BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112035_bab1.pdf ·...

40
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya di masing- masing pulau, provinsi maupun daerah. Hal ini tidak menjadi penghambat persatuan bangsa Indonesia sendiri, akan tetapi perbedaan budaya menjadi tali silaturahim antarmasyarakatnya. Budaya yang ada pada masa sekarang merupakan peninggalan dari nenek moyang kita, sehingga perlu dilestarikan untuk menghargai nenek moyang kita. Salah satu yang perlu dilestarikan yakni peninggalan tertulis, karena dari peninggalan tertulis itu dapat diungkapkan segala informasi maupun budaya yang pernah hidup dan berkembang di masa lalu. Berbagai informasi tentang kehidupan maupun pandangan hidup dan berkembang di masa lampau dari peninggalan tertulis akan ikut mempengaruhi kehidupan maupun pandangan hidup dan berkembang pada masyarakat masa kini. Salah satu peninggalan tertulis yakni naskah. Naskah merupakan benda berharga warisan nenek moyang yang sudah selayaknya mendapatkan penanganan dan perhatian yang khusus dan serius, karena sebuah naskah akan berharga bila masih dapat dibaca dan dipahami isinya (Edwar Djamaris 1977: 21). Menurut Darusuprapta (1984: 10), naskah adalah karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Siti Baroroh- Baried (1977: 20) berpendapat bahwa naskah merupakan tulisan tangan yang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112035_bab1.pdf ·...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya di masing-

masing pulau, provinsi maupun daerah. Hal ini tidak menjadi penghambat

persatuan bangsa Indonesia sendiri, akan tetapi perbedaan budaya menjadi tali

silaturahim antarmasyarakatnya. Budaya yang ada pada masa sekarang merupakan

peninggalan dari nenek moyang kita, sehingga perlu dilestarikan untuk

menghargai nenek moyang kita. Salah satu yang perlu dilestarikan yakni

peninggalan tertulis, karena dari peninggalan tertulis itu dapat diungkapkan segala

informasi maupun budaya yang pernah hidup dan berkembang di masa lalu.

Berbagai informasi tentang kehidupan maupun pandangan hidup dan berkembang

di masa lampau dari peninggalan tertulis akan ikut mempengaruhi kehidupan

maupun pandangan hidup dan berkembang pada masyarakat masa kini. Salah satu

peninggalan tertulis yakni naskah.

Naskah merupakan benda berharga warisan nenek moyang yang sudah

selayaknya mendapatkan penanganan dan perhatian yang khusus dan serius,

karena sebuah naskah akan berharga bila masih dapat dibaca dan dipahami isinya

(Edwar Djamaris 1977: 21). Menurut Darusuprapta (1984: 10), naskah adalah

karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya yang mengandung teks

atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Siti Baroroh-

Baried (1977: 20) berpendapat bahwa naskah merupakan tulisan tangan yang

2

menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa

masa lampau. Sedangkan menurut Ismaun (1996: 8) naskah Jawa ditulis dengan

keragaman bentuk penulisan aksara Jawanya dan keragaman bentuk aksara Jawa

itu ada lima macam, yakni :

1. Bata sarimbag, yaitu aksara Jawa yang berbentuk persegi menyerupai bata

merah.

2. Ngêtumbar, yaitu aksara Jawa yang pada sudut-sudutnya tidak berbentuk

sudut siku tetapi berbentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar.

3. Mucuk êri, yaitu aksara Jawa yang pada bagian atas berupa sudut lancip

seperti duri (êri).

4. Nyacing, yaitu aksara Jawa yang bentuk aksaranya pipih seperti cacing.

5. Kombinasi, yaitu aksara Jawa yang bentuknya terbentuk dari gabungan

keempat jenis aksara Jawa tersebut di atas.

Dari keempat pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa naskah

adalah hasil budaya warisan dari nenek moyang dengan beragam bentuk tulisan

yang isinya sangat berharga untuk dibaca, dipelajari, dipahami, sehingga akan

lebih baik jika naskah mendapatkan perawatan atau penanganan lebih khusus

guna meminimalisir kerusakan pada naskah. Dalam penanganan naskah meliputi

penyelamatan, pelestarian, penelitian, pendayagunaan dan penyebarluasan.

Berkaitan dengan hal tersebut, filologi sebagai bidang ilmu yang erat kaitannya

dengan upaya penanganan naskah ini sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan

tugas utama filologi yaitu mendapatkan kembali naskah yang bersih dari

kesalahan, memberi pengertian yang sebaik-baiknya dan dapat

3

dipertanggungjawabkan sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya (Haryati

Soebadio, 1975: 3). Naskah dulunya sangat marak dalam penyalinan, karena

orang - orang ingin memiliki naskah tersendiri, maka tidak menutup kemungkinan

jika kebanyakan naskah belum tentu bersih dari kesalahan. Keadaan inilah

menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari tambahan maupun dari yang

korup. Upaya untuk mendapatkan naskah yang memang bersih dari kesalahan,

maka perlu diadakan penelitian secara filologis. Penelitian ini dilakukan untuk

menindaklanjuti naskah serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini

penting dilakukan agar tidak salah dalam menginterpretasikan naskah itu sendiri.

Selain itu nantinya akan dapat dijadikan sumber data untuk kepentingan

penelitian, karena sampai sekarang masih banyak naskah – naskah yang tersimpan

perpustakaan-perpustakaan, museum, dan koleksi pribadi belum diteliti secara

filologis.

Menurut Nancy K. Florida (2000: 5) jumlah naskah di Indonesia sangat

banyak, khususnya di daerah Jawa dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

bagian/kelompok untuk mempermudah penelitian lebih lanjut terhadap naskah-

naskah yang ada. Ditinjau dari segi isi, naskah dapat diklasifikasikan menjadi 14

(empat belas) macam, yaitu naskah:

1. Sejarah

2. Arsip Keraton Surakarta

3. Upacara adat

4. Arsitektur dan Keris

5. Hukum

6. Wayang

4

7. Cerita Wayang

8. Piwulang atau ajaran

9. Syair puisi

10. Roman Islam

11. Sejarah

12. Musik dan Tari

13. Adat dan pengetahuan tentang Jawa, di antaranya meliputi: ramalan,

perhitungan waktu, obat-obatan, dan

14. Mistik Kejawen

Berdasarkan pengelompokan naskah di atas, peneliti tertarik untuk

meneliti naskah yang masuk dalam kelompok nomor 8 (delapan), yaitu naskah

piwulang atau ajaran dengan judul Suluk Dewaruci. Sesuai dengan judulnya Suluk

Dewaruci ini berisi tentang piwulang kehidupan untuk mencari jati diri. Naskah

Suluk Dewaruci yang dijadikan objek penelitian ini berbentuk prosa (gancaran)

dan terdiri atas 16 bagian.

Dilihat dari judul, naskah Dewaruci sangat terkenal, terutama di kalangan

masyarakat Jawa. Hal ini dikarenakan dalam cerita Dewaruci mengandung arti

filsafat yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Sama halnya dalam buku

yang sudah disadur, berjudul Kitab Dewa Rutji oleh Prawira Atmadja (1958: 5)

mengatakan “Kitab Dewa Rutji tergolong kitab – kitab yang sangat populer di

kalangan umum di Djawa, karena isinya mengandung arti kefilsafatan yang

dalam, sedang jalan ceritanya amat menarik hati”. Dalam buku ini juga

menerangkan “Tjerita yang kelak terkenal dengan nama Dewarutji atau Bimarutji

atau Bimasutji berasal dari akhir zaman Hindu di Pulau Djawa, jadi pada zaman

5

Majapahit. Sesungguhnya nama semulanya adalah Nawarutji atau Awarutji,

sedang jalan tjerita berbentuk prosa” (Prawira Atmadja, 1958: 7). Kemudian pada

berikutnya mengatakan :

“Dengan nama Nawarutji, tjerita Dewarutji itu di pulau Bali dan Lombok

tersebar dimana-mana, dengan bentuk prosa maupun puisi, tetapi semuanya ditulis

dalam bahasa Djawa Tengahan. Dalam kumpulan Dr. H.N. Van Der Tuuk yang

sekarang tersimpan di kantor perpustakaan Perguruan Tinggi Leiden (Negeri

Belanda) terdapat beberapa manuskrip tentang cerita Nawarutji berasal dari Bali

dan Lombok. Di Djawa sesungguhnya lebih terkenal dengan nama Dewarutji atau

Bimasutji. Menurut Prof. Dr. R.M. Poerbatjaraka dalam Kitab karangannya

Kapustakaan Djawa, Kitab Dewarutji yang sekarang terdapat di Djawa yang

tertua itu tertulisa dalam bahasa Jawa Tengahan dengan bentuk puisi (Tembang

Gedhe)” (Prawira Atmadja, 1958: 11).

Di dalam buku itu juga terdapat ringkasan atau inti cerita Nawarutji,

Bimasutji atau Dewarutji. Inti cerita Nawaruci yang berbentuk prosa dalam bahasa

Djawa Tengahan yakni Bima disuruh mencari air suci di sumur Dorangga,

dilanjutkan ke padang Andadawa yang mana di tempat ini Bima dihalangi raksasa

Inderabahu, kemudian Bima disuruh untu mencari air suci di Laut Garam, dan di

laut itulah Bima bertemu dengan Nawaruci atau Awarutji. Sedangkan yang

diterangkan dalam buku Prawira Atmadja, inti cerita Dewaruci atau Bimasuci

karangan Tanaya bentuk prosa dalam bahasa Jawa Baru disebutkan bahwa usaha

Druna untuk membunuh Bima sampai tiga kali, yakni Bima disuruh mencari air

suci ke Gunung Tjandramuka atau Rebabu, dilanjutkan ke hutan Pallasara, lalu ke

gua Sigrangga.

Mengetahui hal ini untuk menentukan naskah SDR tunggal atau jamak,

maka tidak cukup jika informasi didapat dari buku saja. Peneliti melakukan

langkah awal penelitian filologi guna mendapatkan informasi tentang keberadaan

naskah manuskrip Suluk Dewaruci berbentuk prosa, yaitu melalui penelusuran

terhadap berbagai katalog naskah di antaranya :

6

1. Deskriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book

in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet– Sutanto,

1983).

2. Javanese Language Manuscrips of Surakarta Central Java A

Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II (Nancy K. Florida,

1994).

3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sanabudaya

Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990).

4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B Fakultas Sastra

Universitas Indonesia, (Jennifer Lindstay, R.M. Soetanto, dan Alan

Feinstein, 1998).

5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia (Jennifer Lindstay, 1994).

6. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar

Naskah Perpustakaan Pura Mangkunagaran Surakarta

Berdasarkan informasi katalog di atas banyak ditemukan naskah Bimasuci,

Dewaruci, maupun Nawaruci. Akan tetapi berbentuk Tembang Gedhe (kidung)

dan puisi (macapat), sedangkan peneliti sendiri menemukan naskah Suluk

Dewaruci (selanjutnya disingkat SDR) berbentuk prosa (gancaran) yang

merupakan koleksi pribadi Bapak Joko Setiono, sehingga dapat dikatakan naskah

SDR ini merupakan naskah tunggal. Peneliti memilih untuk meneliti SDR karena

naskah ini dianggap memiliki keunikan. Keunikannya terletak pada bentuk prosa.

Bentuk prosa pada naskah ini mengundang rasa ingin tahu pada peneliti, bicara

tentang apa naskah ini, bagaimana bahasa yang dipakai dalam naskah ini. Tidak

7

cukup itu saja, kebanyakan naskah berjenis suluk bentuknya puisi (macapat),

Tembang Gedhe (kidung), seperti naskah Suluk Bango Buthak, Suluk Maknarasa,

Suluk Pangolahing Pangan, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Suksma Lȇlana, Suluk

Among Tani, Suluk Ulam Loh. Akan tetapi pada naskah berjenis suluk kali ini

berbeda dengan yang lain, yakni berbentuk prosa (gancaran).

SDR berbentuk prosa ini dipilih guna untuk pelestarian naskah yang tidak

ada didaftar katalog, akan tetapi dijualbelikan di pasar loak Gladak, Surakarta.

Peneliti sendiri mengatakan bahwa naskah ini tunggal, hal ini diperkuat dalam

skripsi Edwin (2011: 76) yang menyatakan :

”Menurut Donald (1983: 26) cerita Dewaruci yang paling tua ditulis pada

abad ke-15. Cerita Dewaruci itu berbentuk Tembang Gedhe dengan

bahasa Jawa Tengahan sebagaimana telah diteliti oleh Poerbatjaraka.

Kemudian, pada abad ke-18 sekitar tahun 1796 pujangga kraton Surakarta

yakni Yasadipura I menggubah teks Dewaruci Tembang Gedhe yang

bercorak Hindu-Budha ke dalam Serat Dewaruci macapat dengan

berbahasa Jawa Baru dan mengandung nafas Islam (Haqq, 1959: 38-39).

Marsono (1996: 15) menyatakan bahwa teks Serat Dewaruci macapat

karya Yasadipura I itu diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramaprawita

dengan percetakan Van Dorp di Semarang pada tahun 1870, 1873, dan

1880 dengan huruf Jawa.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti semakin yakin bahwa naskah ini

belum pernah diteliti. Untuk memperkuat alasan bahwa naskah ini belum pernah

diteliti, maka kajian pustaka terhadap penelitian terdahulu sebagai data pendukung

perlu dilakukan oleh peneliti. Enam kajian pustaka yang ditemukan berkaitan

dengan naskah yang akan diteliti, yakni :

1. Skripsi Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I) oleh

Edwin mahasiswa FKIP UNS tahun 2011. Dalam skripsi ini berisi

tentang pemikiran Yasadipura I yang tidak terlepas dari pengaruh

tradisi kejawen dan pesantren (islam). Mengalami dua lingkungan ini

8

membuat Yasadipura fasih berbicara tentang pandangan Jawa lama.

Pemikiran sinkretik Yasadipura salah satunya tercermin pada Serat

Dewaruci. Secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus

menjalani perjalanan batin guna menemukan jati dirinya atau

pencarian sangkan paraning dumadi. Serat Dewaruci yang dirumuskan

oleh Yasadipura I memperlihatkan ajaran syariat, tarikat, hakikat,

makrifat yang keempatnya saling sambung menyambung dan saling

berkaitan.

2. Disertasi Moral Islam dalam Lakon Bima Suci oleh Teguh mahasiswa

Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga tahun 2008. Dalam disertasi

ini berisi tentang penyampaian nilai/pesan moral dalam Lakon Bima

Suci, yakni pesan moral islam yang terdapat dalam Lakon Bima Suci

dapat dirumuskan sebagai ajaran syariat, tarikat, hakikat, makrifat,

sedangkan konsep moral Jawa dirumuskan tentang ajaran sembah

raga, cipta, jiwa dan rasa.

3. Skripsi Aspek Mistik dalam Serat Dewa Ruci oleh Rohmad Sri

Yunanto mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tahun

2003. Dalam skripsi ini membahas ajaran yang sifatnya simbolik

meengenai usaha manusia mencapai makrifat dengan Tuhan, aspek

mistik yang terkandung dalam Serat Dewaruci.

4. Tesis Dewaruci dalam Kebatinan dan Adadt-Istiadat Kejawen yang

Mempunyai Kekuatan Subjektif atas Birokrasi Angkatan Laut oleh

David Andrew Evans mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

tahun 2004. Dalam tesis membahas tentang analisis cerita Dewaruci

9

kepada penganut bahwa di dalam dan di luar dalam masyarakat Jawa

dicapai dengan keselarasan sosial, kepercayaan spiritual, perasaan,

etiket dan kewajiban berasal dari mitologi cerita wayang Dewaruci

yang di dalamnya masih menggambarkan kehidupan sehai-hari orang

Jawa.

5. Skripsi Aspek Pendidikan Nilai Kerja Keras pada Pertunjukan

Wayang Kulit dengan Lakon Dewaruci (Dalam Acara Bersih Desa di

Masyarakat Desa Dadapan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo)

oleh Siti Rahayu mahasiswi FKIP UMS tahun 2013 membahas tentang

nilai kerja keras dalam pertunjukan wayang kulit Lakon Dewaruci.

6. Skripsi Perbandingan Fakta Cerita Serat Dewaruci dan Suluk

Linglung Sunan Kalijaga oleh Pustyadara Pramana Putri mahasiswi

Fakultas Bahasa dan Seni UNY tahun 2013 tentang perbandingan fakta

cerita Serat Dewaruci dan Suluk Linglung Sunan Kalijaga secara

umum kedua cerita memiliki tema sama, yakni menceritakan

perguruan seorang tokoh untuk mendapatkan kesempurnaan dalam

dirinya.

Dari hasil kajian pustaka ini, maka peneliti memutuskan untuk meneliti

naskah ini dengan kajian filologis.

Naskah SDR berbentuk prosa ini merupakan naskah piwulang. Naskah ini

keadaannya masih baik, masih utuh dari halaman 1 sampai 38 dengan bentuk

tulisan aksara Jawa ngêtumbar condong ke kanan. Judul SDR ini tertera dalam

cover depan maupun di dalam teks. Berikut kutipan judul yang terdapat pada

naskah:

10

Judul SDR terdapat pada cover depan menggunakan aksara Jawa

Gambar 1: Sampul depan naskah SDR

Berbunyi : ”Suluk Dewaruci”

Judul SDR terdapat di dalam teks

Gambar 2: Judul naskah SDR dalam teks

Berbunyi : ”Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci” (halaman 1)

Terjemahan : ”Ini arti Suluk Dewaruci”

11

Penomoran halaman pada naskah ini menggunakan aksara Jawa dan

terletak di atas tengah.

Gambar 3: Penomoran halaman naskah SDR (halaman 9)

Naskah SDR ini berbentuk prosa/gancaran. Dapat dilihat dari penanda

adȇg-adȇg. Seperti halnya kutipan berikut :

Gambar 4: Penanda adȇg-adȇg (halaman 1)

Keunikan – keunikan dalam naskah SDR, di antaranya sebagai berikut :

1. Penulisan aksara “na” selalu memakai aksara Jawa murda pada kata-

kata tertentu, seperti sawarna, sawarni, warna dan sejenisnya .

Gambar 5: Keunikan penulisan aksara “na”

Berbunyi : “…sawarnining…” (halaman 1)

12

2. Adanya penanda Pada Luhur di setiap pergantian bagian. Pada Luhur

biasanya digunakan untuk mengawali karangan atau surat yang ditulis

oleh orang berderajat kedudukan atau pangkat tinggi dan ditujukan

kepada bawahannya, atau oleh orang yang umurnya lebih tua ditujukan

kepada orang yang umurnya lebih muda.

Gambar 6: Penanda Pada Luhur (halaman 1)

Kecuali pada bagian ke – 14 ditandai dengan mandrawa yang

merupakan aksara berstilir dari madyapada yang berarti “jauh”,

menandakan jika naskah yang dibaca masih jauh untuk tamat atau

selesai.

Gambar 7: Penanda mandrawa (halaman 19)

Tidak ada purwapada maupun wasanapada pada naskah SDR ini.

Dalam buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1996: 55-56)

dijelaskan, mangajapa bȇcik merupakan aksara berstilir dari

purwapada berarti “mengharap kebaikan” menandakan permulaan

tembang maupun prosa yang biasanya ditulis di depan. Sedangkan iti

13

merupakan aksara berstilir dari wasanapada yang berarti “demikian

(lah), seperti itulah” dan sering juga diartikan “selesai, tamat, purna”

menandakan bahwa karangan tersebut sudah selesai. Padahal ada

mandrawa di tengah. Hal ini dibuktikan seperti gambar berikut:

Pada halaman 1 terdapat penanda dengan menggunakan pada luhur

Gambar 8: Penanda pada luhur di awal bagian (halaman 1)

Kemudian pada halaman 38 tidak ada tanda iti di bagian terakhir

Gambar 9: Penanda pada luhur di akhir bagian (halaman 38)

Kekhasan penulisan pengarang dalam naskah SDR ini, adalah:

1. Penulisan kata “suksma”, huruf “sa” di awal kata konsisten

menggunakan “sa murda”

14

Gambar 10: Kekhasan penulisan kata “suksma”

Berbunyi : “…suksma…” (halaman 14)

2. Pengarang dalam naskah ini lebih sering menggunakan kata “Punika

kawikanana” di setiap awal bagian. Hal ini terbukti pada bagian ke-2

sampai bagian ke-13. Salah satunya seperti berikut:

Gambar 11: Kekhasan kata di awal bagian

Berbunyi : ”Punika kawikanana” (halaman 7)

Terjemahan : ”Ini ketahuilah”

Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi SDR dijadikan objek

penelitian. Pertama dari segi filologis, kedua dari segi isi. Berdasarkan segi

filologis, untuk naskah tersebut agar dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat,

selain itu ditemukan varian-varian yang cukup banyak pada SDR. Di dalam teks

SDR ini ditemukan banyak permasalahan filologis. Kebanyakan permasalahannya

yakni hiperkorek, lakuna, kesalahan penulisan, dan ketidakkonsistenan dalam

15

penulisan. Di dalam SDR ini ditemukan beberapa kesalahan dalam penulisan,

yaitu :

1. Ketidakkonsistenan dalam penulisan meliputi :

a. Penulisan idayad dengan idayat

Gambar 12: Ketidakkonsistenan penulisan kata “idayad”

Berbunyi : “...ngèlmi idayad…” (halaman 1)

Terjemahan : “…ilmu petunjuk…”

Gambar 13: Ketidakkonsistenan penulisan kata “idayat”

Berbunyi : “…dumugi ing idayat…” (halaman 1)

Terjemahan :”… sampai ke petunjuk…”

Menurut pertimbangan linguistik yang benar penulisannya adalah

“idayad”.

b. Penulisan dad dengan dat

Gambar 14: Ketidakkonsistenan penulisan kata “dad”

16

Berbunyi : “…dad sadaya …” (halaman 1)

Terjemahan :”… semua dzat…”

Gambar 15: Ketidakkonsistenan penulisan kata “dat”

Berbunyi : “…dat kang…” (halaman 12)

Terjemahan : ”. . .dzat yang. . .”

Menurut pertimbangan linguistik penulisan yang benar “dat”.

c. Penulisan ghaib dengan gaib

Gambar 16: Ketidakkonsistenan penulisan kata “ghaib”

Berbunyi :“…kang ghaib…” (halaman 20)

Terjemahan : “… yang ghaib…”

Gambar 17: Ketidakkonsistenan penulisan kata “gaib”

Berbunyi :”…pun gaib…” (halaman 13)

Terjemahan :”… nya gaib…”

17

Menurut pertimbangan linguistik penulisan yang benar “gaib” .

d. Penulisan Jawa wahananing menggunakan wignyan dengan wahananing

tidak menggunakan wignyan

Gambar 18: Ketidakkonsistenan pemakaian wignyan kata “wahananing”

Berbunyi “…wahananing…” (halaman 3)

Gambar 19: Ketidakkonsistenan kata “wahananing”

Berbunyi “…wahananing…” (halaman 3)

Terjemahan :”…menerangkan…”

Menurut Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1996) penulisan aksara

dengan trasnsliterasi yang sesuai yakni “wahananing” tidak

menggunakan wignyan.

18

e. Penulisan aksara “sa” pada naskah SDR menggunakan 2 (dua) model.

Seperti di bawah ini:

Gambar 20: Ketidakkonsistenan a

Berbunyi : “….sipat asma….” (halaman 3)

Terjemahan : “…. Sifat nama…”

Gambar 21: Ketidakkonsistenan b

Berbunyi : “…asma….” (halaman 14)

Terjemahan : “….nama…”

2. Adanya kesalahan penulisan

a. Berupa penyisipan suku kata sebagai pembetulan

Gambar 22: Kesalahan penulisan berupa penyisipan

19

Berbunyi: “…punika dados jasad…”(halaman 18)

Terjemahan : “…ini menjadi jasad…”

b. Berupa coretan sebagai koreksi teks yang salah

Gambar 23: Kesalahan penulisan berupa coretan

Berbunyi: “jagada. . .” dan “ipun” (halaman 16)

Terjemahan : “dunia. . .” dan “nya”

c. Adanya Hiperkorek

Gambar 24: Hiperkorek

Berbunyi :”…Tanahjultarki…” (halaman 1)

20

Menurut pertimbangan linguistik penulisan yang benar “Tanajultarki”

dan penulisan aksara “na” yang double pada kata “Tannahjultarki”

seharusnya aksara “na” tidak double, jika menurut Pedoman Penulisan

Aksara Jawa (1996)

d. Adanya Lakuna

Gambar 25: Lakuna a

Berbunyi :”Tankala kendȇ roh…” (halaman 35)

Terjemahan : “Waktu roh itu singgah….”

Kata “kendȇ” seharusnya “kendȇl” berdasarkan konteks kalimatnya.

Gambar 26: Lakuna b

berbunyi: “Utawi witaning. . .” (halaman 32)

Terjemahan : “Atau mulainya. . .”

Kata “witaning” seharusnya “wiwitaning” berdasarkan konteks

kalimatnya.

Berdasarkan segi isi, Suluk Dewaruci ini berisi tentang kisah Bratasena

dalam mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta

Pawitra Suci. Untuk mendapat Tirta Pawitrasari, Bratasena menjalankan semua

21

yang diperintahkan dari gurunya Druna. Dalam berguru inilah Bratasena telah

melalui tataran berguru sampai bertemu dengan Dewaruci (Dewa yang berwujud

anak kecil berambut panjang/kerdil), yang berarti sebenarnya dalam beribadah

Bratasena/Bima sudah mencapai tataran/tahapan makrifat. Tahapan-tahapan

dalam pendekatan kepada Tuhan dalam Wedhatama karya Mangkunegara IV

juga dijelaskan pada tembang Gambuh “sembah catur”.

“Samȇngko ingsun tutur/ sȇmbah catur supaya lumuntur/ dhihin raga

cipta jiwa rasa kaki/ ing kono lamun tinȇmu/ tandha nugrahaning

Manon//”

Terjemahan :

“Sekarang saya bertutur/ empat macam sembah supaya dilaksanakan/

pertama sembah raga, kedua sembah cipta, ketiga sembah jiwa/ dan

keempat sembah rasa anakku/ di situlah akan bertemu dengan/ pertanda

anugrah Tuhan//”

Maksud empat sembah tersebut untuk lebih jelasnya adalah :

“Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku

perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan

mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum

agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan,

hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan

lingkungan alam sekitarnya. Kemudian tarekat (Jawa laku budi, sembah

cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju.

Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan

badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan.

Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut

hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan

hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Selanjutnya

hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang

sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat

dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama

Tuhan secara terus-menerus. Amalan yang dilakukan pada tahap ini

semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Tahap

22

terakhir yakni makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan

menuju manusia sempurna yang paling tinggi”.

(sumber:https/wayang.wordpress.com/2010/03/10/bima-dan-dewaruci-

serat-dewa-ruci/)

Tahapan-tahapan tersebut tidak beda jauh dengan ikthisar Dewaruci. Akan

tetapi pada naskah ini ada perbedaan dengan Dewaruci yang sudah umum.

Dewaruci pada umumnya yang terdapat dalam serat maupun wayang

mengisahkan perjalanan Bratasena/Werkudara yang ingin menjadi manusia

sempurna, atau dapat dikatakan ingin mencari kesempurnaan hidup. Dengan

mencari dan menemukan tirta amerta dan menemukan kayu gung susuhing angin.

Perjalanan ini diawali Bratasena disuruh untuk pergi ke Gunung Reksamuka,

setibanya Bratasena dihalangi dua raksasa yakni Rukmuka dan Rukmakala yang

akhirnya mampu dibunuh oleh Bratasena. Kedua Raksasa tersebut mati dan

berubah menjadi Dewa Indra dan Dewa Bayu.Tidak cukup itu saja cobaan yang

dihadapi Bratasena saat itu. Begawan Druna/guru Bratasena memerintahkan

Bratasena agar mencari air perwitasari mahening suci di dasar laut Minangkalbu.

Setibanya di sana, Bratasena diserang Naga Nemburnawa, tetapi naga tersebut

berhasil dikalahkan Bratasena. Setelah itu, Bratasena menerima wejangan

“pitutur, petuah” masalah pancamaya dan kasampurnaning dumadi.

Dalam naskah yang diteliti oleh peneliti berisi hanya secara singkat atau

ringkas gambaran perjalanan Bratasena berawal pergi ke Gunung Reksamuka, lalu

mengalahkan dua raksasa yakni Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke sumur

Sigrangga sampai menemukannya air kehidupan, yang secara eksplisit air

kehidupan ini merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri.

Dalam cerita ini pengarang secara langsung menuliskan artinya, contoh :

23

“Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri, tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan

prakawis”.

Terjemahan :”Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya:

mengendalikan nafsu empat perkara.”

Di dalam naskah ini lebih menyampaikan pengaplikasian perjalanan batin

manusia, bagaimana melawan pancamaya yang menggambarkan nafsu manusia

dengan diwujudkan cahaya yang berwarna 4 macam, yakni: merah (nafsu

amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah), dan putih (mutmainah). Selain itu, ada

penjelasan tentang urut-urutannya alam ada tujuh yakni alam akhadiyat, wahdad,

wakidiyat, arwah, misal, ajȇsan, insan kamil. Dalam naskah ini juga memuat hal

baik yang perlu dilakukan manusia untuk mendekatkan kepada Hyang Widhi,

Sang Kholiq. Inilah yang membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci

lainnya. Memang sekilas dari segi isi, naskah ini berbeda dengan naskah

Dewaruci yang asli, akan tetapi naskah ini sah saja jika diteliti. Menurut peneliti,

naskah yang ditemukan dengan judul SDR ini isinya tidak sepenuhnya cerita

Dewaruci, akan tetapi kombinasi cerita Dewaruci yang dikaitkan dengan Serat

Wirid Hidayat Jati. Hal ini dibuktikan dengan adanya kata – kata di naskah SDR

seperti: Betal Makmur, Betal Mukadas, Tanazultarki, Suhud, Apngal, yang mana

kata – kata tersebut ada pada Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam buku yang berjudul

Islam Kejawen dan Wirid Hidayat Jati Raden Ngabehi Ranggawarsita (Simuh

:1988) terdapat petikan yang mengatakan “Alam gaib seperti yang dinamakan

alam ruhiyah dalam Wirid Hidayat Jati, bersumber dari lukisan alam gaib yang

dialami Arya Sena dalam Serat Dewaruci”. Jadi, tidak menutup kemungkinan

pengarang disini ingin menciptakan sebuah karya naskah baru, dimana dalam

24

karangan naskah itu dipengaruhi naskah lain maupun dipadukan dengan naskah

lain sesuai kemampuan imajinasi, pengalaman, maupun wawasan yang sudah

diketahuinya dengan menggunakan bahasanya sendiri guna menonjolkan ciri khas

pengarang, sehingga menarik minat peneliti untuk meneliti naskah ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

terhadap naskah SDR, baik secara filologis maupun isi. Kajian filologis digunakan

untuk membahas permasalahan - permasalahan filologis yang ada di dalam naskah

SDR, sedangkan kajian isi digunakan untuk mengupas kandungan isi ajaran dalam

SDR.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian naskah SDR adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana suntingan teks dari SDR teks yang bersih dari kesalahan?

2. Bagaimanakah isi ajaran suluk atau mistik atau tasawuf yang terkandung

di dalam SDR?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menyajikan suntingan teks SDR yang asli atau dekat dengan aslinya serta

teks yang bersih dari kesalahan.

2. Mengungkapkan atau mendeskripsikan isi ajaran suluk atau mistik yang

terdapat dalam SDR.

25

D. BATASAN MASALAH

Berbagai bentuk permasalahan dalam SDR memungkinan naskah ini untuk

diteliti dari berbagai sudut pandang baik secara filologis, sastra, filsafat ataupun

moral. Oleh karena itu diperlukan pembatasan masalah untuk mencegah semakin

melebarnya pembahasan. Batasan masalah tersebut lebih ditekankan pada dua

kajian utama, yakni kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan

untuk mengupas permasalahan yakni uraian-uraian di dalam naskah melalui cara

kerja filologis, sedangkan kajian isi digunakan untuk mendeskripsikan isi ajaran

dalam SDR.

E. LANDASAN TEORI

1. Pengertian Filologi

Budaya pada masa lampau dapat diungkapkan kembali melalui naskah

lama. Naskah dapat diketahui kandungan isinya jika ilmu filologi diterapkan.

Hal ini membuktikan bahwa ilmu filologi dibutuhkan, dengan ilmu filologilah

kita dapat mengupas isi, ajaran, ide, adat istiadat dalam naskah itu sendiri.

Filologi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani philologia yang berasal

dari dua kata yaitu philos yang berarti “cinta” dan logos yang berarti “kata”.

Sehingga filologi dapat diartikan sebagai “cinta kata” atau “senang bertutur”,

yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang ilmu”, dan

“senang kesastraan” atau “senang kebudayaan” (Siti Baroroh Baried, 1983: 1).

Filologi memiliki arti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah

diketahui orang (Wellek dalam Chamamah, 2003: 8). Menurut Edward

Djamaris (2002: 3) filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya

26

naskah-naskah lama. Sedangkan menurut Achadiati Ikram (1980: 1), filologi

dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa

lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya tercakup bahasa,

sastra, adat istiadat, hukum, dan lain sebagainya. Dari berbagai pengertian

tersebut dapat disimpulkan jika penelitian melalui filologi sangat dibutuhkan

untuk mengetahui isi kandungan pada naskah-naskah lama agar lebih mudah

dibaca maupun dipahami oleh semua orang.

2. Objek Filologi

Siti Baroroh Baried, dkk (1985: 55-57) mengemukakan bahwa filologi

mempunyai objek penelitian yaitu naskah dan teks. Naskah merupakan teks

tulisan yang berupa tulisan tangan (handschrift atau manuschrift), sedangkan

teks adalah kandungan atau muatan naskah berupa abstrak yang hanya dapat

dibayangkan saja dan memuat berbagai ungkapan pikiran serta perasaan

penulis yang disampaikan kepada pembacanya. Teks dalam filologi

menunjukkan sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu

yang konkrit, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek konkrit filologi adalah

naskah. Namun, pada hakikatnya yang dituju dari naskah tersebut bukanlah

fisik naskah tersebut, melainkan teks yang tersimpan di dalam naskah (Bani

Sudardi, 2003: 11)

3. Langkah Kerja Penelitian Filologi

Langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris (2002: 10),

meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, pertimbangan dan

pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang asli, transliterasi

27

naskah, dan suntingan teks. Menurut Edi S. Ekadjati dalam kumpulan makalah

filologi, langkah kerja dalam penelitian filologi terdiri dari inventarisasi

naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, pemilihan teks yang akan

diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara dan penyajian teks (1992: 1-8),

sedangkan langkah kerja berdasarkan Masyarakat Pernaskahan Nusantara

(Manasa), terdiri atas penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah,

observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan

penerjemahan teks. Teori tersebut tidak selamanya harus dipaksakan bisa

diterapkan pada semua naskah. Masing-masing naskah mempunyai kondisi

yang berbeda-beda. Secara terperinci langkah kerja penelitian filologi sebagai

berikut :

a. Penentuan Sasaran Penelitian

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan sasaran

penelitian, mengingat banyaknya ragam yang perlu dipilih, baik dari segi

tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ada naskah yang bertuliskan huruf

Arab, Jawa, Bali, Sasak dan Batak. Adapula naskah yang ditulis dari bahan

kertas, daun lontar, kulit kayu, atau rotan. Dari segi bentuk terdapat naskah

yang berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Naskah juga

memiliki isi yang beragam, di antaranya sejarah atau babad, ajaran atau

piwulang, kesusastraan, cerita wayang, cerita dongeng, primbon, adat

istiadat, agama, dan sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ingin diteliti telah

ditentukan yaitu naskah bertuliskan Jawa carik yang ditulis pada kertas,

berbentuk prosa atau gancaran dan berisi tentang cara manusia untuk

28

menuju kesempurnaan yang sejati. Keseluruhan bentuk tersebut telah

terangkum dalam SDR.

b. Inventarisasi Naskah

Inventarisasi naskah dilakukan melalui metode studi pustaka.

Metode studi pustaka ini dengan cara mendata dan mengumpulkan naskah

yang berjudul sama dan sejenis untuk kemudian dijadikan sebagai objek

penelitan. Menurut Edwar Djamaris (1992), apabila kita ingin meneliti

suatu cerita berdasarkan nasakah menurut cara kerja filologi, pertama-tama

hendaklah didaftarkan semua naskah yang terdapat di berbagai

perpustakaan universitas atau museum yang biasa menyimpan naskah

melalui katalogus naskah yang tersedia. Langkah tersebut dilakukan untuk

mengetahui jumlah naskah, tempat penyimpanan, maupun penjelasan lain

mengenai keadaan naskah yang akan dijadikan objek penelitian.

Dalam melakukan inventarisasi naskah, peneliti tidak menemukan

naskah yang satu versi dalam katalog dengan naskah yang telah ditemukan

oleh peneliti sendiri.

c. Observasi Pendahuluan

Observasi pendahuluan dilakukan dengan cara mengecek data

secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang

diungkapkan oleh katalog. Dalam hal ini, pengecekan dilakukan langsung

ke tempat penyimpanan naskah antara lain, Radyapustaka, Reksapustaka,

Sanabudaya. Setelah pengecekan secara langsung dan ternyata naskah

29

tidak ada yang satu versi dengan yang dimiliki peneliti, maka dikatakan

naskah SDR ini merupakan naskah tunggal.

d. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah ialah uraian ringkasan naskah secara terperinci.

Deskripsi naskah penting untuk mengetahui kondisi naskah dan sejauh

mana isi mengenai naskah yang diteliti. Emuch Hermansumantri (1986: 2)

mengatakan bahwa deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan

informasi atau data mengenai: judul naskah, nomor naskah, tempat

penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal

naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan,

bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau

penyalin, asal-usul naskah, fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks atau

cerita.

Pada deskripsi naskah ini perlu bertemu langsung dengan naskah

yang akan diteliti. Hal tersebut dilakukan untuk mengecek data dan

mendapatkan informasi tentang naskah secara langsung.

e. Transliterasi naskah

Naskah yang telah ditetapkan sebagai naskah landasan, kemudian

dialihaksarakan ke dalam huruf latin. Menurut Edwar Djamaris (2002:19),

yang dimaksud dengan alih aksara atau transliterasi adalah penggantian

atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain.

Dalam proses transliterasi ini peneliti memiliki dua tugas pokok yaitu yang

pertama peneliti filologi menjaga kemurnian bahasa dalam naskah,

30

khususnya penulisan kata. Hal ini bertujuan melindungi data mengenai

bahasa lama dalam naskah agar tidak hilang. Tugas kedua adalah

menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku sekarang

untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap teks.

Penyajian bahan transliterasi harus selengkap-lengkapnya dan

sebaik-baiknya agar mudah dibaca dan dipahami. Di samping itu, juga

disajikan perbedaan-perbedaan kata pada naskah-naskah lain, perbaikan-

perbaikan serta komentar dan penjelasannya sehingga dapat ditetapkan

bagaimana bunyi teks itu seharusnya. Mengingat bahwa, huruf Jawa tidak

mengenal pemenggalan kata dalam penulisan dan ejaan penulisannya

berbeda dengan huruf latin.

f. Kritiks Teks

Kata kritik teks berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya

‘seorang hakim’, krinein berarti ‘menghakimi’, kriterion berarti ‘dasar

penghakiman’. Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti

dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks

bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks

aslinya, menurut Siti Baroroh Baried dkk. (1985: 61). Hal tersebut

dilakukan sebab adanya tradisi penyalinan naskah, sehingga tidak menutup

kemungkinan teks mengalami perubahan. Kritik teks juga tidak lepas dari

adanya pengetahuan dan daya interpretasi penulis.

Secara umum metode kritik teks dibagi menjadi dua macam,

berdasarkan jumlah naskah yang dikaji. Pertama metode naskah tunggal

31

dan kedua metode naskah jamak. Dalam hal ini metode yang digunakan

adalah metode edisi standar yakni metode naskah tunggal. Edisi standar

adalah suatu cara menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-

kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaan disesuaikan dengan

ejaan yang berlaku (Siti Baroroh Barried, et. Al, 1985: 69).

g. Suntingan dan Aparat Kritik

Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya yang

bersih dari kesalahan, berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah

yang dikritisi. Edi S. Ekadjati (1992: 6) menguraikan bahwa apparatus

criticus atau aparat kritik adalah catatan atau keterangan hasil kerja

perbandingan naskah yang biasanya ditempatkan di bawah teks atau di bawah

terjemahan teks. Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam

penelitian naskah, disertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik

teks. Menurut Darusuprapta (1984: 8), aparat kritik adalah uraian tentang

kelainan bacaan, yaitu bagian yang merupakan pertanggungjawaban ilmiah,

berisi segala macam kelainan bacaan dalam semua naskah. Oleh sebab itu,

jika terjadi perubahan, pengurangan, penambahan harus disertai

pertanggungjawaban melalui dasar teori maupun rujukan yang tepat. Semua

itu dicatat dan ditempatkan pada aparat kritik dengan tujuan agar pembaca

dapat mengecek bacaan naskah, dan apabila perlu membuat penafsiran

sendiri.

h. Terjemahan

Terjemahan adalah pengalihan teks bahasa sumber ke dalam teks

bahasa sasaran yang sepadan baik aspek makna/pesan maupun bentuknya.

32

Menurut Darusuprapta (1984: 27), terjemahan adalah pengalihan makna teks

sumber ke teks sasaran yang sepadan dalam hal isi dan bahasanya, makna

tersebut harus lengkap dan terperinci. Hal ini bertujuan untuk memudahkan

dalam memahami isi teks, dari suatu naskah, sehingga masyarakat yang tidak

menguasai bahasa naskah aslinya dapat menikmati dan naskah dapat

disebarluaskan.

Dalam tingkat terjemahan, antarseorang peneliti satu dengan peneliti

lain memiliki potensi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena kemampuan

dari peneliti untuk menemukan arti lebih tepat dari sebuah kata yang belum

diketahui artinya dengan pasti (Edi Sedyawati, 1998: 3). Oleh sebab itu,

peneliti memutuskan menggunakan terjemahan bebas.

i. Ikhtisar Teks

Dalam naskah SDR ini berisi tentang kisah Bratasena dalam

mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta

Pawitrasuci. Dalam perjalanan pencarian air kehidupan ini, Bratasena

tetap kuat dan mampu menghadapi apapun yang menghalanginya. Akan

tetapi pada naskah ini hanya secara singkat gambaran perjalanan Bratasena

berawal pergi ke Gunung Reksamuka, lalu mengalahkan dua raksasa yakni

Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke sumur Sigrangga sampai

,menemukannya air kehidupan, yang secara eksplisit air kehidupan ini

merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri. Selain

itu, di naskah ini lebih menyampaikan pengaplikasian perjalanan batin

manusia, bagaimana melawan nafsu, nafsu apa saja yang ada pada

manusia, hal baik yang perlu dilakukan untuk mendekatkan kepada Hyang

33

Widhi, Sang Kholiq. Kemudian menerangkan tingkatan 7 alam, yakni

alam akhadiyat, wahdad, wakidiyat, arwah, misal, ajesan, insan kamil.

Sedangkan pada naskah Dewaruci umumnya tidak menyebutkan istilah-

istilah tingkatan 7 alam seperti pada naskah SDR ini. Inilah yang

membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci lainnya, sehingga

menarik minat peneliti untuk meneliti naskah ini.

4. Pengertian Suluk

Menurut Darusuprapta (1990: 1), kata suluk berasal dari bahasa Arab

yakni silkun yang artinya perjalanan pengembaraan, kehidupan pertama. Kata

ini kemudian dihubungkan dengan makna hidup manusia, yakni perjalanan

hidup yang harus ditempuh, atau pengembaraan hidup untuk mencari

kebenaran Ilahi atau untuk kembali kepada Tuhan yang dalam bahasa Jawa

sering dinyatakan dengan istilah “sangkan paraning dumadi” asal dan tujuan

hidup (Widayat, 2011: 84).

Poerwadarminta (1939: 371) mengemukakan bahwa, suluk sebagai

sȇrat, tembang yang berisi tentang piwulang/ ajaran dan ajaran gaib. Karya

sastra suluk merupakan karya sastra yang diciptakan dalam rangka fungsi

pendidikan serta pengajaran tentang ajaran gaib atau Tuhan.

Dalam khasanah sastra Jawa ada dua macam istilah suluk, yaitu suluk

pedalangan dan suluk yang berisi ajaran tasawuf. Suluk pedalangan ialah jenis

tembang yang sering dilantunkan seorang dalang dalam sebuah pertunjukan

wayang. Suluk jenis ini berfungsi sebagai pendukung latar suasana pada

bagian cerita tertentu, misalnya sedih akan dilantunkan suluk yang disebut

34

tlutur (Widayat, 2011: 84). Sedangkan jenis sastra suluk yang berisi ajaran

tasawuf tentang ajaran kesempurnaan hidup, hubungannya dengan ajaran

tasawuf Islam atau Islam-kejawen. Dalam ajaran ini umumnya dibicarakan

tentang “sangkan paraning dumadi”, yakni asal dan tujuan hidup manusia. Di

dalamnya sering kali dijumpai idiom-idiom yang berhubungan dengan

falsafah hidup dan masalah kemanusiaan dalam hubungannya dengan

ketuhanan atau bentuk isbat. Seperti halnya dalam naskah Suluk Dewaruci

yang akan diteliti.

Dari tiga pengertian di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa pada

dasarnya sastra suluk yang berisi tasawuf merupakan upaya manusia untuk

mendekatkan diri dengan penciptanya hingga sampai pada tataran paling atas

yaitu manunggaling kawula Gusti. Konsep manunggaling kawula Gusti ini

memberikan ajaran tentang darimana manusia manusia berasal, kepada siapa

manusia akan kembali. Untuk mencapai tataran tersebut, manusia harus

menjalani laku mistik. Laku mistik ini dapat dilakukan melalui meditasi

(dzikir) atau tanggapan batin (pengalaman kejiwaan) dengan mematikan

fungsi pikiran dan pancaindera.

Tujuan utama mistik atau tasawuf adalah pencapaian tingkat yang

paling tinggi yaitu makrifat. Orang yang sanggup mencapai tingkatan makrifat

disebut dengan insan kamil atau manusia sempurna. Seperti halnya dalam

naskah Suluk Dewaruci ini membicarakan bagaimana cara manusia untuk

menuju tingkat yang paling atas yakni tingkatan makrifat. Tingkatan tersebut

merupakan tingkat yang paling sempurna untuk dicapai dengan ilmu batin dan

ilmu lahir. Tingkatan atau tahapan perjalanan menuju manusia sempurna atau

35

kesempurnaan manusia ada 4 (empat), yakni syariat, tarikat, hakikat, makrifat.

Darusuprapta dalam Sri Wahyuni (2006: 28) menguraikan 4 (empat) tahap

sebagai berikut:

1. Syariat adalah tahap yang paling mula, yaitu manusia harus

menghormati, dan hidup sesuai dengan hukum agama,

menjalankan kewajiban dengan sungguh-sungguh, mengetahui

aturan sosial dan menjaga, keselarasannya serta mengakui tatanan

kosmos. Manusia sadar bahwa dengan menghormati orang tua,

guru, dan raja berarti menghormati Tuhan serta mengakui ada-Nya.

2. Tarikat adalah tahap yang lebih maju setapak. Dalam tahap ini

segala tingkah laku pada tahap yang pertama lebih ditingkatkan

dan diperdalam dengan bertobat dan menyesali segala dosa,

menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya,

melakukan puasa yang diwajibkan, mengurangi makan, minum,

dan tidur. Selain sifat-sifat itu, orang telah mencapai tahap tarikat

selalu bersifat sabar dan tenang dalam segala tindakan,

meniggalkan segala hal yang di dalamnya terdapat keraguan dan

tawakal atau berserah diri kepada keputusan serta ketetapan Tuhan.

3. Hakikat adalah tahap yang sempurna. Pencapaian tahap ini

diperoleh dengan cara mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang

sempurna, berdoa terus menerus, menyebut nama Tuhan dan

mencintai-Nya, mengenali dirinya sendiri, tidak mengacuhkan

kesenangan dan kesusahan, karena senang dan susah, kaya dan

miskin, serta sehat dan sakit merupakan wujud Tuhan, yang berarti

36

berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali

kepada-Nya, manusia hanya mengaku memilikinya.

4. Makrifat adalah tahap terakhir atau tertinggi, yaitu manusia telah

menyatukan dirinya sendiri dengan Illahi atau tahap manusia telah

tercapai “kemanunggalan hamba dengan Tuhan”. Dalam tahap ini

jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta. Tindakan manusia

semata-mata menjadi laku.

Naskah SDR ini sebagai salah satu karya suluk dapat dijadikan

petunjuk antara manusia dengan sekitar serta petunjuk untuk menuju manusia

sempurna, manusia dapat dengan Tuhan.

F. Sumber Data dan Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu menghasilkan atau

memberikan data atau menunjuk pada tempat. Sumber data dari penelitian ini

adalah tempat disimpannya naskah SDR yakni di rumah Bapak Joko Setiono,

Jalan Raden Patah, Jambean, Desa Cekok, Kecamatan Babadan (belakang

terminal Seloaji), Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Naskah ini merupakan

naskah pribadi dan tidak terdaftar dalam katalog.

Data adalah yang dihasilkan dari sumber data. Data dalam penelitian ini

dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah

data utama yang digunakan dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini

adalah naskah dan teks SDR berbentuk prosa/ gancaran yang telah ditransliterasi

dalam penelitian ini dan merupakan naskah koleksi pribadi. Kemudian data

sekunder yang digunakan sebagai data penunjang atau pendukung dari

37

pelaksanaan penelitian. Data sekunder yang dipakai sebagai data pendukung ini

diambil dari buku-buku, artikel penelitian dan memiliki keterkaitan dengan isi

teks dalam naskah SDR.

G. Metode dan Teknik

1. Bentuk dan Jenis Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian filologi, yang objek kajiannya

mendasarkan pada manuskrip (naskah tulisan tangan) dan berusaha

menyajikan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Seperti yang

diungkapkan Meloeng (2014:6) dan Bogdandan Guba (dalam Suharsaputra,

2012: 181), bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

memahami fenomena yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya tindakan,

presepsi, motivasi dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah

dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Metode deskripsi adalah

metode yang dilakukan dengan cara menganalisis data yang sudah

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka (Meloeng,

2014: 157).

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan atau

library research yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di

ruang perpustakaan. Dimana peneliti memperoleh data dan informasi tentang

objek penelitian lewat buku-buku atau alat-alat audiovisual lainnya (Atar

Semi, 1990:8).

38

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara mengumpulkan data penelitian.

Langkah pertama dilakukan adalah membaca katalog naskah yang tersimpan

di perpustakaan atau museum serta mendata (menulis nomor naskah, judul

naskah, bentuk/versi naskah) agar lebih mudah. Setelah mengetahui tidak ada

naskah yang satu versi dengan naskah yang dimiliki oleh peneliti, maka

dilanjutkan dengan teknik digital fotografi, yakni teknik memotret naskah

dengan kamera digital tanpa menggunakan blitz.

Teknik berikutnya yaitu dengan teknik pendokumentasian digital, yaitu

memotret naskah dengan menggunakan kamera digital yang kemudian

ditransfer ke dalam computer, untuk selanjutnya dilakukan pengeditan dengan

program Microsoft Office Picture Manager 2010. Hal ini dilakukan untuk

memperoleh gambaran wujud asli naskah untuk pengkajian lebih lanjut, baik

dalam kajian filologis maupun kajian isi.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah suatu upaya pengolahan data, menempatkan data

sesuai dengan cara kerja filologi. Siti Baroroh Barried (1994: 109)

menguraikan, bahwa teknik analisis data ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis

data secara filologis dan analisis isi. Analisis data secara filologis

menggunakan metode penyuntingan naskah tunggal dengan metode edisi

standar. Seperti halnya naskah SDR ini menggunakan metode edisi standar.

Menurut Edwar Djamaris (2002:24), metode standar adalah metode yang biasa

digunakan dalam penyuntingan teks naskah tunggal yang tidak mengandung teks

yang dianggap suci atau penting, sehingga tidak diperlakukan secara khusus atau

39

istimewa. Semua perubahan dicatat dan diletakkan pada tempat yang khusus yaitu

pada aparat kritik agar dapat diperiksa dan dibandingkan dengan segala usaha

perbaikan harus disertai pertanggungjawaban dengan rujukan yang tepat (Siti

Baroroh Baried, dkk, 1994 : 68).

Analisis isi penelitian menggunakan metode deskriptif dan teknik

analisis interpretasi. Surakhmad (1975:155), mengemukakan tentang metode

deskriptif ini adalah “metode yang menjabarkan apa yang menjadi masalah,

menganalisis serta menafsirkan data yang ada”. Teknik interpretasi,

digunakan untuk menginterpretasikan isi naskah yang berkaitan dengan nilai

kesempurnaan hidup. Simpulan akhir merupakan jawaban atas tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini. Penarikan simpulan didasarkan pada

analisis data dengan menyajikan hasil suntingan teks yang bersih dari

kesalahan dan menelaah isi teks tersebut.

40

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian naskah SDR adalah sebagai berikut :

I. Pendahuluan

Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, batasan masalah, landasan teori, data dan sumber data,

metode dan teknik, dan sistematika penulisan.

II. Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang memaparkan analisis dari permasalahan

yang dibahas dalam penelitian, yaitu mengenai kajian filologis dan kajian isi

naskah SDR.

III. Penutup

Penutup berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar

pustaka dan lampiran-lampiran