BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia
khususnya berada pada masa krisis, dimana mereka telah dihadapkan dengan
suatu tatanan masyarakat baru dengan formasi kapitalis yang sering disebut
dengan ‘globalisasi’1.
Fenomena globalisasi memang tidak bisa dihindari lagi, karena
kolonialime berwajah baru tersebut tengah bersetubuh dengan berbagai
sendi kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, politik, budaya, tatanan
sosial bahkan dalam aspek pendidikan. Dinamika masyarakat dari
masyarakat industri menjadi masyarakat yang didominasi oleh informasi dan
teknologi serta ilmu pengetahuan ini telah berlangsung dan proses
transformasinya selalu meningkat, yang belum pernah ditemui dalam sejarah
lintasan manusia di era sebelumnya. Dinamika tersebut menciptakan
pergeseran paradigma (shifting paradigm) dan perubahan tingkah laku
manusia yang mecerminkan telah hilangnya nilai-nilai kemanusiaan
(humanisme) dan nilai-nilai agama2
Dalam sambutan Holger Borner (Direktur Freidrik Ebert Stiftung,
Jerman) pada konferensi internasional tentang antisipasi kaum sosial
1 Globalisasi terjadi sejak diberlakukannya suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan “free trade”, yakni berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan pada bulan April 1994 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian perdagangan internasional yang dikenal dengan GATT. GATT sesungguhnya merupakan kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah dan juga forum negosiasi perdagangan antar pemerintah. Kesepakatan ini dibangun atas dasar sistem perdagangan terbuka dan bebas lebih efisien. Kemudian muncul yang namanya WTO dan berbagai kesepakatan yang sifatnya regional seperti NAFTA dan SIJORI yang bersifat kawasan. Untuk lebih jelasnya lihat, Mansour Faqih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar& INSIST PRESS, 2002).
2 Imam Machali (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 135.
2
demokrat terhadap masalah globalisasi telah memperlebar jurang
ketidakadilan masyarakat kita. Tindakan-tindakan politik harus difokuskan
bagi penguatan dasar – dasar kohesi sosial. Bentuk- bentuk tersebut dengan
lebih diperkuat. Dan kita harus memikirkan kembali hubungan pasar dan
Negara dalam level nasional dan internasional. Ketidakadilan pembangunan
di berbagai bagian dunia mengharuskan adanya penghubung masalah-
masalah politik dan ekonomi, dengan kata lain masalah-masalah sosial
global akan mengancam kita3
Jika sebelumnya negara mempunyai peran yang sangat signifikan
terhadap perilaku sosial-ekonomi bisnis ke daerah dan wilayah suatu negara,
namun dengan globalisasi dan ruh neoliberalisme serta kapitralismenya
mampu menerobos batas-batas negara. Negara menjadi lumpuh terkebiri,
bahkan pada sektor yang memenuhi hajat hidup orang banyak (publik) pun
negara tidak berdaya melindungi. Sektor publik seperti BUMN dan
pendidikan mulai dijual (privatisasi) kepada pemodal dengan dalih stabilitas
ekonomi, peningkatan mutu pelayanan dan ketidak mampuan negara
mengelolanya. Semua itu merupakan akibat globalisasi dengan
neoliberalisasinya yaitu “mempersempit peran negara dan menyerahkan
semua persoalan kepada mekanisme pasar”.4 Untuk mencapai tujuan itu
negara-negara kapital merumuskan ajaran yang harus dipatuhi oleh semua
negara yang dikenal dengan the neoliberal Washington consensus.
Terdapat sepuluh kebijakan yang dirumuskan dalam the neoliberal
Washington consensus yaitu: (1) disiplin fiskal, yang intinya ialah
memerangi defisit perdangan; (2) public expenditure atau anggaran
pengeluaran untuk publik yakni prioritas anggaran belanja pemerintah
melalui pemotongan segala subsidi; (3) pembaharuan pajak, sering kali
3 Anas Ma’ruf dan Anas,SA (Ed), Shaping Globalization; Jawaban Kaum Social Democrat atas Neoliberalisme,terj, (Yogyakarta: Jendela,2000), hlm. 4
4 Sindhunata (Ed), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 42
3
berupa pemberian kelonggaran bagi paara pengusaha untuk kemudahan
membayar pajak; (4) liberasi keuangan, berupa kebijakan bunga bank yang
ditentukan oleh mekanisme pasar; (5) nilai uang yang kompetitif, berupa
kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa control dari pemerintah;
berupa kebijakan untuk melepaskan pemerintah; (6) trade liberalization
barier, yaitu kebijakan untuk menyingkirkan segenap hal yang mengganggu
perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi
perdagangan dengan tarif pengurangan bea tarif; (7) foreing direct
investment, berupa kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan
pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing; (8) privatisasi, yaitu
kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan Negara kepada
pihak swasta; (9) deregulasi kompetisi, yakni mengurangi peraturan
pemerintah dalam segala hal yang bisa menurunkan keuntungan, termasuk
dalam hal prelindungan alam dan keselamatan kerja; (10) intellectual
property rights atau paten.5
Dengan sepuluh ajaran ini membawa pengaruh yang luar biasa
terhadap formasi sistem sosial, ekonomi politik dan budaya. Pendidikan
sebagai salah satu sistem sosial juga mengalami dampak yang sama.
Konsekuensi yang harus dibayar oleh lembaga pendidikan adalah perubahan
logika pendidikan; sekolah perguruan tinggi yang semula merupakan
pelayanan publik (public servant) dengan memosisikan siswa dan
mahasiswa sebagai warga Negara (citizen) yang berhak mendapatkanm
pendidikan yang layak6, namun ketika status Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) menjadi target, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) –privatisasi
pendidikan- atau lebih sebagai produsen, sedangkan siswa dan mahasiswa
sebagai konsumennya jaringan relasional yang membentuk pun mengarah
5 Mansour Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 189-190.
6 Dalam UUD 45 Ayat 31 disebutkan; “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.
4
pada transaksi harga antara penjual dan pembeli7, sementara produk (out
put) yang dihasilkan adalah pesanan dari pemodal untuk memenuhi
kebutuhan produsen dan mengabaikan aspek kesadaran kritis peserta didik.
Dengan demikian pendidikan yang semula sebagai aktivitas sosial
budaya berubah menjadi komunitas budaya yang siap diperjual belikan.
Biaya pendidikan menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh rakyat
miskin dan hanya terjangkau oleh orang kaya, gelar dalam atau luar negeri
pun siap diperdagangkan kepada yang mampu membelinya. Inilah babak
baru kapitalisme pendidikan global yang melucuti makna pendidikan.
Pendidikan yang semula dipahami sebagai proses pendewasaan sosial
manusia menuju tataran ideal, yang menyangkut tujuan memelihara dan
mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)8, yang dilakukan melalui
aktivitas sosial budaya, telah hilang makna prennial-nya. Pendidikan kini
telah menjadi ajang mencari laba dan aktivitas mencari keuntungan. Secara
sederhana dapat dibedakan pendidikan sebagai aktivitas sosial budaya
dengan pendidikan sebagai aktivitas bisnis dan berorientasi keuntungan.
Nilai-nilai pendidikan secara umum dan khususnya pendidikan Islam
semakin lama justru semakin larut kedalam gegap gempita perubahan
tersebut. Selama ini refleksi tentang situasi pendidikan Islam yang dilakukan
oleh para pemerhati, praktisi, pengamat pendidikan hanya merujuk pada
persoalan klasik.9 Pendidikan Islam yang selama ini dilabelkan (eksklusif),
7 Triyono Lukmantoro, PTN dalam Hegemoni Fundamentalisme Pasar, Kompas, 26 Mei
2004. 8 Moh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta: Penerbit
Jembatan, 2000), hlm. 3. 9 Persoalan klasik tersebut adalah adanya dualisme-dikotomik, yaitu dengan memandang
bahwa segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Dari pandangan ini kemudian dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek rohani atau akhirat. Pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan agama dengan umum, demikian seterusnya. Pandangan ini kemudian selalu menjadi pembicaraan yang terus-
5
ternyata lebih inklusif, selalu konteks dengan perubahan zaman dan pada
dasarnya pendidikan Islam lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan zamannya.
Pendidikan Islam sebagai salah satu media strategis dalam
penciptaan SDM berkualitas perlu selalu mengkontekskan dan
merefleksikan kalau perlu memformat kembali dalam arangka mensikapi
kondisi masyarakat yang harus direspon serius baik secara konseptual,
strategis dan praktis.
Atau dengan kata lain, pendidikan Islam bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik untuk menempuh kesempurnaan insani dalam
menghadapi masyarakat yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
SWT. Sedangkan yang bertujuan pendek lebih menekankan pada kebutuhan
masyarakat ketika melihat kondisi atau perubahan masyarakat kekinian.
Seperti penyiapan tenaga-tenaga profesional, penciptaan nalar kritis peserta
didik dalam menganalisa fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan
penyiapan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menjawab tantangan
zaman yang membutuhkan jawaban solutif.
Dalam perspektif pendidikan, era globalisasi memang memiliki
keterkaitan dengan pendidikan. Karena globalisasi merupakan proses,
dinamika atau perkembangan masyarakat yang sebelumnya memang belum
terjadi, yang menciptakan pola-pola baru dalam struktur sosial masyarakat.
Baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan.
Sementara pendidikan memiliki tujuan jangka panjang dan jangka pendek.
Adapun yang bertujuan jangka panjang seperti untuk pencapaian proses
menerus sehingga pengembangan pendidikan Islam pun justru akhirnya ketinggalan. Karena hanya berkutat pada persoalan klasik yang diinginkan para praktisi, pemerhati atau pengamat pendidikan Islam untuk selalu diaktualkan. Memang munculnya pemahaman dikotomik tersebut tidak terlepas dari warisan penjajah kolonial Belanda. Artinya, pada zaman kolonial Belanda, memulai membedakan pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” di pihak lain dalam praktik pendidikannya. Untuk persoalan klasik sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan yang menghambat majunya pendidikan Islam ( Untuk selanjutnya lihat, Hujair Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: UII Press & Safiria Insani Press, 2003), hlm. 96-98.
6
pemanusiaan kembali manusia (humanisasi)10 dan terlebih dalam Islam
seperti yang diungkapkan oleh Atiya Al-Abrasy salah satu tujuan pendidikan
menurutnya adalah untuk mempersiapkan kehidupan di dunia dan akhirat.11
Ketika pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta terseret arus
besar industrialisasi yang menjelma kedalam komodifikasi pendidikan,
maka juga tidak luput masuk ke dalam perangkap dilema industrialisasi.
Pendidikan tinggi ingin menggali pendanaan lokal dengan menjual jasa
pendidikan kepada masyarakat secara cepat dan menguntungkan namun
terjadi degradasi kualitas pendidikan, atau tetap mempertahankan kualitas
pendidikan namun kesulitan dalam pengadaan dana pendidikan. Supaya
pendidikan tinggi bisa cepat dipasarkan, maka mereka harus merumuskan
pendidikan yang cepat saji, cepat disantap oleh konsumen, cepat berproduksi
lagi, cepat menciptakan kesejahteraan. Maka jadilah apa yang dinamakan
“McDonaldisasi Perguruan Tinggi”12
Privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari 'McDonaldisasi
masyarakat' (McDonaldization of Society) yang menjunjung prinsip
teknologisasi, kuantifikasi, keterprediksian dan efisiensi dalam setiap sendi
kehidupan. Dalam masyarakat seperti ini, pendidikan tidak lagi dipandang
sebagai public goods, melainkan private goods.13 Sebagaimana barang
konsumsi lainnya, pendidikan tidak lagi harus disediakan oleh pemerintah
secara massal untuk menjamin harga murah.
10 Humanisasi merupakan serangkaian proses untul mencapai pemerdekaan manusia.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, dank arena itu fitrah manusia adalah menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya freire. Humanisasi karenanya juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas diluar kehendaknya. (Paulo Freire, The Politik of Education, Culture, Power, and Liberalization, terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hlm. ix.)
11 Omar Muhammad, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 416 12 Heru Nugroho (ed), McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 13 13 Media Indonesia, 18 Februari 2004
7
Istilah McDonaldisasi masyarakat pertama-tama di kemukakan oleh
seorang sosiolog Amerika, George Ritzer dalam tulisannya yang terkenal di
Journal Of American Culture tahun 1983.14 pengertian ini lebih merebak
dengan terbitnya bukunya The McDonaldlizatoan of Society (1993) serta
publikasi-publikasi lainnya yang berkenaan dengan itu.
Dunia pendidikan tinggi telah dimasuki oleh wabah McDonaldisasi
seperti yang telah diperlihatkan dalam pertemuan internasioanal mengenai
McDonaldisasi pendidikan tinggi yang diadakan di Universitas Kent,
Canterbury pada tanggal 1 Juli 2001. Di Indonesia gejala McDonaldisasi
pendidikan tinggi mulai merebak ketika muncul peraturan pemerintah
mengenai otonomi perguruan tinggi (PP 61/1999) di era pemerintahan B.J.
Habibi yang mengatur tentang perubahan Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN),
dan sebagai implikasinya adalah otonomi kampus, hal ini menjadi legitimasi
pemerintah untuk menyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar.
Pendewasaan terhadap mekanisme pasar adalah ruh dari gagasan
neoliberalisme dan anak kandung globalisasi dengan liberalisme
ekonominya.15
Proses McDonaldisasi apabila dicermati memang telah memasuki
dunia pendidikan tinggi. Derek Bok, mantan Presiden Universitas Hardvard
di dalam bukunya yang menjadi best seller: Universities in the Marketplace,
The Commercialization of Higher Education (2003), menunjukkan dengan
jelas betapa proses komersialisasi telah mulai mengancam otonomi
pendidikan tinggi. Ancaman terhadap otonomi pendidikan tinggi mulai
terasa ketika pemerintah federal mulai menciutkan dananya ke pendidikan
tinggi sehingga membuka peluang kepada lembaga-lembaga pendidikan
tinggi mencari dana terutama dari perusahaan-prusahaan besar. Masuknya
14 H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme (Jakarta: PT Grasindo, 2004), hlm. 267. 15 Imam Machali (ed), Op.Cit., hlm. 125.
8
dana perusahaan-prusahaan besar pada akhirnya menimbulkan conflict of
interest antara mempertahankan nilai-nilai akademik atau memajukan nilai-
nilai komersial. Bok melihat bahaya dari universitas-universitas swasta
ternama sampai universitas-universitas milik negara (state university),
berebutan mencari dana-dana pengembangan yang ditawarkan oleh
perusahaan-perusahaan besar yang tidak lepas dari tujuan komersial.16
Terganggunya integritas pedidikan tinggi dikhawatirkan akan
melahirkan McUniversity dimana lembaga pedidikan tinggi berubah menjadi
semacam lembaga tukang jahit yang hanya menanti pesanan para
konsumen.17 McUniversity akan melahirkan McMahasiswa yaitu mahasiswa
yang hanya mengejar ijazah dan bukan untuk mengejar integritas pribadi
sebagai seorang sarjana.
Menurut Ritzer prinsip franchise dari Mcdonald’s berdasarkan
kepada empat prinsip:
a) Prinsip efisiensi. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam dunia
bisnis. Berdasarkan kepada prinsip Fordism (assembly line), scientifis
management, dan prinsip birokrasi, maka restoran Mcdonald’s dikelola
secara sangat efisien. Pada pokoknya restoran tersebut melaksanakan prinsip
uniformitas, menu standart, porsi yang sama, dengan harga yang sama, dan
kualitas yang sama di dalam setiap restoran McDonald’s.
b) Kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung
untung ruginya. Apabial tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan
agar bisnis tetap memberi keuntungan, sebagai contoh misalnya, pola
franchising McDonald’s tidak menarik fee dasar yang besar tetapi setiap
pembelian dikenakan 1,9 % kepada franchisee. Jadi yang dipentingkan ialah
keuntungan dari pada franchisee. Demikian pula uniformitas tidak
16 Derek Bok, Universities in the Marketplace, The Commercialization of Higher
Education, (Princeton: Princeton University Press, 2003), hlm. 35. 17 H. A. R. Tilaar, Op.Cit., hlm. 271
9
menghalangi adanya inovasi. Oleh sebab itu McDonald’s Indonesia
mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan
nasi di samping french fries atau kentang goring.
c) Prediktabilitas. Dengan adanya kalkulabilitas maka dengan
sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang di peroleh oleh outlet
McDonald’s. Setiap outlet telah memprediksikan tempat-tempat yang
strategis dimana orang akan mencari makan secara cepat, misalnya di
lingkungan-dilingkungan perkantoran dimana orang tergesa-gesa untuk
makan dan berkerja kembali. Demkian pula di highway-highway dimana
orang mencari makan di tengah paerjalanannya secara cepat.
d) Kontrol: dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang
mekanistik. Bisnis McDonald’s mempunyai manual yang sangat tepat yang
sudah ditqerbitkan sejak tahun 1958. bahkan pada tahun 1961 ia mendirikan
suatu pusat pelatihan, sejenis “hamburger university” dengan gelar
“hamburologi”. Demikianlah cara-cara memberikan servis yang cepat yang
dikontrol secara mekanis dan terarah telah dapat mempertahankan kualitas
makanan secara cepat dan menyenangkan banyak orang.18
Dari keempat prinsip ini, McDonald’s telah membuat restoran cepat-
saji tersebut menjadi semacam icon dari proses Amerikanisasi budaya dunia.
Prinsip McDonald’s ini diterapkan bukan hanya direstorannya tetapi juga
merambah ke hampir semua sektor kehidupan modern yang tidak
dimasukinya, McDonald’s telah menjadi suatu lifestyle manusia modern.
Sebagai icon modernisasi, prinsip McDonaldisasi juga telah memasuki
dunia pendidikan, termasuk dunia pendidikan tinggi.
Menurut Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta Prof Dr H.
A. R. Tilaar, proses globalisasi yang merembet dengan terbukanya pasar
bebas di dunia pendidikan sudah sangat nyata. Contoh konkret, saat ini
18 George Ritzer, McDonaldization, The Reader (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press,
2000), hlm. 15.
10
program-program studi yang sangat laku di pasaran makin bertambah
gemuk. Sebaliknya, program yang tidak laku dijual semakin kurus.
Program-program studi seperti itu sengaja didesain untuk kepentingan
komersial. Ironisnya, proses komersialisasi pendidikan ini tidak hanya di
pendidikan tinggi tapi sudah mulai sejak pendidikan pra sekolah yang
diembel-embeli produk impor. "Inilah yang disebut pendidikan mengikuti
ide Darwinisme sosial” Pendidikan pun diberikan secara cepat saji, seperti
McDonaldisasi, disajikan dengan cepat namun miskin isi.19
Dari kaca mata pakar pendidikan ini, masuknya kekuatan pasar
global atau liberalisasi, budaya korporasi, dan kekuatan industri memang
telah mengarahkan misi pendidikan tinggi. Maka tak heran, bila etika dan
moral d dunia pendidikan tinggi dikuasai oleh etika dan moral bisnis yang
berdasarkan mencari keuntungan dan efisiensi. Akuntabilitas pendidikan
tinggi yang diagung-agungkan adalah akuntabilitas dari pemegang modal.
Gejala ini disinyalir telah memasuki institusi pendidikan tinggi kita,
baik negeri maupun swasta sama-sama mempercepat proses industrialisasi
pendidikan. Yang dimaksud dengan McDonaldisasi Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) dalam hal ini adalah upaya mengemas PTAI menjadi
standar, di mana-mana rasa atau harmoninya sama, sehingga mudah
dikunyah atau dinikmati dengan cepat oleh setiap pemakai jasa pendidikan
tinggi Islam. Kalau cara ini yang terjadi maka sosialisasi perguruan tinggi
agama Islam tidak berlangsung secara komplet.
Memasyarakatkan sebuah hasil pendidikan tanpa mengerti pririt
pendidikan tersebut sama artinya membeli teknologi tanpa mengerti filsafat
teknologinya. Maka sangat dimungkinkan terjadi penonjolan salah satu
bentuk pendidikan yang dapat di-McDonaldisasikan tanpa orang mengerti
seluk beluk dan arah yang akan dicapai dalam pendidikan tersebut.
19 www.google.com, Kamis 05 Mei 2005
11
Dampak yang akan terjadi dari fenomena ini adalah terjadinya
reduksi bentuk perguruan tinggi agama Islam yang sangat luas dan
sophisticated kedalam salah satu bentuk yang sederhana dan trivial, yaitu
pendidikan Islam yang kapitalistik. Ini merupakan fenomena pemiskinan
PTAI yang perlu dihindari karena memasyarakatkan PTAI sama artinya juga
dengan memasyarakatkan spirit, visi, misi dan latar belakang historis
pendidikan tinggi Islam.
Dari uraian di atas, maka menurut penulis perlu adanya kajian yang
mendalam terhadap pemikiran George Ritzer yang berkaitan dengan
McDonaldisasi, terutama aspek pendidikan yang sekarang banyak
diperbincangkan para tokoh pendidikan. Karena McDonaldisasi hingga
sekarang masih menjadi diskursus yang cukup menarik untuk dilirik secara
seksama. Kajian tersebut akan dijabarkan dengan judul “Relevansi Konsep
McDonaldisasi George Ritzer Terhadap Pendidikan Tinggi Islam”.
Kajian yang paling utama dalam penelitian ini adalah pernik-pernik
pemikiran dari tokoh sosiolog asal Amerika Serikat yang menghasilkan
pemikiran McDonaldisasi pendidikan lewat bukunya The Mcdonaldization
Thesis: Explorations and Extensions, Serta McUniversity in the Post
Modern Consumer Society, in Quality in Higher Education, gejala
McDonaldisai ini disinyalir telah masuk kedalam pendidikan tinggi Islam.
Bagaimanapun penelitian ini nantinya tidak mengupas soal
McDonald atau mungkin bisnis fast food, meskipun keduanya berulangkali
disinggung dalam keseluruhan pembahasan. Tidak lebih kehadiran
McDonald di sini sebagai contoh utama sebuah “paradigma” dari sebuah
proses berlingkup luas yang menurut Ritzer dinamakan dengan
McDonaldisasi.20
20 Sebuah proses dimana berbagai prinsip restoran fast food hadir untuk mendominasi lebih
banyak sektor kehidupan Amerika serta diberbagai belahan lain dunia (George Ritzer, The McDonaldizarion of Society, California: Pine Forge Press 2002), hlm. 1
12
Penelitian ini mencoba memaparkan alternatif pemikiran khusus
memberikan corak rasionalitas dalam pendidikan Islam dengan meminjam
teori McDonaldisasinya George Ritzer. Penulis sengaja mengambil George
Ritzer sebagai bagan untuk menciptakan suasana berbagi ide.
B. Alasan Pemilihan Judul
Sebelum berbicara panjang tentang formulasi skripsi ini, perlu
disampaikan reason penulisan judul skripsi “Relevansi Pemikiran George
Ritzer tentang McDonaldisasi terhadap Pendidikan Tinggi Islam” sebagai
bahan penjelas. Diantara alasan pemilihan judul ini adalah sebagai berikut :
1. Tokoh sekaliber George Ritzer yang dapat dipetakan dalam berbagai
disiplin keilmuan, sangat penting juga ditinjau dari perspektif pendidikan
Islam. Terutama dalam gagasan besarnya tentang McDonaldisasi. Maka
McDonaldisasi sangat urgen menjadi topik kajian dengan tinjauan
spesifik masalah point-point pendidikan Islam.
2. Kajian mendasar yang banyak diteliti dan ditulis tentang pemikiran
George Ritzer masih hanya seputar ilmu sosial, makroekonomi saja. Dari
sini muncul inisiatif untuk mendeskripsikan figur George Ritzer dalam
bidang pendidikan Islam, yang mana hal ini akan bisa memberikan
kontribusi di dunia akademik sebagai maraji’ (literature).
3. Memulai kembali kajian-kajian pembaharuan yang sampai saat ini masih
jarang disentuh oleh kalangan akademisi, terutama dalam hal pemahaman
latar belakang sosial seorang tokoh. Misalnya, seorang George Ritzer
yang banyak dikatakan sebagai tokoh sosiologi modern, tentu dalam
karya tentang pendidikan juga diwarnai dengan abstraksi disiplin
pembaharuannya—terutama dengan model dialog antara tradisi dan
modernisasi.
13
C. Penegasan Istilah
Dalam rangka memberikan penjelasan dan penegasan istilah yang
terdapat dalam judul “Relevansi Pemikiran George Ritzer tentang
McDonaldisasi terhadap Pendidikan Islam (kekurangan dan kelebihan teori)“,
maka disertakan pula definisi peristilahan yang dimaksud. Hal ini juga untuk
menghindari kesalahpahaman terhadap judul di atas. Maka, penulis berusaha
menjelaskan istilah-istilah tersebut dengan formulasi yang banyak
disampaikan oleh para tokoh, sebagai berikut:
1. Relevansi
Relevansi adalah hubungan, keterkaitan.21 Jadi yang dimaksud judul ini
adalah keterkaitan teori McDonaldisasi George Ritzer dengan
Pendidikan Islam.
2. Konsep
Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti buram; bagan;
rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia ditulis dengan
“konsep” dengan arti: ruang; rancangan; atau buram (surat).22 Adapun
yang dimaksud dalam judul ini adalah konsep dengan makna rancangan
dari sebuah proses yang berlingkup luas yang dinamakan dengan
McDonaldisasi.
3. McDonaldisasi
Mcdonaldisasi adalah sebuah istilah yang sudah dibakukan oleh pakar
ilmuan sosiologi george ritzer untuk menggambarkan bentuk dari
rasionalitas dan standarisasi yang secara terstruktur menambah lahan
21 Bahrudin Salam, Etika Individual, Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Renika Cipta,
2000), hlm. 3 22 WJS. Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1985), hlm. 653.
14
bagi kehidupan sosial di amerika serikat dan lebih-lebih di dunia pada
umumnya.23
McDonaldisasi merupakan sebuah proses dimana berbagai prinsip
restoran fast food hadir untuk mendominasi banyak sektor kehidupan
Amerika serta di berbagai belahan dunia.
4. George Ritzer
George Ritzer adalah Distinguished University Professor di Universitas
Maryland. Minat utamanya adalah teori sosiologi dan sosiologi
konsumsi. Dia pernah menjabat sebagai ketua American Sociological
Association’s Section on Theoritycal Sociology and Organizations and
Occupations. Profesor Ritzer juga seorang Distinguished Scholar-
Teacher di Maryland dan menerima Teaching Excellence Award. Dia
menjabat sebagai UNESCO Chair in Social Theory di Akadeni Sains
Rusia.24
Ritzer mengajar dijurusan sosiologi selama lebih dari 30 tahun dan telah
menulis sejumlah besar buku kajian sosiologi, dan mengajar sosiologi di
seluruh dunia, namun tak satupun gelar kesarjanaannya bukan dibidang
sisiologi.25
Karya metateoritis pertama Ritzer adalah “Sociology: A Multiple
Paradigm Science” terbit pada tahun 1975, sedangkan karya The
McDonaldization of Society yang penulis gunakan sebagai dasar
penelitian ini telah diterjemahkan kedalam sekitar dua belas terjemahan.
5. Pendidikan Tinggi Islam
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan
merupakan: “proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan kepribadiannya melalui
23 Craig Calhoun, Dictionary of the Social Sciences, (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 301
24 Alimandan, Teori Sosiologi Modern,terj, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. ii 25 Ibid, hlm. A-10
15
upaya pengajaran dan latihan". Pendidikan berarti pula sebagai
pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dalam
bahasa Inggris, Pendidikan berasal dari kata “education”, kemudian
pengertian ini menjadi berkembang.26 Sedangkan pendidikan Tinggi
Islam itu menekankan pada pemahaman terhadap Islam sebagai suatu
kekuatan yang memberi hidup bagi suatu peradaban raksasa—termasuk
di dalamnya pendidikan.27 Ahmadi juga memberikan pengertian
pendidikan menurut pandangan Islam, yaitu tindakan yang dilakukan
secara sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta
potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya
(insan kamil).28.
Secara garis besar judul dalam penelitian ini akan memberikan
apresiasi terhadap pemikiran George Ritzer tentang gejala McDonaldisasi
yang terjadi di perguruan tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan terjadi di
perguruan tinggi islam. Sehingga pendidikan tinggi islam dapat dijadikan
topik kajian untuk kemudian di relevansikan dengan pemikiran George Ritzer
tentang McDonaldisasi. Disana tentu muncul berbagai pemikiran pendidikan
yang berbeda dengan tokoh lainnya. Apalagi dalam peta pemikirannya
didasarkan pada studi pemikiran masa pramodern, modern hingga
neomodern. Tentu saja pemikiran McDonaldisasi pada akhirnya menyentuh
bidang pendidikan islam. Pada bagian inilah penulis ingin memberikan telaah
26 Perkembangan makna itu meliputi: 1. development in knowledge, skill, abality or
caracter by teaching, training, study or experience; 2. knowledge, skill, abality, or caracter developed by teaching, training, study, or experience; 3. science and art that deals with the principles, problems, etc., of teaching and learning. Lihat E.L Thorndike, Clarence L. Barnhart, Advanceu Junior Dictionary, (NewYork: Doubleday and Company Inc., 1965), hlm. 257.
27 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 29.
28 Achmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan., (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 16.
16
secara mendalam tentang pandangan McDonaldisasi dan relevansinya
tehadap pendidikan tinggi Islam.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di muka, maka ada beberapa
permasalahan yang akan dikaji melalui penelitian ini. Permasalahan-
permasalahan tersebut antara lain:
1. Bagaimana pemikiran George Ritzer tentang McDonaldisasi?
2. Bagaimana pemikiran George Ritzer tentang pendidikan?
3. Bagaimana relevansi pemikiran McDonaldisasi George Ritzer terhadap
pendidikan tinggi Islam?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini tidak saja dimaksudkan untuk mengesahkan
asumsi penulis, namun justru akan melihat secara objektif bagaimana
sebenarnya relevansi pemikiran McDonaldisasi yang digagas oleh George
Ritzer terhadap pendidikan Islam. Sesuai dengan latar belakang masalah
tersebut, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui pemikiran George Ritzer tentang McDonaldisasi
2. Memahami secara detail pemikiran George Ritzer tentang pendidikan
3. Menganalisis sejauh mana relevansi pemikiran McDonaldisasi George
Ritzer terhadap pendidikan tinggi Islam.
F. Tinjauan Pustaka
Kajian yang dibahas dalam penelitian ini difokuskan pada gagasan
George Ritzer tentang McDonaldisasi dalam ranah Pendidikan Islam. Dari
sini dibutuhkan satu tinjauan kepustakaan, dan dalam hal ini penulis di bantu
banyak peneliti yang mengkaji tentang ketokohan George Ritzer dengan teori
17
McDonaldisasinya yang menghebohkan dunia. Untuk mencari data
pendukung dalam rangka mengetahui secara luas tentang tema tersebut,
penulis berikhtiar mengumpulkan karya George Ritzer, baik berupa buku,
artikel, jurnal atau makalah. Kesemua data tersebut akan di klasifikasikan
pada satu prioritas utama yaitu tentang Pendidikan Islam.
Dari karya-karya yang penulis jumpai, data primer yang dapat
menyokong kajian ini adalah karya George Ritzer The McDonaldization of
Society. Bahasan utama dalam buku yang diterbitkan Pine Forge Press tahun
2000 adalah sebuah bisnis makanan cepat saji ala McDonald yang tak sekadar
bisnis belaka, tapi telah merambah dunia pendidikan tinggi.
Dosen universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Heru Nugroho dkk,
mengungkapkan dengan lugas pemikiran pendidikan George Ritzer ini
didasarkan pada gejala McDonaldisasi yang terjadi dikampus Universitas
Gadjah Mada (UGM). Ia menggariskan hal tersebut dalam tulisannya di buku
McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Heru menggaris bawahi bahwa gejala
McDonaldisasi yang terjadi di UGM bermula ketika pemerintah menjadikan
UGM sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lewat otonomi perguruan
tinggi.
Dalam rangka menjawab problematika McDonaldisasi yang terjadi di
perguruan tinggi negeri yang kian hari bertambah pelik, H.A.R Tilaar
mengungkapkan gejala McDonaldisasi ini dengan istilah McUniversity. Ide
ini dituangkan dalam buku yang diterbitkan penerbit PT Grasindo berjudul
Multikulturalisme. Buku ini menjelaskan bahwa proses otonomi perguruan
tinggi telah mengancam integritas perguruan tinggi, hal ini terasa ketika
pemerintah menciutkan dananya ke perguruan tinggi sehingga membuka
peluang perguruan tinggi mencari dana lain, terutama dari perusahaan-
perusahaan besar. Masuknya dana perusahaan besar pada akhirnya
menumbuhkan conflik of interest antara mempertahankan nilai-nilai akademik
18
atau memajukan nilai-nilai komersial. Terganggunya integritas perguruan
tinggi dikhawatirkan akan melahirkan McUniversity.
Data primer lain yang menyokong kajian ini adalah buku Modern
Sociological Theory (teori sosiologi modern) karya George Ritzer dan
Douglas J.Goodman, buku ini membahas teori rasionalitasnya Max Weber,
dan restoran cepat-saji ala McDonald adalah cermin dari paradigma
rasionalitas formal. Dari empat dimensi rasionalitas formal: efisiensi,
kemampuan untuk diprediksi (Predictability), lebih menekankan pada
kuantitas ketimbang kualitas –bentuk rasionalitas inilah yang cenderung
menyebabkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the Irracionality of
Rationality)
G. Metode Penelitian
Penelitian dan pembahasan skripsi ini menggunakan metode library
research atau penelitian kepustakaan29 dengan menggunakan jenis penelitian
intelectual biography yaitu penelitian dengan menelusuri perjalanan
kehidupan tokoh dalam bidang keintelektualannya yang meliputi juga
perjalanan karier tokoh dalam bidang pendidikan.
1. Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Pendekatan Phenomenologi, yaitu pendekatan yang mengemukakan
bahwa objek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual),
melainkan mencakup fenomena lain baik persepsi, pemikiran,
kemauan dan keyakinan subjek tentang suatu yang transenden,
disamping yang aposteoritik.30
29 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi UGM, 1987), hlm. 9. 30 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000),
edisi IV, hlm.17.
19
b. Pendekatan Historis Faktual, yaitu pendekatan dengan mengemukakan
historis faktual mengenai tokoh.31 Pemakaian pendekatan dengan
berusaha membuat interpretasi secara sistematis dan hipotesis.32
c. Pendekatan Logika Reflektif, yaitu cara berfikir dalam proses mondar-
mandir secara cepat antara induksi dan deduksi. Logika induksi
umumnya memerlukan penyajian data empirik yang cukup untuk
membuat abstraksi, sedangkan logika deduktif memerlukan penjabaran
sistematik spesifik yang luas menyeluruh.33
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan
menggunakan dokumentasi. Dokumentasi dipakai penulis untuk
menemukan data-data tentang pola pemikiran pendidikan yang
dikembangkan oleh George Ritzer dengan tatapan McDonaldisasi.
Adapun sumber dokumentasi antara lain:
1) Sumber Primer
Sumber primer yang dimaksud merupakan karya yang langsung
diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema penelitian
ini. Jadi data-data primer ini merupakan karya dari George Ritzer
baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku maupun
wawancara. Diantara karya-karya George Ritzer yang akan
dipergunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini adalah, The
McDonaldization of Society, Modern Sociological Theory,
McDonaldization; The Reader, McUniversity in the Post Modern
Consumer Society; in Quality in Higher Education, The
Mcdonaldization of Society: An Investigation into the Changing
31Anton Bekker, Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
32 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 134.
33 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 6.
20
Character of Contemporary Social Life, The Mcdonaldization
Thesis: Explorations and Extensions.
2) Sumber Sekunder
Yaitu sumber yang berasal dari orang kedua atau bukan sumber yang
datang langsung dari George Ritzer. Artinya sumber ini merupakan
interpretasi dari seorang penulis terhadap karya George Ritzer.
Diantara karya yang mengetengahkan pemikiran Ritzer antara lain,
Fast food Fast Talk: Service Work ang the Routinization of Everyday
Life karya Robin Leidner, McMilestone Restaurant Open door in
Dele City karya John F Harris, McEducation-and Bits on the Side
karya James Panton, The McDonaldization of Information karya
Tom Larney, The McDonaldization of Higher Education karya
Dennis Hayes, Universities in the Marketplace, The
Commercialization of Higher Education karya Derek Bok,
McDonaldisasi Pendidikan Tinggi editor Heru Nugroho,
Multikulturalisme karya H.A.R Tilaar
3. Metode Analisis Data
Dalam analisis data, penulis berusaha untuk mencoba memberikan
arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan
mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.34
Adapun metode-metode yang dipakai dalam menganalis data
sebagai berikut:
1. Metode Deskriptif-Analitik
Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusundan menganalisa
data-data yang terkumpul dipakai metode Deskriptif-Analitik. Metode ini
akan penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisa terhadap
34 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2001),, hlm. 103
21
pemikiran, biografi dan kerangka metodologis pemikiran George Ritzer.
Selain itu metode ini akan penulis gunakan ketika menggambarkan dan
menganalisa pemikiran Ritzer saat ia mencetuskan gagasannya tentang
McDonalisasi.
Kerja dari metode deskriptif-analitik ini yaitu dengan cara
menganalisa data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut
kemudian diperoleh kesimpulan.35 Dengan kata lain metode deskriptif
adalah memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang material atau
fenomena yang diselidiki. Metode ini digunakan untuk mendiskripsikan
dan sekaligus menganalisis pemikiran-pemikiran George Ritzer tentang
McDonaldisasi dalam perspektif pendidikan Islam.
2. Metode Content Analysis
Metode Content analysis adalah suatu metode untuk
mengungkapkan isi pemikiran tokoh yang diteliti. Soedjono memberikan
definisi content analisis adalah usaha untuk mengungkapkan isi sebuah
buku yang menggambarkan situasi penulis dan masyarkat pada waktu itu
ditulis.36 Content analysis (analisa isi) digunakan untuk mengkaji data
yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai
sumbangan teoritik.37
3. Metode Historis
Metode histories adalah prosedur-prosedur pemecahan masalah
dengan menggunakan data atau informasi masa lalu, yang bernilai sebagai
peninggalan.38 Dengan metode ini dapat diungkapkan kejadian atau
35 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), hlm. 210 36Soedjono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta,
1999), hlm. 14 37 Noeng Muhadjir, Op.Cit., hlm. 51 38Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1996),
hlm. 214
22
keadaan pada saat teori itu dikemukakan, terlepas dari keadaan itu terjadi
pada masa sekarang. Dalam hal ini akan diungkapkan pemikiran George
Ritzer ditinjau dari segi sejarahnya sesuai dengan realita atau tidak.
Apabila tidak sesuai, peneliti berusaha untuk memperbaiki penuturan suatu
peristiwa atau kejadian yang mungkin dinilai tidak sesuai dengan
sebenarnya terjadi di masa sekarang.