BAB I

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Orang yang sehat adalah orang yang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagiman adanya yaitu dapat berempati dan tidak secara apriori bersikap positif terhadap oarang atau kelompok lain yang berberbeda, dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Sementara Gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis ditemukan bermakna dan yang disertai dengan penderitaan ( distress) pada kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya) seseorang. Dengan demikian jelas bahwa terjadinya penyimpangan atau konflik sosial saja tanpa disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke dalam gangguan jiwa. Gejala-gejala gangguan jiwa merupakan hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatik, psikologik dansosial budaya. Gejala-gejala gangguan jiwa menandakan dekompensasi proses adaptasi terutama pada pemikiran, perasaan dan prilaku. Konsep gangguan jiwa memenuhi kriteria berikut:1. adanya geja klinis yang bermakna,berupa; sindroma atau pola prilaku, sindroma atau pola psikologik. 2. Gejala klinis menimbulkan penderitaan antar laian berupa rasa sakit, tidak nyaman, tidak tentram,disfungsi organ tubuh. 3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disability yaitu keterbatasan atau kekurangan 1

description

gejala awal gangguan jiwa

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Orang yang sehat adalah orang yang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi

tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagiman adanya yaitu dapat berempati dan

tidak secara apriori bersikap positif terhadap oarang atau kelompok lain yang berberbeda, dan

mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Sementara Gangguan jiwa

adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis ditemukan bermakna dan yang

disertai dengan penderitaan ( distress) pada kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan

terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya) seseorang. Dengan demikian jelas bahwa terjadinya

penyimpangan atau konflik sosial saja tanpa disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke

dalam gangguan jiwa.

Gejala-gejala gangguan jiwa merupakan hasil interaksi yang kompleks antara unsur

somatik, psikologik dansosial budaya. Gejala-gejala gangguan jiwa menandakan

dekompensasi proses adaptasi terutama pada pemikiran, perasaan dan prilaku. Konsep

gangguan jiwa memenuhi kriteria berikut:1. adanya geja klinis yang bermakna,berupa;

sindroma atau pola prilaku, sindroma atau pola psikologik. 2. Gejala klinis menimbulkan

penderitaan antar laian berupa rasa sakit, tidak nyaman, tidak tentram,disfungsi organ tubuh.

3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disability yaitu keterbatasan atau kekurangan

kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal yaitu melakukukan

kegiatan sehari-hari untuk perawatan diriseperti mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,

buang airbesar dan kecil.

Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa bervariasi tergantung pada jenis-jenis

gangguan jiwa yang dialami. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan

psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan dari luar individu maupun tekanan dari

dalam individu

1

Page 2: BAB I

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan makalah ini adalah

a. Untuk mengetahui tentang Gejala Awal Gangguan Jiwa

b. Untuk mengetahui tentang penatalaksaan Gangguan Jiwa

1.3. Manfaat Penulisan

Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penulisan maupun pembaca

untuklebihmengetahui dan memahami tentang Gejala Awal Gangguan Jiwa dan

Penatalaksanaanya.

2

Page 3: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi

Gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis

ditemukan bermakna dan yang disertai dengan penderitaan ( distress) pada kebanyakan

kasus, dan berkaitan dengan terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya) seseorang.

Dengan demikian jelas bahwa terjadinya penyimpangan atau konflik sosial saja tanpa

disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke dalam gangguan jiwa.

2. Epidemiologi

Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita

skizofrenia (WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) sebanyak 1 juta

orang atau sekitar 0,46% dari total pendududk Indonesia menderita skizofrenia.

Sedangkan yang mengalami gangguan mental emosiona (cemas dan depresi) adalah

11,6% atau sekitar 19 juta penduduk, dimana dapat terjadi pada semua usia dan angka

kejadian perempuan dan laki-laki sama namun lebih rentan terjadi pada perempuan.

3. Etiologi

Pada umumnya orang awam beranggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh

santet atau diguna – guna atau kekuatan supra natural. Akan tetapi sesungguhnya

gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang beriteraksi satu sama lain. Seperti

dapat kita lihat pada bagan dibawah ini.

a. Pengalaman traumatis sebelumnya

Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di

San Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap 50,000 pasien psychosis

menemukan sebanyak 64% dari responden pernah mengalami trauma waktu

mereka kecil (sexual abuse, physical abuse, emotional abuse, and substance

abuse). Penelitian lain yang dilakukan oleh Hardy et al. (2005) di UK terhadap 75

pasien psychosis menemukan bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi

dengan pengalaman trauma. 30,6% mereka yang mengalami halusinasi pernah

mengalami trauma waktu masa kecil mereka

3

Page 4: BAB I

b. Faktor biologi

Faktor Genetik

Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan

terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari

multiple gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr,

2003). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di

Amerika serikat telah menemukan adanya variasi genetik pada 33000

pasien dgn diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor

deppressive disorder. (NIH, USA, 2013). Penelitian tersebut menemukan

bahwa Variasi CACNA1C dan CACNB2 diketahui telah mempengaruhi

circuitry yang meliputi memori, perhatian, cara berpikir dan emosi (NIH,

USA, 2013). Disamping itu juga telah ditemukan bahwa dari orang tua dan

anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari keponakan atau cucu sebesar 2 –

4 % dan saudara kembar identik sebesar 48 %.

Gangguan sturktur dan fungsi otak

Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah

menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan

gangguan pada lobus temporal telah ditemukan terkait dengan munculnya

waham, halusinasi dan ketidak mampuan mengenal objek atau wajah.

Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya

gejala negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan

pembicaraan. Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah

menyebabkan munculnya episode depresi, perasaan tidak bertenaga dan

sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Dsifungsi

sistim limbik berkaitan erat dengan terjadinya waham , halusinasi, serta

gangguan emosi dan perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH

adanya perubahan struktur dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan

dalam auditory spatial perception(Hunter et all,2010)

Neurotransmitter

Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik

endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter terdiri dari:

o Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan

ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.

4

Page 5: BAB I

o Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan

temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan

libido

o Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat

perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses

pembelajaran dan memory

o Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan

perhatian

o Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi

automatic

c. Faktor psikoedukasi

Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap

terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh

Pebrianti, menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola

asuh keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari responden

(penderita skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 % diasuh

dengan pola permissive.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra

Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola

asuh keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalami gangguan

jiwa skizofrenia dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun

yang mereka maksud dengan pola suh patogenik tersebut antara lain :

Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya

Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus

tunduk saja”

Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)

Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi

Penanaman disiplin yang terlalu keras

Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan

Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua

Perceraian

Persaingan dengan sibling yang tidak sehat

5

Page 6: BAB I

Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)

Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)

Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)

Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah

dilakukan oleh Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan

skizofrenia, menemukan adanya korelasi yang bermakna antara anak-anak

yang ditelantarkan baik secara fisik maupun mental dengan gangguan jiwa.

Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan bahwa mereka yang

mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita

ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai status

ekonomi tinggi . Artinya mereka dari kelompok ekonomi rendah

kemungkinan mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar mengalami kejadian

skizofrenia dibandingkan mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.

d. Faktor koping

Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada

dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:

Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari

penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang

menimbulkan stres

Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk

mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang

akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Individu

yang menggunakan problem –solving focused coping cenderung

berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa

terhindar dari stres yang berkepanjangan sebaliknya individu yang

senantiasa menggunakan emotion-focused coping cenderung berfokus pada

ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah ada

pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang

berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa

berat.

e. Stressor psikososial

6

Page 7: BAB I

Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya

gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat

mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor yang

berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan seseorang yang hanya

mengalami strssor ringan seperti terkena macet dijalan. Banyaknya stressor dan

seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi respon dan koping.

Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda dengan seseorang yang

tidak punya banyak masalah.

f. Pemahaman dan keyakinan agama

Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap

kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya

hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001)

di Jawa tengah melaporkan bahwa lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam

kehidupan sehari – hari berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa. Penelitian

saya di tahun 2011 juga telah menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman

dengan kejadian gangguan jiwa. Pada pasien yang mengalami halusinasi

pendengaran, halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat

(Suryani, 2011).

4. Klasifikasi Gangguan Jiwa

Secara internasional, penggolongan gangguan jiwa mengacu pada DSM IV. DSM

IV ini dikembangkan oleh para expert dibidang psikistri di Amerika Serikat. DSM IV

ini telah dipakai secara luas terutama oleh para psikiater dalam menentukan diagnosa

gangguan jiwa. Di indonesia para ahli kesehatan jiwa menggunakan PPDGJ 3 sebagai

acuan dalam menentukan diagnosa gangguan jiwa. Secara umum gangguan jiwa dapat

dibagi kedalam dua kelompok yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat.

Yang termasuk kedalam gangguan jiwa ringan antara lain cemas, depresi,

psikosomatis dan kekerasan sedangkan yang termasuk kedalam gangguan jiwa berat

seperti skizofrenia, manik depresif dan psikotik lainnya.

7

Page 8: BAB I

Menurut Hawari (2001), tanda dan gejala Gangguan Jiwa Ringan

a. Cemas

1. Perasan khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah

tersinggung

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut

3. Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang

4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan

5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat

6. Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

b. Depresi menurut NIMH USA antara lain:

1. Rasa sedih yang terus-menerus

2. Rasa putus asa dan pesimis

3. Rasa bersalah, tidak berharga dan tidak berdaya

4. Kehilangan minat

5. Energi lemah, menjadi lamban

6. Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)

7. Sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan)

8. Tidak tenang dan gampang tersinggung

9. Berpikir ingin mati atau bunuh diri

c. Psikosomatis

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah

(Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan

sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang

dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan

dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi

faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.

Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah; mual, muntah ( bukan

karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek

8

Page 9: BAB I

( bukan karena olah raga) amnesia dan semua gejala tersebut dinyatakan aman

pada saat dilakukan pemeriksaan secara medis.

Apa tanda dan gejala gangguan jiwa berat ? Secara cepat sebenarnya kita dapat

mengenali seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat. Mereka yang mengalami

gangguan jiwa berat tidak bisa menjalankan kehidupannya sehari – hari, bicaranya

tidak nyambung, sering berperilaku menyimpang dan terkadang mengamuk. Orang

gila yang kita temukan dijalanan itu biasnya mengalami Gangguan Jiwa Berat.

a. Skizofrenia

Gejala positif

yaitu sekumpulan gejala perilaku tambahan yang menyimpang dari perilaku

normal seseorang termasuk distorsi persepsi (halusinasi), distorsi isi pikir

(waham), distorsi dalam proses berpikir dan bahasa dan distorsi perilaku dan

pengontrolan diri.

Gejala negatif

yaitu sekumpulan gejala penyimpangan berupa hilangnya sebagian fungsi

normal dari individu termasuk keterbatasan dalam ekspresi emosi,

keterbatasan dalam produktifitas berfikir, keterbatasab dalam berbicara

(alogia), keterbatasan dalam maksud dan tujuan perilaku.

b. Gangguan Bipolar

Merupakan gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang

ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrim berupa mania dan

depresi, karena itu istilah medis sebelumnya disebut dengan manic depressive.

Suasana hati penderitanya dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar)

yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang

berlebihan tanpa pola atau waktu yang pasti.

Gejala-gejala dari tahap mania gangguan bipolar adalah sebagai berikut:

1. Gembira berlebihan.

2. Mudah tersinggung sehingga mudah marah.

3. Merasa dirinya sangat penting.

4. Merasa kaya atau memiliki kemampuan lebih dibanding orang lain.

5. Penuh ide dan semangat baru.

9

Page 10: BAB I

6. Cepat berpindah dari satu ide ke ide lainnya.

7. Mendengar suara yang orang lain tak dapat mendengarnya.

8. Nafsu seksual meningkat.

9. Menyusun rencana yang tidak masuk akal.

10. Sangat aktif dan bergerak sangat cepat.

11. Berbicara sangat cepat sehingga sukar dimengerti apa yang dibicarakan.

12. Menghambur-hamburkan uang.

13. Membuat keputusan aneh dan tiba-tiba, namun cenderung membahayakan.

14. Merasa sangat mengenal orang lain.

15. Mudah melempar kritik terhadap orang lain.

16. Sukar menahan diri dalam perilaku sehari-hari.

17. Sulit tidur.

18. Merasa sangat bersemangat, seakan-akan satu hari tidak cukup 24 jam.

Gejala-gejala dari tahap depresi gangguan bipolar adalah sebagai berikut:

1. Suasana hati yang murung dan perasaan sedih yang berkepanjangan.

2. Sering menangis atau ingin menangis tanpa alasan yang jelas.

3. Kehilangan minat untuk melakukan sesuatu.

4. Tidak mampu merasakan kegembiraan.

5. Mudah letih, tak bergairah, tak bertenaga.

6. Sulit konsentrasi.

7. Merasa tak berguna dan putus asa.

8. Merasa bersalah dan berdosa.

9. Rendah diri dan kurang percaya diri.

10. Beranggapan masa depan suram dan pesimistis.

11. Berpikir untuk bunuh diri.

12. Hilang nafsu makan atau makan berlebihan.

13. Penurunan berat badan atau penambahan berat badan.

14. Sulit tidur, bangun tidur lebih awal, atau tidur berlebihan.

15. Mual sehingga sulit berbicara karena menahan rasa mual, mulut kering, susah

buang air besar, dan terkadang diare.

16. Kehilangan gairah seksual.

17. Menghindari komunikasi dengan orang lain.

10

Page 11: BAB I

Hampir semua penderita gangguan bipolar mempunyai pikiran tentang bunuh

diri. dan 30% di antaranya berusaha untuk merealisasikan niat tersebut dengan

berbagai cara.

5. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

a. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini

dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.

b. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn). Tidak mau bergaul atau

kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).

c. Delusi atau Waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal)

meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak

rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. Sering

berpikir/melamun yang tidak biasa (delusi).

d. Halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan misalnya

penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal

tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.

e. Merasa depresi, sedih atau stress tingkat tinggi secara terus-menerus.

f. Kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari walaupun

pekerjaan tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun.

g. Paranoid (cemas/takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal tidak perlu

ditakuti atau dicemaskan.

h. Suka menggunakan obat hanya demi kesenangan.

i. Memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.

j. Terjadi perubahan diri yang cukup berarti.

k. Memiliki emosi atau perasaan yang mudah berubah-ubah.

l. Terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya.

m. Pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa.

n. Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,

misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.

o. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan

semangat dan gembira berlebihan.

p. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.

q. Sulit dalam berpikir abstrak.

11

Page 12: BAB I

r. Tidak ada atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak ada

upaya/usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan

serba malas dan selalu terlihat sedih.

6. Diagnosis

Ada beberapa Syarat untuk pemastian diagnosis gangguan jiwa yaitu:

a. Kumpulkan gejala-gejala menjadi satu kumpulan gejala ( sindrom) yang

bermakna.

b. Pikirkan secara Hirarkis mulai dari F0 sampai F5 (PPDGJ III hal 10) dalam

upaya membedakan pelbagai diagnosis banding

c. Telusuri jangka waktu atau berapa lama gejala itu sudahada serta lama

perjalanan penyakit termasuk ada tidaknya serta sifat dari awitan gejala.

Diagnosis Multiaksial terdiri dari 5 axis

Axis I :Gangguan klinis, kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis

Axis II : Gangguan kepribadian, Retradasi mental

Axis III : Kondisi Medik Umum

Axis IV : Masalah Psikososial dan Lingkungan

Axis V : Penilaian Fungsi Secara Global ( PPDGJ III Hal 13)

7. Penatalaksanaan Gangguan Jiwa

1. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara

selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap

aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang

berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien Obat psikotropik dibagi menjadi

beberapa golongan diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-

ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian

lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic,

antidepressants dan psikomimetika.

2.   Terapi somatic

12

Page 13: BAB I

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan

jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu system tubuh lain. Salah satu

bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy

Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik

dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada

pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya

diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak

diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan

biokimia di dalam otak (Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip

dengan obat anti depresan.

3. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan

yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan

perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.

Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:

d. Terapi Individual

Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan

pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien.

Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk

mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang

disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis

(terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku

klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan

terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu

menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan

mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan

cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

e. Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar

terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi

perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam

arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh

13

Page 14: BAB I

dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam

aktivitas dan interaksi.

f. Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang

mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah

membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan

mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang

stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola

keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi

perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus

asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini,

harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan

kognitif.

g. Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota

keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga

adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran

utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa

melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi

keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi

dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut

digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga

mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-

masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk

mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan

fungsi keluarga seperti yang seharusnya.

h. Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk

dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media

kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok

14

Page 15: BAB I

klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien,

meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive.

Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan

bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh

karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat.

Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model,

Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi

aversi atau rileks kondisi.

i. Terapi Bermain

Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-

anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada

dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat

perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta

melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.

15

Page 16: BAB I

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis

ditemukan bermakna dan yang disertai dengan penderitaan ( distress) pada

kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya)

seseorang. Dengan demikian jelas bahwa terjadinya penyimpangan atau konflik sosial

saja tanpa disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke dalam gangguan jiwa.

Ada tiga faktor penyebab gangguan jiwa yaitu : Faktor somatic (somatogenik) atau

organobiologis, faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif dan faktor sosio-

budaya(sosiogenik) atau sosiokultural. Secara umum gangguan jiwa dapat dibagi

kedalam dua kelompok yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Yang

termasuk kedalam gangguan jiwa ringan antara lain cemas, depresi, psikosomatis dan

kekerasan sedangkan yang termasuk kedalam gangguan jiwa berat seperti skizofrenia,

manik depresif dan psikotik lainnya. Gejala umum yang muncul pada seseorang yang

mengalami gangguan mental adalah keadaan fisik, keadaan mental dan keadaan

emosi. Penatalaksanaan terdiri dari farmakoterapi dan dukungan keluarga.

16

Page 17: BAB I

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 62

2. Nurmah, Islamiyah N, dkk. Psikotik dan Skizofrenia. 12 April 2011. Diunduh dari:

http://id.scribd.com/doc/74666207/PSIKOTIK-lengkap

3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2.

Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 62-72

4. Tirtakusuma A, Nugraha A, dkk. Bisikan Gaib. 29 Februari 2012. Diunduh dari:

http://id.scribd.com/doc/83142602/4/Menjelaskan-definisi-gangguan-psikotik

5. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ

III. 2001. Jakarta : PT Nuh Jaya. Hal 9-19

6. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2.

Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 73-102

7. News Medical. Psikosis Patofisiologi. 1 November 2012. Diunduh dari:

http://www.news-medical.net/health/Psychosis-Pathophysiology-(Indonesian).aspx

8. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 38

9. Hawari HD. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia. Edisi ke-2. Cetakan

3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006

10. Maramis WF. Ilmu kedokteran jiwa. Cetakan 6. Jakarta: Airlangga University Press,

1994

17