BAB II

31
11 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Praktek Pembelajaran di SMK, yang pada hakikatnya mengacu pada pemahaman aplikatif dan teori yang dipelajari ke arah terapannya, senantiasa memerlukan pendekatan pembelajaran yang mampu membawa siswa didik ke arah pemahaman pragmatis akan meteri pelajarannya. Ini berarti bahwa dalam proses pembelajaran siswa hendaknya diarahkan untuk menemukan inti materi pelajarannya dengan pendekatan pembelajaran praktek. Dengan demikian kurikulum SMK yang memuat jenis-jenis kompetensi yang harus dikuasai siswa (peserta didik) sebagai persiapan mamasuki duni kerja, disusun dengan orientasi kepada keterampilan atau keahlian yang dibutuhkan oleh dunia usaha/dunia industri. Orientasi isi kurikulum seperti di atas mengharuskan adanya media dan per- alatan belajar yang relevan dengan jenis keahlian yang ingin dicapai. Uleh karena itu keberadaan bengkel/laboratorium teknik di SMK menjadi suatu keniscayaan. Pada kenyataannya bengkel menjadi tempat belajar utama bagi peserta didik di suatu SMK untuk menguasai keahlian teknis tertentu. Pasal 1 ayat 20 UU 20/2003 memberi definisi bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Jadi pembelajaran merupakan suatu proses interaksi. Dari definisi tersebut terlihat adanya tiga komponen dalam proses pembelajaran, yaitu peserta didik, pendidik dan sumber belajar. Pembelajaran dilaksanakan mengacu pada suatu rencana

description

afas

Transcript of BAB II

  • 11

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Pembelajaran Praktek

    Pembelajaran di SMK, yang pada hakikatnya mengacu pada pemahaman

    aplikatif dan teori yang dipelajari ke arah terapannya, senantiasa memerlukan

    pendekatan pembelajaran yang mampu membawa siswa didik ke arah pemahaman

    pragmatis akan meteri pelajarannya. Ini berarti bahwa dalam proses pembelajaran

    siswa hendaknya diarahkan untuk menemukan inti materi pelajarannya dengan

    pendekatan pembelajaran praktek. Dengan demikian kurikulum SMK yang memuat

    jenis-jenis kompetensi yang harus dikuasai siswa (peserta didik) sebagai persiapan

    mamasuki duni kerja, disusun dengan orientasi kepada keterampilan atau keahlian

    yang dibutuhkan oleh dunia usaha/dunia industri.

    Orientasi isi kurikulum seperti di atas mengharuskan adanya media dan per-

    alatan belajar yang relevan dengan jenis keahlian yang ingin dicapai. Uleh karena itu

    keberadaan bengkel/laboratorium teknik di SMK menjadi suatu keniscayaan. Pada

    kenyataannya bengkel menjadi tempat belajar utama bagi peserta didik di suatu SMK

    untuk menguasai keahlian teknis tertentu.

    Pasal 1 ayat 20 UU 20/2003 memberi definisi bahwa pembelajaran adalah

    proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu

    lingkungan belajar. Jadi pembelajaran merupakan suatu proses interaksi. Dari definisi tersebut terlihat adanya tiga komponen dalam proses pembelajaran, yaitu peserta didik,

    pendidik dan sumber belajar. Pembelajaran dilaksanakan mengacu pada suatu rencana

  • 12

    kegiatan belajar yang didesain dan dikontruksi oleh guru (pendidik) dengan meintegrasikan

    tiga komponen itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

    Sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan melalui PP 19/2005,

    pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) program keahlian Teknik

    Mekanik Otomotif (TMO) sebagai bagian dari pendidikan menengah bertujuan untuk

    menyiapkan siswa/tamatan:

    a. Memasuki lapangan kerja serta dapat mengembangkan sikap profesional dalam

    lingkup keahlian Teknik Mesin, khususnya Teknik Mekanik Otomotif (TMO).

    b. Mampu memilih karir, mampu berkompetensi dan mampu mengembangkan diri

    dalam lingkup keahlian Teknik Mesin, khususnya Teknik Mekanik Otomotif (TMO).

    c. Menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mengisi kebutuhan dunia usaha dan

    industri pada saat ini maupun masa yang akan datang dalam lingkup keahlian Teknik

    Mesin, khususnya Teknik Mekanik Otomotif (TMO).

    Mengacu pada tujuan di atas, pemebelajaran di SMK harus diformulasikan

    sedemikian rupa agar dapat menjadi media pengembangan kemampuan peserta didik

    menguasai bidang keahlian teknik otomotif, mampu memilih karier sesuai keahlianya,

    dan mampu bersaing memasuki dunia kerja serta mengembangkan diri dalam

    pekerjaannya.

    Pembelajaran praktek di bengkel TMO merupakan bentuk pengalaman belajar

    yang diberikan kepada siswa dengan orientasi keterampilan yang dibutuhkan oleh

    dunia usaha/dunia industri otomotif. Kegiatan praktek akan memberikan pengalaman

    belajar dan menciptakan pemahaman yang lebih kongkrit tentang melaksanakan suatu

    teori dalam sebuah kerja. Dengan demikian pembelajaran praktek di bengkel dapat

    juga diartikan sebagai suatu kegiatan memberikan latihan kerja bagi siswa.

  • 13

    Pengalaman belajar ini diharapkan akan membentuk kompetensi dengan kualifikasi

    tertentu bagi diri siswa.

    Kegiatan praktek berorientasi pada tugas-tugas pemasangan dan penggunaan

    alat, pengamatan, perbaikan sehingga mereka akan memperoleh pengalaman dalam

    memeriksa, merawat, memperbaiki, dam mengoperasikan alat-alat atau mesin-mesin

    yang disediakan di bengkel sekolah. Mesin-mesin dan bermacam alat yang digunakan

    di bengkel selain memiliki fungsi dan manfaat juga mengandung bahaya (hazard)

    bagi manusia maupun lingkungannya. Oleh karena itu, keberadaan bengkel dan

    penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran praktek harus disertai pemenuhan

    prosedur keselamatan kerja.

    Pendidikan berdasar kompetensi (Competency Based Eucation) menurut suatu

    kompetensi tertentu atau suatu kemampuan untuk berbuat sesuatu yang lain

    bentuknya dari kemampuan yang lebih tradisional untuk mendemontrasikan aplikasi

    dari ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan kompetensi kejuran, Finch & Crunkilton

    (1992:254) menyatakan kompetensi khusus untuk pendidikan teknologi kejuruan

    adalah competensies are thoes tasks, skills, attituds, values and appreciations that

    are demend critical to succes in life or in earning a living. Menurut pernyataan

    tersebut, bahwa kompetensi meliputi tugas, keterampilan, sikap, nilai, apresiasi

    diberikan dalam rangka keberhasilan hidup atau penghasilan hidup yang harus

    diberikan untuk pendidikan teknologi dan kejuruan selain teori dan praktek juga perlu

    ditambahkan unsur sikap dan nilai.

    Menurut Nolker (1983: 119), pembelajaran praktek (praktikum) adalah suatu

    kegiatan yang memberikan keanekaragaman peluang untuk melakukan penyelidikan

    dan percobaan keterampilan. Berdasarkan pandangan ini berarti kegiatan praktik di

  • 14

    bengkel tidak terbatas pada melatih peserta didik keahlian mengoperasikan

    mesin/perkakas untuk suatu produksi. Kegiatan belajar praktek berorientasi pada

    tugas-tugas seperti pemasangan dan perawatan alat, pengamatan, perbaikan, serta

    pengujian hasil pemasangan atau perbaikan, sehingga mereka akan memperoleh

    wawasan dalam praktek kerja. Materi tugas-tugas disusun secara terstruktur mengacu

    pada kompetensi standar di dalam kurikulum. Untuk mempermudah pelaksanaannya,

    materi praktik dituangkan ke dalam lembar kerja (jobsheet) atau panduan kerja

    praktek. Di dalam lembar kerja dicantumkan kompetensi yang akan dicapai siswa

    bila telah selesai melaksanakan satu unit pembelajaran praktek. Lembar kerja

    membantu peserta didik melakukan langkah-langkah kerja dengan prosedur yang

    benar. Berbagai pengalaman belajar (bekerja) yang dilakukan akan membangun

    kompetensi (keahlian) tertentu dalam dirinya.

    Melalui kegitan praktek peserta didik akan mendapatkan pengertian konkrit

    hubungan antara teori dan tindakan bekerja. Kegiatan praktik juga akan memberikan

    pengalaman yang tidak diperoleh dalam teori. Sonhadji (2002) mengatakan bahwa

    karakteristik pendidikan teknik adalah menekankan ranah psikomotorik dalam

    kerangka totalitas tiga ranah pembelajaran yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

    Serangkaian kegiatan praktek di bengkel teknik membangun kompetensi keahlian

    yang merupakan integrasi dari ketiga ranah tersebut. Kegiatan praktikum merupakan

    pengalaman belajar berkerja yang akan membangun sikap dan jiwa peserta didik agar

    siap terjun ke dunia kerja yang sebenarnya.

    Bengkel (laboratorium teknik) merupakan salah satu sarana yang penting di

    suatu SMK khususnya pada rumpun teknologi dan industri. Peralatan bengkel

    merupakan bagian penting dari proses pembelajaran, karena dengan bantuan peralatan

  • 15

    tersebut siswa menjalani pengalaman yang membangun keahliannya. Sebagaimana

    dinyatakan oleh Mukhadis (1988) bahwa peralatan (devices) merupakan komponen

    sistem pembelajaran yang memberi sumbangan terbesar terhadap prestasi yang

    dicapai pembelajar dalam pembelajaran praktek bengkel kontruksi. Dengan demikian,

    keberadaan bengkel di SMK rumpun teknologi adalah sebuah keharusan.

    Menurut Setiawan & Harun (1981: 153), bengkel yang baik harus memenuhi

    ketentuan-ketentuan tentang hal-hal berikut; (1) tata letak bengkel; (2) pemanfaatan

    alat/mesin; (3) pengaturan ruang bengkel memudahkan pelayanan (fleksibel); (4)

    jarak (space) yang cukup untuk gerak penyediaan dan pekerjaan; (5) keteraturan dan

    kebersihan bengkel; dan keselamatan dan kesehatan kerja. Sarana praktek merupakan

    hal yang penting untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran praktek. Dalam kegiatan

    praktek, sarana merupakan sumber belajar utama untuk membantu menjelaskan

    sesuatu hal sehingga informasi yang disampaikan melalui kegiatan praktek akan

    menjadi lebih jelas (Wotto, 2000:26). Sarana praktek meliputi gedung, instalasi

    sumber tenaga, instalasi bengkel, peralatan kerja dan instalasi penunjang lainnya.

    Achir (1989) menjelaskan peralatan praktek berdasarkan statusnya dapat

    dibedakan ke dalam; (1) alat peralatan yang harus ditangani oleh satu orang (single

    work station); dan (2) alat peralatan yang harus ditangani lebih satu orang (group

    work station). Sedangkan menurut jenisnya peralatan praktek diklasifikasikan menjadi

    tiga macam yaitu; (1) alat peralatan utama; (2) kelengkapan standar; dan (3)

    kelengkapan tambahan.

    Perencanaan tata letak bengkel praktek harus dijabarkan dari konsep

    pedagogik (Nolker, 1983:191). Hal ini berarti bentuk dan ukuran ruang bengkel,

    jumlah dan jenis alat, serta media ditentukan berdasarkan kebutuhan pembelajaran.

  • 16

    Keterampilan dan kemampuan yang hendak diajarkan menentukan wujud

    perlengkapan ruang dengan mesin-mesin dan peralatan. Semakin banyak peserta

    didik, semakin banyak pula jumlah ruang pengajaran dan latihan praktek yang

    diperlakukan. Dan semakin banyak ruangan, semakin terperinci pula perencanaan

    yang dapat dilakukan menyangkut perlengkapan yang diperlukan. Ukuran masing-

    masing ruangan tergantung dari jenis kegunaannya, begitu pula dari jumlah siswa

    yang harus diajar/dilatih secara serempak di tempat tersebut. Dengan demikian, faktor

    kalkulasi yang perlu diketahui adalah luas tempat yang diperlukan untuk tiap-tiap

    siswa. Tidak ada data pasti yang didukung oleh riset mengenai nilai-nilai tersebut.

    Tetapi dapat dikemukakan nilai-nilai taksiran, yang walau terpengaruh fluktuasi yang

    agak besar, namun masih dapat dipakai sebagai pedoman pendekatan. Bengkel

    praktek perlu dilengkapi pula dengan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal

    tersebut untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja akibat keteledoran atau

    adanya gangguan pada mesin-mesin dan peralatan kerja lain. Di bengkel harus ada

    safety box atau kotak P3K yang setiap saat diperhatikan keadaan dan kelengkapan

    isinya. Peralatan keselamatan kerja dapat berupa peralatan pemadam kebakaran dan

    peralatan anggota badan.

    Berdasarkan silabus materi pembelajaran yang termuat di dalam kurikulum

    standar nasional 2004, pembelajaran praktek keahlian TMO dibagi menjadi empat

    kelompok materi berikut.

    1. Pembelajaran Praktek engine (mesin), meliputi kegiatan belajar:

    a. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul engine dan komponen-komponennya.

  • 17

    b. Pembongkaran blok engine dan penilaian komponen, perakitan blok engine

    dan kelengkapannya, pemeriksaan toleransi dan pelaksanaan pengujian yang

    sesuai.

    c. Rebuild dan rekondisi komponen engine.

    d. Perakitan kepala silinder, pemeriksaan toleransi dan pelaksanaan pengujian

    yang sesuai.

    e. Perbaikan sistem pendingin dan komponen-komponennya.

    f. Pelaksanaan perbaikan radiator.

    g. Pemeliharaan dan perbaikan komponen sistem bahan bakar bensin.

    h. Pemeliharaan dan perbaikan komponen sistem injeksi bahan bakar diesel.

    i. Pemeliharaan sistem kontrol emisi dan perbaikan sistem gas buang (knalpot)

    beserta komponen-komponennya.

    j. Pelaksanaan korter dan penghalusan silinder.

    k. Pelaksanaan pekerjaan gerinda dan penghalusan permukaan.

    2. Pembelajaran praktek power train, meliputi kegiatan belajar:

    a. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul unit kopling beserta komponennya.

    b. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul transmisi.

    c. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul unit final drive/gardan

    d. Pemeliharaan dan perbaikan poros-poros penggerak roda.

    3. Pembelajaran praktek chasis dan suspensi, meliputi kegiatan belajar:

    a. Pemeliharaan dan perbaikan sistem rem

    b. Overhaul, perakitan dan pemasangan sistem rem beserta komponennya.

    c. Pemeliharaan, perbaikan, dan overhaul sistem kemudi.

    d. Pemeliharaan, perbaikan, dan overhaul sistem suspensi.

  • 18

    e. Melepas, memasang dan menyetel roda

    f. Pelaksanaan spooring dan balancing roda.

    g. Pemilihan ban dan pelek untuk pemakaian khusus.

    h. Pembongkaran, perbaikan pelek dan pemasangan ban luar/dalam.

    4. Pembelajaran praktek sistem kelistrikan, meliputi kegiatan belajar:

    a. Pengujian, pemeliharaan, dan penggantian baterai

    b. Perbaikan instrumen dan sistem peringatan

    c. Perbaikan sistem starter dan pengisian

    d. Pemasangan, pengujian dan perbaikan sistem penerangan dan wiring

    e. Perbaikan sistem pengapian

    f. Pemeliharaan dan perbaikan sistem penggerak kontrol elektronik

    g. Pemeliharaan dan perbaikan sistem Anti-lock Brake System (ABS)

    h. Overhaul, perbaikan, dan pemasangan komponen sistem AC (Air

    Conditioner).

    B. Pelaksanaan K3

    Keselamatan kerja merupakan keselamatan pekerja yang berhubungan

    peralatan, tempat kerja dan lingkungan kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan.

    Tujuannya adalah melindungi hak keselamatan orang yang bekerja dan yang berada di

    tempat kerja, memelihara dan menggunakan sumber produksi secara aman dan efisien

    (Daryanto, 2007). Berdasarkan tujuan itu maka prinsip keselamatan kerja adalah

    berusaha semaksimal mungkin mencegah terjadinya kecelakaan dan terjadinya

    gangguan kesehatan bagi orang di tempat kerja dan lingkungannya.

    Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 (UU no.1/1970), yaitu pada

    pasal 2 ayat 2 poin p, menyatakan bahwa ruang lingkup tempat kerja termasuk tempat

  • 19

    dimana dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penelitian yang menggunakan

    alat teknis. Berdasarkan pasal tersebut, secara hukum kegiatan pendidikan dan

    pelatihan di SMK sudah dalam ruang lingkup undang-undang tersebut. Mengingat

    pula bahwa misi pendidikan di SMK adalah menyiapkan tenaga kerja dengan keahlian

    tertentu yang sesuai dengan dunia kerja, maka menjadi sangat penting untuk

    mempraktekkan juga aspek-aspek keselamatan dalam pembelajaran sebagaimana

    diamanatkan oleh UU no.1/1970 tersebut.

    Kegiatan belajar mengajar praktek di bengkel merupakan inti dari aktifitas

    kerja bengkel praktek. Pengalaman menunjukkan bahwa mutu pengajaran

    keterampilan sebagian besar bergantung pada pelaksanaan dan prinsip-prinsip

    pengelolaan yang efektif. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembelajaran

    dan sekaligus berkaitan erat dengan pengelolaan bengkel sebagai satu sarana adalah

    penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

    Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di bengkel sekolah mengacu kepada

    Undang-undang No.1 tahun 1970, beserta PP, Kepmen, dan berbagai regulasi yang

    diturunkan dari UU tersebut. Keselamatan kerja mencakup keselamatan dan

    keamanan pelaku (manusia), alat dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya

    kemungkinan kecelakaan pada waktu kegiatan di tempat kerja perlu ditanamkan

    kesadaran akan keselamatan kerja kepada semua pihak yang terlibat dalam

    pelaksanaan kegiatan di tempat kerja. Pengendalian keselamatan kerja menggunakan

    perangkat berupa Tata Tertib dan Petunjuk Keselamatan Kerja. Ketaatan terhadap tata

    tertib dan penggunaan alat yang benar akan memaksimalkan pencegahan

    kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kerusakan peralatan.

  • 20

    Menurut Daryanto (2001), secara umum kecelakaan kerja disebabkan oleh dua

    hal pokok yaitu kecerobohan (kelalaian) manusia dan kondisi tidak aman. Sementara

    Dessler (1997:311) mengemukaan pendapat yang hampir sama, bahwa alasan

    mendasar terjadinya kecelakaan ada tiga hal, yaitu kondisi yang tidak aman, perilaku

    tau tindakan tidak aman, dan sesuatu (kejadian) yang bersifat kebetulan. Kejadian

    yang bersifat kebetulan merupakan penyebab kecelakaan di luar kendali manajemen.

    Kondisi tidak aman (unsafe condition) merupakan salah satu bentuk bahaya di dalam

    lingkungan kerja. Seperti yang dinyatakan oleh Winarsunu (2008:15), bahwa bahaya

    (hazard) lebih merupakan faktor kondisi lingkungan yang tidak aman (unsafe

    condition) yang dapat menimbulkan bahaya.

    Dengan demikian hal utama yang harus dilakukan untuk mencegah kecelakaan

    kerja adalah bekerja secara aman (menghindari cara kerja yang ceroboh) dan

    mengatasi atau menghilangkan kondisi tidak aman di tempat kerja. Dua hal ini

    menjadi aspek utama dalam pelaksanaan K3 pada pembelajaran di bengkel TMO.

    1. Menghilangkan Kondisi tidak Aman

    Mengurangi/menghilangkan kondisi tidak aman merupakan aspek utama

    dalam usaha pencegahan kecelakaan kerja. Usaha ini melibatkan semua komponen

    yang terkait dengan operasionalisasi sebuah bengkel sekolah, yaitu pimpinan sekolah,

    ketua program, pengelola bengkel, guru, dan siswa. Usaha mengurangi atau

    menghilangkan kondisi tiak aman di bengkel merupakan kegiatan berkesinambungan

    yang dilakukan terus-menerus tanpa batasan waktu sepanjang bengkel digunakan

    beraktifitas.

    Pencegahan yang perlu dilakukan untuk menghindari kecelakaan antara lain

    mencakup hal-hal di bawah ini (Daryanto, 2001).

  • 21

    1. Peralatan yang digunakan secara umum dan frekuensi pemakaiannya cukup tinggi,

    serta peralatan yang sewaktu-waktu diperlukan segera agar ditempatkan ditempat

    yang strategis dan mudah dicapai (ember pasir, alat pemadam api, selimut tahan

    api, kotak PPPK, pelindung mata, dan sejenisnya),

    2. Tidak mengunci ruang kerja pada waktu kegiatan,

    3. Menyimpan bahan-bahan yang mudah terbakar di tempat yang khusus dan aman.

    Jauhkan dari nyala api, serta cahaya matahari secara langsung,

    4. Menyimpan bahan yang berbahaya atau beracun di tempat yang terkunci,

    5. Melengkapi tempat kerja dengan kran pusat untuk saluran air dan gas,

    6. Melengkapi tempat kerja dengan sakelar pusat untuk arus tenaga listrik dan

    sakelar darurat untuk pesawat/mesin yang digunakan di tempat kerja,

    7. Memastikan bahwa saluran gas, air dan listrik telah tertutup sebelum mening-

    galkan ruang kerja,

    8. Pemeriksaan rutin selang-selang penghubung kran gas yang menghubungkan

    antara tabung gas,

    9. Melarang siswa bermain, bergurau atau berlarian di ruang kerja,

    10. Memindahkan botol-botol besar yang berisi zat kimia dengan disangga pada

    bagian alasnya. Pemindahan dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang

    aman.

    11. Membawa atau memindahkan pipa-pipa dan kaca dengan posisi vertikal,

    12. Mengeringkan segera lantai yang basah karena zat cair,

    13. Menggantikan sekering dengan ukuran amper yang sama. Dilarang mengganti

    dengan ukuran yang lebih besar, lebih-lebih mengganti dengan cara bandrek,

    14. Tidak menambah atau membuat jaringan listrik tambahan.

  • 22

    Dalam usaha menghilangkan/mengurangi kondisi tidak aman di bengkel

    sekolah, guru ataupun fasilitator belajar praktek memegang posisi amat vital. Hal ini

    terkait dengan fungsi guru sebagai pengelola proses belajar. Sebagaimana dikatakan

    Winkel (1989), bahwa guru sebagai pengelola proses belajar harus mengambil

    tindakan-indakan intruksional untuk menciptakan kondisi-kondisi eksternal guna

    menunjang proses belajar yang dialami siswa. Hal yang hampir sama disampaikan

    oleh Usman (2007), salah satu peran guru adalah menyediakan dan menggunakan

    media dan fasillitas untuk mencapai hasil belajar yang baik.

    Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di bengkel sekolah mengacu pada K3

    yang diterapkan di dunia industri dan dunia usaha. Karena itu komponen yang

    mendukung pelaksanaan K3 otomotif di bengkel sekolah juga sedapat mungkin

    berorientasi pada apa yang berlaku di dunia industri. Komponen pelaksanaan K3

    otomotif di bengkel sekolah meliputi manajemen pengolaan, pedoman penggunaan

    alat atau pengoperasian perkakas (standard operational procedures), keselamatan

    kerja listrik, kerja yang berhubungan dengan bahan bakar, minyak pelumas, dan gas,

    alat pelindung diri (APD), alat pelindung mesin/perkakas, alat pemadam api ringan

    (APAR), alat pertolongan pada keadaan darurat (first aid emergency kit), dan

    ergonomi bengkel.

    a. Pengelolaan Bengkel

    Pengelolaan manajemen bengkel yang baik bertujuan mengatur efektivitas dan

    efisiensi bengkel dalam mencapai tujuan bengkel tersebut (Daryanto, 2007). Tujuan

    utama bengkel di sekolah adalah mendukung pencapaian tujuan pembelajaran.

    Dengan demikian keberadaan bengkel di sekolah mengacu pada tujuan program

    keahlian yang direncanakan dalam kurikulum sekolah. Aspek-aspek yang termasuk

  • 23

    dalam manajemen pengelolaan antara lain pengaturan tata letak perkakas dan per-

    alatan bengkel, penciptaan kondisi area kerja, dan penerapan berbagai peraturan yang

    berkaitan dengan jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan dalam pembejaran.

    b. Tata Letak Bengkel

    Pengaturan tata letak perkakas dan peralatan di dalam ruangan bengkel sangat

    penting guna menunjang fungsi bengkel secara keseluruhan. Tata letak (lay out) yang

    baik akan mempermudah intruksi karena sirkulasi orang dan barang lancar, membantu

    pekerja melaksanakan tugasnya, dan memberikan dukungan pada keselamatan dan

    kesehatan kerja (Daryanto,1982).

    Tata letak ini terkait dengan proses perencaaan bengkel. Menurut Daryanto

    (1982) dalam merencanakan fasilitas dan ruangan bengkel harus memperhatikan

    faktor-faktor yang telibat dalam kegiatan bengkel, yaitu manusia, alat dan perleng-

    kapan, bahan, serta proses yang akan dijalankan. Mengingat fungsi bengkel di sekolah

    adalah melayani kebutuhan pembelajaran, maka dalam merencana tata letak bengkel

    mempertimbangkan urutan belajar sebagaimana ditetapkan dalam kurikulum sekolah.

    Mengacu pada tujuan untuk menghasilkan tamatan yang siap kerja, maka bengkel

    diatur sedemikian rupa sehingga tata ruang dan tata letak alat menyerupai keadaan

    sebenarnya di dunia industri. Hala ini bermaksud membantu mengkondisikan siswa

    agar tidak canggung ketika nanti terjun ke dunia kerja (Daryanto, 1982).

    c. Kondisi Area Kerja/Belajar Praktek

    Penciptaan kondisi area kerja merupakan bagian penting dari fungsi

    manajemen pengolaan bengkel. Kondisi area kerja yang buruk, disamping dapat

    menjadi penyebab langsung terjadinya kecelakaan, juga dapat memicu terjadinya

  • 24

    tindakan atau perilaku tidak aman (unsafe act). Sebagaimana dinyatakan oleh

    Winarsunu (2008), bahwa faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya perilaku

    tidak aman adalah kondisi tempat kerja dan faktor personal.

    1) Pencahayaan (Penerangan)

    Penerangan di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting, demikian juga

    di bengkel sekolah. Moeadi (1982) mengatakan bahwa penerangan yang baik adalah

    yang memungkinkan orang yang berkerja dapat melihat obyek dan sekelilingnya

    dengan jelas tanpa menimbulkan kelelahan yang melebihi batas normalnya. Menurut

    Sumamur (1980), penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan

    seorang pekerja melihat pekerjaaanya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak

    perlu, serta menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan. Penerangan yang

    baik juga akan memberikan suasana nyaman dan memberi kesan menyegarkan

    (Daryanto, 1982). Ditambahkan juga bahwa penerangan yang baik ditentukan oleh

    sifat-sifatnya meliputi penyebaran luminasi, pencegahan kesilauan, arah sinar, warna,

    dan panas penerangan terhadap lingkungan.

    Dalam lingkup penerangan tempat kerja (bengkel), faktor penting dalam

    menciptakan penerangan yang baik adalah visibilitas dari benda. Visibilitas

    merupakan derajat keterlihatan (sifat terlihat) dari suatu obyek. Visibilitas seseorang

    terhadap suatu obyek dinyatakan sebagai perbandingan antara ukuran benda dan

    ukuran obyek terkecil yang dapat dilihat. Jika ukuran obyek terkecil yag dapat dilihat

    dinyatakan dengan Do, maka visibilitasnya adalah V= 1/Do (Sumamur,1980).

    Dijelasakan juga bahwa untuk dapat melihat dengan mudah, ukuran perbandingan

    harus minimal 2,5 Do. Tabel 2.1 menerangkan batas derajat visibilitas yang aman

  • 25

    untuk berkerja. Dengan demikian ukuran benda-benda (obyek) kerja sangat penting

    untuk menjadi pertimbangan dalam menciptakan penerangan di tempat kerja.

    Penerangan yang baik merupakan hal penting dalam penciptaan kondisi

    tempat kerja yang aman. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian di industri menyajikan

    fakta bahwa 15% sampai 25% dari kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh

    penerangan yang kurang baik (Daryanto, 1982). Penerangan tidak hanya memberi

    kontribusi pada keselamatan kerja tetapi juga kesehatan dan keadaan yang

    menyenangkan.

    Tabel 2.1 Derajat Visibilitas

    Sumber: Sumamur (1980)

    2) Sirkulasi Udara

    Sirkulasi udara ditempat kerja berkaitan erat dengan penciptaan iklim kerja

    yang baik. Iklim kerja merupakan keadaan lingkungan kerja yang ditentukan oleh

    perpaduan antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan aliran udara, dan suhu

    radiasi (Santoso, 2004). Kondisi iklim kerja akan menentukan tingkat tekanan panas

    (heat stress) yang diterima tubuh manusia di tempat kerja. Ventilasi umum merupa-

    kan salah bentuk pengendalian iklim kerja di samping teknik isolasi dan pengkon-

    disian udara.

    Pengendalian udara yang ke luar lingkungan kerja juga perlu dilakukan.

    Sumamur (1980) menyatakan, udara yang keluar dari dari ventilasi bengkel ke

    Perbandingan ukuran Visibilitas

    2,5 dan lebih

    1 2,5

    Lebih kecil dari 1

    Melihat dengan mudah

    Perlu upaya kontinu

    Tidak terlihat

  • 26

    lingkungan bebas harus diusahakan bersih. Untuk udara yang mengandung pencemar

    berupa gas atau uap dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (1) membakar bahan

    tersebut, bila perlu digunakan katalisator agar terjadi pembakaran sempurna, (2)

    mencuci (scrubbing method), yaitu dengan mengalirkan udara melalui air atau larutan

    tertentu yang mampu bereaksi mengikat kotoran yang dikandung udara. Untuk udara

    yang mengandung debu atau aerosol, pemersihan dilakukan dengan cara; (1) kamar

    pengendap (settling chamber), memberi medium bagi partikel-partikel dari udara

    untuk mengendap di ruang tersebut sebelum dialirkan ke luar, (2) perangkap

    kelembaban (inertial trap), yang akan membelokkan arah aliran udara sehingga

    partikel-pertikel debu tertingal di saluran, (3) teknik cyclone, membuat saluran udara

    melingkar sehingga partikel-partikel debu melekat di dinding saluran, (4) presipirator

    dinamis, memasang semacam baling-baling sehingga partikel-partikel terhempas dan

    terkumpul di sekitar baling-baling, (5) saringan, biasanya berupa kantung berisi

    cabikan bahan kain wol, nylon, asbes, katun, sutra dan lain-lain yang bisa menahan

    debu dari udara, (6) presitipasi listrik, yaitu pengendapan debu karena adanya

    perbedaan tegangan antara dua pool.

    3) Kebersihan

    Bengkel yang bersih dan rapi akan mendukung pelaksanaan kerja, memper-

    mudah pelayanan dan menjamin keselamatan kerja (Maran, 2007). Semua peralatan

    dan perabot yang beradad didaerah kerja ditempatkan sesuai dengan ketententuan

    dalam kondisi bersih dan siap pakai. Kebersihan dan kerapian (keteraturan)

    penempatan fasilitas, selain demi kelancaran pekerjaan juga untuk menghindarkan

    kondisi bahaya (Daryanto, 2007). Oleh sebab itu sebagai tempat kerja bengkel harus

  • 27

    terjaga kebersihan dan kerapiannya. Kebersihan tempat kerja juga mencakup

    kebersihan dan kerapian alat, perkakas, dan fasilitas kerja yang yang ada di dalamnya.

    d. Ergonomi

    Ergonomi adalah hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana mendesain

    tugas-tugas agar sesuai dengan orang yang melakukannya. Ergonomi mencakup

    penyesuaian alat-alat, produk, situasi tempat kerja dengan kemampuan dan

    keterbatasan manusia (Winarsunu, 2008). Ergonomi yang merupakan pendekatan multi

    dan interdisiplin yang berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap

    kemampuan kebolehan dan batasan tenaga kerja sehingga tercipta kondisi kerja yang sehat,

    selamat, aman, nyaman dan efisien (Sutjana, 2006); (Asfahll, 2004); Sumamur (1994).

    Dalam hal ini ergonomi juga berupaya menciptakan kesehatan dan keselamatan kerja bagi

    tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan produktivitas kerjanya. Tujuan ergonomi dan K3

    hampir sama yaitu untuk menciptakan kesehatan dan keselamatan kerja. Oleh karena itu

    ergonomi dan K3 perlu diterapkan di semua tempat kerja untuk meningkatkan kesehatan dan

    keselamatan kerja tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja tenaga kerja (Sutjana,

    2006).

    Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian tugas

    pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia ialah untuk menurunkan stress yang akan

    dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan

    dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban

    bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia. Penerapan Ergonomi di

    tempat kerja bertujuan agar pekerja saat bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman,

    selamat, produktif dan sejahtera.

  • 28

    Ergonomika memberikan prinsip-prinsip penting dalam upaya mencapai

    tujuannya. Menurut Winarsunu (2008), prinsip ergonomi mencakup 2 hal pokok yaitu

    prinsip fisik dan prinsip kognitif. Aspek fisik berkaitan dengan ukuran-ukuran alat,

    tugas, jarak dan ketinggian alat terhadap orang (operator). Sedangkan aspek kognitif

    berkaitan dengan kerja dari fungsi-fungsi individu terhadap stimulus tertentu.

    Berdasarkan gambaran yang dipaparkan Winarsunu (2008), penulis mengikhtisarkan

    prinsip ergonomika seperti pada tabel 2.2.

    Melaui penerapan prinsip-prinsip ergonomi diharapkan memperoleh kemung-

    kinan yang lebih besar dalam mengurangi kecelakaan dan dampak negatif dari

    bekerja, mengurangi biaya, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan.

    Tabel 2.2 Prinsip Pelaksanaan Ergonomi

    Prinsip Fisik Prinsip Kognitif

    - Segala sesuatu harus mudah dijangkau - Berkerja pada ukuran ketinggian yang nyamman

    - Bekerja pada posisi postur yang nyaman

    - Menghindari penggunaan tenaga yang berlebihan

    - Memperkecil kelelahan - Mengurangi gerakan repetitif yang berlebihan

    - Memudahkan akses dan keluasan ruangan

    - Memiminimalisasi kontak dengan sumber stress

    - Memberi kemungkinan postur tubuh dapat bergerak dan berubah dengan mudah

    - Mengusahakan lingkungan kerja nyaman

    - Mempunyai aturan baku (terstandar) - Berdasar pada stereotipe manusia - Kesesuaian antara tindakan dan

    persepsi - Informasi dipresentasikan secara

    sederhana - Informasi disajikan sesuai detail yang

    dibutuhkan - Pesan disajikan dengan gabar yang jelas - Satu pesan digunakan beberapa media - Berdasarkan bentuk dengan pola

    tertentu - Stimulus yang berubah-ubah (bergerak)

    lebih diperhatikan - Pemberian umpan balik (feedback)

    sesegera mungkin

    Berdasarkan Winarsunu (2008)

  • 29

    e. Komunikasi Bahaya (Hazard Communication)

    Pada awalnya, komunikasi bahaya (hazard communication) diutamakan bagi

    peredaran bahan-bahan kimia. Seperti dikatakan oleh Wentz (1998:240), the intent

    of hazard communication standard is to provide employers and employees with

    chemical hazard information and appropriate protective measures. Standar yang

    ditetapkan mengharuskan produsen dan importir untuk memasang label Material

    Safety Data Sheet (MSDS) pada setiap kemasan bahan kimia yang didistribusikan

    (Asfhal, 2004:105). Material Safety Data Sheet (MSDS) adalah suatu informasi bahan

    kimia yang berisi penjelasan tentang sifat fisik dan kimia, bahaya yang dikandung,

    batas penggunaan, cara penanganan yang aman, dan tindakan pertolongan pertama.

    Dalam perkembangannya, penerapan komunikasi bahaya meluas meliputi

    tidak hanya bahan (material) melainkan juga peralatan dan area kerja. Komunikasi

    bahaya adalah cara untuk menunjukkan bahwa suatu benda atau area mengandung

    bahaya tertentu (Kustono dkk, 2007). Cara pelaksanaan komunikasi bahaya terdiri

    atas (1) lisan, dengan cara pemberitahuan ataupun memalui pelatihan; (2) tulisan,

    berupa Lembar Data keselamatan Bahan (LDKB/ MSDS), brosur dan poster; (3)

    visual yaitu berupa label, tanda, dan rambu. Petunjuk adanya suatu jenis bahaya

    diharapkan setiap orang yang berada di area kerja atau yang akan melakukan

    pekerjaan dapat mengantisipasi dengan langkah pencegahan, misalnya penggunaan

    alat pelindung diri.

    2. Bekerja Secara aman

    Seringkali kecelakaan bersumber pada manusia (pekerja) yang melakukan

    pekerjaannya dengan cara yang tidak aman atau bekerja dengan cara ceroboh.

    Menurut Santoso (2004: 11), antara 80% sampai 85% kecelakaan disebabkan oleh

  • 30

    faktor manusia. Khan dkk. (2005) yang mengukutip laporan Webber dan Wallin

    menyatakan bahwa dari 156 kasus kecelakaan kerja selama kurun waktu 3 tahun

    disebabkan oleh 91% tindakan tidak aman (unsafe act) dan hanya 7% karena kondisi

    tidak aman. Beberapa contoh tindakan tidak aman dalam bekerja yang diidentifikasi

    oleh Dessler (1997) antara lain:

    a. Menempatkan/membuang bahan-bahan tidak pada tempatnya,

    b. melakukan pekerjaan dalam kecepatan yang terlalu lambat atau terlalu cepat,

    c. mengubah atau melepas peralatan keselamatan sehingga alat tersebut tidak

    berfungsi,

    d. menggunakan peralatan secara tidak benar (tidak sesuai dengan peruntukanya),

    e. Melakukan pekerjaan dengan prosedur yang salah,

    f. Mengambil posisi yang tidak benar terhadap alat, perkakas, atau obyek kerjanya,

    g. Pikiran yang kacau, emosi yang terganggu.

    Selain beberapa indikasi tersebut, Daryanto (2001) menambahkan bahwa perilaku

    bercanda (bekerja sambil bersendau gurau) juga merupakan tindakan yang membaha-

    yakan di bengkel kerja teknik otomotif.

    Tindakan tidak aman secara umum disebabkan oleh tiga hal (Daryanto, 1988),

    yaitu sikap tidak peduli atau masa bodoh, tidak tahu, dan tidak sanggup. Sikap tidak

    peduli ditunjukkan dengan tidak adanya atau kurang perhatian yang cukup terhadap

    pekerjaan atau tugasnya. Orang yang tidak tahu dikarenakan tidak mempunyai

    pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk bekerja secara aman. Pekerja dapat

    disebut tidak sanggup bila tidak mempunyai kemampuan fisik dan mental untuk

    melakukan pekerjaan secara aman.

  • 31

    Dengan memahami cara-cara bekerja yang tidak aman diharapkan dapat

    dikembangkan dan dibiasakan untuk menjalankan pekerjaan dengan cara-cara yang

    aman. Berorientasi pada kebutuhan indutri, Dessler (1998) seorang ahli manajemen

    sumber daya manusia menyarankan beberapa cara untuk menngurangi tindakan aman

    (unsafe act) yaitu melalui (1) seleksi dan penempatan, (2) melakukan propaganda cara

    kerja (prilaku kerja) yang aman, memberikan dorongan positif, melakukan pelatihan,

    dan (3) membangun komitmen yang baik di tingkat manajemen tentang budaya kerja

    aman/selamat. Hal kedua dan ketiga berkaitan langsung dengan fungsi pembelajaran

    di SMK Teknologi khususnya pada pembelajaran praktek di bengkel sekolah.

    Mengingat tujuan SMK adalah menghasilkan tenaga dengan kompetensi tententu,

    maka membangun pemahaman dan kesadaran siswa tentang keselamatan dan

    kesehatan kerja haruslah mendapat tempat yang utama seiring proses pembekalan

    berbagai keahlian pada siswa. Guru harus mampu menjalankan peran sebagai pemberi

    dorongan dan pembangun konmitmen pada diri siswa untuk membiasakan cara-cara

    kerja yang aman.

    C. Pemahaman Guru tentang K3 pada Pembelajaran TMO

    Menurut kamus, kata pemahaman berasal dari kata dasar paham yang

    berarti mengetahui atau mengerti akan sesuatu, tahu benar, mengerti secara benar.

    Sedangkan Djaali (2007) yang mengutip taksonomi Bloom memberi definisi,

    pemahaman (comprehension) adalah kemampuan untuk meginterpretasi atau

    mengulang informasi dengan menggunakan bahasa sendiri. Dalam tahapan belajar

    taksonomi Bloom, pemahaman berada pada level di atas pengetahuan (knowledge),

    yaitu kemampuan untuk mengafal, mengingat, mengulang informasi yang telah

    diterima. Berdasarkan pengertian di atas, pemahaman guru tentang K3 di bengkel

  • 32

    otomotif sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan guru mengetahui, mengingat,

    dan mengintepretasikan secara benar unsur-unsur K3 di dalam pelaksanaan

    pembelajaran praktek di bengkel otomotif SMK untuk Program Keahlian Teknik

    Mekanik Otomotif.

    Pemahaman guru mata diklat produktif di SMK tentang K3 merupakan bagian

    penting dalam pelaksanaan tugas profesinya. Sebagaimana dikatakan oleh Usman

    (2007:7) tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.

    Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar adalah

    meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melatih berarti

    mengembangkan ketrampilan (skill) siswa. Tiga tugas profesi tersebut menjadi satu

    kesatuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Dengan kemampuan

    menginterpretasi terhadap K3 diharapkan guru dapat mengaplikasikan unsur-unsur K3

    dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai

    dan mengevaluasi hasil pembelajaran.

    Dengan demikian pemahaman guru tentang K3 dapat artikan sebagai

    kemampuan guru dalam mengetahui unsur-unsur K3 dan menginteprestasi

    pengetahuan itu ke dalam pembelajaran Teknik Mekanik otomotif.

    Berdasarkan tentang komponen K3 di dalam pelaksanaan pembelajaran

    praktek sebagaimana telah diuraikan di atas, Pemahaman guru mengenai unsur-unsur

    K3 juga dikonsentrasikan pada dua aspek utama yaitu mengurangi/menghilangkan

    kondisi tidak aman dan bekerja secara aman. Pemahaman guru tentang dua aspek

    dijabarkan sebagai berikut.

    1. Aspek mengurangi/menghilangkan kondisi tidak aman, mencakup pemahaman

    guru tentang:

  • 33

    a. Peraturan-peraturan (regulasi) Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang

    berlaku,

    b. Prinsip dan tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja,

    c. Kondisi bahaya/potensi bahaya dari suatu alat dan bahan di tempat kerja,

    d. Faktor ergonomi yang baik dari suatu area kerja, alat/perkakas kerja,

    e. Pengaturan kondisi tempat kerja yang aman.

    2. Aspek bekerja secara aman, pemahaman guru meliputi:

    a. Mengetahui prosedur penggunaan alat/perkakas kerja yang benar,

    b. Jenis, fungsi, dan cara pemakaian alat-alat pelindung diri,

    c. Penggunaan tanda-tanda petunjuk/peringatan pada tempat kerja dan

    alat/perkakas kerja untuk keselamatan.

    d. Penggunaan alat pengaman (pelindung) pada mesin.

    D. Sikap Guru terhadap K3

    1. Pengertian Sikap

    Sikap guru di sini adalah meliputi sikap seorang guru secara individu yang

    berkaitan dengan pelaksanaan K3 di dalam pembelajaran praktek. Sikap guru

    dipahami penulis dari dua sudut pandang, yaitu guru sebagai pribadi dan sebagai

    pengemban profesi.

    Banyak kajian dilakukan untuk merumuskan pengertian sikap, proses

    terbentuknya sikap, maupun proses perubahannya. Berdasarkan berbagai definisi

    tentang sikap, Azwar (1995) mengelompokkan pengertian sikap ke dalam tiga

    kerangka berfikir. Pertama, pemikiran yang menyatakan sikap adalah suatu bentuk

    evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung

    atau memihak (favorable) dan perasaan tidak mendukung atau tidak memihak

  • 34

    (unfavorable) pada objek tersebut. Pemikiran ini dimotori oleh para ahli psikologi

    diantaranya Louis Thurstone, Rensis Linkert, dan Charles Osgoon. Kedua, sikap

    merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara

    tertentu. Definisi yang lebih jelas dikatakan, sikap sebagai suatu pola perilaku,

    tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi

    sosial. Dengan kata lain, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah

    dikondisikan. Ketiga, pemikiran yang berorientasi pada skema triadik (triadic

    scheme). Menurut kerangka pikiran ini, sikap adalah konstelasi komponen-komponen

    kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan,

    dan berperilaku terhadap suatu objek. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran ini

    oleh para ahli disebut sebagai pendekatan tricomponent.

    Lebih singkat dan jelas, definisi diberikan oleh Calhoun dan Acocella

    (1995:315) bahwa sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat

    tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut

    dengan cara tertentu. Dari definisi tersebut terlihat adanya tiga komponen di dalam

    sikap yaitu keyakinan (kognitif), perasaan (emosi), dan perilaku (tindakan).

    Sejalan dengan pemikiran yang ketiga di atas, Azjen dalam Winarsunu (2008),

    menyatakan bahwa respon sikap dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu kognitif,

    afektif, dan konatif. Respon kognitif ialah respon yang menggambarkan persepsi dan

    informasi tentang suatu objek sikap. Respon afeksi merupakan respon yang

    menggambarkan penilaian dan perasaan terhadap objek sikap. Respon konasi

    menunjukkan kecenderungan perilaku, intensi, komitmen dan tindakan yang

    berhubungan dengan objek sikap.

  • 35

    Sedangkan Jalaluddin Rakhmat dalam Setiawan (2008), mengemukakan lima

    pengertian sikap, yaitu: Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak,

    berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai.

    Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan

    cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang,

    tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Kedua, sikap mempunyai daya penolong

    atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan

    apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai,

    diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa

    yang harus dihindari. Ketiga, sikap lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan sikap

    politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan.

    Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai

    menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman

    tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat

    diperteguh atau diubah.

    Dari pemahaman di atas, terdapat tiga komponen sikap, yaitu kognitif,

    afektif, dan konatif. Kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa

    yang diketahui manusia. Menurut kamus kognisi adalah proses memperoleh

    pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri (Depdikbud,

    1996). Afektif merupakan aspek emosional yang erat kaitannya perasaan

    seseorang terhadap suatu obyek. Sejalan dengan pengertian itu, Aswar (1995)

    menjelaskan bahwa afeksi merupakan perasaan negatif atau positif terhadap suatu

    objek. Sedangkan konasi adalah aktivitas psikis yang terarah pada pemenuhan suatu

    kebutuhan yang dapat dihayati dalam kegiatan belajar (Winkel, 2004). Penghayatan

  • 36

    akan kebutuhan itu dapat menimbulkan dorongan untuk bertindak sesuatu memenuhi

    kebutuhannya. Dengan kata lain, komponen konatif adalah aspek vokasional,

    yang berhubungan dengan dorongan dan kemauan bertindak.

    Winkel (2004:382) memberi pengertian, sikap adalah kecenderungan untuk

    menerima atau menolak sesuatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek

    tersebut. Dalam membuat keputusan guna menerima atau menolak terhadap obyek

    tertentu harus melalui penilaian yang cermat dan matang. Keputusan untuk

    menerima atau menolak hasil penilaian terhadap obyek itu sebagai hal yang

    berguna/berharga atau tidak berguna/tidak berharga.

    Sikap merupakan organisasi keyakinan yang bersifat relatif terhadap objek

    atau situasi untuk merespon sesuatu secara khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh

    Rokeach (1980:112), "An attitude is a relatively enduring organization of beliefs

    around an object or situation predisposing one to respond in some preferential

    manner". Seseorang yang bersikap terhadap sesuatu, merupakan respon dari

    keyakinan yang dimiliki baik yang disukai maupun tidak disukai selama waktu

    tertentu. Keyakinan seseorang terhadadap suatu objek tertentu sangat menentukan

    sikap dia terhadap objek tersebut.

    2. Sikap Guru terhadap K3

    Guru sebagai sebuah profesi memberikan konsekuensi logis kepada individu-

    individu pengemban profesi itu untuk mengembangkan sikap profesionalnya. Sikap

    profesional guru merupakan sikap yang berkaitan dengan tugas profesi guru dalam

    proses pendidikan dan pembelajaran. Soetjipto dan Kosasi (2007), memberikan

    pengertian bahwa sikap profesional guru berkaitan dengan bagaimana pola tingkah

    laku guru dalam memahami, menghayati dan mengamalkan sikap kemampuan dan

  • 37

    sikap profesionalnya. Pola tingkah laku itu berhubungan dengan sasarannya, yaitu

    sikap profesional terhadap: (1) peraturan perundangan-undangan, (2) organisasi

    profesi, (3) teman sejawat, (4) anak didik, (5) tempat kerja, (6) pemimpinnya, dan (7)

    pekerjaan.

    Berkaitan dengan tugas profesi guru, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005

    (UU 14/2005) tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 menyebutkan bahwa guru

    adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

    mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

    anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

    Pasal 20 UU 14/2005 memberi perincian tentang kewajiban guru, yaitu dalam

    melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (1) merencanakan pembe-

    lajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan meng-

    evaluasi hasil pembelajaran; (2) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi

    akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu

    pengetahuan, teknologi, dan seni; (3) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas

    dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau

    latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

    (4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru,

    serta nilai-nilai agama dan etika; dan (5) memelihara dan memupuk persatuan dan

    kesatuan bangsa.

    Sikap guru terhadap K3 merupakan sikap yang terintegrasi dalam konteks

    pelaksanaan tugas dan tanggungjawab profesi. Dengan demikian sikap guru terhadap

    unsur-unsur K3 akan tercermin di dalam pelaksanaan pembelajaran praktek di

    bengkel TMO oleh guru tersebut. Sikap tersebut merupakan respon individu dari

  • 38

    seorang guru terhadap penerapan unsur-unsur K3 pada pembelajaran. Dalam hal ini,

    sikap guru dihadapkan pada objek berupa pelaksanaan K3 pada pembelajaran

    tercakup dalam dua aspek utama yaitu menghilangkan/ mengurangi kondisi tidak

    aman dan bekerja secara aman. Bertolak dari dua aspek tersebut, dalam rangka maka

    sikap guru tterhadap pelaksanaan unsur K3 terkait dengan kondisi tempat kerja

    (bengkel), kondisi peralatan bengkel, prosedur kerja, serta peralatan keselamatan dan

    alat pelindung diri.

    Guru diharapkan memberi perhatian yang positif kepada tata letak bengkel

    yang ergonomis, peduli pada kebersihan tempat kerja dan lingkungannya, peduli

    pada pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik di tempat kerja. Sedangkan

    menyangkut kondisi peralatan, guru harus memperhatikan kondisi kelayakan

    alat/perkakas yang akan dipakai bekerja, memberi perhatian pada kelayakan dan

    keamanan pengkabelan listrik/ sumber tenaga untuk alat dan perkakas otomotif yang

    digunakan pembelajaran, serta perhatian pada penempatan alat dan bahan secara

    aman di tempat kerja. Sikap guru terkait dengan aspek bekerja secara aman dapat

    ditunjukkan melalui dukungannya terhadap; (1) tersedianya alat pelindung diri untuk

    jenis pekerjaan tertentu sesuai dengan prosedur standar, (2) memerintahkan siswa

    untuk memakai alat pelindung sesuai dengan jenis pekerjaanya, (3) memastikan

    adanya prosedur kerja secara aman sesuai dengan petunjuk penggunaan

    alat/perkakas, (4) memerintahkan siswa untuk bekerja sesuai dengan prosedur yang

    ditentukan/ sesuai prosedur standar, (5) mengingatkan/menegur siswa bila lalai

    terhadap faktor keselamatan selama proses belajar berlangsung, (6) memberi

    petunjuk secara jelas dan benar kepada siswa tentang cara kerja yang aman, (7)

  • 39

    mendampingi dan memperhatikan proses belajar praktek yang dilakukan siswa di

    bengkel.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap guru terhadap K3

    adalah respon individu guru berupa pernyataan setuju atau tidak setuju terhadap

    pelaksanaan unsur-unsur K3 pada pembelajaran praktek di bengkel TMO dua aspek

    utama yaitu menghilangkan/mengurangi kondisi tidak aman dan bekerja secara aman.

    3. Pengukuran Sikap Guru

    Bertolak dari pengertian sikap yang telah diuraikan di atas maka untuk

    melakukan pengukuran sikap guru terhadap K3 dengan cara mengukur taraf kognitif,

    afektif dan konatif terhadap keselamatan dan kesehatan kerja di dalam pembelajaran

    yang dilaksanakan guru (Reamer dalam Winarsunu, 2008:71). Indikasi tinggi

    rendahnya sikap terhadap keselamatan kerja dapat dilihat dari keputusan untuk

    mendukung atau tidak mendukung penerapan aspek-aspek K3 di dalam proses

    pembelajaran yang dilaksanakan guru.

    Menurut Suryabrata (2002:182), sikap merupakan atribut psikologis karena itu

    hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui respons yang ditampilkan oleh

    subjek yang dihadapkan kepada stimulus. Instrumen pengukur sikap dikembangkan

    berdasar skema pada gambar 2.1.

    Perangsang Orang

    Respons

    Gambar 2.1. Skema pengembangan skala

    (Suryabrata, 2002)

  • 40

    Metode pengungkapan sikap yang paling dapat diandalkan adalah dengan

    menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu yang

    disebut sebagai skala sikap (Azwar, 1995:95). Skala sikap berupa kumpulan

    pernyataan mengenai suatu objek sikap. Respon individu terhadap pernyataan-

    pernyataan sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju itulah yang menjadi

    indikator sikap seseorang (Azwar, 1995:96).

    E. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

    Kustono (2003) dalam laporan penelitiannya yang berjudul Perserpsi Pekerja

    Mekanik di Industri terhadap ungkapan Mengutamakan Keselamatan Kerja:

    Penelitian Kuantitatif di Kota serta Kabupaten Malang dan Blitar menunjukkan fakta

    adanya pemahaman yang kurang tepat terhadap ungkapan Mengutamakan

    Keselamatan Kerja. Penelitian tersebut memberikan informasi bahwa para pekerja

    mekanik di industri relatif mempunyai pengertian yang sama terhadap ungkapan

    Mengutamakan Keselamatan Kerja, yaitu sebagai tindakan berhati-hati dalam

    bekerja, tidak ceroboh, mentaati aturan, dan menggunakan alat kerja yang sesuai.

    Padahal yang benar Mengutamakan Keselamatan Kerja diartikan sebagai

    kecenderungan untuk memilih kondisi atau keadaan yang bebas dari penyebab

    terjadinya kecelakaan, luka, atau kerugian dibandingkan kecenderungan lain. Memilih

    kondisi yang aman (bebas dari penyebab kecelakaan) membawa konsekuensi

    menomor-duakan alternative tindakan yang lain (Kustono, 2003).

    Adiratna dan kawan-kawan (2003) yang melakukan penelitian tentang

    pelaksanaan K3 di perusahaan dalam Wilayah Kota Yogyakarta. Hasil penelitian ini

    menyimpulkan bahwa K3 di perushaaan-perusahaan belum dilaksanakan sepenuhnya

    dengan salah satu penyebabnya adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman tenaga

  • 41

    kerja tentang K3 masih rendah. Sedangkan penelitian Lowrence dalam Winarsunu

    (2008) menyimpulkan bahwa tipe kesalahan yang paling dominan yang menimbulkan

    kecelakaan kerja adalah kegagalan dalam memahami dan mempersepsi peringatan

    terhadap bahaya dan sikap memandang remeh bahaya (underestimations of hazards).

    Indikator lain ditunjukkan oleh Kardjani (1995) dengan hasil penelitiannya yang

    menyimpulkan adanya pengaruh signifikan antara sikap, minat, partisipasi dengan

    pengetahuan dalam pelaksanaan keselamatan kerja las bagi tenaga kerja las di Kodya

    Malang. Akbar ( 2007), meneliti pengaruh tingkat pemahaman manajemen resiko dan

    manajemen keselamatan kerja oleh manajer konstruksi terhadap peningkatan kinerja

    waktu dan biaya pelaksanaan proyek berkesimpulan bahwa dalam pelaksanaan proyek

    Konstruksi, terjadi keterkaitan (hubungan antar ilmu pengetahuan) aspek dari

    knowledge area (risk management dan Safety management), yang harus diaplikasikan

    dalam tahap Pelaksanaan Proyek, dan harus dikuasai/dipahami oleh Manajer

    Konstruksi, untuk meningkatkan kinerja proyek, dalam hal ini adalah kinerja biaya

    dan kinerja waktu.