Bab II Geomorfologi Dbs

36
BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Geomorfologi Regional Tinjauan geologi regional daerah penelitian didasarkan pada peta Geologi Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai meliputi Kabupaten Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone dan Selayar yang semuanya termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Lembar peta ini berbatasan dengan Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat di utara, Selat Makassar di bagian barat dan Teluk Bone di bagian timur dan Laut Flores di selatan. Bentuk morfologi yang menonjol di daerah lembar ini adalah kerucut gunungapi Lompobatang, yang menjulang mencapai ketinggian 2876 m di atas muka air laut. Kerucut gunungapi ini dari kejauhan masih memperlihatkan bentuk aslinya, dan menempati lebih 12

Transcript of Bab II Geomorfologi Dbs

Page 1: Bab II Geomorfologi Dbs

BAB II

GEOMORFOLOGI

2. 1 Geomorfologi Regional

Tinjauan geologi regional daerah penelitian didasarkan pada peta Geologi

Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai meliputi Kabupaten Maros, Gowa,

Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone dan Selayar yang

semuanya termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Lembar peta ini

berbatasan dengan Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat di utara,

Selat Makassar di bagian barat dan Teluk Bone di bagian timur dan Laut Flores di

selatan.

Bentuk morfologi yang menonjol di daerah lembar ini adalah kerucut

gunungapi Lompobatang, yang menjulang mencapai ketinggian 2876 m di atas

muka air laut. Kerucut gunungapi ini dari kejauhan masih memperlihatkan bentuk

aslinya, dan menempati lebih kurang 1/3 daerah lembar. Kerucut gunungapi

Lompobatang ini tersusun oleh batuan gunungapi berumur Plistosen.

Dua buah bentuk kerucut tererosi yang lebih sempit sebarannya terdapat di

sebelah barat dan sebelah utara G. Lompobatang. Di sebelah barat terdapat G.

Baturape, mencapai ketinggian 1124 m dan di sebelah utara terdapat G. Cindako

mencapai ketinggian 1500 m. Kedua bentuk kerucut tererosi ini disusun oleh

batuan gunungapi berumur Pliosen.

Di bagian utara lembar terdapat 2 daerah yang dicirikan oleh topografi

karst, yang dibentuk oleh batugamping Formasi Tonasa. Kedua daerah topografi

12

Page 2: Bab II Geomorfologi Dbs

karst ini dipisahkan oleh pegunungan yang tersusun oleh batuan gunungapi

berumur Miosen sampai Pliosen.

Daerah sebelah barat Gunung Cindako dan sebelah utara Gunung Baturape

merupakan daerah berbukit kasar di bagian timur dan halus di bagaian barat.

Bagian timur mencapai ketinggian kira-kira 500 m, sedangkan bagian barat

kurang dari 50 m di atas muka air laut dan hampir merupakan suatu dataran.

Bentuk morfologi ini disusun oleh batuan klastik gunungapi berumur Miosen.

Bukit-bukit memanjang yang tersebar di daerah ini mengarah ke Gunung Cindako

dan Gunung Baturape berupa retas-retas basal.

Pesisir barat merupakan dataran rendah yang sebagian besar terdiri dari

daerah rawa dan daerah pasang-surut. Beberapa sungai besar membentuk daerah

banjir di dataran ini. Bagian timurnya terdapat bukit-bukit terisolir yang tersusun

oleh batuan klastika gunugapi berumurMiosen dan Pliosen.

Pesisir baratdaya ditempati oleh morfologi berbukit memanjang rendah

dengan arah umum kira-kira baratlaut-tenggara. Pantainya berliku-liku

membentuk beberapa teluk, yang mudah dibedakan dari pantai di daerah lain di

lembar ini. Daerah ini disusun oleh batuan karbonat dari Formasi Tonasa.

Secara Fisiografi pesisir timur merupakan penghubung antara Lembah

Walanae di utara, dan Pulau Selayar di Selatan. Di bagian utara, daerah berbukit

rendah dari Lembah Walanae menjadi lebih sempit dibanding yang di utara

(Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat), dan menerus di sepanjang

pesisir timur Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai. Pegunungan sebelah

13

Page 3: Bab II Geomorfologi Dbs

timur dari Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat berakhir di bagian

utara pesisir timur lembar ini.

Bagian selatan pesisir timur membentuk suatu tanjung yang ditempati

sebagian besar oleh daerah berbukit kerucut dan sedikit topografi karst. Bentuk

morfologi semacam ini ditemukan pula di bagian barat laut P. Selayar. Teras

pantai dapat diamati di daerah ini sejumlah 3 dan 5 buah. Bentuk morfologi ini

disusun oleh batugamping berumur Miosen Akhir – Pliosen.

Gambar 2.1 Peta Geomorfologi Lengan Selatan Pulau Sulawesi (Wilson, 1995)

14

Page 4: Bab II Geomorfologi Dbs

Pulau Selayar mempunyai bentuk memanjang utara –selatan, yang secara

fisiografi merupakan lanjutan dari pegunungan sebelah timur di Lembar

Pangkajene dan Watampone bagian Barat. Bagian timur rata-rata berdongak lebih

tinggi dengan puncak tertinggi 608 meter, dan bagian barat lebih rendah. Pantai

timur rata-rata terjal dan pantai barat landai; secara garis besar membentuk

morfologi lereng – miring ke arah barat. (Sukamto dan Supriatna, 1982).

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Pembahasan mengenai geomorfologi daerah penelitian meliputi penjelasan

pembagian satuan geomorfologi, uraian tentang sungai pada daerah penelitian

termasuk jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi sungai, tipe genetik dan

stadia sungai, yang pada akhirnya akan dihasilkan suatu kesimpulan tentang

stadia daerah penelitian.

2.2.1 Satuan Geomorfologi

Geomorfologi banyak didefinisikan oleh para ahli geomorfologi dalam

bukunya. Menurut Lobeck (1939), geomorfologi didefinisikan sebagai studi

tentang bentuk lahan. Geomofologi juga di definisikan sebagai ilmu tentang

bentuk lahan (Thornburry,1969). Sedangkan menurut van Zuidam (1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya. Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat di simpulkan

bahwa Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuk lahan

15

Page 5: Bab II Geomorfologi Dbs

dan proses – proses yang dipengaruhi oleh batuannya dan mencari korelasi

hubungan antara bentuk – bentuk lahan tersebut dengan proses – proses dalam

susunan keruangannya yang membentuk bentang alam tersebut. Pembentukan

bentangalam dari suatu daerah merupakan hasil akhir dari proses geomorfologi

yang disebabkan oleh gaya endogen dan eksogen. Bentangalam tersebut

mempunyai bentuk yang bervariasi dan dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor-

faktor tertentu antara lain proses, stadia, jenis litologi penyusun serta pengaruh

struktur geologi atau tektonik yang bekerja (Verstappen dan van Zuidam, 1985).

Pengelompokkan bentangalam menjadi satuan-satuan geomorfologi

berdasarkan beberapa faktor melalui tiga pendekatan yaitu :

Pendekatan morfometri

Pendekatan morfografi

Pendekatan morfogenesa

Pendekatan morfometri yaitu didasarkan pada beberapa parameter

geomorfologi yang bisa diukur. Unsur tersebut terdiri atas ketinggian, luas, relief,

sudut lereng, beda tinggi , kerapatan sungai, tingkat erosi dan sebagainya.

Pendekatan morfografi, yaitu pendekatan yang didasarkan pada bentuk

permukaan bumi yang dijumpai di lapangan yakni berupa topografi pedataran,

perbukitan dan pegunungan. Aspek bentukan ini perlu memperhatikan parameter

dari setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk lereng, dan bentuk lembah

yang dijumpai dilapangan.

Pendekatan morfometri yang digunakan untuk penentuan satuan bentang

alam, yaitu persentase kemiringan lereng dan beda tinggi. Klasifikasi kemiringan

16

Page 6: Bab II Geomorfologi Dbs

lereng yang digunakan yaitu berdasar pada klasifikasi van Zuidam (1985).

Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut dibawah ini.

Tabel 2.1. Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam ,1985)

Satuan Relief Sudut Lereng (%) Beda Tinggi (m)

Datar atau hampir datar 0 – 2 < 5

Bergelombang/ miring landai 3 – 7 5 – 50

Bergelombang/ miring 8 – 13 51 – 75

Berbukit bergelombang/ miring 14 – 20 76 – 200

Berbukit tersayat tajam/ terjal 21 – 55 200 – 500

Pegunungan tersayat tajam 55 – 140 500 – 1000

Pegunungan sangat curam > 140 > 1000

Sedangkan Pendekatan morfogenesa (genetik) yaitu berdasarkan asal usul

pembentukan atau proses yang membentuk bentangalam di permukaan bumi,

dengan proses pembentukan yang dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen

serta proses ekstra terrestrial (van Zuidam, 1985). Pendekatan ini dapat berupa

proses denudasional yaitu proses penelanjangan/pengelupasan yang meliputi

pelapukan serta tingkatannya, erosi dan mass wasting (gerakan tanah), gejala –

gejala karst, kontrol struktur, Fluvial, marine, aeolian, vulkanik dan glasial.

Klasifikasi satuan bentangalam berdasarkan genetik dikemukakan oleh van

Zuidam (1985), yaitu dengan menggunakan sistem klasifikasi ITC (International

Terrain Classification). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2.

17

Page 7: Bab II Geomorfologi Dbs

No. Bentuk Warna

1. Struktural Ungu

2. Vulkanik Merah

3. Denudasional Coklat

4. Marine Hijau

5. Fluvial Biiru Tua

6. Glasial Biru Muda

7. Karst Orange

8. Eolian Kuning

Dasar penamaan satuan bentangalam daerah penelitian didasarkan pada

pendekatan morfometri, morfografi dan morfogenesa. Total luas area penelitian

40,75 km2 Berdasarkan hal tersebut, daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2

satuan bentangalam, yaitu:

1. Satuan bentangalam bergelombang Karst

2. Satuan bentangalam Pedataran Marine

2.2.1.1 Satuan Bentangalam Bergelombang Karst

Karst adalah sebuah daerah dengan karakteristik khusus terutama bangun

relief dan drainase dari kelarutan batuan di dalam air alam dengan tingkat yang

lebih tinggi dibandingkan tempat lain yang ditemukan (Jennings,1971 dalam van

Zuidam, 1985).

Dasar penamaan satuan bentangalam ini menggunakan pendekatan

genetik atau proses geomorfologi yang mengontrol daerah penelitian, pendekatan

morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui pengamatan

Tabel 2.2. Klasifikasi satuan bentangalam berdasarkan genetik pada sistem ITC (van Zuidam, 1985)

18

Page 8: Bab II Geomorfologi Dbs

langsung dilapangan dan pendekatan morfometri dengan melakukan analisis relief

dan beda tinggi pada peta topografi skala 1 : 25.000 daerah penelitian.

Satuan ini menempati 30,35 km2 atau 74,42 % dari luas keseluruhan

daerah penelitian. Dengan daerah penyebaran menempati bagian Utara hingga

bagian Tenggara daerah penelitian, mulai dari daerah Doajang, sebagian daerah

Tanah Beru, Tarampang, Tabolloang hingga daerah Sapo.

Berdasarkan pendekatan morfometri, satuan bentangalam ini memiliki

kemiringan lereng rata – rata 20 - 40 , dengan persentase sudut lereng sekitar 3 –

7%, dan beda tinggi sekitar 5 - 50 meter diatas permukaan laut. Sehingga

berdasarkan klasifikasi van Zuidam (1985) daerah ini termasuk tipe morfologi

bergelombang.

Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung dilapangan daerah – daerah ini memiliki lereng yang relatif miring-

landai dengan tipe morfologi bergelombang.. Berdasarkan hasil pengolahan data

morfometri dan morfografi serta uraian karakteristik daerah ini, maka reliefnya

bergelombang (foto 2.2).

Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap

karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka

bumi, antara lain proses pelapukan, erosi, dan bentukan – bentukan morfologi

batugamping.

Umumnya daerah ini tersusun oleh batuan yang mudah larut seperti

batugamping. Tetapi tidak berarti bahwa pada setiap tempat dimana terdapat

batugamping akan terbentuk topografi karst. Karst tidak hanya terjadi di daerah

19

Page 9: Bab II Geomorfologi Dbs

berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan lain yang mudah larut dan

mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar intensif), seperti batuan gipsum

dan batu garam.

Karakteristik khusus karst yang berbeda dari bentuk lahan lainnya

mempunyai

ciri – ciri bentuk lahan karst yaitu sebagai berikut :

1. Terdapatnya sejumlah cekungan atau lubang dengan bentuk dan ukuran yang

bervariasi, cekungan tersebut dikenangi air ataupun tidak digenangi,

mempunyai kedalaman dengan jarak berbeda – beda.(gambar 2.3)

2. Bukit – bukit kecil dalam jumlah yang banyak sisa – sisa erosi akibat

pelapukan kimia pada batugamping (conicall hill).

3. Terdapat sungai bawah tanah, ponor dan mata air karst.

4. Terdapat gua – gua batugamping serta adanya stalaktit dan stalagmit.

Perkembangan bentuk lahan karst sangat bervariasi dari satu tempat

ke tempat lain.Variasi tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang mengontrol

perkembangannya, seperti batuan, struktur geologi, vegetasi, dan iklim. Faktor-

faktor tersebut secara bersama-sama menentukan intensitas dan kecepatan

karstifikasi. Hasil dari proses karstifikasi tersebut adalah bentuk lahan karst.

Morfologi karst makro di suatu wilayah dapat meliputi beberapa

kombinasi dari bentukan negatif berupa dolina, uvala, polje, atau ponor; dan

bentukan positif berupa kegel, mogote, atau pinacle (van Zuidam,1985).

20

Page 10: Bab II Geomorfologi Dbs

Gambar 2.2 Kenampakan satuan bentangalam bergelombang karst di foto kearah N 250oE pada stasiun 164

Gambar 2.3 Cekungan atau lubang dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi sebagai salah satu penciri Karst

21

Page 11: Bab II Geomorfologi Dbs

Adapun morfologi karst pada daerah penelitian ini dibuktikan dengan

adanya sungai bawah tanah (drainase bawah tanah) yang digunakan oleh

penduduk setempat sebagai sumber air tawar (gambar 2.4).

Penciri satuan bentang alam Karst lainnya yang terdapat pada daerah

penelitian ini yaitu tidak dijumpainya sungai (sistem drainase) di permukaan. Hal

ini disebabkan karena massa air pada batugamping akan meresap turun melalui

celah atau kekar pada batuan tersebut.

Jenis pelapukan pada satuan bentangalam ini, berupa pelapukan fisika

biologi dan kimia. Pelapukan biologi ditandai dengan adanya akar tumbuhan yang

menerobos masuk di antara rekahan pada batuan (gambar 2.5). Sementara

Gambar 2.4 Indikasi sungai bawah tanah (drainase bawah tanah) sebagai salah satu penciri Karst yang digunakan oleh penduduk setempat sebagai sumber air tawar d foto ke arah N120o E

22

Page 12: Bab II Geomorfologi Dbs

pelapukan kimia ditandai dengan adanya mengalami pelarutan yang ditunjukkan

oleh adanya kenampakan dari permukaan batugamping yang tajam –tajam dan

berlubang - lubang. Proses geomorfologi pada daerah penelitian dikontrol oleh

proses pelarutan yang berlangsung aktif, hal ini mengakibatkan daerah penelitian

mempunyai sifat kelarutan yang tinggi utamanya terhadap air hujan sehingga

mudah membentuk rekahan dan lubang pada batugamping. Apabila proses ini

berlangsung secara intensif dalam jangka waktu yang lama, sebagian dari rekahan

dan lubang tersebut akan saling berhubungan membentuk alur – alur air dan pada

stadia selanjutnya akan membentuk sungan bawah tanah, dan sebagian dari

rekahan dan lubang yang saling berhubungan tersebut dapat pula membentuk gua

bawah tanah.

Gambar 2.5 Pelapukan biologi yang disebabkan oleh pertumbuhan akar tumbuhan pada batugamping yang di foto kearah N160oE pada stasiun 13

23

Page 13: Bab II Geomorfologi Dbs

Pada morfologi Karst terdapat pula pelapukan fisika. Efek pelapukan

pada permukaan batuan memberikan beberapa morfologi yang khas berupa

Mushroom yaitu tonjolan berbentuk cendawan yang terbentuk sebagai hasil abrasi

pantai. Tonjolan pada bagian atas batuan menunjukkan abrasi yang bekerja pada

bagian ini kurang efektif (gambar 2.6).

Pelapukan kimia menghasilkan soil yaitu hasil pelapukan dari

batugamping dengan ketebalan 1 – 2 meter, berwarna kehitaman, jenis soil secara

umum berupa residual soil. Selain itu dijumpai pelapukan berupa pelarutan yang

terjadi pada batugamping karena terkontaminasi dengan air. Berdasarkan

ketebalan soil yang dijumpai maka dapat diketahui bahwa tingkat pelapukan yang

terjadi pada satuan bentangalam pedataran adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat pada

tabel hubungan tebal soil dengan tingkat pelapukan menurut van Zuidam (1985).

Gambar 2.5 Pelapukan fisika yang disebabkan oleh proses abrasi di foto kearah N150oE pada stasiun 17

24

Page 14: Bab II Geomorfologi Dbs

Tabel 2.3 Hubungan tebal soil dengan tingkat pelapukan (van Zuidam, 1985)

± 2 m

Pada satuan bentang alam ini juga terlihat perbedaan warna soil hasil

pelapukan kimia batugamping (gambar 2.7). Pada bagian Utara - Timur daerah

penelitian soil yang dijumpai berwarna kemerahan sedangkan pada bagian

Baratlaut – Tenggara berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena pada daerah

Utara – Timur kaya akan kandungan unsur seperti Fe2+ , Mg2+ yang mengalami

oksidasi karena bersentuhan dengan air, oksigen, dan karbon dioksida yang

terdapat dalam atmosfer dan akan menghasilkan soil berwarna kemerahan,

sedangkan pada bagian barat laut – tenggara CaCO3 akan terurai melepaskan

unsur karbon yang menghasilkan soil berwarna hitam.

Gambar 2.6 Kenampakan residual soil yeng merupakan hasil pelapukan dari batugamping pada stasiun 24, difoto ke arah N 150oE

25

Tebal Soil (cm) Tingkat Pelapukan> 150 Tinggi

50 – 150 Tinggi - Sedang< 50 Rendah

Tidak ada soil -

Page 15: Bab II Geomorfologi Dbs

a b

2.2.1.2. Satuan Bentangalam Pedataran Marine

Satuan bentang alam ini menempati sekitar 10,45 km2 (25,57%) dari luas

keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan ini menempati bagian selatan

hingga pada bagian barat laut yang berada pada sepanjang pesisir Teluk

Birangkeke.

Hasil analisis morfometri terhadap peta topografi atau peta dasar pada

satuan bentang alam ini memiliki kemiringan lereng rata-rata 0º-2º, dengan

persentase lereng sekitar 0-2 % dengan titik ketinggian berkisar antara 1 - 2 meter

dari permukaan laut.

Relief dari satuan bentangalam ini adalah pedataran dan berdasarkan

tinjauan di lapangan tidak dijumpai adanya bentuk lembah yang berarti serta

bentuk lereng seperti terlihat dalam gambar 2.8, sehingga berdasarkan klasifikasi

van Zuidam (1985), daerah ini termasuk tipe morfologi pedataran.

Gambar 2.7 Kenampakan soil hasil pelapukan kimia batugamping berwarna hitam (a) yang difoto kearah N1000E pada stasiun 33, berwarna kemerahan (b) yang difoto ke arah N 230oE pada stasiun 39

26

Page 16: Bab II Geomorfologi Dbs

Analisa morfogenesa daerah penelitian merupakan analisa terhadap

karakteristik bentukan alam hasil proses - proses yang merubah bentuk muka

bumi tersebut. Proses tersebut antara lain adalah proses erosi dan sedimentasi

yang dapat bekerja secara bersama-sama.

Proses sedimentasi material asal laut mendominasi satuan bentang alam

ini. Bentuk geomorfologi yang dihasilkan berupa hamparan pedataran yang terdiri

endapan pantai seperti hamparan pasir, cangkang – cangkang organisme berada di

sepanjang pesisir Teluk Birangkeke. (gambar 2.9) Satuan ini dikontrol oleh

aktifitas ombak dan arus yang bekerja pada daerah penelitian.

Gambar 2.8 Kenampakan satuan morfologi pedataran marine difoto kearah N 250oE pada stasiun 15

27

Page 17: Bab II Geomorfologi Dbs

Proses erosi permukaan yang terdapat pada daerah penelitian yaitu berupa

erosi oleh ombak (abrasi) yang menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan pada

karang yang terdapat pada pinggir pantai yang lama-kelamaan mengikis batuan

tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui pengendapan tersebut di

dominasi oleh endapan asal laut .

Satuan bentangalam ini dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai

pemukiman, pelabuhan nelayan, dan sebagian masih berupa semak belukar.

2.2.2. Pantai

Pantai adalah daerah ditepi laut yang merupakan batas antara surut

terendah dan pasang tertinggi. Pembahasan mengenai pantai pada daerah

penelitian meliputi uraian tentang tipe – tipe pantai dan klasifikasi pantai.

Gambar 2.9 Endapan pantai seperti hamparan pasir, cangkang- cangkang organisme dominan menyusun satuan pedataran difoto kearah N 124oE pada stasiun 15

28

Page 18: Bab II Geomorfologi Dbs

Daerah pantai yang masih mendapat pengaruh air laut dibedakan menjadi

tiga bagian, yaitu :

1. Beach (daerah pantai). Yaitu daerah yang langsung mendapat pengaruh air laut

dan selalu dapat dicapai oleh pasang naik dan pasang turun.

2. Shore line (garis pantai). Jalur pemisah yang relatif berbentuk baris dan

merupakan batas antara daerah yang dicapai air laut dan yang tidak bisa dicapai.

3. Coast (pantai). Daerah yang berdekatan dengan laut dan masih mendapat

pengaruh air laut. Antara pantai yang satu dengan garis pantai yang lainnya

mempunyai perbedaan. Perbedaan dari masing-masing jenis pantai tersebut

umumnya disebabkan oleh kegiatan gelombang dan arus laut

2.2.2.1 Tipe Pantai

Secara sederhana, pantai dapat diklasifikasikan berdasarkan material

penyusunnya, yaitu menjadi:

1. Pantai Batu (rocky shore), yaitu pantai yang tersusun oleh batuan induk

yang keras seperti batuan beku atau sedimen yang keras.

2. Beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas. Pantai tipe ini dapat

dibedakan menjadi:

a. Sandy beach (pantai pasir), yaitu bila pantai tersusun oleh endapan

pasir.

b. Gravely beach (pantai gravel, pantai berbatu), yaitu bila pantai

tersusun oleh gravel atau batuan lepas. Seperti pantai kerakal.

29

Page 19: Bab II Geomorfologi Dbs

3. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai.  Di

daerah tropis, vegetasi pantai yang dijumpai tumbuh di sepanjang garis

pantai adalah mangrove, sehingga dapat disebut Pantai Mangrove.

Bila tipe-tipe pantai dilihat dari sudut pandang proses yang bekerja

membentuknya, maka pantai dapat dibedakan menjadi:

1. Pantai hasil proses erosi, yaitu pantai yang terbentuk terutama melalui

proses erosi yang bekerja di pantai. Termasuk dalam kategori ini adalah

pantai batu (rocky shore).

2. Pantai hasil proses sedimentasi, yaitu pantai yang terbentuk terutama

kerena proses sedimentasi yang bekerja di pantai. Termasuk kategori ini

adalah beach. Baik sandy beach maupun gravely beach.

3. Pantai hasil aktifitas organisme, yaitu pantai yang terbentuk karena

aktifitas organisme tumbuhan yang tumbuh di pantai. Termasuk kategori

ini adalah pantai mangrove.

Pantai dapat dibedakan menjadi 3 bagian bila dilihat dari tipe sedimen

pantainya. Sedimen pantai adalah material sedimen yang diendapkan di pantai.

Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen pantai dapat berkisar dari sedimen

berukuran butir lempung sampai gravel. Kemudian, berdasarkan pada tipe

sedimennya, pantai dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Pantai gravel, bila pantai tersusun oleh endapan sedimen berukuran gravel

(diameter butir > 2 mm).

30

Page 20: Bab II Geomorfologi Dbs

2. Pantai pasir, bila pantai tersusun oleh endapan sedimen berukuran pasir (0,5 –

2 mm).

3. Pantai lumpur, bila pantai tersusun oleh endapan lumpur (material berukuran

lempung sampai lanau, diameter < 0,5 mm).

Berdasarkan hal tersebut maka di tinjau dari material penyusunnya,

pantai pada daerah penelitian dapat dikategorikan sebagai pantai pasir (Sandy

beach) oleh karena material yang menyusun pantai pada daerah penelitian

dominan pasir. Sdangkan berdasarkan proses yang bekerja, maka pantai pada

daerah penelitian merupakan pantai hasil proses sedimentasi yang ditinjau dari

sedimen pantai berupa pasir putih yang menunjukkan bahwa sedimen tersebut

berasal dari laut.

Klasifikasi tipe-tipe pantai berdasarkan pada sedimen penyusunnya itu

juga mencerminkan tingkat energi (gelombang dan atau arus) yang ada di

lingkungan pantai tersebut. Pantai gravel mencerminkan pantai dengan energi

tinggi, sedang pantai lumpur mencerminkan lingkungan berenergi rendah atau

sangat rendah. Pantai pasir menggambarkan kondisi energi menengah.

2.2.2.2 Klasifikasi Pantai

Bentang alam pantai dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam

berdasarkan :

1. Genesa (Johnson, 1919)

2. Faktor-faktor pembentukannya (Shepard, 1948)

31

Page 21: Bab II Geomorfologi Dbs

Adapun keterangannya berdasarkan pembagiannya bentang alam

sebagai berikut:

1. Klasifikasi pantai menurut Johnson 1919 (Thornbury, 1964)

Berdasarkan genesa dibagi menjadi 4 macam pantai yaitu:

a. Pantai tenggelam (submergence coast), pantai tenggelam (submergence

coast) ini terjadi karena tenggelamnya daratan atau naiknya muka air

laut. Contoh : Pantai Ria (terjadi akibat erosi fluvial), Pantai Fjord (terjadi

akibat glasiasi)

b. Pantai naik (emergence coast), pantai ini terjadi akibat majunya garis

pantai atau turunnya muka air laut.

c. Pantai netral, adalah pantai yang tidak mengalami penenggelaman atau

penurunan

d. Pantai campuran (compound).

2. Klasifikasi pantai menurut Shepard (1948)

Dibagi berdasarkan faktor-faktor pembentuknya, berdasarkan pendekatan

secara genesa atau perbedaan bentuk-bentuk awal (initial) dan juga bentuk-

bentuk berikutnya (subquential).klasifikasi ini terdiri dari :

a.Pantai primer, stadia muda ini dihasilkan oleh proses bukan asal laut

(nonmarine agencies).

b. Pantai sekunder, dengan stadia dewasa yang dihasilkan oleh proses asal

laut (marine agencies).

32

Page 22: Bab II Geomorfologi Dbs

Dengan melihat klasifikasi yang diuraikan di atas, maka berdasarkan

klasifikasi Johnson (1919) yang ditinjau dari genesanya maka pantai pada daerah

penelitian merupakan pantai naik. Pantai ini terjadi akibat majunya garis pantai

atau turunnya muka air laut. Yang dicirikan oleh garis pantai yang relatif lurus

dan dapat pula dilihat dari batuan penyusun berupa batuganping yang duunya

terbentuk d aeaw permukaan kini tersingkap di atas permukaan.

Berdasarkan klasifikasi Shepard (1948) yang ditinjau dari pendekatan

secara genesa, maka pantai pada daerah penelitian merupakan pantai sekunder

dengan stadia dewasa yang dihasilkan oleh proses asal laut (marine agencies)

dengan bentuk pantai yang lurus karena erosi gelombang dimana pantainya

dibentuk oleh sedimen – sedimen yang diendapkan arus dan ombak di sepanjang

pantai dengan ciri – ciri daerahnya berelief datar terdapat teluk dimuka pantai

yaitu teluk Birangkeke.

2.2.3 Stadia Daerah Penelitian

Penentuan stadia suatu daerah harus memperhatikan hasil kerja proses-

proses geomorfologi yang diamati pada bentuk-bentuk permukaan bumi yang

dihasilkan, dan didasarkan pada siklus erosi dan pelapukan yang bekerja pada

suatu daerah, mulai dari saat terangkatnya sampai terjadi perataan bentangalam

(Thornbury, 1969).

Pada daerah penelitian proses geologi yang telah terjadi dapat diamati

pada proses yang berlangsung secara intensif pada daerah tersebut berupa proses

pelarutan. Hal ini dapat dilihat dari dijumpainya lubang pada batuan yang saling

33

Page 23: Bab II Geomorfologi Dbs

berhubungan yang nantinya akan membentuk gua bawah tanah dimana ukurannya

relatif kecil, juga dijumpai lubang hasil pelarutan yang tersingkap ke permukaan.

Pada daerah penelitian,sungai yang terbentuk berupa sungai bawah tanah

yang dibentuk oleh pelarutan yang bekerja secara intensif dengan dinding yang

relatif curam yang merupakan indikasi tingginya tingkat pelarutan pada daerah

penelitian.

Tingkat pelapukan batuan pada daerah penelitian tergolong tinggi yang

ditandai dengan ketebalan soil dengan kisaran 1 meter – 200 meter. Proses erosi

oleh air laut atau abrasi terhadap batugamping juga berlangsung secara intensif.

Dan proses sedimentasi juga masih berlanjut dimana pengendapannya dominan

dipengaruhi oleh material dari laut.

Berdasarkan pemaparan mengenai kondisi tingkat pelarutan, abrasi,

proses sedimentasi, maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah penelitian

adalah Stadia Muda Menjelang Dewasa.

Tabel 2. 3 Tabel Deskripsi satuan morfologi daerah penelitian

34

Page 24: Bab II Geomorfologi Dbs

Aspek Geomorfologi

Satuan Bentangalam

Karst Marine

Luas Wilayah (km²) 4,91 (11,91%) 36,6 (88,09%)

Relief

Beda Tinggi (meter)

110-209 48-109

Relief Bergelombang PedataranBentuk Puncak

Tumpul -

Bentuk Lembah

- -

Bentuk Lereng Sangat Landai -Jenis Pelapukan Kimia, Fisika, Biologi FisikaTingkat Pelapukan Tinggi TinggiTingkat Sedimentasi Rendah TinggiBentuk Pelapukan Tanah terrarosa Pasir pantaiGerakan Tanah - -Pengendapan - -

SoilJenis Residual Soil Transported SoilTebal (meter) 0,5 –1 1– 3,5Warna Merah, hitam Putih kecoklatan

Litologi Penyusun Batugamping Endapan Pasir

Tutupan Lahan Batuan, Soil Batuan, Soil

Tata Guna LahanPerkebunan, Pemukiman

Permukiman, pelabuhan rakyat, objek wisata

Struktur Geologi - kekarStadia Daerah Muda Menjelang Dewasa

35