BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 … II.pdf · Teori keagenan merupakan suatu...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 … II.pdf · Teori keagenan merupakan suatu...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Agency Theory merupakan suatu perspektif yang sering digunakan dalam
memahami hubungan tata kelola dalam suatu organisasi atau perusahaan. Pada
dasarnya dalam membangun sebuah perusahaan, semua insan yang terlibat dalam
perusahaan tersebut kiranya memiliki tujuan yang sama dalam menyelaraskan visi
dan misi perusahaan. Namun, seringkali terdapat perbedaan pendapat cara mencapai
tujuan tersebut yang melibatkan kepentingan masing-masing pihak. Perbedaan cara
yang dimiliki oleh manajer dan investor menimbulkan adanya persaingan yang
berujung dengan memaksimalkan kekayaan saham masing-masing. Sebagai pihak
yang ditunjuk oleh perusahaan, manajemen didelegasikan untuk membuat keputusan
– keputusan yang berkaitan dengan saham yang ditunjukkan oleh perusahaan.
Teori keagenan merupakan suatu pemahaman yang menjadi dasar antara
keterkaitan Good Corporate Governance dengan Earnings Management. Teori
keagenan merupakan suatu teori ekonomi yang melatarbelakangi adanya perbedaan
konflik kepentingan dalam perusahaan atau organisasi. Menurut Siallagan dan dan
Machfoedz (2006) adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dengan
pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik
2
keagenan diantara principal dengan agen. Menurut Jensen and Meckling (1976), teori
keagenan adalah teori yang menjelaskan agency relationship dan masalah-masalah
yang ditimbulkannya. Agency relationship adalah hubungan yang terjadi antara
principal dan agent dalam bertransaksi dengan pihak ke tiga. Principal yang
dimaksud dalam agency theory adalah pemegang saham, sedangkan agent yang
dimaksud adalah pihak manajemen.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa
teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari resiko (risk averse). Konflik keagenan terjadi ketika tujuan yang
diharapkan oleh manajer perusahaan tidak sesuai dengan kepentingan pemegang
saham. Menurut Nariastiti (2014) Pemegang saham mengharapkan pendapatan
(dividen) yang maksimal atas dana yang mereka investasikan. Pihak manajemen lebih
mementingkan aktivitas operasional perusahaan dengan tidak membagikan dividen
dan mengalokasikannya sebagai laba ditahan.
Kesinambungan hubungan yang terjalin antara pemegang saham dan
manajer perusahaan akan mempengaruhi kebijakan yang akan digunakan dijalankan
dalam perusahaan. Agent memiliki informasi mengenai perusahaan secara
keseluruhan, tidak seperti halnya dengan principal yang tidak memiliki informasi
yang cukup memadahi tentang perusahaan. Adanya hal inilah dapat menyebabkan
3
terjadinya ketidakseimbangan informasi. Asimetri informasi akan terjadi apabila
kedua belah pihak tidak memiliki jumlah informasi yang sepadan atau seharusnya.
2.1.2 Asimetri Informasi
Laporan keuangan dibuat guna memenuhi kepentingan-kepentingan untuk
pihak internal perusahaan dan pihak eksternal. Pihak internal yang dimaksud terdiri
dari karyawan, manajer dan yang lainnya. Pihak eksternal yang dimaksud terdiri dari
pemegang saham, kreditor, masyarakat umum dan yang lainnya. Pihak internal
perusahaan tentunya lebih mengetahui kondisi keuangan dan hal-hal apa saja yang
sedang berlangsung didalam perusahaan. Salah satu permasalahan yang sering terjadi
antara pihak agent dan principal adalah adanya asimetri informasi.
Van Niekerk dan Maharaj (2011) mendefinisikan konflik asimetris dimana hal
tersebut merupakan sebuah konflik yang salah satu pesertanya memiliki keunggulan
besar atas suatu aspek dari yang lainnya. Manajer memiliki informasi pribadi tentang
perusahaan dan pendapatan saat ini sedangkan pemegang saham tidak memiliki
potensi tersebut (Richardson, 2000). Adanya kesenjangan informasi yang terjadi
diantara kedua belah pihak mendorong pihak manajemen untuk melakukan tindakan
oportunis yang akan memberikan utilitas bagi dirinya. Selain itu, pihak manajemen
hanya akan mengungkapkan informasi yang dianggap memberikan keuntungan bagi
dirinya, namun jika informasi tersebut tidak memberikan manfaat baginya maka
informasi tersebut tidak akan diungkapkan.
4
Menurut Algifari (2012) dalam Lestiyana (2014) asimetri informasi terbagi
menjadi 2 tipe, yaitu:
1) Adverse selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih
yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau
transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain.
2) Moral hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang
melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi
usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian
transaksi-transaksi mereka, sedangkan pihak-pihak lainnya tidak.
2.1.3 Manajemen Laba
Laba adalah bagian utama dari laporan keuangan dan merupakan pengungkapan
tambahan yang digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi
seberapa baik manajemen melaksanakan tugas dan pelayanannya (Randall et al,
2007). Setiawati (2002) dalam (Welvin dan Arleen, 2010) menyatakan manajemen
laba sebagai campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal
dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri (manajer). Manajemen laba mungkin
timbul dari dua kesulitan pengendalian terkait yakni asimetri informasi dan masalah
lembaga, yang terjadi ketika kepemilikan ekuitas dipisahkan dari hari ke hari oleh
operasi korporasi (Beatty dan David, 1998).
5
Tindakan manajemen laba didasari oleh adanya perilaku oportunis. Bentuk
tindakan oportunis yang dilakukan pihak agen (management) adalah memaksimalkan
utilitasnya. Bentuk dari tindakan oportunis tersebut adalah direkayasanya pembuatan
laporan keuangan. Tindakan rekayasa yang dilakukan bisa berupa menaikkan laba
dan menurunkan laba. Menurut Lestiyana (2014) Jenis-jenis transaksi akrual adalah
sebagai berikut:
1) Discretionary
Transaksi discretionary memberikan kebebasan kepada manajemen menentukan
jumlah transaksi akrual secara fleksibel.
2) Non discretionary
Transaksi dicatat menggunakan satu prosedur, apabila prosedur tersebut terpilih,
maka manajemen konsisten dalam menggunakan prosedur tersebut.
Adanya tindakan manajemen laba membuat pengungkapan laporan keuangan
yang ada tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya. Apabila dilihat dari kualitasnya
maka laporan keuangan yang telah dimanipulasi tidak menunjukkan keadaan yang
sebenarnya. Isi dari laporan keuangan tersebut lebih mencerminkan hal-hal yang
ingin ditonjolkan oleh pihak manajemen dari pada kepentingan bersama. Menurut
Wisnumurti (2010) Hal ini tidaklah aneh karena tingkat keuntungan atau laba yang
diperoleh sering dikaitkan dengan prestasi manajemen disamping memang adalah
suatu hal yang lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer
tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh perusahaan.
6
Menurut Scott (2010) terdapat beberapa pola dalam manajemen laba, yaitu:
a) Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat pengangkatan CEO baru dengan cara
melaporkan kerugian dalam jumlah besar yang diharapkan dapat
meningkatkan laba di masa datang.
b) Income Minimization
Pola ini dilakukan pada saat perusahaan memiliki tingkat profitabilitas
yang tinggi sehingga jika laba pada masa mendatang diperkirakan turun
drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
c) Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun bertujuan untuk melaporkan net
income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar.
d) Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada
umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Setiawati dan Na’im (2000) dalam Wisnumurti (2010) menyatakan teknik
dan pola manajemen laba dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu:
1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap
estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun
7
waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya
garansi, dan lain-lain.
2) Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akunatansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi,
contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka
tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3) Menggeser periode biaya atau pendapatan.
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain:
mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai
pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengeluaran promosi
sampai periode berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke
pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.
2.1.4 Good Corporate Governance
GCG merupakan suatu perspektif yang paling sering digunakan untuk
menilai asimetri informasi pada manajemen laba. Menurut definisi Gabrielle O
'Donovan dalam Man (2013) tata kelola perusahaan merupakan sebuah sistem
internal meliputi kebijakan, proses, dan orang-orang yang melayani kebutuhan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya dengan mengarahkan dan
mengendalikan kegiatan manajemen melalui praktek bisnis yang baik, objektivitas,
dan integritas. Menurut Ongore dan Peter (2011) peran tata kelola perusahaan dalam
suatu perekonomian tidak dapat disangkal. Menurut FCGI (Forum For Corporate
8
Governance in Indonesia) dengan menerapkan GCG ke perusahaan, ada beberapa
manfaat yang bisa diperoleh. Manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut:
1) Mudah untuk meningkatkan modal
2) Menurunkan biaya modal
3) Peningkatan kinerja bisnis dan kinerja ekonomi yang membaik
4) Baik berdampak pada harga saham (Karena situasi Indonesia saat ini, privatisasi
Badan Usaha Milik Negara dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap
anggaran negara)
GCG memiliki prinsip-prinsip serta mekanisme yang mampu mengatur dan
menjadi batasan perusahaan dalam melakukan tata kelola. Tata kelola perusahaan
yang baik akan membuat kinerja dan nilai perusahaan yang meningkat. Penerapan
tata kelola yang baik dan mengikuti prinsip yang ada diharapkan mampu
meminimalisir terjadinya asimetri informasi yang berujung pada tindakan manajemen
laba. Penerapan GCG yang dilakukan dengan konsisten diharapkan mampu
menciptakan suasana yang baik sehingga dapat dijadikan landasan dalam
menjalankan kegiatan operasional perusahaan yang efisien kedepannya.
Menurut pedoman Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG
(2006) terdapat 5 asas Good Corporate Governance yang diperlukan untuk mencapai
kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku
kepentingan (stakeholders). Adapun kelima asas tersebut terdiri dari :
9
1) Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang
disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting
untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku
kepentingan lainnya.
2) Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan
dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan
prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3) Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai
good corporate citizen.
10
4) Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan
asas kewajaran dan kesetaraan.
CGPI adalah program riset dan pemeringkatan penerapan tata kelola
perusahaan yang baik di Indonesia pada perusahaan publik yang diselenggarakan oleh
IICG (Nuswandari,2009). CGPI merupakan sebuah program yang didesain untuk
melakukan pemeringkatan mengenai penerapan tata kelola perusahaan publik oleh
IICG. Pemeringkatan tata kelola perusahaan memusatkan perhatian pada unsur-unsur
dari tata kelola perusahaan (Hermanson, 2004). Pemeringkatan CGPI dilakukan
sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas penerapan prinsip-prinsip GCG oleh
perusahaan- perusahan publik di Indonesia. Melalui program ini IICG berusaha
untuk meninjau sejauh mana perusahaan menerapkan GCG. Adapun manfaat
penggunaan CGPI menurut IICG adalah :
a) Penataan organisasi perusahaan yang belum sesuai dan belum mendukung
terwujudnya GCG
b) Peningkatan kesadaran dan komitmen bersama dari internal perusahaan dan
stakeholder terhadap penerapan GCG
11
c) Pemetaan masalah-masalah strategis dalam praktik GCG
d) Alternatif perbaikan indikator atau standar mutu pencapaian kualitas CG
2.2Rumusan Hipotesis
2.2.1 Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Manajemen Laba
Asimetri informasi merupakan salah satu permasalahan yang terjadi antara agen
dan prinsipal. Asimetri informasi terjadi karena karena adanya ketimpangan
informasi yang tidak merata antara pihak yang satu dan yang lainnya. Tindakan
oportunis seperti ini dapat dijadikan peluang oleh manajemen untuk mencapai
tujuannya tersendiri. Asimetri antara manajemen dan pemilik memberikan
kesempatan pada manajer untuk melakukan earnings management untuk
meningkatkan nilai perusahaan pada saat tertentu sehingga dapat menyesatkan
pemilik (pemegang saham) mengenai nilai perusahaan sebenarnya (Herawaty,2008).
Asimetri informasi dianggap sebagai salah satu pendorong terjadinya
manajemen laba. Asimetri informasi menyebabkan pihak agen (manajemen) lebih
mengetahui informasi mengenai perusahaan. Terlihat bahwa asimetri informasi
dengan manajemen laba berhubungan positif, yang berarti semakin besar asimetri
informasi maka semakin besar dorongan bagi manajer untuk melakukan manajemen
laba (Maiyusti, 2014).
Penelitian mengenai asimetri informasi dan manajemen laba telah dilakukan
oleh Muliati (2011) dimana Asimetri informasi berpengaruh positif pada praktik
manajemen laba. Hasil penelitian beliau serupa dengan hasil penelitian yang
12
dilakukan oleh Nariastiti (2014) yang menunjukkan bahwa asimetri informasi
memiliki pengaruh secara positif signifikan terhadap manajemen laba.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2013) bahwa
asimetri informasi yang diukur dengan Bid-Ask Spread tidak berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba. Penelitian mengenai asimetri informasi terhadap
manajemen laba juga dilakukan oleh Lestiyana (2014) dengan hasil Asimetri
informasi tidak berpengaruh signifikan positif terhadap manajemen laba pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
H1: Asimetri Informasi berpengaruh pada manajemen laba
2.2.2 Good Corporate Governance Memoderasi Hubungan Antara Asimetri
Informasi Pada Manajemen Laba
GCG merupakan suatu perspektif yang paling sering digunakan untuk
menilai asimetri informasi pada manajemen laba. Menurut Ongore dan Peter (2011)
peran tata kelola perusahaan dalam suatu perekonomian tidak dapat disangkal.
Menurut Monks (2003) dalam Kaihatu (2006) Good Corporate Governance (GCG)
secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.
GCG memiliki prinsip-prinsip serta mekanisme yang mampu mengatur dan
menjadi batasan perusahaan dalam melakukan tata kelola. Tata kelola perusahaan
yang baik akan membuat kinerja dan nilai perusahaan yang meningkat. Penerapan
tata kelola yang baik dan mengikuti prinsip yang ada diharapkan mampu
13
meminimalisir terjadinya asimetri informasi yang berujung pada tindakan manajemen
laba. Penerapan GCG yang dilakukan dengan konsisten diharapkan mampu
menciptakan suasana yang baik sehingga dapat dijadikan landasan dalam
menjalankan kegiatan operasional perusahaan yang efisien kedepannya.
CGPI adalah program riset dan pemeringkatan penerapan tata kelola
perusahaan yang baik di Indonesia pada perusahaan publik yang diselenggarakan oleh
IICG (Nuswandari,2009). CGPI merupakan sebuah program yang didesain untuk
melakukan pemeringkatan mengenai penerapan tata kelola perusahaan publik oleh
IICG. Pemeringkatan CGPI dilakukan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas
penerapan prinsip-prinsip GCG oleh perusahaan- perusahan publik di Indonesia.
Melalui program ini IICG berusaha untuk meninjau sejauh mana perusahaan
menerapkan GCG.
H2: GCG memoderasi hubungan asimetri informasi pada manajemen laba.