BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

68
71 BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1 Urgensi diperlukannya Perlindungan Hukum Whistleblower dalam Tindak Pidana Korupsi Whistleblower memiliki peranan penting dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Ditinjau dari teori pembuktian, pembuktian dalam hukum pidana pada dasarnya menggunakan teori pembuktian negative yakni mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Dalam mengungkap kasus korupsi maka peranan whistleblower sangat diperlukan. Koruptor dapat menggunakan teori pembuktian terbalik untuk membantah fakta-fakta yang diungkapkan saksi mengenai dugaan korupsi yang dilakukannya. Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga hukum. Penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kehadiran saksi (termasuk pelapor) sangat diperlukan mengingat sulitnya bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu tindak pidana yang ditangani apabila tidak adanya kehadiran saksi (termasuk pelapor). Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk menjadi whistleblower dan mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena pengungkapan kasus tersebut. 114 114 Suratno, “Perlindungan Hukum Saksi dan Korban Sebagai Whistleblower Dan Justice Collaborators Pada Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan Pada Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan,Jurnal Pembaharuan Hukum Volume IV No. 1 Januari - April 2017, h. 131.

Transcript of BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

Page 1: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

71

71

BAB II

DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM

WHISTLEBLOWER DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1 Urgensi diperlukannya Perlindungan Hukum Whistleblower dalam

Tindak Pidana Korupsi

Whistleblower memiliki peranan penting dalam pembuktian tindak pidana

korupsi. Ditinjau dari teori pembuktian, pembuktian dalam hukum pidana pada

dasarnya menggunakan teori pembuktian negative yakni mencari kebenaran yang

sebenar-benarnya. Dalam mengungkap kasus korupsi maka peranan whistleblower

sangat diperlukan. Koruptor dapat menggunakan teori pembuktian terbalik

untuk membantah fakta-fakta yang diungkapkan saksi mengenai dugaan korupsi

yang dilakukannya.

Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang

menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara disebabkan

terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja memperlemah atau

menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga hukum. Penegakkan

hukum terhadap tindak pidana korupsi, kehadiran saksi (termasuk pelapor) sangat

diperlukan mengingat sulitnya bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan

suatu tindak pidana yang ditangani apabila tidak adanya kehadiran saksi (termasuk

pelapor). Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk menjadi

whistleblower dan mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya,

keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang

mungkin timbul karena pengungkapan kasus tersebut.114

114

Suratno, “Perlindungan Hukum Saksi dan Korban Sebagai Whistleblower Dan

Justice Collaborators Pada Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan Pada

Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan,” Jurnal Pembaharuan Hukum

Volume IV No. 1 Januari - April 2017, h. 131.

Page 2: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

72

72

Salah satu langkah efektif yang dapat digunakan untuk menembus ke dalam

jaringan kejahatan terorganisasi adalah dengan menggunakan bantuan dari pelaku

yang merupakan orang dalam (inner circle criminal), dan terlibat secara langsung

dalam kejahatan yang dilakukannya bersama-sama dengan pelaku lainnya. Orang

dalam tersebut dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa saja yang

terlibat, apa peran masing- masing pelaku, bagaimana kejahatan tersebut dilakukan,

dan di mana bukti-bukti yang lain dapat ditemukan, sehingga penanganannya oleh

penegak hukum menjadi lebih optimal.115

Whistleblower merupakan orang yang bekerja di suatu tempat tertentu dan

memutuskan untuk melapor kepada media, otoritas internal, atau otoritas eksternal

tentang hal-hal yang illegal yang terjadi di lingkungan kerja. Sebagai seorang

pekerja yang menggantungkan nafkahnya pada tempat tersebut, maka tentu

pelaporan kejadian di tempat kerja dapat mengancam kesejahteraan dan keselamatan

dari whistleblower. Seorang whistleblower bisa kehilangan pekerjaannya karena

dianggap berani membuka rahasia pimpinan atau rekan kerjanya. Sanksi sosial juga

sangat mungkin terjadi kepada whistleblower, baik dalam bentuk pengucilan

maupun intimidasi. Ancaman terhadap nyawa dan harta benda juga menjadi

tantangan yang harus dihadapi oleh whistleblower dan keluarganya.

Tantangan yang begitu besar bagi whistleblower yang sebenarnya sudah

berjasa dalam penegakan hukum wajib diayomi dengan perlindungan terhadap

whistleblower. Perlindungan bagi whistleblower ini secara filosofis merupakan

pembangunan dalam tatanan hukum nasional. Upaya pembangunan tatanan hukum

paling tidak didasarkan atas tiga alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat,

karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa

disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa

berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena

secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering

dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.116

Hukum wajib menganyomi kepentingan whistleblower secara khusus dan

perlindungan masyarakat secara umum.

115

Indriyanto Seno Adji, 2012, “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Diskusi Panel Undang- Undang Perlindungan Saksi

di Indonesia, Jakarta, h. 4. 116

Mahfud MD, Moh., 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 61-62.

Page 3: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

73

2.2. Dasar Pertimbangan Pengaturan Whistleblower dalam Tindak Pidana

Korupsi

2.2.1. Dasar Yuridis

Dasar pertimbangan yuridis pengaturan whistleblower dalam tindak pidana

korupsi akan melihat pada undang-undang. Undang-undang adalah suatu peraturan

negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dibentuk oleh

penguasa negara. Undang-undang identik dengan hukum tertulis (ius scripta)

sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Undang-undang

memiliki dua arti yakni:

a. Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan pemerintah

yang isinya langsung mengikat setiap orang.

b. Undang-undang dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah

yang merupakan undang-undang karena bentuk dan cara pembuatannya.

Sehingga suatu aturan disebut sebagai undang-undang karena bentuk dan

cara pembentukannya.

Untuk berlakunya suatu undang-undang maka undang-undang tersebut harus

terlebih dahulu diundangkan dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara

(untuk penjelasan undang-undang. Mulai berlakunya undang-undang biasanya

ditentukan dalam undang-undang tersebut, namun jika tidak ditentukan maka

undang-undang mulai diberlakukan 30 hari sejak pengundangan dalam lembaran

negara untuk Jawa dan Madura dan 100 hari sejak pengundangan dalam lembaran

negara untuk luar Jawa dan Madura. Jika semua peryaratan tersebut telah terpenuhi

maka berlakulah fictie hukum yang artinya semua orang dianggap mengetahui

aturan hukum tersebut sehingga tidak ada alasan jika pelanggaran dilakukan karena

tidak mengetahui hukum. Alasan ini pun tidak dapat menjadi bahan pembelaan dari

si pelanggar hukum.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus, yakni tindak pidana

yang diatur di luar KUHP. Undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi

dimasukkan ke dalam tindak pidana khusus. Hal ini didasarkan pada empat alasan:

1. Terkait dengan pengaturan tindak pidana. Undang - undang tindak pidana

korupsi mengatur beberapa delik baru yang tidak ditemukan dalam KUHP

seperti korupsi terkait kerugian keuangan negara dan gratifikasi.

2. Terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Undang-undang tindak pidana

korupsi tidak hanya menjadikan manusia sebagai subjek delik, tapi juga

korporasi. Dalam KUHP korporasi tidak diakui sebagai subjek delik, hanya

manusia yang dapat melakukan tindak pidana.

Page 4: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

74

3. Terkait dengan sanksi pidana. Undang-undang tindak pidana korupsi

mengatur perumusan ancaman pidana secara kumulatif dan kumulatif-

alternatif, serta ancaman pidana minimum khusus. Ketentuan ini jelas

merupakan penyimpangan dari KUHP.

4. Terkait dengan hukum acara pidana. Undang-undang tindak pidana korupsi

mengatur ketentuan beracara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan

dalam KUHAP, seperti diakuinya sistem pembalikan beban pembuktian,

perampasan aset, pembayaran uang pengganti dan peradilan in absentia.117

Korupsi dalam sudut pandang hukum pidana memiliki sifat dan karakter

sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Paling tidak ada empat sifat dan

karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime, Pertama, korupsi

merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi

biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk

membuktikannya, Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat,

korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena

keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat.118

Dalam menanggulangi korupsi di Indonesia. telah diatur

sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara

Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang

No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan

Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

Dalam hukum nasional, payung hukum pemberantasan tindak pidana korupsi

terutamanya diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

117

Mahrus Ali, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, h.14-15. 118

Edward O.S Hiariej, 2012, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset

Kejahatan Korupsi : Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas

Gajah Mada,, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h 3.

Page 5: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

75

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembahasan mengenai tindak pidana

korupsi maka prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi

generalis, yaitu:

2.3. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap

berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

2.4. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-

ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

2.5. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum

(rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk

lingkungan hukum keperdataan.119

Perlindungan whistleblower diberikan dalam bentuk perlindungan hukum.

Perlindungan hukum adalah berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan

sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan

untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau sekelompok orang.120

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak

yang diberikan oleh hukum.121

Perlindungan hukum merujuk pada perlunya

pengaturan mengenai perlindungan bagi whistleblower dalam undang-undang, baik

dalam bentuk perlindungan, mekanisme perlindungan, lembaga yang melindungi

dan sanksi atas pelanggaran perlindungan hukum bagi whistleblower. Philipus M.

Hadjon mengaitkan perlindungan hukum dengan Pancasilan yakni sebagai berikut:

Negara Indonesia sebagai Negara Hukum berdasarkan atas Pancasila haruslah

memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai

dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila

berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia

atas dasar nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan, persatuan,

Permusyawaratan, serta Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan

pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah Negara kesatuan

119

Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), UII Press,

Yogyakarta, h. 56. 120

H. Salim., H.S. dan Erlies Septiana Nurbani, 2013,Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali, Jakarta, h. 262. 121

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.

Page 6: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

76

yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan

bersama.122

Secara yuridis, urgensi perlindungan bagi whistleblower merupakan

konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral yakni United

Nations Convention against Corruption. Penyusunan Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal

6 Desember 2000 memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum internasional

anti korupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan

untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad

Hoc) yang bertugas merundingkan draft Konvensi. Komite Ad Hoc yang

beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum

akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima

sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa.

Amerika Serikat dan 139 negara lain menandatangani United Nations

Convention Against Corruption. Pada bagian dari Konvensi, Kofi A. Annan, yang

kemudian Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa menulis sebagai berikut:

Corruption is an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on

societies. It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of

human rights, distorts markets, erodes the quality of life and allows organized

crime, terrorism and other threats to human security to flourish.

This evil phenomenon is found in all countries—big and small, rich and poor—

but it is in the developing world that its effects are most destructive. Corruption

hurts the poor disproportionately by diverting funds intended for development,

undermining a Government’s ability to provide basic services, feeding

inequality and injustice and discouraging foreign aid and investment.

Corruption is a key element in economic underperformance and a major

obstacle to poverty alleviation and development.123

Terjemahan bebas:

Korupsi adalah wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada

masyarakat. Ini merusak demokrasi dan aturan hukum, mengarah pada

122

Philipus, M. Hadjon, 1987 , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina

Ilmu, Surabaya, h. 84 . 123

Kohn, Kohn & Colapinto, LLP, Assisting International Whistleblowers to

Combat Corruption, https://www.kkc.com/our-practice/whistleblower-rewards-international

Page 7: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

77

pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup dan

memungkinkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman lain untuk

keamanan manusia untuk berkembang.

Fenomena jahat ini ditemukan di semua negara — besar dan kecil, kaya dan

miskin — tetapi di dunia berkembang dampaknya paling merusak. Korupsi

merugikan orang miskin secara tidak proporsional dengan mengalihkan dana

yang dimaksudkan untuk pembangunan, melemahkan kemampuan Pemerintah

untuk menyediakan layanan dasar, memberi ketidaksetaraan dan ketidakadilan

serta mengecilkan bantuan dan investasi asing. Korupsi adalah elemen kunci

dalam kinerja ekonomi yang buruk dan hambatan besar bagi pengentasan

kemiskinan dan pembangunan.

United Nations Convention Against Corruption mengatur mengenai

pencegahan tindak pidana korupsi. Upaya pencegahan menjadi bagian penting dari

konvensi ini, yakni sebagai berikut:

Corruption can be prosecuted after the fact, but first and foremost, it requires

prevention. An entire chapter of the Convention is dedicated to prevention, with

measures directed at both the public and private sectors. These include model

preventive policies, such as the establishment of anticorruption bodies and

enhanced transparency in the financing of election campaigns and political

parties. States must endeavour to ensure that their public services are subject to

safeguards that promote efficiency, transparency and recruitment based on

merit. Once recruited, public servants should be subject to codes of conduct,

requirements for financial and other disclosures, and appropriate disciplinary

measures. Transparency and accountability in matters of public finance must

also be promoted, and specific requirements are established for the prevention

of corruption, in the particularly critical areas of the public sector, such as the

judiciary and public procurement. Those who use public services must expect a

high standard of conduct from their public servants. Preventing public

corruption also requires an effort from all members of society at large. For

these reasons, the Convention calls on countries to promote actively the

involvement of non-governmental and community-based organizations, as well

as other elements of civil society, and to raise public awareness of corruption

and what can be done about it. Article 5 of the Convention enjoins each State

Party to establish and promote effective practices aimed at the prevention of

corruption.124

124

United Nations Office on Drugs and Crime, Convention highlights,

http://www.unodc.org/unodc/en/corruption/convention-highlights.html

Page 8: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

78

Terjemahan bebas:

Korupsi dapat dituntut setelah fakta, tetapi yang pertama dan paling utama, ia

membutuhkan pencegahan. Seluruh bab dari Konvensi didedikasikan untuk

pencegahan, dengan langkah-langkah yang diarahkan baik di sektor publik dan

swasta. Ini termasuk kebijakan pencegahan model, seperti pembentukan badan

antikorupsi dan peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye pemilu

dan partai politik. Negara harus berusaha untuk memastikan bahwa layanan

publik mereka tunduk pada perlindungan yang mempromosikan efisiensi,

transparansi, dan rekrutmen berdasarkan prestasi.

Setelah direkrut, pegawai negeri harus tunduk pada kode etik,

persyaratan untuk pengungkapan keuangan dan lainnya, dan tindakan disipliner

yang tepat. Transparansi dan akuntabilitas dalam hal keuangan publik juga

harus dipromosikan, dan persyaratan khusus ditetapkan untuk pencegahan

korupsi, di bidang-bidang yang sangat penting dari sektor publik, seperti

peradilan dan pengadaan publik. Mereka yang menggunakan layanan publik

harus mengharapkan standar perilaku yang tinggi dari pegawai negeri mereka.

Mencegah korupsi publik juga membutuhkan upaya dari semua anggota

masyarakat pada umumnya. Karena alasan-alasan ini, Konvensi menyerukan

kepada negara-negara untuk mempromosikan secara aktif keterlibatan

organisasi-organisasi non-pemerintah dan berbasis komunitas, serta elemen-

elemen lain dari masyarakat sipil, dan untuk meningkatkan kesadaran publik

tentang korupsi dan apa yang dapat dilakukan mengenai hal itu. Pasal 5 dari

Konvensi mengharuskan setiap Negara Pihak untuk menetapkan dan

mempromosikan praktik-praktik efektif yang ditujukan untuk pencegahan

korupsi.

Dalam ketentuan Pasal 37 United Nations Convention against Corruption

2003 diatur mengenai kerjasama dengan penegak hukum. Selengkapnya dalam

ketentuan Pasal 37 ditentukan

1. Each State Party shall take appropriate measures to encourage persons

who participate or who have participated in the commission of an offence

established in accordance with this Convention to supply information

useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes

and to provide factual, specific help to competent authorities that may

contribute to depriving offenders of the proceeds of crime and to

recovering such proceeds.

2. Each State Party shall consider providing for the possibility, in

appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who

Page 9: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

79

provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an

offence established in accordance with this Convention.

3. Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance

with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from

prosecution to a person who provides substantial cooperation in the

investigation or prosecution of an offence established in accordance with

this Convention.

4. Protection of such persons shall be, mutatis mutandis, as provided for in

article 32 of this Convention.

5. Where a person referred to in paragraph 1 of this article located in one

State Party can provide substantial cooperation to the competent

authorities of another State Party, the States Parties concerned may

consider entering into agreements or arrangements, in accordance with

their domestic law, concerning the potential provision by the other State

Party of the treatment set forth in paragraphs 2 and 3 of this article.

Terjemahan bebas:

1. Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk

mendorong orang yang berpartisipasi atau telah berpartisipasi dalam

pelaksanaan suatu kejahatan menurut Konvensi ini untuk memberi

informasi yang berguna kepada badan yang berwenang untuk tujuan

penyidikan dan pembuktian serta memberikan bantuan yang nyata dan

khusus kepada badan yang berwenang untuk melepaskan hasil kejahatan

dari pelaku kejahatan dan mengambil hasil itu.

2. Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan,

dalam kasus tertentu, untuk mengurangi hukuman terdakwa yang

memberikan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan

kejahatan menurut Konvensi ini.

3. Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk memberikan peluang, sesuai

dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan

kekebalan terhadap penuntutan kepada orang yang menunjukkan kerja

sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut

Konvensi ini.

4. Perlindungan bagi orang tersebut wajib diberikan, mutatis mutandis,

sebagaimana diatur dalam pasal 32 Konvensi ini.

5. Jika orang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang berada di suatu Negara

Pihak dapat memberikan kerja sama yang penting kepada pejabat yang

berwenang dari Negara Pihak lain, maka Negara-Negara Pihak tersebut

dapat mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan,

Page 10: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

80

sesuai dengan hukum nasional masing-masing, mengenai kemungkinan

pemberian perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3

Ketentuan United Nations Convention against Corruption telah diratifikasi

oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan

United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen

nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik

internasional. Alasan ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dapat dilihat

pada dasar menimbang Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan

United Nations Convention against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yakni sebagai berikut:

1. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, maka pemerintah bersama- sama masyarakat mengambil langkah-

langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara

sistematis dan berkesinambungan;

2. bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan

tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh

masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama

internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan

atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi;

3. bahwa kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan

manajemen pemerintahan yang baik;

4. bahwa bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat

internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

dengan telah menandatangani United Nations Convention Against

Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi,

2003);

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip

demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta

keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak

pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga

memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat

menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun

tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata

Page 11: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

81

pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-

aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000

di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui

Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000 memandang perlu

dirumuskannya instrumen hukum internasional antikorupsi secara global. Instrumen

hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum

yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan

draft Konvensi. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara

anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun

untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir

Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa.

Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional memiliki komitmen yang

kuat untuk memberantas korupsi yang ditunjukkan melalui ratifikasi konvensi

antikorupsi. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut dapat dilihat pada

penjelasan undang-undang yakni sebagai berikut:

a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam

melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak

pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata

pemerintahan yang baik;

c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian

ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan

proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;

d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung. kerja

sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral,

regional, dan multilateral; dan

e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.

Komitmen internasional terkait dengan tindak pidana korupsi yang juga

disepakati oleh Indonesia adalah United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime. Perjanjian internasional tersebut diratifikasi melalui Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi

Page 12: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

82

Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisasi). Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dinyatakan sebagai

tindak pidana transnasional. Tindak pidana transnasional yang terorganisasi

merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial,

ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia.

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping

memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara

ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat,

beragam, dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut pada saat ini telah

berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari

lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya. Ketentuan mengenai tindak

pidana korupsi sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir dapat dilihat pada

ketentuan Pasal 8 United Nations Convention Against Transnational Organized

Crime yang mengatur tentang Criminalization of corruption. Dalam ketentuan

tersebut dinyatakan sebagai berikut:

1. Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be

necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:

(a) The promise, offering or giving to a public official, directly or indi-

rectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or

another person or entity, in order that the official act or refrain

from acting in the exercise of his or her official duties;

(b) The solicitation or acceptance by a public official, directly or indi-

rectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or

another person or entity, in order that the official act or refrain

from acting in the exercise of his or her official duties.

2. Each State Party shall consider adopting such legislative and other

measures as may be necessary to establish as criminal offences conduct

referred to in paragraph 1 of this article involving a foreign public official

or inter- national civil servant. Likewise, each State Party shall consider

establishing as criminal offences other forms of corruption.

3. Each State Party shall also adopt such measures as may be necessary to

establish as a criminal offence participation as an accomplice in an

offence established in accordance with this article.

4. For the purposes of paragraph 1 of this article and article 9 of this

Convention, “public official” shall mean a public official or a person who

provides a public service as defined in the domestic law and as applied in

the criminal law of the State Party in which the person in question

performs that function.

Page 13: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

83

1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif dan

lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak

pidana, ketika dilakukan dengan sengaja:

a. Janji, menawarkan atau memberikan kepada pejabat publik,

langsung atau tidak langsung, dari keuntungan yang tidak

semestinya, untuk pejabat sendiri atau orang lain atau entitas, agar

tindakan resmi atau menahan diri dari bertindak dalam latihan dari

tugas resminya;

b. Permohonan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung

atau tidak langsung, dari keuntungan yang tidak semestinya, untuk

pejabat itu sendiri atau orang lain atau badan lain, agar tindakan

resmi atau menahan diri dari bertindak dalam pelaksanaan tugasnya.

atau tugas resminya.

2. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengadopsi

langkah-langkah legislatif dan lainnya yang mungkin diperlukan untuk

menetapkan sebagai tindak pidana yang mengacu pada ayat 1 pasal ini

yang melibatkan pejabat publik asing atau pegawai negeri internasional.

Demikian juga, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk

menetapkan sebagai tindak pidana bentuk-bentuk korupsi lainnya.

3. Setiap Negara Pihak harus juga mengambil langkah-langkah yang

mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai suatu tindak pidana yang

dilakukan sebagai kaki tangan dalam kejahatan yang ditetapkan sesuai

dengan pasal ini.

4. Untuk keperluan ayat 1 artikel ini dan pasal 9 Konvensi ini, "pejabat

publik" berarti pejabat publik atau orang yang memberikan layanan

publik sebagaimana didefinisikan dalam hukum domestik dan

sebagaimana yang diterapkan dalam hukum pidana dari Negara Pihak di

mana orang tersebut melakukan fungsi itu.

Kerja sama antarnegara yang efektif dan pembentukan suatu kerangka hukum

merupakan hal yang sangat penting dalam menanggulangi tindak pidana

transnasional yang terorganisasi. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih mudah

memperoleh akses dan kerja sama internasional dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Dalam ketentuan

Pasal 9 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime

ditentukan mengenai “Measures against corruption” yakni sebagai berikut:

1. In addition to the measures set forth in article 8 of this Convention, each

State Party shall, to the extent appropriate and consistent with its legal

system, adopt legislative, administrative or other effective measures to

Page 14: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

84

promote integrity and to prevent, detect and punish the corruption of

public officials.

2. Each State Party shall take measures to ensure effective action by its

authorities in the prevention, detection and punishment of the corruption

of public officials, including providing such authorities with adequate

independence to deter the exertion of inappropriate influence on their

actions.

Terjemahan bebas

1. Selain langkah-langkah yang ditetapkan dalam pasal 8 Konvensi ini, setiap

Negara Pihak wajib, sejauh yang layak dan konsisten dengan sistem

hukumnya, mengadopsi tindakan legislatif, administratif atau tindakan

efektif lainnya untuk meningkatkan integritas dan untuk mencegah,

mendeteksi dan menghukum. korupsi pejabat publik.

2. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan

tindakan yang efektif oleh otoritasnya dalam pencegahan, deteksi dan

hukuman terhadap korupsi pejabat publik, termasuk memberikan otoritas

yang cukup independen untuk mencegah pengerahan pengaruh yang tidak

pantas pada tindakan mereka.

Komitmen-komitmen yang telah disepakati Indonesia dalam berbagai

perjanjian internasional wajib diterapkan di Indonesia. Perjanjian internasional

tersebut diharmonisasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik

dalam tataran Undang-undang hingga peraturan teknis yuridis yang tersebar pada

berbagai bidang-bidang pemerintahan sebagai suatu kebijakan publik.

Pengaturan mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia diatur dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Kedua undang-undang tersebut sampai saat ini masih menjadi payung

hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam

undang-undang itu sendiri sudah disebutkan bahwa korupsi di Indonesia terjadi

secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,

tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,

maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa, maka sudah

menjadi konsekuensi logis negara untuk memberikan perlindungan terhadap orang-

orang yang mampu mengungkap kejahatan yang merugikan hajat hidup orang

banyak ini.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan tindak

Page 15: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

85

pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat pada

ketentuan pasal-pasal yang memuat rumusan delik tindak pidana korupsi. Adapun

bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

4. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

5. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

6. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

7. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

8. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

9. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana.

10. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan

atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat

pada jabatan atau kedudukan tersebut.

11. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana

yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan

Pasal 14.

12. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan

bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana

korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana

Page 16: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

86

korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi mengatur mengenai Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak

Pidana Korupsi yakni sebagai berikut:

1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau

menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa

ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,

atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi

keterangan yang tidak benar.

3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau

Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

4. Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

31.

Perlindungan hukum terhadap whistleblower secara implisif telah diatur

dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan

secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam

perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan

terhadap whistleblower dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dengan sengaja

mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku dapat dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun

dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Dalam perkembangannya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diamandemen dengan Undang-undang

Page 17: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

87

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan,

terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat

khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana

korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan.

Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan,

sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses

tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999.

Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan

perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan

atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dalam Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga

rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal

angka 1 Undang-undang ini.

2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan

Pasal 12 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur

yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang- undang Hukum

Pidana yang diacu.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, maka bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan baru adalah

sebagai berikut:

1. Setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

Page 18: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

88

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian

atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf

b.

3. Setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

4. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau

janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b.

5. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang

atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

6. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang.

7. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan

negara dalam keadaan perang; atau

8. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

9. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang

menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan

atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan

curang.

10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang

Page 19: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

89

disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga

tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam

melakukan perbuatan tersebut.

11. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus

untuk pemeriksaan administrasi.

12. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja:

13. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan

atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena

jabatannya; atau

14. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

15. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

16. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji

padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau

janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

17. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

18. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat

atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

19. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

20. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima

hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau

janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

Page 20: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

90

diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan

untuk diadili;

21. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan

sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau

untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

22. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan

tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai

negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-

olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum

tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang;

23. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan

tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-

olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang;

24. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan

tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,

seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan

orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

25. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak

langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau

persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian

ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Terkait dengan peran masyarakat (whistleblower) dalam mengungkap tindak

pidana korupsi, maka dalam undang-undang telah mengatur mengenai penghargaan

tersebut. Pasal 42 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai penghargaan bagi orang-orang yang

mengungkap tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan sebagai

berikut:

(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang

telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau

pengungkapan tindak pidana korupsi.

(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Page 21: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

91

Ketentuan mengenai penghargaan bagi orang-orang yang berjasa dalam

mengungkap tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi di satu sisi menunjukkan atensi pemerintah terhadap pengungkap kasus

korupsi, namun di sisi lain menjadi boomerang bagi whistleblower. Identitas

whistleblower yang selama ini disembunyikan justru akan terbuka lebar. Bukan

hanya orang-orang dalam lingkungan kerja saja yang mengetahui identitas

whistleblower tersebut, melainkan juga semua masyarakat yang membaca berita

pada media massa. Kondisi ini tentu sangat membahayakan keselamatan

whistleblower. Apalagi kasus korupsi dipastikan menyeret nama sejumlah orang-

orang yang berkuasa. Tindakan balas dendam dapat terjadi dan menimpa

whistleblower dan keluarganya. Dengan demikian perlindungan terhadap

whistleblower harus dibuat secara komprehensif untuk menghindari norma-norma

bermasalah yang justru akan mengacaukan penegakan hukum dan pengungkapan

kasus korupsi.

Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak

pidana korupsi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 42 Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah

tersebut, pada tahun 2018 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) menegaskan bahwa tata cara

pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggung

jawab masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana

korupsi. Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih

bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi.

Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh,

memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak

menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42

Page 22: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

92

ayat (2) menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta Masyarakat dan

pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tata cara pelaksanaan peran serta

Masyarakat tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000

tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan

dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Seiring dengan perkembangan hukum, kebutuhan hukum Masyarakat, dan

perubahan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun

2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

telah memberikan pedoman kepada Masyarakat untuk turut serta dalam melakukan

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi bersama dengan Penegak

Hukum juga perlu dilakukan penggantian.

Penggantian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tersebut

dilakukan agar peran serta Masyarakat dalam melakukan pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diimplementasikan dengan baik serta

tidak semata-mata hanya untuk mengharapkan sebuah penghargaan dari negara.

Peran serta Masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi karena tindak pidana korupsi tidak hanya

merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi

Masyarakat secara luas.

Peran serta dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat

dilakukan dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi terkait

adanya dugaan tindak pidana korupsi yang disertai dengan rasa tanggung jawab

untuk mengemukakan fakta atau kejadian yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dimaksudkan agar Masyarakat dapat

memperoleh pelindungan hukum dalam menggunakan haknya untuk memperoleh

dan menyampaikan informasi serta memberikan saran dan pendapat tentang adanya

dugaan tindak pidana korupsi. Selain itu, Masyarakat juga berhak memberikan saran

dan pendapat kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi

agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan maksimal.

Dalam rangka mengoptimalkan peran serta Masyarakat dalam pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi, Penegak Hukum diwajibkan untuk

memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan kewenangannya sepanjang

Page 23: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

93

jawaban atau keterangan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Peran serta Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi tersebut perlu terus dijaga, dibina, dan dipupuk supaya dapat terus

menumbuhkan budaya anti korupsi. Sebagai bentuk apresiasi Pemerintah terhadap

Masyarakat yang berjasa dalam pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan

tindak pidana korupsi diberikan penghargaan berupa piagam dan/atau premi.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

Pasal 2

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

(2) Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan

dalam bentuk:

1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya

dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

2. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan

memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana

korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak

pidana korupsi;

3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab

kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana

korupsi;

4. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan

yang diberikan kepada Penegak Hukum; dan

5. hak untuk memperoleh pelindungan hukum.

(3) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, norma agama, dan norma

sosial.

Perlindungan hukum bagi whistleblower dalam memberikan informasi

mengenai dugaan tindak pidana korupsi diatur pada Pasal 12 Peraturan Pemerintah

Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan

Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Pasal 12 menyatakan sebagai berikut:

(1) Hak untuk memperoleh pelindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (2) huruf e diberikan oleh Penegak Hukum kepada

Masyarakat dalam hal:

Page 24: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

94

a. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(2) huruf a, huruf b, dan huruf c; dan

b. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan sebagai Pelapor, saksi, atau ahli.

(2) Pelindungan hukum diberikan kepada Pelapor yang laporannya mengandung

kebenaran.

(3) Pelindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam memberikan pelindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban.

Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai

pemberian penghargaan terhadap orang yang membantu upaya pencegahan,

pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Pasal 13 menyatakan

sebagai berikut:

(1) Masyarakat yang berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau

pengungkapan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Masyarakat yang secara aktif, konsisten, dan berkelanjutan bergerak

di bidang pencegahan tindak pidana korupsi; atau

b. Pelapor.

(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:

a. piagam; dan/atau

b. premi.

Pasal 14 Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai penghargaan dalam

upaya pencegahan tindak pidana korupsi diberikan kepada Masyarakat yang secara

aktif, konsisten, dan berkelanjutan bergerak di bidang pencegahan tindak pidana

korupsi. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam. Untuk memberikan

penghargaan, Penegak Hukum melakukan penilaian berdasarkan laporan kegiatan

pencegahan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan. Penilaian dilakukan secara

berkala.

Pasal 15 Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Page 25: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

95

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan penghargaan dalam upaya

pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi diberikan kepada Pelapor.

Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk piagam; dan/atau premi. Untuk

memberikan penghargaan, Penegak Hukum melakukan penilaian terhadap tingkat

kebenaran laporan yang disampaikan oleh Pelapor dalam upaya pemberantasan atau

pengungkapan tindak pidana korupsi. Penilaian dilakukan dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh Jaksa. Penilaian dikoordinasikan

oleh Jaksa. Selanjutnya dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa dalam memberikan

penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Penegak Hukum

mempertimbangkan paling sedikit peran aktif Pelapor dalam mengungkap tindak

pidana korupsi; kualitas data laporan atau alat bukti; dan risiko faktual bagi Pelapor.

Besaran penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kepada whistleblower

diperhitungkan menurut ketentuan dalam Pasal 17 Pemerintah Nomor 43 Tahun

2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyatakan sebagai berikut:

(1) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disepakati

untuk memberikan penghargaan berupa premi, besaran premi diberikan

sebesar 2%0 (dua permil) dari jumlah kerugian keuangan negara yang

dapat dikembalikan kepada negara.

(2) Besaran premi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(3) Dalam hal tindak pidana korupsi berupa suap, besaran premi diberikan

sebesar 2%0 (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil

lelang barang rampasan.

(4) Besaran premi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling

banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Ketentuan mengenai pemberian penghargaan disatu sisi memberikan

perlindungan bagi whistleblower namun disisi lain justru akan membahayakan

whistleblower.

Dasar pertimbangan yuridis yang juga menjadi pedoman dalam mengatur

perlindungan bagi whistleblower dalam tindak pidana korupsi adalah Undang-

undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam dasar menimbang undang-

undang tersebut dinyatakan sebagai berikut:

a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan

dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa

Page 26: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

96

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam

Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan

fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu

diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara;

c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-

Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak

lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan

landasan hukum untuk pencegahannya;

Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita

perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-

Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam

pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara

Negara dan Pemimpin pemerintahan. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara

yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang

fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Menurut Pasal 2 Undang-

undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Penyelenggara Negara meliputi:

1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

3) Menteri;

4) Gubernur;

5) Hakim;

6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; dan

7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dalam Penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme, yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis"

adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan

negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:

1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik

Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;

Page 27: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

97

2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan

Nasional;

3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;

4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil,

militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

5. Jaksa;

6. Penyidik;

7. Panitera Pengadilan; dan

8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Keberadaan whistleblower dalam membantu penegak hukum untuk

mengungkap tindak pidana korupsi merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme. Pasal 8 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan:

(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan

tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara

Negara yang bersih.

(2) Hubungan antar Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan

dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk melaporkan adanya

dugaan korupsi yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, setiap orang yang

mengetahui adanya dugaan kasus korupsi dapat menjadi whistleblower. Dalam Pasal

9 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme selanjutnya mengatur

mengenai peran serta masyarakat, yakni sebagai berikut:

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan

dalam bentuk:

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang

penyelenggaraan negara;

b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari

Penyelenggara Negara;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab

terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan

d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:

1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,

dan c;

Page 28: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

98

2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di

sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan dengan

menaati norma agama dan norma sosial lainnya.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Whistleblower adalah “orang dalam” yang melapor mengenai dugaan tindak

pidana korupsi yang terjadi di lingkungan kerjanya. Dengan sendirinya maka

whistleblower adalah pelapor, yang dalam perkembangan kasusnya dapat menjadi

saksi. Pengaturan mengenai perlindungan saksi diatur dalam undang-undang khusus

yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Perubahan mengenai perlindungan saksi dan korban sebagaimana yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat

dilepaskan dari adanya kebutuhan akan jaminan perlindungan terhadap saksi dan

korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan

keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan

ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana.

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat transnasional yang

terorganisir. Artinya kejahatan ini dapat dilakukan lintas batas negara, dimana

perencanaan kegiatan hingga dilaksanakannya tindak pidana dapat dilakukan di

negara yang berbeda-beda. Aset hasil korupsi juga dapat ditempatkan di negara lain

agar tidak mudah terungkap. Untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara

menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang

terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan

ahli.

Dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi, whistleblower berstatus

sebagai pelapor. Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban merumuskan ”Pelapor adalah orang yang memberikan laporan,

informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang

akan, sedang, atau telah terjadi.” Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Page 29: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

99

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban mengakui pentingnya kontribusi dari whistleblower dalam mengungkap

tindak pidana korupsi. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 31 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan sebagai berikut:

Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar

untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice

collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang

dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana

meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami

sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana,

sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu

tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat,

tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme,

tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana

psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang

mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang

sangat membahayakan jiwanya.

Sebagai pelapor, maka whistleblower berhak untuk mendapatkan

perlindungan. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban dirumuskan pengertian perlindungan. Menurut Pasal 1 angka 8

“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk

memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh

LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.”

Perlindungan terhadap saksi diatur dalam ketentuan dalam Undang-undang

Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3)

menentukan hak-hak saksi dan korban yang juga berlaku bagi pelapor. Adapun hak-

hak tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Saksi dan Korban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

Page 30: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

100

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. dirahasiakan identitasnya;

j. mendapat identitas baru;

k. mendapat tempat kediaman sementara;

l. mendapat tempat kediaman baru;

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n. mendapat nasihat hukum;

o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

Perlindungan berakhir; dan/atau

p. mendapat pendampingan.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau

Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi

Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan

keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak

ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang

keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.”

Perlindungan khusus kepada whistleblower dapat dilihat pada Pasal 10

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam ketentuan

tersebut dinyatakan sebagai berikut:

(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara

hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang

akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan

tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku,

dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau

telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang

ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan

memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban dinyatakan:

Page 31: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

101

Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan ahli diberikan dengan syarat sebagai

berikut:

a. sifat pentingnya keterangan Pelapor dan ahli; dan

b. tingkat Ancaman yang membahayakan Pelapor dan ahli.

Istilah whistleblower tidak dapat dipisahkan dengan Peraturan Bersama

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik

Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan

Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Republik Indonesia, Nomor : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-

045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011,

Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi

Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut Peraturan Bersama). Peraturan

Bersama tersebut secara tegas menyebutkan istilah saksi pelapor.

Pasal 1 angka 5 Peraturan Bersama menyatakan bahwa Perlindungan adalah

segala upaya pemenuhan hak, dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

dan penghargaan kepada Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Keterpaduan sistem peradilan pidana dalam perlindungan

saksi pelapor dapat dilihat pada ketentuan pada Pasal 2 Peraturan Bersama yang

menyatakan sebagai berikut:

(1) Peraturan Bersama ini dimaksudkan untuk:

a. menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan

tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius

dan/atau terorganisir; dan

b. memberikan pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan

koordinasi dan kerjasama di bidang pemberian perlindungan bagi

Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam

perkara pidana

(2) Peraturan Bersama ini bertujuan untuk:

a. mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hukum

dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui upaya

mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi

Pelapor, Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam

perkara tindak pidana;

b. menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan

pemberian penghargaan bagi warga masyarakat yang mengetahui

tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius

Page 32: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

102

dan/atau terorganisir untuk melaporkan atau memberikan keterangan

kepada aparat penegak hukum; dan

c. membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana

serius dan/atau terorganisir dan membantu dalam pengembalian aset

hasil tindak pidana secara efektif.

Dalam pengaturan mengenai whistleblower secara umum, Mahkamah agung

mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang

Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

(SEMA No 4 Tahun 2011). Dalam angka 8 ditegaskan beberapa pedoman untuk

menentukan kriteria whistleblower yakni sebagai berikut:

a) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak

pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan

merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya;

b) Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor maka penanganan

perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana

didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Quentin Dempster menyebut Whistleblower sebagai orang yang

mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal korupsi.125

Pengungkapan fakta tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi tentu bukan hal

yang mudah. Tindakan tersebut sangat beresiko mengingat koruptor adalah orang-

orang yang berpengaruh. Perlindungan bagi whistleblower di satu sisi telah

memberikan hak-hak bagi whistleblower, namun di sisi lain tetap memberikan

peluang bagi pihak yang dilaporkan untuk melaporkan whistleblower. Ketentuan ini

memberikan peluang bagi terlapor untuk menjebak atau mencari-cari kesalahan

whistleblower dengan tujuan untuk mengintimidasi dan melakukan balas dendam

terhadap whistleblower.

Dalam peraturan yang bersifat teknis, Kementerian Keuangan Republik

Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.09/2010

Tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran

(Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan. Lewat beleid itu diatur

siapapun pejabat atau pegawai lingkungan Kementerian Keuangan yang melihat atau

mengetahui adanya Pelanggaran, wajib melaporkannya kepada Unit Kepatuhan

Internal atau Unit Tertentu dan/atau Inspektorat Jenderal. Beleid itu juga

memungkinkan masyarakat yang melihat atau mengetahui adanya Pelanggaran

dan/atau merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/pegawai

125

Ibid. h. 7.

Page 33: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

103

di Lingkungan Kementerian Keuangan, dapat melaporkannya kepada Unit

Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu dan/atau Inspektorat Jenderal.

Undang-undang tentang pemberantasan korupsi melalui perlindungan bagi

whistleblower dipandang penting dan merupakan ketentuan hukum pidana. Suatu

undang-undang dikatakan sebagai ketentuan hukum pidana dalam arti yang

sesungguhnya apabila undang-undang itu mempunyai sifat yang otonom dalam arti

murni dalam perundang-undangan pidana itu sendiri baik dalam perumusan

perbuatan yang dilarang, pertanggungjawaban pidana, maupun penggunaan sanksi

pidana yang diperlukan.126

Perlindungan terhadap whistleblower akan meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.

Munculnya aturan pidana khusus tidak lepas dari kebutuhan akan penegakan

hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dinilai sulit untuk diberantas. Hal ini

pun diakui oleh kriminolog J. Robert Lily, Fracis T. Cullen dan Richard A. Ball

yang menyatakan “Kejahatan merupakan fenomena yang kompleks, dan upaya

menjelaskannya dari berbagai segi merupakan upaya yang cukup sulit sekaligus

menantang.”127

Dalam teori perlindungan hukum, perlindungan bagi whistleblower

bukan hanya melindungi hak asasi dari whistleblower, namun juga hak asasi bagi

masyarakat, terutama yang berkaitan dengan hak ekonomi dan pembangunan.

2.2.2. Dasar Sosiologis

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan

keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu

proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.

Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor,

yaitu sumber daya manusia dan pembiayaan.128

Proses pembangunan dapat

menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga

mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial

negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan

masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah

masalah korupsi.129

Masalah korupsi di Indonesia telah ada sejak tahun 1950-an.

Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari

126

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Pengembangan dan Penerapan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 57. 127

J. Robert Lily, Fracis T. Cullen dan Richard A. Ball, 2015, Teori Kriminologi

Konteks dan Konsekuensi, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 1. 128

Muzadi, 2004, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang, h. 22 129

Evi Hartanti, op.cit., h. 1.

Page 34: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

104

kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelengaraan pemerintahan

negara.130

Pendekatan sosiologis terhadap perlindungan bagi whistleblower dalam

penanggulangan tindak pidana korupsi tidak hanya berbicara dalam ranah

masyarakat di suatu negara saja, melainkan juga masyarakat internasional.

Perlindungan terhadap whistleblower merupakan gerakan nyata untuk

menanggulangi tindak pidana korupsi. Komitmen pemberantasan tindak pidana

korupsi dilakukan oleh negara-negara The Group of Twenty (G-20) Finance

Ministers and Central Bank Governors (selanjutnya disebut dengan G-20) dimana

Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi anggotanya. Dalam

melaksanakan komitmen global tersebut, kelompok negara ini mengeluarkan “G20

Anti-Corruption Action Plan Protection of Whistleblowers” yang bertajuk “Study on

Whistleblower Protection Frameworks, Compendium of Best Practices and Guiding

Principles for Legislation”. Dalam pembahasan mengenai Whistleblower Protection

and the Fight against Corruption dinyatakan:

Whistleblower Protection is an essential to encourage the reporting the

misconduct, fraud and corruption. The risk of corruption is significantly

heightened in environments where the reporting of wrongdoing is not supported

or protected. This applies to both public and private sector environments,

especially in cases of bribery: Protecting public sector whistleblowers

facilitates the reporting of passive bribery, as well as the misuse of public

funds, waste, fraud and other forms of corruption. Protecting private sector

whistleblowers facilitates the reporting of active bribery and other corrupt acts

committed by companies.131

Perlindungan Whistleblower sangat penting untuk mendorong pelaporan

pelanggaran, penipuan, dan korupsi. Risiko korupsi meningkat secara signifikan

di lingkungan di mana pelaporan pelanggaran tidak didukung atau dilindungi.

Ini berlaku untuk lingkungan sektor publik dan swasta, khususnya dalam kasus

suap: Melindungi pelapor sektor publik memfasilitasi pelaporan suap pasif,

serta penyalahgunaan dana publik, pemborosan, penipuan dan bentuk-bentuk

korupsi lainnya. Melindungi whistleblower sektor swasta memfasilitasi

130

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar dan Syarif Fadhillah, 2008, Strategi

Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, Bandung,

h. 1 131

G20 Anti-Corruption Action Plan, Protection Of Whistleblowers Study On

Whistleblower Protection Frameworks, Compendium Of Best Practices And Guiding

Principles For LegislaTION, https://www.oecd.org/g20/topics/anti-corruption/48972967.pdf

Page 35: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

105

pelaporan suap aktif dan tindakan korup lainnya yang dilakukan oleh

perusahaan.

Upaya pengaturan mengenai perlindungan whistleblower dalam tindak pidana

korupsi merupakan perlindungan yang dilakukan untuk kepentingan-kepentingan

sosial. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni ialah:

a. Pemeliharaan tertib masyarakat;

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-

bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar

tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan

individu.132

Semakin terjaminnya perlindungan terhadap whistleblower, maka semakin

besar pula pengungkapan kasus korupsi dan keuangan negara yang diselamatkan.

Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas pengungkapan kasus korupsi cenderung

meningkat. Kasus korupsi yang paling sering terjadi adalah pada proyek

pembangunan infrastruktur yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa.

Modusnya dilakukan dengan berbagai macam tindakan seperti pengaturan lelang,

kecurangan pada penilaian tes kemampuan dasar, kerjasama antara peserta lelang

untuk menentukan pemenangnya, serta pemberian hadiah kepada panitia lelang.

Kasus korupsi juga terjadi pada penggunaan dana bantuan desa. Pada kasus ini,

umumnya pemerintah desa tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan

anggaran. Dana bantuan desa juga dipandang sebagai milik warga desa sehingga

masyarakat desa meminjam dana desa tersebut, akibatnya penggunaan anggaran

tidak sesuai dengan peruntukannya. Selain itu, kasus korupsi yang sering disidik

juga meliputi gratifikasi dan hibah.

Tindak pidana korupsi memiliki dampak sosial dan dampak ekonomi yang

sangat besar. Mengenai hal ini Gunnar Myrdal mengemukakan macam-macam atau

jenis-jenis perbuatan korupsi yakni sebagai berikut:

a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang

menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan

mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional;

b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang

bersamaan dengan itu kesatuan negara bertambah lemah. Juga karena

132

Barda Nawawi Arief,, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.

33.

Page 36: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

106

turunnya martabat pemerintah, tedensi-tedensi itu membahayakan

stabilitas politik;

c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak

hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga

berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi

d. agar dengan demikian dapat menerima uang suap. Disamping itu,

pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang sudah diputuskan,

dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan yang sama.133

Sebagai lazimnya sebuah kejahatan yang menimbulkan korban, korupsi juga

merupakan kejahatan yang menimbulkan korban. Korban adalah mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

kepentingan hak asasi yang menderita. Crime Dictionary sebagaimana yang dikutip

oleh Soeharto mengemukakan bahwa victim is a person who has injured mental or

physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted

criminal offense commited by another.134

Korban adalah seseorang yang telah

mengalami penderitaan mental dan fisik, kehilangan harta benda atau kematian yang

disebabkan oleh kejahatan atau percobaan kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.

Dilihat dari kondisi dan keadaan korban, von Hentig mengemukakan ada enam

kategori korban yaitu:

1 The depressed, who are weak and submissive;

2 The acquisitive, who succumb to confidence games and racketeers;

3 The wanton, who seek escapimin forbidden vices;

4 The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and fraud;

5 The tormentors, who provoke violence, and;

6 The blocked and fighting, who are unable to take normal defensive measure. 135

1 Orang yang depresi, yang lemah dan patuh;

2 Orang yang ingin tahu, yang menyerah pada permainan dan pemeras

percaya diri;

3 Orang yang nakal, yang mencari pelarian diri yang dilarang;

133

Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional

dan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21-22. 134

Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak

Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 78. 135

Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kejahatan. Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 52-53.

Page 37: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

107

4 Orang yang kesepian dan patah hati, yang rentan terhadap pencurian dan

penipuan;

5 Para penyiksa, yang memancing kekerasan, dan;

6 Pemblokiran dan perkelahian, yang tidak bisa mengambil tindakan

pertahanan yang normal

Dilihat dari lingkup korban, pengertian korban tidak hanya sebatas pada

korban individu saja. Abdussalam menguraikan beberapa lingkup korban yakni:

a. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat

penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil.

b. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian

dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan

akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.

c. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya

berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat

serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat

tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul,

longsong, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan

pemerintahyang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun

masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

d. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang

diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil

pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak

budaya tidak lebih baik setiap tahun.136

Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan curang yaitu dengan

menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang dimaksudkan untuk

memperkaya diri seseorang yang dapat merugikan negara. Umumnya, tindak pidana

korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan

secara timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.137

Korupsi adalah white collar crime atau kejahatan kerah putih. Menurut IS Susanto,

“white-collar crime dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan-kejahatan yang

dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaannya.”138

Pegawai swasta

maupun pegawai negeri termasuk kelompok profesional karena kedua kelompok

pegawai tersebut memenuhi karakteristik profesional, yang dikemukakan oleh

Levine, sebagaimana dikutip oleh Muladi, yaitu:

136

Abdussalam, 2010, Viktimologi, PTIK, Jakarta, h. 6-7. 137

Aziz Syamsuuddin, 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h.15 138

Susanto, 1995, Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,

Semarang, h. 83.

Page 38: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

108

1. Keterampilan berdasarkan pengetahuan teoritis. (Skill based on theoretical

knowledge).

2. Pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan (required educational and

training)

3. Pengujian kompetensi (via ujian, dll) (testing of competence (via exam,

etc.))

4. Organisasi (menjadi asosiasi profesional) (organization (into a professional

association)).

5. Ketaatan terhadap kode etik, dan (adherence to a code of conduct, and)

6. Layanan altruistik (altruistic service).139

Korupsi bukan diakibatkan dari gaji pegawai yang rendah. Korupsi

merupakan masalah moral. Moral yang terdegradasi tersebut akan menjadi budaya

korupsi. Di Indonesia, dewasa ini terdapat kecenderungan budaya malu yang

semakin luntur (khususnya bagi mereka yang merasa dirinya terhormat). Terbukti

tidak sedikit pejabat negara tanpa merasa riskan bahkan dengan bangganya acapkali

mempertontonkan harta kekakayaannya yang sesungguhnya patut dipertanyakan

sumbernya.140

Kenyataannya, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya

sudah berpenghasilan tinggi dengan standar kehidupan ekonomi yang tinggi pula.

Secara filosofi nilai-nilai agama, moral dan falsafah dasar negara seyogyanya

begitu dihormati dan dijunjung tinggi walaupun kehidupan manusia berada pada

kompleksitas di era globalisasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Antony

Allot bahwa “Taken globally, a moral system is a set of precepts for right living.”

(Terjemahan bebas: Secara global, sistem moral adalah seperangkat aturan untuk

hidup yang benar). Kehidupan sosial budaya Bangsa Indonesia menjadi perhatian

penting dalam menghadapi globalisasi. Dalam menanggulangi tindak pidana korupsi

maka harus berstandar pada norma moral.

Kesadaran moral berdasarkan pada nilai-nilai yang fundamental dan sangat

mendalam. Dengan demikian maka tingkah laku yang baik berdasar pada otoritas

kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar diri manusia.141

Moral atau

kesusilaan adalah nilai sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul

dapat disebut nilai bagi manusia. Dengan kata lain, moral atau kesusilaan adalah

139

Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, h. 84. 140

H. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil dalam sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, h. 164. 141

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, h. 73.

Page 39: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

109

kesempurnaan manusia sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat

manusia. Moral atau kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya.142

Siktus Harson, menuliskan hasil pengamatan penggiat pemerintahan di

Indonesia dan menghasilkan suatu analisis mengenai keterhubungan antara korupsi

dengan kegiatan politik. Biaya politik yang tinggi untuk mendapatkan izin untuk

mencalonkan diri dari parpol hingga biaya untuk memperoleh massa menyebabkan

calon terpilih menyelewengkan anggaran negara untuk membiayai kegiatan

politiknya. Dalam analisis tersebut dinyatakan sebagai berikut:

Observers say officials mainly become involved in corruption to cover

campaign costs, since most political parties do not provide them with funds for

this purpose. One cannot deny that in order to be a candidate, a person must

spend a huge amount of money. In many cases, prospective candidates have to

make secret deals with business people in order to get funding for campaigns.

As payback for their victory, they will grant them projects, regardless of the

rules and regulations.Just a week ago, during the launch of a crowd-funding

program for Great Indonesia Movement (Gerindra) Party chairman and

presidential candidate, Prabowo Subiyanto, he admitted that the high-cost of

campaigning often meant public officials are held hostage by investors who

support them.As a result, more and more are involved in corruption.The

Association for Elections and Democracy (Perludem), says expensive mahar, or

“dowry” payments for candidacy, campaign funds, political consultation fees,

and vote buying are the main drivers of such high political costs.It’s no secret

that at each election, there is talk of candidates giving out money or gifts to win

votes. Some cases even occur early on Election Day which are known as

‘attacks at dawn” on unprotected polling stations.

Para pengamat mengatakan para pejabat terutama terlibat dalam korupsi untuk

menutupi biaya kampanye, karena sebagian besar partai politik tidak

menyediakan dana bagi mereka untuk tujuan ini. Seseorang tidak dapat

menyangkal bahwa untuk menjadi kandidat, seseorang harus menghabiskan

sejumlah besar uang. Dalam banyak kasus, calon kandidat harus membuat

kesepakatan rahasia dengan orang-orang bisnis untuk mendapatkan dana untuk

kampanye. Sebagai balasan atas kemenangan mereka, mereka akan memberi

mereka proyek, terlepas dari aturan dan peraturannya. Hanya seminggu yang

lalu, selama peluncuran program dana kerumunan untuk Ketua Gerakan

Indonesia Raya (Gerindra) dan calon presiden, Prabowo Subiyanto, dia

mengakui bahwa biaya tinggi kampanye sering berarti pejabat publik disandera

142

Ibid. h. 25.

Page 40: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

110

oleh investor yang mendukung mereka. Akibatnya, semakin banyak yang

terlibat dalam korupsi. Asosiasi untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),

mengatakan mahar mahal, atau "mahar ”Pembayaran untuk pencalonan, dana

kampanye, biaya konsultasi politik, dan pembelian suara adalah pendorong

utama dari biaya politik yang tinggi. Bukan rahasia bahwa pada setiap

pemilihan, ada pembicaraan tentang calon yang memberikan uang atau hadiah

untuk memenangkan suara. Beberapa kasus bahkan terjadi pada hari pemilihan

yang dikenal sebagai 'serangan saat fajar' di tempat pemungutan suara yang

tidak terlindungi.

Secara sosiologis, tindak pidana ini sangat merugikan negara dan masyarakat.

Korupsi menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Kerugian keuangan negara

akan berdampak sistemik terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan

menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan

keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-

Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara

lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap

tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain

yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang

ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai

dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara disebutkan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang

maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Ruang lingkup keuangan negara meliputi

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara menyebutkan:

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi:

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,

dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

Page 41: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

111

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat

dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

negara/perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.

Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam

merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.

Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan

dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan,

serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh

obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain

yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara

mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek

sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan

keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara

meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan

pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Korupsi menunjukkan perilaku-perilaku para pejabat pada sektor publik,

baik politisi maupun pegawai negeri, yang bertujuan untuk memperkaya diri

mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.

untuk meminta kembali asset yang diperoleh dari perbuatan memperkaya diri

sendiri. Pembuktian unsur memperkaya diri sendiri, orang lain dan/ atau korporasi

dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat dari 3 aspek:

a. Dilihat dari peningkatan kekayaan perusahaan dan atau perorangan yang

diperoleh dari kerugian keuangan negara akibat pelanggaran hukum yang

seharusnya tidak diperoleh karena adanya keuntungan yang tidak layak, dari

keuntungan pembelian dan rekayasa administrasi proses pengadaan.

Page 42: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

112

b. Dilihat dari peningkatan kekayaan perusahaan dan atau perorangan yang

diperoleh dari “peningkatan tidak wajar” dalam rekening perusahaan atau

perorangan yang terindikasi dugaan tindak pidana korupsi.

c. Dilihat dari peningkatan kekayaan perusahaan dan atau perorangan yang

diperoleh dari “peningkatan harta kekayaan atau asset” milik perusahaan atau

perorangan yang terindikasi dugaan tindak pidana korupsi.143

Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu

yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara

dan materi yang diatur yang dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya

kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.144

Kerugian akan keuangan negara akan menyebabkan masyarakat kehilangan hak

untuk menikmati hasil-hasil pembangunan, fasilitas umum, dan pelayanan publik

secara optimal.

Korupsi juga ditunjukkan dengan birokrasi yang korup yang menyebabkan

masyarakat mendapatkan pelayanan publik secara diskriminatif. Birokrasi tercermin

dari sistem pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Rourke menyebutkan bahwa birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan

tugas keseharian yang terstruktur dalam sistem hirarki yang jelas, dilakukan dengan

aturan tertulis (written procedures), dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah

dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih karena kemampuan dan

keahlian di bidangnya.145

Mohammad Ghalib mengemukakakn bahwa korupsi dapat ditinjau dari

beberapa aspek atau sudut pandang, yaitu:

a. Ditinjau dari sudut politik:

Korupsi merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi

kredibilitas pemerintah, terutama kalangan masyarakat terdidik dan

generasi muda.

b. Ditinjau dari sudut ekonomi:

Korupsi merupakan salah satu faktor ekonomi biaya tinggi,

menimbulkan kebocoran keuangan negara, yang sangat merugikan

negara dan masyarakat.

c. Ditinjau dari sudut kultural:

143

Hernold Ferry Makawimbang, 2014, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak

Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, h. 35. 144

Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,

Alumni, Bandung, h. 3 145

Said, Mas’ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, UMM Press., Malang, h. 2.

Page 43: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

113

Korupsi merusak moral dan karakter bangsa kita yang sebenarnya

mempunyai nilai luhur. Namun disadari korupsi pada hakikatnya

penyebabnya adalah masalah budaya. Berbicara masalah budaya tidak

terlepas dari masalah moral yaitu moral pelakunya yang merupakan

integritas pribadi yang bersangkutan.146

Tindak pidana korupsi adalah sebuah kejahatan. Kejahatan atau crime

menurut Larry J. Siegel adalah sebagai berikut:

a violation of societal rules of behavior as interpreted and expressed by the

criminal law, which reflects public opinion, traditional values, and the

viewpoint of people currently holding social and political power. Individuals

who violate these rules are subject to sanctions by state authority, social

stigma, and loss of status.147

(Terjemahan bebas)

Pelanggaran aturan sosial perilaku sebagaimana ditafsirkan dan diungkapkan

oleh hukum pidana, yang mencerminkan opini publik, nilai-nilai tradisional,

dan sudut pandang orang saat ini memegang kekuasaan sosial dan politik.

Individu yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi oleh otoritas negara,

stigma sosial, dan hilangnya status).

Korupsi menunjukkan perilaku-perilaku para pejabat pada sektor publik,

baik politisi maupun pegawai negeri, yang bertujuan untuk memperkaya diri

mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada

mereka.148

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-

hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak

dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah

menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).149

146 Muhammad Ghalib, 1999. Menyongsong Pembaharuan dan Pembentukan

Undang-undang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Meteri Ceramah Jaksa

Agung R.I. pada Seminar Nasional tentang “Menyongsong Pembaharuan dan Pembentukan

Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”. Tanggal 30 Januari 1999,

yang diselenggarakan BAPPENAS R.I. Kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto, h. 7-8. 147

Siegel, Larry J., 2011, Fourth Edition Criminology The Core, Wadsworth,

Belmont, h. 17. 148

H. Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 5. 149

Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 26.

Page 44: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

114

Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi

kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam,

maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan

merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan

yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi

akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa

Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan

korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.150

Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang melanggar hak sosial dan hak ekonomi

masyarakat. Korupsi memberikan dampak yang besar bagi negara. Mengenai hal

tersebut Corruption Watch mengatakan sebagai berikut:

Corruption affects us all. It threatens sustainable economic development,

ethical values and justice; it destabilises our society and endangers the rule of

law. It undermines the institutions and values of our democracy. But because

public policies and public resources are largely beneficial to poor people, it is

they who suffer the harmful effects of corruption most grievously.

To be dependent on the government for housing, healthcare, education, security

and welfare, makes the poor most vulnerable to corruption since it stalls

service delivery. Delays in infrastructure development, poor building quality

and layers of additional costs are all consequences of corruption.151

Terjemahan bebas:

Korupsi mempengaruhi kita semua. Ini mengancam pembangunan ekonomi

berkelanjutan, nilai-nilai etika dan keadilan; hal itu merugikan masyarakat kita

dan membahayakan supremasi hukum. Ini melemahkan lembaga dan nilai-nilai

demokrasi kita. Tetapi karena kebijakan publik dan sumber daya publik

sebagian besar bermanfaat bagi orang miskin, hal itu yang menderita efek

menjadi sesuatu yang berbahaya dari korupsi serta yang paling menyedihkan.

Menjadi tergantung pada pemerintah untuk perumahan, kesehatan, pendidikan,

keamanan dan kesejahteraan, membuat masyarakat miskin yang paling rentan

terhadap korupsi karena warung pelayanan. Keterlambatan pembangunan

150

Romli Atmasasmita, 2002, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi

Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan

HAM RI, Jakarta, h. 25. 151

Corruption Watch, What is Corruption; We are Affected,

http://www.corruptionwatch.org.za/learn-about-corruption/what-is-corruption/we-are-all-

affected/,

Page 45: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

115

infrastruktur, kualitas bangunan yang buruk dan lapisan tambahan biaya semua

konsekuensi dari korupsi.

Korupsi mengancam teralisasinya pemerataan pembangunan. Pembangunan

merupakan perubahan terencana dan teratur yang antara lain mencakup aspek-aspek

politik, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.”152

Penanggulangan terhadap korupsi dilakukan dengan melibatkan banyak aspek.

Mengenai hal ini Coruptie org, mengatakan sebagai berikut:

Fighting corruption takes place in many ‘theaters’:

a. political reforms, including the financing of political parties and elections;

b. economic reforms, regulating markets and the financial sector;

c. financial controls: budget, bookkeeping, reporting;

d. Public supervision: media, parliament, local administrators and councils,

registration;

e. free access to information and data;

f. maintaining law and order;

g. improving and strengthening of the judicial system;

h. institutional reforms: Tax systems, customs, public administration in

general;

i. whistleblowers and civil society organisations (NGO’s). 153

Terjemahan bebas:

Memerangi korupsi terjadi di banyak 'teater':

a. reformasi politik, termasuk pembiayaan partai politik dan pemilihan

umum;

b. reformasi ekonomi, mengatur pasar dan sektor keuangan;

c. kontrol keuangan: anggaran, pembukuan, pelaporan;

d. Pengawasan publik: media, parlemen, administrator dan dewan lokal,

pendaftaran;

e. akses gratis ke informasi dan data;

f. memelihara hukum dan ketertiban;

g. meningkatkan dan memperkuat sistem peradilan;

h. reformasi kelembagaan: Sistem perpajakan, bea cukai, administrasi publik

secara umum;

i. whistleblower dan organisasi masyarakat sipil (LSM).

152

Soerjono Soekanto, 1986, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,

Alumni, Bandung, h. 11. 153

Coruptie org, What is corruption?, http://www.corruptie.org/en/corruption/what-

is-corruption/

Page 46: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

116

Menurut Supriyadi Widodo Eddyono terkait dengan sifat dasar dari kasus-

kasus tindak pidana korupsi, maka kasus tersebut lebih sulit untuk dibuktikan

daripada kasus tindak pidana kriminal lainnya. terdapat beberapa pertimbangan

halangan yang sering ditemukan,

1. Sulit mengetahui siapa pelaku utama kejahatannya

2. Dalam kebanyakan kasus, mereka yang mengetahui mengenai kejahatan

seperti ini juga terkait didalamnya, dan mendapatkan keuntungan dari

kejahatan itu sehingga sangat tidak mungkin melaporkannya kepada aparat

yang berwenang

3. Kebanyakan pelaku kejahatan menggunakan hubungan antara beberapa

pelaku kunci dan sifat dasar dari hubungan seperti ini hanya dapat

dibuktikan melalui pertolongan pelaku yang terlibat dalam hubungan yang

dimaksud

4. Dalam kebanyakan kasus, sangat sulit atau bahkan tidak ada “tempat

kejadian perkara” yang pasti atau minim bukti forensik untuk menolong

mengidentifikasi pelaku

5. Bukti fisik dari kejahatan besar, seperti dokumen transaksi dan aset yang

dibeli dengan hasil korupsi, dapat disembunyikan, dihancurkan, dialihkan

atau dipercayakan kepada orang lain

6. Dalam banyak kasus, pelaku merupakan orang yang berkuasa, yang dapat

menggunakan pengaruh mereka untuk mencampuri penyidikan,

mengintimidasi para saksi atau menghalangi saksi bekerjasama dengan

aparat penegak hukum

7. Seringkali para penegak hukum baru mengetahui mengenai tindak kejahatan

ini lama setelah terjadi, sehingga jejak yang ada sudah kabur, bukti-bukti

susah untuk dilacak dan para saksi telah dibayar atau memiliki kesempatan

untuk membuat alibi-alibi palsu.154

Praktik korupsi yang terjadi di Indonesia tidak semuanya terungkap, yang

terungkap hanyalah bagian kecil saja. Padahal pembudayaan korupsi terjadi di dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat. Keterbatasan kemampuan hukum pidana menurut

Barda Nawawi Arief, disebabkan hal-hal berikut:

a. Sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat kompleks dan

berada di luar jangkauan hukum pidana.

b. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana

kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai

154

Supriyadi Widodo Eddyono, 2008, Tantangan Perlindungan Justice

Collaborator. dalam UU No. 13 Tahun 2006, Koalisi Perlindungan Saksi dan korban,

Jakarta, h.11

Page 47: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

117

masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai

masalah sosiopsikologis, sosiopolitik, sosioekonomi, sosiokultural, dan

sebagainya).

c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya

merupakan “kurieren am symptom” (penanggulangan/pengobatan gejala),

oleh karena itu, hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik”

dan bukan “pengobatan kausatif”.

d. Sanksi hukum pidana hanya merupakan “remedium” yang mengandung sifat

kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan

yang negatif.

e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak

bersifat struktural/fungsional.

f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang

bersifat kaku dan imperative.

g. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung

yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.155

Korupsi tidak mungkin sepenuhnya dihilangkan karena manusia pada

dasarnya menyandang naluri corruption di samping sifat hanif (tidak lepas dari

berbuat dosa). Karena itu, hal yang terpenting adalah bagaimana mencegah potensi

korupsi tidak menjadi aktual dan bagaimana menciutkan ruang gerak korupsi secara

sistemik. Tetapi untuk menemukan terapi yang tepat diperlukan diagnosis yang

benar.156

Ketika dihadapkan dengan kesempatan untuk memperoleh uang dalam

jumlah yang besar, diperlukan pengendalian diri yang kuat dari dalam hati.

Sekalipun memiliki pengendalian diri yang kuat, seseorang mungkin saja

mengambil uang tersebut atas perintah pimpinan. Hal-hal tersebutlah yang

menyebabkan penanggulangan korupsi perlu dilakukan secara bertahap dengan

berbagai pendekatan.

Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan adalah berbicara mengenai

upaya komprehensif baik dengan menggunakan hukum pidana maupun pendekatan

non hukum. Dalam penggunaan hukum pidana, maka sudah tentu koruptor harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Orang yang melakukan perbuatan

pidana akan dipertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan pebuatan dilihat dari

155

Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 87-88. 156

Adnan Buyung Nasution, dkk, 1999, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di

Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, h. iii.

Page 48: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

118

segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

dilakukan.157

Pemidanaan terhadap pelaku didasarkan pada ketentuan dalam undang-

undang tentang pemeberantasan tindak pidana korupsi.

Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan

dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang–undang) telah dikaitkan

dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat

khusus dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu

merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-

tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di

mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan

bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.158

Mengacu kepada hal tersebut, maka penyelesaian kasus korupsi harus dilakukan

secara litigasi di pengadilan tindak pidana korupsi.

Dalam upaya penanggulangan korupsi, maka saran non penal menjadi pilihan

utama dibandingkan dengan sarana penal tadi. Sarana non-penal berfungsi sebagai

upaya preventif yakni upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana

korupsi dengan cara menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang

dapat di laksanakan dalam beberapa cara:

a. Cara Moralistik

Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan

mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di

bidang keagamaan, etika dan hukum.

b. Cara Abolisionik

Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan

yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan

kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-

sebab tersebut.159

Cara moralistik dilakukan dengan menggugah niat masayarakat untuk

berpartisipasi sebagai whistleblower. Perlindungan yang diberikan kepada

whistleblower dengan sendirinya akan mengurangi dampak-dampak dari korupsi.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakat, whistleblower tak ubahnya seperti seorang

bussines intelligence. Seorang bussines intellegence adalah orang yang menjual

157

Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 22. 158

Lamintang P.A F., 2014, Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Sinar

Grafika, Jakarta, h. 2. 159

Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis,

Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung, h. 41

Page 49: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

119

informasi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata, jadi, disini, motivasi

pembocor adalah motivasi kriminal berupa pencurian rahasia dagang. Sementara itu

seorang business intelligence di wilayah kegiatan bisnis yang tidak sah memiliki

motivasi altruistis (motivasi yang patut dihormati) karena maksud dan tujuan si

pembocor rahasia didorong oleh tujuan mulia untuk memproteksi masyarakat dari

kejahatan pengguna kimia yang merugikan masyarakat.160

Motivasi seorang untuk menjadi whistleblower juga seperti business

intelligence. Ada yang memang benar-benar memiliki tujuan mulia untuk

menyelamatkan anggaran negara dari “perampokan” yang dilakukan pejabat

berwenang, ada yang menang melaporkan kecurangan tersebut karena terdorong hati

nurani. namun ada pula yang melaporkan hal tersebut semata-mata ingin membalas

dendam. Namun, apapun motivasi dari seorang whistleblower, whistleblower tetap

menjadi orang yang berjasa dalam penegakan hukum dan bagi masyarakat luas. Atas

dasar itulah maka whistleblower harus mendapatkan perlindungan yang optimal.

Whistleblower mempunyai peran yang sangat penting dalam mengungkap

terjadinya kejahatan. Perannya ini dapat dilihat dari bantuan dan informasi yang dia

berikan, yang akan membantu aparat penegak hukum bukan saja untuk

menanggulangi kejahatan ketika hal itu terjadi, tapi jauh sebelum itu yaitu

mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kejahatan. Whistleblower merupakan

sarana pembuktian yang ampuh untuk mengungkap dan membongkar kejahatan

yang terorganisir, baik yang berupa scandal crime maupun serious crime dalam

tindak pidana.161

Fakta-fakta yang disampaikan oleh whistleblower dapat

mengungkap kebenaran yang sebenar-benarnya.

Whistleblower adalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit

dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit

sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang

hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau

seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan

musuh dengan bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta

kejahatan, kekerasan atau pelanggaran.162

Floriano C. Roa menyebutkan beberapa

jenis Whistleblower, yaitu:

a. Internal whistle blowing occurs within the organization. It is going “over

the head of immediate superviors to inform higher management of the

160

Firman Wijaya, op.cit., h 10 161

Firman Wijaya, op.cit. 17 162

Quentin Dempster, 2006, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam,

Jakarta, h. 1

Page 50: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

120

wrongdoing”. (Terjemahan bebas: Peniup peluit internal dilakukan dalam

organisasi. Pelaporan tersebut disampaikan kepada atasan langsung yang

bertugas sebagai supervisor agar kesalahan tersebut dapat diinformasikan

kepada manajemen atasannya).

b. External whistle blowing occurs outside the organization. It is revealing

illegal and immoral activities within the organization to outside individuals

or groups, regulatory body or non government organizations. (Terjemahan

bebas: Peniup eksternal dilakukan di luar organisasi. Peniup peluit

membuka kegiatan ilegal atau kegiatan immoral dalam suatu organisasi

yang disampaikan kepada individu atau kelompok di luar organisasi

tersebut, badan pengawas di luar organisasi atau lembaga swadaya

masyarakat. 163

Keberadaan seorang whistleblower memang cukup sulit, di satu sisi dianggap

sebagai pahlawan karena menyelamatkan masyarakat dari ancaman korupsi, namun

di sisi lain dianggap sebagai pengkhianat karena membocorkan “rahasia” dan

membuka aib institusi. Floriano C. Roa menyebutkan bahwa, “A whistleblower is

someone in an organization who witnesses behavior by members that is either

contrary to the mission of the oranization, or threatening to the public interest, and

who decides to speak out publicly about it”. (Terjemahan bebas: Peniup peluit

adalah seseorang dalam suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota

organisasi yang dapat bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilakunya

merupakan ancaman terhadap kepentingan umum dan peniup peluit memutuskan

untuk menyampaikan hal-hal tersebut). 164

Tindakan yang dilakukan oleh seorang whistleblower dilakukan untuk

kepentingan umum, maka konsekuensi logis dari hal tersebut adalah negara

memberikan perlindungan hukum yang optimal kepada whistleblower. Negara

memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan tersebut.

2.2.3 Dasar Filosofis

Dalam perspektif ilmu hukum, keberlakuan suatu ketentuan hukum meliputi

keberlakuan secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Pandangan tersebut kemudian

melahirkan konsepsi segitiga nilai kebijakan atau triangle concept of wisdom, yaitu

nilai kepedulian (care), nilai sikap kebijakan (tactful, share), serta nilai keadilan dan

163

Sholehuddin, 2010, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double

Track System & Implementasinya, Penerbit PT. RajaGrafisindo Persada, Jakarta, h. 132 164

Floriano C. Roa, 2007, Business Ethis and Social Responsibility, Philippine

Copyright, First Edition, Manila, h. 145

Page 51: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

121

kepentingan umum (fair).165

Penyusunan suatu peraturan perundang-undangan harus

didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu agar berlaku efektif. Perlunya

pengaturan mengenai perlindungan bagi whistleblower dalam tindak pidana korupsi

pada sistem hukum Indonesia juga memerlukan tiga dasar pertimbangan, baik dasar

pertimbangan filosofis, dasar pertimbangan yuridis, dan dasar pertimbangan

sosiologis.

Dasar pertimbangan filosofis akan melihat pada asas-asas, prinsip-prinsip dan

nilai-nilai. Asas hukum bukan merupakan peraturan, akan tetapi hukum tidak dapat

dipahami dengan baik tanpa asas-asas, karena asas hukum merupakan arah yang

datang dari putusan moral yang ditanamkan dalam hukum berupa pernyataan umum

yang tidak dapat diabaikan. Mengingat dengan adanya asas hukum menyebabkan

suatu peraturan perundang-undangan lebih berkualitas".166

Asas hukum karena di

dalamnya terkandung prinsip-prinsip antara lain:

1. Asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang memberi arah, yang menjadi

dasar kepada tata hukum yang ada;

2. Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila

mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;

3. Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan

maupun yurisprudensi;

4. Asas hukum tidak bersifat transedental atau melampaui alam kenyataan

yang dapat disaksikan oleh pancaindra;

5. Asas hukum berkedudukan relatif dan melandasi fungsi pengendalian

masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;

6. Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan, penemuan

dan pelaksanaan hukum;

7. Asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-

pejabat penguasa, sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya

dalam hukum positif.167

Paton memberikan pandangan mengenai fungsi dari asas hukum adalah "a

principle is the broad reasen which lies at the base of a rule of law, it has not

exhausted itself in giving birth to that particular rule but is fertile. Principle the

means by which the law lives, grows, and develops, demonstrate that law is not mere

165

Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 508. 166

Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h.

128. 167

Muladi, 1997, HakAsasi Manusia, Politih dan Sistem Peradilan Pidana,

Universitas Diponogoro, Semarang, h.144.

Page 52: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

122

collection of rules" (Terjemahan secara bebas: suatu prinsip merupakan alasan yang

menjadi dasar dari aturan suatu hukum, hal ini tidak akan menyia-nyiakan dirinya

dengan melahirkan aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip akan

berarti, bilamana ada hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang, yang dapat

menunjukkan bahwa hukum bukan semata hanya sekumpulan peraturan).168

Upaya pemerintah untuk melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana

korupsi melalui perlindungan terhadap whistleblower dapat dikaitkan dengan asas-

asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Asas Umum

Penyelenggaraan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma

kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara

yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam Pasal 3 Undang-

undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dinyatakan:

Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:

1. Asas Kepastian Hukum;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

3. Asas Kepentingan Umum;

4. Asas Keterbukaan;

5. Asas Proporsionalitas;

6. Asas Profesionalitas; dan

7. Asas Akuntabilitas.

Dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme diuraikan mengenai definisi dari masing-masing asas-asas hukum

tersebut yakni sebagai berikut:

Angka 1

Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara

hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan,

dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara

Angka 2

Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang

menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara.

Angka 3

168

G.W. Paton, 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press, London, h.

204.

Page 53: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

123

Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan

kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

Angka 4

Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri

terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan

tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

Angka 5

Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan

keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

Angka 6

Yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan

keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Angka 7

Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan

bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus

dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan negara yang tranparan dan bebas korupsi menjadi tuntutan

di negara demokrasi. Pembentukan birokrasi yang bersih bukan hanya menjadi

euforia di Indonesia, namun juga di negara lain. Terkait hal tersebut, The Institute of

Public Administration of Canada misalnya menyebutkan:

As professionals, public servants play a vital role in society. They are

committed to fair and transparent governance, to delivering high quality

services, to a stewardship of government funds that will maximize cost-

effectiveness and for accountability. Public servants are committed to the

improvement of the policy-making and service delivery abilities of the state.169

Sebagai profesional, pegawai negeri memainkan peran penting dalam

masyarakat. Mereka berkomitmen untuk pemerintahan yang adil dan transparan,

untuk memberikan layanan berkualitas tinggi, untuk kepengurusan dana

pemerintah yang akan memaksimalkan efektivitas biaya dan akuntabilitas.

Pegawai negeri berkomitmen untuk perbaikan pembuatan kebijakan dan layanan

kemampuan pengiriman negara. Komitmen tersebut dilegitimasi melalui aturan-

aturan yang terkait dengan aparatur sipil negara.

169

The Institute of Public Administration of Canada, A Public Servant's

Commitments, http://www.ipac.ca/publicsectorethics.

Page 54: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

124

Penyelenggaraan keuangan negara menganut beberapa asas pula yang harus

ditaati. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara disebutkan bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good

governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu

diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan

aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar. Sesuai dengan

amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang- undang tentang Keuangan

Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-

Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas - asas

yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan,

asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai

pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan

keuangan negara, antara lain :

• akuntabilitas berorientasi pada hasil;

• profesionalitas;

• proporsionalitas;

• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;

• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya

prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab

VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di

dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini

selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus

dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perlindungan terhadap whistleblower dalam tindak pidana korupsi

merupakan derivasi dari asas keadilan yang menjadi asas utama dalam bidang

hukum. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang

semestinya. Disini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila

orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. “Orang yang tidak

menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada

hukum dapat dianggap sebagai adil”.170

Perlindungan bagi whistleblower diharapkan

sebanding dengan kontribusi whistleblower dalam memberikan keterangan untuk

mengungkap kasus korupsi di Indonesia. Perlindungan hukum bagi whistleblower

merupakan pengayoman hak asasi manusia sebagaimana yang dikemukakan Satjipto

Rahardjo dalam teori perlindungan hukum.

170

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.

Page 55: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

125

Mengenai keadilan, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara

kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari

keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan

merupakan “nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah

ada jaminan stabilitas hidup manusia”.171

Keseimbangan kepentingan pribadi dan

kepentingan bersama dalam hal ini adalah kepentingan pribadi dari whistleblower

yang sangat rentan terancam atas kesaksiannya untuk mengungkap tindak pidana

korupsi.

John Rawls (1921) dalam bukunya A Theory of Justice memandang keadilan

sebagai kejujuran (justice as fairness) yang mengandung asas bahwa “orang-orang

yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-

kepentingannya, kehendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat

akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk

memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki”.172

Rawls merumuskan dua prinsip

keadilan distributif sebagai berikut:

1. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang

sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi)

yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya

jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan

terwujud.

2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga

perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut:

a. The different principle; dan

b. The principle of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan

memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang

beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan

kesempatan yang sama semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi

semua orang. 173

Berbicara tentang korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia.

Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari

kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan

pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi dengan menggunakan perangkat

perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan

171

Ibid. h. 161. 172

John Rawls, 2006, Teori Keadilan (A Theory of Justice), terjemahan Uzair

Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 3-7. 173

Ibid, h. 72

Page 56: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

126

demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum

serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera.

Secara filosofis, perlindungan terhadap whistleblower adalah perlindungan

terhadap hak asasi manusia sebagaimana teori perlindungan hukum yang

disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut sejarahnya di Barat, konsep

pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia tersebut diarahkan pada

pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

Pengakuan hak asasi manusia dalam arti bahwa setiap individu dan negara wajib

mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak sesama individu dan hak-

hak yang meletak pada setiap warga negara sedangkan perlindungan dalam arti

kewajiban untuk menjaga, menjamin dan mencegah adanya pelanggaran terhadap

hak asasi.174

Pengakuan hak asasi manusia diberikan oleh negara kepada warga

negaranya. Perlindungan ini dilakukan dengan menegaskan hak-hak dari

whistleblower dalam suatu peraturan perundang-undangan. Mengenai hak asasi

manusia ini, Jerome J. Shestack mengemukakan:

Istilah hak asasi manusia tidak ditemukan dalam agama-agama tradisional.

Namun demikian, ilmu tentang Ketuhanan (theology) menghadirkan landasan

bagi suatu teori hak asasi manusia yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari

pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori

ini mengabaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber

dari hak asasi itu sendiri.175

Pengaruh pemikiran aliran klasik kriminologi menyatakan bahwa individu

memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup dan kebebasan. Manusia memiliki

akalnya disertai kehendak bebas untuk menentukan pilihan, namun tidak lepas dari

faktor lingkungan.176

Hak asasi manusia secara garis besar dibagi menjadi dua teori

yakni sebagai berikut:

a) Teori universalis (universalist theory) hak asasi manusia

174

Yoyok Ucuk Suyono, 2013, Hukum Kepolisian; Kedudukan Polri dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Laksbang Grafika, Yogyakarta, h.

34. 175

Sujatmoko, Andrey, 2009, Sejarah, Teori, Prinsip dan KontroversI HAM,

Makalah pada Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi

dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM, Yogyakarta, 12 - 13

Maret 2009. 176

Atmasasmita, Romli, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika

Aditama, Bandung, h. 10-11.

Page 57: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

127

Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari

sejumlah perspektif moral universalis. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar

dari seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam

kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif

untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya buatan manusia.

b) Teori relativisme budaya (cultural relativism theory)

Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan

merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak dan kaidah moral. Oleh karena

itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan

masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta

martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela

gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi

bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.177

Perkembangan HAM sejak awal muncul pada abad 17 dan 18, pada awal

abad ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM Sipil dan

Politik (Liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19, merupakan generasi kedua

menyangkut kelahiran perjuangan hak-hak sosial ekonomi dan budaya (egalite). Dan

HAM generasi ke III (ketiga) muncul perjuangannya diabad 20 (duapuluh), HAM

Generasi III merupakan usaha perjuangan penindasan kelompok berkuasa terhadap

kelompok minoritas, juga perjuangan hak atas perdamaian, pembangunan, hak atas

lingkungan hidup dimasa mendatang dan lain-lain.178

Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, dalam instrumen hukum

internasional telah ada sejak tahun 1948. Hak asasi manusia mulai mendapat

perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya Piagam

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak-Hak

Asasi Manusia 1948. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia menjadi

komitmen negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Secara khusus, Indonesia

telah mengeluarkan undang-undang yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

177

Smith, Rhona K.M. et.al., 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak

Asasi Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, h. 19-20. 178

Mereriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta,

h. 37

Page 58: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

128

negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perlindungan terhadap hak asasi manusia pada dasarnya adalah

perlindungan terhadap martabat manusia. Leach Levin bahwa konsep HAM ada 2

(dua) konsepsi yakni :

1. Natural Right (Hak Alamiah atau Hak Moral) yakni HAM tidak bisa

dipisahkan dan dicabut. Karena merupakan hak manusia karena ia seorang

manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat setiap manusia

2. Hak menurut hukum, hak – hak individu menurut hukum dibentuk melalui

proses pembentukan oleh negara, maka hukum diciptakan untuk melindungi

hak-hak setiap orang179

Presiden Amerika Serikat, Teodore Rooselvet, dalam amanat tahunannya

tahun 1948 di muka Kongres AS mengemukakan ajakan membangun satu dunia

yang didasarkan atas 4 (empat) kebebasan dasar manusia yaitu :

1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia

2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya masing-masing

3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala bentuk

ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu bangsa

4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk memberi

jawaban kepada semua orang untuk hidup dengan sejahtera180

Berpijak dari konsep HAM menurut Leach Levin, maka perlindungan

terhadap whistleblower merupakan hak menurut hukum, yakni hak yang harus diatur

dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kewajiban

konstitusional dimana pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan

perlindungan, pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera

Republik Indonesia. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan "Perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara

terutama pemerintah ".

Terkait dengan empat kebebasan dasar manusia sebagaimana yang

disampaikan oleh Teodore Rooselvet, maka perlindungan terhadap whistleblower

adalah “kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat” dan “kebebasan dari

179

Nr. Nartono, 1987, Hak-Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya Paramita,

Jakarta, h. 3 180

Ibid

Page 59: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

129

ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala bentuk ancaman kekerasan bagi

perorangan maupun bagi suatu bangsa.” Setiap orang memiliki kebebasan untuk

berbicara secara bertanggung jawab tanpa adanya ancaman kekerasan. Menurut

Galtung, ada enam dimensi penting dalam kekerasan yaitu:

b. Kekerasan fisik dan psikologi. Kekerasan bukan hanya melukai fisik

seseorang namun juga berdampak pada jiwa seseorang. Kebohongan,

indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologi karena

dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental dan otak.

c. Pengaruh positif dan negatif. Kekerasan terjadi tidak hanya bila ia dihukum

jika ia bersalah, namun juga dengan memberi imbalan ketika ia tidak

bersalah. Sistem imbalan sebenarnya mengandung pengendalian, tidak bebas,

kurang terbuka dan cenderung manipulatif, meskipun membawa kenikmatan.

Ia mau menekankan bahwa kesadaran untuk memahami kekerasan yang luas

itu penting.

d. Ada objek atau tidak. Objek yang disakiti umumnya adalah manusia secara

langsung.

e. Ada subjek atau tidak. Jika kekerasan memiliki subjek atau pelaku, maka ia

bersifat langsung atau personal, namun jika tidak ada pelakunya, maka

kekerasan tersebut tergolong pada kekerasan struktural atau tidak langsung.

f. Di sengaja atau tidak. Perbedaan ini penting ketika orang harus mengambil

keputusan mengenai kesalahan. Sering konsep tentang kesalahan ditangkap

sebagai suatu perilaku yang sengaja, kesalahan yang walau tidak disengaja

tetap merupakan suatu kekerasan, karena dilihat dari sudut korban kekerasan

tetap mereka rasakan baik disengaja maupun tidak.

g. Yang tampak dan yang tersebunyi. Kekerasan yang tampak adalah yang

nyata dirasakan oleh objek, baik secara personal maupun struktural.

Sedangkan kekerasan tersembunyi tidak kelihatan namun tetap bias dengan

mudah meledak. Kekerasan tersembunyi terjadi jika situasi menjadi begitu

tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan

begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah

(unstable equilibrium).181

Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai

perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat

dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk

menerapkan konsepsi humanisasi dan civilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip

181

Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 6-7.

Page 60: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

130

hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana182

Perlindungan terhadap whistleblower menjadi hak yang melekat pada whistleblower

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,

Pemerintah, dan setiap orang. Perlindungan tersebut menjadi hak krodrat

whistleblower sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Pengakuan dan penghargaan

terhadap hak asasi tersebut melahirkan gerakan perlindungan masyarakat. Adapun

gerakan perlindungan masyarakat tersebut yakni sebagai berikut:

b) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat

mengenai hukum pidana. Dengan demikian hukum pidana harus merumuskan

perlindungan dalam rumusan pidananya.

c) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang

pengaturannya tidak dapat serta merta dipaksakan dalam peraturan perundang-

undangan.

d) Kebijakan pidana berpijak pada konsepsi pertanggungjawaban pidana yang

bersifat pribadi (individual reponsibility) sehingga menjadi kekuatan utama

bagi pelanggar dalam proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban ini

menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas

sosial.183

Dalam suatu negara hukum, semua aspek penyelenggaraan negara selalu

didasarkan atas hukum. Perlindungan terhadap whistleblower merupakan kebijakan

dalam penegakan hukum, khususnya bagi tindak pidana serius. Perlindungan

terhadap whistleblower juga didasarkan pada asas-asas negara hukum. Asas-asas

negara hukum merupakan asas hukum yang mengandung prinsip-prinsip yang

penting. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum jika memenuhi unsur-

unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut yakni:

2. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian manusia

(identitas) yang mengimplikasikan asas pengakuan dan perlindungan

martabat dan kebebasan manusia yang merupakan asas fundamental

negara hukum.

3. Asas kepastian hukum yang mengimplikasikan hal berikut ini:

4. Para warga masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan

pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dari tindakan yang sewenang-

wenang.

182

Ali Zaidan M., Op Cit, h. 123 183

S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, 1996, Hukum Penetensia di

Indonesia, Alumni Ahaen-Petehaem, Jakarta, h. 20.

Page 61: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

131

5. Pemerintah dan para pejabatnya harus terikat dan tunduk pada aturan

hukum positif. Semua tindakan pemerintah dan para pejabatnya harus

selalu bertumpu pada aturan hukum positif sebagai dasar hukumnya.

6. Asas persamaan (similia similibus). Pemerintah dan para penjabatnya

harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dan

Undang-undang juga berlaku sama untuk semua orang.

7. Asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan putusan.

Tiap warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama

untuk mempengaruhi putusan dan tindakan pemerintah.

8. Asas pemerintah dan pejabatnya mengemban fungsi melayani rakyat.

Asas ini dijabarkan ke dalam seperangkat asas umum pemerintahan

yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Syarat-

syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat

manusiawi harus terjamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-

undangan.184

Dalam konsep negara hukum modern atau negara hukum sosial, negara

berkewajiban mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik kesejahteraan

sosial maupun ekonomi. Ciri negara berkesejahteraan atau negara hukum sosial

(sociale rechstaat) adalah negara berupaya mensejahterakan rakyatnya. Adapun ciri-

ciri tersebut akhirnya muncul dua konsekuensi yaitu:

a. Campur tangan pemerintah terhadap kehidupan rakyat sangat luas, hingga

mencakup hampir semua aspek kehidupan rakyat, dan

b. Dalam melaksanakan fungsinya pemerintahan menggunakan asas freis

ermessen atau diskresi.185

Pengaturan perlindungan terhadap whistleblower menunjukkan adanya

campur tangan pemerintah terhadap orang yang telah berjasa untuk membantu

aparat negara dalam melaksanakan penegakan hukum. Dalam konteks filosofis,

pengaturan ini tentu saja memberikan kepastian hukum baik bagi lembaga yang

ditunjuk untuk melaksanakan perlindungan hukum maupun terhadap whistleblower

sendiri yang telah memberikan keterangan mengenai dugaan kasus korupsi.

Pemberian keterangan tersebut tidak hanya didasarkan pada pengamatan sehari-hari

saja, melainkan bisa jadi atas inisiatif dari whistleblower yang telah melakukan

investigasi terhadap penyelewangan anggaran negara.

184

Benard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar

Maju, Bandung, 1999-2001. 185

Hatta, Moh., 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum &

Pidana Khusus, Liberty, Yogyakarta, h. 13

Page 62: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

132

Terkait dengan konsep negara hukum dalam memberikan perlindungan bagi

whistleblower, dapat ditinjau dari konsep negara hukum pada dua sistem hukum

terbesar di dunia yakni sistem hukum Eropa Konstinental dan sistem hukum Anglo

Saxon. Konsep rechtstaat yang bertumpu atas sistem hukum Eropa Continental

yang disebut civil law atau Modern Roman Law lahir dari perjuangan menentang

absolutisme sehingga bersifat revolusioner. Dalam konsep rule of law yang

bertumpu atas sistem hukum Anglo Saxon yang disebut common law berkembang

secara evolusioner.186

Konsep negara hukum rechtstaat adalah :

2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

3) Adanya jaminan terhadap hak warganegara;

4) Adanya pembagian kekuasaan negara;

5) Adanya pengawasan dari badan peradilan.187

Pada negara hukum yang dianut oleh tradisi hukum civil law, ciri-ciri negara

hukum dilekatkan pada pendapat dari F.J. Stahl. Stahl berusaha menyempurnakan

cita negara hukum rechtsstaat yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu:

1) pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;

2) pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica;

3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan Undang-undang (wetmatig

bestuur);

4) adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus

perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige

overheidsdaad).188

Negara hukum yang dianut oleh negara dengan tradisi hukum common law

atau Anglosaxon menyebut konsep tersebut dengan rule of law. The rule of law

mempunyai dua pengertian yaitu pengertian formil dan pengertian materiil

(ideologis). Dalam pengertian formil dimaksudkan kekuasaan publik yang

teorganisir. Hal itu berarti setiap sistem kaidah yang didasarkan pada hierarki

perintah merupakan rule of law. Pengertian formil dimaksud, dapat menjadi alat

yang paling efektif dan efisien untuk menjalankan pemerintahan yang tiranis. The

rule of law dalam arti materiil bertujuan untuk melindungi warga masyarakat

terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari penguasa sehingga memungkinkan

186

Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina

Ilmu, Surabaya, h. 76. 187

Soemantri M., Sri. 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, h. 29 -30 188

Kranenburg, 1975, Ilmu Negara Umum, Terjemahan Sabaroedin, Pradnya

Paramita, Jakarta, h. 90.

Page 63: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

133

manusia untuk mendapatkan martabatnya sebagai manusia. Oleh sebab itu inti dari

rule of law dalam arti materiil adalah adanya jaminan bagi warga masyarakat untuk

memperoleh keadilan sosial, yaitu keadaan yang dirasakan oleh warga masyarakat

penghargaan yang wajar dari golongan lain sedangkan setiap golongan tidak merasa

dirugikan oleh kegiatan golongan lainnya.189

Rule of Law memiliki beberapa konsekuensi yaitu: pertama, supremasi

absolute ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogratif

penguasa; kedua, berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the

law), dimana semua orang harus tunduk pada hukum, dan tidak seorang pun yang

berada diatas hukum (above the law); ketiga, konstitusi merupakan dasar dari segala

hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam arti ini, hukum yang berdasarkan

konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan

rakyat.190

Negara hukum sebagai negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya

dalam Undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya

didasarkan hukum.191

Oleh karena itu negara hukum itu ialah negara yang diperintah

bukan oleh orang-orang tetapi oleh Undang-undang (state the not governed by men,

but by laws), karena itu didalam negara hukum hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya

oleh negara dan terhadap negara begitu pula sebaliknya kewajiban-kewajiban rakyat

harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan

pemerintah dan Undang-undang negara.192

Mengenai negara hukum, Sudargo

Gautama mengemukakan sebagai berikut:

Negara hukum adalah suatu negara dimana perseorangan mempunyai hak

terhadap negara, dimana hak-hak asasi manusia diakui oleh undang-undang,

dan untuk merealisasikan perlindungan hak-hak ini kekuasaan negara dipisah-

pisahkan hingga badan penyelenggara negara, badan pembuat Undang-undang

dan badan peradilan berada pada pelbagai tangan, dan dengan susunan badan

peradilan yang bebas kedudukannya untuk dapat memberi perlindungan

semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-haknya dirugikan, walaupun

andaikata hal ini terjadi oleh alat negara sendiri.193

189

Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 81. 190

Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Refika Aditama,

Bandung, h. 3 191

Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang,

h. 6. 192

Ibid. 193

Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni,

Bandung, h. 21.

Page 64: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

134

Sebagai implementasi dari peran serta masyarakat, maka tentunya

whistleblower tidak boleh dirugikan hak-haknya. Whistleblower adalah orang yang

berjasa besar dalam menggungkap tindak pidana korupsi. Ancaman terhadapnya

tentu merupakan bentuk ketidakadilan. Perlindungan bagi whistleblower bertujuan

untuk memberikan keadilan kepada orang yang telah berjasa tersebut. Menurut

pendapat Ahmad Ali, bahwa tujuan hukum dititikberatkan pada segi "keadilan".

Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbruch (filosof Jerman)

mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah "keadilan”, di

samping kemanfaatan, dan kepastian.194

Perlindungan terhadap whistleblower

merupakan upaya untuk menegakkan keadilan, disamping kemanfaatan dan

kepastian hukum.

Hukum yang dibuat oleh penguasa harus memberikan manfaat bagi

masyarakat. Kemanfaatan hukum ini dibahas oleh Bentham. Bentham mengatakan

bahwa tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi

masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha mencapai empat tujuan

yaitu:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).

b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).

c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).

d. To attain equality (untuk mencapai kebersamaan).195

Perlindungan bagi whistleblower bukan hanya memberikan manfaat bagi

seorang whistleblower yang menjadi objek perlindungan langsung dari

pengaturannya nanti, namun mampu memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Rudolf von Jhering yang mengembangkan teori social utilitarianism menganggap

bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Dia

menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar

tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Satu-

satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya

hukum inilah yang dapat dipastikan kenyataannya.196

Perlindungan bagi

whistleblower akan membuka kasus-kasus korupsi besar di negeri ini. Semakin

banyak kasus korupsi yang dapat diungkap, maka semakin banyak pula kerugian

194

Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosolis Sosiologis,

PT. Toko Gimung Agung Tbk, Jakarta, h. 72 195

Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, h. 76-78. 196

Huijber, Theo, 2006, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah Cetakan ke-15,

Kanisius, Yogyakarta, h. 128.

Page 65: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

135

keuangan negara yang dapat terselamatkan. Akhirnya, masyarakat pula yang akan

semakin sejahtera.

Dalam filosofi tujuan hukum maka keadilan menjadi hal prioritas, namun

keadilan yang diberikan tersebut harus pula menjamin kepastian hukum.

Keseimbangan dan keserasian antara kepastian hukum dan keadilan diperlukan

beberapa persyaratan diantaranya:

1. Kaidah-kaidah hukum, serta penerapannya sebanyak mungkin mendekati

citra masyarakat.

2. Pelaksana penegak hukum dapat mengemban tugas sesuai tujuan dan

keinginan hukum.

3. Masyarakat dimana hukum itu berlaku, taat dan sadar akan pentingnya

hukum bagi keadilan dan kesejahteraan serta menghayati akan keinginan

hukum demi keadilan.197

Pengaturan mengenai perlindungan whistleblower dalam tindak pidana

korupsi diharapkan memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam

penanggulangan kejahatan tersebut.

Dikaitkan dalam konteks Indonesia, perlindungan bagi whistleblower

didasarkan pada pertimbangan filosofis dengan pendekatan Pancasila. Terminologi

Pancasila pertama kali ditulis dalam Kitab Negara Kerthagama karangan Empu

Prapanca. Istilah Pancasila menunjuk pada dua frasa yakni Panca yang berarti lima

dan sila yang berarti dasar. Pancasila secara singkat dapat dikatakan sebagai lima

dasar yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan dalam

menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlindungan terhadap

whistleblower dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan nilai kemanusiaan dan

nilai keadilan.

Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang wajib dipertahankan

bagi tegaknya NKRI. Destutt de Tracy menyebut ideologi sebagai science of idea,

sebagai suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional

dalam masyarakat. Selanjutnya Leibniz menyebutkan bahwa ideologi merupakan

one great systen of truth yang merupakan kompilasi dari pelbagai cabang ilmu dan

segala kebenaran ilmiah.198

Pancasila merupakan suatu ilmu yang komprehensif

yang seharusnya dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Penyelamatan terhadap

197

Soerdjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-14,

Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 18.

198 Endang Zaelani Sukaya, et.al., 2002, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma,

Yogyakarta, h. 86.

Page 66: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

136

ideologi bangsa sangat urgen untuk dilakukan, sebab ideologi menjadi ciri mendasar

dari tegaknya suatu negara.

Pancasila memiliki beberapa fungsi fundamental dalam kerangka NKRI

yakni berfungsi sebagai dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara mengandung

pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan

menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas

(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi

orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan

menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi

pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara

dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan

menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa

diskriminasi.

Secara khusus Pancasila juga berfungsi sebagai .dasar filsafat Negara

Republik Indonesia (Philosofische Gronslag) yang tercantum dalam pembukaan

Undang-undang Dasar 1945 (UUD1945) alinea IV. Hal ini mengandung

konsekuensi bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan

nilai-nilai Pancasila. Hal ini meliputi segala perundang-undangan dalam negara,

pemerintahan dan aspek-aspek kenegaraan lainnya.199

Kata filsafat sebagai dasar

filsafat negara berasal dari bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris dikenal

dengan philosophy, dan semuanya itu berasal dari bahasa Yunani Philosophia. Kata

Philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta/ love; dan sophia yang berarti

kebijaksanaan/ wisdom. Dengan demikian fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat

negara juga mengandung pengetahuan yang mengajarkan pada kebijaksanaan.

Pancasila juga berkedudukan sebagai staatfundamentalnorm (pokok

kaidah negara yang fundamental) mempunyai isi, arti yang abstrak umum universal.

Namun sebagai pedoman pelaksanaan Negara, maka Pancasila bersifat umum

kolektif artinya untuk kelompok Negara Indonesia.200

Pancasila disebut sebagai

staatfundamentalnorm, artinya sebagai norma dasar yang harus dijabarkan lebih

lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945 beserta hukum positif Negara Indonesia lainnya

sehingga Pancasila disebut sebagai Staatsfundamentalnorm perlu dijabarkan dengan

menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori Hans kelsen yang

mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang

membentuk piramida hukum (stufentheorie) yang menempatkan Pancasila sebagai

norma dasar yang harus dijadikan pedoman bagi peraturan di bawahnya. Sesuai

199

Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 59. 200

Ibid., h. 109-112.

Page 67: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

137

dengan kedudukan Pancasila sebagai norma dasar, maka perumusan perlindungan

terhadap whistleblower dalam tindak pidana korupsi harus didasarkan pada

Pancasila sebagai sumber hukum nasional.

Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti

melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan

bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan

sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan

karenanya juga harus bersumber darinya.201

Dengan demikian, pengaturan

mengenai perlindungan bagi whistleblower dalam tindak pidana korupsi harus

bersumber pada nilai kemanusiaan dan keadilan dalam Pancasila.

201

A. Hamid S Attamimi dalam Mahfud MD , 2010, Membangun Politik Hukum,

Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, h. 51.

Page 68: BAB II DASAR DIPERLUKANNYA PERLINDUNGAN HUKUM ...

138