DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf ·...

15

Transcript of DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf ·...

Page 1: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan
Page 2: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

DAFTAR ISI

i

DAFTAR ISI

EDITORIAL

i

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iii

1 A. A. Ayu Oka Saraswati

UNGKAPAN MAKNA MELALUI PENGALAMAN RUANG PADA PERISTIWA MELASTI Kasus: dari Pura Besakih hingga Pantai Watuklotok

I-1

2 Ahda Mulyati

PENGARUH KEHIDUPAN BUDAYA TERHADAP MAKNA RUANG PERMUKIMAN ETNIS LORE DI SULAWESI TENGAH.

II-1

3 Alvin Hadiwono MENGURAI MAKNA ARSITEKTUR RUMAH PA‟ON.

III-1

4 Anas Hidayat

ANTENGKITIRAN; MELACAK SURASA KAJATEN DALAM OMAH JAWA

IV-1

5 Bambang Supriyadi

MENGANTAR KE PEMAHAMAN ARSITEKTUR NUSANTARA MELALUI PEMAKNAAN BERLAPIS

V-1

6 Bani Noor Muchamad

BUDAYA HUMA DALAM PEMBENTUKAN MAKNA BALAI ADAT SUKU DAYAK BUKIT DI KALIMANTAN SELATAN

VI-1

7 Basauli Umar Lubis

ARSITEKTUR SEBAGAI ISYARAT: HUBUNGAN MAKNA-KEUNIKAN-IDENTITAS PADA BANGUNAN KOLONIAL

VII-1

8 Bharoto Himasari Hanan Eko Purwono

TERGUGATNYA ATAP SEBAGAI ELEMEN REPRESENTASI JATI DIRI: Sebuah Tinjauan Reflektif Perwujudan „Arsitektur Berwawasan Identitas‟ di Semarang

VIII-1

9 Defry Agatha Ardianta

MEMAHAMI MAKNA RUANG JAWA MELALUI PEMIKIRAN UNVOLUMETRIC ARCHITECTURE

IX-1

Page 3: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

DAFTAR ISI

ii

10 Desak Putu

Damayanti, ST. Ir. Iwan Suprijanto, MT.Ars, MM.

EKPLORASI MAKNA RAGAM RUMAH TRADISIONAL ALOR DI KAMPUNG TAKPALA

X-1

11 Dini Eka Anugerah Susilo Kusdiwanggo

MEMBACA POLA RUANG STUPA SUMBERAWAN TERHADAP LINGKUNGAN SEKITARNYA.

XI-1

12 Y. Djarot Purbadi

MAKNA KATEGORI GENDER PADA TATA SPASIAL UMESUKU DI DESA KAENBAUN DI PULAU TIMOR

XII-2

13 A. Farid Nazaruddin ST

ARSITEKTUR KITA BERADA DALAM RANAH POLITIK MAKNA YANG MENYESATKAN

XIII-1

14 Galih Widjil Pangarsa

POLITIK MAKNA, POLITIK KEBUDAYAAN Sebuah Catatan Pinggir atas Perkembangan Arsitektur di Indonesia

XIV-1

15 Gator Timbang Iwan Setiawan Basri Rusli

PEMAKNAAN TERHADAP SIMBOL SEBAGAI BAGIAN YANG UTUH DARI TOTALITAS ARSITEKTUR TRADISIONAL TAMBI DAN BARUGA

XV-1

16 I Nyoman Gde Suardana

MAKNA DALAM ARSITEKTUR PURA KEHEN, BANGLI: SEBUAH INTERPRETASI

XVI-1

17 Ir. Ch. Koesmartadi, MT. IAI .

MAKNA SISTEM STRUKTUR DAN KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL SEBAGAI KEKAYAAN ILMU ARSITEKTUR NUSANTARA

XVII-1

18 Johannes Adiyanto Josef Prijotomo Galih Widjil Pangarsa

MENDENGAR ARSITEKTUR (Memaknai Arsitektur Jawa melalui „Bunyi‟)

XVIII-1

19 Laksmi Kusuma Wardani

FUNGSI, MAKNA DAN SIMBOL (Sebuah Kajian Teoritik)

XIX-1

Page 4: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

DAFTAR ISI

iii

20 Ir. Lucia Helly P, MT. Ir. Sri Handjajanti, MT

MAKNA RUANG DENGAN KONSEP “PERAHU” PADA ARSITEKTUR NUSANTARA DI WILAYAH KEPULAUAN NUSA TENGGARA DAN MALUKU

XX-1

21 Luluk Maslucha PEMAKNAAN RUANG AKTIVITAS MASYARAKAT SEBAGAI PEMBENTUK IDENTITAS RUANG PERMUKIMAN PADA KAMPUNG KAUMAN YOGYAKARTA

XXI-1

22 Mohammad Nanda Widyarta

ON MEANING AND INDONESIAN MANNER OF PERCEIVING THE SUBJECT A Short, Sketchy Note with a Little Javanese Case

XXII-1

23 Mohamad Muqoffa

MAKNA RUMAH JAWA: KEAJEGAN DAN ALIH RUPA ARSITEKTUR KASUS: KAMPUNG LAWEYAN SURAKARTA

XXIII-1

24 Marcus Gartiwa Ir.,MT.

MORFOLOGI BANGUNAN SEBAGAI REPRESENTASI EVOLUSI IDIOLOGI DESAIN

XXIV-1

25 Mimi Arifin Happy Ratna Santosa Purwanita Setijanti

CITRA RUANG RUMAH TRADISIONAL KOMUNITAS AMMATOA KAJANG, SULAWESI SELATAN

XXV-1

26 Murni Rachmawati

„PANAS‟ DAN MAKNA YANG DIHASILKAN (SEBUAH KAJIAN DARI BERBAGAI PERSPEKTIF)

XXVI-1

27 Nafi‟ah Solikhah INTERPRETASI KONSEP “SANGKAN PARANING DUMADI, DUMADINING SANGKAN PARAN” PADA POROS IMAJINER KERATON KASUNANAN SURAKARTA

XXVII-1

28 Naimatul Aufa Prima Widia Wastuty

MAKNA NILAI BUDAYA PADA SIMBOL-SIMBOL DI MASJID TRADISIONAL KALIMANTAN SELATAN (Meanings of Culture Value in Symbols Applied in Traditional Mosques in South Kalimantan)

XXVIII-1

Page 5: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

DAFTAR ISI

iv

29 Priyo Pratikno

MENCARI MAKNA BARU DARI RUMAH JAWA

XXIX-1

30 Pudji Pratitis Wismantara

MEMBACA MAKNA PERMUKIMAN TANEYAN LANJHANG SUMENEP

XXX-1

31 Rini Nugrahaeni, ST. Ir. Iwan Suprijanto, MT.Ars, MM.

INTERPRETASI MAKNA BANGUNAN TRADISIONAL SONAF DI KAMPUNG MASLETE (Bangunan Tradisional Atoni, Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi NTT)

XXXI-1

32 Sigit Wijaksono

MAKNA RUMAH TUSUK SATE DAN INTERPRETASI MASYARAKAT PENGHUNINYA

XXXII-1

33 Siprianus W. Goetha DUALISME DAN KONSEP HARMONI DALAM ARSITEKTUR NUSANTARA YANG MARITIM Kasus Studi: Rumah Perahu (Amu Kowa) dalam Arsitektur Vernakular Sabu

XXXIII-1

34

Titik Efianti PEMAKNAAN PENDOPO ATAP JOGLO DALAM ARSITEKTUR MODERN Studi Kasus : Pendopo Atap Joglo di Bandara Soekarno-Hatta

XXXIV-1

35 Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch

DISKURSUS DAN KEBHINEKAAN MAKNA ATAS ARSITEKTUR NUSANTARA

XXXV-1

36 Yulia Eka Putrie

MERENUNGKAN KEMBALI MAKNA MONUMENTALITAS DALAM ARSITEKTUR MASJID

XXXVI-1

37 Yusfan Ad. Yusran

LAIKA: RISALAH MAKNA ARSITEKTUR TOLAKI

XXXVII-1

38 Naniek Widayati Priyomarsono

RUANG JINEM PADA ISTANA KEPANGERANAN GEBANG DI CIGUGUR, KUNINGAN, JAWA BARAT (Sebuah Kajian Filosofis dan Arsitektur)

XXXVIII-1

39 Made Wahyu Bayu Surya, ST Ir. Iwan Suprijanto, MT.Ars, MM Drs. Muhajirin, MT

MAKNA RUANG & SIMBOLISASI RAGAM HIAS PADA BANGUNAN TRADISIONAL NGADHA DI KAMPUNG BENA

XXXIX-1

Page 6: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

DAFTAR ISI

v

Page 7: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-1

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

BUDAYA HUMA DALAM PEMBENTUKAN MAKNA BALAI ADAT

SUKU DAYAK BUKIT DI KALIMANTAN SELATAN

Bani Noor Muchamad

Universitas Lambung Mangkurat Nindyo Soewarno

Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan hanya dikenal sebagai masyarakat peladang berpindah (gilir-balik) namun demikian sesungguhnya aktivitas berladang (bahuma) tersebut merupakan pekerjaan utama dan suci bagi mereka. Padi, sebagai “tanaman langit”, wajib dipelihara kehidupannya dan disucikan sebagaimana asalnya. Keyakinan ini dalam struktur inti-nilai-budaya Suku Dayak Bukit merupakan landasan kepercayaan dan berbagai aktivitas ritual yang mengikutinya. Bentuk kepercayaan dan berbagai upacara adat yang mengikutinya inilah yang dikenal sebagai religi huma Suku Dayak Bukit. Selain itu, balai adat, sebagai hunian tradisional Suku Dayak Bukit ternyata juga tidak lepas dari pengaruh budaya berladang (bahuma) ini. Dengan kata lain makna arsitektural balai adat tentunya terbentuk dari pengaruh budaya huma. Untuk itulah penelitian ini bertujuan menjelaskan makna yang terangkum dalam wujud fisik vernakularitas balai adat dikaitkan dengan budaya huma. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif-naturalistik dengan metode wawancara mendalam dan observasi lapangan untuk pengumpulan datanya. Sedangkan metode analisis menggunakan analisis deskriptif-interpretiv. Kata kunci: makna, budaya huma, religi huma, Suku Dayak Bukit, arsitektur vernakular.

Pendahuluan

Sejak terbitnya Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World (EVAW) pada tahun 1997, studi-studi tentang arsitektur vernakular mulai mendapat perhatian dan dapat diterima sebagai bagian dari kajian/disiplin ilmu arsitektur (Rapoport, 2006:179). Walaupun dalam eksiklopedia tersebut diulas banyak ragam jenis arsitektur vernakular dari seluruh belahan dunia, namun faktanya lebih banyak lagi arsitektur vernakular yang belum dikaji dan dipublikasikan.

Selain alasan di atas, pentingnya kajian vernakular setidaknya dapat dilihat dari dua alasan. Pertama, diperkirakan saat ini hanya 2% bangunan di seluruh dunia yang ditangani oleh tenaga arsitek profesional, sedangkan 98% bangunan lainnya (umumnya hunian) dibangun dengan tanpa bantuan tenaga arsitek profesional atau dikenal sebagai bangunan vernakular (Rapoport, 2006:179). Kondisi ini menunjukkan besarnya potensi yang dapat digali dari bangunan-bangunan vernakular yang tersebar di seluruh nusantara sebagai sumber pengetahuan. Kedua, masih minimnya konsep atau teori yang dimiliki oleh disiplin ilmu arsitektur menyebabkan para arsitek meminjam atau menggunakan berbagai konsep dan teori yang bersumber dari luar bidang ilmu arsitektur dalam kegiatan desain mereka (Rapoport, 2006:180; Lang, 1987). Fakta ini tidaklah sepenuhnya salah, namun jika dibandingkan dengan cabang ilmu lainnya maka sudah seharusnya disiplin ilmu arsitektur memiliki konsep dan teori yang kuat untuk membangun keilmuannya sendiri. Dengan kekayaan informasi yang ada pada arsitektur vernakular maka sangat terbuka lebar untuk membangun teori/konsep arsitektur yang bersumber dari arsitektur vernakular khususnya arsitektur vernakular yang ada di nusantara.

Page 8: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-2

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

Salah satu karya arsitektur vernakular yang ada di Indonesia dan masih sangat jarang dikaji adalah balai adat yang dibangun Suku Dayak Bukit. Suku Dayak Bukit adalah kelompok masyarakat tradisional yang hidup di kawasan Pegunungan Meratus di Provinsi Kalimantan Selatan. Suku Dayak Bukit hidup secara berkelompok berdasar ikatan kekerabatan (bubuhan) yang terdiri atas beberapa keluarga inti/keluarga batih yang disebut umbun dan tinggal dalam sebuah sebuah balai adat. Balai adat memiliki keunikan karena dibangun oleh masyarakat yang berkebudayaan dan menganut religi huma atau berladang (Radam, 2001) serta merupakan sebuah karya arsitektur tradisional yang sangat bergantung pada lingkungan alam setempat.

Dalam mengkaji arsitektur vernakular balai adat Suku Dayak Bukit sesungguhnya dapat menggunakan pendekatan yang sudah ada, yaitu dengan berbagai konsep-konsep yang telah dikemukakan para ahli, seperti; modifying factor (Rapoport, 1969), sociocultural factors (Morgan, 1965), symbolic conceptions (Griaule and Dieterlen, 1963), multiple factor thesis (Schefold, 1997), cosmos-symbolism (Eliade, 1959), social organisation (Durckheim, 1925; Rassers, 1982; Cunningham, 1964), dan gender-symbolism (Bourdieu, 1972), dll. Namun demikian, dalam penelitian kualitatif-naturalistik ini konsep-konsep yang telah ada tersebut diperlukan hanya sebagai pengetahuan latar (background knowledge), sedangkan substansi dan hasil temuan penelitian tetap bersumber dari data lapangan (grounded). Adapun tujuan penelitian ini adalah mencoba menjelaskan makna yang terangkum dalam konsep vernakularitas balai adat dikaitkan dengan budaya huma (berladang) Suku Dayak Bukit.

Metode

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif-naturalistik yaitu percaya bahwa esensi makna arsitektur balai adat ada pada realitas yang alamiah dalam kerangka kebudayaan huma. Untuk itu metode wawancara (interview) digunakan untuk menggali data-data non-fisik dan metode observasi lapangan (field study) untuk menggali data-data fisik, sedangkan analisis datanya menggunakan analisis deskriptif-interpretiv. Berbagai data fisik (empiris) pada balai adat ditelusuri keterkaitannya dengan budaya/religi huma yang dianut dan dijalankan oleh Suku Dayak Bukit sehari-hari. Dari hasil analisis dan interpretasi data serta hubungannya maka akan terungkap dan tergambar makna yang esensi dibalik wujud fisik vernakularitas balai adat Suku Dayak Bukit yang ada di Kalimantan Selatan.

Penelitian ini mengambil kasus balai adat yang terdapat di Desa Malinau, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Provinsi Kalimantan Selatan. Adapun balai adat yang diteliti adalah Balai adat Padang, Balai adat Bidukun, dan Balai adat Jalai.

Gambar 1. Kawasan permukiman balai adat di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.

Page 9: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-3

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

Kondisi Lingkungan Alam Dan Deskripsi Budaya Huma Suku Dayak Bukit

Secara geografis Provinsi Kalimantan Selatan terletak antara 1140 20’ 49,2” – 116

0 32’

43,4’’ Bujur Timur dan 10 21’ 47,88’’ – 4

0 56’ 31,56’’ Lintang Selatan. Adapun batas-batas

wilayahnya adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.

Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah.

Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makasar Secara umum Kalimantan Selatan beriklim tropis dengan temperatur udara maksimum 35,2

0C

dan minimun 19,50C, kelembaban udara rata-rata antara 74-91%, panjang penyinaran Matahari

rata-rata 36-91%. Pada bulan Januari-Februari bertiup angin Barat sedangkan Juli-September bertiup angin tenggara. Seluruh luas daratan Kalimantan Selatan dapat dibagi atas 2 yaitu dataran rendah dan dataran tinggi (pegunungan). Dari seluruh dataran tinggi yang ada terdapat daerah curam (kemiringan 25 - 40%) yang meliputi areal seluas ± 881,53 Km

2 atau 2,35 %

serta daerah yang sangat curam (kemiringan > 40 %) yang meliputi areal seluas ± 3.607,50 Km

2 atau 9,61% yang merupakan punggung-punggung Pegunungan Meratus. (Sumber:

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 15 Tahun 2006, Tanggal 24 November 2006).

Di kawasan Pegunungan Meratus inilah tinggal suku Dayak Bukit yang tersebar dalam kelompok-kelompok yang disebut bubuhan. Suku Dayak Bukit tersebar di 8 kecamatan dan 6 kabupaten, yaitu; Kecamatan Awayan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kecamatan Batang Alai Selatan dan Kecamatan Batu Benawa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kecamatan Padang Batung di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kecamatan Tapin Utara di Kabupaten Tapin, Kecamatan Belimbang di Kabupaten Banjar, Kecamatan Sampanahan dan Kecamatan Kelumpang di Kabupaten Kota Baru. Kondisi lingkungan alam pegunungan yang berbukit curam dan lembah serta hutan-hutan alam yang sangat lebat adalah lingkungan hidup (habitat) Suku Dayak Bukit.

Menurut Radam (2001:343), religi orang Bukit pada masa kini sebenarnya adalah religi huma (berladang). Hal ini didasarkan kenyataan bahwa sebagian besar tindakan religius dan simbolis berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang adikodrati dan menggenggam nasib berada dalam semua aktivitas berladang (bahuma). Dalam kehidupan Suku Dayak Bukit, kegiatan berupacara sangat menonjol menyertai keyakinan mereka. Upacara yang rutin dilaksanakan Suku Dayak Bukit umumnya dimaksudkan untuk memelihara keyakinan yang ada, sehingga antara keyakinan dan upacara merupakan dua unsur esensial dan saling melengkapi; keyakinan menggelorakan upacara dan upacara membenarkan keyakinan.

Berbagai upacara yang diselenggarakan dalam konteks budaya/religi huma Suku Dayak Bukit ini seluruhnya terkait dengan kegiatan berladang. Kegiatan berladang sendiri terdiri dari 7 tahapan yaitu; (1)tahap mencari lahan garapan, (2) tahap membuka lahan, (3) tahap membersihkan lahan, (4) tahap menanan bibit, (5) tahap memelihara, (6) tahap memanen, hingga upacara dalam rangka (7) menyucikan hasil panen agar siap dikonsumsi. Selain ritual berkaitan kegiatan berladang terdapat juga upacara adat lainnya yang tidak berkaitan langsung.

Budaya Huma Dalam Arsitektur Balai Adat.

Pengaruh langsung budaya (dan religi) huma dalam pembentukan vernakularitas arsitektur balai adat dapat dilihat pada 3 aspek fisik, yaitu; (1) aspek lokasi, (2) aspek material, dan (3) aspek peruangan. Berikut pembahasan masing-masing aspek berdasar hasil analisis. 1. Lokasi

Balai adat sebagai wujud fisik kebudayaan Suku Dayak Bukit berfungsi sebagai hunian sekaligus pusat komunitas beberapa keluarga (umbun) yang masih berada dalam satu garis keturunan (bubuhan). Umbun adalah sebutan lain untuk keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak sedangkan yang dimaksud dengan pusat komunitas

Page 10: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-4

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

umbun adalah keluarga luas dan biasa disebut dengan bubuhan yang merupakan kumpulan dari umbun-umbun yang ada. Setiap bubuhan tinggal dalam kampung-kampung yang letaknya saling berjauhan dan dipisahkan oleh batas-batas alam (gunung, hutan, sungai, dll). Kampung dalam pemahaman Suku Dayak Bukit terdiri atas 2 pengertian, yaitu banua dan kampung hijau. Banua adalah kampung tempat tinggal manusia, tempat berpenghidupan dan memanfaatkan secara langsung segala sumber yang ada di tempat tersebut. Sedangkan kampung hijau adalah gunung dan hutan di sekitarnya yang diyakini menjadi tempat tinggal sejumlah makhluk halus, roh Datu Nini yang belum sampai ke Balai Maratusi (balai yang ada di kayangan dan menjadi tujuan akhir para roh), dan roh yang memelihara daerah tersebut. Setiap kampung biasanya dihuni beberapa bubuhan, dimana setiap bubuhan menempati anak-anak kampung yang berada dalam kampung utama (banua). Dalam satu kampung bisa terdapat 3 hingga 14 bubuhan yang menetap dalam balai adat masing-masing, dan biasanya bubuhan yang terdapat dalam satu kampung terbentuk akibat pecahan dari bubuhan yang ada, khususnya akibat perkawinan.

Dalam memahami lingkungan hidup di sekitar kehidupan Suku Dayak Bukit adalah adanya struktur keyakinan yang secara tidak langsung menjelaskan hubungan yang sangat kuat antara lingkungan alam Suku Dayak Bukit dengan kepercayaan terhadap ilah-ilah. Kepercayaan ini tergambar melalui 3 cerita suci (mite) yang sangat dipercaya kebenarannya, yaitu; cerita tentang asal muasal kejadian alam semesta, cerita tentang manusia pertama dan keturunannya, serta cerita tentang asal muasal padi. Ketiga cerita ini jika dilihat secara lebih dalam akan menjelaskan bagaimana pengaruh lingkungan alam, khususnya terkait kegiatan berladang (bahuma), dalam kehidupan Suku Dayak Bukit.

Terkait dengan aspek lokasi pembangunan balai adat maka setiap balai adat akan dibangun dalam kampung utama (banua). Walaupun sebagai masyarakat peladang berpindah namun ladang pertanian masing-masing bubuhan tidak pernah keluar dari kampung mereka. Perpindahan ladang terjadi jika kesuburan tanah di satu lokasi sudah tidak memberi hasil pertanian yang baik. Biasanya setelah ditanami 1-2 kali masa tanam maka lahan harus dikembalikan lagi kesuburannya dan masa tanam berikutnya berpindah ke lokasi yang baru (masih dalam kampung yang sama). Begitu terus perpindahan lahan berlangsung dan siklus perpindahan ladang pertanian hingga kembali ke lokasi semula bisa mencapai 30-40 tahun. Dalam rangka mendekati lokasi ladang yang sudah semakin jauh dan mengumpulkan warga bubuhan yang terpencar maka balai adat juga turut dipindah mengikuti lokasi ladang pertanian.

Selain alasan mendekati lokasi ladang pertanian, kepindahan balai adat juga bisa disebabkan adanya “masalah” yang menimpa balai adat; seperti bencana alam, penyakit, ataupun alasan lainnya. Jika masalah ini terjadi maka balai adat segera dipindah ke lokasi yang baru dengan syarat-syarat lokasi yang ketat. Beberapa ketentuan lokasi bagi pembangunan balai adat adalah kesuburan lahan, menghindari lahan berawa, menghindari kelerengan yang curam, memperhatikan posisi gunung, mendekati sungai (yang terdapat mata airnya), mempertimbangkan arah matahari terbit, dan keberadaan hutan produktif. Selanjutnya dalam setiap pembangunan balai adat di lokasi yang baru maka biasanya diikuti pula dengan upacara manyangga banua untuk mengembalikan vitalitas di lokasi yang baru (Anhar, 1995). Disinilah makna lokasi sangat berarti bagi Suku Dayak Bukit, yaitu bagaimana menghadirkan kembali perlindungan dari ilah-ilah yang ada di lingkungan hidup (hutan, gunung, sungai, dll) sekitar lokasi balai adat yang baru.

Gambar 2. Balai adat Suku Dayak Bukit

(sumber: survey lapangan, 2007)

Page 11: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-5

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

2. Material

Selain aspek lokasi, pengaruh budaya/religi huma pada pemaknaan balai adat juga terlihat pada aspek material yang digunakan. Material utama balai adat adalah kayu untuk rangka bangunan, bambu untuk dinding dan lantai, dan daun rumbia atau ilalang untuk penutup atap. Seluruh bahan bangunan merupakan bahan-bahan yang “disediakan” oleh lingkungan alam Pegunungan Meratus. Dari aspek konstruksi bahan-bahan tersebut sangat mudah dikerjakan baik dari teknologi/pengetahuan maupun peralatan yang digunakan. Dari bahan bambu ini pula masyarakat Suku Dayak Bukit menciptakan sekitar 6-8 variasi anyaman bambu untuk dinding. Selain itu sifat bahan-bahan yang ringan dan alamiah tersebut sangat cocok untuk pembangunan di lokasi yang relatif jauh di pedalaman dengan kondisi lingkungan alam pegunungan.

Gambar 3. Material lokal pada balai adat Suku Dayak Bukit

(sumber: survey lapangan, 2007) Khusus bahan bambu yang digunakan merupakan material yang sangat banyak

terdapat di lingkungan perladangan Suku Dayak Bukit. Bambu merupakan salah satu tanaman yang wajib ditanam di atas lahan pertanian yang baru dibuka ataupun ditinggalkan untuk dikembalikan kesuburannya. Penanaman bambu sekaligus menandakan bahwa lahan tersebut telah digunakan.

Selain untuk bahan dinding, bambu juga digunakan untuk bahan lantai. Khusus pada lantai ruang pamatang (ruang upacara) yang berada di bagian paling tengah dari balai adat lantai bambu ini memiliki makna yang sangat penting bagi ritual upacara. Bunyi hentakan kaki yang beradu dengan bambu menciptakan bunyi-bunyian yang sangat khas dan irama yang mengiringi upacara adat. Bunyi-bunyian ini turut menambah kesakralan upacara adat.

Gambar 4. Kegiatan upacara adat dan tari-tarian di ruang pamatang

(sumber: survey lapangan, 2007)

Page 12: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-6

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

Pada beberapa bagian, bambu juga digunakan untuk bahan penutup atap. Konstruksi bambu untuk penutup atap dibuat dengan teknologi yang sangat sederhana yaitu bambu dibelah dua dan disusun dengan saling bersilangan (gambar 3).

3. Peruangan

Pengaruh budaya/religi huma pada pemaknaan balai adat juga terlihat pada aspek peruangan; fungsi ruang dan penamaan ruang. Religi huma dan berbagai kegiatan upacara yang menyertainya telah membentuk pola dan organisasi ruang balai adat. Balai adat terdiri atas 3 ruang; ruang bilik atau ujug, ruang bersama atau laras, dan ruang upacara atau pamatang.

Gambar 5. Denah dan potongan balai adat

(sumber: Muchamad, 2007)

Ruang pamatang. Ruang yang berada di tengah-tengah balai adat ini memiliki fungsi

utama sebagai tempat atau pusat dilaksanakannya upacara-upacara adat (khususnya upacara bawanang atau aruh ganal), serta tempat musyawarah dan pengambilan keputusan adat bagi kepentingan komunitas bubuhan. Tepat di tengah ruang pamatang didirikan sebuah lalaya (altar persembahan) yang terbuat dari batang pohon pulantan dan buluh kuning yang dirancang sedemikian rupa membentuk panggung dan beberapa susunan bambu yang dihias hasil panen. Lalaya diberi hiasan janur kelapa muda, bunga dan ayam hutan berwarna merah darah. Lalaya ini berfungsi sebagai altar tempat bermacam sajen dan persembahan berupa hasil panen dan sejumlah penganan khusus upacara bawanang seperti lamang (penganan dari beras ketan dimasak dalam ruas bambu), lambuk (penganan dari buah pisang dan tepung beras direbus dalam ruas bambu), buah-buahan serta hewan piaraan. Bila diperhatikan lebih seksama, bentuk beberapa bagian lalaya ini mirip lanting (rakit bambu).

Gambar 6. Peralatan upacara adat (lalaya dan langgatan)

(sumber: survey lapangan, 2007)

Page 13: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-7

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

Menurut penuturan, pematang berasal dari kata matang atau masak. Pengertian kata ini menunjukkan arti/fungsi ruang sebagai wadah pengambilan keputusan akhir yang mengikat keseluruhan bubuhan. Keputusan akhir yang diambil pada ruang pamatang ini juga bermakna aturan religi bagi penganutnya. Ruang pematang merupakan pusat bagi hubungan antara alam manusia dan alam atas/ilah yang suci. Karena itulah ruang pematang ini menjadi tempat dilaksanakannya berbagai upacara (aruh) yang berkaitan dengan kegiatan berladang.

Ruang laras. Ruang ini merupakan tempat yang serupa dengan teras dan terdapat pada bagian dalam balai adat yang mengelilingi ruang pamatang. Fungsi utama dari ruang laras adalah sebagai tempat duduk, tempat sosialisasi dan interaksi, tempat bermain anak-anak, tempat menerima tamu dan juga sebagai tempat para jejaka dalam bubuhan tersebut tidur di malam hari. Ruang laras berupa ruang terbuka tanpa dinding pembatas dan mengelilingi ruang pamatang. Lantai ruang laras lebih tinggi daripada lantai pamatang.

Menurut penuturan warga setempat laras, berasal dari kata selaras atau harmoni. Pengertian ini menunjukkan bahwa ruang ini berfungsi sebagai tempat berkumpul segenap warga bubuhan dalam rangka menyamakan pendapat atau persepsi dari masing-masing individu maupun keluarga terkait suatu masalah. Ruang laras merupakan “ruang antara” bagi aktivitas ritual dengan aktivitas manusia sehari-hari. Ruang ini juga menjadi area persiapan sebelum pelaksanaan upacara. Sedang pada hari-hari biasa menjadi tempat tidur bagi kaum laki-laki dewasa yang belum berkeluarga. Pada saat upacara adat berlangsung ruang laras ini berfungsi sebagai tempat duduk bagi segenap tamu undangan.

Gambar 7. Ruang laras

(sumber: survey lapangan, 2007)

Ruang Ujug. Ruang ujug ini berbentuk bilik-bilik (berjejer mengelilingi laras) yang

dimiliki oleh setiap umbun. Ruang ujug mempunyai beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai tempat tidur keluarga, anak-anak serta remaja putri yang belum menikah dan ruang untuk memasak/dapur. Ruang ini mewadahi kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat individu. Di belakang (terpisah dari balai adat) ruang ujug terdapat ruang salayan yang status keberadaannya sebagai ruang tambahan. Ruang salayan berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panenan, tempat memasak, tempat menyimpan bahan makanan serta fungsi-fungsi pelayanan lainnya.

Kata ujug kemungkinan besar berasal dari kata ajuk atau ijuk, yang berdasarkan bahasa daerah setempat (bahasa masyarakat Suku Bukit) berarti hubungan suami istri. Hal ini memberikan makna bahwa ruang ujuk merupakan ruang pribadi (individual) dari masing-masing keluarga (umbun). Ruang ujuk merupakan cerminan wadah kehidupan manusia sebagai suatu individu atau umbun (keluarga) yang selalu terikat secara komunitas, adat dan tradisi yang mereka kembangkan.

Gambar 8. Ruang ujuk

(sumber: survey lapangan, 2007)

Page 14: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-8

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

Saat ini keberadaan ujug masih bisa ditemukan dalam balai adat namun sudah tidak dipergunakan lagi. Beberapa warga membangun rumah tinggal pribadi yang terpisah dari balai adat dan membentuk perkampungan (compound) namun status kepemilikan tetaplah ada.

Kesimpulan Secara fisik, arsitektur (ruang dan bentuk) balai adat dibentuk oleh budaya dan religi

huma (berladang) Suku Dayak Bukit. Terdapat 3 aspek fisik vernakularitas balai adat yang secara langsung dipengaruhi oleh budaya/religi huma, yaitu lokasi, material, dan peruangan.

Dari aspek lokasi, balai adat memiliki makna sebagai hunian yang dibangun mengikuti budaya berladang berpindah. Penentuan lokasi mengikuti ketentuan syarat lahan untuk perladangan; kesuburan lahan, menghindari lahan berawa, menghindari kelerengan yang curam, memperhatikan posisi gunung, mendekati sungai (yang terdapat mata airnya), mempertimbangkan arah matahari terbit, dan keberadaan hutan produktif. Selain itu pada setiap lokasi selalu dihadirkan kembali vitalitas atau perlindungan dari ilah-ilah yang ada di lingkungan (hutan, gunung, sungai, dll) sekitar lokasi balai adat yang baru.

Dari aspek fisik material yang digunakan untuk membangun balai adat maka seluruh bahan bangunan merupakan bahan-bahan yang “disediakan” oleh lingkungan alam Pegunungan Meratus. Bahan/material tersebut sangat mudah dikerjakan baik dari teknologi/ pengetahuan maupun peralatan yang digunakan. Bahan/material bangunan memliki sifat yang sangat ringan dan alamiah sehingga sangat cocok untuk pembangunan di lokasi yang relatif jauh di pedalaman dengan kondisi lingkungan alam pegunungan serta pola berpindah-pindah.

Dari aspek fisik peruangan maka religi huma dengan berbagai kegiatan upacara yang menyertainya telah membentuk pola dan organisasi ruang balai adat yaitu terdiri atas 3 ruang; ruang bilik atau ujug, ruang bersama atau laras, dan ruang upacara atau pamatang.

Saat ini terjadi perubahan pola bermukim dari yang semula setiap keluarga tinggal di bilik masing-masing sekarang mereka sudah membangun rumah-rumah pribadi yang terpisah dari balai adat. Rumah-rumah tersebut dibangun di sekitar balai adat dan membentuk perkampungan (compound). Walaupun demikian, pada setiap kegiatan upacara adat selalu dilaksanakan di balai adat. Selain itu beberapa material rumah, baik lantai, dinding, maupun atap saat ini juga sudah mulai berubah menggunakan bahan-bahan fabrikasi.

Sebagai penutup, dibandingkan dengan konsep arsitektur vernakular yang dikemukakan oleh Amos Rapoport (1969:78) yang menyatakan bahwa terjadinya bentuk-bentuk atau model vernakular disebabkan oleh enam faktor yang dikenal sebagai modifying factor, (mencakup; faktor bahan, metode konstruksi, faktor teknologi, faktor iklim, faktor pemilihan lahan, dan faktor sosial-budaya) maka pada balai adat ke-6 faktor tersebut sudah terangkum dalam 3 aspek yang dibahas di atas (lokasi, material, dan peruangan). Namun demikian peneliti menyarankan adanya penelitian lanjut terkait makna non-fisik.

Daftar Pustaka

Anhar, Pakhri. 1995. Konsep Ruang Balai Masyarakat Bukit di Kalimantan Selatan. Suatu Kajian dengan Pendekatan Struktural. Tesis Magister ITB : Tidak dipublikasikan

Bourdieu, Pierre. 1972. La Maison Kabyle ou le Monde Renversé, Esquisse d' une Théorie de la Pratique. Droz, Genève/ Paris

Cunningham, Clark E. 1964. Order in the Atoni House. Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde, vol 120.

Durckheim 1925 Les formes elementaires de la vie religieuse. Felix Alcan Paris

Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and the Profane. Harcourt, Brace & World, New York.

Griaule, Martin and Germaine Dieterlen 1954 (1963) The Dogon of the French Sudan(Mali) In:C. Daryll Forde:African Worlds, Studies in the Cosmological Ideas and Social Values of African peoples. Oxford Univ. Press, London.

Lang, Jon. 1987. Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. New York: Van Norstand Reinhold Company.

Page 15: DAFTAR ISI - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/401/1/3_JELAJAH-ITS.pdf.no security.pdf · “sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran” pada poros imajiner keraton kasunanan

VI-9

SEMINAR JELAJAH ARSITEKTUR NUSANTARA 101010

Morgan, L. H. 1881 (1965) Houses and House-life of American Aborigines. Univ. of Chicago Press, Chicago.

Muchamad, Bani N, Naimatul Aufa, Dila Nadya Andini. 2007. Anatomi Rumah Adat Balai. Banjarmasin: Pustaka Banua

Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.

Rapoport, Amos 1969. House Form and Culture. Prentice Hall, Englewood Cliffs NJ.

Rapoport, Amos. 2006. Vernacular Design as a Model System. In Asquith, Lindsay and Marcel Vellinga (eds). Vernacular Architecture in the Twenty-First Century. Theory, Education and Practice. London and New York: Taylor & Francis.

Rassers, W. H. 1940 (1982). Panjii, the Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java. The Hague, Martinus Nijhoff.

Schefold, Reimar 1997 'Anthropology'. In: P. Oliver (ed.) Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World, vol 1:6-8. Cambridge Univ. Press, Cambridge.