BAB II 2003

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Tingkat Pendidikan 2.1.1Pengertian Pendidikan Dalam kamus bahasa indonesia pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik) yaitu: memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses pembuatan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan manusia yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Tujuan pendidikan yaitu: (1) Mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat dan konsep-konsep (2) Mengubah sikap dan persepsi (3)

Transcript of BAB II 2003

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tingkat Pendidikan

2.1.1 Pengertian Pendidikan

Dalam kamus bahasa indonesia pendidikan berasal dari kata

dasar didik (mendidik) yaitu: memelihara dan memberi latihan

(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan

sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan,

proses pembuatan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara

mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan

budi pekerti, pikiran serta jasmani agar dapat memajukan

kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan manusia yang

selaras dengan alam dan masyarakatnya. Tujuan pendidikan yaitu:

(1) Mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat dan konsep-

konsep (2) Mengubah sikap dan persepsi (3) Menanamkan tingkah

laku atau kebiasaan yang baru (Notoatmojo, 2007).

Di indonesia terdapat pendidikan formal dan non formal

dimana fungsi pendidikan tersebut adalah membuat manusia bisa

dalam 3 aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kognitif

berkaitan dengan wawasan dan pengetahuan atau pemahaman

terhadap suatu masalah, afektif terkait dengan sikap dan

pandangan terhasap suatu masalah, sedangkan psikomotorik

terkait dengan aspek perilaku atau perbuatan terhadap suatu

masalah.

Ijazah tertinggi yang dimiliki pendudukan merupakan

indikator pokok kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah

yang dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara mencerminkan

semakin tingginya taraf intelektualitas bangsa dari negara

tersebut.

2.1.2 Tujuan Pendidikan

Berdasarkan Tap.MPR No.II/MPR/1993, tentang GBHN

dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan

ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,

keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat

kepribadian dan memepertinggi semangat kebangsaan agar

tumbuh manusia-manusia pembangun yang dapat membangun

dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas empat

yaitu: (1) tujuan umum pendidikan nasional yaitu untuk

membentuk manusia pancasila (2) tujuan institusional yaitu tujuan

yaang menjadi tugas dari lembaga pendidikan tertentu untuk

mencapainya (3) tujuan kurikuler yaitu tujuan bidang studi atau

mata pelajaran (4) tujuan intruksional yaitu tujuan materi

kurikulum yang berupa bidang studi terdiri dari pokok bahasan

dan sub pokok bahasan, terdiri atas tujuan intruksional umum dan

tujuan intruksional khusu (Tirtarahardja, 1994).

2.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan

Pada hakekatnya pendidikan merupakan proses yang

berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam lingkungan

keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan

adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan

pemerintah. Pendidikan menurut pelaksanaannya dibagi menjadai

pendidikan formal/sekolah dan pendidikan non formal/luar sekolah.

Pembagian pendidikan tersebut sebagai berikut: (1) pendidikan

informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dirumah

dalam lingkungan keluarga (2) pendidikan formal adalah

pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu (3)

pendidikan non formal.

Menurut Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 2 tahun

1989 pasal 10) mengemukakan bahwa pendidikan terbagi atas: (1)

pendidikan persekolahan yang mencakup terbagi jenjang

pendidikan dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai perguruan

tinggi (2) pendidikan luar sekolah terbagi atas (a) pendidikan non

formal. Mencakup lembaga pendidikan diluar sekolah, misalnya

kursus, seminar, kejar paket A (b) pendidikan informal. Mencakup

pendidikan keluarga, masyarakat dan program-program sekolah,

misalnya ceramah di radio atau di televisi dan informasi yang

mendidik dalam surat kabar atau majalah. Pendidikan formal yang

sering disebut pendidikan persekolahan, beruba rangkainan

jenjang pendidikan yang telah baku mulai jenjang sekolah dasar

sampai perguruan tinggi (Tirtaraharja, 1994, dalam Putri, 2011).

Ciri-ciri pendidikan formal yaitu: (1) adanya perjenjangan (2)

program untuk mengajar di sekolah juga formal (3) cara atau

metode mengajar di sekolah juga formal (4) penerimaan murid (5)

homogenitas murid (6) jangka waktu (7) kewajiban belajar (8)

penyelenggaraan (9) waktu belajar (10) uniformitas. Dari uraian

diatas jenjang persekolahan atau tingkat-tingkat yang ada pada

pendidikan formal dimengerti bahwa pendidikan merupakan

proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu setiap jenjang atau

tingkat pendidikan itu harus dilaksanakan secara tertib, dalam arti

tidak bisa terbalik penempatannya. Setiap jenjang atau tingkatan

mempunyai tujuan dan meteri pelajaran yang berbeda. Perbedaan

luas dan kedalaman materi ajaran tersebut jelas akan membawa

pengaruh terhadap kualitas lulusannya, baik ditinjau dari segi

pengetahuan, kemampuan, sikap, maupun kepribadiannya. Jadi

dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan formal adalah sebagaimana yang terjadi di sekolah,

yang diselanggarakan secara teratur, sistematis dan mengikuti

berbagai syarat dan peraturan yang di tentukan oleh pemerintah.

2.1.4 Jenjang Pendidikan

1. Pendidikan dasar

Pendidikan dasar memberikan bekal dasar yang

diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa

pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan

dasar. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan

pendidikan yang memberikan bekal dasar bagaimana

kehidupan, baik untuk pribadi maupun masyarakat.

2. Pendidikan menengah

Pendidikan menengah yang lamanya 3 tahun sesudah

pendidikan dasar diselengarakan di SLTA atau satuan

pendidikan yan gsedrajat. Pendidikan menengan dalam

hubungan kebawah berfungsi sebagai lanjutan dan

perluasan dasar dan dalam hubungan keatas

mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan

tinggi maupun memasuki lapangan kerja. Pendidikan

menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan

kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan,

serta pendidikan keagamaan.

3. Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan

menengah yang diselenggarakan, untuk menyiapkan

perserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki

kemampuan akademikatau profesional yang dapat

menerapkan, mengembangkan, atau menciptakan ilmu

pengetahuan, teknologi dan kesenian. Satuan pendidikan

yang menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut

perguruan tinggi yang berbentuk akademik, politeknik,

sekolah tinggi, institut atau universitas (Tirtarahardja,

1994, dalam Putri, 2011). Tingkat pendidikan akan

mengubah sikap dan cara berpikir ke arah yang lebih

baik, dan juga tingkat kesadaran yang tinggi akan

memberikan kesadaran lebih tinggi berwarga negara

serta memudahkan bagi pengembangan.

2.1.5 Segi Pendidikan

Pembagian segi-segi pendidikan menurut M. Purwanto,

(2001), adalah sebagai berikut: (1) pendidikan jasmani ini bukan

merupakan badan tetapi merupakan pendidikan yang erat

kaitannya pada pertumbuhan dan kesehatan (2) pendidikan rohani

meliputi: (a) pendidikan kecakapan merupakan pendidikan yang

bertujuan untuk mengembangkan daya pikir dan menambah

pengetahuan (b) pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang

bertujuan untuk membiasakan taat dan patuh menjalankan ibadah

dan bertingkah laku sesuai dengan masing-masing agama (c)

pendidikan kesusilaan, tujuan dari pendidikan ini tidak hanya

mendidik agar bertingkah laku secara sopan, lemah lembut, taat

dan brbakti kepada orang tua (d) pendidikan keindahan ini

bertujuan supaya dapat merasakan dan selalu ingin bertindak sert

berbuat norma-norma keindahan (e) pendidikan kemasyarakatan

tujuan pendidikan ini adalah: (1) menjadikan agar tahu akan ahak

dan kewajiban terhadap bermacam-macam golongan di masyarakat

(2) membiasakan berbuat dan mematuhi semua tugas dan

kewajiban sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dari

pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan bekal tingkat

pendidikan yang cukup dan memadai diharapkan akan

memperbesar produktivitas kerja.

2.2 Konsep Pelatihan

2.2.1 Pengertian Pelatihan

Pelatihan merupakan proses secara sistematik bagi individu

untuk mendapatkan dan mengembangkan keterampilan dan

pengetahuan yang dibutuhkan untuk kinerja yang lebih baik, Baron

dan Greenberg, 2000. Sedangkan menurut Bernardin, 2003

menyatkan bahwa pelatihan merupakan upaya untuk

mengembangkan kinerja staf dalam pekerjaanya atau yang

berhubungan dengan pekerjaannya. Menurut Geoge dan Jones,

2002, menyatkan bahwa pelatihan memiliki makna sfektif untuk

meningkatkan kemampuan karyawannya.

Pelatihan merupakan bagian pendidikan yang menyangkut

proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan

di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam relatif singkat.

Keterampilan yang dimaksud dalam hal ini adalah keterampilan

dalam berbagai bentuk antara lain physical skill, intelectual skill,

social skill, dan managerial skill (Rivai & Sagala, 2009). Pelatihan

juga merupakan teknik yang dipilih untuk meningkatkan kualitas,

efisiensi, dan kinerja staf. Marquis & Huston (2006)

mendefinisikan pelatihan sebagai metode yang terorganisir untuk

memastikan bahwa individu memiliki pengetahuan dan

keterampilan tertentu dan mereka memperoleh pengetahuan yang

baik mengenai kewajiaban dalam pekerjaannya. Pengetahuan

tersebut dapat meningkatkan kemampuan afektif, motor dan

kognitif sehingga akan memperoleh suatu peningkatan

produktifitas atau hasil yang baik.

Baron & Greenberg (2000) menyatakan bahwa pelatihan

digunakan untuk menyiapkan karyawan baru menghadapi

tantangan dalam pekerjaannya. Pelatihan juga dapat meningkatkan

keterampilan karyawan yang telah ada. Robbins (2003)

menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah model yang

bertujuan untuk mengambil perhatian peserta terhadap apa yang

dipelajari, memberikan kesempatan untuk mempraktekkan

perilaku yang baru, serta memberikan penghargaan positif

terhadap prestasi karyawan. Dessler (1997) menyatakan bahwa

dewasa ini pelatihan tidak hanya ditujukan untuk mempersiapkan

agar staf menjadi efektif, akan tetapi juga bertujuan untuk

penguasaan dan penerapan tugas secara khusus.

Marquis & Huston (2006) menyatakan bahwa program

pengembangan staf melalui pelatihan dan pendidikan merupakan

program yang efektif untuk meningkatkan produktifitas perawat.

Cahyono (2008) menyatakan bahwa dampak kegiatan kognitif

diperoleh seseorang melalui pelatihan adalah berupa proses

pengambilan keputusan yang semakin baik sehingga seseorang

akan terhindar untuk melakukan kesalahan. Hal ini berarti bahwa

kontribusi kegiatan kognitif karena pelatihan yang diikuti

seseorang dapat juga berdampak pada penurunan potensi tuntutan

karena pelanggaran kode etik, disiplin dan hukum.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

pelatihan merupakan proses sistematik dan terorganisir untuk

mempengaruhi produktifitas, kinerja dan pekerjaan staf secara

objektif serta penguasaan suatu hal yang khusus yang menjadi

kewajiban dari pekerjaan yang dimiliki oleh staf.

2.2.2 Manfaat Pelatihan

Pelatihan secara umum berhubungan dengan proses belajar

mengarah pada perubahan perilaku. Spence (1956, dalam

Morrison, 1991) menyatakan bahwa teori belajar melalui pelatihan

yang berorientasi pada perilaku dikembangkan untuk melakukan

analisa formal dalam perubahan perilaku tersebut. Terdapat dua

metode prinsip dalam teori belajar yaitu intruksi verbal dan

demonstrasi. Aspek penting pada kemampuan belajar ini terkait

dengan bentuk hasil pengetahuan yang diberikan. Teori law of

response by analogy yang dikemukakan oleh thorndike dalam

Suryabrata (2008) menyatakan mengenai kecendrungan individu

untuk bereaksi dan menampilkan respon terhadap hal tertentu

yang dihadapinya. Reaksi yang terjadi dari intervensi pelatihan

yang diberikan dapat diharapkan sebagai pendorong tercapainya

kemampuan yang optimal.

Pengembangan staf yang sering dihubungkan dengan

pelatihan mengarah pada adanya manfaat desain pembelajaran

dalam pelatihan untuk membantu pertumbuhan staf. Pelatihan

efektif yang adalah pelatihan yang mencakup dan

mempertimbangkan pengalaman belajar, menajdi aktifitas

terencana dari organisasi serta didesain sebagai respon terhadap

suatu kebutuhan. Untuk itu seharusnya organisasi menawarkan

program pelatihan yang bervariasi untuk menemukan dan

memenuhi kebutuhan organisasi akan hal tersebut. Sejalan

dengan hal ini Mc. Cutcheon et. Al. (2006) merekomendasikan

bahwa sdm keperawatan memiliki kebutuhan yang besar untuk

mendapatkan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam

berbagai jenjang untuk mendukung penerapan keselamatan

pasien.

Pelatihan memiliki nilai kemanfaatan yang sangat besar baik

dari aspek staf maupun organisasi. Rivai & sagala (2009),

menyatakan bahwa transfer ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh

staf dalam pekerjaannya berhubungan dengan kinerja staf

selanjutnya. Selain itu manfaat dari pelatihan dan pengembangan

terhadap organisasi adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas

output, menurunkan biaya limbah dan perawatan, menurunkan

jumlah dan biaya kecelakaan, dan meningkatkan kepuasan kerja.

Manfaat lain yang diperoleh staf melalui pelatihan adalah berupa

tanggung jawab dan prestasi yang lebih dapat diinternalisasi,

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta

membantu menghilangkan rasa takut menghadapi tugas baru.

Sikap yang lebih positif terhadap orientasi yang akan dicapai oleh

organisasi dan sikap moral yang lebih baik juga dirasakan sebagai

manfaat oleh organisasi.

Marquis dan huston (2006) menyatakan bahwa seseorang

akan belajar lebih cepat jika mereka memperoleh informasi

mengenai perkembangannya salam proses belajar dengan

mempertimbangkan bahwa individu perlu menyadari

perkembangannya. Gillies (1994) menyatakan bahwa pembelajaran

dalam pelatihan merupakan fenomena aktif daripada pasif. Hal

pembelajaran dalam pelatihan juga akan lebih efektif jika staf

diberikan kesempatan untuk menerapkan fungsi tertentu.

Staf yang mendapatkan pelatihan perlu diberikan umpan

balik atau hasil pengetahuan yagn diperoleh dari pelatihan yang

diterima agar staf dapat mengembangkan kinerjanya dengan lebih

baik (bernardin, 2003). Fakta yang ada memperlihatkan bahwa

adanya pelatihan dipandang secara positif oleh staf. Bernardin

(2003) menuliskan survey yang menunjukkan rata-rata dua pertiga

staf memandang bahwa pelatihan yang diterima staf bermanfaat

dan membantu kinerja staf dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya.

2.3 Konsep Lama Kerja

2.3.1 Pengertian Lama Kerja

2.4 Konsep Tingkat Kepuasan Pasien

2.4.1 Pengertian Kepuasan Pasien

Menurut, Sumarwan, (2003), menyatakan bahwa kepuasan

adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan

hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang

dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.

Musanto (2004) mengatakan bahwa kepuasan atau

ketidakpuasan adalah respon pelanggan terhadap evolusi

ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan

kinerja aktual produk yang dirasakan

Kepuasan pasien adalah tingkat kepusan dari persepsi pasien

dan keluarga terhadap pelayanan kesehatan dan merupakan salah

satu indikator kinerja rumah sakit. Bila pasien menunjukkan hal-

hal yang bagus mengenai pelayanan kesehatan terutama

pelayanan keperawatan dan pasien mengindikasikan dengan

perilaku positifnya, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa pasien

memang puas terhadap pelayanan tersebut (Purnomo, 2002).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kepuasan pasien adalah suatu tanggapan atau respon yang

diberikan oleh pasien setelah membandingkan antara harapan-

harapan pasien dengan apa yang dialami atau diperoleh pasien

terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat. Apabila

hasil yang dirasakan oleh pasien sesuai dengan harapannya maka

pasien akan merasakan kepuasan yang tinggi, sebaliknya jika hasil

yang dirasakan oleh pasien tidak sesuai dengan harapannya maka

pasien akan merasa kecewa dan tidak puas sehingga pasien tidak

akan menggunakan jasa pelayanan di rumah sakit yang sama

ketika pasien tersebut diharuskan menjalani perawatan medis.

2.4.2 Tujuan Tingkat Kepuasan

Menurut, Hadisugito, (2005), pengukuran tingkat kepuasan

pelanggan adalah untuk dapat segera mengetahui faktor-faktor

yang membuat para pelanggan tidak puas, dapat segera diperbaiki,

sehingga pelanggan tidak kecewa.

2.4.3 Aspek-Aspek Kepuasan Pasien

Menurut, Sabarguna, (2004), kepuasan yang dirasakan oleh

pasien merupakan aspek yang sangat penting bagi kelangsungan

kerja suatu rumah sakit. Kepuasan pasien adalah nilai subjektif

terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Penilaian subjektif

tersebut didasarkan pada pengalaman masa lalu, pendidikan,

situasi psikis waktu itu, dan pengaruh lingkungan pada waktu itu.

2.4.4 Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Menurut, Sabarguna, (2004), ada beberapa aspek yang

mempengaruhi kepuasan pasien, yaitu:

a. Aspek kenyamanan, meliputi lokasi rumah sakit,

kebersihan rumah sakit, kenyamanan ruangan yang akan

digunakan pasien, makanan yang dimakan pasien, dan

peralatan yang tersedia dalam ruangan.

b. Aspek hubungan pasien dengan petugas rumah sakit,

meliputi keramahan petugas rumah sakit terutama

perawat, informasi yang diberikan oleh petugas rumah

sakit, komunikatif, respontif, suportif, dan cekatan dalam

melayani pasien.

c. Aspek kompetensi teknis petugas, meliputi keberanian

bertindak, pengalaman, gelar, dan terkenal.

d. Aspek biaya, meliputi mahalnya pelayanan, terjangkau

tidaknya oleh pasien, dan ada tidaknya keringanan yang

diberikan kepada pasien.

2.4.5 Kepuasan Pasien Ditinjau dari Kualitas Pelayanan

Perawat

Kualitas pelayanan merupakan merupakan salah satu faktor

yang sangat penting dalam usaha menciptakan kepuasan yang

dirasakan oleh pasien selaku pengguna jasa pelayanan rumah

sakit. Pelayanan yang berkualitas di rumah sakit adalah dengan

memberikan pelayanan kepada pasien yang didasarkan pada

standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien

sehingga diperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan

kepercayaan pasien terhadap rumah sakit. Perawat dituntut untuk

memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien selama

mereka dirawat di rumah sakit. Jika pelayanan yang diterima

pasien memenuhi harapan pasien, maka kualitas pelayanan yang

diberikan perawat baik. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima

pasien lebih rendah dari harapan pasien, maka kualitas pelayanan

yang diberikan perawat buruk (Sabarguna, 2004).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa

kepuasan yang dirasakan oleh pasien didapat dari kualitas jasa

yang diberikan oleh rumah sakit, salah satunya adalah pelayanan

yang diberikan oleh perawat dengan memperhatikan apa yang

menjadi keinginan, kebutuhan, dan harapan dari pasiennya

2.4.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Menurut Budiastuti, (2002), mengemukakan bahwa pasien

dalam mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang

diterima mengacu pada beberapa faktor, yaitu:

1. Kualitas produk atau jasa

Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka

menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan

berkualitas. Persepsi konsumen terhadap kualitas produk

atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan

kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan

komunikasi perusahan terutama iklan dalam

mempromosikan rumah sakit nya. Dalam hal pelayanan di

rumah sakit aspek klinis, yaitu komponen yang

menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait

dengan teknis medis adalah produk atau jasa yang dijual

(Lusa, 2007).

2. Kualitas pelayanan

Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam

industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa

puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau

sesuai dengan yang diharapkan. Mutu pelayanan

kesehatan yang dapat menimbulkan tingkat kepuasan

pasien dapat bersumber dari faktor yang relatif sefesifik,

seperti pelayanan rumah sakit, petugas kesehatan, atau

pelayanan pendukung (Woodside, 1989).

3. Faktor emosional

Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain

kagum terhadap konsumen bila dalam hal ini pasien

memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan

“rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat

kepuasan yang lebih tinggi. Selain itu, pengalaman juga

berpengaruh besar terhadap emosional pasien terhadap

suatu pelayanan kesehatan (Robert dan Richard, 1991).

4. Harga

Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting

dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan

pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi

pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin

mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan

yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas

sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih

tinggi pada pasien.

5. Biaya

Biaya dapat dijabarkan dalam pertanyaan kewajaran

biaya, kejelasan komponen biaya, biaya pelayanan,

perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya,

tingkat masyarakat yang berobat, ada tidaknya

keringanan bagi masyarakat miskin,dan sebagainya.

Selain itu, efisiensi dan efektivitas biaya, yaitu pelayanan

yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosa dan terapi

yang berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam

menetapkan biaya perawatan, Lusa, (2007).

2.4.7 Pengukuran Tingkat Kepuasan

Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting

dalam penyediaan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan

lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu

pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat

dipastikan tidak efektif dan efisien. Tingkat kepuasan pelanggan

terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam

pengembangan suatu system penyediaan pelayanan yang tanggap

terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu

serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi dan

sasaran (Hadisugito, 2005).

2.4.8 Beberapa Macam Metode Dalam Pengukuran Kepuasan

Pelanggan :

Menurut Kotler, (2003), ada beberapa macam metode dalam

pengukuran kepuasan pelanggan, diantaranya:

a. Sistem keluhan dan saran

Organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer

oriented) memberikan kesempatan yang luas kepada para

pelanggannya untuk menyampaikan saran dan keluhan.

Misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu

komentar, dan hubungan telepon langsung dengan

pelanggan.

b. Ghost shopping

Mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau

bersikap sebagai pengguna potensial, kemudian

melaporkan temuannya mengenai kekuatan dan

kelemahan produk rumah sakit dan pesaing berdasarkan

pengalaman mereka.

c. Lost customer analysis

Rumah sakit seyogianya menghubungi para pelanggan

yang telah berhenti menggunakan jasa pelayanan agar

dapat memahami mengapa hal itu terjadi.

d. Survei kepuasan pelanggan

Penelitian survei dapat melalui pos, telepon dan

wawancara langsung. Responden juga dapat diminta

untuk mengurutkan berbagai elemen penawaran

berdasarkan derajad pentingnya setiap elemen dan

seberapa baik perusahaan dalam masing-masing elemen

(importanse/performance ratings). Melalui survei

perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik

secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan

tanda positif bahwa rumah sakit menaruh perhatian

terhadap para pengguna jasa pelayanannya.

Pengumpulan data survei kepuasan pasien dapat

dilakukan dengan berbagai cara tetapi pada umumnya

dilakukan melalui kuesioner dan wawancara. Adapun

penggunaan kuesioner adalah cara yang paling sering

digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan,

seperti proses yang mudah dan murah, menghasilkan data

yang telah terstandarisasikan, dan terhindar dari bias

pewawancara (Pohan, 2006).

2.4.9 Manfaat Pengukuran Kepuasan

Menurut Gerson, (2004), manfaat utama dari program

pengukuran adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti

dan objektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat

bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkan

dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan

untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut.

Ada beberapa manfaat pengukuran kepuasan antara lain sebagai

berikut :

a. pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil

dan berprestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi

pelayanan yang prima kepada pelanggan.

b. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar

kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai, yang

akan mengarahkan mereka menuju mutu yang semakin

baik dan kepuasan pelanggan yang meningkat.

c. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada

pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang

mengukur kinerja pelaksana atau yang memberi

pelayanan.

d. Pengukuran memberi tahu apa yang harus dilakukan

untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan

bagaimana harus melakukannya. Informasi ini juga bisa

datang dari pelanggan.

e. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan

mencapai tingkat produktivitasnya yang lebih tinggi.

2.4.10 Klasifikasi Kepuasan

Menurut Gerson (2004), untuk mengetahui tingkat kepuasan

pelanggan dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan

sebagai berikut:

a. Sangat memuaskan

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian

perasaan pasien yang menggambarkan pelayanan

kesehatan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai

kebutuhan atau keinginan pasien, seperti sangat bersih

(untuk prasarana), sangat ramah (untuk hubungan

dengan dokter atau perawat), atau sangat cepat (untuk

proses administrasi), yang seluruhnya menggambarkan

tingkat kualitas pelayanan yang paling tinggi.

b. Memuaskan

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian

perasaan pasien, yang menggambarkan pelayanan

kesehatan tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai

kebutuhan atau keinginan seperti tidak terlalu bersih

(untuk sarana), agak kurang cepat (proses administrasi),

atau kurang ramah, yang seluruhnya ini menggambarkan

tingkat kualitas yang kategori sedang.

c. Tidak memuaskan

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian

perasaan pasien rendah, yang menggambarkan pelayanan

kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan seperti

tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak lambat (untuk

proses administrasi), atau tidak ramah.

d. Sangat tidak memuaskan.

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian

perasaan pasien yang rendah, menggambarkan

pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau

keinginan seperti tidak bersih (untuk sarana), lambat

(untuk proses administrasi), dan tidak ramah. Seluruh

hal ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori

paling rendah.

2.4.11 Pedoman Pengukuran Pada Skala Tingkat

Kepuasan

Menurut Utama, (2003), pedoman pada skala pengukuran

yang dikembangkan likert dikenal dengan istilah skala likert,

kepuasan pasien dikategorikan menjadi, sangat puas, agak puas,

dan tidak puas. Kategori ini dapat dikuantifikasi misalnya ; sangat

puas bobotnya 3, agak puas bobotnya 2, dan tidak puas bobotnya

1.

2.5 Konsep Pelayanan Keshetan Masyarakat (Puskesmas)

2.5.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan Masyarakat

(Puskesmas)

Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/II/2004

menyatakan bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas

adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan

pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Departemen

Kesehatan, 2004). Sebagai UPT dari Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota (UPTD), Puskesmas berperan menyelenggarakan

sebagian tugas teknis operasional Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama

serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.

Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan

oleh bangsa Indonesia, untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud

derajat jesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya

pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota sesuai dengan kemampuannya (Depkes, 2004).

2.5.2 Wilayah Kerja Puskesmas

Secara nasional ditetapkan bahwa standart wilayah kerja

Puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila di suatu

kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka

tanggungjawab wilayah kerja dibagi di antara puskesmas tersebut

dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (Desa/Kelurahan

atau Rukun Warga). Masing-masing puskesmas tersebut secara

operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota (Depkes, 2004).

2.5.3 Visi

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju

terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran

masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui

pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam

lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk

menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan

merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4

indikator utama yakni: (1) Lingkungan sehat, (2) Perilaku sehat, (3)

Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, (4) Derajat

kesehatan penduduk kecamatan. Rumusan visi untuk masing-

masing puskesmas harus mengacu pada visi pembangunan

kesehatan puskesmas di atas yakni terwujudnya Kecamatan Sehat,

yang harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta

wilayah kecamatan setempat.

2.5.4 Misi

Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan

kesehatan nasional. Misi tersebut adalah:

1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah

kerjanya. Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan

sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar

memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang

tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-

tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.

2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan

masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu

berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat

tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan,

melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju

kemandirian untuk hidup sehat.

3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan

keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan

kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan

masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan

serta meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat

dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga

dan masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu

berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah

dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan

perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan

yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi

dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan

yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan

dari yang bersangkutan.

2.5.5 Fungsi Puskesmas

Adapun fungsi dari puskesmas ialah :

1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau

penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh

masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga

berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di

samping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan

dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program

pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk

pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas

adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan

pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan.

2. Pusat pemberdayaan masyarakat.

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama

pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk

dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan

melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat,

berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan

kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,

menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program

kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan

masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan

kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat

setempat.

3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan

kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama

yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi:

a. Pelayanan kesehatan perorangan: Pelayanan kesehatan

perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi

(private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan

penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa

mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan

penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat

jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan

rawat inap.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat: Pelayanan kesehatan

masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public

goods) dengan tujuan utama memelihara dan

meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa

mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan

kesehatan.Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut

antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,

penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan

kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa

serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.

2.5.6 Upaya Penyelenggaraan Puskesmas

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui

puskesmas, yakni terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia

Sehat, puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya

kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang

keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan

pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut

dikelompokkan menjadi dua yakni:

1. Upaya Kesehatan Wajib

Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang

ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global

serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan

derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus

diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah

Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah: (1) Upaya

Promosi Kesehatan, (2) Upaya Kesehatan Lingkungan, (3)

Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana, (4)

Upaya Perbaikan Gizi, (5) Upaya Pencegahan dan

Pemberantasan Penyakit Menular, (6) Upaya Pengobatan.

2. Upaya Kesehatan Pengembangan

Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya

yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang

ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan

kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan

dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang

telah ada, yakni: (1)Upaya Kesehatan Sekolah, (2) Upaya

Kesehatan Olah Raga, (3) Upaya Perawatan Kesehatan

Masyarakat, (4) Upaya Kesehatan Kerja, (5) Upaya Kesehatan

Gigi dan Mulut, (6) Upaya Kesehatan Jiwa, (7) Upaya Kesehatan

Mata, (8) Upaya Kesehatan Usia Lanjut, (9) Upaya Pembinaan

Pengobatan Tradisional.

Apabila puskesmas belum mampu menyelenggarakan

upaya kesehatan pengembangan, padahal menjadi kebutuhan

masyarakat, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

bertanggunjawab dan wajib menyelenggarakannya. Untuk itu

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu dilengkapi dengan

berbagai unit fungsional lainnya. Dalam keadaan tertentu,

masyarakat membutuhkan pula pelayanan rawat inap. Untuk

ini di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan rawat inap

tersebut, yang dalam pelaksanaannya harus memperhatikan

berbagai persyaratan tenaga, sarana dan prasarana sesuai

standar yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, di beberapa daerah

tertentu telah muncul pula kebutuhan masyarakat terhadap

pelayanan medik spesialistik. Dalam keadaan ini, apabila ada

kemampuan, di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan

medik spesialistik tersebut, baik dalam bentuk rawat jalan

maupun rawat inap. Keberadaan pelayanan medik spesialistik

di puskesmas hanya dalam rangka mendekatkan pelayanan

rujukan kepada masyarakat yang membutuhkan. Status dokter

dan atau tenaga spesialis yang bekerja di puskesmas dapat

sebagai tenaga konsulen atau tenaga tetap fungsional

puskesmas yang diatur oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setempat (Depkes RI, 2004).