BAB I PENDAHULUAN -...

22
1 BAB I PENDAHULUAN Kualitas audit merupakan isu sentral dalam membangun kepercayaan investor terhadap laporan keuangan. Investor berkepentingan mengurangi risiko informasi akibat adanya asimetri informasi dalam hubungan keagenan antara pemegang saham dengan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976). Audit laporan keuangan dipandang sebagai salah satu cara efisien meningkatkan keterandalan laporan keuangan dengan mengurangi asimetri informasi dan masalah moral hazard manajer perusahaan (Dopuch, 1980; Zimmerman, 1983; dan Palepu, 2001). Namun demikian, sampai saat ini profesi Akuntan Publik (AP) masih dihadapkan pada masalah defisiensi dan kegagalan audit sebagai akibat kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan perilaku skeptis. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang- undang No. 5 Tahun 2011 tentang akuntan publik (AP) diikuti munculnya blue print (cetak biru) gagasan bahwa lulusan berbagai jurusan bisa menjadi akuntan profesional dalam menghadapi keterbatasan jumlah akuntan profesional memasuki persaingan pasar bebas ASEAN. Hal ini menambah marak perbincangan tentang pengaruh latar belakang pendidikan dan UU No 5 Tahun 2011 terhadap kualitas audit. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan formal auditor, menguji pengaruh tekanan waktu dan sanksi untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit tersebut menggunakan studi ekperimental.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

Kualitas audit merupakan isu sentral dalam membangun kepercayaan investor

terhadap laporan keuangan. Investor berkepentingan mengurangi risiko informasi

akibat adanya asimetri informasi dalam hubungan keagenan antara pemegang saham

dengan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976). Audit laporan keuangan dipandang

sebagai salah satu cara efisien meningkatkan keterandalan laporan keuangan dengan

mengurangi asimetri informasi dan masalah moral hazard manajer perusahaan

(Dopuch, 1980; Zimmerman, 1983; dan Palepu, 2001). Namun demikian, sampai saat

ini profesi Akuntan Publik (AP) masih dihadapkan pada masalah defisiensi dan

kegagalan audit sebagai akibat kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan

perilaku skeptis. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-

undang No. 5 Tahun 2011 tentang akuntan publik (AP) diikuti munculnya blue print

(cetak biru) gagasan bahwa lulusan berbagai jurusan bisa menjadi akuntan

profesional dalam menghadapi keterbatasan jumlah akuntan profesional memasuki

persaingan pasar bebas ASEAN. Hal ini menambah marak perbincangan tentang

pengaruh latar belakang pendidikan dan UU No 5 Tahun 2011 terhadap kualitas audit.

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan

formal auditor, menguji pengaruh tekanan waktu dan sanksi untuk memitigasi

defisiensi dan kegagalan audit tersebut menggunakan studi ekperimental.

2

1.1 Latar Belakang

Profesi akuntansi kembali diguncang berita kegagalan auditor menerapkan

skeptisisme profesional secara tepat dalam melaksanakan audit setelah kasus Lehman

Brothers (Epstein, 2015). Ketidakmampuan Ernst & Young ShinNihon LLC sebagai

auditor independen PT. Thosiba dalam mengungkap penggelembungan laba senilai

US$1.22 miliar sejak tahun 2008 (BBC, 2015) melengkapi kasus kegagalan bisnis

perusahaan-perusahaan besar seperti Lehman Brothers, WorldCom, dan Enron yang

bedampak pada runtuhnya nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Auditor

disebut-sebut memiliki andil terhadap skandal tersebut karena masing-masing

perusahaan telah diaudit dan menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP),

kegagalan penerapan skeptisisme profesional yang tepat oleh auditor ditengarai

sebagai salah satu penyebab terjadinya defisiensi dan kegagalan audit (PCAOB,

2015).

Di Indonesia juga muncul pemberitaan adanya beberapa kantor akuntan

publik (KAP) terkena sanksi karena rendahnya kualitas audit yang dihasilkan atau

terjadi pelanggaran atas etika profesi dan Standar Profesional Akuntan Publik

(SPAP)1. Pemberitaan-pemberitaan tersebut berdampak negatif terhadap jasa audit

karena memburuknya reputasi (Srinivasan dan Skinner, 2009) dan menyebabkan

1 Tanggal 29 Mei 2015 melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor : 445/KM.1/2015

karena dalam audit atas laporan keuangan klien yang tidak sesuai dengan standar audit dan

SPAP berpotensi berpengaruh cukup signifikan terhadap Laporan Auditor Independen. Tanggal 28 Nopember 2006 Menteri Keuangan RI membekukan izin Akuntan Publik (AP) selama dua

tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River International

Tbk. tahun 2003, dan beberapa berita pemberian sanksi pembekuan ijin AP dan KAP sejak penerapan

KMK 423/KMK.06/2002 (KMK 359/KMK.06/2003).

3

krisis kredibilitas (Whittington dan Pany, 2004). Terdapat bukti yang kuat dan

sistematis bahwa berita buruk tentang perilaku salah satu auditor mengakibatkan

eksternalitas negatif signifikan (spillovers) untuk semua auditor (Doogar dkk., 2007).

Proses audit banyak melibatkan aktivitas pengumpulan, pengevaluasian

kecukupan dan ketepatan bukti sebagai dasar menyatakan opini sesuai ketentuan

dalam standar audit (SA315, SA330, SA520, dan SA700). Standar-standar tersebut

menekankan dua hal penting bagi auditor, yaitu: melaksanakan judgment profesional

dan mempertahankan skeptisisme profesional dalam audit (SA200 dan SA240).

Penerapan dua hal tersebut dalam praktik menjadi sesuatu yang kompleks dan sulit

dilaksanakan selain karena bukti adanya salah saji akibat ketidakberesan yang sengaja

disembunyikan oleh klien (Plesis dan Koornhof, 2002) maupun karena adanya trade-

off antara efisiensi dan efektifitas audit. Apabila auditor menerapkan skeptisisme

terlalu tinggi maka dibutuhkan terlalu banyak bukti sehingga audit menjadi tidak

efisien dan sebaliknya jika kurang skeptis kemungkinan auditor gagal menemukan

adanya salah saji atau informasi yang kontradiktif.

Penggunaan International Financial Reporting Standards (IFRS) menambah

kompleks peran audit dalam meningkatkan keterandalan dan kredibilitas informasi

keuangan (Watkins dkk., 2004; IFAC, 2011). IFRS dikenal sebagai standar akuntansi

yang berbasis prinsip (principle-based) dengan basis penilaian menggunakan nilai

wajar (fair value) menggantikan standar akuntansi berbasis aturan yang detil (rule-

based) dan basis penilaian kos (Maines dkk., 2007 dan Agoglia dkk., 2011). IFRS

memungkinkan penyusun laporan keuangan dan auditor menggunakan lebih banyak

4

judgment, memunculkan bias (Martin dkk., 2006), meningkatkan latitude, dan

meningkatkan second guessing2 (Grenier dkk., 2011). Kenyataan tersebut merupakan

sinyal semakin pentingnya penerapan skeptisisme profesional bagi auditor, baik

untuk mempertanyakan kewajaran estimasi yang dibuat manajemen maupun menilai

kecukupan dan ketepatan bukti audit untuk mendukung estimasi tersebut (FRC, 2010).

Menyadari semakin besarnya tantangan dan peran yang dihadapi oleh auditor

karena kompleksitas lingkungan serta tingginya harapan publik untuk mendapatkan

informasi relevan yang dapat diandalkan, standar audit menegaskan pentingya

penggunaan skeptisisme profesional dan peningkatan tanggung jawab auditor untuk

mencegah dan menemukan salah saji material (CAQ, 2010). Literatur dan standar

audit sepakat bahwa semakin skeptis auditor berperilaku semakin tinggi

kemungkinan salah saji atau ketidakberesan dapat ditemukan dalam audit (PCAOB,

2012).

Saat ini, profesi auditor di Indonesia selain menghadapi masalah defisiensi

audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan meningkatnya

kompleksitas pelaporan keuangan, juga menghadapi masalah terbatasnya tenaga

akuntan dalam menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang

akan membebaskan pasar tenaga kerja termasuk akuntan di awal tahun2016. Menurut

informasi Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P3K)3

Kementerian Keuangan

Republik Indonesia, jumlah akuntan terdaftar sampai dengan 2014 sebanyak 53.800

2 Beda auditor mungkin akan memberikan dugaan berbeda atas keadaan yang sama

3 Sebelumnya menggunakan nama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP)

5

orang (7.306 dalam proses) dan yang menjadi akuntan publik hanya 1.060 orang

(Subur, 2015) dari jumlah penduduk 230-an juta jiwa. Jumlah tersebut tidak

sebanding dengan jumlah perusahaan yang membutuhkan jasa audit (sampai dengan

akhir 2013 tercatat sekitar 226.000 organisasi memerlukan tenaga akuntan, 514

diantaranya terdaftar di BEI). Kekurangan jumlah auditor disamping berdampak pada

menariknya peluang ini bagi tenaga akuntan asing juga bisa berdampak pada

penurunan kualitas audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional

sebagai akibat dari banyaknya klien yang harus ditangani dalam waktu yang relatif

bersamaan dan tenur audit yang panjang4 (Rittenberg, 2012; dan Carey dan Simnett,

2006).

Badan regulasi profesi pengaudit telah merespon berbagai hal yang

kemungkinan dapat berdampak buruk terhadap kualitas jasa penjaminan dengan

menetapkan standar pengendalian mutu yang termuat dalam SA220. Ketentuan dalam

SA220 (2012) tentang pengendalian mutu perikatan melalui reviu merupakan standar

yang baik untuk dilaksanakan. Pelaksanaan ketentuan tersebut akan menambah

kebutuhan sumber daya manusia kompeten dalam jumlah yang tidak sedikit. Oleh

karena itu, asosiasi profesi atau instansi terkait perlu segera mencari alternatif untuk

mengatasi masalah tersebut. Terkait dengan masalah tersebut salah satu gagasan jalur

alternatif untuk menjadi akuntan profesional di Indonesia berupa cetak biru

pengembangan profesi (AkuntanOnline, 2013).

4

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2015 Tentang Praktik Akuntan Publik Pasal 11 ayat 1

memberikan batasan tenur 5 tahun berturut-turut, ketentuan ini lebih longgar dibanding ketentuan

sebelumnya.

6

Gambar 1.1 Cetak Biru Pengembangan Profesi Akuntansi Indonesia

Cetak biru biru pengembangan profesi akuntansi ditunjukkan dalam Gambar 1.1.

Cetak biru pengembangan profesi akuntansi di Indonesia tersebut memungkinkan

lulusan pendidikan diploma IV (D-IV) atau sarjana (S-1) dari berbagai jurusan

menjadi akuntan profesional melalui pendidikan profesi akuntansi (PPAk)5. Cara

serupa juga digunakan oleh beberapa negara (antara lain: Amerika, Spanyol, Inggris,

dan Jerman). Namun demikian, alternatif ini perlu kajian hati-hati dan dipelajari

dampaknya terhadap kuantitas serta kualitas audit sebelum diputuskan.

Studi bidang ketenagakerjaan dan keorganisasian mengungkapkan adanya

hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan kinerja, termasuk fleksibilitas

5 Sampai saat ini IAPI menggunakan jalur yang hanya mengakui lulusan D-IV/S-1 akuntansi saja yang

memenuhi syarat untuk menjadi akuntan profesional.

7

untuk berganti posisi dan pekerjaan (Ng, dkk., 2005). Namun demikian, belum

banyak studi yang menguji hubungan berbagai latar belakang jurusan pendidikan

dengan kinerja (Ng dan Feldman, 2009). Penelitian ini mengisi kekosongan tersebut

dengan menginvestigasi hubungan antara berbagai latar belakang pendidikan formal

(jurusan) terhadap kinerja satu bidang pekerjaan akuntansi, yaitu audit menggunakan

eksperimen dengan tatanan konteks audit. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan

memberikan kontribusi dengan menyediakan salah satu bukti hubungan keberagaman

latar belakang pendidikan formal (S-1 atau D-IV) dengan kinerja melalui skeptisisme

profesional.

Watkins dkk., (2004) membuat sintesa penelitian-penelitian kualitas audit dan

memisahkan kualitas audit menjadi kualitas aktual (kekuatan pemonitoran) dan

kualitas persepsian (reputasi). Kemudian Francis (2011) mengembangkan rerangka

untuk memudahkan pemahaman penelitian kualitas audit. Kekuatan pemonitoran

dipengaruhi oleh faktor input, proses (proses audit, KAP), dan institusi. Kualitas audit

tinggi dihasilkan dari kompetensi dan independensi personil yang melakukan audit

menggunakan prosedur audit yang menghasilkan bukti audit cukup dan kompeten.

Prosedur audit dikembangkan oleh KAP baik secara individual maupun kolektif

(industri melalui best practices). Sedangkan sebagai suatu keluaran, kualitas audit

dipengaruhi oleh standar dan ketentuan relevan lain yang ditetapkan oleh institusi

terkait (Francis, 2011).

Menurut Nelson (2009), saat ini masih terdapat perbedaan sudut pandang

(neutral vs. presumptive doubts) antara teori dan literatur pengauditan dengan standar

8

audit mengenai konsep skeptisisme. Pany dan Whittington (2001), menambahkan

bahwa standar audit sebagai panduan untuk implementasi konsep skeptisisme

profesional tidak memadai. Penggunaan kata “cukup”, “tepat” dan “skeptisisme

profesional” dalam standar audit sulit didefinisikan secara tepat (Epstein, 2015), kata-

kata tersebut mengandung interpretasi relatif antarindividu sehingga memungkinkan

persepsi yang tidak sama terhadap standar dan berakibat munculnya

ketidakseragaman penerapan skeptisisme profesional antarauditor (Zikmund, 2008).

Oleh karena itu, eksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional

dan perilaku skeptis pada tingkat yang tepat penting bagi teori dan praktik

pengauditan agar diperoleh keseragaman pemahaman.

Berbagai kasus yang melibatkan profesi auditor mulai dari kasus Enron,

Worlcom, Lehman Brothers hingga yang terbaru penggelembungan laba oleh PT

Thosiba di tahun 2015 mendasari pergeseran paradigma dalam pengauditan.

Pengauditan yang menggunakan paradigma bahwa klien “baik” sehingga skeptisisme

profesional dimaknai sebagai sikap netral (neutral), auditor tidak bersikap tidak

mempercayai asersi manajemen tetapi juga tidak begitu saja menerima pernyataan

(Jusup, 2001) telah bergeser ke penggunaan paradigma presumptive doubts atau

auditor harus lebih proaktif untuk lebih berani men-challenge pernyataan manajemen

(Glover dan Prawitt, 2014; SA316). Diperlukan upaya konsisten untuk selalu

mengingatkan auditor bahwa risiko terjadinya kecurangan (fraud/irregularities) lebih

besar daripada risiko salah saji karena faktor ketidaksengajaan (error).

9

Beberapa penelitian menemukan pengaruh positif sikap skeptisisme terhadap

kualitas audit yang diproksikan dengan perilaku skeptis. Fullerton dan Durtschi

(2004), menggunakan auditor internal menguji pengaruh skeptisisme profesional

terhadap kecenderungan mencari bukti dan menemukan pengaruh positif skala

skeptisisme terhadap hasrat auditor mencari bukti. Hurtt, dkk., (2010), Robinson

(2011), dan Popova (2013) menguji dan menemukan pengaruh skeptisisme

profesional terhadap perilaku skeptis. Penelitian Robinson (2011) menemukan

dukungan parsial peran mediasi skeptisisme profesional “state” terhadap hubungan

antara skeptisisme “traits” dengan perilaku skeptis.

Tiga isu pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) adanya

peluang calon auditor dari berbagai jurusan pendidikan formal, (2) defisiensi dan

kegagalan audit karena ketidaktepatan penerapan skeptisisme profesional dan

perlunya mekanisme untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit dengan

meningkatkan skeptisisme profesional auditor, dan (3) mengeksplorasi peran

skeptisisme profesional dalam meningkatan kualitas audit melalui perilaku skeptis.

Berkaitan dengan isu pertama, penelitian ini bertujuan menguji pengaruh beragam

latar belakang pendidikan formal auditor (S-1/D-IV) terhadap skeptisisme profesional

dan perilaku skeptis.

Berkaitan dengan isu kedua, penelitian Choo (1995) dan Kelly dan Margheim

(1990) menemukan adanya pengaruh tekanan waktu terhadap kinerja auditor. Arnold

dkk., (2000) menunjukkan keterbatasan waktu mempengaruhi kemampuan individu

dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Liyanarachchi dan McNamara (2007),

10

mensikapi adanya tekanan waktu tersebut auditor cenderung menurunkan kualitas

pekerjaannya. Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, diduga adanya tekanan

waktu berpengaruh terhadap kualitas judgment auditor sehingga penelitian ini

bertujuan menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skeptisisme profesional dan

perilaku skeptis auditor.

Peneltian ini menggunakan tinjauan audit sebagai proses yang dinamis dan

kualitas audit aktual serta tinjauan dari aspek peran institusi dalam menjaga dan

meningkatkan kualitas audit melalui mekanisma sanksi seperti penelitian Dopuch dan

King (1992), dan King dan Schwartz (1999). Penggunaan tinjauan proses dinamis

dilakukan karena lingkungan bisnis selalu berubah dan tuntutan untuk memberikan

jasa audit berkualitas semakin besar. Penggunaan asumsi pengujian hipotesis asuransi

seperti yang dilakukan oleh Brown, dkk., (2008) dan Menon dan Williams, (1994)

serta pengujian kualitas audit menggunakan asumsi peran asuransi juga tidak dipilih

karena secara teoritis tidak sesuai dengan fenomena jasa audit di Indonesia dan tidak

dimungkinkan6 oleh sistem hukum yang berlaku.

Analisis pengaruh keberagaman latar belakang pendidikan auditor terhadap

skeptisisme profesional digunakan karena merupakan hal baru di Indonesia. Sejauh

pengetahuan penulis, penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali terkait

hubungan keragaman latar belakang pendidikan dengan skeptisisme profesional,

6 Indonesia bukan negara common law. Ketentuan hukum Indonesia dalam UU No. 5 Tahun 2011,

tidak memberikan kesempatan bagi publik untuk menuntut auditor mengganti kerugian yang diderita

oleh pengguna. Kondisi ini memungkinkan mengabaikan faktor asuransi dalam kualitas audit untuk

konteks Indonesia.

11

khususnya di Indonesia. Penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan ketentuan

tambahan waktu studi (credit hours) terhadap kualitas audit dan kos audit yang harus

ditanggung oleh klien (Allen dan Woodland, 2010) dan perbedaan degree (Gul dkk.,

2013).

Berbeda dengan studi Endrawes dan Monroe (2011) yang membandingkan

pengaruh dua dimensi budaya (Individualism dan Power Distance) antara Mesir

dengan Australia, persepsi atas risiko kecurangan dan kesalahan, serta akuntabilitas

dan pengetahuan audit terhadap skeptisisme profesional, penelitian ini menggunakan

teori ekonomi the credence good dan teori keperilakuan cognitive bias (Tversky dan

Kahnemann, 1974) serta membandingkan pengaruh beragam latar belakang

pendidikan (jurusan) auditor dalam satu konteks sistem dan budaya terhadap

skeptisisme profesional.

Berkaitan dengan isu ketiga, penelitian ini akan menguji pengaruh skeptisisme

profesional dalam memprediksi perilaku profesional, yaitu auditor memeriksa lebih

banyak bukti audit dan mampu menemukan lebih banyak informasi kontradiktif.

Penelitian ini juga akan menguji peran mediasi skala skeptisisme terhadap hubungan

antara latar belakang pendidikan, tekanan waktu, dan sanksi terhadap perilaku skeptis

auditor.

Teori utama yang mendukung penelitian ranah ini adalah teori keperilakuan

bias kognitif (heuristics dan judgmental bias), disonansi kognitif (Festinger, 1957),

dan teori ekonomi the credence goods (Dulleck dan Kerschbamer, 2006). Beberapa

12

teori lain seperti behavior modification (Martin, 1988) dan transtheoretical

(Prochaska dan Norcross, 2010) melengkapi urain dalam penelitian ini.

Metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini karena dipandang sesuai

untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang hubungan sebab akibat (Nahartyo,

2012; Campbell dan Stanley, 1963) dan memungkinkan untuk mengukur

independensi serta perilaku auditor (Yu, 2005). Model eksperimen juga

memungkinkan peneliti melakukan manipulasi untuk menciptakan situasi atau

fenomena yang dikehendaki secara artifisial untuk merepresentasi realitas. Oleh

karena itu, pilihan sudut pandang audit sebagai proses yang dinamis dan penggunaan

eksperimen diharapkan memiliki relevansi teoritis, praktis serta kebijakan yang tinggi.

Analisis pada level individual dipilih selain karena bervariasinya tugas auditor

untuk menyatakan opini dan adanya pengaruh beberapa atribut personal auditor

seperti pengetahuan, keahlian dan personalitas terhadap hasil (Nelson dan Tan, 2005

dan Buuren, 2009), juga karena eksplorasi kaitannya dengan latar belakang

pendidikan formal auditornya. Skeptisisme profesional dipengaruhi oleh faktor

bawaan individu (sikap, nilai-nilai etika, kompetensi) dan faktor lingkungan (budaya,

sistem hukum, regulasi) atau situasional (Robinson, 2011; Endrawes dan Monroe,

2011; Hurtt dkk., 2011; Hurtt, 2010 dan Nelson, 2009).

Beberapa riset kualitas audit juga mendukung bahwa kualitas audit

dipengaruhi oleh karakteristik individu pengambil keputusan seperti: pengalaman,

kemampuan, pendidikan, gender, sikap terhadap risiko, dan latar belakang politik

(Trotman dkk., 2009; dan Miller, 1992) dan persepsi pasar atas kualitas audit dalam

13

hal tertentu diinferensi dari karakteristik individual partner auditnya (Zerni, 2009).

Pilihan unit analisis ini juga didukung pernyataan Watkins dkk., (2004) bahwa

kualitas audit merupakan hasil judgment auditor individual dan pengaruh individu

auditor terhadap kualitas audit secara ekonomik dan statistik signifikan, lebih kuat

dibanding pengaruh KAP (Gul dkk., 2011) dan penelitian Chen dkk., (2010) yang

menemukan hubungan positif antara tingginya kemungkinan individu auditor dikenai

sanksi dengan independensi auditor.

1.2 Motivasi Penelitian

Motivasi utama dilakukannya penelitian ini karena masih terdapat senjang antara

teori dan praktik mengenai konsep skeptisisme profesional sebagai upaya perbaikan

kualitas audit. Skeptisisme profesional merupakan syarat yang diperlukan dalam

mencapai audit yang efektif. Akan tetapi, sederetan bukti menunjukkan masih belum

cukup untuk menjadikan audit yang efektif. Publikasi peristiwa skandal bisnis yang

mengarah pada kegagalan auditor dalam menerapkan skeptisisme profesional masih

menghiasi berbagai media hingga kini. Standar audit dan berbagai aturan yang

menyertainya tidak memberikan panduan gamblang mengenai skeptisisme

profesional.

Kedua, munculnya gagasan dari pemerintah yang membuka peluang bagi

calon akuntan profesional dari berbagai latar belakang pendidikan formal—semula

hanya yang berlatar belakang pendidikan formal akuntansi yang memenuhi

kualifikasi menjadi akuntan profesional perlu empiris untuk bahan pertimbangan

14

keputusan kedepan. Di Indonesia, kajian atau penelitian bidang tersebut belum

banyak dilakukan.

Ketiga, beberapa peristiwa yang mengindikasikan masih adanya tindakan

penurunan kualitas audit karena pandangan teori ekonomi the credence goods

sehingga diperlukan mekanisme untuk mencegah dan memitigasi tindakan tersebut,

dan terakhir, pernyataan Watkins dkk. (2004) dalam simpulannya mengungkapkan

bahwa tantangan yang dihadapi studi kualitas audit dari sisi permintaan adalah tidak

adanya ukuran-ukuran langsung kekuatan pemonitoran. Reviu merupakan mekanisma

yang memungkinkan profesi melakukan pemonitoran proses audit.

Keempat, adanya perbedaan lingkungan hukum yang menjadikan fenomena

profesi audit di Indonesia berbeda, rendahnya tekanan pasar terhadap kualitas audit

dari hipotesis asuransi dan adanya kebutuhan meningkatkan jumlah auditor di

Indonesia dengan gagasan membuka peluang auditor dari berbagai latar belakang

pendidikan D-IV dan S-1. Temuan Allen dan Woodland (2010) menunjukkan

pengaruh positif persyaratan tambahan satuan kredit semester (sks) mahasiswa

akuntansi terhadap fee audit tetapi tidak menemukan pengaruhnya terhadap kualitas

audit. Adanya temuan hubungan positif antara tingkat pendidikan terhadap kinerja

(Ng, dkk., 2005) dan belum banyak studi yang menguji hubungan antara berbagai

latar belakang jurusan pendidikan dengan kinerja (Ng dan Feldman, 2009) serta

masih adanya temuan yang tidak konsisten membuka peluang dilakukannya

penelitian ini.

15

1.3 Pertanyaan Penelitian

Profesi perlu melakukan perbaikan input dan proses secara fokus dan terus menerus

untuk mengurangi defisiensi dan kegagalan audit. Penelitian ini dapat dijadikan

sebagai acuan untuk membantu melakukan perbaikan tersebut melalui kajian literatur

dan empiris maupun perbaikan ketentuan/regulasi. Hasil penelitian ini dapat di

diseminasikan agar publik memiliki sumber acuan memadai untuk membentuk opini

mereka menjadi lebih objektif.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penelitian ini

berusaha menjawab pertanyaan yang relevan dengan skeptisisme profesional,

kesesuaian pilihan penambahan jumlah akuntan, pengaruh skeptisisme profesional

terhadap kualitas audit dan peran institusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas

audit. Lebih rinci masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut:

1. Belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait penambahan

jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang pendidikan, apakah

perbedaan latar belakang pendidikan tersebut berpengaruh terhadap skeptisisme

profesional auditor?

2. Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyatakan pendapat

dalam batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan fee dan penerimaan

penugasan yang mendekati akhir tahun buku berdampak pada terbatasnya waktu

yang bisa dipergunakan untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini

berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor?

16

3. Kurangnya penerapan skeptisisme profesional bisa berdampak pada defisiensi

audit sehingga diperlukan upaya untuk melindungi kepentingan publik. Penelitian

sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti adanya kegagalan audit

karena kurangnya penerapan tingkat skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001)

dan adanya hubungan positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit

(King dan Schwartz, 1999), dengan demikian apakah sanksi hukum yang

diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme

profesional auditor?

4. Literatur pengauditan sebelumnya tidak atau belum memberikan secara jelas

variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah skeptisisme profesional

merupakan variabel yang langsung mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau

skepetisisme profesional memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku

skeptis auditor?

Ringkasan keterkaitan isu penelitian dan pertanyaan penelitian disajikan

dalam Tabel 1.1. Pertanyaan pertama, yaitu berkaitan dengan isu mengenai adanya

gagasan dari pemerintah untuk membuka peluang calon auditor dari berbagai latar

belakang pendidikan menjadi akunta. Pertanyaan kedua dan ketiga terkait dengan isu

masih ditemukannya defisiensi dan kegagalan audit karena kurangnya penerapan

skeptisisme profesional auditor, dan pertanyaan keempat berkaitan dengan isu

mekanisme untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit.

17

Tabel 1.1.

Keterkaitan antara Isu Penelitian dengan Pertanyaan Penelitian

Isu Penelitian Pertanyaan Penelitian

Peluang calon auditor dari

berbagai jurusan pendidikan

formal

Adanya gagasan jalur alternatif menjadi akuntan profesional dan

belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait

penambahan jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang

pendidikan, apakah perbedaan latar belakang pendidikan tersebut

berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor?

Defisiensi dan kegagalan

audit karena ketidaktepatan

penerapan skeptisisme

profesional serta pengaruh

tekanan waktu dan penerapan

sanksi terhadap kualitas audit

Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk

menyatakan pendapat dalam batasan besaran fee dan waktu audit.

Batasan fee dan penerimaan penugasan yang mendekati akhir tahun

buku berdampak pada terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan

untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini berpengaruh

terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor?

Penelitian sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti

adanya kegagalan audit karena kurangnya penerapan tingkat

skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001) dan adanya hubungan

positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit (King dan

Schwartz, 1999; Chen dkk, 2010), dengan demikian apakah sanksi

hukum yang diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap

tingkat skeptisisme profesional auditor?

Peran skeptisisme profesional

dalam meningkatan kualitas

audit melalui perilaku skeptis

Literatur pengauditan sebelumnya tidak/belum memberikan secara

jelas variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah

skeptisisme profesional merupakan variabel yang langsung

mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau skepetisisme profesional

memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku skeptis auditor?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan formal auditor terhadap

skala skeptisisme profesional auditor.

2. Menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skala skeptisisme profesional auditor.

3. Menguji pengaruh penerapan sanksi terhadap skala skeptisisme profesional

auditor.

4. Menguji pengaruh skala skeptisisme auditor terhadap perilaku skeptis yang diukur

menggunakan jumlah bukti audit diperiksa dan temuan informasi kontradiktif.

18

5. Menguji pengaruh latar belakang pendidikan, tekanan waktu, ancaman sanksi,

dan skeptisisme profesional terhadap perilaku skeptis.

Tabel 1.2 berikut berisi ringkasan keterkaitan antara isu penelitian, pertanyaan

penelitian, dan tujuan penelitian dalam disertasi ini

Tabel 1.2.

Keterkaitan antara Isu Penelitian, Pertanyaan Penelitian, dan Tujuan Penelitian

Isu Penelitian Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian

Peluang calon auditor

dari berbagai jurusan

pendidikan formal

Adanya gagasan jalur alternatif menjadi

akuntan profesional dan belajar dari

pengalaman profesi di Amerika pada tahun

60-an terkait penambahan jumlah akuntan

melalui jalur pembebasan latar belakang

pendidikan, apakah perbedaan latar belakang

pendidikan tersebut berpengaruh terhadap

skeptisisme profesional auditor?

Menguji pengaruh perbedaan

latar belakang pendidikan

formal auditor terhadap skala

skeptisisme profesional

auditor.

Defisiensi dan

kegagalan audit karena

ketidaktepatan

penerapan skeptisisme

profesional serta

pengaruh tekanan

waktu dan penerapan

sanksi terhadap

kualitas audit

Audit memerlukan bukti audit yang cukup

dan tepat untuk menyatakan pendapat dalam

batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan

fee dan penerimaan penugasan yang

mendekati akhir tahun buku berdampak pada

terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan

untuk pengumpulan bukti audit, apakah

kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat

skeptisisme profesional auditor?

Menguji pengaruh tekanan

waktu terhadap skala

skeptisisme profesional

auditor.

Penelitian sebelumnya dibidang kualitas

audit menemukan bukti adanya kegagalan

audit karena kurangnya penerapan tingkat

skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001)

dan adanya hubungan positif antara

tanggung jawab hukum dengan kualitas

audit (King dan Schwartz, 1999; Chen dkk,

2010), dengan demikian apakah sanksi

hukum yang diintroduksi melalui proses

reviu berpengaruh terhadap tingkat

skeptisisme profesional auditor?

Menguji pengaruh penerapan

sanksi terhadap skala

skeptisisme profesional

auditor.

19

Tabel 1.2 Lanjutan

Isu Penelitian Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian

Peran skeptisisme

profesional dalam

meningkatan kualitas

audit melalui perilaku

skeptis

Literatur pengauditan sebelumnya

tidak/belum memberikan secara jelas

variabel yang menjadi anteseden perilaku

skeptis, apakah skeptisisme profesional

merupakan variabel yang langsung

mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau

skepetisisme profesional memediasi

hubungan kemampuan dengan perilaku

skeptis auditor?

Menguji pengaruh skala

skeptisisme auditor terhadap

perilaku skeptis yang diukur

menggunakan jumlah bukti

audit diperiksa dan temuan

informasi kontradiktif.

Menguji pengaruh latar

belakang pendidikan,

tekanan waktu, ancaman

sanksi, dan skeptisisme

profesional terhadap perilaku

skeptis.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi teoritis, metodologi dan implikasi

praktis bagi beberapa pihak. Pertama, kontribusi teoritis penelitian diperoleh melalui

tilikan teori akuntansi keperilakuan dalam menjelaskan kinerja proses dan judgment

performance yang dicapai auditor. Menggunakan sudut pandang bahwa audit adalah

proses yang dinamis, penelitian ini diharapkan dapat menyediakan empiris pengaruh

latar belakang pendidikan formal, tekanan waktu dan probabilitas direviu yang

mencerminkan adanya ancaman sanksi terhadap skala skeptisisme. Temuan empiris

ini menambah penjelasan fenomena hubungan keragaman latar belakang pendidikan

terhadap kinerja menjadi sumbangan dalam teori kognitif seperti diungkapkan dalam

teori akuntansi positif (Zimmerman, 1986).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk mendukung

pentingnya penerapan skeptisisme profesional yang tepat terutama ketika auditor

dihadapkan pada kelompok transaksi, akun atau rekening yang berisiko tinggi.

20

Auditor yang kukuh menjaga skeptisisme profesional cenderung menolak bukti audit

yang tidak cukup (Wooten, 2003) sehingga diharapkan mampu menurunkan risiko

audit pada tingkat yang dapat diterima.

Auditor biasa bekerja dalam keterbatasan waktu, baik keterbatasan waktu

dianggarkan karena batasan fee audit maupun karena saat penerimaan penugasan

yang mendekati akhir tahun. Hasil pengujian perlakuan terhadap tekanan waktu

diharapkan dapat dipergunakan untuk melengkapi atau mengkonfirmasi temuan

sebelumnya bahwa tekanan waktu berdampak negatif pada kinerja judgment seperti

temuan Choo (1995) dan Kelly dan Margheim (1990) atau sebaliknya.

Bahasan dan eksplorasi menggunakan kacamata teori ekonomi the credence

goods (Dulleck dan Kerschbamer, 2006) dan teori psikologi cognitive bias (Tversky

dan Kahnemann, 1974) untuk mengarahkan perilaku yang sesuai norma melengkapi

kontribusi teoritis. Temuan dalam penelitian ini diharapkan menambah bukti bahwa

kondisi tertentu atau situasional dapat membuat perbedaan dalam penerapan

skeptisisme profesional bisa dikurangi variabilitasnya melalui mekanisme sanksi.

Temuan dalam penelitian ini diharapkan juga dapat dipergunakan untuk

mendukung literatur dan standar pengauditan yang menyatakan bahwa auditor yang

memeriksa bukti audit lebih banyak memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

menilai kewajaran estimasi yang dibuat oleh manajemen. Disamping itu, temuan

dalam penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian relevan sebagai upaya untuk

mengurangi perbedaan persepsi mengenai skeptisisme profesional antara auditor

dengan regulator dan publik.

21

Kontribusi metodologis diharapkan diperoleh dari tilikan atas dua faktor yang

berpengaruh terhadap kualitas audit melalui skeptisisme profesional, yaitu: aspek

input dan aspek institusi secara berkesinambungan. Penggunaan metode eksperimen

diharapkan melengkapi literatur pengauditan khususnya dari teori keperilakuan bias

kognitif dalam pengambilan keputusan.

Bagi badan regulasi (asosiasi profesi dan pemerintah) kajian dan pengujian

pengaruh keberagaman latar belakang pendidikan formal auditor terhadap

skeptisisme profesional dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan rujukan dalam

membuat kebijakan yang relevan terkait penyusunan peraturan untuk memenuhi

kebutuhan kuantitas dengan tetap menjaga kualitas akuntan dan kualitas audit.

Pengujian yang membandingkan kinerja keputusan auditor yang menerima

pengetahuan deklaratif dan prosedural ketika menempuh pendidikan formal akuntansi

(S-1/D-IV/PPAk.) diharapkan memiliki peran dalam menjelaskan peran siknifikan

pendidikan formal akuntansi sebagai landasan dalam membentuk skeptisisme

profesional auditor.

Bagi KAP temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk

mengatur strategi penerimaan dan pelatihan audit pasca berlakunya UU-AP dalam

rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas audit. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan masukan untuk penyiapan dan pelaksanaan pendidikan

profesi akuntansi (PPAk). Jika skeptisisme profesional memiliki sisi situasional maka

dapat dipengaruhi melalui rancangan silabus dan kurikulum dengan lebih banyak

22

diberi muatan berupa contoh-contoh terkini yang mempromosikan konsistensi dalam

penerapan skeptisisme profesional.