BAB I - Web viewLele Dumbo (Clarias Gariepinus) adalah . Daphnia . sp. karena memiliki beberapa...
Transcript of BAB I - Web viewLele Dumbo (Clarias Gariepinus) adalah . Daphnia . sp. karena memiliki beberapa...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil perikanan terbesar di dunia
dan posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di pasar dunia pada tahun 2006
menduduki peringkat 10 dengan pasar ekspor utamanya adalah Amerika, Uni Eropa
dan Jepang dengan peningkatan jumlah produksi rata-rata dalam lima tahun terakhir
sebesar 8,28 %. Sampai saat ini, produksi perikanan Indonesia berasal dari perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Hasil produksi sektor perikanan dari budidaya
sekitar 4,9 juta ton dari total produksi 8 juta ton pada tahun 2007 dan hampir
separuhnya berasal dari hasil budidaya air tawar (DKP, 2007).
Komoditi perikanan tawar Indonesia meliputi : ikan mas (Cyprinus carpio L.),
gurami (Osphronemus goramy (Lacepede)), Ikan Patin (Pangasius sp.), Lele Dumbo
(Clarias Gariepinus), Belut (Monopterus albus), Mujair (Oreochromis mossambicus)
sudah berhasil dibudidaya dalam skala industri. Karena semua tahapan-tahapan yang
meliputi pembibitan dan pembesaran komoditi tersebut telah berhasil dilakukan
(DKP, 2007). Walaupun demikian, masih dijumpai beberapa permasalahan yang
terkait dengan proses industrialisasi sektor ini, diantaranya ketidakstabilan kualitas
dan kuantitas larva ikan yang dihasilkan lewat proses pembibitan (larvikultur) di
hatchery.
2
Salah satu penyebab permasalahan ini adalah keterbatasan dalam penyediaan
pakan, baik pakan alami (live feed) dan pakan buatan (artificial feed) yang diperlukan
pada saat kantong yolk larva sebagai sumber makanan larva telah habis. Sampai saat
ini penggunaan pakan buatan sebagai pakan dalam tahap awal larvikultur masih
menjadi pusat perhatian para akuakulturis dan kinerjanya belum bisa menggantikan
pakan alami mengingat sistem pencernaan sebagian besar ikan masih sangat primitif
(Mokoginta, 2003)
Salah satu pakan alami yang digunakan dalam larvikultur ikan-ikan air tawar
seperti gurami (Osphronemus goramy (Lacepede)), Ikan Patin (Pangasius sp.), Lele
Dumbo (Clarias Gariepinus) adalah Daphnia sp. karena memiliki beberapa
keunggulan yaitu : kandungan nutrisinya tinggi, berukuran kecil sesuai dengan
ukuran bukaan mulut larva, pergerakannya lambat, sehingga mudah ditangkap oleh
larva ikan, dan tingkat pencemaran terhadap air kultur lebih rendah apabila
dibandingkan dengan penggunaan pakan buatan (Delbaere dan Dhert, 1996).
Walaupun peranannya cukup besar dalam proses kultur dan penggunaannya
masih dijumpai beberapa permasalahan seperti rendahnya hasil panen dan kondisi
kultur yang tidak dapat diprediksi karena sistem kultur yang digunakan masih
konvensional yaitu sistem statik (batch) dimana selama proses kultur, tidak ada
perhatian dilakukan untuk menjaga kualitas air (Snell, 1991).
Sampai saat ini, sistem batch masih secara luas diaplikasikan karena sifatnya
yang sederhana dan mudah dalam instalasi. Berdasarkan kondisi di atas upaya
3
peningkatan produktivitas kultur Daphnia sp. dalam sistem batch perlu dilakukan.
Upaya yang telah dilakukan adalah optimasi pH kultur, suhu kultur, konsentrasi dan
jenis pakan (Noerdjito, 2003). Salah satu adalah penelitian yang belum banyak
dilakukan di Indonesia untuk kultu Daphnia ini adalah dengan aplikasi probiotik
untuk meningkatkan produktivitas kultur Daphnia tersebut. Probiotik tersebut mampu
meningkatkan kualitas medium kultur dan berasosiasi dengan saluran pencernaan
Daphnia (Verschuere et.al., 2000).
1.2 Perumusan Masalah
Produktivitas kultur Daphnia hingga saat ini belum cukup optimal untuk
memenuhi kebutuhan larvikultur dan juga kondisi medium kultur kerap terabaikan.
Telah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi hal di atas, salah satunya adalah
dengan aplikasi pemakaian bakteri dalam kultur Daphnia. Dalam penelitian kali ini
jenis bakteri yang digunakan adalah bakteri nitrifikasi dan bakteri B.subtilis. Spesies
Daphnia yang digunakan adalah Daphnia magna.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteri
nitrifikasi dan Bacillus subtilis dalam upaya peningkatan produktivitas pada kultur D.
magna.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
4
Bakteri nitrifikasi dan B. subtilis dapat memberikan peningkatan produktivitas
kultur Daphnia magna.
Perbedaan waktu penambahan bakteri akan memberikan hasil yang berbeda dalam
peingkatan produktivitas kultur D. magna
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Daphnia magna
2.1.1 Biogeografi Daphnia magna
Daphnia sp. termasuk ke dalam filum Arthropoda yang secara umum hidup di
perairan tawar. Spesies-spesies dari genus Daphnia dapat ditemukan mulai dari
daerah tropis hingga arktik dengan berbagai ukuran habitat mulai dari kolam kecil
hingga perairan danau luas. Dari lima puluh spesies genus Daphnia di seluruh dunia,
hanya enam spesies yang secara umum dapat ditemukan di daerah tropis. Salah
satunya adalah spesies Daphnia magna (Delbaere dan Dhert, 1996)
Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia magna adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Ordo : Cladocera
Famili : Daphnidae
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia magna
6
2.1.2 Morfologi Daphnia magna
Pembagian segmen tubuh Daphnia hampir tidak terlihat. Kepala dengan
bentuk membungkuk ke arah tubuh bagian bawah melalui lekukan yang jelas. Pada
beberapa spesies sebagian besar anggota tubuh Daphnia tertutup oleh karapas,
dengan enam pasang kaki semu yang berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang
paling terlihat adalah mata, antenna dan sepasang seta. Bagian karapas tembus cahaya
dan pada beberapa jenis Daphnia bagian dalam tubuhnya dapat dilihat dengan jelas
melalui mikroskop (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Penampang melintang Daphnia sp. betina dan organ-organnya (O, otak; RT, ruang telur; SE, saluran ekskresi; M, mata; J, jantung; UH, usus halus; OV, ovarium) (Clare-www.caudata.org, 1998)
7
2.1.3 Fisiologi
Beberapa Daphnia memakan crustacea dan rotifera kecil, namun sebagian
besar Daphnia adalah filter feeder yang memakan algae uniselular dan berbagai
macam detritus organik termasuk protista dan bakteri. Daphnia juga memakan
beberapa jenis ragi, tetapi hanya pada lingkungan terkontrol seperti laboratorium.
Pertumbuhan Daphnia dapat dikontrol dengan mudah dengan pemberian pakan ragi.
Partikel makanan yang tersaring kemudian dibentuk menjadi bolus yang akan turun
melalui rongga pencernaan sampai penuh dan melalui anus ditempatkan di bagian
ujung rongga pencernaan. Sepasang kaki pertama dan kedua digunakan untuk
membentuk arus kecil saat mengeluarkan partikel makanan yang tidak mampu
terserap. Organ Daphnia untuk berenang didukung oleh antenna kedua yang
ukurannya lebih besar. Gerakan antenna ini sangat berpengaruh untuk gerakan
melawan arus (Waterman, 1960).
2.1.4 Reproduksi
Menurut Waterman (1960), mekanisme reproduksi Daphnia adalah melalui
cara parthenogenesis. Satu atau lebih individu muda dirawat dengan menempel pada
tubuh induk. Daphnia yang baru menetas harus melakukan pergantian kulit (molting)
beberapa kali sebelum tumbuh hingga dewasa sekitar satu minggu setelah menetas.
Siklus hidup Daphnia sp. yaitu telur, anak, muda dan dewasa. Pertambahan ukuran
terjadi sesaat setelah telur menetas di dalam ruang pengeraman. Daphnia sp. dewasa
berukuran 2,5 mm, anak pertama sebesar 0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis.
8
Daphnia sp. mulai menghasilkan anak pertama kali pada umur 4-6 hari. Adapun
umur yang dapat dicapainya 12 hari.
Gambar 2.2. Kantong telur (ephippium) dan individu muda yang baru menetas.
Setiap satu atau dua hari sekali, Daphnia sp. dapat menghasilkan lebih dari
100 telur setiap bertelur. Daphnia betina dapat bertelur antara 6-25 kali selama
hidupnya. Individu yang baru menetas sudah sama secara anatomi dengan individu
dewasa (Gambar 2.2). Telur akan dilindungi lapisan yang bernama ephipium
(Gambar 2.2) untuk mencegah dari ancaman lingkungan sampai kondisi ideal untuk
menetas. (Mokoginta, 2003).
Proses reproduksi ini akan berlanjut jika kondisi lingkungannya mendukung
pertumbuhan. Jika kondisi tidak ideal baru akan dihasilkan individu jantan agar
terjadi reproduksi seksual (Waterman, 1960).
2.1.5 Kandungan nutrisi Daphnia sp.
Kandungan nutrisi Daphnia bervariasi sesuai dengan ukuran dan usianya.
Secara umum kandungan protein Daphnia adalah 50% dari berat keringnya. Pada
ephippiumindividu muda
9
beberapa spesies terukur kadar proteinnya lebih dari 70%. Pada fase dewasa
kandungan lemaknya lebih besar daripada fase juvenil yaitu sekitar 20-27% pada
individu dewasa dan 4-6% pada juvenile. Kandungan asam Daphnia juga sangat
penting karena bermanfaat bagi larva ikan untuk meningkatkan pertumbuhan dan
kesintasannya. Pada Moina, salah satu jenis dari Cladocera ditemukan omega-3
dalam jumlah yang sangat tinggi dan tubuhnya mengandung 95% air; 4% protein;
0,54% lemak; dan 0,15% abu (Rottman et.al., 2003).
2.2 Penggunaan Probiotik dalam akuakultur
Aplikasi pemakaian bakteri dalam akuakultur sudah mulai digunakan pada
tahun 1970-an (Farzanfar, 2006). Aplikasi ini digunakan sebagai suplemen untuk
komoditas akuakultur. Efek yang diharapkan dalam aplikasi di akuakultur adalah
sama halnya dengan penggunaan probiotik untuk kesehatan manusia ataupun ternak.
Menurut Yasuda dan Taga (1980), penggunaan bakteri dalam akuakultur tidak hanya
sebagai pakan, namun juga sebagai pengontrol biologis untuk penyakit ikan dan
aktivator dari regenerasi nutrien. Perkembangan belakangan ini menunjukkan
penggunaan probiotik dalam akuakultur berkaitan untuk meningkatkan pertumbuhan
dan kesintasan larva ikan, crustacea, moluska, dan memperkaya nutrisi pada pakan
larva (Ali, 2000; Bairagi et.al., 2004).
Dalam pemilihan jenis probiotik yang digunakan untuk akuakultur,
diharapkan memberikan beberapa manfaat sebagai berikut :
10
a. Antagonis terhadap patogen : probiotik harus dapat menstimulasi imunitas
inang dengan meningkatkan jumlah eritrosit, makrofaga, dan limfosit (Irianto
dan Austin, 2002). Salah satu ciri sifat antagonistik adalah probiotik tersebut
mampu menghasilkan senyawa antimikrobial seperti asam organik, hidrogen
peroksida, sideroferin dan lysozim (Ali, 2000).
b. Dapat memberikan keuntungan kepada inang dalam pertumbuhan atau
melindungi ikan dari bakteri patogen. Salah satu contoh, probiotik tersebut
mampu memproduksi senyawa substansial seperti vitamin (biotin dan vitamin
B12) (Irianto dan Austin, 2002).
c. Mampu bertahan atau berkolonisasi dalam saluran pencernaan organisme
akuatik secara adhesi. Kondisi ini mensyaratkan probiotik adalah golongan
bakteri yang mampu tumbuh dalam kondisi umum dan diharapkan jika pun
terdapat kompetisi dalam mengambil nutrien, dapat terjadi seefisien mungkin
(Verschuere et.al., 2000).
Untuk memenuhi manfaat di atas, probiotik harus memiliki beberapa kriteria yaitu :
a. Mikroorganisme yang diaplikasikan harus dapat stabil dalam periode relatif
panjang di dalam wadah kultur sama baiknya dengan kondisi asalnya
(Fuller,1992).
b. Mikroorganisme probiotik harus berupa organisme non-patogenik dan non-
toksik (Fuller,1992).
c. Probiotik merupakan spesies yang secara alami berasal dari inang. Kriteria ini
berdasarkan atas alasan ekologis, karena hal ini dipercaya oleh para peneliti
11
bahwa jenis mikroorganisme ini akan memiliki kesempatan berkompetisi
lebih baik daripada mikroorganisme lainnya dan mempertahankan jumlah
populasinya secara signifikan dalam tubuh inang (Rengpipat et.al., 2003)
2.3 Bacillus subtilis
2.3.1 Biologi Bacillus subtilis
Bakteri ini adalah jenis bakteri yang umum ditemukan di tanah, air, udara dan
materi tumbuhan yang terdekomposisi. Termasuk kelompok bakteri gram positif,
aerobik, dan mampu membentuk endospora (Madigan dan Martinko, 2005).
Penggunaan Bacillus subtilis umumnya untuk akuakultur, pakan hewan darat, dan
konsumsi manusia dalam bakterioterapi gangguan pencernaan dengan cara
berasosiasi dengan makanan inang untuk masuk ke dalam saluran pencernaan
(Nguyen et.al., 2006)
B. subtilis memiliki kemampuan memproduksi antibiotik dalam bentuk
lipopeptida, salah satunya adalah iturin. Iturin membantu B. subtilis berkompetisi
dengan mikroorganisme lain sebagai antibiotik bagi mikroorganisme lain atau
menurunkan tingkat pertumbuhannya. Iturin juga memiliki aktivitas antibiotik
terhadap bakteri dan virus patogen. Dalam sistem akuakultur jenis bakteri Bacillus
kerap ditemukan pada sedimentasi atau pakan ikan, dimana bakteri ini dimanfaatkan
untuk sebagai terapi antibiotik alami terhadap serangan virus vibrio atau bakteri gram
negatif lainnya (Buchanan, 1975; Moriarty, 1999). Berikut adalah klasifikasi B.
subtilis menurut Madigan (2005) :
12
Kingdom:Bacteria
Filum:Firmicutes
Kelas:Bacilli
Ordo:Bacillales
Famili:Bacillaceae
Genus:Bacillus
Spesies: Bacillus subtilis
Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa penambahan B. subtilis perairan
dapat meningkatkan kualitas perairan. Penggunaan B. subtilis pada tambak udang
menunjukkan bahwa bakteri ini mampu meningkatkan kesintasan larva udang windu
dan mencegah dari penyakit vibriosis akibat Vibrio harveyi. Selain itu B. subtilis
secara alami bersimbiosis pada saluran pencernaan udang windu (Kungvankij et.al.,
1985). Berdasarkan alasan ini menunjukkan bahwa B. subtilis memenuhi kriteria
sebagai probiotik yang dapat diaplikasikan untuk penggunaan dalam larvikultur.
2.3.2 Lingkungan tumbuh Bacillus subtilis
B. subtilis memerlukan kondisi optimum untuk tumbuh. Berikut adalah
kondisi fisika kimia air optimum bagi bakteri ini :
a. Bakteri ini adalah jenis aerob obligat, makin tinggi oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO) maka makin baik untuk pertumbuhan optimalnya dan kandungan
minimal oksigen ialah pada kisaran 2 mg/L (Graumann, 2007).
13
b. Suhu optimal untuk tumbuh bagi B. subtilis adalah antara 25 – 350C. Suhu ini
amat berpengaruh pada aktivitas metabolisme B. subtilis. Jika suhu sangat tinggi
maka akan merusak aktivitas protein dalam bakteri ini dan jika terlalu rendah
akan berpengaruh pada viabilitas sel (Korsten dan Cook, 1996)
c. B. subtilis memerlukan pH optimal antara 7 – 8. Jika pH lebih rendah atau lebih
tinggi dari rentang tersebut, bakteri ini akan mengalami sporulasi sehingga akan
menjadi dorman dan tidak tumbuh (Dawes dan Mandelstam, 1970)
d. Ammonia memiliki pengaruh terhadap B. subtilis yaitu dapat meminimalisasi
kanibalisme antar bakteri B. subtilis (Nandy dan Venkatesh, 2008).
2.4 Bakteri Nitrifikasi
2.4.1 Biologi Bakteri Nitrifikasi
Menurut Ward (1996), bakteri nitrifikasi adalah termasuk kelompok
kemoautotrof yang tumbuh dengan memanfaatkan senyawa nitrogen anorganik.
Banyak spesies bakteri ini memiliki sistem membran internal dimana terdapat enzim
kunci dalam proses nitrifikasi. Enzim tersebut antara lain ammonia monooksigenase
(mengoksidasi ammonia menjadi hidroksilamin) dan nitrit oksireduktase
(mengoksidasi nitrit menjadi nitrat).
14
Berikut adalah klasifikasi bakteri nitrifikasi : (Holt et.al., 1994)
Kingdom Prokariotae
Divisi Bacteria
Famili Nitrobacteraceae;
Genus Nitrosomonas dan Nitrobacter
Bakteri nitrifikasi tersebar di tanah dan air. Ditemukan dalam lingkungan
yang terdapat ammonia (daerah banyak terjadi dekomposisi protein/saluran air
buangan). Nitrifikasi secara alami merupakan hasil proses aktivitas dari dua
kelompok organisme, yaitu kelompok bakteri nitratasi dan nitritasi. Aktivitas kedua
kelompok bakteri tersebut adalah sebagai berikut (Ward, 1996) :
1. NH3 + O2 + 2e- + 2H+ → NH2OH + H2O
2. NH2OH + H2O + 1/2 O2 → NO2- +2 H2O + H+
3. NO2- + 1/2 O2 → NO3
-
2.4.2 Lingkungan Tumbuh Bakteri nitrifikasi
Beberapa parameter kondisi kultur yang penting untuk diperhatikan dalam
mengkultur bakteri nitrifikasi adalah sebagai berikut (Suzuki et.al., 1974) :
a. Bakteri nitrifikasi memerlukan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/ DO)
dalam proses metabolismenya. Setiap miligram nitrogen dalam jalur proses
nitrifikasi (dari ammonia sampai berakhir dalam bentuk nitrat) bakteri ini
15
memerlukan kurang lebih 4,5 mg oksigen terlarut sebagai penyeimbang
elektron dari substrat bernitrogen.
b. Bakteri nitrifikasi memerlukan pH optimal antara 7,5 – 8,5. Pada suatu saat
setelah aklimasi pH, kinerja bakteri ini akan sangat baik jika pH dapat
dipertahankan stabil.
c. Bakteri nitrifikasi dapat tumbuh optimal antara suhu 20 sampai 30°C. Jika
temperatur menurun maka aktivitas metabolisme bakteri akan menurun. Pada
suhu di atas 350C bakteri mulai mengalami stres, hal ini diperkirakan karena
enzim yang rusak akibat suhu yang tinggi.
d. Bakteri ini sensitif akan kehadiran cahaya yang mendekati spektrum
ultraviolet. Penyebab pastinya belum diketahui, namun diperkirakan terdapat
hubungan antara superoksida radikal yang diproduksi selanjutnya
menghambat membran oksigen pada bakteri ini.
e. Kebutuhan sumber nitrogen minimal bakteri nitrifikasi untuk tumbuh adalah
0,1 mg/L.
2.5 Sistem Kultur yang umum dilakukan
2.5.1 Sistem kultur zooplankton
Secara umum, terdapat empat jenis sistem kultur zooplankton untuk keperluan
pakan hidup dalam proses larvikultur di hatchery ikan dan udang yaitu :
16
i) Sistem statis
Sistem statis atau sistem batch merupakan sistem kultur yang paling umum
digunakan. Pada sistem statis, setelah diinokulasi kultur akan dikembangkan selama
periode tertentu, kemudian dilakukan pemanenan pada kultur secara keseluruhan.
Sistem statis ini bersifat ekstensif dan membutuhkan ruang yang luas dalam
pengerjaannya. Namun, sistem ini mempunyai kelebihan yaitu mudah untuk
dilakukan (Snell, 1991).
ii) Sistem semi sinambung (Semi-continuous system)
Pada sistem semi sinambung ini, kepadatan zooplankton dijaga konstan
dengan pemanenan secara periodik. Pada sistem semi sinambung sebagian volume
kultur dipanen setiap hari, kemudian kultur ditambah medium baru dengan volume
yang sama. Metode ini disebut juga sebagai metode perampingan (thinning method)
(Snell, 1991).
iii) Sistem sinambung (continuous system)
Sistem sinambung adalah sistem kultur yang bersifat intensif. Tujuan sistem
ini hampir sama dengan sistem semi sinambung, namun sistem sinambung ini lebih
konsisten dalam menjaga kualitas air melalui frekuensi pergantian air kultur yang
tinggi dan penggunaan kemostat (Suantika, 2001; Snell, 1991). Medium kultur baru
selalu ditambahkan di dalam sistem ini, sehingga tidak diperlukan perlakuan khusus
untuk menjaga pH dan mengurangi akumulasi ammonia. Pada sistem ini, kepadatan
kultur yang konstan dengan kualitas yang tinggi dapat dicapai. Produktivitas kultur
17
dengan sistem sinambung lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem kultur statis
dan semi sinambung (James dan Abu Rezeq, 1997).
Sampai saat ini sistem kultur sinambung hanya diaplikasikan dalam skala
percobaan atau eksperimen, dan belum diaplikasikan di hatchery. Sistem ini
mempunyai resiko kegagalan teknis yang tinggi karena rumit, mempunyai banyak
variabel yang harus dikontrol, dan membutuhkan biaya tinggi (Suantika, 2001).
iv) Sistem kultur berkepadatan tinggi (Ultra-high density culture system)
Sistem kultur berkepadatan tinggi merupakan cara efektif untuk mengkultur
zooplankton tanpa memperluas area kultur. Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu
jumlah pekerja yang dibutuhkan sedikit, mempunyai produktivitas yang tinggi dan
konsisten sepanjang tahun (Suantika, 2001).
Sistem kultur ini dikembangkan oleh peneliti Jepang untuk kultur B. plicatilis
yang mampu mencapai kepadatan 10.000 individu/mL dalam tangki berukuran 1 m2
(Yoshimura et.al.,1995 dalam Suantika, 2001).
2.5.2 Sistem kultur Daphnia sp.
Secara umum menurut FAO (1996), sistem kultur massal Daphnia sp. dapat
dilakukan dengan menggunakan dua sistem, yaitu :
i) Sistem Detrital
Sistem ini adalah sistem yang dibuat dengan menambahkan medium berupa
campuran medium tanah, pupuk kandang, dan air. Pupuk kandang berfungsi sebagai
18
pupuk alami untuk menginisiasi peningkatan jumlah alga yang merupakan pakan
Daphnia sp. Perbandingan campuran pupuk kandang dengan tanah ialah 1kg : 200 gr
sebelum dilarutkan ke dalam satu liter air. Sistem ini memiliki beberapa kelebihan
antara lain mudah untuk dirawat dan Daphnia tidak mudah mengalami defisiensi
nutrisi karena terdapat alga dalam jumlah berlimpah dan keanekaragaman yang
tinggi. Sistem ini memiliki beberapa kelemahan, yakni tidak cukup mendukung
kondisi optimum kultur Daphnia, antara lain rendahnya kadar oksigen terlarut yang
disebabkan karena tingkat nutrisi yang tinggi dan dimanfaatkan secara aerobik oleh
mikroorganisme lainnya. Penurunan kadar oksigen terlarut ini menyebabkan
tingginya tingkat kematian Daphnia dan rendahnya produksi telur.
ii) Sistem Autotrof
Dalam sistem autotrof, kultur alga ditambahkan ke dalam kultur Daphnia.
Kultur air hijau (105 hingga 106 sel.ml-1) ditambahkan dari alga yang dikultur secara
monokultur ataupun dari tambak ikan yang memiliki spesies alga yang beragam.
Pengontrolan lebih mudah dilakukan pada kultur alga secara monokultur, seperti
Chlorella, Chlamydomonas, dan Scenedesmus, atau campuran dari hanya dua kultur
alga tersebut. Kelemahan sistem ini adalah tidak mampu mempertahankan kultur
Daphnia untuk generasi yang berlanjut tanpa penambahan nutrisi ke dalam kultur
Daphnia seperti vitamin B kompleks, kalsium pantotenat, biotin dan thiamin (FAO,
1996).
19
2.6 Parameter Kualitas Air
2.6.1 Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang penting bagi semua organisme
akuatik. Batas toleransi setiap organisme terhadap suhu berbeda-beda, tergantung dari
fisiologi organisme tersebut. Di perairan suhu berpengaruh terhadap kelarutan
oksigen, yang penting bagi keberlangsungan hidup mayoritas organisme akuatik.
Suhu optimal yang stabil akan menjaga pH dan DO dapat tetap stabil. Kisaran
temperatur yang baik bagi kultur Daphnia sp. adalah 22-310C (Mokoginta, 2003).
2.6.2 Nilai pH
Nilai pH atau potential hydrogen merupakan indikator konsentrasi ion
hidrogen yang menggambarkan konsentrasi asam. Nilai ini berbanding terbalik
dengan suhu, semakin tinggi suhu menyebabkan pH semakin rendah. Menurut
Pennak (1989), kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan Daphnia sp. berkisar antara
6,5 sampai 8,5. Pada umumnya, lingkungan perairan yang netral dan relatif basa pada
kisaran pH 7,1-8,0 lebih baik untuk pertumbuhan Daphnia sp. (Mokoginta, 2003).
2.6.3 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen atau DO)
Menurut Cole (1994), kelarutan suatu gas (termasuk oksigen) pada medium
cair merupakan karakteristik dari gas tersebut yang dipengaruhi oleh tekanan,
ketinggian suatu tempat, suhu dan salinitas. Kelarutan gas di medium cair menurun
20
seiring dengan naiknya suhu dan banyaknya mineral yang terlarut dalam medium
tersebut ( Salmin, 2005).
Oksigen terlarut mempunyai peranan penting dalam kehidupan Daphnia sp.
Pada umumnya, Daphnia sp. dapat hidup pada konsentrasi oksigen terlarut yang
cukup tinggi yaitu sekitar 4,2 – 5,1 ppm dan tidak dapat hidup pada konsentrasi
oksigen terlarut kurang dari 1 ppm (Mokoginta, 2003), sedangkan menurut Delbaere
dan Dhert (1996), kadar oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan kultur Daphnia
sp. adalah sekitar 3,5 ppm.
2.6.4 Ammonia
Hewan akuatik umumnya mengekskresikan ammonia sebagai hasil dari proses
metabolisme. Terdapat ammonia yang tidak terionisasi (NH3) dan ammonia
terionisasi atau ion amonium (NH4+). Ammonia bersifat toksik bagi larva ataupun
organisme perairan seperti Daphnia sp. karena mampu melewati membran organ
dalam, sedangkan ion amonium tidak dapat melewati membran tersebut (Kungvankij
et.al., 1985). Menurut Cole (1994), setiap hari seekor Daphnia pulex melepaskan 0,2
µg nitrogen.
Kadar ammonia di perairan akan meningkat seiring dengan meningkatnya
suhu dan pH. Kadar ammonia yang tinggi dapat menurunkan tingkat reproduksi
Daphnia sp. Kadar ammonia yang berada dalam kisaran toleransi bagi kultur
Daphnia sp. adalah di bawah 0,2 mg/L (Delbaere dan Dhert, 1996).
21
BAB III
METODOLOGI KERJA
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2008 hingga Juni 2008 di
Laboratorium Analisis Ekosistem Akuatik, Program studi Biologi, Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
3.2 Organisme Uji
Organisme uji yaitu kultur Daphnia magna didapat dari laboratorium
kultur perairan PT. Sumber Daya Air (PUSAIR) yang bertempat di Jl.Ir.H.
Juanda no. 193, Bandung. Daphnia magna yang digunakan memiliki panjang
lorika (selubung luar) antara 2 – 5 mm.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Tahap Persiapan
Sebelum digunakan, air yang akan digunakan sebagai medium kultur Daphnia
sp. dipisahkan dari partikel-partikel tersuspensi menggunakan kertas saring. Tempat
kultur berupa gelas beaker ukuran 1 L sebanyak 9 buah dicuci bersih dan
dikeringanginkan selama satu hari. Kemudian air, gelas beaker dan batu aerasi
disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C tekanan 15 lbs selama 15
menit.
22
Alat-alat yang tidak tahan panas (selang aerator) dan alat-alat yang tidak
memungkinkan disterilisasi dengan autoklaf, disterilkan dengan menggunakan
alkohol 70%.
3.3.2 Kultur Daphnia magna
Tempat kultur yaitu gelas beaker berisi air (masing-masing 1 L) ditempatkan
dalam aquarium berukuran 50 x 20 x 30 cm3 yang telah separuh terisi air. Setiap gelas
beaker dipasangi batu aerasi yang dihubungkan dengan aerator menggunakan selang
aerasi yang berfungsi untuk menghasilkan gelembung udara (Gambar 4.1). Laju
aerasi diatur pada kelajuan terkecil (1 mL/menit).
Gambar 4.1 Skematik kultur Daphnia magna yang digunakan dalam penelitian
Penelitian dilakukan dengan perlakuan bertingkat, dimana suatu perlakuan
akan mendasari perlakuan yang akan dilakukan selanjutnya. Teknik kultur yang akan
23
digunakan pada penelitian ini adalah teknik kultur statik (batch), dengan kepadatan
awal D. magna sebanyak 10 ekor dalam gelas beaker 1 L. Gelas beaker tersebut
kemudian diletakkan dalam inkubator berupa akuarium yang telah berisi air dan
dilengkapi dengan termostat untuk menjaga suhu kultur tetap konstan (25±10C).
Konsentrasi bakteri pada setiap perlakuan adalah sama yaitu 1 mL atau sama dengan
0,1% dari total medium. Setiap perlakuan dilakukan secara triplo, dan percobaan
diulangi sebanyak tiga kali.
Metode ini dilakukan untuk seluruh tahap perlakuan, yaitu perlakuan
pemilihan inokulan bakteri (tahap I) dan waktu inokulasi bakteri (tahap II).
A. Tahap penelitian I bertujuan untuk mengetahui inokulan bakteri yang tepat untuk
meningkatkan produktivitas kultur D. magna. Pada tahap ini tiga perlakuan
pemilihan inokulan bakteri meliputi : (1) Penggunaan inokulan bakteri B. subtilis,
(2) Penggunaan inokulan bakteri nitrifikasi, dan (3) Tanpa penggunaan inokulan
apapun (kontrol).
B. Tahap penelitian II bertujuan untuk mengetahui waktu inokulasi bakteri nitrifikasi
yang paling optimal untuk meningkatkan produktivitas kultur D. magna dari
perlakuan terbaik pada tahap I. Dalam tahap ini tiga buah perlakuan yang
diujikan yaitu : (1) Penambahan bakteri nitrifikasi dengan konsentrasi 0,1 %
dilakukan 24 jam sebelum kultur D. magna (H-1), (2) Bersamaan dengan kultur
D. magna (H), dan (3) 24 jam setelah kultur D. magna (H+1).
24
Produktivitas kultur dihitung dari kepadatan D. magna setiap hari dengan
menggunakan counter sebagai alat bantu penghitungan. Faktor fisika-kimia air
yaitu kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO), pH, suhu dan kadar amonium
juga diukur setiap hari selama periode kultur.
Kultur D. magna pada kedua tahapan penelitian di atas diberi pakan ragi
instan dengan waktu pemberian pakan setiap hari dan jumlah pakan yang diberikan
disesuaikan dengan kepadatan D. magna yang terdapat dalam kultur dengan
konsentrasi 106 partikel/individu sesuai dengan hasil penelitian optimasi konsentrasi
pakan yang dilakukan oleh Noerdjito (2003).
3.3.3 Pengukuran faktor fisika-kimia air
Parameter kualitas air yang diukur adalah kadar oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO), pH, suhu dan kadar amonium. Kadar oksigen diukur dengan
menggunakan DO-meter merk YSI model 51B. pH medium diukur dengan
menggunakan pH meter merk Oakton seri 10. Kadar amonium (NH4+) diukur dengan
menggunakan metode Nessler-spektrofotometri. Metode ini menggunakan reagen
Nessler dan larutan garam seignette. Kadar amonium pada kultur diukur setiap hari
dengan mengambil 25 ml air sampel kultur, diberi 1-2 tetes pereaksi garam seignette
dan 0,5 ml pereaksi nessler, dikocok, dibiarkan selama 10 menit, kemudian ditera
intensitasnya pada panjang gelombang 420 nm dengan menggunakan
spektrofotometer merk Spektronic 20 dari Milton Ray Company. Absorbansi yang
25
didapat dihubungkan dengan persamaan pada kurva standar amonium untuk
mengetahui konsentrasi amonium pada sampel air kultur.
3.3.4 Kultur B. subtilis
Kultur bakteri B. subtilis didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Bakteri B. subtilis perlu
diaktivasi terlebih dahulu dengan cara menumbuhkannya dalam medium cair NB
(Nutrient Broth) selama 24 jam. Medium cair NB dibuat dengan melarutkan 8 gr NB
instan ke dalam I liter akuades steril. Kemudian kultur B. subtilis diinokulasi dalam
larutan NB cair tersebut. Kondisi kultur B. subtilis ditempatkan pada suhu kamar
(±250C) dengan waktu inkubasi selama 24 jam, serta ditempatkan pada shaker.
3.3.5 Kultur bakteri nitrifikasi
Bakteri nitrifikasi tersedia dalam bentuk yang sudah siap untuk langsung
digunakan. Kultur ini didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Bakteri nitrifikasi sudah ditumbuhkan
dalam medium winogradsky. Medium winogradsky adalah medium selektif untuk
bakteri nitrifikasi dengan komposisi medium ini tersusun dari : KH2PO4 1 g; MgS04
0,5 g; NaCl 0,5 g; FeS04 0,01 g; MnSO4 0,01 g; dan dilarutkan dalam 200 mL
akuades (Gundersen, 1953).
3.3.6 Analisa Data
Analisa data penelitian dilakukan dengan menggunakan analisa statistik.
Untuk setiap data kelompok perlakuan digunakan statistik deskriptif (rata-rata dan
26
standar deviasi). Untuk melihat keragaman data antar kelompok perlakuan digunakan
analisa “One Way ANNOVA” dengan menggunakan software SPSS versi 12.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, hasil yang dicari dalam setiap tahap optimasi adalah
pertumbuhan kultur Daphnia sp. yang tinggi dengan periode kultur yang panjang
karena kondisi kultur ini berhubungan dengan nilai ekonomis selama proses produksi
Daphnia untuk pakan alami. Pertumbuhan populasi yang tinggi akan meningkatkan
produktivitas kultur, sedangkan periode kultur yang panjang dapat menghemat
sumber daya air, waktu dan tenaga untuk penggantian kultur.
Secara umum, populasi kultur D. magna konstan sampai hari ke-2 periode
kultur, kemudian meningkat hingga mencapai titik optimum dan kemudian turun
kembali. Kepadatan dan panjang periode kultur dapat berbeda, tergantung pada
perlakuan yang diberikan. Tidak adanya peningkatan kepadatan kultur D. magna
pada awal periode kultur disebabkan oleh adanya proses adaptasi D. magna terhadap
lingkungan yang baru. Sedangkan, penurunan kepadatan populasi setelah kultur
mencapai kepadatan optimum disebabkan oleh adanya faktor pembatas berupa
penurunan kualitas air yang meliputi penurunan kadar oksigen terlarut (DO),
kenaikan kadar NH4+, dan perubahan pH yang melewati rentang toleransi adaptasi D.
magna Hasil dari setiap tahap optimasi dapat dilihat pada setiap sub-bab berikut ini.
28
4.1 Perlakuan Inokulasi Bakteri
4.1.1 Kepadatan kultur D. magna
Pertumbuhan populasi dan panjang periode kultur D. magna pada tiga
perlakuan berbeda yaitu penambahan bakteri B. subtilis , bakteri nitrifikasi dan
kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.1
1 2 3 4 50
10
20
30
40
50
60
70
Series1
Series2
Series3
Kep
adat
an (i
nd/L
)
Gambar 4.1 Pertumbuhan populasi dan panjang periode kultur D. magna Dengan
tiga perlakuan berbeda. Penambahan bakteri dengan konsentrasi 0,1 %
Kepadatan tertinggi kultur D. magna didapat dari perlakuan penambahan
bakteri nitrifikasi. Pada perlakuan bakteri nitrifikasi, puncak populasi kultur D.
magna dicapai pada hari ke-10 kultur dengan kepadatan (58.3±6.65) individu/L.
Pada perlakuan penambahan bakteri B. subtilis, kultur D. magna mencapai puncak
populasi dengan kepadatan (37.5±15.1) individu/L pada hari ke-9 periode kultur,
29
sedangkan pada perlakuan kontrol kultur D. magna mencapai puncak populasi
dengan kepadatan (11.22±1.63) individu/L pada hari ke-3 periode kultur.
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan ANOVA, kepadatan kultur
kontrol dengan dua perlakuan lainnya menunjukkan perbedaan signifikan (P<0,05)
(Tabel 4.1). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi bakteri dalam medium kultur D.
magna memberikan pengaruh pertumbuhan kultur.
Tabel 4.1 Rata – rata dan standar deviasi kepadatan individu D. magna (ind/L)
dengan tiga perlakuan berbeda yaitu penambahan bakteri Bacillus subtilis,
bakteri nitrifikasi dan kontrol.
Hari Ke- Inokulan
Kontrol B. subtilis Bakteri nitrifikasi
1 10a 10a 10a
2 10a 10a 11.5±1.83b
3 11.22±1.63a 12.83±3.18a 13.4±2.58a
4 10.25±1.3a 14.67±3.38b 14.3±4.14b
5 10.125±0.54a 16.3±2.8b 18.3±6.18b
6 17.3±2.87a 22.3±8.81a
7 20.83±2.4a 34.3±10.93b
8 23.5±3.39a 42.1±12.59b
9 37.5±15.1a 52.1±9.85b
10 35.67±16.5a 58.3±6.65b
11 34.17±17.4a 55.3±8.98b
12 54±13.53
*Huruf yang sama pada satu baris menunjukkan nilai rata-
rata yang tidak berbeda secara signifikan (P>0,05)
30
Dari hasil penelitian tahap I ini menunjukkan bahwa kultur yang
diinokulasikan dengan bakteri nitrifikasi dan B. subtilis menunjukkan produktivitas
kultur yang lebih tinggi daripada perilaku kontrol. Hal ini disebabkan karena
akumulasi materi organik (sisa pakan, ekskresi, dan D. magna yang mati) dalam
kultur tidak terdekomposisi oleh mikroorganisme pada medium kontrol tersebut,
sehingga kondisi fisika kimia air cenderung lebih tidak stabil seiring dengan kultur
yang semakin padat. Selain itu kadar ammonium yang tinggi pada perlakuan kontrol
menunjukkan dalam kultur ini tidak terdapat proses nitrifikasi, sehingga akumulasi
dari ammonia akan membuat D. magna keracunan (Mokoginta, 2003).
Pada kultur yang diinokulasi B. subtilis menunjukkan produktivitas yang lebih
tinggi daripada kontrol. Kehadiran bakteri tersebut berfungsi mendekomposisi materi
organik dalam kultur (sisa pakan, ekskresi, dan D. magna yang mati) sehingga
kestabilan kondisi fisika-kimia kultur dapat cenderung lebih stabil dibandingkan
perlakuan kontrol dan mampu menghasilkan produktivitas kultur yang lebih besar.
Salah satu kelebihan lain dari B. subtilis adalah kemampuan berasosiasi dengan ragi
ke dalam saluran pencernaan D. magna untuk meningkatkan absorbansi nutrisi dan
memproduksi asam amino (Park dan Reardon, 1996) sehingga pertumbuhan kultur
akan semakin baik. Meskipun kultur ini cukup produktif, namun setelah memasuki
hari ke-9 konsentrasi ammonium kultur medium ini lebih tinggi. Hal ini menunjukkan
karena dalam kultur ini tidak terdapat proses nitrifikasi karena konsentrasi
ammonium semakin meningkat seiring dengan pertambahan kepadatan dan panjang
periode kultur (tabel 4.4).
31
Pada perlakuan bakteri nitrifikasi selalu menunjukkan konsentrasi ammonium
yang rendah. Bakteri nitrifikasi berperan mengoksidasi senyawa organik pada
medium kultur, sehingga akumulasi zat toksik (ammonia) dapat dihindari meskipun
terdapat banyak materi organik yang kaya nitrogen (sisa pakan, ekskresi, dan D.
magna yang mati) terlarut dalam kultur. Selain itu kondisi fisika kimia kultur dapat
lebih stabil, sehingga tidak terdapat ancaman fisiologis pada kultur D. magna
(Matsuzaka et.al., 2003; Ghanavati et.al., 2008).
Melalui kurva pertumbuhan dan analisa statistik, jenis bakteri yang optimal
untuk meningkatkan kepadatan dan panjang periode kultur D. magna adalah bakteri
nitrifikasi. Bakteri inilah yang akan digunakan untuk tahap optimasi selanjutnya.
4.1.2 Kualitas Air Kultur
4.1.2.1 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/ DO)
Berdasarkan hasil pengamatan kadar DO pada medium kultur D. magna
cenderung stabil dan berada pada kisaran optimal untuk pertumbuhan D.magna
(Gambar 6). Nilai DO pada periode awal kultur berkisar antara 6,37-7,56 mg/L. Pada
akhir periode kultur nilai DO terendah adalah pada medium D. magna kontrol (6,7
mg/L) dan yang tertinggi pada perlakuan aplikasi bakteri nitrifikasi (7,91 mg/L).
32
1 2 3 4 57.20
7.30
7.40
7.50
7.60
7.70
7.80
7.90
8.00
Series1Series2Series3
DO
(mg/
L)
Gambar 4.2 Grafik kadar DO pada tahap penelitian I
Nilai DO cenderung stabil karena semua perlakuan kultur D. magna
mendapatkan asupan oksigen dari aerasi. Selain itu akibat dari suhu kultur yang tetap
stabil akan menjaga pH dan DO tetap stabil (Mokoginta, 2003). Perubahan DO masih
berada dalam kisaran toleransi bagi kultur D. magna. Penyebab perubahan
konsentrasi oksigen terlarut dalam kultur D. magna ini adalah aktivitas metabolisme
D. magna, ragi dan bakteri aerobik (B. subtilis dan nitrifikasi). Perbedaan DO antara
ketiga perlakuan tidak berbeda signifikan karena kultur ini mendapatkan asupan
oksigen dari aerasi.
Pada perlakuan kontrol DO cenderung lebih rendah (tidak signifikan). Hal ini
diduga disebabkan karena sebagian besar ragi tidak dilisiskan seperti pada perlakuan
B. subtilis sehingga sisa ragi yang berlebih menjadi sulit dicerna D. magna.
Kemudian sisa ragi tersebut akan melakukan proses metabolisme yang memerlukan
oksigen (Kessler dan Lampert, 2004). Selain oksigen terlarut tersebut dimanfaatkan
oleh sel ragi, kondisi stres akibat peningkatan kadar ammonium dalam kultur akan
33
membuat laju metabolisme D. magna meningkat dan membuat kadar oksigen terlarut
dalam kultur semakin menurun (Peñalva-Arana, 2007).
Pada perlakuan B. subtilis yang merupakan bakteri aerobik akan membuat
kompetisi penggunaan oksigen terlarut semakin tinggi, tetapi kompetisi penggunaan
oksigen terlarut tersebut tidak akan begitu besar karena ketidakhadiran sel ragi. Sel-
sel ragi dalam kultur ini telah didekomposisi oleh B. subtilis sehingga kadar oksigen
terlarut dapat tetap stabil.
Keberadaan bakteri nitrifikasi dalam kultur akan menjaga kondisi fisika
kimia kultur lebih stabil. Keberadaan ammonium dalam medium menjadi sangat
rendah (tabel 4.4) sehingga tidak akan membuat D. magna stres akibat zat toksik
tersebut. Stres akibat zat toksik akan meningkatkan laju metabolisme dan penggunaan
oksigen yang semakin tinggi (Peñalva-Arana, 2007).
4.1.2.2 pH
Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH pada kultur D. magna cenderung
stabil (Gambar 4.3) dan berada dalam kisaran toleransi aman bagi kultur D. magna
yaitu 6,5-8,5 (Pennak, 1989). Nilai pH pada londisi awal kultur antara 6,37-7,85.
Pada akhir periode kultur pH terendah adalah pada perlakuan B. subtilis (6,95) dan
nilai pH tertinggi adalah pada perlakuan bakteri nitrifikasi (8,15).
34
1 2 3 4 5 67.207.407.607.808.008.208.40
Series1Series2Series3
pH
Gambar 4.3 Grafik pH pada tahap penelitian I
Pada pengukuran pH, perlakuan penambahan bakteri B. subtilis dan kontrol
menunjukkan nilai rata-rata yang relatif lebih rendah daripada perlakuan penambahan
bakteri nitrifikasi. Hal ini disebabkan karena proses dekomposisi materi organik oleh
B. subtilis akan meningkatkan pH kultur (Korsten dan Cook, 1996).
Pada perlakuan nitrifikasi dimana terjadi aktivitas nitrifikasi seharusnya pH
cenderung lebih rendah dan pada sebuah kondisi konsentrasi ammonium yang tinggi
akan membuat pH menjadi lebih tinggi. Berdasarkan reaksi (Ward, 1996)
2NH3 +3 O2 2NO2- + 2 H+ + 2 H2O
2NO2 + O2 2 NO3
Pada perlakuan bakteri nitrifikasi dimana proses di atas terjadi, oksigen terlarut yang
digunakan efektif sehingga pH dapat kembali stabil dengan lebih cepat dan diduga
dalam sistem kultur terbentuk sebuah sistem buffer yang baik sehingga pH tetap
dalam kisaran optimal bagi bakteri nitrifikasi (Ghanavati et.al., 2008; Tarre dan
Green, 2004). Sedangkan pada dua perlakuan lainnya karena ketidakhadiran bakteri
nitrifikasi, menyebabkan ammonium akan meningkat. Keberadaan ammonium yang
35
tidak teroksidasi akan mempertahankan pH tidak menurun atau tetap pada kisaran
netral.
4.1.2.3 Ammonium
1 2 3 4 50
0.20.40.60.81
1.21.41.61.8
Series1Series2Series3
NH
4+(m
g/L
)
Gambar 4.4 Kadar Ammonium pada penelitian tahap I
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi ammonium pada tiga
kultur yang mendapatkan perlakuan berbeda cukup fluktuatif dan berbeda secara
nyata (Gambar 4.4). Pada perlakuan penambahan bakteri nitrifikasi kadar amonium
berada dalam kisaran paling rendah sejak awal sampai akhir periode kultur. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ammonium yang berada dalam kultur telah teroksidasi
karena peran bakteri nitrifikasi (Ward, 1996).
Sementara pada perlakuan B. subtilis berada dalam kisaran kadar ammonium
tertinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya mulai dari awal sampai akhir periode
kultur. Amonium adalah zat yang dihasilkan dari aktivitas metabolisme hewan
perairan dan juga hasil proses dekomposisi materi organik. Pada perlakuan B. subtilis,
36
konsentrasi amonium cukup tinggi karena bakteri ini memiliki enzim proteolitik
sehingga protein ragi dapat terurai/dekomposisi menjadi lebih sederhana salah satu
senyawa turunannya adalah ammonium. Sumber ammonium lain dalam sistem kultur
diberi inokulasi B. subtilis berasal dari sisa pakan dan ekskresi dari metabolisme D.
magna (Park dan Reardon, 1996). Selain karena penumpukkan senyawa ammonium
tersebut, B. subtilis tidak memiliki kemampuan mereduksi jumlah ammonium
tersebut melalui proses nitrifikasi (Madigan dan Martinko, 2005).
Dari hasil pengujian tiga perlakuan tersebut menunjukkan bahwa
pengontrolan faktor fisika-kimia kultur dengan bakteri nitrifikasi berpengaruh secara
signifikan pada pertumbuhan jumlah D. magna dibandingkan dengan penggunaan
bakteri B. subtilis. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, bakteri nitrifikasi
digunakan untuk tahap optimasi selanjutnya.
4.2 Optimasi Waktu Inokulasi Bakteri Nitrifikasi
4.2.1 Kepadatan Kultur D. magna
Tahap penelitian selanjutnya bertujuan untuk mengetahui waktu inokulasi
bakteri nitrifikasi yang paling optimal untuk meningkatkan produktivitas kultur D.
magna. Pertumbuhan kepadatan kultur dengan perlakuan waktu inokulasi bakteri
nitrifikasi bersamaan dengan inokulasi D. magna (H) , 24 jam sebelum inokulasi D.
magna (H-1), dan 24 jam setelah inokulasi D. magna (H+1) dapat dilihat pada
gambar 4.5
37
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 140
20
40
60
80
100
120
140
Series1Series2Series3
Kep
adat
an (i
nd/L
)
Gambar 4.5. Pertumbuhan populasi dan panjang kultur D. magna
Dengan tiga waktu inokulasi bakteri nitrifikasi yang
berbeda (penelitian tahap II)
Pertumbuhan kultur D. magna pada perlakuan H+1 lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya dengan kepadatan kultur sebesar 127±38.94 individu/L pada hari
ke-13 periode kultur. Kemudian pertumbuhan kultur D. magna pada perlakuan H-1
lebih rendah daripada perlakuan H+1 dengan kepadatan 84.67±22.43 individu/L
dicapai pada hari ke-12 periode kultur. Hasil terendah didapat pada perlakuan
inokulasi bakteri pada perlakuan H dengan kepadatan 58.3±6.65 individu/L dicapai
pada hari ke-10 periode kultur. Berdasarkan hasil uji statistik dengan ANOVA,
perlakuan inokulasi bakteri H+1 menunjukkan perbedaan signifikan (P < 0,05)
dengan perlakuan lainnya mulai hari ke-4 periode kultur (tabel 4.2).
38
Tabel 4.2 Rata – rata dan standar deviasi kepadatan individu D. magna magna (Ind/L) dengan waktu pemberian inokulasi bakteri nitrifikasi yang berbeda.
Hari Ke-Jumlah H-1 Jumlah H+1 Jumlah H
1 10±0a 10±0a 10±0a
2 10.78±1.17a 12.11±2.32a 11.50±1.83b
3 11.44±2.19a 13.56±2.61a 13.40±2.58a
4 12.22±3.25a 19.78±4.43b 14.30±4.14a
5 14.67±5.17a 23.67±5.29b 18.30±6.18a
6 16.78±7.38a 29.33±10.52b 22.30±8.81a
7 25.22±8.57ab 38.56±18.69cd 34.3±10.93bc
8 29.56±9.5a 71.22±15.06b 42.1±12.59c
9 38.11±6.89a 90.22±11.43b 52.1±9.85c
10 46.22±8.91a 111.89±19.44b 58.3±6.65a
11 62.22±8.96a 121.44±21b 55.3±8.98a
12 84.67±22.43a 126±33.27b 54±13.53c
13 75±22.35a 127±38.94b
14 74±25.16a 123.22±46.93b
15 120.22±51.42Huruf yang sama pada satu baris menunjukkan nilai rata-rata yang tidak berbeda secara signifikan (P>0,05)
Kultur yang diberi perlakuan H+1 memberikan hasil produktivitas lebih baik
daripada dua perlakuan lainnya. Bakteri nitrifikasi diinokulasikan pada saat
ammonium sudah berada pada konsentrasi cukup tinggi (tabel 4.8). Diprediksikan
bahwa tidak terjadi/sangat rendah perilaku memangsa dari D. magna terhadap bakteri
dalam kultur ini karena pada hari pertama kultur D. magna telah tercukupi nutrisinya
dengan memakan ragi. Akibat dari konsentrasi ammonium yang tinggi ini,
konsentrasi bakteri nitrifikasi akan tinggi serta diiringi dengan aktifitas nitrifikasi
yang juga tinggi. Dengan aktifitas nitrifikasi yang tinggi maka kualitas air kultur
menjadi baik bagi kultur D. magna karena konsentrasi ammonium yang dapat
39
terkontrol dengan baik sehingga pertumbuhan kultur D. magna tumbuh dengan
optimal.
Pertumbuhan kultur D. magna pada perlakuan H lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Hal ini terkait dengan perilaku makan D. magna yang
merupakan unselected filter feeder (Peñalva-Arana, 2007). Berdasarkan ukuran
bakteri jauh lebih kecil dibandingkan dengan pakan sehingga yang lebih berpeluang
lebih besar untuk dimakan terlebih dahulu adalah bakteri nitrifikasi. Tidak semua
bakteri dimakan sehingga tetap dapat menjaga kondisi fisika-kimia kultur, meskipun
performanya tidak sebaik dua perlakuan sebelumnya. Hal ini diduga disebabkan oleh
penurunan jumlah/konsentrasi bakteri nitrifikasi yang mempengaruhi performa kultur
bakteri nitrifikasi.
Pada perlakuan H-1 saat bakteri diinokulasikan kadar ammonium tidak
ada/sangat rendah (tabel 4.8) sehingga bakteri tidak dapat tumbuh dengan optimum.
Satu hari setelah bakteri nitrifikasi diinokulasi, D. magna diinokulasi ke dalam kultur
dan seperti halnya pada perlakuan H bahwa bakteri nitrifikasi diprediksi juga
dimangsa oleh D. magna, namun karena sebelumnya sudah sempat tumbuh dalam
waktu satu hari maka performa bakteri nitrifikasi kultur H-1 ini lebih baik daripada
kultur H.
4.2.2 Kualitas Air Kultur
40
4.2.2.1 Oksigen Terlarut
Berdasarkan hasil pengamatan kadar DO pada medium kultur D. magna
cenderung stabil dan berada pada kisaran optimal untuk pertumbuhan D.magna
(Gambar 10). Nilai DO pada periode awal kultur berkisar antara 6,73-7,56 mg/L.
Pada akhir periode kultur nilai DO terendah adalah pada medium D. magna
perlakuan H+1 (6,93 mg/L) dan yang tertinggi pada perlakuan H (7,91 mg/L).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 146.206.406.606.807.007.207.407.607.808.00
Series1Series2Series3
DO
(mg/
L)
Gambar 4.6 DO pada perlakuan waktu inokulasi bakteri nitrifikasi pada waktu yang
berbeda
Pada tahap optimasi kali ini, DO berada pada kisaran optimal bagi kultur D.
magna. Perbedaan DO dari setiap perlakuan tersebut menunjukkan perbedaan
performa dalam aktivitas nitrifikasi dalam kultur. Semakin rendah DO karena
aktivitas nitrifikasi merupakan aktivitas bakteri aerobik dan oksigen dibutuhkan
dalam proses ini untuk mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan nitrat (Ward,
1996). Selain aktivitas bakteri nitrifikasi, kebutuhan oksigen D. magna pun akan
meningkat seiring dengan bertambah padatnya kultur.
41
Pada tahap penelitian II ini, perlakuan H+1 memiliki kecenderungan nilai DO
paling rendah dibandingkan dua perilaku lainnya. Hal ini sejalan juga dengan
aktivitas bakteri nitrifikasi dan pertumbuhan kultur D. magna yang optimum. Pada
perlakuan H dan H-1 nilai DO lebih tinggi daripada perlakuan H+1. Kecenderungan
nilai DO yang lebih tinggi pada perlakuan H dan H-1 mempengaruhi produktivitas
kultur dan proses nitrifikasi yang tidak seoptimum perlakuan H+1.
4.2.2.2 pH
Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH pada kultur D. magna (Gambar 11)
cenderung stabil dan berada dalam kisaran toleransi aman bagi kultur D. magna yaitu
6,5-8,5 (Pennak, 1989). Nilai pH pada londisi awal kultur antara 7,58-7,85. Pada
akhir periode kultur pH terendah adalah pada perlakuan H+1 (7,24) dan nilai pH
tertinggi adalah pada perlakuan H (8,15).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 146.606.807.007.207.407.607.808.008.208.40
Series1Series2Series3
pH
Gambar 4.7 pH pada perlakuan waktu inokulasi bakteri nitrifikasi pada waktu yang berbeda
Kestabilan nilai pH ini berkaitan erat dengan fungsi bakteri nitrifikasi yang
mereduksi jumlah ammonium dalam air. Jika pH kultur D. magna melebihi 8,5 atau
42
kurang dari 6,5 maka hal ini menunjukkan bahwa dalam kultur tersebut tidak terdapat
mikroorganisme yang mampu menstabilkan kadar amonium (Ghavanati, 2008).
Dalam penelitian tahap II ini pH kultur masih berada dalam kisaran optimum bagi
bakteri nitrifikasi (Gambar 4.7).
Dalam proses nitrifikasi, ammonium akan dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat.
Selama proses tersebut akan dilepaskan ion H+ (Ward, 1996), sehingga semakin
tinggi aktivitas nitrifikasi dalam sebuah kultur maka akan terdapat penurunan pH
yang semakin rendah (asidifikasi) (Tarre dan Green, 2004). Pada perlakuan H+1
proses nitrifikasi berlangsung paling optimum dibandingkan dua perlakuan lainnya,
sehingga hal ini menyebabkan kultur D. magna yang diberi perlakuan inokulasi
bakteri nitrifikasi pada waktu H+1 memiliki pH lebih rendah dibandingkan dua
perlakuan lainnya.
Performa bakteri nitrifikasi pada perlakuan H-1 lebih optimum dibandingkan
dengan perlakuan H. Nilai pH kultur D. magna yang diberi perlakuan H-1
menunjukkan kecenderungan lebih rendah daripada perlakuan H. Hal ini diprediksi
karena pada masa awal kultur yang diberi perlakuan H, bakteri nitrifikasi dimangsa
lebih banyak daripada kultur D. magna yang diberi perlakuan H-1.
4.2.2.3 Ammonium
43
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi ammonium pada tiga
kultur yang mendapatkan perlakuan berbeda cukup fluktuatif dan berbeda secara
nyata pada hari ke-4 sampai ke-9 periode kultur (Gambar 12). Pada awal periode
kultur kisaran kadar ammonium adalah antara 0-1,1 mg/L. Pada akhir periode kultur
kadar ammonium tertinggi adalah pada perlakuan H+1 (1,767 mg/L) dan kadar
ammounium terendah adalah pada perlakuan H (0,8 mg/L).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 140
0.5
1
1.5
2
2.5
Series1Series2Series3
NH
4+(m
g/L
)
Gambar 4.8 Amonium pada perlakuan waktu inokulasi bakteri nitrifikasi pada waktu
yang berbeda
Pada periode awal kultur yang diberi perlakuan H-1, kadar ammoniumnya
sama dengan perlakuan H+1. Meskipun demikian kultur D. magna perlakuan H-1
tidak tumbuh sama optimumnya dengan perlakuan H+1. Hal ini diduga karena bakteri
diinokulasikan saat jumlah amonium terlarut belum ada atau terlalu rendah/belum
mencukupi kebutuhan bakteri nitrifikasi, sehingga saat memasuki hari periode kultur
selanjutnya diduga sebagian dari populasi bakteri mati atau melemah sehingga
44
kemampuan bakteri nitrifikasi mempertahankan kondisi lebih optimal bagi kultur
menurun (Matsuzaka et.al., 2003), sehingga pertumbuhan D. magna tidak
seoptimum perlakuan H+1. Hal ini dapat dilihat pada gambar 12 bahwa konsentrasi
ammonium perlakuan H-1 pada awal periode kultur rendah kemudian selanjutnya
meningkat dan stabil pada kisaran 1,5-1,7 mg/L.
Pada perlakuan H+1 dimana saat bakteri nitrifikasi ditambahkan dalam kultur
satu hari setelah D. magna diinokulasikan. Saat bakteri nitrifikasi ditambahkan, kadar
ammonium pada kultur D. magna cukup tinggi yaitu 1,26 mg/L. Konsentrasi
ammonium ini meskipun cenderung lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, namun
tetap dalam kisaran toleransi bagi kultur D. magna. Dibandingkan terhadap perlakuan
H-1, perlakuan H+1 dapat menjaga kestabilan kadar ammonium dalam kultur. Hal ini
diduga karena kadar ammonium secara optimum dapat dimanfaatkan oleh bakteri
nitrifikasi untuk tumbuh, sehingga kondisi kultur dapat lebih stabil dan lebih tinggi
produktivitasnya (Matsuzaka et.al., 2003). Pada hari ke-11 dan ke-12 terdapat
pelonjakan kadar ammonium dalam kultur yang diberi perlakuan H+1 karena pada
saat tersebut terjadi pertumbuhan kultur D. magna yang mencapai puncak kepadatan
kultur (Tabel 4.2), namun karena performa bakteri nitrifikasi cukup baik maka pada
hari selanjutnya (hari ke-13) kadar ammonium dalam kultur D. magna dapat
diturunkan kembali.
Pada perlakuan H, dimana bakteri ditambahkan bersamaan dengan waktu
inokulasi D. magna dalam kultur menunjukkan kadar ammonium yang cukup rendah
dibandingkan dua perlakuan sebelumnya. Walaupun demikian, perlakuan ini tidak
45
menunjukkan pertumbuhan kultur yang lebih baik daripada perlakuan H-1 dan H+1.
Perilaku makan Daphnia sebagai unselected filter feeder akan lebih cenderung
memilih makanan yang memiliki ukuran sel terkecil (Penalva-Arana, 2007), sehingga
diprediksi sebagian besar bakteri nitrifikasi yang ditambahkan dalam medium kultur
dimangsa oleh D. magna. Akibatnya meskipun dapat menjaga kondisi medium kultur
tetap stabil tetapi performa bakteri nitrifikasi tidak sebaik dua perlakuan sebelumnya.
Dari penelitian tahap II ini didapatkan bahwa diprediksi konsentrasi bakteri
pada perlakuan H+1 lebih tinggi daripada dua perlakuan lainnya, sehingga laju
nitrifikasi kultur dapat berlangsung dengan optimal. Waktu inokulasi yang tepat
dalam akuakultur menentukan performa bakteri nitrifikasi dalam kultur karena erat
kaitannya dengan organisme dan kondisi fisika-kimia kultur (Sasmita, 2006)
Berdasarkan hasil penelitian ini, faktor yang paling penting dalam kultur
Daphnia magna adalah konsentrasi amonium dalam medium kultur. Oleh karena itu,
dibutuhkan aplikasi bakteri nitrifikasi dan waktu penambahan bakteri nitrifikasi yang
tepat untuk menstabilkan konsentrasi amonium tersebut agar dapat menghasilkan
produktivitas kultur yang maksimal.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
46
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah didapat dari peneltian maka dapat dibuat
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Inokulan bakteri yang tepat untuk pertumbuhan Daphnia magna yang
optimum adalah dengan kultur bakteri nitrifikasi yang dapat memberikan
pertumbuhan kultur D. magna dengan kepadatan awal 10 individu/L dan
kepadatan akhir sebesar 58.3±6.65 individu/L setelah 12 hari periode kultur.
2. Waktu inokulasi bakteri nitrifikasi 24 jam setelah kultur Daphnia magna
dapat memberikan pertumbuhan kultur yang optimal dengan kepadatan awal
10 individu/L dan mencapai kepadatan akhir sebesar 127±38.94 individu/L
setelah 13 hari periode kultur.
5.2. Saran
Dalam penelitian ini, dilakukan inokulasi bakteri dengan konsentrasi bakteri
0,1 % volume media kultur. Oleh karena itu, dalam penelitian lebih lanjut perlu
dilakukan optimasi konsentrasi bakteri yang digunakan dan dilakukan penghitungan
jumlah bakteri yang diinokulasikan.
DAFTAR PUSTAKA
47
Ali, A .2000. Probiotics in fish farming. Evaluation of a bacterial mixture.PhD
Thesis, Swedish University of Agricultural Sciences.Ume˚a,Sweden.
Aoi, Yoshiteru., Miyoshi, Tomoko., Toshiyuki, Okamoto., Tsuneda, Akira Hirata.,
Kitayama, Atsushi., and Nagamune, Teruyuki. 2000. Microbial Eclogy of
Nitrifying Bacteria in Wastewater Treatment Process Examined by
Fluorescens In Situ Hybridization.Journal of Bioscience and Bioengineering.
Vol.90 No.3:234-240
Bairagi, A., Ghosh, KS. Sen, SK. and AK. Ray. 2004. Evaluation of the nutritive
value of Leucaena leucocephala leaf meal , inoculated with fish intestinal
bacteria Bacillus subtilis and Bacillus circulans in formulated diets for rohu,
Labeo rohita (Hamilton) fingerlings . Aquaculture Research. 35: 436 - 446.
Buchanan K.E. & Gibbons, N.E. 1975. Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology (8th ed). The Williams & Wilkins Company. Baltimore
Cole, G.A. 1994. Textbook of Limnology (4th ed). Waveland Press inc. Illinois.
Dawes, I.W. and Mandelstam, J. 1970. Sporulation of Bacillus subtilis in Continuous
Culture. Journal of Bacteriology. September.Vol.103 No.3 p:529-535.
Delbaere, D & P.Dhert. 1996. Cladocerans, Nematodes & Trochopora Larvae dalam
manual “On The Production and use of Live Food for Aquaculure.” Editor :
Patrick Lavens and Patrick Sorgeloos. Food and Agriculture Organization of
the United Nations. New York.
Farzanfar, Ali. 2006. The use of probiotics in shrimp aquaculture. Iranian Fisheries
Research Organization. Tehran. Iran
48
Fuller, R. 1992. Probiotics:History and Development of Probiotics .Chapman &
Hall. NewYork.
Ghanavati, Hossein; Emtiazi, Giti ; Hassanshahian, Mehdi. 2008. Synergism effects
of phenol-degrading yeast and ammonia-oxidizing bacteria for nitrification in
coke wastewater of Esfahan Steel Company. Department of Biology, Faculty
of Science, Isfahan University. Republique Islamique D' Iran
Graumann, P. 2007. Bacillus: Cellular and Molecular Biology. Caister Academic
press.
Gundersen, K.. 1953. Nitrification in Mixed Cultures of Nitrosomonas and
Heterotrophic Soil Bacteria. Laboratory of Plant Physiology. University of
Copenhagen.
Irianto A & Austin B. 2002. Probiotics in aquaculture. Journal of Fish Disease.Vol.
25:633–642.
James, C. M. & T. Abu-Rezeq, 1989b. An intensive chemostat culture system for the
production of rotifers for aquaculture. Aquaculture 81: 291–301.
Kessler, Kirsten & Lampert, Winfried. 2004. Fitness Optimization of Daphnia in a
Trade-off Between Food and Temperature. Journal Oecologia. June 2004.
140:381-387
Korsten, L. and Cook, N. 1996. Optimizing Culturing Conditions for Bacillus
subtilis. South African Avocado Growers Association Yearbook. 19:54-58
Matsuzaka, Emiko; Nomura, Nobuhiko; Nakajima-Kambe, Toshiaki; Okada,
Norihisa; and Tadahatsu Nakahara. 2003. A Simple Screening Procedure fot
49
Heterotrphic Nitrifying Bacteria with Oxygen-Tolerant Denitrification
Activity. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol.95, No.4:409-411.
Madigan M; Martinko J (editors). (2005). Brock Biology of Microorganisms, 11th
ed., Prentice Hall.
Mancinelli RL (1996). "The nature of nitrogen: an overview". Life support &
biosphere science : international journal of earth space 3 (1-2): 17–24.
Mokoginta, Ing. 2003. Budidaya Pakan Alami Air Tawar, Modul : Budidaya
Daphnia. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan-Dikdasmen Depdiknas.
Nandy , Subir Kumar and Venkatesh, K. V. . 2008. Effect of Carbon and Nitrogen
on the Cannibalistic Behavior of Bacillus subtilis. Journal Applied
Biochemistry and Biotechnology. Volume 151, Numbers 2-3 / December,
2008. Humana Press Inc.
Nguyen K. M. Tam, Nguyen Q. Uyen, Huynh A. Hong, Le H. Duc, Tran T. Hoa,
Claudia R. Serra, Adriano O. Henriques, and Simon M. Cutting. 2006. The
Intestinal Life Cycle of Bacillus subtilis and Close Relatives. J Bacteriol.
2006 April; 188(7): 2692–2700.
Noerdjito, Diah Radini. 2003. Optimasi suhu, pH, serta jumlah dan jenis pakan pada
kultur Daphnia sp. Skripsi Sarjana. SITH ITB. Bandung.
Odum.E. 1971. Fundamentals of Ecology 3rd ed. Saunders Company. Philadelphia,
London, Toronto.
Peñalva-Arana, D. C. P. A. Moore, B. A. Feinberg, J. DeWall and J. R. Strickler.
2007. Studying Daphnia feeding behavior as a black box: a novel
50
electrochemical approach. Journal of Hydrobiologia : Volume 594, Number
1 / December, 2007
Park, Kyungmoon and Kenneth F. Reardon. 1996. Medium optimization for
recombinant protein production by Bacillus subtilis. Journal of Biotechnology
Letters. Vol 18, No.6/June 1996.
Pennak, R.W. 1989. Freshwater Invertebrate of The United States (3 rd ed). John
Wiley & Sons. New York.
P.Kungvankij,et.al. 1985. Training Manual : Shrimp Hatchery Design, Operation
and Management. Network of Aquaculture Centres in Asia. Bangkok
Rengpipat S, Tunyamum A, Fast AW, Piyatiratitivoraku S & Menasveta P. 2003.
Enhanced growth and resistance to vibrio challenge in pond-reared black tiger
shrimp Penaeusmonodon fed a Bacillus probiotic. DisAquatOrg 55:169–173.
Rottmann, RW, J. Scott Graves, Craig Watson and Roy P.E. Yanong. 2003. Culture
Techniques of Moina: The Ideal Daphnia for Feeding to Freshwater Fish Fry.
Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana,
Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26
Sasmita J., Pande Gede. 2006. Pengembangan Teknologi ‘Zero Water Discharge’
dan Aplikasi Bakteri Nitrifikasi dalam Tahap Pendederan Udang Galah
(Macrobranchium rosenbergii (de Man)). Tesis Program Studi Biologi. ITB.
Bandung
51
Snell, T. W., 1991. Improving the design of mass culture systems for the rotifer,
Brachionus plicatilis. In Fulks, W. & K. L. Main (eds), Rotifer and
Microalgae Culture Systems, Proceedings of a U.S.–AsiaWorkshop. The
Oceanic Institute, Honolulu, Hawaii: 61–71.
Suantika, G. 2001. Development of A Recirculation System for The Mass Culturing
of The Rotifer Brachionus plicatilis. Thesis Doktoral Universiteit Gent. Gent,
Belgium.
Suzuki, I, Kwok, S.C., and Dular, U. (1974). "Ammonia or Ammonium Ion as
Substrate for Oxidation by Nitrosomonas europaea cells and extracts."
Journal of Bacteriology, 120, 556.
Tarre, Sheldon and Green, Michal. 2004. High-Rate Nitrification at Low pH in
Suspended- and Attached-Biomass Reactors. Appl Environ Microbiol.
November; 70(11): 6481–6487.
Yoshimura, K., 1995. A high density mass culture system of the rotifer Brachionus
rotundiformis(II). Yoshoku, Midorishobo, Tokyo: 116–118. (In Japanese).
Verschuere L, Rombout G, Sorgeloos P & Verstraete W. 2000. Probiotic bacteria as
biological control agents in aquaculture. Microbiol Mol Biol Rev 64 :655–
671.
Ward BB. 1996. Nitrification and ammonification in aquatic systems. Life support &
biosphere science : international journal of earth space.
Waterman, T.H. 1960. The Physiology of Crustacean Volume : Metabolism and
Growth. Academic Press. New York.
52
W. K. Fitt, T. A. VI Rees, D. Yellowlees. 1993. Relationship between pH and the
availability of dissolved inorganic nitrogen in the zooxanthella-giant clam
symbiosis. American Society of Limnology and Oceanography, Inc.
Yasuda K & Taga N. 1980. A mass culture method for Artemis salinausing bacteria
as food. Mer 18 :53–62.
Data DKP 2007 (ww.dkp.go.id) tanggal akses 14 Februari 2009
John Clare. www.caudata.org tanggal akses 14 Februari 2009
53
LAMPIRAN A
Kepadatan kultur pada tahap optimasi pertama (individu/L)
Hari
Ke-
Jumlah Kontrol Jumlah subtilis Jumlah nitrifikasi
rerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 10 0,00 10,00 0,00 10,00 0,00
2 10 0,00 10,00 0,00 11,50 1,83
3 11,22 1,63 12,83 3,18 13,40 2,58
4 10,25 1,30 14,67 3,38 14,30 4,14
5 10,125 0,54 16,30 2,80 18,30 6,18
6 17,30 2,87 22,30 8,81
7 20,83 2,48 34,3 10,93
8 23,50 3,39 42,1 12,59
9 37,50 15,10 52,1 9,85
10 35,67 16,50 58,3 6,65
11 34,17 17,40 55,3 8,98
12 54 13,53
54
LAMPIRAN B
KONDISI FISIKA-KIMIA AIR TAHAP OPTIMASI PERTAMA
Suhu medium Kultur D. magna pada tahap optimasi pertama
Hari Ke-
T kontrol T subtilis T nitrifyrerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 25.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.002 25.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.003 25.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.004 25.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.005 25.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.006 25.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.00
pH medium Kultur D. magna pada tahap optimasi pertama
Hari Ke-
pH kontrol pH subtilis pH nitrifyrerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 6.37 0.28 6.97 0.52 7.85 0.342 7.28 0.26 7.36 0.46 7.52 0.253 7.31 0.47 7.57 0.31 7.72 0.264 7.34 0.40 7.46 0.58 7.72 0.325 7.38 0.49 6.93 0.67 8.00 0.596 7.22 0.48 6.89 0.55 8.04 0.447 7.49 0.54 7.78 0.308 7.54 0.59 7.92 0.359 6.95 0.82 7.94 0.35
10 7.08 0.48 8.05 0.5211 7.10 0.84 8.05 0.4312 8.15 0.55
55
DO medium Kultur D. magna pada tahap optimasi pertama
Hari Ke-
DO kontrol DO subtilis DO nitrifyrerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 6.37 0.27 6.64 0.13 7.56 0.482 7.28 0.25 7.42 0.17 7.47 0.593 7.42 0.40 7.52 0.32 7.52 0.384 7.07 0.58 7.21 0.46 7.74 0.395 6.70 0.43 7.42 0.35 7.71 0.346 7.82 0.33 7.79 0.317 7.82 0.33 7.69 0.338 7.65 0.65 7.81 0.339 7.64 0.29 7.77 0.25
10 7.73 0.29 7.91 0.1711 7.70 0.58 7.61 0.3812 7.60 0.32
Kadar ammonium medium Kultur D. magna pada tahap optimasi pertama
Hari Ke-
NH4 Kontrol NH4 subtilis NH4 nitrifyrerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 1.7 0.58 1.60 0.85 1.10 0.422 1.3 0.06 1.20 0.46 1.18 0.053 1.4 0.36 1.50 0.96 1.10 0.434 1.6 0.50 1.60 0.50 1.08 0.095 1.4 0.09 2.20 0.57 0.87 0.496 2.20 0.73 0.79 0.597 2.40 0.53 0.79 0.68 2.20 0.4 0.8 0.629 2.50 0.58 0.65 0.1
10 1.60 0.32 1.27 0.0911 1.90 0.67 1.39 0.1112 1.67 0.23
LAMPIRAN C
56
KONDISI FISIKA-KIMIA AIR TAHAP OPTIMASI KEDUA
pH medium Kultur D. magna pada tahap optimasi kedua
Hari Ke-
pH H-1 pH H+1 pH nitrifyrerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 7.64 0.48 7.58 0.38 7.85 0.342 7.63 0.32 7.62 0.30 7.52 0.253 7.70 0.35 7.78 0.20 7.72 0.264 7.79 0.50 7.65 0.41 7.72 0.325 7.73 0.40 7.64 0.30 8.00 0.596 7.74 0.38 7.67 0.46 8.04 0.447 7.47 0.35 7.48 0.21 7.78 0.308 7.86 0.12 7.86 0.37 7.92 0.359 7.75 0.32 7.75 0.20 7.94 0.35
10 7.78 0.36 7.75 0.38 8.05 0.5211 7.61 0.22 7.65 0.42 8.05 0.4312 7.86 0.35 7.59 0.48 8.15 0.5513 7.56 0.29 7.45 0.41 14 7.56 0.34 7.24 0.61 15 7.18 0.84
DO medium Kultur D. magna pada tahap optimasi pertama
Hari DO H-1 DO H+1 DO nitrify
57
Ke- rerata stdev rerata stdev rerata stdev1 6.73 0.26 7.14 0.26 7.56 0.482 6.88 0.36 7.11 0.22 7.47 0.593 7.15 0.46 7.12 0.42 7.52 0.384 7.17 0.54 7.41 0.19 7.74 0.395 7.44 0.50 7.04 0.24 7.71 0.346 7.29 0.38 7.24 0.47 7.79 0.317 7.47 0.32 6.74 0.54 7.69 0.338 7.26 0.47 7.29 0.34 7.81 0.339 7.03 0.69 6.99 0.31 7.77 0.25
10 7.19 0.31 7.05 0.36 7.73 0.2911 7.22 0.41 7.22 0.36 7.61 0.3812 7.37 0.27 7.37 0.25 7.60 0.3213 7.28 0.34 7.07 0.48 14 7.09 0.25 7 0.41 15 6.93 0.17
Kadar ammonium medium Kultur D. magna pada tahap optimasi pertama
Hari Ke-
NH4 H-1 NH4 H+1 NH4 nitrifyrerata stdev rerata stdev rerata stdev
1 0 0.00 0.000 0.000 1.10 0.422 0.593 0.65 1.261 0.504 1.18 0.053 1.341 0.28 1.444 0.245 1.10 0.434 1.535 0.44 1.287 0.519 1.08 0.095 1.419 0.33 1.535 0.302 0.87 0.496 1.54 0.20 1.377 0.611 0.79 0.597 1.729 0.318 1.548 0.236 0.79 0.68 1.651 0.337 1.767 0.233 0.8 0.629 1.651 0.329 1.755 0.236 0.65 0.1
10 1.574 0.19 1.716 0.280 1.27 0.0911 1.593 0.343 2.220 0.388 1.39 0.1112 1.593 0.273 2.268 1.574 1.67 0.2313 1.516 0.114 1.309 0.268 14 1.438 0.155 1.738 0.654 15 2.017 1.016