech level dipakai
dengan memilih bentuk imbuhan akhiran pada kata kerja dasar sesuai dengan
kondisi dan situasi terjadinya suatu tuturan.
Kata majemuk adalah gabungan morfem dasar atau leksem yang
seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal,
dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan
(Kridalaksana, 2008:111). Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua
kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat disisipi kata lain atau
dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti suatu kata tersebut (Byon,
2009:16). Kata majemuk sebagai komposisi memiliki makna baru atau memiliki
satu makna tetapi maknanya masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata
yang digabungkan. Contoh, gyongchal „polisi‟ yang masih dapat ditelusuri dari
makna gyong „petugas‟ dan chal „baik‟.
Pada tataran sintaksis bK dapat ditentukan dari kesantunan gramatikal bK
yang terdiri atas satuan verbal kata, frase, klausa, dan kalimat. Secara umum, kata
memiliki peranan pada fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan sebagai
perangkai dalam penyatuan satuan-satuan dari satuan sintaksis. Selain dari ketiga
peranan tersebut, kata juga berfungsi sebagai penanda kesantunan gramatikal
dalam suatu kalimat. Ciri penanda kesantunan gramatikal bK pada bentuk kata
meliputi : a) penggunaan kata dasar bentuk hormat choundemal ; b) penanda
imbuhan baik infik maupun sufiks pada kata kerja dasar yang menunjukkan
bentuk hormat; c) penggunaan kata sapaan, nomina kekerabatan, dan pronomina
personal dalam bentuk hormat choundemal.
Frase bK terdiri atas dua kata atau lebih dan dapat digantikan dengan kata
yang sama secara fungsi sintaksis dan nonpredikatif (Lee,1989:112). Perbedaan
frase dan kata majemuk adalah frase tidak memiliki makna baru, melainkan
makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh, sugopi „uang jasa pelayanan‟
yang masih dapat ditelusuri dari makna sugo „jasa pelayanan‟ dan pi „uang/biaya‟.
Pembentukan frase bK berupa morfem bebas bukan berupa morfem terikat. Frase
bersifat nonpredikatif yang berarti hubungan antara kedua unsur yang membentuk
frase itu tidak berstruktur subjek-predikat atau berstruktur predikat-objek.
Terdapat tiga jenis frase dalam bK, yaitu : frase nominal, frase verbal, dan frase
hubungan. Ketiga jenis frase tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
(1) Frasa Nominal
Frasa nominal bersifat endosentris yang terdiri atas satu atau lebih nominal
atau secara sintaksis memiliki kesamaan yang berfungsi sebagai inti dan bagian
yang lain sebagai anak inti (Lee.1989:112).
Sebagai contoh :
a. Se jib [ rumah baru]
b. Hakseng gwa sŏnsengnimŭn kyosile iss eyo [ murid dan guru ada di kelas]
Pada contoh (a) se jib merupakan frasa nominal. Kata jib sebagai inti dan
se sebagai anak inti. Contoh (b) merupakan frasa nominal yang terdiri atas dua
atau lebih kata benda sebagai inti yang dihubungkan dengan kata penghubung.
Frase Hakseng gwa sŏnsengnimŭn sebagai inti frase dan kyosile iss eyo sebagai
anak inti.
(2) Frase verbal
Frasa verbal dalam sintaksis merupakan hal yang terpenting dalam bahasa
Korea. Fungsi ini ditentukan pada kata kerja dasar dan diikuti dengan infleksi
sufiks pada kata kerja (Lee,1989:123). Fungsi (nukleus) inti terletak pada kata
kerja dasar, verbal transitif, atau gabungan antara verba transitif dan intransitif.
Posisi penjelas dari inti (satelite) terletak pada infleksi sufik yang mengikuti kata
kerja dasar.
Contoh :
1. Frase verba dengan inti+anak inti
a. kago sipda [ saya] mau pergi
I Ai
Pergi mau
b. siktange mŏkgo sipehago [ saya ] mau makan di restoran
adv I Ai
direstoran makan mau
Pada contoh diatas, kata kerja dasar berfungsi sebagai inti dan imbuhan
sufiks yang mengikuti kata kerja dasar merupakan anak inti dari frasa verbal.
2. Verbal Transitif dan intransitif sebagai inti
Contoh :
a. Babŭl anja mŏgana? Apakah [kamu] makan nasi sambil duduk ?
O V.itr V.tr
I
Nasi duduk makan apa? ( Lee,1989:125)
Pada contoh di atas verba intransitif dan transitif merupakan inti (nukleus)
pada frase verba.
(3) Frase relasional
Frase relasional terdiri atas unsur inti yang diisi oleh kata benda atau kata
nominal yang dilekatkan dengan imbuhan sufiks sebagai penanda keterangan atau
penanda penghubung. Adapun penanda imbuhan sufiks pada frasa relasional,
seperti –e (di), -ro (menuju),- man (hanya), -dasipi (seperti yang anda tahu), - esŏ
(di). Adapun penggunaan frase hubungan keterangan seperti contoh di bawah ini.
a. Jibe isse [ dia ] ada di rumah
b. Sinero kayo [ dia ] pergi ke kota
Kesantunan bentuk frase ditentukan dengan gabungan kata yang bersifat
nonpredikatif yang memiliki makna lebih santun dibandingkan dengan bentuk
kata, gabungan kata atau frase yang lain. Disamping itu, kesantunan bentuk frase
ditentukan dengan penanda imbuhan sufiks yang dilekatkan pada salah satu kata
dalam frase tersebut.
Selain bentuk kata dan frase, kesantunan bK juga ditentukan dengan
satuan verbal klausa. Klausa bK dapat di bagi menjadi dua tipe, yaitu: „Final
Clause‟ dan „Non-Final Clause‟. Final Clause memiliki predikat inflektif dengan
penambahan akhiran berupa infleksional imbuhan dan dapat berdiri sendiri serta
dapat dikatakan sebagai kalimat sederhana. Setiap Non-final Clause memiliki
predikat dengan tanpa penambahan imbuhan afiksasi pada kata kerja dan dapat
terjadi dengan sendirinya sebagai suatu kalimat (Lee,1989:149).
Contoh dua tipe klausa di atas adalah sebagai berikut.
1) Final clause
„Cegŭl bobsida‟ “Let‟s look at the book”
P
2) Non- Final clause
„ cegŭl bom‟ “ looking at the book”
P
Terkait dengan kesantunan bK, tipe final clause adalah bentuk klausa yang
santun karena disertai dengan penanda imbuhan berupa infleksional imbuhan.
Penggunaan infleksional imbuhan pada satuan klausa bertujuan untuk
menghormati lawan tutur. Dengan tujuan tersebut dapat diketahui bahwa bentuk
klausa yang disertai infleksional imbuhan digunakan penutur kepada lawan tutur
yang statusnya lebih tinggi baik pada kondisi formal maupun informal. Bentuk
klausa yang santun diujarkan dengan menggunakan ragam tuturan hormat resmi
(the formal polite style) dan tuturan hormat tidak resmi (the informal polite
style).
Pada Non-final Clause dengan tanpa penanda imbuhan berupa
infleksional imbuhan cenderung kurang santun karena digunakan dalam situasi
informal dan hubungan penutur dan petutur memiliki hubungan yang erat, seperti
hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Bentuk klausa yang kurang santun
diujarkan dengan menggunakan ragam tuturan netral (the plain style) dan tuturan
intim (the intimate style).
Ragam tutur bK yang keempat dapat ditunjukkan pada satuan verbal
kalimat. Secara umum karakteristik kalimat bK memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(1) pola kalimat bK adalah S-O-P (subjek-objek-predikat), (2) fungsi kata bK
dalam suatu kalimat ditentukan oleh imbuhan penanda imbuhan yang melekat
padanya, (3) urutan kata dalam kalimat bK fleksibel. Dimanapun letak subjek,
objek, dan keterangan kata tersebut akan berfungsi sebagai subjek, objek, dan
keterangan, (4) perubahan letak kata dalam kalimat tidak mempengaruhi
kedudukan dan maknanya meskipun agak janggal terdengar, (5) Subjek dapat
dihilangkan jika konteksnya jelas, (6) bahasa Korea tidak membedakan gender,
tetapi membedakan tingkat kesopanan berbahasa (politeness, honorific) dan
memperhatikan situasi apakah itu formal atau informal. Jadi, perhatian dengan
siapa, di mana, dan dalam situasi seperti apa anda bicara, (7) predikat dalam
kalimat bK di bentuk dengan mengkonjugasi kata dasar berakhiran –ta (6)
Perubahan yang terjadi pada predikat setelah adanya tambahan imbuhan penanda
sufiks berfungsi untuk membedakan kala (tenses), tingkat kesopanan berbahasa,
dan konteks situasi ( Lestari, 2012: xvi)
Kesantunan gramatikal pada kalimat bK meliputi : (a) Fungsi predikat
pada kalimat menggunakan kata kerja dasar bentuk hormat choŭndemal, (b) Pada
fungsi subjek menggunakan pronomina persona bentuk hormat choŭndemal, (c)
penggunaan penanda honorifik pada fungsi subjek, yaitu dengan penanda imbuhan
sufiks bentuk hormat –im/-nim pada nama seseorang, kata sapaan, dan nomina
kekerabatan, (d) memberi penanda bentuk hormat, yaitu dengan imbuhan sisipan
infiks -si- pada fungsi predikat, dan (e) Tipe kalimat menggunakan ragam tutur
hormat resmi dan hormat tidak resmi yang ditandai dengan penanda imbuhan
sufiks pada kata kerja berimbuhan yang disesuaikan dengan modus kalimat dan
konteks situasi tutur.
a. Contoh kalimat yang santun dapat digambarkan sebagai berikut.
Kim Kyosunimi bangeso ajik chumusimnikka ?
S Ket P
„ Prof Kim dikamar masih tidur ?
Pada kalimat tanya di atas menunjukkan kesantunan gramatikal bK, yaitu
(a) Fungsi predikat pada kalimat menggunakan bentuk hormat choŭndemal, yaitu
chumuda „tidur‟, (b) penggunaan penanda honorifik pada fungsi subjek, yaitu
dengan menambahkan imbuhan sisipan bentuk hormat -nim pada kata Kim
Kyosunimi „Prof Kim”, (d) memberi penanda bentuk hormat, yaitu dengan
imbuhan sisipan -si- pada fungsi predikat ajik chumusimnikka ? „masih tidur ?‟,
dan (e) menggunakan ragam tutur hormat resmi ditandai dengan penanda imbuhan
sufiks –mnikka pada kata kerja chumusimnikka ? yang disesuaikan dengan modus
kalimat tanya.
Tuturan atau kalimat kurang santun dapat ditunjukkan dengan struktur
gramatikal kalimat sebagai berikut. (a) Fungsi predikat menggunakan kata kerja
dasar bentuk umum banmal, (b) tidak menggunakan penanda honorifik pada
fungsi subjek, yaitu tanpa imbuhan sisipan bentuk hormat –im/-nim pada kata
sapaan dan nomina kekerabatan, dan (c) menggunakan ragam tutur netral (the
plain stlye) dan ragam tutur intim (the intimate stlye) yang ditandai dengan
penanda imbuhan sufiks pada kata kerja yang disesuaikan dengan modus kalimat
dan konteks situasi tutur.
b. Contoh kalimat yang kurang santun dapat dipaparkan sebagai berikut.
Kŭ siktangero mŏgja
S Ket P
„ Mari ke restoran itu makan”
Kalimat propositif di atas cenderung kurang santun dapat ditunjukkan
dengan tatanan gramatikal kalimat sebagai berikut. (a) Fungsi predikat
menggunakan kata kerja dasar bentuk umum banmal, yaitu mŏgda „makan‟, dan
(b) menggunakan ragam tutur netral (the plain stlye) yang ditandai dengan
penanda imbuhan sufiks –ja pada kata kerja mŏgda yang disesuaikan dengan
modus kalimat propositif. Pada tabel nomor (3) dibawah ini dapat ditunjukkan
bentuk tabel ragam tuturan bK dan perbedaan penggunaan penanda imbuhan
sufiks yang dilekatkan pada kata kerja dasar yang disesuaikan dengan modus
kalimat.
Tabel 3. Ragam Tuturan pada Modus Kalimat
Style of speech Interogatif Deklaratif Imperatif Propositif
The Formal-
Polite style
-mnikka/-emnikka -mnida/-emnida -sipsio/esipsio -psida/epsida
The Informal-
Polite style
- yo/-eyo -yo/-eyo -yo/-eyo - yo/-eyo
The Plain style -ŭnya/-nya –nda/-da - ŏra/-yŏra - ja
The Intimate
style
-ŏ /-a -ŏ /-a -ŏ /-a -ŏ /-a
Korelasi antara struktur kesantunan gramatikal bK dengan struktur
pragmatik, yaitu santun dan kurang santunnya suatu kalimat dapat diketahui dari
struktur gramatikal bK yang digunakan oleh penutur. Kesantunan dan
ketidaksantunan ujaran atau kalimat yang digunakan dapat diketahui dari
pemilihan ragam ujaran yang digunakan, yaitu penanda imbuhan pada fungsi
subjek dan predikat. Dari struktur kesantunan gramatikal, yaitu penanda imbuhan
sufiks pada ragam tuturan dan dengan modus kalimat yang digunakan oleh si
penutur dapat diidentifikasi status sosial, kedudukan, dan hubungan sosial antara
penutur dengan petutur dalam suatu komunikasi.
2) Register
Wardhaugh (1986:48) memahami register sebagai pemakaian kosakata
khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan dan kelompok sosial tertentu.
Halliday (1992:58--59) mengungkapkan ciri-ciri register sebagai berikut.
1. Variasi bahasa berdasarkan penggunaan dan ditentukan berdasarkan apa
yang sedang dikerjakan (sifat kegiatan yang menggunakan bahasa).
2. Mencerminkan proses sosial (berbagai kegiatan sosial)
3. Register menyatakan hal yang berbeda sehingga cenderung berbeda dalam hal
semantik, tata bahasa, dan kosakata.
Jadi, dalam penelitian ini register dimaksudkan pemakaian kosakata khusus yang
berkaitan dengan pekerjaan dalam bidang kepramuwisataan yang mencerminkan
salah satu bentuk proses kegiatan sosial.
3) Jargon
Jargon ialah kosakata yang khas yang dipakai dalam bidang kehidupan
tertentu (Kridalaksana, 2008:98). Jargon merujuk kepada topik atau ranah
pembicaraannya. Dalam hal ini jenis tutur khas yang dengan cepat terlintas dalam
pikiran peserta pertuturan ialah penggunaan idiom-idiom dan kosakata yang khas,
yang secara langsung berhubungan dengan topik pembicaraan ialah leksikon yang
khas itu, yang dapat disebut jargon (Poedjosoedarmo, 2003:228). Beberapa
jargon dalam bK yang terkait dengan profesi pramuwisata misalnya, hothel,
yoehengsa, gwang-gwangji, dan sebagainya.
2.3.1.2 Etika Berbahasa
Etika berbahasa atau tata cara berbahasa berkaitan erat dengan pemilihan
kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu
masyarakat. Etika berbahasa, antara lain akan “mengatur” (a) apa yang harus di
katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu
berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam
bahasa apa yang paling wajar digunakan dalam situasi dan budaya tertentu ; (c)
kapan dan bagaimana menggunakan giliran berbicara; (d) kapan harus diam; (e)
bagaimana kualitas suara dan sikap fisik di dalam berbicara ( Chaer & Agustina,
2010:172).
Butir-butir “aturan” etika berbahasa yang disebutkan di atas tidaklah
merupakan hal yang terpisah, tetapi merupakan bagian dari tindak laku berbahasa.
Butir (a) dan (b) menjelaskan aturan sosial berbahasa sebagai sesuatu yang
menjadi inti pertuturan, yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
tentang apa, kapan, di mana, dan dengan tujuan apa”. Butir (c) dan (d)
menerangkan bahwa sebagai orang yang dapat berbahasa, kita tidak seenaknya
menyela pembicaraan seseorang; untuk menyela harus diperhatikan waktunya
yang tepat, dan tentunya juga memberikan isyarat terlebih dahulu. Butir (e) adalah
kualitas suara dan sikap fisik di dalam berbicara. Kualitas suara berkenaan dengan
unsur suprasegmental yang terdiri atas tekanan kata atau kalimat (stress), nada
(pitch), yaitu turun naiknya bunyi, dan jeda (juncture) yaitu, mengenai adanya
perhentian bunyi. Secara umum semuanya terangkum dalam istilah intonasi
kalimat (Chaer, 2010:20). Sikap fisik disebut juga dengan nama kinesik. Kinesik
adalah unsur yang melekat pada diri penutur dan petutur. Wujud kinesik berupa
gerak-gerik tubuh, ekspresi muka, gerakan tangan, dan gerakan tubuh dapat
menggantikan “maksud” suatu tuturan (Chaer, 2010:20). Unsur suprasegmental
kinesik merupakan alat komunikasi nonverbal dalam berkomunikasi. Etika
berbahasa dan kesantunan berbahasa memiliki hubungan yang saling melengkapi,
yaitu kesantunan berbahasa berkenaan dengan substansi bahasanya, sedangkan
etika berbahasa lebih berkenaan dengan perilaku di dalam bertutur (Chaer,
2010:6). Kesantunan nonverbal dilakukan dengan tindakan nonkebahasaan yang
dianggap santun menurut tolak ukur nilai budaya suatu masyarakat yang serta
merta terkandung tuturan yang menyertai tindakan itu.
2.3.2 Teori Pragmatik
Menurut Nadar (2009: 2), pragmatik merupakan cabang linguistik yang
mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Definisi pragmatik
juga diberikan oleh Leech (1983:X) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah
ilmu yang mempelajari bagaimana suatu ujaran bermakna dalam situasi tertentu.
Pragmatik mengkaji makna yang terikat dengan konteks (1996:6). Konteks yang
dimaksud adalah siapa, di mana, kapan, dengan apa, mengapa, dan dengan tujuan
apa tuturan tersebut digunakan. Adapun teori-teori pragmatik yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi (1) teori tindak tutur yang pertama kali oleh Austin
(1962), (2) teori pengancaman muka oleh Brown dan Levinson (1978), (3) teori
kerja sama oleh Grice (1975), dan (4) teori kesantunan oleh Leech (1983).
2.3.2.1 Teori Tindak Tutur
Tindak tutur atau speech act pertama kali diperkenalkan oleh Austin
(1962). Sebuah tuturan tidak saja menyatakan sesuatu, tetapi juga bermaksud
melakukan sesuatu yang disebut dengan tuturan performatif. Semua tuturan
bersifat performatif yang berarti melakukan suatu tindakan (action) alih-alih
hanya mengatakan sesuatu tentang dunia. Teori ini lalu dilanjutkan oleh Searle
(1969) dalam buku berjudul Speech Act: An Essay In The Philosophy of Language.
Searle (1969) mengemukakan bahwa tindak tutur terbagi menjadi tiga jenis
tindakan yang dapat diwujudkan oleh penutur, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi,
dan tindak perlokusi (Searle,1969:23--24; Rahardi, 2005:34--36). Ketiga jenis
tindak tutur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Tindak lokusi (locutionary act ) adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan
kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.
Tindak lokusi dapat disamakan dengan tindak tutur langsung karena
menyatakan sesuatu secara langsung (the act of saying something).
2) Tindak ilokusi (ilocutionary act) adalah tindak bertutur untuk melakukan
sesuatu, seperti memberikan perintah, pernyataan, meminta maaf mengucapkan
terima kasih, dan lain-lainnya. Tindak ilokusi dapat disamakan dengan tindak
tutur tidak langsung karena tuturan itu secara tidak langsung menyatakan
sesuatu (the act of doing something).
3) Tindak perlokusi (perlocutionary act) adalah tindak bertutur yang bertujuan
untuk memberikan efek tertentu pada lawan bicara. Efek ini dapat secara
sengaja (langsung) atau secara tidak sengaja (secara tidak langsung) dibuat
oleh penuturnya. Sebagai contoh tindak perlokusi, yaitu memengaruhi lawan
bicara atau mengubah pandangan lawan bicara (the act of affecting someone)
(Leech,1983:176).
Makna dalam tindak tutur adalah maksud dari ujaran yang dituturkan.
Dalam mengucapkan suatu tuturan, seseorang dapat melakukan tiga jenis tindak,
yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Dapat dikatakan bahwa
pembicara bertutur dengan arti tertentu (lokusi) dengan daya tertentu (ilokusi)
agar diperoleh efek tertentu dari petutur (perlokusi) (Levinson,1983:236; Simpen,
2008:30). Ketiga makna tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Makna lokusional merupakan makna yang muncul dari makna leksikal kata
yang sesungguhnya. Makna lokusional juga dipengaruhi oleh maksud, niat,
dan tujuan penutur dalam bertutur. Faktor perbedaan budaya antara penutur dan
petutur dan konteks situasi penutur juga sangat menentukan makna tindak tutur
tersebut. Perwujudan makna lokusional pada tindak tutur dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut. Pertama, tuturan dengan makna langsung,
yaitu tuturan yang bermakna tersurat sama dengan makna tersirat. Kedua,
tuturan dengan makna tidak langsung, yaitu makna yang tersurat berbeda
dengan makna tersiratnya.
b) Makna ilokusional adalah makna tindak tutur yang terkandung dalam sebuah
tuturan. Perwujudan makna ilokusional merupakan makna tindak tutur yang
terkandung dibalik makna leksikal kata yang sesungguhnya (makna secara
tidak langsung). Oleh sebab itu, ilokusional sebuah tindak tutur dapat berbeda
atau sama dengan makna lokusinya. Suatu tuturan bermakna ilokusional sangat
tergantung pada maksud dan tujuan penuturnya (Searle,1969:24-25; Wijana
dan Rohmadi,2009:20-24).
c) Makna perlokusional merujuk pada dampak yang timbul akibat dari tuturan
yang diujarkan oleh penutur. Perwujudan makna perlokusional merupakan efek
atau akibat yang diharapkan dari makna ( tindak) ilokusional. Daya pengaruh
tindak perlokusional dapat dilakukan penutur, baik secara langsung maupun
tidak langsung tergatung dari cara penutur bertutur. Sebuah tindak tutur ilokusi
dapat mengandung makna perlokusional yang berbeda-beda. Perbedaan ini
dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain konteks situasi penutur,
hubungan sosial, budaya penutur, dan pengetahuan serta pengalaman penutur
( Searle,1969: 25-26 ; Wijana dan Rohmadi, 2009: 20--24).
Kesantunan merupakan salah satu fungsi yang dapat dilakukan oleh
bahasa. Di dalam kesantunan berbahasa, fungsi dapat pula diartikan untuk tujuan
apa tuturan itu dipilih. Adapun fungsi kesantunan berbahasa didasarkan pada
fungsi-fungsi tindak tutur dari Searle (1969) dalam Levinson (1983:240), seperti
yang diuraikan berikut ini.
1) Ekspresif (expressives) berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan
sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih,
memberikan salam, dan meminta maaf.
2) Direktif (directives) berfungsi direktif, yaitu tuturan yang diucapkan oleh si
penutur dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang
disebutkan dalam tuturan itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, dan
lain-lainnya.
3) Komisif (commisives) berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran,
misalnya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu.
4) Representatif (asertif) berfungsi pada penutur untuk mengikat penutur pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya melaporkan atau
menyatakan sesuatu, mengeluh, dan sebagainya.
5) Deklaratif (declaratives) berfungsi untuk menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataannya, misalnya memecat, berpasrah, mengangkat, dan lain
sebagainya.
2.3.2.2 Teori Pengancaman Muka oleh Brown dan Levinson (1978)
Brown dan Levinson (1978) dalam tulisannya berjudul Universals in
Language Usage: Politenes Phenomena mengungkapkan teori kesantunan diukur
berdasarkan teori nosi “muka” (face). Menurut kedua penulis ini, muka adalah
citra diri di hadapan publik yang ingin dimiliki oleh setiap orang. Brown dan
Levinson (1978) membagi nosi “muka” menjadi dua jenis, yaitu muka negatif
dan muka positif. Muka negatif mengacu kepada keinginan setiap orang untuk
tidak diganggu dan apa yang diinginkan tidak dihalangi oleh orang lain. Muka
positif adalah sebaliknya, yakni mengacu pada keinginan untuk disukai, dihargai,
dan diakui oleh orang lain. Konsep muka ini berlaku universal.
Brown & Levinson (1978) berpendapat dalam berkomunikasi tidak dapat
dihindari adanya pengancaman muka, yaitu perilaku yang merusak muka
pembicara dengan cara melakukan oposisi (Sosiowati, 2013:88). Pengancaman
muka ini terjadi karena adanya pelanggaran atas tindak tutur (speech act) dan
indeksial expression oleh penutur pada suatu konteks situasi tutur tertentu.
Indeksial expression yang dimaksud adalah penggunaan kata sapaan, nomina
kekerabatan, dan pronomina personal yang diujarkan oleh penutur. Untuk
mengurangi keterancaman muka tersebut maka diterapkanlah suatu strategi.
Brown & Levinson (1978) mengemukakan empat strategi untuk meminimalkan
pengancaman muka (face threatening act (FTA), yaitu (1) melakukan tindak
ujaran langsung; (2) melakukan tindak ujaran dengan menggunakan kesantunan
positif; (3) melakukan tindak ujaran dengan menggunakan kesantunan negatif;
dan (4) melakukan tindak ujaran tidak langsung ( off record )
Adapun empat strategi untuk meminimalkan ancaman muka dapat
dipaparkan sebagai berikut.
1) Melakukan Tindak Ujaran Langsung ( bald on record)
Strategi ini diterapkan apabila keinginan pembicara untuk melakukan
pengancaman muka dengan efisiensi maksimal melebihi keinginannya untuk
memuaskan muka lawan bicaranya (Brown & Levinson, 1978:100). Strategi
yang digunakan dalam tindak ujaran langsung adalah bentuk ujaran langsung
seperti kalimat larangan langsung.
Contoh :” Wash your hands…before eat” (Brown & Levinson, 1978:105)
Pada ujaran di atas penutur secara langsung melakukan tindak ujaran
langsung kepada lawan tutur, seperti situasi sebelum makan.
2) Melakukan Tindak Ujaran dengan Menggunakan Kesantunan Positif
Kesantunan positif langsung ditujukan kepada muka positif lawan bicara,
keinginan lawan bicara dianggap sebagai sesuatu yang juga diinginkan oleh
pembicara; apa yang diinginkan oleh lawan bicara juga merupakan hal yang
diinginkan oleh pembicara (Brown & Levinson, 1978:106). Adapun strategi-
strategi untuk kesantunan positif (Brown &Levinson, 1978: 108--134), yaitu
sebagai berikut.
a) Memerhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan lawan tutur
Contoh: “Your blouse is very good, where was it bought ?” (Brown &
Levinson, 1978:109)
Penutur mengetahui bahwa lawan tuturnya memiliki pakaian yang bagus.
Jadi, dia memuji pakaian lawan bicaranya untuk menyenangkan mitra
tuturnya.
b) Menunjukkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur
Contoh: “What a fantastic garden you have!” (Brown & Levinson,
1978:109)
Pujian itu diucapkan oleh penutur pada lawan tuturnya sebagai usaha
menyenangkan hati mitra tuturnya meskipun taman itu biasa-biasa saja.
c) Menguatkan minat lawan tutur
Contoh: “I come down the stairs, and what do you think I see? – a
hugemess all overthe place, the phone‟s off the hook and clothes are
scattered allover...” (Brown & Levinson, 1978:111)
Pertanyaan “...dan tahukah kau apa yang saya lihat?” tuturan ini
digunakan untuk meningkatkan minat mitra tutur untuk mendengarkan dan
juga membagi pengalaman dengan mitra tutur.
d) Menggunakan penanda identitas kelompok
Contoh: “Bring me your dirty clothes to wash, honey” (Brown & Levinson,
1978:113)
Dengan menggunakan kata sapaan “sayang”, penutur memasukkan mitra
tutur ke dalam identitas kelompoknya.
e) Mencari persetujuan
Contoh: A : “John went to London this weekend !”
B : “To London!” (Brown & Levinson, 1978:118).
Pada saat mengatakan “John telah pergi ke London minggu ini”,
A bermaksud mendapat persetujuan dari B dan B memberikan persetujuan
dengan mengatakan “ke London”.
f) Menghindari ketidaksetujuan
Contoh: A : “That‟s where you live, Florida?”
B : “That‟s where I was born” (Brown & Levinson,1978:119).
Jawaban B menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh A salah, dan dia
tidak menyalahkan secara langsung, tetapi langsung memperbaikinya.
g) Menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa
basi
Contoh: A : “Oh, this cut hurts awfully, Mum”
B: “Yes dear, it hurts terribly, I know.”
(Brown &Levinson, 1978:124).
Jawaban B membuat A senang karena apa yang dirasakan A, dirasakan
juga oleh B meskipun B sebenarnya tidak tahu sesakit apa rasa sakit yang
diderita oleh A.
h) Menggunakan lelucon
Contoh: “How about lending me this old heap of chunk ?” (H‟s Cadillac)
(Brown & Levinson,1978:129).
Yang dimaksud “gundukan sampah tua adalah mobil Cadillac baru milik
mitra tuturnya. Mobil itu mahal, tetapi dengan bergurau disebut sampah.
i) Menyatakan paham atau mengerti keinginan mitra tutur
Contoh : “I know you can‟t bear parties, but this one will really be good –
do come” (Brown & Levinson, 1978:130).
Meskipun penutur meminta lawan tuturnya pergi ke pesta, dia
menunjukkan pengertiannya bahwa lawan tuturnya tidak suka pesta
sehingga kesan memaksa dapat dikurangi.
j) Memberikan tawaran atau janji
Contoh:“I‟ll drop by sometimes next week” (Brown &Levinson, 1978:130).
Penutur berjanji pada lawan tutur untuk mampir di rumahnya. Janji ini
memuaskan keinginan lawan tutur yang ingin penutur mampir ke
rumahnya.
k) Menunjukkan keoptimisan
Contoh: “I‟ve come to borrow a cup of flour”. (Brown & Levinson,
1978:131).
Strategi ini menunjukkan apa yang diinginkan oleh penutur merupakan
keinginan lawan tuturnya juga.
l) Melibatkan lawan tutur dalam aktivitas
Contoh : “Give us a break” (Brown & Levinson, 1978:132).
Dengan menggunakan pronomina “kita” penutur sudah menyertakan
lawan tutur ke dalam kegiatan yang di lakukan.
m) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan
Contoh : “Why not lend me your cottage for the weekend?” (Brown &
Levinson, 1978:133).
Saran tidak langsung merupakan bentuk kesantunan positif.
n) Menyatakan hubungan secara timbal balik
Strategi ini dilakukan, misalnya dengan mengatakan “I‟ll do X for you if
you do Y for me” Dengan mengatakan kalimat seperti di atas, penutur
sudah melunakkan tekanan pengancaman muka (Brown & Levinson,
1978:134).
o) Memberikan penghargaan pada lawan tutur
Dengan memberikan penghargaan pada lawan tutur, penutur sudah
memuaskan muka positif lawan tuturnya. Penghargaan ini dapat berupa
benda, rasa simpati, pengertian, dan kerja sama (Brown & Levinson,
1978:134).
3) Melakukan Tindak Ujaran dengan Menggunakan Kesantunan Negatif
Strategi kesantunan negatif ditujukan kepada muka negatif pembicara
(Brown & Levinson, 1978:134). Adapun strategi-strategi yang diterapkan
dalam kesantunan negatif, seperti dipaparkan berikut ini.
a) Menggunakan ujaran tidak langsung
Contoh : “I‟m looking for a comb” (Brown & Levinson, 1978:139).
Kalimat di atas merupakan perintah tidak langsung. Cara memerintah
semacam ini mengurangi tekanan pengancaman muka negatif.
b) Menggunakan kalimat berpagar
Contoh : “I suppose that Harry is coming” (Brown & Levinson, 1978:150).
“Saya rasa” (I suppose) adalah pagar yang melunakkan tekanan
pengancaman muka kalimat “Hari akan datang”. “Saya rasa Hari akan
datang” masih memberikan peluang bahwa Hari tidak akan datang.
c) Menunjukkan rasa pesimis
Contoh : “Could you do X?” (Brown & Levinson, 1978:178). Kalimat yang
menunjukkan rasa pesimis itu mengurangi tekanan pengancaman muka
negatif lawan tutur. Artinya apabila jawabannya “tidak”, dia tidak merasa
malu”
d) Meminimalkan paksaan
Contoh : “I just want to ask you if I can borrow a single sheet of paper”
(Brown & Levinson, 1978:182).
Kata “hanya” (just) menurunkan tekanan terhadap pengancaman muka
negatif.
e) Menunjukkan penghormatan
Contoh : “We look forward very much to dining with you” ( Brown &
Levinson, 1978:186).
Kalimat di atas menunjukkan bahwa mitra tutur adalah orang yang
dihormati sehingga mendapat kesempatan makan malam bersamanya
merupakan hal yang dinanti-nanti.
f) Meminta maaf
Contoh : “I hope you don‟t mind me saying this,but..” ( Brown & Levinson,
1978:193).
Kalimat di atas merupakan permohonan maaf sebelum menyatakan sesuatu.
g) Pakailah bentuk impersonalisasi antara pembicara dan lawan tutur
Contoh : “Do this for me” (Brown & Levinson, 1978:195).
Kalimat tersebut tidak menunjukkan siapa yang dikenai pekerjaan sehingga
tidak terjadi pengancaman muka.
h) Ujarkan tuturan itu sebagai ketentuan yang bersifat umum
Contoh : “The United States expresses regrets over the occurrence of the
incident” (Brown & Levinson, 1978:212).
Penggunaan kata “Amerika Serikat” sebagai pihak yang menyatakan
ujaran bersifat umum. Penggunaan tuturan ini ditujukan agar tidak ada yang
terancam mukanya karena menyatakan ketentuan umum merupakan
pengancaman muka negatif.
i) Nominalisasi
Contoh : “Your performing well on the examinations impressed us
favourably” (Brown & Levinson, 1978:212).
“Tampilan baikmu” merupakan bentuk formal dan bentuk formal sejalan
dengan kesantunan.
j) Terus mengucapkan sesuatu seolah-olah berutang budi pada lawan tutur
Contoh : “I‟d be eternally grateful if you would ...”( Brown & Levinson,
1978:215). Ucapan terima kasih diucapkan sebelum mitra tutur melakukan
sesuatu.
4) Melakukan Tindak Ujaran Tidak Langsung ( off record )
Strategi ini menggunakan ujaran tidak langsung. Strategi ini digunakan
apabila seseorang berniat melakukan pengancaman muka, tetapi dia tidak
ingin bertanggung jawab, dia dapat menerapkan strategi ini dan membiarkan
lawan tuturnya menginterpretasikan apa yang diujarkannya (Brown &
Levinson, 1978:216). Menurut Brown & Levinson (1978: 218--231), strategi
ujaran tidak langsung terdiri atas hal-hal berikut.
a) Memberikan isyarat
Contoh : “It‟s cold in here” (Brown & Levinson, 1978:220).
Kalimat di atas memberikan isyarat bahwa seseorang harus menutup
jendela supaya udaranya tidak dingin.
b) Memberikan petunjuk
Contoh : “Are you going to market tommorow?...There‟s a market
tomorrow” (Brown & Levinson, 1978:221).
Kalimat tersebut menyiratkan bahwa penutur ingin menumpang ke pasar.
c) Mengemukakan praanggapan
Contoh : “I washed the car again today” (Brown & Levinson, 1978:222).
Kalimat di atas menyiratkan bahwa dia sudah mencuci mobil sebelumnya.
Praanggapan ini menyiratkan bahwa mencuci mobil itu juga tugas mitra
tuturnya karena mereka mengerjakan tugas sama-sama.
d) Mengatakan kurang dari seharusnya
Contoh : A : “What do you think of Harry?”
B : “Nothing Wrong with him” (Brown & Levinson, 1978:222).
Jawaban B sebenarnya menyiratkan bahwa sebenarnya dia ingin
mengatakan bahwa Hari adalah orang yang tidak baik.
e) Mengatakan lebih dari seharusnya
Contoh : “you never do the washing up” (Brown & Levinson, 1978:225).
Frasa “tidak pernah” digunakan untuk menyatakan sesuatu secara
berlebihan. Hal ini merupakan sebuah kritik terhadap mitra tutur.
f) Menggunakan tautolog
Contoh : “Your clothes belong where your clothes belong. (Brown &
Levinson, 1978:225).
Ucapan di atas menyiratkan penolakan untuk mencarikan baju untuk mitra
tuturnya karena mitra tuturnya sudah tahu di mana baju yang dicari berada.
g) Menggunakan kontradiksi
Contoh : A : “Are you upset about that?”
B : “well, yes and no” (Brown & Levinson, 1978:226).
Jawaban B merupakan keluhan atau kritik terhadap sesuatu.
h) Menggunakan ironi
Contoh : “John‟s a real genius?” (Brown & Levinson,1978:227).
John dikatakan jenius, padahal dia baru saja membuat sejumlah kesalahan
fatal. Jadi, apa yang dikatakan merupakan kebalikan dari faktanya.
i) Menggunakan metafora
Misalnya: “Harry is a real fish (Brown & Levinson, 1978:227).
Kalimat di atas dapat bermakna bahwa Hari sangat pandai berenang.
j) Menggunakan pertanyaan retorika
Contoh : “How many times do I have to tell you...?” (Brown & Levinson,
1978:228).
Kalimat di atas menyiratkan suatu kritik bahwa sudah diberitahu berkali-
kali tetap saja tidak mengerti.
k) Menggunakan ujaran bermakna ganda
Contoh : “John is a pretty sharp cookie” (Brown & Levinson, 1978:230)
Kata “tajam” bisa berarti positif dan negatif bergantung pada konteksnya.
l) Menyamarkan objek pengancaman muka
Contoh : “Looks like someone may have had too much to drink” (Brown &
Levinson, 1978:231).
Kalimat di atas tidak menyebut siapa yang sudah terlalu banyak minum.
m) Overgeneralisasi
Contoh : “He who laughs last laughs longest” (Brown & Levinson,
1978:231).
Kalimat di atas menyamaratakan bahwa yang tertawa paling akhir adalah
orang yang tertawa terlama, padahal sebenarnya tidak selalu demikian.
n) Memindahkan hal dapat mengancam muka pada orang lain yang tidak
terancam dengan hal tersebut.
Contoh: “Why not lend me your cottage for the weekend?”(Brown &
Levinson, 1978:133).
Peminjaman vila itu tidak ditujukan pada pemilik vila, tetapi pada orang
lain yang tidak memiliki vila.
o) Menggunakan elipsis
Contoh: “Well, I didn‟t see you...” (Brown & Levinson, 1978:232)
Kalimat di atas tidak diselesaikan karena jika diselesaikan dapat
mengancam muka lawan tuturnya.
2.3.2.3 Teori Kerja Sama Grice (1975)
Teori kerja sama adalah ide yang dikemukakan oleh Grice (1975) yang
mengatur bahwa seseorang harus membuat komunikasi dengan memberikan
sumbangan isi seperti yang diharapkan. Leech (1983:8) menyatakan bahwa
prinsip kerja sama yang dikatakan oleh Grice (1975) memungkinkan penutur dan
petutur pada suatu percakapan untuk berkomunikasi dengan anggapan partisipan
yang lain bersedia untuk bekerja sama.
Levinson (1983:102) menyatakan bahwa prinsip kerja sama yang
disampaikan oleh Grice (1975) melalui maksim-maksim tersebut menjelaskan apa
yang harus dilakukan oleh partisipan untuk dapat berkomunikasi dengan cara
yang efisien, rasional, dan kooperatif. Teori kerja sama yang dikemukakan oleh
Grice (1975) tersebut memiliki maksim-maksim yang menyebutkan apa yang
dilakukan oleh pembicara dalam suatu tindak tutur agar tidak terjadi
ketidaksantunan. Untuk menghindari ketidaksantunan dan mencapai tujuan
komunikasi yang baik, maksim-maksim yang dikemukakan oleh Grice (1975)
harus diaplikasikan oleh peserta bicara. Maksim-maksim tersebut dapat
dipaparkan sebagai berikut.
1) Maksim kualitas (maxim of quality), yaitu maksim yang menyatakan bahwa
seseorang tidak boleh menyatakan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya
karena tidak memiliki cukup bukti. Dalam maksim ini seorang penutur
diharapkan menyampaikan suatu tuturan atau informasi sesuai dengan
kenyataan dan bukti.
2) Maksim kuantitas (maxim of quantity), yaitu maksim ini memberikan
informasi yang tepat, cukup, jangan terlalu berlebihan, dan jangan terlalu
sedikit demi lancarnya interaksi yang berlangsung. Di dalam maksim kuantitas,
seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan
tidak berlebihan.
3) Maksim relevansi (maxim of relevance), yaitu maksim yang menyatakan apa
yang dikatakan harus jelas berhubungan dengan tujuan interaksi. Maksim
relevansi bertujuan agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan
petutur dengan memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu atau
masalah yang sedang dipertuturkan.
4) Maksim cara (maxim of manner), yaitu maksim ini menyatakan apa yang
dikatakan harus mudah dimengerti, jelas, teratur, dan singkat. Di samping itu,
juga menghindari ketidakjelasan dan makna ganda antara penutur dan petutur.
Apabila keempat maksim tersebut digunakan dalam suatu percakapan,
akan dihasilkan komunikasi yang lancar. Teori kerja sama ini digunakan sebagai
bagian dari penentuan kesantunan karena kesantunan tidak mungkin dapat
diaplikasikan dalam suatu interaksi komunikasi tanpa adanya kerja sama antara
penutur dan petutur.
2.3.2.4 Teori Kesantunan Leech (1983)
Leech (1983:131--143) menyatakan bahwa teori kesantunan berbahasa
didasarkan pada prinsip kesantunan berbahasa (politeness principles) yang
dijabarkan menjadi enam maksim kesantunan. Keenam maksim tersebut, yaitu
sebagai berikut.
1) Maksim kebijaksanaan (tact maxim) menghendaki mengurangi keuntungan
pada diri sendiri dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Dalam
maksim ini, kecenderungan semakin panjang tuturan seseorang semakin besar
pula keinginan orang tersebut untuk bersikap santun kepada lawan bicaranya.
2) Maksim kedermawanan (generosity maxim) menghendaki para peserta tutur
dapat saling menghormati antarpeserta tutur. Penghormatan terhadap lawan
tutur akan terjadi apabila penutur dapat memaksimalkan keuntungan atau
penghormatan kepada lawan tutur.
3) Maksim penghargaan (approbotion maxim) di dalam maksim penghargaan
penutur dianggap santun apabila selalu memberikan penghargaan kepada
pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak
saling mengejek atau saling merendahkan pihak yang lain.
4) Maksim kerendahan hati (modesty maxim) di dalam maksim kerendahan hati
peserta tutur (penutur dan petutur) diharapkan dapat bersikap rendah hati
dengan cara mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Orang akan dikatakan
kurang santun atau sombong apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji
dan mengunggulkan dirinya sendiri.
5) Maksim kesepakatan (agreement maxim), yaitu mengusahakan agar
ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin dan
usahakan supaya kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak
mungkin.
6) Maksim kesimpatian (sympathy maxim), yaitu mengharuskan setiap peserta
tutur meminimalkan rasa antipati dan memaksimalkan rasa simpati kepada
orang lain.
2.4 Bagan I Model Penelitian
Masalah Teori yang digunakan
1. Strategi kesantunan berbahasa Korea yang
bagaimanakah yang diterapkan P dengan WK ?
Teori Pragmatik, yaitu Teori Pengancaman Muka
( Brown & Levinson, 1978 )
2. Bentuk-bentuk satuan verbal apakah yang digunakan
oleh P untuk mewujudkan kesantunan berbahasa ?
Teori Sosiolinguistik, yaitu Teori Variasi Tutur
(bahasa) (Park,1984; Byon, 2009; Brown, 2011;
Lestari,2012 ; Chaer, 2010)
3. Apa sajakah fungsi dan makna kesantunan berbahasa
Korea P ?
Teori Pragmatik yang terdiri atas.
1. Teori Tindak Tutur ( Searle,1969)
2. Teori Kerja sama ( Grice, 1975)
3. Teori Kesantunan ( Leech, 1983)
4.Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi
kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa Korea P
dengan WK
Teori Sosiolinguistik, yaitu Teori Etika berbahasa
( Chaer, 2010 ; Park, 1984 ; Song, 2005)
Pendekatan Penelitian : kualitatif berbasis studi kasus
Penentuan Narasumber : Purposif Sampling, yaitu enam P dan enam pasangan WK yang berbulan madu
Metode Pengumpulan Data
Metode Simak
Teknik sadap
Teknik simak libat cakap
Teknik rekam
Teknik catat
Metode Cakap
Teknik cakap semuka
Teknik rekam
Teknik catat
Metode dokumentasi
Foto P dan WK dalam KPW
Tulisan transkrip wawancara P
Metode Analisis Data : Metode Padan dan Metode Agih
Metode Penyajian Hasil Analisis Data : Metode Informal
Wisatawan Korea Konteks Situasi
Tutur dalam KPW
Kesantunan Berbahasa Korea
P di Bali
Bahasa Korea
Kajian Sosiopragmatik
Landasan Teori
Teori Sosiolinguistik dan Teori Pragmatik
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Penelitian kesantunan berbahasa Korea ini merupakan kajian
sosiopragmatik, yaitu meneliti penggunaan bahasa dengan satuan lingual tertentu
pada ranah pariwisata antara P dengan WK dengan maksud dan tujuan tertentu
dalam konteks situasi KPW. Landasan teori yang digunakan adalah perpaduan
teori sosiolinguistik dan teori pragmatik. Teori sosiolinguistik meliputi variasi
tutur yang digunakan untuk menjawab masalah nomor (2) dan etika berbahasa
digunakan untuk menjawab masalah nomor (4). Teori pragmatik terdiri atas teori
pengancaman muka untuk menjawab masalah nomor (1) dan teori tindak tutur
untuk menjawab masalah nomor (3). Teori kerja sama dan teori kesantunan
digunakan untuk mengetahui penerapan dan pelanggaran maksim-maksim kerja
sama dan kesantunan untuk menjawab permasalahan pada nomor (2) dan (3).
Di dalam metode penelitian digunakan pendekatan kualitatif berbasis
studi kasus, yaitu untuk menyelidiki dan menjelaskan fenomena yang lengkap
mengenai kesantunan bertutur P dengan WK dalam KPW sebagai suatu “kasus”.
Penentuan narasumber dilakukan dengan purposif sampling yang terdiri atas
enam P dan enam pasangan WK yang berbulan madu. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan metode simak, cakap, dan dokumentasi. Teknik yang digunakan
dalam metode simak terdiri atas teknik sadap, simak libat cakap, teknik rekam,
dan teknik catat. Metode cakap dilakukan dengan teknik cakap semuka, teknik
rekam, dan teknik catat. Metode dokumentasi terdiri atas foto P dan WK dan
tulisan hasil transkip wawancara dengan P. Penganalisisan data dilakukan dengan
metode padan dan agih serta penyajian hasil analisis dengan metode informal,
yaitu dalam bentuk uraian deskriptif.