Bab i Pterigium

download Bab i Pterigium

of 19

Transcript of Bab i Pterigium

1

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pterigium adalah pertumbuhan berbentuk sayap sayap pada konjungtiva bulbi, kelainan ini berupa pertumbuhan segitiga horizontal dari jaringna abnormal yang invasi ke kornea dari regio canthus pada konjungtiva bulbi. Berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada pertumbuhan pterigium yang lanjut, memerlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki penglihatan. Distribusi pterigium tersebar didunia tetapi sering pada daerah panas, beriklim kering. Prevalensi pada daerah equator kira-kira 22% dan kurang dari 2% didaerah lintang diatas 40 O. Penelitian di Australia, mengidentifikasikan jumlah pterigium berdasarkan faktor resiko; 44 kali lebih banyak pada pasien yang bermukim di daerah tropis, 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali lebih banyak dengan riwayat tanpa menggunakan kacamata. Masalah klinis yang menjadi tantangan adalah tingginya frekuensi pterigium rekuren dan pertumbuhannya yang agresif. Selain itu pterigium menimbulkan keluhan kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan pembedahan. I.2 Rumusan Masalah1. Apakah definisi dari pterigium? 2. Apa saja faktor resiko dari pterigium? 3. Bagaimana patofisiologi terjadinya pterigium? 4. Bagaimana gambaran klinis pterigium? 5. Bagaimana cara penegakan diagnosa pterigium? 6. Bagaimana penatalaksanaan pterigium? 7. Apakah komplikasi pterigium?

8. Bagaimana prognosis pterigium? I.3 Tujuan1. Mengetahui definisi pterigium 2. Mengetahui faktor resiko dari pterigium 3. Mengetahui patofisiologi terjadinya pterigium 4. Mengetahui gambaran klinis pterigium

2 5. Mengetahui cara penegakan diagnosa pterigium 6. Mengetahui penatalaksanaan pterigium 7. Mengetahui komplikasi pterigium 8. Mengetahui prognosis pterigium

I.4 Manfaat Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang penyakit pada mata, khususnya pterigium.

BAB II

3

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Latar Belakang Pterigium adalah penyakit mata umum eksternal terlihat lebih sering di daerah tropis dan subtropis karena paparan sinar matahari ultraviolet. Perubahan histopatologis pada pterigium primer adalah elastodysplasia dan elastodystrophy dari subepitel jaringan ikat. Indikasi untuk eksisi bedah karena adanya manifestasi kehilangan penglihatan karena keterlibatan dari silindris, kornea sentral tidak teratur, pembatasan motilitas okular, penampilan atipikal yang mengarah ke kekhawatiran neoplasia skuamosa. Pengobatan surgical dari pterygium diarahkan pada eksisi, pencegahan kekambuhan, dan pemulihan integritas permukaan okular. Perhatian utama dari eksisi sederhana pterigium adalah kekambuhan tingkat tinggi berkisar 24-89%. Upaya untuk mencegah kekambuhan pterigium, terapi tambahan harus dipertimbangkan. Hal ini termasuk antimetabolit seperti mitomycin C, radioterapi, konjungtiva atau limbal autograft konjungtiva dan graft membrane amnion. Penambahan mitomycin C dalam berbagai konsentrasi telah dilaporkan efektif dalam mencegah kekambuhan. Tidak dapat diterimanya tingkat kekambuhan menyebabkan ditinggalkannya eksisi dengan teknik bare sklera, menjadi teknik konjungtiva autografting. Limbal konjungtiva autografting menggunakan stem sel, dilaporkan menjadi alternatif yang efektif untuk menurunkan tingkat kekambuhan dari pterygium, dimana epitel limbal bertindak sebagai penghalang junctional untuk pertumbuhan konjungtiva yang berlebih dan pterygium dianggap mewakili "lokal limbal defisiensi". Masuknya epitel limbal pada graft konjungtiva akan mengembalikan fungsi barier pada limbus. Penelitian terbaru telah melaporkan efektivitas limbal conjuctival autograft transplantion (LCAG) dalam mencegah kekambuhan pterygium. II.2 Masalah Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hasil pasca operasi bedah yang berbeda, yakni teknik autograft konjungtiva dan autografting limbal konjungtiva dengan terapi tambahan untuk pengelolaan pterigium berulang.

II.3 Desain penelitian II.3.1 Sample Penelitian

4

Dua puluh mata dari dua puluh pasien (7 perempuan dan 13 laki-laki, usia rata-rata 42,3 +/ - 9,6 tahun) dioperasikan pada pasien pterigium berulang di Institut Penelitian Ophthalmology. Pasien secara acak menjadi dua kelompok: Dalam kelompok 1, sepuluh dari sepuluh mata pasien dilakukan dengan autograft konjungtiva dan dalam kelompok 2, sepuluh dari sepuluh mata pasien dilakukan dengan autografting limbal konjungtiva. II.3.2 Pengobatan Pascaoperasi antibiotik dan steroid topikal terapi digunakan 4 kali sehari selama 2 minggu dan kemudian 2 kali sehari selama 2 minggu selanjutnya untuk kedua kelompok. II.3.2 Metode Operasi Pembedahan Semua operasi dilakukan di bawah lokal anestesi. Semua mata menerima intraoperatif mitomycin C 0,01% selama 3 menit diterapkan pada bare sklera pada saat operasi. Pterygium bagian body dihilangkan dan pterygium bagian kepala dirusak dan dihilangkan dengan diseksi atau avulsi untuk menghasilkan lamelae kornea yang jernih. Tempat pemberian mitomycin C diirigasikan secara menyeluruh dengan larutan garam seimbang sambil mempersiapkan autograft konjungtiva atau autograft konjungtiva limbal dari konjungtiva bagian temporal dengan menandai daerah konjungtiva yang akan diinsisi, kemudian menyuntikkan larutan garam di bawah konjungtiva menggunakan spuit insulin untuk memisahkan konjungtiva dari tenon yang diikuti dengan eksisi graft. Autograft konjungtiva kemudian dijahit dengan Vicryl 8 / 0. Pada kelompok 2, sementara pengambilan stem sel pada limbus 1mm dari kornea yang jernih harus diambil dengan konjungtiva dan tepi graft diamankan untuk tempat penerimaan sementara stem sel dijahit pada limbus dengan 10 / 0 benang sutra. Semua mata ditindaklanjuti pada hari kedua dan satu minggu pasca operasi, kemudian setiap bulan selama 12 bulan untuk mendeteksi tanda-tanda awal kekambuhan dan komplikasi. Kekambuhan didefinisikan sebagai proliferasi fibrovascular yang menyerang kornea 1,5 mm. II.3.4 Analisis Statistik Studi uji T digunakan untuk menganalisis tingkat kekambuhan dan nilai P kurang dari 0,05 dianggap signifikan.

II.4 Hasil dan Data Setelah dilakukan tindak lanjut pasca operasi dalam 12 bulan, hanya satu mata yang kambuh setelah 4 bulan pada kelompok autograft limbal konjungtiva dan ada dua mata dengan

5

kekambuhan setelah 2 dan 4 bulan dengan kelompok autografting konjungtiva (P = 0,027). Komplikasi minimal seperti keratitis pungtata, kemerahan dan iritasi pada hari pertama karena penggunaan mitomycin C pascaoperasi yang diselesaikan secara spontan. Tidak ada efek samping berat yang muncul selama masa tindak lanjut.

Gambar (1) Satu tahun pasca eksisi pterygium dengan Conjungtiva Autograft

Gambar (2) Pra dan pasca eksisi pterygium dengan Limbal Conjungtiva Autograft

6

Gambar(3) Pra dan pasca eksisi pterygium dengan Conjungtiva Autograft II.5 Diskusi Mengenai tingkat kekambuhan yang tinggi setelah eksisi pteryguim, terapi tambahan sangat penting dalam rangka mengurangi tingkat kekambuhan. Kasus yang direkrut dalam penelitian ini adalah kasus berulang yang perlu terapi tambahan untuk mengurangi tingkat kekambuhan. Penelitian terbaru telah melaporkan efektivitas autograft limbal conjuctival transplantion (LCAG) dalam pencegahan pterygium karena teori kekambuhan bahwa defisiensi stem sel limbal menyebabkan perkembangan pterygium pada autograft limbal dengan epitel limbal pada graft konjungtiva akan memulihkan fungsi barier dari limbus. LCAG dengan pterygium berulang ditemukan menjadi metode yang sukses untuk mencegah kekambuhan pada pasien di bawah 40 tahun dengan tingkat kekambuhan 13,3% setelah rata-rata tindak lanjut periode 10 bulan (3-18 bulan) dibandingkan dengan tingkat kekambuhan 50% tanpa limbal transplantasi (kelompok kontrol). Dalam upaya untuk mengurangi tingkat kekambuhan, waktu operasi dan nyeri pasca bedah, penggunaan perekat fibrin dalam operasi pteryguim primer dengan conjuctival autograft ditemukan untuk mengurangi tingkat kekambuhan 4,41% dibandingkan dengan 15,9% pada kelompok yang dijahit, juga mengurangi waktu bedah dan rasa sakit pasca operasi bila dibandingkan dengan kelompok jahitan. Tingkat kekambuhan 4,75% dengan tidak ada tanda dari komplikasi, hal ini ditemukan setelah stem sel limbal dan transplantasi autograft konjungtiva. Hal ini juga membuktikan bahwa

7

prosedur ini adalah teknik pembedahan efektif dalam mencegah kekambuhan pteryguim dan juga dapat membantu dalam memperbaiki koreksi ketajaman visual. Pteryguim berulang menunjukkan pola pertumbuhan fibrovascular yang agresif mengarah ke kornea dan jaringan parut kojungtiva dan defisiensi stem sel limbal. Eksisi pada jaringan patologis dengan transplantasi membran amnion dan mitomycine C merupakan metode bedah alternatif dengan hasil akhir yang baik. Dalam menangani pteriguim berulang kronis yang dikombinasikan dengan prosedur bedah dari eksisi pterigium dengan transplantasi membran amnion, conjuctival limbal autograft dan aplikasi mitomycine C tampaknya bermanfaat. Jika mitomycine C merupakan kontraindikasi, limbal autograft conjuctival bagian inferior tampaknya aman dan pilihan yang efektif dalam penanganan pterigium berulang. Mitomycine C adalah agen sitotoksik kuat yang menghambat sintesis DNA yang dihasilkan dalam semua siklus istirahat pada fase S. Mitomycine C digunakan dalam dosis rendah dengan konsentrasi (0,01%), dalam upaya untuk mengurangi kejadian komplikasi permukaan okular. Penggunaan mitiomycine C Intraoperatif telah terbukti sangat efektif dalam meningkatkan keberhasilan setelah eksisi bedah tingkat berulang pteryguim setelah tindak lanjut jangka waktu 34-55 bulan, kekambuhan tingkat 12,5% pada kelompok mitomycine dan 35,6% di kelompok kontrol. Pada bulan ke-24 dan 48, tingkat keberhasilan adalah 89% dan 83% pada kelompok yang diobati mitomycine dan 66% dan 63% pada kelompok lain masing-masing. Tidak ada efek samping yang parah selama masa tindak lanjut. Keratitis pungtata superfisial muncul pada awal periode pasca operasi hanya pada 25,5% kasus. Meskipun penggunaan mitomycine C dapat menurunkan tingkat kekambuhan pterguim, metode aplikasi yang ideal dan dosis masih tetap kontroversial. Sebuah konsentrasi 0,02% mitomycine C adalah pengobatan efektif untuk pencegahan pteriguim berulang. Penemuan yang sama bahwa penutupan membran amnion dan autograft conjuctival dikombinasikan dengan mitomycine C efektif untuk mencegah kekambuhan pada pteriguim berulang. Beberapa penulis menemukan bahwa konjungtiva limbal autografting dan metode membran amnion merupakan metode yang lebih efektif dan lebih aman daripada intraoperatif mitomycine C. Dalam perbandingan antara limbal conjuctival transplantasi autograft dibandingkan mitomycine C dengan conjuctival flap dalam penanganan pteriguim berulang, kedua teknik menunjukkan tingkat kekambuhan yang sama. Beberapa penulis menemukan bahwa dalam

8

mengobati pteryguim berulang, eksisi sederhana dan dosis rendah mitomycine C diikuti dengan limbal conjuctival autograft adalah cara yang aman dan efektif. Sebagian besar penulis setuju tentang pengobatan dari pteryguim berulang dimana pasien membutuhkan eksisi radikal yang lebih dengan autograft besar dan penggunaan obat tambahan seperti mitomycine C. Beberapa ahli bedah setuju bahwa graft membran amnion sama efektifnya seperti conjuctival autograft dan mitomycine C dalam mencegah pterguim berulang. II.5 Kesimpulan Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kombinasi intraoperatif mitomycine C, graft membran amnion dan limbal conjugtival autograph merupakan suatu pendekatan yang berhasil untuk menangani pterigium berulang dengan symblepharon yang parah untuk mengembalikan integritas permukaan mata dan mencegah kekambuhan.

BAB III

9

PEMBAHASAN 1. Definisi Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalbera. Pterigium pertumbuhan berbentuk sayap pada conjungtiva bulbi. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani , yaitu pteron yang artinya wing atau sayap . Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah equator , yaitu 13,1 %.

2.

Epidemiologi Pterigium tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak didaerah iklim panas dan kering. Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekuren lebih sering pada umur muda dari pada umur tua. Laki laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat exposure lingkungan diluar rumah.3. Faktor Resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari , iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter .

1. Radiasi ultraviolet

10

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah ekspoure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting 2. Faktor Genetik Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. 3. Faktor lain. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi , dan saat ini merupakan teori baru phatogenesis dari pterigium. Yang juga menunjukkan adanya pterigium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium. 4. Patofisiologi Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal. Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.

11

Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase. Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

5. Gambaran Klinis Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain: mata sering berair dan tampak merah merasa seperti ada benda asing timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. Kira kira 90 % pterigium terletak didaerah nasal . Nasal dan temporal pterigium dapat terjadi sama pada mata , temporal pterigium jarang ditemukan . Kedua mata sering terlibat ,tetapi jarang asimetris .Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis , menyebabkan penglihatan kabur.

12

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body , apex ( head ) dan cap . Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body,sedangkan bagian atasnya disebut apex,dan kebelakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium. Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi 2 tipe yaitu progresif dan regresif pterigium: Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium ( disebut cap dari pterigium ) Regresif pterigium : tipis , atrofi , sedikit vascular .Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang . Pada fase awal pterigium tanpa gejala , tetapi keluhan kosmetik . Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan kornea astigmatisma menyebabkan pertumbuhan fibrosis pada tahap regresif . Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. Pterigium juga dibagi dalam 4 derajat yaitu : 1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea 2. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati Kornea 3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata ,dalam keadaan cahaya normal ( pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm) 4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.6.

Diagnosis Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahuntahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu. Test : Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.

13 7.

Diagnosis Banding Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguecula dan pseudopterigium . Bentuknya kecil, meninggi, massa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan . Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur . Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan . Exposure sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguecula Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterigium atau Terriens marginal degeneration. Pseudopterigium mirip dengan pterigium , dimana fibrovascular scar yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, conjungtivitis sikatrik, trauma bedah atau ulcus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus , dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium . Pada pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterigium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium

8.

Penatalaksanaan 1. Konservatif Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. 2. Bedah Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya

14

hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat. Indikasi Operasi -

Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus Kosmetik, terutama untuk penderita wanita. Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan

-

Teknik Pembedahan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea. 1. Teknik Bare Sclera Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan. 2. Teknik Autograft Konjungtiva Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini. 3. Cangkok Membran Amnion

15

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva. 3. Terapi Tambahan Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.5 MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1 Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1 Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

16

-

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

-

Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

9. Komplikasi

Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:- Gangguan penglihatan

- Mata kemerahan - Iritasi- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea- Dry Eye sindrom

Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut: -Infeksi -Ulkus kornea -Graft konjungtiva yang terbuka -Diplopia -Adanya jaringan parut di kornea Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi.10.

Pencegahan Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani

yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.11.

Prognosis Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman

pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam postop dapat beraktivitas kembali . Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang

17

dan graft dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.

BAB IV PENUTUP IV.1 Kesimpulan

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalbera Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari , iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

18

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain: mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, timbul astigmatisme.

Diagnosa pterigium dapat ditegakkan dengan anamnesis dengan keluhan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak, kemudian untuk tesnya dapat digunakan uji ketajaman visual, slitlamp, sonde di bagian limbus

Penatalaksanaa pterigium yaitu konservatif dan pembedahan, dengan teknik bedah antara lain bare sclera, konjungtiva autograft, limbal conjungtival autograft dan graft membrane amnion

Komplikasi post-operatif meliputi infeksi, ulkus kornea, graft konjungtiva yang terbuka, diplopia, adanya jaringan parut di kornea Prognosis pada pterigium, penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik Perlu adanya perhatian dari dokter untuk pencegahan dini pterigium, khususnya orang dengan faktor resiko tinggi Perlu adanya perhatian khusus untuk pencegahan pterigium berulang.

IV.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA 1. Zaki,A. Emerah,S, Ramzy.M, Labib.M. 2011. Management of Recurrent Pterygia. Journal of American Science 7(1): 230-234 2. Junqueira, L Carlos. 1998. Histologi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 3. Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D: The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin Ophthalmol 1999 Aug; 10(4): 282-8 [Medline]. 4. Whitcher J.P., Pterygium, 2007, http://www.emedicine.com/EMERG/topic284.htm

19

5. Ferrer F.J.G., Schwab I.R., Shetlar D.J., 2000. Vaughan & Asburys General Ophthalmology (16th edition), Mc Graw-Hill Companies, Inc., United States6. Ilyas S., 2009, Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. hal:2-6, 116 117 7. Misbach J., 1999. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 8. Hartono, 2005. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Jogjakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada