Bab i
-
Upload
imam-faisal -
Category
Documents
-
view
364 -
download
0
description
Transcript of Bab i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila kita amati, kita akan menemukan fakta bahwa kondisi produk dalam negeri sangat
memprihatinkan. Membanjirnya produk asing di pasar milik kita yang merupakan buntut dari
perdagangan bebas di era globalisasi, membuat banyak industri lokal banyak yang collapse dan
mati suri karena tidak mampu menahan hawa persaingan yang begitu berat dan daya saing
produk Indonesia seakan sirna menghadapi produk-produk asing. Seiringan dengan itu, tekanan
ekonomi dunia juga membuat pemerintah limbung dan terpaksa mengambil jalan ekspor barang
mentah dan impor barang jadi yang merupakan jalan instan untuk "sementara" menyelamatkan
perekonomian rakyat. Kontan hal ini menambah catatan panjang terjalnya persaingan usaha di
negeri ini. Iklim usaha yang tidak kondusif dan tidak sehat untuk pengusaha lokal tentu bukan
rahasia lagi. Kami menilai perlunya mengangkat isu tentang seberapa jauh kekuatan produk lokal
di pasar bebas dan keterkaitannya dengan kegiatan ekspor-impor. Kami merasa perlu dan peduli
untuk membahas dan mencari solusi dari permasalahan ini. Inilah yang menjadi alasan kami
memilih topik tentang kondisi produk lokal di saat sekarang ini di panggung pasar bebas dan
keterkaitannya dengan kegiatanekspor-impor.
B.Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian dari perdagangan bebas itu?
2.Apakah pengertian dari ekspor dan impor?
3.Apakah hubungan ekspor impor terhadap perdagangan bebas?
4.Regulasi apa yang mengatur tentang ekspor-impor dan perdagangan bebas?
5.Apa dampak perdagangan bebas terhadap perekonomian Indonesia?
6.Mengapa produk lokal kalah saing dengan produk luar?
7.Bagaimana cara memperkuat industri dalam negeri?
C.Tujuan
1.Untuk memahami perdagangan bebas dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia
2.Untuk mengetahui gambaran umum tentang ekspor dan impor
3.Untuk mengetahui alasan lemahnya produk dalam negeri
4.Untuk memberikan penilaian dan solusi tentang lemahnya produk atau industri dalam negeri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi perdagangan bebas dan kegiatan ekspor impor
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized
Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs
Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa
pajakekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga
didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah)
dalam perdagangan antarindividual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara
yang berbeda.
Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan
membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu akan
menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing kenegara kita dapat
digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri. Kegiatan impor
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang
tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan, tetapi tidak dapat mencukupi
kebutuhan rakyat.
2.2 Regulasi tentang perdagangan bebas dan kegiatan ekspor impor
2.3 Kegiatan ekspor impor dan penguasaan produk asing di dalam negeri
Berdasarkan definisi perdagangan bebas dan kegiatan ekspor impor di pembahasan
sebelumnya, kali ini kita kaitkan definisi diatas dengan bukti kegiatan ekspor impor di Indonesia.
Berdasarkan data statistik dari website resmi BPS menyatakan bahwa pada tahun 2012 ini,
Indonesia melakukan ekspor lebih banyak daripada impor. Jika kita lihat sekilas, tentu kita
beranggapan bahwa Indonesia sudah mampu bersaing dengan negara lain. Tapi tunggu dulu !
Ternyata negara kita ini melakukan ekspor bahan mentah dan hasil bumi yang belum diolah. Apa
yang terjadi ? Kita mendapatkan barang jadi yang jelas-jelas bahan mentahnya berasal dari kita
sendiri dengan cara mengimpor dari luar dengan harga yang tinggi. Makannya, negara kita malah
dibanjiri dengan produk luar negeri. Berikut kami sertakan tabel ekspor dan impor dari website
resmi BPS Indonesia tahun 2012.
Pemerintah bersama pelaku usaha dalam wadah Kadin Indonesia selayaknya terus
mencari jalan keluar atas makin membanjirkan importasi sejak dibukanya perdagangan bebas
CAFTA 2010 silam. Seperti yang telah diperkirakan semula, penerapan perjanjian perdagangan
bebas Cina ASEAN Free Trade Agreement/CAFTA) yang bakal diberlakukan awal 2010 silam,
belum membawa keuntungan bagi perekonomian Indonesia. Ini terjadi dalam beberapa tahun
terakhir, tercatat nilai impor terus melejit. Akankah nasib produk dalam negeri yang kalah
bersaing dengan impor, merupakan bentuk lemahnya dukungan pemerintah atau lemahnya
pelaku usaha? Kekhawatiran membanjirnya produk impor ini diungkapkan sejumlah peneliti
sekaligus pelaku usaha dalam diskusi yang diadakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia di Jakarta, baru baru ini. Wadah pengusaha yang mayoritas skala UMKM ini
mengkhawatirkan tingginya pertumbuhan impor yang seakan mengancam eksistensi produk
domestik.
Buktinya, data yang dihimpun lewat Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kinerja
impor Indonesia pada kuartal I-2012 mencapai nilai 45 miliar dolar AS atau melonjak sekitar 18
persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 38 miliar dolar AS. Dengan melihat
besaran nilai impor tersebut, sektor non migas (manufaktur) memilik andil cukup besar dalam
kinerja impor di Indonesia. Pada kuartal I-2012 nilai impor manufaktur naik sekitar 16 persen
mencapai 35 miliar dolar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu sekitar 38 miliar dolar
AS.Sedangkan sektor migas, peningkatan impor semakin mendominasi dengan pertumbuhan
mencapai 23 persen atau nilainya sekitar 10 miliar dolar AS. Menurut Kadin Indonesia,lonjakan
impor saat ini berkaitan dengan lemahnya kebijakan pemerintah. Kesepakatan FTA dinilai tidak
sejalan dengan industrialisasi di Indonesia. Kadin berpendapat industri Indonesia belum siap
dalam melakukan persaingan skala besar. Peneliti dari Lembaga Penilitian, Pengembangan, dan
Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kadin, Ina Primianana menegaskan, produksi dalam negeri tidak
mampu bersaing, karena tidak memiliki keunggulan.Begitupula,produk yang dihasilkan
sebenarnya juga mampu diproduksi di negara tujuan ekspor. Teknologi terkini belum terserap
dengan baik (pengolahan bahan baku), sehingga produk yang dihasilkan tidak kompetitif. Disisi
lain, Negara pesaing mampu memberikan harga yang kompetitif, sehingga negara tujuan ekspor
beralih ke negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Selain itu, banyaknya
kesepakatan pemerintah melalui CAFTA dinilai Ina tanpa persiapan, akibatnya banjirnya barang
impor tidak bisa terbendung lagi. "Kesepakatan CAFTA yang dilakukan pemerintah membuat
produk asing yang masuk ke dalam negeri meilmpah ruah. Pertumbuhan industri juga rapuh
karena masih tergantung oleh tingginya impor bahan baku dan barang modal. Hal ini berpotensi
membuat industri dalam negeri beralih menjadi pedagang," ujar dia.
Ketua LP3E Kadin, Didik J. Rachbani berpendapat total impor meningkat sangat tinggi
menyebabkan surplus perdagangan makin tertekan. Menurutnya, pertumbuhan impor kuartal I-
2012 dari sisi nilai yang mendominasi sektor manufaktur berasal dari Inggris dengan kenaikan
52,02 persen. Diikuti dengan Cina bertumbuh 27,34 persen, dan Thailand bertumbuh 20,56
persen.
"Salah satu yang menarik ialah dimana Thailand pada 2011 lalu terkena bencana banjir, justru
pada kuartal I-2012 ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan sebesar 11 persen.
Dengan derasnya impor Indonesia dari Thailand pada periode itu, tak mengherankan jika
perekonomian Thailand berkilau di awal tahun ini," tutur Didik. Peniliti LP3E Kadin, Suharyadi
menyatakan membanjirnya impor salah satunya disebabkan
kurangnya dukungan regulasi industri dengan rantai birokrasi semakin panjang. Hal itu
membuat beban biaya industri domestik semakin meningkat. Menurutnya, potensi itu
memberikan dampak negatif bagi daya saing produksi dalam melawan produk asing yang masuk
ke dalam negeri. "Dalam mengembangkan CAFTA pemerintah kurang melakukan optimalisasi.
Ditambah dengan birokrasi yangberbelit-belit, membuat daya saing industri dalam negeri
semakin terpuruk. Produk dalam negeri semakin tidak kompetetif dengan produk asing yang
masuk ke Indonesia," ungkap dia.
Lemahnya kebijakan pemerintah, serta buruknya industri dalam negeri dituding membuat produk
nasional tidak memiliki daya saing. Selain itu, dengan kondisi sekarang menjadikan
ketergantungan dengan negara lain semakin menjadi. Wajar saja, hingga saat ini ketergantungan
akan produk impor terus berlanjut dan menggerus industri domestik.
2.4 Lemahnya industri dalam negeri
Selalu kita lihat selama ini produk-produk dalam negeri kalah saing dengan produk luar
negeri. Telah terpatri anggapan di maysarakat bahwa produk lokal tidak lebih baik daripada
produk asing; kita ambil saja contoh produk elektronik. Indonesia memiliki produsen barang
elektronik sebut saja Polytron. Fitur yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan produk asing di
kelasnya. Keperkasaan produk asing lagi-lagi menyebabkan produk kita kalah saing di pasaran.
Branding produk asing yang terlanjur menancap dengan mantap di hati masyarakat, membuat
konsumen lokal tentunya lebih memilih produk asing tersebut. Akan lebih parah lagi bila kita
bandingkan dengan produk Cina yang menawarkan harga yang sangat murah dengan kualitas
rendah. Kondisi ekonomi masyarakat yangpas-pasan tampaknya telah dimanfaatkan produsen
asing untuk "membanjiri" Indonesia dengan produk mereka.
Peniliti LP3E Kadin, Suharyadi menyatakan membanjirnya impor salah satunya
disebabkan kurangnya dukungan regulasi industri dengan rantai birokrasi semakin panjang. Hal
itu membuat beban biaya industri domestik semakin meningkat. Menurutnya, potensi itu
memberikan dampak negatif bagi daya saing produksi dalam melawan produk asing yang masuk
ke dalam negeri. Bila kita telusur lebih jauh, sebenarnya pertumbuhan industri Indonesia justru
menunjukkan tren yang positif. Banyak industri yang mulai bergeliat. Akan tetapi tampaknya
kita tidak bisa senang dahulu, karena di balik itu semua banyak rintangan yang industri kita
hadapi. Lebih jauh dari itu, industri kita hanya berperan seperti boneka. Sebagian besar industri
kita hanya bergerak atau memiliki fasilitas proses hilir. Kegiatan industri kita harus merasa puas
hanya bergerak sebagai pelaku assembly line. Komponen-komponen beserta teknologi assembly
line diimpor dari luar. Contoh Lebih parahnya kita hanya menjalankan sistem industri yang telah
dibuat produsen raksasa asing di pasar potensial milik kita yang tentunya kita cukup menikmati
income beberapa persen saja dan sisanya lari ke negeri asalnya. Contoh gamblangnya yaitu
industri otomotif kita yang sudah berusia 40 tahun sekarang hanya berkecimpung di sektor
perakitan komponen. Jangankan komponen, alat perkakas yang dibutuhkan dalam proses
produksi pun hampir semuanya berasal dari luar. Padahal ada produsen alat perkakas yang
mampu menanganinya.
Kita tidak patut juga berbangga akan tingginya nilai ekspor kita. Indonesia dikenal
dengan penghasil bahan baku, bahan mentah, bahan tambang, minyak, komoditi pertanian,
komoditi perkebunan, dan komoditi laut nomer satu di dunia. Ironisnya tidak sedikit barang jadi
yang kita impor dari luar negeri berasal dari bahan baku kita yang kita ekspor. Masih lebih baik
kita menguasai barang mentah dan mengekspornya daripada yang terjadi sebenarnya yaitu bahan
mentah kita, minyak dan emasnya misalnya, kini justru dikuasai asing. Tentu saja pajak yang
kita dapat sangat jauh lebih kecil bila dibanding dengan pemasukan hasil penjualan barang
tambang hasil olahan. Kita selama ini masih sangat tergantung dengan ekspor barang mentah dan
utang luar negeri sebagai pendapatan negara. Dan disaat terjadi krisis barang produk dalam
negeri, impor produk asing yang murah menjadi pintu keluarnya. Memang di era perdagangan
bebas ini, "skenario yang tersedia" bagi negara berkembang seperti Indonesia yaitu
a)mengeksploitasi sumberdaya alam dan/atau hasil bumi yang menghasilkan komoditi yang
dapat dijual di pasar internasional untuk memperoleh devisa guna membeli masukan teknologi;
b)mengundang investasi dari negara yang lebih maju dalam berindustri dan berteknologi untuk
meningkatkan pertumbuhan industrinya dan, secara sadar atau tidak sadar, sekaligus
menjadikannya sebagai sarana bagi terjadinya alih teknologi;
c)Melakukan upaya untuk dapat memperoleh dana valuta asing yang diperlukan untuk membeli
teknologi melalui hutang luar negeri, bilamana perimbangan import dan exportnya, atau
kekayaan sumberdaya alamnya serta tatanan politik ekonominya dapat ditunjukkan mampu
menjamin pembayaran cicilan dan bunganya;
d)Menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk secara bertahap meningkatkan
kemampuannya dalam mengembangkan teknologi, sehinggap dapat makin menekan tuntutan
yang terlalu besar akan pembelian teknologi dari negara lain;
e)Meningkatkan kemampuannya di dalam mengelola proses alih teknologi dengan sebaik-
baiknya, terutama di dalam hal melakukan pemilihan yang tepat terhadap pembelian dan
pengalihan teknologi, agar diperoleh proses alih teknologi yang paling â cost effectiveâ . Banyak orang
mengira bahwa penguasaan iptek yang rendah menjadi salah satu
penyebab kurang berkembangnya industri kita. Padahal teknologi tidak ada ubahnya dengan
produk yang diperjualbelikan. Teknologi bisa dibeli. Apalagi sudah banyak perguruan tinggi,
institut dan politeknik yang menjadi sumber keilmuan dan teknologi di Indonesia. Jika dibilang
spesifikasi produk kita tidak memenuhi standar dan permintaan dasar, hal ini tidak rasional;
teknologi produksi dan manufaktur kita telah menguasainya, meskipun perannya masih sangat
terbatas (atau dibatasi). Sekarang tinggal permasalahan non teknis sebenarnya yang menjadi
kendala. Salah satu kendala non teknis yang dimaksud adalah masih rendahnya akses pemasaran,
akses informasi, dan belum terbukanya kesempatan bagi produsen dalam negeri untuk
menangani pemenuhan demand dari konsumen. Selain itu, masih maraknya pungutan liar,
korupsi, kolusi, nepotisme, rumitnya birokrasi pemerintahan, masalah perpajakan, masalah
perburuhan, lemahnya infrastruktur, dan belum terciptanya iklim usaha yang kondusif dan
bersahabat bagi para pelaku usaha telah mengakibatkan industri dalam negeri kehilangan daya
saingnya.
Kamar Dagang Industri (Kadin) menuding lemahnya pengawasan di bea cukai menjadi
penyebab utama deindustrialisasi di Indonesia. Praktek kecurangan di bea cukai sudah terjadi
sejak dulu. Praktis hal ini melemahkan industri dalam negeri. Di satu sisi, produk asing bebas
masuk tanpa dibebani kewajiban pajak dan dapat menjualnya dengan murah. Di lain sisi,
mobilisasi produk dalam negeri sering terhambat dengan beban kewajiban pungutan yang harus
dipenuhi. Maraknya barang selundupan juga tambah memperparah deindustrialisasi dalam
negeri. Dalam hal ini tampaknyaterobosan-terobosan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dalam memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), menjadi angin segar bagi industri
dalam negeri. Kebijakan memihak yang mengandung unsur KKN dapat ditekan. Ada harapan
industri dalam negeri dapat bersaing dalam iklim usaha yang kondusif dan adil. Tender-
tender tidak melulu dimenangkan perusahaan asing. Sudah saatnya ada regulasi dan kebijakan
pemerintah yang benar-benar melindungi industri dalam negeri. Walaupun di zaman
perdagangan bebas ini, pemerintah tidak bisa lagi bermain-main pajak untuk menghambat
produk asing masuk ke dalam negeri, setidaknya ada regulasi yang mendorong terciptanya iklim
usaha yang baik dan kondusif, bukan lagi monopoli asing.
Akhir-akhir ini marak program pemerintah yang merangsang pertumbuhan industri
dalam negeri, UMKM. Hebatnya program ini menjangkau industri rumahan, kecil dan
menengah. Memang, kuat tidaknya ekonomi suatu negara tidak bisa dinilai dari industri besar
yang bercokol secara nasional, tetapi hanya bisa dinilai dari kekuatan industri kemasyarakatan
yang menjadi tulang punggung pendapatan rakyat. Kalau sudah begini, perekonomian
masyarakat akan kokoh walau dihantam krisis ekonomi dunia sekalipun. Program UMKM
mandiri ini tentunya harus digarap dengan serius dan pengawasan serta pembimbingan yang
berkelanjutan supaya industri lokal dapat tumbuh dan berkembang dengan subur. Tidak hanya
sampai di situ, pemerintah tampaknya mulai membidik mahasiswa sebagai calon pelaku industri
yang segar dan kreatif. Diharapkan kita tidak hanya menjadi pemain produksi hilir, tapi menjadi
produsen industri kreatif dan pemain hulu yang setidaknya bisa menguasai pasar milik kita
sendiri. Memberantas halangan non teknis juga menjadi pekerjaan rumah yang patut
diprioritaskan oleh pemerintah. Kekuatan produk tidak lepas juga dari kekuatan branding suatu
merek. Propaganda dan kampanye cinta produk Indonesia juga sedikit demi sedikit mengguggah
kesadaran masyarakat akan potensi terpendam dari produk dalam negeri entah itu potensi
produksi, manufaktur, maupun potensi pertumbuhan ekonomi bila tren produk dalam negeri
melonjak. Sudah saatnya kita tidak lagi menjadi penonton, tapi menjadi pemain dalam dunia
industri menuju Indonesia yang mandiri.
2.5 Kepercayaan masyarakat kepada produk dalam negeri
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, yang tentu saja
berpotensi menjadi negara industri yang besar. Ketika kekayaan alam tersebut bisa digabungkan
dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat di bawah keterampilan tangan-tangan ahli
dan otak-otak brilian maka peluang Indonesia menjadi negara produsen yang berlevelkan
Internasional menjadi terbuka lebar. Sangat disayangkan, hingga saat ini kekyaan alam yang
melimpah ini sebagian besar belum bisa kita olah sendiri. Sehingga kita hanya
mengekspor bahan-bahan pokok yang kemudian diolah oleh negara asing yang kemungkinan
kita sendiri yang mengonsumsi hasil olahan tersebut. Bisa dilihat padaproduk-produk yang ada
disekeliling kita, sebagian besar merupakan produk impor.
Termasuk factor yang menahan perkembangan industry dalam negeri yakni produk dalam negeri
kalah bersaing dengan produk impor, produk luar negeri lebih memegang peranan pasar
sehingga menjadikan minat masyarakat cenderung ke produk luar negeri.
Hal ini bisa terjadi karena tingkat kepercayaan konsumen yang tinggi pada produk luar negeri
yang sudah mendunia dibanding dengan produk lokal, padahal produk lokal juga tidak kalah
hebatnya dengan produk luar negeri.
Indonesia mengalami kendala mengenai produk dalam negeri yang kalah saing dengan luar
negeri yaitu kurangnya kesadaran masyarakat tentang pemakaian produk lokal karena
kebanyakan dari masyarakat Indonesia lebih banyak mengkonsumsi atau menggunakan produk
luar daripada dalam. Serta yang terjadi di Indonesia, apabila memakai produk luar itu berkesan
elegan dan mewah karena harganya yang cenderung lebih tinggi dan kualitas yang dijanjikan
telah bagus dan menyebar di seluruh dunia.
Ada juga produk impor yang harganya relatif lebih murah dibanding produk dalam negeri
sehingga produk tersebut laku keras di pasar Indonesia. Sebagaimana kita tahu produk cina
memiliki harga jual yang murah yang mengakibatkan cukup diminatinya produk tersebut.
Kita lihat keberadaan Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang berada di Kota Bandung yakni
industri yang berada di Cibaduyut. Cibaduyut, adalah sebuah daerah sentra pengrajin sepatu,
yang sudah menjadi icon persepatuan di Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan Wakil Walikota
Bandung, Ayi Dipadana “Pusat perbelanjaan sepatu cibaduyut adalah pasar penjualan sepatu
terpanjang di dunia, dimana di lokasi tersebut merupakan sentra penjualan sepatu hasil kreasi
para pengrajin yang ilmu pembuatannya didapat secara turun menurun. Pada tahun 1989
Pemerintah RI meresmikan Cibaduyut sebagai daerah tujuan wisata,”
Kenyataan yang terjadi seakan bertolak belakang dengan statusnya sebagai icon persepatuan
Indonesia, produksi persepatuan Cibaduyut mengalami penurunan yang cukup drastic yakni
pada sekitar tahun 2005. Menurut Sekretaris Instalasi Pengembangan IKM Persepatuan
Cibaduyut, Kus Rafidi, penurunan tersebut terjadi sejak tahun 2001.
Tahun
Produksi Sepatu (pasang)
2001
8.8 juta
2005
4 juta
2006
4.85 juta
Tabel Produksi Sepatu di Sentra Sepatu Cibaduyut
Penurunan penjualan merupakan efek dari merebaknya produk alas kaki (sepatu dan
sandal) yang berasal dari Cina dengan harga yang jauh lebih murah, bahkan mencapai selisih
harga sebesar 35% lebih murah dari produk alas kaki local.
Murahnya harga alas kaki yang berasal dari Cina tidak bias kita salahkan karena aspek ekonomis
akan sangat membantu masyarakat kalangan menengah ke bawah dalam memenuhi
kebutuhannya. Beda halnya ketika alas kaki impor yang lebih laris dibanding alas kaki local
dengan alasan masyarakat lebih menyukai produk impor tersebut. Hal ini tidak cukup kuat bagi
masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk impor untuk meninggalkan kecintaannya
terhadap bangsa ini yakni dengan berpalingnya mereka dari hasil karya anak bangsa.
Bagaimana mungkin kita bias menjadi bangsa yang besar jika kita sendiri kurang antusias
dengan produk buatan lokal.
2.6 Peran kebijakan pemerintah dalam mendorong tumbuhnya industri dalam negeri
Dewasa ini, masyarakat Indonesia masih mengalami kebingungan mengenai kebijakan
pemerintah mengenai perdagangan bebas. Kebijakan ini seperti dua sisi mata koin, di satu sisi
menguntungkan Negara untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi para pengangguran di
Indonesia yang jumlahnya tergolong masih besar, di sisi lain secara tidak langsung, pemerintah
mengabaikan kesejahteraan rakyat di banyak sektor, terutama sektor usaha kecil menengah, dan
pertanian.
Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang
diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara
teori, semuahambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam
kenyataannya,perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan
bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar
bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-
perusahaan besar. Contohnya untuk usaha kecil dan menengah dibidang tekstil, dimana untuk
daerah China, Hongkong ataupun Taiwan mengimpor barang ke Indonesia dengan harga yang
sangat murah, karena di Negara mereka, proses produksi dilakukan dengan cara massal, sehingga
dapat menekan biaya produksi.Hal hal seperti ini menyebabkan rakyat Indonesia belum siap
untuk menghadapi situasi perdagangan bebas ini. Belum lagi kemampuan Negara Negara seperti
China dan Hong Kong melihat kondisi pasar di Indonesia yang cenderung sangat konsumtif,
dalam artian lebih mementingkan model daripada kualitas bahan. Mereka mengalahkan
pengusaha pengusaha lokal dengan telak. Karena pengusaha lokal belum bisa bersaing dengan
pengusaha pengusaha dari luar negeri disebabkan jumlah total cost yang dikeluarkan oleh
pengusaha lokal belum bisa mendekati total cost yang dikeluarkan Negara lain untuk jenis
produk yang sama. Belum lagi di sektor nelayan. "Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN dan
China hanya menguntungkan kurang dari lima persen nelayan besar, sementara nelayan
tradisional/kecil terus terpinggirkan," kata Ketua Forum Komunikasi Nelayan Jakarta, Tiharom
dalam keterangan tertulis. Menurut Tiharom, lebih dari 30 persen ikan impor beredar setiap hari
di Pasar Ikan Muara Angke dan Muara Baru. Berbagai ikan impor tersebut, menurut dia, dijual
dengan harga yang lebih murah daripada harga ikan tangkapan nelayan tradisional Jakarta.
"Dengan harga yang lebih murah, tentu masyarakat akan memilih produk impor," katanya.
Penurunan tarif dan menghilangkan kebijakan yang menghambat masuknya barang impor
menyebabkan membludaknya barang-barang produksi asing memasuki Indonesia.Tak
terkecuali barang-barangsembako, yang diantaranya adalah gula pasir.Produksi gula pasir di
Indonesia yang memang masih belum dapat di swasembada menjadi jalan empuk untuk
masuknya impor gula.ke Indonesia. Hal tersebut menjadi tragedi tak kala, pada Juli 2011, gula
rafinasi yang diantaranya berasal dari Thailand menguasai 90 % pasar gula di Indonesia Timur.
Gula rafinasi menjadikan harga lelang gula semakin anjlok hingga menyentuh Rp 7.380 per kg
pada tahun 2011, bahkan sampai posisi terendah Rp 7.100 per kg.Apabila dibandingkan harga
lelang tahun 2010, petani pernah mendapatkan harga Rp 9.100 sampai 9.200 per kg.Kerugian
petani mencapai Rp 1.000 per kg, jika produksi puluhan ribu ton.
Gula rafinasi atau yang biasa disebut gula mentah merupakan gula pasir impor yang belum
diolah kembali agar siap dikonsumsi.Gula rafinasi ini diperuntukkan bagi kalangan industri
sebagai bahan pemanis makanan yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut. Gula rafinasi ini
memiliki karakter kristal lebih halus dan berwarna lebih putih. Gula rafinasi ternyata lebih
menarik bagi konsumen dikarenakan penampilannya yang bersih, ditambah harganya jauh lebih
murah dibanding gula pasir lokal.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberian izin impor raw sugar untuk rafinasi yang
jumlahnya 2,24 juta ton. Selain itu, pemerintah melalui Sk Menteri Perdagangan Nomor 111
tentang Produk Gula Rafinasi, 25% boleh dijual ke pasar dan mengisi operasi pasar, namun yang
terjadi 90% gula pasir refinasi membanjiri pasar gula di Indonesia Timur. Hal ini dianggap tidak
menyejahterakan petani dalam negeri, selain itu menjatuhkan harga gula pasir dipasaran.
Produksi gula dalam negeri hingga akhir 2005 baru dapat menjangkau 65% daya konsumsi
masyarakat, sehingga untuk menutupi 35% nya masih membutuhkan impor. Namun kontrol
terhadap kebijakan harus diperketat, ketika gula impor rafinasi diperuntukkan bagi
industrialisasi, dengan tujuan agar produksi industri meningkat, itu menjadi salah satu solusi agar
produksi industri lebih meningkat karena harga gula rafinasi lebih rendah. Namun, kebijakan
Menteri Perdagangan yang memperkenankan gula rafinasi bersaing di pasar gula masyarakat, hal
ini tentunya akan menjatuhkan harga gula di pasaran dan akan berimbas pada pendapatan petani
gula lokal.
Kebijakan impor yang membuat dampak negatif tak hanya terjadi pada petani gula, namun juga
terjadi pada petani padi.Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total beras impor yang masuk ke
Indonesia hingga September 2011 ini telah mencapai 1,9 juta ton atau senilai US$ 997,4 juta atau
kurang lebih Rp 8,47 Triliun.
Dampak impor beras itu sangat jelas, yakni petani rugi karena harga gabah jatuh.Kemudahan
impor ini dibuat dengan alasan kebutuhan pangan Indonesia sangat besar, petani tidak mempu
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.Disamping itu pula, impor ini menjadi harapan
karena harga pangan di pasar internasional yang rendah ditambah dengan adanya bantuan kredit
impor dari negara eksportir.Kebijakan pemerintah terhadap penurunan tarif impor juga harus
dikaji ulang, selisih harga antara bahan impor dan bahan dalam akan membuat produsen dalam
negeri kehilangan keuntungan yang signifikan. Pembangunan dalam negeri pun akan sulit maju,
karena barang impor terlalu menguasai pasar dalam negeri. Di samping itu, Ketua Indonesia for
Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng menilai ekonomi Indonesia digerakkan oleh sumber
pertumbuhan yang berbahaya. Persoalan ini kemudian menjadi satu alasan mengapa
pertumbuhan ekonomi negara tidak berjalan seimbang dengan kesejahteraan rakyat yang
merosot. “Satu sisi ekonomi tumbuh, di sisi lain kesejahteraan rakyat merosot. Kenapa ini bisa
terjadi,” kata Salamudin di acara yang sama. Adapun sumber pertumbuhan berbahaya yang
dimaksud Salamudin adalah pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh utang. Ia mengatakan
bahwa utang luar negeri Indonesia semakin bertambah tiap tahunnya. Berdasarkan
perhitungannya, akumulasi utang Indonesia hingga Mei 2012 mencapai Rp2.870 triliun atau
dapat dikatakan 45 persen dari PDB. Utang luar negeri ini
bertambah setiap tahun dari sumber bilateral maupun multilateral.
“Utang selanjutnya menjadi menjadi sumber pendapatan pemerintah dan menjadi faktor
pendorong
pertumbuhan
ekonomi,”
ujarnya.
Selain jumlah utang yang semakin meningkat, lanjut Salamudin, salah satu penyebab
timpangnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat adalah dikarenakan
pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan nilai konsumsi masyarakat. Padahal,
peningkatan konsumsi masyarakat lebih banyak ditopang oleh kredit khususnya kredit konsumsi
seperti kredit kendaraan bermotor, kartu kredit yang masif dan lain sebagainya. Dia menilai
tingginya impor bahan-bahan pangan seperti beras, gandum, gula, kedelai, garam dan tembakau
menjadikan pertumbuhan konsumsi barang impor semakin membahayakan. Pertumbuhan
ekonomi yang didorong oleh investasi luar negeri yang semakin mendorong penguasaan sumber
daya alam (SDA), keuangan, perbankan oleh orang asing juga menjadi salah satu penyebab
ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi nasional dengan kesejahteraan rakyat. “Harapan dari
pemerintah terhadap investasi asing adalah untuk menjadikan salah satu faktor pendorong
industri nasional dan konsep ini salah,” tambah Salamudin. Tak hanya itu saja. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia hingga saat ini juga didorong oleh ekspor bahan mentah terutama tambang
mineral, gas, hasil perkebunan dan hasil hutan. Menurut
Salamudin, fenomena tersebut mejelaskan bahwa pemerintah gagal dalam membangun industri,
infrastruktur yang menopang industri dan sumber energi yang memadai. Terkait dengan
kebijakan Menteri ESDM dalam mengeluarkan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 yang akhirnya
menetapkan bea keluar ekspor sebesar 20 persen, Salamudin menilai hal ini dilakukan
pemerintah untuk memburu pajak dalam rangka menutup defisit APBN, bukan dalam rangka
membangun industri nasional. Di sisi lain, pemerintah juga gagal dalam mengatasi korupsi dan
penerimaan pajak negara. “Bentuk investasi di Indonesia saat ini merupakan warisan dari zaman
kolonial karena seluruh kerja ekonomi hanya untuk kaum imperialisme,” katanya. Jika hal ini
dibiarkan, katanya, bisa berdampak semakin merosotnya kesejahteraan rakyat, kesenjangan
sosial yang semakin tinggi serta tergerusnya kedaulatan nasional oleh modal atau investor asing.
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo dan Menteri Perindustrian MS Hidayat menilai
Indonesia harus mengevaluasi beberapa perjanjian FTA (free trade agreement). Mereka menilai
perdagangan dalam FTA berpotensi merugikan Indonesia ke depan. "Program penandatanganan
FTA selama ini terlalu cepat dilakukan. Sekarang ini terdapat lima negara yang sudah tergabung
dalam perdagangan bebas dengan Indonesia." "Karena itu, jangan membuat program
penandatangan FTA itu terlalu cepat. Ngapain teken FTA kalau defisit terus," kata Hidayat di
Hotel Indonesia Kempinsky usai bertemu