BAB 3 ANALISIS DATA - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab3/LMM2006-63-Bab 3.pdf · Di...

26
23 BAB 3 ANALISIS DATA 3.1 Arsitektur Rumah Tradisional Jepang Arsitektur rumah tradisioanl Jepang terutama dilihat sebagai tempat tinggal yang alami, sejak abad ke-16 elemen-elemen arsitektur rumah tradisional Jepang meliputi sistem struktural, yang terdiri dari tatami dan bahan bangunan lainnya yang sepenuhnya didirikan untuk mempertemukan agama, filosofi, kesenian dan lainnya. Konsep dasar dalam arsitektur Jepang adalah Ma |間 (ditulis dengan huruf karakter Cina yang juga diucapkan ken atau aida). Tidak ada arti yang pasti di dalam Bahasa Inggris, beberapa mengartikan ma dengan: ruangan, hubungan, jarak, keberuntungan, jeda, atau tergantung pada pemakaian kalimatnya. Di dalam seni arsitektur istilah yang paling sesuai dengan ma adalah jarak diantara dua tiang penyanggah atau ruangan diantara dua dinding atau lebih, atau apapun yang dapat saling berhubungan. Menurut Atsusi Ueda (1990) dalam bukunya yang berjudul In Harmony of the Japanese House mengatakan: “ The History of Japanese architecture is the struggle with the pillar” (Dasar dari arsitektur bangunan rumah Jepang adalah pada kekohohan tiang kayunya). ( Yoshino : 2005 ). Ada dua hal yang terjadi di dalam proses pembentukan dan pembangunan. Pertama, suatu keserasian yang dibangun diantara penempatan tembok pembatas, sehingga membentuk suatu ruangan bagian (ruangan-ruangan). Kedua, dinding itu sendiri yang dapat merubah keserasian tiang-tiang penyanggah dengan bahan-bahan yang digunakan di dalam konstruksi bangunan itu sendiri. Hal ini sangatlah penting

Transcript of BAB 3 ANALISIS DATA - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab3/LMM2006-63-Bab 3.pdf · Di...

23

BAB 3

ANALISIS DATA

3.1 Arsitektur Rumah Tradisional Jepang

Arsitektur rumah tradisioanl Jepang terutama dilihat sebagai tempat tinggal yang

alami, sejak abad ke-16 elemen-elemen arsitektur rumah tradisional Jepang meliputi

sistem struktural, yang terdiri dari tatami dan bahan bangunan lainnya yang sepenuhnya

didirikan untuk mempertemukan agama, filosofi, kesenian dan lainnya.

Konsep dasar dalam arsitektur Jepang adalah Ma|間 (ditulis dengan huruf

karakter Cina yang juga diucapkan ken atau aida). Tidak ada arti yang pasti di dalam

Bahasa Inggris, beberapa mengartikan ma dengan: ruangan, hubungan, jarak,

keberuntungan, jeda, atau tergantung pada pemakaian kalimatnya. Di dalam seni

arsitektur istilah yang paling sesuai dengan ma adalah jarak diantara dua tiang

penyanggah atau ruangan diantara dua dinding atau lebih, atau apapun yang dapat saling

berhubungan. Menurut Atsusi Ueda (1990) dalam bukunya yang berjudul In Harmony of

the Japanese House mengatakan: “ The History of Japanese architecture is the struggle

with the pillar” (Dasar dari arsitektur bangunan rumah Jepang adalah pada kekohohan

tiang kayunya). ( Yoshino : 2005 ).

Ada dua hal yang terjadi di dalam proses pembentukan dan pembangunan.

Pertama, suatu keserasian yang dibangun diantara penempatan tembok pembatas,

sehingga membentuk suatu ruangan bagian (ruangan-ruangan). Kedua, dinding itu

sendiri yang dapat merubah keserasian tiang-tiang penyanggah dengan bahan-bahan

yang digunakan di dalam konstruksi bangunan itu sendiri. Hal ini sangatlah penting

24

untuk dijadikan sebagai tembok atau dinding pembatas ruangan. Pada kedua hal

tersebut, salah satunya mengatur ma atau suatu hubungan yang telah ada sebagai proses

pembangunan arsitektur yang dapat mencerminkan suasana hati dari suatu rancangan

arsitektur tradisional Jepang.

Interior rumah tradisional Jepang mempunyai kekhasan karakteristik terhadap

lingkungan tempat tinggal yang alami. Atap rumah yang menonjol berfungsi untuk

melindungi struktur bangunan dalam menghadapi iklim dan kondisi geografis di negara

Jepang seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain itu faktor luar seperti

pengaruh dari bangsa asing pun dapat mempengaruhi arsitektur rumah tradisional

Jepang.

Arsitektur rumah tradisional Jepang pada dasarnya memakai bahan dasar kayu,

karena balok kayu merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat berlimpah di

Jepang. Untuk manghadapi keadaan iklim seperti ini rumah tradisional Jepang sangat

memerlukan struktur kayu yang kokoh dan kuat untuk menjaga interiornya.

Yang terpenting dari konsep ken atau ma ini adalah bukan dari standarisasi pada

semua bangunan, tetapi pada standarisasi seluruh ukuran pada bangunan, tiang penguat

pada bangunan, balok penyokong atap rumah, langit-langit, shoji, fusuma, tokonoma,

serta keputusan di dalam meyeimbangkan keharmonisan proporsi bangunan.

Rumah tradisional Jepang dengan tinggi 1,68 meter meskipun di dalam istilah

estetika bukanlah standarisasi untuk manusia atau untuk seseorang yang bisa duduk

(karena tinggi orang yang sedang duduk adalah sekurang-kurangnya 36 inchi atau

sekitar 1 meter untuk orang yang tertinngi di Jepang pada masa lalu). Halaman dan

unsur-unsur yang menunjang keindahan yang lain seperti tokonoma sangatlah perlu

25

untuk dapat dilihat dari dalam ruangan atau ketika sedang duduk di dalam suatu ruangan,

dan penempatan pintu, jendela, tokonoma pun haruslah serasi. (Seike,1977:81-82).

3.2 Elemen-Elemen Rumah Tradisional Jepang

Selain pemilihan bahan bangunan dasar kayu seperti yang telah dijelaskan pada

bab sebelumnya, konstruksi bangunan interior rumah tradisional Jepang cenderung

terbuka, karena untuk membiarkan pergerakan keluar-masuknya sirkulasi udara yang

tidak terbatas di dalam ruangan rumah tradisioanl Jepang. Dengan keadaan yang terbuka

seperti ini maka rumah tradisional Jepang lebih mudah terkena berbagai macam

gangguan seperti; kotoran, debu, serangga, dan suara-suara yang dapat mengganggu

ketengan para penghuni rumah. Untuk menyikapi hal tersebut maka ruangan pada

rumah tradisional Jepang dibangun dengan komponen-komponen bangunan sebagai

berikut;

a) Fusuma (ふすま)

Pada zaman dahulu, rumah tradisional Jepang lebih terbuka dengan tidak

dibangunnya ruangan-ruangan atau tembok-tembok pembatas dan hanya dibatasi dengan

dinding pembatas yang disebut dengan fusuma. Fusuma adalah pintu geser yang

dibungkus dengan kertas tebal tembus pandang atau kain di atas bingkai petak-petak

kayu yang digunakan untuk memisah-misahkan ruangan-ruangan (sebagai penyekat atau

pembatas antar ruangan dalam rumah).

Tinggi pintu ruangan pada rumah tradisioanl Jepang ini biasanya berkisar 6 kaki.

Biasanya kertas-kertas atau kain-kain tersebut digambari dengan gambar pemandangan

alam pada satu atau kedua sisinya. Fusuma biasanya dapat dibongkar atau di pindahkan

26

untuk memperbesar ruangan atau membatasi ruangan. Dengan arti lain fusuma adalah

sebuah dinding yang dapat dipindah-pindahkan dan dapat digeser.

Gambar 1 Fusuma (Yoshino : 2004)

b) Shoji (障子)

Shoji adalah pintu geser yang di bungkus dengan kertas tipis yang di rekatkan

pada petak-petak kayu dan bingkai pintu. Kayu tersebut biasanya tidak diamplas. Shoji

berasal dari Cina. Tinggi shoji pada rumah tradisional Jepang biasanya berkisar enam

kaki, normalnya dibagi menjadi empat bingkai (frame). Yang paling utama dari fungsi

shoji ini adalah sebagai sekat atau untuk memisahkan ruangan dalam dengan ruangan

luar atau teras.

Di dalam rumah modern, shoji digunakan sebagai pemisah ruangan dimana

sandal rumah dipakai ataupun tidak dipakai. Shoji kadang-kadang dibelah menjadi dua,

bagian atas dapat berfungsi sebagai jendela dan bagian bawah dapat berfungsi sebagai

pintu.

27

gambar 2 Shoji (William : 2004)

c) Tatami (畳)

Tatami berasal dari kata kerja tatamu(畳む),yang berarti menumpuk.dengan

kata lain tatami adalah pelapis lantai rumah yang terbuat dari ikatan jerami yang

dijadikan satu dengan papan kayu, dan biasanya di dalam (interior) rumah tradisional

Jepang, tatami ini di jadikan sebagai lantai dan juga digunakan sebagai pembatas antara

ruangan dalam dengan ruangan luar

. Ukuran tatami biasanya sekitar 90x180 cm dan tebalnya sekitar 1 3/4 – 2 ½

inchi.Di daerah Kyoto berukuran 6,3 kaki X 3,1 kaki sedangkan di Tokyo tatami

berukuran 5,8 kaki X 2,9 kaki Untuk rumah tradisioanal Jepang ukuran ruangan di

dalam satu ruangan kurang lebih sekitar enam tikar tatami, atau lebih dikenal dengan

“rokojuma” (六じゅうま) (six-mat-room/ ruangan dengan enam tatami).

Pada saat tatami pertama kali dipasang, tatami ini berwarna hijau, tetapi ketika

lama-kelamaan akibat terkena sinar cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan,

tatami ini berubah warna menjadi kuning. Cara membersihkan tatami sangatlah mudah

28

hanya dilap dengan kain yang diberi sedikit air atau dengan penyedot debu (vacuum

cleaner).(Yoshino :2004)

Tatami sudah digunakan sejak Zaman Heian (794-1185. Memasuki zaman

Muromachi (1333-1568) lantai rumah pada rumah tradisional Jepang sudah dilapisi

semua dengan tatami. Tatami meliputi lantai, futon (kasur lipat yang disimpan didalam

oshiire/lemari didalam dinding). Sejak saat itu tanpa sesuatu yang besar atau furnitur

yang spesifik, maka fungsi ruangan menjadi berubah total.

gambar 3 Tatami (William : 2004)

d) Ranma (らんま)

Ranma atau jendela kecil di atas pintu yang memiliki ukiran yang berada di atas

dinding dan digunakan di antara shoji dan plafon untuk memberikan sirkulasi udara dan

cahaya. Ranma dibuat dalam berbagai macam variasi ukuran. Di daerah barat ranma

digunakan sebagai ventilasi dan dekorasi dinding. Ranma dapat ditempatkan sebagai

shoji, dalam dinding atau dengan cahaya dibelakang dekorasi tersebut. Cahaya dapat

29

ditempatkan di belakang ranma untuk menerangi sebuah desain bangunan. Ranma dapat

dikatakan sebagai kusen. (Japanese room interior design and material :2004)

gambar 4 Ranma ( Yoshino : 2004)

e) Tokonoma (床の間)

Tokonoma adalah suatu ruangan yang berukuran lebih kecil dari ruangan yang

ada di dalam rumah. Letaknya berada di dalam kamar dengan posisinya lebih tinggi

beberapa inchi dari lantai tatami (gaya ruangan masyarakat Jepang).

Alasan mengapa tokonoma dibuat satu tingkat lebih tinggi dari lantai sebuah

ruangan (tatami) adalah karena pada zaman dahulu sebelum pengaruh agama Budha

masuk ke Jepang, bangsa Jepang telah mengalami sistim kepercayaan dinamisme yaitu

percaya bahwa alam adalah segalanya dan dapat dikatakan sebagai dewa bagi mereka.

Mereka juga percaya bahwa kesucian orang Jepang berasal dari alam dan kemudian

menciptakan manusia sebagai bagian dari alam. Maka mereka sering melakukan

persembahan kepada dewa-dewa mereka di dalam sebuah ruangan yang dilengkapi

debgan segala yang berbau alam seperti: ikebana dan dupa. Lantai pada ruangan

persembahan ini sengaja dibuat satu tingkat lebih dari ruangan tatami dengan alasan

bahwa lantai atas pada ruangan pemujaan ini diilustrasikan sebaga dewa, sedangkan

lantai bawah (tatami) diilustrasikan sebagai manusia. Pada akhirnya setelah pengaruh

30

agama Budha mulai masuk ke Jepang maka ruangan persembahan ini pun telah berubah

menjadi sebuah bangunan yang dinamakan Butsudan (altar bagi agama Budha). Seiring

dengan berjalannya waktu maka Butsudan ini telah berubah menjadi sebuah bangunan

yang dinamakan tokonoma.

Ruangan ini sengaja dibuat sebagai cara untuk mempermudah atau membuat

nyaman seseorang ketika merenung atau berkhayal. Kebiasaan membuat ruangan seperti

ini ada sejak periode Muromachi (1573-1603).

Jika dilihat sepintas, ruangan tanpa pintu ini cukup luas, padahal yang

sebenarnya tidaklah demikian, sebab pada awalnya ruangan ini hanyalah berfungsi

sebagai tempat untuk menggulungkan atau memajang hiasan dinding berupa gulungan

dengan motif Budha dan dibawahnya diletakkan sebuah meja kecil dengan tempat

pembakaran dupa. Jadi secara otomatis ruangan ini akan penuh dengan harum dupa.

Tentunya perubahan zaman akan mempengaruhi pula pada fungsi dan tata

ruangan ini. Terbukti kini ruangan ini menjadi tempat untuk menghilangkan kepenatan.

Mereka bisa beristirahat dengan nyaman dan santai di ruangan ini dan hiasan-hiasan di

dindingpun berubah pula, berganti dengan kaligrafi-kaligrafi atau pemandangan alam

yang indah dan cantik dengan meja dan jambangan-jambangan bunga juga beberapa

hiasan benda seni lainnya.

Di dalam tokonoma ini tidak memajang sesuatu yang berbeda untuk menciptakan

sebuah suasana yang baru sesuai dengan kehendak si pemilik rumah ataupun sesuai

dengan musim yang sedang berlaku. (Gozali, 2004 : 24)

Menjelang Zaman Muromachi (1392-1573) tokonoma telah mengalami

peningkatan lantai dapat digunakan sebagai sebuah pangggung atau rak dan berfungsi

sebagai tempat untuk menggantungkan gambar sang Budha atau lukisan kaligrafi dari

31

pendeta Zen, bersamaan dengan vas bunga dan juga dupa. Tempat lilinpun kemudian

berangsur menghilang. ( Yoshino :2004).

Pada zaman Azuchi Momoyama (1573-1603), tokonoma telah menjadi suatu

bangunan standar permanen sebagai bagian dari tujuan untuk memperlihatkan benda-

benda seni yang dianggap sangat beharga dan untuk menghias atau memperindah

ruangan. (Jaanus : 2004).

Ada beberapa komponen yang biasanya terdapat pada tokonoma, yakni

tokobashira /床柱 , yaitu tiang atau pilar dari tokonoma. Tiang ini berguna untuk

menegaskan dimana panggung kecil dari tokonoma itu berdiri. Di dalam chashitsu/茶室

(ruangan minum teh), tokobashira biasanya dibuat dari batang kayu pohon cemara yang

belum jadi. Sedangkan lukisan biasanya digantung ditengah-tengah dinding tokonoma.

Rangkaian bunga ditempatkan di atas meja kecil di depan lukisan. Elemen

tokonoma selanjutnya adalah tokogamachi/床がまち, yaitu bingkai tokonoma bagian

bawah. Kemudian otoshigake/落し掛け、yaitu bingkai tokonoma bagian atas. Lantai

tokonoma harus dilapisi dengan tatami /畳. Tokonoma di dalam chashitsu 茶室 (ruang

untuk upacara minum the formal) dinamakan hondoko/ 本床.

gambar 5

Hondoko (Tea-ceremony : 2005)

32

Sedangkan untuk tokonoma pada ruang upacara minum teh semi formal

dinamakan ryakushiki-doko. Ryakushiki –doko ini terbagi menjadi:

a) Kabe-doko/ 壁床 , yaitu tokonoma yang meninggalkan seluruh elemen

tokonoma yang ada di hondoko, seperti: tokobashira, toko-gamachi, otoshi-

gake dan juga tidak menggunakan lantai tatami. Bagian dindingnya dibuat

untuk mengantungkan lukisan atau tulisan kaligrafi.

b) Oribe-doko/織部床, yaitu ryakushiki-doko yang pada bagian atas kabe-doko

terpasang kayu yang dinamakan oribe-ita. Oribe-ita ini berfungsi sebagai

pelindung gantungan lukisan atau tulisan kaligrafi.

c) Oki-doko/ 置き床 , yaitu ryakushiki-doko yang papan kayunya dapat

dipindah-pindahkan dan diletakan di depan kabe-doko.

d) Tsuri-doko 釣床, yaitu tokonoma yang papan kayunya tergantung.dan

terdiri dari kabe-doko/ 壁床 dan otoshi-gake/落し掛け.

gambar 6

Ryakushi-doko (Tea-ceremony : 2004)

33

Di dalam tokonoma bergaya shoin (書院), kita dapat menemukan meja kecil

yang dinamakn tsukeshoin. Tsukeshoin ini berfungsi untuk memajang alat-alat untuk

menulis. Kemudian elemen selanjutnya adalah rak-rak bersusun (chigaidana) yang

berfungsi untuk memajang benda-benda koleksi pribadi seperti; buku atau alat-alat

untuk jamuan minum teh. Sebagai penambahannya adalah pintu dekorasi (chogaidome)

yang digunakan sebagai elemen tambahan pada tokonoma. Chogaidome ini mempunyai

ciri khusus, dimana pintu geser ini dilukis dengan berbagai hiasan. Di tembok bagian

lain biasanya ada jendela yang berguna untuk membiarkan cahaya masuk kedalam

ruangan, dan setiap tokonoma memiliki karakteristik tersendiri. (Display-tokonoma:

2004)

Sebagai seorang tamu yang dihormati biasanya duduk di depan atau tepat di

sebelah tokonoma, Bagaimanapun ini dikarenakan dari penataan ruang tempat duduk

untuk tamu maka bagian belakang dari badan si tamu adalah tokonoma. Si tuan rumah

bertatapan langsung memandangi tokonoma ketika sedang berbicara dengan si tamu, hal

ini mungkin dikarenakan sejak si tuan rumah telah meluangkan waktu utuk memilih

dengan seksama lukisan yang tepat untuk dipajang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Dan bersamaan dengan itu si tamu pada umunya melihat ke daerah taman yang secara

langsung berlawanan pandang dengan tokonoma. ( Yoshino : 2004).

Tokonoma juga dapat dikelompokan lagi sesuai dengan ukuran besar dan

lebarnya menjadi:

a) Masu-doko/升常, yaitu tokonoma yang berukuran sekutar sentengah ukuran

lantai tatami.

34

b) Daime-doko/台目床, yaitu tokonoma yang berukuran daime tatami.

c) Ikken-doko/一間床, yaitu tokonoma yang berukuran maru-tatami(丸畳).

d) Nana-shaku-doko/ 七尺床, yaitu tokonoma yang lebarnya sekitar 212—227

cm (satu shaku berukuran sekitar 30.3 cm).

e) Hasshaku-doko/八尺床, yaitu tokonoma yang berukuran delapan shaku atau

setara dengan 272cm.

f) Kyuushaku-doko/九尺床, yaitu tokonoma yang berukuran sekutar sembilan

shaku atau setara dengan 302cm.

Mempertimbangkan fakta bahwa ketika tokonoma menjadi sangat terkenal di

masa Meiji (1868-1912), kebanyakan orang-orang tidak memiliki lukisan atau

semacamnya yang seharusnya terpajang bersamaan dengan benda-benda seni yang lain,

yang seharusnya berada disana.

Pada saat itu banyak pemilik rumah di Jepang telah mencapai suatu kekayaan

tertentu, namun ingin kembali seperti dahulu karena merasa rindu dengan masa itu.

Setelah masa itu sebuah ruang tamu tidak dikatakan lengkap apabila ruangan tersebut

tidak ada tokonoma, dan memiliki tokonoma merupakan suatu kebanggan tersendiri.

Sampai dengan abad ke-19, hampir tidak ada tokonoma di setiap rumah-rumah baik di

desa maupun di kota. Untuk saat ini di perumahan-perumahan kota Kyoto,

kesempurnaan sebuah keluarga (rumah), bukan hanya terletak pada adanya sebuah

lukisan di dinding ataupun benda-benda seni lainnya di tokonoma, akan tetapi penutup

yang terpisah dari gudang.

Di dalam sebuah rumah, ruang tempat duduk atau semacam ruang tamu (座敷/

和室 ) untuk tempat bersantai saat ini yang lebih diperhitungkan adalah dengan

35

terdapatnya sebuah rak (chigaidana) pagar/bingkai tokonoma (tokogamachi), dan sebuah

meja baca dengan rak susun yang semuanya itu termasuk di dalam elemn-elemen

tokonoma. (Atsusi ,1990:91)

gambar 7.

Tokonoma (Yoshino : 2004)

3.3 Contoh-Contoh Tokonoma di Kota Tokyo dan Kyoto

Pada tahun 1868 pemerintahan Tokugawa runtuh, mengiringi masuknya era

pemerintahan modern. Kaisar Meiji meninggalkan Kyoto dan menempati tempat tinggal

di Edo, yang sekarang berubah nama menjadi Tokyo (“eastern capital”/Ibu kota

wilayah timur), dan menjadi pusat dari kekuasaan negara. Pada masa transisi seperti ini,

era ini disebut sebagai masa “Restorasi Meiji” (berhubungan dengan “restorasi” kaisar

sebagai penguasa yang syah menurut hukum dari negara tersebut termasuk Shogun).

Dan pemerintahan Kaisar Meiji ini sekarang lebih dikenal dengan masa pemerintahan

Meiji (Meiji Period).

Masa pemerintahan Meiji memiliki ciri-ciri yaitu melakukan penolakan terhadap

sistim dan budaya pada masa Edo dan mulai berkembangnya sistem modernisasi

36

pemerintahan, dan pada hakekatnya bersamaan dengan berlakunya budaya barat

(westernization). (Inaba, 2000: 93-94).

Sebelum runtuhnya pemerintahan Tokugawa Shogun, perumahan bergaya

kebarat-baratan telah dipergunakan untuk para diplomat asing dan para pedagang.

Budaya kebarat-baratan seperti ini tidak hanya pada penataan perumahan tetapi juga

pada gaya makanan, gaya pakaian dan sebagainya, yang semuanya ini telah sebagian

besar membaur pada akhir abad ke-19. Meskipun demikian bangsa Jepang mulai

membangunnya pertama kali untuk mereka gunakan sendiri.

Perumahan bergaya kebarat-baratan yang dibangun seperti ini tidak terlalu

banyak dibandingkan dengan perumahan paviliun yang dibangun sebagai hiburan atau

membedakan para masyarakat pendatang (tamu). Keluarga yang tinggal di rumah yang

bergaya Jepang memasang samping rumahnya dengan serambi yang biasa ada atau

dengan membuat lorong kecil. Intisari dari rumah bergaya Jepang adalah membuat lebih

sederhana bangunan yang bergaya Shoin (Shoin Style), kemudian memisahkan ke dalam

dua bagian yaitu bagian ruang formal dan ruang keluarga.

Bagian formal sebagian besar terdiri dari seperempat ruangan kepala rumah

tangga , atau sebuah ruangan yang digunakan untuk acara santai (acara tidak resmi),

yang dilengkapi dengan zashiki/ 座敷 (ruang duduk ala Jepang), yang termasuk

didalamnya adalah sebuah ruang dekoratif (tokonoma/床の間 ) lengkap dengan rak

susunnya (staggered shelve). (Inaba kazuya:2000:96).

Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Edward S. Morse pada saat

kedatangannya ke Jepang pada tahun 1877, Morse memberikan gambaran mengenai

37

contoh-contoh tokonoma yang ada pada saat itu khususnya di kota Tokyo dan Kyoto.

Dan akan di jelaskan sebagai berikut:

1) Contoh tokonoma di kota Tokyo pada ruang tamu

Gambar 8

Tokonoma-Tokyo (Morse, 1977 : 141)

Di dalam suatu ruangan yang luas di Tokyo, tokonoma memiliki kedalaman

sekitar enam kaki (six-feet) dengan luas yang bervariasi. Vas bunga dan lukisan gantung

yang terdapat di bilik (suatu ruangan kecil yang ada di dalam suatu ruangan besar)

berukuran sangat besar. Pada ruangan lainnya di sebuah rumah seorang bangsawan,

terdapat susunan gulungan kain sutra pada tokonoma, sebagai pengganti dari terbukanya

berandah (verandah),yang telah dibatasi oleh sekat permanen untuk mengisi sebagian

sisi ruangan yang membatasi berandah tersebut.

Di dalam sekat tersebut terdapat sebuah jendela berbentuk lingkaran yang terbuat

dari bingkai bambu yang indah. Bagian luar yang terbuka dari jendela ini telah ditutupi

dengan shoji, dimana tergantung sebuah pengait dan dapat dipindahkan ketika

38

dibutuhkan. Di dalam hal ini seorang tamu, ketika duduk di depan tokonoma akan

terlindungi dari angin dan sinar matahari ketika ruangan tersebut dibuka.

Pada rumah seorang bangsawan, di sebuah tempat yang disekat ini sering

terdapat sebuah tokonoma yang memiliki rak kecil dengan sebuah papan dibawahnya

sebagai sebuah hiasan di bawah jendela. (Edward, 1977: 141)

2). Contoh penempatan tokonoma pada sebuah tempat tinggal di kota Kyoto

Gambar 9

Tokonoma-Kyoto (Morse, 1977 : 145)

Pada ruangan ini memancarkan akhir kesempurnaan dari kemurnian sebuah

ruangan. Sebuah tokobashira (pilar) terdiri dari lilitan sebatang kayu yang sangat keras

dankayu yang lain dari biasanya. Penutup dinding penyekat di sekitar chigaidana (rak

susun) memiliki bimgkai yang terbuat dari bambu berwarna coklat kehitam-hitaman,

salah satu bagian yang vertikal di sisi lain dari chigaidana terdapat potongan tiang

hitam bersegi delapan membagi permukaan tersebut secara tidak beraturan.

39

Fusuma (pintu geser) menutup rak yang terdapat pada tokonoma ini, yang mana

pintu ini telah dilapisi dengan kertas berwarna emas. Selanjutnya hikite (pegangan pada

fusuma) dibuat dari belahan bambu dan dibiarkan dipermukaan. Plester dari tokonoma

sangat mewah, hangat dengan warna kuning tuanya. Langit-langit dibuat dari dinding

segi empat yang besar yang berasal dari kayu pohonn cemara tua diperindah dengan

butiran biji padi. Ruangan ini sudah cukup modern pada zaman tersebut, dan dibangun

pada tahun 1868 (Edward, 1977: 145)

3.4 Karakteristik Wabi-Sabi Terhadap Tokonoma

Menurut Leonard koren (1994), sebagai sistem estetik yang komprenhensif,

wabi-sabi(詫び寂び) telah mempunyai jangkauan ruang lingkup yang luas antara lain;

ajaran moral, spiritual, metaphisik, ekspresi dan kualitas benda.

Menurut Suzuki (1991), ajaran ilmu estetika mengenai hidup seperti bertapa

(pertapaan) bukanlah bagian terpenting dari ilmu estetika Zen. Seni mendorong hati kita

untuk lebih hidup sederhana atau lebih membawa diri kita berlaku baik. Daya tarik seni

lebih mengacu pada prilaku atau sifat manusia. Berperilaku baik adalah bersifat teratur,

sedangkan berkesenian adalah kreatifitas. Salah satunya adalah tuntutan-tuntutan yang

tidak masuk akal, yang lainnya adalah tidak mengekang berekspresi di dalam berseni.

Zen jelas sangat berhubungan dengan seni dan bukan dengan sikap unmoral. Zen

merupakan suatu semangat jiwa yang tejadi atas gabungan dari sikap moral dan seni.

Ketika para seniman Jepang mengkreasikan sebuah benda tidak sempurna dari sudut

pandang bentuk, mereka dapat menganggap alasan berkesenian mereka masih

menjunjung sikap moral secara luas. (Suzuki. 1991:27)

40

Secara keseluruhan ruang lingkup tersebut merupakan bagian dari perwujudan

karakteristik ajaran Zen Budha(禅). Kaidah-kaidah estetis wabi-sabi memuat nilai-

nilai ajaran Zen Budha sebagai faktor internal yang secara langsung berkaitan dengan

penciptaan karya seni dan secara eksternal berfungsi sebagai penunjang dalam

mewujudkan karya seni, yang berkaitan dengan material dan teknik.

Menurut Hizamatsu Shinichi (1974), prinsip-prinsip ajaran zen telah digunakan

sebagai acuan dalam menentukan kaidah-kaidah estetis (wabi-sabi), termasuk unsur dan

prinsip seni jepang. Adapun karakteristik dari seni tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fukinsei (不均整)

Fukinsei mempunyai pengertian ketidakteraturan atau irregular. Fukinsei

merupakan salah satu karakteristik dari ajaran zen, dalam hal ini Hizamatsu telah

menggunakan karakter tersebut sebagai prinsip utama dalam menciptakan karya seni

untuk menampilkan kesan dinamis.

Sebagai latar belakang kebudayaan zen, asimetri atau fukinsei mempunyai makna

membuang nafsu duniawi atau kehidupan bukan saja berorientasi pada kesempurnaan

tetapi juga pada ketidak sempurnaan, karena sesuatu kesempurnaan yang sempurna

adalah sesuatu yang tidak sempurna atau sebaliknya. (Sri :2002).

Makna fukinsei ini juga tampak pada rumah tradisional Jepang yang tata letak

ruangannya terbuka dan tanpa di penuhi oleh furniture serta hiasan-hiasan penunjang

lainnya. Ini jelas menggambarkan bahwa si pemilik rumah tersebut telah membuang

nafsu duniawinya dengan tidak memperindah rumah dengan hiasan-hiasan rumah

modern di dunia pada umumnya. Dengan demikian, letak kesempurnaan dari suatu

41

keindahan pada sebuah rumah bagi orang Jepang adalah keindahan alami, sederhana,

namun tetap tampak mewah.

Selanjutnya di katakan bahwa untuk mewujudkannya makna tersebut ke dalam

suatu karya seni, seniman harus berkreatif dalam melakukan pengubahan, perusakan dan

penyimpangan bentuk. Yang dikenal dengan istilah yugami dan henkei (distorsi dan

deformasi). Sehingga ada kalanya berkesan sangat wajar atau tidak wajar. (Hizamatsu;

1974)

Kendatipun pendistorsian dan pendeformasian dalam suatu bentuk yang

dilakukan oleh seorang seniman mempunyai bermacam-macam tujuan antara lain; demi

komposisi, demi keindahan, demi ekspresi, dan seterusnya. Di dalam ajaran zen Budha,

menekankan bahwa ketidak keteraturan merupakan suatu proporsi alami yang terjadi di

alam, yang senantiasa muncul ketika terjadi harmoni geometris. Keseimbangan yang

asimetris dan keteraturan yang menampilkan kesan statis serta monoton.

Di dalam prinsip seni, asimetris bisa juga diartikan tidak sama tetapi seimbang,

dan ketidak seimbangan tersebut terjadi karena adanya irama atau ritual yang dinamis;

misalnya ada pebedaan ukuran, warna, bentuk, tekstur, ruang, dan pencahayaan. Di

dalam tokonoma keseimbangan asimetri ini terjadi antara keselarasan bentuk dan

penataan cahaya yaitu keselarasaan antara ikebana, kakejiku, dupa serta ditambahi

dengan penataan cahaya yang dinamis. Yang walaupun ketiga benda tersebut bentuk dan

ukurannya berbeda namun dengan penambahan cahaya yang dinamis maka benda-benda

tersebut akan menjadi indah di dalam tokonoma.

Koji Yagi pun mengatakan bahwa unsur pencahayaan di dalam tokonoma (床の

間) juga sangatlah penting karena dapat memberikan kesan yang sangat indah dan

42

dinamis terhadap tokonoma(床の間) tersebut, maka dari itu untuk memberikan

pencahayaan yang asimetris tidak dilakukan dengan sembarangan.(lihat lampiran ).

(Koji, 1987: 70).

2. Kanso (簡素)

Kanso mempunyai pengertian sederhana yang menurut pandangan zen ibarat

warna langit yang berwarna biru dan Nilai tertinggi dari suatu kesederhanaan itu

menurut Hizamatsu adalah sesuatu yang dapat mewakili atau mencerminkan sifat dari

suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui garis, warna, bentuk dan unsur-

unsur lainnya. (Hizamztsu : 1993).

Kesederhanaan seperti ini juga tampak pada seni arsitektur rumah tradisional

Jepang yang simpel, sederhana tanpa dipenuhi dengan berbagai macam furnitur dan

hanya diperindah dengan hiasan-hiasan yang terdapat pada tokonoma ( 床の間 ).

Hiasan-hiasan tersebut dibuat secara sesederhana mungkin dengan penyusunan rak-rak

kayu (chigaidana) yang secara asimetris diharmonisasikan dengan sistem penataan

cahaya yang berkesinambungan dengan warna alami kayu yang juga dibuat sedimikian

rupa untuk menampilkan kesan sederhana, alami namun tetap mewah dan menimbulkan

keindahan yang dinamis.

Selanjutnya warna yang sederhana adalah warna yang tidak menyolok (warna

redup), atau monokromatik dan mempunyai nilai rendah. Contoh warna tidak menyolok

ini antara lain terdapat pada warna dasar kayu (coklat). Sedangkan bentuk yang

sederhana adalah bentuk yang tidak bervariasi dan polos.

43

3. Kokou (考古拘 ) / かれる

Kokou mempunyai pengertian ekssensi atau hakikat dari suatu banda yang

tercermin melalui karakteristiknya, untuk memperoleh kehakikiannya itu perlu

melakukan pemahaman antau pencerapan. Dalam hal ini Hizamatsu mencontohkan

bentu bulat sebagai dari bentuk geometris (segitiga, segiempat, maupun ouval). Karena

bentuk A dan B berasal dari bentuk C

A B C

Gambar 10 Essensi bentuk (Pramudjo : 2002)

Gambar A dan B berasal dari bentuk lingkaran atau bulat dan sehingga gambar C

merupakan bentuk yang paling sederhana atau essensi. (Pramudjo : 2002)

Bentuk geometris di ata merupakan bentuk-bentuk yang berasal dari alam,

seperti bentuk segitiga bagi orang Jepang merupakan pencerminan dari bentuk gunung,

sedangkan bentuk persegi panjang merupakan pencerminan dari bentuk sungai dan

bentuk lingkaran merupakan pencerminan dari bentuk matahari.

4. Shizen (自然)

44

Shizen(自然) merupakan suatu yang terjadi dengan sendirinya, secara wajar dan

apa adanya (ariga mama). Juga tanpa pamrih atau tidak diawali dengan pemikiran dan

tujuan tertentu; bukan naïf atau bukan artificial. Hizamatsu menggaris bawahi bahwa

shizen itu bersifat lazim, alami (natural) dan wajar sehingga bukan sesuatu yang di buat-

buat dengan unsur kesengajaan. Sengaja atau perbuatan tak wajar (wazatorashii/ わざと

らしい ), merupakan sesuatu perbuatan yang datang dengan sendirinya (muri suri

naruyou/ むりすりなるよう). (Pramudjo : 2002).

Seperti yang terlihat pada lukisan (kakemono) dan juga pada rangkaian ikebana

(生け花), yang terpajang di dalam tokonoma(床の間). Keduanya ini merupakan

sebuah benda seni yang dibuat secara sederhana, alami tetapi sangat ekspresif yang

dapat menunjukan suasana hati si pelukis. Lukisan serta rangkaian bunga ini selain

dilukis dan dibuat berdasarkan suasana hati si pelukis, tetapi juga dibuat berdasarkan

pada keadaan musim yang sedang berlangsung pada saat benda seni tersebut dibuat. Dan

semuanya itu dibuat dengan tetap menampilkan unsur alam dan natural.

Shizen ini juga terdapat pada tokonoma dan alat penunjangnya dalam rumah

tradisional Jepang yang dibuat secara sederhana, alami dengan memakai bahan dasar

alami seperti kayu, bebatuan, jerami, dan tumbuh-tumbuhan (bunga atau pohon bonsai)

dibiarkan alami apa adanya dan hanyalah sebuah ruangan kecil dekoratif yang terbuat

dari kayu alami dengan hanya diberi hiasan rangkaian bunga dan gantungan lukisan

pemandangan alam ataupun kaligrafi yang semuanya itu dibuat sesuai dengan keadaan

musim yang sedang berlaku, tanpa di tambahi dengan pernak-pernik hiasan rumah yang

lainnya. Prinsip shizen ini juga diterapkan pada kesederhanaan rumah Jepang yang

selalu ingin menampilkan keindahan sesuatu tanpa harus menghilangkan unsur

45

kealamiannya. (semakin alami sebuah rumah, maka semakin indahlah rumah itu bagi

orang Jepang).

Semua itu merupakan sikap mental yang alami dari seorang yang terpanggil

untuk menciptakan sesuatu, sehingga dapat menghasilkan karya seni ekspreseif, unik

dan tiada duanya. Bisa juga pengertian natural dikaitkan dengan kehidupan yakni tidak

menentang kodrat atau alam; saat ini-seperti ini dan hari ini, misalnya setiap musim

datang dan bergantian sesuai dengan waktunya (musim semi, musim panas, musim

gugur dan musim dingin).

5. Yuugen (幽玄)

Yuugen mempunyai pengertian interpertasi, kesan atau makna yang ditangkap

oleh manusia terhadap keadaan alam yang ada di luar penalarannya. Tentunya

interpertasi tersebut ditentukan oleh latar masing-masing. Misalnya: suasana gelap pada

umumnya memberikan kesan seram, mencekam, menakutkan, mistik, kekejaman,

ataupun ancaman. Yugen bagi Zen Jepang mempunyai makna untuk menumbuhkan

kosentrasi dan menciptakan suasana hening dan cerah. Seperti yang terlihat pada

pewarnaan lukisan Jepang yang monokromatik, juga pada pengaturan cahaya yang

temaram di dalam sebuah tokonoma(床の間)pada rumah tradisional Jepang akan

memberikan kesan hening, damai, tentram, lembut, sunyi dan tenang. Sehingga bila kita

berada dalam sebuah ruangan yang terdapat tokonoma (床の間)di dalamnya maka

jika kita memandang ke arah tokonoma yang diberikan efek cahaya yang redup sambil

kita menatap sebuah lukisan yang tergantung di dalamnya atau melihat sebuah rangkaian

46

bunga yang terdapat di sana maka suasana hati kita pun mempunyai kesan ikut merasa

tenang dan damai.

6. Datsuzoku (脱俗)

Pada butir keenam ini menekankan suatu kebebasan yang tidak terikat pada pola-

pola, patokan, rumus, kebiasaan, dan seterusnya. Bagi zen aneka macam rumusan atau

peraturan tersebut akan menjadikan penghalang atau aktivitas dan kreativitas. Seperti

yang di katakan oleh Sen no rikyu dalam Sri (2002): kreativitas akan muncul jika

mampu melepaskan diri dari patokan, pola dan peraturan yang ada. Sehingga kebebasan

disini bukan berarti bebas secara rasio atau sesuai dengan kehendak, tetapi kebebasan

dalam arti di bawah peraturan apapun, dan peraturan diatas peraturan merupakan suatu

kebebasan yang tidak terbatas.

Seperti pada penataan tokonoma(床の間) pada daerah Tokyo dan Kyoto

pada bab sebelumnya, di sini si pemilik rumah bebas menentukan letak dari tokonoma

tersebut sesuai dengan keinginan hati mereka tanpa dipengaruhi oleh aturan-aturan

apapun.

Hizamatsu (1974), menambahkan bahwa kebebasan ibarat para rahib atau unsui

(雲水) yang bejalan bagaikan awan dan air sungai yang mengalir terus tanpa batas.

Ungkapan tersebut berkaitan dengan kreativitas seniman di dalam mengekspresikan

pemahamannya terhadap alam sebagai kehidupan yang senantiasa bergerak kedalam.

Prinsip Datsuzoku ini juga di gunakan sebagai dasar untuk memperoleh ide-ide

kreatif ke dalam suatu karya seni seperti: seni lukis, arsitektur bangunan dan ruangan

rumah, seni merangkai bunga dan lain-lain

.

47

7. Seijaku (静寂)

Seijaku mempunyai pengertian ketenangan yang bersifat dinamis. Dalam konsep

zen (禅)ketenangan itu diekspresikan dalam keadaan yang diam tetapi mempunyai

bentuk yang bergerak. Konsep ketenangan yang mengacu pada gerak dalam diam ini

merupakan akar dari metafisika wabi-sabi(侘び寂び) , yang mepunyai makna bahwa

alam raya senantiasa bergerak menjalin kekuatan menuju ketiadaan dan setelah

ketiadaan itu hadir, akan muncul kembali sesuatu yang baru untuk berkembang dan

bergerak menuju ketiadaan kembali (circle life/ roda kehidupan). (Sri:2002)

Dan semua ini terdapat pada sebuah tokonoma yang merupakan sebuah benda

tak bergerak tetapi disana terdapat sebuah keindahan dan membuatnya seakan bergerak

kedalam bathin dan menciptakan suatu ketenangan jiwa yang menyatu dengan alam,

apabila kita melihat kearah rangkaian ikebana dan lukisan asri yang tergantung pada

tokonoma tersebut dapat membuat hati kita damai dan sejuk.

Jadi konsep ketiadaan, kesederhanaan dan keindahan menurut wabi-sabi(詫び

寂び), adalah bahwa segala sesuatu yang bersifat sederhana, miskin atau tidak sempurna

bukan berarti sesuatu itu tidak memiliki arti. Namun di kesederhanaan itu dapat

mencerminkan suatu keindahan yang tiada duanya jika kita dapat menyelaraskannya

dengan benda-benda dan sesuatu yang ada di dalam kehidupan kita. Seperti yang

terdapat pada kedua tokonoma di kota Tokyo dan Kyoto, walaupun kedua tokonoma itu

awalnya hanya merupakan sebuah ruang kosong yang dibuat sangat sederhana akan

tetapi jika kita dapat menyelaraskannya dengan benda-benda seni lainnya seperti

ikebana, kakejiku, dan dupa, juga dengan ruangan sekitar maka tokonoma tersebut akan

terlihat indah, mewah dan sempurna. Itulah yang akan menjadikan suatu ketiadaan

48

menjadi suatu keberadaan. Karena di dalam ketiadaan itu membuat kita untuk mau

berusaha mejadikan keberadaan.

Dengan membiasakan diri untuk hidup sederhana dan membuang nafsu

keduniawian kita maka di dalam kehidupan, kita akan terbiasa untuk membuang nafsu

keduniawian kita untuk lebih memikirkan hari akhir dan juga dapat mensucikan hati dan

pikiran kita. Demikian karakteristik zen Budha yang tercermin dalam tujuh prinsip seni

Jepang atau dalam kaidah estetis wabi-sabi, telah digunakan sebagai pedoman atau

panutan dalam menciptakan sebuah karya seni baik itu karya seni arsitektur maupun

karya seni lainnya yang disesuaikan dengan nilai-nilai budaya orang Jepang.