BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kualitas audit merupakan isu sentral dalam membangun kepercayaan investor
terhadap laporan keuangan. Investor berkepentingan mengurangi risiko informasi
akibat adanya asimetri informasi dalam hubungan keagenan antara pemegang saham
dengan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976). Audit laporan keuangan dipandang
sebagai salah satu cara efisien meningkatkan keterandalan laporan keuangan dengan
mengurangi asimetri informasi dan masalah moral hazard manajer perusahaan
(Dopuch, 1980; Zimmerman, 1983; dan Palepu, 2001). Namun demikian, sampai saat
ini profesi Akuntan Publik (AP) masih dihadapkan pada masalah defisiensi dan
kegagalan audit sebagai akibat kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan
perilaku skeptis. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-
undang No. 5 Tahun 2011 tentang akuntan publik (AP) diikuti munculnya blue print
(cetak biru) gagasan bahwa lulusan berbagai jurusan bisa menjadi akuntan
profesional dalam menghadapi keterbatasan jumlah akuntan profesional memasuki
persaingan pasar bebas ASEAN. Hal ini menambah marak perbincangan tentang
pengaruh latar belakang pendidikan dan UU No 5 Tahun 2011 terhadap kualitas audit.
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan
formal auditor, menguji pengaruh tekanan waktu dan sanksi untuk memitigasi
defisiensi dan kegagalan audit tersebut menggunakan studi ekperimental.
2
1.1 Latar Belakang
Profesi akuntansi kembali diguncang berita kegagalan auditor menerapkan
skeptisisme profesional secara tepat dalam melaksanakan audit setelah kasus Lehman
Brothers (Epstein, 2015). Ketidakmampuan Ernst & Young ShinNihon LLC sebagai
auditor independen PT. Thosiba dalam mengungkap penggelembungan laba senilai
US$1.22 miliar sejak tahun 2008 (BBC, 2015) melengkapi kasus kegagalan bisnis
perusahaan-perusahaan besar seperti Lehman Brothers, WorldCom, dan Enron yang
bedampak pada runtuhnya nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Auditor
disebut-sebut memiliki andil terhadap skandal tersebut karena masing-masing
perusahaan telah diaudit dan menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP),
kegagalan penerapan skeptisisme profesional yang tepat oleh auditor ditengarai
sebagai salah satu penyebab terjadinya defisiensi dan kegagalan audit (PCAOB,
2015).
Di Indonesia juga muncul pemberitaan adanya beberapa kantor akuntan
publik (KAP) terkena sanksi karena rendahnya kualitas audit yang dihasilkan atau
terjadi pelanggaran atas etika profesi dan Standar Profesional Akuntan Publik
(SPAP)1. Pemberitaan-pemberitaan tersebut berdampak negatif terhadap jasa audit
karena memburuknya reputasi (Srinivasan dan Skinner, 2009) dan menyebabkan
1 Tanggal 29 Mei 2015 melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor : 445/KM.1/2015
karena dalam audit atas laporan keuangan klien yang tidak sesuai dengan standar audit dan
SPAP berpotensi berpengaruh cukup signifikan terhadap Laporan Auditor Independen. Tanggal 28 Nopember 2006 Menteri Keuangan RI membekukan izin Akuntan Publik (AP) selama dua
tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)
berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River International
Tbk. tahun 2003, dan beberapa berita pemberian sanksi pembekuan ijin AP dan KAP sejak penerapan
KMK 423/KMK.06/2002 (KMK 359/KMK.06/2003).
3
krisis kredibilitas (Whittington dan Pany, 2004). Terdapat bukti yang kuat dan
sistematis bahwa berita buruk tentang perilaku salah satu auditor mengakibatkan
eksternalitas negatif signifikan (spillovers) untuk semua auditor (Doogar dkk., 2007).
Proses audit banyak melibatkan aktivitas pengumpulan, pengevaluasian
kecukupan dan ketepatan bukti sebagai dasar menyatakan opini sesuai ketentuan
dalam standar audit (SA315, SA330, SA520, dan SA700). Standar-standar tersebut
menekankan dua hal penting bagi auditor, yaitu: melaksanakan judgment profesional
dan mempertahankan skeptisisme profesional dalam audit (SA200 dan SA240).
Penerapan dua hal tersebut dalam praktik menjadi sesuatu yang kompleks dan sulit
dilaksanakan selain karena bukti adanya salah saji akibat ketidakberesan yang sengaja
disembunyikan oleh klien (Plesis dan Koornhof, 2002) maupun karena adanya trade-
off antara efisiensi dan efektifitas audit. Apabila auditor menerapkan skeptisisme
terlalu tinggi maka dibutuhkan terlalu banyak bukti sehingga audit menjadi tidak
efisien dan sebaliknya jika kurang skeptis kemungkinan auditor gagal menemukan
adanya salah saji atau informasi yang kontradiktif.
Penggunaan International Financial Reporting Standards (IFRS) menambah
kompleks peran audit dalam meningkatkan keterandalan dan kredibilitas informasi
keuangan (Watkins dkk., 2004; IFAC, 2011). IFRS dikenal sebagai standar akuntansi
yang berbasis prinsip (principle-based) dengan basis penilaian menggunakan nilai
wajar (fair value) menggantikan standar akuntansi berbasis aturan yang detil (rule-
based) dan basis penilaian kos (Maines dkk., 2007 dan Agoglia dkk., 2011). IFRS
memungkinkan penyusun laporan keuangan dan auditor menggunakan lebih banyak
4
judgment, memunculkan bias (Martin dkk., 2006), meningkatkan latitude, dan
meningkatkan second guessing2 (Grenier dkk., 2011). Kenyataan tersebut merupakan
sinyal semakin pentingnya penerapan skeptisisme profesional bagi auditor, baik
untuk mempertanyakan kewajaran estimasi yang dibuat manajemen maupun menilai
kecukupan dan ketepatan bukti audit untuk mendukung estimasi tersebut (FRC, 2010).
Menyadari semakin besarnya tantangan dan peran yang dihadapi oleh auditor
karena kompleksitas lingkungan serta tingginya harapan publik untuk mendapatkan
informasi relevan yang dapat diandalkan, standar audit menegaskan pentingya
penggunaan skeptisisme profesional dan peningkatan tanggung jawab auditor untuk
mencegah dan menemukan salah saji material (CAQ, 2010). Literatur dan standar
audit sepakat bahwa semakin skeptis auditor berperilaku semakin tinggi
kemungkinan salah saji atau ketidakberesan dapat ditemukan dalam audit (PCAOB,
2012).
Saat ini, profesi auditor di Indonesia selain menghadapi masalah defisiensi
audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan meningkatnya
kompleksitas pelaporan keuangan, juga menghadapi masalah terbatasnya tenaga
akuntan dalam menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang
akan membebaskan pasar tenaga kerja termasuk akuntan di awal tahun2016. Menurut
informasi Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P3K)3
Kementerian Keuangan
Republik Indonesia, jumlah akuntan terdaftar sampai dengan 2014 sebanyak 53.800
2 Beda auditor mungkin akan memberikan dugaan berbeda atas keadaan yang sama
3 Sebelumnya menggunakan nama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP)
5
orang (7.306 dalam proses) dan yang menjadi akuntan publik hanya 1.060 orang
(Subur, 2015) dari jumlah penduduk 230-an juta jiwa. Jumlah tersebut tidak
sebanding dengan jumlah perusahaan yang membutuhkan jasa audit (sampai dengan
akhir 2013 tercatat sekitar 226.000 organisasi memerlukan tenaga akuntan, 514
diantaranya terdaftar di BEI). Kekurangan jumlah auditor disamping berdampak pada
menariknya peluang ini bagi tenaga akuntan asing juga bisa berdampak pada
penurunan kualitas audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional
sebagai akibat dari banyaknya klien yang harus ditangani dalam waktu yang relatif
bersamaan dan tenur audit yang panjang4 (Rittenberg, 2012; dan Carey dan Simnett,
2006).
Badan regulasi profesi pengaudit telah merespon berbagai hal yang
kemungkinan dapat berdampak buruk terhadap kualitas jasa penjaminan dengan
menetapkan standar pengendalian mutu yang termuat dalam SA220. Ketentuan dalam
SA220 (2012) tentang pengendalian mutu perikatan melalui reviu merupakan standar
yang baik untuk dilaksanakan. Pelaksanaan ketentuan tersebut akan menambah
kebutuhan sumber daya manusia kompeten dalam jumlah yang tidak sedikit. Oleh
karena itu, asosiasi profesi atau instansi terkait perlu segera mencari alternatif untuk
mengatasi masalah tersebut. Terkait dengan masalah tersebut salah satu gagasan jalur
alternatif untuk menjadi akuntan profesional di Indonesia berupa cetak biru
pengembangan profesi (AkuntanOnline, 2013).
4
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2015 Tentang Praktik Akuntan Publik Pasal 11 ayat 1
memberikan batasan tenur 5 tahun berturut-turut, ketentuan ini lebih longgar dibanding ketentuan
sebelumnya.
6
Gambar 1.1 Cetak Biru Pengembangan Profesi Akuntansi Indonesia
Cetak biru biru pengembangan profesi akuntansi ditunjukkan dalam Gambar 1.1.
Cetak biru pengembangan profesi akuntansi di Indonesia tersebut memungkinkan
lulusan pendidikan diploma IV (D-IV) atau sarjana (S-1) dari berbagai jurusan
menjadi akuntan profesional melalui pendidikan profesi akuntansi (PPAk)5. Cara
serupa juga digunakan oleh beberapa negara (antara lain: Amerika, Spanyol, Inggris,
dan Jerman). Namun demikian, alternatif ini perlu kajian hati-hati dan dipelajari
dampaknya terhadap kuantitas serta kualitas audit sebelum diputuskan.
Studi bidang ketenagakerjaan dan keorganisasian mengungkapkan adanya
hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan kinerja, termasuk fleksibilitas
5 Sampai saat ini IAPI menggunakan jalur yang hanya mengakui lulusan D-IV/S-1 akuntansi saja yang
memenuhi syarat untuk menjadi akuntan profesional.
7
untuk berganti posisi dan pekerjaan (Ng, dkk., 2005). Namun demikian, belum
banyak studi yang menguji hubungan berbagai latar belakang jurusan pendidikan
dengan kinerja (Ng dan Feldman, 2009). Penelitian ini mengisi kekosongan tersebut
dengan menginvestigasi hubungan antara berbagai latar belakang pendidikan formal
(jurusan) terhadap kinerja satu bidang pekerjaan akuntansi, yaitu audit menggunakan
eksperimen dengan tatanan konteks audit. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi dengan menyediakan salah satu bukti hubungan keberagaman
latar belakang pendidikan formal (S-1 atau D-IV) dengan kinerja melalui skeptisisme
profesional.
Watkins dkk., (2004) membuat sintesa penelitian-penelitian kualitas audit dan
memisahkan kualitas audit menjadi kualitas aktual (kekuatan pemonitoran) dan
kualitas persepsian (reputasi). Kemudian Francis (2011) mengembangkan rerangka
untuk memudahkan pemahaman penelitian kualitas audit. Kekuatan pemonitoran
dipengaruhi oleh faktor input, proses (proses audit, KAP), dan institusi. Kualitas audit
tinggi dihasilkan dari kompetensi dan independensi personil yang melakukan audit
menggunakan prosedur audit yang menghasilkan bukti audit cukup dan kompeten.
Prosedur audit dikembangkan oleh KAP baik secara individual maupun kolektif
(industri melalui best practices). Sedangkan sebagai suatu keluaran, kualitas audit
dipengaruhi oleh standar dan ketentuan relevan lain yang ditetapkan oleh institusi
terkait (Francis, 2011).
Menurut Nelson (2009), saat ini masih terdapat perbedaan sudut pandang
(neutral vs. presumptive doubts) antara teori dan literatur pengauditan dengan standar
8
audit mengenai konsep skeptisisme. Pany dan Whittington (2001), menambahkan
bahwa standar audit sebagai panduan untuk implementasi konsep skeptisisme
profesional tidak memadai. Penggunaan kata “cukup”, “tepat” dan “skeptisisme
profesional” dalam standar audit sulit didefinisikan secara tepat (Epstein, 2015), kata-
kata tersebut mengandung interpretasi relatif antarindividu sehingga memungkinkan
persepsi yang tidak sama terhadap standar dan berakibat munculnya
ketidakseragaman penerapan skeptisisme profesional antarauditor (Zikmund, 2008).
Oleh karena itu, eksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional
dan perilaku skeptis pada tingkat yang tepat penting bagi teori dan praktik
pengauditan agar diperoleh keseragaman pemahaman.
Berbagai kasus yang melibatkan profesi auditor mulai dari kasus Enron,
Worlcom, Lehman Brothers hingga yang terbaru penggelembungan laba oleh PT
Thosiba di tahun 2015 mendasari pergeseran paradigma dalam pengauditan.
Pengauditan yang menggunakan paradigma bahwa klien “baik” sehingga skeptisisme
profesional dimaknai sebagai sikap netral (neutral), auditor tidak bersikap tidak
mempercayai asersi manajemen tetapi juga tidak begitu saja menerima pernyataan
(Jusup, 2001) telah bergeser ke penggunaan paradigma presumptive doubts atau
auditor harus lebih proaktif untuk lebih berani men-challenge pernyataan manajemen
(Glover dan Prawitt, 2014; SA316). Diperlukan upaya konsisten untuk selalu
mengingatkan auditor bahwa risiko terjadinya kecurangan (fraud/irregularities) lebih
besar daripada risiko salah saji karena faktor ketidaksengajaan (error).
9
Beberapa penelitian menemukan pengaruh positif sikap skeptisisme terhadap
kualitas audit yang diproksikan dengan perilaku skeptis. Fullerton dan Durtschi
(2004), menggunakan auditor internal menguji pengaruh skeptisisme profesional
terhadap kecenderungan mencari bukti dan menemukan pengaruh positif skala
skeptisisme terhadap hasrat auditor mencari bukti. Hurtt, dkk., (2010), Robinson
(2011), dan Popova (2013) menguji dan menemukan pengaruh skeptisisme
profesional terhadap perilaku skeptis. Penelitian Robinson (2011) menemukan
dukungan parsial peran mediasi skeptisisme profesional “state” terhadap hubungan
antara skeptisisme “traits” dengan perilaku skeptis.
Tiga isu pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) adanya
peluang calon auditor dari berbagai jurusan pendidikan formal, (2) defisiensi dan
kegagalan audit karena ketidaktepatan penerapan skeptisisme profesional dan
perlunya mekanisme untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit dengan
meningkatkan skeptisisme profesional auditor, dan (3) mengeksplorasi peran
skeptisisme profesional dalam meningkatan kualitas audit melalui perilaku skeptis.
Berkaitan dengan isu pertama, penelitian ini bertujuan menguji pengaruh beragam
latar belakang pendidikan formal auditor (S-1/D-IV) terhadap skeptisisme profesional
dan perilaku skeptis.
Berkaitan dengan isu kedua, penelitian Choo (1995) dan Kelly dan Margheim
(1990) menemukan adanya pengaruh tekanan waktu terhadap kinerja auditor. Arnold
dkk., (2000) menunjukkan keterbatasan waktu mempengaruhi kemampuan individu
dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Liyanarachchi dan McNamara (2007),
10
mensikapi adanya tekanan waktu tersebut auditor cenderung menurunkan kualitas
pekerjaannya. Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, diduga adanya tekanan
waktu berpengaruh terhadap kualitas judgment auditor sehingga penelitian ini
bertujuan menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skeptisisme profesional dan
perilaku skeptis auditor.
Peneltian ini menggunakan tinjauan audit sebagai proses yang dinamis dan
kualitas audit aktual serta tinjauan dari aspek peran institusi dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas audit melalui mekanisma sanksi seperti penelitian Dopuch dan
King (1992), dan King dan Schwartz (1999). Penggunaan tinjauan proses dinamis
dilakukan karena lingkungan bisnis selalu berubah dan tuntutan untuk memberikan
jasa audit berkualitas semakin besar. Penggunaan asumsi pengujian hipotesis asuransi
seperti yang dilakukan oleh Brown, dkk., (2008) dan Menon dan Williams, (1994)
serta pengujian kualitas audit menggunakan asumsi peran asuransi juga tidak dipilih
karena secara teoritis tidak sesuai dengan fenomena jasa audit di Indonesia dan tidak
dimungkinkan6 oleh sistem hukum yang berlaku.
Analisis pengaruh keberagaman latar belakang pendidikan auditor terhadap
skeptisisme profesional digunakan karena merupakan hal baru di Indonesia. Sejauh
pengetahuan penulis, penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali terkait
hubungan keragaman latar belakang pendidikan dengan skeptisisme profesional,
6 Indonesia bukan negara common law. Ketentuan hukum Indonesia dalam UU No. 5 Tahun 2011,
tidak memberikan kesempatan bagi publik untuk menuntut auditor mengganti kerugian yang diderita
oleh pengguna. Kondisi ini memungkinkan mengabaikan faktor asuransi dalam kualitas audit untuk
konteks Indonesia.
11
khususnya di Indonesia. Penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan ketentuan
tambahan waktu studi (credit hours) terhadap kualitas audit dan kos audit yang harus
ditanggung oleh klien (Allen dan Woodland, 2010) dan perbedaan degree (Gul dkk.,
2013).
Berbeda dengan studi Endrawes dan Monroe (2011) yang membandingkan
pengaruh dua dimensi budaya (Individualism dan Power Distance) antara Mesir
dengan Australia, persepsi atas risiko kecurangan dan kesalahan, serta akuntabilitas
dan pengetahuan audit terhadap skeptisisme profesional, penelitian ini menggunakan
teori ekonomi the credence good dan teori keperilakuan cognitive bias (Tversky dan
Kahnemann, 1974) serta membandingkan pengaruh beragam latar belakang
pendidikan (jurusan) auditor dalam satu konteks sistem dan budaya terhadap
skeptisisme profesional.
Berkaitan dengan isu ketiga, penelitian ini akan menguji pengaruh skeptisisme
profesional dalam memprediksi perilaku profesional, yaitu auditor memeriksa lebih
banyak bukti audit dan mampu menemukan lebih banyak informasi kontradiktif.
Penelitian ini juga akan menguji peran mediasi skala skeptisisme terhadap hubungan
antara latar belakang pendidikan, tekanan waktu, dan sanksi terhadap perilaku skeptis
auditor.
Teori utama yang mendukung penelitian ranah ini adalah teori keperilakuan
bias kognitif (heuristics dan judgmental bias), disonansi kognitif (Festinger, 1957),
dan teori ekonomi the credence goods (Dulleck dan Kerschbamer, 2006). Beberapa
12
teori lain seperti behavior modification (Martin, 1988) dan transtheoretical
(Prochaska dan Norcross, 2010) melengkapi urain dalam penelitian ini.
Metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini karena dipandang sesuai
untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang hubungan sebab akibat (Nahartyo,
2012; Campbell dan Stanley, 1963) dan memungkinkan untuk mengukur
independensi serta perilaku auditor (Yu, 2005). Model eksperimen juga
memungkinkan peneliti melakukan manipulasi untuk menciptakan situasi atau
fenomena yang dikehendaki secara artifisial untuk merepresentasi realitas. Oleh
karena itu, pilihan sudut pandang audit sebagai proses yang dinamis dan penggunaan
eksperimen diharapkan memiliki relevansi teoritis, praktis serta kebijakan yang tinggi.
Analisis pada level individual dipilih selain karena bervariasinya tugas auditor
untuk menyatakan opini dan adanya pengaruh beberapa atribut personal auditor
seperti pengetahuan, keahlian dan personalitas terhadap hasil (Nelson dan Tan, 2005
dan Buuren, 2009), juga karena eksplorasi kaitannya dengan latar belakang
pendidikan formal auditornya. Skeptisisme profesional dipengaruhi oleh faktor
bawaan individu (sikap, nilai-nilai etika, kompetensi) dan faktor lingkungan (budaya,
sistem hukum, regulasi) atau situasional (Robinson, 2011; Endrawes dan Monroe,
2011; Hurtt dkk., 2011; Hurtt, 2010 dan Nelson, 2009).
Beberapa riset kualitas audit juga mendukung bahwa kualitas audit
dipengaruhi oleh karakteristik individu pengambil keputusan seperti: pengalaman,
kemampuan, pendidikan, gender, sikap terhadap risiko, dan latar belakang politik
(Trotman dkk., 2009; dan Miller, 1992) dan persepsi pasar atas kualitas audit dalam
13
hal tertentu diinferensi dari karakteristik individual partner auditnya (Zerni, 2009).
Pilihan unit analisis ini juga didukung pernyataan Watkins dkk., (2004) bahwa
kualitas audit merupakan hasil judgment auditor individual dan pengaruh individu
auditor terhadap kualitas audit secara ekonomik dan statistik signifikan, lebih kuat
dibanding pengaruh KAP (Gul dkk., 2011) dan penelitian Chen dkk., (2010) yang
menemukan hubungan positif antara tingginya kemungkinan individu auditor dikenai
sanksi dengan independensi auditor.
1.2 Motivasi Penelitian
Motivasi utama dilakukannya penelitian ini karena masih terdapat senjang antara
teori dan praktik mengenai konsep skeptisisme profesional sebagai upaya perbaikan
kualitas audit. Skeptisisme profesional merupakan syarat yang diperlukan dalam
mencapai audit yang efektif. Akan tetapi, sederetan bukti menunjukkan masih belum
cukup untuk menjadikan audit yang efektif. Publikasi peristiwa skandal bisnis yang
mengarah pada kegagalan auditor dalam menerapkan skeptisisme profesional masih
menghiasi berbagai media hingga kini. Standar audit dan berbagai aturan yang
menyertainya tidak memberikan panduan gamblang mengenai skeptisisme
profesional.
Kedua, munculnya gagasan dari pemerintah yang membuka peluang bagi
calon akuntan profesional dari berbagai latar belakang pendidikan formal—semula
hanya yang berlatar belakang pendidikan formal akuntansi yang memenuhi
kualifikasi menjadi akuntan profesional perlu empiris untuk bahan pertimbangan
14
keputusan kedepan. Di Indonesia, kajian atau penelitian bidang tersebut belum
banyak dilakukan.
Ketiga, beberapa peristiwa yang mengindikasikan masih adanya tindakan
penurunan kualitas audit karena pandangan teori ekonomi the credence goods
sehingga diperlukan mekanisme untuk mencegah dan memitigasi tindakan tersebut,
dan terakhir, pernyataan Watkins dkk. (2004) dalam simpulannya mengungkapkan
bahwa tantangan yang dihadapi studi kualitas audit dari sisi permintaan adalah tidak
adanya ukuran-ukuran langsung kekuatan pemonitoran. Reviu merupakan mekanisma
yang memungkinkan profesi melakukan pemonitoran proses audit.
Keempat, adanya perbedaan lingkungan hukum yang menjadikan fenomena
profesi audit di Indonesia berbeda, rendahnya tekanan pasar terhadap kualitas audit
dari hipotesis asuransi dan adanya kebutuhan meningkatkan jumlah auditor di
Indonesia dengan gagasan membuka peluang auditor dari berbagai latar belakang
pendidikan D-IV dan S-1. Temuan Allen dan Woodland (2010) menunjukkan
pengaruh positif persyaratan tambahan satuan kredit semester (sks) mahasiswa
akuntansi terhadap fee audit tetapi tidak menemukan pengaruhnya terhadap kualitas
audit. Adanya temuan hubungan positif antara tingkat pendidikan terhadap kinerja
(Ng, dkk., 2005) dan belum banyak studi yang menguji hubungan antara berbagai
latar belakang jurusan pendidikan dengan kinerja (Ng dan Feldman, 2009) serta
masih adanya temuan yang tidak konsisten membuka peluang dilakukannya
penelitian ini.
15
1.3 Pertanyaan Penelitian
Profesi perlu melakukan perbaikan input dan proses secara fokus dan terus menerus
untuk mengurangi defisiensi dan kegagalan audit. Penelitian ini dapat dijadikan
sebagai acuan untuk membantu melakukan perbaikan tersebut melalui kajian literatur
dan empiris maupun perbaikan ketentuan/regulasi. Hasil penelitian ini dapat di
diseminasikan agar publik memiliki sumber acuan memadai untuk membentuk opini
mereka menjadi lebih objektif.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penelitian ini
berusaha menjawab pertanyaan yang relevan dengan skeptisisme profesional,
kesesuaian pilihan penambahan jumlah akuntan, pengaruh skeptisisme profesional
terhadap kualitas audit dan peran institusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas
audit. Lebih rinci masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1. Belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait penambahan
jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang pendidikan, apakah
perbedaan latar belakang pendidikan tersebut berpengaruh terhadap skeptisisme
profesional auditor?
2. Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyatakan pendapat
dalam batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan fee dan penerimaan
penugasan yang mendekati akhir tahun buku berdampak pada terbatasnya waktu
yang bisa dipergunakan untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini
berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor?
16
3. Kurangnya penerapan skeptisisme profesional bisa berdampak pada defisiensi
audit sehingga diperlukan upaya untuk melindungi kepentingan publik. Penelitian
sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti adanya kegagalan audit
karena kurangnya penerapan tingkat skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001)
dan adanya hubungan positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit
(King dan Schwartz, 1999), dengan demikian apakah sanksi hukum yang
diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme
profesional auditor?
4. Literatur pengauditan sebelumnya tidak atau belum memberikan secara jelas
variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah skeptisisme profesional
merupakan variabel yang langsung mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau
skepetisisme profesional memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku
skeptis auditor?
Ringkasan keterkaitan isu penelitian dan pertanyaan penelitian disajikan
dalam Tabel 1.1. Pertanyaan pertama, yaitu berkaitan dengan isu mengenai adanya
gagasan dari pemerintah untuk membuka peluang calon auditor dari berbagai latar
belakang pendidikan menjadi akunta. Pertanyaan kedua dan ketiga terkait dengan isu
masih ditemukannya defisiensi dan kegagalan audit karena kurangnya penerapan
skeptisisme profesional auditor, dan pertanyaan keempat berkaitan dengan isu
mekanisme untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit.
17
Tabel 1.1.
Keterkaitan antara Isu Penelitian dengan Pertanyaan Penelitian
Isu Penelitian Pertanyaan Penelitian
Peluang calon auditor dari
berbagai jurusan pendidikan
formal
Adanya gagasan jalur alternatif menjadi akuntan profesional dan
belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait
penambahan jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang
pendidikan, apakah perbedaan latar belakang pendidikan tersebut
berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor?
Defisiensi dan kegagalan
audit karena ketidaktepatan
penerapan skeptisisme
profesional serta pengaruh
tekanan waktu dan penerapan
sanksi terhadap kualitas audit
Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk
menyatakan pendapat dalam batasan besaran fee dan waktu audit.
Batasan fee dan penerimaan penugasan yang mendekati akhir tahun
buku berdampak pada terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan
untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini berpengaruh
terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor?
Penelitian sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti
adanya kegagalan audit karena kurangnya penerapan tingkat
skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001) dan adanya hubungan
positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit (King dan
Schwartz, 1999; Chen dkk, 2010), dengan demikian apakah sanksi
hukum yang diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap
tingkat skeptisisme profesional auditor?
Peran skeptisisme profesional
dalam meningkatan kualitas
audit melalui perilaku skeptis
Literatur pengauditan sebelumnya tidak/belum memberikan secara
jelas variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah
skeptisisme profesional merupakan variabel yang langsung
mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau skepetisisme profesional
memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku skeptis auditor?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan formal auditor terhadap
skala skeptisisme profesional auditor.
2. Menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skala skeptisisme profesional auditor.
3. Menguji pengaruh penerapan sanksi terhadap skala skeptisisme profesional
auditor.
4. Menguji pengaruh skala skeptisisme auditor terhadap perilaku skeptis yang diukur
menggunakan jumlah bukti audit diperiksa dan temuan informasi kontradiktif.
18
5. Menguji pengaruh latar belakang pendidikan, tekanan waktu, ancaman sanksi,
dan skeptisisme profesional terhadap perilaku skeptis.
Tabel 1.2 berikut berisi ringkasan keterkaitan antara isu penelitian, pertanyaan
penelitian, dan tujuan penelitian dalam disertasi ini
Tabel 1.2.
Keterkaitan antara Isu Penelitian, Pertanyaan Penelitian, dan Tujuan Penelitian
Isu Penelitian Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian
Peluang calon auditor
dari berbagai jurusan
pendidikan formal
Adanya gagasan jalur alternatif menjadi
akuntan profesional dan belajar dari
pengalaman profesi di Amerika pada tahun
60-an terkait penambahan jumlah akuntan
melalui jalur pembebasan latar belakang
pendidikan, apakah perbedaan latar belakang
pendidikan tersebut berpengaruh terhadap
skeptisisme profesional auditor?
Menguji pengaruh perbedaan
latar belakang pendidikan
formal auditor terhadap skala
skeptisisme profesional
auditor.
Defisiensi dan
kegagalan audit karena
ketidaktepatan
penerapan skeptisisme
profesional serta
pengaruh tekanan
waktu dan penerapan
sanksi terhadap
kualitas audit
Audit memerlukan bukti audit yang cukup
dan tepat untuk menyatakan pendapat dalam
batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan
fee dan penerimaan penugasan yang
mendekati akhir tahun buku berdampak pada
terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan
untuk pengumpulan bukti audit, apakah
kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat
skeptisisme profesional auditor?
Menguji pengaruh tekanan
waktu terhadap skala
skeptisisme profesional
auditor.
Penelitian sebelumnya dibidang kualitas
audit menemukan bukti adanya kegagalan
audit karena kurangnya penerapan tingkat
skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001)
dan adanya hubungan positif antara
tanggung jawab hukum dengan kualitas
audit (King dan Schwartz, 1999; Chen dkk,
2010), dengan demikian apakah sanksi
hukum yang diintroduksi melalui proses
reviu berpengaruh terhadap tingkat
skeptisisme profesional auditor?
Menguji pengaruh penerapan
sanksi terhadap skala
skeptisisme profesional
auditor.
19
Tabel 1.2 Lanjutan
Isu Penelitian Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian
Peran skeptisisme
profesional dalam
meningkatan kualitas
audit melalui perilaku
skeptis
Literatur pengauditan sebelumnya
tidak/belum memberikan secara jelas
variabel yang menjadi anteseden perilaku
skeptis, apakah skeptisisme profesional
merupakan variabel yang langsung
mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau
skepetisisme profesional memediasi
hubungan kemampuan dengan perilaku
skeptis auditor?
Menguji pengaruh skala
skeptisisme auditor terhadap
perilaku skeptis yang diukur
menggunakan jumlah bukti
audit diperiksa dan temuan
informasi kontradiktif.
Menguji pengaruh latar
belakang pendidikan,
tekanan waktu, ancaman
sanksi, dan skeptisisme
profesional terhadap perilaku
skeptis.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi teoritis, metodologi dan implikasi
praktis bagi beberapa pihak. Pertama, kontribusi teoritis penelitian diperoleh melalui
tilikan teori akuntansi keperilakuan dalam menjelaskan kinerja proses dan judgment
performance yang dicapai auditor. Menggunakan sudut pandang bahwa audit adalah
proses yang dinamis, penelitian ini diharapkan dapat menyediakan empiris pengaruh
latar belakang pendidikan formal, tekanan waktu dan probabilitas direviu yang
mencerminkan adanya ancaman sanksi terhadap skala skeptisisme. Temuan empiris
ini menambah penjelasan fenomena hubungan keragaman latar belakang pendidikan
terhadap kinerja menjadi sumbangan dalam teori kognitif seperti diungkapkan dalam
teori akuntansi positif (Zimmerman, 1986).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk mendukung
pentingnya penerapan skeptisisme profesional yang tepat terutama ketika auditor
dihadapkan pada kelompok transaksi, akun atau rekening yang berisiko tinggi.
20
Auditor yang kukuh menjaga skeptisisme profesional cenderung menolak bukti audit
yang tidak cukup (Wooten, 2003) sehingga diharapkan mampu menurunkan risiko
audit pada tingkat yang dapat diterima.
Auditor biasa bekerja dalam keterbatasan waktu, baik keterbatasan waktu
dianggarkan karena batasan fee audit maupun karena saat penerimaan penugasan
yang mendekati akhir tahun. Hasil pengujian perlakuan terhadap tekanan waktu
diharapkan dapat dipergunakan untuk melengkapi atau mengkonfirmasi temuan
sebelumnya bahwa tekanan waktu berdampak negatif pada kinerja judgment seperti
temuan Choo (1995) dan Kelly dan Margheim (1990) atau sebaliknya.
Bahasan dan eksplorasi menggunakan kacamata teori ekonomi the credence
goods (Dulleck dan Kerschbamer, 2006) dan teori psikologi cognitive bias (Tversky
dan Kahnemann, 1974) untuk mengarahkan perilaku yang sesuai norma melengkapi
kontribusi teoritis. Temuan dalam penelitian ini diharapkan menambah bukti bahwa
kondisi tertentu atau situasional dapat membuat perbedaan dalam penerapan
skeptisisme profesional bisa dikurangi variabilitasnya melalui mekanisme sanksi.
Temuan dalam penelitian ini diharapkan juga dapat dipergunakan untuk
mendukung literatur dan standar pengauditan yang menyatakan bahwa auditor yang
memeriksa bukti audit lebih banyak memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
menilai kewajaran estimasi yang dibuat oleh manajemen. Disamping itu, temuan
dalam penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian relevan sebagai upaya untuk
mengurangi perbedaan persepsi mengenai skeptisisme profesional antara auditor
dengan regulator dan publik.
21
Kontribusi metodologis diharapkan diperoleh dari tilikan atas dua faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas audit melalui skeptisisme profesional, yaitu: aspek
input dan aspek institusi secara berkesinambungan. Penggunaan metode eksperimen
diharapkan melengkapi literatur pengauditan khususnya dari teori keperilakuan bias
kognitif dalam pengambilan keputusan.
Bagi badan regulasi (asosiasi profesi dan pemerintah) kajian dan pengujian
pengaruh keberagaman latar belakang pendidikan formal auditor terhadap
skeptisisme profesional dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan rujukan dalam
membuat kebijakan yang relevan terkait penyusunan peraturan untuk memenuhi
kebutuhan kuantitas dengan tetap menjaga kualitas akuntan dan kualitas audit.
Pengujian yang membandingkan kinerja keputusan auditor yang menerima
pengetahuan deklaratif dan prosedural ketika menempuh pendidikan formal akuntansi
(S-1/D-IV/PPAk.) diharapkan memiliki peran dalam menjelaskan peran siknifikan
pendidikan formal akuntansi sebagai landasan dalam membentuk skeptisisme
profesional auditor.
Bagi KAP temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk
mengatur strategi penerimaan dan pelatihan audit pasca berlakunya UU-AP dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas audit. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan untuk penyiapan dan pelaksanaan pendidikan
profesi akuntansi (PPAk). Jika skeptisisme profesional memiliki sisi situasional maka
dapat dipengaruhi melalui rancangan silabus dan kurikulum dengan lebih banyak