BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Autisdigilib.uinsby.ac.id/11038/5/Bab 2.pdf · Fisioterapi dan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Autisdigilib.uinsby.ac.id/11038/5/Bab 2.pdf · Fisioterapi dan...
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Autis
Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri, penyandang autis
seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autis baru diperkenalkan sejak
tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-
abad lampau. (Handojo, 2003)
Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004) autis adalah salah satu gangguan
pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama: yaitu pengasingan yang ekstrim
(extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain.
Kedua kebutuhan patologis akan kesamaan, kebutuhan ini berlaku untuk
perilaku anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu multism atau cara bicara
yang tidak komunikatif termasuk echolalia dan kalimat-kalimat yang tidak
sesuai situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam
menerjemahkan kalimat secara harfiah dan pembalikan kata gantinya sendiri,
biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata “kamu”
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM)
IV-TR (APA-2000) autis adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan
perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas
dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti
bergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari usia individu.
11
12
Chaplin menyebutkan: “Autis merupakan cara berpikir yang
dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi
dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak realitas,
keasyikan ekstrem dengan pikiran dan fantasi sendiri”.
Yuniar (2002) menambahkan bahwa autis adalah gangguan
perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat
kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan
orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai keterampilan dan pengetahuan
yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Autis berlanjut sampai dewasa
bila tak dilakukan upaya penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah terlihat
sebelum usia tiga tahun.
Autis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-
IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD
(Pervasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan
perkembangan perpasif (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah
(umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autis). Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan
adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan
bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan
aktivitas.
13
2. Asperger’s Syndrome. Hambatan perkembangan interaksi sosial dan
adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak
menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat
intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-
NOS) Merujuk pada istilah atypical autis, diagnosa PDD-NOS berlaku
bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa
tertentu (Autis, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome. Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang
terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang
normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang
dimilikinya, kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan
dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia
1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan
yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-
tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified
(PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk
menjelaskan adanya beberapa karakteristik autis pada seseorang (Howlin,
1998: 79). National Information Center for Children and Youth with
Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autis dan
PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki
14
karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya
merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi
kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan
berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada
perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman
sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autis.
The National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus
diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut:
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,
menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24
bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia
tertentu
Adanya kelima „lampu merah‟ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut
menyandang autis tetapi karena karakteristik gangguan autis yang sangat
beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara
multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi
Wicara, Pedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autis.
15
Usia timbulnya autis sebelum usia 30 bulan, meskipun demikian sering
sukar dipastikan usia kemunculan gangguan ini untuk pertama kalinya secara
retrospesifik kecuali apabila orang tua yang merawat anak itu pada tahun-
tahun pertamanya mampu memberi keterangan tentang perkembangan bahasa,
kemampuan sosial dan bermain. (Triantono Safaria, 2005)
Klasifikasi autis sedang dan berat sering kali disimpulkan setelah anak
didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism
Rating Scale (CARS). Skala ini menilai derajat kemampuan anak untuk
berinteraksi dengan orang lain, melakukan imitasi, memberi respon emosi,
penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap perubahan, memberikan
respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan. Selain itu,
Childhood Autism Rating Scale juga menilai derajat kemampuan anak dalam
perilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas,
konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh (Schopler dkk
dalam Berkell, 1992 dalam RatnaDewi, 2008).
B. Penyebab Autis
Banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk memastikan apakah
sebenarnya faktor penyebab dari autis. Penelitian di bidang neuro-anatomi,
neurofisiologi, neurokimia, dan genetik pada penyandang autism menemukan
fakta adanya gangguan neurobiologis pada penyandang autis. Autis
disebabkan oleh gangguan atau kelainan pada perkembangan sel-sel otak
selama dalam kandungan. Saat pembentukan sel-sel tersebut, timbul gangguan
16
dari virus, jamur, oksigenasi (perdarahan), keracunan makanan ataupun
inhalasi (keracunan pernafasan), yang menyebabkan pertumbuhan otak tidak
sempurna (Haaga & Neale, 1995 dalam Tri Kurniati Ambarini, 2006).
Penelitian lain yang pernah dilakukan juga menemukan bahwa kelainan
genetik merupakan penyebab dari autis termasuk tubersclerosis,
phenylketonuria, neurofibromatosis, fragile X syndrome, dan syndroma Rett.
Penelitian yang dilakukan oleh Rodier (2000, dalam Herbert & Graudiano,
2002) menemukan bahwa variasi gen HOXA1 pada kromosom 7 pada masa
kehamilan juga dapat menyebabkan autis.
Usia orangtua juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab autis,
makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak
menderita autis. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan,
perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autis
dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Menurut Alycia
Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks hal ini diduga
karena terjadinya faktor mutasi gen pada orangtua yang memiliki usia di atas
40 tahun. (http//www.kompas.com diakses tanggal 11 Januari 2012)
C. Simptoma klinis
Beberapa simptom klinis menurut DSM IV pada penderita autis antara
lain dalam hal:
1. Interaksi Sosial (minimal 2):
17
a. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata,
ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju.
b. Kesulitan bermain dengan teman sebaya.
c. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional dua arah.
2. Komunikasi Sosial (minimal 1):
a. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal.
b. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris.
c. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip.
d. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi sosial
3. Imajinasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (min1):
a. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan, baik intensitas dan fokusnya.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna.
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali
sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda.
Gejala umum yang bisa diamati dari anak gangguan autis, fungsi
kognisi, tidak adanya kontak mata, komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi
diri, mengamuk (tempertantrum), tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti
diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang steriotipik (Triantono Safaria,
2005).
18
D. Karakterisik Anak Autis
Autis adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya
inteferensi pada perkembnagan otak pada masa prenatal atau selama dua
tahun awal kehidupan anak. Autis merupakan manifestasi perilaku yang
timbul dari disfungsi yang terjadi pada maturasi neurobiologis dan fungsi
sistem syaraf pusat (Vivi Juanita, 2003).
Autis memiliki gambaran unik dan karakter yang berbeda dari anak
lainnya. Berikut ini karakteristik dari anak autis (Bony Danuatmaja, 2003)
1. Selektif yang berlebihan terhadap rangsangan sehingga kemampuan
menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat terbatas.
2. Kurang motivasi. Bukan hanya sering menarik diri dan asyik sendiri tetapi
juga cenderung tidak termotivasi menjelajah lingkungan baru atau
memperluas lingkungan perhatian mereka.
3. Memiliki respon stimulasi diri yang tinggi. Mereka menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk merangsang diri sendiri, misalnya
bertepuk tangan, mengepak-ngepakkan tangan dan memandangi jari-jari
sehingga mereka kurang produktif.
4. Memiliki respon terhadap imbalan. Mereka belajar paling efektif pada
kondisi imbalan langsung yang jenisnya sangat individual. Namun, respon
ini berbeda untuk setiap anak autis.
Menurut Autis Society of America, penyandang autis kadang
menunjukkan seolah menghindari kontak mata, tidak mengenal bahaya, tidak
suka digendong, bermain secara aneh dan berulang-ulang. Ia lebih senang
19
sendirian, responsnya tidak sesuai atau tidak responsive terhadap suara,
memiliki kelekatan dengan benda-benda tertentu, membeo kata, dan kesulitan
menyatakan keinginannya.
Karakteristik penyandang autis umumnya cenderung hiperaktif, kurang
fokus terhadap lawan bicara, dan membatasi mereka dengan lingkungan
sekitar. Namun dengan keterbatasan ini tidak berarti mereka tidak dapat
diterima dalam pergaulan. Meski tidak dapat disembuhkan, rehabilitasi dan
pendidikan yang intensif dan ekstensif dapat mengurangi gejala autis.
E. Terapi untuk Anak Autis
Seorang penderita autis tidak dapat disembuhkan, namun terapi dapat
membantu seseorang agar dapat mengurangi bahkan menghilangkan gejala
autis yang dimiliki, berikut ini beberapa terapi yang biasa digunakan
(http://www.ychicenter.org/ diakses tanggal 10 Mei 2012)
1. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai, telah dilakukan
penelitian dan didesain khusus untuk anak dengan autis. Sistem yang
dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan
positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bisa diukur
kemajuannya.
2. Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autis mempunyai kesulitan dalam
bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak
20
pula individu autis yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat
kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka
tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/
berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan
berbahasa akan sangat menolong.
3. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam
perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka
kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan
untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih
mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar.
4. Terapi Fisik
Autis adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak
diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam
motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga
jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi
dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk
menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam
bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan
pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi dua arah, membuat teman
21
dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu
dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-
teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
6. Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan
pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya
berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang
terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik
tertentu.
7. Terapi Perilaku
Anak autis seringkali merasa frustrasi, karena teman-temannya
seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit
mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif
terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering
mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar
belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan
merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk
memperbaiki perilakunya.
8. Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental
Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak
dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya,
kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan
22
Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku
seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual
learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk
mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar,
misalnya dengan PECS (Picture Exchange Communication System).
Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan
ketrampilan komunikasi.
10. Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang
tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para
perintisnya mempunyai anak autis. Mereka sangat gigih melakukan riset
dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya
gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi
otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif,
pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang
ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan.
Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan
terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh
sendiri (biomedis).
23
F. Pengertian Sekolah Inklusi
Inklusi berasal dari kata inclusion yang berarti penyatuan, inklusi dapat
pula bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan,
keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang
menyeluruh. (J. David Smith, 2006)
Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyediakan dan menampung
anak-anak berkebutuhan khusus untuk di didik di lingkungan sekolah biasa
dengan anak-anak lain yang normal (Direktorat PLB, 2004).
Program inklusi adalah sebuah program yang memungkinkan
diterimannya siswa-siswa berkebutuhan khusus untuk belajar dan
memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah biasa. Sekolah inklusi dimulai
dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam sekolah
dan kehidupan komunitas umum. Pendidikan inklusi merupakan
perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak Special Need yang
secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca dalam
konferensi dunia tentang pendidikan berkelainan bulan Juni 1994, bahwa
prinsip mendasar pendidikan inklusi adalah: selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau
perbedaan yang mungkin ada (Emawati, 2008).
Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional, pada penjelasan pasal 15 pendidikan khusus merupakan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
mempunyai kecerdasan luar biasa, yang diselenggarakan secara inklusif atau
24
berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Pasal 15 tersebut memungkinkan adanya pembaharuan bentuk
layanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Melalui pendidikan inklusi anak-anak berkelainan dididik
bersama biasanya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
(Lasarie & Gusniarti, 2009)
Dalam PERMENDIKNAS RI No. 70 tahun 2009 Pasal 1 Pendidikan
Inklusif didefinisikan “sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya”.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi
adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan
dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih
dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima,
menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan
teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa pendidikan
inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat
25
secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler
merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis
kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Freiber (1995) Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik
bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat
terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan
sebagai suatu komunitas.
Sedangkan menurut Sopan & Shevin (1995) Inklusi didefinisikan
sebagai sistem layanan pendidikan luar biasa untuk Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) yang mensyaratkan agar semua anak yang memiliki kebutuhan
khusus belajar bersama-sama seyogyanya di kelas yang sama di sekolah
sekolah tersebut. Kemudian dalam pernyataan lain Berns dallam Groce
(1998:23) Sekolah Inklusi dipandang sebagai sekolah yang menyediakan
layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-
sama dengan anak normal dalam komunitas sekolah. Selain itu sekolah inklusi
merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari
kelas, dapat mengakomodir dan merespon keberagaman melalui kurikulum
yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak dan bermitra dengan masyarakat.
1. Landasan-landasan pendidikan Inklusi
Landasan-landasan penerapan pendidikan Inklusi seperti yang
termuat dalam, yaitu:
26
a. Landasan Filosofis
Yakni, adanya keyakinan bahwa setiap anak, baik karena
gangguan perkembangan fisik/mental maupun cerdas/bakat istimewa
berhak untuk memperoleh pendidikan seperti layaknya anak-anak
“normal” lainnya dalam lingkungan yang sama (Education for All).
1) Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh
pendidikan.
2) Setiap anak mempunyai potensi, karakteristik, minat,
kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda.
3) Sistem pendidikan seyogyanya dirancang dan dilaksanakan
dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan
kebutuhan anak.
4) Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak untuk memperoleh
akses pendidikan di sekolah umum.
5) Sekolah umum dengan orientasi inklusi merupakan media untuk
menghilangkan sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat
yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan
mencapai pendidikan bagi semua.
b. Landasan Yuridis
1) Undang Undang Dasar 1945, pasal 31 (1) dan (2)
2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, tentang perlindungan anak,
pasal 51.
27
3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan
nasional: pasal 3, pasal 4 (1), pasal 5 (1) (2) (3) (4), pasal 11 (1),
pasal 12 (1.b).
4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang
cacat.
5) Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Depdiknas No. 380/G.06/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
tentang pendidikan inklusif.
c. Landasan Empiris
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948), Declaration of Human
Rights.
2) Konvensi Hak Anak, (1989), Convention on the Rights of the
child.
3) Konferensi Dunia (1990), tentang Pendidikan untuk Semua,
(World Conference on education for all).
4) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The standard rules on the
equalization of opportunities for person with disabilities).
5) Pernyataan Salamanca (1994), tentang Pendidikan Inklusif.
6) Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua.
7) Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju
pendidikan inklusif”.
28
8) Rekomendasi Bukit Tinggi (2005), tentang meningkatkan
kualitas sistem pendidikan yang ramah bagi semua.
d. Landasan Pedagogis
Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat.
G. Tujuan Sekolah Inklusi
Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau
berkebutuhan khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal
lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan diantara anak berkebutuhan
khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuan
khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Tujuan utama diadakannya program pendidikan inklusi ini yakni untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) dan
memberi kesempatan pada mereka untuk bersosialisasi. Berdasarkan tujuan
diatas, harapan untuk bisa mengoptimalkan potensi ABK tentunya menjadi
harapan banyak orang khususnya bagi orang tua yang memiliki ABK ini.
29
Sekolah inklusi memfasilitasi harapan maupun impian anak-anak ABK ke
depannya.
H. Manfaat Sekolah inklusi
Pendidikan inklusi bertujuan untuk memudahkan guru dan pelajar
untuk merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai
tantangan dan pengayaan lingkungan pembelajaran daripada melihatnya
sebagai masalah. (UNESCO, 1994 dalam Kurdi 2009)
Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh anak namun
berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah
sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan
pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman
bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan harus dikontrol oleh
sekolah, bukan dibantu. Banyak anak berkelainan yang tidak mampu
memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat,
sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban kontemporer bagi
anak-anak berkelainan atau special need (Emawati, 2008)
Sedangkan menurut Smith (2006) pendidikan inklusi juga
memungkinkan siswa berkebutuhan khusus melakukan pembelajaran emosi
dan sosial secara lebih wajar. Di sisi lain, model ini juga mendorong siswa
lain untuk belajar menghargai dan menerima anak-anak berkebutuhan khusus.
30
I. Model Sekolah Inklusi
Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia,
model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan
bahwa inklusi sama dengan mainstreaming (Asham, 1994). Penempatan anak
berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model
sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh): Anak berkelainan belajar bersama anak lain
(normal) sepanjang hari dikelas reguler dengan menggunakan kurikulum,
materi, proses serta evaluasi pembelajaran yang sama.
2. Kelas reguler dengan tambahan bimbingan dalam kelas (cluster): Anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out: Anak berkelainan belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out: anak berkelainan belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan
dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas-kelas reguler ke ruang
sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian: anak berkelainan belajar
didalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang
tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
31
6. Kelas khusus penuh: Anak berkelainan belajar didalam kelas khusus pada
sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak mengharuskan semua anak
berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajaran
(inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas
khusus atau ruang terapi tergantung gradasi kelainan yang dimiliki siswa.
Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya cukup berat,
mungkin akan lebih banyak waktunya berada dikelas khusus pada sekolah
reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat
berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat
disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit). Setiap
inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama
bergantung kepada jumlah anak berkelainan yang akan dilayani, jenis
kelainan masing-masing anak, gradasi (tingkat) kelainan anak, ketersediaan
dan kesiapan tenaga kependidikan, serta sarana-prasarana yang tersedia.
(Emawati, 2008)
J. Kurikulum Sekolah Inklusi
Dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 1 angka 19 disebutkan bahwa kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, teknik penilaian, serta cara yang digunakan sebagai pedoman
32
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama
guru pembimbing khusus (GPK) sebelum melaksanakan kegiatan
pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu perlu
menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana
pembelajaran reguler, modifikasi pembelajaran serta program pengajaran
individual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus. PPI merupakan rencana
pengajaran yang dirancang untuk satu orang peserta didik yang berkebutuhan
khusus atau yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa.
Kurikulum ini sebagai dokumen yang menetapkan kebutuhan akademis,
fisik, sosial, dan emosional seorang siswa dan memberikan kerangka
perencanaan yang berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan siswa serta
menjabarkan sumber-sumber pendidikan yang diperlukan. (Jurnal Pendidikan
Khusus, vol 6 nomor 1, Mei 2010)
K. Pengertian Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Anak autis mempunyai cara berpikir yang berbeda dan kemampuan
yang tidak merata disemua bidang, misalnya pintar matematika tapi tidak
suka menulis dsb. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autistik
didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing
khusus (GPK). Pengertian guru pembimbing khusus atau GPK yakni:
1. Bukan guru kelas
33
2. Bukan guru mata pelajaran
3. Bukan guru pembimbing dan penyuluhan
4. Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang memiliki kualifikasi/ latar
belakang pendidikan luar biasa yang bertugas menjembatani kesulitan
ABK dan guru kelas/ mata pelajaran dalam proses pembelajaran serta
melakukan tugas khusus yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya.
Tugas khusus itu adalah tugas yang berkaitan dengan kebutuhan khusus
ABK.
Guru pembimbing khusus yakni seseorang yang dapat membantu guru
kelas dalam mendampingi ABK pada saat diperlukan, sehingga proses
pengajaran dapat berjalan lancar tanpa gangguan.
L. Tugas Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Tugas guru pembimbing khusus menurut (Dit PLB 2004, 9) antara lain:
1. Menyusun instrumen asesmen pendidikan dengan guru kelas dan guru
mata pelajaran.
2. Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dengan orang
tua siswa.
3. Memberikan bimbingan kepada anak-anak berkebutuhan khusus,
sehingga anak mampu mengatasi hambatan atau kesulitan dalam belajar.
4. Memberikan bantuan (sharing pengalaman) kepada guru kelas/guru mata
pelajaran dalam bentuk diskusi agar mereka pelayanan pendidikan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
34
5. Memberikan saran dan dukungan pada peserta didik dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran di sekolah.
6. Bersama dengan guru di sekolah, guru pembimbing khusus dapat
merancang kurikulum individual bagi anak berkebutuhan khusus.
7. Sebagai fasilitator.
M. Peran Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Sedangkan peran guru pembimbing khusus dalam sekolah inklusi
adalah sebagai guru pembimbing bagi siswa ABK dengan tugas pokok adalah
sebagai berikut:
1. Mengembangkan dan memelihara kesepadanan optimal ABK dengan
anak lain.
2. Menjaga agar kehadiran ABK tidak mengganggu pelaksanaan program
pendidikan sekolah umum.
3. Mengembangkan dan meningkatkan program pendidikan inklusi.
4. Mengusahakan keserasian suasana pendidikan di sekolah dan di tengah-
tengah keluarga anak berkebutuhan khusus. Tugas pokok GPK termuat
dalam (Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif:
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajeman
Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa Tahun 2007)
35
N. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan
dilakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Dede Nurmayanti tahun
2007 dengan judul “Peran Guru Pembimbing Khusus (GPK) dalam
Memberikan Pelayanan Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah
Dasar Regular” dari Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitian ini
dilakukan di daerah Bandung dengan subjek GPK berasal dari beberapa
sekolah dasar. Adapun perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti adalah peneliti hanya menggunakan subjek dari satu sekolah dasar
inklusi saja.
O. Kerangka Teoritik
Siswa
Autis
Sekolah
Dasar
Inklusi
GPK
36
Dari bagan di atas, keterangannya adalah siswa autis yang bersekolah di
sekolah dasar inklusi memerlukan guru pembimbing khusus yang dapat
membantu mengatasi hambatan dalam belajar mereka di sekolah dengan
memberikan layanan-layanan pendidikan sebagaimana tugas seorang guru
pembimbing khusus.
Dari teori yang dikemukakan diatas, peneliti mengambil beberapa teori
yang akan digunakan dalam penelitian ini. Untuk teori tentang autis, peneliti
menggunakan teori dari karakterisik DSM IV-TR (APA-2000), Autis adalah
keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial,
komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan.
Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti bergantung pada tingkat
perkembangan dan usia kronologis dari usia individu.
Gejala umum yang bisa diamati dari anak gangguan autis, fungsi
kognisi, tidak adanya kontak mata, komunikasi satu arah, afasia,
menstimulasi diri, mengamuk (tempertantrum), tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang
steriotipik (Triantono Safaria, 2005).
Adapun Terapi-terapi yang digunakan untuk menangani siswa autis
antara lain:
1. Applied Behavioral Analysis (ABA)
2. Terapi Wicara
37
3. Terapi Okupasi
4. Terapi Fisik
5. Terapi Sosial
6. Terapi Bermain
7. Terapi Perilaku
8. Terapi Perkembangan
9. Terapi Visual
10. Terapi Biomedik
Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyediakan dan menampung
anak-anak berkebutuhan khusus untuk dididik di lingkungan sekolah biasa
dengan anak-anak lain yang normal (Direktorat PLB, 2004).
Sekolah inklusi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teori dari Sopan & Shevin (1995) Inklusi didefinisikan sebagai sistem layanan
pendidikan luar biasa untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang
mensyaratkan agar semua anak yang memiliki kebutuhan khusus belajar
bersama-sama seyogyanya di kelas yang sama di sekolah sekolah tersebut.
Model sekolah inklusi yang juga akan dibahas dalam penelitian ini
adalah:
1. Kelas reguler (inklusi penuh): Anak berkelainan belajar bersama anak
lain (normal) sepanjang hari dikelas reguler dengan menggunakan
kurikulum, materi, proses serta evaluasi pembelajaran yang sama.