Bab 3 Analisis Data 3.1 Analisis Pengaruh Shinto Terhadap...
Transcript of Bab 3 Analisis Data 3.1 Analisis Pengaruh Shinto Terhadap...
26
Bab 3
Analisis Data
3.1 Analisis Pengaruh Shinto Terhadap Ritual Sumō
Di dalam subbab ini, penulis akan menganalisis ada tidaknya pengaruh Shinto di
dalam ritual-ritual sumō yang telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya.
3.1.1 Dohyō-matsuri
Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2, dohyō-matsuri (lihat gambar 3-1)
merupakan upacara yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menyucikan dohyō.
Gambar 3-1. Dohyō-matsuri
Sumber: www.dichne.com/hedprst.jpg
Berikut ini penjelasan Wheeler (1973) mengenai makna dari dohyō-matsuri:
The dohyō-matsuri is meant to purify the battleground for the coming fifteen days of action, to make sure that no accidents occur, and to signify the wrestlers’ pledge that they will fight in a correct and dignified fashion. The prayers offered to the various gods of heaven and earth also appeal for good weather (a holdover from the earlier times when bouts were staged outside), good crops, and protection from calamity and disaster.
27
Terjemahan: Dohyō-matsuri bertujuan untuk menyucikan arena pertandingan selama lima belas hari ke depan, untuk memastikan bahwa tidak ada kecelakaan yang terjadi dan untuk menunjukkan janji para pegulat bahwa mereka akan bertanding secara benar dan luar biasa. Doa-doa yang diberikan kepada dewa-dewa surga dan bumi juga bertujuan untuk meminta cuaca yang bagus (merupakan tradisi dari zaman awal sumō ketika pertandingan diadakan di tempat terbuka), hasil panen yang bagus dan perlindungan dari kesialan dan bencana.
Dohyō-matsuri adalah ritual yang mengikuti tradisi shinji-zumō, sebuah ritual sumō
tua yang berasal dari zaman Kofun (200 S.M-552 M). Shinji-zumō diadakan untuk
menyenangkan hati dewa-dewa. Dari penjelasan di atas, pengaruh Shinto dapat dilihat
dari makna dohyō-matsuri itu sendiri, yaitu menyucikan. Di dalam konsep penyembahan
Shinto juga terdapat penyucian (harai). Harai juga dilakukan dengan tujuan untuk
menghilangkan hal-hal yang dianggap kotor dan jahat. Penyucian adalah bagian dasar
dari kepercayaan Jepang dan mempengaruhi sistem Shinto (Noritake, 2000:11).
Di dalam Shinto, selain untuk penyucian, ritual harai juga bisa bertujuan untuk
berkomunikasi dengan kami dan juga untuk menghindari atau menyembuhkan penyakit.
Sama seperti salah satu konsep penyembahan Shinto, dohyō-matsuri juga menggunakan
norito (doa-doa). Dohyō-matsuri menggunakan norito untuk meminta perlindungan agar
turnamen berjalan dengan baik, tanpa terjadi kecelakaan sedikitpun.
Wheeler (1973) juga memberi penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan dohyō-
matsuri. Berikut ini kutipan penjelasannya:
Two wooden sticks are clapped together-like those used in kabuki plays-and the gyōji begin reciting the first of many invocations in the sing-song, mannered style of an earlier era. In the course of the ceremony, short wooden stakes decorated with jagged paper strips similar to those hanging from the yokozuna’s belt are placed at the four corners. Sake is sprinkled in the four corners, the four directions, and in the center of the ring. Further offerings are made, and sake is served to the assembled judges. As the ritual ends, the two groups of taiko-beating yobidashi file into the arena and march repeatedly around the ring.
28
Terjemahan: Dua tongkat kayu ditepuk satu sama lain-seperti yang dilakukan dalam drama kabuki-dan gyōji mulai membacakan doa pertama dari banyak doa-doa, dengan gaya yang dipengaruhi oleh era sebelumnya. Di dalam pelaksanaan upacara, dua tongkat kayu pendek yang dihiasi dengan kertas tidak beraturan, seperti yang digantung pada sabuk yokozuna, ditempatkan pada empat sudut dohyō. Sake ditaburkan di empat sudut, empat arah dan di tengah-tengah dohyō. Persembahan tambahan dilakukan dan sake dipersembahkan kepada juri-juri yang berkumpul. Ketika ritual selesai dilakukan, dua kelompok yobidashi yang memukul taiko (drum) memasuki dohyō dan berbaris mengelilingi dohyō.
Penggunaan tongkat kayu yang disebutkan di dalam penjelasan di atas serupa
dengan tongkat kayu yang digunakan dalam Shinto, yang disebut harai-gushi (gambar
3-2). Kertas zigzag yang menghiasi tongkat disebut shide (gambar 3-3). Harai-gushi
biasanya digunakan dalam harai dengan cara melambaikannya pada tempat atau orang
yang menginginkan penyucian.
Gambar 3-2. Harai-gushi Gambar 3-3. Shide
Sumber: http://www.t-carry.com/ Sumber: www.nihonbunka.com
Shide mempunyai dua fungsi yang berbeda jika dilihat dari cara penggunaannya.
Jika shide digunakan pada tambang maka akan membentuk shimenawa yang fungsinya
adalah untuk membuat batas antara hal yang suci dan kotor. Shide yang digunakan pada
harai-gushi berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat, oleh karena itu digunakan ketika
melakukan harai.
29
Penggunaan harai-gushi dan sake pada empat sudut dan tengah dohyō identik
dengan jichin sai (地鎮祭), sebuah ritual Shinto yang biasanya dilaksanakan dalam
pembangunan rumah baru. Jichin sai merupakan ritual yang bertujuan untuk
menenangkan roh-roh yang ada di dalam tanah. Sebagai pelaksanaan jichin sai,
shimenawa diikatkan disekeliling tanah yang nantinya akan dibangun, harai-gushi
dilambaikan ditengah-tengah tanah dan sake ditumpahkan ke tanah tersebut.
Pelaksanaan jichin sai ini mirip dengan dohyō-matsuri, hanya saja tidak ada
penggunaan shimenawa di dalam dohyō-matsuri. Sake yang ditaburkan di dalam dohyō
merupakan penyucian dan sake dipersembahkan kepada juri-juri yang hadir merupakan
simbol sederhana yang menandakan perjamuan dengan kami. Hal ini serupa dengan
naorai yang biasa dilakukan di kuil Shinto di mana para pemuja diberikan sake yang
telah dipersembahkan kepada kami sebelum mereka meninggalkan kuil (Ross, 1983:53).
Taiko (太鼓) yang digunakan ketika ritual berakhir berfungsi sebagai pemanggil kami
(Noritake, 2000:38).
3.1.2 Dohyō-iri
Di dalam bab 2 telah dijelaskan bahwa dohyō-iri (gambar 3-4) adalah upacara
memasuki ring yang dilakukan sebelum mulainya sebuah pertandingan. Wheeler
(1973:112) menyebutkan bahwa tradisi upacara yang panjang di dalam sumō merupakan
tanda harga diri dan formalitas serta membedakan dari olahraga lainnya. Dohyō-iri
dilaksanakan sebagai salah satu ritual tradisional sumō.
30
Gambar 3-4. Dohyō-iri
Sumber: http://www.photojpn.org/exp/sumo/ake28.html
Berikut ini kutipan penjelasan dari Sargeant (1976:56-61) mengenai dohyō-iri:
It may be no exaggeration to say that, in all sport, there is no more brilliant spectacle than the triumphal entry of the grand champions. Termed the dohyō-iri, this takes place every day of each fifteen-day tournament. Around three-thirty in the afternoon when the minor bouts, which have been going on since early morning, have been safely tucked away, the yobidashi or announcer, steps into the arena and beats his clappers, the ring is carefully swept, and one half of the top-ranking maku-uchi wrestlers stride in Indian file down the aisle leading to the ring. They are clad in beautifully embroidered kesho-mawashi, aprons of multi-colored brocade, of every design you can imagine. If your eyes are sharp enough and you can read the Japanese writing on them, you can no doubt make out the wrestler’s name. The wrestlers, about twenty in all, next step up into the ring and form a circle round it, clap their hands in unison, go through an amusing little routine in which they saucily hitch up their aprons half an inch or so, and then withdraw by the same route as they came. The remaining half of the top-rankers then march down the opposite aisle and go through identical motions in the arena. Terjemahan: Bukan melebih-lebihkan, tetapi di dalam semua olahraga tidak ada pertunjukan yang lebih hebat dari pertunjukan masuknya para juara-juara. Disebut dohyō-iri, dilakukan setiap hari selama lima belas hari turnamen. Sekitar pukul setengah empat sore ketika pertandingan-pertandingan kecil yang sudah berlangsung dari pagi telah diselesaikan, yobidashi, atau pemanggil, masuk ke dalam arena dan menepuk, arena bertanding dibersihkan dengan hati-hati dan sekitar satu setengah dari jumlah pegulat tingkat maku-uchi berjalan di koridor yang menuju ke arena. Mereka memakai kesho-mawashi yang sangat indah, kain celemek yang berwarna-warni dengan semua rancangan yang dapat dibayangkan. Jika
31
mata anda cukup tajam dan dapat membaca tulisan Jepang yang tertulis di kain celemek tersebut, anda dapat mengetahui nama pegulat tersebut. Para pegulat yang berjumlah sekitar dua puluh orang, memasuki arena dan membentuk lingkaran yang mengitari arena. Lalu menepuk tangan bersama-sama dan melakukan rutinitas kecil di mana mereka mengangkat kain celemek mereka sekitar satu inci dan keluar dari arena dengan rute yang sama ketika mereka datang, setengah dari pegulat tingkat tinggi kemudian berjalan turun menuju koridor yang berlawanan arah dan melakukan gerakan-gerakan yang mirip di arena.
Akan tetapi, terdapat dohyō-iri khusus yang hanya dilakukan ketika kaisar
menghadiri sebuah pertandingan. Berikut ini penjelasan Wheeler mengenai dohyō-iri
khusus:
A special version of the dohyō-iri is performed on the one day a year when the emperor comes to view the action from his special second-floor box. The wrestlers file in from east and west as usual, but instead of forming a circle on the dohyō, they line up in rows facing the imperial box and simultaneously raise their legs and stamp the ground (soroi-bumi). Then they squat down and rise individually to bow as they are introduced. Terjemahan: Sebuah versi khusus dari dohyō-iri dilakukan pada satu hari dalam setahun ketika kaisar datang untuk menonton dari tempat duduk khususnya. Para pegulat memasuki arema dari arah timur dan barat seperti biasa, tetapi tidak berbaris membentuk lingkaran melainkan berbaris menghadap tempat duduk kaisar dan bersama-sama mengangkat kaki dan menghentakkannya dengan keras ke tanah (disebut soroi-bumi). Kemudian mereka jongkok dan berdiri satu-persatu untuk membungkuk ketika diperkenalkan.
Soroi-bumi yang terdapat di dalam dohyō-iri berasal dari mitos Shinto di mana para
kami mencoba untuk menarik keluar dewi Amaterasu yang bersembunyi di dalam
sebuah gua yang bernama Ama-no-Iwato dan menyebabkan kegelapan. Menurut
Amaterasu dalam Encyclopedia of Shinto (2006), kami yang bernama Takamimusuhi
bersama kami-kami lainnya mendiskusikan cara untuk menarik Amaterasu keluar dan
cara yang dipakai adalah dengan mengadakan festival di luar gua. Suara kami-kami
terdengar oleh Amaterasu dan membuatnya penasaran hingga keluar dari gua.
32
Suara yang dihasilkan oleh kami-kami tersebut menyerupai suara yang dihasilkan
ketika para sumōtori melakukan soroi-bumi (Picken, 1984:66). Di dalam dohyō-iri,
soroi-bumi bertujuan untuk mengusir roh-roh yang jahat dan sekaligus menunjukkan
kekuatan sumōtori yang akan bertanding. Tepukan tangan yang dilakukan dalam dohyō-
iri bertujuan untuk menarik perhatian kami dan juga merupakan tanda bahwa jiwa dan
raga seorang sumōtori telah disucikan (Cuyler, 1987).
Selain kedua dohyō-iri yang telah disebutkan di atas, di dalam sumō juga terdapat
yokozuna dohyō-iri. Seperti yang telah dijelaskan di dalam bab 2, yokozuna adalah gelar
yang diberikan kepada pegulat sumō profesional yang telah mencapai peringkat teratas
dalam olahraga sumō.
Gambar 3-5. Yokozuna Dohyō-iri
Sumber: http://www.photojpn.org/exp/sumo/ake28.html
Yokozuna dohyō-iri berasal dari era Kansei (1789-1801). Pada saat itu beberapa
sumōtori peringkat ozeki diberikan izin resmi untuk melakukan semacam tarian secara
individual (Wheeler, 1973:54). Berikut ini penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan
yokozuna dohyō-iri menurut Ceremonies dalam Sumohawaii:
A yokozuna comes down the aisle attended by a senior gyoji and two maku-uchi rikishi in kesho-mawashi one bearing a sword. While the gyoji and two attendants crouch in the dohyo, the yokozuna performs the dohyo-iri ceremony with the greatest dignity. After first clapping his hands together to attract the attention of the gods, he extends his arms to the sides and turns palms upward to
33
show he is concealing no weapons. Then at the climax he lifts first one leg to the side high in the air, then the other, bringing each down with a resounding stamp on the ground symbolically driving evil from the dohyo. Terjemahan: Seorang yokozuna, beserta dua pegulat tingkat maku-uchi yang memakai keshomawashi dan seorang gyōji senior, berjalan melintasi koridor. Gyōji dan dua pengawal berjongkok di dalam dohyō, yokozuna melaksanakan dohyō-iri dengan penuh kehormatan. Setelah menepuk tangan untuk menarik perhatian dewa-dewa, ia melentangkan tangannya dan telapak tangannya menghadap ke atas untuk menunjukkan bahwa ia tidak membawa senjata. Puncaknya ia mengangkat tinggi-tinggi satu kaki dan menghentakkannya ke tanah sebagai tanda mengusir roh jahat dari dohyō, begitu pula dengan kaki yang satunya.
Menurut analisis penulis, hentakan kaki dan tepukan tangan memegang peranan
penting di dalam ketiga dohyō-iri. Seperti yang telah dijelaskan, keduanya bertujuan
untuk mengusir roh jahat dan menarik perhatian kami.
3.1.3 Shikiri
Shikiri adalah sebuah ritual yang dilakukan sebelum pertandingan. Ritual ini harus
diselesaikan dalam waktu tidak lebih dari dua menit untuk sumōtori yang tidak digaji,
tiga menit untuk sumōtori peringkat juryo dan empat menit untuk sumōtori peringkat
maku-uchi. Urutan ritual ini adalah sebagai berikut:
1. Setelah memasuki dohyō, kedua sumōtori menghentakkan kaki sebanyak dua
kali.
2. Berkumur dengan chikaramizu, menyeka mulut dan badan dengan
chikaragami.
3. Menghampiri tokudawara terdekat lalu berjongkok sambil menepuk tangan
sebanyak satu kali dan merenggangkan tangannya dengan telapak tangan
menghadap ke atas.
34
4. Kedua sumōtori kembali ke sudut masing-masing dan melempar garam ke
dalam dohyō.
5. Kemudian kedua sumōtori berjongkok tepat dibelakang shiriki-sen, garis
awal, bersiap-siap untuk memulai pertandingan.
Dua bagian terakhir dari ritual shikiri dapat dilakukan berkali-kali. Hal ini bertujuan
untuk mengintimidasi lawan.
Di dalam penjelasan di atas, tertulis bahwa hentakan kaki dan tepukan tangan
merupakan bagian dari shikiri. Seperti di dalam dohyō-iri, hentakan kaki disebut soroi-
bumi dan berasal dari mitos Shinto. Sedangkan menepuk tangan adalah tradisi orang
Jepang yang biasa dilakukan sebelum berdoa. Tepukan tangan mempunyai tiga fungsi
menurut ajaran agama Shinto. Adapun fungsi-fungsi itu sebagai berikut:
1. Untuk memanggil kami atau menarik perhatian kami (Noritake, 2000).
2. Untuk menyucikan dan menenangkan diri sendiri sebelum berdoa
(Noritake, 2000).
3. Sebagai tanda perjanjian dan pemahaman spiritual. Hal ini diadaptasi ke
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang (Ross, 1983).
Konsep Shinto mengenai harai (penyucian) sangat jelas terlihat di dalam shikiri.
Selain tepukan tangan, untuk penyucian juga digunakan air dan garam. Misogi
(penyucian dengan air) terdapat di dalam bagian ke dua shikiri. Menurut Noritake (2000),
mencuci tangan dan berkumur dengan air merupakan tindakan penyucian paling
sederhana yang dilakukan sebelum memasuki sebuah kuil dan berdoa.
Misogi yang sederhana ini disebut te-mizu. Urutan untuk te-mizu adalah dari tangan
kiri, tangan kanan dan mulut. Misogi berasal dari mitos Shinto dimana Izanagi
menyucikan dirinya setelah ia kembali dari dunia yang kotor. Di dunia tersebut ia telah
35
terkontaminasi dengan kematian dan di dalam Shinto kematian termasuk di dalam tsumi
(polusi). Oleh karena itu, Izanagi menyucikan dirinya di mulut sungai.
Akan tetapi, misogi tidak selalu harus dilakukan dengan mencuci tangan dan
berkumur. Berikut ini penjelasan dari Yamakage (1978:106):
山蔭神道の行法だけでなく、禅の修行でも、食器棚の整頓、台所の清掃
は極めて大切なこととして行われるのである。このような生活も「みそ
ぎ」である。
Terjemahan: Bukan hanya dalam metode Shinto, tetapi juga dalam pelaksanaan ajaran Zen, merapikan rak peralatan makan dan membersihkan dapur merupakan hal yang penting. Kehidupan seperti ini juga merupakan “misogi”.
Di dalam shikiri, hanya sumōtori peringkat juryo dan maku-uchi yang diperbolehkan
untuk melakukan penyucian dengan air. Chikaramizu (air kekuatan) diberikan oleh
pemenang pertandingan sebelumnya kepada sumōtori yang berada di sisi dohyō yang
sama dengannya. Sumōtori yang kalah dalam pertandingan sebelumnya tidak boleh
memberikan chikaramizu karena dianggap tidak dapat memberikan kekuatan dan
memberi kesialan kepada sumōtori yang akan bertanding. Chikaramizu juga berarti para
sumōtori akan bertanding dengan kekuatan penuh.
Chikaragami digunakan untuk menyucikan tubuh dengan cara menyeka dan juga
merupakan simbol bahwa semua kecurangan telah dihancurkan. Dengan demikian tubuh
dan pikiran sumōtori telah disucikan melalui misogi dan chikaragami. Sama halnya di
dalam Shinto, kesucian tubuh dan pikiran sangat penting di dalam sumō. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Ichijo Kaneyoshi di dalam Ross (1983:100) berikut ini:
There are two significations of purity in Shinto: one is outer purity (bodily purity) and the other inner purity (purity of the heart). If a man is truly sincere in
36
the mind he will be sure to succeed in realizing a communion with the Divine. This is no other than inner purity or sincerity, which means purity of heart or uprightness of heart.
Terjemahan: Ada dua macam kesucian di dalam Shinto: salah satunya adalah kesucian bagian luar (kesucian lahiriah) dan yang satunya adalah kesucian bagian dalam (kesucian hati). Jika seseorang benar-benar tulus pikirannya maka ia pasti dapat merealisasikan persatuan spiritual dengan Yang Maha Suci. Ini tidak lain dari kesucian bagian dalam atau ketulusan yang berarti hati yang murni atau hati yang jujur.
Penggunaan garam sangat erat kaitannya dengan agama. Hal ini sesuai dengan The
History of Salt dalam Cargill Salt (2007), bahwa tidak hanya di dalam Shinto, garam
juga digunakan di dalam ritual agama Yunani, agama Yahudi dan juga agama Budha.
Menurut ajaran Shinto, garam memiliki kekuatan untuk membersihkan dari roh-roh jahat
dan dipercaya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan (Cuyler, 1987:182).
Sama seperti penggunaannya di dalam Shinto, garam digunakan oleh sumōtori untuk
menyucikan dohyō dan dirinya sendiri agar tidak ada yang terluka. Selain dilempar,
garam juga dipakai untuk mengusir roh jahat dengan cara ditaruh di dalam mulut.
Pelemparan garam hanya diperbolehkan untuk sumōtori peringkat maku-shita ke atas.
Menurut mitos Shinto yang tertulis di dalam Kojiki, harai dengan menggunakan
garam dilakukan ketika Izanami meninggal. Akan tetapi, pada saat itu garam tidak
digunakan melainkan air laut (air asin). Jepang adalah negara kepulauan maka
dikelilingi oleh laut. Air laut dianggap sebagai materi spiritual dan sering digunakan
untuk harai, terutama di daerah pinggir laut. Untuk daerah-daerah yang jauh dari laut,
penggunaan air laut diganti dengan garam.
Di Jepang, seseorang yang menghadiri sebuah pemakaman akan diberikan sebuah
paket kecil berisi garam. Garam ini ditaburkan di depan pintu masuk rumah guna
mencegah tsumi kematian memasuki rumah.
37
Garam juga digunakan dalam misogi harai yang dilakukan di air terjun. Setelah
harai dilakukan seperti biasanya, orang-orang yang mengikuti ritual tersebut ditaburi
dengan garam dan mengambil sake yang telah dicampur dengan garam, memasukkannya
ke mulut dan kemudian membuangnya. Hal ini bertujuan untuk menyucikan mulut.
3.1.4 Yumitori-shiki
Seperti yang telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya, yumitori-shiki (gambar 3-6)
hanya diadakan pada hari terakhir honbasho (turnamen). Upacara ini telah berlangsung
sejak tahun 1575 ketika Oda Nobunaga memberikan salah satu busur kesayangannya
kepada Miai Ganzaemon, pemenang turnamen besar yang dihadiri Oda Nobunaga. Miai
sangat senang hingga ia menari dan memutar-mutar busur tersebut sebagai tanda terima
kasih.
Gambar 3-6. Yumitori-shiki
Sumber: http://www.photojpn.org/exp/sumo/ake28.html
Di dalam upacara ini, busur memegang peranan yang sangat penting. Akan tetapi, di
dalam Shinto, busur sama sekali tidak digunakan. Telah dijelaskan juga di dalam bab
sebelumnya bahwa yumitori-shiki dilakukan dengan cara menari dan memutar-mutar
busur. Shinto memiliki tari-tarian suci. Akan tetapi, gerakan di dalam tarian yumitori-
shiki tidak memiliki persamaan dengan gerakan tarian suci Shinto.
38
Melalui analisa di atas, penulis tidak menemukan adanya pengaruh-pengaruh
keagamaan di dalam yumitori-shiki. Yumitori-shiki lebih menggambarkan tradisi yang
didasari oleh sejarah.
3.1.5 Danpatsu-shiki
Danpatsu-shiki (gambar 3-7) adalah upacara yang diadakan ketika seorang sumōtori
memutuskan untuk berhenti dari sumō. Upacara ini biasanya diadakan di Kokugikan
(gelanggang sumō) setelah selesainya turnamen Tokyo.
Gambar 3-7. Danpatsu-shiki
Sumber: http://www.magma.ca/~sumo/danpatsu.htm
Berikut ini penjelasan Wheeler (1973) mengenai pelaksanaan danpatsu-shiki:
The retiring wrestler sits at the ring center in formal kimono and, as he brushes away tears with a handkerchief, his friends, sponsors, and a few fellow wrestlers file solemnly up one by one to cut a tiny lock of his hair with scissors provided by the tate-gyōji. The final cut is made by the sekitori’s stablemaster who snips off the entire topknot. Terjemahan: Pegulat yang hendak berhenti duduk di tengah-tengah ring dengan memakai kimono resmi dan sambil menghapus air mata dengan sapu tangan, teman-temannya, sponsor, dan beberapa sesama pegulat satu-persatu memotong rambutnya dengan gunting yang disediakan oleh tate-gyōji. Pemotongan terakhir dilakukan oleh ketua heya dengan memotong seluruh rambut.
39
Dari penjelasan di atas, penulis tidak menemukan hal-hal yang berhubungan dengan
hal-hal keagamaan. Danpatsu-shiki dilaksanakan sebagai salah satu dari sekian banyak
ritual yang ada di dalam sumō.
3.2 Analisis Pengaruh Shinto Terhadap Kostum Sumō
Di dalam subbab ini, penulis akan menganalisis ada tidaknya pengaruh Shinto di
dalam kostum sumō yang telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya.
3.2.1 Kostum Sumōtori dan Gyōji
1. Kostum sumōtori
Mawashi (gambar 3-8) adalah cawat yang digunakan oleh semua sumōtori baik di
dalam latihan maupun pertandingan. Mawashi adalah perlengkapan sumō yang paling
dasar.
Gambar 3-8. Mawashi yang digunakan oleh sekitori
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Image:JapanSumoMatch.jpg
Ketika berada di dalam dohyō untuk bertanding, sumōtori tingkat makushita ke
bawah memakai mawashi yang sama dengan yang dipakai ketika berlatih dan
40
menambahkan sagari (gambar 3-9). Sagari adalah tali yang disimpul dan ditempelkan di
depan mawashi.
Gambar 3-9. Sagari
Sumber: http://www.sumofr.net/banzjuryo.htm
Jumlah tali pada sagari selalu berjumlah ganjil, biasanya berjumlah sembilan belas
tali atau berkisar dari tujuh belas hingga dua puluh satu tali. Jumlah angka-angka ini
adalah angka keberuntungan menurut ajaran agama Shinto. Sagari menandakan tali suci
yang digantung di depan kuil (Cuyler, 1987:175).
Selain mawashi, sumōtori peringkat sekitori memakai kain khusus berbentuk celemek
untuk dohyō-iri yang disebut keshomawashi (gambar 3-10). Pada abad ke-18,
keshomawashi digunakan dalam pertandingan. Akan tetapi, para pegulat mengeluh
bahwa tangan mereka sering tersangkut pada tali yang tedapat di keshomawashi. Oleh
karena itu, setengah abad kemudian penggunaan keshomawashi dibatasi hanya untuk
dohyō-iri.
41
Gambar 3-10. Keshomawashi
Sumber: http://www.gofuku.com/ctlg/komono/KeshoMawashi2.JPG
Kegunaan keshomawashi tidak berhubungan dengan agama. Keshomawashi bisa
berfungsi untuk mempromosikan sponsor seorang sumōtori dan juga memberitahu
tempat kelahiran sumōtori yang memakainya.
Kostum untuk yokozuna sedikit berbeda dengan sumōtori lainnya. Yokozuna
memakai mawashi dan keshomawashi sama halnya dengan sumōtori lainnya, tetapi
terdapat tambahan tsuna (tali tambang) yang dililitkan di pinggang (lihat gambar 3-11).
Gambar 3-11. Tsuna
Sumber: http://www.leonishiki.com/sumo/images/tsuna.jpg
Sama seperti keshomawashi, tsuna hanya dipakai untuk upacara-upacara khusus.
Tsuna yang dililitkan di pinggang yokozuna menyerupai tambang shimenawa yang
dipasang pada torii (bangunan sejenis pintu gerbang yang terdapat di kuil Shinto) dan
berbagai tempat atau benda yang dianggap suci menurut kepercayaan Shinto.
42
Penggunaan tsuna berasal dari era Anei (1772-1780) di mana pegulat yang
mengikuti pertandingan melilitkan tambang yang disebut musubi-no-kami-no-o di
pinggang mereka. Hal ini bertujuan untuk menyucikan tubuh mereka sendiri.
Asal dari shimenawa adalah dari mitos di mana Amaterasu menyembunyikan dirinya
di dalam gua Ama-no-Iwato. Sebuah tambang diikat di depan gua tersebut dan tambang
itulah yang disebut shimenawa. Shimenawa menandakan bahwa seseorang, sesuatu atau
sebuah tempat telah disucikan dan bebas dari tsumi (polusi). Tambang ini juga
menandakan bahwa kami telah turun ke tempat tersebut. Seharusnya shimenawa
dipasang ketika kami telah turun, tetapi untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan maka telah menjadi sebuah kebiasaan untuk memasang shimenawa sebelum
kami turun.
Gambar 3-12. Shimenawa
Sumber: Picken, Essentials of Shinto (1994).
Tambang tersebut dianyam mulai dari sebelah kanan karena sebelah kiri dianggap
lebih berpangkat tinggi. Di antara anyaman kanan ke kiri digantung tujuh, lima dan tiga
shide (kertas zigzag). Angka tiga berarti tiga kami pencipta, tujuh berarti tujuh kami
surgawi dan lima berarti lima kami duniawi (Picken, 1994:164).
43
2. Kostum gyōji
Kostum gyōji berasal dari pakaian samurai di zaman Muromachi (1336-1573) dan
disebut hitatare. Sama halnya seperti sumōtori, gyōji juga berpakaian berdasarkan
peringkatnya.
Warna ungu hanya digunakan oleh tate-gyōji yang merupakan peringkat tertinggi,
diikuti oleh warna ungu putih, merah marun, merah putih, biru putih, biru dan kemudian
hitam yang merupakan peringkat terendah. Akan tetapi, warna-warna ini tidak
berhubungan dengan Shinto. Gyōji termuda tidak memakai alas kaki sedangkan gyōji
untuk pertandingan juryo dan maku-uchi memakai tabi (kaus kaki) berwarna putih.
Untuk pertandingan peringkat sanyaku ke atas, gyōji juga memakai zori (sendal), bahkan
di dalam dohyō.
Gambar 3-13. Gyōji
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Image:Sumo4-vi.jpg
Kostum gyōji menyerupai kostum yang dipakai oleh pendeta Shinto (shinshoku, 神
職). Menurut Ono (1998:44), kostum pendeta Shinto (gambar 3-14) berasal dari pakaian
pihak resmi di pengadilan pada zaman Heian (794-1185).
44
Gambar 3-14. Pendeta Shinto (Shinshoku, 神職)
Sumber: http://www2.kokugakuin.ac.jp/ijcc/
Kostum pendeta Shinto terdiri dari kimono, jubah (dapat disebut sokutai, ikan atau
saifuku), topi, tabi dan sendal. Jubah biasanya terdiri dari beberapa warna, yaitu ungu,
merah, hijau, biru muda dan kuning. Warna-warna ini melambangkan peringkat di
pengadilan pada zaman dahulu. Pada zaman sekarang, warna-warna jubah dikurangi
menjadi hitam, merah dan biru muda. Akan tetapi, terkadang pendeta Shinto dari
peringkat manapun hanya memakai jubah yang berwarna putih. Dari semua warna yang
digunakan, hanya warna putih yang memiliki hubungan dengan Shinto, karena putih
adalah warna yang menunjukkan kesucian menurut Shinto (Ono, 1998:44).
Persamaan kostum gyōji dengan kostum pendeta Shinto adalah keduanya sama-sama
menggunakan kimono, sebuah topi (eboshi) dan tabi. Eboshi adalah topi hitam yang
berasal dari topi yang dipakai di pengadilan. Pendeta Shinto tidak memakai zori tetapi
memakai tabi, sama seperti yang dipakai oleh seorang gyōji. Pakaian ini tidak memiliki
arti simbolik (Ono, 1998:44). Selain itu, warna pada pakaian gyōji dan pendeta Shinto
sama-sama menunjukkan peringkat pemakainya.
45
3.2.2 Tata Rambut Sumōtori (Mage)
Terdapat dua jenis penataan rambut yang telah menjadi ciri khas seorang sumōtori
yaitu chonmage (丁髷) dan oichōmage (大銀杏髷). Chonmage merupakan penataan
rambut tradisional bagi kaum lelaki Jepang dan sering dikaitkan dengan samurai. Bagi
sumōtori, penataan rambut ini digunakan setiap hari. Oichōmage, penataan rambut yang
menyerupai bentuk daun gingko, hanya digunakan oleh sumōtori yang berada di
peringkat maku-uchi dan juryo untuk acara-acara resmi.
Fungsi dari tata rambut ini adalah untuk menyatukan kekuatan dari kepala hingga
ujung kaki. Selain itu juga berfungsi sebagai pelindung kepala jika terjatuh (Wheeler,
1973:90).
Penulis tidak menemukan adanya pengaruh agama terhadap penataan rambut
sumōtori ini. Penataan rambut ini merupakan pengaruh dari penataan rambut yang
terkenal pada zaman Edo.
3.3 Analisis Pengaruh Shinto Terhadap Dohyō
Di dalam bab 2 telah dijelaskan mengenai fitur-fitur yang terdapat di dalam dohyō.
Dohyō itu sendiri telah dianggap daerah yang suci sejak pertama kali diadakan
pertandingan sumō tradisional hingga sekarang ini. Berikut ini sebuah penjelasan yang
dirangkum dari “Sumo: From Rite to Sport”:
The four pillars of the ring are based on the I Ching (Book of Changes). The inner ring is the t’ai chi (the realm of the absolute). The entrances on the left and right represent the yin and yang. The four pillars represent the four seasons, and with the earth at the center representing the five elements (metal, water, wood, fire, earth) as well as the five virtues of Confucianism (benevolence, justice, ritual, wisdom, faith). The curtain stretching from the north pillar clockwise around the top consists of tricolored silk of black, red, and yellow, the purpose of which is to purify the hearts of the entering and exiting wrestlers. The rice sacks
46
that form the ring symbolize the ritual of harvesting the five grains (rice, wheat, barley, millet, beans).
Terjemahan: Empat tiang yang ada pada dohyō dibuat berdasarkan I Ching (Buku Perubahan). Lingkaran bagian dalam adalah t’ai chi (daerah yang mutlak). Jalan masuk di kanan dan kiri melambangkan yin dan yang. Empat tiang melambangkan empat musim dan dengan tanah di tengah-tengah melambangkan lima elemen (logam, air, kayu, api, tanah) dan juga lima kebajikan menurut Konfusianisme (kebaikan, keadilan, ritual, kebijaksanaan dan kepercayaan). Tirai sutera yang membentang searah dengan jarum jam dari tiang utara mengitari atas dohyō memiliki tiga warna yaitu hitam, merah dan kuning, yang bertujuan untuk menyucikan hati para sumōtori yang masuk dan keluar. Karung-karung beras yang membentuk dohyō menandakakn ritual panen lima biji padi-padian (beras, gandum, barley/gerst, millet – semacam padi-padian dan kacang).
Di atas dohyō terdapat yakata (atap) yang berukuran sedikit lebih kecil daripada
dohyō itu sendiri. Di dalam penjelasan di atas, disebutkan bahwa terdapat empat tiang
pada dohyō. Empat tiang yang menyangga yakata pada zaman Edo ini berfungsi sebagai
pelindung dohyō dari cuaca karena pada saat itu pertandingan sumō diadakan di tempat
terbuka (Kodansha, 1983:271). Akan tetapi, pada zaman sekarang ini tiang tersebut telah
digantikan oleh rumbai-rumbai (fusa, 房) yang digantung pada tiap sudut yakata. Yakata
dapat dilihat pada gambar 3-15. Bentuk dari yakata menyerupai arsitektur bentuk atap
kuil Shinto (lihat gambar 3-16) yang disebut shinmei zukuri, 神明造 (Kodansha,
1983:271). Yakata memiliki empat rumbai dengan empat warna berbeda yang
menandakan empat musim.
47
Gambar 3-15. Yakata
Sumber: http://www.sumohawaii.com/index.php/
Gambar 3-16. Shinmei Zukuri
Sumber: http://www.univie.ac.at/rel_jap/bilder/ise_plan.gif
48
Empat rumbai dengan warna yang berbeda-beda tersebut tidak hanya menandakan
empat musim, tetapi juga menandakan empat hewan yang dianggap kami. Kami-kami ini
disebut shishin (四神) dan dipercaya membawa hasil panen biji padi-padian yang baik.
Untuk hal sumō, empat hewan ini dipercaya dapat melindungi dohyō. Menurut Four
Celestial Animals di dalam Feng Shui Chinese (2004), empat hewan tersebut terdiri dari
naga, burung phoenix, harimau dan penyu. Naga melambangkan keberuntungan,
mendatangkan kemakmuran dan kekayaan. Burung phoenix melambangkan musim
panas. Harimau melambangkan keamanan dan penyu melambangkan bantuan.
Masing-masing hewan juga melambangkan arah mata angin. Arah mata angin pada
yakata disebutkan sebagai berikut:
1. Utara disebut shomen
2. Selatan disebut mukojomen
3. Barat disebut nishi
4. Timur disebut higashi
Berikut ini tabel yang berisi penjelasan mengenai pembagian warna dan arah mata
angin untuk masing-masing shishin:
Tabel 3-1. Tabel Pembagian Warna dan Arah Mata Angin Shishin
Arah mata angin pada yakata
Arah mata angin asli
Warna rumbai
Nama shishin Hewan Musim
Shomen
Mukojomen
Nishi
Higashi
Utara
Selatan
Barat
Timur
Hijau
Merah
Putih
Hitam
Seiryuu (青龍)
Suzaku (朱雀)
Byakko (白虎)
Genbu (玄武)
Naga biru
Burung phoenix
Harimau putih
Penyu hitam
Semi
Panas
Gugur
Dingin
49
Konsep Shinto mengenai harai terlihat di dalam dohyō. Seperti yang telah dijelaskan
di awal bab ini, pada ritual dohyō-matsuri, dohyō-iri dan shikiri berkali-kali dilakukan
penyucian. Penyucian dilakukan melalui penggunaan sake dan garam, membacakan doa-
doa dan melakukan soroi-bumi.
Tambang yang dipasang di tanah bertujuan untuk memisahkan tanah yang baik dan
tidak baik. Kemudian dilakukan soroi-bumi yang bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat
(Wheeler, 1973:54).
Selain konsep harai, juga terdapat konsep Shinto lainnya yaitu shinsen
(persembahan). Di dalam dohyō dikuburkan persembahan berupa kastanye, rumput laut
dan sotong. Persembahan ini betujuan untuk meminta perlindungan untuk sumōtori yang
akan bertanding (Newton, 1994:18).
Di dalam Shinto, persembahan biasanya berupa sake, kue omochi, ikan, rumput laut,
sayuran, biji padi-padian dan buah-buahan. Terkadang juga terdapat persembahan
berupa bahan makanan yang mentah. Akan tetapi, pada persembahan mentah ini tidak
diperbolehkan jika ada darah yang tersisa. Persembahan ini dipersiapkan di dapur bersih
yang telah disucikan terlebih dahulu, dapur ini disebut shinsen-den (Picken, 1994:177).
Terdapat larangan bagi wanita untuk memasuki dohyō (Cuyler, 1987:182). Menurut
analisis penulis, hal ini berhubungan dengan konsep Shinto mengenai tsumi (polusi),
darah dan kematian termasuk di dalamnya. Wanita yang sedang mengalami menstruasi
dilarang untuk mengikuti kegiatan penyembahan di kuil.
Begitu pula dengan darah dari sumōtori, dengan pukulan yang bertubi-tubi, wajar
jika terjadi pendarahan pada sumōtori. Jika darah tersebut jatuh ke dohyō, maka
pertandingan akan ditunda hingga dohyō selesai dibersihkan. Daerah yang
terkontaminasi oleh darah berulang kali dibersihkan dan diperiksa hingga benar-benar
50
tidak ada darah yang tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa dohyō sangat erat kaitannya
dengan konsep suci yang ada pada Shinto.