BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya...
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri
penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai
acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya
Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009. Skripsi tersebut
menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut
perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada
perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya
yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik
penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di
Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap
pendidikan di sekolah.
Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut,
Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di
12
kalangan mahasiswa, turut mengharumkan almamater Universitas Sebelas Maret
Surakarta lewat karya-karyanya, mampu mewarnai dunia seni peran, serta ikut
mengayakan wawasan kesusastraan di dunia pendidikan.
Kedua, Perkembangan Kelompok Teater Gidag Gidig di Surakarta pada tahun
1976-2000. Skripsi itu ditulis oleh Fitri Hadi Wiyanti, mahasiswa Program Studi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2008.
Analisis ini mendeskripsikan latar belakang kemunculan Teater Gidag Gidig dalam
seni pertunjukan, aktivitas Teater Gidag Gidig di Surakarta, dan bagaimana kontribusi
Teater Gidag Gidig bagi masyarakat Surakarta.
Simpulan dari penelitian ini adalah: Teater Gidag Gidig memiliki kepedulian
terhadap keadaan negeri. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan,
kerusakan moral, hancurnya lingkungan hidup, serta kebohongan para politisi. Segala
aktivitas Teater Gidag Gidig bertujuan agar masyarakat juga mampu membaca semua
persoalan di sekitarnya. Teater Gidag Gidig menggunakan konsep teater modern yang
dikemas dalam teater tradisi menjadikan mereka lebih dekat dengan masyarakat.
Kontribusi Teater Gidag Gidig besar nilainya dalam kancah seni pertunjukan, menjadi
wahana kritis, aspiratif dan menambah variasi potensi dan kreativitas seni budaya
Indonesia.
Ketiga, Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008. Disertasi itu
ditulis oleh Achmad Syaeful Anwar, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sejarah
Universitas Indonesia tahun 2012. Analisis ini mendeskripsikan perkembangan Teater
Kontemporer Indonesia dalam rentang waktu 1968-2008.
13
Simpulan dari disertasi ini adalah: diungkapnya suatu kesimpulan peran-peran
dari setiap kelompok teater kontemporer terutama dari Bengkel Teater pimpinan
Rendra, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, dan Teater Koma pimpian N.
Riantiarno.
Uraian di atas menggambarkan bahwa di dalam penelitian berjudul
Perkembangan dan Aliran Teater Kelompok Kerja Teater TESA 1987-2014, memiliki
perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut karena penelitian ini menitikberatkan
pada permasalahan perkembangan dan aliran teater sedangkan penelitian-penelitian
tersebut meneliti aspek nilai pendidikan, kontribusi bagi masyarakat dan peran-peran
dari setiap kelompok teater.
2. Landasan Teori
a. Teater
Teater didefinisikan serupa oleh banyak pakar. Soemanto (2001: 8)
mengatakan, “Teater berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu
kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang
menontonnya”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa teater sebagai sebuah
pertunjukkan yang melibatkan unsur pelaku dan penonton.
Pendapat tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riantiarno
(2003:7). Teater berasal dari kata theatron (bahasa Yunani/Greek). Untuk memperjelas
pengertian teater di atas, Riantiarno menambahkan beberapa pengertian teater sebagai
berikut: (1) teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar
100.000 penonton; (2) teater bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru
14
panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas/peristiwanya); dan (3) teater adalah
semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka.
Teater memang tidak bisa dilepaskan dari drama. Bahkan kedua istilah tersebut
dipandang membingungkan karena kemiripan di antara keduanya yang sulit dipilah.
Menurut Satoto (2000: 6) jika seni drama itu sedang diproses untuk dipentaskan, proses
demikian adalah proses teater. Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti
yang lebih luas yakni meliputi: proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan,
penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik.
Perbedaan drama dan teater dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri sebagai
berikut: (a) Play (lakon), performance (pertunjukan); (b) Script (naskah), production
(produksi); (c) Text (teks), staging (pemanggungan); (d) Author (pengarang), direction
(sutradara); (4) Creation (kreasi), interpretation (interpretasi); (f) Theory (teori),
practice (praktek). Berdasarkan perbandingan tersebut, Satoto (2000: 6-7)
menjelaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Seni drama lebih merupakan
lakon yang belum dipentaskan, (b) Skrips atau naskah lakon yang belum
diproduksikan, (c) Teks yang belum dipanggungkan, (d) hasil kreasi pengarang yang
masih harus ditafsirkan untuk merebut makna, (e) teori yang harus dipraktekkan atau
diaplikasikan
Lebih jelasnya Tarigan (1993: 73) menjelaskan deskripsi tentang teater dan
drama dengan mengungkapkan perbedaan-perbedaan diantara keduanya, sebagai
berikut:
15
a. Drama sebagai repertoir atau text play adalah hasil sastra milik pribadi,
yaitu penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni
kolektif.
b. Text play masih memerlukan pembaca soliter, sedangkan teater
memerlukan penonton kolektif, dan faktor penonton ini sangat penting.
c. Text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat
dipanggungkan sebagai teater, menjadi seni kolektif.
d. Text play adalah bacaan sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.
Senada dengan penjelasan di atas, Harymawan (1986: 2) juga memisahkan
definisi antara teater dan darama sebagai berikut:
a. Dalam arti luas: Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan
orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludrug, srandul, membai,
randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, sulapan, akrobatik, dan
sebagainya.
b. Dalam arti sempit: Drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang
diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media:
percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan
sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan
atau tanpa musik, nyanyian, tarian.
Menurut Rahmanto dan Endah Peni Adji (2007:1.3-1.5) drama muncul terlebih
dahulu dibandingan teater. Drama digambarkan sebagai peristiwa pertunjukan dalam
upacara-upacara pemujaan terhadap dewa. Dalam upacara pemujaan tersebut, terjadi
peningkatan secara kuantitas. Semakin hari pengikutnya semakin banyak sehingga
16
membentuk lingkaran yang mengelilingi tempat pemujaan tersebut. Lingkaran tersebut
lalu disebut sebagai teater atau theatron. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
drama merupakan perbuatan yang dapat ditonton, sedangkan teater adalah tempat
untuk menonton perbuatan yang dapat ditonton.
Drama dan teater merupakan dua hal yang serupa dengan sedikit perbedaan.
Persamaannya terletak pada makna sebuah pertunjukan di atas panggung yang
merepresentasikan suatu kejadian dalam kehidupan nyata. Sementara perbedaannya
hanyalah sudut pandang dari masing-masing orang dalam memaknai kedua istilah
tersebut yang berbeda-beda. Di dalam drama ada teater dan di dalam teater ada drama.
Dengan demikian, suatu pertunjukan akan disebut pertunjukan teater apabila ada drama
di dalamnya (Dewojati, 2012:16).
b. Aliran-aliran Teater
Teater memiliki aliran yang sudah berkembang sejak lama. Aliran dalam teater
biasanya mengacu pada bentuk dan gagasan yang diusung dalam teater itu sendiri.
Aliran memberi pengaruh terhadap hasil karya sebuah kelompok teater. Achmad
Syaeful Anwar berpendapat sebagai berikut:
Lahirnya aliran-aliran atau gaya (syle/idiom) dalam teater pada dasarnya sejajar
dengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis
di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’ (Realisme
Baru) tahun 1960-an maka hal ini terjadi pula pada teater, sehingga dengan
demikian ideologi aliran dalam seni lukis memberi pengaruh pula pada teater.
Melihat permasalahan mengenai hadirnya aliran atau gaya yang pengertiannya
mencakup: mengacu kepada pengertian karya seni individual atau kelompok,
yang dihasilkan oleh periode tertentu, kebudayaan tertentu, atau kawasan
regional tertentu (Anwar, 2012:59-60)
17
Aliran-aliran tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang dijelaskan
sebagai berikut:
1) Aliran Klasik
Ciri-ciri aliran klasik adalah: (1) tunduk pada hukum trilogi Aristoteles dalam hal
kesatuan tempat, waktu, dan gerak, (2) acting-nya bergaya deklamasi, (3) drama
lirik lebih banyak ditulis, (4) irama permainan lamban, banyak diselingi dengan
monolog, dan bersifat statis, dan (5) materi cerita bergaya Romawi dan Yunani
(Waluyo, 2006:58).
2) Aliran Romantik
Dalam drama romantik, trilogi Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-ciri aliran ini
adalah: (1) isinya bersifat fantastis dan tidak logis, (2) menggunakan bahasa yang
mengikuti kaidah tata bahasa, (3) aspek visual ditonjolkan dengan segala
perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yang gemerlapan, (4) acting-
nya sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan, (5) lakonnya
biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokohnya sentimental, dan (6) bentuk
drama bersifat bebas, artinya bukannya drama lirik seperti pada aliran klasik
(Waluyo, 2006:59).
3) Aliran Realisme
Realisme pada umumnya adalah aliran seni yang berusaha mencapai ilusi atas
penggambaran kenyataan (Harymawan, 1986:84). Yang digambarkan bukannya
hal-hal yang berlebihan dan sentimental seperti aliran romantik. Ada dua macam
aliran realisme, yaitu: Pertama, realisme sosial (realisme murni), dalam drama
dilukiskan kepincangan sosial, penderitaan, dan ketidakadilan untuk maksud
18
mengadakan protes sosal. Aliran realisme sosial berbeda dengan aliran naturalisme
karena sifatnya optimis, aliran naturalisme bersifat pesimis. Ciri-ciri aliran realisme
sosial adalah: (1) pemeran utama biasanya rakyat jelata, misalnya buruh, tani, orang
gelandangan, dan sebagainya, (2) acting-nya bersifat wajar seperti dalam
kehidupan sehari-hari, (3) aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebih-lebihan,
hiasan panggung, pakaian, rias, dan sebagainya tidak berlebihan dan disesuaikan
dengan realitas kehidupan sehari-hari, (4) cerita diambil dari kenyataan sosial yang
ada dalam masyarakat dengan lebih mengutamakan konflik sosial karena
perbedaan sosial. Kedua, realisme psikologis, dalam realisme psikologis yang
ditekankan bukan dalam hal kenyataan sosial, tetapi dalam hal kenyataan
psikologis para pelakunya. Adapun ciri-ciri realisme psikologis adalah: (1) lebih
menekankan diri kepada penonjolan aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh
atau lakon, (2) setting-nya bersifat wajar dengan intonasi yang tepat, (3) suasana
digambarkan dengan pelambangan (simbolis), dan (4) sutradara mementingkan
pembinaan konflik psikologis, disebutkan juga sutradara psikolog, artinya
menitikberatkan aspek psikologis daripada dandanan yang bersifat fisik (Waluyo,
2006: 59-60). Ciri lain yang menonjol dari teater realisme ialah sifatnya yang
sangat sastrawi (literer) (Anwar, 2012: 61).
4) Aliran Surealisme
Surealisme merupakan kebalikan dari realisme. Realisme mengganggap teater
sebagai kenyataan sedangkan surealisme mengganggap teater sebagai
ketidaknyataan (mimpi). Seperti pendapat Achmad Syaeful Anwar sebagai berikut:
19
“Dadaisme melahirkan gerakan Surealisme yang berkembang dalam dekade
20-an. Bagi kaum surealis kebenaran sejati hanya didapat dalam alam
ketidaksadaran manusia. Sumber kebenaran itu baru muncul secara bebas
dalam mimpi. Situasi mimpi ini merupakan saat-saat pengungkapan kebenaran
manusia, karena pada waktu itulah bawah sadar membuat struktur terhadap
kenyataan sehari-hari, dengan demikian kebenaran hanya dapat diperoleh kalau
manusia melepaskan diri dari belenggu rasio dan menghanyutkan diri bersama
bawah sadar dalam kondisi mimpi. Baik Dada maupun Surealis berpandangan
bahwa dunia ini irrasional dan mereka mengekspresikan irrasionalitas itu dalam
karya-karya seni mereka.”
Surealisme ditujukan untuk mengekspresikan emosi, perasaan, mitologi, alegori
melalui fisik bukan verbal yang berhubungan dengan alam bawah sadar atau mimpi
sehingga surealisme akan menjadikan mimpi menjadi nyata.
5) Aliran Ekspresionisme
Aliran ekspresionisme menonjolkan curahan pikiran atau perasaan pengarang. Ciri-
cirinya adalah: (1) adanya gerak kolektif, (2) banyak dipengaruhi psikoanalisis
Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan menggambar ekspresi jiwa
pengarang atau sutradara, (3) pergantian adegan bersifat cepat, (4) penggunaan
pentas bersifat ekstrim, dan (5) fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film.
(Waluyo, 2006: 60).
6) Aliran Naturalisme
Naturalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari realisme. Perbedaannya
dengan realisme adalah bahwa dalam naturalisme kenyataan yang digambarkan
diusahakan mungkin mendekati kenyataan alam (natural). Tidak mengherankan
jika dalam menggambarkan pohon-pohon, di panggung benar-benar ditampilkan
pohon yang hidup. Penampilan panggung sejauh mungkin harus mendekati alam,
20
dan bukan tiruan alam. Dalam realisme, penggunaan lukisan untuk mewakili
pemandangan alam dapat dibenarkan.
Dalam unsur artistik dan teknis juga diusahakan agar mendekati kenyataan secara
ilmiah. Dalam hal tata rias, misalnya sutradara akan merias pemain sedapat
mungkin mendekati alam. Kumis, jambang, dan bulu-bulu dada, misalnya tidak
cukup dihitamkan dengan alat penghitam, tetapi benar-benar merekatkan rambut
ke kumis, jambang, dan dada. Demikian pula halnya dengan tata busana (Waluyo,
2006: 60-61).
7) Aliran Eksistensialisme
Dalam aliran eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan
eksistensinya, akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan
oleh aktor atau aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin
melukiskan manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya
demikian seringkali dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma,
atau murni psikologis.
Dalam kesadaran akan keberadaanya, seseorang kemudian menghendaki
kebebasan yang mutlak, yaitu kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam
kehidupan bermasyarakat secara normal sulit kita jumpai. Kita dapat menghayati
kebebasan rohaniah dan jasmaniah lebih longgar, bahkan mungkin dapat dikatakan
mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan bukan sekedar
kegelandangannya itu yang penting, akan tetapi kemandirian sukmanya itulah yang
penting. Kemandirian itu menjadi ciri eksistensi diri yang menghendaki bentuk
kebebasan yang setinggi-tingginya. Oleh karena sang tokoh bicara seenaknya
21
sendiri, meloncat dari satu masalah ke masalah lain yang seolah tanpa logika yang
runtut, berceloteh secara santai tentang hal-hal yang secara pribadi dipandangnya
penting sekaligus kehilangan konteks dengan konteks pembicaraan dengan lawan
bicaranya (Waluyo, 2006: 61-62).
8) Aliran Absurdisme
Menurut Cahyaningrum (2012: 72) seperti aliran-aliran dalam kesenian yang lain,
drama dan teater absurd muncul karena ketidakpuasan terhadap aliran-aliran yang
sudah ada sebelumnya. Absurd berarti ‘tidak rasional’, tidak dapat diterima akal,
menyimpang dari kebenaran atau logika umum. Soemanto (dalam Cahyaningrum
Dewojati, 2012:73) menyebutkan bahwa, secara leksikal, absurd berarti ketiadaan
keselarasan, yang menunjuk ketiadaan tidak harmonis. Ciri-ciri lakon dan teater
absurd biasanya menampakkan gejala dialog antar tokoh yang melompat-lompat,
tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah
secara tuntas, penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang
tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk
menampilkan medium non-verbal (Cahyaningrum, 2012:74). Teater absurd
terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Lakon dan teater
absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak
pada perilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Lebih lanjut, Soemanto
(dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:74) juga berpendapat bahwa walaupun
lakon absurd tetap ditulis dalam bentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan
manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari
sketsa dramatiknya.
22
9) Aliran Simbolisme
Menurut Cahyaningrum (2012: 71) aliran simbolisme adalah kesenian yang lahir
sebagai reaksi terhadap realisme. Aliran kesenian ini dapat mengungkapkan
sesuatu tidak secara terang-terangan. Lebih lanjut, Kazanuddin (dalam
Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) bahwa ekspresinya diungkapkan dengan
simbol-simbol tertentu. Simbolisme sebagai sebuah aliran mempercayai sebuah
intuisi sebagai perangkat untuk dapat memahami kenyataan yang tidak dipahami
secara logika. Menurut kaum simbolisme, kenyataan tidak dapat dipahami secara
logis, maka kebenaran tidak mungkin pula diungkapkan secara logis. Hasanuddin
(dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) menambahkan bahwa kenyataan yang
hanya dapat dipahami melalui intuisi harus diungkapkan lewat simbol-simbol.
c. Unsur-unsur Teater
Teater merupakan seni pertunjukan sangat kompleks yang di dalamnya
terjadi penggabungan antara beberapa unsur. Menurut Soediro Satoto (2012:2)
unsur-unsur bersifat organik., Artinya, sesuatu yang harus ada atau dilaksanakan.
Unsur-unsur saling berhubungan membentuk satu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan. Sapardi Djoko Damono (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:2)
mengemukakan bahwa drama mempunyai 3 unsur yang sangat penting yakni unsur
teks drama, unsur pementasan, dan unsur penonton. Unsur pelaku sebagai unsur
utama ditopang dengan unsur benda, suara, dan ruang sebagai penopangnya dan
dijalin oleh sebuah cerita sehingga terwujudlah sajian dalam bentuk seni pertunjukan.
Semua unsur ini tidak dapat dilepaskan salah satu karena akan menciderai nilai
pertunjukan dalam teater sendiri.
23
Unsur pelaku di dalam pertunjukan drama ada beberapa macam. Di sana ada
pemain, sutradara, kru panggung, bahkan penonton. Ada pula unsur penopang yang
berupa panggung, tata busana, musik, tata cahaya, dan tata rias. Kedua unsur tersebut
dirangkai oleh cerita dan bersama-sama membangun cerita sehingga terjadilah
sebuah pertunjukan teater secara lengkap, yaitu sebuah pertunjukan yang
menceritakan kehidupan manusia di atas panggung yang diperankan oleh pelaku
dengan berbagai unsur penunjangnya dan disaksikan oleh penonton.
Untuk memperjelas dan mempertegas pendapat tersebut, ada baiknya
diuraikan satu per satu unsur secara terpisah. Namun, perlu kiranya diuraikan definisi
teater yang berkaitan dengan hal tersebut. Teater adalah salah satu bentuk kegiatan
manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk
menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya seni suara, bunyi, dan rupa
yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia. Dari pengertian tersebut,
dapat ditarik simpulan bahwa unsur-unsur teater yaitu (1) tubuh atau manusia sebagai
unsur utama (pemeran/pelaku/pemain); (2) gerak sebagai unsur penunjang; (3) suara
sebagai unsur penunjang (kata); (4) bunyi sebagai unsur penunjang (bunyi benda,
efek, dan musik); (5) rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, rias, kostum, dan
properti); dan (6) lakon sebagai unsur penjalin (cerita, noncerita, fiksi, dan narasi).
Menurut Hasanuddin W.S. (2009: 171) unsur-unsur drama dalam kaitannya
dengan seni pertunjukan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1) unsur utama,
terdiri dari sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton, serta (2)
sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum (busana), tata
rias, pencahayaan, serta tata suara dan ilustrasi musik.
24
Melalui pernyataan diatas dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting
dalam proses berteater, yaitu manusia sebagai unsur utama, benda sebagai unsur
penunjang, dan lakon sebagai unsur penjalin. Berikut unsur-unsur teater tersebut:
1) Pemain
Istilah pemain dalam teater dan film biasa disebut aktor (actor) jika laki-laki
dan aktris (actris) jika perempuan. Istilah lain ialah pelaku (karena melakukan peran
tokoh lakon), dan pemeran (karena memerankan watak peran) (Satoto, 2000: 79-80).
Pemain mempunyai kedudukan untuk mentransformasikan cerita di atas panggung,
pemain harus mampu menghidupkan tokoh dalam cerita lakon menjadi sosok yang
nyata. Di dalam teater, perwujudan tokoh tersebut biasa disebut dengan karakter.
Harymawan (1986: 25) menyebut karakter sebagai tokoh yang hidup, bukan mati. Di
dalam menghidupkan karakter ini, tokoh dibekali dengan sifat-sifat karakteristik
yang tiga dimensional, yaitu (a) dimensi fisiologis, yang berkaitan dengan usia, jenis
kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya; (b) dimensi sosiologis,
berupa status sosial, pekerjaan atau jabatan, pendidikan, kehidupan pribadi,
pandangan hidup dan agama, aktivitas sosial, bangsa atau suku, dan sebagainya; dan
(c) dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan yang meliputi mentalitas,
temperamen, serta IQ atau kecerdasan.
Dimensi-dimensi tersebut diperlukan juga dalam pemilihan pemain atau yang
dikenal dengan istilah casting. Dalam hal ini, seorang sutradara tentu sangat
mempertimbangkan ketiga dimensi tersebut. Tujuannya adalah mendapatkan pemain
yang sesuai dengan kebutuhan cerita atau naskah didasarkan pada penafsiran
sutradara.
25
Aktor dan aktris sangat berperan penting dalam pementasan teater. Waluyo
(2006: 36) menjelaskan pemilihan aktor dan aktris biasanya disebut casting, yaitu
sebagai berikut:
a) Casting by ability; pemilihan peran berdasar kecakapan atau kemahiran
yang sama atau mendekati peran yang dibawakan. Kecerdasan seseorang
memegang peranan penting dalam membawakan peran yang sulit dan
dialognya panjang. Tokoh utama suatu lakon di samping persyaratan fisik
dan psikologis, juga dituntut memiliki kecerdasan yang cukup tinggi,
sehingga daya hafal dan daya tanggap yang cukup cepat.
b) Casting to Type; pemilihan pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik si
pemain. Tokoh tua dibawakan oleh orang tua, tokoh pedagang dibawakan
oleh orang yang berjiwa dagang, dan sebagainya.
c) Anti Type Casting; pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan
ciri fisik yang dibawakan. Sering pula disebut educational casting karena
bermaksud mendidik seseorang memerankan watak dan tokoh yang
berlawanan dengan wataknya sendiri dan ciri fisiknya sendiri.
d) Casting to Emotional Temperament; adalah pemilihan pemeran
berdasarkan observasi kehidupan pribadi calon pemeran. Mereka yang
mempunyai banyak kecocokan dengan peran yang dibawakan dalam hal
emosi dan temperamennya, akan terpilih membawakan tokoh itu.
Pengalaman masa lalu dalam hal emosi akan memudahkan pemeran
tersebut dalam menghayati dan menampilkan dirinya sesuai dengan
26
tuntutan. Temperamen yang cocok juga akan membantu proses
penghayatan diri peran yang dibawakan.
e) Therapeutic Casting; adalah pemilihan pemeran dengan maksud untuk
penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis dalam diri
seseorang. Biasanya watak dan temperamen pemeran bertentangan
dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya, orang yang selalu ragu-ragu,
harus berperan sebagai orang yang tegas, cepat memutuskan sesuatu.
Seorang yang curang, memerankan tokoh yang jujur atau penjahat
berperan sebagai polisi. Jika kelainan jiwa cukup serius, maka bimbingan
khusus sutradara akan membantu proses therapeutic.
Untuk dapat memilih pemeran dengan tepat, maka hendaknya pelatih drama
membuat daftar yang berisi inventarisasi watak pelaku yang harus dibawakan, baik
secara psikologi, fisiologis maupun sosiologis. Watak pelaku harus dirumuskan
secara jelas. Sebab hanya dengan begitu, dapat dipilih pemeran lakon dengan lebih
cepat.
2) Sutradara
Sutradara adalah tokoh sentral dalam sebuah pertunjukan teater. Sutradara
merupakan orang yang bertugas mengkoordinasikan segala anasir pertunjukan dari
awal sampai akhir. Meskipun peranannya sangat vital, sutradara tergolong hal baru
dalam dunia seni pertunjukan. Sutradara baru dikenal bahkan pada sekitar 200 tahun
yang lalu. Seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan
dengan pementasan. Menurut Harymawan dalam (Waluyo, 2006: 102) menyatakan
bahwa sutradara adalah karyawan teater yang bertugas mengkoordinasikan segala
27
anasir teater, dengan paham, kecakapan, serta daya imajinasi yang inteligen guna
menghasilkan pertunjukan yang berhasil. Sutradara berhubungan dengan produser
(yang membiayai pementasan), manajer (pemimpin tata laksana), dan stage manager
(yang mengatur panggung dan seluruh perlengkapannya).
Menurut Harymawan (1986: 64) kedudukan sutradara berdiri ditengah-
tengah segitiga, bertindak sebagai pusat kesatuan kekuatan, juga sebagai koordinator
bagi prestasi-prestasi kreatif aktor dan para teknisi. Akhirnya sutradara harus menjadi
seorang seniman yang berarti. Sutradara digambarkan seperti berikut:
PENGARANG
AKTOR PENONTON
PENDESAIN
Bagan 1
Segitiga penyutradaraan
Berdasarkan sejarah kemunculan dan perkembangannya, ada dua teori dalam
penyutradaraan, yaitu Teori Gordon Craig dan Teori Laissez Faire (Harymawan,
1986:64-65). Teori Gordon Craig melukiskan bahwa teater merupakan seni, maka ia
harus mengekspresikan kepribadian si seniman. Kalau pemahat mengekspresikan
diri lewat batu dan kayu, pelukis lewat kanvas dan cat maka sutradara
mengejawantahkan idenya lewat aktor dan aktris. Dengan demikian, sutradara
berlaku sebagai seorang diktator dalam pementasan.Teori Laissez Faire merupakan
kebalikannya. Teori ini menyebutkan bahwa tugas sutradara hanya membantu aktor
SUTRADARA
28
dan aktris mengekspresikan dirinya dalam lakon, seorang supervisor yang
membiarkan aktor dan aktris bebas mengembangkan konsepsi individualnya agar
melaksanakan peranan sebaik-baiknya.
Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.
Maka, Harymawan pun menyebut bahwa sutradara yang baik atau ideal adalah
sutradara yang sekaligus menjadi interpretator dan kreator. Sementara itu, cara
penyutradaraan yang baik adalah perkawinan antara kedua teori di atas.
3) Tata panggung
Dalam teater, tata panggung sering disebut dengan istilah scenery. Dalam
istilah lain, sering dipakai pula istilah set panggung, setting panggung, atau dekorasi.
Harymawan (1993: 108) mendefinisikan dekorasi (scenery) sebagai pemandangan
latar belakang (background) tempat memainkan lakon. Pengertian tersebut meliputi
pula peletakan perabot (properti) dan komposisi panggung.
Menurut Herman J. Waluyo (2006: 148) dalam pentas diperlukan latar
belakang suasana yang mendukung keadaan di pentas. Latar belakang itu harus
bermakna. Latar belakang itu lazim disebut scenery, yaitu latar belakang di mana
pentas diadakan untuk mempertunjukkan lakon. Scenery meliputi segala macam
hiasan dan lukisan yang melingkupi daerah permainan.
Menurut sifatnya scenery ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Draperies, berupa kain polos, border, teaser, dan grand drapery.
2. Scenery terlukis, dekor tradisional yang dilukisi. Menurut konstruksinya,
scenery dibagi tiga, yaitu sebagai berikut.
29
a) Flat, berupa dekorasi yang berbingkai-bingkai kayu, ditutup kain dan
dicat.
b) Drops, berupa dekorasi tidak berbingkai, digantung pada bagian belakang
panggung.
c) Plastic pieces, berupa lukisan objek yang tiga dimensional, misalnya pintu,
jendela, pohon, tungku api, dan sebagainya.
Menurut struktur settingnya, ada dua scenery, yaitu sebagai berikut.
1. Drop dan wing setting, berupa susunan vertikal (berdiri tegak).
2. Box setting, berupa struktur horisontal.
Dalam drop, wing setting, dan box setting, terdapat beberapa catatan.
a) Jika kedua sisi pentas terbuka, sehingga pemain keluar masuk melalui
wing, setting yang demikian disebut drop and wing setting, sedangkan
jika sisi lain tertutup, sehingga pemain masuk atau keluar melalui opening
khusus, disebut box setting.
b) Terminator, yaitu wing paling depan, yang bersifat statis, tak dapat
diputar dan biasanya diberi gambar isi cerita. Teaser dan terminator
merupakan bingkai kedua untuk memperkecil panggung yang asli.
c) Drapery, berguna untuk menghias pentas.
d) Drop, yaitu tirai paling belakang. Ada semacam drop yang disebut
cyclodrama.
e) Foot, berguna untuk penempatan footlight.
f) Curtain line, berada di belakang teaser.
30
Ada hubungan antara scenery dan dekorasi. Fungsi dekorasi adalah untuk
memberikan latar belakang. Dekorasi dapat berwujud scenery, tetapi sering hanya
melatarbelakangi. Berdasarkan tempat mewujudkannya, ada dua macam dekor,
yaitu seperti berikut.
1. Interior setting, jika lakon dipentaskan di dalam rumah.
2. Exterior setting, jika lakon dipentaskan terjadi pada alam terbuka.
Klasifikasi dekor didasarkan atas aliran-aliran kesenian yang dianut oleh
penulis drama, atau sutradara, atau dekorator (bila dia diberi wewenang).
a) Naturalisme, yaitu melukiskan dekor sebagai imitasi (tiruan) alam. Tata
pentas sebagian besar menggunakan alam, baik atau jelek dilukiskan
apa adanya (menggotong tumbuh-tumbuhan ke pentas).
b) Realisme, yaitu penggambaran dekor alam sesungguhnya atau bahkan
penggunaan alam. Alam hanya dipakai sebagai bahannya saja,
pementasannya di panggung (pohon mawar dipasang dipanggung).
c) Impresionisme, yaitu bentuk tolak pada pars pro toto, yaitu melukiskan
sebagian untuk menggambarkan keseluruhan. Alam dekor dilukiskan
hal yang paling karakteristik, untuk mewakili keseluruhan suasana
lakon, dan juru dekor bebas menggunakan gagasannya sendiri, karena
dalam aliran ini ia bebas dari konvensi teater.
d) Ekspresionisme, berusaha mengekspresikan ungkapan batin. Juru
dekorasi bebas menggungkapkan kehendaknya sesuai dengan tafsiran
terhadap lakon. Jiwa dan perasaan dekorator pegang peranan penting.
31
e) Simbolisme, berusaha mempetakan, melalui bentuk seni rupa sesuatu
pengertian baik yang terdapat dalam benda itu sendiri atau di luar benda
itu. Dekorasi penuh dengan simbol yang sesuai dengan haikat lakon
yang dipentaskan.
Riantiarno (2003: 68) memberikan pemilahan yang jelas antara set/dekor,
set property, hand property, dan properti. Menurutnya, set/dekor adalah bagian
benda/gambar di panggung yang sifatnya permanen, misalnya rumah. Set property
yaitu isi dari rumah itu, kursi, meja, lemari, dan sebagainya. Hand property adalah
properti yang dibawa oleh pemain. Sedangkan properti adalah pelengkap dari set
property.
Tata panggung adalah pengelolaan unsur kebendaan yang ada di panggung.
Penataan yang dilakukan harus mematuhi prosedur kerja yang telah digariskan.
Sebagaimana pemain, penata panggung pun harus mempelajari naskah terlebih
dahulu sebelum menata atau mendekor panggung. Dari naskah yang dibaca, penata
panggung menggambar, mengkomunikasikan dengan sutradara, pemain, dan kru
panggung lainnya, lalu merealisasikan ide dan gagasannya tersebut.
Fungsi utama set panggung adalah sebagai penunjang bagi terciptanya
tempat, waktu, dan keadaan/suasana (Riantiarno, 2003: 63). Tata panggung yang
baik adalah yang mampu merepresentasikan tempat, ruang, waktu, dan suasana
dalam adegan di panggung serta menjadi bagian yang menyatu dari sebuah
pementasan. Dengan demikian, pemahaman dan penafsiran terhadap naskah menjadi
hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang penata panggung.
32
Secara khusus, unsur-unsur di atas panggung ditata sedemikian rupa sehingga
bisa memberikan gambaran lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan
semangat lakon, periode sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan
musim ketika lakon dilangsungkan.
Perlu diketahui pula jenis-jenis panggung yang biasa digunakan dalam
pertunjukan teater karena hal ini berpengaruh terhadap kerja penata panggung. Ada
beberapa jenis panggung, tetapi oleh Riantiarno (2003: 64-65) hanya disebutkan dua
saja, yaitu panggung prosenium dan panggung arena. Panggung prosenium adalah
panggung yang hanya dapat dilihat penonton dari satu sisi saja, yaitu dari depan.
Panggung arena adalah panggung yang dikelilingi penonton sehingga setiap sudut
bisa dilihat oleh penonton.
Eko Santosa, dkk. (2009: 391) menambahkan jenis panggung trust selain dua
jenis panggung sebelumnya. Panggung trust hampir mirip dengan panggung
prosenium tetapi dua pertiga bagian panggung menjorok ke penonton sehingga sisi
kanan dan kiri panggung bisa ditempati penonton. Panggung jenis ini biasa dinamai
pula dengan panggung jenis tapal kuda.
Berdasarkan jenis-jenis panggung yang ada, penata panggung harus
memperhitungkan perspektif penonton. Set tidak boleh mengganggu pandangan
penonton dari sisi manapun. Penataan set harus memperhitungkan besar panggung,
arena bermain, dan sebagainya. Intinya, tugas tata panggung hanya mendukung
jalannya pementasan, memberikan ilustrasi, dan tidak berdiri sendiri sebagai cabang
kesenian lain.
33
4) Tata cahaya
Tata cahaya berfungsi menerangi panggung, memberi suasana, memberi
bentuk, dan memisahkan antara panggung dengan penonton. Atas fungsinya sebagai
penerang panggung, dapat dikatakan bahwa cahaya merupakan unsur terpenting
dalam pementasan teater. Tugas seorang penata cahaya sama dengan penata
panggung, yaitu mendukung permainan di panggung, memberikan ilustrasi dan
suasana panggung, serta menjadi bagian yang menyatu dengan permainan di
panggung.
Tata cahaya mempunyai fungsi atau tujuan dalam pementasan teater. Herman
J. Waluyo menerangkan tujuan tata cahaya dapat dinyatakan sebagai berikut.
a) Penerangan terhadap pentas dan aktor. Dengan fungsi ini, pentas dengan
segala isinya dapat terlihat jelas oleh penonton. Penerangan juga dapat
mengandung arti penyinar. Artinya menyoroti bagian-bagian yang
ditonjolkan, sehingga lebih tampak jelas, sesuai dengan tuntutan dramatik
lakon.
b) Memberikan efek alamiah dari waktu, seperti jam, musim, cuaca, dan
suasana.
c) Membantu melukis dekor (scenery) dalam menambah nilai warna hingga
terdapat efek sinar dan bayangan.
d) Melambangkan maksud dengan memperkuat kejiwaannya. Dalam hal ini,
efek tata warna sangat penting kedudukannya.
e) Tata lampu juga dapat mengekspresikan mood dan atmosphere dari
lakon, guna mengungkapkan gaya dan tema lakon.
34
f) Tata lampu juga mampu memberikan variasi-variasi, sehingga adegan-
adegan tidak statis. Misalnya, dengan lampu dapat dicapai efek tiga
dimensi, dan dapat diciptakan komposisi yang aneka ragam dalam pentas.
Dalam tata cahaya, lampu yang digunakan sebagai penerangan dapat
diklasifikasikan sesuai fungsinya. Menurut Herman J. Waluyo (2006:144) fungsi dari
tata cahaya, maka lampu dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu sebagai
berikut.
a) Lampu primer, yaitu sumber sinar yang langsung menerangi benda atau
objek lainnya, dan mengakibatkan timbulnya bayangan.
b) Lampu sekunder, yaitu lampu yang bertugas menetralisir bayangan yang
timbul oleh lampu primer. Penempatannya sedemikian rupa, sehingga
bayangan yang menggangu visualisasi terhadap lakon, dapat dinetralkan.
Jenis lampu sekunder ini juga dipertimbangkan fungsi lainnya, yaitu untuk
menghidupkan panggung beserta dekorasinya.
c) Lampu untuk latar belakang, yaitu lampu khusus untuk menerangi
cyclodrama. Untuk pentas, biasanya digunakan 3 ways lightning system,
sedangkan untuk akhir pentas, digunakan ways lightning system.
5) Tata suara
Tata suara dalam hal ini berupa instrumen yang mengiringi sebuah
pertunjukan teater. Wujudnya bisa berupa musik, efek suara, dan juga seperangkat
teknologi yang dikembangkan untuk menghasilkan bunyi. Fungsinya sama dengan
tata artistik yang lain yaitu memberi suasana dalam pertunjukan teater. Musik dapat
menjadi bagian lakon, tetapi yang terbanyak adalah sebagai ilustrasi, baik sebagai
35
pembuka seluruh lakon, pembuka adegan, memberi efek pada lakon, maupun sebagai
penutup lakon (Waluyo, 2006:153).
Herman J. Waluyo menjelaskan fungsi yang diharapkan dari tata musik
dirumuskan sebagai berikut: (1) memberikan ilustrasi yang memperindah; (2)
memberikan latar belakang; (3) memberikan warna psikologis; (4) memberi tekanan
kepada nada dasar drama; (5) membantu dalam penanjakan lakon, penonjolan, dan
progresi; (6) memberi tekanan pada keaduan yang mendesak; dan (7) memberikan
selingan.
6) Tata busana
Tata busana sendiri didefinisikan sebagai segala sandangan dan
perlengkapannya (accessories) yang dikenakan di dalam pentas (Harymawan, 1986:
127). Kostum pentas meliputi semua pakaian, sepatu, pakaian kepala, dan
perlengkapan-perlengkapannya. Oleh karenanya, dijelaskan bahwa busana dalam
pertunjukan teater digolongkan menjadi lima bagian, yaitu (a) pakaian dasar atau
foundation; (b) pakaian kaki/sepatu; (c) pakaian tubuh/body; (d) pakaian
kepala/headdress; dan (e) perlengkapan-perlengkapan/ accessories.
Menurut Harymawan (1986:131-132) agar kostum pentas mempunyai efek
yang diinginkan, kostum pentas harus menunaikan beberapa fungsi tertentu: (1)
membantu menghidupkan perwatakan pelaku, artinya sebelum dia berdialog, kostum
sudah menunjukkan siapa dia sesungguhnya, umurnya, kebangsaannya, status
sosialnya, kepribadiannya, suka dan tidak sukanya; (2) individualisasi peranan,
warna dan gaya kostum dapat membedakan seorang peranan dari peranan yang lain
dan dari setting serta latar belakang; (3) memberi fasilitas dan membantu gerak
36
pelaku, pelaku harus dapat melaksanakan laku atau stage business yang perlu bagi
peranannya tanpa terintang oleh kostumnya. Kostum tidak hanya harus menjadi
bantu bagi pelaku, tetapi juga harus menambah efek visual gerak, menambah indah
dan menyenangkan setiap posisi yang diambil pelaku setiap saat.
Herman J. Waluyo (2006:142-143) menjelaskan bahwa tata busana dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Kostum historis, yaitu kostum yang disesuaikan dengan periode-periode
spesifik dalam sejarah.
b) Kostum modern, yaitu kostum yang dipakai oleh masyarakat masa kini.
c) Kostum nasional, yaitu kostum dari daerah-daerah atau tempat spesifik.
Dapat sekaligus kostum nasional dan historis.
d) Kostum tradisional, yaitu kostum yang disesuaikan dengan karakter
spesifik secara simbolis dan dengan distilir. Kostum wayang orang dapat
dipandang sebagai kostum tradisional.
Disamping kostum tersebut, masih ada kostum binatang, kostum tari, kostum
sirkus, kostum fantastis, dan sebagainya.
7) Tata rias
Tata rias adalah seni menggunakan bahan kosmetika untuk menciptakan
wajah peran sesuai dengan tuntutan lakon (Waluyo, 2006:137). Tata rias hampir
sama dengan tata busana karena memiliki fungsi yang sama. Dengan rias, pemain
dapat diubah menjadi karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
pertunjukan teater. Tata rias berkaitan erat dengan tata busana. Keduanya akan selalu
37
berunding untuk memperoleh karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
pertunjukan.
Harymawan (1986: 135) menjelaskan kegunaan rias dalam teater sebagai
berikut: (a) merias tubuh manusia, artinya mengubah yang alamiah (nature) menjadi
yang budaya (culture) dengan prinsip mendapatkan daya guna yang tepat; (b)
mengatasi efek tata lampu yang kuat; dan (c) membuat wajah dan kepala sesuai
dengan peranan yang dikehendaki. Sementara Riantiarno (2003: 72) memberikan
penjelasan yang lebih sederhana tentang manfaat tata rias yaitu untuk memperjelas
wajah dan ketokohan pemain. Dengan balutan busana dan riasan yang sesuai dengan
karakter tokoh, dipadukan dengan teknik bermain dan penjiwaan yang memadai,
jadilah sebuah akting di atas panggung.
Herman J. Waluyo (2006: 138) menerangkan bahwa berdasarkan jenis rias,
tata rias dapat diklasifikasikan menjadi delapan jenis rias, yaitu sebagai berikut.
a) Rias jenis, yaitu rias yang mengubah peran. Misalnya peran laki-laki diubah
menjadi peran wanita yang memerlukan rias di berbagai bagian tubuh.
b) Rias bangsa, yaitu rias yang mengubah kebangsaan seseorang, misalnya
orang Jawa harus berperan sebagai Belanda, yang ciri-ciri fisiknya berbeda.
c) Rias usia, yaitu rias yang mengubah usia seseorang. Misalnya, orang muda
yang berperan sebagai orangtua atau sebaliknya. Anatomi pelbagai umur
perlu dipelajari untuk merias wajah dan urat atau kulit secara cermat dan
tepat.
38
d) Rias tokoh, yaitu rias yang membentuk tokoh tertentu yang sudah memiliki
ciri fisik yang harus ditiru. Misalnya seorang pemuda biasa harus berperan
sebagai Superman, Gatotkaca, atau penjahat.
e) Rias watak, yaitu rias sesuai dengan watak peran. Tokoh sombong,
penjahat, pelacur, dan sebagainya membutuhkan rias watak yang cukup
jelas, untuk meyakinkan perananya secara fisik.
f) Rias temporal, yaitu rias yang dibedakan karena waktu atau saat tertentu.
Misalnya rias sehabis mandi, bangun tidur, pesta, piknik, sekolah, dan
sebagainya.
g) Rias aksen, yaitu rias yang hanya memberikan tekanan kepada pelaku yang
mempunyai anasir sama dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya pemuda
tampan dengan ras, watak, dan usia yang sama. Fungsi rias hanya untuk
memberi tekanan saja.
h) Rias lokal, yaitu rias yang ditentukan oleh tempat atau hal yang menimpa
peran saat itu. Misalnya rias di penjara, petani, di pasar, dan sebagainya.
8) Cerita atau lakon
Unsur terpenting dari teater adalah cerita atau lakon. Unsur ini merupakan
jawaban dari semua pertanyaan tentang unsur-unsur yang lain. Melalui cerita inilah
sutradara memilih pemain, pemain memainkan perannya, kru artistik mendesain,
dikombinasikan, lalu disajikan di hadapan penonton. Semua komponen dalam teater
akan dipadukan dan disatukan melalui naskah atau cerita.
Kedelapan unsur yang telah disebutkan di atas sebenarnya dapat diringkas
menjadi tiga unsur saja, yaitu pelaku atau manusia sebagai unsur utama, artistik
39
sebagai unsur penunjang, dan cerita sebagai unsur penjalin. Unsur utama meliputi
sutradara dan pemain. Artistik meliputi tata panggung, tata cahaya, tata busana, tata
rias, dan tata suara. Sementara itu, cerita tetap berdiri sendiri sebagai unsur penjalin
di antara semua unsur yang ada.
B. Kerangka Berpikir
Teater TESA merupakan salah satu kelompok teater kampus yang berada di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak tahun 1987. Peneliti
mengkaji dari sisi perkembangan historis Teater TESA untuk mengetahui dinamika
dan perubahan bentuk penggarapan di Teater TESA selama periode 1987-2014.
Tahap akhir dari penelitian ini adalah mengkaji aliran teater yang diterapkan
setiap sutradara pada pementasan teater di Teater TESA selama periode 1987-2014.
Dengan melibatkan unsur-unsur teater yang menjalin kesatuan dan keutuhan dramatik
yang meliputi pemain, sutradara, tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata busana,
tata rias, dan cerita atau lakon akan ditemukan suatu bentuk aliran teater pada
penggarapan tertentu. Melalui pengkajian aliran teater tersebut dapat ditemukan pola
penggarapan Teater TESA secara jelas dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, hasil kajian
aliran teater yang dilihat dari segi perkembangan historis dapat digunakan untuk
melakukan pemetaan terhadap perubahan-perubahan aliran teater dalam penggarapan
pentas di Teater TESA selama periode 1987-2014.
Untuk memudahkan penggambaran terkait kerangka berpikir dalam penelitian
ini, maka dapat disederhanakan melalui bagan berikut:
40
Bagan 2
Kerangka Berpikir
Perkembangan Teater
TESA
1987-2014
Aliran teater Teater TESA
1987-2014
Teater TESA
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Analisis
Simpulan