BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi...

67
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia akan selalu berusaha untuk mengembangkan potensinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semakin maju tingkat kehidupan seseorang, akan semakin banyak macam kebutuhan dalam hidupnya. Mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan sekunder dan sampai pada kebutuhan tersier. Salah satu cara agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain. Dengan adanya kerjasama tersebut, apa yang tidak dapat dilakukan secara sendiri, akan dapat dilakukan melalui kerjasama. Dalam pepatah disebutkan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Pada masa yang lalu ketika kehidupan masih sederhana, hubungan antara anggota masyarakat dilakukan terbatas pada orang yang saling mengenal satu sama lain, maka kebanyakan hubungan di antara anggota masyarakat hanya didasarkan pada kepercayaan satu sama lain. Akan tetapi ketika kehidupan semakin rumit dan luas, maka hubungan antar anggota masyarakat tidak cukup hanya didasarkan pada kepercayaan semata, melainkan didasarkan pada kontrak/perjanjian yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban para pihak, sekaligus sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Dewasa ini ditengah persaingan usaha yang semakin kuat, serta lunturnya nilai-nilai sosial dan kearifan dalam masyarakat, maka peranan hukum menjadi sangat penting untuk melindungi kepentingan manusia dalam berinteraksi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia akan selalu berusaha untuk mengembangkan potensinya

untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semakin maju tingkat kehidupan

seseorang, akan semakin banyak macam kebutuhan dalam hidupnya. Mulai

dari pemenuhan kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan sekunder dan sampai

pada kebutuhan tersier. Salah satu cara agar manusia dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain.

Dengan adanya kerjasama tersebut, apa yang tidak dapat dilakukan secara

sendiri, akan dapat dilakukan melalui kerjasama. Dalam pepatah disebutkan

“berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.

Pada masa yang lalu ketika kehidupan masih sederhana, hubungan antara

anggota masyarakat dilakukan terbatas pada orang yang saling mengenal satu

sama lain, maka kebanyakan hubungan di antara anggota masyarakat hanya

didasarkan pada kepercayaan satu sama lain. Akan tetapi ketika kehidupan

semakin rumit dan luas, maka hubungan antar anggota masyarakat tidak cukup

hanya didasarkan pada kepercayaan semata, melainkan didasarkan pada

kontrak/perjanjian yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban para pihak,

sekaligus sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari.

Dewasa ini ditengah persaingan usaha yang semakin kuat, serta lunturnya

nilai-nilai sosial dan kearifan dalam masyarakat, maka peranan hukum menjadi

sangat penting untuk melindungi kepentingan manusia dalam berinteraksi

2

dengan manusia lain. Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa hukum

mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai

konsekuensinya maka hukum bertitik tolak pada penghormatan dan

perlindungan manusia. Penghormatan dan perlindungan manusia ini tidak lain

merupakan percerminan dari kepentingannya sendiri1.

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu

pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua

pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu

berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri,

serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua

pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu

perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam

bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perikataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang

ditentukan dalam pembuatan suatu perjanjian/kontrak karena Indonesia

menganut asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPerda). Namun,

pembuatan perjanjian tentunya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”

(hal. 60) menyatakan bahwa bila bentuk kontrak lisan saja mempunyai

kekuatan hukum yang sah dan harus dipatuhi oleh para pihak yang terikat

1 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Edisi Keempat,

Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, hal 28.

3

padanya, maka prinsip tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kontrak

tidak mempunyai suatu bentuk yang baku.

Menurut advokat David M.L. Tobing dari Adams & Co.2 suatu

perjanjian dikatakan cacat apabila tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian,

yaitu : syarat subyektif yang terdiri dari kesepakatan para pihak dalam

perjanjian dan kecakapan para pihak dalam perjanjian, serta syarat obyektif

yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Sehingga, apabila

suatu perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut

dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila suatu perjanjian tidak

memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi

hukum.

Tujuan orang membuat perjanjian adalah layaknya membuat undang-

undang, yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan

kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum,

sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan

kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap tahu hukum, maka terhadap

semua undang-undang masyarakat telah dianggap mengetahuinya – sehingga

bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari

hukuman. Demikian pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan

hukum namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani

perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan

2 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl454/bagaimana-pembuatan-kontrak-yang-benar-secara-hukum, diakses tanggal 10 April 2013.

4

sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna

menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum

para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu

kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan – bagaimana seharusnya

hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.

Dengan demikian pada umumnya setiap orang akan selalu berusaha

untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara bekerja sendiri, akan tetapi

jika tidak mampu dipenuhi secara bekerja sendiri, maka pemenuhan kebutuhan

itu akan dicapai dengan cara bekerjasama dengan orang lain. Berdasarkan sifat

kebutuhan yang hendak dipenuhi, kerjasama dapat bersifat tidak mencari

keuntungan (non komersial) dan kerjasama yang bersifat mencari keuntungan

(komersial).

Kerjasama yang bersifat mencari keuntungan (komersial), dilakukan

dengan menjalankan kegiatan usaha (perusahaan), yaitu keseluruhan

perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk

memperoleh keuntungan,3 meliputi seluruh kegiatan dalam bidang industri

jasa/barang, distribusi dan perdagangan.4 Yang dimaksud dengan perdagangan

adalah kegiatan berupa membeli dan menjual barang dimana keuntungan

diperolah dari selisih harga penjualan dan harga pembelian.

Salah satu bentuk kerjasama di bidang usaha perdagangan yang

ditemukan dalam praktik adalah kerjasama perdagangan pulsa (satuan dalam

3 Molengraaft dalam Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 7-8.

4 Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, CV. Mandar Maju, Bandung. Hlm. 28.

5

perhitungan biaya telepon),5 antara Yanu Tri Riska Suwandhi pemilik usaha

grosir pulsa,6 dengan Eko Yunianto pihak penyetor uang (investor). Pola

kerjasama adalah sistem bagi hasil (sharing profit system), dimana pemilik

usaha menjalankan segala kegiatan operasional usahanya, sedang investor

hanya sebatas menyertakan modal. Kerjama tersebut tertuang dalam

“Perjanjian Kerjasama.”

Dari aspek hukum dapat dikemukakan bahwa, Perjanjian Kerjasama

tidak dikenal dalam KUH Perdata Buku III Bab V sampai Bab XVIII yang di

dalamnya mengatur empat belas jenis perjanjian bernama (benoemde atau

nominaat contracten).

Berkaitan dengan perjanjian bernama dapat dikemukakan pendapat para

penulis sebagai berikut :

- J.Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan secara khusus dalam undang-undang, baik dalam KUH Perdata, KUHD maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain.7

- Hamaker mengatakan bahwa setiap perjanjian mempunyai kausa atau tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak dalam menutup perjanjian, sehingga setiap perjanjian mempunyai kausa sendiri yang khas, yang membedakan dari perjanjian yang lain.8

Dari pendapat penulis tersebut dapat dipahami bahwa, secara teoritis kriteria

yang menentukan apakah suatu perjanjian merupakan perjanjian bernama

adalah kausanya bukan sebutan atau nama dari perjanjiannya. Hal ini berarti

5 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3. 6 Ibid. 7 J. Satrio ,1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 117. 8 J. Satrio, 1995., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal 60-61.

6

tidak dikenalnya Perjanjian Kerjasama dalam KUH Perdata, tidak serta merta

mengakibatkan perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian bernama.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka adalah tugas (ilmu) hukum untuk

memberikan kualifikasi terhadap Perjanjian Kerjasama apakah termasuk dalam

jenis perjanjian bernama sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, KUHD

atau peraturan perundang-undangan yang lain.

Dengan mengingat bahwa perjanjian menimbulkan dan berisi perikatan

yang dituju oleh para pihak, selain itu perjanjian juga berisi perikatan-perikatan

lain yang dinyatakan berlaku terhadap mereka berdasarkan hukum yang

menambah (aanvullendrecht), maka adalah penting untuk menentukan

konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama, dengan maksud untuk memberikan

kepastian hukum tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang

lahir dari perjanjian tersebut. Untuk mendapatkan jawaban itu semua penulis

merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan maksud untuk melakukan

kajian teoritis tentang aspek hukum dari Perjanjian Kerjasama..

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah konstruksi hubungan hukum dalam perjanjian kerjasama

perdagangan Pulsa ?

2. Bagaimanakah distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

kerjasama perdagangan Pulsa?

C. Tujuan Penelitian

7

1. Untuk mengetahui konstruksi hubungan hukum dalam perjanjian kerjasama

Perdagangan Pulsa.

2. Untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

kerjasama perdagangan Pulsa.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis : memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan

ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum perjanjian yang terus

berkembangan mengikuti perkembangan pola-pola hubungan hukum dalam

masyarakat.

2. Manfaat Praktis : sebagai masukan atau penduan bagi pihak-pihak yang

akan melakukan kerjasama pada umumnya dan perdagangan pulsa pada

khususnya di kemudian hari.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian.

Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata

dengan rumusan sebagai berikut :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau labih”.

Rumusan perjanjian di atas oleh para sarjana, dikatakan banyak

mengandung kelemahan, karena di satu pihak rumusannya terlalu luas, dan

di pihak lain rumusannya terlalu sempit. Di bawah ini akan dipaparkan

beberapa pendapat sarjana yang membahas mengenai pengertian perjanjian.

Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH

Perdata ini banyak mengandung kelemahan, karena :

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. kata mengikatkan diri

bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya

perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di

antara para pihak.

b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum

9

(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus,

seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas, karena

mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur

dalam lapangan hukum kekayaan. Padahal yang dimaksud adalah

hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan

saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat

perseorangan.

d. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam rumusan tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.9

Menurut Subekti, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10

Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana di atas, maka dapat

dirumuskan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dalam

lapangan hukum kekayaan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling

mengikatkan dirinya.

2. Asas-asas Dalam Perjanjian

9 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.

78. 10 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1.

10

Paul Scholten mengemukakan bahwa asas hukum sebagai

kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan

pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya

sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada. Seangkan asas hukum

menurut Van Eikema Hommes adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam

pembentukan hukum positif.11

Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang

bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya.

Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-

baiknya, tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja,

melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas

hukum inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum

serta tata hukum.12

Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang

perlu diketahui. Menurut Abdulkadir Muhammad13, asas- asas tersebut

adalah seperti diuraikan dibawah ini:

1) Asas kebebasan berkontrak atau dengan istilah lain disebut juga sistem

terbuka (open system), pada dasarnya setiap orang boleh mengadakan

perjanjian apa saja, dengan siapa saja dan mengenai apa saja, walaupun

belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Dalam Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata disebutkan bahwa :

11 Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010. 12 Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 87. 13 Abdulkadir Muhammad, op.cit. hal 84-86.

11

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dengan menekankan pada kata “semua perjanjian”, seolah-olah berisikan

pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang boleh membuat

perjanjian berupa apa saja asal memenuhi syarat sahnya perjanjian, dan

perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya.

2) Bersifat pelengkap (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh

disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki

membuat perjanjian sendiri, yang menyimpang dari kketentuan pasal-

pasal undang-undang. Akan tetapi apabila dalam perjanjian tidak

diperjanjikan lain, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam undang-

undang.

3) Asas konsensualisme, artinya perjanjian (pada umumnya) itu terjadi atau

telah lahir sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak. A. Qirom

Syamsudin menyebutkan dengan adanya asas konsensualisme maka

perjanjian itu sudah lahir dengan adanya kata sepakat di antara para

pihak, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali dalam

perjanjian yang bersifat formil.14

4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu

baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum

memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah, apabila

14A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya,

Liberty, Yogyakaarta, hal. 20.

12

diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenskomst).

5) Asas Daya Mengikat Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat para pihak seperti halnya

mengikatnya undang-undang. Dengan kata lain orang yang membuat

perjanjian berarti telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri.

Asas ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam hal ini Sudikno

berpendapat bahwa kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam

perjanjian yang mereka buat. Perjanjian secara sah mengikat kedua belah

pihak seperti undang-undang. Berarti bahwa kedua belah pihak

berkewajiban mentaati danmelaksanakan perjanjian, sudah selayaknyalah

bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula

oleh kedua belah pihak.15

6) Asas Iktikad Baik (te goeder trouw), bahwa pelaksanaan perjanjian harus

didasarkan pada kepatutan (redelijkheid) dan keadilan (billijkheid).

3. Syarat sahnya perjanjian

J. Satrio16 dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa

ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diartikan sebagai untuk “sahnya” suatu

perjanjian diperlukan 4 syarat. Dalam bahasa aslinya sebenarnya tertulis

15Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty,

Yogyakarta, hal. 97. 16 J. Satrio, 2001, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 163.

13

untuk “adanya” (bestaanbaarheid) suatu perjanjian diperlukan 4 syarat.

Kata “adanya” adalah tidak tepat, karena ada kalanya, sekalipun suatu

perjanjian tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat yang ditentukan

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi tetap diterima sebagai “ada”,

sekalipun mengandung cacat dan karenanya sebagai “tidak sah” sehingga

ada kemungkinan dibatalkan. Tidak sah disini dimaksudkan sebagai “dapat

dibatalkan”.

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata, adalah :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakap untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

berdasarkan subyeknya dan berdasarkan obyeknya. Dua syarat pertama

disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek yang menutup

perjanjian, sedangkan dua syarat yang lain disebut syarat obyektif, karena

menyangkut obyek dari perjanjian. Pembedaan ini menimbulkan

konsekuensi hukum, yaitu apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat

subyektif maka perjanjian itu tetap ada walaupun tidak sah dan

menimbulkan kemungkinan untuk dibatalkan. Sedangkan apabila suatu

perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut

dianggap tidak pernah ada dan dengan sendirinya batal demi hukum.

14

Mengenai keempat syarat sahnya perjanjian dapat dijabarkan sebagai

berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH

Perdata).

Dalam suatu perjanjian haruslah ada kata sepakat diantara para pihak

mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka adakan. Yang

dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara dua

pihak, atau dengan perkataan lain ada pertemuan dua kehendak yang

berbeda akan tetapi saling mengisi dan masing-masing pihak menyatakan

persetujuannya masing-masing.

Untuk dapat bertemu, antara kehendak pihak yang satu dengan pihak

yang lain, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Kehendak yang

dinyatakan haruslah nyata dan dapat dimengerti oleh pihak lain.

Sehingga apabila kehendak yang dinyatakan tersebut sampai dan bisa

dimengerti pihak lain, dan pihak lain tersebut kemudian menyatakan

menerimanya, maka disitulah timbul kata sepakat.

Berkaitan dengan masalah kesepakatan, apabila tidak ada kesesuaian

antara pernyataan dan kehendak, telah melahirkan teori-teori hukum

untuk menyelesaikannya, yaitu :

1) Teori Kehendak (Wiltheorie)

Teori kehendak adalah teori tertua dan menekankan pada faktor

kehendak. Menurut teori ini jika mengemukakan suatu pernyataan

yang berbeda dengan apa yang dikehendakinya, maka kita tidak

15

terikat kepada pernyataan tersebut. Teori ini mendapat penerapan

dalam Pasal 1343 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata

suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus

dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat

perjanjian itu, dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut

huruf.”

2) Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini pernyataan sepakat yang dinyatakan seseorang

adalah mengikat dirinya, tanpa menghiraukan apakah yang

dinyatakan kedua belah pihak sesuai atau tidak dengan kehendak

masing-masing pihak. Pernyataan adalah tindakan lahiriah yang dapat

diketahui, sedangkan kehendak adalah tindakan batin seseorang yang

tidak dapat diketahui. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal

1342 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu

perjanjian adalah jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang

dari padanya dengan jalan penafsiran”.

3) Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat terjadi, jika ada dua

pernyataan yang saling bertemu dan menimbulkan kepercayaan.

Teori ini mendapat penerapan daalam Pasal 1346 KUH Perdata, yang

menyebutkan : “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut

apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana

perjanjian telah dibuat”.

16

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUH

Perdata).

Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai siapa orang yang cakap untuk

membuat membuat perikatan, yang diatur adalah mengenai orang yang

dinyatakan tidak cakap membuat perikatan, yaitu sebagaimana diatur

dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

Dengan demikian pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian, kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh

undfang-undang.

Berlakunya ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata mendapat perubahan

dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut antara lain

Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, dan dengan adanya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 31 ayat (2),

maka seorang isteri dinyatakan cakap bertindak dalam hukum.

c. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUH Perdata).

Dalam Pasal 1332 KUH Perdata disebutkan, bahwa :

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian”

Berdasarkan pasal tersebut, obyek perjanjian harus merupakan benda-

benda yang dapat diperdagangkan. Apabila benda tersebut merupakan

17

benda terlarang untuk diperdagangkan, maka perjanjian tersebut menjadi

batal demi hukum. Pada asasnya suatu benda bisa menjadi pokok suatu

perjanjian, kecuali tujuan dari padanya sebagai suatu dinas/instansi

umum (pelayanan umum) tidak memungkinkannya.17

Selanjutnya dalam Pasal 1333 KUH Perdata disebutkan :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Perihal syarat “tertentu”, suatu barang minimal dapat ditentukan

jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya boleh saja tidak ditentukan

pada saat dibuatnya perjanjian, asal dikemudian hari dapat ditentukan

atau dihitung. Suatu perjanjian yang obyeknya tidak tentu atau tidak ada,

maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi

hukum.

Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa

barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek

suatu perjanjian. Barang yang akan ada dibedakan menjadi dua, yaitu

barang yang akan ada dalam arti mutlak dan barang yang akan ada dalam

arti nisbi. Benda yang akan ada dalam arti mutlak yaitu bahwa pada saat

dibuat perjanjian memang belum ada, sedangkan barang yang akan ada

dalam arti nisbi yaitu barang itu sudah ada tetapi bagi orang tertentu

masih merupakan harapan untuk dimiliki.18

17 J. Satrio, op.cit, hal 49. 18 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan Bagian B,

Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 28.

18

Sementara itu J. Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “suatu

hal tertentu” adalah :

“Obyek prestasi perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian. Ditinjau dari kreditur dan debitur, “hal tertentu” tidak lain merupakan isi dari pada perikatan utama yaitu prestasi pokok dari pada perikatan utama yang muncul dari perjanjian tersebut”

d. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUH Perdata).

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan, bahwa :

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”.

Menurut Hamaker bahwa yang dimaksud causa suatu perjanjian adalah

akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu

apa yang menjadi tujuan mereka (para pihak bersama) menutup

perjanjian.19 Causa atau sebab berbeda dengan motif, yaitu alasan yang

mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan

causa adalah tujuan dari pada perjanjian.20

Maksud dari “causa atau sebab yang halal” artinya bukan causa atau

sebab yang terlarang, sedangkan mengenai causa yang terlarang

disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu :

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”

Dengan demikian yang dimaksud dengan kata “halal” adalah tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

19 J. Satrio, op.cit, hal. 41. 20R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, bandung, hal 62.

19

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa undang-undang tidak

mempedulikan apa yang menjadi sikap batin (motif) orang mengadakan

perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi adalah isi perjanjian, yang

menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak21.

4. Saat Lahirnya Perjanjian

Dalam asas konsensualisme, maka suatu perjanjian lahir sejak saat

tercapainya kata sepakat di antara para pihak mengenai pokok perjanjian

atau unsur essensial dari perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi dalam

hubungan hukum yang dilakukan secara langsung, baik dalam arti bertemu

secara nyata dalam suatu tempat dan waktu yang sama, ataupun hubungan

hukum secara langsung yang dilakukan melalui media elektronik, seperti

telepon, webcam , teleconference dan sebagainya. Dalam hubungan yang

seperti ini antara penawaran dan penerimaan dapat langsung diketahui satu

sama lain antara para pihak yang menutup perjanjian.

Berbeda halnya dalam transaksi atau hubungan hukum yang

dilakaukan secara tidak langsung, misalnya : melalui surat, telegraf, sms,

email, website atau blok di Internet, dalam hubungan yang demikian antara

penawaran dan penerimaan dipisahkan oleh waktu. Dalam keadaan

demikian seringkali tidak mudah untuk menentukan kapan lahirnya

perjanjian.

21 Abdulkadir Muhammad, 1990, op.cit. hal, 94.

20

Untuk itu doktrin telah memberikan berbagai teori yang bertujuan

untuk menjawab pertanyaan mengenai kapan saat lahirnya suatu perjanjian,

yaitu :

a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat ditulis surat jawaban

penerimaan atas suatu penawaran. Dengan kata lain, perjanjian itu ada,

pada saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada

saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan

akseptor saling bertemu. Keberatan dari teori ini adalah orang tidak

dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian itu lahir, karena sulit

membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban tersebut.

b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut teori ini saat pengiriman jawaban atau akseptasi adalah saat

yang menentukan lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, biasanya tanggal

cap Pos yang dipakai sebagai jawaban, apabila surat tersebut telah

dikirim, maka akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi terjhadap surat

tersebut dan tidak dfapat merubah lagi saat terjadinya perjanjian. Teori

ini merupakan perbaikan dari teori pernyataan. Adapun keberata

terhadap teori ini adalah perjanjian sudah lahir dan mengikat orang yang

menawarkan pada saat orang yang memberi penawaran sendiri belum

tahu akan hal itu.

c. Toei Pengetahuan (Vernemingstheorie)

21

Dalam teori ini, saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban

akseptasi diketahui orang yang melakukan penawaran. Teori ini

dianggap paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar

pertemua dua kehendak yang dinyatakan, dan pernyataan kehendak

tersebut harus dapat saling dimengerti antara kedua belah pihak yang

membuat perjanjian. Keberata teori ini adaalah apabila penerima surat

membiarkan suratnya dan tidak dibuka, maka perjanjian tidak lahir dan

tidak akan pernah lahir.

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)

Sebagai jawaban dari kekuranga-kekurangan dari teori sebelumnya,

maka muncul teori penerimaan ini yang mengajarkan bahwa saat

lahirnya perjanjian adaalah saat diterimanya jawaban atau akseptasi oleh

orang yang memberikan penawaran. Jadi tidak peduli apakah surat itu

dibuka ataukah tidak atau memang dibiarkan tidak dibuka, perjanjian

tetap lahir, yang penting surat tersebut telah sampai pada alamat si

penerima surat, yaitu pihak yang melakukan penawaran.22

5. Unsur-unsur Perjanjian

Dengan mencermati isi prestasi dari suatu perjanjian, maka dapat

dikelompokkan dalam tiga unsur perjanjian, yaitu :

a. Unsur Essensialia

Unsur essensialia adala unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur

ini perjanjian tidak mungkin ada. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur

22J. Satrio, 2001, op.cit, hal. 257-262.

22

essensialia adalah sesuatu yang harus ada, merupakan hal pokok yang

harus ada dalam suatu perjanjian.23 Tanpa hal pokok tersebut maka tidak

ada perjanjian. Contohnya dalam perjanjian jual beli, maka barang dan

harga merupakan unsur essensialia.

Pada perjanjian riil, syarat penyerahan obyek perjanjian merupakan

essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari

perjanjian formil. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur essensialia

dari suatu perjanjian masing-masing berbeda, atau yang membedakan

antara perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya. dalaam jual beli

sekurang-kurangnya harus ditentukan mengenai barang dan harganya,

untuk hal yang lain dapat diabaikan, sedangkan dalam perjanjian yang

lain, disyaratkan menyebut hal-hal pokok yang harus dicantumkan

dalam perjanjian (important in highest degree).

Dalam suatu perjanjian untuk dapat membedakan perjanjian yang

satu dengan perjanjian lainnya, dapat diketahui dari unsur essensialia

dan causa perjanjian. Causa adalah tujuan yang sengaja ditimbulkan

oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para

pihak dengan menutup perjanjian tersebut.24 Unsur essensialia dan causa

perjamnjian yang satu berbeda dengan perjanjian lainnya, karena setiap

perjanjian mempunyai caausa atau tujuannya sendiri yang khas,

meskipun kadang terdapat kemiripan.

23Ibid, hal. 60, baca juga Rai Wijaya, 2004, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Bekasi,

hal 118. 24 J. Satrio, op,cit, hal. 60.

23

Misalnya antara perjanjian jual beli dengan perjanjian sewa

menyewa, kedua perjanjian ini unsur essensialianya sama yaitu : barang

dan harga. Akan tetap causa kedua perjanjian tersebut berbeda, pada

perjanjian jual beli causanya adalah penyerahan barang untuk dimiliki

pihak lain (pembeli) jadi ada penyerahan barang dan penyerahan hak

milik, sedangkan dalam perjanjian sewa menyewa causanya adalah

penyerahan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan hak miliknya tetap

ada pada pihak pemberi sewa.

b. Unsur Naturalia

Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang

di atur tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau di ganti 25.

Unsur ini sebenarnya merupakan bagian-bagian isi perjanjian yang secara

umum patut, dan adil bagi para pihak karena merupakan konsekuensi

logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang

pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian

sebagaimana logisnya.

Unsur naturalia ini oleh undang-undang diatur dengan hukum yang

bersifat mengatur atau menambah (regelend rech atau aanvullend rech).

Jadi, melalui aturan yang bersifat menambah ini pembuat undang-undang

telah menfiksikan kehendak para pihak rata-rata umumnya orang dalam

membuat perjanjian. Secara logis (natural) seseorang yang dalam suatu

perjanjian misal nya jual beli diwajibkan untuk menyerahkan hak milik

25 Ibid.

24

atas kebendaan tertentu, sebagai konsekuensi logisnya ia diwajibkan pula

untuk menjamin bahwa kebendaan yang diserahkan tersebut aman dari

tuntutan pihak ketiga dan bebas dari cacat tersembunyi ( Pasal 1491

KUH Perdata). Tanpa memperjanjikan hal ini pun ketentuan pasal

tersebut berlaku secara otomatis menambah isi perjanjian yang dibuat

oleh para pihak. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disingkirkan

dengan mengaturnya secara lain melalui kesepakatan kedua belah pihak.

Contohnya adalah kewajiban penjual untuk menanggung biaya

penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin (vrijwaren)

dari cacat tersembunyi (Pasal 1491), semua itu dapat disimpangi atas

dasar kesepakatan bersama.

c. Unsur Accidentalia

Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh

para pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut26.

Semua janji-janji dalam suatu perjanjian yang sengaja dibuat untuk

menyimpangi ketentuan hukum yang menambah merupakan unsur

accidentalia27.

Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas bila

dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang

umumnya telah mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui

ketentuan yang bersifat menambah. Meskipun demikian kadang-kadang

terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa mengaturnya

26 Ibid. 27 Ibid., hal 73.

25

sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri.

Dengan demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang

dibuat oleh para pihak karena undang-undang (yang bersifat menambah)

tidak mengaturnya atau berupa janji-janji yang dibuat para pihak dalam

hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut.

6. Akibat Hukum Perjanjian

KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 yang berjudul tentang akibat

hukum perjanjian, dibuka dengan Pasal 1338 yang menyatakan : “ semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.“

Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat “ secara sah “ berarti

memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian yaitu ada kesepakatan untuk

membuat perjanjian, mereka yang bersepakat adalah orang yang cakap

untuk membuat perjanjian, prestasinya tertentu dan tujuan para pihak

mengadakan perjanjian secara jelas tidak melanggar ketentuan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian mengikat para

pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-undang yang mengikat

orang terhadap siapa undang-undang berlaku.

Perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara

sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara

para pihak yang membuatnya untuk membatalkan perjanjian yang telah ada

tersebut. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

26

mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada

dalam perjanjian.

Sampai kapankah perjanjian mengikat atau sampai kapan suatu

perjanjian itu berakhir ? Pada asasnya perjanjian berakhir kalau akibat-

akibat hukum yang dituju telah selesai terpenuhi.

7. Risiko

Yang dimaksud dengan risiko adalah suatu kewajiban untuk

menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau

kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari

salah satu pihak.28 Hal itu berarti risiko berpokok pangkal pada suatu

peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,

atau dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang didalam hukum

dinamakan : keadaan memaksa. Dengan demikian maka risiko adalah

merupakan kelanjutan dari keadaan memaksa.

a. Resiko pada Perjanjian Sepihak

Pasal 1237 KUH Perdata : “Dalam hal adanya perikatan untuk

memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak

perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Ketentuan

ini terletak pada bab tentang perikatan pada umumnya; jadi disini diatur

tentang perikatan dalam bentuk dasarnya yaitu hubungan dalam lapangan

hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak (kreditur) dan dilain pihak

28 A. Qirom Syamsudin Meliala, op.cit, hlm. 49.

27

ada kewajiban (debitur). Bentuk perikatan seperti ini muncul pada

perjanjian sepihak, seperti pada hibah.

Berdasarkan ketentuan tersebut benda yang harus diserahkan

menjadi tanggungan kreditur. Disini tidak dibicarakan siapa yang

bersalah, tetapi hanya dikatakan yang menanggung kerugian adalah

kreditur; maka ---ditafsirkan bahwa--- kalau terjadi kerugian pada benda

tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah atas kerugian

itu, yang menanggung adalah kreditur. Dengan begitu, dalam perikatan

untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang ini sebelum

diserahkan, musnah atau rusak karena suatu peristiwa di luar kesalahan

salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”

(kreditur), yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Dalam bahasa

hukum dikatakan pada perikatan untuk memberikan suatu barang

tertentu, yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak resiko ada pada

kreditur.

b. Resiko pada Perjanjian Timbal Balik

Dalam perjanjian timbal balik prestasi yang satu berkaitan erat

sekali dengan prestasi yang lain; dijanjikannya prestasi yang satu adalah

dengan memperhitungkan akan diterimanya prestasi yang lain.

Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal-balik, dimana kedua belah

pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi, dapat kita simpulkan

28

dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata

yang menyatakan :

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga samasekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”

Disini ditentukan, apabila suatu barang tertentu yang menjadi

bahan perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar

salahnya si berutang maka perikatan antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian menjadi hapus; dan karena seluruh perikatan hapus, maka

dengan sendirinya pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut

sesuatu apapun antara yang satu terhadap yang lain.

Hal itu berarti apabila barang yang menjadi obyek perjanjian

timbal-balik selama belum diserahkan telah musnah tak lagi dapat

diperdagangkan atau hilang diluar salahnya salah satu pihak, maka

risikonya ditanggung oleh pemilik; Karena terhadap barang miliknya,

pemilik yang harus menyerahkan barangnya, berkedudukan sebagai

debitur, maka disini dikatakan risiko kerugian dipikul oleh debitur.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1444

KUH Perdata, resiko pada perjanjian timbal-balik ditanggung oleh

pemilik atau debitur.

Karena Pasal 1444 KUH Perdata ini termuat dalam Bagian Umum

Buku III KUH Perdata, maka pasal tersebut merupakan ketentuan umum

tentang resiko yang menjadi pedoman bagi perjanjian-perjanjian pada

29

umumnya. Pasal 1237 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko

bagi perjanjian sepihak. Sedangkan Pasal 1444 KUH Perdata sebagai

pedoman tentang resiko bagi perjanjian timbal-balik.

Kecuali perihal resiko ini diatur dalam pasal-pasal Bagian Umum

Buku III KUH Perdata yang menjadi pedoman bagi perjanjian pada

umumnya, yang dirasakan mengatur tentang resiko itu sudah seadilnya,

perihal resiko juga diatur dalam pasal-pasal Bagian Khusus Buku III

KUH Perdata tentang perjanjian-perjanjian tertentu pada pasal-pasal

tertentu pula. Misalnya dalam perjanjian jual-beli resikonya diatur pada

Pasal 1460, 1461 dan 1462 KUH Perdata, dalam perjanjian tukar-

menukar resikonya diatur pada Pasal 1545 KUH Perdata, selanjutnya

dalam perjanjian sewa-menyewa resikonya diatur dalam Pasal 1553

KUH Perdata dan lain sebagainya.

Pasal-pasal KUH Perdata yang megatur resiko dalam perjanjian-

perjanjian jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-mnyewa itu dirasakan

sebagai sudah seadilnya sesuai dengan Pasal 1444 KUH Perdata. Kecuali

Pasal 1460 KUH Perdata yang mengatur resiko secara tidak adil,

sehingga Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 tahun 1963

menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi.

Kemudian bilamana ketentuan mengenai resiko ini kita hubungkan

dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa semua orang

dapat membuat perjanjian yang bagaimanapun isinya asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,

30

maka dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai resiko ini inkonkreto

diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk mengatur

dan menentukan sendiri sedemikian rupa, bagaimana perihal resiko itu

diinginkan mereka.

B. Perjanjian Kerjasama

Dewasa ini hampir tidak ada satu orangpun yang bisa melakukan

usahanya dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri, apalagi jika usaha itu

sudah tergolong skala besar. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya,

antara lain karena keterbatasan modal, keterbatasan skill, ataupun karena

tuntutan perkembangan usahanya yang semakin maju. Untuk mengatasi

kesulitan tersebut maka berkembanglah apa yang dinamakan kerjasama.

Sebagai dasar dari kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang disebut dengan

Perjanjian Kerjasama. Istilah perjanjian kerjasama ini sekarang sudah lazim

dipakai dalam praktek, dan merupakan istilah dalam aspek ekonomi dalam

rangka pemenuhan kebutuhan bersama.

Istilah “kerjasama” berarti kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh

beberapa orang (lembaga, pemerintah, dsb) untuk mencapai tujuan bersama29.

Intinya adalah kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai

tujuan yang bersama. Pembahasan perjanjian kerjasama ini akan ditinjau dari

aspek ekonomi dan aspek hukum

a. Aspek ekonomi

29Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ofline 1.3.

31

Bentuk-bentuk perjanjian kerjasama ditinjau dari aspek ekonomi pada

prinsipnya dibedakan kedalam 3 pola, yaitu30 :

1. Joint Venture (Usaha Bersama);

2. Joint Operational (Kerjasama Operasional); dan

3. Single Operational (Operasional Sepihak)

Ad 1). Joint Venture.

Joint Venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat

dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masing-

masing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang

mengelola usaha bersama. Contohnya, para pihak bersepakat untuk

mendirikan pabrik garment. Untuk mendirikan usaha tersebut masing-

masing pihak menyerahkan sejumlah modal yang telah disepakati

bersama, lalu mendirikan suatu pabrik.

Ad 2). Joint Operational.

Joint Operational adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha

yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang :

- merupakan hak / kewenangan salah satu pihak

- bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional,

dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan /

mengembangkan usaha yang semula merupakan hak / wewenang pihak

lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan

5. http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perjanjian.html, diakses tanggal 10 Maret

2013.

32

usaha. Contoh : Kerjasama Operasional (KSO) antara PT. Telkom

dengan PT. X untuk pengembangan jaringan pemasangan telepon baru.

Untuk pelaksanaannya dibentuk PT. ABC yang sahamnya dimiliki PT.

Telkom dan PT. X.

Ad 3). Single Operational.

Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang

usahanya berupa “bangunan komersial”. Salah satu pihak dalam

kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak

lain – investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial di

atas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk

mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu

tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional

dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib

mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada

pihak pemilik / yang menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lazimnya

disebut : BOT (Build, Operate and Transfer), dan variannya adalah :

BOOT (Build, Own, Operate and Transfer), BLT (Build, Lease and

Transfer) dan BOO (Build, Own and Operate).

b. Aspek hukum

Dalam arti hukum pengertian kerjasama dijelaskan secara rinci oleh

Achmad Ichsan31 dalam uraian berikut :

31 Achmad Ichsan dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 110-112.

33

Landasan kerjasama dalam hukum dimulai dari adanya suatu perjanjian.

Perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan, yang kemudian

menimbulkan perikatan bagi masing-masing pihak. Dalam perikatan masing-

masing pihak berhadap-hadapan satu sama lain dimana masing-masing pihak

diikat oleh janji-janji yang telah diadakan diantara mereka, kemudian

berkembang menjadi suatu “kerjasama” antara pihak masing-masing untuk

secara bersama mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Kerjasama ini

kemudian menjadi suatu hubungan yang bersifat terus-menerus akhirnya

menimbulkan suatu bentuk lembaga kesatuan kerjasama yang disebut

“perkumpulan” atau “Perhimpunan” (vereniging). Pertama-tama

“perkumpulan” atau “Perhimpunan” (verenigingswegen) ini mempunyai

tujuan yang bersifat idiil kemasyarakatan, namun kemudian bagi masyarakat

yang telah maju bertujuan pula untuk pemenuhan tujuan yang bersifat

komersial bagi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Maka dengan

perkembangan itu lahirlah bentuk kesatuan kerjasama yang disebut

“persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam arti hukum, kerjasama

dibedakan menjadi dua yaitu “perkumpulan” atau “perhimpunan” (vereniging)

dan “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).

C. Perkumpulan atau perhimpunan (vereniging).

Dalam “perkumpulan” atau “perhimpunan” beberapa orang yang hendak

mencapai suatu tujuan dalam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari

keuntungan) bersepakat mengadakan kerjasama yang bentuk dan caranya

34

diletakkan dalam anggaran dasar atau “reglemen” atau statuten.” Dalam KUH

Perdata, “perkumpulan” atau “perhimpunan” diatur dalam Pasal 1653 – Pasal

1665.

Dalam Pasal 1653 KUH Perdata disebutkan bahwa :

“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “perkumpulan” atau

“perhimpunan” (organisasi, perserikatan) merupakan suatu bentuk berkumpul

atau berhimpunnya beberapa orang atas dasar kesepakatan untuk berkerjasama

mencapai suatu tujuan tertentu. Pendirian perkumpulan dapat dilakukan secara

resmi dengan akta Notaris atau dengan cara lain asal saja dengan tujuan yang

tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Adapun tujuan perkumpulan adalah sesuatu yang tidak bersifat mencari

keuntungan ekonomis (non profit oreinted), melainkan tujuan yang bersifat

sosial, idiil atau keagamaan, seni, olah raga dan sebagainya. Hal ini untuk

membedakan dengan persekutuan yang bertujuan mencari keuntungan

bersama.

Sejak pendiriannya, maka perkumpulan menjadi subyek hukum yang

mandiri, dapat melakukan tindakan-tindakan perdata, terlepas dari pribadi

masing-masing anggota perkumpulan. Dalam Pasal 1654 KUH Perdata

disebutkan bahwa :

35

“Semua perkumpulan yang sah adalah, seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu” Dengan adanya kata-kata “tindakan-tindakan perdata”, menunjukkan

bahwa kedudukan perkumpulan adalah sebagai subyek hukum perdata yang

dapat melakukan perbuatan hukum di bidang keperdataan. Adapun luas

sempitnya kewenangan perkumpulan untuk melakukan perbuatan hukum

perdata diatur dalam peraturan umum yang berlaku untuk itu.

Pada dasarnya setiap anggota perkumpulan dapat bertindak untuk dan

atas nama perkumpulan, mengikat perkumpulan kepada orang-orang pihak

ketiga dan sebaliknya, begitu pula bertindak di muka Hakim, baik sebagai

penggugat maupun sebagai tergugat, kecuali ditetapkan lain dalam akta

pendiriannya, perjanjiannya atau reglemennya (Pasal 1655 KUH Perdata).

Dengan demikian pada dasarnya setiap anggota dalam suatu perkumpulan

mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada hubungan hirarkhi atau sub-

ordinat antara atasan dan bawahan, kecuali ditetapkan lain dalam akta

pendirian, dalam perjanjian atau reglemen.

Akan tetapi tindakan anggota atau pengurus perkumpulan yang dilakukan

diluar kekuasaan yang diberikan untuk itu, adalah di luar tanggung jawab

perkumpulan, kecuali apabila perkumpulan mendapatkan manfaat atau

memang perbuatan-perbuatan itu kemudian mendapatkan persetujuan oleh

perkumpulan (Pasal 1656 KUH Perdata). Hal ini berarti tindakan pengurus

perkumpulan yang telah dilakukan diluar kuasanya dan menimbulkan kerugian,

maka harus ditanggung oleh pengurus tersebut secara pribadi, kecuali apabila

36

perkumpulan telah memberikan persetujuan atau mengesahkan dilakukannya

perbuatan itu.

D. Persekutuan (Maatschap/Vennootschap).

1. Pengertian Persekutuan.

Dalam “persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) terdapat beberapa

orang yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama dalam bidang

ekonomis (untuk mencari keuntungan). Mengenai pengertian, bentuk dan

cara mengadakan kerjasama diatur dalam KUH Perdata Pasal 1618 sampai

Pasal 1652.

Pengertian perkumpulan disebutkan dalam Pasal 1618 KUH Perdata,

yaitu :

“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.

Dengan demikian yang disebut persekutuan adalah perjanjian antara dua

orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang

akan dicapau dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam

suatu kekayaan bersama.32

Dengan mendasarkan pada pasal di atas dapat diketahui unsur-unsur

persekutuan, yaitu :

a. Ada dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri;

b. Masing-masing orang tersebut melakukan pemasukan (inbreng) dalam

persekutuan; dan

32 Subekti, op.cit, hal.75.

37

c. Tujuannya adalah mencari keuntungan.

Keanggotaan persekutuan minimal adalah 2 (dua) orang sebagai syarat

untuk adanya perjanjian yang merupakan tindakan hukum dua pihak yang

saling mengikatkan diri. Dengan demikian merupakan perjanjian timbal

balik, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak,

sehingga setiap prestasi dari pihak yang satu diikuti dengan kontra prestasi

dari pihak yang lain. J. Satrio menyebutkan bahwa perjanjian timbal balik

adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya

juga hak) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu

mempunyai hubungan satu dengan lainnya.33

Kewajiban utama anggota persekutuan adalah melakukan pemasukan

(inbreng) ke dalam persekutuan, sehingga anggota yang tidak atau belum

melakukan pemasukan (inbreng) menjadi terhutang karenanya (Pasal 1625

KUH Perdata). Adapun apa yang dimasukkan dalam persekutuan dapat

berupa : uang, barang atau kerajinan. Masing-masing anggota persekutuan

dapat memasukkan uang saja, barang saja atau hanya kerajinan saja,

ataupun gabungan dari semua itu. Kesemuanya itu akan menentukan

mengenai kedudukan masing-masing anggota dalam persekutuan,

khususnya dalam hal pembagian keuntungan yang dihitung berdasarkan

besar kecilnya pemasukan dalam persekutuan.

Unsur ketiga dari persekutuan adalah bertujuan untuk mendapatkan

keuntungan. Pada dasarnya setiap orang melakukan segala sesuatu baik

33 J. Satrio, 1995, op.cit, hal 43.

38

dengan bekerja sendiri maupun dengan melakukan kerjasama, tentulah

dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan. Barangkali hanya orang tidak

waraslah (orang gila) yang bekerja atau berusaha dengan tujuan untuk

mendapatkan kerugian, sehingga dapat dikatakan tidak ada orang yang

menginginkan untuk mengalami kerugian. Akan tetapi keuntungan dan

kerugian adalah resiko orang berusaha, adakalanya untung dan adakalanya

rugi. Oleh karena itu hakekatnya yang dimaksud dengan kata “keuntungan”

dalam Pasal 1618 KUH Perdata adalah hasil yang diperoleh dari usaha

bersama, sehingga kata yang tepat sesungguhnya adanya “pembagian hasil

usaha” sebagai tujuan persekutuan. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan

Pasal 1623 KUH Perdata yang menyebutkan tentang pembagian “untung

dan rugi”.

2. Persekutuan Penuh dan Khusus

Dalam KUH Perdata dibedakan antara persekutuan penuh dan

persekutuan khusus. Untuk memahami apa itu persekutuan penuh, terlebih

dulu dibahas mengenai persekutuan khusus. Dalam Pasal 1623 KUH

Perdata disebutkan bahwa :

“Persekutuan khusus ialah persekutuan yang sedemikian yang hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapatnya dari barang-barang itu, atau lagi mengenai suatu perusahaan maupun mengenai hal menjalankan sesuatu perusahaan atau pekerjaan tetap”.

Apabila dihubungkan dengan kewajiban memasukkan dalam persekutuan

yang berupa uang, barang atau kerajinan, maka yang dimaksud dengan

persekutuan khusus adalah apabila pemasukannya berupa barang, pekerjaan,

39

keahlian, atau perusahaan. Yang dimaksud dengan barang itu sendiri dapat

berupa keseluruhan barang dimasukkan dalam persekutuan, ataupun hanya

hak pakainya saja yang dimasukkan.

Selanjutnya mengenai persekutuan penuh disebutkan dalam Pasal

1622 KUH Perdata yaitu :

“Persekutuan penuh tentang keuntungan hanyalah mengenai segala apa yang akan diperoleh para pihak dengan nama apa pun, selama berlangsungnya persekutuan sebagai hasil dari kerajinan mereka”.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas dan dihubungkan dengan pengertian

persekutuan khusus, maka yang dimaksud dengan persekutuan penuh adalah

menyangkut pembagian hasil (keuntungan/kerugian) dan pemasukan para

sekutu semuanya dalam bentuk uang, sehingga dapat dikatakan bahwa

dalam persekutuan itu para sekutu bekerjasama dengan memasukkan uang

sebagai modal usaha untuk melakukan usaha bersama.

3. Hubungan Perikatan Antara Para Sekutu.

Dalam Pasal 1624 KUH Perdata disebutkan mengenai kapan lahirnya

persekutuan, bahwa :

“Persekutuan mulai berlaku sejak saat perjanjian, jika dalam perjanjian ini tidak telah ditetapkan suatu saat lain”.

Kata “sejak saat perjanjian” artinya pada saat terjadinya kesepakatan di

antara para pihak (sekutu). Sehingga pada dasarnya perjanjian persekutuan

termasuk dalam perjanjian konsensual, yang sudah lahir sejak saat

tercapainya kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian diantara

para pihak. Hal pokok itu meliputi : kewajiban pemasukan (inbreng), dan

40

pembagian keuntungan. Akan tetapi para pihak dapat menentukan lain

dalam perjanjian mengenai kapan lahirnya perjanjian itu.

Sekutu yang memasukkan barang dalam persekutuan mempunyai

kewajiban seperti halnya kewajiban seorang penjual barang (Pasal 1625

KUH Perdata), yaitu : menyerahkan barang dan menanggungnya.

Maksudnya menanggung adalah menjamin bahwa barang itu dapat

digunakan sebagaimana mestinya dan menanggung dari kemungkinan

adanya cacat tersembunyi. Apabila yang dimasukkan hanya mengenai hak

pemakaiannya, maka barang itu atas tanggungan si sekutu sebagai

pemiliknya (Pasal 1631 KUH Perdata).

Sekutu yang wajib memasukkan uang dan tidak melakukannya, wajib

menyerahkan uang pokok ditambah bunganya yang berlaku demi hukum

tanpa harus adanya penagihan untuk itu, terhitung sejak lahirnya kewajiban

tersebut (Pasal 1626 KUH Perdata). Kewajiban itu juga berlaku apabila

sekutu telah mengambil sejumlah uang dari persekutuan untuk

kepentingannya sendiri, dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya

tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.

Sedangkan sekutu yang wajib memasukkan berupa tenaga atau

kerajinannya ke dalam persekutuan, wajib memberikan perhitungan kepada

persekutuan tentang semua keuntungan yang diperoleh dengan tenaga atau

kerajinan tersebut sejak lahirnya kewajiban tersebut.

Masing-masing sekutu wajib memberikan ganti kerugian kepada

persekutuan tentang kerugian-kerugian yang diderita persekutuan akibat

41

salahnya si sekutu, dan sekutu tersebut tak dapat memperjumpakan dengan

haknya dari persekutuan (Pasal 1630 KUH Perdata).

4. Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Keuntungan

Dalam Pasal 1633 KUH Perdata diatur mengenai cara pembagian

keuntungan di antara para sekutu, yaitu :

“Jika dalam perjanjian persekutuan tidak telah ditentukan bagian masing-masing sekutu dalam untung dan ruginya persekutuan, maka bagian masing-masing adalah seimbang dengan apa yang ia telah masukkan dalam persekutuan”.

Ketentuan pasal di atas mengatur mengenai cara pembagian keuntungan

(dan juga kerugian) di antara para sekutu, yaitu menurut keseimbangan

besar kecilnya pemasukan para sekutu dalam persekutuan atau yang dikenal

dengan asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas dapat dirumuskan

sebagai berikut :

Inbreng sekutu dibagi dengan total inbreng dikalikan dengan hasil

(untung/rugi). Kalau inbreng masing-masing sekutu diberi inisial I, total

inbreng diberi inisial TI, dan hasil atau keuntungan diberi inisial H, maka

rumusnya adalah : I/TI x H.

Untuk dapat menghitung berdasarkan asas proporsionalitas, maka

semua inbreng harus dihitung dalam nilai sejumlah uang. Untuk itu KUH

Perdata telah memberikan pedomannya, yaitu pemasukan berupa barang

dihitung berdasarkan taksiran nilai barang sehingga sekutu yang

memasukkan barang seperti memasukkan uang sebesar nilai barangnya.

Sekutu yang memasukkan tenaga, mendapatkan bagian sebesar keuntungan

42

sekutu yang memasukkan uang (modal) dalam jumlah yang paling kecil

(Pasal 1633 ayat 2 KUH Perdata).

Mengenai pemasukan berupa tenaga, tentunya harus dibedakan antara

tenaga fisik (otot, badan, kasar) dengan tenaga berupa keahlian (skill),

pemikiran, keilmuan yang harus diberikan nilai yang tinggi. Mengenai hal

ini tidak diatur dalam KUH Perdata, oleh karena itu para pihak dalam

persekutuan yang harus menetapkan sendiri.

Pada dasarnya pembagian keuntungan dalam persekutuan, diserahkan

kepada para sekutu, aturan undang-undang dalam hal ini pada umumnya

bersifat mengatur (aanvullendrecht), yang dapat disimpangi oleh para pihak

dalam perjanjian. Undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu berupa

pembatasan kewenangan para sekutu dalam menentukan pembagian

keuntungan dengan dua pengaturan, yaitu :

a. Tidak boleh pengaturan mengenai pembagian keuntungan diserahkan

kepada salah seorang sekutu atau kepada pihak ketiga (Pasal 1634 ayat 1

KUH Perdata).

Larangan ini berkaitan dengan essensi perjanjian berupa perjanjian

kerjasama sebagai usaha bersama, sehingga pada prinsipnya semua

sekutu mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang, tidak ada

hubungan atas dasar atasan bawahan atau sub-ordinat. Sehingga semua

hal dalam persekutuan harus didasarkan pada kesepakatan bersama

anggota persekutuan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan berakibat

43

janji itu bagai tak tertulis dan akan berlaku ketentuan dalam undang-

undang.

b. Tidak boleh diperjanjikan bahwa salah seorang sekutu akan mendapat

seluruh keuntungan (Pasal 1635 ayat 1 KUH Perdata).

Larangan ini juga berkaitan dengan essensi perjanjian berupa untuk

mendapatkan keuntungan bersama, sehingga apabila diperjanjikan bahwa

keuntungan hanya untuk seorang sekutu, itu menyalahi tujuan perjanjian

persekutuan itu sendiri yaitu mencari keuntungan bersama. Pelanggaran

ketentuan ini berakibat perjanjian itu adalah batal demi hukum.

Selanjutnya berdasarkan uraian di atas, maka perjanjian yang

menyatakan bahwa seseorang akan mendapatkan keuntungan lebih dari

pada andilnya dalam pemasukan adalah boleh, dan juga memperjanjikan

bahwa salah satu pihak akan menanggung seluruh kerugian adalah juga

diperbolehkan.

5. Hubungan Perikatan Antara Sekutu Dengan Pihak Ketiga.

Para sekutu tidaklah terikat masing-masing untuk seluruh hutang

persekutuan, dan masing-masing sekutu tidaklah dapat mengikat sekutu-

sekutu lainnya, jika mereka ini tidak telah memberikan kuasa kepadanya

untuk itu (Pasal 1642 KUH Perdata). Di sini diatur mengenai tanggung

jawab pribadi sekutu atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya

kepada pihak ketiga, apa yang dilakukan oleh sekutu yang satu tidak

mengikat sekutu lainnya. Subekti menyebutkan bahwa tanggung jawab yang

begitu luas (masing-masing terikat untuk seluruh jumlah hutang bersama),

44

yang dikenal dengan nama tanggung jawab secara tanggung menanggung

atau solidair hanya terdapat dalam firma, begitu pula kewenangan masing-

masing untuk mengikat kawan-kawannya pada pihak ketiga.34

Sedangkan sampai seberapa jauh tanggung jawab para sekutu masing-

masing terhadap pihak ketiga, diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata, yaitu :

“Para sekutu dapat dituntut oleh si berpiutang dengan siapa mereka telah bertindak, masing-masing untuk suatu jumlah dan bagian yang sama, meskipun bagian sekutu yang satu dalam persekutuan adalah kurang dari pada bagian sekutu yang lainnya; terkecuali apabila sewaktu utang tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban para sekutu itu untuk membayar utangnya menurut imbangan besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan.”

Menurut Subekti apa yang diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata

mengandung asas umum dalam perjanjian kerjasama, yaitu dalam

hubungannya dengan pihak ketiga para sekutu dapat dituntut secara

bersama-sama untuk jumlah yang sama. Sehingga dalam bertindak keluar

(dengan pihak ketiga) masing-masing sekutu dapat dituntut untuk

membayar hutang berdasar asas persamaan kedudukan, kecuali apabila pada

saat dibuat hutang tersebut telah diperjanjikan bahwa para sekutu akan

bertanggung secara proporsional.

Adanya janji bahwa atas suatu perbuatan adalah atas tanggung jawab

persekutuan, hanya mengikat sekutu yang melakukan perbuatan itu saja, dan

tidak mengikat sekutu-sekutu lainnya; kecuali apabila mereka telah

memberikan kuasa kepadanya untuk itu, atau urusannya telah memberikan

manfaat bagi persekutuan (Pasal 1644 KUH Perdata).

34Subekti, 1995, op.cit, hal 83.

45

6. Berakhirnya Persekutuan

Dalam Pasal 1646 KUH Perdata disebutkan mengenai sebab-sebab

berakhirnya persekutuan, yaitu :

a. Dengan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan;

b. Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi

pokok persekutuan;

c. Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu;

d. Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan,

atau dinyatakan pailit.

Cara yang pertama tentang berakhirnya perjanjian persekutuan adalah

sebagaimana berakhirnya semua perjanjian dengan ketentuan waktu, maka

dengan berakhirnya waktu yang diperjanjikan, berakhir pula perjanjian

tersebut.

Cara kedua berakhirnya persekutuan adalah musnahnya barang, yaitu

apabila persekutuan itu diadakan untuk membeli dan mengusahakan suatu

barang, maka musnahnya barang berakibat berakhirnya persekutuan.

Sedaangkan yang dimaksud dengan diselesaikannya perbuatan pokok

persekutuan, misalnya kerjasama atau persekutuan untuk melakukan

kegiatan perdagangan, yaitu perbuatan berupa membeli suatu barang untuk

dijual lagi, maka dengan telah dilakukan kegiatan perdagangan tersebut,

persekutuan menjadi berakhir, kecuali pada perbuatan yang memang

dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama.

46

Cara ketiga mengenai hapusnya persekutuan yang dibuat tidak dengan

ketentuan waktu, maka setiap saat dapat dimintakan pembatalan atau

diakhiri atas permintaan salah seorang atau beberapa orang sekutu. Dalam

hala ini harus diperhatikana mengenai jangka waktu yang pantasuntuk

menyelesaikan suatu urusan yang sedang berjalan.

Cara keempat dari berakhirnya persekutuan menunjukkan sifat

pribadinya perjanjian persekutuan. Kalau pada umumnya perjanjian yang

dibuat oleh seseorang adalah juga mengikat para ahli warisnya, tidak

demikian halnya dengan perjanjian persekutuan, yang berakhir dengan

meninggalnya sekutu yang bersangkutan.

Dalam Pasal 1651 KUH Perdata diatur mengenai pengecualian

terhadap ketentuan Pasal 1646 angka 4 KUH Perdata, yaitu :

“Jika telah diperjanjikan banwa apabila salah seorang sekutu meninggal, persekutuannya akan berlangsung terus dengan ahli warisnya, atau akan berlangsung terus diantara sekutu-sekutu yang masih ada maka janji tersebut harus ditaati”. “Dalam hal yang kedua, ahli waris si meninggal tidak mempunyai hak yang lebih dari pada atas pembagian persekutuan menurut keadaannya sewaktu meninggalnya si sekutu; tetapi ia mendapat bagian dari keuntungan serta turut memikul kerugian yang merupakan akibat-akibat mutlak dari perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum si sekutu dari siapa ia ahli warisnya, meninggal.”

Dari ketentuan di atas, bahwa melalui perjanjian dapat disimpangi bahwa

persekutuan itu tidak berakhir dengan meninggalnya sekutu, atau

persekutuan itu akan diteruskan oleh ahli warisnya sekutu, ataupun

diteruskan oleh para sekutu lainnya. Tentunya janji yang demikian harus

dinyatakan secara tegas, dan tidak cukup kalau hanya didasarkan atas

anggapan semata.

47

48

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu

penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum

identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh

lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang

hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan

terlepas dari kehidupan masyarakat.35

B. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. yaitu

suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti.36

Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap suatu perjanjian

kerjasama mengenai penjualan pulsa elektronik ditinjau dari hukum perjanjian

yang diatur dalam KUH Perdata.

C. Bahan Hukum

1. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat37. Bahan hukum

primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah draf perjanjian para pihak,

dan semua peraturan yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hukum

perjanjian.

35 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, hal..37. 36Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal.. 35. 37Ibid, hal.. 113.

49

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum

dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dengan penelitian ini terdiri dari literatur hukum, hasil penelian

para sarjana dan berbagai artikel perjanjian kerjasama.

D. Metode Pengambilan Bahan hukum

1. Bahan hukum primer diperoleh dengan melakukan inventarisasi hukum,

mempelajari, mencatat dan mensistematisasi berbagai peraturan mengenai

perjanjian kerjasama.

2. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dokumen

resmi, literatur, hasil penelitian dan artikel ilmiah yang relevan.

E. Metode Penyajian Bahan Hukum

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara

sistematis.

F. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan

dan menginterpretasikan hasil penelitian berlandaskan pada teori-teori ilmu

hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.38 Berdasarkan hasil pembahasan

diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

38 Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghal.ia Indonesia, Jakarta,

hal..93.

50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap surat perjanjian tentang Kontrak

Kerjasama Nomor : 56/KK/BHP/2013 tentang , dengan pokok-pokok sebagai

berikut :

1. Pihak-pihak :

1.1. Yanu Tri Riska Suwandhi, Yogyakarta, sebagai pemilik usaha

perorangan Grosir Pulsa Louis Sell dengan Nomor Tanda Ijin Gangguan

503/037-GK/02-KB/X/2008, selanjutnya disebut Pemilik Usaha.

1.2. Eko Yunianto, Bantul, DIY, sebagai Pemilik Uang (Investor).

2. Obyek perjanjian : Menjalankan usaha di bidang perdagangan pulsa.

3. Syarat Perjanjian :

3.1. Usaha dilakukan dengan sistem bagi hasil (sharing profit system),

3.2. Segala operasional usaha dikelola oleh Pemilik Usaha, dan Investor

hanya sebatas inbreng/penyertaan modal sebagai uang pokok investasi.

3.3. Investor wajib melakukan penyetoran uang pokok investasi sebesar dua

ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) kepada Pemilik Usaha.

4. Jangka Waktu :

Perjanjian berlangsung untuk jangka waktu 1 (satu) tahun mulai 02 Januari

2013 sampai 31 Desember 2013.

51

5. Pembagian Keuntungan :

5.1. Pemilik Usaha sepakat memberikan Profit (keuntungan) kepada

Investor sebesar dua ratus ribu rupiah (Rp. 200.000,-) per hari, terhitung

sejak tanggal tiga Januari dua ribu tiga belas (03-01-2013) hingga

tanggal tiga puluh satu Desember dua ribu tiga belas (31-12-2013).

5.2. Profit tersebut akan dibayarkan oleh Pemilik Usaha setiap hari kecuali

hari-hari libur resmi nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

6. Wanprestasi :

6.1. Apabila Pemilik Usaha tidak bisa membayar profit selama 3 (tiga) hari

berturut-turut, maka Investor pada hari ke 4 (empat) berhak untuk

menagih profit kepada Pemilik Usaha.

6.2. Apabila Pemilik Usaha sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak ditagih oleh

Investor masih tidak/belum bisa memberikan Profit yang dimaksud,

maka Pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok investasi yaitu

sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) pada hari tersebut

ditambah dengan Profit harian yang berlangsung. Apabila sampai pada

hari tersebut uang pokok investasi tidak/belum dikembalikan dan Profit

belum diberikan, maka Pemilik Usaha dikenakan uang paksa

(dwangsom) sebesar lima puluh ribu rupiah (Rp. 50.000,-) per hari.

Akibat dari keterlambatan ini, maka Kontrak dianggap berakhir setelah

semua kewajiban Pemilik Usaha dibayarkan.

52

6.3 Pemilik Usaha berkewajiban mengembalikan uang pokok investasi

kepada Investor sebesar dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) pada

tanggal tiga puluh satu Desember dua ribu tiga belas (31-12-2013).

Apabila sampai pada tanggal tersebut uang pokok investasi tidak/belum

dikembalikan, maka Pemilik Usaha dikenakan uang paksa (dwangsom)

sebesar dua puluh lima ribu rupiah (Rp. 25.000,-) per hari dan Kontrak

dianggap berakhir setelah semua kewajiban PemilikUsaha dibayarkan.

6.4. Apabila hal-hal di atas tidak terpenuhi dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari sejak tanggal yang ditentukan tersebut, maka Investor berhak

dan berwenang untuk mengambil/menyita asset Pemilik Usaha senilai

jumlah tersebut. Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban

Pemilik Usaha dibayarkan.

B. Pembahasan

a. Pembahasan Umum

Istilah kerjasama dapat diartikan sebagai kegiatan atau usaha yang

dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari satu) untuk mencapai tujuan

bersama,39 baik yang bersifat tidak mencari keuntungan maupun yang mencari

keuntungan. Pembahasan terhadap permasalahan yang diteliti akan dilihat dari

dua ranah, yaitu ranah ekonomi dan ranah hukum. Dalam ranah ekonomi

dikenal tiga bentuk kerjasama untuk mendapatkan keuntungan bersama, yaitu :

39 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3.

53

1. Joint Venture (Usaha Bersama) : Joint Venture adalah merupakan bentuk

kerjasama umum, dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana

para pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk badan

usaha yang mengelola usaha bersama.

2. Joint Operational (Kerjasama Operasional) : Joint Operational adalah

bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha yang dilaksanakan

merupakan bidang usaha yang :

- merupakan hak / kewenangan salah satu pihak

- bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional,

dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan /

mengembangkan usaha yang semula merupakan hak / wewenang pihak

lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan

usaha.

3. Single Operational (Operasional Sepihak) : Single Operational merupakan

bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa “bangunan

komersial”. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang

menguasai tanah, sedangkan pihak lain – investor, diijinkan untuk

membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik yang dikuasai

pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial

tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama

jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir

investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya

kepada pihak pemilik / yang menguasai tanah.

54

Apabila dihubungkan dengan ketiga bentuk kerjasama diatas, maka

kerjasama dalam penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai Kerjasama

Operasional (Joint Operational), yang pada intinya hubungan kerjasama ini

unsur-unsurnya :

- pihak pertama adalah pemilik kegiatan usaha yang menjalankan segala

operasional kegiatan usaha,

- pihak kedua adalah pemilik uang yang menyerahkan uangnya untuk

melanjutkan atau mengembangkan usaha tersebut.

- pembagian keuntungan yang diperoleh dalam menjalankan kegiatan

usahanya.

Dalam ranah hukum pengertian kerjasama dijelaskan secara rinci oleh

Achmad Ichsan dalam uraian berikut.40

Landasan kerjasama dalam hukum dimulai dari adanya suatu perjanjian.

Perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan, yang kemudian

menimbulkan perikatan bagi masing-masing pihak. Dalam perikatan masing-

masing pihak berhadap-hadapan satu sama lain dimana masing-masing pihak

diikat oleh janji-janji yang telah diadakan diantara mereka, kemudian

berkembang menjadi suatu “kerjasama” antara pihak masing-masing untuk

secara bersama mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Kerjasama ini

kemudian menjadi suatu hubungan yang bersifat terus-menerus akhirnya

menimbulkan suatu bentuk lembaga kesatuan kerjasama yang disebut

“perkumpulan” atau “Perhimpunan” (vereniging). Pertama-tama

40 Achmad Ichsan dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 110-112.

55

“perkumpulan” atau “Perhimpunan” (verenigingswegen) ini mempunyai

tujuan yang bersifat idiil kemasyarakatan, namun kemudian bagi masyarakat

yang telah maju bertujuan pula untuk pemenuhan tujuan yang bersifat

komersial bagi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Maka dengan

perkembangan itu lahirlah bentuk kesatuan kerjasama yang disebut

“persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam arti hukum, kerjasama

dibedakan menjadi dua yaitu “perkumpulan” atau “perhimpunan” (vereniging)

dan “persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).

Dalam “perkumpulan” atau “perhimpunan” beberapa orang yang hendak

mencapai suatu tujuan dalam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari

keuntungan) bersepakat mengadakan kerjasama yang bentuk dan caranya

diletakkan dalam anggaran dasar atau “reglemen” atau statuten.” Dalam KUH

Perdata, “perkumpulan” atau “perhimpunan” diatur dalam Pasal 1653 – Pasal

1665. Dalam “Persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) beberapa orang yang

hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang ekonomis (untuk mencari

keuntungan). Mengenai pengertian, bentuk dan cara mengadakan kerjasama

diatur dalam KUH Perdata Pasal 1618 sampai Pasal 1652.

“Persekutuan” (Maatschap/ Vennootschap) adalah kesatuan kerjasama

yang termasuk dalam bidang hukum Perdata (umum), sehingga disebut

Persekutuan Perdata (burgerlijk maatschap). Pada umumnya persekutuan

perdata tidak menjalankan perusahaan, akan tetapi berdasarkan Pasal 1623

KUH Perdata yang manyatakan : “Persekutuan khusus ialah persekutuan yang

56

sedemikian yang hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau

pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapat dari barang-barang itu, atau

lagi mengenai sutau perusahaan maupun mengenai hal menjalankan

perusahaan atau pekerjaan tetap”; maka dapat diketahui bahwa Persekutuan

Perdata dapat menjalankan perusahaan.

Setelah dipahami secara teoritis bahwa dalam arti hukum, kerjasama

yang bertujuan untuk mencapai tujuan dalam bidang ekonomis (untuk mencari

keuntungan) disebut “Persekutuan Perdata,” pembahasan selanjutnya adalah

menganalisis konstruksi hukum “Persekutuan Perdata” sebagaimana ditentukan

dalam KUH Perdata. Pembahasan ini dimaksudkan untuk menguji apakah

konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama Perdagangan Pulsa sesuai dengan

konstruksi hukum “Persekutuan Perdata.”

b. Konstruksi hukum Perjanjian Kerjasama

“Persekutuan Perdata” dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III Bab

Ke Delapan yang berjudul tentang “Persekutuan” Pasal 1618 sampai Pasal

1652.

Batasan yuridis tentang “Persekutuan” dimuat dalam Pasal 1618 KUH

Perdata yang dirumuskan sebagai berikut :

“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.

Intinya Persekutuan adalah : suatu bentuk kerjasama antara dua orang atau

lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai

dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu (inbreng) dalam

57

persekutuan. Dari pengertian yang demikian dapat dinyatakan unsur-unsur

dalam persekutuan yaitu :

a. Terdapat dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri;

b. Para pihak melakukan inbreng ke dalam persekutuan; dan

c. Tujuan membagi keuntungan.

Dalam Pasal 1619 (2) disebutkan Inbreng dapat berupa : Pemasukan uang

(inbreng van geld), Pemasukan barang (inbreng van zaken), Pemasukan tenaga

- fisik atau tenaga pikiran (inbreng van arbeid).

Berdasarkan ketiga unsur tersebut dapat dinyatakan bahwa :

- Kausa Persekutuan atau tujuan para pihak dengan menutup perjanjian

persekutuan adalah para pihak (sekutu) sama-sama menghendaki membagi

keuntungan dengan cara memasukkan uang, barang, tenaga fisik atau

tenaga pikiran.

Dari data hasil penelitian no. 1 tentang subyek perjanjian, no. 2 tentang obyek

perjanjian, no. 3 tentang syarat perjanjian dan no. 5 tentang pembagian

keuntungan, dapat dideskripsikan dalam Perjanjian Kerjasama tersebut bahwa :

a. Terdapat dua orang yang saling mengikatkan diri, yaitu Pemilik Usaha dan

Pemilik Uang.

b. Para pihak saling melakukan inbreng, yaitu Pemilik Usaha melakukan

inbreng berupa segala inventaris dan kegiatan usahanya, sedangkan Pemilik

Uang melakukan inbreng dengan uangnya atau melakukan investasi.

c. Tujuan kerjasama ini dimaksudkan untuk membagi keuntungan bersama

yang ditentukan dalam perjanjian.

58

Berdasarkan ketiga unsur tersebut dapat dinyatakan bahwa kausa atau tujuan

para pihak dengan menutup perjanjian kerjasama adalah para pihak (sekutu)

menghendaki membagi keuntungan dengan cara pihak yang satu memasukkan

uang dan pihak yang lain memasukkan tenaga berupa keahlian menjalankan

kegiatan usaha perdagangan pulsa.

Apabila kausa dalam perjanjian kerjasama tersebut dihubungkan dengan kausa

perjanjian persekutuan, ternyata kedua kausa tersebut bersesuaian. Dengan

adanya kesamaan kausa tersebut, maka perjanjian kerjasama ini termasuk

dalam konstruksi hukum persekutuan (maatschap) sebagaimana diatur dalam

Bab VIII Buku III KUH Perdata. Dengan demikian Perjanjian Kerjasama

tersebut tunduk pada ketentuan tentang Persekutuan sebagaimana diatur dalam

Pasal 1618 sampai Pasal 1652 KUH Perdata.

b. Distribusi hak dan kewajiban para pihak dan akibat hukumnya apabila

salah satu pihak melakukan wanprestasi.

Dalam KUH Perdata diatur mengenai hubungan perikatan antara para

sekutu satu sama lain dan hubungan perikatan antara para sekutu dengan pihak

ketiga. Oleh karena itu perjanjian kerjasama ini juga akan dianalisis

berdasarkan kedua hal ini di atas untuk mengetahui hak dan kewajiban yang

timbul dalam perjanjian ini di antara para pihak dan dalam hubungannya

dengan pihak ketiga.

Secara umum hubungan perikatan antara para sekutu adalah sebagai

berikut :

59

a. Persekutuan terjadi saat terjadinya kesepakatan, kecuali diperjanjikan lain

oleh para pihak (Pasal 1624 KUH Perdata).

b. Kecuali ditentukan lain dalam perjanjian, masing-masing sekutu

menanggung segala keuntungan dan kerugian persekutuan menurut

keseimbangan apa yang telah dimasukkan dalam persekutuan (Pasal 1633

KUH Perdata).

c. Para sekutu tidak dapat memperjanjikan untuk menyerahkan pengaturan

besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan kepada salah seorang

sekutu atau pihak ketiga, dan segala janji yang bertentangan dengan itu

adalah batal demi hukum (Pasal 1634 KUH Perdata).

d. Janji bahwa salah seorang sekutu akan mendapat seluruh keuntungan

adalah batal, akan tetapi janji bahwa salah seorang sekutu akan

menanggung seluruh kerugian adalah sah (Pasal 1635 KUH Perdata).

e. Sekutu yang berdasarkan surat perjanjian ditugaskan melakukan

pengurusan persekutuan, dapat melakukan segala perbuatan yang

berhubungan dengan kepengurusannya asal dilakukan dengan iktikad baik

(Pasal 1636 KUH Perdata).

Berbagai hubungan perikatan di atas apabila dihubungkan dengan hasil

penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut :

Dalam Pasal 1624 KUH Perdata ditentukan bahwa pada prinsipnya

perjanjian persekutuan lahir sejak terjadinya kesepakatan, kecuali ditetapkan

lain oleh para pihak. Dengan demikian pada prinsipnya perjanjian persekutuan

termasuk dalam perjanjian konsensual. Apabila dihubungkan data no. 4 tentang

60

jangka waktu perjanjian diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini berlaku

selama satu tahun terhitung sejak saat penanda tanganan surat perjanjian, yaitu

tanggal 2 Januari 2013. Dengan demikian dalam perjanjian ini telah ditentukan

bahwa saat lahirnya perjanjian adalah saat tercapainya kesepakatan kedua

belah pihak yang diwujudkan dengan adanya penandatanganan akta, sehingga

dapat dikatakan merupakan perjanjian konsensual.

Dalam Pasal 1633 KUH Perdata ditentukan asas umum pembagian

keuntungan dalam perjanjian persekutuan berdasarkan pembagian untung dan

rugi dan asas keseimbangan menurut besar kecilnya inbreng para sekutu dalam

persekutuan. Apabila dihubungkan dengan data no. 3 tentang syarat perjanjian,

diketahui bahwa kewajiban inbreng Pemilik Usaha adalah tenaga atau

keahliannya, sedangkan kewajiban inbreng Pemilik Uang adalah membayar

sejumlah uang (investasi). Selanjutnya data no. 5 tentang pembagian

keuntungan, bahwa Pemilik Uang akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp.

200.000,- per hari selama satu tahun, mulai tanggal 3 Januari 2013 sampai

tangal 31 Desember 2013. Dalam hal ini berarti para pihak hanya

memperjanjikan tentang keuntungan (janji untung) dan tidak

memperjanjikan tentang kemungkinan terjadinya kerugian. Sehingga dapat

dikatakan bahwa dalam perjanjian ini menyimpangi prinsip keseimbangan

(proporsionalitas) yaitu pembagian keuntungan dan kerugian menurut

keseimbangan besar kecilnya pemasukan dalam persekutuan sebagaimana

diatur dalam Pasal 1633 KUH Perdata. Dapat pula diartikan bahwa dalam

pejanjian ini seluruh kerugian yang timbul akan ditanggung oleh Pemilik

61

Usaha, perjanjian yang demikian sesuai dengan prinsip yang diatur dalam Pasal

1635 KUH Perdata bahwa memperjanjikan seluruh keuntungan untuk salah

satu sekutu adalah dilarang - - - karena bertentangan dengan tujuan

persekutuan yaitu mendapatkan keuntungan bersama - - -, sedangkan janji

untuk menanggung seluruh kerugian adalah sah. Hal ini juga sesuai dengan

karakter perjanjian ini yang mana semua kegiatan operasional dilakukan oleh

Pemilik Usaha

Dalam data no. 6.1 ditentukan bahwa apabila Pemilik Usaha tidak

membayar keuntungan harian kepada Pemilik Uang selama tiga hari berturut-

turut, maka pada hari ke empat Pemilik Uang dapat menagih kepada Pemilik

Usaha. Janji ini berisikan pembatasan mengenai kapan Pemilik Uang dapat

melakukan penagihan kepada Pemilik Usaha, yaitu apabila terjadi

keterlambatan pembayaran keuntungan selama tiga hari berturut-turut, dan

penagihan dapat dilakukan pada hari ke empat. Hal ini menunjukkan bahwa

kapan Pemilik Usaha dapat dinyatakan lalai memenuhi kewajibannya atau

melakukan wanprestasi berupa terlambat berprestasi yaitu apabila tidak

melakukan pembayaran keuntungan harian selama tiga hari berturut-turut.

Selanjutnya dalam data no. 6.2, ditentukan bahwa apabila Pemilik Usaha

sampai dengan hari ke 7 (tujuh) sejak ditagih oleh Pemilik Uang belum bisa

membayar profit atau keuntungan, maka pemilik Usaha wajib mengembalikan

uang pokok investasi ditambah profit atau keuntungan harian yang

berlangsung. Dengan adanya ketentuan ini menunjukkan bahwa perjanjian

62

kerjasama ini merupakan perjanjian dengan syarat batal, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1253 KUH Perdata, yaitu :

“Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.

Perikatan bersyarat dibedakan menjadi dua, yaitu syarat tangguh dan syarat

batal, syarat tangguh adalah syarat yang menangguhkan lahirnya perjanjian

pada terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa tertentu, sedangkan syarat

batal adalah syarat yang membatalkan perikatan dengan terjadi atau tidak

terjadinya suatu peristiwa tertentu. Dengan terjadinya syarat batal, maka syarat

itu berlaku surut sampai saat terjadinya perjanjian (Pasal 1261 KUH Perdata).

Dalam arti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan segala sesuatu harus

dikembalikan seperti keadaan semula. Apabila dihubungkan dengan data no.

6.2 yang menentukan pemilik Usaha wajib mengembalikan uang pokok

investasi ditambah profit atau keuntungan harian, secara yuridis artinya

perjanjian persekutuan menjadi batal sehingga dikembalikan pada keadaan

semula, yaitu pengembalian inbreng dalam persekutuan.

Pada akhirnya berdasarkan data no. 6.4, dalam perjanjian kerjasama ini

juga diperjanjikan bahwa : Apabila setelah terpenuhi jangka waktu 14 hari

Pemilik Usaha tidak dapat mengembalikan uang pokok investasi, maka Pemilik

Uang dapat mengambil atau menyita asset usaha milik Pemilik Usaha yang

senilai dengan jumlah tersebut. Hal ini disebut sebagai hak verhaal, yaitu hak

kreditur untuk menyita atau menuntut penyitaan kekayaan debitur, apabila

63

debitur wanprestasi. Dalam bahasa sehari-hari, klausula seperti ini disebut

sebagai klausula jaminan, yaitu yang memberikan jaminan pelunasan tagihan

kreditur atas kekayaan debitur.

64

BAB V

PENUTUP

1. Dalam aspek ekonomi perjanjian kerjasama (perdagangan pulsa) termasuk

dalam kelompok Kerjasama Operasional (Joint Operational), sedangkan

dalam aspek hukum masuk dalam kualifikasi perjanjian bernama yaitu

“Persekutuan” (Maatschap/Vennootschap).

2. Perjanjian persekutuan ini mengandung syarat batal yaitu dan berisikan janji

untung yang menyimpangi asas keseimbangan atau asas proporsionalitas.

a. Pemilik Uang/Investor wajib menyerahkan uang pokok investasi sebesar

dua ratus juta rupiah (Rp. 200.000.000,-) kepada Pemilik Usaha.

b. Pemilik Usaha Pemilik Usaha wajib melakukan pekerjaan menjalankan

usaha perdagangan yaitu membeli dan menjual pulsa dan memberikan

keuntungan kepada sekutu Pemilik Uang sebesar Rp. 200.000,- per hari.

Dalam hal lalai melakukan pembayaran keuntungan kepada Pemilik

Uang selama tiga hari berturut-turut, dengan akibat hukum :

a. Menuntut pemenuhan prestasi berupa pembayaran keuntungan pada hari

keempat apabila Pemilik Usaha tidak memberikan keuntungan selama

tiga hari berturut-turut.

b. Menuntut pembatalan perjanjian apabila Pemilik Usaha tetap tidak

melakukan kewajiban prestasinya pada hari ke tujuh setelah dilakukan

penagihan.

65

c. Menyita atau menuntut penyitaan aset usaha milik Pemilik Usaha apabila

setelah 14 hari berakhirnya perjanjian tidak mengembalikan uang

investasi dan keuntungan usaha.

66

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Achmad Ichsan Dalam Cdhidir Ali, 1987, Badan Hukum, Alumni, Bandung. Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta. A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta

Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

B. Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

J. Satrio ,1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ..................., 1995., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,

Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ...................., Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung

Molengraaft dalam Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 7-8.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta. Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghal.ia Indonesia,

Jakarta. R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung

Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung. Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, CV. Mandar

Maju, Bandung Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan

Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

67

Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty,

Yogyakarta. Sumber Lain : Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3. Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010. http://myklangenan.blogspot.com/2009/10/sewa-menyewa.html, diakses tanggal

05 Maret 2013.

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html,

diakses tanggal 07 April 2013.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl454/bagaimana-pembuatan-kontrak-

yang-benar-secara-hukum, diakses tanggal 10 April 2013.

http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perjanjian.html, diaklses tangggal

10 Maret 2013.

-----------------------------