BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hati - sinta.unud.ac.id fileFungsi ini ditunjang oleh kemampuan hati untuk...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hati - sinta.unud.ac.id fileFungsi ini ditunjang oleh kemampuan hati untuk...
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hati
Hati merupakan organ dalam paling besar dalam tubuh manusia dengan
berat sekitar 1.500 g pada orang dewasa. Hati memiliki fungsi sentral dalam
metabolisme tubuh. Organ hati berfungsi untuk meregulasi, mensintesis dan
mensekresikan senyawa untuk keseimbangan metabolisme dalam tubuh. Proses
tersebut meliputi penyimpanan nutrien seperti glikogen, vitamin dan mineral,
purifikasi; transformasi dan detoksifikasi toksin. Hati juga memiliki fungsi
ekskretori yaitu mengeluarkan produk samping metabolisme melalui sistem
saluran empedu yang bermuara ke dalam duodenum (Kshirsagar et al., 2009).
2.1.1 Histologi hati
Hati terbagi dalam dua belahan yaitu kanan dan kiri. Permukaan atas
berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma. Permukaan bawah tidak rata
dan memperlihatkan lekukan (fisura transfersus). Permukaannya divaskularisasi
berbagai pembuluh darah yang masuk dan yang ke luar hati. Fisura longitudinal
memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah, sedangkan ligamen
falsiformis merupakan pemisah longitudinal di permukaan atas. Selanjutnya hati
dibagi dalam empat belahan (kanan, kiri, kaudata, dan kuadrata). Setiap belahan
atau lobus terdiri atas lobulus. Lobulus ini berbentuk polihedral (segi banyak) dan
terdiri atas sel hati berbentuk kubus dan cabang-cabang pembuluh darah diikat
bersama oleh jaringan hati.
13
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagi lobulus
yaitu susunan jaringan heksagonal yang mengelilingi sebuah vena sentral. Hati
manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli dengan panjang beberapa millimeter dan
garis tengah 0,8 sampai 2 mm. Lobulus hati terletak di sekitar vena sentralis yang
bermuara ke dalam vena hepatica dan kemudian ke dalam vena cava. Lobulus itu
sendiri terutama terdiri dari banyak sel hati yang memancar secara sentrifugal dari
vena sentralis seperti jeruji roda. Setiap lempeng hati biasanya setebal dua sel, dan
antara sel-sel yang berdekatan terletak kanalikuli empedu kecil yang bermuara ke
dalam saluran empedu terminal terdapat pada septa antara lobulus hati yang
berdekatan. Dalam septa juga terdapat venula porta yang menerima darah dari
vena porta. Darah dari venula mengalir ke dalam sinusoid hati yang rata dan
bercabang-cabang terletak antara lempeng-lempeng hati, dan kemudian masuk ke
vena sentralis. Sel-sel hati berhubungan terus menerus dengan darah vena porta.
Selain venula porta, arteriol hepatic juga terdapat pada septa interlobularis.
Arteriol ini mensuplai darah arterial ke jaringan septa dan banyak arteriol kecil
juga bermuara langsung pada sinusoid hati, paling sering bermuara ke dalam
sinusoid sekitar satu per tiga jarak dari septa interlobularis. Vena sinusoid dibatasi
oleh dua jenis sel yaitu sel endotel dan sel kupffer besar, yang merupakan sel
retikuloendotel yang mampu mengfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam
darah. Endotel yang membatasi vena sinusoid mempunyai pori yang sangat besar,
sebagian di antaranya hampir bergaris tengah 1 mikron. Di bawah pembatas ini,
antara sel endotel dan sel hati, terdapat celah sempit yang disebut celah disse.
Karena pori yang besar pada endotel, zat-zat yang terdapat dalam plasma bergerak
14
dengan bebas masuk celah disse. Malahan sebagian besar protein plasma berdifusi
secara bebas masuk celah ini. Pada septa interlobularis juga terdapat banyak
ujung-ujung pembuluh limfe sehingga cairan yang berlebihan dalam celah ini
dibuang melalui pembuluh limfa.
Hepar mempunyai dua facies (permukaan) yaitu facies diaphragmatica,
dan facies visceralis hepatis. Facies diaphragmatica (sisi yang berhadapan
dengan diaphragma) pada facies anteriornya (sisi depan facies diaphragmatica)
terdiri dari margo anterior hepatis dan perlekatan ligamentum falciforme hepatis,
sedangkan pada facies superiornya (sisi atas facies diaphragmatica) terdapat
impressio cardiaca dan pars affixa hepatis (bare area). Facies visceralis hepatis
(sisi yang menghadap organ intraperitoneal) memiliki facies posterior yang pada
facies itu terdapat pars affixa hepatis, fossa vena cavae, impressio suprarenalis,
ligamentum hepatogastricum, impressio oesophagea. Pada facies inferiornya
terdapat impressio colica, impressio renalis, impressio duodenalis, fossa vesicae
felleae, dan fossa venae umbilicalis.
Gambar 2.1
Skema jaringan makroskopis hati
15
Gambar 2.2
Lobulus hati
Gambar 2.3
Foto preparat jaringan hati pembesaran 45x
2.1.2 Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat
Hati memiliki fungsi penting dalam metabolisme glukosa dan berperan
dalam sirkulasi glukosa untuk memenuhi kebutuhan beberapa jaringan. Fungsi ini
ditunjang oleh kemampuan hati untuk menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen
(glikogenesis) dan memecah glikogen kembali menjadi glukosa (glikogenolisis),
serta kemampuannya untuk mensintesis glukosa dari sumber-sumber non-
karbohidrat melalui glukoneogenesis.
16
Hati memproduksi enzim glukosa 6-fosfatase yang berfungsi dalam
defosforilasi glukosa 6 fosfat, sehingga terjadi pemecahan glikogen. Enzim ini
juga berfungsi dalam glukoneogenesis. Jaringan otot juga memproduksi enzim
glukosa 6-fosfatase namun aktivitasnya pada jaringan otot lebih rendah walaupun
diketahui bahwa otot menyimpan lebih banyak glikogen dibandingkan dengan
hati. Organ lain yang memproduksi enzim glukosa 6-fosfatase dan berperan dalam
glukoneogenesis adalah ginjal, namun aktivitasnya lebih rendah dibandingkan
dengan aktivitas enzim glukosa 6-fosfatase pada hati.
Hati orang dewasa rata-rata menyimpan 80 g glikogen. Setelah absorpsi,
kadar glukosa dalam darah akan menurun 9 g setiap jam. Untuk menjaga kadar
gula dalam darah, glikogen di dalam hati akan dipecah menjadi glukosa melalui
glikogenolisis. Dua belas jam setelah makan, setengah dari glukosa disintesis
melalui glukoneogenesis di dalam hati. Glukoneogenesis meningkat secara
progresif setelah cadangan glikogen berkurang 11% setiap jamnya. Karbon untuk
glukoneogenesis berasal dari asam laktat yang dibebaskan dari glikolisis ke dalam
jaringan pherifer (glukosa-laktat atau Cori cycle), deaminasi asam amino hepatik
seperti alanin melalui glucose-alanin cycle, dan dari proteolisis protein otot
rangka. Energi untuk glukoneogenesis berasal dari β-oksidasi asam lemak. Hasil
akhir dari β-oksidasi adalah asetil ko-A yang merupakan stimulan terhadap enzim
piruvat karboksilase sebagai awal dari proses glukoneogenesis.
Hati selain menyimpan karbohidrat dalam bentuk glikogen, juga mampu
menyimpan beberapa vitamin antara lain A, B12, D, dan zat besi dalam bentuk
feritin. Bila kadar vitamin dan feritin rendah di dalam darah, maka zat-zat tersebut
17
dikeluarkan dari hati melalui kapiler-kapilernya (sinusoid) ke dalam aliran darah
ke seluruh tubuh. Darah yang mengalir pada sinusoid adalah campuran darah
vena, yang berasal dari vena porta dan darah arteri, yang berasal dari arteri
hepatika. Sinusoid dilapisi sel-sel makrofag fagositik yang disebut sel Kupffer.
Sel-sel Kupffer memfagosit bakteri, sel-sel yang mati, dan benda asing lainnya
yang berasal dari darah, terutama darah aorta yang memperfusi hati (Corwin,
2001).
2.1.3 Fungsi hati dalam memetabolisme protein
Secara umum protein plasma disintesis dalam hati. Kerusakan sel-sel hati
dapat berpengaruh terhadap sintesis protein plasma baik kualitatif maupun
kuantitatif. Albumin adalah protein plasma yang konsentrasinya paling tinggi.
Konsentrasi albumin di dalam plasma merupakan penentu utama tekanan osmotik
koloid plasma yaitu tekanan utama yang menyebabkan reabsorbsi cairan dari
ruang interstisium kembali ke kapiler (Corwin, 2001). Konsentrasi albumin
plasma yang rendah biasanya diakibatkan oleh adanya penyakit hati. Hati juga
mensintesis kebanyakan α dan β globulin plasma. Konsentrasi globulin plasma
dapat dipengaruhi karena penyakit hati atau karena keadaan sakit secara sistemik.
Dalam fase penyembuhan, perubahan bentuk protein plasma merupakan bagian
penting sebagai fase akut respon terhadap penyakit.
Respon fase akut adalah waktu semua perubahan sintesis yang terjadi
dalam merespon infeksi atau inflamasi. Sebagai bagian reaksi, hati mensintesis
sejumlah protein fase akut yang diperlihatkan oleh adanya perubahan konsentrasi
protein plasma yang lebih dari 25% dalam satu minggu pertama (permulaan)
18
implamasi atau awal infeksi. Produksi protein distimulasi oleh sitokin pro-
implamasi yang dilepaskan oleh makrofag dan interleukin-1 (IL-1), interleukin-6
(IL-6) dan tumor nekrosis faktor (TNF) sebagai pusat awal respon fase akut.
Protein fase akut memiliki sejumlah fungsi yang berbeda dalam merespon
implamasi. Protein C-reaktif seperti opsonin sebagai binding protein, mengikat
makromolekul yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak, agen infeksi dan
memacu fagositosis. Faktor komplemen memacu fagositosis molekul asing.
Inhibitor protease seperti α1- antitrypsin dan α1- antichymotrypsin menghambat
proteolisis. Protein fase akut diperlukan dalam pertumbuhan jaringan dan
memproduksi jaringan konektif yang diperlukan untuk perbaikan terhadap
jaringan yang rusak.
Ketersediaan asam amino dibutuhkan sebagai sumber untuk sintesis
protein hati. Asam amino ini dapat berasal dari proteolisis protein otot rangka.
Tinggi rendahnya respon protein fase akut berhubungan dengan tingkat imflamasi
atau infeksi. Pemeriksaan berseri protein fase akut serum merupakan sumber
informasi yang baik untuk mengetahui perjalanan suatu penyakit terhadap respon
perlakuan.
2.1.4 Fungsi hati dalam metabolisme obat
Kebanyakan obat dimetabolisme oleh hati. Efek metabolisme obat oleh
hati biasanya akan terjadi peningkatan hidrophilositas obat dan peningkatan
kemampuan eksresi. Pada umumnya hasil metabolitnya memiliki efek
pharmakologi yang lebih rendah dari pada obatnya, walaupun beberapa senyawa
tidak aktif dari obat sebelum diminum, bila dikonversi di dalam hati dapat
19
menjadi senyawa dalam bentuk aktif. Hal ini dibutuhkan untuk sistem
metabolime obat oleh hati. Proses metabolisme ada dua fase. Fase I di mana
polaritas obat dinaikkan akibat dari oksidasi atau hidroksilasi yang dikatalisis oleh
kelompok sitokrom P450 oksidase mikrosomal. Fase II adalah terjadinya
konyugasi grup enzim fungsional sitoplasma yang mengawali reaksi fase pertama
yang kebanyakan karena glukuronidasi atau sulfasi.
Tiga gen yaitu CYP1, CYP2 dan CYP3 yang merupakan keluarga gen
sitokrom P450 memiliki responsibilitas penting untuk metabolisme obat. Setiap
lokus gen terdiri dari multiple alel dan enzim P450 dikode oleh gen CYP3A4
yang terlibat dalam metabolisme obat. Kerusakan hati menghambat metabolisme
obat dan obat yang digunakan juga mempunyai efek toksik terhadap hati.
Toksisitasnya dipengaruhi oleh kandungan partikel/senyawa obat, konsentrasi,
toksisitas metabolit obat, toleransi individual yang dipengaruhi oleh genetik dan
sistem imun seseorang.
2.2 Alkohol
Alkohol dan derivatnya tergolong bahan kimia beracun, berbentuk cair
pada suhu kamar (32oC) dan mudah menguap. Karena sifatnya yang toksik,
alkohol dapat merusak jaringan dan organ tubuh bila dikomsumsi secara
berlebihan dalam waktu lama. Konsumsi alkohol mempengaruhi banyak organ
antara lain: pankreas, jantung, otak, saraf, retina (Jones, 2005 dan Chiang et al.,
2006).
Berdasarkan rumus kimianya, alkohol dibedakan menjadi etanol (etil
alkohol) yang umum terdapat dalam minuman, metanol (metil alkohol) dan
20
isopropanol (isopropil alkohol). Pada umumnya zat-zat dengan rantai karbon
lebih panjang memiliki toksisitas semakin tinggi, tetapi pada alkohol, misalnya
metanol dengan rantai karbon terpendek yaitu hanya terdiri dari 1 karbon lebih
toksik dibandingkan etanol yang terdiri dari dua rantai karbon (Sutarni, 2007).
Kadar alkohol dalam minuman keras diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 86 Menkes/Per/IV/77. Kandungan etanol dalam minuman
beralkohol dinyatakan dalam satuan persen volume atau proof (Goldfrank et al.,
2002). Berdasarkan kadarnya, minuman beralkohol dibedakan menjadi 3
golongan, yaitu: golongan A (bir : 1-5%); golongan B (wine/anggur : 5-20 %);
dan golongan C (whisky, brandy, arak, vodka : 20-55%).
Alkohol merupakan senyawa yang mudah larut dalam air sebagai molekul-
molekul kecil, sehingga mudah diserap setelah alkohol dikonsumsi. Kadar alkohol
yang aman untuk diminum masih diperdebatkan, karena kerusakan yang
ditimbulkan sangat tergantung dari masing-masing individu. Aturan yang
dikeluarkan oleh Royal College of Physician dan dipakai sebagai acuan oleh para
dokter menyatakan bahwa batas maksimal seseorang minum alkohol adalah 21
unit alkohol (168 g) untuk laki-laki dan 14 unit (112 g) untuk wanita. Satu unit
alkohol mengandung 8 g alkohol absolut (Sharpe, 2001). Satu botol atau satu
kaleng bir dengan volume 450 mL mengandung 1.5 unit alkohol, satu botol
anggur/wine dengan volume 750 mL mengandung 7-10 unit alkohol.
2.2.1 Toksisitas alkohol
Alkohol dalam minuman keras dan berfungsi sebagai obat adalah dalam
bentuk etanol. Etanol (C2H5OH) merupakan bahan cairan yang tidak berwarna
21
dan memiliki bau yang khas. Etanol sering digunakan sebagai pelarut dalam
laboratorium, di bidang farmasi, industri makanan dan minuman serta digunakan
sebagai antiseptik. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris
C2H6O (Sutarni, 2007).
Etanol memiliki aktivitas sangat kuat, setara dengan bahan anastetik
umumnya, namun toksisitasnya lebih rendah dari pada metanol dan isopropanol.
Rata-rata dosis fatal dari alkohol murni pada orang dewasa antara 300-400 mL
atau setara dengan minum wiski sebanyak 600-800 mL. Jaringan otak menyerap
alkohol dengan cepat, sehingga akan mempengaruhi neurotransmiter yang
ditandai oleh hilangnya ingatan, gangguan tidur, dan gangguan psikis.
Pengaruhnya pada sistem saraf pusat berbanding lurus dengan konsentrasinya
dalam darah. Etanol berpengaruh langsung pada membran sel saraf dan tidak pada
sinapsisnya. Etanol mengganggu transport ion. Penelitian in vitro menunjukkan
bahwa ion Na+, K+ATP-ase dihambat oleh etanol pada membran sel saraf. Impuls
listrik pada neuron dihambat oleh etanol pada konsentrasi 5-10%. Namun
penghambatan impuls pada sistem saraf pusat secara in vivo terjadi pada
konsentrasi etanol yang jauh lebih rendah (Darmono, 2005). Daerah otak yang
pertama kali dihambat adalah sistem retikuler aktif, yang akan menyebabkan
terganggunya sistem motorik dan kemampuan berpikir, menghambat daerah
kortek serebral sehingga mengakibatkan kelainan tingkah laku dan daya ingat.
Kelainan tingkah laku bergantung pada individu. Pengaruh alkohol pada jantung
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
22
menyebabkan gangguan terhadap struktur, fungsi, dan atau metabolisme selnya.
Secara tidak langsung dimediasi oleh organ lain dan faktor neurohormonal.
Walaupun tempat metabolisme etanol pertama terjadi pada hati, alkohol
juga berpengaruh terhadap jantung melalui pengaruh langsung dari metabolisme
selnya. Metabolisme etanol di dalam sel-sel jantung terjadi melalui alkohol
dehidrogenase (ADH) yang menghasilkan asetaldehid, akan meningkatkan
pembebasan katekolamin dan secara langsung mengganggu fungsi jantung (Jones,
2005).
Penyerapan alkohol pertama terjadi pada duodenum. Setelah diserap
kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan, akhirnya melalui sirkulasi portal
masuk ke dalam hati. Alvarez, et al (2006) mengatakan bahwa konsumsi alkohol
memperlihatkan prevalensi yang tinggi di kebanyakan negara yang menyebabkan
masalah sosial dan masalah kesehatan. Budikayanti (2006) mengatakan bahwa
seseorang dalam pengaruh alkohol mempunyai risiko tinggi mengalami
kecelakaan dan cenderung menderita lebih berat dibandingkan dengan tanpa
alkohol. Alkoholisme adalah kecanduan alkohol yang ditandai dengan adanya
kecenderungan untuk minum alkohol lebih dari yang direncanakan.
Gejala klinis dari keracunan alkohol bervariasi dari ringan berupa ataxia
(sempoyongan) sampai berat berupa koma (tidak sadarkan diri). Bentuk klinis
dari peminum alkohol berlebih dapat dilihat pada Tabel 2.1. Koma biasanya
terjadi jika kadar alkohol dalam darah (KAD) sebesar 300 mg% atau 0,3%
sehingga berpengaruh terhadap serebelum dan lobus osipitalis. Pada kadar yang
kurang dari 100 mg, alkohol menyebabkan lobus frontal otak tidak berfungsi
23
dengan baik. Gejala yang ditimbulkan adalah berbicara lebih aktif, ketawa dan
gangguan sensoris ringan.
Intoksisitas alkohol dalam darah sangat tergantung dari beberapa faktor
termasuk di dalamnya adalah rata-rata alkohol yang dimimun atau semakin cepat
peningkatan kadar alkohol dalam darah semakin besar efek yang ditimbulkan
dibandingkan dengan peningkatannya yang sedikit demi sedikit, derajat toleransi
dari peminum terhadap alkohol yang mana meningkat karena pengaruh kebiasaan
minum sebelumnya, dan apakah peminum minum bersama atau sendirian (Sharpe,
2001).
Beberapa organ dipengaruhi karena konsumsi alkohol Tabel 2.2.
Konsumsi reguler alkohol dengan dosis 7,5 unit (60g) pada laki-laki dan 5 unit
(40g) pada wanita per hari dapat meningkatkan penyakit yang ditimbulkan.
Penyalahguaan alkohol juga dapat menyebabkan masalah psychiatric, physikologi
dan sosial serta pada saat kehamilan akan menyebabkan terjadinya kelainan janin
akibat pengaruh alkohol.
Tabel 2.1
Pengaruh berbagai konsentrasi alkohol dan bentuk klinis yang ditimbulkan
Konsentrasi alkohol
darah (mg/100mL) Efek klinis
20 Eupheria
30 Meningkatkan kemungkinan mengalami
kecelakaan
40 Menghambat koordinasi
80 Mengacaukan koordinasi
150 Kehilangan kontrol diri, kehilangan kontrol bicara,
sempoyongan, amnesia
300 Tidak sadarkan diri, koma
500 koma, kemungkinan mengalami kematian
600 Pasti mematikan
Sumber : Sharpe (2001)
24
Tabel 2.2
Kelainan dan penyakit yang ditimbulkan akibat dari konsumsi alkohol berlebih
pada beberapa organ tubuh
Organ atau sistem organ Penyakit atau kelainan
Hati Infiltrasi lemak, hepatitis alkohol, sirosis, kegagalan
hati
Gastrointestinal Oesophagitis, gastritis, robeknya Mallory-Weiss,
haematemesis, peptic ulceraration, kanker esophagus,
pankreatitis, diabetes millitus, diarrhoea, kegagalan
absorpsi, kehilangan berat, malnutrisi
Saraf Intoksikasi akut, ‘black out’, epilepsy, tremor,
demensia, Wernicke’s encephalopathy, Korsakoff’s
psychosis, stroke, subdural haematoma (luka pada
kepala), subarachnoid haemorrhage, halusinasi,
peripheral neuropathy
Cardiovascular Hipertensi, arrhythmia, kegagalan hati
Respirasi Tuberculosis, keretakan tulang rusuk, pneumonia
Lipid Hypertriglyceridaemia
Reproduksi/Gonad Laki-laki: disfungsi ereksi, kehilangan libido,
penurunan fungsi sperma (infertilitas), testis kecil,
kehilangan rambut pada kemaluan
Wanita: tidak lancarnya menstruasi, subfertilitas,
masalah seksual, kehilangan karakteristik seksual
Endokrin Pseudo-Cushing, hypoglycaemia
Fetus Kelainan pada janin
Sumber : Sharpe (2001)
2.2.2 Metabolisme etanol
Proses oksidasi enzimatik etanol pertama terjadi di dalam hati, kemudian
di dalam ginjal yang melibatkan tiga jenis enzim. Proses pertama di dalam hati
adalah 90-98 % etanol dimetabolisme atau dioksidasi menjadi asetaldehid oleh
alkohol dehidrogenase (ADH). Proses kedua asetaldehid dioksidasi lebih lanjut
menjadi asam asetat oleh enzim asetaldehid dehidrogenase (ALDH) menjadi
asetat. Ke dua reaksi tersebut menggunakan kovaktor atau koenzim Nikotinamid
Dinukleotida (NAD). Kovaktor NAD mempunyai bentuk molekul ion NAD+.
Setelah terjadi oksidasi, NAD selanjutnya tereduksi menjadi NADH (Arthur et al.,
25
2009). Asam asetat oleh riboflavin, niasin, pentotenat, zink, iron dan magnesium
selanjutnya berubah menjadi asetil-koenzim A (Kohlmeier, 2003). Asetil
koenzim A (asetil Ko-A) kemudian akan masuk ke dalam siklus Krebs dan rantai
pernafasan (respirasi) yang akan mengalami metabolisme mejadi CO2 dan H2O
(Gambar 2.4).
Gambar 2.4
Skema umum jalur metabelisme alkohol
Oksidasi etanol oleh sel-sel hati akan mengubah potensial redoks dalam
sel hati, sebagai akibat dari naiknya rasio NADH menjadi NAD+. Naiknya rasio
NADH/NAD akan menghambat oksidasi laktat menjadi piruvat. Nikotinamid
adenin dinukleotida (NAD+) dibutuhkan sebagai kovaktor pada tahap ini, yang
akan menyebabkan penumpukan laktat dalam hati sehingga terjadi risiko
hipoglikemia (Arthur et al., 2009). Kemungkinan hipoglikemia juga meningkat
pada alkoholisme dalam waktu lama, mereka akan memiliki simpanan glikogen
yang rendah karena sedikit makanan. Asetat digunakan sebagai sumber energi dan
akhirnya dikonversi menjadi H2O dan CO2. Dua sampai sepuluh persen alkohol
ADH
CH3CHO + NADH
Etil Alkohol Asetaldehid
C2H5 OH + NAD+
ALDH
CH3COOH + NADH
Asetaldehid Asam asetat
CH3 CHO + NAD+
Ko-A
Asetil Ko-A
Siklus Krebas
CO2 + H2O
26
yang diserap oleh tubuh dieleminasi melalui keringat, ginjal dan paru-paru, air
mata, empedu, cairan lambung dan air ludah. Sisanya (90%) dimetabolisme di hati
(Sutarni, 2007).
Beberapa senyawa yang terbentuk akibat metabolisme alkohol dalam
tubuh adalah asetealdehid, FAEE (Fatty Acid Ethyl Ester), ester kolesteril atau
cholesteryl esters (CE), malondialdehid (MDA). Hasil metabolit tersebut dapat
mengakibatkan stress oksidatif (Arthur et al., 2009). Seseorang yang
mengkomsumsi etanol dapat mengaktifkan enzim di dalam tubuh (pankreas)
melalui pembentukan lisosom (L) dan Zimogen Granules (ZG) sehingga dalam
waktu lama dapat mengaktivasi sel stellate.
Malondialdehid (MDA) umumnya dalam bentuk enol (CH2(CHO)2) atau
strukturnya HOCH=CH-CHO. MDA dalam pelarut organik umumnya dalam
bentuk cis-isomer tapi dalam air dalam bentuk trans-isomer. Malondialdehid
adalah senyawa sangat reaktif yang tidak ditemukan dalam bentuk murni. Dapat
dibuat dalam laboratorium dari hidrolisis 1,1,3,3,-tetra metoksipropan yang dapat
dibeli. Malondialdehid terbentuk dari reaksi poliansatureted lipid dengan Reactive
Oxygen Species (ROS), sehingga MDA digunakan sebagai biomarker untuk
mengukur stres oksidatif pada suatu organisme. Melandiodehid bereaksi dengan
deoksi adenosin dan deoksi guanosin DNA membentuk DNA adduct. DNA
adduct adalah DNA yang mengikat bahan kimia lain yang sering menyebabkan
kanker atau bersifat karsinogenesis. Malondialdehid bereaksi dengan deoksi
adenosin dan deoksi guanosin DNA adalah mutagenik.
27
FAEE adalah suatu metabolit langsung dari perubahan etanol namun
dalam jumlah yang relatif kecil melalui reaksi transesterifikasi. Reaksi
transesterifikasi adalah reaksi antara alkohol dengan asam lemak membentuk alkil
ester asam lemak. Jika alkohol adalah metanol maka senyawa yang terbentuk
adalah metil ester asam lemak (FAME). FAME berkorelasi dengan kerusakan
fungsi hati dan dapat dideteksi dalam plasma setelah minum metanol dengan GC-
MS (Aleryani et al., 2005). Umumnya alkohol dalam minuman adalah etanol
sehingga etil alkoholnya bereaksi dengan triasilgliserol membentuk etil ester asam
lemak (FAEE). Fatty Acid Ethyl Ester merupakan metabolit etanol nonoksidatif
dapat berfungsi sebagai mediator kerusakan organ dan dapat dideteksi dalam
darah setelah alkohol dikonsumsi dan telah digunakan sebagai marka konsumsi
etanol. Oleh karena darah tidak selalu tersedia pada autopsi, maka FAEE dalam
hati dan jaringan adipose dapat digunakan sebagai marka postmortem akibat
mengkonsumsi alkohol. Fatty Acid Ethyl Ester yang ditemukan dalam bentuk etil
arakhidonat > 200 pmol/g dalam hati dan jaringan adipose adalah marka spesifik
pada pengkonsumsi alkohol.
Bila metabolisme alkohol melibatkan CYP2E1, maka akan dihasilkan
radikal bebas. Konsumsi alkohol secara kronis akan menurunkan kadar
antioksidan dan akan memudahkan terjadinya kerusakan sel. Penurunan
antioksidan secara signifikan pada konsumsi alkohol dapat diindikasikan oleh
penurunan glutation. Glutation banyak terdapat di dalam mitokondria sel hati,
namun glutation tidak dihasilkan di dalam mitokondria. Glutation ditransport
secara aktif dari sitoplasma melewati membrane mitokondria menuju matriks.
28
Alkohol mengganggu transport glutation melalui membran mitokondria, sehingga
terjadinya defisiensi glutation menyebabkan kerusakan mitokondria dan kematian
sel serta meningkatnya konsentrasi lipid peroksidasi.
Metabolisme alkohol menyerupai metabolisme lemak yang menggunakan
katalase, di mana alkohol atau lemak langsung diubah menjadi asetil-koA. Bila
alkohol berlebih, ADH tidak cukup untuk memetabolisme seluruh alkohol
menjadi asetaldehid, maka hati akan menggunakan sistem enzim lainnya seperti
Microsomal Etanol Oxidizing System (MEOS atau P4502E1) yang terletak dalam
retikulum endoplasma. Jadi ada tiga jalur utama metabolisme alkohol menjadi
asetaldehid yaitu jalur ADH, MEOS dan katalase (Cesarato et al.,2004; Deitrich et
al.,2006). MEOS juga digunakan oleh sel-sel hati untuk memetabolisme obat dan
senyawa asing lainnya.
Selama perubahan etanol menjadi asetaldehid, ion hidrogen ditransfer dari
alkohol ke NAD+ dan selanjutnya membentuk NADH (Pelley dan Goljan, 2007).
Konsumsi alkohol yang berlebihan akan meningkatkan rasio NADH. Tingginya
rasio NADH akan menghambat oksidasi laktat menjadi piruvat pada metabolisme
glukoneogenesis, sehingga peminum alkohol cenderung mengalami hipoglekimia.
Bila orang mengkonsumsi alkohol secara berlebih maka MEOS akan terlibat
dalam metabolisme alkohol. MEOS juga diketahui ikut berperan dalam
metabolisme berbagai jenis obat-obatan. Jika orang mengkonsumsi alkohol dan
obat misalnya obat penenang dalam waktu bersamaan, akan memiliki efek toksik
yang berlipat. Hal ini disebabkan karena ADH dan MEOS tidak mampu
memetabolisme alkohol dan obat pada saat yang sama. Hal ini disebabkan karena
29
MEOS dalam metabolisme alkohol akan menurunkan kemampuan hati untuk
memetabolisme obat-obatan. Bila orang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah
yang berlebih yang dicampur dengan obat-obatan, maka orang tersebut dapat
pingsan dan mati karena hati tidak mampu menangani kedua jenis senyawa dalam
bahan tersebut. Apabila MEOS lebih banyak digunakan untuk mendetoksifikasi
alkohol, maka enzim ini tidak dapat menjalankan fungsi lainnya sehingga pecandu
alkohol rentan terhadap kerusakan hepatosit/sel parenkim hati (Frank, 2006).
Peningkatan aktivitas NADH dan P450 2E1 sebagai respon terhadap
metabolisme alkohol akan menghasilkan anion superoksid (O.-); hidrogen
peroksida (H2O2); lipid peroksidasi dan hidroksietil radikal. Derivat lipid
peroksidasi dapat berupa MDA (malondialdehid). Selain itu, asetaldehid
merupakan produk metabolisme alkohol yang bersifat sangat toksik bagi sel.
Asetaldehid selanjutnya dioksidasi mejadi asetat oleh aldehid dehidrogenease
mitokondria. Proses ini merupakan penyebab pertama dari kerusakan hepatosit
pada tingkat genom melalui regulasi kembali beberapa redox-sensitive
transcription factor. Proses ini meliputi proses fibrogenesis seperti AP-1 dan
NF-KB. Regulasi tersebut akan meregulasi kembali pada tingkat transkripsi
ekspresi dari sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL18); kemokin, molekul adeshif
dan fas ligand, yang akan mengaktifkan apoptosis dan menurunnya ATP
mitokondria (nekrosis). Hal ini terjadi secara berulang (Cesarato et al., 2004).
Alkohol dalam tubuh akan mengalami biotransformasi. Biotransformasi
merupakan proses perubahan struktur kimia alkohol menjadi lebih polar atau lebih
mudah larut dalam air sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Alkohol
30
yang mengalami transformasi melalui metabolisme, hasilnya disebut dengan
metabolit yang kemungkinan mempunyai sifat sama aktif, lebih aktif atau lebih
toksik dari etanol.
Reaksi biokimia alkohol dapat melalui 2 fase. Fase I mengubah alkohol
menjadi metabolit yang lebih polar yang dapat bersifat tidak aktif, kurang aktif,
dan lebih aktif dari bentuk aslinya melalui reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Fase II (reaksi sintesis) merupakan konyugasi obat metabolit hasil reaksi Fase I
dengan substrat endogen, seperti asam glukoronat, sulfat, asetat atau asam amino
(Katzung, 2002). Hasil konyugasi alkohol bersifat lebih polar dan lebih mudah
terionisasi sehingga lebih mudah dieksresikan dan tidak aktif. Enzim yang terlibat
dalam biotransformasi alkohol dapat dibedakan berdasarkan letaknya di dalam sel,
yaitu enzim mikrosomal (reticulum endoplasma halus) dan non mikrosom (lumen
saluran cerna oleh flora usus). Ke dua enzim metabolisme ini terutama terdapat
dalam sel hati dan sel jaringan lainnya seperti ginjal, paru, epitel saluran cerna dan
plasma (Katzung, 2002).
Metabolisme alkohol menyerupai metabolisme lemak yang dikatalisis oleh
enzim mikrosom hati menjadi asetil-koA kemudian melintasi membran, masuk ke
dalam retikulum endoplasma. Hal ini terutama terjadi pada peminum alkohol
dalam jangka waktu lama dan peminum berat/berlebih. Sistem enzim mikrosom
untuk reaksi oksidasi disebut Mixed-Function Oxidase (MFO) atau
monooksigenase. Sitokrom P450 ialah komponen utama dalam sistem enzim ini.
Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N- dan O-deakilasi, hidroksilasi
cincin aromatik, deaminasi amina primer dan sekunder, serta desulfurasi. Melalui
31
reaksi ini pula, sebelum menjadi koenzim A, alkohol membentuk asetaldehid dan
radikal bebas yang dapat merusak sel-sel hati (Corwin, 2001). Aktivitas enzim
mikrosom maupun nonmikrosom ditentukan oleh faktor genetik sehingga
kecepatan metabolisme alkohol dapat bervariasi antara individu, dapat sampai 6
kali lipat atau lebih. Polimorfisme dalam ADH dan ALDH menyebabkan
meningkatnya akumulasi aldehid sehingga gejala ketergantungan lebih meningkat
(Katzung, 2002).
2.3 Gangguan Fungsi Hati
Gangguan fungsi hati umumnya disebabkan oleh kerusakan atau kematian
sel-sel hati/hepatosit yang dikenal sebagai penyakit hati. Penyakit hati terjadi
akibat infeksi (hepatitis virus), toksisitas (alkohol, obat), genetik
(hemochromatosis), imun (autoimun hepatitis dan primary biliary sirosis), dan
neoplastik (carcinoma hepatoseluler). Gangguan fungsi hati juga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor lain di antaranya adalah virus, bakteri, kelainan
metabolisme, kebiasaan merokok, minuman beralkohol (Diehl, 2002; Zima et al.,
2001; Ronis et al., 2004; Chaturvedi et al., 2007 dan Li et al., 2008), obat-
obatan seperti paracetamol (Kshirsagar et al., 2009) dan acetaminophen (Cigremis
et al., 2009). Infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C merupakan faktor penting
penyebab risiko kanker hati (Manami et al., 2009). Komposisi kandungan
makanan juga dapat meningkatkan risiko sirosis atau kanker hati (George et al.,
2009).
32
2.3.1 Mekanisme dan pola kerusakan
Matinya sel terjadi karena nekrosis atau apoptosis atau ke duanya. Target
sel ditentukan oleh pola kerusakan, yang mana kerusakan hepatosit utama
menyebabkan kerusakan hepatoseluler dan kerusakan biliary sel yang
menyebabkan cholestatis. Semua sel yang rusak menginduksi fibrosis sebagai
respon adaptif atau penyembuhan/perbaikan, dengan lamanya kerusakan dan
faktor genetik menentukan apakah sirosis pada akhirnya akan menjadi carcinoma
(Burtis and Ashwood, 2005). Mekanisme penyakit hati secara alami dijelaskan
pada Gambar 2.4. Sirosis adalah suatu keadaan fibrosis dan pembentukan jaringan
parut di hati yang mana jaringan hati yang normal digantikan oleh nodus-nodus
fibrosis serta pita-pita fibrosis yang mengerut dan mengelilingi hepatosit. Sirosis
di hati terjadi sebagai akibat dari cedera sel yang berulang dan reaksi inflamasi.
Penyebab sirosis oleh infeksi antara lain hepatitis, obstruksi saluran empedu yang
menyebabkan penimbunan empedu di kanalikulus dan rupturnya kanalikulus, atau
cedera hepatosit akibat toksin. Alkohol adalah toksin yang paling sering
menyebabkan terjadinya cedera (Corwin, 2001). Sirosis alkohol juga disebut
Sirosis Laennec, yaitu sirosis yang terjadi setelah penyalahgunaan alkohol
bertahun-tahun.
Nekrosis sel terjadi sebagai hasil kerusakan lingkungan dalam sel. Hal ini
ditandai oleh sel yang bengkak dengan kehilangan integritas membrannya.
Kebanyakan pola nekrosis diakibatkan karena toksin seperti karbon tetraklorit
(CCL4), aspirin dan asetaminophen. Sebagai sel yang mati, dia akan
membebaskan senyawanya yang menyebabkan adanya respon imflamasi, dan
33
selanjutnya sel akan menjadi lebih rusak akibat dari sitokin dan reaktif oksigen
spesies (ROS).
Apoptosis terjadi sebagai hasil dari percepatan kematian, yang mana sel
yang terlibat di dalamnya menghilang dan mematikan dirinya sendiri. Hal ini
ditandai dengan berkuruangnya umur sel yang dicirikan dengan penebalan
kromatin sel dan pragmentasi, membentuk badan yang bersifat apoptosis.
Councilman bodies yaitu badan-badan apoptosis yang terlihat pada sel-sel hati
yang terserang virus, sakit kuning dan penyakit hati lainnya. Badan ini ditemukan
pada hepatitis virus dan penyakit hati yang lain yang mana badan ini bersifat
apototik. Mereka dimakan oleh sel-sel ephitel tetangga dan oleh penonjolan sel
mononukleus dengan sedikit respon imflamasi.
Apoptosis dan nekrosis mungkin terjadi bersama-sama. Sering dapat
dilihat pada penyakit hati cholestatic yaitu penyakit yang berhubungan dengan
saluran empedu akut, yang mana nekrosis terjadi akibat tersumbatnya saluran
Regenerasi
Tanpa
regenerasi
Kerusakan
akut
Penyembuhan tanpa
tindakan
Kerusakan
kronis
Fibrosis
(penyembuhan) sirosis
Karsinoma
hepatoseluler
Hipertensi portal
(esophageal varices,
ascites (cairan
peritoneum cavity),
encephalopatty)
Mati
Hepatitis
fulminant penyembuhan
Mati
Gambar 2.5
Skema penyakit hati secara alami (Burtis dan Ashwood, 2005)
34
empedu dan apoptosis di sekitar jaringan. Pada nekrosis, enzim yang menuju
intrasel dibebaskan dan menyebabkan meningkatnya enzim aminotransferase di
dalam serum. Target sel mendeterminasi pola kerusakan, di mana kerusakan
hepatosit menyebabkan terjadinya pola hepatoseluler (khususnya dengan
meningkatnya enzim aminotransferase) dan kerusakan sel epithel menyebabkan
terjadinya pola cholestatic.
Durasi luka mungkin ditentukan oleh faktor inang dan faktor luar untuk
terjadinya peningkatan kerusakan sel. Kerusakan secara tiba-tiba (fulminant),
akut dan kerusakan kronis mungkin terjadi, namun luka yang terjadi kelihatannya
sama. Misalnya, kemampuan virus hepatitis C untuk bermutasi di bawah
penanganan imun mungkin mempengaruhi perkembangan kronisnya hepatitis.
Sama seperti hepatitis B, virus hapatitis C ini mungkin menyebabkan fulminate
hepatitis ketika bentuk mutant dari virus dan atau imun hostnya mendukung
terjadinya fulminant hepatitis. Hal lain terjadi misalnya pada pasien yang
mengalami defisiensi interferon kemungkinan besar menderita hepatitis kronis.
Adaptasi atau respon perbaikan sel yang rusak menyebabkan terjadinya fibrosis.
Telah diketahui bahwa proses penyembuhan sel dapat menyebabkan sirosis,
namun belum diketahui mengapa sirosis terjadi pada beberapa orang namun tidak
terjadi pada yang lain. Misalnya, hanya 20-25 % peminum alkohol menderita
sirosis. Hal ini diperkirakan mungkin dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor
yang lain.
35
2.3.2 Perubahan beberapa molekul pada gangguan fungsi hati
a. Aktivitas enzim aminotransferase
Kerusakan fungsi hati dapat diketahui melalui test biokimia fungsi hati.
Test ini bertujuan untuk memantau perjalanan penyakit hati atau mendapatkan
gambaran penyebab dari kerusakan atau tingkat peradangan. Tetapi test ini tidak
memberi gambaran yang tepat dan tidak mampu mendiagnosis penyebab penyakit
hati. Tes biokimia sering digunakan untuk memastikan diagnosis serta memantau
penyakit dan pengobatan. Banyak tes dilakukan dengan mengukur aktivitas enzim
aminotransferase dalam serum untuk mengetes fungsi hati, karena jaringan hati
yang rusak akibat banyak sel yang mati menyebabkan enzim dilepas ke dalam
darah.
Tes fungsi hati yang umum dilakukan adalah dengan mengukur ALT
(Alanine amino transaminase) yang di Indonesia biasa disebut SGPT (Serum
glutamic piruvat transaminase) dan AST (Aspartate amino transaminase) yang di
Indonesia biasa disebut SGOT (Serum glutamic oxaloasetic transaminase). Kadar
ALT pada fungsi hati yang normal adalah 5-40 U/L dan kadar AST adalah 5-45
U/L (Baynes dan Dominiczak, 2005) dan jika dilihat dari jenis kelamin, lebih
lanjut dikatakan bahwa kadar ALT pada wanita normal sebesar <45 U/L dan laki-
laki normal sebesar < 60 U/L. Akan tetapi Stewart (2006) mendapatkan bahwa
kadar AST dalam darah berkisar antara 10-41 U/L. Alanin amino transaminase
merupakan produk enzim utama di dalam hati, berfungsi sebagai katalisator
transfer gugus amino antara L-alanin dan glutamat dan AST sebagai katalisator
transfer amino dan gugus keto antara asam amino alfa dan asam alfa keto.
36
Enzim alanin amino transaminase (ALT) dan enzim aspartat amino
transaminase (AST) adalah enzim yang terlibat dalam interkonversi antara asam
amino dan asam keto. Kedua enzim tersebut terdapat di dalam mitokondria yang
dibutuhkan dalam metabolisme nitrogen dan karbohidrat. Telah ditemukan bahwa
ALT merupakan marka yang lebih baik untuk mendeteksi fungsi, karena ALT
adalah enzim yang disintesis di dalam sel hati (hepatosit) maka enzim ini
berfungsi lebih spesifik untuk penyakit hati dibanding enzim lainnya (Baynes dan
Dominiczak, 2005). Peningkatan aktivitas ALT serum biasanya terjadi bila ada
kerusakan selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan
peningkatan ALT. Peradangan pada hati dapat disebabkan oleh virus hepatitis,
beberapa obat, konsumsi alkohol, penyakit pada saluran cairan empedu.
Aspartat amino tranaminase selain dihasilkan di dalam sel-sel hati juga
ditemukan di dalam jantung, ginjal dan otak. Kadar AST dan ALT lebih dari dua
kali angka normal, umumnya mempunyai makna terhadap pengaruh fungsi organ.
Jika kadar ALT/ AST antara 500-1000 U/mL di dalam serum mengindikasikan
sudah terjadi kerusakan pada sel hati (Wallach, 2004). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa kadar AST lebih tinggi dari pada ALT pada penderita penyakit hati yang
disebabkan karena pengaruh alkohol, sementara ALT biasanya lebih tinggi dari
pada AST pada penderita penyakit hati akut (Burtis and Ashwood, 2005). ALT
merupakan marka yang lebih baik untuk gangguan fungsi hati akut. Tetapi kadar
AST lebih tinggi pada gangguan fungsi hati akibat alkohol.
b. Tumor Necrotic Factor-Alfa (TNF-α)
37
Tumor Necrotic Factor-Alfa (TNF-α) merupakan salah satu faktor
inflamasi yang dilepas oleh makrofag, timosit, sel B atau sel NK. TNF-α
merupakan salah satu sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada
imunitas non spesifik (Karnen, 2008). Fungsi TNF-α adalah antineoplastik
(langsung), menimbulkan panas, respon fase akut sistemik, merangsang sintesis
limfokin, kolagen dan kolagenase, mengaktifkan sel endotel dan makrofag
sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam proses katabolik (Karnen, 2008).
TNF-α merupakan mediator utama dari respon inflamasi akut terhadap infeksi
bakteri gram negatif dan mikroba lain, yang bertanggung jawab terhadap
berbagai komplikasi sistemik pada infeksi yang berat. Nama dari sitokin ini
berawal dari faktor serum yang menyebabkan nekrosis tumor (Abbas and
Lichtman, 2005)
Sumber utama dari TNF-α adalah phagosit mononuklear yang teraktivasi. Sel T
yang terstimulasi oleh antigen, sel-sel NK, dan sel-sel mast juga mensekresi TNF-
alfa. Stimulus yang paling kuat untuk memproduksi TNF-α adalah makrofag
melalui manegement Toll-Like Receptor (TLR) dengan lipopolysaccharide I
(LPS) dan produk-produk mikroba lainnya. Sebagian besar dari sitokin ini
diproduksi selama terjadinya infeksi oleh bakteri gram negatif, yang dikeluarkan
oleh LPS. TNF mempunyai beberapa reseptor TNF yaitu reseptor TNF p55
(TNFR1, CD 120a, TNFR p75, (TNFR2, CD120b) dan reseptor lymphotoxin-β
(LTβR). Signaling melalui reseptor ini diinduksi oleh ikatan tiga ligan yang
berbeda yaitu TNF, LTβ dan LTα. TNF dipecah dari permukaan sel oleh TNF
converting enzyme (TACE), yang diproduksi oleh sel efektor. TNF dan LTβ
38
disintesis sebagai protein-protein transmembran tipe 2 dan merupakan sitokin
yang terlarut setelah dipecah eleh TACE .
Fungsi fisiologik dari TNF adalah menstimulasi netrofil dan monosit ke
tempat infeksi dan mengativasi sel-sel ini untuk mematikan mikroba. TNF
melakukan fungsi fisiologik ini melalui beberapa cara pada sel endotel vaskular
dan leukosit. Beberapa mekanisme tersebut adalah:
1) TNF menginduksi sel-sel endotel untuk mengekspresikan molekul-
molekul adesi yang menyebabkan permukaan endotel adesif terhadap
leukosit terutama netrofil yang kemudian diikuti oleh monosit dan
limfosis. Molekul-molekul adhesif yang paling penting adalah selektin
dan integrin.
2) TNF menstimulasi sel-sel endotel dan makrofag untuk mensekresi
kemokin dan menguatkan afinitas integrin leukosit terhadap ligandnya dan
menginduksi kemotaksis dan rekruitmen leukosit. TNF juga menyebabkan
phagosit mononuklear menstimulasi sekresi IL-1
3) TNF menstimulasi aktivitas neutrofil dan makrofag .
Pada kadar rendah, TNF merespon pada leukosist dan endothelium dalam
menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF dapat menyebabkan
inflamasi sistemik, sedangkan pada kadar tinggi dapat menyebabkan
abnormalistas patologik syok septik. Konsentrasi TNF dalam serum merupakan
prediktor luaran infeksi gram negatif berat (Abbas dan Lichtman, 2005).
Pada infeksi berat, TNF diproduksi dalam jumlah yang besar dan menyebabkan
abnormalitas patologik dan klinis sistemik. Jika stimulasi produksi TNF sudah
39
cukup kuat jumlah sitokin yang diproduksi juga banyak, masuk ke aliran darah
dan bereaksi pada suatu tempat sebagai hormon endokrin. Reaksi sistemik TNF
menurut Abbas dan Lichtman (2005) adalah seperti dijelaskan sebagai berikut.
1) TNF beraksi pada hypothalamus dan menginduksi panas/fever, yang
disebut sebagai pyrogen endogen. Produksi panas sebagai respon dari
TNF dan IL-1, dimediasi oleh peningkatan prostaglandin oleh sel-sel
hypothalamus yang terstimulasi oleh sitokin.
2) TNF bekerja pada hepasit yang dapat meningkatkan sintesis protein serum
seperti serum amylod A protein dan fibrinogen. Peningkatan protein
plasma ini diinduksi oleh TNF, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan respon
fase akut.
3) Produksi TNF yang berkepanjangan, menyebabkan wasting otot dan sel-
sel lemak yang disebut dengan kaheksia. Wasting terjadi karena TNF
menekan napsu makan dan menurunkan sintesis lipoprotein lipase, suatu
enzim yang diperlukan untuk pengeluaran asam lemak dari lipoprotein
yang digunakan jaringan.
4) Pada saat TNF dalam jumlah yang besar, kontraktil miokardial dan tekanan
vaskuler otot polos dihambat, menyebabkan tekanan darah menurun dan terjadi
syok.
5) TNF menyebabkan thrombosis intravaskuler, terutama karena kehilangan
antikoagulan endotelin. TNF menstimulasi ekspresi sel endotel jaringan, suatu
aktivator koagulan poten, dan menghambat ekspresi trombomodulin, suatu
inhibitor koagulan. Peningkatan endotelin yang dieksaserbasi oleh aktivasi
neutrofil, menyebabkan penyumbatan vaskular oleh sel-sel tersebut.
40
Kemampuan sitokin ini yang menyebabkan nekrosis tumor, akibat dari
thrombosis pembuluh darah tumor.
6) TNF yang tinggi dalam sirkulasi menyebabkan gangguan metabolik berat, seperti
menurunnya kadar gula darah, hal ini karena adanya pemakaian glukosa yang
berlebihan oleh otot dan kegagalan hati dalam mengganti glukosa.
Permeabilitas vaskuler akan meningkat pada proses inflamasi, kondisi ini
akan memudahkan netrofil dan monosit memasuki jaringan yang mengalami
inflamasi. Sel endotel mengkerut sehingga molekul-molekul besar dapat
melewati dinding vascular. Mobilisasi sel-sel leukosit dari sumsum tulang dan
bergerak ke sirkulasi, merupakan pengaruh dari IL-1, TNF-α dan endotoksin. Sel
endotel berperan dalam pengaturan tonus vascular dan perfusi jaringan melalui
pelepasan komponen vasodilator. Sel endotel bereaksi cepat untuk mengaktifkan
ekspresi protein permukaan berupa protein selektin. Sel endotel dipengaruhi oleh
TNF, IL-1 dan endotoksin sehingga sel endotel berpartisipasi dalam respon
inflamasi terutama ekspresi molekul adhesi seperti P-selektin, E-selektin (ELAM-
1, endothelial adhesion molecule), ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule).
c. ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule).
Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) adalah melekul protein
transmembran. Molekul adhesi ini dihasilkan oleh sel-sel endotel pada saat
terjadinya inflamasi yang dipacu oleh TNF-α dan IL-1. TNF-α menginduksi sel-
sel endotel untuk mengekspresikan molekul-molekul adesif yang menyebabkan
permukaan endotel adesif terhadap leukosit terutama netrofil yang kemudian
diikuti oleh monosit dan limfosit. Molekul-molekul adesif yang paling penting
adalah selektin dan integrin. Adanya inflamasi dan sitokin proinflamasi dapat
41
meningkatkan ekspresi ICAM-1 (Siegmund et al.,2005). TNF- α menstimulasi
sel-sel endotel dan makrofag untuk mensekresi kemokin dan menguatkan afinitas
integrin leukosit terhadap ligandnya dan menginduksi kemotaksis dan rekruitmen
leukosit.
Pelepasan mediator inflamasi meningkatkan molekul adesif baik pada sel
inflamasi (neutrofil, monosit) mapun pada SE. Hal tersebut meningkatkan adhesi,
perubahan arus darah, marginasi dan migrasi sel-sel seperti neutrofil, monosit dan
eosinofil ke pusat inflamasi. Migrasi sel-sel inflamasi tersebut juga diarahkan oleh
faktor-faktor kemotaktik yang diproduksi oleh berbagai sel, mikroba, komplemen
dan sel mast.
Sel-sel yang masuk ke tempat lesi akan melepas produknya yang
meneruskan proses inflamasi dan kadang menimbulkan kerusakan jaringan akibat
pengelepasan oksigen reaktif. IL-1 dan TNF-α, juga endotoksin meningkatkan
ekspresi molekul adhesi ICAM-1 dan VCAM-1 pada permukaan SE yang
berinteraksi dengan ligannya pada permukaan leukosit (ICAM-1 mengikat LFA-
1) LFA= limphosit fungtion associated).
Segera setelah timbul respon inflamasi, berbagai sitokin dan mediator
inflamasi lainnya berkeja terhadap endotel pembuluh darah lokal berupa
peningkatan ekspresi ICAM. Neutrofil merupakan sel pertama yang berikatan
dengan endotel pada inflamasi dan bergerak keluar vascular. Ekstravasi neutrofil
dapat dibagi dalam 4 tahap: menggulir, aktivasi oleh rangsangan kemoatraktan,
menempel/adhesi dan migrasi transendotel.
42
2.4 Hubungan Minum Kopi dengan Fungsi Hati
Kopi diminum secara luas sebagai minuman perangsang. Pertama kopi
dikonsumsi pada abad ke 9 di dataran tinggi Afrika, selanjutnya menyebar ke
Italia dan sebagian besar Eropa dan Amerika. Saat ini kopi adalah salah satu
minuman yang sangat populer di seluruh dunia (Muriel and Arauz, 2010;
Onuegbu et al., 2011). Di Indonesia kopi juga merupakan minuman yang populer.
Jenis kopi yang banyak ditanam dan tentunya dikonsumsi adalah kopi dari jenis
arabika dan robusta.
Penelitian Chu et al. (2008) terhadap kandungan antioksidan alami pada
kopi dengan teknik elektroporesis kapiler dan deteksi amperometrik, menemukan
bahwa kopi mengandung katesin (188,0 µg/g); rutin (169,6 µg/g); asam firulat
(57,7 µg/g); asam klorogenat (8.638,9 µg/g); kafein (114,8 µg/g) dan asam galat
(64,2 µg/g). Semuanya tersebut tergolong senyawa polifenol. Kopi juga diketahui
mengandung minyak yang disebut dengan kahweol dan kafestol (Morii et al.,
2009 dan Vecchia, 2005). Kahweol dan kafestol merupakan dua senyawa yang
tergolong senyawa diterpen yang bersifat sebagai antioksidan dan sebagai
antikarsinogenik (Nkondjock, 2009). Kopi juga diketahui mengandung tokopherol
(Alves et al., 2010). Antioksidan yang terdapat di dalam kopi merupakan
kandungan antioksidan terbanyak yaitu kurang lebih 200-550 mg/cangkir dengan
aktivitas 26% dibandingkan dengan beta karoten (0,1%), alfa tokoferol (0,3%),
vitamin C (8,5%) (Daglia et al., 2000; Sofillo and Hadey, 2007).
Kopi merupakan minuman populer di masyarakat dan bersifat
kontroversial terhadap kesehatan, sehingga beberapa peneliti melakukan
43
penelitian epidemologi seperti Funatsu et al. (2011) melakukan penelitian cros
sectional. Penelitiannya dilakukan antara tahun 1999-2004 untuk mengetahui
pengaruh perlemakan hati pada orang yang mengkonsumsi kopi dibandingkan
dengan orang yang tidak mengkonsumsi kopi. Ditemukan bahwa ada perbedaan
signifikan kejadian perlemakan hati antara yang mengkonsumsi kopi selama 5
tahun dengan yang tidak mengkonsumsi kopi. Hu et al. (2008) dalam studi
prospektifnya menemukan hubungan yang positif antara kadar GGT (gamma
glutamil transferase) dan risiko kanker hati fase awal. GGT dalam serum
merupakan enzim membran plasma yang disekresikan oleh kupper sel hati dan sel
endothelium pada saluran empedu orang dewasa yang sehat. Berdasarkan meta
analisis ditemukan bahwa konsumsi kopi mungkin menurunkan risiko kanker hati.
Penelitiannya dilakukan pada dua populasi dengan risiko kanker hati yang tinggi.
Oleh karena masih sangat umum dan dilakukan pada dua populasi maka belum
diketahui dengan pasti seberapa jauh pengaruh kopi terhadap penurunan risiko
kanker hati. Kanker hati di Jepang 90% dan 80 % di Italia diperkirakan
disebabkan karena infeksi virus hepatitis C dan B. Kadar serum GGT sudah
banyak digunakan sebagai marker sirosis hati, karena peningkatan GGT
menggambarkan kelebihan deposit lemak pada hati (hepatic steatosis) (Bidel et
al., 2008). Peningkatan GGT mungkin juga berhubungan dengan imflamasi
maupun stress oksidatif dan berpengruh terhadap kondisi patologi seperti
imflamasi dan diabetes (Bidel et al., 2008).
Kopi dikonsumsi sebagai minuman secara luas di seluruh dunia dan
diketahui memiliki pengaruh yang positif terhadap risiko kanker melalui
44
penelitian laboratorium dan dengan menggunakan hewan percobaan. Namun
dalam mengambil kesimpulan, perlu kehati-hatian karena pengaruh kopi terhadap
kanker dipengaruhi oleh kadar kandungan bahan-bahan kimia dalam kopi. Jenis
kopi, tempat tumbuh, cara penyajian (misalnya direbus/disaring) dan ada atau
tidaknya makanan lain yang dikonsumsi saat bersamaan mengkonsumsi kopi akan
mempengaruhi hubungannya terhadap kanker. Penemuan epidemologi
menyarankan bahwa meminum kopi tidak memiliki efek buruk terhadap
kesehatan, sebaliknya mengkonsumsi kopi berhubungan terbalik dengan risiko
kanker hati, ginjal dan sedikit berhubungan dengan kanker panyudara dan kolon
(Nkonndjock, 2009).
Studi epidemologi dan intervensi mengindikasikan bahwa baik makanan
secara keseluruhan maupun komponen makanan berperan terhadap risiko
aterosklerosis. Resistensi LDL terhadap modifikasi oksidasif merupakan indikator
risiko secara eksvivo, yang dipengaruhi oleh komponen makanan. Kopi
mengandung senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan. Molekul ini
ditemukan di dalam plasma setelah mengkonsumsi kopi dan juga memperlihatkan
secara invitro, bahwa senyawa ini mampu menurunkan kemampuan penyerapan
LDL terhadap oksidasi. Hal ini terjadi kerena kandungan senyawa fenolik
terabsorpsi ke dalam aliran darah dan berkooperasi ke dalam LDL setelah
mengkonsumsi kopi. Asam phenolik dari kopi mempunyai aktivitas oksidasi
secara invitro (Natella et al., 2007). Komponen yang bertanggung jawab terhadap
efek invivo dari konsumsi kopi adalah akibat dari hasil metabolit asam fenolat
pada kopi. Telah diketahui bahwa asam kafein bukanlah satu-satunya senyawa
asam fenolat yang berkerjasama dengan LDL setelah mengkonsumsi kopi (Natella
et al., 2007).