BAB I
-
Upload
putri-aliya -
Category
Documents
-
view
224 -
download
1
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Orang yang sehat adalah orang yang merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagiman adanya yaitu dapat berempati dan
tidak secara apriori bersikap positif terhadap oarang atau kelompok lain yang berberbeda, dan
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Sementara Gangguan jiwa
adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis ditemukan bermakna dan yang
disertai dengan penderitaan ( distress) pada kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan
terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya) seseorang. Dengan demikian jelas bahwa terjadinya
penyimpangan atau konflik sosial saja tanpa disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke
dalam gangguan jiwa.
Gejala-gejala gangguan jiwa merupakan hasil interaksi yang kompleks antara unsur
somatik, psikologik dansosial budaya. Gejala-gejala gangguan jiwa menandakan
dekompensasi proses adaptasi terutama pada pemikiran, perasaan dan prilaku. Konsep
gangguan jiwa memenuhi kriteria berikut:1. adanya geja klinis yang bermakna,berupa;
sindroma atau pola prilaku, sindroma atau pola psikologik. 2. Gejala klinis menimbulkan
penderitaan antar laian berupa rasa sakit, tidak nyaman, tidak tentram,disfungsi organ tubuh.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disability yaitu keterbatasan atau kekurangan
kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal yaitu melakukukan
kegiatan sehari-hari untuk perawatan diriseperti mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
buang airbesar dan kecil.
Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa bervariasi tergantung pada jenis-jenis
gangguan jiwa yang dialami. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan
psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan dari luar individu maupun tekanan dari
dalam individu
1
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini adalah
a. Untuk mengetahui tentang Gejala Awal Gangguan Jiwa
b. Untuk mengetahui tentang penatalaksaan Gangguan Jiwa
1.3. Manfaat Penulisan
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penulisan maupun pembaca
untuklebihmengetahui dan memahami tentang Gejala Awal Gangguan Jiwa dan
Penatalaksanaanya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi
Gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis
ditemukan bermakna dan yang disertai dengan penderitaan ( distress) pada kebanyakan
kasus, dan berkaitan dengan terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya) seseorang.
Dengan demikian jelas bahwa terjadinya penyimpangan atau konflik sosial saja tanpa
disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke dalam gangguan jiwa.
2. Epidemiologi
Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita
skizofrenia (WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) sebanyak 1 juta
orang atau sekitar 0,46% dari total pendududk Indonesia menderita skizofrenia.
Sedangkan yang mengalami gangguan mental emosiona (cemas dan depresi) adalah
11,6% atau sekitar 19 juta penduduk, dimana dapat terjadi pada semua usia dan angka
kejadian perempuan dan laki-laki sama namun lebih rentan terjadi pada perempuan.
3. Etiologi
Pada umumnya orang awam beranggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh
santet atau diguna – guna atau kekuatan supra natural. Akan tetapi sesungguhnya
gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang beriteraksi satu sama lain. Seperti
dapat kita lihat pada bagan dibawah ini.
a. Pengalaman traumatis sebelumnya
Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di
San Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap 50,000 pasien psychosis
menemukan sebanyak 64% dari responden pernah mengalami trauma waktu
mereka kecil (sexual abuse, physical abuse, emotional abuse, and substance
abuse). Penelitian lain yang dilakukan oleh Hardy et al. (2005) di UK terhadap 75
pasien psychosis menemukan bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi
dengan pengalaman trauma. 30,6% mereka yang mengalami halusinasi pernah
mengalami trauma waktu masa kecil mereka
3
b. Faktor biologi
Faktor Genetik
Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan
terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari
multiple gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr,
2003). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di
Amerika serikat telah menemukan adanya variasi genetik pada 33000
pasien dgn diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor
deppressive disorder. (NIH, USA, 2013). Penelitian tersebut menemukan
bahwa Variasi CACNA1C dan CACNB2 diketahui telah mempengaruhi
circuitry yang meliputi memori, perhatian, cara berpikir dan emosi (NIH,
USA, 2013). Disamping itu juga telah ditemukan bahwa dari orang tua dan
anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari keponakan atau cucu sebesar 2 –
4 % dan saudara kembar identik sebesar 48 %.
Gangguan sturktur dan fungsi otak
Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah
menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan
gangguan pada lobus temporal telah ditemukan terkait dengan munculnya
waham, halusinasi dan ketidak mampuan mengenal objek atau wajah.
Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya
gejala negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan
pembicaraan. Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah
menyebabkan munculnya episode depresi, perasaan tidak bertenaga dan
sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Dsifungsi
sistim limbik berkaitan erat dengan terjadinya waham , halusinasi, serta
gangguan emosi dan perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH
adanya perubahan struktur dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan
dalam auditory spatial perception(Hunter et all,2010)
Neurotransmitter
Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik
endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter terdiri dari:
o Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan
ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.
4
o Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan
temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan
libido
o Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat
perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses
pembelajaran dan memory
o Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan
perhatian
o Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi
automatic
c. Faktor psikoedukasi
Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh
Pebrianti, menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola
asuh keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari responden
(penderita skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 % diasuh
dengan pola permissive.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra
Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola
asuh keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalami gangguan
jiwa skizofrenia dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun
yang mereka maksud dengan pola suh patogenik tersebut antara lain :
Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya
Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus
tunduk saja”
Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)
Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
Penanaman disiplin yang terlalu keras
Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan
Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua
Perceraian
Persaingan dengan sibling yang tidak sehat
5
Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)
Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah
dilakukan oleh Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan
skizofrenia, menemukan adanya korelasi yang bermakna antara anak-anak
yang ditelantarkan baik secara fisik maupun mental dengan gangguan jiwa.
Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan bahwa mereka yang
mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita
ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai status
ekonomi tinggi . Artinya mereka dari kelompok ekonomi rendah
kemungkinan mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar mengalami kejadian
skizofrenia dibandingkan mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.
d. Faktor koping
Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada
dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:
Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres
Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk
mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang
akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Individu
yang menggunakan problem –solving focused coping cenderung
berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa
terhindar dari stres yang berkepanjangan sebaliknya individu yang
senantiasa menggunakan emotion-focused coping cenderung berfokus pada
ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah ada
pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang
berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa
berat.
e. Stressor psikososial
6
Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat
mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor yang
berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan seseorang yang hanya
mengalami strssor ringan seperti terkena macet dijalan. Banyaknya stressor dan
seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi respon dan koping.
Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda dengan seseorang yang
tidak punya banyak masalah.
f. Pemahaman dan keyakinan agama
Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap
kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya
hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001)
di Jawa tengah melaporkan bahwa lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam
kehidupan sehari – hari berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa. Penelitian
saya di tahun 2011 juga telah menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman
dengan kejadian gangguan jiwa. Pada pasien yang mengalami halusinasi
pendengaran, halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat
(Suryani, 2011).
4. Klasifikasi Gangguan Jiwa
Secara internasional, penggolongan gangguan jiwa mengacu pada DSM IV. DSM
IV ini dikembangkan oleh para expert dibidang psikistri di Amerika Serikat. DSM IV
ini telah dipakai secara luas terutama oleh para psikiater dalam menentukan diagnosa
gangguan jiwa. Di indonesia para ahli kesehatan jiwa menggunakan PPDGJ 3 sebagai
acuan dalam menentukan diagnosa gangguan jiwa. Secara umum gangguan jiwa dapat
dibagi kedalam dua kelompok yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat.
Yang termasuk kedalam gangguan jiwa ringan antara lain cemas, depresi,
psikosomatis dan kekerasan sedangkan yang termasuk kedalam gangguan jiwa berat
seperti skizofrenia, manik depresif dan psikotik lainnya.
7
Menurut Hawari (2001), tanda dan gejala Gangguan Jiwa Ringan
a. Cemas
1. Perasan khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah
tersinggung
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
3. Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang
4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
6. Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.
b. Depresi menurut NIMH USA antara lain:
1. Rasa sedih yang terus-menerus
2. Rasa putus asa dan pesimis
3. Rasa bersalah, tidak berharga dan tidak berdaya
4. Kehilangan minat
5. Energi lemah, menjadi lamban
6. Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)
7. Sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan)
8. Tidak tenang dan gampang tersinggung
9. Berpikir ingin mati atau bunuh diri
c. Psikosomatis
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah
(Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang
dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan
dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi
faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.
Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah; mual, muntah ( bukan
karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek
8
( bukan karena olah raga) amnesia dan semua gejala tersebut dinyatakan aman
pada saat dilakukan pemeriksaan secara medis.
Apa tanda dan gejala gangguan jiwa berat ? Secara cepat sebenarnya kita dapat
mengenali seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat. Mereka yang mengalami
gangguan jiwa berat tidak bisa menjalankan kehidupannya sehari – hari, bicaranya
tidak nyambung, sering berperilaku menyimpang dan terkadang mengamuk. Orang
gila yang kita temukan dijalanan itu biasnya mengalami Gangguan Jiwa Berat.
a. Skizofrenia
Gejala positif
yaitu sekumpulan gejala perilaku tambahan yang menyimpang dari perilaku
normal seseorang termasuk distorsi persepsi (halusinasi), distorsi isi pikir
(waham), distorsi dalam proses berpikir dan bahasa dan distorsi perilaku dan
pengontrolan diri.
Gejala negatif
yaitu sekumpulan gejala penyimpangan berupa hilangnya sebagian fungsi
normal dari individu termasuk keterbatasan dalam ekspresi emosi,
keterbatasan dalam produktifitas berfikir, keterbatasab dalam berbicara
(alogia), keterbatasan dalam maksud dan tujuan perilaku.
b. Gangguan Bipolar
Merupakan gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang
ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrim berupa mania dan
depresi, karena itu istilah medis sebelumnya disebut dengan manic depressive.
Suasana hati penderitanya dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar)
yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang
berlebihan tanpa pola atau waktu yang pasti.
Gejala-gejala dari tahap mania gangguan bipolar adalah sebagai berikut:
1. Gembira berlebihan.
2. Mudah tersinggung sehingga mudah marah.
3. Merasa dirinya sangat penting.
4. Merasa kaya atau memiliki kemampuan lebih dibanding orang lain.
5. Penuh ide dan semangat baru.
9
6. Cepat berpindah dari satu ide ke ide lainnya.
7. Mendengar suara yang orang lain tak dapat mendengarnya.
8. Nafsu seksual meningkat.
9. Menyusun rencana yang tidak masuk akal.
10. Sangat aktif dan bergerak sangat cepat.
11. Berbicara sangat cepat sehingga sukar dimengerti apa yang dibicarakan.
12. Menghambur-hamburkan uang.
13. Membuat keputusan aneh dan tiba-tiba, namun cenderung membahayakan.
14. Merasa sangat mengenal orang lain.
15. Mudah melempar kritik terhadap orang lain.
16. Sukar menahan diri dalam perilaku sehari-hari.
17. Sulit tidur.
18. Merasa sangat bersemangat, seakan-akan satu hari tidak cukup 24 jam.
Gejala-gejala dari tahap depresi gangguan bipolar adalah sebagai berikut:
1. Suasana hati yang murung dan perasaan sedih yang berkepanjangan.
2. Sering menangis atau ingin menangis tanpa alasan yang jelas.
3. Kehilangan minat untuk melakukan sesuatu.
4. Tidak mampu merasakan kegembiraan.
5. Mudah letih, tak bergairah, tak bertenaga.
6. Sulit konsentrasi.
7. Merasa tak berguna dan putus asa.
8. Merasa bersalah dan berdosa.
9. Rendah diri dan kurang percaya diri.
10. Beranggapan masa depan suram dan pesimistis.
11. Berpikir untuk bunuh diri.
12. Hilang nafsu makan atau makan berlebihan.
13. Penurunan berat badan atau penambahan berat badan.
14. Sulit tidur, bangun tidur lebih awal, atau tidur berlebihan.
15. Mual sehingga sulit berbicara karena menahan rasa mual, mulut kering, susah
buang air besar, dan terkadang diare.
16. Kehilangan gairah seksual.
17. Menghindari komunikasi dengan orang lain.
10
Hampir semua penderita gangguan bipolar mempunyai pikiran tentang bunuh
diri. dan 30% di antaranya berusaha untuk merealisasikan niat tersebut dengan
berbagai cara.
5. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
a. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn). Tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
c. Delusi atau Waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal)
meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak
rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. Sering
berpikir/melamun yang tidak biasa (delusi).
d. Halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan misalnya
penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal
tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.
e. Merasa depresi, sedih atau stress tingkat tinggi secara terus-menerus.
f. Kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari walaupun
pekerjaan tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun.
g. Paranoid (cemas/takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal tidak perlu
ditakuti atau dicemaskan.
h. Suka menggunakan obat hanya demi kesenangan.
i. Memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
j. Terjadi perubahan diri yang cukup berarti.
k. Memiliki emosi atau perasaan yang mudah berubah-ubah.
l. Terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya.
m. Pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa.
n. Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,
misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.
o. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
p. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
q. Sulit dalam berpikir abstrak.
11
r. Tidak ada atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak ada
upaya/usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan
serba malas dan selalu terlihat sedih.
6. Diagnosis
Ada beberapa Syarat untuk pemastian diagnosis gangguan jiwa yaitu:
a. Kumpulkan gejala-gejala menjadi satu kumpulan gejala ( sindrom) yang
bermakna.
b. Pikirkan secara Hirarkis mulai dari F0 sampai F5 (PPDGJ III hal 10) dalam
upaya membedakan pelbagai diagnosis banding
c. Telusuri jangka waktu atau berapa lama gejala itu sudahada serta lama
perjalanan penyakit termasuk ada tidaknya serta sifat dari awitan gejala.
Diagnosis Multiaksial terdiri dari 5 axis
Axis I :Gangguan klinis, kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Axis II : Gangguan kepribadian, Retradasi mental
Axis III : Kondisi Medik Umum
Axis IV : Masalah Psikososial dan Lingkungan
Axis V : Penilaian Fungsi Secara Global ( PPDGJ III Hal 13)
7. Penatalaksanaan Gangguan Jiwa
1. Terapi psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien Obat psikotropik dibagi menjadi
beberapa golongan diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-
ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian
lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic,
antidepressants dan psikomimetika.
2. Terapi somatic
12
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan
jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu system tubuh lain. Salah satu
bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik
dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada
pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan
biokimia di dalam otak (Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip
dengan obat anti depresan.
3. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan
yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan
perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.
Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:
d. Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan
pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien.
Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk
mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang
disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis
(terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku
klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan
terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan
mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan
cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
e. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar
terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi
perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam
arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh
13
dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam
aktivitas dan interaksi.
f. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah
membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang
stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola
keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi
perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus
asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini,
harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan
kognitif.
g. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota
keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga
adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran
utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa
melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi
keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi
dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut
digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga
mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-
masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk
mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan
fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
h. Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok
14
klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien,
meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive.
Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan
bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh
karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat.
Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model,
Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi
aversi atau rileks kondisi.
i. Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-
anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada
dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat
perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta
melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.
15
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis
ditemukan bermakna dan yang disertai dengan penderitaan ( distress) pada
kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan terganggunya fungsi (disfungsi/ hendaya)
seseorang. Dengan demikian jelas bahwa terjadinya penyimpangan atau konflik sosial
saja tanpa disfungsi seseorang , hal itu tidak dimasukkan ke dalam gangguan jiwa.
Ada tiga faktor penyebab gangguan jiwa yaitu : Faktor somatic (somatogenik) atau
organobiologis, faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif dan faktor sosio-
budaya(sosiogenik) atau sosiokultural. Secara umum gangguan jiwa dapat dibagi
kedalam dua kelompok yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Yang
termasuk kedalam gangguan jiwa ringan antara lain cemas, depresi, psikosomatis dan
kekerasan sedangkan yang termasuk kedalam gangguan jiwa berat seperti skizofrenia,
manik depresif dan psikotik lainnya. Gejala umum yang muncul pada seseorang yang
mengalami gangguan mental adalah keadaan fisik, keadaan mental dan keadaan
emosi. Penatalaksanaan terdiri dari farmakoterapi dan dukungan keluarga.
16
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 62
2. Nurmah, Islamiyah N, dkk. Psikotik dan Skizofrenia. 12 April 2011. Diunduh dari:
http://id.scribd.com/doc/74666207/PSIKOTIK-lengkap
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2.
Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 62-72
4. Tirtakusuma A, Nugraha A, dkk. Bisikan Gaib. 29 Februari 2012. Diunduh dari:
http://id.scribd.com/doc/83142602/4/Menjelaskan-definisi-gangguan-psikotik
5. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III. 2001. Jakarta : PT Nuh Jaya. Hal 9-19
6. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2.
Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 73-102
7. News Medical. Psikosis Patofisiologi. 1 November 2012. Diunduh dari:
http://www.news-medical.net/health/Psychosis-Pathophysiology-(Indonesian).aspx
8. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 38
9. Hawari HD. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia. Edisi ke-2. Cetakan
3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
10. Maramis WF. Ilmu kedokteran jiwa. Cetakan 6. Jakarta: Airlangga University Press,
1994
17