BAB II

56
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati,limpa, kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis). 9 Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukemia. 10 Leukemia atau kanker darah juga didefinisikan sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid . Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau 3

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya

akumulasi leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal

ini menyebabkan timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu

anemia, neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati,limpa,

kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis).9

Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya

proliferasi neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat

mutasi somatik sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel

leukemia.10 Leukemia atau kanker darah juga didefinisikan sekelompok

penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal

atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum

tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan

oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan

dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia

mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan

imunitas tubuh penderita.

2.2 Pembentukan Sel Darah (Hemopoiesis)

Tiga komponen yang berperan penting pada hemopoiesis, yaitu:

Kompartemen sel-sel darah terdiri atas:

Sel Induk Pluripoten (SIP)

Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk

pluripoten. Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan

besar berfloriferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.

3

Page 2: BAB II

4

Pengenalan SIP ini diplopori oleh Till dan Mc Culloch  pada tahun 1960-

an dengan penelitiannya yang menggunsksn teknologi pembiakan in-vivo pada

tikus. Merreka menamankan SIP itu sebagai CFU-S (Collony Forming Unit

Spelen). Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangjkan suatu

media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini. Media ini

mengaitkan juga pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S inin dapat

hidup lebih lama dan dinamakan Long Term Culture Initiatibng Cells (LTC-

IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan

stimulator-stimulator pertumbuhan homepoiesis yang disebut Hemopoetic

Growth Factors(HGF) atau juga Colony Stimulating factors (CSF) yang dapat

menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berploriferasi dan

berdiferensiasi sesuai jalur turunnya (lineage)nya. Dengan majunya ilmu

imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat

antibodi monoklonal (Monoclonal Antibody) (MoAb) dalam jumlah banyak;

kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di

permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of

Differentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan

teknik imunohistokimia atau flow cytometry.

Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT)/Comitted progenitor Hemopoetic Cells

Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang

dinamakan faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat

berdeferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang

terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah merah, yaitu

jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebut colony forming unit

granulocyte, erythrocyte, magakaryocute, monocyte (CFU-GEMM) dan jalur

turunan limfosit. CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk

berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E. Seterusnya

Page 3: BAB II

5

CFU-G distimulasi G-CSF; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-

MK menjadi sel-sel yang lebih tua (matur).

Sel-sel Darah Dewasa

Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil,

neutrofil), golongan-golongan monosit/makrofag, trombosit, eritrosit, dan

limfosit B dan T.

Kompartemen lingkungan mikro hemopoetik

Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan jaringan lain yang

terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari

sumsum tulang. Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas,

adiposit, matriks ekstraseluler, monosit, makrofag dan sel-sel darah yang lain.

CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte disebut G-CSF, sedangkan

yang monosit dan makrofag disebut M-CSF. Stroma yang terdiri atas fibroblas,

monosit, makrofag, endotel, dsb disebut juga sebagai lingkunagn mikro

hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang

menhidupi sel-sel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di

persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan

sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel

bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang diproduksi

oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel matriks sel bakal dirangsang

untuk berdiferensiasi dan berfungsi seperti yang sudah direncanakan.

Kompartemen FPH (factor pertumbuhan hemopoetik) disebut juga HGF

(hemopoetik growth factor)

FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi,

diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah. FPH diproduksi

oleh stroma. Normalnya FPH hanya didapatkan dalam keadaan yang sedikit di

Page 4: BAB II

6

dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan.

Senyawa-senyawa FPH mempunyai tiga sifat biologis, yaitu :

1. Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa sel-sel

bakal; misalnya; IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan

CFU-Meg meskipun dalam derajat yang berbeda.

2. Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh dua FPH,

misalnya; CFU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF

meskipun dalam derajat yang berbeda.

3. Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula

berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.

Gambar 1. Gambaran diagram sel induk pluripoten sum-sum tulang dan jalur sel yang berasal darinya

Page 5: BAB II

7

Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel

darah berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan kemampuan bermitosis.

Sel induk berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk myeloid yang

menjadi sel progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat factor

perangsang koloni, seperti eritropoietin untuk pembentukkan eritrosit dan G-

CSF untuk pembentukkan leukosit. Sel progenitor mengadakan diferensiasi

melalui satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel

ini menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah. Sel induk sumsum

dalam keadaan normal terus mengganti sel yang mati dan member respons

terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi dengan berdiferensiasi

mejadi sel tertentu yang dibutuhkan.

Pembentukan Sel Darah

Pada sumsum tulang terdapat sel-sel yang disebut sel stem hemopoietik

pluripoten, yang merupakan asal dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi darah.

Karena sel-sel darah ini diproduksi terus-menerus sepanjang hidup seseorang,

maka ada bagian dari sel-sel ini masih tepat seperti sel-sel pluripoten asalnya

dan disimpan dalam sumsum tulang guna mempertahankan suplainya,

walaupun jumlahnya berkurnag sesuai dengan usia. Namun sebagian besar dari

sel-sel stem yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk membentuk sel-sel

lain. Asal sel yang paling mula tidak dapat dikenali sebagai suatu sel yang

berbeda dari sel stem pluripoten, walaupun sel-sel ini telah membentuk suatu

jalur sel khusus yang disebut sel-stem committed.

Berbagai sel-stem committed bila ditumbuhkan dalam biakkan, akan

menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik. Suatu sel-stem committed

yang menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit, dan

singkatan CFU-E digunakan untuk menandai jenis sel stem ini. Dmeikian pula

uni yang membentuk koloni granulosit dan monosit disingkat dengan CFU-

GM, dan seterusnya.

Page 6: BAB II

8

Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh bermacam-

macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Penginduksi

pertumbuhan akan memicu pertumbuhan tetapi tidak membedakan sel-sel.

Membedakan sel-sel adalah fungsi dari rangkaian protein yang lain, yang

disebut penginduksi diferensiasi. Masing-masing dari protein ini akan

menghasilkan satu tipe sel stem untuk berdiferensiasi sebanyak satu langkah

atau lebih menuju tipe akhir pada sel darah dewasa.

Pembentukkan penginduksi pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi itu

sendiri dikendalikan oleh factor-faktor di luar sumsum tulang. Sebagai contoh,

pada sel darah merah, kontak tubuh dengan oksigen yang rendah selama waktu

yang lama akan mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan prodksi

eritrosit dalam jumlah yang sangat meningkat. Pada sel darah putih, penyakit

infeksi akan menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya

pembentukkan sel darah putih tipe spesifik yang diperlukan untuk

memberantas infeksi.

Kebanyakan sel-sel darah berkembang di dalam sumsum tulang yang

disebut stem sel. Sumsum tulang adalah bagian jaringan lunak yang

terletak di setiap pusat tulang. Stem sel berkembang menjadi berbagai

macam sel darah yang memiliki fungsi yang berbeda-beda:

Sel darah putih: membantu melawan

infeksi. Sel darah putih memiliki

beberapa jenis yaitu limfosit, monosit,

basofil, neutrofil batang, neutrofil

segmen, dan eosinofil.

Sel darah merah: membantu membawa

oksigen ke seluruh tubuh

Page 7: BAB II

9

Platelet: membantu pembekuan darah

sehingga tidak terjadi perdarahan

Sel darah putih, sel darah merah, dan platelet terbentu dari sel stem

dimana mereka sangat dibutuhkan oleh tubuh. Saat sel-sel tersebut menua dan

rusak, sel tersebut akan mati, dan sel baru akan menggantikan tempat mereka.

Gambar di bawah menunjukkan bagaimana sel stem berkembang menjadi

beberapa tipe sel darah putih.

Gambar 2. Perkembangan stem cell menjadi sel darah merah, sel darah putih dan platelets

Pertama, sel stem akan berkembang menjadi sel stem myeloid atau sel

stem limfosit:

Sel stem myeloid berkembang menjadi myeloid blast. Myeloid blast ini dapat

berkembang menjadi seld darah merah, platelet, atau menjadi beberapa jenis

dari sel darah putih.

Sel stem limfoid akan berkembang menjadi limfoid blast. Limfoid blast ini

dapat berkembang menjadi beberapa tipe sel darah putih seperti sel B/ sel T

Page 8: BAB II

10

Sel darah putih yang dihasilkan dari myeloid blast berbeda dari sel darah

putih yang dihasilkan limfoid blast ini.

Sel Leukemia

Pada orang dengan leukemia, sumsum tulang membuat sel darah putih

yang abnormal.Sel yang abnormal tersebut adalah sel leukemia. Tidak seperti

sel darah normal, sel leukemia tidak mati saat waktunya tiba. Mereka malah

memadati dan mendesak sel darah putih normal, sel darah merah, dan platelet.

Hal ini membuat sel darah normal kesulitan dalam menjalankan fungsi normal

mereka.

Gambar 3. Tingkatan sel induk hemopoietik

2.3 Epidemiologi

Leukemia menurut usia didapatkan data yaitu, Leukemia Limfoblastik

Akut (LLA) terbanyak pada anak-anak dan dewasa, Leukemia Granulositik

Kronik (LGK) pada semua usia, lebih sering pada orang dewasa, Leukemia

Granulositik Kronik pada semua usia tersering usia 40-60 tahun, Leukemia

Page 9: BAB II

11

Limfositik Kronik (LLK) terbanyak pada orang tua. Leukemia Mieoloblastik

Akut lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%).

Walaupun leukemia menyerang kedua jenis kelamin, tetapi pria terserang sedikit

lebih banyak dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1.9

2.4 Etiologi

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak

disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara

lain(10) :

Terinfeksi virus

Agen virus sudah lama diidentifikasi sebagai penyebab leukemia pada hewan.

Pada tahun 1980, diisolasi virus HTLV-1( human T–cell lymphotropic virus type

1) yang menyerupai virus penyebab AIDS dari leukemia sel T manusia pada

limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak saat itu diisolasi dari sampel

serum penderita leukemia sel T.

Faktor Genetik

Pengaruh genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya memainkan

peranan , namun jarang terdapat leukemia familial, tetapi insidensi leukemia

lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang , dengan insidensi

yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot (identik).

Kelainan Herediter

Individu dengan kelainan kromosom, seperti Sindrom Down, kelihatannya

mempunyai insidensi leukemia akut 20 puluh kali lipat.

Faktor lingkungan.

- Radiasi. Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia

yang timbul bertahun-tahun kemudian.

- Zat Kimia. Zat kimia misalnya : benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon,

dan agen antineoplastik dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat

Page 10: BAB II

12

khususnya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat pada penderita

yang diobati baik dengan radiasi maupun kemoterapi.

Radiasi

Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki kecenderungan

untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik kronik,atau

leukemia limfoblastik akut.

→ Ledakan bom atom: telah menyebabkan radiasi yang sangat tinggi (contohnya

seperti ledakan di jepang pada perang dunia kedua). Terjadi peningkatan

resiko mengidap leukemia pada orang-orang, terutama anak-anak, yang

selamat dari ledakan bom tersebut.

→ Radioterapi: radioterapi untuk kanker dan kondisi lainnya adalah sumber

eksposur radiasi tinggi lainnya. Radioterapi meningkatkan resiko leukemia.

→ X-rays: dental x-rays dan x-rays diagnostik lainnya (seperti CT-Scan)

mengekspos orang-orang terhadap level radiasi yang lebih rendah. Belum

diketahui apakah radiasi level rendah ini dapat menghubungkan leukemia

dengan anak-anak maupun orang dewasa. Peneliti sedang mempelajari

apakah melakukan banyak foto x-rays dapat meningkatkan resiko leukemia.

Mereka juga mempelajari apakah menjalani CT-Scan ketika anak-anak dapat

meningkatkan resiko leukemia.

Benzene

Terekspose benzene di tempat kerjadapat menyebabkan leukemia mieloblastik

akut. Selain itu benzene juga dapat menyebabkan leukemia mielositik kronik

atau leukemia limfoblastik akut. Benzene banyak digunakan pada industri kimia.

Benzene juga ditemukan pada asap rokok dan gasoline.

Merokok

Merokok dapat meningkatkan resiko leukemia mieloblastik akut.

Kemoterapi

Page 11: BAB II

13

Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker kadang

akan mengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut.

Contohnya, diterapi dengan obat bernama alkylating agen atau topoisomerase

inhibitor dapat dihubungkan dengan kemungkinan kecil berkembangnya

leukemia akut.

Memiliki satu atau lebih faktor resiko tidak berarti seseorang akan mengidap

leukemia. Kebanyakan orang yang memiliki faktor resiko tidak pernah berkembang

menjadi leukemia.

2.5 Klasifikasi

Leukemia dapat diklafikasikan ke dalam :

1. Maturitas sel (9):

Leukemia Akut

Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif,

dengan transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi

progenitor sumsum tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan

penyakit-penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang

disebabkan akumulasi sel blas walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan.

Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi,

secara paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan leukemia kronik.

Leukemia Kronik

Leukemia kronik dibedakan dari leukemia akut berdasarkan

progresinya yang lebih lambat. Sebaliknya, leukemia kronik lebih sulit

diobati.

2. Tipe-tipe sel asal (9)

Mieloblastik (Mieloblast yang dihasilkan sumsum tulang)

Limfoblastik (limfoblast yang dihasilkan sistem limfatik)

Page 12: BAB II

14

Normalnya, sel asal (mieloblast dan limfoblast) tak ada pada darah

perifer. Maturitas sel dan tipe sel dikombinasikan untuk membentuk empat tipe

utama leukemia :

1. LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)

Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) atau dapat juga disebut leukemia

granulositik akut (LGA), mengenai sel stem hematopetik yang kelak

berdiferensiasi ke semua sel mieloid, monosit, granulosit (basofil, netrofil,

eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Dikarakteristikan oleh produksi berlebihan

dari mieloblast. Semua kelompok usia dapat terkena insidensi meningkat

sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang

paling sering terjadi.(10)

Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu terdapat peningkatan leukosit

immature,  pembesaran pada limfe, rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun,

anemia, ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi,pembesaran kelenjer getah

bening,limpa,hati dan kelenjer mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan

hipertrofi gusi ,khususnya pada leukemia akut monoblastik dan

mielomonositik. (10,14)

Pada tahun 1976 tujuh ahli hematologi dari Amerika,Perancis,dan Ingris

melakukan kerjasama dan mereka mengusulkan klasifikasi baru untuk

leukemia akut. Klasifikasi itu kemudian diterima dan dikenal sebagai

klasifikasi FAB ( French American British). FAB membagi LMA menjadi 6

jenis (1):

M-1: Diferensiasi granulositik tanpa pematangan

M-2: Diferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium

promielositik

M-3: Diferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang

dikaitkan dengan pembekuan intra vaskular tersebar (Disseminated

intravascular coagulation).

Page 13: BAB II

15

M-4: Leukemia mielomonoblastik akut: kedua garis sel granulosit dan

monosit.

M-5a: Leukemia monoblastik akut : kurang berdiferesiasi

M-5b: Leukemia monoblastik akut : berdiferensiasi baik

M-6: Eritroblast predominan disertai diseritropoiesis berat

M-7: Leukemia megakariositik.

2. LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK (LMK)

Leukemia granulositik kronis (LGK), juga termasuk dalam keganasan sel

stem mieloid. Namun, lebih banyak terdapat sel normal di banding pada bentuk

akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. Abnormalitas genetika yang

dinamakan kromosom Philadelpia ditemukan 90% sampai 95% pasien dengan

LMK. LMK jarang menyerang individu di bawah 20 tahun, namun

insidensinya meningkat sesuai pertambahan usia. (11)

Gambaran menonjol(11) adalah :

Adanya kromosom Philadelphia pada sel – sel darah. Ini adalah kromosom

abnormal yang ditemukan pada sel – sel sumsum tulang.

Krisis Blast. Fase yang dikarakteristik oleh proliferasi tiba-tiba dari jumlah

besar mieloblast. Temuan ini menandakan pengubahan LMK menjadi

LMA. Kematian sering terjadi dalam beberapa bulan saat sel – sel

leukemia menjadi resisten terhadap kemoterapi selama krisis blast.

3. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)

Leukemia Limfositik Akut (LLA) dianggap sebagai suatu proliferasi ganas

limfoblas. Paling sering terjadi pada anak-anak, dengan laki-laki lebih banyak

dibanding perempuan,dengan puncak insidensi pada usia 4 tahun. Setelah usia 15

tahun , LLA jarang terjadi. Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limfoblas

abnormal dalam sum-sum tulang dan tempat-tempat ekstramedular. (13)

Page 14: BAB II

16

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel

darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa lemah dan sesak nafas,

karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena

berkurangnya jumlah sel darah putih, perdarahan karena jumlah trombosit yang

terlalu sedikit. (13)

Gambar 4. Gambaran apusan darah tepi leukemia limfoblastik akut

Manifestasi klinis (13):

Hematopoesis normal terhambat

Penurunan jumlah leukosit

Penurunan sel darah merah

Penurunan trombosit

4. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK)

Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah

besar limfosit (salah satu jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan

pembesaran kelenjar getah bening. Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60

tahun, dan 2-3 kali lebih sering  menyerang pria. Pada awalnya penambahan

jumlah limfosit matang yang  ganas  terjadi di kelenjar getah bening. Kemudian

menyebar ke hati dan  limpa, dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit

Page 15: BAB II

17

ini ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi

anemia dan penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit di dalam darah.

Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk melawan infeksi) juga berkurang.

Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari luar,

seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan jaringan tubuh yang normal(12).

Manifestasinya adalah :

Adanya anemia

Pembesaran nodus limfa

Pembesaran organ abdomen

Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun

Terjadi  penurunan  jumlah limfosit (limfositopenia)

2.6 Patofisiologi

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan  kita

dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat

dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi

sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat

berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia

memblok produksi sel  darah putih yang normal, merusak kemampuan tubuh

terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum

tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai

oksigen pada jaringan.(14)

Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak

pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan

leukemia,. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang

menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur,

Page 16: BAB II

18

yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik,

dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya

proliferasi sel abnormal.

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih

mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan

tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan

genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi

kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel

membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai

sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel

darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya,

termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.

Jika penyebab leukemia virus, virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh

manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila

struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus

tersebut ditolaknya seperti pada benda asing lain. Struktur antigen manusia

terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput

lendir yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan ). Oleh

WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte

Lucos A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga

adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat

diabaikan.

Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik

dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan

karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang.

Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang

bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang

tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.

Page 17: BAB II

19

Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk

hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel

leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi

bone marrow hipoaktivasi, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga

menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan

hiperkatabolisme.

2.7 Kelainan Hemostasis Pada leukemia

Trombositopenia

Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk mempertahankan hemostasis

normal. Pada keadaan normal jumlah trombosit darah berkisar 150.000 –

400.000/mm3. Trombositopenia adalah istilah untuk jumlah trombosit yang

kurang dari nilai normal tersebut. Trombositopenia biasanya tidak mempunyai

manifestasi klinis hingga jumlah trombosit 100.000/mm3, bahkan hingga

50.000/mm3 sekalipun. Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada jumlah

trombosit < 20.000/mm3.15 Perdarahan akibat trombositopenia merupakan

komplikasi paling sering dari leukemia akut.16 Manifestasi perdarahan akibat

trombositopenia dapat berupa ptekie atau purpura, epistaksis, perdarahan gusi,

perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga perdarahan otak.17 Berkurangnya

jumlah trombosit pada leukemia akut biasanya merupakan akibat infiltrasi

sumsum tulang atau kemoterapi, selain itu dapat juga disebabkan oleh beberapa

faktor lain seperti koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis dan

hipersplenisme sekunder terhadap pembesaran limpa. Trombositopenia yang

terjadi bervariasi dan hampir selalu ditemukan pada saat leukemia didiagnosis.

Proses infiltrasi di sumsum tulang mengakibatkan sumsum tulang dipenuhi oleh

sel leukemik sehingga terjadi penurunan jumlah megakariosit yang berakibat

menurunnya produksi trombosit. Kemoterapi pada leukemia dapat menyebabkan

kerusakan langsung sumsum tulang sehingga juga akan menyebabkan

berkurangnya produksi trombosit. Koagulasi intravaskuler diseminata yang sering

Page 18: BAB II

20

terjadi pada leukemia akut terutama leukemia promielositik akut mengakibatkan

trombosit banyak terpakai dalam proses koagulasi. Konsumsi trombosit yang

berlebihan ini juga menyebabkan terjadinya trombositopenia. Trombositopenia

akibat purpura trombositopenik imunologik ditemukan pada 2% pasien leukemia

limfositik kronik. Hal ini dihubungkan dengan terbentuknya autoantibodi terhadap

trombosit sehingga berakibat destruksi Trombosit. Produksi autoantibodi

bersamaan dengan infiltrasi sel leukemik di sumsum tulang dan hipersplenismus

menyebabkan semakin berkurangnya jumlah trombosit. Penderita leukemia akut

yang sedang dalam pengobatan, sering memerlukan transfusi trombosit berulang

kali. Keadaan ini menimbulkan risiko terjadinya aloimunisasi sehingga terbentuk

aloantibodi yang pada akhirnya dapat menyebabkan penghancuran trombosit.

Trombositopenia dapat terjadi satu minggu setelah transfusi darah atau produk

darah yang mengandung trombosit. Transfusi trombosit cenderung gagal pada

pasien yang membentuk aloantibodi tersebut. Pada pasien AML, kadar

trombopoietin rendah, tetapi segera meningkat hingga kadar yang diharapkan

selama induksi kemoterapi begitu sel blast menghilang. Kadar trombopoietin yang

inadekuat pada pasien AML tersebut akibat adanya reseptor trombopoietin c-mpl

pada sel blast mieloid yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel

leukemik mieloid dan menurunkan apoptosis dari sel tersebut. Risiko terjadinya

perdarahan hebat berbanding terbalik dengan jumlah trombosit. Untuk mencegah

risiko perdarahan hebat pada pasien trombositopenia dapat dilakukan dengan

transfusi trombosit, tetapi jumlah trombosit optimal sebagai batas transfusi

trombosit profilaktik masih diperdebatkan. Jumlah trombosit yang dipakai sebagai

batas untuk transfusi trombosit adalah dibawah 20.000/mm3. Penghitungan

jumlah trombosit dapat dilakukan secara manual atau dengan alat automatik.

Hitung trombosit dengan alat automatik dipengaruhi oleh beberapa hal seperti

adanya agregat trombosit akibat agregasi spontan, cold aglutinin atau partikel

debris seperti fragmen eritrosit dan leukosit. Untuk itu penting dilalukan

konfirmasi dengan inspeksi pada sediaan hapus darah tepi. Sediaan hapus darah

Page 19: BAB II

21

tepi dapat memberikan informasi mengenai ukuran dan morfologi trombosit serta

konfirmasi jumlah trombosit.

Disfungsi trombosit

Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan meskipun jumlah

trombosit tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi pada ± 30% pasien

leukemia mielositik kronik (LMK). Gangguan fungsi trombosit yang terjadi

berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin, kelainan pelepasan PF3,

defisiensi granula- serta penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal

dari trombosit. Manifestasi perdarahan yang muncul akibat gangguan fungsi

trombosit pada leukemia mielositik kronik dapat berupa perdarahan mukokutan,

perdarahan retina dan hematuria. Hal ini disebabkan oleh berkurang atau tidak

adanya agregasi trombosit dalam merespon ADP, epinefrin atau kolagen. Pada

pasien ini akan didapatkan waktu perdarahan yang memanjang. Patogenesis

kelainan fungsi trombosit yang ditemukan pada leukemia ini masih belum jelas.

Beberapa faktor diduga sebagai penyebab perubahan fungsional dari trombosit

seperti kelainan interaksi hemostasis di sirkulasi pada saat aktivasi dan reaksi

pelepasan trombosit. Kemungkinan lain adalah kelainan produksi trombosit yang

primernya merupakan gangguan struktur dan fungsi megakariosit.

Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)

Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah suatu sindrom yang ditandai

dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa pembentukan dan

penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga menimbulkan trombus

mikrovaskuler pada berbagai organ yang dapat mengakibatkan kegagalan

multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus berlangsung menyebabkan konsumsi

faktor pembekuan dan trombosit secara berlebihan sehingga mengakibatkan

komplikasi perdarahan berat. KID bukanlah suatu penyakit tetapi terjadinya

sekunder terhadap penyakit lain yang mendasari. meliputi kejadian trombosis dan

Page 20: BAB II

22

perdarahan dalam tubuh yang terjadi secara bersamaan. Istilah ini juga dikenal

sebagai consumption coagulopathy karena faktor pembekuan dalam plasma

terpakai selama proses pembekuan. Selain itu berkurangnya faktor pembekuan

juga dapat disebabkan oleh degradasi plasmin akibat hiperfibrinolisis. Leukemia

akut yang paling sering dihubungkan dengan KID adalah leukemia promielositik

akut (AML-M3), diikuti dengan leukemia mielomonositik akut (AML-M4), serta

leukemia mieloblastik akut AML-M1 dan AML-M2.2,13,14 Pada leukemia

limfoblastik akut lebih kurang 10% pasien mengalami KID pada saat diagnosis.

Leukemia kronik yang lebih sering mengalami KID adalah LMK dibandingkan

dengan LLK. Pada leukemia, komplikasi KID terjadi karena dilepaskannya bahan

prokoagulan (thromboplastin-like substances) dari sel blast. Bahan prokoagulan

bersifat seperti faktor jaringan tersebut yang akan membentuk kompleks dengan

faktor VIIa sehingga mengaktifkan kaskade koagulasi melalui jalur ekstrinsik

yang membentuk fibrin secara sistemik. Koagulasi yang terus berlangsung akan

menurunkan kadar antitrombin III plasma yang merupakan inhibitor penting untuk

proses koagulasi. Selanjutnya terjadi inhibisi sistem fibrinolitik akibat aktivasi

koagulasi yang maksimal. Inhibisi ini disebabkan oleh peningkatan

plasminogenactivator inhibitor tipe 1 (PAI-1) sebagai inhibitor utama untuk

sistem fibrinolitik. Yang paling penting adalah memastikan bahwa pasien yang

mengalami KID tidak memiliki kelainan hati atau defisiensi vitamin K yang dapat

menyerupai keadaan KID. Thrombin Time (TT) tampaknya berguna untuk

membedakan kelainan koagulasi karena desisiensi vitamin K dengan KID, karena

TT tidak pernah abnormal pada defisiensi vitamin K.

Defek protein koagulasi

Infiltrasi ke hati sering ditemukan pada leukemia akut, diikuti LLK dan LMK,

yang menyebabkan menurunnya sintesis faktor koagulasi yang tergantung vitamin

Page 21: BAB II

23

K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Dari beberapa penelitian mengenai F V

ditemukan penurunannya pada sekitar 18 – 45%. Pada pasien dengan AML-M3

lebih dari 90% pasien mengalami defisiensi faktor V. Penurunan fibrinogen dan

faktor pembekuan lainnya pada leukemia akut bisa juga disebabkan oleh KID.

Pada KID terjadi konsumsi berlebihan dari faktor pembekuan tersebut. Selain itu

keadaan hiperfibrinolisis juga menyebabkan degradasi beberapa faktor

pembekuan yang semakin menurunkan kadar faktor pembekuan tersebut di dalam

darah. Tes untuk mendeteksi adanya defek protein koagulasi yaitu dengan

pemeriksaan APTT dan PT serta mengukur kadar faktor pembekuan itu sendiri.

Untuk gangguan sintesis faktor pembekuan yang tergantung vitamin K akan

ditandai dengan pemanjangan PT, sedangkan untuk konsumsi faktor pembekuan

yang berlebihan pada KID akan ditandai oleh pemanjangan baik APTT maupun

PT. Tes untuk degradasi fibrinogen akibat proses hiperfibrinolisis dapat dideteksi

dengan adanya produk degradasi fibrinogen.

2.8 Manifestasi Klinis

1. Leukemia Limfoblastik Akut

Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan

singkat bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi

ketika melakukan pemeriksaan rutin.Kebanyakan pasien mendapati

keluhan seperti demam selama 3 – 4 minggu sebelum terdiagnosa, bersifat

intermiten. Selain itu juga disertai keluhan karena kegagalan sumsum

tulang seperti :

a. Anemia : pucat, letargi, dyspnea

b. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya

c. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan

menoragia.

Page 22: BAB II

24

Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ

berupa nyeri pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri

abdomen dan sindrom meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan

kabur dan diplopia).18,19,20

Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie,

limfadenopati dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak

pucat dan lesu, perdarahan kulit dapat pula berupa purpura ataupun

ekimosis, perdarahan pada mukosa. Keluhan nyeri tulang dan sendi dapat

ditemukan adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama pada

ekstremitas bawah.Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat

jarang terjadi, meskipun ada dapat berupa papil edema, perdarahan retina,

kelumpuhan saraf kranial, paraplegia dan paraparese.Tanda lainnya akibat

infiltrasi leukosit ke organ lain berupa pembesaran kelenjar saliva,

pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal insufisiensi yang

ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat disebabkan

karena anemia ataupun terdapat massa di mediastinum anterior berupa

pembesaran thymus, biasanya terjadi pada remaja dengan LLA tipe sel

T.21,22

2. Leukemia Mieloid Akut

Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL

yaitu karena penumpukan sumsum tulang akan sel – sel ganas yang

menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan

mempunyai gejala – gejala yang ditemukan pada kegagalan sumsum tulang

ALL juga. Terdapat beberapa gejala pada LMA yang tidak muncul pada

LLA yaitu nodul subkutan, hipertrofi gusi karena infiltrasi leukosit dan

pada LMA dapat terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC)

dengan perdarahan yang serius, dapat juga ditemukan tumor local atau

kloroma.18,20,21

Page 23: BAB II

25

3. Leukemia Mieloid Kronik

Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat

juga terjadi pada anak – anak dan neonatus.Etiologi dan faktor predisposisi

tidak diketahui, pasien sering asimtomatik dengan splenomegali masif pada

pemeriksaan rutin anak sehat.Tetapi dapat juga terjadi gejala seperti

demam, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun, nyeri abdomen

atau nyeri tulang dan hepatomegali. Ada 3 fase LMK : fase kronis, fase

akselerasi, dan krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun –

tahun, hiperproliferasi elemen myeloid matur, yang nantinya akan masuk

ke fase akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang nyata dimana

secara morfologis ditemukan mieloblas namun dapat juga terjadi

transformasi limfoblas. Saat dimulai fase blas, jumlah darah meningkat

tajam dan tidak terkontrol dengan obat lagi, biasanya pasien akan

meninggal pada usia 3 – 4 tahun setelah onset.18,20,21

2.9 Diagnosis

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat

dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia.Untuk diagnosis pasti

harus dilakukan aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan

pemeriksaan pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan

sebelumnya.Anemia dan trombositopenia sering tampak pada sebagian

besar pasien.Sel leukemia sering tidak tampak pada darah perifer dalam

pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia tersebut

sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal.Bila hasil analisis darah perifer

mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus

dilakukan dengan tepat untuk menetapkan diagnosis.Pemeriksaan LCS

dapat menentukan derajat LLA.Bila ditemukan peningkatan limfoblas

pada LCS maka disebut leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat

Page 24: BAB II

26

yang berat dan memerlukan terapi SSP dan sistemik. Dengan

ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa

mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu

terapi, maka pasien disebut LLA dengan resiko tinggi.18,23

Diagnosis LMA dapat diawali sebagaiprolonged preleukemia, yaitu

kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia

refrakter, neutropenia dan trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang

tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologis yang jelas,

biasanya hiperseluler, kadang hiposeluler yang akan menjadi leukemia

akut. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik dan

mempunyai klasifikasi FAB sendiri.23

Pemeriksaan Penunjang

Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta

menentukan sudah sejauh mana progresivitas atau perjalanan dari

penyakitnya, diperlukan beberapa pemeriksaan seperti :

1. Pemeriksaan hematologis

Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi

trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit

cenderung meningkat meskipun bisa normal atau menurun.Jumlah

leukosit adalah hasil yang paling bermakna pada leukemia dimana

terjadi peningkatan massif hingga lebih dari 200.000/mm3 pada keadaan

tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC dan

leukostasis.Biasanya jumlah leukosit berkisar antara 10.000 –

50.000/mm3 pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya dapat

sampai diatas 100.000/mm3.Untuk mengetahui keadaan DIC pada kasus

AML juga perlu dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

Page 25: BAB II

27

2. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi

Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia

dimana terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai

adanya kelainan struktur atau komponennya.Hasil pemeriksaan SADT

menunjukkan ditemukannya sel blas dengan jumlah yang

bervariasi.Khusus pada LMK didapatkan jumlah basophil yang

meningkat dan sel blas tidak banyak dijumpai, namun ketika masuk fase

krisis blas secara morfologis ditemukan mieloblas meningkat, tetapi

dapat juga terjadi transformasi limfoblas.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang

yang akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas

leukemik lebih dari 30%. Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas,

hasil pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan hiperseluler

dengan maturasi mieloid yang normal.

4. Pungsi lumbal

Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat

merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular.Hasilnya

dapat menunjukkan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan

mengandung sel leukemia.

5. Radiologis

Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya

lesi osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan

pembesaran thymus dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang

khas untuk LLA-T.

Page 26: BAB II

28

6. Fungsi hati dan ginjal

Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai

pengobatan.

7. Pemeriksaan biokimia darah

Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat

dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang,

hiperkalsemia.Keadaaan hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal

ginjal akut.

8. Analisis sitogenetik darah

Pada kira – kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia

myeloid kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom

ini berkaitan dengan t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk

leukemia akut bertujuan untuk menentukan klasifikasi leukemia.

2.10 Diagnosis Banding

Gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada awal manifestasi

leukemia sangat tidak spesifik dan tidak khas sehingga banyak penyakit

lain yang dapat dipikirkan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang

dan menegakkan diagnosis leukemia.

Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah

pada idiopatik trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar

tanpa ada tanda – tanda anemia.Demam dan pembengkakan sendi dapat

menyerupai penyakit rheumatologi seperti juvenile rheumatoid arthritis

dan demam rematik, penyakit kolagen vaskuler, atau osteomyelitis.18,19

Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki

gambaran pansitopenia dan komplikasinya sama – sama kegagalan

sumsum tulang, namun pada anemia aplastic hepatosplenomegali dan

Page 27: BAB II

29

limfadenopati tidak ditemukan, dan tidak ada lesi osteolitik seperti pada

leukemia. Biopsi atau aspirasi sumsum tulang akan menegakkan

diagnosis.19

Infeksi virus pada anak – anak seringkali membuat diagnose leukemia

sulit ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia

atau anemia hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit

atipikal dan titer virus yang meningkat.Demam dengan onset akut dan

limfadenopati pada mononucleosis sangat perlu dicurigai, begitu pula

dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi peningkatan leukosit

hingga 50.000 – 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit leukemik.18,19

Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum

tulang dan menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain

neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma.

Sel – sel pada keganasan – keganasan ini biasanya berkelompok dan

tumor primer dapat ditemukan.

Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA,

LMK dan myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi

diagnosis banding pada bayi sindrom Down dengan leukositosis dan left

shift. Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi

berlebihan hingga mencapai diatas 50.000/mm3.Jika leukosit bukan

merupakan sel blas yang maligna, sindrom ini disebut reaksi leukemoid,

sering terdapat peningkatan myeloid imatur atau prekursor limfoid di

dalam darah perifer.Pada pemeriksaan sumsum tulang secara khas

menunjukkan hyperplasia myeloid dengan maturasi normal. Penyebab

lain reaksi leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolysis berat,

vaskulitis, obat – obatan dan adanya tumor yang metastasis ke sumsum

tulang.21

2.11 Penatalaksanaan

Page 28: BAB II

30

Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase23,

diantaranya ialah :

1. Fase remisi induksi2. Fase intensif3. Terapi susunan saraf pusat4. Rumatan

Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari

sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak

lagi tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin

setiap minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan L-

asparginase. Hasilnya 98% penderita akan mengalami remisi komplit. Pasien

dengan resiko tinggi juga diberikan daunomycin setiap minggu.18,19

Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas <

5% pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12

g/dl tanpa transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS

normal.Tujuan pada fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat

sebelum timbul resisten hingga pasien mencapai kondisi sembuh. Fase induksi

remisi dan intensif dilakukan sampai 4 minggu.

Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps

leukemia terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang

ditemukan sel leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan

kemoterapi injeksi metotreksat intratekal pada lumbal pungsi dan kemoterapi

sistemik. Injeksi intratekal metotreksat sering dikombinasi dengan infus

berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 g/mm2).

Pada pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu pengobatan dengan

radiasi otak dan medula spinalis.18,20

Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per

minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun. Transplantasi sumsum

tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling efektif, terutama pada kasus

Page 29: BAB II

31

leukemia relaps yang tidak berespons dengan pengobatan

konvensional.Beberapa pendapat mengatakan lebih efektif dilakukan

transplantasi pada remisi pertama tetapi masih diperdebatkan. Meskipun

sangat efektif perlu diwaspadai reaksi graft-versus-host atau bahkan graft-

versus-leukemia.18,20

Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 – 200

mg/m2/hari IV selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3 hari.

Pada LMA jarang diberikan terapi SSP karena jarang relaps pada saraf pusat.

Pada LMA tipe M3 pengobatan dengan asam retinoat yang dikombinasikan

dengan antracycline dilaporkan sangat responsive sehingga tidak diperlukan

transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama.

Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70%

pasien dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat

menurunkan leukosit secara bertahap sementara menunggu respons imatinib.

Mengingat bahaya dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang adalah satu –

satunya pengobatan yang dapat meradikasi sel leukemia. Selain pengobatan

kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti hidrasi, alkalinisasi dan

allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat kemoterapi yang dapat

membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering menyebabkan mielosupresi

sehingga kadang transfuse eritrosit dan trombosit juga diperlukan. Antibiotik

dapat diberikan bila terdapat infeksi, namun profilaksis harus diberikan untuk

mencegah infeksi sekunder khususnya pneumonia hingga beberapa bulan

setelah pengobatan selesai.18

Leukemia Limfoblastik Akut :

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan

menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali

di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat

di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung

Page 30: BAB II

32

kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin

memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi

trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. 13

Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan

dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu

kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari

vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi

sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke

dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau

beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan

sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi)

untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung

selama 2-3 tahun. 13

Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang,

otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang

merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani

kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk

sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka

obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2

kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya

diatasi dengan kemoterapi dan terapi penyinaran. 13

Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik

Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga

banyak penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun

sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau

terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan

Page 31: BAB II

33

transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang

pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun,

diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.

Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah

bening, hati atau limpa. 12

Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah

limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa

menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar.

Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian

jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping.

Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker

dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan

interferon alfa dan pentostatin. 12

Leukemia Granulositik Kronik

Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya

memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil

apabila jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang dari

50.000/mikroliter darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa

menghancurkan semua sel leukemik.Satu-satunya kesempatan penyembuhan

adalah dengan pencangkokan sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif

jika dilakukan pada stadium awal dan kurang efektif jika dilakukan pada

fase akselerasi atau krisis blast. Obat interferon alfa bisa menormalkan

kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi. Hidroksiurea per-oral

(ditelan) merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan untuk

penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi karena memiliki efek samping

yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh terlalu lama. Terapi penyinaran

untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel leukemik. Kadang

limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi) untuk: mengurangi

Page 32: BAB II

34

rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit, mengurangi

kemungkinan dilakukannya tranfusi. 11

Kemoterapi

Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan

kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia.

Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat

atau kombinasi dari dua obat atau lebih

Terapi Biologi

Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi

untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini

diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik.

Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang

digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel

leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel

leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia

myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama

interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia

Terapi Radiasi

Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar

berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien,

sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian

lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien

mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. (Iradiasi seluruh tubuh

biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang).

Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)

Page 33: BAB II

35

Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).

Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang

tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel

leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian,

pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung

fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher.

Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil

transplantasi ini.

Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap

di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien

dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai

menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.

2.12 Komplikasi

Pada anak – anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel yang lisis

dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia, hyperkalemia dan

hiperfosfatemia yang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal juga bisa karena

infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif yang

disebabkan baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak – anak

rentan terhadap infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau

terapinya akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa.

Gangguan koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular

coagulopathy. Pengobatan sistemik maupun sistem saraf pusat dapat

menyebabkan leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang maupun gangguan

intelektual pada beberapa anak.18

Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi lebih

dari 100.000/mm3.Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA, 5 – 22% dari LMA dan

pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik.Tindakan antisipasi dimulai

saat jumlah leukosit 50.000/mm3 denganpeningkatan dosis kemoterapi yang

Page 34: BAB II

36

perlahan dan pemberian hidroksiurea pada LMA dan dexamethasone pada

LLA.Untuk mengatasinya diperlukan tindakan yang segera (emergency

oncology) karena komplikasinya yang mengancam jiwa, antara lain23 :

1. Sindroma leukostasis

Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi

terutama pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena

ukuran mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih

kaku.Leukostasis di otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari

pusing hingga peningkatan tekanan intracranial.Leukostasis di paru

menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal nafas.Pemberian leukoferesis

dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti dengan

hidroksiurea (50-100 mg/kgBB).Oksigen adekuat dan koreksi jumlah

trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan.23

2. Sindroma lisis tumor

Akibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi

hiperurisemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak

bisa diekskresi ginjal menimbulkan manifestasi gangguan

metabolic.Sindroma lisis tumor lebih sering terjadi pada LLA.Gagal

ginjal dapat terjadi bila asam urat serum lebih dari 20 mg/dl, perlu

pemberian allopurinol, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan

hidrasi yang cukup. Natrium bikarbonat dihentikan bila pH urin > 7,5

karena bila berlebihan justru menciptakan suasana basa yang

memudahkan pengendapan kalsium fosfat sehingga terjadi hipokalsemia.

Sementara hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis dari sel tumor, dapat

diberikan insulin dan glukosa sebagai bahan pengikat fosfat.

Hiperkalemia > 7,5 mEq/L harus diatasi segera dengan kayesalate (1 g/kg

dicampur 50% sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi dari lisis sel tumor atau

Page 35: BAB II

37

oliguria dari hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung sehingga

perlu pemeriksaan EKG.

2.13 Prognosis

Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa

berdasarkan faktor prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA

semakin baik bila responsive terhadap pengobatan dimana dalam

pengobatan 1 minggu sel blas sudah tidak tampak pada darah tepid an

sumsum tulang.Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan prognosis

LLA adalah jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia diantara 1 – 15

tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin perempuan dan LLA hyperploid

(>50 kromosom). Faktor prognostic yang memperburuk prognosis pada

LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi, sebanding dengan ukuran

splenomegaly, adanya koagulopati, induksi remisi yang lambat, usia < 2

tahun dan > 4 tahun dan leukemia monoblastik.19,23