bab 3.doc

11
3 KUSIMPAN CEMBURU Ini yang namanya undian. Nasib adalah pemegang kunci. Maka dalam undian itu, maju pertama itu risiko. Meskipun jurinya obyektif. Kalau baru untung bisa dapat nilai bagus. Jika apes, sekalipun penampilan baik, nilainya bisa jelek. Sebab, dewan juri sendiri belum menemukan perbandingan. Meski ada kriteria yang obyektif, tetapi subyektivitas tidak bisa lepas begitu saja. Juri baru bisa obyektif sesuai standar, setelah melihat perbandingan. Inilah risiko ujian lisan, pikir Sanita maupun Nuri. Menyadari hal itu keduanya saling iri untuk maju terlebih dulu. Sudah beberapa menit keduanya hanya saling tunjuk. Pak Setyo mengambil inisiatif. Dia mengambil kertas sengaja dipotong kecil. Dua nomor ditulis kemudian digulung. “Sekarang kalian pilih sendiri. Mana yang mendapat nomor satu harus maju dulu!” tegasnya sambil menyodorkan lipatan kertas kepada Nuri dan Sanita. Nuri segera mengambil, disusul Sanita. Dengan membaca basmalah, keduanya membuka nomor undian. Nuri langsung mengeluh, begitu matanya melihat nomor satu. Sedangkan Sanita melonjak gembira mendapat nomor urut dua. 18

Transcript of bab 3.doc

bab 3

3

KUSIMPAN CEMBURU

Ini yang namanya undian. Nasib adalah pemegang kunci. Maka dalam undian itu, maju pertama itu risiko. Meskipun jurinya obyektif. Kalau baru untung bisa dapat nilai bagus. Jika apes, sekalipun penampilan baik, nilainya bisa jelek. Sebab, dewan juri sendiri belum menemukan perbandingan. Meski ada kriteria yang obyektif, tetapi subyektivitas tidak bisa lepas begitu saja. Juri baru bisa obyektif sesuai standar, setelah melihat perbandingan. Inilah risiko ujian lisan, pikir Sanita maupun Nuri.

Menyadari hal itu keduanya saling iri untuk maju terlebih dulu. Sudah beberapa menit keduanya hanya saling tunjuk. Pak Setyo mengambil inisiatif. Dia mengambil kertas sengaja dipotong kecil. Dua nomor ditulis kemudian digulung. Sekarang kalian pilih sendiri. Mana yang mendapat nomor satu harus maju dulu! tegasnya sambil menyodorkan lipatan kertas kepada Nuri dan Sanita.

Nuri segera mengambil, disusul Sanita. Dengan membaca basmalah, keduanya membuka nomor undian. Nuri langsung mengeluh, begitu matanya melihat nomor satu. Sedangkan Sanita melonjak gembira mendapat nomor urut dua.

Nuri melirik Sanita penuh ancaman. Sayang, Sanita hanya tersenyum penuh kemenangan. Tentu saja Nuri jengkel. Nah, sekarang kamu pilih pertanyaan dari siapa, Nuri? tanya Pak Setyo memberi kebebasan untuk menunjuk para juri memberi pertanyaan.

Nuri kebingungan. Ia tidak berani menoleh. Kebetulan yang dihadapinya Bu Ririn, guru bahasa Inggris. Takut dikira menyepelekan Bu Ririn gurubahasi Enggris, Nuri langsung menunjuknya. Bu Ririn duluan aja, deh. pintanya sedikit tersendat.

Ok, Nuri. What Are you going to school for? Bu Ririn langsung pada pertanyaan inti. Hal itu dimaksud untuk memberi socktherapy dan spontanitas Nuri.

Nuri tersenyum. Pertanyaan yang mudah jawabannya. Spontan ia menjawab. To get cleverness!

If you have already bean clever, What will you do? kejar Bu Ririn membuat Nuri sedikit kelabakam.

Wuah, pertanyaan jebakan ini. Kalau aku tidak hati-hati aku bisa jatuh di sini. Keluh Nuri dalam hati. Cleverness will save me. Jawabnya tegas. Then we can keep good relationship, we are able to preserve our natural environment. Also the crown of cleverness is the capability of combating crimes from ourselves.

Thank You, Nuri! kata Bu Ririn sambil mengacungi jempol. Para juri dan beberapa perwakilan kelas yang sengaja diminta untuk menjadi sporter ikut bertepuk tangan.

Begitu tepuk tangan selesai Nuri menunjuk Bu Partiningsih. Ia ingin cepat-cepat menjawab semua pertanyaan agar tidak menjadi beban. Apalagi saat matanya menemukan Sanita sedang berbisik di telinga Naya, tiba-tiba hatinya seperti terjilat api.

Nuri, kamu sudah siap mendengarkan pertanyaan Ibu? tanya Bu Ning, tanpa sedikit pun tersenyum. Guru yang berkulit putih, dengan wajah bulat itu kelihatan semakin angker.

Ini pasti ulah Sanita, sengaja memanas-manasi aku, agar tidak konsentrasi pikiran Nuri masih cemburu . Nuri tergagap. Siap, Bu!

Bu Ning menatap catatan. Agak lama kemudian, Bagaimana sikapmu jika nanti kamu jadi bupati, terhadap pembangunan pariwisata di kabupaten kita ini?

Nuri langsung nerocos menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Begitu selesai hadirin bertepuk tangan tanda puas dari jawaban yang dilontarkan Nuri.

Nuri membungkuk hormat sebelum kembali duduk. Keringat membasahi wajah hingga leher panjang dan putih, tampak bagai untaian berlian yang bertebaran. Sampai di kursi dibukanya tas mencari tisu.

Kita puas menyimak jawaban-jawaban Nuri. Tegas, jelas dan rasional. Nah, sekarang kita saksikan, apakah Sanita mampu mengungguli Nuri. Saya persilakan Sanita untuk tampil di depan. Pak Setyo sengaja menghangatkan suasana.

Sanita melangkah ke depan. Begitu Pak Setyo mempersilakan untuk menunjuk juri memberikan pertanyaan pertama, Sanita tak mau kalah dengan Nuri. Ia langsung meminta Bu Ririn mengujinya.

Ok, Sanita. What Are yau going to school for? pertanyaan yang sama dengan Nuri. Bu Ririn ingin tahu jawaban yang berbeda untuk mengetahui tingkat kreativitas siswanya.

Sanita tersenyum meskipun hatinya pilu. Ia sadar pertanyaan yang diterimanya sama dengan pertanyaan Nuri, tetapi gengsi bila jawabannya sama. To get knowledge!

Why should you work herd to get it? bantah Bu Riri sedikit sengit.

Sanita tersenyum lagi. Kemudian menjawab dengan santai tanpa ada rasa tergesa-gesa seperti Nuri yang ingin melalap semua pertanyaan. By having knowledge. I can raise up ( keep up) my dignity as human being. Knowledge is a light thet is eulightning our life. It will disfinguish a man and an animal. Therefore gof wil raise up someones dignity if he or she has knowledge. Sanita mengangguk tanda jawaban selesai.

Thank You, Nita. Penonton bertepuk kagum. Pertanyaan sama, jawaban berbeda. Semua memiliki argumentasi yang kuat dan sama-sama benar.

Sanita membabat semua pertanyaan, baik berkaitan dengan politik, budaya dan pariwisata yang dikaitkan dengan kelestarian alam.

Acara dinyatakan selesai. Untuk mengetahui siapa yang berhak mewakili, masih ada beberapa materi akan diujikan tiga lagi. Untuk sementara keduanya memiliki nilai sama. Nilai ini tak usah diberitahukan kepada Sanita dan Nuri. Biar keduanya mempersiapkan untuk materi besok. Usul Bu Kustini.

Karena sama itu keduanya harus diberi tahu!. Bantah Pak Sunhadi. Berdasarkan berbagai pertimbangan akhinya keduanya diberitahu.

Nuri agak kecewa. Ia tidak menyangka bahasa Inggris Sanita maju pesat. Bahkan gadis saingannya itu memiliki jawaban yang cerdas. Benar-benar di luar dugaan! pujinya dalam hati. Tiba-tiba Nuri menyesali kata-kata yang dilontarkan pada Naya. Seandainya ia tidak pernah mengancam Naya mungkin ia bisa sedikit merayu Naya untuk memilih dirinya. Lebih menyakitkan lagi Naya yang satu kelas dengannya, begitu keluar berdua bersama Sanita.

Mungkinkah Naya sudah menjadi kekasih Sanita? Huh, anak itu benar-benar tidak tahu diri. Tahu anak janda miskin, yang dicari cewek-cewek cantik dari keluarga kaya. Ia sengaja memanfaatkan ketampanan dan kecerdasannya. gerutu Nuri seorang diri.

Sampai dalam kelas, anak-anak sudah berkemas. Mereka bersiap untuk pulang menunggu doa bersama. Wuah, pulang! teriaknya begitu masuk kelas lupa pada masalah yang baru saja membuatnya sewot.

Woiii....! Baru mulai pelajaran. Sambung Aji Yudo. Disambut tawa teman satu kelasnya.

E... sudah bercandanya. Mau pulang atau mau bercanda! bentak Pak Karsumi, guru kimia. Meski masih muda guru kimia yang ganteng itu penuh wibawa. Yudo, ayo siapkan! perintah Pak Karsumi tak ada yang membantah.

Begitu doa selesai, Pak Karsumi mengucapkan salam. Anak-anak bubar. Tidak satu pun yang acuh, menanyakan nasib Nuri dan Naya. Semua berdesak berebut keluar pintu.

Nuri enggan berdiri. Ia merasa cemas kalau dirinya tidak terpilih. Rasa benci pada Sanita muncul kembali. Padahal tadi pagi ketika akan berlomba, rasa permusuhan itu seakan hilang. Bahkan ia merasa kasihan. Berkali-kali ia berkompetisi dengan Sanita dan selalu menang. Tapi kini, Sanita hampir mengungguli dirinya. Dan yang paling menyakitkan ia kelihatan mesra dengan Naya.

Nuri berdiri. Begitu pintu sudah mulai sepi. Beberapa cewek yang tak mau berdesak-desakan tinggal Rena. Nuri segera menyusul. Kok bawa tas dua, Ren? tanyanya menyelidik. Oh, jadi kamu sekarang jadi pembantu Naya? komentarnya tanpa menunggu jawaban, begitu ia tahu Rena membawa tas Naya.

Terserah apa katamu. Aku dititipi Naya. Apa salahku kalau kubawakan. Lagian kami pulangnya bersama. Sambung Rena yang cantik mungil, kalem tidak merasa terganggu.

Aku enggak menghinamu, Ren. Kok, enak banget sih, Naya itu, wong orangnya sedang berduaan dengan Sanita, kamu yang membawakan tas. Pembantu, itu pekerjaan kamu! tambahnya sengaja memanasi hati Renasuci.

Renasuci tak berkomentar. Ia melihat Naya menyusul di belakangnya. Maaf dan makasih, Ren. Aku sudah ngerepoti! ujar Naya mengejutkan Nuri. Ada acara enggak? tanya Naya tanpa mengacuhkan Nuri yang sebenaranya ingin disapa Naya.

Enggak. Kamu mungkin yang ada acara? sambung Rena sedikit merajuk manja, untuk membalas Nuri.

Aku ada acara? Acara apa? Paling-paling jahit kasur nanti kalau di rumah. Yuk! jawab Naya tanpa sedikit pun menoleh pada Nuri. Keduanya langsung melangkah berdampingan seperti kekasih.

Nuri berdiri bengong. Hatinya terbakar. Matanya terus mengikuti Rena yang berjalan berdampingan dengan Naya. Dulu sebelum ia mengancam, Naya begitu perhatian padanya. Namun, sejak ada ancaman, lelaki itu selalu menghindar. Paling-paling kalau terpaksa bertemu hanya senyum, tanpa sepatah katapun keluar. Naya harus menjadi milikku lagi. Aku harus bisa menyingkirkan Sanita dan si kecil Renasuci. Hanya itu kesempatan yang bisa kugunakan untuk menarik kembali Naya. Tekadnya kemudian berjalan bergabung dengan beberapa siswa dari kelas lain menuju parkir motor.

Parkir sepeda berdampingan dengan parkir mobil siswa. Ketika Nuri hendak menuju mobil ia melihat Sanita, Rena dan Naya sedang berbicara serius. Nuri merasa dirinya sedang dibicarakan. Nuri batal menuju mobil, langsung membelok ke parkir sepeda.

Heh, kok serius. Bicara apa kalian? Awas kalau kalian membicarakan aku! semprotnya.

Oh, Nona. Jangan cemburu. Lagian Naya, kan, bukan temanmu lagi. Apa salahnya kalau kami berdua menggantikan kamu! Kami sepakat membagi cinta untuk Naya seloroh Sanita sengaja memanasi Nuri.

Nuri tersenyum mendengar jawaban Sanita. Meski kalian berdua, rasanya belum sebanding yang didapatkan Naya. Kata Nuri tak mau kalah, kemudian segera membalik menuju mobil.

Lho, kok ngacir, sih. Nuri, sebentar dong! Mengapa mesti ada cemburu? Kami rela kok, membagi cinta denganmu! teriak Sanita.

Terlanjur basah. kalau mereka mengajak berkelahi, biarlah. Aku dapat mengalahkan dua gadis itu. pikir Nuri kemudian batal masuk mobil.

Sanita tersenyum ramah, menyambut kedatangan Nuri. Nah, gitu dong. Ada yang penting kalau kamu mau ikut! kata Sanita.

Kalau berbagi cinta sory, ya?

E...Jangan sewot dulu ! Ini penting. Kami butuh satu orang lagi, nih. Mau enggak? bujuk Sanita lembut sambil menyodorkan kertas pengumuman lomba.

Nuri menerima kertas, bibirnya tersenyum. Makasih, kukira kalian tetap keki padaku. Ucap Nuri kemudian matanya membaca kalimat demi kalimat pengumuman tersebut.

Gimana Mbak Nuri, ikut bergabung? tanya Naya pelan.

Wuah, menarik juga untuk ikut! Tapi perseorangan sepertinya juga bisa! Apalagi kelompok juga tidak dibatasi jumlahnya. Maksimal empat orang. Nah begini aja deh, kalau bisa aku kopi pengumuman ini, tetapi aku mau ikut sendiri, boleh kan!

Tak masalah. Tapi ingat, sekolah hanya akan mengeluarkan subsidi jika karya kita masuk nominasi. Jika tidak semua biaya ditanggung peserta! jelas Naya.

Tak masalah, kalau soal itu. Pokoknya aku ada ide aku ikutan deh. Oh, iya, kalian sudah punya tema yang akan kalian teliti!

Kami sudah sepakat meneliti prestasi belajar anak-anak yang ditinggal merantau orang tua. Sebab selama ini, sepertinya belum ada kelompok yang memperhatikan masalah itu. Padahal ini juga termasuk masalah sosial yang perlu mendapat perhatian! jelas Renasuci.

Wuah, tema yang berlian, pujinya tulus.

Mau gabung? Desak Sanita

Nuri terdiam. Ia seperti mempertimbangkan segala sesuatu. Gimana, ya? Rasanya menarik juga. Tapi tunggu dululah. Kalau dalam dua hari ini aku punya ide yang menarik, aku akan ikut sendiri aja. Biarlah kita bersaing!

Tak apa dan lebih baik begitu. Dengan demikian kita bisa bersaing secara sehat! sambung Naya.

Ok, aku bawa dulu pengumumannya! Nuri langsung membalik badan menuju mobil dengan langkah gemulai.

Sanita, Renasuci dan Naya sepakat untuk mengumpulkan data sepulang sekolah. Ketiganya sudah menghitung beberapa anak di sekolah yang ditinggal merantau kedua orang tuanya. Rena menghitung tetangganya ada sebelas orang. Ibu-bapaknya ke Sumatera dan ke Malaysia. Mereka rata-rata hidup bersama kakek dan neneknya. Sementar Naya menemukan beberapa kawan satu sekolah yang hidup sendiri, sementara kedua orang tuanya merantau di Arab. Begitu juga dengan Sanita. Ia mendata beberapa tetangga, yang merantau membuat batu bata di Sumatera.

Ketiganya sepakat membatasi sampel mereka, hanya anak-anak SLTP dan SMA saja. Sebab untuk anak-anak SD terlalu sulit untuk diajak mengisi formulir. Namun, mereka juga tidak hanya berpedoman pada angket saja. melainkan akan berkonsultasi dengan beberapa sekolah, dan di lingkungan mereka tinggal. Dengan demikian data yang mereka peroleh lebih akurat.

Sementara Nuri, masih belum menemukan tema yang tepat. Ia ingin menulis karya ilmiah di bidang sains. Namun, sampai mobil memasuki halaman rumah, tema yang dipikirkan belum juga muncul di otaknya. Gara-gara mikirin tema yang aneh, baru, gampang penelitiannya, dan hasilnya dapat bermanfaat bagi khalayak ramai, lupa untuk menghadang Naya. Dasar sial. Pokoknya aku tidak mau dikalahkan Sanita. Apapun yang terjadi Naya harus ketemu aku hari itu juga!

Habis shalat dan makan, Nuri tidak tidur. Kebiasaan tidur satu jam sepulang sekolah sengaja dilupakan. Ia langsung menyusul mamanya yang masih di gudang kapuk. Ia ingin menunggu Naya. Dasar baru sial, sampai waktu asyar tiba, Naya belum juga nongol menyetor kasur dan mengambil kapuk.

Nuri setengah jengkel. Sudahlah menahan kantuk, yang ditunggu tak datang juga. adzan asyar sudah selesai dikumandangkan. Padahal biasanya, tidak sampai satu jam sepulang sekolah Naya sudah menggenjot sepeda, memboncengkan tiga kasur. Setengah jam kemudian ia sudah kembali dengan memboncengkan kapuk. Pikir Nuri sambil mondar-mandir keluar masuk gudang.

E..... Kamu ada apa sih, kok keluar masuk kayak orang bingung aja! tegur mamanya melihat putri tunggalnya senewen seorang diri.

Naya sudah datang, Mam?

Oh, Naya. Tadi ibunya yang kemari, mengambil kapuk. Katanya besok pagi kasurnya mau diantar Naya! Memang ada apa dengan Dia, kok tumben kamu mencari Dia?

Iya, ada yang penting.

Yang penting itu apa?

Sudahlah, Ma. Mama tidak perlu tahu soal ini. Besok kalau sudah pasti Mama kuberi tahu, sambung Nuri kemudian melangkah keluar membiarkan mamanya penasaran.

PAGE 24