BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar · 2012. 11. 27. · Pembelajaran...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar · 2012. 11. 27. · Pembelajaran...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat bermanfaat
dalam kehidupan manusia sehingga matematika mulai diberikan di
tingkat pendidikan dasar. Menurut Aisyah (dalam Kriswandani, 2008),
matematika dipilih menjadi salah satu mata pelajaran yang diberikan di
SD karena matematika digunakan untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama.
Tujuan matematika sekolah di SD dan Madrasah Ibtida’iyah (MI)
oleh pemerintah yang dikutip Aisyah (dalam Kriswandani, 2008), yaitu :
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efesien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
11
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Tujuan umum dan khusus yang ada di kurikulum SD/MI, merupakan
pelajaran matematika di sekolah, jelas memberikan gambaran belajar
tidak hanya di bidang kognitif saja, tetapi meluas dalam bidang
psikomotor dan afektif Aisyah (dalam Kriswandani, 2008).
Pembelajaran matematika diarahkan untuk pembentukan kepribadian
dan pembentukan kemampuan berpikir yang bersandar pada hakikat
dan arti dari matematika. Oleh karenanya, hasil-hasil pembelajaran
matematika menampakkan kemampuan berpikir yang matematis
dalam diri siswa, yang bermuara pada kemampuan menggunakan
matematika sebagai bahasa dan alat dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Hasil lain yang tidak
dapat diabaikan adalah terbentuknya kepribadian yang baik dan
kokoh Aisyah (dalam Kriswandani, 2008). Selain itu, pembelajaran
matematika juga mempunyai misi yakni siswa terampil dalam
menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-
hari dan mereka menjadi manusia yang mempunyai kreativitas yang
tinggi.
12
Merujuk pada berbagai pendapat para ahli matematika SD
dalam mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa, maka guru
hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang efektif dan efesien,
sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa. Dalam menyusun dan
merancang pembelajaran matematika yang efektif dan efesien, guru
harus mempertimbangkan keberadaan/variasi kemampuan
intelegensi, gaya belajar, dan minat siswa terhadap matematika
karena dengan menguasai dan memahami individu, maka
pembelajaran akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Heruman (dalam Kriswandani, 2008), konsep-konsep pada
kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar,
yaitu :
1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu
pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum
pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui
konsep ini dari isi kurikulum, yang dicirikan dengan kata
“mengenal”. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan
jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif
siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang
abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media
atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu
kemampuan pola pikir siswa.
13
2. Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami
suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri dari
pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan.
Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan
pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan
dari penanaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman
konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan
sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya.
3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran
pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil
dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya
pada pemahaman konsep, pembinaan keterampilan juga terdiri
atas dua pengertian, yaitu pertama, merupakan kelanjutan dari
pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan, dan
yang kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan
pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan
dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pada pertemuan
tersebut, penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah
disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas
sebelumnya.
14
Materi matematika di SD terbagi atas 3 bagian topik besar, yaitu
aljabar yang meliputi operasi bilngan bulat dan bilangan pecahan
beserta perhitungan persyaratan yang mengikutinya misalnya KPK dan
FPB, geometri yang meliputi geometri ruang dan geometri datar
beserta dengan satuan ukurannya, dan pengenalan statistika yang
diberikan di kelas 6. Ketika topik besar tersebut dibagi menjadi banyak
sub topik yang kesemuanya diberikan selama 6 tahun yakni dimulai
dari kelas 1 sampai kelas 6.
Dengan demikian pembelajaran matematika di SD diharapkan
dapat menjadi bekal bagi siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi. Tujuan Pendidikan Dasar adalah meletakan dasar
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut. Jadi, SD merupakan dasar dari keseluruhan jenjang pendidikan
selanjutnya yang sangat penting dalam menentukan masa depan dan
keberhasilan peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya.
Pentingnya Pendidikan di Sekolah Dasar juga diungkapkan oleh
Sayidiman Suryohadiprojo yang dikutip oleh H.A.R. Tilaar (2002)
yaitu bahwa Pendidikan Dasar yang menentukan hasil usaha
pendidikan secara keseluruhan. Apabila tidak ada pendidikan dasar
yang bermutu, sukar diharapkan penyelenggaraan pendidikan
menengah dan perguruan tinggi dengan peserta pendidikan yang
memadai kemampuannya. Akibatnya pendidikan menengah menjadi
15
kurang bermutu, dan sebagai mata rantai berikutnya, pendidikan tinggi
akan kurang dapat menghasilkan pakar dalam berbagai bidang yang
bermutu.
2.2. Problematika Pembelajaran Matematika SD
Selama ini matematika merupakan mata pelajaran yang
menjadi momok bagi setiap orang dan tak terkecuali dengan anak SD.
Matematika dianggap mata pelajaran yang sangat sulit untuk dipahami
dan matematika identik dengan banyaknya rumus yang harus
dihafalkan dan banyaknya soal yang harus dikerjakan sehingga image
matematika yang menyatakan bahwa matematika adalah pelajaran
yang sulit semakin melekat erat dalam benak dan diri siswa. Terdapat
beberapa fenomena tentang pembelajaran matematika di SD menurut
beberapa ahli :
Pendapat pertama, pembelajaran mata pelajaran matematika di sekolah
dasar masih lemah. Pengajaran matematika masih terfokus pada teori
sehingga murid menjadi kurang kreatif, terlalu formal, dan masih
terpaku pada rumusan baku. Kelemahan pembelajaran matematika di
sekolah ini terlihat pada lomba Mathematics Problem Solcing
Competition for Elementary School yang diselenggarakan di Purikids.
Mayoritas peserta lomba yang terdiri atas 61 tim dari 15 SD cenderung
kesulitan dalam mengerjakan soal terbuka yang berbentuk cerita dan
mereka juga tidak terbiasa mempresentasikan penyelesaian soal
16
matematika di depan kelas atau para juri. Menurut Yansen Marpaung
yang selaku juri dalam perlombaan tersebut, menyatakan bahwa
”perlombaan ini mencerminkan sistem pembelajaran matematika di
sekolah guru tidak pernah mendorong murid untuk menggali strategi
sendiri. Anak-anak hanya bisa mengungkapkan apa yang mereka
terima dari guru”. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa ”sekolah
masih menerapkan metode dan strategi pengajaran matematika yang
tradisional. Murid lebih banyak pasif dan tidak pernah belajar
menyelesaikan soal terbuka. Tiap sekolah seharusnya mulai memberi
kesempatan kepada murid untuk membangun strategi sendiri. Selain
itu, pertanyaan yang diberikan kepada murid harus terkait dengan
realita hidup sehari-hari” (Kompas, 4 Desember 2006).
Pendapat kedua tentang pembelajaran matematika di sekolah adalah
pendapat Suharno dkk (dalam Kriswandani, 2008), yang menyatakan
bahwa ”dalam pembelajaran matematika di sekolah, sebagian besar
siswa berpandangan bahwa mata pelajaran matematika sulit dan
menakutkan. Hai ini terlihat dari sikap siswa dalam mengikuti
pelajaran yakni pasif, tidak masuk kelas (membolos selama pelajaran
matematika berlangsung), merasa bosan, takut, tidak mengerjakan
tugas sehingga siswa tidak dapat mengikuti pelajaran / mengerjakan
tugas-tugas secara optimal. Akhirnya siswa hanya sekedar
mengerjakan tugas agar tidak dimarahi bapak/ibu guru”. Selain itu, ia
juga berpendapat bahwa ”keadaan tersebut diperburuk dengan
17
penerapan metode pembelajaran matematika yang tidak melibatkan
partisipasi siswa. Guru menerangkan dan siswa mendengarkan, guru
aktif dan siswa pasif, kemudian siswa disuruh latihan mengerjakan
soal. Tidak ada upaya untuk mendekatkan materi matematika pada
masalah kehidupan sehari-hari siswa sehingga siswa tertarik untuk
mempelajarinya”.
Pendapat ketiga merupakan pendapat Idris Harta, Ph.D dalam Kompas
tanggal 16 Oktober 2006, yang menyatakan bahwa ”saat ini masih
banyak sekolah yang menggunakan pendekatan latihan pada
pembelajaran matematika. Metode itu dirancang untuk
mengembangkan kemampuan pikiran melalui latihan berulang
keterampilan berhitungm meminta siswa menghafal langkah atau
rumus-rumus”. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa ”pendekatan ini
kurang bermakna dan tidak mengaplikasikan keterampilan berhitung
pada situasi pemecahan masalah. Melalui cara ini, siswa menjadi
bosan dan tidak menyenangi matematika”.
Pendapat keempat adalah pendapat Marpaung dan pakar yang
mengamati pembelajaran di kelas (Marpaung, 2003). Marpaung
berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan hingga
kini mayoritas masih menggunakan paradigma pengajaran. Terdapat
beberapa kesan mahasiswa terhadap proses pembelajaran matematika
yang masih menggunakan paradigma pengajaran ini, yaitu :
18
a. Pada umumnya siswa takut pada mata pelajaran matematika;
b. Matematika dianggap sulit, abstrak, dan tidak bermakna;
c. Pelajaran matematika mambuat siswa stress;
d. Bahan yang dipelajari terlalu banyak;
e. Matematika penuh dengan rumus-rumus;
f. Guru matematika pada umumnya galak-galak; dan
g. Pembelajaran berlangsung serius dan kurang manusiawi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika selama ini masih berorientasi pada transfer ilmu dari guru
ke siswa dan siswa dianggap sebagai kertas kosong yang siap ditulisi
dengan tinta sesuai dengan keinginan penulisnya (dalam hal ini guru).
Selain itu, terdapat kecenderungan rendahnya prestasi belajar siswa
dalam pelajaran matematika dan hal ini kemungkinan disebabkan oleh
rendahnya minat dan motivasi dalam mempelajari matematika, metode
atau cara guru menyampaikan materi matematika, atau adanya
anggapan yang salah tentang pelajaran matematika dan cara
penyampaiannya.
2.2.1. Pembelajaran Matematika dengan Model Pendidikan
Matematika Realistik
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai
pendidikan matematika realistik (PMR), adalah sebuah pendekatan
belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh
19
sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht
University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (dalam Kriswandani, 2008) bahwa
matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas
matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada
siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Landasan
filosofi PMR adalah RME. RME merupakan teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di Belanda. Teori ini berangkat dari
pendapat Fruedenthal bahwa matematika merupakan aktivitas insane
dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak
dapat dipisahkan dari sifat matematika seseorang memecahkan
masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi
materi pelajaran Gravemeijer (dalam Sutarto Hadi, 2003). Freudenthal
berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima
pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus
diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang
memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika
berdasarkan usaha mereka sendiri. Di sini matematika dilihat sebagai
kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah Dolk (dalam
Suryanto, 2010). Karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima
pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide
dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan
20
kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan
dunia nyata (Hadi, 2005). Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala
sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari,
lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap
sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih
penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik
digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia
nyata. Soedjadi (dalam Suryanto 2010) mengemukakan bahwa, di
negeri Belanda telah dikembangkan Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR). Dalam pendekatan PMR, pembelajaran matematika
lebih memusatkan kegiatan belajar pada siswa dan lingkungan serta
bahan ajar yang disusun sedemikian sehingga siswa lebih aktif
mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan
diperolehnya. Dalam pembelajaran matematika realistik diperlukan
dunia nyata untuk awal permulaan pengenalan pembelajaran
matematika pada usia anak SD. Siswa akan memperoleh informasi dari
pengalaman yang telah didapat di kehidupan nyata anak dan akan
mampu memecahkan permasalahan.
2.2.2. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Karakteristik PMR Menurut Lauge dan Gravemeijer (dalam
Kriswandani, 2008), sebagai penjabaran dari ketiga level Van Hiele,
21
fenomena didaktik Freudenthal dan matematisasi progresif Treffers
(dalam Kriswandani, 2008) adalah menggunakan konteks “dunia
nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan
keterkaitan (interwinement) dan dijelaskan sebagai berikut :
1. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”
Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah
kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata yang
dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui
abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang
lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-
konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu
diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of
everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
2. Menggunakan Model-Model (Matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model
matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed
models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa
dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke
matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam
22
menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat
dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model
tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui
penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for
masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika
formal.
3. Menggunakan Produksi dan Konstruksi
Dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam
proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur
pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi
pengetahuan matematika formal.
4. Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang
mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang
berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju,
pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari
bentuk-bentuk informal siswa.
23
5. Menggunakan Keterkaitan (interwinement)
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah
esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan
dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan
masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan
pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar,
atau geometri tetapi juga bidang lain. Menurut Sutarto Hadi,
berdasarkan karakteristik tersebut RME mempunyai konsepsi tentang
siswa sebagai berikut:
1. Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide
matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
3. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan,
penyusunan kembali, dan penolakan;
4. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya
sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
5. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin
mampu memahami dan mengerjakan matematika.
24
(Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Matematika
Realistik)
1. Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono (dalam Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran
matematika realistik antara lain:
a. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan
antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang
kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
b. Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya
oleh mereka yang disebut pakar matematika.
c. Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan
tidak usah harus sama antara orang yang satu dengan yang lainnya.
d. Mempelajari matematika proses pembelajaran merupakan sesuatu
yang utama dan untuk mempelajarai metematika orang harus
menjalani sendiri proses itu dan menemukan sendiri konsep-konsep
matematika dengan bantuan guru.
e. Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang juga dianggap unggul yaitu antara
pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme dan
pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.
25
2. Kelemahan pembelajaran matematika realistik
Kelemahan pembelajaran realistik menurut Suwarsono (dalam Hadi, 2003),
yaitu :
a. Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap
topik matematika yang perlu dipelajari siswa.
b. Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada
pembelajaran konvensional
c. Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu proses
berfikir siswa.
Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan
pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak
mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan
soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak
yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak
yang aktif mengkonstruksi konsep konsep matematika. Guru dipandang
lebih sebagai pendamping bagi siswa. Pencarian soal-soal kontekstual
yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk
setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena
soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk
menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal
kontekstual, proses pematematikaan horisontal dan proses pematematikaan
26
vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan
mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa
membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep
konsep matematika tertentu.
Cara mengatasi kelemahan pembelajaran matematika realistik
dapat dilakukan upaya-upaya antara lain: (1) memotivasi semua siswa
untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran; (2) memberikan bimbingan
kepada siswa yang memerlukan; (3) memberikan waktu yang cukup
kepada siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep, dan (4)
menggunakan alat peraga yang sesuai sehingga dapat membantu proses
berpikir siswa, maka pembelajaran matematika dengan pendekatan
realistik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap
konsep matematika.
Langkah-langkah dalam pembelajaran matematika realistik
menurut Van Reeuwijk (dalam Wahyudi dan Kriswandani, 2010) adalah
sebagai berikut :
Langkah Pertama Memahami masalah/soal konteks guru memberikan
masalah/persoalan kontekstual dan meminta siswa untuk
memahami masalah tersebut. Langkah ini sesuai dengan
karakteristik PMR, yaitu menggunakan masalah
kontekstual.
Langkah Kedua Menjelaskan masalah kontekstual. Langkah ini
dilaksanakan apabila ada siswa yang belum paham dengan
masalah yang diberikan. Jika semua siswa sudah
memahami maka langkah ini tidak perlu dilakukan. Pada
langkah ini guru menjelaskan situasi dan kondisi soal
dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian
tertentu yang belum dipakai siswa. Langkah ini sesuai
dengan karakteristik PMR, yaitu adanya interaksi antara
siswa dengan guru maupun dengan siswa lain.
Langkah Ke tiga Menyelesaikan masalah kontekstual siswa secara
27
kelompok atau individu. Dalam menyelesaikan masalah
atau soal siswa diperbolehkan berbeda dengan siswa yang
lain. Dengan menggunakan lembar kegiatan siswa, siswa
mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda.
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah
dengan cara mereka sendiri. Guru hanya memberikan
arahan berupa pertanyaan langkah atau pertanyaan
penggiring agar siswa mampu menyelesaikan masalah
sendiri. Ini sesuai dengan karakteristik PMR, yaitu
menggunakan model-model (matematisasi).
Langkah Ke empat Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Guru
memfasilitasi diskusi dan menyediakan waktu untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal
secara kelompok, dan selanjutnya dengan diskusi kelas.
Langkah ini sesuai dengan karakteristik PMR, yaitu
menggunakan kontribusi siswa dan interaksi antar siswa
yang satu dengan yang lain.
Langkah Ke lima Menyimpulkan hasil diskusi. Guru mengarahkan siswa
untuk menarik kesimpulan suatu konsep, kemudian guru
meringkas atau menyelesaikan konsep yang termuat dalam
soal.
2.2.3. Hasil Belajar
Menurut Oemar Hamalik (2004) hasil belajar adalah bila seseorang
telah belajar akan terjadi perubahan tingkahlaku pada orang tersebut
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti. Menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Lina, 2009), hasil
belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa
dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat
sebelum belajar. Dari sisi guru, adalah bagaimana guru bisa
menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa menerimanya.
Menurut Winkel (dalam Lina, 2009),“mengemukakan bahwa hasil belajar
merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.
28
Sedangkan menurut Arif Gunarso (dalam Lina, 2009),”hasil belajar adalah
usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-
usaha belajar”. Jadi hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang
dari proses belajar yang telah dilakukannya.
Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih
baik dengan melakukan usaha secara maksimal yang dilakukan oleh
seseorang setelah melakukan usaha-usaha belajar. Hasil belajar biasanya
dinyatakan dalam bentuk nilai. Setelah mengkaji pengertian hasil belajar
dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki
siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai
peranan penting dalam proses pembelajaran.
Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa proses
penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru
tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya
melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat
menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk
keseluruhan kelas maupun individu. Setiap keberhasilan belajar diukur
dari seberapa jauh hasil belajar yang diperoleh siswa. Keberhasilan siswa
dalam mencapai tujuan pengajaran diwujudkan dengan nilai.
Nana Sudjana (dalam techonly13, 2009) menyatakan bahwa hasil
belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang
dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh
29
siswa. Proses belajar merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai
siswa.
Pemerolehan hasil belajar yang baik akan memberikan kebanggaan
pada diri sendiri, dan orang lain. Untuk itu guna memperoleh hasil belajar
yang baik siswa dihadapkan dengan beberapa faktor yang bisa membuat
siswa mendapatkan hasil belajar yang baik.
2.3. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Riska Novita sari (2008) menyatakan bahwa dalam penelitiannya
yang berjudul “ Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 14 Palembang “
dalam penerapan pembelajaran matematika realistik ada pengaruh model
Pembelajaran Matematika Realistik terhadap hasil belajar matematika
siswa kelas VII SMP Negeri 14 Palembang. Pengaruh tersebut terlihat
dengan adanya peningkatan hasil belajar matematika Siswa Kelas VII
SMP Negeri 14 Palembang.
Hustiawan Adha Cahyono (2009) dalam penelitiannya yang berjudul
“ Penerapan Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Bangun
Ruang di Kelas VIII D SMP Negeri 5 Malang.” menyatakan bahwa prestasi
belajar pada materi bangun ruang siswa kelas VIII D SMP Negeri 5
Malang meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata pretes yaitu
62,74 yang meningkat pada nilai rata-rata postes I yaitu 76,18 menjadi
30
88,1 pada nilai rata-rata postes II. Di samping itu juga dilihat dari
banyaknya siswa yang tuntas belajar mengalami peningkatan yaitu dari
nilai pretes I diketahui 29% siswa tuntas belajar kemudian untuk nilai
postes I siswa yang tuntas belajar naik menjadi 74%. Pada postes II
banyak siswa yang tuntas belajar naik lagi menjadi 97%.
2.4. Kerangka Berfikir
PMR mengutamakan adanya aktivitas pembelajaran yang aktif dari
siswa dimana guru bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi
siswa. Suasana pembelajaran yang timbul sebagai dampak dari penggunaan
PMR berbeda dengan suasana pembelajaran konvensional, misalnya
dengan metode ceramah, yang terkesan kaku dan penuh tekanan bagi siswa
yang cenderung berpusat pada guru dan siswa menjadi penerima pasif
dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika menggunakan model
PMR, siswa mendapat kebebasan untuk memilih kreatifitas belajar yang
akan dilakukannya untuk mencapai pemahaman terhadap materi yang
sedang dipelajari. Akibatnya, masing-masing siswa melakukan aktivitas
belajar yang berbeda-beda, sesuai dengan karakteristik dan kemampuannya.
Pembelajaran matematika dengan model PMR disajikan semenarik
mungkin untuk menarik perhatian dan kreatifitas siswa dalam berpikir
untuk memahami pelajaran yang sedang dipelajari. Seorang anak akan
lebih mudah mempelajari hal yang menarik perhatian daripada hal yang
tidak menarik perhatian. Dalam pembelajaran dengan model PMR
,diharapkan siswa merasa senang melakukan aktivitas-aktivitas belajar dan
31
kreatif dalam memecahkan permasalahan dalam pembelajaran. Guru harus
melakukan analisis konseptual dan perencanaan terhadap materi
pembelajaran, sehingga pada saat proses pembelajaran berlangsung, guru
hanya memberikan pengarahan, sedikit penjelasan, dan koreksi terhadap
kesalahan pemahaman. Jadi, dalam pembelajaran siswa berpartisipasi aktif,
bukan sebagai penerima pasif (bahan jadi), melainkan sebagai pengolah
(bahan mentah) atau konsep dasar menjadi bahan jadi atau pengetahuan
atau materi baru. Guru perlu mempertahankan kemapuan berpikir siswa
terhadap pembelajaran. Dengan mempertahankan kemampuan berpikir
siswa terhadap pembelajaran matematika, siswa akan lebih terdorong untuk
mempelajari matematika tanpa merasa takut dan terpaksa karena
pembelajaran berlangsung yang melibatkan siswa aktif dan ikut
berpartisipasi dalam pemecahan masalah pada pembelajaran matematika.
2.5. Hipotesis Tindakan
Pada dasarnya hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
masalah yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Berdasarkan
rumusan permasalahan, maka disusunlah hipotesis sebagai berikut :
Diduga terdapat signifikasi peningkatan hasil belajar dengan penerapan
model pembelajaran matematika realistik pada siswa kelas III SD.