BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

18
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi makro perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang membaik walaupun permasalahan pengangguran dan kemiskinan belum dapat dikurangi secara drastis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin di Indonesia (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) mencapai 28,01 juta orang atau 10,86 persen dari populasi Indonesia. Data ini menunjukkan penurunan 2,01 juta orang dibandingkan dengan 2011 yang mencapai 30,02 juta orang atau 12,49 persen populasi Indonesia. Penurunan tingkat kemiskinan ini menunjukkan proses pembangunan yang memberikan perubahan ke arah yang lebih baik untuk mensejahterakan masyarakat. Pembangunan merupakan proses yang meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan manusia dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri dan kebebasan individu (Todaro dan Smith, 2011: 6). Proses perubahan tersebut harus berkesinambungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial, dan budaya sehingga pembangunan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bernegara. Tujuan utama dari pembangunan perekonomian adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan menggunakan indikator produk domestik bruto (PDB) dan produk nasional bruto (PNB). Dalam proses

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi makro perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir

menunjukkan kinerja yang membaik walaupun permasalahan pengangguran dan

kemiskinan belum dapat dikurangi secara drastis. Menurut data Badan Pusat

Statistik (BPS), pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin di Indonesia

(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan)

mencapai 28,01 juta orang atau 10,86 persen dari populasi Indonesia. Data ini

menunjukkan penurunan 2,01 juta orang dibandingkan dengan 2011 yang

mencapai 30,02 juta orang atau 12,49 persen populasi Indonesia. Penurunan

tingkat kemiskinan ini menunjukkan proses pembangunan yang memberikan

perubahan ke arah yang lebih baik untuk mensejahterakan masyarakat.

Pembangunan merupakan proses yang meningkatkan kualitas hidup dan

kemampuan manusia dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri dan

kebebasan individu (Todaro dan Smith, 2011: 6). Proses perubahan tersebut harus

berkesinambungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat baik

ekonomi, sosial, dan budaya sehingga pembangunan merupakan syarat mutlak

bagi kelangsungan hidup bernegara.

Tujuan utama dari pembangunan perekonomian adalah meningkatkan

pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan menggunakan indikator produk

domestik bruto (PDB) dan produk nasional bruto (PNB). Dalam proses

2

pertumbuhan PDB memerlukan input yang berupa manusia sebagai human capital

yang mempunyai kemampuan dan keahlian yang unik, di mana manusia akan

selalu menambah stock of human capital-nya melalui pendidikan dan pengalaman

bekerja (Borjas, 2013: 235). Hal ini sejalan dengan Adediran (2012: 3), human

capital mengacu kepada stok dari kompetensi, ilmu pengetahuan dan kepribadian

yang melekat dari kemampuan tenaga kerja pada saat menghasilkan nilai

ekonomi. Atribut-atribut ini memberikan keuntungan bagi pekerja yang juga

didapatkan melalui pendidikan dan pengalaman kerja.

Pembangunan manusia merupakan proses memperbanyak pilihan-pilihan

yang dimiliki oleh manusia (a process of enlarging people's choices). Dalam hal

ini manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia

menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan alat dari

pembangunan (Human Development Report, 1990: 3). Untuk melakukan

perhitungan yang komprehensif terhadap pembangunan manusia, UNDP

memperkenalkan human development index (HDI) atau indeks pembangunan

manusia (IPM) pertama kali pada 1990. Sejak saat itu, IPM secara berkala

dipublikasikan setiap tahunnya dalam Human Development Report. Dalam

Human Development Report yang pertama kali diterbitkan pada 1990 (Drapper,

1990: iii)1, menyebutkan bahwa tujuan utama dari adanya IPM ini tidak akan

menyampingkan pertumbuhan PDB suatu negara sebagai indikator dalam

pertumbuhan ekonominya, namun turut membantu menjabarkan PDB sebagai

pertumbuhan dari sisi pembangunan manusianya. Proses menerjemahkan ini

1 Lihat Kata Pengantar Human Development Report, 1990.

3

kadang berhasil, namun tidak juga menutup kemungkinan untuk gagal. Karena

bisa saja suatu negara memiliki nilai pembangunan manusia yang relatif tinggi

namun tingkat pendapatannya cenderung rendah, vice versa, seperti yang

digambarkan pada Tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. 1 Nilai dan Peringkat IPM dan PDB per Kapita ASEAN, 2014

Negara IPM Peringkat

dari IPM

PDB per

Kapita Peringkat

PDB per

Kapita Nilai USD

Singapura 0,912 11 56.284,57 9

Brunei Darussalam 0,856 31 40.979,64 25

Malaysia 0,779 62 11.307,06 69

Thailand 0,726 93 5.977,38 108

Indonesia 0,684 110 3.491,92 140

Filipina 0,668 115 2.872,51 151

Vietnam 0,666 116 2.052,29 156

Laos 0,575 141 1.793,47 164

Kamboja 0,555 143 1.094,57 183

Myanmar 0,536 148 1.203,84 179

Sumber: UNDP2 dan World Bank3, 2014, diolah

Sejak pertama kali diperkenalkan, IPM menjadi indikator penting dalam

mengukur kemajuan pembangunan manusia. Menurut BPS, IPM merupakan alat

ukur untuk capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar

kualitas hidup. Besarnya nilai IPM juga tidak terlepas dari peran ketiga indikator

utamanya yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dimensi

tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

layak. Berbagai negara mengadopsi konsep pembangunan manusia yang digagas

oleh UNDP dan mencoba mengaplikasikan perhitungan IPM di negaranya.

Indonesia turut mengambil bagian dalam mengaplikasikan konsep pembangunan

manusia yang dinilai lebih relevan dibandingkan dengan konsep pembangunan

2 United Nations Development Programme (UNDP), Table 2: Trends in the Human Development

Index, 1990-2014, diakses dari: http://hdr.undp.org/ en/composite/trends 3 World Bank, PDB per kapita (USD), diakses dari: http://data.worldbank.org/ indicator/NY.

GDP.P/CAP.CD

4

konvensional. Indonesia pertama kali melakukan perhitungan IPM pada 1996

yang dilakukan secara berkala setiap tiga tahun. Namun, sejak 2004, IPM dihitung

setiap tahun.

Menurut UNDP, perhitungan IPM pada saat ini menggunakan metode baru

sejak 2010. Tolok ukur yang digunakan untuk menentukan kualitas hidup manusia

adalah IPM dengan tiga komponen perhitungan, yaitu (1) Angka harapan hidup/

AHH pada waktu lahir (life expectancy at birth); (2) Harapan lama sekolah/ HLS

(expected years of schooling/ EYS) dan Rata-rata lama sekolah/ RLS (mean years

of schooling/ MYS); dan (3) Kemampuan daya beli (purchasing power parity)

yang dilihat dari PNB riil per kapita (PPP USD). Melalui peningkatan ketiga

indikator diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidup manusia.

Tabel 1. 2 Komponen IPM Metode Baru di ASEAN, 2014

Sumber: UNDP4, 2014, diolah

Perbandingan nilai dan komponen IPM di beberapa negara Asean dapat

dilihat dalam Tabel 1.2. Singapura memiliki tingkat IPM tertinggi di Asean,

peringkat 11 di level dunia, sehingga Singapura masuk ke dalam kategori very

high human development menurut UNDP. Sedangkan, Indonesia berada pada

4 United Nations Development Programme, Table 1: Human Development Index and It’s

Components, 2014, diakses dari: http://hdr.undp.org/en/composite/HDI

Peringkat

IPM Negara

AHH HLS RLS PNB per

Kapita

IPM

Metode

Baru

Tahun Tahun Tahun PPP USD Unit

11 Singapura 83,0 15,4 10,6 76.628 91,2

31 Brunei Darussalam 78,8 14,5 8,8 72.570 85,6

62 Malaysia 74,7 12,7 10,0 22.762 77,9

93 Thailand 74,4 13,5 7,3 13.323 72,6

110 Indonesia 68,9 13,0 7,6 9.788 68,4

115 Filipina 68,2 11,3 8,9 7.915 66,8

116 Vietnam 75,8 11,9 7,5 5.092 66,6

141 Laos 66,2 10,6 5,0 4.680 57,5

143 Kamboja 68,4 10,9 4,4 2.949 55,5

148 Myanmar 65,9 8,6 4,1 4.608 53,6

5

urutan ke lima di Asean dan peringkat 110 di dunia, masuk dalam kategori

medium human development, di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia,

dan Thailand. Untuk posisi IPM yang paling rendah di Asean adalah Myanmar

yang menduduki peringkat ke 148 di dunia, yang masuk dalam kategori low

human development. Berdasarkan data UNDP, peringkat pertama di dunia

diduduki oleh Norwegia dengan nilai IPM sebesar 0,944; disusul dengan Australia

(0,935) dan Swiss (0,930).

Kualitas pembangunan manusia di negara-negara tesebut tidak lepas dari

adanya pengaruh dari pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan

kesehatan. Semakin tinggi alokasi yang ditetapkan pemerintah dalam dua bidang

tersebut maka akan terjadi peningkatan terhadap pembangunan manusia sehingga

akan meningkatkan produktivitas manusia sebagai modal manusia. Perbandingan

pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan di Asean

ditunjukkan pada Tabel 1.3 berikut:

Tabel 1. 3 Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Kesehatan di

ASEAN, 2014 (% terhadap PDB) Peringkat

IPM Negara

Pengeluaran

Pendidikan

Peringkat

IPM Negara

Pengeluaran

Kesehatan

93 Thailand 7,6 116 Vietnam 7,1

116 Vietnam 6,3 93 Thailand 6,5

62 Malaysia 5,9 141 Kamboja 5,7

31 Brunei Darussalam 3,8 11 Singapura 4,9

110 Indonesia 3,6 115 Filipina 4,7

115 Filipina 3,4 62 Malaysia 4,2

11 Singapura 2,9 110 Indonesia 2,8

148 Laos 2,8 31 Brunei Darussalam 2,6

141 Kamboja 2,6 143 Myanmar 2,3

143 Myanmar 0,8 148 Laos 1,9

Sumber: UNDP5 dan World Bank6, 2014, diolah

5 United Nations Development Programme, Table 10: Education achievements, diakses dari:

http://hdr.undp.org/sites/default/files/2015_human_development_report.pdf

6

Pada 2014, pengeluaran pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan

sebesar 3,6 persen terhadap PDB, besaran pengeluaran pemerintah tersebut berada

pada posisi ke lima di Asean di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Brunei

Darussalam. Sedangkan, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan pada

tahun yang sama sebesar 2,8 persen terhadap PDB, yang menduduki peringkat ke

tujuh di Asean di bawah Vietnam, Thailand, Kamboja, Singapura, Filipina, dan

Malaysia. Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan

tersebut penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena pada

dasarnya pendidikan dan kesehatan merupakan layanan jasa yang normatifnya

disediakan oleh pemerintah bukan bertumpu pada sektor swasta atau mekanisme

pasar.

Dalam ruang lingkup Asean, Indonesia memiliki potensi kualitas

pembangunan manusia yang baik, mengingat mayoritas penduduk Indonesia saat

ini berada pada umur yang produktif. Pemerintah dapat berkontribusi untuk

meningkatkan kualitas manusia melalui pengaturan alokasi, realisasi dan

penyerapan anggaran khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang

berperan secara langsung terhadap kualitas manusia. Hal ini sejalan dengan Brata

(2005: 6), pengeluaran pemerintah daerah khususnya dalam bidang pendidikan

dan kesehatan berpengaruh terhadap IPM dalam konteks regional (antar provinsi)

di Indonesia.

Sejak 2001, pemerintah memberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi

fiskal. Landasan hukum yang digunakan atas pelaksanaan otonomi daerah dan

6Bank Dunia, Total Pengeluaran Kesehatan (% terhadap PDB), diakses dari:

http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.TOTL.ZS?view=chart

7

desentralisasi fiskal ini adalah UU No. 24 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah. Tujuan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah untuk

mengurangi tingkat kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia. Kebijakan

ini tentunya akan berdampak terhadap APBD provinsi, dimana harapannya APBD

provinsi di Indonesia dapat tersebar secara adil dan merata untuk pembangunan

daerah.

Berdasarkan undang-undang tersebut, otonomi daerah merupakan

perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah,

sehingga bentuk penyelenggaraan pemerintah bergeser dari yang semula

sentralistik menjadi desentralistik. Otonomi daerah juga merupakan bentuk

manifestasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka demokrasi di

mana daerah kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang terdekat dengan

rakyat. Menurut Tiebout (1956) dan Oates (1972), pelayanan publik yang efisien

diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis terdekat

masyarakat, karena (1) pemerintah daerah mengetahui apa yang menjadi

kebutuhan masyarakatnya; (2) keputusan pemerintah daerah responsif terhadap

kebutuhan rakyat, sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan

efisiensi penggunaan dana; dan (3) persaingan antardaerah dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk

meningkatkan inovasinya. Implikasinya, pemerintah daerah diberikan tanggung

jawab dan wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri, yang sebelumnya

menjadi fungsi pemerintah pusat.

8

Sebelum era otonomi daerah, struktur APBD yang berlaku adalah

anggaran berimbang, di mana anggaran penerimaan sama dengan jumlah

pengeluarannya. Sedangkan pada era otonomi daerah ini, struktur APBD yang

digunakan mengacu pada pendapatan masing-masing daerah sehingga tiap-tiap

daerah memiliki struktur keuangan yang berbeda tergantung pada kapasitas

keuangan yang dimilikinya. Peningkatan pendapatan daerah berarti juga

meningkatnya anggaran belanja. Sehingga, pemerintah daerah diharapkan mampu

untuk menggunakan dana desentralisasi fiskal untuk menentukan prioritas belanja.

Hal ini cukup logis karena pemerintah daerah yang mengetahui kebutuhan dan

standar pelayanan atas masyarakatnya sendiri, yang pada akhirnya masyarakat

yang memperoleh manfaatnya.

Pemberlakuan otonomi daerah menjadikan besaran APBD provinsi

meningkat drastis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu), rata-rata APBD di seluruh Indonesia

meningkat sejak 2001, ketika dimulainya pelaksanaan otonomi daerah, dari yang

semula sebesar Rp 796 miliar menjadi Rp 6,6 triliun pada 2015. Peningkatan

anggaran ini disebabkan meningkatnya sumber-sumber pendanaan oleh

pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diimplementasikan dalam transfer ke

daerah yang dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari segi cakupan, jenis

dana yang didaerahkan, maupun besaran alokasi dana yang didaerahkan.

Peningkatan alokasi anggaran ke daerah yang cukup signifikan tersebut

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam pembiayaan

pembangunan daerah, sehingga memberikan manfaat yang besar bagi

9

kesejahteraan masyarakat (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007:

12-13). Namun, untuk tingkat sebaran APBD secara regional masih belum merata,

pada provinsi-provinsi tertentu memiliki nilai APBD yang jumlahnya relatif besar.

Misalnya, APBD DKI Jakarta yang mencapai Rp 38 triliun (2013) atau hampir

tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Perbedaan APBD ini tentunya berdampak terhadap PDRB pada masing-

masing provinsi. Pada 2001-2015, selama pemberlakuan otonomi daerah, rata-rata

PDRB antar provinsi di Indonesia berfluktuasi, dengan tren yang meningkat.

Sama seperti APBD, tingkat PDRB antar provinsi di Indonesia juga mengalami

ketimpangan. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali jauh meninggalkan

beberapa provinsi lainnya, di mana ketiga provinsi tersebut PDRB-nya sudah

mencapai di atas Rp 1.000 triliun. Padahal rata-rata PDRB provinsi di Indonesia

hanya berkisar Rp 200 triliun.

Selain mempengaruhi APBD dan PDRB tiap-tiap provinsi, pelaksanaan

otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusianya.

Peningkatan nilai IPM terjadi setelah mulai diberlakukannya otonomi daerah.

Karena, kondisi sebelum dilaksanakannya otonomi daerah, kebutuhan daerah

belum tertampung dengan baik yang disebabkan pola perencanaan APBD lebih

menitik beratkan pada pertumbuhan nasional dan mengacu pada program sektoral

yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sebagai konsekuensinya, program-

program yang ditetapkan pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik (Biro

Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007: 21). Hal ini ditunjukkan dengan

penyerapan dana dari pemerintah pusat yang belum dimanfaatkan secara optimal.

10

Walaupun terjadi peningkatan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan

pada 1996-1999, namun tidak mampu untuk meningkatkan kualitas manusia di

daerah. Mayoritas nilai IPM secara regional justru menurun. Gambaran tingkat

IPM dan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan secara regional era

sebelum otonomi daerah ditunjukkan pada Tabel 1.4 berikut:

Tabel 1. 4 Perbandingan IPM (Metode Lama) dengan Alokasi APBD Bidang

Pendidikan dan Kesehatan Antarregional di Indonesia Pada Era Sebelum

Otonomi Daerah, 1996-1999

Provinsi

IPM

(Unit)

APBD Pendidikan

(Rp Juta)

APBD Kesehatan

(Rp Juta)

1996 1999 1996 1999 1996 1999

Aceh 69,40 65,30 24.987,67 15.059,09 2.339,61 16.861,37

Sumatera Utara 70,50 66,60 6.555,20 14.588,92 5.801,19 18.982,29

Sumatera Barat 69,20 65,80 4.222,97 8.308,36 1.177,17 7.535,32

Riau 70,60 67,30 3.359,23 47.491,45 4.797,71 17.948,92

Jambi 69,30 65,40 6.041,35 8.741,28 1.948,16 6.756,36

Sumatera Selatan 68,00 63,90 6.337,63 11.646,40 763,41 8.027,80

Bengkulu 68,40 64,80 1.065,07 3.152,92 823,66 4.574,89

Lampung 67,60 63,00 6.231,81 6.561,04 2.289,86 6.007,57

Kep.Bangka Belitung - - - - - -

Kep. Riau - - - - - -

D.K.I. Jakarta 76,10 72,50 98.843,44 93.254,55 70.567,06 70.341,21

Jawa Barat 68,20 64,60 37.194,29 28.738,69 17.618,48 27.379,95

Jawa Tengah 67,00 64,60 18.599,30 38.873,16 12.693,43 31.999,02

D.I. Yogyakarta 71,80 68,70 3.961,84 7.265,53 2.204,14 4.798,81

Jawa Timur 65,50 61,80 49.266,00 66.731,74 18.407,83 36.014,77

Banten - - - - - -

Bali 70,10 65,70 5.834,12 9.347,81 4.845,74 7.871,31

Nusa Tenggara Barat 56,70 54,20 1.730,00 5.972,63 1.663,99 6.826,24

Nusa Tenggara Timur 60,90 60,40 3.155,74 4.437,05 2.150,03 11.763,18

Kalimantan Barat 63,60 60,60 6.543,65 12.140,03 3.411,51 9.073,15

Kalimantan Tengah 71,30 66,70 6.812,17 8.823,45 2.792,58 8.259,48

Kalimantan Selatan 66,30 62,20 4.840,51 5.383,23 891,08 10.663,37

Kalimantan Timur 71,40 67,80 7.734,94 20.333,68 5.229,41 13.070,88

Sulawesi Utara 71,80 67,10 5.560,36 7.444,54 1.191,26 3.435,33

Sulawesi Tengah 66,40 62,80 1.698,05 4.403,44 1.698,19 6.163,06

Sulawesi Selatan 66,00 63,60 3.691,57 9.686,42 2.756,54 12.933,08

Sulawesi Tenggara 66,20 62,90 1.458,53 4.856,46 776,85 6.359,71

Gorontalo - - - - - -

Sulawesi Barat - - - - - -

Maluku 68,20 67,20 3.550,51 - 1.119,83 -

Maluku Utara - - - - - -

Papua Barat - - - - - -

Papua 60,20 58,80 10.646,73 15.677,00 7.654,80 22.928,00

Sumber: BPS dan DJPK Kemenkeu, 1996-1999, diolah

11

Kondisi awal pelaksanaan otonomi daerah, menunjukkan terjadi perbedaan

penyusunan anggaran. Pada saat ini dana yang disalurkan dari pemerintah pusat

ke pemerintah daerah dilakukan secara block grant. Untuk proses penyusunan

anggaran dilakukan dengan pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif

yang melibatkan masyarakat pada tingkat paling bawah, sehingga pembangunan

diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Biro Analisa Anggaran dan

Pelaksanaan APBN, 2007: 23). Hasil pembangunan tersebut secara perlahan dapat

terlihat, kualitas manusia secara regional meningkat. Menurut data BPS, selama

era pelaksanaan otonomi daerah, IPM baik dengan metode lama (2002-2013) atau

metode baru (2010-2015) meningkat, dengan rata-rata peningkatannya sebesar

0,900 persen.

Walaupun mayoritas nilai IPM secara regional meningkat, namun nilainya

masih berada dalam kategori kelompok sedang dengan rentang nilai 60-69,9.

Sehingga, untuk lebih memaksimalkan peningkatan IPM kedepannya pemerintah

harus lebih memberikan perhatiannya pada investasi pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan data DJPK Kemenkeu, alokasi APBD bidang pendidikan sebesar Rp

2,38 triliun (2002) meningkat hingga sebesar Rp 3,4 triliun (2004). Untuk alokasi

APBD bidang kesehatan meningkat dari sebesar Rp 1,17 triliun (2002) dan

menjadi Rp 2,97 triliun (2004). Sehingga wajar ketika nilai IPM-nya meningkat

dan nilainya relatif tinggi jika dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan otonomi

daerah. Gambaran tingkat IPM dan alokasi APBD untuk pendidikan dan

kesehatan secara regional pada era awal otonomi daerah ditunjukkan pada Tabel

1.5 berikut:

12

Tabel 1. 5 Perbandingan IPM (Metode Lama) Terhadap Alokasi APBD

Bidang Pendidikan dan Kesehatan Antarregional di Indonesia Pada Era

Awal Desentralisasi Fiskal, 2002-2004

Provinsi

IPM

(Unit)

APBD Pendidikan

(Rp Juta)

APBD Kesehatan

(Rp Juta)

2002 2004 2002 2004 2002 2004

Aceh 66,00 68,70 705.710,67 257.869,93 45.410,00 69.459,85

Sumatera Utara 68,80 71,40 14.702,82 66.717,50 22.354,47 90.335,23

Sumatera Barat 67,50 70,50 11.360,51 34.811,47 14.988,34 82.395,06

Riau 69,10 72,20 374.314,27 359.352,39 91.299,10 118.510,60

Jambi 67,10 70,10 4.578,49 19.936,14 5.834,81 43.465,89

Sumatera Selatan 66,00 69,60 27.214,66 81.860,79 13.008,99 45.978,69

Bengkulu 66,20 69,90 1.155,00 12.303,33 990,00 33.257,65

Lampung 65,80 68,40 22.359,99 71.566,35 22.729,90 78.866,55

Kep.Bangka Belitung 65,40 69,60 6.810,00 4.138,79 685,00 7.101,27

Kep. Riau - 70,80 - - - -

D.K.I. Jakarta 75,60 75,80 561.515,02 1.024.745,04 370.978,34 797.051,71

Jawa Barat 65,80 69,10 77.599,89 258.698,78 76.152,00 131.204,93

Jawa Tengah 66,30 68,90 65.886,93 103.471,42 63.162,62 256.979,36

D.I.Yogyakarta 70,80 72,90 16.863,88 78.012,47 4.245,90 41.412,00

Jawa Timur 64,10 66,80 94.000,93 434.718,77 87.989,34 323.602,98

Banten 66,60 67,90 27.611,60 63.557,26 20.763,10 26.386,35

Bali 67,50 69,10 35.600,00 47.802,21 21.572,39 31.608,48

NTB 57,80 60,60 7.556,05 33.363,19 10.488,16 42.569,14

NTT 60,30 62,70 10.601,83 25.992,50 10.475,00 42.332,07

Kalimantan Barat 62,90 65,40 23.465,00 34.226,21 6.325,00 55.456,00

Kalimantan Tengah 69,10 71,70 6.216,00 - 8.394,50 -

Kalimantan Selatan 64,30 66,70 6.860,17 37.958,91 17.400,00 64.050,37

Kalimantan Timur 70,00 72,20 104.879,68 44.398,39 23.142,00 220.177,97

Sulawesi Utara 71,30 73,40 8.000,00 16.723,72 2.700,00 20.535,78

Sulawesi Tengah 64,40 67,30 2.047,50 32.546,39 2.420,00 34.948,73

Sulawesi Selatan 65,30 67,80 18.022,60 52.974,66 10.999,13 85.161,15

Sulawesi Tenggara 64,10 66,70 5.035,00 - 1.700,00 -

Gorontalo 64,10 65,40 3.200,00 10.624,77 1.175,00 2.917,05

Sulawesi Barat - 64,40 - - - -

Maluku 66,50 69,00 - 25.579,35 - 31.683,61

Maluku Utara 65,80 66,40 2.420,00 8.285,75 66.238,38 11.800,58

Papua Barat - 63,70 - - - -

Papua 60,10 60,90 136.478,87 172.334,41 143.702,18 181.560,89

Sumber: BPS dan DJPK Kemenkeu, 2002-2004, diolah

Tren peningkatan IPM secara regional selama pemberlakuan otonomi

daerah masih terus berlanjut hingga lima tahun terakhir, (2011-2015). Rentang

capaian IPM dengan menggunakan metode baru secara regional berada dalam

kategori rendah hingga tinggi, dan sebagian besar provinsi di Indonesia berada

dalam capaian sedang. Menurut data BPS, sudah terdapat delapan provinsi yang

13

masuk ke dalam kategori tinggi, yaitu: Banten (2015), Sulawesi Utara (2015),

Riau (2014-2015), Kepulauan Riau (2011-2015), DKI Jakarta (2011-2015), DI

Yogyakarta (2011-2015), Bali (2011-2015), dan Kalimantan Timur (2011-2015).

Sedangkan hanya Provinsi Papua (2011-2015) yang masih menunjukkan nilai

IPM yang rendah. Capaian positif ini menunjukkan bahwa tidak hanya provinsi-

provinsi di Pulau Jawa atau Indonesia bagian barat saja yang mengalami

kemajuan IPM, namun peningkatan IPM relatif menyebar.

Upaya peningkatan kualitas manusia yang dilakukan oleh pemerintah

daerah tidak hanya sebatas peningkatan alokasi anggaran. Hal yang juga tidak

kalah penting, pemerintah daerah harus dapat memastikan setiap warganya

memperoleh kemudahan akses. Akses yang dimaksud ini adalah keterjangkauan

yang diperoleh individu untuk melanjutkan kehidupan yang semakin baik, secara

fisik (pemenuhan konsumsi setiap barang) ataupun nonfisik (jangkauan

pendidikan, kesehatan dan komunikasi). Ini sejalan dengan Mangkoesoebroto

(1993: 120), bahwa peranan alokasi untuk mengusahakan sumber-sumber

ekonomi dalam ruang lingkup regional yang digunakan untuk kesejahteraan

masyarakat menjadi peranan pemerintah daerah.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka dalam studi ini akan melihat sejauh

mana faktor-faktor seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan alokasi APBD

bidang pendidikan dan kesehatan mempengaruhi IPM sebagai perhitungan

komprehensif dari pembangunan manusia jika dilihat dalam ruang lingkup

regional. Harapannya dari hasil studi ini dapat dijadikan acuan baik pemerintah

baik pusat maupun daerah dan pihak-pihak terkait untuk mengoptimalkan potensi

14

pembangunan manusia sehingga nilai IPM Indonesia dapat meningkat

kedepannya.

1.2 Batasan Penelitian

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada perkembangan

pembangunan manusia di Indonesia, yang direpresentasikan melalui IPM metode

baru yang dikeluarkan oleh BPS. Penelitian secara khusus akan melihat pengaruh

variabel-variabel kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah

berdasarkan fungsi pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di Indonesia pada

2011-2015.

1.3 Rumusan Masalah

Masih rendahnya kualitas manusia yang digambarkan oleh IPM menjadi

salah satu masalah besar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Data BPS

menunjukkan nilai IPM metode baru di Indonesia sebesar 69,55 yang masuk

kategori medium (2015). Capaian IPM tersebut relatif rendah, mengingat berbagai

dimensi pembangunan yang menjadi indikator dasar pembentuk IPM

menunjukkan kinerja yang baik, seperti penurunan tingkat kemiskinan, tingkat

pertumbuhan ekonomi yang relatif baik walaupun mengalami penurunan akibat

kondisi perekonomian global dan peningkatan alokasi APBD bidang pendidikan

dan kesehatan. Berdasarkan permasalahan ini, maka penelitian ini akan

menganalisis pengaruh tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan alokasi

APBD dalam bidang pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di Indonesia, 2011-

15

2015. Hal ini dilakukan untuk memperoleh analisis yang lebih mendalam terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia antarregional di

Indonesia.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah pernyataan yang akan diuji kebenarannya dalam

penelitian. Adapun hipotesis penelitian untuk periode pengamatan 2011-2015 ini

adalah:

1. Kemiskinan diduga memiliki pengaruh negatif terhadap IPM di Indonesia.

2. Pertumbuhan ekonomi diduga memiliki pengaruh positif terhadap IPM di

Indonesia.

3. Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan diduga memiliki pengaruh

positif terhadap IPM di Indonesia.

4. Pengeluaran pemerintah bidang kesehatan diduga memiliki pengaruh

positif terhadap IPM di Indonesia.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian untuk periode pengamatan 2011-2015 ini

adalah:

1. Menganalisis pengaruh tingkat kemiskinan terhadap IPM di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap IPM di

Indonesia.

3. Menganalisis pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah bidang

pendidikan terhadap IPM di Indonesia.

16

4. Menganalisis pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah bidang

kesehatan terhadap IPM di Indonesia.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Akademisi

Penulisan peneltian ini merupakan ajakan bagi kaum akademisi untuk

lebih banyak lagi melakukan kajian terhadap pembangunan manusia di

Indonesia, dengan semakin banyaknya penelitian diharapkan semakin

terbukanya informasi dan cara-cara yang efektif untuk meningkatkan

pembangunan manusia.

2. Bagi Pemerintah

Masukan bagi pemerintah sebagai alat bantu perencanaan (planning tool)

yang akan mengakomodasi dimensi pembangunan manusia. Dalam jangka

panjang, penelitian ini dapat bersifat alat evaluasi (evaluating tool) dalam

kerangka penelian arah pembangunan yang berkaitan dengan

pembangunan manusia.

3. Bagi penulis

Bagi penulis, sebagai mahasiswa penulisan penelitian ini merupakan syarat

untuk menyelesaikan dan mendapatkan gelar strata satu dari Departemen

Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.

Melalui penelitian ini akan memberikan ilmu pengetahuan baru kepada

penulis bahwa antara kemiskinan, pertumbuhan perekonomian,

17

pengeluaran pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dan kesehatan

berpengaruh terhadap IPM di Indonesia.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bagian, dengan susunan atau sistematika

penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan, batasan penelitian,

perumusan masalah, hipotesis penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini terdiri atas landasan teori yang menjelaskan teori yang mendasari

penelitian ini dan studi empiris yang menjelaskan hasil temuan penelitian

sebelumnya.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan model penelitian, sumber dan jenis data serta alat

analisis yang dipakai dalam penelitian.

Bab IV Analisis

Bab ini membahas hasil temuan penelitian yang menjawab atas seluruh

pertanyaan penelitian yang telah disebutkan dalam bagian rumusan

permasalahan.

18

Bab V Kesimpulan dan Implikasi

Bab ini memuat kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan dan

implikasi yang membangun bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan

IPM di Indonesia.