BAB I 2003

36
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sampai saat ini, telah banyak pemanfaatan tanaman obat tradisional oleh masyarakat Indonesia untuk menanggulangi beberapa penyakit. Manfaat penggunaan obat tradisional tersebut secara luas telah dirasakan oleh masyarakat. Terutama banyak digunakan masyarakat menengah kebawah terutama dalam upaya pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan kesehatan, serta peningkatan kesehatan. Hal ini juga tercermin dengan semakin meningkatnya penggunaan obat tradisional, atau meningkatnya produksi obat dari industri-industri obat tradisional. Seiring dengan adanya slogan “back to nature”, maupun krisis ekonomi yang berkepanjangan, penggunaan obat tradisional menjadi alternatif pengobatan disamping obat modern. Banyak orang beranggapan bahwa penggunaan tumbuhan obat atau obat tradisional relatif aman dibandingkan obat sintesis. Dengan informasi yang cukup diharapkan masyarakat lebih cermat untuk memilih dan menggunakan suatu produk obat tradisional dalam upaya kesehatan (Pramono,2004). Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang mempunyai biodiversitas

description

makalah BAF

Transcript of BAB I 2003

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sampai saat ini, telah banyak pemanfaatan tanaman obat tradisional oleh

masyarakat Indonesia untuk menanggulangi beberapa penyakit. Manfaat

penggunaan obat tradisional tersebut secara luas telah dirasakan oleh masyarakat.

Terutama banyak digunakan masyarakat menengah kebawah terutama dalam

upaya pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan kesehatan, serta

peningkatan kesehatan. Hal ini juga tercermin dengan semakin meningkatnya

penggunaan obat tradisional, atau meningkatnya produksi obat dari industri-

industri obat tradisional. Seiring dengan adanya slogan “back to nature”, maupun

krisis ekonomi yang berkepanjangan, penggunaan obat tradisional menjadi

alternatif pengobatan disamping obat modern. Banyak orang beranggapan bahwa

penggunaan tumbuhan obat atau obat tradisional relatif aman dibandingkan obat

sintesis. Dengan informasi yang cukup diharapkan masyarakat lebih cermat untuk

memilih dan menggunakan suatu produk obat tradisional dalam upaya kesehatan

(Pramono,2004).

Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang

mempunyai biodiversitas (keanekaragaman hayati). Biodiversitas tersebut

meliputi : ekosistem, jenis maupun genetik. Hal ini jelas merupakan suatu

anugerah besar bagi masyarakat Indonesia apabila dimanfaatkan secara optimal.

Termasuk dalam biodiversitas jenis adalah keanekaragaman tanaman di Indonesia

yang sangat besar, termasuk tanaman yang berpotensi sebagai obat. Mengingat

fakta tersebut mestinya upaya pemanfaatan tanaman sebagai sumber suatu obat

menjadi pilihan utama saat ini bagi para peneliti obat di Indonesia.

Proses penemuan suatu obat dari suatu tanaman merupakan sesuatu yang

tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut meliputi : studi

etnofarmakologi, kemotaksonomi, skrining senyawa bioaktif, kemungkinan upaya

sintesis senyawa tunggal, studi pre-klinikmaupun klinik, hingga produksi skala

1

2

besar untuk tujuan medik. Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan

untuk tujuan tersebut adalah sirih (Piper betleL.)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut : “Bagaimana membuat sediaan obat kumur antiseptik yang

dariminyak atsiri daun sirih?”.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan obat kumur antiseptik dari

minyak atsiridaunsirih(Piper betle L.).

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi ilmiah tentang

minyak atsiriyang terdapat dalam daun sirih (Piper betle L.) yang dapat digunakan

sebagai obat kumur antiseptik

1.5. Hipotesis

Dari daun sirih (Piper betle L) terdapat senyawa chavicol yang

diperkirakan dapat digunakan sebagai antiseptik dengan dibuat sediaan obat

kumur.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daun Sirih / Piper betle L.

2.1.1. Klasifikasi Ilmiah

Klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari daun sirih adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Ordo : Piperales

Family : Piperaceae

Genus : Piper

Species : P. Betle

2.1.2. Gambaran Umum

Gambar 1 Daun Sirih

Sirih merupakan tanaman menjalar dan merambat pada batang pokok di

sekelilingnya dengan daunnya yang memiliki bentuk pipih seperti gambar hati,

tangkainya agak panjang, tepi daun rata, ujung daun meruncing, pangkal daun

berlekuk, tulang daun menyirip, dan daging daun yang tipis.

3

4

Permukaan daunnya berwarna hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya

berwarna hijau tembelek atau hijau agak kecoklatan dan permukaan kulitnya kasar

serta berkerut-kerut. Sirih hidup subur dengan ditanam di atas tanah gembur yang

tidak terlalu lembab dan memerlukan cuaca tropika dengan air yang mencukupi.

Sirih merupakan tumbuhan obat yang sangat besar manfaatnya.

Secara tradisional, daun sirih telah digunakan untuk menyembuhkan mata

merah atau iritasi dengan merendam daun sirih dalam air mendidih di wadah dan

digunakan setelah air agak dingin. Daun sirih juga digunakan untuk menghentikan

perdarahan akibat mimisan dengan menggulung daun sirih menyerupai rokok dan

ujungnya yang runcing dimasukkan ke dalam lubang hidung.

Penggunaan ekstrak daun sirih untuk berkumur dianjurkan jika mukosa

mulut mengalami pembengkakan, membersihkan nafas yang berbau (halitosis)

akibat gigi gangren serta untuk menghentikan darah dan membersihkan luka

pencabutan gigi.

Dalam farmakologi Cina, sirih dikenal sebagai tanaman yang memiliki

sifat hangat dan pedas. Di India, daun sirih memegang peranan penting dalam

kebudayaan pada masyarakat Hindu. Semua upacara tradisional menggunakan

daun sirih sebagai komponen dalam upacara tersebut. Daun sirih juga sering

digunakan dalam upacara. adat perkawinan di pulau Jawa. Dalam beberapa cara

adat lain, daun sirih sering dihidangkan untuk menyambut para tamu. Daun sirih

juga dikunyah oleh sebagian masyarakat, bahkan masyarakat Vietnam

mengatakan bahwa "daun sirih mengawali percakapan" yang mengacu pada

kegiatan mengunyah daun sirih.

5

2.1.3. Kandungan Farmakologi

Daun sirih memiliki aroma yang khas yaitu rasa pedas, sengak, dan tajam.

Rasa dan aroma yang khas tersebut disebabkan oleh kavikol dan bethelphenol

yang terkandung dalam minyak atsiri. Di samping itu, faktor lain yang

menentukan aroma dan rasa daun sirih adalah jenis sirih itu sendiri, umur sirih,

jumlah sinar matahari yang sampai ke bagian daun, dan kondisi dedaunan bagian

atas tumbuhan.

Daun sirih mengandung minyak atsiri di mana komponen utamanya terdiri

atas fenol dan senyawa turunannya seperti kavikol, cavibetol, carvacrol, eugenol,

dan allilpyrocatechol. Selain minyak atsiri, daun sirih juga mengandung karoten,

tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C, tannin, gula, pati, dan asam amino.

Daun sirih yang sudah dikenal sejak tahun 600 SM ini mengandung zat antiseptik

yang dapat membunuh bakteri sehingga banyak digunakan sebagai antibakteri dan

antijamur. Hal ini disebabkan oleh turunan fenol yaitu kavikol dalam sifat

antiseptiknya lima kali lebih efektif dibandingkan fenol biasa. Selain hasil

metabolisme gula, glukan juga merupakan salah satu komponen dari jamur.

Dengan sifat antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk menyembuhkan

kaki yang luka dan mengobati pendarahan hidung / mimisan. Pada pengobatan

tradisional India, daun sirih dikenal sebagai zat aromatik yang menghangatkan,

bersifat antiseptik, dan bahkan meningkatkan gairah seksual. Kandungan tannin

pada daun sirih dipercaya memiliki khasiat mengurangi sekresi cairan pada

vagina, melindungi fungsi hati, dan mencegah diare. Sirih juga mengandung

arecoline di seluruh bagian tanaman yang bermanfaat untuk merangsang saraf

6

pusat dan daya pikir, meningkatkan gerakan peristaltik, dan meredakan

dengkuran.

Kandungan eugenol pada daun sirih mampu membunuh jamur Candida

albicans, mencegah ejakulasi dini, dan bersifat analgesik. Daun sirih juga sering

digunakan oleh masyarakat untuk menghilangkan bau mulut, mengobati luka,

menghentikan gusi berdarah, sariawan, dan menghilangkan bau badan. Daun sirih

memiliki efek antibakteri terhadap Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis,

Streptococcus viridans, Actinomyces viscosus, dan Staphylococcus aureus.

2.2. Minyak Atsiri

Daun sirih memiliki aroma yang khas yaitu rasa pedas, sengak, dan tajam.

Rasa dan aroma yang khas tersebut disebabkan oleh chavikol dan bethelphenol

yang terkandung dalam minyak atsiri. Di samping itu, faktor lain yang

menentukan aroma dan rasa daun sirih adalah jenis sirih itu sendiri, umur sirih,

jumlah sinar matahari yang sampai ke bagian daun, dan kondisi dedaunan bagian

atas tumbuhan. Daun sirih mengandung minyak atsiri di mana komponen

utamanya terdiri atas fenol dan senyawa turunannya seperti kavikol, cavibetol,

carvacrol, eugenol, dan allilpyrocatechol. Selain minyak atsiri, daun sirih juga

mengandung karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C, tannin, gula,

pati, dan asam amino. Daun sirih yang sudah dikenal sejak tahun 600 SM ini

mengandung zat antiseptik yang dapat membunuh bakteri sehingga banyak

digunakan sebagai antibakteri dan antijamur.

Hal ini disebabkan oleh turunan fenol yaitu chavikol dalam sifat antiseptiknya

lima kali lebih efektif dibandingkan fenol biasa. Selain hasil metabolisme gula,

glukan juga merupakan salah satu komponen dari jamur. Dengan sifat

antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk menyembuhkan kaki yang luka dan

mengobati pendarahan hidung/mimisan.Pada pengobatan tradisional India, daun

7

sirih dikenal sebagai zat aromatik yang menghangatkan, bersifat antiseptik, dan

bahkan meningkatkan gairah seksual.

2.3. Metode Ekstraksi

Ekstraksi pelarut menawarkan banyak kemungkinan yang menarik untuk

pemisahan analitis. Bahkan di mana tujuan primernya bukanlah analitis namun

preparatif, ekstrasi pelarut dapat merupakan suatu langkah penting dalam urutan

yang menuju ke suatu produk murninya dalam laboratorium organik, anorganik

atau biokimia. Meskipun kadang-kadang digunakan peralatan yang rumit, namun

seringkali hanya diperlukan sebuah corong pisah. Seringkali suatu permisahan

ekstrasi pelarut dapat diselesaikan dalam beberapa menit.

Ekstraksi merupakan proses pemisahan, penarikan atau pengeluaran suatu

komponen cairan/campuran dari campurannya. Biasanya menggunakan pelarut

yang sesuai dengan kompnen yang diinginkan.Cairan dipisahkan dan kemudian

diuapkan sampai pada kepekatan tertentu. Ekstraksi memanfaatkan pembagian

suatu zat terlarut antar dua pelarut yang tidak saling tercampur untuk mengambil

zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut lain.

Adapun macam-macam ekstraksi, antara lain :

a. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia

yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-terpotong

atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya

rendaman tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi yang

dikatalis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3

kali sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope

mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak

memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan

simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang

diperoleh (Voight, 1995).

8

b. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dalam wadah berbenruk silindris atau kerucut

(perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan

pengekstaksi yang dialirkan secara kontinyu dari atas, akan mengalir turun secara

lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui

penyegaran bahan pelarut secara kontinyu, akan terjadi proses maserasi bertahap

banyak. Jika pada maserasi sederhana tidak terjadi ekstraksi sempurna dari

simplisia oleh karena akan terjadi keseimbangan kosentrasi antara larutan dalam

seldengan cairan disekelilingnya, maka pada perkolasi melalui simplisia bahan

pelarut segar perbedaan kosentrasi tadi selalu dipertahnkan. Dengan demikian

ekstraksi total secara teoritis dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang dapat

diekstraksi mencapai 95%) (Voight,1995).

c.   Sokletasi

Sokletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi diletakkan

dalam kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) dibagian dalam alat

ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (perkulator). Wadah gelas yang

mengandung kantung ndiletakkan diantar labu penyulingan dengan pendingin

aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi

bahan pelarut yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik

melalui pipet yang berkodensasi didalamnya. Menetes ketas bahan yang

diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul

didalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis

dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi terakumulasi

melaui penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight, 1995).

2.4. Obat Kumur

2.1.4. Pengertian Obat Kumur

Obat kumur merupakan larutan atau cairan yang digunakan untuk

membilas rongga mulut dengan sejumlah tujuan antara lain untuk menyingkirkan

9

bakteri perusak, bekerja sebagai penciut, untuk menghilangkan bau tak sedap,

mempunyai efek terapi dan menghilangkan infeksi atau mencegah karies gigi.

Obat kumur dikemas dalam dua bentuk yakni dalam bentuk kumur dan

spray. Untuk hampir semua individu obat kumur merupakan metode yang simpel

dan dapat diterima untuk pengobatan secara topikal dalam rongga mulut.

Komposisi yang terkandung dalam obat kumur

2.1.5. Komposisi Yang Terkandung Dalam Obat Kumur

Hampir semua obat kumur mengandung lebih dari satu bahan aktif dan

hampir semua dipromosikan dengan beberapa keuntungan bagi pengguna.

Masingmasing obat kumur merupakan kombinasi unik dari senyawa-senyawa

yang dirancang untuk mendukung higiena rongga mulut. Beberapa bahan-bahan

aktif beserta fungsinya secara umum dapat dijumpai dalam obat kumur, antara

lain

1. Bahan antibakteri dan antijamur, mengurangi jumlah mikroorganisme dalam

rongga mulut, contoh: hexylresorcinol, chlorhexidine, thymol, benzethonium,

cetylpyridinium chloride, boric acid, benzoic acid, hexetidine, hypochlorous

acid .

2. Bahan oksigenasi, secara aktif menyerang bakteri anaerob dalam rongga mulut

dan busanya membantu menyingkirkan jaringan yang tidak sehat, contoh:

hidrogen peroksida, perborate

3. Astringents (zat penciut), menyebabkan pembuluh darah lokal berkontraksi

dengan demikian dapat mengurangi bengkak pada jaringan, contoh: alkohol,

10

seng klorida, seng asetat, aluminium, dan asam-asam organik, seperti tannic,

asetic, dan asam sitrat

4. Anodynes, meredakan nyeri dan rasa sakit, contoh: turunan fenol, minyak

eukaliptol, minyak watergreen

5. Bufer, mengurangi keasaman dalam rongga mulut yang dihasilkan dari

fermentasi sisa makanan, contoh: sodium perborate, sodium bicarbonate

6. deodorizing agents (bahan penghilang bau), menetralisir bau yang dihasilkan

dari proses penguraian sisa makanan, contoh: klorofil

7. deterjen, mengurangi tegangan permukaan dengan demikian menyebabkan

bahan-bahan yang terkandung menjadi lebih larut, dan juga dapat

menghancurkan dinding sel bakteri yang menyebabkan bakteri lisis. Di

samping itu aksi busa dari deterjen membantu mencuci mikroorganisme ke luar

rongga mulut, contoh: sodium laurel sulfate

Beberapa bahan inaktif juga terkandung dalam obat kumur, antara lain:

a. Air, penyusun persentasi terbesar dari volume larutan

b. Pemanis, seperti gliserol, sorbitol, karamel dan sakarin

c. Bahan pewarna

d. Flavorings agents (bahan pemberi rasa).

2.1.6. Penggunaan Alkohol Sebagai Komposisi Dalam Obat Kumur

Pada uraian di atas telah disinggung bahwa alkohol merupakan bagian

komposisi obat kumur yang berfungsi sebagai astringents (zat penciut) dengan

tujuan untuk memicu kontraksi pembuluh darah yang dapat mengurangi bengkak

11

pada jaringan. Pada umumnya obat kumur mengandung 5-25 % alkohol. Alkohol

sendiri dimasukkan ke dalam obat kumur untuk beberapa pertimbangan. Menurut

Quirynen dkk (2005) Alkohol dimasukkan dalam obat kumur dengan

pertimbangan sifat-sifat alkohol tersebut, diantaranya adalah alkohol sendiri

merupakan antiseptik dan dapat menstabilkan ramuan-ramuan aktif dalam obat

kumur. Alkohol juga dapat memperpanjang masa simpan dari obat kumur dan

mencegah pencemaran dari mikroorganisme, serta melarutkan bahan-bahan

pemberi rasa.

2.1.7. Efek Samping Alkohol Sebagai Komposisi Dalam Obat Kumur

Menurut Witt dkk, dengan adanya alkohol sebagai kandungan dari obat

kumur, akan membatasi penggunaan obat kumur tersebut untuk golongan-

golongan tertentu, antara lain anak-anak, ibu hamil/menyusui, pasien dengan

serostomia, dan golongan-golongan yang menganut keyakinan religius tertentu.2

Eldridge dkk (1998) menyatakan bahwa orang-orang dengan mukositis, pasien-

pasien yang mengalami irradiasi kepala dan leher dan gangguan sistem imunitas

tidak disarankan menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol.

Para ahli telah melaporkan dan kemudian dipublikasikan dalam Dental

Journal of Australia bahwa obat kumur yang mengandung alkohol memberi

kontribusi dalam peningkatan risiko perkembangan kanker rongga mulut.

Penelitian internasional telah memperlihatkan pada kebiasaan 3210 orang dan

dijumpai bahwa penggunaan obat kumur dengan kandungan alkohol sehari-hari

merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap perkembangan kanker rongga

12

mulut. Penelitian ini tanpa memperhatikan pengguna obat kumur tersebut perokok

atau peminum alkohol.

Resiko perokok yang mengunakan obat kumur 9 kali lebih besar, demikian

juga halnya dengan peminum alkohol yang menggunakan obat kumur risiko yang

terjadi 5 kali lebih besar, dan pada pengguna obat kumur yang tidak perokok dan

peminum alkohol, peningkatan risiko terjadinya kanker adalah 4-5 kali. Tim

peneliti dari university of Sao Paulo mengatakan bahwa produk-produk obat

kumur berkontak langsung dengan mukosa rongga mulut sebanyak pecandu

minuman beralkohol, dan dapat menyebabkan agregasi kimia dari sel-sel.

Mekanisme alkohol dalam meningkatkan risiko kanker rongga mulut

adalah melalui etanol dalam obat kumur yang berperan sebagai zat karsinogen.

Zat karsinogen berpenetrasi dalam lapisan rongga mulut dengan demikian

kerusakan terjadi. Di samping itu asetaldehid yang merupakan racun dari alkohol,

dapat berakumulasi dalam rongga mulut ketika seseorang berkumur-kumur.

Karena hal tersebut di atas risiko kanker meningkat karena senyawa ini

merupakan penyebab kanker.

13

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Peralatan yang digunakan adalah oven, Erlenmeyer, batang pengaduk,

gelas ukur, gelas kimia, pipet volume, rak tabung reaksi, tabung reaksi besar,

maserator, rotary evaporator, pipet tetes, penjepit kayu, aluminium foil, kapas,

lemari pendingin, botol timbang, krus, desikator, tang krus, loyang, kertas saring,

cawan, dan blender.

3.1.2 Bahan

1. Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun Sirih (Piper betle Folium)

2. Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan diantaranya: pereaksi Mayer,

Dragendorf, Lieberman-Burchard, FeCl3, larutan gelatin 1%, NaOH, Serbuk Zn,

H2SO4p, akuades, vanillin 10%, CH3COOH anhidrid, HCl 2N, larutan H2SO4 1%,

larutan BaCl2 1%, toluene, kloroform, etanol 96% dan etanol 70%.

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Penyiapan Bahan

1. Bahan berupa tanaman Sirih (Piper betle Folium)dalam keadaan segar

dikumpulkan dan dibersihkan dengan air;

2. Bagian daun diseleksi dan diranjang dan dikeringkan;

13

14

3. Simplisia kering dihaluskan dengan menggunakan blender, sehingga

diperoleh serbuk daun sirih;

3.2.2 Pembuatan Ekstrak Daun Sirih

1. Timbang 250 g daun sirih, kemudian dimaserasi dengan menggunakan

pelarut etanol 96% pada suhu kamar.

2. Filtrate kemudian disaring dan diuapkan dengan menggunakan rotary

evaporator hingga diperoleh ekstark kental.

3.2.3 Penapisan Fitokimia

1) Alkaloid

1. Simplisia dibasakan dengan ammonia encer, digerus dalam mortir,

2. kemudian ditambahkan beberapa milliliter klorofrom sambil terus

digeru, lalu saring.

3. Setelah disaring, filtrate dikocok dengan HCl 2N. Lapisan asam

dipisahkan, kemudian dibagi menjadi 3 bagian.

4. Bagian pertama digunakan sebagai blanko, bagian kedua ditetesi

dengan larutan pereaksi mayer, kemudian diamati ada atau tidaknya

endapan berwarna putih. Bagian ketiga ditetesi dengan larutan

pereaksi Dragendorff, kemudian diamati ada atau tidaknya endapan

berwarna jingga-coklat (Franswort, 1966)

2) Flavonoid

1. Simplisia dipanaskan dengan campuran logam Mg dan HCl 5N,

kemudian disaring.

15

2. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrate berwarna merah yang

dapat ditarik oleh amil alcohol.

3. Untuk lebih memudahkan pengamatan, sebaiknya dilakukan

percobaan blanko (Franswort, 1996)

3) Tanin dan Polifenol

1. Simplisia digerus dan dipanaskan dengan air di atas tangas air,

kemudian disaring panas-panas.

2. Sebagian kecil filtrate ditetesi larutan pereaksi FeCl3.

3. Terbentuknya warna biru-hitam menunjukan adanya tanin dan

polifenolat alam.

4. Sebagian kecil filtrate diuji dengan penambahan larutan gelatin 1%.

Adanya endapan putih menunjukan bahwa dalam simplisia terdapat

tanin (Franswort, 1996)

4) Saponin

1. Simplisia dicampur dengan air dalam tabung reaksi kemudian

dipanaskan beberapa saat di atas penangas air.

2. Setelah dingin filtrate dalam tabung reaksi dikocok kuat-kuat selama

± 30 detik.

3. Pembentukan busa sekurang-kurangnya tinggi 1 cm dan persisten

selama beberapa menit serta tidak hilang pada penambahan 1 tetes

HCl encer menunjukan bahwa dalam simplisia terdapat saponin

(Franswort, 1996)

16

5) Monoterpenoid dan seskuiterpenoid

1. Simplisia disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga

kering.

2. Pada residu diteteskan pereaksi anisaldehid-asam sulfat atau vanillin-

asam sulfat.

3. Hasil positif ditunjukan dengan terbentuknya warna-warna

(Franswort, 1996)

6) Steroid dan Triterpenoid

1. Simplisia disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga

kering.

2. Pada residu diteteskan pereaksi Liebermann-Burchard.

3. Terbentuknya warna ungu menunjukan bahwa dalam simplisia

terkandung senyawa kelompok triterpenoid, sedangkan bila

terbentuk warna hijau-biru menunjukan adanya senyawa kelompok

steroid (Franswort, 1996)

7) Kuinon

1. Simplisia digerus dan dipanaskan dengan air, kemudian disaring.

Filtrate ditetesi NaOH.

2. Terbentuknya warna kuning hingga merah menunjukan adanya

senyawa kelompok kuinon (Franswort, 1966).

17

3.2.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

1) Kromatografi Lapis Tipis

1. Siapkan peralatan yang digunakan kemudian siapkan plat KLT, pada

plat KLT buat jarak penotolan dari batas bawah plat dan bata atas.

2. Totolkan sampel pada batas bawah plat kemudian masukan pada

chamber yang berisi eluen yang telah dijenuhkan.

3. Diamkan sampai eluen mengelusi sampel sampai batas atas, angkat

plat dan ukur nilai Rf nya. Eluen yang digunakan yaitu

klorofom:etanol:asam asetat (4:1:1)

2) Bobot Jenis

1. Siapkan piknometer yang bersih dan kering kemudian timbang.

2. Isi piknometer tersebut dengan air suling kemudian keringkan bagian

luarnya dan timbang.

3. Buang air suling dan ganti dengan larutan sampel dan timbang

kembali piknometer yang berisi sampel dan suhu dan tempat yang

sama dengan penimbangan sebelumnya. Dan hitung bobot jenis dari

sampel.

3) Makroskopik

Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar

atau tanpa menggunakan alat berfungsi untuk mengetahui bentuk, bau,

warna dan rasa dari simplisia daun sirih.

4) Susut Pengeringan

18

1. Simplisia ditimbang secara seksama sebanyak 1 g sampai 2 g dan

dimasukan ke daalam botol timbang dangkal bertutup yang

sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan

telah ditara.

2. Sebelum ditimbang, simplisia diratakan dalam botol timbang,

dengan menggoyangkan botol, hingga lapisan setebal ± 5 mm – 10

mm.

3. Kemudian dimasukan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya,

keringkan pada suhu 105oC hingga bobot tetap.

4. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup

mendingin dalam desikator hingga suhu ruang (Depkes, 2008)

5) Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode destilasi toluene.

1. Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci,

bilas dengan air, kemudian keringkan dalam lemari pengering.

2. Timbang seksama sejumlah bahan yang diperkirakan mengandung 1

sampai 4 ml air, masukan ke dalam labu kering.

3. Masukan lebih kurang 200 ml toluene jenuh air ke dalam labu,

pasang rangkaian alat. Masukan toluene jenuh air ke dalam tabung

penerima melalui pendingin sampai leher alat penampung.

4. Panaskan labu hati-hati selama 15 menit sampai mendidih. Suling

dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap detik. Setelah semua air

tersuling, cuci bagian dalam tabung pendingin dengan toluene jenuh

19

air, sambil dibersihkan dengan sikat tabung. Lanjutkan penyulingan

selama 5 menit.

5. Dinginkan tabung penerima hingga suhu ruang. Jika ada tetes air

yang melekat, gosok tabung pendingin dan tabung penerima dengan

karet yang berkaitan pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi

dengan tolune hingga tetesan air turun.

6. Baca volume air dan tolune memisah sempurna. Kadar air dihitung

dalam % v/b. (Depkes, 2008)

6) Kadar Abu

a. Penetapan Kadar Abu Total

1. Timbang seksama 2-3 g bahan uji yang telah dihaluskan dan

masukan ke dalam krus silica yang telah dipijar dan ditara,

pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan dan

timbang.

2. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air

panas, aduk, saring melalui kertas saring bebas abu.

3. Pijarkan kertas saring beserta sisa penyaringan dalam krus yang

sama.

4. Masukan filtrate ke dalam krus, uapkan dan pijarkan hingga bobot

tetap.

5. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan

dalam % b/b (Depkes, 2008)

20

b. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

1. Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total, dididhkan

dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit.

2. Kumpulkan bagian yang tidak larut asam, saring melalui kertas

saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus

hingga bobot tetap.

3. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap berat

bahan uji, dinyatakan dalam % b/b (Depkes, 2008)

c. Kadar Abu Larut Air

1. Didihkan abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total

dengan 25ml air selama 5 menit.

2. Kumpulkan bagian yang larut dalam air, saring melalui kertas

saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus

hingga bobot tetap.

3. Kadar abu yang larut dalam air di hitung terhadap berat bahan uji,

dinyatakan dalam % b/b (Depkes, 2008)

7) Kadar Sari

a. Kadar Sari Larut Air

1. Timbang seksama ± 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara.

2. Masukan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 ml air jenuh

klorofrom, kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan

selama 18 jam.

21

3. Saring, uapkan 20 ml filtrate hingga kering dalam cawan

dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105oC dan ditara,

panaskan sisa pada suhu 105oC hingga bobot tetap.

4. Hitung kadar dalam % larut air (Depkes, 2008)

b. Kadar Sari Larut Etanol

1. Timbang ± 5 g serbuk yang telah dikeringkan diudara.

2. Masukkan dalm labu bersumbat, tambahkan 100 ml etanol

95%p, kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan selama

18 jam.

3. Saring cepat untuk menghindarkan penguapan etanol, uapkan 20

ml filtrate hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar

yang telah dipanaskan 105oC dan ditara, panaskan sisa pada

suhu 105oC hingga bobot tetap.

4. Hitung kadar dalam % sari larut etanol (Depkes, 2008)

3.2.5 Formulasi Sediaan Obat Kumur

Nama Zat Jumlah (%) Fungsi

Ekstrak daun salam 5 Antibakteri

Na. Lauryl sulfate 1 Deterjen

Sodium bicarbonate 1.39 Buffer

Gliserin 20 Pemanis

Etanol (70%) 10 Adstringents

Ol. Menthae qs Flavour agent

Aquadest ad 80 ml Pelarut

22

Prosedur pembuatan obat kumur yaitu,

1. Siapkan alat yang akan digunakan dan semua bahan ditimbang sesuai

dengan yang diperlukan.

2. Kemudian larutkan na. lauryl sulfate dengan aq dest ad larut, lalu

sisihkan.

3. Larutkan gliserin dengan aq dest ad larut lalu sisihkan.

4. Larutkan sodium bicarbonate dengan aqua dest ad larut lalu sisihkan.

5. Campur dan masukkan bahan-bahan yang telah dilarutkan ke dalam

erlemeyer, tambahkan ekstrak daun salam, kocok, lalu saring ke dalam

wadah botol, kemudian tambahkan etanol (70%), dan tambahkan ol.

Menthae, lalu tutup botol dengan rapat, lakukan evaluasi.

3.2.6 Evaluasi Sediaan Obat Kumur

1. Uji Organoleptis

Evaluasi yang dilakukan yaitu dengan melakukan pengamatan sediaan

pasta secara kulitatif yaitu bau, warna, dan rasa sediaan.

2. Uji pH

Untuk mengukur pH digunakan kertas pH indikator universal.

Penggunaan pH indikator yakni dengan mengoleskan langsung pada sediaan

obat kumur. Maka akan terjadi perubahan warna dan dicocokkan dengan

standar warna pada pH tertentu.

3. Uji Kerjernihan

Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh seseorang

yang memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan cahaya yang

baik, terhalang terhadap refleksi ke dalam matanya, dan berlatar belakang

hitam dan putih, dengan rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi memutar,

harus benar-benar bebas dari partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata.

4. Uji Penimbulan Busa

23

Tuang 5 ml larutan ke dalam tabung reaksi.Tutup atas tabung dengan

jari tangan, lalu kocok sebanyak 25 kali. Amati busa yang terjadi selama 30

menit untuk menilai kestabilan busanya.

5. Pola dinamolisis

Kertas saring yang berdiameter 10 cm titik pusatnya dilubangi,

kemudian dipasang sumbu yang terbuat dari kertas saring. Kertas saring

bersumbu ini kemudian ditutupkan pada cawan petri yang berisi ekstrak cair

biarkan terjadi proses difusi sirkular selama ± 10 menit. Amati dinamolisi yang

terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

24

Elfahmi, 2006. Phytochemical and Biosynthetic Studies of Lignans with a Focus

on Indonesian Medicinal Plants. Rijksuniversiteit Groningen

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Penerjemah : Padma Winata, k. dan

Soediro. ITB. Bandung

Popy et al. 2007.Skrining dan Isolasi Senyawa aktif Lignan dari Beberapa

Tumbuhan Genus Phyllanthus.[skripsi]. Sekolah Tinggi Farmasi ITB :

Bandung.

Sloane, Ethel, 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk pemula. Penerbit buku

kedokteran EGC. Jakarta.

Tjitrosopemo, Gembong. 2009. Morfologi Tumbuhan. UGM Press, Yogyakarta.

Voight. R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh

Soendari Noerono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

24