BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 1. · dan dengan senang hati...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 1. · dan dengan senang hati...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan terkait dengan topik ini, baik pada
perilaku bahasa maupun bahasa dan gender. Pada subbab ini dibahas mengenai
penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah pernah dilakukan dan revelan dengan
penelitian ini. Uraian pustaka dimaksud, dapat dicermati berikut ini.
Munjin (2008) membahas tentang ekspresi bahasa yang dianggap tidak
memiliki keadilan gender yang ada dalam bahasa Inggris. Fokus penelitian ini
meliputi sekilas tentang seks dan gender, representasi simetris, wacana seksis, apakah
memang laki-laki dan perempuan menggunakan bahasa yang berbeda, mengapa
terjadi perbedaan berbahasa gender, dan faktor penyebab. Berbeda dengan penelitian
yang akan dilakukan, penelitian ini memilih bahasa Inggris dengan latar belakang
masyarakat Inggris sebagai objek penelitian karena alasan kesesuaian dengan
keahlian penulis. Munjin (2008) menyebutkan bahwa bahasa seksis adalah bahasa
yang mempresentasikan laki-laki dan perempuan secara tidak setara dan menyajikan
stereotipe-stereotipe tentang laki-laki dan perempuan yang banyak merugikan kaum
perempuan. Munjin menambahkan bahwa ekspresi bahasa merupakan ceriman
kecenderungan penuturnya.
8
Kesimpulan pada penilitian ini adalah dalam masyarakat Inggris yang bersifat
patrilineal, dapat dilihat bahwa corak bahasa yang diskriminatif terhadap perempuan.
Timbulnya stereotype bahasa terhadap perempuan tersebut disebabkan oleh faktor
kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan di berbagai sektor. Faktor lain
adalah masalah perbedaan pergaulan yang sejenis, sehingga menimbulkan sub-
culture atas sub-culture yang lain dan bila keduanya bertemu dimungkinkan
munculnya masalah baru. Pola sosialisasi yang diterapkan pada tiap gender yang
tidak netral, juga tak kalah pentingnya dalam membentuk terjadinya perbedaan ini.
Dari faktor-faktor tersebut, muncul adanya asimetri, istilah tak bertanda, penyempitan
dan pemberian arti negatif seperti kata dalam bahasa Inggris. Karena itu, terbentuklah
bahasa yang bersifat seksis. Jika ekspresi bahasa menggambarkan penuturnya, maka
sebenarnya telah terjadi seksisme dalam kehidupan sehari-hari masyarakat penutur
bahasa Inggris.
Penelitian Simpen (2008) mengenai perilaku bahasa dari penutur bahasa
Kambera di Sumba Timur, khususnya pada kesantunan berbahasa bertujuan untuk
menemukan, mendeskripsikan, dan menganalisis satuan verbal yang digunakan
sebagai kesantunan, menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan,
makna kesantunan, unsur suprasegmental yang mempengaruhi kesantunan, dan unsur
paralinguistik yang menyertai kesantunan. Penelitian ini menggunakan perpaduan
antara teori Linguistik Kebudayaan dengan Sosiolinguistik. Hasil penelitiannya
memperlihatkan bahwa kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera
9
menggambarkan ideologi yang dijadikan dasar kesantunan berbahasa. Satuan verbal
yang digunakan untuk kesantunan berbentuk kata, gabungan kata, kalimat, dan
peribahasa. Kesantunan berbahasa dipengaruhi oleh faktor status, jenis kelamin, usia,
dan hubungan kekerabatan. Makna kesantunan merefleksikan latar budaya yang
dianut penutur dengan berorientasi pada sistem kepercayaan, sistem mata
pencaharian, hubungan kekerabatan, stratifikasi sosial, dan sistem pernikahan.
Perbedaan penelitian Simpen (2008) dengan penelitian ini adalah penggunaan teori
yang hanya menggunakan teori Sosiopragmatik dan sumber data yang lebih spesifik
menggunakan bahasa perempuan.
Sosiowati (2013) pada penelitiannya yang berjudul “Kesantunan Bahasa
Politisi dalam Talk Show di Televisi” Sosiowati (2013) membahas beberapa masalah,
yaitu: tingkat kesantunan politisi, ciri-ciri satuan verbal yang digunakan, faktor-faktor
yang melatarbelakangi pelanggaran dan ketaatan kesantunan dan ideologi yang
tersirat di balik perilaku berbahasa mereka. Data penelitian ini diambil dari tayangan
mingguan talk show “Today’s Dialogue”, periode Januari – Maret 2011 di Metro TV
yang berjumlah dua belas. Kedua belas tayangan itu diseleksi melalui purposive
sampling dan diperoleh lima tayangan dengan dua belas orang politisi. Salah satu
temuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesantunan diperlukan kesepuluh
maksim dari perpaduan teori kerja sama (Grice, 1975) dan teori kesantunan (Leech,
1983). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sosiowati (2013) ini adalah dari
sumber datanya dan dalam permasalahan tidak membahasa tentang ideologi yang
10
tersirat di balik perilaku berbahasa, serta hanya menggunakan teori prinsip
kesantunan dari Leech (1983) dengan keenam maksimnya.
Penelitian berkaitan dengan sumber data, novel Tempurung karya Oka
Rusmini dilakukan oleh Ariastini dkk (2014) dan membuktikan bahwa novel
Tempurung sangat tepat digunakan sebagai sumber data pada kajian Feminisme.
Penelitian ini tidak mengkaji secara linguistik, melainkan mengkaji feminisme novel
Tempurung karya Oka Rusmini dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran sastra
di SMA. Tujuan penelitian Ariastini dkk untuk mendeskripsikan unsur-unsur
struktural, perjuangan tokoh perempuan, dan kesesuaian materi perjuangan
perempuan dalam novel Tempurung karya Oka Rusmini sebagai bahan pembelajaran
sastra di SMA. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode dokumentasi. Data dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif. Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut. (1) Unsur-unsur struktural yang
dianalisis dalam novel Tempurung karya Oka Rusmini adalah tema, penokohan atau
perwatakan, amanat, latar, dan alur. Tema yang diangkat dalam Tempurung adalah
perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tokoh yang digambarkan dalam
Tempurung terdiri atas sembilan belas tokoh dengan latar belakang yang hampir
sama. Amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui novel ini adalah agar
tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Latar dalam novel menceritakan bahwa
peristiwa yang terjadi di Bali. Alur yang digunakan adalah alur mundur. (2)
Perjuangan perempuan dalam novel Tempurung karya Oka Rusmini dilakukan dalam
empat bidang, yaitu bidang pendidikan ditandai dengan kegigihan seorang perempuan
11
menuntut ilmu, ekonomi ditandai dengan usaha keras perempuan merintis usaha dari
kegemarannya, keluarga ditandai dengan kesabaran seorang istri menyikapi sikap
suami yang tidak bertanggung jawab, dan sosial ditandai dengan usaha seorang
perempuan membuktikkan bahwa perempuan mampu melahirkan ide-ide mutakhir.
(3) Materi perjuangan perempuan dalam novel Tempurung karya Oka Rusmini
memiliki kesesuaian sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA sesuai dengan
kriteria pemilihan materi pelajaran yang diuji secara internal.
2.2 Konsep
Pada bagian ini dipaparkan konsep-konsep yang akan digunakan pada
penelitian ini. Konsep yang dimaksud adalah bahasa perempuan, bahasa dan gender,
budaya Bali, kesantunan berbahasa, dan satuan lingual. Secara rinci, akan dipaparkan
satu per satu berikut ini.
2.2.1 Karakteristik Bahasa
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), karakteristik merupakan sesuatu yang mempunyai ciri khas. Sama
halnya dengan penjelasan dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005)
karakteristik adalah sesuatu yang sangat khas dari sesuatu. Berdasarkan dari
penjelasan dua pengertian tersebut, karakteristik bahasa yang dimaksud pada
penelitian ini yaitu ciri khas penggunaan bahasa dari seseorang atau kelompok
tertentu.
12
2.2.2 Bahasa Perempuan
Bahasa perempuan merupakan bahasa yang digunakan oleh perempuan, baik
secara lisan maupun tulisan. Dalam berkomunikasi diketahui bahwa perempuan
berbicara berbeda dengan laki-laki dan perempuan lebih banyak bicara daripada laki-
laki, variasi intonasi tuturan perempuan lebih banyak daripada laki-laki, perempuan
lebih banyak menggunakan eufimisme atau ungkapan yang lebih lembut daripada
laki-laki, perempuan lebih banyak menggunakan kata sifat ekspresif daripada laki-
laki, lebih tidak langsung dan sopan daripada laki-laki (Lakoff, 1975). Hal tersebut
juga disetujui oleh Holmes (2001) bahwa perempuan menggunakan bentuk yang
lebih standar dibandingkan laki-laki. Karena anak-anak dan perempuan adalah
kelompok bawahan dan mereka harus menghindari menyinggung orang. Karena itu,
mereka harus berbicara dengan hati-hati dan sopan.
2.2.3 Seks dan Gender
Konsep mengenai seks mengacu pada perbedaan biologis pada laki-laki dan
perempuan atau perbedaan pada tubuh laki-laki dan perempuan. Seperti yang
dikemukakan oleh Moore dan Sinclair (1995) bahwa konsep seks tersebut
menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan kromosom pada janin.
Dengan demikian, seks merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang
sudah dibawa sejak lahir, seperti tinggi dan berat badan, struktur reproduksi dan
fungsinya, suara, dan lain sebagainya. Sementara gender merupakan perbedaan
13
psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan (Giddens, 1989 : 158).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gender adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial.
Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara
laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan
itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis dan kodrat,
melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam
berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
2.2.4 Kesantunan Berbahasa
Wardhaugh (1987:267) berpendapat bahwa kesantunan berbahasa adalah
perilaku berbahasa yang memperhitungkan solidaritas, kekuasaan, keakraban, status
hubungan antarpartisipan, dan penghargaan. Kesantunan berbahasa juga ditentukan
oleh kesadaran terhadap kebiasaan sosial. Menurut Watts (2003:1) bahasa yang
santun adalah bahasa yang menghindari bertutur yang sifatnya terlalu langsung atau
lebih ketuturan yang tidak langsung dan bahasa yang menampilkan rasa hormat atau
peduli dengan orang lain. Menurut Grundy (2000) dalam menjadi “santun”, penutur
berupaya untuk menciptakan konteks berimplikasi (penutur berdiri dalam kaitan x ke
petutur dalam hal tindakan y) yang sesuai dengan hal yang diasumsikan oleh petutur.
14
2.2.5 Satuan Lingual
Satuan lingual yang menjadi konsep pada penelitian ini berupa kata, frasa,
klausa, dan kalimat. Menurut Alwi (1998:78–79) kata terdiri atas satu suku kata atau
lebih dan suatu bentuk yang terdiri atas gabungan bermacam-macam suku kata.
Sedangkan Bloomfield (dalam Simpen, 2009) memberikan batasan tentang kata
bahwa kata adalah bentuk bebas terkecil, dan memberikan batasan kata berdasarkan
pandangannya tentang free form (bentuk bebas) dan bound form (bentuk terikat).
Frasa adalah satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak
mengandung unsur predikasi (Alwi, 1998:318). Sedangkan menurut Katamba (dalam
Sosiowati, 2013) menyatakan bahwa frasa adalah konstituen sintaksis yang intinya
adalah kategori leksikal, misalnya nomina, adjektiva, verba, dan sebagainya. Klausa
adalah satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang mengandung unsur
predikasi (Alwi, 1998: 318). Leech et.al ( 1982:27) menyatakan bahwa klausa adalah
unit-unit dasar yang membentuk kalimat. Menurut Alwi (1998: 317–318) kalimat
merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dilihat dari segi bentuknya, kalimat dapat
dirumuskan sebagai konstruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau lebih.
Berdasarkan pemaparan tersebut, konsep kata, frasa, klausa, dan kalimat yang
digunakan pada penelitian ini adalah dari Alwi (1998).
15
2.3 Landasan Teori
Pada penelitian ini digunakan beberapa teori untuk menganalisis
permasalahan. Teori yang dimaksud adalah teori linguistik kebudayaan, teori
pragmatik, teori sosiolinguuistik, dan teori linguistik normatif.
2.3.1 Teori Pragmatik
Pada penelitian ini, terdapat dua bagian dari teori pragmatik yang digunakan
untuk menganalisis data, yaitu, prinsip kesantunan dan skala kesantunan dari Leech
(1983).
2.3.1.1 Prinsip Kesantunan
Dari berbagai teori kesantunan yang ada, prinsip kesantunan dari Leech
(1983) digunakan pada penelitian ini karena menurut Rahardi (2005) bahwa prinsip
kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan
relatif paling komprehensif.
Prinsip kesantunan dengan enam maksimnya adalah peraturan berkomunikasi
untuk menyatakan kesantunan dengan memperhatikan hubungan antara dua peserta
tutur. Leech (1983:132) mengemukakan bahwa prinsip kesantunan memiliki maksim-
maksim yang berpasangan seperti berikut.
16
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Tact maxim: Minimize cost to other. Maximize benefit to other (Leech, 1983)
Maksim kebijaksanaan: Kurangi kerugian orang lain. Tambahi keuntungan
orang lain (Tarigan dalam Rahardi, 2005).
Rahardi (2005) lebih lanjut menjelaskan tentang maksim kebijaksanaan,
bahwa hal yang mendasari maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah
para peserta tutur hendaknya berpegangan pada prinsip untuk selalu mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam
kegiatan bertutur. Penutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun dan dapat menghindarkan sikap dengki, iri
hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Contohnya dapat
dilihat pada percakapan berikut ini.
Ria : “Ayo, dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.”
Yulia : “Wah, aku jadi tidak enak.”
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang gadis bernama Ria kepada teman dekatnya pada saat
ia berkunjung ke rumahnya.
(Rahardi, 2005)
Pada tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan
Ria sungguh memaksimalkan keuntungan bagi rekannya. Pemaksimalan keuntungan
bagi pihak mitra tutur tampak sekali pada tuturan Ria. Tuturan itu disampaikan
kepada sang tamu sekalipun sebenarnya satu-satunya hidangan yang tersedia adalah
apa yang disajikan kepada si tamu tersebut. Sekalipun sebenarnya di dalam rumah
jatah untuk keluarganya sendiri sebenarnya sudah tidak ada. Namun, Ria berpura-
pura mengatakan bahwa di dalam rumah masih tersedia hidangan lain dalam jumlah
17
yang banyak. Tuturan itu disampaikan dengan maksud agar sang tamu merasa bebas
dan dengan senang hati menikmati hidangan yang disajikan itu tanpa ada perasaan
tidak enak sedikit pun.
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Generosity maxim: Minimize benefit to self. Maximize cost to self
(Leech, 1983)
Maksim kedermawanan: Kurangi keuntungan sendiri. Tambahi pengorbanan
diri sendiri (Tarigan dalam Rahardi, 2005).
Landasan dasar dari maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati
adalah bahwa setiap peserta tutur wajib meminimalkan keuntungan diri sendiri dan
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri (Rahardi, 2005). Tuturan pada contoh
berikut dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Bapak A : “Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.”
Bapak B : “Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu!”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seseorang kepada tetangga dekatnya di sebuah perumahan
ketika mereka sedang sama-sama merawat mobil masing-masng di garasi.
(Rahardi, 2005)
Pada tuturan di atas terlihat bahwa tuturan Bapak A meminimalkan
keuntungan sendiri dengan memberikan olinya kepada Bapak B. Gotong royong dan
kerja sama dapat dianggap sebagai realisasi maksim kedermawanan atau maksim
kemurahan hati dalam kehidupan masyarakat (Rahardi, 2005).
3) Maksim Penerimaan (Approbation maxim)
Approbation maxim: Minimize praise of self. Maximize dispraise of self
(Leech, 1983).
18
Maksim penghargaan: Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi pujian pada
orang lain (Tarigan dalam Rahardi, 2005).
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap
santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada
pihak lain (Rahardi, 2005). Dengan kata lain, seorang penutur wajib meminimalkan
rasa tidak hormat pada orang lain dan memaksimalkan rasa hormat pada orang lain.
Berikut contoh ujarannya:
Dosen A : “Pak, saya tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Business English.”
Dosen B : “Oya, tadi saya mendengar bahasa Inggris Anda jelas sekali
dari sini.”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen
dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.
(Rahardi, 2005)
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya, dosen B pada
contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau
penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam
tuturan dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.
4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Modesty maxim: Minimize praise of self. Maximize dispraise of self (Leech,
1983)
Maksim kesederhanaan: Kurangi pujian pada diri sendiri. Tambahi cacian
pada diri sendiri (Tarigan dalam Rahardi, 2005)
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan mengurangi pujian terhadap dirinya
sendiri (Rahardi, 2005). Selengkapnya Rahardi (2005) menjelaskan bahwa orang
19
dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu
memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya
Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter
penilaian kesantunan seseorang. Berikut contoh tuturannya.
Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!
Anda yang memimpin!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang Ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya sesama
anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke
tempat pertemuan.
(Rahardi, 2005)
5) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Agreement maxim: Minimize disagreement between self and other. Maximize
agreement between self and other (Leech, 1983)
Maksim permufakatan: Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan
orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
(Tarigan dalam Rahardi, 2005)
Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana
dalam Rahardi, 2005). Hal yang mendasar pada maksim ini adalah para peserta tutur
dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap
santun. Contoh tuturan berikut ini dapat digunakan untuk mengilustrasikan
pernyataan tersebut.
Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B : “He..eh! Saklarnya mana, ya?”
20
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada
saat mereka berada di ruang guru.
(Rahardi, 2005)
Pada tuturan di atas terlihat bahwa Guru A meminimalkan ketidaksetujuan
pada Guru B dan memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dengan ujaran
pendukung Saklarnya mana, ya?
6) Maksim Kesimpatisan (Sympathy Maxim)
Sympathy maxim: Minimize antiphaty between self and other. Maximize
symphaty between self and other (Leech, 1983)
Maksim simpati: Kurangi antipasti antara diri sendiri dengan orang lain.
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain (Tarigan dalam Rahardi,
2005)
Rahardi menjelaskan bahwa di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar
para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan
pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap
sebagai tindakan tidak santun. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukkan
dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Contoh tuturan
berikut ini dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Ani : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalilahiwainnailahi rojiun. Ikut berduka cita.”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah sangat
akrab pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.
(Rahardi, 2005)
21
Pada tuturan di atas terlihat bahwa Tuti meminimalkan rasa antipati dan
memaksimalkan rasa simpati pada Ani setelah mendengar kabar neneknya
meninggal.
Keenam maksim di atas terpusat pada keharusan untuk memaksimalkan
keuntungan mitra tutur dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Leech
(1983:139) berpendapat bahwa kesantunan tidak saja dimanifestasikan melalui isi
percakapan, tetapi dimanifestasikan juga melalui bagaimana suatu percakapan
dilakukan dan diatur oleh peserta tutur. Misalnya menyela percakapan atau berbicara
pada waktu yang salah dianggap perilaku tidak santun, atau diam saja dalam suatu
percakapan juga dianggap tidak santun. Topik percakapan juga patut untuk
dipertimbangkan karena menurut Leech (1983:147), penutur lebih suka berbicara
mengenai topik yang menyenangkan dibandingkan dengan topik yang tidak
menyenangkan.
2.3.1.2 Skala Kesantunan
Pada model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal tersebut
dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan (Rahardi,
2005). Berikut skala kesantunan dari Leech (1983) yang dijelaskan oleh Rahardi
(2005) dalam bukunya.
1) Cost-Benefit Scale; Representing the cost or benefit of an act to speaker and
hearer (Leech, 1983).
22
Disebut juga dengan skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada
sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin
dianggap santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin dianggap tidak
santunlah tuturan tersebut.
2) Optionality Scale; Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or
hearer by a specific linguistic act (Leech, 1983).
Disebut juga dengan skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya
pilihan (options) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan
bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan
pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan
memilih bagi penutur dan mitra tutur, maka tuturan tersebut akan dianggap tidak
santun.
3) Indirectness Scale; Indicating the amount of inferencing requiredof the hearer
in order to establish the intended speaker meaning (Leech, 1983).
Disebut juga skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung
atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung
akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Demikan sebaliknya,
23
semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santun
tuturan tersebut.
4) Authority Scale; Representing the status relationship between speaker and
hearer (Leech, 1983).
Disebut juga dengan skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh
jarak peringkat sosial (rank rating) antara pentur dengan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak
peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat
kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertuturan.
5) Social Distance Scale; Indicating the degree of familiarity between speaker
and hearer (Leech, 1983).
Disebut juga dengan skala jarak sosial, skala ini menunjuk kepada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan.
Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya,
akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya,
semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, aka semakin
santunlah tuturan yang digunakan. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban
hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan
tuturan yang digunakan dalam bertutur.
24
2.3.2 Teori Sosiolinguistik
Bagian dari teori sosiolinguistik yang digunakan pada penelitian ini adalah
fitur-fitur bahasa perempuan. Pada sosiolinguistik bahasa perempuan merupakan
bagian dari bahasa dan gender. Fitur-fitur bahasa perempuan dari Lakoff (1975)
digunakan sebagai acuan bagaimana karakteristik bahasa perempuan tersebut.
2.3.2.1 Fitur-Fitur Bahasa Perempuan
Menurut Lakoff (1975) bahasa perempuan dapat dicirikan oleh fitur linguistik
di bawah ini:
a) Penggunaan lexical hedges atau fillers: Hal ini digunakan ketika
pembicara tidak pasti tentang apa yang dia katakan, seperti saya kira, saya
rasa, saya pikir, semacam, sejenis, dan seterusnya.
b) Tag questions: Perempuan biasanya merasa tidak pasti tentang banyak hal.
Oleh karena itu, mereka menggunakan tag questions untuk menyatakan
klaim, tetapi memiliki kekurangan kepercayaan diri untuk mengatakan hal
itu. Seperti contoh "Dia sangat murah hati, bukan?"
c) Meningkatnya intonasi pada kalimat deklaratif: fitur ini bisa menjadi
tanda bahwa perempuan jauh lebih santun daripada laki-laki. Dengan
memiliki intonasi naik seperti pertanyaan benar-salah pada jawaban
deklaratif, perempuan mencoba untuk meninggalkan keputusan terbuka
dan tidak mencoba untuk mengklaim siapa pun atau bahkan memaksakan
25
pikiran seseorang. Misalnya, ketika seseorang menanyakan “Kapan makan
malam akan siap?”, kemudian penutur perempuan menjawab dengan
kalimat deklaratif dengan intonasi naik di akhir kalimat, “Oh… sekitar
jam enam?”.
d) Empty adjectives: Ada beberapa kata sifat yang digunakan untuk
menunjukkan bahwa pembicara mengagumi sesuatu. Sebenarnya, baik
laki-laki maupun perempuan dapat menggunakannya, tetapi tampaknya
lebih sering digunakan oleh perempuan. Empty adjectives hanya
menyangkut reaksi emosional daripada informasi spesifik.
e) Penggunaan istilah warna yang tepat: Perempuan dapat membuat
penamaan yang jauh lebih tepat untuk istilah-istilah warna daripada laki-
laki. Seperti beige (abu-abu kekuningan), lavender (ungu kebiruan),
maroon (coklat tua kemerahan), dan lain sebagainya.
f) Penggunaan intensifier: Intensifier sebenarnya dapat digunakan oleh laki-
laki atau perempuan, tetapi perempuan lebih sering menggunakannya .
Misalnya "Saya sangat mengagumi anak laki-laki yang tinggi itu".
"Sangat" dalam kalimat itu menunjukkan bahwa pembicara benar-benar
mengagumi anak laki-laki tinggi itu.
g) Penggunaan tata bahasa yang sesuai: Dalam pembicaraan, perempuan
biasanya menggunakan kata-kata dan tata bahasa yang benar dan tepat.
Sebab, dari sudut pandang perempuan, cara mereka berbicara menentukan
26
status sosial mereka di masyarakat. Mereka biasanya konsisten dengan
bentuk kata kerja standar.
h) Bentuk yang sangat santun : Karena mereka konsisten untuk
menggunakan bentuk kata kerja standar, seperti yang dijelaskan pada fitur
penggunaan tata bahasa yang sesuai, hal itu berdampak pada kesantunan
yang diucapkan oleh perempuan. Selain itu, dalam masyarakat, diketahui
bahwa perempuan jauh lebih positif daripada laki-laki. Kesantunan yang
diucapkan oleh perempuan seperti mengucapkan terima kasih, tolong,
penggunaan permintaan tidak langsung, dan sebagainya .
i) Menghindari menggunakan kata-kata umpatan yang kuat : Perempuan bisa
dikatakan selektif dalam memilih kata-kata, maka kata-kata umpatan yang
kuat dihindari. Hal ini dapat membuktikan negative stereotype bahwa
perempuan lebih lemah daripada laki-laki
j) Penggunaan emphatic stress: Perempuan cenderung menggunakan kata-
kata yang memberikan penekanan terhadap tuturannya untuk memperkuat
makna dari sebuah tuturan. Sebagai contoh, “Ini adalah berlian MAHAL.”
Maka pada tuturan ini benar-benar ingin menyampaikan bahwa berliannya
mempunyai harga yang tinggi atau sangat mahal.
27
2.3.3 Teori Linguistik Normatif Bahasa Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,
2008), normatif merupakan suatu hal yang berpegang teguh pada norma atau kaidah
yang berlaku. Teori linguistik normatif yang dimaksud di sini adalah tata bahasa yang
sesuai dengan kaidah. Teori linguistik normatif bahasa Indonesia yang digunakan
pada penelitian ini berupa santuan lingual dalam bahasa Indonesia dari Alwi (1998).
Penelitian ini terfokus pada analisis gramatikal pada tataran kata dan tataran kalimat.
Analisis gramatikal pada tataran kata bertujuan untuk mengetahui proses afiksasi apa
saja yang digunakan oleh tokoh perempuan pada tuturannya dan analisis tataran
kalimat bertujuan untuk mengetahui jenis kalimat apa saja yang digunakan oleh tokoh
perempuan pada tuturannya. Pada analisis gramatikal tataran kata ini lebih terfokus
pada verba karena menurut Alwi (1998: 99) verba merupakan kategori kata
terpenting dalam suatu kalimat dan verba juga dapat mempengaruhi keformalan
bahasa.
Menurut Alwi (1998: 102–106), bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai
dua macam bentuk verba, yakni verba asal dan verba turunan.
(1) Verba asal merupakan verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam
konteks sintaksis.
(2) Verba turunan merupakan verba yang harus atau dapat memakai afiks,
28
bergantung pada tingkat kerformalan bahasa dan/atau pada posisi
sintaksisnya. Verba turunan dibagi lagi menjadi tiga subkelompok, yakni (a)
verba yang dasarnya adalah dasar bebas, tetapi memerlukan afiks supaya
dapat berfungsi sebagai verba, (b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas
yang dapat pula memiliki afiks, (c) verba yang dasarnya adalah dasar terikat.
Selain ketiga subkelompok verba turunan itu, ada juga verba turunan yang
berbentuk kata berulang dan kata majemuk.
2.3.3.1 Proses Afiksasi Verba
Terdapat empat macam afiks atau imbuhan yang dipakai pada proses afiksasi
(salah satu proses penurunan verba), yaitu prefiks, sufiks, konfiks, dan infiks (Alwi,
1998:106). Prefiks, yang sering disebut dengan “awalan”, adalah afiks yang
diletakkan di muka dasar. Sufiks (akhiran) diletakkan di belakang dasar. Konfiks
adalah gabungan prefiks dan sufiks yang mengapit dasar dan membentuk satu
kesatuan. Sedangkan infiks (sisipan) adalah bentuk afiks yang di tempatkan di tengah
dasar. Pada penelitian ini tidak menganalisis infiks karena menurut Alwi (1998),
infiks sudah tidak terlalu produktif penggunaannya.
Berikut pemaparan teori tentang penggabungan prefiks dan sufiks pada verba.
Menurut Alwi (1998: 111) pada dasarnya prefiks dapat bergabung dengan sufiks.
29
Namun, dalam kenyataannya tidak sembarang prefiks dapat bergabung dengan
sembarang sufiks. Penggabungan sufiks dan prefiks pada dasar yang ditambahkan
secara bertahap biasanya disebut mendapatkan afiks gabungan, sementara dasar yang
mendapatkan sufiks dan prefiks secara bersamaan dan membentuk satu kesatuan
disebut dengan konfiks.
Prefiks Sufiks
meng- -kan
per-
ber- -i
ter-
di-
ke- -an
Bagan 1. Penggabungan Prefiks dan Sufiks (Alwi, 1998)
Dari bagan di atas dapgat dijelaskan bahwa dalam pembentukan verba bahasa
Indonesia, (a) prefiks ke- tidak dapat bergabung dengan –kan atau –i, kecuali untuk
kata “ketahui”, (b) meng-, per-, ter-, dan di-tidak dapat bergabung dengan –an, (c)
ber- tidak dapat bergabung dengan –i, dan (d) ke- hanya dapat bergabung dengan –an
dan –i.
30
a) Prefiks meng-
Menurut Alwi (1998), tedapat delapan kaidah morfofonemik untuk prefiks
meng-. Kaidah morfofonemik (1) – (5) tidak berlaku untuk dasar yang bersuku satu,
yang dicakup pada kaidah (6). Kaidah (7) berlaku untuk sejumlah dasar asing dan
kaidah (8) memberikan pada reduplikasi yang berprefiks meng-.
1) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /a/, /i/, /u/, /e/,
o/, /ə/, /k/, /g/, /h/, atau /x/, bentuk meng- tetap meng- /məŋ-/
2) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /l/, /m/, /n/, /n/,
/ŋ/, /r/, /y/, atau /w/, bentuk meng- berubah menjadi me-
3) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /d/ atau /t/,
bentuk meng- berubah menjadi men- /mən-/
4) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/, /p/, atau /f/,
bentuk meng- berubah menjadi mem- /məm-/
5) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /j/, /s/, dan
/š/, bentuk meng- berubah menjadi meny- /mən/. Di dalam ejaan yang
dibakukan, bentuk meny- yang bergabung dengan huruf <c>, <j>, dan
<sy> pada awal dasar disederhanakan menjadi men-.
6) Jika ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuk meng- berubah
menjadi menge- /məŋə/. Selain itu, ada bentuk yang tidak baku, yaitu
yang mengikuti pola (a) – (e) di atas tanpa adanya peluluhan.
31
7) Kata-kata yang berasal dari bahasa asing diperlakukan berbeda-beda,
bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita dipakai.
Jika dirasakan masih relatif baru, proses peluluhan di atas tidak berlaku.
Hanya kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa
meng- di depan dasar asing yang dimulai dengan /s/ menjadi men-. Jika
dasar itu dirasakan tidak asing lagi, perubahan morfofonemik mengikuti
kaidah yang umum.
8) Jika verba yang berdasar tunggal direduplikasi, dasarnya diulangi dengan
mempertahankan peluluhan konsonan pertamanya. Dasar yang bersuku
satu mempertahankan unsur nge- di depan dasar yang direduplikasi.
Sufiks (jika ada) tidak ikut direduplikasi.
b) Prefiks per-
Terdapat tiga kaidah morfofonemik untuk prefiks per-.
1) Prefiks per- berubah menjadi pe- apabila ditambahkan pada dasar yang
dimulai dengan fonem /r/ atau dasar yang suku pertamanya berakhir dengan
/ər/.
2) Prefiks per- berubah menjadi pel- apabila ditambahkan pada bentuk dasar
ajar.
3) Prefiks per- tidak mengalami perubahan bentuk bila bergabung dengan dasar
lain di lar kaidah (1) dan (2) di atas.
32
c) Prefiks ber-
Terdapat empat kaidah morfofonemik untuk prefiks ber-
1) Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai
dengan fonem /r/. Sebagaimana prefiks per-, dalam proses afiksasi ber- pun
yang terjadi adalah penghilangan fonem /r/, dengan demikian, hanya terdapat
satu r.
2) Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang suku
pertamanya berakhir dengan /ər/.
3) Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika ditambahkan pada dasar tertentu.
4) Prefiks ber- tidak berubah bentuknya bila digabungkan dengan dasar di luar
kaidah (1) – (3) di atas.
d) Prefiks ter-
Terdapat kaidah morfofonemik untuk prefiks ter-
1) Prefiks ter- berubah menjadi te- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai
dengan fonem /r/. Sama halnya dengan afiksasi per- dan ber-, ter- juga
kehilangan fonem /r/ sehingga hanya ada satu r.
2) Jika suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi /ər/, fonem /r/ pada
prefiks ter- ada yang muncul dan ada pula yang tidak.
3) Di luar kedua kaidah di atas, ter- tidak berubah bentuknya
33
e) Prefiks di-
Digabung dengan dasar apa pun, prefiks di- tidak mengalami perubahan
bentuk. Namun perlu dicatat bahwa di- sebagai prefiks harus dibedakan dengan di
sebagai preposisi. Jika di diikuti oleh kata yang menunjukkan tempat, penulisannya
dipisah.
f) Sufiks –kan
Sufiks –kan tidak mengalami perubahan apabila ditambahkan pada dasar kata
apa pun. Sufiks –kan seringkali dikacaukan dengan sufiks –an yang dasar katanya
kebetulan berakhir dengan fonem /k/.
g) Sufiks –i
Seperti halnya dengan –kan, sufiks –i juga tidak mengalami perubahan jika
ditambahkan pada dasar kata apa pun. Hanya saja perlu diingat bahwa kata dasar
yang berakhir dengan fonem /i/ tidak dapat diikuti oleh sufiks –i. Dengan demikian,
tidak ada kata seperti memberii, mengirii, ataupun mengisii.
h) Sufiks –an
Sufiks –an tidak mengalami perubahan bentuk jika digabungkan dengan dasar
kata apa pun. Jika fonem terakhir suatu dasar adalah /a/, dalam tulisan fonem tersebut
dijejerkan dengan sufiks –an.
34
2.3.3.2 Kalimat Berdasarkan Hubungan Antarklausa
Sebuah kalimat dapat mengandung satu klausa atau lebih. Hubungan yang
terdapat antara satu klausa dengan klausa yang lain di dalam kalimat majemuk setara
atau beringkat dapat ditandai dengan kehadiran konjungtor (kata hubung) pada awal
salah satu klausa tersebut. Hubungan antarklausa dapat dibagi menjadi dua yaitu
hubungan koordinasi dan subordinasi.
Koordinasi menggabungkan dua klausa atau lebih yang masing-masing
mempunyai kedudukan yang setara dalam struktur konstituen kalimat. Hubungan
antara klausa-klausanya tidak menyangkut satuan yang membentuk hierarki karena
klausa yang satu bukanlah konstituen dari klausa yang lain. Konjungtor yang
digunakan dalam hubungan koordinasi meliputi dan, atau, tetapi, serta, lalu,
kemudian, lagipula, hanya, padahal, sedangkan, baik … maupun …, tidak …
tetapi…, dan bukan(nya)… melainkan….
Subordinasi menggabungkan dua klausa atau lebih sehingga terbukti kalimat
majemuk yang salah satu klausanya menjadi bagian dari klausa yang lain. Dalam
kalimat majemuk yang disusun melalui cara yang subordinatif terdapat klausa yang
berfungsi sebagai konstituen klausa yang lain. Oleh karena itu, kalimat majemuk
yang disusun dengan cara subordinatif disebut dengan kalimat majemuk bertingkat.
Konjungtor yang digunakan dalam hubungan subordinasi meliputi bahwa, apakah
(atau tidak), di mana, setelah, sesudah, sebelum, sehabis, sejak, selesai, ketika,
tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama, sehingga, sampai, jika,
35
kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala, andaikan, seandainya, andaikata,
sekiranya, agar, supaya, biar, biar(pun), meski(pun), sungguhpun, sekalipun,
walau(pun), kendati(pun), seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, sebagai,
bagaikan, laksana, daripada, alih-alih, ibarat, sebab, karena, oleh karena, sehingga,
sampai(-sampai), dengan, tanpa.
2.3.3.3 Kalimat Berdasarkan Bentuk Sintaksis
Berdasarkan bentuk atau kategori sintaksisnya, kalimat lazim dibagi atas
kalimat deklaratif atau kalimat berita, kalimat imperatif atau kalimat perintah, kalimat
interogatif atau kalimat tanya, dan kalimat ekslamatif atau kalimat seru (Alwi, 1998:
344).
a. Kalimat deklaratif, yang juga dikenal dengan nama kalimat berita dalam
buku-buku tata bahasa Indonesia, secara formal, jika dibandingkan dengan
ketiga jenis kalimat yang lainnya, tidak bermarkah khusus. Dalam bentuk
tulisnya, kalimat berita dengan tanda titik, sedangkan dalam bentuk lisan,
suara berakhir dengan nada turun.
b. Kalimat imperatif atau kalimat perintah (suruhan) memiliki cirri formal
berupa intonasi yang ditandai nada rendah di akhir tuturan, pemakaian
partikel penegas, penghalus, dan kata tugas ajakan, harapan, permohonan, dan
larangan. Di samping itu, susunannya inversi sehingga urutannya menjadi
36
tidak selalu terungkap predikat-subjek jika diperlukan dan pelaku tindakan
tidak selalu terungkap.
c. Kalimat interogatif yang juga dikenal dengan nama kalimat tanya, secara
formal ditandai oleh kehadiran kata tanya seperti apa, siapa, berapa, kapan,
dan bagaimana dengan atau tanpa partikel kah sebagai penegas. Kalimat
interogatif diakhiri dengan tanda tanya (?) pada bahasa tulis dan pada bahasa
lisan dengan suara naik, terutama juka tidak ada kata tanya.
d. Kalimat ekslamatif yang juga dikenal dengan nama kalimat seru, secara
formal ditandai oleh kata alangkah, betapa, atau bukan main pada kalimat
berpredikat adjektival. Kalimat ekslamatif ini, yang juga dinamakan kalimat
interjeksi biasa digunakan untuk menyatakan perasaan kagum atau heran.
37
2.4 Model Penelitian
Novel Tempurung
Ujaran Tokoh Perempuan
Analisis Satuan
Lingual Ujaran
Tokoh Perempuan
Analisis Tingkat
Kesantunan Ujaran
Tokoh Perempuan
Analisis Faktor-
Faktor Pelanggaran
atau Menaati
Prinsip Kesantunan
Berbahasa
Prinsip Kesantunan Skala Kesantunan
Teori Linguistik
Normatif Bahasa
Indonesia
Teori Pragmatik
Hasil Penelitian
Bagan 2. Model Penelitian
38
Penelitian tentang perilaku bahasa perempuan dalam novel Tempurung karya
Oka Rusmini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pada dasarnya,
penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan
pendekatan kuantitatif sebagai pendukung persentase kesantunan bahasa tokoh
perempuan pada sumber data saja, sementara deskripsi penjelasannya tetap bertumpu
pada pendekatan kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah sebuah novel
karya Oka Rusmini yang berjudul Tempurung dan ujaran-ujaran bahasa perempuan
dari tokoh perempuan pada novel tersebut dijadikan data. Masalah yang diteliti pada
penelitian ini adalah (1) ciri-ciri satuan lingual yang digunakan oleh tokoh perempuan
dianalisis dengan menerapkan teori linguistik normatif bahasa Indonesia dari Alwi
(1998), (2) tingkat kesantunan penggunaan bahasa perempuan pada tokoh perempuan
dalam novel Tempurung yang menerapkan prinsip kesantunan dari Leech (1983)
dengan keenam maksimnya, dan (3) faktor-faktor yang mendorong tokoh perempuan
melakukan pelanggaran dan menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang
dianalisis dengan skala kesantunan dari Leech (1983). Hasil yang diharapkan pada
penelitian ini adalah pengetahuan tentang bagaimana ciri-ciri satuan lingual bahasa
perempuan yang digunakan tokoh perempuan pada novel Tempurung, tingkat
kesantunan penggunaan bahasa perempuan pada tokoh perempuan dalam novel
Tempurung, dan faktor-faktor apa saja yang mendorong tokoh perempuan melakukan
pelanggaran dan menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa.