BAB I1
description
Transcript of BAB I1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan masalah yang serius, penting dan berbahaya karena
dapat menyangkut keselamatan dan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain, bahkan hingga
ke pemerintahan sekalipun. Di
negara berkembang seperti Indonesia bertambahnya atau semakin tinggi jumlah klien
dengan gangguan jiwa karena berlatarbelakang dari dampak krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas cenderung
meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,
putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan, kesulitan ekonomi,
tekanan di pekerjaan dan deskriminasi meningkatkan resiko penderita gangguan jiwa.
Peningkatan angka penderita gangguan jiwa akan terus menjadi masalah dan tantangan bagi
tenaga kesehatan. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diharapkan untuk mengatasi hal
tersebut (Suliswati dkk, 2005).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai keadaan
fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Definisi ini
menekankan bahwa kesehatan jiwa sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar
keadaan tanpa penyakit tapi sehat mental dan sosial (Buchanan & Carpenter, 2000).
Menurut data dari World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan
jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius, bahkan berdasarkan
data dari Study world Bank di beberapa negara menunjukkan 8,1% dari kesehatan global
masyarakat(Global Burden Disease) disebabkan oleh masalah gangguan jiwa yang
menunjukkan dampak lebih besar dari TBC (7,2%), kanker (5,8%), jantung (4,4%) dan malaria
(2,6%) (AzrulAzwar, 2005).
WHO menyebutkan tidak kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa ditemukan di dunia
(Gemari, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
terhadap masyarakat di negara Asia Timur menunjukan adanya peningkatan jumlah pasien dengan
psikiatri syaraf. Pada waktu bersamaan kemiskinan dan tidak adanya akses kepada asuransi kesehatan
membuat masalah ini makin parah.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI, 2008) gangguan jiwa saat
ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara tidak hanya di Indonesia saja. Gangguan
jiwa yang dimaksud tidak hanya gangguan jiwa Psikotik/Skizofrenia, tetapi kecemasan, depresi dan
penggunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) juga menjadi masalah kesehatan jiwa.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari 220 jutapenduduk
mengalami gangguan jiwa(Swaberita, 2008).Jumlah penderita gangguan jiwa di Sumatra Barat pada
tahun 2008 data dari Dinas Provinsi Sumbar dari jumlah penduduk 3.198.726 orang ada 0,26 % yang
menderita gangguan jiwa. Data yang di ambil dari Dinas Kesehatan Kota Padang pada tahun 2009 dari
jumlah penduduk di kota padang 839.190 orang, yang mengalami gangguan jiwa di kota padang
sebanyak 0,75 %.
Prevalensi penderita Skizofrenia di Indonesia adalah 0,3% sampai 1%, dan terbanyak
pada usia sekitar 18-45 tahun, terdapat juga beberapa penderita yang mengalami pada umur 11-
12 tahun. Apabila penduduk Indonesia 200 juta jiwa, maka sekitar 2 juta jiwa yang menderita
Skizofrenia (Arif, 2006). Menurut Riskesdas (2007), di provinsi Daerah Ibukota Yogyakarta
jumlah penderita gangguan jiwa berat adalah 0,4% sampai 0,5%. Sedangkan jumlah penderita
Skizofrenia di Kendari mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir, yakni pada tahun
2009 mencapai 41,13% (320 jiwa), tahun 2010 sebanyak 43,78% (394 jiwa), dan pada tahun
2011 sebanyak 57,33%(418 jiwa).
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa-III (PPDGJIII)
Skizofrenia merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang ditandai
dengan penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar. Pasien dengan diagnosis
Skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai dengan
hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu pasien cenderung apatis, menghindari
kegiatan dan mengalami gangguan dalam penampilan. Pasien Skizofrenia akan mengalami
gangguan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari seperti kebersihan diri (Stuart and Laraira,
2007). Pemenuhan kebutuhan dasar ini pada penderita gangguan jiwa tidak begitu diperhatikan,
padahal apabila pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya kebersihan diri tidak terpenuhi dengan
baik maka fungsi kehidupan manusia akan terganggu (Brunner and Sundarth, 2002).
Salah satu tanda dan gejala dari skizofrenia adalah terjadinya halusinasi. Halusinasi
merupakan bentuk yang paling sering terjadi dari gangguan persepsi. Menurut Varcarolis dalam
Iyus Yosep (2009), Halusinasi dapat didefinisikan sebagai tergangguanya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi
pendengaran (Auditory-hearing voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things),
penciuman (Olvactory-smelling odors), pengecapan (Gustatory-experiencing tastes). Dampak
dari halusinasi adalah pasien sulit berespon terhadap emosi, perilaku pasien menjadi tidak
terkendali, dan akhirnya pasien mengalami isolasi social karena tidak mampu bersosialisasi
dengan orang lain.
Penderita gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa diharapkan pada akhirnya
akan dapat kembali ke tengah keluarga dan masyarakat untuk dapat berperan seperti semula.
Untuk itu telah dilakukan berbagai usaha untuk mengurangi kronisitas atau kekambuhan
gangguan jiwa, mengurangi akibat yang ditimbulkannya serta stigma yang berkembang di
masyarakat, baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Usaha-usaha
tersebut dalam kesehatan jiwa termasuk dalam Tri Upaya Bina Jiwa yang meliputi pencegahan
gangguan jiwa, peningkatan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan serta rehabilitasi pasien
gangguan jiwa. Pelayanan terapi terhadap penderita gangguan jiwa saat ini sudah sangat maju,
oleh karena obat-obatan psikotropika modern sebagai terapi baku sudah tersebar luas dalam
pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Apabila seseorang pasien gangguan jiwa secara
cepat dan tepat memperoleh terapi baku (Psikofarma) maka akan cepat pula mencapai kondisi
tenang, hal ini berarti perilaku patologi sementara teratasi. Pada waktu pasien tersebut tenang
belum berarti pasien telah mencapai kesembuhan, karena justru kondisi tenang ini merupakan
saat yang rawan apabila tidak segera memperoleh pelayanan alternative terapi sebagai terapi
penunjang dari terapi baku yang telah berhasil. Akhir-akhir ini dalam penanganan pasien
gangguan jiwa ada kecenderungan untuk mengkonsepsikan sebagai masalah yang bersifat
hubungan antar pribadi dan social. Oleh karena itu, pendekatan terhadap kelompok menjadi lebih
bermanfaat dalam menagangani masalah klinik maupun pribadi. Ada berbagai pendekatan
kelompok, misalnya bimbingan kelompok, konseling kelompok, kelompok pelatihan, kelompok
pendukung, dan juga terapi kelompok.
Terapi Aktivitas Kelompok sangat penting dilakukan untuk membantu dan
memfasilitasi klien dengan halusinasi, khususnya halusinasi pendengaran. Terapi kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan
berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh seorang therapist atau petugas
kesehatan jiwa yang telah terlatih (Iyus Yosep, 2009).
Penelitian tentang Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sering dilakukan di rumah sakit
jiwa, padahal penderita gangguan jiwa tidak hanya berada di rumah sakit jiwa saja, tetapi juga di
dalam komunitas/masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Dr.
Soeparto Hardjohoesodo Kendari, pada Februari 2012 jumlah penderita gangguan jiwa yang
dirawat di setiap ruangan mencapai 150 pasien. Jumlah pasien enam bulan terakhir yang
mengalami halusinasi pendengaran mencapai 87,74% (444 jiwa) sedangkan jumlah yang dirawat
sekarang yaitu 57,69% (90 jiwa).
Rumah Sakit Jiwa Kendari merupakan sebuah Rumah Sakit Jiwa tipe B, telah mulai
menerapkan Terapi Aktivitas Kelompok. Menurut petugas kesehatan yang ada di unit rehabilitasi
diperoleh keterangan, yaitu terdapat jadwal pelaksanaan terapi aktivitas kelompok yang
dilakukan setiap hari Rabu, meskipun tidak rutin dilaksanakan. Ada beberapa faktor-faktor yang
berperan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok tersebut, diantaranya faktor manajemen
rumah sakit, faktor perawat, faktor pasien, dan faktor lingkungan. Manajemen dapat diartikan
sebagai bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai
tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia (staffing),
pengarahan (directing), kepemimpinan (leading), serta pengawasan (controlling). Seorang
manajer keperawatan menyelenggarakan fungsi-fungsi manajemen ini untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien.
Seseorang dengan gangguan jiwa yang dirawat di suatu rumah sakit jiwa membutuhkan
perawatan yang baik agar gangguan yang terjadi dapat di atasi. Seorang perawat dituntut mampu
melakukan asuhan keperawatan yang sesuai dengan permasalahan yang dialami pasien. Dalam
pelaksanaan terapi aktivitas kelompok dibutuhkan jumlah tenaga kesehatan yang cukup untuk
membantu pelaksanaan kegiatan tersebut. Jumlah tenaga kesehatan Rumah Sakit Jiwa Kendari
yang PNS sebanyak 60 orang dan non PNS sebanyak 27 orang dengan uraian sebagai berikut: S1
Keperawatan 4 orang, S1 Kesehatan Masyarakat 8 orang, D III Keperawatan 40 orang, AP 10
orang, SPKSJ 14 orang, SPK 7 orang, dan SMA 4 orang.
Kriteria atau persyaratan umum pasien yang dapat menjadi peserta terapi aktivitas
kelompok tersebut diantaranya:
1. Klien yang tidak terlalu gelisah.
2. Klien yang bisa kooperatif dan tidak mengganggu berlangsungnya terapi aktifitas kelompok.
3. Klien halusinasi pendengaran yang sudah sampai tahap mampu berinteraksi dalam kelompok
kecil.
4. Klien tenang dan kooperatif.
5. Kondisi fisik dalam keadaan baik.
6. Mau mengikuti kegiatan terapi aktivitas.
7. Klien yang dapat memegang alat tulis.
8. Klien yang panca inderanya masih memungkinkan.
Dalam pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok ini, biasa dilakukan di dalam ruangan
yang lingkungan sekitarnya tenang dan nyaman bagi pasien, sehingga pasien yang mengikuti
kegiatan ini dapat fokus dengan apa yang diarahkan oleh therapist.
Berdasarkan latar belakang di atas dan gambaran pelaksanaan Terapi Aktivitas
Kelompok pada pasien halusinasi pendengaran belum optimal, maka penulis tertarik untuk
meneliti faktor-faktor mempengaruhi pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok pada pasien yang
mengalami sensoris persepsi halusinasi pendengaran di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa
Kendari tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu
“Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok
pada pasien yang mengalami sensoris persepsi halusinasi pendengaran di ruang rawat inap
Rumah Sakit Jiwa Kendari tahun 2013?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
mempengaruhi pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok pada pasien yang mengalami sensoris
persepsi halusinasi pendengaran di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Kendari tahun 2013.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengaruh pengetahuan perawat dengan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok
pada pasien yang mengalami sensoris persepsi halusinasi pendengaran di ruang rawat inap
Rumah Sakit Jiwa Kendari tahun 2013.
b. Mengetahui pengaruh pendidikan perawat dengan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok pada
pasien yang mengalami sensoris persepsi halusinasi pendengaran di ruang rawat inap Rumah
Sakit Jiwa Kendari tahun 2013.
c. Mengetahui pengaruh motivasi perawat dengan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok pada
pasien yang mengalami sensoris persepsi halusinasi pendengaran di ruang rawat inap Rumah
Sakit Jiwa Kendari tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi profesi keperawatan
Dapat meningkatkan standar pemberian Asuhan Keperawatan khususnya pada klien yang
mengalami gangguan sensoris persepsi halusinasi pendengaran.
2. Bagi pasien
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasinya.
3. Bagi peneliti
Diharapkan menjadi dasar serta pengalaman belajar bagi peneliti untuk lebih memahami faktor-
faktor yang mempengaruhi Terapi Aktivitas Kelompok.
4. Bagi institusi pendidikan
Sebagai sumber informasi dan pedoman bagi penelitian berikutnya.