BAB II
-
Upload
vera-irawanda -
Category
Documents
-
view
19 -
download
1
Transcript of BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya
akumulasi leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal
ini menyebabkan timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu
anemia, neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati,limpa,
kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis).9
Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya
proliferasi neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat
mutasi somatik sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel
leukemia.10 Leukemia atau kanker darah juga didefinisikan sekelompok
penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal
atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum
tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan
oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan
dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia
mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan
imunitas tubuh penderita.
2.2 Pembentukan Sel Darah (Hemopoiesis)
Tiga komponen yang berperan penting pada hemopoiesis, yaitu:
Kompartemen sel-sel darah terdiri atas:
Sel Induk Pluripoten (SIP)
Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk
pluripoten. Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan
besar berfloriferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.
3
4
Pengenalan SIP ini diplopori oleh Till dan Mc Culloch pada tahun 1960-
an dengan penelitiannya yang menggunsksn teknologi pembiakan in-vivo pada
tikus. Merreka menamankan SIP itu sebagai CFU-S (Collony Forming Unit
Spelen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangjkan suatu
media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini. Media ini
mengaitkan juga pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S inin dapat
hidup lebih lama dan dinamakan Long Term Culture Initiatibng Cells (LTC-
IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan
stimulator-stimulator pertumbuhan homepoiesis yang disebut Hemopoetic
Growth Factors(HGF) atau juga Colony Stimulating factors (CSF) yang dapat
menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berploriferasi dan
berdiferensiasi sesuai jalur turunnya (lineage)nya. Dengan majunya ilmu
imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat
antibodi monoklonal (Monoclonal Antibody) (MoAb) dalam jumlah banyak;
kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di
permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of
Differentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan
teknik imunohistokimia atau flow cytometry.
Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT)/Comitted progenitor Hemopoetic Cells
Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang
dinamakan faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat
berdeferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang
terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah merah, yaitu
jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebut colony forming unit
granulocyte, erythrocyte, magakaryocute, monocyte (CFU-GEMM) dan jalur
turunan limfosit. CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk
berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E. Seterusnya
5
CFU-G distimulasi G-CSF; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-
MK menjadi sel-sel yang lebih tua (matur).
Sel-sel Darah Dewasa
Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil,
neutrofil), golongan-golongan monosit/makrofag, trombosit, eritrosit, dan
limfosit B dan T.
Kompartemen lingkungan mikro hemopoetik
Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan jaringan lain yang
terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari
sumsum tulang. Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas,
adiposit, matriks ekstraseluler, monosit, makrofag dan sel-sel darah yang lain.
CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte disebut G-CSF, sedangkan
yang monosit dan makrofag disebut M-CSF. Stroma yang terdiri atas fibroblas,
monosit, makrofag, endotel, dsb disebut juga sebagai lingkunagn mikro
hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang
menhidupi sel-sel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di
persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan
sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel
bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang diproduksi
oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel matriks sel bakal dirangsang
untuk berdiferensiasi dan berfungsi seperti yang sudah direncanakan.
Kompartemen FPH (factor pertumbuhan hemopoetik) disebut juga HGF
(hemopoetik growth factor)
FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi,
diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah. FPH diproduksi
oleh stroma. Normalnya FPH hanya didapatkan dalam keadaan yang sedikit di
6
dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan.
Senyawa-senyawa FPH mempunyai tiga sifat biologis, yaitu :
1. Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa sel-sel
bakal; misalnya; IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan
CFU-Meg meskipun dalam derajat yang berbeda.
2. Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh dua FPH,
misalnya; CFU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF
meskipun dalam derajat yang berbeda.
3. Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula
berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.
Gambar 1. Gambaran diagram sel induk pluripoten sum-sum tulang dan jalur sel yang berasal darinya
7
Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel
darah berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan kemampuan bermitosis.
Sel induk berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk myeloid yang
menjadi sel progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat factor
perangsang koloni, seperti eritropoietin untuk pembentukkan eritrosit dan G-
CSF untuk pembentukkan leukosit. Sel progenitor mengadakan diferensiasi
melalui satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel
ini menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah. Sel induk sumsum
dalam keadaan normal terus mengganti sel yang mati dan member respons
terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi dengan berdiferensiasi
mejadi sel tertentu yang dibutuhkan.
Pembentukan Sel Darah
Pada sumsum tulang terdapat sel-sel yang disebut sel stem hemopoietik
pluripoten, yang merupakan asal dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi darah.
Karena sel-sel darah ini diproduksi terus-menerus sepanjang hidup seseorang,
maka ada bagian dari sel-sel ini masih tepat seperti sel-sel pluripoten asalnya
dan disimpan dalam sumsum tulang guna mempertahankan suplainya,
walaupun jumlahnya berkurnag sesuai dengan usia. Namun sebagian besar dari
sel-sel stem yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk membentuk sel-sel
lain. Asal sel yang paling mula tidak dapat dikenali sebagai suatu sel yang
berbeda dari sel stem pluripoten, walaupun sel-sel ini telah membentuk suatu
jalur sel khusus yang disebut sel-stem committed.
Berbagai sel-stem committed bila ditumbuhkan dalam biakkan, akan
menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik. Suatu sel-stem committed
yang menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit, dan
singkatan CFU-E digunakan untuk menandai jenis sel stem ini. Dmeikian pula
uni yang membentuk koloni granulosit dan monosit disingkat dengan CFU-
GM, dan seterusnya.
8
Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh bermacam-
macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Penginduksi
pertumbuhan akan memicu pertumbuhan tetapi tidak membedakan sel-sel.
Membedakan sel-sel adalah fungsi dari rangkaian protein yang lain, yang
disebut penginduksi diferensiasi. Masing-masing dari protein ini akan
menghasilkan satu tipe sel stem untuk berdiferensiasi sebanyak satu langkah
atau lebih menuju tipe akhir pada sel darah dewasa.
Pembentukkan penginduksi pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi itu
sendiri dikendalikan oleh factor-faktor di luar sumsum tulang. Sebagai contoh,
pada sel darah merah, kontak tubuh dengan oksigen yang rendah selama waktu
yang lama akan mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan prodksi
eritrosit dalam jumlah yang sangat meningkat. Pada sel darah putih, penyakit
infeksi akan menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya
pembentukkan sel darah putih tipe spesifik yang diperlukan untuk
memberantas infeksi.
Kebanyakan sel-sel darah berkembang di dalam sumsum tulang yang
disebut stem sel. Sumsum tulang adalah bagian jaringan lunak yang
terletak di setiap pusat tulang. Stem sel berkembang menjadi berbagai
macam sel darah yang memiliki fungsi yang berbeda-beda:
Sel darah putih: membantu melawan
infeksi. Sel darah putih memiliki
beberapa jenis yaitu limfosit, monosit,
basofil, neutrofil batang, neutrofil
segmen, dan eosinofil.
Sel darah merah: membantu membawa
oksigen ke seluruh tubuh
9
Platelet: membantu pembekuan darah
sehingga tidak terjadi perdarahan
Sel darah putih, sel darah merah, dan platelet terbentu dari sel stem
dimana mereka sangat dibutuhkan oleh tubuh. Saat sel-sel tersebut menua dan
rusak, sel tersebut akan mati, dan sel baru akan menggantikan tempat mereka.
Gambar di bawah menunjukkan bagaimana sel stem berkembang menjadi
beberapa tipe sel darah putih.
Gambar 2. Perkembangan stem cell menjadi sel darah merah, sel darah putih dan platelets
Pertama, sel stem akan berkembang menjadi sel stem myeloid atau sel
stem limfosit:
Sel stem myeloid berkembang menjadi myeloid blast. Myeloid blast ini dapat
berkembang menjadi seld darah merah, platelet, atau menjadi beberapa jenis
dari sel darah putih.
Sel stem limfoid akan berkembang menjadi limfoid blast. Limfoid blast ini
dapat berkembang menjadi beberapa tipe sel darah putih seperti sel B/ sel T
10
Sel darah putih yang dihasilkan dari myeloid blast berbeda dari sel darah
putih yang dihasilkan limfoid blast ini.
Sel Leukemia
Pada orang dengan leukemia, sumsum tulang membuat sel darah putih
yang abnormal.Sel yang abnormal tersebut adalah sel leukemia. Tidak seperti
sel darah normal, sel leukemia tidak mati saat waktunya tiba. Mereka malah
memadati dan mendesak sel darah putih normal, sel darah merah, dan platelet.
Hal ini membuat sel darah normal kesulitan dalam menjalankan fungsi normal
mereka.
Gambar 3. Tingkatan sel induk hemopoietik
2.3 Epidemiologi
Leukemia menurut usia didapatkan data yaitu, Leukemia Limfoblastik
Akut (LLA) terbanyak pada anak-anak dan dewasa, Leukemia Granulositik
Kronik (LGK) pada semua usia, lebih sering pada orang dewasa, Leukemia
Granulositik Kronik pada semua usia tersering usia 40-60 tahun, Leukemia
11
Limfositik Kronik (LLK) terbanyak pada orang tua. Leukemia Mieoloblastik
Akut lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%).
Walaupun leukemia menyerang kedua jenis kelamin, tetapi pria terserang sedikit
lebih banyak dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1.9
2.4 Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak
disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara
lain(10) :
Terinfeksi virus
Agen virus sudah lama diidentifikasi sebagai penyebab leukemia pada hewan.
Pada tahun 1980, diisolasi virus HTLV-1( human T–cell lymphotropic virus type
1) yang menyerupai virus penyebab AIDS dari leukemia sel T manusia pada
limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak saat itu diisolasi dari sampel
serum penderita leukemia sel T.
Faktor Genetik
Pengaruh genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya memainkan
peranan , namun jarang terdapat leukemia familial, tetapi insidensi leukemia
lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang , dengan insidensi
yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot (identik).
Kelainan Herediter
Individu dengan kelainan kromosom, seperti Sindrom Down, kelihatannya
mempunyai insidensi leukemia akut 20 puluh kali lipat.
Faktor lingkungan.
- Radiasi. Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia
yang timbul bertahun-tahun kemudian.
- Zat Kimia. Zat kimia misalnya : benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon,
dan agen antineoplastik dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat
12
khususnya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat pada penderita
yang diobati baik dengan radiasi maupun kemoterapi.
Radiasi
Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki kecenderungan
untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik kronik,atau
leukemia limfoblastik akut.
→ Ledakan bom atom: telah menyebabkan radiasi yang sangat tinggi (contohnya
seperti ledakan di jepang pada perang dunia kedua). Terjadi peningkatan
resiko mengidap leukemia pada orang-orang, terutama anak-anak, yang
selamat dari ledakan bom tersebut.
→ Radioterapi: radioterapi untuk kanker dan kondisi lainnya adalah sumber
eksposur radiasi tinggi lainnya. Radioterapi meningkatkan resiko leukemia.
→ X-rays: dental x-rays dan x-rays diagnostik lainnya (seperti CT-Scan)
mengekspos orang-orang terhadap level radiasi yang lebih rendah. Belum
diketahui apakah radiasi level rendah ini dapat menghubungkan leukemia
dengan anak-anak maupun orang dewasa. Peneliti sedang mempelajari
apakah melakukan banyak foto x-rays dapat meningkatkan resiko leukemia.
Mereka juga mempelajari apakah menjalani CT-Scan ketika anak-anak dapat
meningkatkan resiko leukemia.
Benzene
Terekspose benzene di tempat kerjadapat menyebabkan leukemia mieloblastik
akut. Selain itu benzene juga dapat menyebabkan leukemia mielositik kronik
atau leukemia limfoblastik akut. Benzene banyak digunakan pada industri kimia.
Benzene juga ditemukan pada asap rokok dan gasoline.
Merokok
Merokok dapat meningkatkan resiko leukemia mieloblastik akut.
Kemoterapi
13
Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker kadang
akan mengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut.
Contohnya, diterapi dengan obat bernama alkylating agen atau topoisomerase
inhibitor dapat dihubungkan dengan kemungkinan kecil berkembangnya
leukemia akut.
Memiliki satu atau lebih faktor resiko tidak berarti seseorang akan mengidap
leukemia. Kebanyakan orang yang memiliki faktor resiko tidak pernah berkembang
menjadi leukemia.
2.5 Klasifikasi
Leukemia dapat diklafikasikan ke dalam :
1. Maturitas sel (9):
Leukemia Akut
Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif,
dengan transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi
progenitor sumsum tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan
penyakit-penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang
disebabkan akumulasi sel blas walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan.
Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi,
secara paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan leukemia kronik.
Leukemia Kronik
Leukemia kronik dibedakan dari leukemia akut berdasarkan
progresinya yang lebih lambat. Sebaliknya, leukemia kronik lebih sulit
diobati.
2. Tipe-tipe sel asal (9)
Mieloblastik (Mieloblast yang dihasilkan sumsum tulang)
Limfoblastik (limfoblast yang dihasilkan sistem limfatik)
14
Normalnya, sel asal (mieloblast dan limfoblast) tak ada pada darah
perifer. Maturitas sel dan tipe sel dikombinasikan untuk membentuk empat tipe
utama leukemia :
1. LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)
Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) atau dapat juga disebut leukemia
granulositik akut (LGA), mengenai sel stem hematopetik yang kelak
berdiferensiasi ke semua sel mieloid, monosit, granulosit (basofil, netrofil,
eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Dikarakteristikan oleh produksi berlebihan
dari mieloblast. Semua kelompok usia dapat terkena insidensi meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang
paling sering terjadi.(10)
Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu terdapat peningkatan leukosit
immature, pembesaran pada limfe, rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun,
anemia, ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi,pembesaran kelenjer getah
bening,limpa,hati dan kelenjer mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan
hipertrofi gusi ,khususnya pada leukemia akut monoblastik dan
mielomonositik. (10,14)
Pada tahun 1976 tujuh ahli hematologi dari Amerika,Perancis,dan Ingris
melakukan kerjasama dan mereka mengusulkan klasifikasi baru untuk
leukemia akut. Klasifikasi itu kemudian diterima dan dikenal sebagai
klasifikasi FAB ( French American British). FAB membagi LMA menjadi 6
jenis (1):
M-1: Diferensiasi granulositik tanpa pematangan
M-2: Diferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium
promielositik
M-3: Diferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang
dikaitkan dengan pembekuan intra vaskular tersebar (Disseminated
intravascular coagulation).
15
M-4: Leukemia mielomonoblastik akut: kedua garis sel granulosit dan
monosit.
M-5a: Leukemia monoblastik akut : kurang berdiferesiasi
M-5b: Leukemia monoblastik akut : berdiferensiasi baik
M-6: Eritroblast predominan disertai diseritropoiesis berat
M-7: Leukemia megakariositik.
2. LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK (LMK)
Leukemia granulositik kronis (LGK), juga termasuk dalam keganasan sel
stem mieloid. Namun, lebih banyak terdapat sel normal di banding pada bentuk
akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. Abnormalitas genetika yang
dinamakan kromosom Philadelpia ditemukan 90% sampai 95% pasien dengan
LMK. LMK jarang menyerang individu di bawah 20 tahun, namun
insidensinya meningkat sesuai pertambahan usia. (11)
Gambaran menonjol(11) adalah :
Adanya kromosom Philadelphia pada sel – sel darah. Ini adalah kromosom
abnormal yang ditemukan pada sel – sel sumsum tulang.
Krisis Blast. Fase yang dikarakteristik oleh proliferasi tiba-tiba dari jumlah
besar mieloblast. Temuan ini menandakan pengubahan LMK menjadi
LMA. Kematian sering terjadi dalam beberapa bulan saat sel – sel
leukemia menjadi resisten terhadap kemoterapi selama krisis blast.
3. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)
Leukemia Limfositik Akut (LLA) dianggap sebagai suatu proliferasi ganas
limfoblas. Paling sering terjadi pada anak-anak, dengan laki-laki lebih banyak
dibanding perempuan,dengan puncak insidensi pada usia 4 tahun. Setelah usia 15
tahun , LLA jarang terjadi. Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limfoblas
abnormal dalam sum-sum tulang dan tempat-tempat ekstramedular. (13)
16
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel
darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa lemah dan sesak nafas,
karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena
berkurangnya jumlah sel darah putih, perdarahan karena jumlah trombosit yang
terlalu sedikit. (13)
Gambar 4. Gambaran apusan darah tepi leukemia limfoblastik akut
Manifestasi klinis (13):
Hematopoesis normal terhambat
Penurunan jumlah leukosit
Penurunan sel darah merah
Penurunan trombosit
4. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK)
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah
besar limfosit (salah satu jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan
pembesaran kelenjar getah bening. Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60
tahun, dan 2-3 kali lebih sering menyerang pria. Pada awalnya penambahan
jumlah limfosit matang yang ganas terjadi di kelenjar getah bening. Kemudian
menyebar ke hati dan limpa, dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit
17
ini ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi
anemia dan penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit di dalam darah.
Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk melawan infeksi) juga berkurang.
Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari luar,
seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan jaringan tubuh yang normal(12).
Manifestasinya adalah :
Adanya anemia
Pembesaran nodus limfa
Pembesaran organ abdomen
Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun
Terjadi penurunan jumlah limfosit (limfositopenia)
2.6 Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita
dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi
sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat
berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia
memblok produksi sel darah putih yang normal, merusak kemampuan tubuh
terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum
tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai
oksigen pada jaringan.(14)
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak
pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan
leukemia,. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang
menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur,
18
yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik,
dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya
proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan
tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi
kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel
membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai
sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel
darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya,
termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.
Jika penyebab leukemia virus, virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh
manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila
struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus
tersebut ditolaknya seperti pada benda asing lain. Struktur antigen manusia
terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput
lendir yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan ). Oleh
WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte
Lucos A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga
adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat
diabaikan.
Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik
dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan
karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang.
Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang
bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang
tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.
19
Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk
hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel
leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi
bone marrow hipoaktivasi, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga
menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan
hiperkatabolisme.
2.7 Kelainan Hemostasis Pada leukemia
Trombositopenia
Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk mempertahankan hemostasis
normal. Pada keadaan normal jumlah trombosit darah berkisar 150.000 –
400.000/mm3. Trombositopenia adalah istilah untuk jumlah trombosit yang
kurang dari nilai normal tersebut. Trombositopenia biasanya tidak mempunyai
manifestasi klinis hingga jumlah trombosit 100.000/mm3, bahkan hingga
50.000/mm3 sekalipun. Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada jumlah
trombosit < 20.000/mm3.15 Perdarahan akibat trombositopenia merupakan
komplikasi paling sering dari leukemia akut.16 Manifestasi perdarahan akibat
trombositopenia dapat berupa ptekie atau purpura, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga perdarahan otak.17 Berkurangnya
jumlah trombosit pada leukemia akut biasanya merupakan akibat infiltrasi
sumsum tulang atau kemoterapi, selain itu dapat juga disebabkan oleh beberapa
faktor lain seperti koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis dan
hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa. Trombositopenia yang
terjadi bervariasi dan hampir selalu ditemukan pada saat leukemia didiagnosis.
Proses infiltrasi di sumsum tulang mengakibatkan sumsum tulang dipenuhi oleh
sel leukemik sehingga terjadi penurunan jumlah megakariosit yang berakibat
menurunnya produksi trombosit. Kemoterapi pada leukemia dapat menyebabkan
kerusakan langsung sumsum tulang sehingga juga akan menyebabkan
berkurangnya produksi trombosit. Koagulasi intravaskuler diseminata yang sering
20
terjadi pada leukemia akut terutama leukemia promielositik akut mengakibatkan
trombosit banyak terpakai dalam proses koagulasi. Konsumsi trombosit yang
berlebihan ini juga menyebabkan terjadinya trombositopenia. Trombositopenia
akibat purpura trombositopenik imunologik ditemukan pada 2% pasien leukemia
limfositik kronik. Hal ini dihubungkan dengan terbentuknya autoantibodi terhadap
trombosit sehingga berakibat destruksi Trombosit. Produksi autoantibodi
bersamaan dengan infiltrasi sel leukemik di sumsum tulang dan hipersplenismus
menyebabkan semakin berkurangnya jumlah trombosit. Penderita leukemia akut
yang sedang dalam pengobatan, sering memerlukan transfusi trombosit berulang
kali. Keadaan ini menimbulkan risiko terjadinya aloimunisasi sehingga terbentuk
aloantibodi yang pada akhirnya dapat menyebabkan penghancuran trombosit.
Trombositopenia dapat terjadi satu minggu setelah transfusi darah atau produk
darah yang mengandung trombosit. Transfusi trombosit cenderung gagal pada
pasien yang membentuk aloantibodi tersebut. Pada pasien AML, kadar
trombopoietin rendah, tetapi segera meningkat hingga kadar yang diharapkan
selama induksi kemoterapi begitu sel blast menghilang. Kadar trombopoietin yang
inadekuat pada pasien AML tersebut akibat adanya reseptor trombopoietin c-mpl
pada sel blast mieloid yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel
leukemik mieloid dan menurunkan apoptosis dari sel tersebut. Risiko terjadinya
perdarahan hebat berbanding terbalik dengan jumlah trombosit. Untuk mencegah
risiko perdarahan hebat pada pasien trombositopenia dapat dilakukan dengan
transfusi trombosit, tetapi jumlah trombosit optimal sebagai batas transfusi
trombosit profilaktik masih diperdebatkan. Jumlah trombosit yang dipakai sebagai
batas untuk transfusi trombosit adalah dibawah 20.000/mm3. Penghitungan
jumlah trombosit dapat dilakukan secara manual atau dengan alat automatik.
Hitung trombosit dengan alat automatik dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
adanya agregat trombosit akibat agregasi spontan, cold aglutinin atau partikel
debris seperti fragmen eritrosit dan leukosit. Untuk itu penting dilalukan
konfirmasi dengan inspeksi pada sediaan hapus darah tepi. Sediaan hapus darah
21
tepi dapat memberikan informasi mengenai ukuran dan morfologi trombosit serta
konfirmasi jumlah trombosit.
Disfungsi trombosit
Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan meskipun jumlah
trombosit tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi pada ± 30% pasien
leukemia mielositik kronik (LMK). Gangguan fungsi trombosit yang terjadi
berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin, kelainan pelepasan PF3,
defisiensi granula- serta penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal
dari trombosit. Manifestasi perdarahan yang muncul akibat gangguan fungsi
trombosit pada leukemia mielositik kronik dapat berupa perdarahan mukokutan,
perdarahan retina dan hematuria. Hal ini disebabkan oleh berkurang atau tidak
adanya agregasi trombosit dalam merespon ADP, epinefrin atau kolagen. Pada
pasien ini akan didapatkan waktu perdarahan yang memanjang. Patogenesis
kelainan fungsi trombosit yang ditemukan pada leukemia ini masih belum jelas.
Beberapa faktor diduga sebagai penyebab perubahan fungsional dari trombosit
seperti kelainan interaksi hemostasis di sirkulasi pada saat aktivasi dan reaksi
pelepasan trombosit. Kemungkinan lain adalah kelainan produksi trombosit yang
primernya merupakan gangguan struktur dan fungsi megakariosit.
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah suatu sindrom yang ditandai
dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa pembentukan dan
penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga menimbulkan trombus
mikrovaskuler pada berbagai organ yang dapat mengakibatkan kegagalan
multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus berlangsung menyebabkan konsumsi
faktor pembekuan dan trombosit secara berlebihan sehingga mengakibatkan
komplikasi perdarahan berat. KID bukanlah suatu penyakit tetapi terjadinya
sekunder terhadap penyakit lain yang mendasari. meliputi kejadian trombosis dan
22
perdarahan dalam tubuh yang terjadi secara bersamaan. Istilah ini juga dikenal
sebagai consumption coagulopathy karena faktor pembekuan dalam plasma
terpakai selama proses pembekuan. Selain itu berkurangnya faktor pembekuan
juga dapat disebabkan oleh degradasi plasmin akibat hiperfibrinolisis. Leukemia
akut yang paling sering dihubungkan dengan KID adalah leukemia promielositik
akut (AML-M3), diikuti dengan leukemia mielomonositik akut (AML-M4), serta
leukemia mieloblastik akut AML-M1 dan AML-M2.2,13,14 Pada leukemia
limfoblastik akut lebih kurang 10% pasien mengalami KID pada saat diagnosis.
Leukemia kronik yang lebih sering mengalami KID adalah LMK dibandingkan
dengan LLK. Pada leukemia, komplikasi KID terjadi karena dilepaskannya bahan
prokoagulan (thromboplastin-like substances) dari sel blast. Bahan prokoagulan
bersifat seperti faktor jaringan tersebut yang akan membentuk kompleks dengan
faktor VIIa sehingga mengaktifkan kaskade koagulasi melalui jalur ekstrinsik
yang membentuk fibrin secara sistemik. Koagulasi yang terus berlangsung akan
menurunkan kadar antitrombin III plasma yang merupakan inhibitor penting untuk
proses koagulasi. Selanjutnya terjadi inhibisi sistem fibrinolitik akibat aktivasi
koagulasi yang maksimal. Inhibisi ini disebabkan oleh peningkatan
plasminogenactivator inhibitor tipe 1 (PAI-1) sebagai inhibitor utama untuk
sistem fibrinolitik. Yang paling penting adalah memastikan bahwa pasien yang
mengalami KID tidak memiliki kelainan hati atau defisiensi vitamin K yang dapat
menyerupai keadaan KID. Thrombin Time (TT) tampaknya berguna untuk
membedakan kelainan koagulasi karena desisiensi vitamin K dengan KID, karena
TT tidak pernah abnormal pada defisiensi vitamin K.
Defek protein koagulasi
Infiltrasi ke hati sering ditemukan pada leukemia akut, diikuti LLK dan LMK,
yang menyebabkan menurunnya sintesis faktor koagulasi yang tergantung vitamin
23
K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Dari beberapa penelitian mengenai F V
ditemukan penurunannya pada sekitar 18 – 45%. Pada pasien dengan AML-M3
lebih dari 90% pasien mengalami defisiensi faktor V. Penurunan fibrinogen dan
faktor pembekuan lainnya pada leukemia akut bisa juga disebabkan oleh KID.
Pada KID terjadi konsumsi berlebihan dari faktor pembekuan tersebut. Selain itu
keadaan hiperfibrinolisis juga menyebabkan degradasi beberapa faktor
pembekuan yang semakin menurunkan kadar faktor pembekuan tersebut di dalam
darah. Tes untuk mendeteksi adanya defek protein koagulasi yaitu dengan
pemeriksaan APTT dan PT serta mengukur kadar faktor pembekuan itu sendiri.
Untuk gangguan sintesis faktor pembekuan yang tergantung vitamin K akan
ditandai dengan pemanjangan PT, sedangkan untuk konsumsi faktor pembekuan
yang berlebihan pada KID akan ditandai oleh pemanjangan baik APTT maupun
PT. Tes untuk degradasi fibrinogen akibat proses hiperfibrinolisis dapat dideteksi
dengan adanya produk degradasi fibrinogen.
2.8 Manifestasi Klinis
1. Leukemia Limfoblastik Akut
Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan
singkat bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi
ketika melakukan pemeriksaan rutin.Kebanyakan pasien mendapati
keluhan seperti demam selama 3 – 4 minggu sebelum terdiagnosa, bersifat
intermiten. Selain itu juga disertai keluhan karena kegagalan sumsum
tulang seperti :
a. Anemia : pucat, letargi, dyspnea
b. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya
c. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan
menoragia.
24
Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ
berupa nyeri pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri
abdomen dan sindrom meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan
kabur dan diplopia).18,19,20
Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie,
limfadenopati dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak
pucat dan lesu, perdarahan kulit dapat pula berupa purpura ataupun
ekimosis, perdarahan pada mukosa. Keluhan nyeri tulang dan sendi dapat
ditemukan adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama pada
ekstremitas bawah.Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat
jarang terjadi, meskipun ada dapat berupa papil edema, perdarahan retina,
kelumpuhan saraf kranial, paraplegia dan paraparese.Tanda lainnya akibat
infiltrasi leukosit ke organ lain berupa pembesaran kelenjar saliva,
pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal insufisiensi yang
ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat disebabkan
karena anemia ataupun terdapat massa di mediastinum anterior berupa
pembesaran thymus, biasanya terjadi pada remaja dengan LLA tipe sel
T.21,22
2. Leukemia Mieloid Akut
Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL
yaitu karena penumpukan sumsum tulang akan sel – sel ganas yang
menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan
mempunyai gejala – gejala yang ditemukan pada kegagalan sumsum tulang
ALL juga. Terdapat beberapa gejala pada LMA yang tidak muncul pada
LLA yaitu nodul subkutan, hipertrofi gusi karena infiltrasi leukosit dan
pada LMA dapat terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC)
dengan perdarahan yang serius, dapat juga ditemukan tumor local atau
kloroma.18,20,21
25
3. Leukemia Mieloid Kronik
Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat
juga terjadi pada anak – anak dan neonatus.Etiologi dan faktor predisposisi
tidak diketahui, pasien sering asimtomatik dengan splenomegali masif pada
pemeriksaan rutin anak sehat.Tetapi dapat juga terjadi gejala seperti
demam, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun, nyeri abdomen
atau nyeri tulang dan hepatomegali. Ada 3 fase LMK : fase kronis, fase
akselerasi, dan krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun –
tahun, hiperproliferasi elemen myeloid matur, yang nantinya akan masuk
ke fase akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang nyata dimana
secara morfologis ditemukan mieloblas namun dapat juga terjadi
transformasi limfoblas. Saat dimulai fase blas, jumlah darah meningkat
tajam dan tidak terkontrol dengan obat lagi, biasanya pasien akan
meninggal pada usia 3 – 4 tahun setelah onset.18,20,21
2.9 Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia.Untuk diagnosis pasti
harus dilakukan aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan
pemeriksaan pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan
sebelumnya.Anemia dan trombositopenia sering tampak pada sebagian
besar pasien.Sel leukemia sering tidak tampak pada darah perifer dalam
pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia tersebut
sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal.Bila hasil analisis darah perifer
mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus
dilakukan dengan tepat untuk menetapkan diagnosis.Pemeriksaan LCS
dapat menentukan derajat LLA.Bila ditemukan peningkatan limfoblas
pada LCS maka disebut leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat
26
yang berat dan memerlukan terapi SSP dan sistemik. Dengan
ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa
mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu
terapi, maka pasien disebut LLA dengan resiko tinggi.18,23
Diagnosis LMA dapat diawali sebagaiprolonged preleukemia, yaitu
kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia
refrakter, neutropenia dan trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang
tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologis yang jelas,
biasanya hiperseluler, kadang hiposeluler yang akan menjadi leukemia
akut. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik dan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri.23
Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta
menentukan sudah sejauh mana progresivitas atau perjalanan dari
penyakitnya, diperlukan beberapa pemeriksaan seperti :
1. Pemeriksaan hematologis
Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi
trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit
cenderung meningkat meskipun bisa normal atau menurun.Jumlah
leukosit adalah hasil yang paling bermakna pada leukemia dimana
terjadi peningkatan massif hingga lebih dari 200.000/mm3 pada keadaan
tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC dan
leukostasis.Biasanya jumlah leukosit berkisar antara 10.000 –
50.000/mm3 pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya dapat
sampai diatas 100.000/mm3.Untuk mengetahui keadaan DIC pada kasus
AML juga perlu dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
27
2. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi
Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia
dimana terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai
adanya kelainan struktur atau komponennya.Hasil pemeriksaan SADT
menunjukkan ditemukannya sel blas dengan jumlah yang
bervariasi.Khusus pada LMK didapatkan jumlah basophil yang
meningkat dan sel blas tidak banyak dijumpai, namun ketika masuk fase
krisis blas secara morfologis ditemukan mieloblas meningkat, tetapi
dapat juga terjadi transformasi limfoblas.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang
yang akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas
leukemik lebih dari 30%. Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas,
hasil pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan hiperseluler
dengan maturasi mieloid yang normal.
4. Pungsi lumbal
Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular.Hasilnya
dapat menunjukkan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan
mengandung sel leukemia.
5. Radiologis
Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya
lesi osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan
pembesaran thymus dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang
khas untuk LLA-T.
28
6. Fungsi hati dan ginjal
Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai
pengobatan.
7. Pemeriksaan biokimia darah
Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat
dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang,
hiperkalsemia.Keadaaan hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal
ginjal akut.
8. Analisis sitogenetik darah
Pada kira – kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia
myeloid kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom
ini berkaitan dengan t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk
leukemia akut bertujuan untuk menentukan klasifikasi leukemia.
2.10 Diagnosis Banding
Gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada awal manifestasi
leukemia sangat tidak spesifik dan tidak khas sehingga banyak penyakit
lain yang dapat dipikirkan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang
dan menegakkan diagnosis leukemia.
Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah
pada idiopatik trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar
tanpa ada tanda – tanda anemia.Demam dan pembengkakan sendi dapat
menyerupai penyakit rheumatologi seperti juvenile rheumatoid arthritis
dan demam rematik, penyakit kolagen vaskuler, atau osteomyelitis.18,19
Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki
gambaran pansitopenia dan komplikasinya sama – sama kegagalan
sumsum tulang, namun pada anemia aplastic hepatosplenomegali dan
29
limfadenopati tidak ditemukan, dan tidak ada lesi osteolitik seperti pada
leukemia. Biopsi atau aspirasi sumsum tulang akan menegakkan
diagnosis.19
Infeksi virus pada anak – anak seringkali membuat diagnose leukemia
sulit ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia
atau anemia hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit
atipikal dan titer virus yang meningkat.Demam dengan onset akut dan
limfadenopati pada mononucleosis sangat perlu dicurigai, begitu pula
dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi peningkatan leukosit
hingga 50.000 – 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit leukemik.18,19
Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum
tulang dan menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain
neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma.
Sel – sel pada keganasan – keganasan ini biasanya berkelompok dan
tumor primer dapat ditemukan.
Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA,
LMK dan myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi
diagnosis banding pada bayi sindrom Down dengan leukositosis dan left
shift. Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi
berlebihan hingga mencapai diatas 50.000/mm3.Jika leukosit bukan
merupakan sel blas yang maligna, sindrom ini disebut reaksi leukemoid,
sering terdapat peningkatan myeloid imatur atau prekursor limfoid di
dalam darah perifer.Pada pemeriksaan sumsum tulang secara khas
menunjukkan hyperplasia myeloid dengan maturasi normal. Penyebab
lain reaksi leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolysis berat,
vaskulitis, obat – obatan dan adanya tumor yang metastasis ke sumsum
tulang.21
2.11 Penatalaksanaan
30
Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase23,
diantaranya ialah :
1. Fase remisi induksi2. Fase intensif3. Terapi susunan saraf pusat4. Rumatan
Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari
sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak
lagi tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin
setiap minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan L-
asparginase. Hasilnya 98% penderita akan mengalami remisi komplit. Pasien
dengan resiko tinggi juga diberikan daunomycin setiap minggu.18,19
Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas <
5% pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12
g/dl tanpa transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS
normal.Tujuan pada fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat
sebelum timbul resisten hingga pasien mencapai kondisi sembuh. Fase induksi
remisi dan intensif dilakukan sampai 4 minggu.
Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps
leukemia terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang
ditemukan sel leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan
kemoterapi injeksi metotreksat intratekal pada lumbal pungsi dan kemoterapi
sistemik. Injeksi intratekal metotreksat sering dikombinasi dengan infus
berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 g/mm2).
Pada pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu pengobatan dengan
radiasi otak dan medula spinalis.18,20
Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per
minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun. Transplantasi sumsum
tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling efektif, terutama pada kasus
31
leukemia relaps yang tidak berespons dengan pengobatan
konvensional.Beberapa pendapat mengatakan lebih efektif dilakukan
transplantasi pada remisi pertama tetapi masih diperdebatkan. Meskipun
sangat efektif perlu diwaspadai reaksi graft-versus-host atau bahkan graft-
versus-leukemia.18,20
Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 – 200
mg/m2/hari IV selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3 hari.
Pada LMA jarang diberikan terapi SSP karena jarang relaps pada saraf pusat.
Pada LMA tipe M3 pengobatan dengan asam retinoat yang dikombinasikan
dengan antracycline dilaporkan sangat responsive sehingga tidak diperlukan
transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama.
Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70%
pasien dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat
menurunkan leukosit secara bertahap sementara menunggu respons imatinib.
Mengingat bahaya dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang adalah satu –
satunya pengobatan yang dapat meradikasi sel leukemia. Selain pengobatan
kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti hidrasi, alkalinisasi dan
allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat kemoterapi yang dapat
membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering menyebabkan mielosupresi
sehingga kadang transfuse eritrosit dan trombosit juga diperlukan. Antibiotik
dapat diberikan bila terdapat infeksi, namun profilaksis harus diberikan untuk
mencegah infeksi sekunder khususnya pneumonia hingga beberapa bulan
setelah pengobatan selesai.18
Leukemia Limfoblastik Akut :
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan
menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali
di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat
di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung
32
kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin
memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi
trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. 13
Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan
dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu
kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari
vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi
sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke
dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau
beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan
sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi)
untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung
selama 2-3 tahun. 13
Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang,
otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang
merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani
kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk
sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka
obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2
kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya
diatasi dengan kemoterapi dan terapi penyinaran. 13
Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga
banyak penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun
sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau
terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan
33
transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang
pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun,
diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.
Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah
bening, hati atau limpa. 12
Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah
limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa
menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar.
Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian
jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping.
Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker
dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan
interferon alfa dan pentostatin. 12
Leukemia Granulositik Kronik
Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya
memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil
apabila jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang dari
50.000/mikroliter darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa
menghancurkan semua sel leukemik.Satu-satunya kesempatan penyembuhan
adalah dengan pencangkokan sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif
jika dilakukan pada stadium awal dan kurang efektif jika dilakukan pada
fase akselerasi atau krisis blast. Obat interferon alfa bisa menormalkan
kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi. Hidroksiurea per-oral
(ditelan) merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan untuk
penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi karena memiliki efek samping
yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh terlalu lama. Terapi penyinaran
untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel leukemik. Kadang
limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi) untuk: mengurangi
34
rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit, mengurangi
kemungkinan dilakukannya tranfusi. 11
Kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan
kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia.
Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat
atau kombinasi dari dua obat atau lebih
Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi
untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini
diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik.
Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang
digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel
leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia
myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama
interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia
Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien,
sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian
lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien
mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. (Iradiasi seluruh tubuh
biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang).
Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
35
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang
tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel
leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian,
pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung
fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher.
Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap
di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien
dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai
menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.
2.12 Komplikasi
Pada anak – anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel yang lisis
dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia, hyperkalemia dan
hiperfosfatemia yang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal juga bisa karena
infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif yang
disebabkan baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak – anak
rentan terhadap infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau
terapinya akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa.
Gangguan koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular
coagulopathy. Pengobatan sistemik maupun sistem saraf pusat dapat
menyebabkan leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang maupun gangguan
intelektual pada beberapa anak.18
Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi lebih
dari 100.000/mm3.Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA, 5 – 22% dari LMA dan
pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik.Tindakan antisipasi dimulai
saat jumlah leukosit 50.000/mm3 denganpeningkatan dosis kemoterapi yang
36
perlahan dan pemberian hidroksiurea pada LMA dan dexamethasone pada
LLA.Untuk mengatasinya diperlukan tindakan yang segera (emergency
oncology) karena komplikasinya yang mengancam jiwa, antara lain23 :
1. Sindroma leukostasis
Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi
terutama pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena
ukuran mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih
kaku.Leukostasis di otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari
pusing hingga peningkatan tekanan intracranial.Leukostasis di paru
menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal nafas.Pemberian leukoferesis
dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti dengan
hidroksiurea (50-100 mg/kgBB).Oksigen adekuat dan koreksi jumlah
trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan.23
2. Sindroma lisis tumor
Akibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi
hiperurisemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak
bisa diekskresi ginjal menimbulkan manifestasi gangguan
metabolic.Sindroma lisis tumor lebih sering terjadi pada LLA.Gagal
ginjal dapat terjadi bila asam urat serum lebih dari 20 mg/dl, perlu
pemberian allopurinol, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan
hidrasi yang cukup. Natrium bikarbonat dihentikan bila pH urin > 7,5
karena bila berlebihan justru menciptakan suasana basa yang
memudahkan pengendapan kalsium fosfat sehingga terjadi hipokalsemia.
Sementara hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis dari sel tumor, dapat
diberikan insulin dan glukosa sebagai bahan pengikat fosfat.
Hiperkalemia > 7,5 mEq/L harus diatasi segera dengan kayesalate (1 g/kg
dicampur 50% sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi dari lisis sel tumor atau
37
oliguria dari hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung sehingga
perlu pemeriksaan EKG.
2.13 Prognosis
Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa
berdasarkan faktor prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA
semakin baik bila responsive terhadap pengobatan dimana dalam
pengobatan 1 minggu sel blas sudah tidak tampak pada darah tepid an
sumsum tulang.Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan prognosis
LLA adalah jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia diantara 1 – 15
tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin perempuan dan LLA hyperploid
(>50 kromosom). Faktor prognostic yang memperburuk prognosis pada
LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi, sebanding dengan ukuran
splenomegaly, adanya koagulopati, induksi remisi yang lambat, usia < 2
tahun dan > 4 tahun dan leukemia monoblastik.19,23