BAB I.doc

6
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis maksilaris kronis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011), Sedangkan menurut Dorland (2000) sinusitis merupakan suatu peradangan membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal. Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang- tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang (Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011).

description

BAB I.doc

Transcript of BAB I.doc

Page 1: BAB I.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis maksilaris kronis merupakan penyakit yang sering ditemukan

dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan

kesehatan tersering di seluruh dunia (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi

dkk, 2011), Sedangkan menurut Dorland (2000) sinusitis merupakan suatu

peradangan membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus

paranasal.

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang

(Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011).

Sinus paranasal terdiri dari empat pasang rongga bertulang yang dilapisi

oleh mukosa hidung dan epitel kolumnar bertingkat semu yang bersilia. Rongga

udara ini dihubungkan oleh serangkaian duktus yang mengalir ke dalam rongga

hidung. Sinus paranasal terdiri dari, sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus

sfenoidalis, dan sinus maksilaris (Brunner & Suddarth, 2001).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung

dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid

Page 2: BAB I.doc

dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,

sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang

berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10

tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini

umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto

dalam Soepardi dkk, 2011).

Sinus maksila atau antrum highmore, merupakan sinus paranasal yang

terbesar, dan yang pertama terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut

terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8

ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran

maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa (Mangunkusumo & Soetjipto dalam

Soepardi dkk, 2011).

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus merupakan

permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya

merupakan permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya merupakan

dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan

dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus

seminularis infundibulum etmoid (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).

Sebagian besar kasus sinusitis melibatkan lebih dari satu sinus paranasal

dan yang paling sering yaitu sinus maksilaris dan sinus etmoidalis. Hal ini

disebabkan sinus maksila adalah sinus yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi

Page 3: BAB I.doc

dari dasarnya, dimana dasarnya merupakan dasar akar gigi sehingga sinusitis

maksilaris sering berasal dari infeksi gigi (Manjoer, 2000).

Berdasarkan perjalanan penyakit sinusitis maksilaris terbagi atas sinusitis

akut, terjadi bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu, sinusitis subakut,

terjadi bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan, dan sinusitis kronik,

terjadi bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (Adams dalam Manjoer,

2000).

Insiden sinusitis didapat antara 1,3 - 1,5 per 100 kasus orang dewasa

pertahun. Peneliti dari Norwegia mengemukakan insiden sinusitis yaitu 3,5 per

100 kasus pada orang dewasa dengan 7% pasien memiliki dua kali kunjungan dan

0,5% memiliki tiga kali atau lebih kunjungan selama periode 12 bulan (Hickner,

2005).

Data dari DEPKES RI (2003) menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus

berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)

dan gigi molar M3, bahkan akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,

sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis, sinusitis maksila

dapat menimbulkan komplikasi orbita, Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi

dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, disamping

itu drainase melalui infundibulum yang sempit, dan pembengkakan akibat radang

Page 4: BAB I.doc

atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan

selanjutnya menyebabkan sinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi

dkk, 2011).

Keluhan utama pasien berupa hidung tersumbat dan disertai dengan nyeri

tekan pada pipi dan ingus purulen, bisa disertai dengan gejala sistemik seperti

demam. Pada sinusitis maksilaris kronis terdapat rasa penuh pada pipi dan nyeri

ketok pada gigi. Dan gejala lainnya adalah sakit kepala, hipomia/anosmia, dan

halitosis (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011).

Sinusitis maksilaris diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses

inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan

gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh faktor-

faktor predisposisi baik lokal atau sistemik (Mangunkusumo & Soetjipto dalam

Soepardi dkk, 2011).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka berikut akan dibahas mengenai

laporan kasus tentang sinusitis maksilaris kronis di Bangsal THT Rumah Sakit

Ulin Banjarmasin.