BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini akan membahas tentang ...

29
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini akan membahas tentang perilaku prososial. Ada beberapa dimensi-dimensi dan juga faktor-faktor yang menjadi prediktor bagi perilaku prososial khususnya dikalangan siswa serta bagaimana pengaruh pola asuh authoritative dan kecerdasan emosional yang menjadi prediktornya. 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku Prososial adalah tindakan yang memberikan keuntungan pada pihak lain yang terdiri dari berbagi, menyumbang, dukungan emosional atau belarasa, pertolongan dan kesediaan diri untuk membantu. (Fabes & Eisenberg, 1998). Ahli lain yang sepaham dengan Eisenberg mengatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang memberikan keuntungan pada pihak lain tanpa harus menghasilkan keuntungan bagi pelaku prososial, bahkan dalam kondisi tertentu bisa mendatangkan resiko bagi yang melakukan tindakan itu (Baron & Byrne, 2006). Perilaku Prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain, dermawan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, adalah bentuk-bentuk perilaku prososial yang sangat jelas (Eisenberg et al., 1995). Ada tiga indikator untuk mengukur suatu perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku prososial yaitu: Pertama, tindakan prososial berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan dari pihak pelaku; Kedua, tindakan itu dilakukan secara sukarela, dan Ketiga, tindakan itu menghasilkan kebaikan bagi penerimanya.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini akan membahas tentang ...

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab II ini akan membahas tentang perilaku prososial. Ada

beberapa dimensi-dimensi dan juga faktor-faktor yang menjadi

prediktor bagi perilaku prososial khususnya dikalangan siswa serta

bagaimana pengaruh pola asuh authoritative dan kecerdasan emosional

yang menjadi prediktornya.

2.1 Perilaku Prososial

2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial

Perilaku Prososial adalah tindakan yang memberikan keuntungan

pada pihak lain yang terdiri dari berbagi, menyumbang, dukungan emosional

atau belarasa, pertolongan dan kesediaan diri untuk membantu. (Fabes &

Eisenberg, 1998).

Ahli lain yang sepaham dengan Eisenberg mengatakan bahwa

perilaku prososial adalah suatu tindakan yang memberikan keuntungan pada

pihak lain tanpa harus menghasilkan keuntungan bagi pelaku prososial,

bahkan dalam kondisi tertentu bisa mendatangkan resiko bagi yang

melakukan tindakan itu (Baron & Byrne, 2006).

Perilaku Prososial mempunyai maksud untuk menyokong

kesejahteraan orang lain, dermawan, persahabatan, kerjasama, menolong,

menyelamatkan, adalah bentuk-bentuk perilaku prososial yang sangat jelas

(Eisenberg et al., 1995).

Ada tiga indikator untuk mengukur suatu perilaku dapat

dikategorikan sebagai perilaku prososial yaitu: Pertama, tindakan prososial

berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan dari pihak pelaku;

Kedua, tindakan itu dilakukan secara sukarela, dan Ketiga, tindakan itu

menghasilkan kebaikan bagi penerimanya.

14

Berdasarakan definisi dan batasan para ahli tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa Perilaku Prososial adalah segala bentuk perilaku positif

yang memberikan ssuatu manfaat bagi penerima, baik dalam bentuk materi,

fisik ataupun psikologis serta memberi keuntungan pada orang lain atau

dirinya sendiri.

2.1.2 Teori Perilaku Prososial

Teori Perilaku Prososial bisa dilihat dari sudut pandang teori

psikoanalisis, teori behaviorism and social learning dan teori perkembangan

kognitif. Dalam perkembangan berikutnya teori prososial dilihat sebagai

pengertian pemikiran yang berkaitan dengan sosialisasi (Staub,1979),

sosialisasi (Grusec & Goodnow, 1994), dan empati (Hoffman, 2001).

Dilihat dari konsep teori maupun hasil temuan empiris di lapangan

ditemukan bahwa Perilaku Prososial dan empati sudah ada pada anak-anak

sejak awal kehidupannya. Hoffman et al. (2001) telah menguji

perkembangan Perilaku Prososial dan empati dengan cara mendapatkan

respon yang diberikan oleh anak-anak. Respon yang diberikan oleh bayi dan

anak-anak dikategorikan dalam beberapa jenis yaitu: respon afeksi, respon

kognisi, respon self-awareness, respon self-diferentiation yang mengarah

kepada Perilaku Prososial. Secara khusus Hofman mencatat melalui tahapan

usia perkembangan bayi dan anak perilaku prososial dapat dilihat dari self-

concern yang mampu memberikan respon terhadap distress orang lain lalu

membawanya kepada empathic concern.

Mengacu kepada penelitian Hoffman (2001) yang mengatakan bahwa

Perilaku Prososial sudah ada sejak awal usia kehidupan manusia, maka

Eisenberg & Lennon (1983) menemukan data empiris berkaitan usia

perkembangan perilaku prososial pada bayi dan anak-anak sampai usia

dewasa. Pada usia 6 bulan, bayi akan ikut menangis ketika bayi didekatnya

menangis. Pada usia 38 sampai 61 minggu, bayi mampu memberikan reaksi

15

dalam bentuk menangis yang bersifat distress sebagai tanggapan atas

tangisan bersifat distress yang ada di sekelilingnya. Bahkan bayi juga

sanggup memberikan reaksi afeksi yang positif yang ada di sekelilingnya

dengan cara senyum dan tertawa (Yarrow et al.,1983). Pada usia 12 sampai

18 bulan bayi sanggup memberikan reaksi terhadap distress orang lain

dengan memberikan reaksi negatif. Bayi juga mapu memberikan concern

attention dan perilaku prososial dengan memberikan kontak yang positif dan

ungkapan verbal (Waxler and Robinson, 1995).

Pada awal kehidupan anak-anak menunjukkan perilaku prososial

yang bersifat egocentris dan unsympathetic reaction seperti tertawa,

meronta, menagis (Yarrow et al., 1983). Hoffman (2001) mengatakan bahwa

perilaku prososial berkaitan dengan perkembangan kognitif. Pada fase anak-

anak, perilaku prososial berkaitan dengan pengenalan akan dirinya sendiri.

Anak-anak juga mampu mengerti mengapa orang lain mengalami kesusahan.

Pada usia 2 sampai 5 tahun, perkembangan kognitif mereka sudah memiliki

relasi dengan perilaku prososial. Fabes & Eisenberg (1998) mengatakan

bahwa pada usia 3 sampai 6 tahun perilaku prososial anak-anak berkaitan

dengan teman sebaya terutama di sekolah. Anak-anak yang belum

bersekolah berperilaku prososial lebih rendah dibanding dengan anak-anak

yang sudah bersekolah. Pada usia Sekolah Dasar yaitu antara 6 sampai 12

tahun anak-anak sudah memiliki stabilitas perilaku prososial yang mantab

hal ini berkaitan dengan perkembangan kognisi mereka yang bersifat

independen.

Pada usia remaja perilaku prososial cenderung lebih meningkat

dibandingkan dengan perilaku prososial mereka pada waktu masih anak-anak

usia 7 sampai 12 tahun (Fabes & Eisenberg, 1998). Selain itu Bandura juga

menggunakan teori belajar tradisional, yaitu hampir semua tingkah laku

manusia dipelajari serta dibentuk dari peristiwa yang terjadi di lingkungan.

16

Konsep penting dalam teori Bandura yaitu observational learning.

Observational learning merupakan proses dimana individu mengintimidasi

apabila mengikuti model, masuk dalam pikiran mengenai apa yang telah

diobservasi, serta dapat mengartikan secara fisik perilaku yang telah

diobservasi, sehingga memiliki motivasi untuk melakukan hal yang sama

dengan apa yang telah diobservasi tersebut (Eisenberg & Mussen, 1989).

Selain itu Eisenberg & Mussen, (1989) menggunakan teori Bandura

bahwa faktor kognitif internalmengambil keputusan untuk bertindak sangat

memengaruhi individu dalam. Individu secara simbolis dapat memanipulasi

informasi yang didapatkan dari pengalaman sehingga mampu untuk

menghasilkan pengetahuan baru. Aktivitas kognitif dapat mengarahkan serta

mengatur tingkah laku individu. Penggunaan representasi kognitif dapat

membuat individu mengantisipasi perilaku yang akan dilakukan serta bisa

memilah tindakan apa yang akan dilakukan. Individu dapat menyusun tujuan

bagi dirinya dan melakukan evaluasi secara negatif apabila tidak konsisten

antara representasi kognitif dengan perilaku yang sesuai (Eisenberg &

Mussen, 1989).

Individu memiliki proses perencanaan terhadap seluruh dimensi

hidupnya untuk mewujudkan dirinya yang ideal menurut satandar yang telah

dimilikinya melalui proses sosialisasi dengan keluarga dan masyarakat.

Demikian juga secara sosial individu memiliki perencanaan hidup untuk

mewujudkan diri secara sosial sehingga bisa diterima dan bermakna secara

sosial. Pada keadaan ini individu juga memiliki perencanaan perilaku

prososial yang akan dilaksanakan dalam hidupnya secara berkembang

(Eisenberg & Mussen, 1989).

17

2.1.3Dimensi-dimensi Perilaku Prososial

Dimensi-dimensi perilaku prososial menurut Eisenberg dan Mussen

(1989) dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Berbagi (sharing)

Kesediaan pelaku prososial untuk berbagi dengan perasaan orang lain

dalam suasana suka dan duka. Terutama pada waktu penerima

menyatakan menunjukkan kesukaran lalu ditindak lanjuti melalui

dukungan. Perilaku prososial dalam dimensi berbagi biasanya

ditunjukkan dalam bentuk saling mencurahan isi hati, saling berbagi

pengalaman hidup dan cerita kehidupan lainnya.

b. Kerjasama (Cooperative)

Kesediaan diri untuk bekerja sama dengan pihak lain demi

tercapainya suatu tujuan bersama yang saling menguntungkan, saling

memberi, saling menolong dan saling menyenangkan.

c. Kejujuran (Honesty)

Kesediaan untuk hadir, berkata, dan bersikap apa adanya serta

menunjukkan keadaan yang tulus ikhlas.

d. Menyumbang (Donating)

Kesedian memberikan derma, memberikan bantuan secara sukarela

potensi dan harta yang dimiliki untuk orang lain yang membutuhkan.

e. Menolong (Helping)

Kesediaaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang berada

didalam kesulitan dalam bentuk membagi sesuatu dengan orang lain,

memberitahu informasi yang dibutuhkan, menwarkan bantuan dan

pertolongan, menawarka sesuatu yang akan menunjang kegiatan

orang lain.

18

f. Kedermawanan (Generosity)

Kesediaan memberikan sesuatu secara sukarela untuk orang lain yang

membutuhkan.

Caprara & Pastorelli (1993) membagi perilaku prososial menjadi tiga

dimensi yaitu:

a. Altruisme (Altruism)

Perhatian yang tidak egois bagi orang lain. Kesediaan untuk

melakukan hal-hal sederhana dan keinginan membantu orang

lain.

b. Kepercayaan (Trust)

Keyakinan bahwa seseorang dapat diandalkan dan jujur.

c. Ramah (Agreeableness)

Individu bersikap ramah, berhati lembut dan selalu mengalah.

Dalam penelitian ini, dimensi-dimensi perilaku prososial dari

Eisenberg & Mussen (1989) digunakan dengan alasan bahwa dimensi-

dimensi tersebut dapat mencakup keseluruhan perilaku prososial yang

dibutuhkan siswa.

2.1.2 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perilaku Prososial

Menurut Eisenberg & Mussen (1989) dari hasil penelitian yang telah

dilakukan, ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku prososial yaitu:

a. Faktor Biologis

Faktor biologis ini berkaitan dengan sifat menurun atau genetis,

ada perbedaan intensi perilaku prososial secara individual

berkaitan dengan faktor sifat menurun. Faktor genetik ikut

mengendalikan respon prososial.

19

b. Budaya Masyarakat Setempat

Perilaku, motivasi, orientasi, dan nilai-nilai yang diyakini oleh

individu juga diarahkan oleh budaya masyarakat dimana individu

tersebut tinggal dan bersosialisasi. Semua dimensi perilaku dan

fungsi psikologis yang dikembangkan individu dipengaruhi oleh

interaksi individu dengan budaya masyarakat di tempat tinggalnya.

Keanggotaan seseorang didalam masyarakat sebagai kelompok

budaya hanya bisa digunakan untuk memperkirakan

kecenderungan hati individu untuk bertindak secara prososial

dalam berbagi dimensi budaya.

c. Pengalaman Sosialisasi

Pengalaman sosialisasi adalah interaksi anak dengan agen-agen

sosial seperti orang tua sebagai agen sosial utama, teman sebaya,

guru dan mediamasa. Pengalaman sosialisasi menjadi faktor

sangat penting bagi pembentukan perilaku prososial anak. Perilaku

prososial anak sebagian besar dihasilkan dari proses sosial yang

dipelajari melalui proses meniru orang tua mereka pada masa

anak-anak. Hal ini sangat berhubungan dengan pola asuh

authoritative di mana orang tua memberikan pedoman yang baik

kepada anaknya untuk menjalani kehidupan dengan batasan-

batasan yang jelas. Sehingga seorang anak bisa memutuskan

sesuatu dalam kehidupan mereka, apabila ada tindakan yang

menyimpang, orang tua mengambil tindakan tegas baik berupa

teguran maupun hukuman.

d. Proses Kognitif

Perilaku prososial melibatkan beberapa proses kognitif

diantaranya adalah: inteligensi, presepsi terhadap kebutuhan orang

20

lain, kemampuan memecahkan masalah interpersonal, alih peran,

dan penalaran moral.

e. Respon Emosional

Respon emosional adalah adaanya perasaan bersalah dan

kepedulian terhadap orang lain,respon emosional ini muncul

ketika ada orang lain atau tidak ada orang lain yang melihatnya.

f. Karakteristik Individu

Karakteristik individual yang berkaitan dengan intensi prososial

adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan usia, tipe kepribadian,

karakter tertentu pada individu yang menjadi kondisi yang relatif

menetap, bagaimana seorang individu dapat mengelola emosi diri

sendiri dan orang lain dengan positif, dan hasil belajar individu

semuanya itu berpengaruh terhadap perilaku prososial.

g. Faktor situasional

Tekanan eksternal, peristiwa sosial juga memberikan pengaruh

terhadap perilaku dan respon prososial yang dikembangkan oleh

individu. Faktor situasional meliputi dua sub kategori, pertama sub

kategori yang berkaitan dengan peristiwa hidup yang baru saja

terjadi pada diri individu secara kebetulan tetapi mempunyai efek

yang sangat panjang serta memberikan dampak kepada seluruh sisi

kehidupannya. Bagaimana cara orang tua mengasuh juga

menentukan perilaku seorang anak. Sub kategori yang kedua

adalah sesuatu yang berkaitan dengan konteks sosial yaitu keadaan

yang menghambat individu tersebut seperti situasi emosi suatu

waktu dan karakteristik personal. Seseorang yang dapat mengelola

emosi diri dan orang lain secara positif akan berdampak pula pada

kehidupan sosialnya.

21

Beberapa penelitian menemukan beberapa faktor lain yang

memengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah pola asuh authoritative

(Baumrid ,1966), kecerdasan emosional (Charbonneau & Nicol 2002,

Afolabi, 2013 ), dan empati (Staub, 1979). Dari semua faktor-faktor di atas,

dua variabel yang digunakan sebagai variabel prediktor perilaku prososial

yaitu pola asuh authoritative, dan kecerdasan emosional ditinjau dari jenis

kelamin.

2.2Remaja

2.2.1 Pengertian Remaja

Hurlock (1999) berpendapat bahwa secara etimologis dalam bahasa

Inggris, remaja memiliki istilah adolescence yang berarti dalam bahasa

Indonesia “tumbuh” atau lebih lengkapnya bertumbuh menuju dewasa.

Pertumbuhan dalam konteks kata adolescence kemudian dipakai istilah yang

sangat umum dan mencakup gambaran pertumbuhan didalam diri individu

secara luas yaitu mental, emosional, sosial dan fisik. Hurlock, 1999

mengatakan bahwa remaja adalah fase dimana mereka mulai berintegrasi dan

berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Individu mulai merasakan bahwa

dirinya berada dalam status usia yang lebih muda dari masyarakat tetapi

mulai merasakan kesadaran bahwa dirinya memiliki tingkatan yang sama

didalam masyarakat, terutama didalam masalah hak dan integrasi dengan

masyarakat. Remaja mengalami perubahan yang sangat besar dalam hal

afeksi, intelektual, pubertas, bahkan juga secara pertrumbuhan fisik, semua

perubahan dan pertumbuhan yang relatif saangat cepat itu menjadi modal

yang memberi kemungkinan untuk mencapai integrasi dalam hubungan

sosial dengan orang dewasa dan masyarakat yang lebih luas. Masa remaja

menjadi masa peralihan dari fase kanak-kanak menuju kedewasaan, sehingga

22

melibatkan banyak terjadinya perubahan fisik, mental, intelektual, emosi

bahkan secara rohaniah dan jasmaniah. Pada fase ini remaja mulai menyadari

tugas-tugas perkembangannya untuk mengelola kemampuan dirinya untuk

mencapai cita-citanya dimasa depan serta memenuhi tugas-tugas

perkembangan sosialnya dengan baik supaya mampu menuju langkah masa

depan selanjutnya sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.

Dari uraian para ahli tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

remaja adalah suatu fase perkembangan individu dari anak-anak menuju

dewasa. Pada fase ini terjadi banyak perubahan yang meliputi hampir semua

dimensi hidupnya yaitu perubahan intelektual, afeksi, fisik, rohani dan

sosial. Pertumbuhan dan perubahan inilah yang memungkinkan remaja mulai

lebih intensif untuk memulai mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat

luas. Pada fase ini remaja juga mulai membangun kesadaran jati dirinya guna

menghadapi tugas perkembangan selanjutnya sebagai orang dewasa.

2.2.2 Batasan Usia Remaja

Monks (1998) membagi fase remaja menjadi tiga tahap usia

perkembangan, yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18

tahun) lalu remaja akhir (18-21 tahun).

Hurlock (1999) mengatakan bahwa usia remaja adalah usia antara 12-

18 tahun. Santrock (2003) memberikan batasan usia remaja pada rentang

12-23 tahun.

Thornburg (1983) membagi usia remaja menjadi tiga kelompok

rentang usia, yaitu:

a. Remaja awal; antara 11-13 tahun

Terjadi tahap peralihan antara presosialization, tahap dimana pada

awalnya anak tidak terlalu peduli pada orang lain namun pada fase

23

ini anak mulai menyadari perlunya menolong orang lain

(Sears,1999).

b. Remaja pertengahan ; antara 14-16 tahun.

Pada fase ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan,

tetapi sudah muncul unsur baru, yaitu suatu kesadaran akan

kepribadian sendiri dan kesadran akan tubuh jasmaninya sendiri.

Remaja memiliki niali-nilai kehidupan tertentu serta mulai

memikirkan dan merenungkan konsep-konsep etika dan filosofis

dalam hidupnya. Pemikiran etika dan filosofis yang dikembangkan

remaja ini memungkinkan mereka memasuki kemampuan

menyadari dirinya dan orang lain disekitarnya lebih mendalam,

disebut tahap awareness suatu tahap dimana remaja belajar

menghidupi dirinya ditengah-tengah hubungan sosial

kemasyarakatan dalam konteks lingkungan hidupnya. Kesadaran

ini akan mendorong mereka untuk beradaptasi dan saling

membantu, menjadi lebih peka terhadap tuntutan norma sosial

yang berlaku, akibatnya mereka belajar membangun perilaku

prososial (Sears,1999)

c. Remaja akhir, antara 17-19 tahun.

Fase ini ditandai oleh perasaan mantab dan stabil, pengenalan akan

diri sendiri, serta memiliki rancangan pola hidup yang digariskan

oleh untuk dijalaninya dengan penuh tanggung jawab. Memiliki

itikad baik serta keberanian, remaja juga mampu melihat dan

memahami tujuan dan arah hidup kedepan yang akan dijalaninya.

Remaja memiliki pendirian dan keyakinan berdasarkan pola yang

jelas yang baru ditemukan pada fase ini. Remaja fase ini sudah

sanggup membangun periku prososial yang akan memberikan

kepuasan secara intrinsik didalam dirinya, akibat dari proses

24

internalization, yaitu menanmkan nilai dan norma didalam batin

sehingga mebuatnya merasa nyaman (Sears,1999).

Dari penjelasan dan batasan para ahli tersebut, penelitian ini akan

memakai batasan usia remaja yang dijelaskan oleh Thornburg 11-19 tahun.

Pertimbangan ini didasarkan pada fase dimana anak-anak remaja mulai

berkembang perilaku prososialnya , pada fase awal remaja sudah menyadari

perilakuy menolong orang lain, fase tengah remaja sangat peka terhadap

norma sosial, dan pada fase akhir remaja mengalami kepuasan intrinsik pada

saat bisa menolong orang lain.

2.2.3 Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

Hurlock (1999) mengatakan bahwa tugas-tugas perkembangan

remaja adalah sebagai berikut ini;

a. Remaja mampu mencapai hubungan baru yang lebih matang

dengan teman sebaya baik lawan jenis maupun satu jenis.

Remaja mampu beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik

dalam menjalankan relasi dengan teman sebaya. Remaja

juga mulai tertarik dengan lawan jenis dan mampu menarik

perhatian lawan jenis.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita, remaja memiliki

peran jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan sesuai

dengan tuntutan lingkungan.

c. Menerima keadaan fisiknya lalu memanfaatkan dan

melatihnya supaya bisa berfungsi secara efektif. Remaja

diharapkan mampu mengelola dan menyesuaikan diri

dengan perkembangan fisik yang sedang dialami supaya

tidak mengalami perasaan canggung.

25

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang

bertanggung jawab, artinya perilaku sosial remaja akan

bersesuaian dengan tuntutan sosial yang ada pada

lingkungan mereka.

e. Mencapai kemandirian emosional sehingga tidak tergantung

mutlak pada orang tua atau orang dewasa lainnya.

Akibatnya remaja akan mampu membawa diridengan baik

dan tidak bergantung pada orang lain dan mencapai

kemandirian sosial bukan ekonomi.

f. Mempersiapkan karir ekonomi, remaja mempersiapkan

menata jenis pekerjaan dan profesi serta keahlian yang akan

digeluti pada masa depan pekerjaan mereka.

g. Remaja mulai membangun hubungan dengan lawan jenis

untuk mempersiapkan pasangan hidup bagi perikahan dan

kehidupan rumah tangga di masa depan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, tugas perkembangan remaja yang

terkait dengan perilaku prososial adalah bahwa remaja diharapkan mampu

mencapai perilaku prososial yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan

sosial yanag ada dilingkungannya. Hal ini meliputi kemampuan sosial untuk

berkomunikasi, adaptasi, pencapaian peran sosial, mengelola segenap

potensi dirinya, kemamndirian emosi, persiapan kerja dan karir, persiapan

nikah serta seluruh persiapan lainnya menuju dewasa.

2.3 Pola Asuh Orang Tua Authoritative

2.3.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua adalah karakteristik orang tua dalam

melaksanankan praktek sosialisasi keluarga terhadap anak-anaknya dan

penerimaan anak pada praktek tersebut. Konfigurasi elemen utama pola asuh

yaitu kehangatan, keterlibatan, tuntutan, kematangan dan supervisi memiliki

26

tempat yang sangat setrategis bagi tumbuh kembang anak-anak didalam

konteks keluarga yaitu orang tua (orang yang berperan sebagai orang tua)

dengan anak-anak mereka. Pola asuh orang tua terhadap anak-anak diteliti

dan dikembangnkan oleh Baumrind (1971). Baumrind meneliti gaya pola

asuh didalam keluarga berdasarkan pendekatan tipologis melalui praktek

pengasuhan anak-anak didalam kerangka sosialisasi di setiap keluarga.

Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang

berbeda dimana akibat dari salah satu praktek pola asuh tersebut tergantung

sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen

utama pola asuh (kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan

supervisi) akan menghasilkan variasi didalam cara anak merespon pengaruh

orang tua.

Steinberg et al.,(1994) menemukan bahwa keluarga adalah kelompok

sosial pertama yang dialami oleh anak-anak. Keluraga memberikan pengaruh

sangat besar dalam perkembangan kepribadian anak-anak. Ada banyak

faktor didalam keluarga yang kemudian diwariskan kepada anak-anak lalu

menjadi bagian penting bagi hidup mereka pada saat ini dan perkembangan

hidup selanjutnya. Salah satu faktor penting dari keluarga yang membentuk

karakter kepribadian anak-anak adalah pola asuh, yaitu praktek pengasuhan

anak yang diberlakukan orang tua terhadap anak-anak mereka. Gaya pola

asuh orang tua adalah kumpulan dari sikap, praktek, dan ekspresi nonverbal

orang tua secara alamiah melalui interaksi orang tua terhadap anak-anak

sepanjang situasi yang berkembang.

Bornstein (2002) juga menemukan bahwa kebiasaan yang dikenakan,

cara atau gaya orang tua ketika berinteraksi dengan anak-anaknya

merupakan dimensi pola asuh yang penting. Pola asuh orang tua sangat

berkaitan dengan perekembangan sosio-emosional anak-anak dan remaja.

27

Pola asuh orang tua disebut juga parenting style adalah cara bagaimana

orang tua mengasuh dan mendidik anak. Pola asuh berkaitan dengan

pembentukan kepribadian anak. Pola asuh orang tua terdiri dari dua dimensi

penting, parental responsivness (tingkat derajat kekuatan respon orang tua

terhadap kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku yang mendukung anak)

dan parental demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap

perilaku bertanggungjawab anak).Keluarga terutama orang tua adalah

wilayah sosial kehidupan anak yang memiliki peranan dalam perkembangan

dimensi sosial anak sampai pada masa remaja. Pola asuh tertentu yang

dipakai orang tua untuk mengasuh anaknya akan memberikan pengaruh

sangat mendasar pada bentuk-bentuk perilaku sosial pada diri anak.

Berdasarkan definisi yang sudah diuraikan tersebut maka dapat

ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola asuh adalah segala sesuatu yang

dilakukan orang tua (pengasuh) terhadap anak (yang diasuh) yang meliputi

kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan tingkah laku anak

selama masa perkembangan anak serta cara orang tua mengkomunikasikan

sikap dan kepercayaan kepada anak-anak.

2.3.2 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Authoritative

Baumrind (1971) mengatakan bahwa pola asuh orang tua

authoritative adaalah adalah suatu karakteristik yang dikenakan orang tua

untuk mengasuh anak-anak mereka dengan meberikan penekanan kepada

parental responsivness (tingkat derajat kekuatan respon orang tua terhadap

kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku yang mendukung anak) dan

parental demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap perilaku

bertanggungjawab anak). Pola asuh authoritative adalah cara mendidik

anak, dimana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan

28

memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh authoritative adalah

suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan

anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh

pengertian antara orang tua dan anak. Pola asuh authoritative memberikan

kebebasan pada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang

diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan yang telah

ditetapkan oleh orang tua.

Baumrind (1971) menemukan bahwa pola asuh authoritative

memberikan dampak yang lebih dan cenderung tidak menunjukkan perilaku

kekacauan atau nakal. Pola asuh yang menunjukkan kasih sayang

mempunyai kontribusi kepada pengembangan kepribadian anak yang sehat.

Pendapat tersebut juga didukung oleh penemuan Gunarsa (2004)

yang mengatakan bahwa kebebasan pribadi untuk memenuhi keinginan dan

kebutuhan anak akan bisa tercapai dengan sempurna apabila anak mampu

mengontrol dan mengendalikan diri dalam penyesuaian dengan lingkungan

keluarga maupun sosial nasyarakat. Kebebasan anak masih dalam kerangka

pengendalian diri untuk menyesuaikan segala keinginannya dengan tuntutan

keluarga dan lingkungan sosialnya. Sebelum anak mampu mengatur dan

mengendalikan dirinya dengan baik terhadap segala keinginan dan

penyesuaian dengan tatanan lingkungannya, anak harus ditumbuhkan

seperangkat aturan sebagai alat kontrol yang memungkinkan anak mampu

mengontrol perilaku dan mengendalikan diri untuk mencapai tujuannya

sesuai dengan aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Perangkat aturan yang berfungsi sebagai alat kontrol ini harus selalu

memiliki fungsi yang mengarahkan anak-anak untuk mampu bertanggung

jawab kepada dirinya sendiri dan terhadap orang lain dalam lingkungan

keluarga dan masyarakat. Dari fungsi alat kontrol ini anak akan secara

29

mandiri memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang

bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain dan masyarakat

disekelilingnya. Kontrol yang kuat untuk membangun seperangkat aturan

perilaku yang bersifat otonom harus diberikan dorongan positif agar anak

merasa memiliki makna sehingga anak merasa diuntungkan dan dihargai

sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung jawab. Komunikasi dan relasi

timbal balik antara orang tua dengan anak dan aturan internal keluarga yang

dibangun dan disepakati adalah hasil diskusi yang dimengerti dan disetujui

bersama dalam keluarga.

Pengasuhan demokratis atau authoritative memberikan penekanan

kepada beberapa prinsip; pertama, kebebasan dan pengendalian, dimana ini

adalah prinsip yang saling mengisi, bukan suatu pertentangan; kedua,

hubungan orang tua dan anak memiliki fungsi bagi orang tua maupun anak;

ketiga, kontrol yang diimbangi oleh pemberian dukungan dan semangat;

keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian, sikap

bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap

lingkungan.

Berdasarkan uraian beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, dimana orang tua

menggunakan kebebasan dan pengendalian serta adanya kontrol yang

disertai oleh pemberian dukungan oleh orang tau terhadap anak-anaknya.

2.3.3 Teori Pola Asuh Authoritative

Pola asuh adalah bentuk iteraksi antara orang tua dengan anak-anak

dalam lingkungan keluarga untuk membimbing, mendidik, mendisiplin, dan

melindungi serta merawat sesuai nilai dan norma tertentu yang dianut oleh

keluarga tersebut. Baumrind (1971) menjelaskan pola asuh authoritative

30

anak-anak sangat diterima dan dikasihi tetapi kontrol juga tinggi dan ketat,

orang tua sangat responsif terhadap kebutuhan anak, memberikan penjelasan

mengenai segala aturan dan konsekuensi yang diakibatkan, mendorong anak-

anak menyatakan pendapat mereka. Akibat pola asuh ini anak-anak akan

memiliki rasa percaya diri serta bersahabat, mengendalikan diri dengan baik,

sopan, memiliki keterampilan bekerja sama, memiliki orientasi dan tujuan

hidup yang jelas.

Berk (2010) menambahkan tiga pola asuh Baumtrind dengan satu

pola asuh lagi yaitu pola asuh uninvolved (pembiaran ) didalamanya

mengandung undemanding (ketidaan tuntutan) dan unresponsive (ketiadaan

respon). Akibatnya anak-anak akan merasa minder, ragu-ragu, tidak

memiliki jati diri, dan cenderung murung. Unsur penting dalam pola asuh

authoritative adalah; demandingness yaitu orang tua menetapkan aturan dan

standar bagai anak untuk dicapai lalu orang tua memberikan kontrol yang

baik supaya segala aturan yang diberikan dapat dilaksanakan, responsiveness

berkaitan dengan kehangatan kasih sayang dan relasi serta dukungan bagi

anak untuk mewujudkan diri menuju makna dan pencapaian yang telah

digariskan.

2.3.4 Dimensi-dimensi Pola Asuh Authoritative

Baumrind (1971) mengatakan bahwa ada dua dimensi yang

terkandung didalam pola asuh authoritative yaitu;

a. Tanggapan (Responsiveness)

Sikap orang tua yang menerima dengan kasih sayang, mau

memahami, mendengarkan, dan berorientasi pada kebutuhan anak,

serta sering memberi pujian.

b. Tuntutan atau kontrol (Demandingness)

31

Orang tua tetap mengontrol apa yang dilakukan oleh anak mereka.

Orang tua tetap menekankan displin dan hukuman pad anak jika

mereka bersalah.

Buri (1991) membuat skala pengukuran pola asuh berdasarkan teori

Baumrid (1971) yaitu Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang

didasarkan pada dimensi tanggapan (responsiveness) dan tuntutan atau

kontrol (demandingness).

Robinson et al., (1996) menyatakan dimensi-dimensi pola asuh

authoritative adalah:

a. Memiliki Kehangatan dan Keterlibatan

Orang tua dalam mengasuh anak penuh dengan kehangatan dan

juga keterlibatan proses mengasuhnya, penuh dengan kasih

sayang, pedui dengan anak serta memiliki waktu yang cukup

untuk anak.

b. Memiliki Nalar yang Baik

Dalam mengasuh anak, orang tua mampu berpikir kritis dan

kreatif, berargumentasi yang tepat, dan mampu memecahkan

masalah serta mampu mengambil keputusan.

c. Berpartisipasi Demokratis

Dalam mengasuh anak, orangtua memprioritaskan anak dalam

pengambilan keputusan keluarga, serta mampu mendorong anak

untuk mengembangkan potensi diri serta mengekspresikan diri.

d. Baik Hati

Orang tua mengasuh anak dengan penuh kasih sayang, kelembutan,

kesabaran rasa hormat dan humoris.

Dimensi-dimensi Buri (1991) berdasarkan pengembangan dari teori

Baumrid (1971) yang akan digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan

32

dimensi-dimensi ini dirasa cukup untuk mewakili pola asuh authoritative.

Skala ini juga mengukur dari sudut pandang remaja terhadap orang tua

mereka.

2.4 Kecerdasan Emosional

2.4.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Salovery et al., (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan menerapkan kualitas emosional untuk mencapai sukses

dalam kehidupan. Kualitas emosional yang dimaksud adalah; empati,

mengungkap dan memahami perasaan orang lain, mengendalikan amarah

diri, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan

memecahkan masalah yang dihadapi, kesetiakawanan dan sikap hormat

(Shapiro & Cole, 1994).

Kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik kekuatan intelektual

(Patton, 1998). Kecerdasan emosional adalah produk dari belajar tidak

semata-mata faktor keturunan, sehingga setiap orang tua dan lembaga

pendidikan harus mendidik anak-anak menuju kecerdasan emosional supaya

mereka lebih sukses dalam kehidupan (Shapiro & Cole, 1994). Goleman

(2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan pengendalian

diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri sendiri

untuk bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan hati untuk mengndalikan

dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu

mengatur suasana hati serta menjaga kemampuan berpikirnya tidak

dilumpuhkan oleh beban stres.

Cooper & Sawaf (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan untuk mengindera,

memahami, dan secara efektif mampu menerapkan kekuatan dan ketajaman

emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi serta pengaruh yang

manusiawi.

33

Howes & Herald (1999) mengatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggunakan

emosinya yaitu wilayah dari perasaan, lubuk hati, naluri yang tersembunyi,

sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati akan memberikan

pemahaman yang mendalam dan utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan

pribadi, emosi dan sosial seseorang untuk menemukan pemahaman dirinya

yanag mendalam, memantau emosi pada dirinya sendiri dan orang lain,

mengelola emosi pada dirinya sendiri maupun berhadapan dengan orang lain,

mampu memotivasi diri untuk bertahan dalam segala tekanan, sanggup

mengelola diri mencapai hubungan yang produktif.

2.4.2 Teori Kecerdasan Emosional

Kecerdasan seringkali hanya dimaknai sebagai kemampuan

memahami sesuatu dan kecakapan mengungkapkan pendapat. Dalam hala ini

kecerdasan dipahami sekedar dipahami sebagai kemampuan intelektual yang

menkankan logika dan pemecahan masalah. Kecerdasan demikian disebut

kecerdasan intelektual (IQ) yang mengukur kemampuan penggunaan bahasa

dan analisa matematika logis saja. Gardner (1993) mengatakan bahwa

kecerdasan manusia sangat majemuk, bukan sekedar linguistik dan logika

matematis saja, akan tetapi bersifat jamak. Ada sembilan jenis kecerdasan

manusia menurut Gardner yaitu; kecerdasan bahasa, kecerdasan matematis

logis, kecerdasan ruang spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan konestetik

tubuh, kecerdasan naturalis alam, kecerdasan eksistensial, kecerdasan

intapersonal dan interpersonal.

34

Dimulai dari pengembangan konsep kecerdasan intelektual (IQ) lalu

pengembangan konsep kecerdasan majemuk oleh Gardner, (1993) dan

Salovey et al., (2002) mengembangkan bangunan teori kecerdasan

emosional. Kecerdasan emosional ini ditandai oleh adanya empati,

kemampuan memahami dan mengungkapkan perasaan diri sendiri serta

perasaan orang lain, kemampuan mengendalikan emosi diri, mandiri, mampu

menyesuaikan diri, disukai, mampu memecahkan masalah, ketekunan, setia

kawan, ramah serta sikap hormat.

Goleman (1999) menemukan bahwa kecerdasan emosional menjadi

sarana sangat penting bagi setiap orang karena menjadi faktor penyebab

sukses kehidupan manusia mencapai 80 % dibandingkan dengan sekedar

kecerdasan Intelektual hanya mencapi 20 %, artinya jika kecerdasan

intelektual tidak disertai dengan kecerdasan emosional tingkat suksesnya

sangat rendah. Namun demikian kecerdasan emosional tidak bertentangan

dengan kecerdasan intelektual. Dengan kecerdasan intelektual yang baik lalu

disertai dengan kecerdasan emosional yang tinggi, maka individu akan

sukses dalam hidupnya.

2.4.3 Dimensi-dimensi Kecerdasan Emosional

Goleman (1999) menuliskan daftar mengenai dimensi-dimensi

kecerdasan emosional yaitu:

a. Kesadaran diri; mengetahui apa yang sedang dirasakan pada suatu

saat, dan menggiunakannya untuk memandu pengambilan

keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur realistis atas

kemampuan diri dan kepercayaan diri.

b. Pengaturan diri: menangani emosi diri sedemikian sehingga

berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata

hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu

sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

35

c. Motivasi: menggunakan hasrat yang paling dalam untuk

menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri

mengambil inisiatif dan bertidak sangat efektif dan bertahan

menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Empati: merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami

perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan

menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.

e. Ketrampilan sosial; menangani emosi dengan baik ketika

berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca

situasi dan jaringan sosial; betrinteraksi dengan lancar

menggunakan keterampilan-keterampilan tersebut untuk

mendatangkan pengaruh dan memimpin, bermusyawarah dan

menyelesaikan perselisihan serta berkerja bersama didalam satu

tim.

Sullivan (1999) menjelaskan dimensi-dimensi kecerdasan emosi

adalah sebagai berikut:

a. Persepsi Emosi (Emotional Perception)

Kemampuan individu untuk mengenali emosi baik yang dirasakan

sendiri maupun orang lain.

b. Memahami Emosi (Understanding Emotions)

Kemampuan individu untuk memahami emosi yang dirasakan dan

mengerti bagaimana cara penerapannya dalam kehidupan sehari-

hari.

c. Mengelola Emosi (Managing Emotions)

Kemampuan individu untuk mengelola emosi dengan baik agar

tercipta keseimbangan dalam diri individu.

36

Petrides & Furnham (2001) merujuk pada teori Goleman (1999)

menyederhanakan pengukuran kompetensi kecerdasan emosional menjadi

empat dimensi yaitu:

a. Kesejahteraan diri (Well-Being)

Mencakup watak, kepercayaan, dan motivasi yang dimiliki oleh

seseorang.

b. Keterampilan mengontrol diri (Self Control Skills)

Mencakup pengelola emosi dalam diri, dan rendah bertindak

impulsif.

c. Keterampilan emosi (Emotional Skills)

Mencakup ekspresi emosi dan mempersepsikan emosi diri.

d. Keterampilan sosial (Social Skills)

Mencakup kemampuan beradaptasi dan hubungan dengan teman

sebaya.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dimensi-dimensi

kecerdasan emosional dari Petrides & Furnham (2001) berdasarkan

pengembangan dari teori Goleman (1999) dikarenakan dimensi-dimensi

tersebut sudah sesuai dengan penelitian penulis.

2.5 Hasil Penelitian Terdahulu

2.5.1 Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional dengan

Prososial

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosli (2014) menunjukkan

bahwa pola asuh yang didalamnya adalah pola asuh authoritative,

kecerdasan emosional yang mencakup bagaimana seseorang dapat

mengendalikan emosi, dan perilaku yang didalamnya mencakup perilaku

prososial hasilnya menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dari tiga

variabel tersebut dan hasilnya adalah (r = -0.07, p = 0.54).

37

Penelitian yang hasilnya berbeda dilakukan oleh Altay & Gürea

(2012) bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara pola asuh

authoritative, kecerdasan sosial yang di dalamnya termasuk juga bagaimana

seseorang mengelola emosi yang termasuk dalam dimensi kecerdasan

emosional. Hasil yang didapatkan adalah (F1,343 = 10,031; p<0,05, Eta2 =

0,029). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Husada (2013)

menemukan bahwa adanya hubungan antara pola asuh demokratis atau yang

sering disebut dengan pola asuh authoritative dan kecerdasan emosional

dengan perilaku prososial dengan nilai F = 111,993 pada p = 0,000 (p <

0,01).

2.5.2 Pola Asuh Authoritative dengan Prososial

Penelitian senada juga dilakukan oleh Utomo (2014) yang

mendapatkan hasil bahwa pola asuh authoritative memiliki nilai mean

prososial yang paling tinggi yaitu 63,57 dan nilai signifikansi sebesar 0,00.

Walker et al., (2010) mendapatkan hasil yang berbeda dalam penelitiannya

yaitu pola asuh authoritative antara ayah dan ibu terhadap perilaku prososial

remaja, hasilnya adalah ibu (t = 4,80, p<0,01) dan ayah (t = 3,98, p<0,01)

laporan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku prososial anak

menurun dari minggu ke minggu.

2.5.3 Kecerdasan Emosional dengan Prososial

Penelitian yang dilakukan oleh Charbonneau & Nicol (2002)

menemukan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku

prososial, dengan kata lain kecerdasan emosional adalah salah satu faktor

yang sangat signifikan terhadap perkembangan perilaku prososial pada anak

dan remaja. 134 remaja dimasukkan dalam kamp pelatihan kecerdasan

emosional, hasilnya ditemukan adanya hubungan antara kecerdasan

emosional dengan perilaku prososial. Afolabi (2013) dalam penelitiannya

mengenai kecerdasan emosi dan perilaku prososial menunjukkan adanya

38

hubungan yang signifikan. Semakin tinggi kecerdasan emosional maka

semakin tinggi pula perilaku prososial mereka dengan nilai t (198) = 12,36

dan p<0,01.

Sabiq & Djalali (2012) juga menemukan bahwa kecerdasan

emosional dan perilaku prososial santri di pondok Nasyul Ulum Pemekasan

yang berjumlah 175 orang berkorelasi positif signifikan dengan nilai t=

3,212 dan p = 0,002 (p<0,05).

2.5.4 Jenis Kelamin dan Prososial

Penelitian yang dilakukan oleh Torstveit (2016) menemukan bahw

perilaku prososial siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki, hal

ini dapat dilihat dari hasil uji SPSS yaitu Perempuan (R 2adj = .149) laki-laki

(R 2adj = .061). Hal ini didukung oleh Suatu studi yang dilakukan oleh Dunn

(1998) menemukan bahwa remaja perempuan memiliki tingkat prososial

yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Penner et al., (2005)

juga menemukan bahwa perilaku prososial sangat dipengaruhi oleh jenis

kelamin dan tempat dimana mereka tinggal. Gillock & Reyes (1999) dalam

studinya di Amerika Latin menemukan bahwa setelah pulang dari sekolah,

remaja memiliki kegiatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan baik

bentuk permaianan maupun barang-barang mainan mereka. Remaja putri

umumnya dikonstruk secara sosial untuk bermain dengan boneka, masak-

memasak, sedangkan remaja laki-laki permainan yang lebih menantang

sifatnya secara konstruk budaya dianggap lebih dekat dengan identitas laki-

laki, misalnya permainan perang dan lain-lain. Carlo (2006) menemukan

bahwa jenis kelamin memengaruhi perilaku prososial pada remaja di

Meksiko. Hastings et al.,(2000) menemukan yang sama bahwa ada

perbedaan dalam perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan.

39

Namun penelitian dengan hasil yang berbeda dikemukakan oleh

Afolabi (2013) bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dengan perilaku

prososial dan hasilnya adalah (R2= 0,011, t= 0,445; p >0,05). Hasil penelitian

ini juga didukung oleh Abdullahi & Kumar (2016) yang menyatakan tidak

adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam perilaku prososial,

hasilnya adalah (t= 0,43; p >0,05).

2.6 Dinamika Antar Peubah

Perilaku prososial (prosocial behavior) adalah perilaku yang

dibangun dari proses belajar selama rentang waktu kehidupan dan

pertumbuhan remaja dengan lingkungan keluarga, masyarakat sekolah serta

leingkungan keagamaan. Perilaku prososial adalah perilaku yang

memberikan keuntungan pada pihak lain tanpa harus menyediakan

keuntungan langsung bagi dirinya sendiri. Perlaku prososial adalah hasil dari

proses belajar sepanjang kehidupan individu yaitu; proses belajar sosial

sosial dan pengembangan perilaku (behaviourism and social learning), hasil

dari perkembangan sosio-kognitif dan sosio-emosional, hasil dari

perkembangan empati (Hoffman, 2001) proses sosialisai didalam keluarga

dan masyarakat (Grusec, 1994) perilaku prososial adalah hasil dari

perkembangan pemikiran sosio-emosional (Staub, 1979).

Salah satu faktor yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku

prososial pada remaja adalah pola asuh orang tua, terutama pola asuh

authoritative. Dimana dalam pola asuh authoritative yang ditonjolkan adalah

adanya kombinasi kontrol dan dukungan yang kuat dari orang tua kepada

anak-anak mereka. Ditemukan bahwa pola asuh authorithative memiliki

40

korelasi yang sangat kuat dengan dengan perilaku prososial pada remaja

(Carlo & Wilkinson, 2007). Unsur-unsur yang sangat penting di dalam pola

asuh authorithative adalah adanya kehangatan hubungan kasih sayang orang

tua dengan anak secara timbal balik serta adanya internalisasi aturan yang

baik dari orang tua dan bisa diterima dan dimengerti oleh anak-anak

mereka. Ditemukan bahwa kehangatan kasih sayang dan hubungan anak

dengan orang tua mereka berkorelasi positif dengan perilaku prososial pada

masa remaja (Robinson & Emde, 2001). Pengaturan diri yang dibuat oleh

orang tua terhadap anak-anaknya melalui penalaran yang baik serta

hubungan yang mendalam antara anak dan orang tua akan menghasilkan

korelasi yang positif terhadap perilaku prososial pada remaja (Yarrow &

Waxler, 1984).

2.7 Model Penelitian

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian terdahulu, maka model

hubungan antar variabel penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini

disusun dalam kerangka sebagai berikut;

2.8 Hipotesis

Ada dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

Pola Asuh Authoritative (PAA)

Kecerdasan emosional (KE)

Perilaku Prososial

(P Pros)

41

1. Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional secara simultan

menjadi prediktor Perilaku Prososial pada siswa kelas XI dan XII SMU

Masehi Kudus.

2. Ada perbedaan Perilaku Prososial pada siswa kelas XI dan XII SMU

Masehi Kudus ditinjau dari jenis kelamin.