BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi makro perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan kinerja yang membaik walaupun permasalahan pengangguran dan
kemiskinan belum dapat dikurangi secara drastis. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS), pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin di Indonesia
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan)
mencapai 28,01 juta orang atau 10,86 persen dari populasi Indonesia. Data ini
menunjukkan penurunan 2,01 juta orang dibandingkan dengan 2011 yang
mencapai 30,02 juta orang atau 12,49 persen populasi Indonesia. Penurunan
tingkat kemiskinan ini menunjukkan proses pembangunan yang memberikan
perubahan ke arah yang lebih baik untuk mensejahterakan masyarakat.
Pembangunan merupakan proses yang meningkatkan kualitas hidup dan
kemampuan manusia dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri dan
kebebasan individu (Todaro dan Smith, 2011: 6). Proses perubahan tersebut harus
berkesinambungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat baik
ekonomi, sosial, dan budaya sehingga pembangunan merupakan syarat mutlak
bagi kelangsungan hidup bernegara.
Tujuan utama dari pembangunan perekonomian adalah meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan menggunakan indikator produk
domestik bruto (PDB) dan produk nasional bruto (PNB). Dalam proses
2
pertumbuhan PDB memerlukan input yang berupa manusia sebagai human capital
yang mempunyai kemampuan dan keahlian yang unik, di mana manusia akan
selalu menambah stock of human capital-nya melalui pendidikan dan pengalaman
bekerja (Borjas, 2013: 235). Hal ini sejalan dengan Adediran (2012: 3), human
capital mengacu kepada stok dari kompetensi, ilmu pengetahuan dan kepribadian
yang melekat dari kemampuan tenaga kerja pada saat menghasilkan nilai
ekonomi. Atribut-atribut ini memberikan keuntungan bagi pekerja yang juga
didapatkan melalui pendidikan dan pengalaman kerja.
Pembangunan manusia merupakan proses memperbanyak pilihan-pilihan
yang dimiliki oleh manusia (a process of enlarging people's choices). Dalam hal
ini manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia
menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan alat dari
pembangunan (Human Development Report, 1990: 3). Untuk melakukan
perhitungan yang komprehensif terhadap pembangunan manusia, UNDP
memperkenalkan human development index (HDI) atau indeks pembangunan
manusia (IPM) pertama kali pada 1990. Sejak saat itu, IPM secara berkala
dipublikasikan setiap tahunnya dalam Human Development Report. Dalam
Human Development Report yang pertama kali diterbitkan pada 1990 (Drapper,
1990: iii)1, menyebutkan bahwa tujuan utama dari adanya IPM ini tidak akan
menyampingkan pertumbuhan PDB suatu negara sebagai indikator dalam
pertumbuhan ekonominya, namun turut membantu menjabarkan PDB sebagai
pertumbuhan dari sisi pembangunan manusianya. Proses menerjemahkan ini
1 Lihat Kata Pengantar Human Development Report, 1990.
3
kadang berhasil, namun tidak juga menutup kemungkinan untuk gagal. Karena
bisa saja suatu negara memiliki nilai pembangunan manusia yang relatif tinggi
namun tingkat pendapatannya cenderung rendah, vice versa, seperti yang
digambarkan pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1. 1 Nilai dan Peringkat IPM dan PDB per Kapita ASEAN, 2014
Negara IPM Peringkat
dari IPM
PDB per
Kapita Peringkat
PDB per
Kapita Nilai USD
Singapura 0,912 11 56.284,57 9
Brunei Darussalam 0,856 31 40.979,64 25
Malaysia 0,779 62 11.307,06 69
Thailand 0,726 93 5.977,38 108
Indonesia 0,684 110 3.491,92 140
Filipina 0,668 115 2.872,51 151
Vietnam 0,666 116 2.052,29 156
Laos 0,575 141 1.793,47 164
Kamboja 0,555 143 1.094,57 183
Myanmar 0,536 148 1.203,84 179
Sumber: UNDP2 dan World Bank3, 2014, diolah
Sejak pertama kali diperkenalkan, IPM menjadi indikator penting dalam
mengukur kemajuan pembangunan manusia. Menurut BPS, IPM merupakan alat
ukur untuk capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar
kualitas hidup. Besarnya nilai IPM juga tidak terlepas dari peran ketiga indikator
utamanya yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dimensi
tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang
layak. Berbagai negara mengadopsi konsep pembangunan manusia yang digagas
oleh UNDP dan mencoba mengaplikasikan perhitungan IPM di negaranya.
Indonesia turut mengambil bagian dalam mengaplikasikan konsep pembangunan
manusia yang dinilai lebih relevan dibandingkan dengan konsep pembangunan
2 United Nations Development Programme (UNDP), Table 2: Trends in the Human Development
Index, 1990-2014, diakses dari: http://hdr.undp.org/ en/composite/trends 3 World Bank, PDB per kapita (USD), diakses dari: http://data.worldbank.org/ indicator/NY.
GDP.P/CAP.CD
4
konvensional. Indonesia pertama kali melakukan perhitungan IPM pada 1996
yang dilakukan secara berkala setiap tiga tahun. Namun, sejak 2004, IPM dihitung
setiap tahun.
Menurut UNDP, perhitungan IPM pada saat ini menggunakan metode baru
sejak 2010. Tolok ukur yang digunakan untuk menentukan kualitas hidup manusia
adalah IPM dengan tiga komponen perhitungan, yaitu (1) Angka harapan hidup/
AHH pada waktu lahir (life expectancy at birth); (2) Harapan lama sekolah/ HLS
(expected years of schooling/ EYS) dan Rata-rata lama sekolah/ RLS (mean years
of schooling/ MYS); dan (3) Kemampuan daya beli (purchasing power parity)
yang dilihat dari PNB riil per kapita (PPP USD). Melalui peningkatan ketiga
indikator diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidup manusia.
Tabel 1. 2 Komponen IPM Metode Baru di ASEAN, 2014
Sumber: UNDP4, 2014, diolah
Perbandingan nilai dan komponen IPM di beberapa negara Asean dapat
dilihat dalam Tabel 1.2. Singapura memiliki tingkat IPM tertinggi di Asean,
peringkat 11 di level dunia, sehingga Singapura masuk ke dalam kategori very
high human development menurut UNDP. Sedangkan, Indonesia berada pada
4 United Nations Development Programme, Table 1: Human Development Index and It’s
Components, 2014, diakses dari: http://hdr.undp.org/en/composite/HDI
Peringkat
IPM Negara
AHH HLS RLS PNB per
Kapita
IPM
Metode
Baru
Tahun Tahun Tahun PPP USD Unit
11 Singapura 83,0 15,4 10,6 76.628 91,2
31 Brunei Darussalam 78,8 14,5 8,8 72.570 85,6
62 Malaysia 74,7 12,7 10,0 22.762 77,9
93 Thailand 74,4 13,5 7,3 13.323 72,6
110 Indonesia 68,9 13,0 7,6 9.788 68,4
115 Filipina 68,2 11,3 8,9 7.915 66,8
116 Vietnam 75,8 11,9 7,5 5.092 66,6
141 Laos 66,2 10,6 5,0 4.680 57,5
143 Kamboja 68,4 10,9 4,4 2.949 55,5
148 Myanmar 65,9 8,6 4,1 4.608 53,6
5
urutan ke lima di Asean dan peringkat 110 di dunia, masuk dalam kategori
medium human development, di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia,
dan Thailand. Untuk posisi IPM yang paling rendah di Asean adalah Myanmar
yang menduduki peringkat ke 148 di dunia, yang masuk dalam kategori low
human development. Berdasarkan data UNDP, peringkat pertama di dunia
diduduki oleh Norwegia dengan nilai IPM sebesar 0,944; disusul dengan Australia
(0,935) dan Swiss (0,930).
Kualitas pembangunan manusia di negara-negara tesebut tidak lepas dari
adanya pengaruh dari pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan
kesehatan. Semakin tinggi alokasi yang ditetapkan pemerintah dalam dua bidang
tersebut maka akan terjadi peningkatan terhadap pembangunan manusia sehingga
akan meningkatkan produktivitas manusia sebagai modal manusia. Perbandingan
pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan di Asean
ditunjukkan pada Tabel 1.3 berikut:
Tabel 1. 3 Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Kesehatan di
ASEAN, 2014 (% terhadap PDB) Peringkat
IPM Negara
Pengeluaran
Pendidikan
Peringkat
IPM Negara
Pengeluaran
Kesehatan
93 Thailand 7,6 116 Vietnam 7,1
116 Vietnam 6,3 93 Thailand 6,5
62 Malaysia 5,9 141 Kamboja 5,7
31 Brunei Darussalam 3,8 11 Singapura 4,9
110 Indonesia 3,6 115 Filipina 4,7
115 Filipina 3,4 62 Malaysia 4,2
11 Singapura 2,9 110 Indonesia 2,8
148 Laos 2,8 31 Brunei Darussalam 2,6
141 Kamboja 2,6 143 Myanmar 2,3
143 Myanmar 0,8 148 Laos 1,9
Sumber: UNDP5 dan World Bank6, 2014, diolah
5 United Nations Development Programme, Table 10: Education achievements, diakses dari:
http://hdr.undp.org/sites/default/files/2015_human_development_report.pdf
6
Pada 2014, pengeluaran pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan
sebesar 3,6 persen terhadap PDB, besaran pengeluaran pemerintah tersebut berada
pada posisi ke lima di Asean di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Sedangkan, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan pada
tahun yang sama sebesar 2,8 persen terhadap PDB, yang menduduki peringkat ke
tujuh di Asean di bawah Vietnam, Thailand, Kamboja, Singapura, Filipina, dan
Malaysia. Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan
tersebut penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena pada
dasarnya pendidikan dan kesehatan merupakan layanan jasa yang normatifnya
disediakan oleh pemerintah bukan bertumpu pada sektor swasta atau mekanisme
pasar.
Dalam ruang lingkup Asean, Indonesia memiliki potensi kualitas
pembangunan manusia yang baik, mengingat mayoritas penduduk Indonesia saat
ini berada pada umur yang produktif. Pemerintah dapat berkontribusi untuk
meningkatkan kualitas manusia melalui pengaturan alokasi, realisasi dan
penyerapan anggaran khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang
berperan secara langsung terhadap kualitas manusia. Hal ini sejalan dengan Brata
(2005: 6), pengeluaran pemerintah daerah khususnya dalam bidang pendidikan
dan kesehatan berpengaruh terhadap IPM dalam konteks regional (antar provinsi)
di Indonesia.
Sejak 2001, pemerintah memberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Landasan hukum yang digunakan atas pelaksanaan otonomi daerah dan
6Bank Dunia, Total Pengeluaran Kesehatan (% terhadap PDB), diakses dari:
http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.TOTL.ZS?view=chart
7
desentralisasi fiskal ini adalah UU No. 24 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Tujuan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah untuk
mengurangi tingkat kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia. Kebijakan
ini tentunya akan berdampak terhadap APBD provinsi, dimana harapannya APBD
provinsi di Indonesia dapat tersebar secara adil dan merata untuk pembangunan
daerah.
Berdasarkan undang-undang tersebut, otonomi daerah merupakan
perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah,
sehingga bentuk penyelenggaraan pemerintah bergeser dari yang semula
sentralistik menjadi desentralistik. Otonomi daerah juga merupakan bentuk
manifestasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka demokrasi di
mana daerah kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang terdekat dengan
rakyat. Menurut Tiebout (1956) dan Oates (1972), pelayanan publik yang efisien
diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis terdekat
masyarakat, karena (1) pemerintah daerah mengetahui apa yang menjadi
kebutuhan masyarakatnya; (2) keputusan pemerintah daerah responsif terhadap
kebutuhan rakyat, sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan
efisiensi penggunaan dana; dan (3) persaingan antardaerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk
meningkatkan inovasinya. Implikasinya, pemerintah daerah diberikan tanggung
jawab dan wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri, yang sebelumnya
menjadi fungsi pemerintah pusat.
8
Sebelum era otonomi daerah, struktur APBD yang berlaku adalah
anggaran berimbang, di mana anggaran penerimaan sama dengan jumlah
pengeluarannya. Sedangkan pada era otonomi daerah ini, struktur APBD yang
digunakan mengacu pada pendapatan masing-masing daerah sehingga tiap-tiap
daerah memiliki struktur keuangan yang berbeda tergantung pada kapasitas
keuangan yang dimilikinya. Peningkatan pendapatan daerah berarti juga
meningkatnya anggaran belanja. Sehingga, pemerintah daerah diharapkan mampu
untuk menggunakan dana desentralisasi fiskal untuk menentukan prioritas belanja.
Hal ini cukup logis karena pemerintah daerah yang mengetahui kebutuhan dan
standar pelayanan atas masyarakatnya sendiri, yang pada akhirnya masyarakat
yang memperoleh manfaatnya.
Pemberlakuan otonomi daerah menjadikan besaran APBD provinsi
meningkat drastis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu), rata-rata APBD di seluruh Indonesia
meningkat sejak 2001, ketika dimulainya pelaksanaan otonomi daerah, dari yang
semula sebesar Rp 796 miliar menjadi Rp 6,6 triliun pada 2015. Peningkatan
anggaran ini disebabkan meningkatnya sumber-sumber pendanaan oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diimplementasikan dalam transfer ke
daerah yang dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari segi cakupan, jenis
dana yang didaerahkan, maupun besaran alokasi dana yang didaerahkan.
Peningkatan alokasi anggaran ke daerah yang cukup signifikan tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam pembiayaan
pembangunan daerah, sehingga memberikan manfaat yang besar bagi
9
kesejahteraan masyarakat (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007:
12-13). Namun, untuk tingkat sebaran APBD secara regional masih belum merata,
pada provinsi-provinsi tertentu memiliki nilai APBD yang jumlahnya relatif besar.
Misalnya, APBD DKI Jakarta yang mencapai Rp 38 triliun (2013) atau hampir
tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Perbedaan APBD ini tentunya berdampak terhadap PDRB pada masing-
masing provinsi. Pada 2001-2015, selama pemberlakuan otonomi daerah, rata-rata
PDRB antar provinsi di Indonesia berfluktuasi, dengan tren yang meningkat.
Sama seperti APBD, tingkat PDRB antar provinsi di Indonesia juga mengalami
ketimpangan. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali jauh meninggalkan
beberapa provinsi lainnya, di mana ketiga provinsi tersebut PDRB-nya sudah
mencapai di atas Rp 1.000 triliun. Padahal rata-rata PDRB provinsi di Indonesia
hanya berkisar Rp 200 triliun.
Selain mempengaruhi APBD dan PDRB tiap-tiap provinsi, pelaksanaan
otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusianya.
Peningkatan nilai IPM terjadi setelah mulai diberlakukannya otonomi daerah.
Karena, kondisi sebelum dilaksanakannya otonomi daerah, kebutuhan daerah
belum tertampung dengan baik yang disebabkan pola perencanaan APBD lebih
menitik beratkan pada pertumbuhan nasional dan mengacu pada program sektoral
yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sebagai konsekuensinya, program-
program yang ditetapkan pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik (Biro
Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007: 21). Hal ini ditunjukkan dengan
penyerapan dana dari pemerintah pusat yang belum dimanfaatkan secara optimal.
10
Walaupun terjadi peningkatan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan
pada 1996-1999, namun tidak mampu untuk meningkatkan kualitas manusia di
daerah. Mayoritas nilai IPM secara regional justru menurun. Gambaran tingkat
IPM dan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan secara regional era
sebelum otonomi daerah ditunjukkan pada Tabel 1.4 berikut:
Tabel 1. 4 Perbandingan IPM (Metode Lama) dengan Alokasi APBD Bidang
Pendidikan dan Kesehatan Antarregional di Indonesia Pada Era Sebelum
Otonomi Daerah, 1996-1999
Provinsi
IPM
(Unit)
APBD Pendidikan
(Rp Juta)
APBD Kesehatan
(Rp Juta)
1996 1999 1996 1999 1996 1999
Aceh 69,40 65,30 24.987,67 15.059,09 2.339,61 16.861,37
Sumatera Utara 70,50 66,60 6.555,20 14.588,92 5.801,19 18.982,29
Sumatera Barat 69,20 65,80 4.222,97 8.308,36 1.177,17 7.535,32
Riau 70,60 67,30 3.359,23 47.491,45 4.797,71 17.948,92
Jambi 69,30 65,40 6.041,35 8.741,28 1.948,16 6.756,36
Sumatera Selatan 68,00 63,90 6.337,63 11.646,40 763,41 8.027,80
Bengkulu 68,40 64,80 1.065,07 3.152,92 823,66 4.574,89
Lampung 67,60 63,00 6.231,81 6.561,04 2.289,86 6.007,57
Kep.Bangka Belitung - - - - - -
Kep. Riau - - - - - -
D.K.I. Jakarta 76,10 72,50 98.843,44 93.254,55 70.567,06 70.341,21
Jawa Barat 68,20 64,60 37.194,29 28.738,69 17.618,48 27.379,95
Jawa Tengah 67,00 64,60 18.599,30 38.873,16 12.693,43 31.999,02
D.I. Yogyakarta 71,80 68,70 3.961,84 7.265,53 2.204,14 4.798,81
Jawa Timur 65,50 61,80 49.266,00 66.731,74 18.407,83 36.014,77
Banten - - - - - -
Bali 70,10 65,70 5.834,12 9.347,81 4.845,74 7.871,31
Nusa Tenggara Barat 56,70 54,20 1.730,00 5.972,63 1.663,99 6.826,24
Nusa Tenggara Timur 60,90 60,40 3.155,74 4.437,05 2.150,03 11.763,18
Kalimantan Barat 63,60 60,60 6.543,65 12.140,03 3.411,51 9.073,15
Kalimantan Tengah 71,30 66,70 6.812,17 8.823,45 2.792,58 8.259,48
Kalimantan Selatan 66,30 62,20 4.840,51 5.383,23 891,08 10.663,37
Kalimantan Timur 71,40 67,80 7.734,94 20.333,68 5.229,41 13.070,88
Sulawesi Utara 71,80 67,10 5.560,36 7.444,54 1.191,26 3.435,33
Sulawesi Tengah 66,40 62,80 1.698,05 4.403,44 1.698,19 6.163,06
Sulawesi Selatan 66,00 63,60 3.691,57 9.686,42 2.756,54 12.933,08
Sulawesi Tenggara 66,20 62,90 1.458,53 4.856,46 776,85 6.359,71
Gorontalo - - - - - -
Sulawesi Barat - - - - - -
Maluku 68,20 67,20 3.550,51 - 1.119,83 -
Maluku Utara - - - - - -
Papua Barat - - - - - -
Papua 60,20 58,80 10.646,73 15.677,00 7.654,80 22.928,00
Sumber: BPS dan DJPK Kemenkeu, 1996-1999, diolah
11
Kondisi awal pelaksanaan otonomi daerah, menunjukkan terjadi perbedaan
penyusunan anggaran. Pada saat ini dana yang disalurkan dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah dilakukan secara block grant. Untuk proses penyusunan
anggaran dilakukan dengan pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif
yang melibatkan masyarakat pada tingkat paling bawah, sehingga pembangunan
diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Biro Analisa Anggaran dan
Pelaksanaan APBN, 2007: 23). Hasil pembangunan tersebut secara perlahan dapat
terlihat, kualitas manusia secara regional meningkat. Menurut data BPS, selama
era pelaksanaan otonomi daerah, IPM baik dengan metode lama (2002-2013) atau
metode baru (2010-2015) meningkat, dengan rata-rata peningkatannya sebesar
0,900 persen.
Walaupun mayoritas nilai IPM secara regional meningkat, namun nilainya
masih berada dalam kategori kelompok sedang dengan rentang nilai 60-69,9.
Sehingga, untuk lebih memaksimalkan peningkatan IPM kedepannya pemerintah
harus lebih memberikan perhatiannya pada investasi pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data DJPK Kemenkeu, alokasi APBD bidang pendidikan sebesar Rp
2,38 triliun (2002) meningkat hingga sebesar Rp 3,4 triliun (2004). Untuk alokasi
APBD bidang kesehatan meningkat dari sebesar Rp 1,17 triliun (2002) dan
menjadi Rp 2,97 triliun (2004). Sehingga wajar ketika nilai IPM-nya meningkat
dan nilainya relatif tinggi jika dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan otonomi
daerah. Gambaran tingkat IPM dan alokasi APBD untuk pendidikan dan
kesehatan secara regional pada era awal otonomi daerah ditunjukkan pada Tabel
1.5 berikut:
12
Tabel 1. 5 Perbandingan IPM (Metode Lama) Terhadap Alokasi APBD
Bidang Pendidikan dan Kesehatan Antarregional di Indonesia Pada Era
Awal Desentralisasi Fiskal, 2002-2004
Provinsi
IPM
(Unit)
APBD Pendidikan
(Rp Juta)
APBD Kesehatan
(Rp Juta)
2002 2004 2002 2004 2002 2004
Aceh 66,00 68,70 705.710,67 257.869,93 45.410,00 69.459,85
Sumatera Utara 68,80 71,40 14.702,82 66.717,50 22.354,47 90.335,23
Sumatera Barat 67,50 70,50 11.360,51 34.811,47 14.988,34 82.395,06
Riau 69,10 72,20 374.314,27 359.352,39 91.299,10 118.510,60
Jambi 67,10 70,10 4.578,49 19.936,14 5.834,81 43.465,89
Sumatera Selatan 66,00 69,60 27.214,66 81.860,79 13.008,99 45.978,69
Bengkulu 66,20 69,90 1.155,00 12.303,33 990,00 33.257,65
Lampung 65,80 68,40 22.359,99 71.566,35 22.729,90 78.866,55
Kep.Bangka Belitung 65,40 69,60 6.810,00 4.138,79 685,00 7.101,27
Kep. Riau - 70,80 - - - -
D.K.I. Jakarta 75,60 75,80 561.515,02 1.024.745,04 370.978,34 797.051,71
Jawa Barat 65,80 69,10 77.599,89 258.698,78 76.152,00 131.204,93
Jawa Tengah 66,30 68,90 65.886,93 103.471,42 63.162,62 256.979,36
D.I.Yogyakarta 70,80 72,90 16.863,88 78.012,47 4.245,90 41.412,00
Jawa Timur 64,10 66,80 94.000,93 434.718,77 87.989,34 323.602,98
Banten 66,60 67,90 27.611,60 63.557,26 20.763,10 26.386,35
Bali 67,50 69,10 35.600,00 47.802,21 21.572,39 31.608,48
NTB 57,80 60,60 7.556,05 33.363,19 10.488,16 42.569,14
NTT 60,30 62,70 10.601,83 25.992,50 10.475,00 42.332,07
Kalimantan Barat 62,90 65,40 23.465,00 34.226,21 6.325,00 55.456,00
Kalimantan Tengah 69,10 71,70 6.216,00 - 8.394,50 -
Kalimantan Selatan 64,30 66,70 6.860,17 37.958,91 17.400,00 64.050,37
Kalimantan Timur 70,00 72,20 104.879,68 44.398,39 23.142,00 220.177,97
Sulawesi Utara 71,30 73,40 8.000,00 16.723,72 2.700,00 20.535,78
Sulawesi Tengah 64,40 67,30 2.047,50 32.546,39 2.420,00 34.948,73
Sulawesi Selatan 65,30 67,80 18.022,60 52.974,66 10.999,13 85.161,15
Sulawesi Tenggara 64,10 66,70 5.035,00 - 1.700,00 -
Gorontalo 64,10 65,40 3.200,00 10.624,77 1.175,00 2.917,05
Sulawesi Barat - 64,40 - - - -
Maluku 66,50 69,00 - 25.579,35 - 31.683,61
Maluku Utara 65,80 66,40 2.420,00 8.285,75 66.238,38 11.800,58
Papua Barat - 63,70 - - - -
Papua 60,10 60,90 136.478,87 172.334,41 143.702,18 181.560,89
Sumber: BPS dan DJPK Kemenkeu, 2002-2004, diolah
Tren peningkatan IPM secara regional selama pemberlakuan otonomi
daerah masih terus berlanjut hingga lima tahun terakhir, (2011-2015). Rentang
capaian IPM dengan menggunakan metode baru secara regional berada dalam
kategori rendah hingga tinggi, dan sebagian besar provinsi di Indonesia berada
dalam capaian sedang. Menurut data BPS, sudah terdapat delapan provinsi yang
13
masuk ke dalam kategori tinggi, yaitu: Banten (2015), Sulawesi Utara (2015),
Riau (2014-2015), Kepulauan Riau (2011-2015), DKI Jakarta (2011-2015), DI
Yogyakarta (2011-2015), Bali (2011-2015), dan Kalimantan Timur (2011-2015).
Sedangkan hanya Provinsi Papua (2011-2015) yang masih menunjukkan nilai
IPM yang rendah. Capaian positif ini menunjukkan bahwa tidak hanya provinsi-
provinsi di Pulau Jawa atau Indonesia bagian barat saja yang mengalami
kemajuan IPM, namun peningkatan IPM relatif menyebar.
Upaya peningkatan kualitas manusia yang dilakukan oleh pemerintah
daerah tidak hanya sebatas peningkatan alokasi anggaran. Hal yang juga tidak
kalah penting, pemerintah daerah harus dapat memastikan setiap warganya
memperoleh kemudahan akses. Akses yang dimaksud ini adalah keterjangkauan
yang diperoleh individu untuk melanjutkan kehidupan yang semakin baik, secara
fisik (pemenuhan konsumsi setiap barang) ataupun nonfisik (jangkauan
pendidikan, kesehatan dan komunikasi). Ini sejalan dengan Mangkoesoebroto
(1993: 120), bahwa peranan alokasi untuk mengusahakan sumber-sumber
ekonomi dalam ruang lingkup regional yang digunakan untuk kesejahteraan
masyarakat menjadi peranan pemerintah daerah.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka dalam studi ini akan melihat sejauh
mana faktor-faktor seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan alokasi APBD
bidang pendidikan dan kesehatan mempengaruhi IPM sebagai perhitungan
komprehensif dari pembangunan manusia jika dilihat dalam ruang lingkup
regional. Harapannya dari hasil studi ini dapat dijadikan acuan baik pemerintah
baik pusat maupun daerah dan pihak-pihak terkait untuk mengoptimalkan potensi
14
pembangunan manusia sehingga nilai IPM Indonesia dapat meningkat
kedepannya.
1.2 Batasan Penelitian
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada perkembangan
pembangunan manusia di Indonesia, yang direpresentasikan melalui IPM metode
baru yang dikeluarkan oleh BPS. Penelitian secara khusus akan melihat pengaruh
variabel-variabel kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah
berdasarkan fungsi pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di Indonesia pada
2011-2015.
1.3 Rumusan Masalah
Masih rendahnya kualitas manusia yang digambarkan oleh IPM menjadi
salah satu masalah besar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Data BPS
menunjukkan nilai IPM metode baru di Indonesia sebesar 69,55 yang masuk
kategori medium (2015). Capaian IPM tersebut relatif rendah, mengingat berbagai
dimensi pembangunan yang menjadi indikator dasar pembentuk IPM
menunjukkan kinerja yang baik, seperti penurunan tingkat kemiskinan, tingkat
pertumbuhan ekonomi yang relatif baik walaupun mengalami penurunan akibat
kondisi perekonomian global dan peningkatan alokasi APBD bidang pendidikan
dan kesehatan. Berdasarkan permasalahan ini, maka penelitian ini akan
menganalisis pengaruh tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan alokasi
APBD dalam bidang pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di Indonesia, 2011-
15
2015. Hal ini dilakukan untuk memperoleh analisis yang lebih mendalam terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia antarregional di
Indonesia.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan yang akan diuji kebenarannya dalam
penelitian. Adapun hipotesis penelitian untuk periode pengamatan 2011-2015 ini
adalah:
1. Kemiskinan diduga memiliki pengaruh negatif terhadap IPM di Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi diduga memiliki pengaruh positif terhadap IPM di
Indonesia.
3. Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan diduga memiliki pengaruh
positif terhadap IPM di Indonesia.
4. Pengeluaran pemerintah bidang kesehatan diduga memiliki pengaruh
positif terhadap IPM di Indonesia.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian untuk periode pengamatan 2011-2015 ini
adalah:
1. Menganalisis pengaruh tingkat kemiskinan terhadap IPM di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap IPM di
Indonesia.
3. Menganalisis pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah bidang
pendidikan terhadap IPM di Indonesia.
16
4. Menganalisis pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah bidang
kesehatan terhadap IPM di Indonesia.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Akademisi
Penulisan peneltian ini merupakan ajakan bagi kaum akademisi untuk
lebih banyak lagi melakukan kajian terhadap pembangunan manusia di
Indonesia, dengan semakin banyaknya penelitian diharapkan semakin
terbukanya informasi dan cara-cara yang efektif untuk meningkatkan
pembangunan manusia.
2. Bagi Pemerintah
Masukan bagi pemerintah sebagai alat bantu perencanaan (planning tool)
yang akan mengakomodasi dimensi pembangunan manusia. Dalam jangka
panjang, penelitian ini dapat bersifat alat evaluasi (evaluating tool) dalam
kerangka penelian arah pembangunan yang berkaitan dengan
pembangunan manusia.
3. Bagi penulis
Bagi penulis, sebagai mahasiswa penulisan penelitian ini merupakan syarat
untuk menyelesaikan dan mendapatkan gelar strata satu dari Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.
Melalui penelitian ini akan memberikan ilmu pengetahuan baru kepada
penulis bahwa antara kemiskinan, pertumbuhan perekonomian,
17
pengeluaran pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dan kesehatan
berpengaruh terhadap IPM di Indonesia.
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bagian, dengan susunan atau sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan, batasan penelitian,
perumusan masalah, hipotesis penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini terdiri atas landasan teori yang menjelaskan teori yang mendasari
penelitian ini dan studi empiris yang menjelaskan hasil temuan penelitian
sebelumnya.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan model penelitian, sumber dan jenis data serta alat
analisis yang dipakai dalam penelitian.
Bab IV Analisis
Bab ini membahas hasil temuan penelitian yang menjawab atas seluruh
pertanyaan penelitian yang telah disebutkan dalam bagian rumusan
permasalahan.