BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini akan membahas tentang ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini akan membahas tentang ...
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini akan membahas tentang perilaku prososial. Ada
beberapa dimensi-dimensi dan juga faktor-faktor yang menjadi
prediktor bagi perilaku prososial khususnya dikalangan siswa serta
bagaimana pengaruh pola asuh authoritative dan kecerdasan emosional
yang menjadi prediktornya.
2.1 Perilaku Prososial
2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial
Perilaku Prososial adalah tindakan yang memberikan keuntungan
pada pihak lain yang terdiri dari berbagi, menyumbang, dukungan emosional
atau belarasa, pertolongan dan kesediaan diri untuk membantu. (Fabes &
Eisenberg, 1998).
Ahli lain yang sepaham dengan Eisenberg mengatakan bahwa
perilaku prososial adalah suatu tindakan yang memberikan keuntungan pada
pihak lain tanpa harus menghasilkan keuntungan bagi pelaku prososial,
bahkan dalam kondisi tertentu bisa mendatangkan resiko bagi yang
melakukan tindakan itu (Baron & Byrne, 2006).
Perilaku Prososial mempunyai maksud untuk menyokong
kesejahteraan orang lain, dermawan, persahabatan, kerjasama, menolong,
menyelamatkan, adalah bentuk-bentuk perilaku prososial yang sangat jelas
(Eisenberg et al., 1995).
Ada tiga indikator untuk mengukur suatu perilaku dapat
dikategorikan sebagai perilaku prososial yaitu: Pertama, tindakan prososial
berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan dari pihak pelaku;
Kedua, tindakan itu dilakukan secara sukarela, dan Ketiga, tindakan itu
menghasilkan kebaikan bagi penerimanya.
14
Berdasarakan definisi dan batasan para ahli tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa Perilaku Prososial adalah segala bentuk perilaku positif
yang memberikan ssuatu manfaat bagi penerima, baik dalam bentuk materi,
fisik ataupun psikologis serta memberi keuntungan pada orang lain atau
dirinya sendiri.
2.1.2 Teori Perilaku Prososial
Teori Perilaku Prososial bisa dilihat dari sudut pandang teori
psikoanalisis, teori behaviorism and social learning dan teori perkembangan
kognitif. Dalam perkembangan berikutnya teori prososial dilihat sebagai
pengertian pemikiran yang berkaitan dengan sosialisasi (Staub,1979),
sosialisasi (Grusec & Goodnow, 1994), dan empati (Hoffman, 2001).
Dilihat dari konsep teori maupun hasil temuan empiris di lapangan
ditemukan bahwa Perilaku Prososial dan empati sudah ada pada anak-anak
sejak awal kehidupannya. Hoffman et al. (2001) telah menguji
perkembangan Perilaku Prososial dan empati dengan cara mendapatkan
respon yang diberikan oleh anak-anak. Respon yang diberikan oleh bayi dan
anak-anak dikategorikan dalam beberapa jenis yaitu: respon afeksi, respon
kognisi, respon self-awareness, respon self-diferentiation yang mengarah
kepada Perilaku Prososial. Secara khusus Hofman mencatat melalui tahapan
usia perkembangan bayi dan anak perilaku prososial dapat dilihat dari self-
concern yang mampu memberikan respon terhadap distress orang lain lalu
membawanya kepada empathic concern.
Mengacu kepada penelitian Hoffman (2001) yang mengatakan bahwa
Perilaku Prososial sudah ada sejak awal usia kehidupan manusia, maka
Eisenberg & Lennon (1983) menemukan data empiris berkaitan usia
perkembangan perilaku prososial pada bayi dan anak-anak sampai usia
dewasa. Pada usia 6 bulan, bayi akan ikut menangis ketika bayi didekatnya
menangis. Pada usia 38 sampai 61 minggu, bayi mampu memberikan reaksi
15
dalam bentuk menangis yang bersifat distress sebagai tanggapan atas
tangisan bersifat distress yang ada di sekelilingnya. Bahkan bayi juga
sanggup memberikan reaksi afeksi yang positif yang ada di sekelilingnya
dengan cara senyum dan tertawa (Yarrow et al.,1983). Pada usia 12 sampai
18 bulan bayi sanggup memberikan reaksi terhadap distress orang lain
dengan memberikan reaksi negatif. Bayi juga mapu memberikan concern
attention dan perilaku prososial dengan memberikan kontak yang positif dan
ungkapan verbal (Waxler and Robinson, 1995).
Pada awal kehidupan anak-anak menunjukkan perilaku prososial
yang bersifat egocentris dan unsympathetic reaction seperti tertawa,
meronta, menagis (Yarrow et al., 1983). Hoffman (2001) mengatakan bahwa
perilaku prososial berkaitan dengan perkembangan kognitif. Pada fase anak-
anak, perilaku prososial berkaitan dengan pengenalan akan dirinya sendiri.
Anak-anak juga mampu mengerti mengapa orang lain mengalami kesusahan.
Pada usia 2 sampai 5 tahun, perkembangan kognitif mereka sudah memiliki
relasi dengan perilaku prososial. Fabes & Eisenberg (1998) mengatakan
bahwa pada usia 3 sampai 6 tahun perilaku prososial anak-anak berkaitan
dengan teman sebaya terutama di sekolah. Anak-anak yang belum
bersekolah berperilaku prososial lebih rendah dibanding dengan anak-anak
yang sudah bersekolah. Pada usia Sekolah Dasar yaitu antara 6 sampai 12
tahun anak-anak sudah memiliki stabilitas perilaku prososial yang mantab
hal ini berkaitan dengan perkembangan kognisi mereka yang bersifat
independen.
Pada usia remaja perilaku prososial cenderung lebih meningkat
dibandingkan dengan perilaku prososial mereka pada waktu masih anak-anak
usia 7 sampai 12 tahun (Fabes & Eisenberg, 1998). Selain itu Bandura juga
menggunakan teori belajar tradisional, yaitu hampir semua tingkah laku
manusia dipelajari serta dibentuk dari peristiwa yang terjadi di lingkungan.
16
Konsep penting dalam teori Bandura yaitu observational learning.
Observational learning merupakan proses dimana individu mengintimidasi
apabila mengikuti model, masuk dalam pikiran mengenai apa yang telah
diobservasi, serta dapat mengartikan secara fisik perilaku yang telah
diobservasi, sehingga memiliki motivasi untuk melakukan hal yang sama
dengan apa yang telah diobservasi tersebut (Eisenberg & Mussen, 1989).
Selain itu Eisenberg & Mussen, (1989) menggunakan teori Bandura
bahwa faktor kognitif internalmengambil keputusan untuk bertindak sangat
memengaruhi individu dalam. Individu secara simbolis dapat memanipulasi
informasi yang didapatkan dari pengalaman sehingga mampu untuk
menghasilkan pengetahuan baru. Aktivitas kognitif dapat mengarahkan serta
mengatur tingkah laku individu. Penggunaan representasi kognitif dapat
membuat individu mengantisipasi perilaku yang akan dilakukan serta bisa
memilah tindakan apa yang akan dilakukan. Individu dapat menyusun tujuan
bagi dirinya dan melakukan evaluasi secara negatif apabila tidak konsisten
antara representasi kognitif dengan perilaku yang sesuai (Eisenberg &
Mussen, 1989).
Individu memiliki proses perencanaan terhadap seluruh dimensi
hidupnya untuk mewujudkan dirinya yang ideal menurut satandar yang telah
dimilikinya melalui proses sosialisasi dengan keluarga dan masyarakat.
Demikian juga secara sosial individu memiliki perencanaan hidup untuk
mewujudkan diri secara sosial sehingga bisa diterima dan bermakna secara
sosial. Pada keadaan ini individu juga memiliki perencanaan perilaku
prososial yang akan dilaksanakan dalam hidupnya secara berkembang
(Eisenberg & Mussen, 1989).
17
2.1.3Dimensi-dimensi Perilaku Prososial
Dimensi-dimensi perilaku prososial menurut Eisenberg dan Mussen
(1989) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Berbagi (sharing)
Kesediaan pelaku prososial untuk berbagi dengan perasaan orang lain
dalam suasana suka dan duka. Terutama pada waktu penerima
menyatakan menunjukkan kesukaran lalu ditindak lanjuti melalui
dukungan. Perilaku prososial dalam dimensi berbagi biasanya
ditunjukkan dalam bentuk saling mencurahan isi hati, saling berbagi
pengalaman hidup dan cerita kehidupan lainnya.
b. Kerjasama (Cooperative)
Kesediaan diri untuk bekerja sama dengan pihak lain demi
tercapainya suatu tujuan bersama yang saling menguntungkan, saling
memberi, saling menolong dan saling menyenangkan.
c. Kejujuran (Honesty)
Kesediaan untuk hadir, berkata, dan bersikap apa adanya serta
menunjukkan keadaan yang tulus ikhlas.
d. Menyumbang (Donating)
Kesedian memberikan derma, memberikan bantuan secara sukarela
potensi dan harta yang dimiliki untuk orang lain yang membutuhkan.
e. Menolong (Helping)
Kesediaaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang berada
didalam kesulitan dalam bentuk membagi sesuatu dengan orang lain,
memberitahu informasi yang dibutuhkan, menwarkan bantuan dan
pertolongan, menawarka sesuatu yang akan menunjang kegiatan
orang lain.
18
f. Kedermawanan (Generosity)
Kesediaan memberikan sesuatu secara sukarela untuk orang lain yang
membutuhkan.
Caprara & Pastorelli (1993) membagi perilaku prososial menjadi tiga
dimensi yaitu:
a. Altruisme (Altruism)
Perhatian yang tidak egois bagi orang lain. Kesediaan untuk
melakukan hal-hal sederhana dan keinginan membantu orang
lain.
b. Kepercayaan (Trust)
Keyakinan bahwa seseorang dapat diandalkan dan jujur.
c. Ramah (Agreeableness)
Individu bersikap ramah, berhati lembut dan selalu mengalah.
Dalam penelitian ini, dimensi-dimensi perilaku prososial dari
Eisenberg & Mussen (1989) digunakan dengan alasan bahwa dimensi-
dimensi tersebut dapat mencakup keseluruhan perilaku prososial yang
dibutuhkan siswa.
2.1.2 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perilaku Prososial
Menurut Eisenberg & Mussen (1989) dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku prososial yaitu:
a. Faktor Biologis
Faktor biologis ini berkaitan dengan sifat menurun atau genetis,
ada perbedaan intensi perilaku prososial secara individual
berkaitan dengan faktor sifat menurun. Faktor genetik ikut
mengendalikan respon prososial.
19
b. Budaya Masyarakat Setempat
Perilaku, motivasi, orientasi, dan nilai-nilai yang diyakini oleh
individu juga diarahkan oleh budaya masyarakat dimana individu
tersebut tinggal dan bersosialisasi. Semua dimensi perilaku dan
fungsi psikologis yang dikembangkan individu dipengaruhi oleh
interaksi individu dengan budaya masyarakat di tempat tinggalnya.
Keanggotaan seseorang didalam masyarakat sebagai kelompok
budaya hanya bisa digunakan untuk memperkirakan
kecenderungan hati individu untuk bertindak secara prososial
dalam berbagi dimensi budaya.
c. Pengalaman Sosialisasi
Pengalaman sosialisasi adalah interaksi anak dengan agen-agen
sosial seperti orang tua sebagai agen sosial utama, teman sebaya,
guru dan mediamasa. Pengalaman sosialisasi menjadi faktor
sangat penting bagi pembentukan perilaku prososial anak. Perilaku
prososial anak sebagian besar dihasilkan dari proses sosial yang
dipelajari melalui proses meniru orang tua mereka pada masa
anak-anak. Hal ini sangat berhubungan dengan pola asuh
authoritative di mana orang tua memberikan pedoman yang baik
kepada anaknya untuk menjalani kehidupan dengan batasan-
batasan yang jelas. Sehingga seorang anak bisa memutuskan
sesuatu dalam kehidupan mereka, apabila ada tindakan yang
menyimpang, orang tua mengambil tindakan tegas baik berupa
teguran maupun hukuman.
d. Proses Kognitif
Perilaku prososial melibatkan beberapa proses kognitif
diantaranya adalah: inteligensi, presepsi terhadap kebutuhan orang
20
lain, kemampuan memecahkan masalah interpersonal, alih peran,
dan penalaran moral.
e. Respon Emosional
Respon emosional adalah adaanya perasaan bersalah dan
kepedulian terhadap orang lain,respon emosional ini muncul
ketika ada orang lain atau tidak ada orang lain yang melihatnya.
f. Karakteristik Individu
Karakteristik individual yang berkaitan dengan intensi prososial
adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan usia, tipe kepribadian,
karakter tertentu pada individu yang menjadi kondisi yang relatif
menetap, bagaimana seorang individu dapat mengelola emosi diri
sendiri dan orang lain dengan positif, dan hasil belajar individu
semuanya itu berpengaruh terhadap perilaku prososial.
g. Faktor situasional
Tekanan eksternal, peristiwa sosial juga memberikan pengaruh
terhadap perilaku dan respon prososial yang dikembangkan oleh
individu. Faktor situasional meliputi dua sub kategori, pertama sub
kategori yang berkaitan dengan peristiwa hidup yang baru saja
terjadi pada diri individu secara kebetulan tetapi mempunyai efek
yang sangat panjang serta memberikan dampak kepada seluruh sisi
kehidupannya. Bagaimana cara orang tua mengasuh juga
menentukan perilaku seorang anak. Sub kategori yang kedua
adalah sesuatu yang berkaitan dengan konteks sosial yaitu keadaan
yang menghambat individu tersebut seperti situasi emosi suatu
waktu dan karakteristik personal. Seseorang yang dapat mengelola
emosi diri dan orang lain secara positif akan berdampak pula pada
kehidupan sosialnya.
21
Beberapa penelitian menemukan beberapa faktor lain yang
memengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah pola asuh authoritative
(Baumrid ,1966), kecerdasan emosional (Charbonneau & Nicol 2002,
Afolabi, 2013 ), dan empati (Staub, 1979). Dari semua faktor-faktor di atas,
dua variabel yang digunakan sebagai variabel prediktor perilaku prososial
yaitu pola asuh authoritative, dan kecerdasan emosional ditinjau dari jenis
kelamin.
2.2Remaja
2.2.1 Pengertian Remaja
Hurlock (1999) berpendapat bahwa secara etimologis dalam bahasa
Inggris, remaja memiliki istilah adolescence yang berarti dalam bahasa
Indonesia “tumbuh” atau lebih lengkapnya bertumbuh menuju dewasa.
Pertumbuhan dalam konteks kata adolescence kemudian dipakai istilah yang
sangat umum dan mencakup gambaran pertumbuhan didalam diri individu
secara luas yaitu mental, emosional, sosial dan fisik. Hurlock, 1999
mengatakan bahwa remaja adalah fase dimana mereka mulai berintegrasi dan
berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Individu mulai merasakan bahwa
dirinya berada dalam status usia yang lebih muda dari masyarakat tetapi
mulai merasakan kesadaran bahwa dirinya memiliki tingkatan yang sama
didalam masyarakat, terutama didalam masalah hak dan integrasi dengan
masyarakat. Remaja mengalami perubahan yang sangat besar dalam hal
afeksi, intelektual, pubertas, bahkan juga secara pertrumbuhan fisik, semua
perubahan dan pertumbuhan yang relatif saangat cepat itu menjadi modal
yang memberi kemungkinan untuk mencapai integrasi dalam hubungan
sosial dengan orang dewasa dan masyarakat yang lebih luas. Masa remaja
menjadi masa peralihan dari fase kanak-kanak menuju kedewasaan, sehingga
22
melibatkan banyak terjadinya perubahan fisik, mental, intelektual, emosi
bahkan secara rohaniah dan jasmaniah. Pada fase ini remaja mulai menyadari
tugas-tugas perkembangannya untuk mengelola kemampuan dirinya untuk
mencapai cita-citanya dimasa depan serta memenuhi tugas-tugas
perkembangan sosialnya dengan baik supaya mampu menuju langkah masa
depan selanjutnya sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.
Dari uraian para ahli tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
remaja adalah suatu fase perkembangan individu dari anak-anak menuju
dewasa. Pada fase ini terjadi banyak perubahan yang meliputi hampir semua
dimensi hidupnya yaitu perubahan intelektual, afeksi, fisik, rohani dan
sosial. Pertumbuhan dan perubahan inilah yang memungkinkan remaja mulai
lebih intensif untuk memulai mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat
luas. Pada fase ini remaja juga mulai membangun kesadaran jati dirinya guna
menghadapi tugas perkembangan selanjutnya sebagai orang dewasa.
2.2.2 Batasan Usia Remaja
Monks (1998) membagi fase remaja menjadi tiga tahap usia
perkembangan, yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18
tahun) lalu remaja akhir (18-21 tahun).
Hurlock (1999) mengatakan bahwa usia remaja adalah usia antara 12-
18 tahun. Santrock (2003) memberikan batasan usia remaja pada rentang
12-23 tahun.
Thornburg (1983) membagi usia remaja menjadi tiga kelompok
rentang usia, yaitu:
a. Remaja awal; antara 11-13 tahun
Terjadi tahap peralihan antara presosialization, tahap dimana pada
awalnya anak tidak terlalu peduli pada orang lain namun pada fase
23
ini anak mulai menyadari perlunya menolong orang lain
(Sears,1999).
b. Remaja pertengahan ; antara 14-16 tahun.
Pada fase ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan,
tetapi sudah muncul unsur baru, yaitu suatu kesadaran akan
kepribadian sendiri dan kesadran akan tubuh jasmaninya sendiri.
Remaja memiliki niali-nilai kehidupan tertentu serta mulai
memikirkan dan merenungkan konsep-konsep etika dan filosofis
dalam hidupnya. Pemikiran etika dan filosofis yang dikembangkan
remaja ini memungkinkan mereka memasuki kemampuan
menyadari dirinya dan orang lain disekitarnya lebih mendalam,
disebut tahap awareness suatu tahap dimana remaja belajar
menghidupi dirinya ditengah-tengah hubungan sosial
kemasyarakatan dalam konteks lingkungan hidupnya. Kesadaran
ini akan mendorong mereka untuk beradaptasi dan saling
membantu, menjadi lebih peka terhadap tuntutan norma sosial
yang berlaku, akibatnya mereka belajar membangun perilaku
prososial (Sears,1999)
c. Remaja akhir, antara 17-19 tahun.
Fase ini ditandai oleh perasaan mantab dan stabil, pengenalan akan
diri sendiri, serta memiliki rancangan pola hidup yang digariskan
oleh untuk dijalaninya dengan penuh tanggung jawab. Memiliki
itikad baik serta keberanian, remaja juga mampu melihat dan
memahami tujuan dan arah hidup kedepan yang akan dijalaninya.
Remaja memiliki pendirian dan keyakinan berdasarkan pola yang
jelas yang baru ditemukan pada fase ini. Remaja fase ini sudah
sanggup membangun periku prososial yang akan memberikan
kepuasan secara intrinsik didalam dirinya, akibat dari proses
24
internalization, yaitu menanmkan nilai dan norma didalam batin
sehingga mebuatnya merasa nyaman (Sears,1999).
Dari penjelasan dan batasan para ahli tersebut, penelitian ini akan
memakai batasan usia remaja yang dijelaskan oleh Thornburg 11-19 tahun.
Pertimbangan ini didasarkan pada fase dimana anak-anak remaja mulai
berkembang perilaku prososialnya , pada fase awal remaja sudah menyadari
perilakuy menolong orang lain, fase tengah remaja sangat peka terhadap
norma sosial, dan pada fase akhir remaja mengalami kepuasan intrinsik pada
saat bisa menolong orang lain.
2.2.3 Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Hurlock (1999) mengatakan bahwa tugas-tugas perkembangan
remaja adalah sebagai berikut ini;
a. Remaja mampu mencapai hubungan baru yang lebih matang
dengan teman sebaya baik lawan jenis maupun satu jenis.
Remaja mampu beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik
dalam menjalankan relasi dengan teman sebaya. Remaja
juga mulai tertarik dengan lawan jenis dan mampu menarik
perhatian lawan jenis.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita, remaja memiliki
peran jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan sesuai
dengan tuntutan lingkungan.
c. Menerima keadaan fisiknya lalu memanfaatkan dan
melatihnya supaya bisa berfungsi secara efektif. Remaja
diharapkan mampu mengelola dan menyesuaikan diri
dengan perkembangan fisik yang sedang dialami supaya
tidak mengalami perasaan canggung.
25
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang
bertanggung jawab, artinya perilaku sosial remaja akan
bersesuaian dengan tuntutan sosial yang ada pada
lingkungan mereka.
e. Mencapai kemandirian emosional sehingga tidak tergantung
mutlak pada orang tua atau orang dewasa lainnya.
Akibatnya remaja akan mampu membawa diridengan baik
dan tidak bergantung pada orang lain dan mencapai
kemandirian sosial bukan ekonomi.
f. Mempersiapkan karir ekonomi, remaja mempersiapkan
menata jenis pekerjaan dan profesi serta keahlian yang akan
digeluti pada masa depan pekerjaan mereka.
g. Remaja mulai membangun hubungan dengan lawan jenis
untuk mempersiapkan pasangan hidup bagi perikahan dan
kehidupan rumah tangga di masa depan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, tugas perkembangan remaja yang
terkait dengan perilaku prososial adalah bahwa remaja diharapkan mampu
mencapai perilaku prososial yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan
sosial yanag ada dilingkungannya. Hal ini meliputi kemampuan sosial untuk
berkomunikasi, adaptasi, pencapaian peran sosial, mengelola segenap
potensi dirinya, kemamndirian emosi, persiapan kerja dan karir, persiapan
nikah serta seluruh persiapan lainnya menuju dewasa.
2.3 Pola Asuh Orang Tua Authoritative
2.3.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua adalah karakteristik orang tua dalam
melaksanankan praktek sosialisasi keluarga terhadap anak-anaknya dan
penerimaan anak pada praktek tersebut. Konfigurasi elemen utama pola asuh
yaitu kehangatan, keterlibatan, tuntutan, kematangan dan supervisi memiliki
26
tempat yang sangat setrategis bagi tumbuh kembang anak-anak didalam
konteks keluarga yaitu orang tua (orang yang berperan sebagai orang tua)
dengan anak-anak mereka. Pola asuh orang tua terhadap anak-anak diteliti
dan dikembangnkan oleh Baumrind (1971). Baumrind meneliti gaya pola
asuh didalam keluarga berdasarkan pendekatan tipologis melalui praktek
pengasuhan anak-anak didalam kerangka sosialisasi di setiap keluarga.
Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang
berbeda dimana akibat dari salah satu praktek pola asuh tersebut tergantung
sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen
utama pola asuh (kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan
supervisi) akan menghasilkan variasi didalam cara anak merespon pengaruh
orang tua.
Steinberg et al.,(1994) menemukan bahwa keluarga adalah kelompok
sosial pertama yang dialami oleh anak-anak. Keluraga memberikan pengaruh
sangat besar dalam perkembangan kepribadian anak-anak. Ada banyak
faktor didalam keluarga yang kemudian diwariskan kepada anak-anak lalu
menjadi bagian penting bagi hidup mereka pada saat ini dan perkembangan
hidup selanjutnya. Salah satu faktor penting dari keluarga yang membentuk
karakter kepribadian anak-anak adalah pola asuh, yaitu praktek pengasuhan
anak yang diberlakukan orang tua terhadap anak-anak mereka. Gaya pola
asuh orang tua adalah kumpulan dari sikap, praktek, dan ekspresi nonverbal
orang tua secara alamiah melalui interaksi orang tua terhadap anak-anak
sepanjang situasi yang berkembang.
Bornstein (2002) juga menemukan bahwa kebiasaan yang dikenakan,
cara atau gaya orang tua ketika berinteraksi dengan anak-anaknya
merupakan dimensi pola asuh yang penting. Pola asuh orang tua sangat
berkaitan dengan perekembangan sosio-emosional anak-anak dan remaja.
27
Pola asuh orang tua disebut juga parenting style adalah cara bagaimana
orang tua mengasuh dan mendidik anak. Pola asuh berkaitan dengan
pembentukan kepribadian anak. Pola asuh orang tua terdiri dari dua dimensi
penting, parental responsivness (tingkat derajat kekuatan respon orang tua
terhadap kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku yang mendukung anak)
dan parental demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap
perilaku bertanggungjawab anak).Keluarga terutama orang tua adalah
wilayah sosial kehidupan anak yang memiliki peranan dalam perkembangan
dimensi sosial anak sampai pada masa remaja. Pola asuh tertentu yang
dipakai orang tua untuk mengasuh anaknya akan memberikan pengaruh
sangat mendasar pada bentuk-bentuk perilaku sosial pada diri anak.
Berdasarkan definisi yang sudah diuraikan tersebut maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola asuh adalah segala sesuatu yang
dilakukan orang tua (pengasuh) terhadap anak (yang diasuh) yang meliputi
kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan tingkah laku anak
selama masa perkembangan anak serta cara orang tua mengkomunikasikan
sikap dan kepercayaan kepada anak-anak.
2.3.2 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Authoritative
Baumrind (1971) mengatakan bahwa pola asuh orang tua
authoritative adaalah adalah suatu karakteristik yang dikenakan orang tua
untuk mengasuh anak-anak mereka dengan meberikan penekanan kepada
parental responsivness (tingkat derajat kekuatan respon orang tua terhadap
kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku yang mendukung anak) dan
parental demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap perilaku
bertanggungjawab anak). Pola asuh authoritative adalah cara mendidik
anak, dimana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan
28
memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh authoritative adalah
suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan
anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh
pengertian antara orang tua dan anak. Pola asuh authoritative memberikan
kebebasan pada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang
diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan yang telah
ditetapkan oleh orang tua.
Baumrind (1971) menemukan bahwa pola asuh authoritative
memberikan dampak yang lebih dan cenderung tidak menunjukkan perilaku
kekacauan atau nakal. Pola asuh yang menunjukkan kasih sayang
mempunyai kontribusi kepada pengembangan kepribadian anak yang sehat.
Pendapat tersebut juga didukung oleh penemuan Gunarsa (2004)
yang mengatakan bahwa kebebasan pribadi untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan anak akan bisa tercapai dengan sempurna apabila anak mampu
mengontrol dan mengendalikan diri dalam penyesuaian dengan lingkungan
keluarga maupun sosial nasyarakat. Kebebasan anak masih dalam kerangka
pengendalian diri untuk menyesuaikan segala keinginannya dengan tuntutan
keluarga dan lingkungan sosialnya. Sebelum anak mampu mengatur dan
mengendalikan dirinya dengan baik terhadap segala keinginan dan
penyesuaian dengan tatanan lingkungannya, anak harus ditumbuhkan
seperangkat aturan sebagai alat kontrol yang memungkinkan anak mampu
mengontrol perilaku dan mengendalikan diri untuk mencapai tujuannya
sesuai dengan aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Perangkat aturan yang berfungsi sebagai alat kontrol ini harus selalu
memiliki fungsi yang mengarahkan anak-anak untuk mampu bertanggung
jawab kepada dirinya sendiri dan terhadap orang lain dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. Dari fungsi alat kontrol ini anak akan secara
29
mandiri memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang
bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain dan masyarakat
disekelilingnya. Kontrol yang kuat untuk membangun seperangkat aturan
perilaku yang bersifat otonom harus diberikan dorongan positif agar anak
merasa memiliki makna sehingga anak merasa diuntungkan dan dihargai
sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung jawab. Komunikasi dan relasi
timbal balik antara orang tua dengan anak dan aturan internal keluarga yang
dibangun dan disepakati adalah hasil diskusi yang dimengerti dan disetujui
bersama dalam keluarga.
Pengasuhan demokratis atau authoritative memberikan penekanan
kepada beberapa prinsip; pertama, kebebasan dan pengendalian, dimana ini
adalah prinsip yang saling mengisi, bukan suatu pertentangan; kedua,
hubungan orang tua dan anak memiliki fungsi bagi orang tua maupun anak;
ketiga, kontrol yang diimbangi oleh pemberian dukungan dan semangat;
keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian, sikap
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap
lingkungan.
Berdasarkan uraian beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, dimana orang tua
menggunakan kebebasan dan pengendalian serta adanya kontrol yang
disertai oleh pemberian dukungan oleh orang tau terhadap anak-anaknya.
2.3.3 Teori Pola Asuh Authoritative
Pola asuh adalah bentuk iteraksi antara orang tua dengan anak-anak
dalam lingkungan keluarga untuk membimbing, mendidik, mendisiplin, dan
melindungi serta merawat sesuai nilai dan norma tertentu yang dianut oleh
keluarga tersebut. Baumrind (1971) menjelaskan pola asuh authoritative
30
anak-anak sangat diterima dan dikasihi tetapi kontrol juga tinggi dan ketat,
orang tua sangat responsif terhadap kebutuhan anak, memberikan penjelasan
mengenai segala aturan dan konsekuensi yang diakibatkan, mendorong anak-
anak menyatakan pendapat mereka. Akibat pola asuh ini anak-anak akan
memiliki rasa percaya diri serta bersahabat, mengendalikan diri dengan baik,
sopan, memiliki keterampilan bekerja sama, memiliki orientasi dan tujuan
hidup yang jelas.
Berk (2010) menambahkan tiga pola asuh Baumtrind dengan satu
pola asuh lagi yaitu pola asuh uninvolved (pembiaran ) didalamanya
mengandung undemanding (ketidaan tuntutan) dan unresponsive (ketiadaan
respon). Akibatnya anak-anak akan merasa minder, ragu-ragu, tidak
memiliki jati diri, dan cenderung murung. Unsur penting dalam pola asuh
authoritative adalah; demandingness yaitu orang tua menetapkan aturan dan
standar bagai anak untuk dicapai lalu orang tua memberikan kontrol yang
baik supaya segala aturan yang diberikan dapat dilaksanakan, responsiveness
berkaitan dengan kehangatan kasih sayang dan relasi serta dukungan bagi
anak untuk mewujudkan diri menuju makna dan pencapaian yang telah
digariskan.
2.3.4 Dimensi-dimensi Pola Asuh Authoritative
Baumrind (1971) mengatakan bahwa ada dua dimensi yang
terkandung didalam pola asuh authoritative yaitu;
a. Tanggapan (Responsiveness)
Sikap orang tua yang menerima dengan kasih sayang, mau
memahami, mendengarkan, dan berorientasi pada kebutuhan anak,
serta sering memberi pujian.
b. Tuntutan atau kontrol (Demandingness)
31
Orang tua tetap mengontrol apa yang dilakukan oleh anak mereka.
Orang tua tetap menekankan displin dan hukuman pad anak jika
mereka bersalah.
Buri (1991) membuat skala pengukuran pola asuh berdasarkan teori
Baumrid (1971) yaitu Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang
didasarkan pada dimensi tanggapan (responsiveness) dan tuntutan atau
kontrol (demandingness).
Robinson et al., (1996) menyatakan dimensi-dimensi pola asuh
authoritative adalah:
a. Memiliki Kehangatan dan Keterlibatan
Orang tua dalam mengasuh anak penuh dengan kehangatan dan
juga keterlibatan proses mengasuhnya, penuh dengan kasih
sayang, pedui dengan anak serta memiliki waktu yang cukup
untuk anak.
b. Memiliki Nalar yang Baik
Dalam mengasuh anak, orang tua mampu berpikir kritis dan
kreatif, berargumentasi yang tepat, dan mampu memecahkan
masalah serta mampu mengambil keputusan.
c. Berpartisipasi Demokratis
Dalam mengasuh anak, orangtua memprioritaskan anak dalam
pengambilan keputusan keluarga, serta mampu mendorong anak
untuk mengembangkan potensi diri serta mengekspresikan diri.
d. Baik Hati
Orang tua mengasuh anak dengan penuh kasih sayang, kelembutan,
kesabaran rasa hormat dan humoris.
Dimensi-dimensi Buri (1991) berdasarkan pengembangan dari teori
Baumrid (1971) yang akan digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan
32
dimensi-dimensi ini dirasa cukup untuk mewakili pola asuh authoritative.
Skala ini juga mengukur dari sudut pandang remaja terhadap orang tua
mereka.
2.4 Kecerdasan Emosional
2.4.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Salovery et al., (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan menerapkan kualitas emosional untuk mencapai sukses
dalam kehidupan. Kualitas emosional yang dimaksud adalah; empati,
mengungkap dan memahami perasaan orang lain, mengendalikan amarah
diri, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
memecahkan masalah yang dihadapi, kesetiakawanan dan sikap hormat
(Shapiro & Cole, 1994).
Kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik kekuatan intelektual
(Patton, 1998). Kecerdasan emosional adalah produk dari belajar tidak
semata-mata faktor keturunan, sehingga setiap orang tua dan lembaga
pendidikan harus mendidik anak-anak menuju kecerdasan emosional supaya
mereka lebih sukses dalam kehidupan (Shapiro & Cole, 1994). Goleman
(2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan pengendalian
diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri sendiri
untuk bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan hati untuk mengndalikan
dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu
mengatur suasana hati serta menjaga kemampuan berpikirnya tidak
dilumpuhkan oleh beban stres.
Cooper & Sawaf (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan untuk mengindera,
memahami, dan secara efektif mampu menerapkan kekuatan dan ketajaman
emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi serta pengaruh yang
manusiawi.
33
Howes & Herald (1999) mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggunakan
emosinya yaitu wilayah dari perasaan, lubuk hati, naluri yang tersembunyi,
sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati akan memberikan
pemahaman yang mendalam dan utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan
pribadi, emosi dan sosial seseorang untuk menemukan pemahaman dirinya
yanag mendalam, memantau emosi pada dirinya sendiri dan orang lain,
mengelola emosi pada dirinya sendiri maupun berhadapan dengan orang lain,
mampu memotivasi diri untuk bertahan dalam segala tekanan, sanggup
mengelola diri mencapai hubungan yang produktif.
2.4.2 Teori Kecerdasan Emosional
Kecerdasan seringkali hanya dimaknai sebagai kemampuan
memahami sesuatu dan kecakapan mengungkapkan pendapat. Dalam hala ini
kecerdasan dipahami sekedar dipahami sebagai kemampuan intelektual yang
menkankan logika dan pemecahan masalah. Kecerdasan demikian disebut
kecerdasan intelektual (IQ) yang mengukur kemampuan penggunaan bahasa
dan analisa matematika logis saja. Gardner (1993) mengatakan bahwa
kecerdasan manusia sangat majemuk, bukan sekedar linguistik dan logika
matematis saja, akan tetapi bersifat jamak. Ada sembilan jenis kecerdasan
manusia menurut Gardner yaitu; kecerdasan bahasa, kecerdasan matematis
logis, kecerdasan ruang spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan konestetik
tubuh, kecerdasan naturalis alam, kecerdasan eksistensial, kecerdasan
intapersonal dan interpersonal.
34
Dimulai dari pengembangan konsep kecerdasan intelektual (IQ) lalu
pengembangan konsep kecerdasan majemuk oleh Gardner, (1993) dan
Salovey et al., (2002) mengembangkan bangunan teori kecerdasan
emosional. Kecerdasan emosional ini ditandai oleh adanya empati,
kemampuan memahami dan mengungkapkan perasaan diri sendiri serta
perasaan orang lain, kemampuan mengendalikan emosi diri, mandiri, mampu
menyesuaikan diri, disukai, mampu memecahkan masalah, ketekunan, setia
kawan, ramah serta sikap hormat.
Goleman (1999) menemukan bahwa kecerdasan emosional menjadi
sarana sangat penting bagi setiap orang karena menjadi faktor penyebab
sukses kehidupan manusia mencapai 80 % dibandingkan dengan sekedar
kecerdasan Intelektual hanya mencapi 20 %, artinya jika kecerdasan
intelektual tidak disertai dengan kecerdasan emosional tingkat suksesnya
sangat rendah. Namun demikian kecerdasan emosional tidak bertentangan
dengan kecerdasan intelektual. Dengan kecerdasan intelektual yang baik lalu
disertai dengan kecerdasan emosional yang tinggi, maka individu akan
sukses dalam hidupnya.
2.4.3 Dimensi-dimensi Kecerdasan Emosional
Goleman (1999) menuliskan daftar mengenai dimensi-dimensi
kecerdasan emosional yaitu:
a. Kesadaran diri; mengetahui apa yang sedang dirasakan pada suatu
saat, dan menggiunakannya untuk memandu pengambilan
keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur realistis atas
kemampuan diri dan kepercayaan diri.
b. Pengaturan diri: menangani emosi diri sedemikian sehingga
berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata
hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu
sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
35
c. Motivasi: menggunakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri
mengambil inisiatif dan bertidak sangat efektif dan bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi.
d. Empati: merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Ketrampilan sosial; menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca
situasi dan jaringan sosial; betrinteraksi dengan lancar
menggunakan keterampilan-keterampilan tersebut untuk
mendatangkan pengaruh dan memimpin, bermusyawarah dan
menyelesaikan perselisihan serta berkerja bersama didalam satu
tim.
Sullivan (1999) menjelaskan dimensi-dimensi kecerdasan emosi
adalah sebagai berikut:
a. Persepsi Emosi (Emotional Perception)
Kemampuan individu untuk mengenali emosi baik yang dirasakan
sendiri maupun orang lain.
b. Memahami Emosi (Understanding Emotions)
Kemampuan individu untuk memahami emosi yang dirasakan dan
mengerti bagaimana cara penerapannya dalam kehidupan sehari-
hari.
c. Mengelola Emosi (Managing Emotions)
Kemampuan individu untuk mengelola emosi dengan baik agar
tercipta keseimbangan dalam diri individu.
36
Petrides & Furnham (2001) merujuk pada teori Goleman (1999)
menyederhanakan pengukuran kompetensi kecerdasan emosional menjadi
empat dimensi yaitu:
a. Kesejahteraan diri (Well-Being)
Mencakup watak, kepercayaan, dan motivasi yang dimiliki oleh
seseorang.
b. Keterampilan mengontrol diri (Self Control Skills)
Mencakup pengelola emosi dalam diri, dan rendah bertindak
impulsif.
c. Keterampilan emosi (Emotional Skills)
Mencakup ekspresi emosi dan mempersepsikan emosi diri.
d. Keterampilan sosial (Social Skills)
Mencakup kemampuan beradaptasi dan hubungan dengan teman
sebaya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dimensi-dimensi
kecerdasan emosional dari Petrides & Furnham (2001) berdasarkan
pengembangan dari teori Goleman (1999) dikarenakan dimensi-dimensi
tersebut sudah sesuai dengan penelitian penulis.
2.5 Hasil Penelitian Terdahulu
2.5.1 Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional dengan
Prososial
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosli (2014) menunjukkan
bahwa pola asuh yang didalamnya adalah pola asuh authoritative,
kecerdasan emosional yang mencakup bagaimana seseorang dapat
mengendalikan emosi, dan perilaku yang didalamnya mencakup perilaku
prososial hasilnya menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dari tiga
variabel tersebut dan hasilnya adalah (r = -0.07, p = 0.54).
37
Penelitian yang hasilnya berbeda dilakukan oleh Altay & Gürea
(2012) bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara pola asuh
authoritative, kecerdasan sosial yang di dalamnya termasuk juga bagaimana
seseorang mengelola emosi yang termasuk dalam dimensi kecerdasan
emosional. Hasil yang didapatkan adalah (F1,343 = 10,031; p<0,05, Eta2 =
0,029). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Husada (2013)
menemukan bahwa adanya hubungan antara pola asuh demokratis atau yang
sering disebut dengan pola asuh authoritative dan kecerdasan emosional
dengan perilaku prososial dengan nilai F = 111,993 pada p = 0,000 (p <
0,01).
2.5.2 Pola Asuh Authoritative dengan Prososial
Penelitian senada juga dilakukan oleh Utomo (2014) yang
mendapatkan hasil bahwa pola asuh authoritative memiliki nilai mean
prososial yang paling tinggi yaitu 63,57 dan nilai signifikansi sebesar 0,00.
Walker et al., (2010) mendapatkan hasil yang berbeda dalam penelitiannya
yaitu pola asuh authoritative antara ayah dan ibu terhadap perilaku prososial
remaja, hasilnya adalah ibu (t = 4,80, p<0,01) dan ayah (t = 3,98, p<0,01)
laporan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku prososial anak
menurun dari minggu ke minggu.
2.5.3 Kecerdasan Emosional dengan Prososial
Penelitian yang dilakukan oleh Charbonneau & Nicol (2002)
menemukan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku
prososial, dengan kata lain kecerdasan emosional adalah salah satu faktor
yang sangat signifikan terhadap perkembangan perilaku prososial pada anak
dan remaja. 134 remaja dimasukkan dalam kamp pelatihan kecerdasan
emosional, hasilnya ditemukan adanya hubungan antara kecerdasan
emosional dengan perilaku prososial. Afolabi (2013) dalam penelitiannya
mengenai kecerdasan emosi dan perilaku prososial menunjukkan adanya
38
hubungan yang signifikan. Semakin tinggi kecerdasan emosional maka
semakin tinggi pula perilaku prososial mereka dengan nilai t (198) = 12,36
dan p<0,01.
Sabiq & Djalali (2012) juga menemukan bahwa kecerdasan
emosional dan perilaku prososial santri di pondok Nasyul Ulum Pemekasan
yang berjumlah 175 orang berkorelasi positif signifikan dengan nilai t=
3,212 dan p = 0,002 (p<0,05).
2.5.4 Jenis Kelamin dan Prososial
Penelitian yang dilakukan oleh Torstveit (2016) menemukan bahw
perilaku prososial siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki, hal
ini dapat dilihat dari hasil uji SPSS yaitu Perempuan (R 2adj = .149) laki-laki
(R 2adj = .061). Hal ini didukung oleh Suatu studi yang dilakukan oleh Dunn
(1998) menemukan bahwa remaja perempuan memiliki tingkat prososial
yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Penner et al., (2005)
juga menemukan bahwa perilaku prososial sangat dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan tempat dimana mereka tinggal. Gillock & Reyes (1999) dalam
studinya di Amerika Latin menemukan bahwa setelah pulang dari sekolah,
remaja memiliki kegiatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan baik
bentuk permaianan maupun barang-barang mainan mereka. Remaja putri
umumnya dikonstruk secara sosial untuk bermain dengan boneka, masak-
memasak, sedangkan remaja laki-laki permainan yang lebih menantang
sifatnya secara konstruk budaya dianggap lebih dekat dengan identitas laki-
laki, misalnya permainan perang dan lain-lain. Carlo (2006) menemukan
bahwa jenis kelamin memengaruhi perilaku prososial pada remaja di
Meksiko. Hastings et al.,(2000) menemukan yang sama bahwa ada
perbedaan dalam perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan.
39
Namun penelitian dengan hasil yang berbeda dikemukakan oleh
Afolabi (2013) bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dengan perilaku
prososial dan hasilnya adalah (R2= 0,011, t= 0,445; p >0,05). Hasil penelitian
ini juga didukung oleh Abdullahi & Kumar (2016) yang menyatakan tidak
adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam perilaku prososial,
hasilnya adalah (t= 0,43; p >0,05).
2.6 Dinamika Antar Peubah
Perilaku prososial (prosocial behavior) adalah perilaku yang
dibangun dari proses belajar selama rentang waktu kehidupan dan
pertumbuhan remaja dengan lingkungan keluarga, masyarakat sekolah serta
leingkungan keagamaan. Perilaku prososial adalah perilaku yang
memberikan keuntungan pada pihak lain tanpa harus menyediakan
keuntungan langsung bagi dirinya sendiri. Perlaku prososial adalah hasil dari
proses belajar sepanjang kehidupan individu yaitu; proses belajar sosial
sosial dan pengembangan perilaku (behaviourism and social learning), hasil
dari perkembangan sosio-kognitif dan sosio-emosional, hasil dari
perkembangan empati (Hoffman, 2001) proses sosialisai didalam keluarga
dan masyarakat (Grusec, 1994) perilaku prososial adalah hasil dari
perkembangan pemikiran sosio-emosional (Staub, 1979).
Salah satu faktor yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku
prososial pada remaja adalah pola asuh orang tua, terutama pola asuh
authoritative. Dimana dalam pola asuh authoritative yang ditonjolkan adalah
adanya kombinasi kontrol dan dukungan yang kuat dari orang tua kepada
anak-anak mereka. Ditemukan bahwa pola asuh authorithative memiliki
40
♂
korelasi yang sangat kuat dengan dengan perilaku prososial pada remaja
(Carlo & Wilkinson, 2007). Unsur-unsur yang sangat penting di dalam pola
asuh authorithative adalah adanya kehangatan hubungan kasih sayang orang
tua dengan anak secara timbal balik serta adanya internalisasi aturan yang
baik dari orang tua dan bisa diterima dan dimengerti oleh anak-anak
mereka. Ditemukan bahwa kehangatan kasih sayang dan hubungan anak
dengan orang tua mereka berkorelasi positif dengan perilaku prososial pada
masa remaja (Robinson & Emde, 2001). Pengaturan diri yang dibuat oleh
orang tua terhadap anak-anaknya melalui penalaran yang baik serta
hubungan yang mendalam antara anak dan orang tua akan menghasilkan
korelasi yang positif terhadap perilaku prososial pada remaja (Yarrow &
Waxler, 1984).
2.7 Model Penelitian
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian terdahulu, maka model
hubungan antar variabel penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini
disusun dalam kerangka sebagai berikut;
2.8 Hipotesis
Ada dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
Pola Asuh Authoritative (PAA)
Kecerdasan emosional (KE)
Perilaku Prososial
(P Pros)