BAB II Garap Perpus
-
Upload
yanneri-elfa -
Category
Documents
-
view
256 -
download
1
Transcript of BAB II Garap Perpus
BAB II
LANDASAN TEORI
Penelitian Terdahulu
Hubungan antar variabel (bawah sendiri neh)
Hubungan CF – FD
Hubungan NOI – FD
Hubungan EPS – FD
Hubungan Sensitifitas – FD
Tambahin..Tambahin..
P a g e | 13
P a g e | 14
Penelitian terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dan berhubungan dengan
penelitian mengenai financial distress dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sunti Tirapat dan Aekkachai Nittayagasetwat (1999), melakukan
penelitian terhadap perusahaan Thailand yang mengalami financial
distress dengan judul “An Investigation of Thai Listed Firms’ Financial
Distress Using Macro and Micro Variables”. Penelitian tersebut bertujuan
untuk menguji penerapan regresi logit untuk mengembangkan model
financial distress yang berkaitan dengan makro ekonomi dan untuk
mengetahui sensitifitas perusahaan terhadap makro ekonomi dan
hasilnya ialah ditemukan bahwa kondisi makro ekonomi merupakan
indikator yang kritikal bagi masalah keuangan perusahaan dan semakin
tinggi tingkat sensitivitas perusahaan terhadap inflasi, maka semakin
tinggi peluang perusahaan tersebut untuk mengalami financial distress.
Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) menggunakan two-step idea atau
two-step regression. Pada two-step regression menggunakan pengujian
langsung dan pengujian tidak langsung. Pada pengujian tidak langsung,
Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) menggunakan estimasi return saham
perusahaan dan kemudian return saham yang diestimasi digunakan
untuk menyajikan sensitifitas perusahaan terhadap variabel ekonomi
makro. Sedangkan pada pengujian langsung Tirapat dan Nittayagasetwat
(1999) memasukkan faktor-faktor risiko sistematik perusahaan, yaitu
indeks produksi manufaktur, indeks harga konsumen, suku bunga, dan
peredaran uang. Variabel keuangan yang digunakan dalam penelitian
P a g e | 15
Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) yaitu rasio CAMEL. Sampel yang
digunakan dalam penelitian Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) adalah
perusahaan yang terdaftar di Stock Exchange of Thailand pada tahun
1996. Hasil penelitian Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) memberikan
bukti bahwa semakin tinggi tingkat sensitifitas perusahaan terhadap
faktor ekonomi makro, semakin tinggi pula probabilitas perusahaan
mengalami financial distress. Dalam peneltian Tirapat dan
Nittayagasetwat (1999) juga menunjukkan faktor ekonomi makro yang
paling mempengaruhi prediksi financial distress adalah indeks harga
konsumen.
2. Stjin Claessens, Siemon Djankov, Leora Klapper (1999), melakukan
penelitian terhadap perusahaan Asia timur dengan judul “Resolution of
Corporate Distress in East Asia”. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan financial distress pada
perusahaan-perusahaan di Asia Timur dan menggunakan metode Z-
score untuk mengukur financial distress dengan mempertimbangkan
karakteristik perusahaan, karakteristik perusahaan distress, creditor right,
judicial efficiency, legal origins. Hasil dari penelitian tersebut ialah
ditemukan bahwa kepemilikan bank dan grup affiliasi menurunkan
kemungkinan perusahaan untuk dapat mengalami financial distress,
judicial efficiency dan contractbility meningkatkan kemungkinan financial
distress di Asia Timur.
3. Yusuf Karbhari dan Zulkarnain Muhamad Sori (2000), yang meneliti
perusahaan Malaysia yang mengalami financial distress dikarenakan
krisis ASEAN 1997 dengan judul “Prediction Of Corporate Financial
P a g e | 16
Distress: Evidence From Malaysian Listed Firms During The Asian
Financial Crisis”. Tujuan penelitian ini ialah untuk memformulasikan
model yang dapat memprediksi financial distress dan untuk
mengaplikasikan model tersebut guna melacak penyebab utama financial
distress, metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah rasio
keuangan dan analisis diskriminan dengan variabel penelitian industri
yang sama dengan perusahaan yang mengalami distress, jumlah aset
yang dijual atau ditutup, usia yang sama semenjak perusahaan berhenti
beroperasi. Hasil penelitian ini ialah Z = 1.795 + 1.538X1 – 2.185X2 +
3.646X3 +0.282X4 +0.104X5 dimana Z = indeks keseluruhan, X1 = total
liabilitas terhadap total aset, X2 = aset turnover, X3 = inventory terhadap
total aset, X4 = penjualan terhadap inventory, X5 = kas terhadap total aset.
Model yang dihasilkan tersebut memberikan tingkat ketetapatan prediksi
lebih dari 80% untuk validitas internal dan eksternal, memberikan tingkat
ketepatan 50% sebelum terjadinya financial distress, dan ditemukan
hubungan yang erat antara model ini dengan variabel yang sering
digunakan untuk mengukur kesehatan perusahaan (arus kas,
keuntungan, modal kerja, dan laba bersih).
4. Fathi Elloumi dan Jean-Pierre Gueyie (2001) yang menganalisis
perusahaan Kanada dengan judul penelitian “Financial Distress And
Corporate Governance: An Empirical Analysis”. Alasan dilakukan
penelitian ini ialah untuk menemukan hubungan antara karakteristik
corporate governance dengan financial distress dengan menggunakan
variabel dependen (1) status financial distress perusahaan , (2) dan
perusahaan yang sudah mengalami financial distress dan sudah
P a g e | 17
mengalami manajemen turnover, sedangkan variabel independennya
ialah (1) pimpinan yang berasal dari dalam dan luar perusahaan, (2)
komite audit, (3) direktur, (4) saham yang dipegang oleh shareholder
lebih dari 20%, (5) likuiditas, (6) dan leverage. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan yang sehat memiliki lebih banyak orang
luar pada jajaran direksinya (73,7% untuk perusahaan sehat dan 64,7%
untuk perusahaan yang mengalami financial distress), adanya perbedaan
antara komposisi pemegang saham antara perusahaan sehat dan
distress, namun tidak ada perbedaan antara komposisi pemegang saham
apabila dilihat dari adanya manajemen turnover.
5. Dah Kwei Liou dan Malcolm Smith (>>>>) melakukan penelitian pada
London Stock Exchange untuk periode 1981 sampai dengan 2001
dengan judul “ Macroecomonic Variables in the Identification of Financial
Distress”. Sesuai dengan judul penelitiannya, penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis variabel makro ekonomi terhadap financial distress
perusahaan dengan variabel UK Gross Domestic Product (UKGDP), UK
Industrial Production Index (UKIPI), UK Base Rate (UKBR), UK Producer
Price Index (UKPPI), UK Retail Price Index (UKRPI), FTSE All Share
Index (FTSEALL) dan menggunakan metode rasio keuangan dan analisis
diskriminan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penggunaan variabel
makro ekonomi terhadap financial distress merupakan indikator yang
buruk apabila variabel makro ekonomi dimasukkan ke dalam tahap dua
dari analisis diskriminan yang dapat menyebabkan eror, namun apabila
dimasukkan dalam tahap satu variabel makro ekonomi memberikan hasil
yang lebih baik, namun secara keseluruhan model tersebut memberikan
P a g e | 18
hasil yang buruk, sedangkan rasio keuangan merupakan diskriminator
yang buruk untuk kedua tahap analisis diksriminan, tetapi keuntungan
perusahaan dengan elemen makro ekonomi memberikan akurasi yang
optimal, tetapi hasil yang buruk menuntut untuk dimasukkan lebih banyak
variabel untuk dapat memberikan hasil yang lebih baik.
6. Julio Pindado, Luis Rodriguez, Chabela de la Torre (>>>>) melakukan
penelitian dengan judul “Estimating the Probability of Financial Distress:
International Evidence” untuk mengembangkan model prediksi financial
distress yang dapat diaplikasikan pada kondisi ekonomi dan legalitas
yang berbeda, penelitian ini menggunakan variabel EBIT, pengeluaran
keuangan, dan laba ditahan dengan metode penelitian analisis
diskriminan, logit, dan PROBIT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan model prediksi yang digunakan di Amerika Serikat untuk
setiap tahunnya berbeda-beda dengan menggunakan analisis
diskriminan, logit, dan PROBIT dan kemungkinan perusahaan mengalami
financial distress dipengaruhi oleh ROA, serta pengeluaran keuangan.
7. Rayenda K. Brahmana (>>>>) melakukan penelitian pada industri
manufaktur di Indonesia dengan judul “Identifying Financial Distress
Condition in Indonesia Manufacture Industry” untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang dapat menyebabkan financial distress dengan
menggunakan rasio relatif industri, unadjusted financial ratio, reputasi
auditor, dan data historis perusahaan yang dianalisis menggunakan
regresi dan enter technique. Dari hasil penelitan diketahui bahwa
unadjustred financial ratio mempunyai kekuatan klasifikasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan rasio keuangan, reputasi auditor memiliki
P a g e | 19
hubungan yang tidak signifikan terhadap financial distress, dan
ditemukan adanya 1% perusahaan manufaktur di Indonesia yang
mengalami financial distress.
8. Rr. Iramani. S (2007) melakukan penelitian untuk mengembangkan
model prediksi financial distress dengan judul “Model Prediksi Financial
Distress Perusahaan Go Public di Indonesia (Studi Pada Perusahaan
Manufaktur)” penelitian ini menggunakan (liat jurnalnya....)
Struktur Modal
Teori Struktur Modal
Investor dan kreditur merupakan kelompok penyedia dana bagi perusahaan
dan sangat mengharapkan agar perusahaan selalu berada pada tingkat profitabilitas
yang tinggi. Manajemen sebagai agen harus berusaha untuk merealisasikan
harapan ini agar perusahaannya tidak mengalami kesulitan keuangan karena
dengan tingkat laba yang rendah akan mengakibatkan nilai perusahaan mengalami
penurunan.
Keputusan pendanaan berkaitan dengan pemilihan sumber dana baik yang
berasal dari internal maupun eksternal. Sumber dana internal berasal dari laba
ditahan, sedangkan sumber dana eksternal berasal dari hutang dan penerbitan
saham (ekuitas). Proporsi antara penggunaan modal sendiri dan hutang dalam
memenuhi kebutuhan dana perusahaan disebut dengan struktur modal perusahaan
(Brigham dan Daves, 2004:486), bauran dari hutang dengan ekuitas perusahaan
disebut dengan struktur modalnya.
P a g e | 20
Teori struktur modal menjelaskan bagaimana pengaruh keputusan
pendanaan terhadap nilai perusahaan atau biaya modal perusahaan. Struktur modal
merupakan perbandingan antara hutang dengan ekuitas sebagai hasil atau akibat
dari pendanaan. Kebijaksanaan mengenai struktur modal melibatkan risiko dan
pengembalian. Dari sudut pandang penggunaan hutang oleh perusahaan, risiko
yang ditanggung oleh pemegang saham biasa dibedakan atas: (1) risiko bisnis yaitu
risiko atas saham perusahaan jika tidak menggunakan hutang, (2) risiko keuangan
yaitu pertambahan risiko yang ditanggung oleh perusahaan sebagai akibat dari
keputusan perusahaan pendanaan menggunakan hutang (Brigham dan Daves,
2004:489). Setiap perusahaan memiliki sejumlah risiko yang melekat pada
operasinya, yaitu risiko bisnis, yang timbul dari ketidakpastian dalam proyeksi arus
kas perusahaan yang berarti ketidakpastian tentang kebutuhan modal (investasi)
dan laba operasinya. Dengan penggunaan hutang atau saham istimewa maka biaya
tetap perusahaan akan meningkat dan sekaligus meningkatkan risiko bisnis.
Peningkatan risiko bisnis karena penggunaan hutang ini merupakan risiko
keuangan. Dengan demikian risiko bisnis yang merupakan risiko dasar perusahaan
berkaitan dengan keputusan pendanaan. Secara umum, pemegang saham suatu
perusahaan yang menggunakan hutang akan mensyaratkan tingkat pengembalian
yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas peningkatan risiko ini. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa risiko keuangan terdiri dari ketidaksanggupan membayar bunga
dan variabilitas pendapatan yang tersedia bagi pemegang saham.
Ada beberapa konsep struktur modal yang dikemukakan oleh beberapa ahli
antara lain pendekatan tradisional, pendekatan laba bersih (Net Income atau NI),
P a g e | 21
pendekatan Modigliani dan Miller (MM), pendekatan laba bersih operasi (Net
Operating Income atau NOI), dan pecking order theory.
Pendekatan Tradisional
Menurut pendekatan tradisional terdapat struktur modal yang optimal untuk
setiap perusahaan yang terjadi pada saat nilai perusahaan maksimum atau pada
saat biaya modal rata-rata tertimbang minimum.
Pendekatan ini mengasumsikan hingga tingkat leverage tertentu, risiko
perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga baik ke (biaya modal ekuitas)
maupun kd (biaya modal hutang) relatif konstan (Sartono, 2001:301). Namun setelah
rasio leverage tertentu, biaya hutang dan biaya modal sendiri akan meningkat.
Peningkatan biaya modal sendiri akan semakin besar dan akan lebih besar daripada
penurunan biaya karena penggunaan hutang yang lebih sedikit. Hal ini akan
mengakibatkan biaya modal rata-rata tertimbang menurun tetapi setelah tingkat
leverage tertentu akan meningkat, sehingga nilai perusahaan pada awalnya
meningkat dan akhirnya menurun dikarenakan peningkatan biaya modal tersebut.
Pendekatan Laba Bersih
Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa investor menilai laba perusahaan
dengan tingkat kapitalisasi (ke) yang konstan dan perusahaan dapat meningkatkan
jumlah hutangnya dengan tingkat biaya hutang (kd) yang konstan pula. Karena
keduanya konstan maka semakin besar jumlah hutang yang digunakan perusahaan
menyebabkan biaya modal rata-rata tertimbang (ko) menjadi semakin kecil, ini
dikarenakan biaya hutang lebih rendah daripada biaya modal sendiri.
P a g e | 22
k o=D
(D+E)kd (1−T )+ E
(D+E)k e
Dimana: kd = biaya hutang
ke = biaya modal sendiri
ko = biaya modal rata-rata tertimbang
D = nilai pasar hutang
E = nilai pasar saham biasa
T = tingkat pajak perusahaan
Pendekatan Laba Bersih Operasi
Pendekatan laba bersih operasi mengasumsikan investor memiliki reaksi
yang berbeda terhadap penggunaan hutang oleh perusahaan. Biaya modal rata-rata
tertimbang konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan,
karena:
1. Biaya hutang diasumsikan konstan, sebagaimana dalam pendekatan laba
bersih.
2. Pemilik modal sendiri memandang penggunaan hutang yang semakin besar
sebagai peningkatan risiko perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan
yang diisyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat, yang
memberikan konsekuensi biaya modal rata-rata tertimbang tidak mengalami
perubahan dan keputusan struktur modal menjadi tidak penting.
Pendekatan Modigliani dan Miller (MM)
P a g e | 23
Pendekatan ini menyatakan bahwa kemungkinan munculnya proses abitrase
akan membuat harga saham untuk perusahaan yang tidak menggunakan hutang
maupun yang menggunakan hutang pada akhirnya sama. Proses abitrase muncul
karena investor selalu lebih suka terhadap investasi yang memerlukan dana yang
lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih dengan tingkat risiko yang sama.
Dalam pasar sempurna dan tidak ada pajak, dapat dirumuskan sebagai
berikut:
ke = keu + (keu – kd) (B/S)
Dimana: ke = biaya modal sendiri setelah menggunakan hutang
keu = biaya modal sendiri sebelum menggunakan hutang
kd = tingkat bunga
B = nilai hutang
S = nilai modal sendiri
Jadi MM berpendapat bahwa dalam keadaan pasar sempurna dan tidak ada
pajak maka keputusan pendanaan menjadi tidak relevan, artinya penggunaan
hutang atau modal sendiri akan memberikan dampak yang sama bagi kemakmuran
perusahaan.
Dalam keadaan terdapat pajak, MM berpendapat keputusan pendanaan
menjadi relevan karena pada umumnya bunga yang dibayarkan dapat dipergunakan
untuk mengurangi penghasilan kena pajak. Dengan kata lain, perusahaan akan
P a g e | 24
membayar pajak yang lebih kecil karena perusahaan harus membayar bunga
sebagai akibat penggunaan hutang. Manfaat atas penghematan yang diperoleh
dengan membayar pajak yang lebih kecil akan mengalir kepada pemilik perusahaan
dan akan meningkatkan nilai perusahaan.
Pecking Order Theory
Myers dan Majluf, 1984 dan Myers, 1984 dalam Kaaro, 2003 menunjukkan
bahwa urutan pendanaan dimulai dari laba ditahan, hutang dan yang terakhir adalah
penerbitan saham. Penggunaan sumber dana eksternal melalui hutang hanya
digunakan jika kebutuhan dana lebih tinggi dari sumber dana internal yang ada.
Teori ini menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan yang menguntungkan
pada umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit bukan karena memiliki debt
ratio yang rendah, tetapi dikarenakan memerlukan sumber dana eksternal yang
sedikit. Sedangkan perusahaan dengan keuntungan yang rendah akan cenderung
meminjam dalam jumlah yang lebih besar dikarenakan sumber dana internal tidak
cukup dan hutang merupakan sumber dana eksternal yang lebih disukai (Husnan,
1996: 325).
Balanced Theory
Menurut teori ini, perusahaan berusaha menciptakan struktur modal yang
optimal dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. Struktur modal yang
optimal diperoleh dengan menyeimbangkan antara keuntungan penggunaan hutang
dengan biaya kebangkrutan (financial distress) dan biaya keagenan, yang disebut
dengan model trade off (Myers, 1984, Jensen dan Meckling, 1979 dalam
Mayangsari, 2004).
P a g e | 25
Sundjaya dan Barlian (2002) mengatakan, teori struktur modal yang optimal
didasarkan atas keseimbangan antara manfaat dan biaya dari pembiayaan dengan
pinjaman. Manfaat terbesar dari suatu pembiayaan adalah pengurangan pajak yang
diperoleh dari pemerintah yang mengizinkan bahwa bunga atas pinjaman dapat
dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Sedangkan biaya dari
pinjaman dihasilkan dari (1) peningkatan kemungkinan kebangkrutan yang
disebabkan oleh kewajiban hutang yang tergantung pada risiko bisnis dan risiko
keuangan, (2) biaya agen dan pengendalian tindakan perusahaan, (3) biaya yang
berkaitan dengan manajer yang mempunyai informasi yang lebih banyak tentang
prospek perusahaan dibandingkan investor.
Menurut Husnan (1996, 324) essensi balanced theory adalah
menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat
penggunaan hutang, apabila manfaat penggunaan hutang masih lebih besar
daripada pengorbanan atas penggunaan hutang, maka hutang masih akan
ditambah, namun apabila pengorbanan atas penggunaan hutang sudah lebih besar
dibandingkan manfaatnya maka hutang tidak boleh ditambah lagi.
Kinerja keuangan
Pengertian Kinerja
Pengertian kinerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 53)
adalah sesuatu yang telah dicapai, prestasi yang dapat diperlihatkan, serta
kemampuan kerja. Sedangkan menurut Purwadarminta (2007) dalam Wahyudin
(2008: 48), kinerja merupakan sesuatu yang dihasilkan atau hasil kerja yang dicapai
dari suatu perusahaan.
P a g e | 26
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah
gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau
kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi.
Kinerja keuangan
Menurut Sucipto (2003), pengertian kinerja keuangan adalah penentuan
ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan perusahaan dalam
menghasilkan laba.
Financial distress
Pengertian Financial Distress
Kondisi financial distress perusahaan didefinisikan sebagai kondisi di mana
hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban perusahaan,
kewajiban perusahaan dapat dibedakan dalam 2 kategori, (Emery,Finnery, Stowe,
2004 dalam Suroso 2006), yaitu:
1. Technical Insolvency
Bersifat sementara dan munculnya karena perusahaan kekurangan kasuntuk
memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek.
2. Bankruptcy Insolvency
Bersifat lebih serius dan munculnya ketika total nilai hutang melebihi nilai
total aset perusahaan atau nilai ekuitas perusahaan negatif.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perusahaan menghadapi financial
distress yaitu antara lain kenaikan biaya operasi, ekspansi berlebihan, ketinggalan
P a g e | 27
teknologi, kondisi persaingan, kondisi ekonomi, kelemahan manajemen perusahaan
dan penurunan aktifitas perdagangan industri (Wruck, 1990 dalam Whitaker, 1999).
Dalam kondisi ekonomi yang tidak buruk, kebanyakan perusahaan yang mengalami
financial distress adalah akibat dari kelemahan manajemen (Whitaker, 1999).
Menurut Martin (1995) dalam Supardi & Mastuti (2003), kebangkrutan
didefinisikan ke dalam beberapa pengertian, yaitu:
1. Economic distress, berarti perusahaan kehilangan uang atau pendapatan
sehingga tidak mampu menutup biaya sendiri karena tingkat laba yang lebih kecil
dari biaya modal atau nilai sekarang dan arus kas perusahaan lebih kecil dari
kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas perusahaan sebenarnya jauh di bawah
arus kas yang diharapkan atau tingkat pendapatan atas biaya historis dan
investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan yang dikeluarkan untuk
sebuah investasi.
2. Financial distress, berarti kesulitan dana untuk menutup kewajiban
perusahaan atau kesulitan likuiditas yang diawali dengan kesulitan ringan sampai
pada kesulitan yang lebih serius, yaitu jika hutang lebih besar dibandingkan dengan
aset. Definisi financial distress yang lebih pasti sulit dirumuskan tetapi terjadi dari
kesulitan ringan sampai berat.
Indikator yang menunjukkan apakah suatu perusahaan mengalami financial
distress antara lain ditandai dengan adanya pemberhentian tenaga kerja atau
hilangnya pembayaran dividen (Lau, 1987 & Hill et al, 1996), serta arus kas yang
lebih kecil daripada hutang jangka panjang (Whitaker, 1999), atau.jika selama 2
tahun mengalami laba bersih operasi negatif dan selama lebih dari 1 tahun tidak
P a g e | 28
melakukan pembayaran dividen (Almilia & Kristijadi ,2003), sedangkan Wahyujati
(2000) mendefinisikan financial distress jika perusahaan mengalami net income
negatif selama 3 tahun.
Menurut Andrade dan Kaplan (1998) dalam Ross, et al. (1999) financial
distress terjadi ketika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban legalnya,
khususnya dalam hal pembayaran hutang. Financial distress merupakan kondisi
dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam bangkrut. Jika
perusahaan mengalami kebangkrutan, maka akan timbul biaya kebangkrutan yang
disebabkan oleh keterpaksaan menjual aktiva di bawah harga pasar, biaya likuidasi
perusahaan, rusaknya aktiva tetap sebelum terjual dan sebagainya. Biaya
kebangkrutan tidak hanya terjadi pada saat perusahaan benar-benar bangkrut,
namun juga dapat terjadi pada saat perusahaan terancam bangkrut. Hal ini
disebabkan karena manajemen cenderung menghabiskan waktu untuk menghindari
biaya kebangkrutan dibandingkan membuat keputusan perusahaan yang baik. Biaya
yang dikeluarkan untuk mempertahankan perusahaan pada saat perusahaan
terancam kebangkrutan termasuk biaya tidak langsung kesulitan keuangan (indirect
cost of financial distress). Biaya ini relatif besar dan sulit diprediksi dibandingkan
dengan biaya langsung kebangkrutan.
Selanjutnya Wruck (1990) dalam Aiyabei (2002) mendefiniskan financial
distress sebagai kondisi dimana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk
memenuhi obligasi, seperti utang dagang ataupun biaya bunga. Altman (1968)
menyatakan bahwa financial distress berkaitan dengna kondisi ketidakmampuan
perusahaan untuk membayar kewajibannya, hal ini terjadi manakala perusahaan
mempunyai ekuitas yang negatif, dimana nilai aset lebih kecil dari nilai hutangnya.
P a g e | 29
Penyebab Financial distress
Menurut Hanafi (2004), penyebab kesulitan keuangan dan kebangkrutan
cukup bervariasi. Tabel 2.1 di samping ini menunjukkan faktor-faktor penyebab
kegagalan bisnis pada umumnya, yaitu:
Tabel 2.1
Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Bisnis
No Penyebab Persentase (%)
1. Kekurangan pengalaman operasional. 15,6
2. Kekurangan pengalaman manajerial. 14,1
3. Pengalaman tidak seimbang antara keuangan,
produksi, dan fungsi lainnya.
22,3
4. Manajemen yang tidak berkompeten. 40,7
5. Penyelewengan. 0,9
6. Bencana. 0,9
7. Kealpaan. 1,9
8. Alasan lain yang tidak diketahui. 3,6
Total 100
Sumber: Hanafi (2004)
Selain itu juga terdapat alasan lain tentang kegagalan bisnis yang khususnya
terjadi pada sektor usaha kecil yaitu (Hanafi, 2004):
P a g e | 30
1. Struktur permodalan yang kurang:
a. Kekurangan modal untuk membeli barang modal dan peralatan
b. Kekurangan modal untuk memanfaatkan barang persediaan yang dijual
dengan potongan kuantitas, atau jenis potongan lainnya.
2. Menggunakan peralatan dan metode bisnis yang ketinggalan jaman:
a. Gagal menerapkan pengendalian persediaan
b. Tidak dapat melakukan pengendalian kredit
c. Kurang memadainya catatan akuntansi
3. Ketiadaan perencanaan bisnis:
a. Ketidakmampuan mendeteksi dan memahami perubahan pasar
b. Ketidakmampuan memahami perubahan kondisi ekonomi
c. Tidak menyiapkan rencana untuk situasi darurat atau diluar dugaan
d. Ketidakmampuan mengantisipasi dan merencanakan kebutuhan keuangan
4. Kualifikasi pribadi:
a. Kurangnya pengetahuan bisnis
b. Tidak ingin bekerja terlalu keras
c. Tidak ingin mendelegasikan tugas dan wewenang
d. Ketidakmampuan memelihara hubungan baik dengan konsumen
P a g e | 31
Kegagalan bisnis juga bervariasi tergantung umur usaha. Sebagai contoh,
sekitar 55,7% kegagalan bisnis terjadi pada usaha dengan usia lima tahun atau
kurang, sedangkan 22,4% terjadi pada usaha dengan usia 6-10 tahun dan 21,9%
kegagalan bisnis terjadi pada usaha dengan usia di atas 10 tahun (Hanafi, 2004).
Selain faktor internal perusahaan, kondisi financial distress dapat juga
dialami karena terjadinya kelesuan operasi industri atau kondisi ekonomi suatu
negara (Whitaker 1999).
Sedangkan menurut (Ogden et al, 2003:587) perusahaan dalam kondisi
financial distress dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah:
1. Faktor Internal Perusahaan:
Faktor internal merupakan faktor yang mempunyai dampak langsung
terhadap kondisi financial distress. Faktor-faktor spesifik perusahaan yang dapat
mengakibatkan kemungkinan terjadinya financial distress diantaranya: kepemilikan
dan struktur tata kelola perusahaan, risiko operasi perusahaan dari leverage
perusahaan.
2. Faktor Eksternal Perusahaan:
Faktor eksternal merupakan faktor diluar kendali perusahaan yang juga
dapat mempengaruhi kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Faktor
eksternal tersebut dapat berasal dari lingkungan industri maupun faktor makro.
Faktor lingkungan industri berpengaruh langsung terhadap perusahaan dalam
industri yang sama. Faktor tingkat industri yang memiliki pengaruh penting terhadap
P a g e | 32
kemungkinan sebuah perusahaan akan mengalami financial distress diantaranya
adalah : tingkat persaingan antar perusahaan dalam industri dan adanya deregulasi
industri. Sedangkan faktor makro ekonomi akan berpengaruh terhadap semua
perusahaan dalam berbagai industri.
Pihak-Pihak Yang Berkepentingan Terhadap Model Prediksi Financial distress
Dengan mengetahui penyebab financial distress, diperlukan adanya suatu
model prediksi. Prediksi financial distress perusahaan menjadi perhatian dari banyak
pihak. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap model prediksi financial distress
diantaranya (Foster, 1986):
Pemberi pinjaman
Penelitian yang berkaitan dengan prediksi financial distress mempunyai
relevansi terhadap insititusi pemberi pinjaman, baik dalam memutuskan
apakah akan memberi pinjaman dan menentukan kebijakan untuk
mengawasi pinjaman yang telah diberikan.
Investor
Model prediksi financial distress dapat membantu investor ketika akan
menilai kemungkinan masalah suatu persuahaan dalam melakukan
pembayaran kembali pokok dan bunga.
Pembuat peraturan
Lembaga regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi kesanggupan
membayar hutang dan menstabilkan perusahaan individu. Hal ini
P a g e | 33
menyebabkan perlunya suatu model yang aplikatif untuk mengetahui
kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas
perusahaan.
Pemerintah
Prediksi financial distress juga penting bagi pemerintah dalam regulasi
antitrust.
Manajemen
Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan maka perusahaan akan
menanggung biaya langsung (untuk akuntan dan pengacara) dan biaya tidak
langsung (kerugian penjual atau kerugian paksaan akibat ketetapan
pengadilan). Sehingga dengan adanya model prediksi financial distress
diharapkan perusahaan dapat menghindari kebangkrutan dan otomatis juga
dapat menghindari biaya langsung dan tidak langsung.
Indikator Financial distress
Terdapat beberapa indikator yang memberikan sinyal bahwa suatu
perusahaan dalam kondisi financial distress. Menurut Aiyabei (2002) beberapa
indikator yang dapat digunakan sebagai sinyal terjadinya financial distress adalah:
1. Pengurangan dividen, dimana dividen yang dibagikan secara kontinyu
menunjukkan adanya penurunan.
2. Plant closing, pemberhentian suatu rencana atau proyek perusahaan.
3. Losses, kerugian operasi menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar
dividen atau meningkatkan investasinya.
P a g e | 34
4. Lay offs, pemberhentian karyawan oleh perusahaan untuk sementara waktu.
5. CEO resignations, berhentinya manajer dari perusahaan.
6. Plummeting stock prices, turunnya nilai saham perusahaan.
Menurut Foster (1986) terdapat beberapa indikator atau sumber informasi
mengenai kemungkinan financial distress:
1. Analisis arus kas untuk periode sekarang dan yang akan datang.
2. Analisis strategi perusahaan yang mempertimbangkan pesaing potensial,
struktur biaya-relatif, perluasan rencana dalam industri, kemampuan
perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya, kualitas manajemen, dan lain
sebagainya.
3. Analisis laporan keuangan dan perusahaan serta perbandingannya dengan
perusahaan lain. Analisis ini dapat berfokus pada suatu variabel keuangan
tunggal atau suatu kombinasi dari variabel keuangan.
4. Variabel eksternal seperti return sekuritas dan penilaian obligasi.
Terdapat berbagai cara untuk melakukan pengujian bahwa suatu
perusahaan mengalami financial distress (Platt dan Platt, 2002) seperti:
1. Arus kas negatif (Whitetaker, 1999).
2. Laba bersih operasi negatif (Hofer, 1980) dan (Whitetaker, 1999).
3. Adanya pemberhentian tenaga kerja atau tidak melakukan pembayaran
dividen (Lau, 1987 dan Hill et al., 1996).
4. Perusahaan dihentikan operasinya atas wewenang pemerintah dan
perusahaan tersebut dipersyaratkan untuk melakukan perencanaan
restrukturisasi (Tirapat dan Nittayagassetwat, 1999).
P a g e | 35
5. Perusahaan mengalami pelanggaran teknis dalam hutang dan diprediksikan
perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan pada periode yang akan
datang (Wilkins, 1997).
Pengukuran Financial Distress
Analisis Rasio Keuangan
Pengelompokkan rasio keuangan pada dasarnya dibedakan atas kesamaan
sifatnya dan tidak ada standar tertentu dalam pengelompokkan tersebut. Sartono
(2001; 121) mengelompokkan rasio keuangan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1. Rasio likuiditas
2. Rasio aktivitas
3. Rasio leverage
4. Rasio profitabilitas
Berdasarkan Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F.
Scoot, Jr. (2003: 105) untuk mempelajari mengenai rasio, cukup dengan
mempelajari tipe-tipe atau kategori dari rasio, atau dapat menggunakan rasio untuk
menjawab beberapa pertanyaan penting mengenai operasional perusahaan. Untuk
pendekatan yang terakhir, ada empat pertanyaan untuk menggunakan rasio
keuangan:
1. Seberapa likuid perusahaan?
2. Apakah manajemen menghasilkan keuntungan operasional yang cukup dari
aset-aset perusahaan?
3. Bagaimanakah perusahaan membiayai aset-asetnya?
P a g e | 36
4. Apakah manajemen menghasilkan pengembalian yang baik dari modal
yang disediakan oleh pemegang saham?
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rasio likuiditas yang merupakan
tingkat kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka
pendek baik yang menyangkut kebutuhan operasional maupun hutang kepada pihak
eksternal. Kemampuan untuk membayar hutang jangka pendek dari suatu
perusahaan terletak pada kemampuan perusahaan untuk mendapatkan kas atau
kemampuannya untuk mengkonversikan aktiva non kas menjadi kas (alat
pembayaran).
Berdasarkan penelitian terdahulu, rasio likuiditas digunakan bla..bla..bla...
Rumus untuk menghitung likuiditas!!!
Untuk mengukur kinerja suatu perusahaan, ukuran yang sering digunakan
adalah rasio. Namun, rasio keuangan hanya mengukur kinerja keuangan dari faktor
internal saja. Untuk pengukuran financial distress suatu perusahaan juga dibutuhkan
faktor eksternal dari perusahaan tersebut (Tirapat dan Nittayagasetwat, 1999).
Analisis Sensitifitas Perusahaan Terhadap Variabel Makro Ekonomi
Pengukuran variabel ekonomi makro sebagai prediktor financial distress
dilakukan dengan menentukan tingkat sensitifitas perusahaan terhadap kondisi
ekonomi makro. Risiko sistematik perusahaan adalah risiko yang terkait dengan
kondisi ekonomi makro seperti inflasi dan perubahan tingkat suku bunga. Sensitifitas
terhadap kondisi ekonomi makro akan berpengaruh terhadap kemungkinan
terjadinya financial distress. Studi tentang prediksi financial distress dengan
P a g e | 37
menggunakan variabel ekonomi makro telah dilakukan oleh Tirapat dan
Nittayagasetwat (1999).
Variabel ekonomi makro merupakan faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi financial distress (Ogden et al, 2003:594). Salah satu variabel
ekonomi makro yang mempengaruhi financial distress adalah inflasi. Tingginya
inflasi akan berakibat pada banyak aspek dalam manajemen fungsional, terutama
keuangan.
Inflasi
Suku bunga
Hubungan antar variabel
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan 4 (empat) indikator
sebagai sinyal perusahaan mengalami financial distress, yaitu:
Sensitifas perusahaan merupakan tingkat kepekaan perusahaan terhadap
indikator ekonomi makro. Pengukuran variabel ini menunjuk pada Tirapat dan
Nittayagasetwat (1999), Almilia (2004), dan Rr. Iramani (2007) dimana variabel
tersebut merupakan harga koefisien regresi (β) yang diperoleh dari persamaan
regresi sebagai berikut:
CRI = β0 + β1 INFLASI + β2 SBI + β3 IHSG + β4 M2 + β5 KURS
Dimana:
CRI = Kumulatif return masing-masing perusahaan selama satu bulan
β0 = Intercept
P a g e | 38
β1...β5 = sensitifas perusahaan terhadap inflasi, SBI, IHSG, M2, Kurs.
INFLASI = Inflasi bulanan yang diterbitkan oleh BPS.
SBI = Tingkat suku bunga SBI akhir bulan
IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan bulanan
M2 = Jumlah uang beredar bulanan
Kurs = Kurs mata uang Rp terhadap dollar
Nilai β1,β2, β3, β4, β5 merupakan sensitifitas perusahaan terhadap indikator
ekonomi makro yang selanjutnya akan menjadi variabel baru dalam model logistik.
Dengan demikian variabel sensitifias terhadap indikator makro ekonomi didefinisikan
sebagai berikut:
S_INFLASI = sensitifitas terhadap inflasi
S_SBI = sensitifitas terhadap suku bunga Bank Indonesia
S_IHSG = sensitifitas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
S_M2 = sensitifitas terhadap jumlah penawaran uang
S_KURS = sensitifitas terhadap Kurs
Respon terhadap Financial distress
Jalan keluar dari financial distress antara lain (Emery & Finnery, 2004 dalam
Suroso, 2006), yaitu restrukturisasi dan likuidasi. Program restrukturisasi
mensyaratkan debitur membuat perencanaan restrukturisasi usaha dan restorasi
P a g e | 39
kesehatan keuangan perusahaan. Likuidasi merupakan program penyelesaian
financial distress yang lebih ekstrim karena dengan program ini debitor dipaksa
menghentikan operasinya. Aset perusahaan dijual dan hasil penjualannya
dibayarkan kepada kreditor berdasarkan ketentuan skala prioritas.
Di Amerika, dua pilihan penyelesaian financial distress tersebut ditetapkan
oleh putusan pengadilan. Sebagian besar perusahaan (51%) yang mengalami
financial distress di Amerika melakukan restrukturisasi.
Gambar 2.1
Penyelesaian Financial distress
10%
53%
7%
47%
83%
51%49%
Likuidasi
Melakukan atas prakarsa sendiri
Melaksanakan atas putusan pengadilan
Melakukan restrukturisasi keuangan
Melakukan reorganisasi dan berhasil bangkit
kembali
Merger dengan perusahaan lain
Tidak melakukan restrukturisasi
Financial distressed Firms
Sumber: Stephen A Ross, Rudolph W. Westerfield and Jeffrey Jaffe “Corporate Finance” Irwin Mc Graw – Hil 1999 dalam Suroso (2006)
P a g e | 40
Dari bagan di samping, tampak bahwa perusahaan-perusahaan yang
menghadapi financial distress atas putusan pengadilan yang pada akhirnya
dilikuidasi sedikit sekali, yaitu hanya sekitar 5,3% (10% dari 53% perusahaan yang
melaksanakan restrukturisasi atas putusan pengadilan) (Stephen A Toss, Rudolph
W. Westerfield & Jaffe, 1999 dalam Suroso 2006). Likuidasi dipilih jika nilai likuidasi
lebih besar dibandingkan dengan nilai perusahaan jika diteruskan. Reorganisasi
dipilih jika perusahaan masih menunjukkan prospek yang baik sehingga nilai
perusahaan yang diteruskan lebih besar daripada nilai perusahaan jika dilikuidasi.
Menurut Hanafi (2004) ada beberapa alternatif perbaikan berdasarkan tingkat
keseriusan masalah yang dihadapi perusahaan, yaitu:
Pemecahan Informal
Dilakukan apabila masalah belum begitu parah atau bersifat sementara cara
yang dapat dilakukan:
a. Komposisi tagihan; dilakukan dengan mengurangi besarnya tagihan
dengan cicilan.
b. Perpanjangan waktu tagihan; dilakukan dengan memperpanjang jatuh
tempo hutang.
Pemecahan Formal
Dilakukan apabila masalah sudah parah di mana kreditor dan pemasok dana
lainnya menuntut jaminan keamanan dan keadilan dengan melibatkan pengadilan.
Cara yang dapat dilakukan:
P a g e | 41
a. Apabila nilai perusahaan lebih besar daripada nilai likuidasi maka
dilakukan reorganisasi dengan mengubah struktur modal menjadi struktur
modal yang layak. Perubahan dapat dilakukan melalui perpanjangan,
perubahan komposisi atau keduanya.
b. Apabila nilai perusahaan lebih kecil daripada nilai likuidasi maka lebih baik
melakukan likuidasi dengan menjual aset-aset perusahaan.
Respon yang dapat dilakukan perusahaan ketika mengalami financial
distress yang ringan, yaitu ketidakcukupan kas untuk menutup hutang jangka
pendek , antara lain mengurangi inventaris, memperpanjang waktu pengembalian ke
kreditor, restrukturisasi pembayaran hutang, dan menjual aset (Whitaker, 1999).