BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nasib suatu obat dalam tubuh tidak dapat kita tentukan, oleh karena itu penghantaran agen terapi ke daerah target merupakan kunci keberhasilan dalam treatment suatu penyakit. Sistem penghantaran secara konvensional memiliki kelemahan seperti efektivitas kurang optimum, biodisribusi yang buruk dan tidak selektif pada daerah target (Nevozhay dkk., 2007). Untuk itu dibutuhkan suatu sistem penghantaran obat yang tertarget. Sistem penghantaran obat yang tertarget memiliki manfaat lebih dibandingkan dengan sistem konvensional karena obat dapat ditransportkan menuju daerah aksi secara spesifik sehingga dapat meningkatkan keamanan dan efikasi obat (Hillery dkk., 2001). Nanoteknologi membuka banyak peluang besar dalam pengembangan berbagai macam strategi penghantaran obat. Nanopartikel (molekul yang berukuran <100nm) mendapatkan perhatian lebih karena dengan mengoptimasi sifat fisika-kimia serta biologisnya dapat digunakan sebagai drug delivery atau carrier berbagai macam agen terapi dan lebih mudah mencapai level seluler (Suri dkk., 2007; Wilczewska dkk., 2012). Selain itu, nanopartikel juga dapat digunakan sebagai sistem penghantaran obat tertarget (Nevozhay dkk., 2007). Pembuatan sistem penghantaran tertarget nanopartikel dapat dilakukan dengan reaksi konjugasi untuk menambatkan permukaan nanoparikel dengan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nasib suatu obat dalam tubuh tidak dapat kita tentukan, oleh karena itu

penghantaran agen terapi ke daerah target merupakan kunci keberhasilan dalam

treatment suatu penyakit. Sistem penghantaran secara konvensional memiliki

kelemahan seperti efektivitas kurang optimum, biodisribusi yang buruk dan tidak

selektif pada daerah target (Nevozhay dkk., 2007). Untuk itu dibutuhkan suatu

sistem penghantaran obat yang tertarget. Sistem penghantaran obat yang tertarget

memiliki manfaat lebih dibandingkan dengan sistem konvensional karena obat

dapat ditransportkan menuju daerah aksi secara spesifik sehingga dapat

meningkatkan keamanan dan efikasi obat (Hillery dkk., 2001).

Nanoteknologi membuka banyak peluang besar dalam pengembangan

berbagai macam strategi penghantaran obat. Nanopartikel (molekul yang

berukuran <100nm) mendapatkan perhatian lebih karena dengan mengoptimasi

sifat fisika-kimia serta biologisnya dapat digunakan sebagai drug delivery atau

carrier berbagai macam agen terapi dan lebih mudah mencapai level seluler (Suri

dkk., 2007; Wilczewska dkk., 2012). Selain itu, nanopartikel juga dapat

digunakan sebagai sistem penghantaran obat tertarget (Nevozhay dkk., 2007).

Pembuatan sistem penghantaran tertarget nanopartikel dapat dilakukan

dengan reaksi konjugasi untuk menambatkan permukaan nanoparikel dengan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

2

molekul penarget yang dapat memfasilitasi penghantaran obat secara khusus

menuju sel target (Lammers dkk., 2012; Marcucci & Lefoulon, 2004) seperti,

protein (antibiodi), asam nukleat, atau ligan lainnya (peptida, vitamin,

karbohidrat) (Peer dkk., 2007). Nanopartikel yang terkonjugasi dengan

monoklonal antibodi menjadi salah satu pilihan untuk terapi kanker (Scott dkk.,

2012).

Keberhasilan reaksi konjugasi tergantung pada gugus fungsional reaktif

dari reagen pengkonjugasi maupun dari molekul target. Jika salah satu tidak

memiliki gugus fungsional reaktif, atau jika keduanya tidak kompatibel maka

reaksi konjugasi tidak akan berhasil (Hermanson, 1996). Reagen yang umum

digunakan dalam konjugasi misalnya haloasetil, imidoester, dan karbodiimida

jika gugus fungsional molekul target yang akan dikonjugasikan berturut-turut

adalah sulfidril, amina dan karboksilat (Wong, 2000).

Pektin merupakan polimer yang umum digunakan dalam formulasi

nanopartikel karena memiliki sifat biodegradabel dan tidak toksik (Sriamornsak,

2001; Raj dkk, 2012; Mardiyati dkk., 2012). Komponen utama penyususn pektin

adalah asam D-galakturonat (GalA) yang mengandung gugus karboksilat

(Mukhiddinov, 2000 ; Sriamornsak, 2001).

Pektin yang diformulasikan menjadi nanopartikel dapat dikonjugasikan

dengan protein penarget untuk menghasilkan suatu sistem penghantaran obat yang

tertarget. Menurut Carter dan Ho pada tahun 1994, BSA sering digunakan sebagai

model protein karena mudah diperoleh. BSA tersusun dari 583 unit asam amino

dengan jumlah asam amino kedua terbanyak adalah lisin yaitu 59 unit (Peters,

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

3

1995). Asam amino lisin yang memiliki rantai samping gugus amina dan N-

terminal asam amino secara umum merupakan gugus fungsional penyusun protein

yang menjadi sasaran untuk modifikasi molekul (Wong, 2000).

EDAC merupakan senyawa golongan karbodiimida yang mampu

mengkonjugasikan gugus amina pada asam amino dengan gugus karboksilat

molekul lain dengan membentuk ikatan amida. Selain bergantung pada gugus

fungsional reaktif yang bereaksi, keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan

oleh kondisi sistem pada saat reaksi berlangsung, misalkan pemilihan pH medium,

waktu dan suhu reaksi, serta konsentrasi pereaksi yang digunakan. Analisis hasil

reaksi konjugasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara

lain size-exclusion kromatografi, gel elektroforesis dan x-ray.

Pada akhir penelitian ini diharapkan dapat diketahui keberhasilan reaksi

konjugasi antara pektin dengan BSA secara kualitatif kemudian dapat diketahui

pula perbandingan pereaksi serta waktu optimal yang diperlukan untuk reaksi

konjugasi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan yang

mempermudah dalam pengembangan nanopartikel sebagai sistem penghantaran

obat tertarget.

B. Rumusan Masalah

a. Apakah pektin dapat dikonjugasikan dengan BSA menggunakan katalis

EDAC?

b. Apakah perubahan perbandingan pereaksi berpengaruh terhadap efektivitas

konjugasi pektin dengan BSA dengan katalis EDAC pada suhu 4 °C ?

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

4

c. Apakah perbedaan lama reaksi berpengaruh terhadap efektivitas konjugasi

pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4 °C?

d. Apakah hasil reaksi konjugasi pektin dengan BSA dengan katalis EDAC dapat

dianalisis secara kualitatif menggunakan metode Poliakrilamid Gel

Elektroforesis (PAGE) ?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan konjugasi low methoxyl

pektin dengan BSA dan analisa kualitatif hasilnya menggunakan katalis

EDAC.

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC.

b. Mengetahui perbandingan pereaksi optimum dalam konjugasi pektin

dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4 °C.

c. Mengetahui waktu reaksi optimum dalam reaksi konjugasi pektin dengan

BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4 °C.

d. Memperoleh metode analisis poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE)

yang tepat untuk mengevaluasi hasil reaksi konjugasi pektin dengan BSA

menggunakan katalis EDAC secara kualitatif.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

5

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai reaksi

konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC, mengetahui

perbandingan pereaksi dan waktu reaksi optimal dalam reaksi konjugasi serta

mengetahui informasi mengenai metode analisis kualitatif yang tepat untuk

mengevaluasi hasil konjugasi yang dapat menjadi dasar pengembangan

nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat tertarget.

E. Tinjauan Pustaka

1. Bovine Serum Albumin (BSA)

Bovine serum albumin (BSA) sering digunakan sebagai model untuk

studi fisika-kimia protein karena merupakan polipeptida yang mudah tersedia

(Carter & Ho, 1994). BSA merupakan suatu protein globular yang tersusun

dari dua puluh asam amino esensial dalam struktur yang terdiri dari 583 unit

dengan asam amino terbanyak pertama yaitu leusin ( 60 unit) dan yang kedua

yaitu lisin (59 unit) (Peters, 1995). Asam amino lisin yang memiliki rantai

samping gugus amina dan N-terminal asam amino secara umum merupakan

gugus fungsional penyusun protein yang menjadi sasaran untuk modifikasi

molekul (Wong, 2000). Berat molekul BSA adalah 66500 Da (Peters, 1995;

Gonzalez-Flecha dkk., 2003).

BSA sangat mudah larut dalam air dan hanya dapat diendapkan

menggunakan garam netral yang memiliki konsentrasi tinggi seperti

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

6

ammonium sulfat. Kestabilan larutan BSA sangat baik, terlebih jika disimpan

dalam keadaan beku (Rani, 2012). Albumin akan mengalami koagulasi oleh

pemanasan (Lewis, 1993). Ketika dipanaskan pada suhu 50⁰ C atau lebih,

albumin akan segera membentuk agregat hidrofobik yang tidak dapat kembali

ke bentuk monomernya walaupun telah didinginkan (Sigma, 2000).

BSA memiliki kisaran Isoelectric Point (pI) antara pH 4,7 sampai 5,2

(Kongraksawech dkk., 2007) dan transformasi konformasi proteinnya

dipengaruhi oleh perubahan pH seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Transformasi konformasi BSA oleh perubahan pH (Foster dkk., 1977; Michnik

dkk., 2005; Yamasaki dkk., 1990)

Pada pH antara 4,5 dan 7, BSA berada pada bentuk native (N).

Penurunan pH dari 4,5 hingga 3,5, mengubah secara reversibel bentuk native

(N) menjadi bentuk fast (F) yang berarti dapat bermigrasi secara cepat pada

gel elektrofosresis. Penurunan kembali pH dari 3,5 hingga 2, mengubah

konformasi menjadi bentuk expanded (E). Ketika pH dinaikkan dari 7 hingga

9, bentuk N akan berubah menjadi bentuk basic (B) dan selanjutnya menjadi

bentuk E jika pH terus dinaikkan. Konformasi native (N) merupakan bentuk

paling kompak/padat, sedangkan bentuk expanded (E) merupakan struktur

yang paling terbuka (Foster, 1977; Michnik dkk., 2005; Yamasaki dkk.,

1990).

Perubahan

F-E Perubahan

N-F

Konformasi

natif (N) Perubahan

N-B Perubahan

B-E

pH 2 pH 3,5 pH 4,5 hingga pH 7 pH 9 pH 11,5

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

7

Albumin memiliki rongga hidrofobik yang dapat mengikat asam

lemak, bilirubin, hormon dan obat (Putnam, 1975). BSA sering digunakan

sebagai penstabil untuk protein terlarut lainnya atau enzim yang labil. Dalam

aplikasi di bidang biokimia, BSA digunakan sebagai Enzyme-Linked

Immunosorbent Assay (ELISA), Immunoblots, dan Immuno histo chemistry

(IHC) (Rani, 2012). BSA juga dapat digunakan sebagai standard pada

kalibrasi protein untuk menentukan kuantitas protein lain dengan

menggunakan metode Lowry dan Bradford protein assay, dan sebagai

blocking agent pada Western blots (Putnam, 1975 ; Rani, 2012).

2. Pektin

Pektin (Gambar 2) merupakan kompleks polisakarida yang banyak

digunakan dalam industri farmasi karena memiliki sifat biodegradable dan

tidak toksik. Sumber pektin yang banyak dikomersialkan sekarang berasal dari

kulit jeruk maupun apel. Pektin memiliki berat molekul antara 50 kDa hingga

150 kDa yang terdiri dari sekitar 1000 unit sakarida (Sriamornsak, 2001).

Komponen utama penyusun pektin adalah asam D-galakturonat (GalA)

(Mukhiddinov dkk., 2000) yang dapat saling berikatan membentuk rantai

melalui ikatan (1-4)-glikosidik (Raj dkk., 2012).

Asam uronat memiliki gugus kabonil, dan beberapa gugus karbonil ini

dapat diesterifikasi dengan gugus metil atau senyawa lainnya. Ratio antara

GalAyang telah tersesterifikasi dengan total GalA disebut sebagai derajat

esterifikasi (DE/DM) (Sriamornsak, 2001). Berdasarkan harga DE pektin

diklasifikasikan menjadi dua, pektin dengan nilai DM > 50% termasuk dalam

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

8

high methoxyl sedangkan low methoxyl memiliki harga DM<50% (Walter,

1991). Kemampuan pektin dalam membentuk gel tergantung dari harga

derajat metilasi, disamping ukuran molekulnya (Sriamornsak, 2001).

Gambar 2. Struktur kimia pektin (Raj dkk., 2012)

Pektin merupakan polimer yang digunakan sebagai pembawa dalam

aplikasi pelepasan obat terkontrol, dan banyak pula teknik yang telah

digunakan untuk membuat sistem penghantasran berbasis perktin seperti ionic

gelasi atau gel coating (Raj ddk., 2012).

3. Konjugasi

Konjugasi (Crosslinking) merupakan suatu proses kimia untuk

menggabungkan dua atau lebih molekul dengan suatu ikatan kovalen

(Hayworth, 2014.). Sistem konjugasi dapat diaplikasikan untuk membuat

suatu sistem termodifikasi berbasis protein yang berfungsi untuk deteksi,

assay tracking atau mentarget suatu molekul biologi (Hermanson, 1996).

Konjugasi antara suatu molekul sintetik dengan suatu protein memiliki

peranan yang besar dalam dunia kesehatan, misal pada pengembangan suatu

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

9

agen terapi berbasis protein dengan menggabungkan suatu polimer atau suatu

molekul obat pada protein. Tujuan dari konjugasi ini adalah untuk menaikkan

sifat farmakokinetik dari komponen terapinya (Witus, 2012). Dari banyak

jenis sekuen asam amino protein, hanya beberapa gugus fungsional saja yang

menjadi target dalam konjugasi, diantaranya adalah amina primer (-NH2),

karboksilat (-COOH), sulfidril (-SH) dan karbonil (-CHO).

Teknik konjugasi tergantung pada gugus fungsional reaktif dari reagen

crosslinking maupun dari molekul target. Jika salah satu tidak memiliki gugus

fungsional reaktif, atau jika keduanya tidak kompatibel maka reaksi konjugasi

tidak akan berhasil (Hermanson, 1996). Sehingga jika ingin mendapatkan

hasil reaksi yang optimal, perlu dilakukan pemilihan antara reagen

crosslinking dan molekul target yang tepat. Pada table 1 dapat dilihat

beberapa contoh reagen yang sesuai dengan gugus fungsional reaktif yang

akan dikonjugasikan.

Reagen biokonjugat memiliki gugus fungsi yang reaktif secara

spontan dan selektif untuk terikat pada gugus fungsional spesifik molekul

target. Sebagian reagen tidak secara langsung dapat menjadi crosslinker, tetapi

ada yang akan membentuk intermediet aktif yang akan berikatan dengan

molekul kedua yang memiliki komposisi kimia yang tepat untuk melakukan

reaksi (Hermanson, 1996).

Gugus reaktif dari crosslinker telah dikarakterisasi dan digunakan

untuk melabel suatu ligand, protein, peptida, karbohidrat, polimer sintesis, dan

lain-lain (Hermanson, 1996). Crosslinker dengan dua gugus reaktif yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

10

berbeda dapat disintesis menjadi satu bagian dengan mengkombinasikan

gugus reaktif yang berbeda tersebut dengan suatu molekul. Ketika

dikombinasikan maka akan terbentuk „back bone’ (disebut sebagai spacer

arms karena menentukan jarak antar gugus reaktif) (Hayworth, 2014).

Tabel I. Jenis-jenis Crosslinker berdasarkan gugus reaktif target (Hayworth, 2014).

Selain bergantung pada gugus fungsional reaktif yang bereaksi,

keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan oleh kondisi sistem pada saat

reaksi berlangsung, misalkan pemilihan pH medium, waktu dan suhu reaksi,

serta konsentrasi pereaksi yang digunakan. Konjugasi harus dilakukan pada

pH medium yang sesuai untuk menjaga integritas makromolekul yang

direaksikan dan optimal untuk terjadinya reaksi. Pada beberapa reaksi reaksi

lebih dipilih dilakukan pada suhu ruang atau di bawah suhu ruang karena

kebanyakan reaksi berjalan dengan cepat. Selain itu, pada suhu rendah lebih

meningkatkan selektivitas dari reaksi sehingga akan meminimalkan reaksi

samping. Jika dilakukan pada suhu tinggi, untuk memghindari reaksi berlebih

maka reaksi harus dilakukan dengan waktu yang singkat, begitu juga

Gugus Fungsional

Reaktif Jenis Crosslinker

Carboxyl - Amin Carbodiimide (misal,

EDC)

Amin-Amin

NHS ester, Imidoester,

Pentafluorophenyl ester,

Hydroxymethyl

phosphine

Sulfhydryl-

Sulfhydryl

Maleimide, Haloacetyl

(Bromo- atau Iodo-),

Pyridyldisulfide,

Thiosulfonate

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

11

sebaliknya jika reaksi dilakukan pada suhu rendah maka perlu dilakukan

penaikan waktu reaksi untuk memperoleh hasil yang optimum. Konsentrasi

pereaksi yang digunakan juga menentukan kondisi konjugasi yang optimal.

Semakin tinggi konsentrasi pereaksi yang digunakan maka laju reaksi akan

berjalan semakin cepat karena semakin banyak interaksi antar molekulnya

hingga diperoleh titik optimumnya. Jika kondisi reaksi optimum dalam

konjugasi belum diketahui secara pasti, maka perlu dilakukan optimasi untuk

memperoleh hasil konjugasi yang optimum (Wong, 2000).

4. EDAC-HCl (1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida hidroklorida)

Senyawa golongan karbodiimida digunakan untuk memperantarai

pembentukan ikatan amida antara gugus karboksilat dan amin. Karbodiimida

mengandung kumpulan senyawa yang memiliki formula R-N=C=N-R1,

dimana R dan R1 adalah senyawa alifatik (misal, dietilkarbodiimida), alisiklik

(misal, disikloheksilkarbodiimida) atau aromatik (misal, difenilkarbodiimida)

(Bauminger & Wilchek, 1980).

Salah satu jenis katalis gologan karbodiimida yang sering digunakan

adalah 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida (Gambar 3) yang juga

dikenal sebagai EDAC/EDC. Penggunaan golongan karbodiimida termasuk

metode yang mudah dan sederhana dimana dalam reaksinya akan membentuk

suatu ikatan amida yang stabil (Sheehan & Hess, 1955). EDAC merupakan

katalis yang larut dalam air, sehingga cocok digunakan untuk konjugasi yang

melibatkan protein dan makromolekul lainnya (Hermanson, 1996). Interaksi

antara molekul satu dengan lainnya yang dihubungkan oleh karbodiimida

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

12

membentuk zero-lenght crosslinking, yang artinya tidak terbentuk spacer arm,

karena pada akhir reaksi tidak terdapat satupun bagian dari struktur kimia

EDAC yang terikat pada molekul hasil konjugasi (Carter, 1996 ; Hayworth,

2014).

N

C

N

NH Cl

Gambar 3. Struktur kimia 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida hidroklorida

(EDAC/EDC/EDAC HCl), MW : 191.70, Spacer arms : 0.0 Å (Uptima, 2005)

EDAC akan mengkonjugasikan gugus amina primer pada asam amino

dengan gugus karboksilat pereaksi lain (Carter, 1996). EDAC akan

mengaktifasi karbonil dan membentuk intermediet aktif O-asil-isourea yang

mudah digantikan oleh nukleofilik dari amina primer (Gambar 4) (Bauminger

& Wilcheck, 1980). Reaksi pembentukan ikatan amida yang oleh

karbodiimida terjadi secara efektif antara pH 4,5 hingga 7,5 dan dapar yang

umum digunakan adalah dapar MES (asam 4-morfolinoetansulfonat) jika

kondisi reaksi yang dibutuhkan dalam suasana asam, dan digunakan dapar

fosfat jika reaksi dilakukan pada pH netral (Hermanson, 1996).

Derivat urea merupakan produk samping utama jika reaksi dilakukan

pada temperatur tinggi, oleh karena itu dibutuhkan temperatur yang cukup

rendah (sekitar 0⁰ C) pada saat reaksi berlangsung untuk meminimalisir

terbentuknya produk samping. Selain itu penambahan kelompok amina juga

dapat mengurangi pembentukan derivat urea (Bauminger & Wilcheck, 1980).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

13

Gambar 4. Skema reaksi EDAC/EDC (Karbodiimida) sebagai katalis. Keterangan:

Molekul (1) dan (2) dapat berupa peptida, protein atau molekul lain yang

mempunyai gugus karboksilat dan amin primer (Hayworth, 2014)

Proses dialisis atau gel filtrasi dapat digunakan untuk menghilangkan

kelebihan reagen dan juga isourea yang terbentuk sebagai by-product selama

reaksi, selain itu juga dapat digunakan untuk menghilangkan senyawa yang

tidak membentuk ikatan kovalen (Bauminger dkk., 1969; McGuire dkk., 1965;

Bauminger & Wilchek, 1980).

5. Gel Poliakrilamid Elektroforesis (PAGE)

Metode elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid dapat

digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan perbedaan bobot atau

ukuran molekulnya. Gel poliakrilamid merupakan hasil polimerasi dari

monomer akrilamid dengan adanya N,N’-methylene-bis-acrylamide (bis-

akrilamid) yang berfungsi sebagai pembentuk silang, dimana keduanya akan

berpolimerasi dengan adanya senyawa radikal (Gambar 5). Senyawa radikal

yang biasanya digunakan adalah amonium persulfat (APS). Untuk

mendekomposisi APS agar menjadi senyawa radikal dan menyetabilkannya,

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

14

maka ditambahkan TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil etilendiamin). Ukuran pori

gel sangat ditentukan oleh perbandingan jumlah akrilamid dan bis-akrilamid.

Gambar 5. Polimerisasi akrilamid (Walker, 2002)

Terdapat dua macam gel yang digunakan dalam pemisahan protein

menggunakan gel poliakrilamid, yaitu gel penumpuk (stacking gel) dan gel

pemisah (separating gel). Gel pemisah digunakan untuk memisahkan protein

berdasarkan bobot molekulnya. Ukuran pori gel pemisah dapat berfariasi

sesuai dengan kisaran ukuran protein yang ingin dipisahkan. Gel penumpuk

berfungsi untuk tempat memasukkan sampel atau ruang pembatas antar

sampel. Ukuran pori gel pada bagian ini sangat besar yaitu sekitar 4% dengan

tujuan agar protein dapat bermigrasi dengan mudah (Walker, 2002).

a. SDS-PAGE

SDS-PAGE meupakan metode yang secara luas digunakan untuk

menganalisis protein secara kualitatif berdasasarkan ukurannya dan dapat

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

15

digunakan pula untuk menentukan berat molekul relatif suatu protein

(Walker, 2002).

Dalam metode ini, sampel dapar yang digunakan mengandung β-

mercaptoethanol dan SDS. SDS (sodium dodesil sulfat) dengan struktur

kimia CH3-[CH2]10-CH2OSO3-Na

+ merupakan suatu detergen anionik

yang memiliki ujung hidrofobik pada bagian dodesil, dan bagian yang

sangat bermuatan pada gugus sulfatnya. SDS akan terikat kuat pada

bagian hidrofobik asam amino yang menentukan konformasi 3D protein.

Akibat terikat oleh SDS maka struktur globular protein akan terdenaturasi

total menjadi protein yang linear (Encorbio, 2014). Struktur linear ini

menjadikan protein kehilangan muatan aslinya dan menjadi bermuatan

negatif. Akibat perlakuan tersebut tidak ada perbedaan muatan dan

konformasi antar protein. Mercaptoethanol digunakan untuk memutus

ikatan disulfida yang membentuk struktur tersier suatu protein (Walker,

2002).

Karena memiliki muatan negatif yang sama pada rantai

peptidanya, saat diberi medan listrik, ptrotein-SDS akan bermigrasi ke

arah anoda pada gel pemisah dengan kecepatan yang sama pula.

Walaupun memiliki kecepatan migrasi yang sama, namun ukuran protein

juga menentukan seberapa jauh protein tresebut dapat bermigrasi dalam

gel pemisah (Walker, 2002).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

16

b. Non-denaturasi-PAGE

Non-denaturasi-PAGE digunakan jika ingin mempertahankan

bentuk native protein yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

aktivitas biologi misal, aktivitas enzym, ikatan reseptor, ikatan antibodi

dan lain sebagainya Pada tipe non-denaturasi, tidak digunakan SDS

maupun agen pereduksi lainnya seperti merkaptoetanol pada saat

preparasi gel elektroforesis, dapar sampel dan dapar elektroforesis, selain

itu pemanasan sampel juga tidak diperlukan (Walker, 2002).

Migrasi protein melewati gel elektoforesis menuju anoda

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti, ukuran molekul, bentuk

dan muatan asli dari protein itu sendiri. Oleh karena itu resolusi dari non-

denaturasi-PAGE tidak sebaik pada SDS-PAGE, namun teknik ini sangat

bermanfaat jika ingin mempertahankan struktur native protein selama

analisis (Smet dkk., 2006) .

Muatan asli protein dapat dipengaruhi oleh pH gel. Jika pH gel

lebih kecil dari titik isoelektrik (pI) protein sampel, maka akan

menghasilkan muatan positif pada protein, dan jika di atas pI protein

maka akan memberikan muatan akhir negatif. Protein sampel harus

memiliki pI < 7.0 agar memiliki muatan negatif agar dapat menuju anoda.

Secara umum, pada pH 2,0 hingga 4,0 maka protein akan bermuatan

positif, dan akan bermuatan negatif pada pH diatas 8.0. Oleh karena itu

pemilihan pH yang cocok sangat penting untuk memastikan bahwa

protein yang kita inginkan dapat bermigrasi dalam gel (Gallagher, 1999).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

17

6. Nanopartikel sebagai Sistem Penghantaran Obat Tertarget

Nanopartikel merupakan partikel mikroskopik yang memiliki

diameter antara 10-200 nm (Hu dkk., 2012). Ukuran ini memberikan

keuntungan dalam segi farmakokinetika. Karena memiliki ukuran yang kecil,

nanopartikel dapat melewati sawar darah otak dan dapat beraksi pada level

selular (Wilczewska dkk., 2012).

Akhir-akhir ini nanopartikel mendapatkan perhatian lebih

dibandingkan obat konvensional karena kemampuannya untuk

mengenkapsulasi berbagai macam agen terapi dan menghantarkannya tepat

pada sel target (Nanocarrier) (Hu dkk., 2012). Nanopartikel banyak

diaplikasikan karena memiliki kelebihan yaitu dapat melindungi senyawa

terapeutik dari degradasi oleh berbagai macam senyawa dalam tubuh,

meningkatkan absorbsi obat yang berefek langsung pada peningkatan

bioavailabilitas, pelepasan obat dapat dikontrol, lebih dapat tertarget pada sel

spesifik, serta dapat menaikkan penetrasi intrasseluler (Hu dkk., 2012; Peer

dkk., 2007; Mardiyati dkk., 2012). Nanopartikel dari bahan polimer alam

banyak digunakan pada sistem penghantaran obat karena bersifat

biokompatibel, biodegradabel dan tidak toksik (Wilczewska dkk., 2012;

Mardiyati dkk., 2012).

Lipososom, solid lipid nanopartikel, dendrimer, polimer, silikon atau

material karbon, dan magnetic nanopartikel merupakan contoh dari

nanocarrier yang telah diuji sebagai sistem penghantaran obat (Gambar 6).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

18

Gambar 6. Jenis Nanocarrier yang digunakan sebagai Sistem Penghantaran Obat

(Wilczewska dkk., 2012)

Sistem penghantaran obat tertarget dari nanopartikel dapat dipenuhi

dengan mekanisme aktif maupun pasif. Pasive targeting memanfaatkan

karakteristik biologis dari sel tumor yang memungkinkan nanopartikel menuju

ke sel tumor karena adanya efek permeabilitas dan retensi (EPR). Active

targeting dicapai dengan mengkonjugasikan nanopartikel yang berisikan agen

terapi dengan suatu molekul pentarget yang dapat berikatan dengan antigen

yang di ekspresikan berlebih atau reseptor pada sel target (Peer dkk., 2007).

Konjugasi antara nanopartikel dengan suatu molekul penarget

(targeting agent) sebagai suatu sistem penghantaran obat tertarget merupakan

alternatf yang menarik. Nanopartikel yang telah termodifikasi menunjukkan

kenaikan efek terapi dibandingkan dengan tanpa konjugasi (Broyer dkk.,

2011), hal ini diakibatkan karena obat ditransportkan ke tempat aksi secara

spesifik sehingga dapat lebih efektif dan dapat mengurangi efek samping.

Strategi konjugasi menjadi faktor penting dalam keberhasilan pembuatan

terapi yang tertarget. Strategi pembuatan terletak pada pengikatan gugus aktif

pada permukaan nanopartikel dengan suatu molekul penarget (Wilczewska

dkk., 2012).

Nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

19

Sistem penghantaran tertarget ini sering diaplikasikan pada

pengobatan kanker. Senyawa penarget dapat berupa protein (monoklonal

antibiodi), asam nukleat, atau ligan lainnya (peptida, vitamin, karbohidrat)

(Peer dkk., 2007).

Nanopartikel terkonjugasi dengan molekul penarget yang telah

dikembangkan misalnya nanokapsul kitosan-g-poli(etilen glikol) yang

mengandung docetaxel dikonjugasikan dengan anti-TMEFF-2 (Torrecilla

dkk., 2012), nanopartikel kitosan-doxorubicin yang telah terkonjugasi anti-

her2 Trastuzumab (Yousefpour dkk., 2011).

F. Landasan Teori

Pektin merupakan polimer yang umum digunakan dalam formulasi

nanopartikel karena memiliki sifat biodegradable dan tidak toksik (Sriamornsak,

2001; Raj dkk, 2012; Mardiyati dkk., 2012). Pektin dalam formula nanopartikel

dapat dikonjugasikan dengan protein penarget untuk menghasilkan suatu sistem

penghantaran obat yang tertarget. Model protein yang umum digunakan adalah

BSA (Carter & Ho, 1994).

Pektin banyak mengandung gugus karboksilat (Sriamornsak, 2001). Jika

suatu senyawa yang memiliki gugus karbonil akan dikonjugasikan dengan gugus

amina protein, maka gugus karbonil tersebut perlu ditingkatkan reaktivitasnya

dengan menggunakan EDAC (Uptima, 2005). Pemilihan reagen yang tepat akan

sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konjugasi.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

20

EDAC telah banyak digunakan untuk sintesi peptida, modifikasi protein

maupun modifikasi polisakarida (Nakajima & Ikada 1995). Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan oleh Lee dkk. (2012), EDAC dapat digunakan

untuk menkonjugasikan polimer kitosan dengan suatu antibodi. EDAC juga dapat

memperantarai konjugasi antara polimer PLGA dengan suatu peptida (Mathew

dkk., 2012).

P OH

O

+

:

N C NR2

R1

(1)

P O

O

C

HNR1

NR2

CO

O

C

HNR1

NR2

(2)

+ NH2 O

O

C

HNR1

NR2

::

HN

NH

O

(3)

(5)

R2NH

NH

R1

O

(6)

P P

P

:

H

: :

H H

(4)

H

Proton Shift

H

:

:

O

O

C

HNR1

NH

R2

:

HNP

H

::

N C NHR2

R1

O

O

C

HNR1

NR2

::

NHP

H

:

H2O

H

::

H3O-

:

Gambar 7. Mekanisme reaksi konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC

Mekanisme pembentukan ikatan amida antara pektin dengan BSA yang

diperantarai oleh EDAC terjadi dalam dua tahap (Gambar 7). Pertama, karbonil

pektin (2) dapat diaktivasi oleh EDAC yang telah terprotonasi (1) dan

menghasilkan senyawa intermediet aktif O-asil-isourea (3). Kedua, senyawa

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

21

intermediet aktif tersebut akan berikatan secara kovalen dengan gugus amin

primer pada protein BSA (4) dan menghasilkan pektin yang terkonjugasi dengan

BSA melalui ikatan amida (5) serta hasil samping berupa 1-etil-3-

(dimetilaminopropil) urea (derivat urea) (6). Tahap pertama reaksi konjugasi

merupakan reaksi dengan laju cepat karena EDAC merupakan senyawa yang

sangat reaktif, sedangkan tahap kedua merupakan tahap lambat (Nakajima &

Ikada, 1995).

Keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan oleh konsentrasi pereaksi

serta waktu dan suhu reaksi yang digunakan (Wong, 2000). Untuk mencapai hasil

reaksi yang optimum, maka dibutuhkan pula perbandingan pereaksi dan kondisi

lingkungan yang sesuai. Semakin tinggi konsentrasi pereaksi yang digunakan

maka laju reaksi akan berjalan semakin cepat karena semakin banyak interaksi

antar molekulnya hingga diperoleh titik optimumnya

Berdasarkan protokol yang ditulis oleh Hermanson (1996) diketahui

bahwa bahwa reaksi konjugasi protein dengan suatu molekul dapat dilakukan

pada suhu ruang (±25°C) selama 2 jam. Pada penelitian kali ini digunakan suhu

reaksi ±4°C karena pereaksi yang digunakan adalah protein yang akan lebih stabil

jika berada pada suhu rendah, selain itu pada suhu rendah produk samping utama

berupa derivat urea dapat dikurangi. Laju reaksi dapat dipengaruhi oleh suhu

reaksi, telah umum diketahui bahwa peningkatan suhu sebesar 10°C akan

mempercepat laju reaksi hingga dua atau tiga kalinya. Dengan melakukan

penurunan suhu reaksi hingga dua kalinya, maka laju reaksi akan diperlambat

hingga empat atau enam kalinya.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82248/potongan/S1-2015... · sifat fisika-kimia serta biologisnya ... mengetahui informasi mengenai metode

22

Metode analisa kualitatif yang paling sederhana jika melibatkan suatu

protein adalah teknik elektroforesis menggunakan gel akrilamid. Prinsip metode

ini adalah pemisahkan protein berdasarkan perbedaan bobot atau ukuran

molekulnya (Wong dan Jameson, 2012). BSA yang telah terkonjugasi dengan

pektin akan memiliki bobot molekul yang lebih besar dibandingkan dengan BSA

bebas. BSA dengan ukuran lebih besar akan memiliki jarak migrasi lebih pendek

saat bergerak pada gel yang diberi aliran medan listrik menuju anoda.

Penentuan perbandingan pereaksi dan waktu reaksi akan dilakukan pada

konjugasi polimer pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu

reaksi 4 °C, sehingga diperoleh kondisi reaksi optimal. Selain itu, akan dilakukan

penentuan metode analisis poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE) yang tepat

untuk mengevaluasi hasil reaksi konjugasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai acuan yang mempermudah dalam pengembangan sistem

penghantaran obat tertarget.

G. Hipoteis

1. Low methoxy pektin dapat dikonjugasikan dengan BSA menggunakan katalis

EDAC.

2. Perubahan perbandingan pereaksi berpengaruh terhadap efektivitas konjugasi

pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4°C.

3. Perbedaan lama reaksi berpegaruh terhadap evektivitas konjugasi pektin

dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4°C.

4. Konjugasi pektin dengan BSA dapat dianalisis secara kualitatif menggunakan

poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE).