BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi
Transcript of BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi
1
BAB 3
Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi
Tulisan ini menemukan bahwa historis pergerakan kaum intelektual muda
Papua mengalami dinamika dalam usahanya memerjuangkan keadilan, dan
melepaskan dirinya dari praktik-praktik penindasan. Untuk memahaminya lebih
mendalam, saya mencoba untuk memaparkan dan menelisik data historis tentang
gerekan mereka. Penelitian terdahulu menarasikan bahwa sebelum tahun 1961
terdapat kelompok intelektual muda. Namun yang membedakannya, kelompok
intelektual sebelum tahun 1961 hanya berfokus untuk menginisiasi sebuah negara,
sehingga merka tidak melakukan aksi protes publik. Bagaimanapun juga,
pergerakan protes di ruang publik yang melibatkan kaum intelektual muda Papua,
dimulai setelah tahun 1961, pasca gagalnya membentuk sebuah negara.
Setelah resmi berintegrasi di tahun 1969 dengan Indonesia, aksi massa
tidak berhenti. Mereka semakin menampilkan perasaan berbeda dengan
mengibarkan bendera Bintang Kejora. Entitas ini secara transenden memiliki
relasi sakral melalui narasi Cargo Cult (kepercayaan lokal). Sebagian dari mereka,
salah satunya Jacob Prai memilih untuk bergabung dengan Organisasi Papua
Merdeka di hutan. Bersamaan dengan itu, pemaknaan yang tinggi tentang relasi
transenden, juga mendorong mereka untuk mengekspresikan perasaan berbeda.
Melalui Grup Mambesak, mereka berhasil menggemakan sakralnya sprit gerakan
kebudayaan, sekaligus mengangkat identitas orang Papua sempat terdestuksi di
masa orde baru.
Setelah kejatuhan Soeharto dan sampai saat ini, pergerakan massa di
Papua maupun di luar Papua juga mengalami dinamikanya sendiri. Selama dua
2
dekade terakhir sejak era reformasi, pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua telah
mengalami suatu titik internalisasi dengan membentuk kesadaran baru. Kehadiran
Front Rakyat Indonesia for West Papua yang bersolidaritas dengan AMP telah
menghasilkan strategi kolaboratif dan menyemaikan kesadaran baru di dalam
organ gerakan.
3.1. Awal Pergerakan Kaum Intelektual Mahasiswa Papua
Pergerakan mahasiswa Papua di masa kini adalah bentuk akumulasi dan
dinamika gerakan mahasiswa Papua di masa lalu1. Bagaimanapun juga, terjadi
perubahan ideologi dan strategi dari gerakan kaum intelektual muda Papua dari
masa ke masa. Tidak dapat dipungkiri juga, pergerakan massa tentunya memiliki
tujuan dan perilaku kolektif, serta berkaitan erat dengan ideologinya, termasuk
Nasionalisme. Bagi Yason Ngelia2, awal penyemaian gerakan intelektual Papua
bermula dari pendidikan di sekolah peradaban dan transmisinya ke sekolah
Besteeur (pamong). Ruang ini menghasilkan kaum intelektual muda Papua.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa, proses persiapan kemerdekaan
memiliki visibel politis untuk mendirikan sebuah negara3. Namun bagi saya,
kesan politis teguh yang dikonstruksi pada fase awal penyemaiannya yang sakral,
1 Lihat Richo yapi Charly Corputty, Gerakan mahasiswa Papua : Studi organisasi Aliansi
Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta, Tesis . Yogyakarta: Perpustakaan Universitas Gadjah
Mada, 2007 ; Restu Pamuji, NASIONALISME PAPUA DALAM ORGANISASI ALIANSI
MAHASISWA PAPUA. Yogyakarta: Perpustakaan UMY , 2018 ; Hutubessy, Fred Keith.
"Pergerakan Sakralitas-Nasionalisme Papua; Pola Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua dalam
Ruang Solidaritas di Yogyakarta." Mozaik Humaniora, 2019. 2 Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan
Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 3 Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:
Grasindo, 1993.
3
membentuk Sakralitas-Nasionalisme dan menyemai hingga kini ke dalam ideologi
gerakan.
Menelisik lebih mendalam terkait aksi massa dalam bentuk protes terbuka,
dimungkinkan untuk memerksa beberapa historis tentang gerakan setalah tahun
1961. Pasca gagalnya menginisasi sebuah negara yang merdeka di tahun itu 1961,
Jacob Prai, seorang mahasiswa dari Universitas Cenderawasih membentuk
Gerakan Pemuda Papua. Setelah ditelisik, kelompok yang dibentuknya merupakan
gerakan mahasiswa yang mula-mula melakukan aksi massa di masa menolak
proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Melalui tulisan Aditjondro, saya
menduga Arnold Ap4 juga terlibat di dalamnya ketika menjadi mahasiswa.
Menariknya, kecil peluang untuk lepas dari Indonesia menyebabkan Arnold lebih
memilih mengembangkan kreativitasnya di dalam seni, mempertahankan
eksistensi identitas ke-papua-an dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kisah Arnold Ap akan di bahas pada bagian selanjutnya, juga berkaitan
dengan gerakan kebudayaannya.
Lebih lanjut tentang Prai, ia menjalin koalisi dengan kaum pemuda di
kampusnya yang juga bertentang dengan Indonesia, demi memperkuat basis
massa dalam aksi protes menentang proses Penentuan Pendapat Rakyat. Bob
Kubia salah seorang temannya mengatakan5 :
“Banyak mahasiswa yang anti dengan Indonesia, namun mereka sangat takut
sehingga tidak dapat berbuat banyak. Tetapi tidak bagi Jacob. Bahkan ia turut
serta berjuang untuk kelompok masyarakat lainnya, kadang-kadang mereka yang
keturunan cina sering pergi ke ruangannya untuk diskusi secara tertutup.
4 George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000. 5 Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
4
Menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat, ia sangat aktif dalam
mempublikasikan masalah pengambil alihan kekuasaan”.
Dampak dari aktivitasnya menentang rezim Indonesia di masa peralihan ke
UNTEA, ia sering ditangkap oleh petugas bersenjata. Pernah di suatu kesempatan,
Jacob Prai ditangkap seusai kuliah dan dimasukan ke dalam penjara. Seminggu
setelah itu, ia kabur dari situ dan memilih untuk bergerilya dengan Tentara
Pembebasan Nasional Papua di bawah pimpinan Seth Rumkorem.
Setelah integrasi ke Indonesia, aksi protes masih tetap dilakukan. Tepatnya
tahun 1977, sekitar 30 orang mahasiswa Universitas Cenderawasih melakukan
protes keras kepada pihak kampus akibat upaya “mengindonesiakan” mereka
melalui sistem pembelajaran pada matakuliah di kelas. Konsekuensinya, mereka
dikeluarkan oleh pihak kampus. Sumber yang sama oleh Osborne6 di tahun yang
sama, terjadi simultan serangan antara pihak yang pro dan kontra dengan
Indonesia. Kondisinya berkenaan dengan Pemilihan Umum yang akan
dilaksanakan. Beberapa anggota organisasi Papua pro kemerdekaan menyatakan
bahwa PEMILU merupakan tantangan besar bagi mereka. Mereka mengalami
kekecewaan akibat tidak diizinkan mendirikan partai politik. Bersamaan dengan
itu, mereka mengakumulasikan kebencian kepada Partai Golkar yang
mendominasi pemerintahan saat itu. Mereka berencana untuk memboikot
Pemilihan Umum di tahun itu. Singkatnya, rencana mereka menggagalkan
pemilihan umum tidak terealisasi7.
6 Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 7 Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
5
Menurut laporan Post-Courier, gagalnya rencana mereka akibat perintah
dari pemerintah untuk membubarkan kelompok Victoria di bawah pimpinan Seth
Rumkorem. Sementara itu juga, telah terjadi keterpecahan dalam organisasi
setelah Rumkorem mengangkat dirinya sebagai Presiden Papua Barat. Jacob Prai
yang saat itu bersamanya, marah dan berkoordinasi dengan Nicholaas Jouwe yang
berada di luar negeri, untuk membentuk kabinet baru. Namun pendelagasian yang
diberikan oleh Prai tidak dilaksanakan oleh Jouwe kerena alasan strategis, dan
menginginkan agar mereka berdamai.
Setahun setelah itu, tepatnya 15 Juli 1977, mereka bersepakat membentuk
“Program Aksi Nasional dari Pemerintahan Revolusioner Sementara Negara
Papua Barat”, bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Tujuannya untuk
menciptakan kesadaran kolektif masyarakat Papua, agar bersinergi kerangka
Organisasi Papua pro kemerdekaan. Intensi lainnya, untuk membebaskan diri dari
penjajahan, membangun relasi dengan dunia internasional, serta menentang segala
bentuk tindakan kolonialisme, neo-kolonialisme, imperialism, dan rasialis
apartheid. Upaya mereka menyemaikan ideologi pembebasan tampak berhasil,
sehingga menyebabkan beberapa pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia8.
Tanggal 3 Juli 1982, 9 mahasiswa Universitas Cenderawasih dan 1 orang
guru SD Gembala Baik bernama Karel Patiran melakukan di kantor DPRD Irian
Jaya. Mereka menurunkan bendera merah putih dan menggantinya dengan
bendera Bintang Kejora. Selanjutnya mereka menyanyikan lagu “Hai Tanahku
8 Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:
Grasindo, 1993.
6
Papua”, dan membacakan teks Proklamasi Papua Barat. Aparat keamanan
kemudian menangkap dan menghukum mereka dengan kurungan penjara9.
Enam tahun setelah itu, tanggal 14 Desember 1988, kurang lebih 60 orang
berkumpul di stadion Mandala, Jayapura. Mereka mendeklarasikan negara
Melanesia Barat dan mengibarkan bendara Bintang 14. Gerakan ini diinisasi oleh
Thomas Wanggai, seorang intelektual terdidik, lulusan Jepang dan Amerika. Aksi
ini cukup berbeda dengan aksi dan pengibaran bendera sebelumnya. Mereka
menggunakan bendera dengan simbol Bintang 14 yang di rancang Thomas
Wanggai dan istrinya Teruko Wanggai. Gerakan massa ini mendapat apresiasi dan
perhatian dari seluruh masyarakat, khususnya mahasiswa Universitas
Cenderawasih. Namun selepas deklarasi dilakukan, mereka ditangkap dan
dipenjara secara terpisah. Sebagian dari mereka berada di penjara Kalisosok, di
Surabaya10
.
3.2. Kita Bernyanyi Untuk Hidup dahulu, sekarang dan Nanti ; Arnold Ap dan
Spirit Gerakan Kebudayaan Mambesak
Jika menyimak berbagai aksi dalam gerakan massa yang melibatkan kaum
intelektual Papua, Grup Mambesak menjadi salah satu potret awal gerakan
mahasiswa Papua yang menampilkan eksistensinya melalui gerakan kebudayaan.
Tidak juga dipungkiri bahwa beberapa aksi di atas terjadi secara bersamaan
9 Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:
Grasindo, 1993 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik
Melawan Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 10
Lihat George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000 ; Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua.
Yogyakarta: Library Universitas Gadjah Mada, 2016 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ;
Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.
7
dengan Spirit kebangkitan Mambesak. Dari sini kita dapat menemukan bahwa
gerakan intelektual Papua mengalami dinamisasi menuju ke dalam gerakan
kebudayaan. Beberapa penelitian telah menarasikan mambesak, khususnya kisah
Arnold Ap seperti Aditjondro, Osborn, Suryawan dan Ngelia11
dari aspek historis
kehidupannya dan gerakan kebudayaannya. Namun yang membedakannya dengan
studi ini, narasi mambesak melalui Spirit of Mambesak perlu dipahami dari aspek
kesakralannya dan menyemai dalam pergerakan. Spirit ini berhubungan erat
dengan cargo cult (kepercayaan lokal). Fakta transenden ini membedakan peran
dan aksinya dari beberapa intelektual Papua yang bergerak di masanya.
Pada aksi sebelumnya potret gerakan kaum intelektual Papua cenderung
mengorganisir aksi masa, tetapi melalui pendekatan etnografi, Mambesak berhasil
menginisiasi gerakan kebudayaan Papua dengan menampilkan nyanyian, tarian,
Mop (cerita humor) yang secara nyata dihidupi dalam perilaku sehari-hari. Pada
akhirnya ia dianggap menjadi ancaman bagi pemerintah Indonesia dengan
tuduhan separatis yang disematkan padanya dan gerakannya. Awalnya grup ini
diinisiasi oleh Arnold Ap, seorang Antropolog Papua, dan Kepala Museum
Universitas Cenderawasih, ketika bermahasiswa kerap melakukan aksi protes
menjelang Penentuan Pendapat Rakyat12
.
11
Lihat George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000 ; Osborne, Robin. Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan
Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM),
2001 ; I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah ; rakyat Papua, Sejarah Sunyi dan Antropologi
Reflektif. (Cetakan Kedua). Basabasi: Yogyakarta, 2019 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa
Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 12
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000.
8
Catatan Suryawan13
menceritakan sebelum Mambesak, ia pernah memiliki
grup band yang bernama Manyori atau dalam bahasa Biak disebut “Burung Nuri”,
yang beranggotakan Arnold Ap, Sam Kapisa, dan Jopie Jouwe. Di 1972, band ini
sering mengiringi pujian rohani di Gereja Harapan, Abepura. Kemudian, Band
Manyori tergerak untuk mengelaborasi lagu-lagu rohani ini ke dalam bahasa Biak.
Meskipun demikian, mereka mendapat tentangan dari para tetua adat oleh karena
indoktrinasi yang kuat oleh pekabar injil yang mengafirkan segala bentuk
kebudayaan di masa sebelumnya.
Melalui inisiasi Danielo Ajamiseba, seorang linguis Papua Barat pertama
dari Amerika, bersama Arnold Ap, mereka berhasil mempribumisasikan musik
liturgi budaya Papua. Mereka didukung oleh beberapa pendeta muda lulusan
STTh Jakarta, seperti M.Th. Mawene, Phil Erari, dan Tombi Ireeuw, seorang
sarjana lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Mereka menampilkan
kebudayaan Biak Numfor dalam nyanyian ini, karena sebagian besar dari mereka
berasal dari kawasan Teluk Sairera. Lama-kelamaan, masyarakat mulai
menerimanya sebagai bentuk kebudayaan Papua yang harus dilestarikan,
khususnya gereja14
.
Sadar akan kolektifitas dan kompleksitas budaya Papua menggerakan
Arnold untuk menggandeng beberapa orang muda dari suku lainnya, untuk
bersama-sama mengembangkan seni budaya Papua secara luas. Thony Wolas
Krenak yang berasal dari Sorong dan Marthiny Sawaki dari Waropen pun
bergabung. Selain itu, ia mulai terlibat aktif di beberapa penelitian Lembaga
13
I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah ; rakyat Papua, Sejarah Sunyi dan Antropologi
Reflektif. (Cetakan Kedua). Basabasi: Yogyakarta, 2019. 14
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000.
9
Antropologi Uncen yang memungkinkannya untuk lebih mengembangkan
kebudayaan di beberapa wilayah seperti Asmat, Sentani dan berbagai kampung
lainnya. Di dalam mengembangkan pengetahuannya, ia dibimbing khusus oleh
Koentjaraningrat dan Ignatius Suharno. Pengetahuan luas dan mumpuni mengenai
keragaman budaya di Papua, membuatnya tidak sepaham dengan cara pemerintah
mempromosikan seni budaya suku-suku asli Papua. Promosi yang melibatkan
dominasi kaum pendatang ini, cenderung mengkreasikan kebudayaan Papua tidak
melandaskannya kepada pemahaman budaya Papua dengan tepat.
Kesalahpahaman memahami budaya menyebabkan Arnold untuk lebih lagi
menggemakan kebudayan Papua.
Tanggal 15 Agustus 1978, Arnold Ap, Sam Kapisa, Marthinny Sawaki,
dan Yoel Kafiar berlatih beberapa lagu dan tarian untuk pentas memeringati 17
Agustus. Saat berlatih pentas, banyak warga masyarakat yang menonton dan
menunjukan sikap antusias dengan penampilan mereka. Di hari itu, mereka
bersepakat untuk menandainya sebagai hari berdirinya Mambesak. Secara harfiah
dalam bahasa Biak, Mambesak berarti “burung cenderawasih / burung kuning”.
Sam Kapisa mengusulkan untuk tetap memertahankan nama band “Manyori”
sebagai nama grup ini. Namun bagi Arnold, burung kuning (Mambesak)
merupakan spesis yang sangat dihormati oleh seluruh suku di Papua sebagai
“mahkota”. Mereka akhirnya menyepakatinya dengan menggunakan nama
“Mambesak”15
.
Pada rapat pembentukan pengurus Mambesak, 23 Agustus 1978, mereka
memilih Arnold sebagai koordinator, Marthinny Sawaki sebagai sekretaris, Sam
15
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000.
10
Kapisa sebagai penanggungjawab musik. Sementara itu, Thonny Krenak
bertanggungjawab mengurus tarian, dan Demianus Kurni sebagai
penanggungjawab teater. Sampai pada pementasan yang terakhir 29 November
1983 sebelum Arnold meninggal, hanya Arnold, Marthinny, dan Thonny yang
bertahan di grup ini16
.
Di “Istana Mambesak17
”, mereka mulai membentuk konten kreasi budaya
Papua melalui lantunan lagu, tarian dan cerita Mop (guyonan khas Papua).
Mereka sering diundang untuk mengisi acara di berbagai tempat. Selain itu,
mereka juga membuat rekaman lagu-lagu khas Papua berbentuk kaset sebanyak
lima Volume. Karya-karyanya sangat laku dipasaran, dan selalu dicetak ulang.
Lagu-lagu mereka sering diputar oleh siaran Radio Papua Nugini dan Australia18
.
Selain berpentas, mereka mengisi siaran radio setiap minggu siang dengan Tema
“Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra”. Siaran ini merupakan binaan Arnold Ap
atas usulan yang diberikan oleh Ignatius Suharno19
, untuk menyiarkannya di RRI
Jayapura20
.
Kehadiran Mambesak seakan menggemakan “spirit kebangkitan identitas”
Papua melalui musik dan tariannya kepada masyarakat Papua. Kebangkitannya
menyebabkan mereka dituduh telah menyemaikan paham separatisme kepada
16
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000. 17
Mereka melakukan uji coba pementasan lepas senja di Museum Antropologi
Universitas Cenderawasih, yang juga mereka sebut sebagai “Istana Mambesak” 18
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000. 19
Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih yang pertama. 20
I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah ; rakyat Papua, Sejarah Sunyi dan Antropologi
Reflektif. (Cetakan Kedua). Basabasi: Yogyakarta, 2019.
11
rakyat Papua. Bagi Aditjondro21
, warna cultural yang diinisasi oleh grup
Mambesak, melalui tarian, nyanyian, pukulan tifa yang mengekspresikan
kebudayan Papua selalu dihubungkan dengan sesuatu yang politis. Berbeda
dengan warna gerakan di Jawa, yang memang cenderung politis. Padahal
menurutnya, gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa Papua saat itu, atas bantuan
beberapa dosen Universitas Cenderawasih, hanya memproduksi dan mengedarkan
kaset lagu-lagu Papua. Tetapi bagi Pemerintah, kegiatan ini merupakan politis
yang menghancurkan bangsa.
Sejauh yang diketahui, George Aditjondro dan Arnold Ap memiliki
kedekatan. Selama Aditjondro bekerja di Irja-DISC Jayapura, Arnold yang
menjadi penasehat lambaga yang dipimpinnya. Setelah meninggalnya Arnold,
George sempat dituduh sebagai penyebab kematian Arnold Ap oleh beberapa
senior Gereja Kristen Injili. Ia dianggap sebagai inisiator pemberitaan
penangkapan Arnold yang diekspos oleh koran Sinar Harapan. Meskipun baginya,
tanpa diekspos pun, Arnold sudah menjadi target incaran sejak awal. Perlu
diketahui, Arnold Ap dan Mambesak saat itu sangat populerr di masyarakat.
Kondisi ini membentuk stigma separatis kepada mereka. Sebelum penangkapanya
yang terakhir, beberapa kali Arnold harus berurusan dengan aparat keamanan,
namun ia tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan kepadanya,
sehingga dibebaskan22
.
21
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000. 22
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000.
12
Tahun 1983, isu tentang jaringan separatisme di wilayah Kota Jayapura,
khususnya di kampus-kampus dan instansi pemerintahan. Demi membongkar
jaringan ini, Pemerintah menugaskan pasukan elite Kopassanda yang sebelumnya
bertugas di Dili untuk menyelidikinya. Mereka menduga Arnold Ap pemimpin
dari jaringan ini dan memiliki hubungan dengan Organisasi Papua pro
kemerdekaan di hutan. Pihak keamanan menuduhnya sebagai penghubung antara
Jantje Hembring (salah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka di hutan),
dengan peneliti asing. Arnold juga dituduh terlibat membiayai pelarian Fred
Athabu dan Seth Rumkorem dari uang penjualan kaset rekamannya23
.
Satu hari sebelum penangkapannya yang terakhir, Arnold bersama
Mambesak mementaskan tarian di depan istri Jendral L.B. Moerdani yang sedang
berkunjung ke Jayapura. Saat itu, ia menggunakan burung cenderawasih di
kepalanya. Wakil gubernur Irian Jaya, Sugiyono tertarik dengan burung
cenderawasih ini. Ia meminta kepada Arnold untuk memberikannya kepada ibu
Moerdani sebagai cenderamata. Ia tidak setuju karena burung tersebut merupakan
spesis yang langka, dan hanya ada di tempat kelahirannya, di Pulau Numfor.
Bagaimanapun juga, ia tetap harus memberikannya kepada istri Moerdani.
Anggota Mambesak yanhg lain protes kepada Arnold. Tetap ia menjawab24
:
Saya berharap suatu saat, hadiah ini bisa berguna bagi saya di Jakarta, bila saya
ditangkap
Sejatinya, perkataannya hanya merupakan candaan. Namun bagi Osborne,
pemberian hadiah bukan berarti apa-apa bagi Arnold untuk tetap hidup.
23
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000.
24
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
13
Tepatnya 30 November 1983, sekitar 20 orang yang berasal dari
Universitas Cendrawasih dan kantor Gubernur ditangkap untuk diperiksa
dukungan politiknya kepada organisasi Papua pro kemerdekaan. Arnold Ap
ditangkap oleh Kopassanda berbaju preman dan bermobil tanpa nomor polisi.
Fakta yang telah dipaparkan sebelumnya, penangkapan Arnold hanya diberitakan
oleh satu media Indonesia yaitu Sinar Harapan. Surat kabar ini mendapat teguran
keras dari pemerintah dan mengharuskan editornya untuk pergi ke Jayapura untuk
meminta maaf, serta mendengankan kisah sebenarnya. Bagi Osborne, ini
merupakan usaha untuk memutarbalikkan fakta tentang kisah sebenarnya25
.
Sampai di awal 1984, proses hukum Arnold Ap tidak menemukan
kejelasan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan beberapa
koleganya di Jayapura, serta di Pulau Jawa melakukan advokasi, dengan meminta
agar Arnold diperlakukan sesuai dengan KUHAP tahun 1981. Bersamaan dengan
itu, pihak keamanan juga menangkap Eddy Mofu, salah satu teman Arnold di
Grup Mambesak. Beruntung bagi Arnold, tanggal 20 Februari 1984, ia
dipindahkan dari tahanan Kopassanda ke tahan Polda yang menurutnya lebih baik
dari sebelumnya (Osborne 2001). Permasalahan lainnya, terjadi tekan psikis
kepada intelektual Papua di Jakarta. Di Ibukota Negara ini, Johannes Rumbiak,
Jopie Rumajau, Otis Simopiaref dan Loth Sarkanan yang mempertanyakan kasus
Arnold Ap di DPR RI, dicari oleh aparat di tempat tinggalnya. Mereka kemudian
meminta suaka kepada Kedutaan Belanda di Jakarta.
25
Lihat George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000 ; Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan
Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM),
2001.
14
Ketegangan yang berlanjut menyebabkan keluarga dan teman-teman
Arnold mengalami tekanan psikis. Akhirnya Istri Arnold, Corry Ap yang saat itu
sedang mengandung, bersama ketiga anaknya serta teman-temannya melakukan
pelarian politik ke Vanimo, Papua Nugini. Mereka menyeberang dengan
menggunakan perahu motor. Menurut Osborne, Pemerintah Papua Nugini tidak
mendukung pelarian politik mereka. Saat itu, Papua Nugini sedang membangun
diplomasi dengan Jakarta. Padahal, beberapa simpatisan kemanusian di sana
berharap pemerintahnya mengadvokasi masalah tersebut. Sementara itu,
Pemerintah Australia melalui desakan Alan Missen melalui rapat senat, meminta
duta besarnya untuk Indonesia Rawdon Dalyrmple, untuk mencari fakta tentang
status Arnold. Namun, Menteri Luar Negeri Australia, Hayden, berkali-kali
menyatakan intervensi kasus Arnold tidak akan memengaruhi apa-apa26
.
Sehari sebelum skenario pembunuhan Arnold, Pendeta Bonay dari Gereja
Kristen Injili mengunjunginya dan berdoa bersama. Bagi Pendeta Bonay,
kedatangannya merupakan bentuk tanggung-jawab iman sebagai pelayan, dan
untuk menyongsong Paskah di esok hari. Ia tidak menyadari kunjungannya itu
merupakan pertemuan terakhirnya dengan Arnold. Malam selepas perkunjungan
itu, pihak keamanan mulai melakukan skenario untuk menjebak Arnold.
Wartawan Peter Hastings melaporkan27
, Kopassanda menjanjikan sejumlah uang
kepada Pius Wanem, seorang sipir penjara untuk mengatur pelarian itu. Melalui
bantuan Pius, kelima orang tahanan melarikan diri dari penjara. Kisah yang terjadi
26
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
27
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
15
setelah pelarian itu menurutnya hanya diketahui oleh Kopassanda yang sedang
mengawasi mereka.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Arnold Ap ditemukan telah meninggal
dunia dan jasadnya telah berada di kamar mayat rumah sakit Aryoko, di Jayapura.
Seorang perawat di sana yang mengenalinya, melaporkan kepada salah seorang
teman Arnold. Menurutnya, terdapat bekas pukulan, bekas tali di tangan, dan luka
tusukan di perut. Sementara itu, berita kematian sang budayawan tersebar dengan
luas. Kabar yang telah beredar menyebabkan Pemerintah mengambil sikap untuk
memulangkan jenazah Arnold kepada keluarganya untuk dimakamkan.
Tepat 1 Mei 1984, pemakanan Arnold Ap dilakukan. Prosesi
pemakamannya dihadiri banyak pelayat dan turut mengantarkannya sampai ke
pekuburan Kristen, Abepura. Jenazahnya dimakamkan tepat di samping saudara
dan sahabat baiknya Eddy Mofu, salah seorang yang bersama-sama melarikan diri
dari tahanan. Kepergian Arnold Ap menyebabkan gelombang pengungsi
bertambah ke Papua Nugini. Mereka yang lebih dahulu di sana, turut meratapi
kepergian Arnold, sambil menghibur Corrie Ap. Lebih lanjut tentang keluarga
Arnold, melalui bantuan Pemerintah Papua Nugini, mereka memilih mengungsi
ke Belanda sampai saat ini mereka tinggal di sana. Peristiwa pembunuhan Arnold
Ap, semakin menebarkan kebencian kepada negara dan secara simultan
menebarkan benih-benih Nasionalisme Papua kepada mereka28
.
28
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000 ; Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan
Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM),
2001 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan
Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.
16
3.3. Dinamika Organisasi Gerakan Kaum Intelektual Papua
Saya menemukan di YouTube, satu video Aksi Nasional 1 Desember 2015,
oleh Aliansi mahasiswa Papua di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Tampak
visual dalam video, mereka menyatakan beberapa tuntutan yang berhubungan
dengan persoalan-persoalan, salah satunya terkait masalah kemanusian di Papua.
Selanjutnya, terdengar mereka menyanyikan lagu “Papua Bukan Merah-
Putihberkali-kali dalam aksi tersebut29
.
“Papua bukan merah putih, Papua bukan merah putih,
Papua..... Bintang kejora......, Bintang kejora...........
Baru-baru ko bilang, merah putih”
Narasi aksi seperti ini bukan pertama kali terjadi. Sampai dengan tulisan ini
dibuat, aksi-aksi serupa masih sering terjadi di Papua, maupun di luar Papua,
melibatkan kaum intelektual muda secara massif. Beragam cara memahami
Papua, baik oleh mahasiswa Papua sendiri, organisasi mengatasnamakan
nasionalis Indonesia, dan juga pihak kepolisian, menyebabkan aksi penyampaian
pendapat di muka umum cenderung berakhir ricuh. Semuanya itu berakhir dengan
penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada mereka.
Tidak dapat dipungkiri, pendekatan pergerakan di Indonesia tentunya
memiliki basis kekuatan mobilisasi gerakan melalui aksi massa, yang tentunya
selalu memiliki tujuan. Demikian juga dengan pergerakan mahasiswa Papua di
kota-kota studi yang semakin massif. Beberapa berita yang dilansir media cetak30
melaporkan bahwa aksi mahasiswa Papua menyuarakan pelanggaran Hak Asasi
29
Polisi Ultimatum Bubarkan Aksi Mahasiswa Papua 1 Desember. Directed by Honai
Center. 2015. 30
Lihat ,https://jejaknasionalis.com/2018/10/01/lbh-malang-pembubaran-massa-aksi-
mahasiswa-papua-penuh-dengan-kekerasan/ ; https://tirto.id/aliansi-mahasiswa-tuntut-papua-
bebas-dari-kolonialisme-indonesia-cNlm
17
Manusia dan meminta Referendum sebagai solusi demokratis, memisahkan diri
dari Indonesia. Fakta lain di lapangan juga menampilkan pertentangan sebagian
kalangan yang menolak aksi ini dengan jargon “NKRI Harga Mati”.
Permasalahnnya kemudian, terletak pada cara memahami Papua dan cara
memahami historisnya, sehingga turut menghasilkan kecurigaan tentang
Nasionalisme mereka.
Secara praksis, labelisasi separatis dan rasialisme bermuara kepada potensi
kekerasan dari berbagai pihak, salah satunya pihak keamanan dan ormas
nasionalis lainnya. Kompleksitas inilah telah mengaburkan esensi dari demokrasi.
Perlu disadari, masa kekuasaan Soeharto cukup membungkam ruang demokrasi di
Indonesia. Situasinya berdampak kepada gerakan massa di masa itu. Namun,
sejak kejatuhannya, aksi massa seakan menyeruak di publik. Hal inilah yang
memungkinkan Aliansi Mahasiswa Papua terbentuk. Tercatat mahasiswa Papua
dari Jawa dan Bali berjumlah ratusan orang, menamakan diri Aliansi Mahasiswa
Papua berkumpul dan melakukan aksi terkait permasalahan hak politik dan
demokratis yang selama ini dieliminasi.
Penelitian Ngelia31
menjelaskan, saat itu, aksi mahasiswa Papua cenderung
melemah. Hal ini disebabkan minimnya organisir massa dengan baik, sehingga
gerakan tidak terdidik secara ideologi dan melakukan perjuangan secara bertahap
dalam organisasi legal di berbagai kota studi. Salah satunya jika kita
mengaitkannya dengan peristiwa meninggalnya Thomas Wanggai di Penjara
Cipinang 1996, peristiwa aksi “Biak Berdarah” oleh mahasiswa Universitas
31
Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan
Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.
18
Cenderawasih di Jayapura 1998. Peristiwa-peristiwa ini merupakan potret dari
aksi-aksi spontanitas yang menurut Ngelia belum memiliki orientasi. Terlepas
belum berkembangnya basis ideologi dan strategi gerakannya, saya tidak
menampikan perasaan bersama cukup memunculkan sakralitas-Nasionalisme
yang menggerakan mereka untuk melakukan aksi-aksi ini.
Aliansi mahasiswa Papua terbentuk sebagai organ taktis dalam aksi massa
di awal reformasi, tanggal 20 Juli 1998 di Jakarta. Kemudian menjadi organ
strategis setelah aksi tersebut32
. Sumber lain menyebutkan, aliansi ini dibentuk 30
Mei 1998 di jalan Guntur Kawi, Manggarai, Jakarta Selatan33
. Kesadaran
penindasan yang merebak menyebabkan berbagai organisasi tampil untuk
merespon berbagai aksi di Papua seperti, Front Nasional Mahasiswa Papua
(FNMP), Gerakan Mahasiswa Papua Radikal (GEMPAR), Jaringan Independet
Untuk Aksi Kejora (JIAJORA), Sayap Cenderawasih di Manado, Solidaritas
Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (SONAMAPPA), dan Front Rakyat
Indonesia For West Papua (FRI-WP) yang masih menjadi perbincangan sampai
saat ini pasca beberapa aktivisnya ditangkap dan dikeluarkan dari kampus34
.
Fenomena kebangkitan dan pamor organisasi pergerakan sepertinya masih
direspon dengan pola yang sama oleh pihak keamanan. Saya membandingkan dua
organisasi yakni FNMP dan FRI-WP yang memiliki kebangkitan dan pamor yang
menanjak dalam fenomena gerakan sosial, dengan tidak menafikan gerakan-
32
Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan
Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 33
Restu Pamuji, NASIONALISME PAPUA DALAM ORGANISASI ALIANSI
MAHASISWA PAPUA. Yogyakarta: Perpustakaan UMY , 2018.
34
Lihat, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/polisi-tahan-surya-anta-ginting-
deklarator-referendum-papua ; https://metro.tempo.co/read/1242579/juru-bicara-fri-west-papua-
ditangkap-polda-metro-jaya ; https://www.lpmkultura.com/2019/12/4-mahasiswa-unkhair-di-drop-
out.html
19
gerakan yang lain. FNMP melakukan aksi pertamanya tanggal 1 Desember 2000,
sejak pertama kali terbentuk35
. Buntutnya, beberapa aktivis mereka ditangkap oleh
pihak kepolisian. Mereka adalah Markus Rumbrapuk (Salatiga), Hans Gobay
(Solo), Laun Wenda (Bandung), dan Joseph Wenda (Jakarta). Sementara itu, 19
tahun berselang, beberapa aktivis ditangkap dalam aksi solidaritas untuk Papua.
Mereka menentang tindakan rasisme yang terjadi di Asrama Kamasan di
Surabaya, agustus 2019. Beberapa aktivis yang ditangkap salah satunya Juru
Bicara FRI-WP, Surya Anta Ginting. Sampai saat ini, proses persidangan mereka
masih berlangsung. Setelah penangkapan mereka, banyak pihak yang mengecam
penangkapan yang diduga tidak sesuai dengan prosedur dan berbagai tuduhan
yang disematkan kepada mereka tidak jelas fakta hukumnya 36
.
Bagi saya, kedua organisasi ini memiliki popularitas. Jika membandingkan
keduanya, tanpa memungkiri gerakan yang lain, kita dapat menemukan dua hal
penting berkaitan dengan dinamika pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua.
Pertama, eksistensi kedua organisasi ini tidak terlepas dari dinamisnya gerakan
Aliansi Mahasiwa Papua. Saya membatasinya dengan tidak memandang kedua
organisasi ini dari sisi pro dan kontra di dalam tubuhnya masing-masing.
Mengapa demikian? Transisi demokrasi memberikan ruang kepada Aliansi
Mahasiswa Papua dan menyemaikannya kepada Front Nasional Mahasiswa Papua
pasca kejatuhan Orde Baru. Bagi saya, kesadaran bersama yang lama terpendam
35
Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan
Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.
36
Lihat, https://www.suara.com/news/2019/12/04/102009/tapol-papua-surya-anta-cs-
akan-ungkap-kesaksian-di-sidang-hari-ini ; https://news.detik.com/berita/d-4810097/praperadilan-
surya-anta-diwarnai-aksi-simpatisan-di-ruang-sidang/2 ;
20
tentang permasalah Papua menemukan ruangnya dalam berekspresi, maskipun
mereka ditangkap37
.
Kedua, selama hampir dua dekade terakhir, banyaknya organisasi-
organisasi terbentuknya seperti, Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP),
Gerakan Mahasiswa Papua Radikal (GEMPAR), Jaringan Independet Untuk Aksi
Kejora (JIAJORA), Sayap Cenderawasih di Manado, Solidaritas Nasional
Mahasiswa Pemuda Papua (SONAMAPPA), Front Rakyat Indonesia for West
Papua (FRI-WP) (Ngelia 2019), dan berbagai organisasi lainnya. Saya ingin
mengatakan bahwa dengan terbentuknya organisasi-organisasi ini, kesadaran
tentang Papua menyemai di dalam mereka, meskipun dalam taktis dan struktur
organisasi, mereka memiliki perbedaan. Saya memosisikan diri untuk
membatasinya kepada penyemaian gerakan yang akan di jelaskan pada bab
selanjutnya.
Singkatnya, Aliansi Mahasiswa Papua mendapatkan dukungan dari Front
Rakyat Indonesia For West Papua (FRI-WP). Kelompok yang menamakan
dirinya Front yang mewakili rakyat Indonesia, turut bersolidaritas dalam setiap
isu-isu penindasan di Papua dan mendukung Referendum untuk Papua. Saat
bersama-sama dengan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi solidaritas di
sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Yogyakarta, mereka kerap dibubarkan,
dan bahkan diamankan oleh pihak keamanan38
. Fakta ini semakin menguatkan isu
penindasan masyarakat Papua terinternalisasi ke dalam gerakan kemanusiaan. Hal
37
Muridan S. Widjojo, Updating Papua Road Map, Proses Perdamaian, Politik Kaum
Muda, dan Diaspora Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017.
38
Lihat https://suarapapua.com/2016/12/20/polisi-kolonial-indonesia-tangkap-35-aktivis-
amp-dan-tiga-fri-west-papua-yogyakarta/
21
ini juga menegaskan bahwa penindasan merupakan kepedulian universal yang
bersolidaritas, meskipun dinamika dalam pergerakan sosial selalu mengalami
perubahan dalam konteksnya masing-masing.
Sadar akan kehilangan hak asasi dan ruang demokrasi yang dibatasi,
menyebabkan mereka bergerak dalam pokok perjuangannya. Corputty39
dalam
penelitian sebelumnya menemukan bahwa pola perjuangan lama yang bersifat
primodialisme mengakibatkan keterpecahan dalam komunitas tidak ditemukan
dalam penelitian ini. Pada kenyataannya, pergerakan mereka semakin massif dan
telah melakukan koalisi dan kepedulian bersama dengan komunitas lainnya.
Mereka semakin menghidupkan Sakralitas-Nasionalisme dalam pokok
perjuanganya.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa pokok penting dari dinamika
pergerakan kaum intelektual Papua bersumber dari kisah di masa lalu, tentang
pengalaman-pengalaman mereka bagaimana melepaskan diri dari penindasan.
Perlu dipahami pergerakan mereka selalu menampilkan dinamika secara ideologi
organisasi, maupun strategi gerakan massa. Perilaku organisasi yang seperti ini
rentan menimbulkan keterpecahan yang berelasi dengan eksistensi gerakan untuk
memerjuangkan keadilan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa rasa
bersama yang terbentuk dari Sakralitas-Nasionalisme, menyemai dalam
pergerakan mereka. Salah satunya dengan mengkreasikan gema identitas
kebudayaan Papua sebagai simbol perlawanan secara kolektif, dan menegaskan
39
Richo yapi Charly Corputty, Gerakan mahasiswa Papua : Studi organisasi Aliansi
Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta, Tesis . Yogyakarta: Perpustakaan Universitas Gadjah
Mada, 2007.
22
perbedaanya dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, salah satunya melalui
“Spirit of Mambesak”.
Sementara itu, strategi yang ditampilkan mereka dalam aksi masa menjadi
dinamis di masa kini. Berbeda dengan dinamika pergerakan mereka di masa lalu.
Saat ini, Aliansi Mahasiswa Papua berhasil berafiliasi dengan Front Rakyat
Indonesia for West Papua, salah satu front yang bersolidaritas tentang
permasalahan penindasan. Oleh karenanya, dengan berafiliasi Aliansi Mahasiswa
Papua dengan beberapa organ lain, telah mentransformasikan kesadaran bersama,
dan memperkuat isu kemanusiaan, khususnya di Papua.