BAB I FENOMENA REMAJA ADIKSI DALAM PENYESUAIAN...

34
1 BAB I FENOMENA REMAJA ADIKSI DALAM PENYESUAIAN SOSIAL Sudah cukup lama dirasakan adanya ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual dan emosional remaja di sekolah. Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah. Mereka telah dibanjiri berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan melalui media massa yang semuanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Dari segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara dengan baik sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah nampak dewasa, tetapi mempunyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi demikian, banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan masalah membesarkan dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang berkembang begitu cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di masa remaja mereka dulu. Yusuf (2002: 185) menyebutkan bahwa masa remaja sebagai masa strum and drang, yaitu suatu periode yang berada dalam dua situasi antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas dewasa. Hafid (1997: 8) mengemukakan bahwa pada masa ini manusia mudah tergoda, mudah bergulir keyakinan dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan menurut konsep dirinya. Salah satu dari ragam masalah yang terjadi itu diantaranya adalah terjadinya seorang remaja yang kurang dapat melakukan penyesuaian sosial terhadap lingkungan khususnya lingkungan sekolah. Banyak faktor penyebab yang menyebabkan remaja berlaku demikian, seperti tidak memiliki keterampilan sosial, kondisi fisik yang kurang, perkembangan dan kematangan yang belum sempurna, faktor psikologis, faktor lingkungan dan faktor adat istiadat dirinya. Spesifiknya, mengenai permasalahan remaja disini adalah remaja yang berperilaku adiktif. Adiktif atau ketergantungan obat adalah perilaku yang menyimpang. Adiktif dipandang sebagai perilaku maladaptasi yang dapat

Transcript of BAB I FENOMENA REMAJA ADIKSI DALAM PENYESUAIAN...

1

BAB I FENOMENA REMAJA ADIKSI

DALAM PENYESUAIAN SOSIAL Sudah cukup lama dirasakan adanya ketidakseimbangan antara

perkembangan intelektual dan emosional remaja di sekolah. Kemampuan

intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana

dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah. Mereka telah dibanjiri

berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan

melalui media massa yang semuanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan para

remaja sekarang.

Dari segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara dengan baik

sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah nampak dewasa, tetapi

mempunyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi demikian,

banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan masalah membesarkan

dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang berkembang begitu

cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di masa remaja mereka dulu.

Yusuf (2002: 185) menyebutkan bahwa masa remaja sebagai masa strum and

drang, yaitu suatu periode yang berada dalam dua situasi antara kegoncangan,

penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas dewasa. Hafid (1997: 8)

mengemukakan bahwa pada masa ini manusia mudah tergoda, mudah bergulir

keyakinan dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan menurut

konsep dirinya.

Salah satu dari ragam masalah yang terjadi itu diantaranya adalah terjadinya

seorang remaja yang kurang dapat melakukan penyesuaian sosial terhadap

lingkungan khususnya lingkungan sekolah. Banyak faktor penyebab yang

menyebabkan remaja berlaku demikian, seperti tidak memiliki keterampilan

sosial, kondisi fisik yang kurang, perkembangan dan kematangan yang belum

sempurna, faktor psikologis, faktor lingkungan dan faktor adat istiadat dirinya.

Spesifiknya, mengenai permasalahan remaja disini adalah remaja yang

berperilaku adiktif. Adiktif atau ketergantungan obat adalah perilaku yang

menyimpang. Adiktif dipandang sebagai perilaku maladaptasi yang dapat

2

menimbulkan kerusakan fisik dan psikis. Adiktif diartikan sebagai suatu keadaan

psikis yang muncul secara periodik atau kronis akibat penggunaan narkoba yang

berulang yang ditandai oleh 1) kehendak yang berlebihan atau memerlukan

dengan paksa untuk meneruskan penggunaan obat dan berusaha mendapatkan

dengan segala cara, 2) adanya gejala untuk meningkatkan dosis, 3) memiliki

ketergantungan fisik dan psikis terhadap pengaruh obat, 4) adanya gangguan

kepribadian (Hafid, 1995: 45).

Segel (1989: 49) mengemukakan bahwa adiktif dapat menimbulkan perilaku

antisosial bahkan perilaku kriminal. Steinberg menarik kesimpulan bahwa

terdapat hubungan saling pengaruh yang kuat (highly intercorrelated) antara

problem penyalahgunaan narkoba, depresi dan kenakalan.

Perilaku adiktif merupakan perilaku hasil pembiasaan (Hafid, 1997: 51).

Perilaku adiktif sebagai perilaku hasil belajar dan dapat diubah menjadi perilaku

yang efektif dengan cara belajar pula. Adiktif merupakan penyakit biologis,

psikologis dan sosial. Rondy (2006) menyatakan bahwa adiktif dapat merusak

empat aspek kehidupan, diantaranya: (1) fisik mudah jatuh sakit, sebagian besar

menjadi kurus, dan mata cekung, (2) mental, cenderung berpikiran negatif, susah

untuk berkonsentrasi, daya ingat menurun, (3) emosi, setiap gejolak emosi yang

datang ditutup dengan pemakaian narkoba, (4) spiritual, jorok terhadap diri sendiri

dan lingkungan, jauh dari Tuhan.

Bertolak dari keadaan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diperlukan

penanganan baik secara preventif maupun kuratif. Terdapat beberapa metode yang

dapat digunakan dalam perawatan pemulihan adiktif diantaranya adalah

Therapeutic Community (TC), pendekatan yang mencakup biologis, psikologis

dan sosial; Medical Model, yaitu perawatan medis, genetik dan fisiologis;

Minnesota Model seperti Narcotic Anonymous Alchoholic Anonymous (NA/AA)

dengan metode 12 langkah pemulihan; Eclectic Model dengan menggunakan

metode gabungan, misalnya antara spiritual dan kognitif; Therapy Community

(TC); Faith Based Model yaitu metode yang lebih condong ke religi (Novrudi:

2005). Metode lainnya adalah metode kognitif-perilaku, yaitu metode yang

merupakan perpaduan antara pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Ramli

3

(2005: 435) mengemukakan bahwa terapi kognitif-perilaku merupakan

seperangkat prinsip dan prosedur yang berasumsi bahwa proses kognitif

mempengaruhi tingkah laku dan proses tersebut dapat dipengaruhi melalui teknik

kognitif dan perilaku. Terapi kognitif-perilaku adalah suatu bentuk terapi yang

memadukan prinsip dan prosedur terapi kognitif dan terapi perilaku dalam upaya

membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan.

Konseling kognitif-perilaku merupakan perangkat prinsip yang bersifat

kolaboratif antara konselor dan konseli, singkat namun sangat ketat dan

terstruktur. Konseling ini menggunakan pendekatan kognitif, yaitu dengan

mengubah perangkat kognisi yang efektif, kemudian disertai pendekatan perilaku

yang akan mengubah perilaku adiktif menjadi perilaku yang efektif. Konseling

kognitif-perilaku dirancang untuk membantu konseli mengidentifikasi, menguji

dan memperbaiki perilaku salah suai, konsep dan keyakinan yang keliru mengenai

penggunaan narkoba.

Kasus remaja adiktif yang akan diintervensi dengan menggunakan konseling

kognitif perilaku difokuskan pada perilaku sosialnya, yaitu :

1) Rusak secara moral dalam berintraksi

2) Anti-sosial

3) Keterampilan sosial menurun

4) Banyaknya sikap negatif terhadap perilaku masyarakat.

4

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Penyesuaian Sosial

1. Pengertian

Pengertian penyesuaian sosial (social adjustment) menurut Kartini Kartono

(1993:468) ialah: ”(1) penjalinan secara harmonis suatu relasi dengan lingkungan

sosial; (2) mempelajari tingkah laku yang diperlukan, atau mengubah kebiasaan

yang ada, sedemikian rupa, sehingga cocok bagi suatu masyarakat sosial".

Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai oleh

hubungan dengan orang lain, baik itu dalam lingkup keluarga, sekolah maupun

masyrakat secara luas. Sebagai mahluk sosial individu selalu membutuhkan

pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain, pengakuan dan penerimaam

terhadap dirinya dari orang lain.

Penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu

yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan kea'daan

lingkungan tempat ia berada dan berinteraksi secara efektif dan efisien.

Penyesuaian sosial adalah kemampuan bereaksi secara efektif dan sehat

terhadap situasi, realita, dan hubungan sosial sehingga tuntutan hidup

bermasyarakat terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

Sofyan S. Willis (1993:43) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai

"Kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap

lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap

lingkungan."

Berdasarkan pendapat di atas, tampak jelas bahwa penyesuaian diri tidak

dapat dipisahkan dengan penyesuaian sosial, karena keduanya berkaitan erat.

Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh Moh. Surya (1990:142) yang

mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai salah satu istilah yang banyak merujuk

pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan

lingkungannya.

Lebih jelasnya adalah :

5

"Penyesuaian sosial merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap iingkungan sosial atau penyesuaian dalam hubungan antar manusia. Melalui penyesuaian sosial, manusi memperoieh peniuasan akan kebutuhan-kebutuhannya".

Penyesuaian sosial sebagai suatu proses penyesuaian diri berlangsung secara

kontinyu, di mana dalam kehidupannya, seseorang akan dihadapkan pada dua

realitas, yakni diri dan lingkungan di sekitarnya. Hampir sepanjang kehidupannya

seseorang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat berinteraksi satu sama lain.

Dalam makalah ini penyesuaian sosial siswa di sekolah diartikan sebagai

kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu

yang ada di liihgkungan sekolah secara efektif dan sehat, sehingga ia memperoleh

kepuasaan dalam upaya memenuhi kebutuhannya, yang dapat dirasakan oleh

dirinya dan orang lain atau lingkungannya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah

Keberhasilan atau kegagalan siswa dalam proses penyesuaian sosialnya di

sekolah, berkaitan erat dengan faktor-faktor yang turut mempengaruhinya. Secara

umum faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian siswa di sekolah terdiri atas

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor kekuatan yang

ada dalam diri individu yang meliputi kondisi jasmaniah, penetu psikologis seperti

kematangan, perkembangan sosial, moral, emosional, IQ, minat, bakat, konsep

diri dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal sebagai faktor kekuatan yang

berada di luar din individu, diantaranya iklim kehidupan keluarga, iklim

kehidupan sekolah dan masyarakat.

6

Faktor -faktor tersebut dapat digambarkan seperti berikut :

Input Proses Output

B.

Bagan 1.1 : Faktor faktor yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di

sekolah (Yati Rusyati, 1995 : 6)

Lebih lanjut, Moh. Surya ( 1985: 16)) menjelaskan bahwa "penentu-penentu

penyesuaian diri indentik dengan faktor yang menentukan perkembangan

kepribadian". Adapun penentu-penentu yang dimaksudkan adalah "(1) kondisi

jasmaniah, yang meliputi pembawaan, susunan jasmaniah, sistem syaraf, kelenjar

otot, kesehatan dan lain-lain (2) perkembangan dan kematangan meliputi

kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional, (3) penentu psikologis,

yang meliputi pengalaman belajar pembiasaan, frustrasi dan konflik, (4) kondisi

lingkungan, meliputi rumah, sekolah dan masyarakat, (5) penentu kultural, berupa

budaya dan agama.

Gerungan (1988:180) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

penyesuaian sosial sebagai, berikut "(1) peranan keluarga yang meliputi status

sosial ekonomi, kebutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua dan status

anak, (2) peranan sekolah meliputi struktur dan organisasi sekolah, peranan guru

dalam menyampaikan pelajaran, (3) peranan lingkungan kerja, misalnya

lingkungan pekerjaan industri atau pertanian di daerah, (4) peranan media massa,

besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan, TV, film, radio, dan

sebagainya".

Internal IQ Minat, Bakat Konsep diri

Sosialisasi Kemampuan penyesuaian sosial

Eksternal Iklim kehidupan Keluarga Iklim kehidupan Sekolah Masyarakat

7

Pada umumnya aspek yang mempengaruhi penyesuaian diri dapat dibagi

dalam tiga bagian yaitu aspek biologis, aspek psikologis, dan aspek sosiologis.

Aspek biologis yang dimaksud adalah kondisi jasmaniah (fisik, seperti struktur

jasmaniah), sistem saraf kesehatan dan lain sebagainya. Aspek psikologis

merupakan kondisi-kondisi secara psikis dapat menentukan keadaan seseorang

antara lain minat, bakat, konsep diri, sikap, emosi, tingkat kecerdasan, dan lain

sebagainya. Aspek sosiologis adalah situasi lingkungan yang mendukung

seseorang baik lingkungan kelnarga, sekolah ataupun lingkungan masyarakat.

B. Penyesuaian Sosial Siswa pada masa Remaja

Memasuki masa remaja, siswa diharuskan telah memenuhi tugas-tugas

perkembangannya pada masa anak-anak. Hal ini diperlukan agar siswa dapat

menjalani tugas-tugas perkembangan remajanya dengan baik, sehingga ketika ia

memasuki masa selanjutnya (dewasa) ia akan memperoleh ketenangan dan

kebahagiaan dalam hidupnya.

Andi Mapiare (1984: 43) mengemukakan bahwa siswa dihadapkan pada

sepuluh tugas perkembangan yang harus dipenuhinya dengan baik. Tugas-tugas

perkembangan yang harus diselesaikan adalah sebagai berikut:

1) Menerima kenyataan fisik dan memainkannya secara efektif.

2) Mencapai hubungan sosial baru yang lebih matang dengan teman sebaya,

baik dengan sejenis maupun lawan jenisnya.

3) Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya.

4) Mencapai peranan sosial sebagai pria dan wanita.

5) Memperoleh kepastian dalam halkebebasan pengaturan ekonomis.

6) Memilih dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan atau jabatan.

7) Mempersiapkan diri untuk kehidupan perkawinan dan berkeluarga.

8) Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang

diperlukan sebagai warga negara yang cakap dan terpuji.

9) Adanya keinginan dalam mencapai perilaku yang dapat

dipertanggungjawabkan secara sosial,

8

10) Memperoleh satu kesatuan sistem norma yang dapat dijadikan sebagai

pedoman perilaku.

Dalam pemetaan sosial, remaja mengalami proses belajar mengadakan

penyesuaian sosial pada kehidupan sosial dengan orang dewasa. dalam hal ini

remaja belajar pola-pola tingkah laku sosial yang dilakukan orang dewasa di

lingkungan mereka berada.

Sehubungan dengan hal tersebut, Havighurst (Melli S. Rifai, 1987: 23)

mengungkapkan beberapa tugas perkembangan sosial yang harus dicapai pada

masa remaja yaitu:

1) Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman-teman

sebayanya, baik dengan teman sejenis maupun dengan lawan jenis. Artinya

para remaja memandang para gadis sebagai wanita dan laki-laki sebagai pria,

menjadi manusia dewasa diantara orang-orang dewasa. Mereka dapat

bekerjasama dengan orang lain dengan tujuan-tujuan bersama, dapat menahan

dan mengendalikan perasaan-perasaan pribadi dan belajar memimpin orang

lain dengan atau tanpa dominasi.

2) Dapat menjalankan peranan sosial menurut jenis kelamin masing-masing.

Artinya mempelajari dan menerima peranan masing-masing sesuai dengan

ketentuan-ketentuan/norma-norma masyarakat.

3) Memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial dapat

dipertanggungjawabkan. Artinya ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial

sebagai seorang dewasa yang bertanggungjawab, menghormati serta menaati

nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya, baik regional maupun

nasional.

Apabila tugas-tugas perkembangan remaja, termasuk didalamnya

perkembangan sosial diatas dapat dikuasai dan dilalui dengan baik, maka remaja

yang bersangkutan akan merasa bahagia dan harmonis, serta dapat menjadi

seorang yang produktif. Dengan demikian remaja tersebut dapat bekerja secara

gembira untuk memenuhi kepentingan dirinya dan masyarakat. Sebaliknya, bila

tugas-tugas perkembangan tidak dapat dikuasai dan dilalui dengan baik, maka

9

tugas-tugas perkembangan berikutnya akan terhambat. Hal ini akan menimbulkan

ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dalam hidup.

1. Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah

Penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa dalam

beradaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara

wajar dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi diri dan

lingkungannya.

Penyesuaian sosial siswa di sekolah penting artinya dalam menunjang

keberhasilan akademis atau prestasi belajarnya, yang terpenting dalam

penyesuaian sosial siswa adalah penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran,

teman sebaya dan lingkungan sekolah.

Pertama, penyesuaian diri siswa terhadap guru banyak bergantung kepada

sikap guru dalam menghadapi siswanya. Sikap yang lebih bersahabat dengan

siswa akan banyak membantu guru dalam memperoleh informasi tentang keluhan

siswanya, keinginan dan kesulitan-kesulitan yang siswa hadapi.

Kedua, penyesuaian diri terhadap mata pelajaran. Dalam hal ini, kurikulum

hendaknya disesuaikan dengan umur, tingkat kecerdasan dan kebutuhan. Dengan

jalan demikian siswa akan dengan mudah menyesuaikan dirinya terhadap mata

pelajaran yang diberikan guru kepadanya.

Ketiga, penyesuaian diri terhadap lingkungan sekolah. Dalam hal ini adalah

gedung, alat-alat sekolah, fasilitas belajar dan lingkungan sosial lainnya.

Keempat, Penyesuaian diri terhadap teman sebaya. Hal ini sangat penting bagi

perkembangan siswa, terutama perkembangan sosialnya.

2. Efektivitas Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah

Istilah efektivitas banyak merujuk pada proses kelancaran atau keberhasilan

dari suatu aktivitas yang dilakukan seseorang. Penyesuaian dapat diartikan

sebagai proses respon individu baik yang bersifat behavioral maupun mental

dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan

emosional, frustrasi dan konflik dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan

10

kebutuhan tersebut dengan tuntutan lingkungan. Upaya memenuhi kebutuhan atau

memecahkan masalah yang dihadapi, tidak semua individu mampu

menampilkannya secara wajar dan normal. Moh. Surya (1988: 27)

mengemukakan ciri-ciri penyesuaian sosial yang baik adalah sebagai berikut:

1) Tidak menunjukkan ketegangan emosional

2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme psikologis

3) Tidak menunjukkan adanya frustrasi pribadi

4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri

5) Mampu dalam belajar

6) Menghargai pengalamannya

7) Bersikap realitas dan objektif

Senada dengan uraian diatas, Yusuf (2001: 130) mengemukakan penyesuaian

yang sehat ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:

1) Mampu menilai diri secara realistik

2) Mampu menilai situasi secara realistik

3) Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik

4) Menerima tanggung jawab

5) Kemandirian

6) Dapat mengontrol emosi

7) Berorientasi tujuan

8) Berorientasi keluar

9) Penerimaan sosial

10) Memiliki filsafat hidup

11) Berbahagia

Efektivitas penyesuaian sosial siswa di sekolah menurut Schneiders (1964:

454) ditandai oleh adanya :

1) Penghormatan terhadap orang-orang yang patut dihargai di sekolah.

Ditandai dalam bentuk perilaku menghargai dan menjaga kewibawaan guru

dan personil sekolah lain.

2) Penerimaan terhadap orang-orang yang patut dihormati di sekolah. Hal ini

ditunjukkan dalam perilaku tidak memilah-milah teman, guru dan personil

11

sekolah lainnya dan memiliki kesadaran bahwa karakter masing-masing

teman, guru dan personil lainnya berbeda-beda.

3) Minat terhadap aktivitas sekolah. Ditunjukkan dengan bentuk perilaku minat

dalam kegiatan belajar dan mengajar serta kegiatan ekstrakulikuler.

4) Partisipasi dalam aktivitas sekolah. Ditunjukkan dalam perilaku partisipasi

dalam setiap kegiatan yang diadakan di sekolah.

5) Menjalin hubungan persahabatan yang sehat dengan teman, guru dan

personil sekolah lainnya. Ditunjukkan dalam perilaku pengendalian emosi,

tidak memiliki mekanisme pertahanan diri, memiliki pertimbangan rasional

yang mendalam, memiliki pengarahan diri, memiliki keinginan untuk maju

dan mengembangkan dirinya, memiliki sikap yang realistis.

6) Penerimaan terhadap peraturan/tata tertib sekolah. Ditunjukkan dalam

bentuk perilaku memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan/tata tertib

sekolah dan mematuhi peraturan sekolah.

7) Membantu sekolah mencapai tujuannya. Ditunjukkan dalam bentuk

mendukung kelancaran proses kegiatan belajar mengajar dan melaksanakan

kewajiban sebagai siswa.

8) Mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah yang berlaku dengan indikator

memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan/tata tertib.

3. Permasalahan Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah

Siswa SMA jika dilihat dari segi umur berada pada rentang usia antara 15

sampai 20 tahun, atau yang sering kita sebut sebagai masa remaja. Pada masa ini,

remaja sedang berda pada masa transisi, disebut demikian karena pada masa ini

remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai seorang anak kecil, tetapi belum dapat

juga dikatakan sebagai orang dewasa.

Sejalan dengan masa transisi yang terjadi pada masa remaja, Abin Syamsudin

Makmun (1990: 79-80) mengemukakan masalah-masalah yang sering dihadapi

oleh remaja, adalah sebagai berikut:

1) Masalah yang berkaitan dengan perkembang fisik dan psikomotorik. Dalam

hal ini secara umum remaja banyak menghadapi kecanggungan dalam

12

pergaulan, penolakan diri karena body image-nya tidak sesuai dengan self-

picture yang diharapkan, merasa malu karena perubahan suara pada remaja

laki-laki dan peristiwa menstruasi pada perempuan. dan lain sebaginya.

2) Masalah yang berhubungan dengan perkembangan bahasa dan perilaku

kognitif, seperti tidak menyukai pelajaran bahasa asing dan benci terhadap

gurunya dikarenakan kelemahan dalam mempelajari bahasa asing, merasa

rendah diri karena kapasitas dasar belajarnya dibawah rata-rata,

ketidakselarasan antara keinginan atau minat, sehingga menimbulkan

kesulitan dalam memiliki program/jurusan/jenis sekolah yang akan

dimasukinya.

3) Masalah-masalah yang berkenaan dengan perkembangan perilaku sosial,

moralitas, dan religius, adalah masalah yang berkenaan dengan kenakalan

remaja yang berbentuk perkelahian antar kelompok, pencurian, perampokan,

prostitusi, konflik dengan orang tua (tidak senang di rumah, bahkan minggat),

menggunakan narkotika, menghisap ganja, dan penyimpangan perilaku anti

sosial lainnya.

4) Masalah-masalah yang berkenan dengan perkembangan perilaku afektif,

konatif dan kepribadian, yaitu mudahnya remaja terbawa arus pada kegiatan-

kegiatan yang mengarah/sifatnya destruktif spontan untuk melampiaskan

ketegangan intuitif emosionalnya, sukar mengintegrasikan fungsi-fungsi

psikofisiknya, yang berlanjut pada sukar pula menemukan identitas

pribadinya dan mengalami masa remaja yang berkepanjangan meskipun

usianya sudah menginjak masa dewasa.

Permasalahan penyesuaian sosial di sekolah akan timbul ketika siswa mulai

memasuki jenjang sekolah yang baru. Mereka akan mengalami permasalahan

penyesuaian diri dengan guru, teman dan mata pelajaran. Apabila siswa tersebut

tidak dapat menyesuaikan diri maka akan berakibat pada prestasi belajarnya.

Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang

berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik, bagi siswa yang baru masuk dapat

bekerja secara gembira untuk memenuhi kepentingan dirinya dan masyarakat.

Sebaliknya, apabila tugas-tugas perkembangan tidak dapat dikuasai dan dilalui

13

dengan baik, maka tugas-tugas perkembangan berikutnya akan terhambat. Hal ini

akan menimbulkan ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dalam hidup.

Berdasarkan permasalahan yang sering muncul pada masa remaja, maka

fenomena remaja adiktif diasumsikan terjadi sebagai akibat dari kurangnya

penyesuaian sosial remaja dalam menyikapi perkembangan perilaku sosial,

moralitas, dan religius. Kasus remaja adiktif dikategorikan permasalahan sosial

yang berkenaan dengan kenakalan remaja yang berbentuk penggunaan

narkotika/obat-obat terlarang dan menghisap ganja. Disebut permasalahn sosial

karena perilaku adiktif pada remaja sangat meresahkan warga/orang-orang sekitar

terutama orang tua.

Di sekolah, remaja adiktif tidak bisa menjalin hubungan persahabatan yang

sehat dengan teman, guru dan personil sekolah, sehingga keberadaan mereka tidak

menunjang keberhasilan akademis atau prestasi belajarnya, padahal yang

terpenting dalam penyesuaian sosial siswa di sekolah adalah penyesuaian diri

terhadap guru, mata pelajaran, teman sebaya dan lingkungan sekolah, sedangkan

pada remaja adiktif sikap-sikap tersebut tidak dimiliki.

C. Perilaku Adiktif

1. Pengertian Adiktif

Ada berbagai pengertian yang berhubungan dengan adiktif, yaitu

penyalahgunaan narkoba (drug abuse) ketergantungan narkoba (drug depence)

dan kecanduan narkoba (drug addiction).

a. Penyalahgunaan Narkoba (Drug Abuse)

Penyalahgunaan obat adalah penggunaan zat-zat kimia yang dilakukan

bukan untuk tujuan medis dan dalam jumlah yang melebihi batas takaran,

penggunaannya dapat membahayakan dirinya, sosial, kesehatan dan

konsekuensi hukum (Segal, 1986: 46). Penyalahgunaan narkoba merupakan

penggunaan zat kimia secara sengaja untuk alasan selain yang diindikasikan

secara medis, berdampak menurunnya fungsi fisik, mental, emosi, atau sosial

pengguna, keluarga, atau masyarakat secara umum.

14

Penggunaan obat tergantung pada keadaan tertentu, tujuan tertentu,

keadaan dimana berusaha melarikan atau membebaskan diri dari masalah dan

rasa sakit, narkoba digunakan sebagai penawar sementara yang dibutuhkan.

Misalnya: karena stress,duka cita. Penggunaan obat kategori ini biasanya

belum mengalami ketergantungan, karena penggunanya pada saat saat

tertentu. Namun sebagian besar penyalahgunaan narkoba berujung pada

ketergantungan bahkan pada tahap adiktif.

b. Ketergantungan Narkoba (Drug Dependence)

Ketergantungan obat (narkoba) adalah kondisi penggunaan narkoba yang

teratur dimana kondisi fisik dan psikis yang tergantung terhadap narkoba

yang berkelanjutan. Ketergantungan narkoba dicirikan oleh perilaku dan

respon-respon lain yang memiliki dorongan kuat untuk menggunakan

narkoba secara berkelanjutan agar mendapatkan kenikmatan secara fisik atau

untuk menghindari rasa sakit jika tidak menggunakan narkoba. Dalam

ketergantungan fisik, hal yang dirsakan oleh pengguna adalah dialaminya

gejala-gejala fisik yang akut, seperti: mual, muntah, kejang dan sebagainya.

Gejala-gejala tersebut dialami jika pengguna mulai berhenti atau tidak

menggunakan narkoba. Ketergantungan psikologi diartikan sebagai suatu

kebutuhan yang kuat untuk mersakan efek narkoba secara terus menerus.

Dengan kata lain ketergantungan psikologis adalah kondisi yang dicirikan

oleh adanya dorongan mental atau emosional untuk menggunakan narkoba,

dimana pengguna akan merasa optimal dan lebih baik jika menggunakan

narkoba.

c. Kecanduan Narkoba (Drugg Addiction)

Kecanduan narkoba ditandai dengan adanya rasa rindu (Craving) jika

tidak menggunakan narkoba. Craving artinya rasa lemah dan perasaan putus

asa yang dapat mendorong perilaku anti sosial, bahkan perilaku kriminal

(Segal, 1986:49).

Hafid (1997) menyatakan pengertian adiktif sebagai berikut: Adiktif

diartikan sebagai suatu keadaan psikis yang muncul secara periodik atau

kronis akibat penggunaan narkoba yang berulang (baik alam maupun sintetik)

15

yang ditandai oleh: 1. kehendak yang berlebihan atau memerlukan dengan

paksa untuk meneruskan penggunaan obat dan berusaha mendapatkan dengan

segala cara; 2. adanaya gejala untuk meningkatkan dosis; 3. memiliki

ketergantungan fisik dan psikis terhadap pengaruh obat; 4. adanya gangguan

kepribadian.

Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa adiktif merupakan kondisi fisik dan psikis yang dialami

pengguna narkoba seperti rasa sakit badan, rindu dan adanya dorongan untuk

menggunakan narkoba.

Pecandu tidak dapat mengontrol penggunaan narkoba. Pecandu yang

kecanduan terhadap putaw dan shabu biasanya memakai obat 2 sampai 5 kali

sehari. Pecandu berpikir bahwa satu hari dilewatkan tanpa menggunakan

narkoba terasa ada yang tidak lengkap dengan hidupnya. Pecandu merasa

bahwa narkoba adalah suatu kebutuhan, seperti halnya jika merasa lapar maka

harus makan, bagi pecandu jika merasa butuh maka harus menggunakan

narkoba.

Perkembangan dari drug abuse-drug depence- dan drug addiction hampir

tak dapat terdeteksi secara jelas, menyebabkan seseorang tak terasa telah

tenggelam dalam lingkaran adiktif, seperti yang tergambar dibawah ini:

Gambar 1.2 Lingkaran Adiktif

Konsekuensi kenikmatan dan euporia yang dirasakan oleh pengguna

menyebabkan pengguna selalu ingin menggunakan kembali (use drugs) untuk

menutupi perasaan dan permasalahan yang dihadapi pengguna narkoba (pain-

want no pain). Hal tersebut dialakukan secara berulang, sehingga akan

membentuk belief bahwa jika menggunakan narkoba maka akan mendapatkan

kenikmatan dan dapat menutupi perasaan dan masalahnya, lalu kembali

merasakan sakit (pain again) dan ditutupi kembali dengan penggunaan

narkoba, dan begitu seterusnya.

Pain→want NO pain→ Use drugs → pain again

16

2. Karakteristik Remaja Adiktif

Konseli (remaja) adiktif memiliki karakteristik khusus, baik dari orientasi

berpikir, karakteristik fisik, psikologis, dan sosial. Berikut paparan mengenai

karakteristik konseli (remaja) adiktif:

a. Orientasi berpikir konseli adiktif

Orientasi berpikir merupakan manifestasi dari perilaku kognitif yang akhirnya

ditampilkan dalam perilaku yang tampak. Orientasi berpikir konseli adiktif baik

yang berat, menengah maupun yang ringan menurut hasil penelitian Hafid

(1997:103) memberikan gambaran bahwa konseli adiktif cenderung berpikir

eksternal negatif, kemudian berpikir eksternal positif, internal negatif dan internal

positif. Model berpikir eksternal adalah model berpikir yang bertolak dari suatu

pemikiran dimana konseli menggantungkan diri pada sesuatu diluar dirinya saat ia

membuat pertimbangan, berpikir dan bertindak (Hafid 1997: 42).

Model berpikir eksternal memiliki dua kecenderungan, yaitu model berpikir

eksternal negatif dan model berpikir eksternal positif. Contoh pernyataan dan

tindakan hasil dari pemikiran eksternal negatif adalah saya menggunakan narkoba

karena lingkungan dan teman-teman saya menggunakan narkoba, sehingga saya

juga menggunakan narkoba. Adapun contoh pernyataan eksternal positif adalah

keluarga saya termasuk keluarga yang taat terhadap aturan agama.

Model berpikir internal adalah model pikiran yang memberikan tanggung

jawab tindakannya terhadap diri mereka sendiri. Ia tidak bergantung pada opini

atau persetujuan orang lain, memakai referensi diri ketika memeriksa emosinya

(Hafid 1997: 44). Model berpikir internal memiliki dua kecenderungan yaitu

model berpikir internal negatif dan model berpikir internal positif. Contoh

pernyataan dan tindakan hasil berpikir internal negatif adalah saya menggunakan

narkoba karena saya ingin tahu bagaimana rasanya narkoba, tapi akhirnya saya

kecanduan. Adapun contoh pernyataan dan tindakan hasil berpikir internal positif

adalah saya harus berhenti menggunakan narkoba.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis, pola pikiran konseli adiktif

adalah 1) saya tidak dapat menolak teman yang menawarkan narkoba, 2) narkoba

17

dapat membantu mengatasi masalah, 3) adiktif adalah sebuah penyakit kronis

yang tidak dapat disembuhkan.

b. Karakteristik Fisik

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ciri fisik addict

diantaranya adalah: badan kurus kering, kulit pucat, mata sayu, berair, bengkak

dan merah, mulut kering, bibir kehitam-hitaman, dekil karena malas mandi,

terdapat luka sayatan atau bekas suntikan di lengan.

c. Karakteristik Psikologis

Rondy (2006) mengemukakan ciri psikologis individu adiktif adalah sebagai

berikut:

1) Prestasi belajar menurun

2) Tidak mau bersosialisasi (mengisolasi diri)

3) Terlambat pulang ke rumah

4) Jorok (terhadap diri sendiri dan lingkungan)

5) Malas

6) Bohong (pintar memanipulasi)

7) Egois

8) Sensitif

9) boros (banyak pengeluaran)

Berdasarkana hasil studi pendahuluan oleh penulis, ciri lain dari perilaku

adiktif adalah:

1) Paranoid

2) Hyperaktif atau hypoaktif

3) Sensitif (emosi labil)

4) Manipulatif

5) Pikiran mesum

6) Malu

7) Bersalah

8) Insecure

9) Kemarahan

10) Kesendirian

18

11) Tidak percaya diri

12) Tdak ada kendali impulse

13) Kabur akan nilai-nilai

14) Gangguan personality

15) Tidak toleran

16) Penolakan penangkalan

d. Karakteristik Sosial

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis, karakteristik

sosial addict cenderung anti sosial, addict tidak peka bahkan tidak peduli dengan

lingkungan, kriminal, kasar dan tidak sopan. Isolasi/menarik diri. Perilaku sosial

remaja adiktif diantaranya adalah:

1) Lari dari kenyataan

2) Manipulasi

3) Ketidakgigihan

4) Tidak mampu menunda gratification

5) Rusak secara moral

6) Motivasi rendah

7) Anti-sosial

8) Keterampilan sosial menurun

9) Banyaknya sikap negatif

10) Mementingkan diri sendiri

11) Pandangan tidak realistis atas dunia.

19

BAB III INTERVENSI BIMBINGAN DAN KONSELING

TERHADAP PERILAKU REMAJA ADIKSI DALAM PENYESUAIAN SOSIAL

A. Teknik yang digunakan

1. Pengertian dan Tujuan Konseling

Pada awalnya konseling muncul sebagai proses interaksi untuk

menyelesaikan masalah atau meningkatkan potensi agar mendapat kehidupan

yang terbaik.

Willis (2004: 17) menyatakan bahwa secara historis asal mula pengertian

konseling adalah untuk memberi nasehat. Pengertian konseling tersebut

menekankan pada nasihat (advise giving), mendorong, memberi informasi.

menginterpretasi hasil tes dan analisa psikologis.

Shertzer dan Stone (Nurihsan, 2002: 13) mendefinisikan, counseling is an

interaction process which facilititates meaningful understanding of self and

environment and result in the establishment and or clarification of goals and

values of future behavior. Maksudnya bahwa konseling adalah suatu proses

interaksi yang membantu agar memiliki pemahaman diri dan lingkungannya dan

menghasilkan ketetapan dan kejelasan tujuan hidup dan nilai perilaku dimasa

yang akan datang.

Krurnboltz dan Thoresen (Surya, 2003: 27) mendefinisikan konseling

merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah

interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu. Walaupun menggunakan

perspektif yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa konseling adalah suatu

proses interaksi dimana konselor rnembantu konseli (konseli) untuk dapat

memahami diri dan lingkungannya agar dapat menyelesaikan masalahnya.

Dari pengertian yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa fungsi dan

konseling adalah untuk mengubah suatu keadaan yang tidak baik menjadi lebih

baik dengan potensi yang dimiliki konseli (konseli). Shterzer dan Stone

20

(Nurihsan, 2002: 16) menyimpulkan bahwa tujuan konseling adalah sebagai

berikut :

1. Mengadakan perubahan perilaku pada diri konseli sehingga memungkinkan

hidupnya lebih produktif dan memuaskan

2. Memelihara dan mencapai kesehatan mental yang positif. Jika hal ini

tercapai. maka individu mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi

positif dengan yang lainnya. Ia akan belajar menerima tanggung jawab.

berdiri sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku.

3. Pemecahan masalah. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa individu-individu

yang rnempunyai rnasalah tidak mampu menyelesaiakan sendiri masalah

yang dihadapinya.

4. Mencapai keefektifan pribadi.

5. Mendorong individu mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya

Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling tersebut diperlukan penggunaan

tekiik-teknik konseling yang tepat. Tekriik-teknik konseling diantaranya ada

psikoanalisis, behavioral, rational-emotif trait and factors, client centered, analisa

transaksional, gestalt, dan kognitif-perilaku. Tentunya dan teknik-teknik yang

dikemukakan bukanlah teknik yang sempurna dan selalu cocok untuk setiap

permasalahan

2. Konseling Kognitif-Perilaku

Konseling Kognitif-Perilaku merupakan salah satu teknik yang digunakan

dalam konseling, dalam pemulihan adiksi pun dikenal metode pemuiihan

Cognitif-Behavior Therapy. Yuliati (2004: 93) menyatakan bahwa pendekatan

Kognitif-Perilaku berkembang karena adanya keterbatasan-keterbatasan dari

model-model teori belajar. Secara konseptual Konseling Kognitif-Perilaku

(Behaviora-Cognitive Counseling) menunjuk pada penggunaan secara kombinatif

perspektif kognitif dan perspektif perilaku sebagai pendekatan dalam praktek

konseling. Secara tcknis, pendekatan kognitif-perilaku menunjuk pada program

konseling yang menerapkan teknik-teknik konseling yang diambil dan pendekatan

perilaku dan pendekatan kognitif untuk menghasilkan perubahan perilaku yang

21

positif pada diri konseli (Yuliati: 2004: 90). Dengan kata lain metode kognitif-

perilaku mengacu pada metode ilmiah dan logis yang memberikan kesempatan

kepada individu untuk mengubah pola pikir, perasaan dan perilaku negatif.

Foreyt & Goodrick (1989) mendefinisikan metode kognitif-perilaku sebagai

berikut: Cognitive-behavior therapy refers to a set of principles and prosedures

that share the asumption that cognitive proccess affect behavior and these

proccess can be changed through cognitive and behavior techniques.

Ramli (2005: 435) mendefinisikan metode kognitif-perilaku adalah suatu

bentuk terapi yang memadukan prinsip dan prosedur terapi kognitif dan terapi

perilaku dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang

diharapkan.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenal Konseling Kognitif-Perilaku

telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Konseling Kognitif-

Perilaku adalah suatu metode yang sistematis, terstruktur dan singkat untuk

mengubah kognisi dan perilaku yang tidak efektif menjadi efektif.

B. Proses Konseling Kognitif-Perilaku

Sasaran Konseling Kognitif-Perilaku adalah aspek kognitif dan perilaku

individu, maka dari itu proses konseling dilaksanakan dengan teknik-teknik dalam

mengubah perilaku adiktif yaitu sebagai berikut :

1. Analisa Fungsi Kognitif (Functional Analysis)

Analisa fungsi kognitif adalah salah satu teknik dalam Konseling kognitif

perilaku yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi kognitif konseli setelah

menjadi adiksi. Analisa fungsi kognitif menerapkan teknik kognitif yang

merupakan kelompok teknik intervensi yang dilakukan untuk membongkar akar

akar keyakinan irrasional yang dimiliki konseli.

Pola kognitif adiksi sangat khas, pikiran mereka berputar hanya sekitar

bagaimana menghilangkan masalah dengan narkoba, bagaimana mendapatkan

narkoba dan menggunakan narkoba. Pola kognisi yang harus diubah dengan

analisa fungsi kognitif adalah pikiran bahwa adiksi tidak dapat hidup tanpa

menggunakan narkoba, yaitu dengan cara konselor membantu konseli unnik

22

mengidentifikasi pikiran, perasaan dan keadaan sekitar sebelum dan sesudah

memakai narkoba. sehingga konseli dapat menilai hal-hal yang menentukan

penggunaan narkoba dan situasi-situasi beresiko tinggi terhadap penggunaan

narkoba dan memberikan pengertian inengapa seseorang menggunakan narkoba.

Teknik teknik intervensi yang digunakan adalah melakukan analisa.

konfrontasi. Problem solving, pekerjaan rumah. restrukturisasi kognitif, diskusi

dan konseling.

2 Latihan Keterampilan (Skill Training)

Latihan keterampilan adalah suatu program latihan yang membantu konseli

adiksi belajar meninggalkan kebiasaan adiksi yang terbentuk oleh penggunaan

narkoba, kemudian belajar kembali keterampilan dan kebiasaan yang bersih dan

penggunaan narkoba. Latihan keterampilan merupakan penerapan teknik perilaku.

yaitu teknik-teknik intervensi yang digunakan dengan tujuan membiasakan

konseli mengalarni dan bertindak dengan perilaku barn yang disepakati dalam

proses terapi (Ramli, 2005: 442). Latihan keterampilan digunakan berdasarkan

asumsi sebagai berikut.

1) Individu mungkin tidak pernah belajar strategi efektif untuk mengatasi

masalah dan tantangan hidup orang dewasa. sementara penggunaan narkoba

dimulai pada masa remaja. maka daperlukan latihan keterarnpilan hidup yang

belum pernah dipelajarinya (building skill).

2) Walaupun individu telah mendapatkan strategi efektif dalam mengatasi

masalah, namun keterampilan tersebut dapat hancur karena penggunaan

narkoba, individu lupa dengan keterampilan yang telah dimiliki tergantikan

oleh keterampilan menggunakan narkoba. maka perlu dilakukan latihan

keterampilan kembali keterampilan hidupnya yang pernah dimilikinya

(Rebuild skill).

3) Kemampuan individu untuk menggunakan strategi mengatasi masalah yang

efektif dapat melemah oleh masalah lain, dalam hal ini oleh penggunaan

narkoba. maka diperilukan penguatan keterampilan dengan latihan

keterampilan.

23

Latihan keterampilan dilakukan melalui teknik-teknik intervensi seperti:

pekerjaan rumah (homework), penguatan, latihan tindakan, role playing, saving

behavior; pengelolaan diri, pelatihan asertif dan kontrak perilaku.

Sesi-sesi dalam Konseling Kognitif-Perilaku adalah:

1) Perkenalan Konseling Kognitif-Perilaku

2) Sesi perkenalan Konseling Kognitif-Perilaku bertujuan untuk: (1) menjalin

hubungan kerjasama konselor dengan konseli; (2) memotivasi konseli untuk

berhenti menggunakan narkoba; (3) mengetahui pola penggunaan narkoba

dan masa1ah-rnasaah konseli lainnya yang mempengaruhi pemulihan adiksi,

misalnya masalah pribadi. penyakit. dan kondisi Iingkungan; (4) memahami

pola penggunaan narkoba; (5) membentuk komitmen awal konseli untuk

berhenti menggunakan narkoba; (6) membuat kesepakatan (kontrak) waktu

dan tempat untuk konseling selanjutnya;dan (7) konseli rnengetabui sesi-sesi

konselinu dan latihan-latihan keterampilan yang akan dilakukan.

3) Mengatasi suges yaitu topik yang membahas, mengidentifikasi dan

membangun keterampilan untuk menghadapi suges. Topik ini bertujuan

agar konseli (1) memahami pengertian suges; (2) memahami pengalaman

suges; (3) memahami karakteristik suges: sebagai hal normal, batasan waktu

suges; (4) mengidentifikasi gejala suges dan faktor pemicu suges;dan 5)

memiliki keterampilan mengatasi suges.

4) Membangun motivasi dan komitmen untuk berhenti mengguanakan narkoba,

dalam topik ini melakukan pembahasan dan idetifikasi hal-hal yang

mendukung dan komitmen untuk berhenti. Tujuan topik ini adalah agar

konseli : (1) mendapat penguatan kembali unuk berhenti menggunakan

narkoba; (2) mampu mengatasi keraguan-keraguan untuk berhenti

menggunakan narkoba; (3) mampu melakukan analisis fungsional mengenai

pengguanaan narkoba;dan (4) mampu mengatasi pikiran tentang narkoba.

5) Keterampilan menolak narkoba, tujuan dari topik ini diantaranya adalah

supaya konseli : (1) memiliki strategi untuk membatasi diri dari ketersediaan

narkoba; (2) memiliki keterampilan membedakan cara menolak dengan pasif,

agresif, dan asertif;dan (3) memiliki keterampilan menolak yang efektif.

24

6) Keputusan yang seolah-olah tidak berhubungan dengan penggunaan narkoba.

Topik ini membahas mengidentifikasi dan melatih keterampilan untuk

menghindari keputusan-keputusan yang sepertinya tidak berhubungan dengan

penggunaan narkoba kembali dan memuat keputusan yang aman dari

penggunaan narkoba. Tujuan topik ini adalah supaya konseli : (1) menuliskan

perasaan-perasaan yang dapat menjadi situasi beresiko tinggi untuk

mengguanakan narkoba; (2) konseli dapat menuliskan kondisi lingkungan

yang menjadi situasi beresiko tinggi untuk menggunakan narkoba;dan (3)

memilik sikap tegas dalam memutuskan rantai pikiran yang seolah-olah tidak

berhubungan dengan penggunaan narkoba.

7) Rencana mengatasi perilaku adiktif secara menyeluruh. Topik ini

mengidentifikasi situasi-situasi beresiko tinggi dan mengembangkan rencana

pribadi untuk berhenti menggunakan narkoba. Tujuan topik ini adalah (1)

Supaya konseli mengidentifikasi situasi beresiko dimasa yang akan datang;

(2) membuat rencana untuk mengantisipasi situasi beresiko dimasa

mendatang.

8) Rencana mengatasi perilaku adiktif secara menyeluruh Tujuan topik ini

adalah supaya konseli : (1) mengetahui langkah dasar dalam menyelesaikan

masalah;dan (2) mempraktekkan keterampilan dalam menyelesaikan masalah.

9) Managemen kasus. Topik ini melakukan kajian ulang dan menerapakan

keterampilan pemecahan masalah yang sudah dibuat agar terhindar dari

penghambat-penghambat dalam proses pemulihan. Tujuan topik ini adalah :

(1) supaya konseli membuat strategi untuk mendapatkan layanan sosial yang

dibutuhkan;dan (2) menggunakan layanan sosial yang dibutuhkan.

10) Orang lain yang mendukung pemulihan adiksi. Topik ini bertjuan agar

konseli dapat : (1) mengidentifikasi orang lain yang dapat mendukung

usahanya dalam menghentikan penggunaan narkobanya;dan (2) melakukan

komunikasi terbuka dengan orang yang mendukungnya tersebut.

11) Penutup, pada sesi terakhir konseling kognitif perilaku ini bertujuan mengkaji

ulang tujuan pemulihan dan memberikan umpan balik tentang proses

konseling kognitif perilaku.

25

C. Hasil yang Diharapkan

Terjadinya perubahan perilaku adiktif secara menyeluruh terutama

karakteristik perilaku sosial disebabkan oleh obat-obat terlarang. Intervensi

Konseling Kognitif-Perilaku dalam menangani masalah ini memberikan sejumlah

kontribusi bagi konseli, yaitu:

1) Secara moral, kondisi Konseli tidak rusak (terganggu). Ditandai dengan;

mampu bersikap sesuai dengan norma kesopanan, adat dan agama.

2) Konseli tidak bersifat anti-sosial. Ditandai dengan: mampu menyesuaikan

diri dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat; mampu

berinteraksi dengan orang lain; mempunyai sifat tolong-menolong dan

solidaritas yang tinggi.

3) Keterampilan sosial yang terus meningkat. Ditandai dengan: mampu

bergaul dan menjalin hubungan sosial dengan siapapun tanpa ada

kecanggungan.

4) Konseli cenderung banyak memiliki sikap positif. Ditandai dengan:

memiliki sikap disiplin, tanggung jawab, empati, altruis, dan kooperatif.

D. Skrip Simulasi

Prolog : Pada suatu hari, seorang siswa SMA berinisial HS (laki-laki) yang diidentifikasi berperilaku adiktif (anti-sosial, mementingkan diri sendiri, keterampilan sosial menurun) sedang mengikuti kegiatan camping setelah pembagian Raport akhir semester. Dalam beberapa kegiatan yang dilaksanakan, siswa tersebut terlihat tidak bisa mengikutinya dengan baik. Yang tampak adalah sikap-sikap yang tidak sesuai dilakukan oleh remaja seusianya, seperti sering menyendiri, mengganggu teman lain secara berlebihan. Sikap tersebut sering dilakukan bahkan sampai pada tingkat yang parah, yaitu anti-sosial (tidak mau bergabung dengan teman-temannya), sering marah-marah pada orang-orang disekitarnya sampai merusak barang-barang seperti melemparkan benda yang ada disekitarnya. Melihat kondisi seperti itu, konselor memanggil siswa yang bersangkutan.

Teknik intervensi yang digunakan: Pekerjaan Rumah (homework) dan Kontrak

Perilaku.

26

Bagian I

Perkenalan konseling kognitif-perilaku oleh konselor :

Konselor : “Selamat pagi, bagaimana kabar hari ini?” Konseli : “Baik Pak.” Konselor : “Maksud bapak memanggil Hasan ada sesuatu yang perlu kita

diskusikan.” Konseli : “Apa pak? Tentang apa ya?” Konselor : “Dari kemarin bapak perhatikan, kamu seperti tidak gembira dalam

kegiatan ini. Bapak pernah lihat kamu tidak bergabung dengan teman-teman dalam berbagai acara, seperti dalam permainan-permainan. Menurutmu acara camping ini bagaimana?”

Konseli : “Biasa aja pak. Ga ada yang istimewa. Teman-temannya juga masih itu-itu aja, ga ada yang baru apalagi yang aneh.”

Konselor : “Oh, dengan kata lain kamu merasa bosan bermain dengan mereka?” Konseli : “Ya…bosan sih enggak, cuma kurang enak aja.” Konselor : “Maksud kurang enak?” Konseli : “Bapak juga tahu kan? Kalau saya kurang suka dalam situasi banyak

orang, jangankan di luar rumah seperti ini, di sekolah pun saya kurang semangat kalau harus banyak ngobrol, bermain-main, ketawa-ketawa, mending mojok sambil berfantasi yang bikin enak.”

Konselor : “Oh, begitu ya. Bapak juga tahu bahwa Hasan kemarin-kemarin pernah memakai narkoba. Masalah itu sudah berlalu, tapi yang sekarang kamu rasakan sehubungan dengan narkoba tersebut bagaimana?”

Konseli : “Itu masalahnya pak. Saya masih suka berfantasi enaknya menggunakan narkoba.”

Konselor : “Bapak sebagai konselor kamu di sekolah, berkewajiban membantu kamu supaya bisa lepas dari ketergantungan itu. Apakah kamu punya keinginan untuk berperilaku seperti dulu?”

Konseli : “Ya keinginan pasti ada, tapi kayanya susah ya? Soalnya saya ga bisa lepas dari rasa suka pada narkoba.”

Konselor : “Siapa bilang tidak bisa? Kamu adalah siswa baik-baik, semuanya bisa diubah. Bapak siap membantu asalkan kamu memiliki kesadaran bahwa sikapmu itu bisa diubah.”

Konseli : “Ya pak.” Konselor : “Kalau begitu, kamu akan bapak latih bagaimana caranya supaya bisa

seperti dulu, bisa bermain dengan nyaman sama teman-teman, bisa mengikuti pelajaran di kelas dengan konsentrasi. Kamu mau kan jadi orang sukses?”

Konseli : “Mau sekali pak!” Konselor : “Oleh sebab itu, coba kamu ikuti apa-apa yang bapak tugaskan

padamu.” Konseli : “Memang ada tugas apa Pak?”

27

Konselor : “Disini ada serangkaian tabel yang harus diisi. Jawablah pertanyaan-pertanyaannya. Nanti kita sepakati kapan kita diskusi lagi, karena dalam kegiatan kita ini ada beberapa sesi yang harus kamu ikuti.”

Konseli : “Baik Pak.” Konselor : “Baiklah untuk kali ini dicukupkan sekian. Nanti kita bertemu lagi

minggu depan di sekolah. Jangan lupa kerjakan tugas-tugas yang tadi.”

Konseli : “Baik pak, terima kasih.” (Konseli pulang dan mulai mengerjakan lembar isian yang berupa pertanyaan-pertanyaan seputar perasaan yang dapat menjadi situasi beresiko tinggi untuk menggunakan narkoba. Konseli dapat menuliskan kondisi lingkungan yang menjadi situasi beresiko tinggi untuk menggunakan narkoba)

Bagian II

Rencana mengatasi perilaku adiktif secara menyeluruh (Problem Solving) :

(Konseling dilakukan di Ruang BK sekolah) Konselor : “Bagaimana San, sudah dikerjakan?” Konseli : “Sudah pak, ini.” (Sambil menyerahkan tugas pada konselor) Konselor : (Melihat kertas jawaban konseli sambil di bolak-balik) “Dari

jawaban-jawaban yang kamu tulis, coba kamu kembangkan. Kira-kira bagaimana solusinya? Ini bapak tambahkan lembaran baru yang harus kamu isi berupa solusi-solusi terhadap apa-apa yang kamu rasakan.” (sambil menyerahkan lembar isian yang baru)

Konseli : “Saya coba isi Pak.” Konselor : “Silakan. Tenang aja, bapak tunggu (konseli mengisi lembaran solisi

dengan serius).” Konselor : “Bagaimana, sudah selesai?” Konseli : “Sudah pak. Ini jawaban menurut saya.” Konselor : “Baiklah. Sekarang dari jawaban-jawabanmu akan bapak buat ke

dalam daftar cek yang harus kamu praktekkan. Caranya, beri tanda checklist pada kolom yang tersedia apabila kamu melaksanakan solusi tersebut, dan biarkan kosong apabila kamu tidak melaksanakannya. Silakan bawa daftar cek ini dan kita akan bertemu kembali minggu depan.”

Konseli : “Ya, terima kasih.” (Konseli pulang untuk mempraktekkan beberapa langkah dasar dalam menyelesaikan masalah)

Bagian III

Manajemen Kasus dan Kontrak Perilaku :

(Konseling dilakukan di Ruang BK sekolah) Konselor : “Bagaimana San, ada kesulitan?” Konseli : “Setelah saya mencoba beberapa solusi dalam daftar ini, ternyata bisa

dilaksanakan, tetapi saya mendapat kesulitan dalam hal menyesuaikan diri dengan orang-orang sekitar.”

28

Konselor : “Kesulitan menyesuaikan diri yang kamu maksud?” Konseli : “Begini pak. Saya kan sudah lama tidak berperilaku seperti yang ada

dalam solusi, jadi masih merasa canggung untuk menggunakan fasilitas sosial seperti jalan ditempat umum, pergi ke masjid dan main bersama teman-teman.”

Konselor : “Oh…begitu. Sekarang coba kamu urutkan layanan sosial apa saja yang kamu butuhkan baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar. Tulis dikertas ini, Bapak tunggu!”

Konseli : “Iya, Pak.” (Konseli mulai menulis layanan sosial yang dibutuhkan dalam melaksanakan solusi masalah)

Konselor : “Bagaimana sudah ditulis?” Konseli : “Sudah Pak, ini.” (sambil menyerahkan lembaran) Konselor : “Tujuan dari penugasan tadi yaitu supaya kamu dapat membuat

kontrak perilaku yang akan mendukung pemulihan sikap-sikap sosialmu. Coba buat dan laksanakan! Kita akan bertemu minggu depan.”

Konseli : “Baik Pak.” (Konseli pulang untuk mengerjakan dan melaksanakan kontrak perilaku) Bagian IV

Penutup Konseling Kognitif-Perilaku :

Konselor : “Pada pertemuan kali ini, kita sudah memasuki sesi terakhir dalam konseling. Sekarang coba Hasan utarakan apa-apa saja yang sudah diperoleh selama ini dan kamu sudah melakukan apa saja yang mendukung terhadap pemulihan sikap-sikapmu.”

Konseli: “Saya jadi mengetahui bahwa perilaku saya selama ini salah dan ternyata enak berperilaku sesuai norma, mampu berinteraksi dengan orang lain, mempunyai sifat tolong-menolong dan solidaritas yang tinggi sesuai tuntutan sosial. Jadi tidak ada beban.”

Konselor : “Bagus kalau begitu, yang penting sekarang adalah komitmen sendiri untuk melaksanakan perilaku-perilaku tersebut. Kamu sudah tahu tujuan dari semua ini?”

Konseli : “Sudah pak. Saya sudah mengetahui. Terima kasih.” (Proses Konseling Kognitif-Perilaku selesai)

29

BAB IV KESIMPULAN

Penyesuaian sosial remaja akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan

orang lain, sebagai makhluk sosial remaja selalu membutuhkan pergaulan,

pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain. Munculnya kasus

remaja adiksi disebabkan oleh penyesuaian sosial yang salah sehingga tidak

terjadi hubungan yang harmonis antara diri dan lingkungannya. Selain itu,

perilaku adiktif tidak cocok dengan perilaku masyarakat sosial.

Dalam lingkungan sekolah, keberadaan siswa/remaja adiktif tidak bisa

memenuhi harapan pendidikan karena sikap-sikap sosial yang dimiliki oleh

remaja yang bersangkutan jauh dari kriteria penyesuaian sosial yang sehat, yaitu

tidak ada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat

ia belajar dan berinteraksi secara efektif dan efisien, padahal yang terpenting

dalam penyesuaian sosial siswa di sekolah adalah penyesuaian diri terhadap guru,

mata pelajaran, teman sebaya dan lingkungan sekolah, sedangkan pada remaja

adiktif sikap-sikap tersebut tidak dimiliki.

Konseling kognitif perilaku sebagai intervensi dalam pemulihan remaja

adiktif. Hal ini dikarenakan metode konseling kognitif perilaku menggabungkan

tiga pendekatan terhadap manusia yaitu pendekatan biomedik, intrapsikis, dan

lingkungan. Dalam hal ini, aktivitas kognitif akan mempengaruhi perilaku adiktif

yang berupa sikap-sikap maladjustment dalam lingkungan sosial di sekolah.

30

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama.

Hafid, Dedi Herdiana. 1997. Profil Latar Belakang Kehidupan dan Perilaku Klien

Adiksi. Tesis PPB Program Studi BK PPS IKIP: tidak diterbitkan. Hendrayani. 2007. Penggunaan Konseling Kognitif-Perilaku Untuk Mengubah

Perilaku Adiktif pada Remaja (Studi Kasus Terhadap Klien Adiksi di Kelompok Dukungan Sebaya Circle Of Spirit Harm Reduction Perkumpulan KB Indonesia Jawa Barat Tahun 2006-2007). Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan.

Hurlock, Elizabeth. 1997. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Mardiany, Lili. 1998. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Penyalahgunaan Zat

Psikoaktif pada Siswa Remaja. Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan. Rahmawaty, Intan. 2007. Pengambangan Program Bimbingan Penyesuaian

Sosial Untuk Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press. Schneiders, A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt

Rinehart and Winston Suhendriati, Yanti. 2003. Hubungan Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah dengan

Prestasi Belajar (Studi Deskriptif Terhadap Siswa Kelas II SMU Negeri 1 Padalarang pada Tahun 2001-2002). Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan.

Susanti, Maya Meysi. 2004. Dampak Penyesuaian Sosial Terhadap Lingkungan

yang Negatif Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja. Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan.

Surya, Mohamad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Yusuf, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

31

Lampiran I

LEMBAR ISIAN

PENGUNGKAP PERASAAN PENYEBAB SITUASI BERESIKO

MENGGUNAKAN NARKOBA

Petunjuk : Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut pada kolom jawaban

sesuai dengan yang anda rasakan!

NO PERTANYAAN JAWABAN

1 Siapakah yang paling mempengaruhi anda untuk mengkonsumsi narkoba?

2 Dalam kondisi seperti apa anda harus mengkonsumsi narkoba?

3 Lingkungan seperti apa yang paling mendukung anda mengkonsumsi narkoba?

4 Apa yang kamu rasakan ketika berada di tengah-tengah lingkungan pengguna narkoba?

5 Bagaimana cara anda mendapatkan narkoba?

Bandung, November 2007

Konselor

Konseli

___________________ HS

32

Lampiran II

LEMBAR ISIAN

SOLUSI TERHADAP PERASAAN PENYEBAB SITUASI BERESIKO

MENGGUNAKAN NARKOBA

Petunjuk : Tulislah beberapa alternatif solusi dari jawaban anda pada tugas 1!

NO JAWABAN SOLUSI

1

2

3

4

5

Bandung, November 2007

Konselor

Konseli

___________________ HS

33

Lampiran III

DAFTAR CHECKLIST TERHADAP SOLUSI

Petunjuk : Berilah tanda check (V) pada kolom “Ya” jika anda melakukan

solusi dan padak kolom “Tidak” jika anda tidak melakukannya!

NO SOLUSI YA TIDAK

1

2

3

4

5

Bandung, November 2007

Konselor

Konseli

___________________ HS

34

Lampiran IV

DAFTAR ISIAN

IDENTIFIKASI LAYANAN SOSIAL YANG DIBUTUHKAN

Petunjuk : Tulislah jenis layanan sosial yang dibutuhkan untuk mendukung

pemulihan perilaku anda pada tabel berikut!

NO JENIS LAYANAN SOSIAL NO JENIS LAYANAN SOSIAL

1

6

2

7

3

8

4

9

5

10

Kontrak Perilaku:

- ………………………………………………. - ………………………………………………. - ………………………………………………. - ……………………………………………….

Bandung, November 2007

Konselor

Konseli

___________________ HS