BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mycobacterium tuberculosis 2.pdf · Asam mikolat adalah molekul...

24
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) merupakan bakteri nonmotil penyebab tuberkulosis pada manusia. Bakteri ini berbentuk batang sehingga disebut juga dengan Bacillus tuberculosis (Gambar 2.1). Berdasarkan struktur dinding selnya yang mengandung peptidoglikan tebal, M. tuberculosis diklasifikasikan ke dalam bakteri gram positif. Bakteri bersifat aerob obligatif sehingga kompleks M. tuberculosis selalu ditemukan di lobus paru bagian atas yang memiliki sirkulasi udara yang baik (Todar, 2008). Pada manusia, bakteri dapat mengalami fase dorman atau laten. Laju replikasi yang lambat dan kemampuan untuk bertahan dalam keadaan laten mengakibatkan infeksi tuberkulosis bersifat kronis. Waktu replikasi bakteri lambat, yaitu sekitar 24 jam dan membutuhkan 3-4 minggu untuk membentuk koloni secara in vitro (Uplekar, 2012). Gambar 2.1 Struktur Morfologi M. tuberculosis (Goldstein, 2011)

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mycobacterium tuberculosis 2.pdf · Asam mikolat adalah molekul...

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) merupakan bakteri nonmotil

penyebab tuberkulosis pada manusia. Bakteri ini berbentuk batang sehingga

disebut juga dengan Bacillus tuberculosis (Gambar 2.1). Berdasarkan struktur

dinding selnya yang mengandung peptidoglikan tebal, M. tuberculosis

diklasifikasikan ke dalam bakteri gram positif. Bakteri bersifat aerob obligatif

sehingga kompleks M. tuberculosis selalu ditemukan di lobus paru bagian atas

yang memiliki sirkulasi udara yang baik (Todar, 2008). Pada manusia, bakteri

dapat mengalami fase dorman atau laten. Laju replikasi yang lambat dan

kemampuan untuk bertahan dalam keadaan laten mengakibatkan infeksi

tuberkulosis bersifat kronis. Waktu replikasi bakteri lambat, yaitu sekitar 24 jam

dan membutuhkan 3-4 minggu untuk membentuk koloni secara in vitro (Uplekar,

2012).

Gambar 2.1 Struktur Morfologi M. tuberculosis (Goldstein, 2011)

7

M. tuberculosis memiliki dinding sel yang terdiri dari dua bagian. Bagian

luar membran berupa sel amplop yang mengandung lebih dari 60% lipid. Lipid

tersebut mengandung beberapa komponen, seperti asam mikolat, glikolipid dan

polisakarida (Todar, 2008). Asam mikolat mencapai 50% dari berat kering sel

amplop. Asam mikolat adalah molekul hidrofobik yang membentuk cangkang

lipid di sekeliling sel M. tuberculosis. Komponen ini berpengaruh terhadap

permeabilitas permukaan sel (Todar, 2008). Selain komponen tersebut, terdapat

peptidoglikan (PG) yang berikatan kovalen dengan arabinogalaktan (AG).

Arabinogalaktan melekat pada asam mikolat dengan meromycolate panjang dan

rantai pendek. Kompleks dinding sel ini disebut dengan mycolyl arabinogalactan-

peptidoglikan (mAGP). Selain itu, terdapat komponen lain berupa protein,

phosphatidylmyo inositol mannosides (PIMs), phthiocerol lipid, lipomannan (LM)

dan lipoarabinomannan (LAM). Bagian dalam terdiri dari komponen lipid bilayer,

beberapa mengandung asam lemak dengan rantai pendek dan beberapa asam

lemak pendek dengan rantai panjang (Brennan, 2003) (Gambar 2.2).

Pada saat dilakukan ekstraksi dengan pelarut yang sesuai, dinding sel akan

rusak, sedangkan lipid bebas, protein, LAM serta PIMs akan terlarut. Kompleks

mAGP yang penting untuk kelangsungan hidup sel akan menjadi residu yang

tidak larut. Inti dinding sel diketahui mengandung jembatan diglycosyl-P yang

terletak di antara PG dan galaktan linear. Seluruh unit penghubung, galaktan dan

arabinan disintesis sebagai unit pada polyfrenyl-P pembawa lipid. Polyfrenyl-P

pembawa lipid terlibat dalam penempelan asam mikolat baru pada dinding sel

(Brennan, 2003).

8

Transformasi biokimia M. tuberculosis dikode oleh beberapa gen pada jalur

sintesis asam mikolat. Sintesis berlangsung dari acetyl CoA dan malonyl CoA.

Acetyl CoA diubah menjadi acyl CoA pada FAS I. Sedangkan malonyl CoA

diubah menjadi malonyl ACP oleh Gen FabD. Acyl CoA maupun malonyl CoA

oleh Gen FabH akan diubah menjadi beta ketoacyl-ACP yang merupakan

berperan dalam fatty acid synthases (FAS) II sebagai prekursor sintesis asam

mikolat. Beta ketoacyl ACP kemudian direduksi oleh gen mabA. Selanjutnya

pembentukan acyl ACP dikatalisis oleh inhA dan elongasi dikatalisis oleh kasA

dan kasB (Brennan, 2003).

Gambar 2.2 Struktur Dinding Sel M. tuberculosis (McLean, et al., 2007)

2.1.1 Genomik

Whole Genom M. tuberculosis H37Rv terdiri atas 4411532 bp (Liu, et al.,

2014). Genom ini merupakan genom terbesar kedua setelah Escherichia coli.

Genom terdiri dari 4000 gen dengan komponen G + C yaitu 65,6%. Kandungan

9

basa tersebut penting untuk produksi enzim yang terlibat dalam lipogenesis dan

lipolisis serta produksi protein kaya glisin dengan struktur berulang yang

merupakan sumber variasi antigenik (Cole, et al., 1998).

Pada sekuen whole genom, setiap gen memiliki regio tertentu. Promoter

inhA berada pada regio 1673325-1673439; Gen inhA berada pada regio 1674202-

1675011 dan gen katG berada pada regio 2153889-2156111 (Flandrois, et al.,

2014).

2.1.2 Mekanisme dan Faktor-faktor Virulensi

Terdapat beberapa sifat umum M. tuberculosis yang berkontribusi terhadap

virulensinya, yaitu:

a. Mekanisme masuk sel

Pada saat kontak dengan makrofag host, M. tuberculosis berikatan langsung

dengan reseptor mannose melalui glikolipid dinding sel alveolar, LAM atau secara

tidak langsung melalui reseptor komplemen tertentu. Glikoprotein ditemukan pada

permukaan alveolar yang dapat meningkatkan ikatan dan penyerapan M.

tuberculosis dengan meningkatkan regulasi reseptor mannose. Sehingga M.

tuberculosis lebih cenderung menyerang alveolar (Smith, 2003; Todar, 2008). M.

tuberculosis yang terfagositosit berada dalam vacuoule endocytic atau fagosom.

Jika siklus pematangan fagosomal terjadi secara normal, yaitu fusion fagosom

lizosom maka bakteri akan lisis karena berada pada lingkungan pH asam atau lisis

oleh enzim lizosom. Namun apabila M. tuberculosis menyekresi protein maka

dapat mengubah membran fagosom sehingga fusi fagosom lizosom akan

terhambat (Smith, 2003).

10

b. Detoksifikasi radikal oksigen

M. tuberculosis dapat mengganggu efek racun dari intermediate oxygen

reaktive yang dihasilkan dalam proses fagositosis dengan tiga mekanisme, yaitu:

1. Glikolipid, sulfatides dan LAM akan mengatur mekanisme sitotoksik oksidatif.

2. Uptake makrofag melalui reseptor komplemen dapat memotong aktivasi

respiratory burst.

3. Oksidatif burst dapat dinetralkan oleh produksi enzim katalase dan superoksida

dismutase.

(Todar, 2008)

c. Waktu pertumbuhan lambat

Waktu pertumbuhan yang lambat mengakibatkan sistem kekebalan tubuh

tidak mudah mengenali bakteri atau mungkin kurang sensitif untuk difagositosis

(Todar, 2008).

d. Konsentrasi lipid dinding sel tinggi

Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel akan mempengaruhi

impermeabilitas dan ketahanan terhadap agen antimikroba. Ketahanan terhadap

hambatan senyawa asam dan basa baik intraseluler maupun ekstraseluler

lingkungan serta ketahanan terhadap lisis osmotik melalui deposisi komplemen

dan serangan lizosim (Todar, 2008).

e. Genom M. tuberculosis

Sekitar 4.000 gen dalam genom M. tuberculosis, 525 terlibat dalam dinding

sel dan proses sel, 188 gen mengkode protein regulasi dan 91 gen yang terlibat

dalam virulensi, detoksifikasi dan adaptasi. Lebih dari 200 gen yang diidentifikasi

11

sebagai pengkode enzim untuk metabolisme asam lemak. Jumlah yang besar ini

berkaitan dengan kemampuan patogen untuk tumbuh dalam jaringan host yang

terinfeksi, dengan asam lemak menjadi sumber karbon utama (Todar, 2008).

f. LAM

LAM adalah kompleks glikolipid yang mengandung pengulangan subunit

disakarida arabinosa-mannose. LAM merupakan komponen utama dari dinding

sel M. tuberculosis. Penambahan LAM pada protein makrofag dapat menekan

produksi IFN-gamma. LAM juga dapat mengikat radikal oksigen secara in vitro

serta dapat melindungi bakteri dari mekanisme berpotensi mematikan seperti burst

respiratory (Todar, 2008).

g. Mycobacterium tuberculosis Pili (MTP)

Selama menginfeksi host-nya, M. tuberculosis menghasilkan pili yang

terlibat dalam kolonisasi awal host. Pili merupakan fibrillar meshwork padat yang

terdiri atas gulungan serta serat agregat tipis yang memanjang hingga beberapa

mikrometer dari permukaan bakteri. Struktur ini diberi nama Mycobacterium

tuberculosis pili (Todar, 2008).

2.2 Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB)

MDR-TB adalah penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh strain M.

tuberculosis yang resisten terhadap minimal rifampisin dan isoniazid (WHO,

2012). Kelompok obat ini disebut sebagai obat lini pertama atau primer (Depkes

RI, 2005). Pasien dengan MDR-TB membutuhkan waktu beberapa bulan lebih

lama, bahkan mungkin mencapai 2 hingga 3 tahun untuk memperoleh uji kultur

12

negatif dibandingkan dengan pasien TB tanpa MDR (Dipiro, et al., 2008).

Pengobatan MDR-TB membutuhkan penggunaan jangka panjang OAT lini

kedua. Beberapa efek yang potensial terjadi pada pengobatan MDR-TB yaitu

pasien mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat dalam waktu lama;

peningkatan risiko kegagalan pengobatan atau kematian; seleksi terhadap strain

yang resisten OAT; pasien tetap terinfeksi dan meningkatkan penyebaran penyakit

(Tessema, et al., 2012).

Resistensi OAT disebabkan salah satunya karena adanya mutasi pada target

obat sehingga mengurangi pengikatan obat atau mengakibatkan peningkatan

produksi target. INH memblok biosintesis asam mikolat M. tuberculosis pada

konsentrasi MIC (minimum inhibitor consentration) obat dan mereduksi 99% dari

bakteri (Bennerje, 1994).

2.3 Isoniazid

Isoniazid (INH) atau asam isonikotinat hidrazid adalah agen bakterisida

sintetik pertama yang diproduksi pada awal tahun 1900 tetapi tidak digunakan

sebagai antituberkulosis sampai tahun 1952 (Whitney dan Wainberg, 2002). INH

memiliki struktur yang sederhana terdiri dari sebuah cincin piridin dan sebuah

gugus hidrazid, kedua komponen ini penting untuk aktivitas melawan M.

tuberculosis. Pada, strain M. tuberculosis yang menunjukkan resisten terhadap

INH (Silva and Palomino, 2011). Mutasi dalam beberapa gen, meliputi katG, kasA,

oxyR-ahpc, furA, iniA, iniB, iniC, ndh, dan inhA telah ditemukan dan bertanggung

jawab terhadap resisten INH. Frekuensi mutasi penyebab resistensi telah diuraikan

13

dalam beberapa penelitian. Mutasi terjadi pada gen katG sebesar 50-95%; gen

inhA sebesar 8-43% dan sisanya pada gen lain (Zhang and Yew, 2009).

Gambar 2.3 Struktur Isoniazid (Kolyva and Karakousis, tt)

Isoniazid memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ethionamide (ETH)

yaitu menghambat biosintesis asam mikolat. ETH merupakan analog dari INH

yang termasuk dalam OAT lini kedua. Adanya kesamaan struktur dan fenomena

resistensi silang mengindikasikan bahwa kedua OAT ini memiliki target

molekular yang sama (Morlock et al., 2003).

2.4 Gen Resisten Isoniazid

2.4.1 inhA

Salah satu target setelah pengaktifan INH adalah protein yang dikode oleh

gen inhA. InhA merupakan gen pengkode enzim enoil reduktase, enzim yang

terlibat dalam biosintesis asam mikolat yang merupakan target kerja dari INH dan

ETH (Banerjee et al., 1994; Rozwarski et al., 1998). Ikatan INH diaktivasi untuk

membentuk kompleks terner INH-NADH sehingga menghasilkan penghambatan

biosintesis asam mikolat (Ramaswamy dan Musser, 1998).

14

Berdasarkan penelitian Hazbon et al. (2006), 0-5% dari isolat M.

tuberculosis yang resisten terhadap INH, bermutasi pada open reading frame

(ORF) inhA. Mutasi pada gen inhA ataupun pada daerah promoter akan

menyebabkan resistensi terhadap INH (Isoniazid) dan ETH (Ethionamide)

(Morlock et al., 2003). Mutasi promoter inhA diketahui terjadi pada posisi -24

(G→T), -16 (A→G), atau -8 (T→G/A) dan -15 (C→T) (Gambar 2.4)

(Ramaswamy dan Musser, 1998). Pada identifikasi mutasi isolat MDR-TB di Bali

menggunakan teknik PCR, diperoleh adanya mutasi pada regio promoter inhA

pada posisi -15 (C→T) (Kusdianingrum, 2014). Adanya mutasi pada promoter

mengekspresikan terjadinya resistensi INH level rendah. Sekitar 70-80% dari

resistensi INH dalam isolat klinis M. tuberculosis dapat dikaitkan dengan mutasi

di gen katG dan inhA (Ramaswamy dan Musser, 1998).

Berdasarkan penelitian pada isolat di Myanmar, dilaporkan adanya mutasi

pada gen inhA dari sebagian kecil isolat MDR-TB. Isolat yang resisten terhadap

isoniazid sebanyak 2 dari 96 (2,1%) sampel dengan titik mutasi pada kodon 94

dengan perubahan asam amino Serin menjadi Alanin (TCG→GCG) (Valvatne, et

al., 2009). Selain itu, pada penelitian lainnya diketahui adanya jenis dan mutasi di

titik yang sama pada 4 strain isolat (Brossier, et al., 2006).

Gambar 2.4 Titik Mutasi pada Promoter inhA

(Ramaswamy dan Musser, 1998)

15

2.4.2 katG

Isoniazid masuk ke dalam sel sebagai prodrug. INH akan diaktivasi oleh

enzim katalase peroksidase yang dikode oleh gen katG. Peroksidase dibutuhkan

dalam mengaktivasi INH menjadi isonikotinat asil. Bentuk aktif inilah yang akan

menghambat biosintesis asam mikolat. Terganggunya biosintesis asam mikolat

mengakibatkan kehilangan integritas selular dan kematian bakteri (Cardoso, et al.,

2004).

Hilangnya aktivitas katalase akan mengakibatkan resistensi INH. Selain itu,

adanya mutasi pada gen katG juga mengakibatkan resistensi INH (Cardoso, et al.,

2004). Mutasi katG paling sering terjadi pada kodon 315. Substitusi Serin

menjadi Treonin diperkirakan terjadi 30-60% dari isolat resisten INH (Johnson, et

al., 2009).

2.5 Mutasi Gen

Mutasi atau dalam bahasa latin disebut mutare didefinisikan sebagai

perubahan. Pada awalnya mutasi ditandai dengan adanya perubahan ekspresi

fenotip hingga diketahui terdapat perubahan genotip. Perubahan diwariskan

dalam urutan nukleotida DNA (Schleif, 1993).

Mutasi dapat terjadi dengan tidak mengubah fenotip. Kebanyakan mutasi

hanya mempengaruhi satu nukleotida di lokasi tertentu sehingga disebut mutasi

titik. Ada beberapa jenis mutasi titik, antara lain:

a. Silence mutation

Silence mutation merupakan jenis mutasi yang tidak dapat dideteksi. Mutasi

16

ini terjadi karena adanya substitusi basa tunggal pada kodon sehingga membentuk

formasi baru sebagai asam amino yang sama. Sebagai contoh, kodon AGG

diubah ke CGG dan masih merupakan pengkode untuk Arginin. Meskipun mutasi

telah terjadi, ekspresi mutasi ini sering tidak akan terdeteksi kecuali pada tingkat

DNA atau mRNA. Bila tidak ada perubahan protein atau konsentrasi, tidak akan

ada perubahan fenotip organisme (Schleif, 1993).

b. Missense mutation

Tipe mutasi ini melibatkan substitusi basa tunggal dalam DNA yang

mengubah kodon untuk satu asam amino menjadi kodon asam amino lain.

Sebagai contoh kodon GAG yang mengekspresikan asam amino Asam glutamat

diubah menjadi GUG, yang merupakan kode untuk valin. Ekspresi mutasi

missense dapat bervariasi. Tentu mutasi dinyatakan pada tingkat protein struktur

(Schleif, 1993).

c. Nonsense mutation

Jenis mutasi ini mengakibatkan terminasi translasi lebih awal sehingga

menghasilkan polipeptida lebih pendek. Mutasi melibatkan perubahan kodon

menjadi kodon stop (UAA; UAG; UGA). Ekspresi fenotip tidak banyak

dipengaruhi bila mutasi mengakibatkan satu atau dua asam amino saja yang

tersisa setelah kodon stop. Namun kehilangan fungsi normal pasti akan terjadi

jika mutasi terjadi lebih dekat ke tengah gen (Schleif, 1993).

d. Frameshift mutation

Mutasi frameshift timbul dari penyisipan atau penghapusan satu atau dua

basa nukleotida dalam daerah pengkode gen. Kode terdiri dari urutan yang tepat

17

dari kodon triplet, sehingga penambahan atau penghapusan kurang dari tiga

pasangan basa akan menyebabkan reading frame yang akan bergeser untuk

semua kodon hilir. Mutasi frameshift biasanya sangat merusak dan menghasilkan

fenotip mutan dari sintesis protein nonfungsional (Schleif, 1993).

Gambar 2.5 Mutasi Titik (Schleif, 1993)

Mutasi frameshift terdiri atas beberapa tipe, yaitu:

a. Mutasi Delesi merupakan adanya penghilangan atau penghapusan pasang

basa.

b. Mutasi Insersi merupakan adanya penambahan pasang basa di tempat baru

DNA.

c. Mutasi Substitusi merupakan adanya perubahan satu basa dengan basa

lainnya.

(UCMP, tt)

18

Tabel 2.1 Kode Genetik Universal (Schleif, 1993)

Posisi Kedua

U C A G

Posi

si P

erta

ma

U

UUU Phe

UCU

Ser

UAU Tyr

UGU Cys

U

Posisi K

etiga

UUC UCC UAC UGC C

UUA Leu

UCA UAA Stop

UGA Stop A

UUG UCG UAG UGG Trp G

C

CUU

Leu

CCU

Pro

CAU His

CGU

Arg

U

CUC CCC CAC CGC C

CUA CCA CAA Gln

CGA A

CUG CCG CAG CGG G

A

AUU Ile

ACU

Thr

AAU Asn

AGU Ser

U

AUC ACC AAC AGC C

AUA ACA AAA Lys

AGA Arg

A

AUG Met ACG AAG AGG G

G

GUU

Val

GCU

Ala

GAU Asp

GGU

Gly

U

GUC GCC GAC GGC C

GUA GCA GAA Glu

GGA A

GUG GCG GAG GGG G

2.6 Isolasi DNA

Template DNA untuk proses PCR dapat dipersiapkan dengan menggunakan

metode isolasi. Metode isolasi adalah penyiapan DNA kromosom ataupun DNA

plasmid menurut metode standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA

tersebut. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan

yang lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan

metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah

pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom atau

DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh

kualitas DNA yang lebih baik dan murni (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

19

2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction adalah suatu teknik amplifikasi DNA secara in

vitro. Segmen DNA dapat dikalikan jumlahnya bahkan hingga lebih dari satu juta

kali lipat hanya dalam beberapa jam. PCR dapat diaplikasikan dalam

penggandaan DNA untuk berbagai keperluan karena memiliki sensitifitas yang

tinggi (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

2.7.1 Tahapan Siklus PCR

Proses PCR melibatkan beberapa tahap, yaitu predenaturasi template DNA;

denaturasi template DNA; penempelan (annealing) primer pada template DNA;

pemanjangan primer (elongasi) dan pemantapan (elongasi akhir). Tahapan proses

dapat dilihat pada Gambar 2.6. Adapun tahapan proses secara lengkap, yaitu :

1. Predenaturasi dan Denaturasi

Predenaturasi dan denaturasi dilakukan pada suhu tinggi, yaitu >90°C. Suhu

yang direkomendasikan adalah 94°-96°C agar proses denaturasi terjadi secara

tuntas. Proses denaturasi dilakukan selama 1-2 menit untuk siklus awal dan

memerlukan 5-30 detik untuk siklus selanjutnya (Biolabs, 2013; Zodar, 2011).

2. Annealing

Tahapan annealing atau penempelan memerlukan waktu 20 detik hingga 1

menit. Temperatur annealing yang digunakan biasanya adalah 50°-65°C,

tergantung primer yang digunakan (Biolabs, 2013; Zodar, 2011). Temperatur

dapat dioptimasi mulai dari 5°C di bawah suhu Tm. Optimasi diperlukan agar

tidak terjadi mispriming atau kesalahan penempelan (Biolabs, 2013). Ikatan

hidrogen antar DNA akan terbentuk bila sekuen primer memiliki kecocokan

20

dengan sekuen template DNA. Adanya ikatan DNA polimerase pada primer dan

template DNA akan memulai sintesis DNA (Zador, 2011).

3. Elongasi dan Elongasi akhir

Temperatur yang umum digunakan untuk tahapan elongasi adalah 72°C.

Suhu disesuaikan dengan suhu optimum aktivitas Taq polimerase (Biolabs, 2013;

Novel, dkk., 2011). DNA polimerase akan mensintesis untaian DNA komplemen

pada untai template DNA dengan penambahan dNTPs dari ujung 5’ ke ujung 3’.

Waktu yang dibutuhkan tergantung dari panjang fragmen DNA yang

diamplifikasi (Zador, 2011). Laju pemanjangan yang disarankan adalah 1 menit

per kilobasa dengan penggunaan <5 pasang primer dan 2 menit per kilobasa

untuk lebih dari 6 pasang primer. Pada temperatur optimum, DNA polimerase

akan mencetak ribuan DNA setiap menitnya. Suhu elongasi akhir yang digunakan

adalah 70°-74°C selama 5-15 menit setelah siklus akhir PCR untuk memastikan

untaian DNA telah seluruhnya diperpanjang (Novel, dkk., 2011).

Jumlah siklus yang umum adalah 30-35 kali. Namun dibutuhkan hingga 40

siklus untuk mendeteksi jumlah amplifikasi rendah (Biolabs, 2013). Jumlah

amplikon pada akhir siklus PCR secara teoritis dapat dihitung menurut rumus:

Y = (2n-2n) X

Keterangan:

Y : jumlah amplikon

n : jumlah siklus

X : jumlah molekul template DNA semula (Handoyo dan Rudiretna, 2000)

21

Gambar 2.6 Tahapan Proses Amplifikasi PCR (Zador, 2011)

Keterangan gambar: (I) Tahap denaturasi untai DNA; (II) Tahap

annealing primer; (III) Tahap elongasi primer

2.7.2 Komponen Reaksi PCR

1. Template DNA

Template DNA merupakan regio DNA yang mengandung fragmen target

yang akan diamplifikasi (Zador, 2011). Template DNA berfungsi sebagai cetakan

untuk sintesis untai DNA yang baru (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

2. Primer

Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan

diamplifikasi. Selain itu, primer merupakan penyedia gugus hidroksi (-OH) pada

ujung 3’ yang diperlukan saat proses elongasi DNA (Handoyo dan Rudiretna,

2000). Untuk satu regio target, diperlukan satu pasang primer yang merupakan

komplemen dari ujung 3’ untai DNA sense dan anti sense DNA target (Zador,

2011).

II

I

II

I

22

3. DNA polimerase

DNA polimerase berfungsi sebagai katalis reaksi polimerisasi DNA. Enzim

ini digunakan pada tahap elongasi (Handoyo dan Rudiretna, 2000). DNA

polimerase yang sering digunakan adalah Taq polimerase dengan temperatur

optimum berkisar sekitar 70°C (Zador, 2011).

4. dNTPs

Deoksinukleotida trifosfat merupakan empat nukleotida (dATP, dCTP,

dGTP dan dTTP) yang mengandung gugus trifosfat. Nukleotida ini berfungsi

sebagai building block dalam sintesis untai DNA (Zador, 2011). dNTP akan

menempel pada gugus -OH ujung 3’ dari primer pada proses elongasi dan

membentuk untai baru yang komplementer dengan untai template DNA (Handoyo

dan Rudiretna, 2000).

5. Larutan Buffer

Buffer berfungsi sebagai penyangga pH pada reaksi PCR dan menjaga

stabilitas dari DNA polimerase yang digunakan (Handoyo dan Rudiretna, 2000;

Zodar, 2011).

6. Kation Divalen, Magnesium atau Ion Mangan

Kation berfungsi sebagai kofaktor dalam menstimulasi aktivitas DNA

polimerase. Kation akan meningkatkan interaksi primer dengan template DNA

yang membentuk kompleks larut dengan dNTP (Handoyo dan Rudiretna). Kation

yang umum digunakan adalah Mg2+

(Zador, 2011).

23

2.7.3 Multiplex PCR

Multiplex PCR atau disebut juga reaksi berantai polimerase adalah suatu

metode enzimatis untuk memperbanyak secara eksponensial sekuen nukleotida

secara in vitro (Novel, dkk., 2011). Multiplex PCR merupakan salah satu

modifikasi atau variasi teknik PCR yang dapat mengamplifikasi dua hingga lebih

regio DNA secara simultan (Edwards, 1994; Henegariu et al., 1997). Pada

metode multiplex PCR digunakan sejumlah pasangan primer untuk

mengamplifikasi regio DNA target. Keunggulan multiplex PCR bila

dibandingkan dengan metode PCR lainnya, yaitu:

1. Adanya kontrol internal dari amplifikasi beberapa fragmen sekaligus. Hal ini

berfungsi untuk mengetahui adanya hasil negatif palsu. Reaksi dapat

dikatakan negatif atau gagal apabila seluruh produk tidak tampak pada

visualisasi. Bila hanya satu atau beberapa produk saja dari seluruh fragmen

yang diamplifikasi tidak tampak, dapat dikatakan hasil adalah negatif palsu.

2. Multiplex PCR lebih mampu mengindikasikan kualitas template DNA

dibandingkan pada PCR tunggal. Penurunan kualitas template DNA akan

menunjukkan pita-pita panjang lebih lemah dibandingkan yang pendek.

3. Efisiensi biaya dan waktu persiapan bila dibandingkan dengan multiplex

tunggal. Multiplex PCR merupakan teknik yang dapat dipilih bila ingin

mengeluarkan biaya serta menggunakan template DNA yang relatif sedikit.

Persiapan reaksi amplifikasi untuk beberapa fragmen dapat dilakukan

sekaligus.

(Edwards, 1994)

24

2.8 Desain Primer

Primer PCR merupakan oligodioksinukleotida atau oligomer yang didesain

sebagai komplemen ujung sekuen amplikon target PCR. Dua buah primer PCR

merupakan komplemen dari untai tunggal target amplifikasi sehingga tidak saling

berhubungan. Pemilihan primer yang digunakan dalam proses PCR sebaiknya

memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Panjang Primer

Panjang primer yang ideal adalah 18-24 bp (Henegariu, et al., 1997). Primer

dengan panjang kurang dari 18 bp memiliki kemungkinan terjadinya mispriming

tinggi. Hal ini akan mengurangi spesifisitas primer dan berakibat pada efektivitas

dan efisiensi proses PCR. Namun pada penggunaan primer yang terlalu panjang

tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna melainkan

mengakibatkan biaya primer yang lebih mahal (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

b. Persen (%) GC

Kandungan basa G dan C pada primer umumnya adalah 35-60% (Henegariu,

et al., 1997). Primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu

berkompetisi untuk menempel secara efektif pada target yang dituju sehingga

akan menurunkan efisiensi proses PCR. Pada ujung 3’, basa nukleotida sebaiknya

G atau C. Nukleotida A atau T bersifat lebih toleran terhadap mismatch dari pada

G atau C karena memiliki jumlah ikatan hidrogen yang lebih sedikit (Handoyo

dan Rudiretna, 2000).

25

c. Temperatur Annealing

Temperatur annealing yang baik adalah 55°-58°C (Henegariu, et al., 1997).

Temperatur annealing umumnya dapat dihitung 5°C lebih rendah dari perkiraan

melting temperature (Judelson, 2006).

d. Melting Temperature (Tm)

Melting temperature adalah temperatur ketika 50% untai ganda DNA

terpisah. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara

teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) +

4(C+G)] (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Temperatur yang ideal adalah 55°-65°C.

Primer dengan Tm di atas 65°-70°C akan mudah mengalami mispriming pada

temperatur rendah. Primer dengan Tm rendah tidak akan dapat bekerja pada

termperatur tinggi. Pada dua buah primer yang digunakan harus memiliki

perbedaan Tm tidak lebih dari 5°C (Judelson, 2006).

e. Interaksi Primer-primer

Pada primer forward dan reverse sebaiknya tidak ada dimer maupun hairpin

(Henegariu, et al., 1997). Dimer menunjukkan adanya hibridisasi antara basa

primer yang identik. Dimer pada ujung 3’ dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan

dimer bagian lain pada Gambar 2.8. DNA polimerase dapat mengikat spesies yang

identik dan memperpanjang di kedua arah. Hal ini dapat mengakibatkan

penurunan efisiensi amplifikasi hingga produk yang dihasilkan tidak sesuai

dengan keinginan (Yuryev, tt). Hairpin memiliki kesamaan dengan dimer, namun

pada hairpin ujung-ujung primer saling berkomplemen. Interaksi hairpin dapat

dilihat pada Gambar 2.9.

26

Gambar 2.7 Dimer Primer pada Ujung 3’ (Judelson, 2006)

Gambar 2.8 Dimer Primer selain pada Ujung 3’ (Judelson, 2006)

Gambar 2.9 Hairpin Primer (Judelson, 2006)

f. Stabilitas Primer

Stabilitas primer menentukan efisiensi false priming. Primer yang ideal

memiliki ujung 5' yang stabil dan ujung 3' yang tidak stabil. Jika primer memiliki

ujung 3' stabil, maka ikatan ke situs komplemen akan menggantung di tepi. Hal

ini akan mengakibatkan pita sekunder. Sehingga disarankan stabilitas ujung 5’

lebih tinggi dibandingkan dengan ujung 3’ (PBI, 2009).

g. Repeats dan Runs

Repeats merupakan pengulangan dinukleotida secara berurut pada primer.

Sedangkan runs merupakan pengulangan nukleotida secara berurut pada primer.

Adanya Repeats dan runs akan meningkatkan kemungkinan false priming. Primer

tidak diperbolehkan memiliki repeats ataupun runs sebanyak tiga atau lebih (PBI,

2009).

27

Hasil amplifikasi dengan primer yang dirancang seringkali kurang sesuai

dengan yang diharapan sehingga dianjurkan untuk melakukan optimasi proses

PCR. Dalam proses optimasi dapat dilakukan perlakuan sebagai berikut:

1. Apabila produk tidak dideteksi, maka dapat dilakukan peningkatan

konsentrasi primer atau penurunan temperatur annealing.

2. Yield produk rendah, dapat dilakukan peningkatan konsentrasi primer;

untuk produk yang panjang dapat dilakukan penurunan waktu elongasi;

sedangkan untuk produk yang pendek dapat dilakukan pemanjangan waktu

elongasi.

3. Yield produk terlalu banyak dapat dilakukan penurunan konsentrasi primer

atau untuk produk yang panjang, waktu elongasi diturunkan (Loffert, et al.,

1999).

2.9 Analisis Produk PCR

Produk PCR dapat dilakukan analisis dengan menggunakan elektroforesis

dan sekuensing.

2.9.1 Elektroforesis

Elektroforesis merupakan metode pemisahan yang digunakan untuk

menentukan ukuran molekul fragmen DNA (BEC, 2003). Prinsip pemisahannya

adalah molekul yang lebih kecil akan melewati pori-pori gel lebih mudah daripada

yang lebih besar. Tingkat migrasi fragmen DNA linear berbanding terbalik

dengan log ukurannya dalam pasangan basa. Ini berarti bahwa semakin kecil

fragmen linier, semakin cepat bermigrasi melalui gel. Mobilitas molekul selama

28

elektroforesis dapat dipengaruhi oleh konsentrasi gel dan volume larutan gel

agarosa (BEC, 2003).

Elektroforesis horizontal merupakan tipe yang paling umum digunakan

untuk memisahkan molekul DNA dibandingkan dengan tipe vertikal (pemisah

protein). Chamber elektroforesis memiliki elektroda pada kedua ujungnya yang

memiliki konduktivitas listrik yang baik (BEC, 2003).

Gel agarosa yang digunakan sebagai media dibuat dengan melarutkan

serbuk agarosa dalam larutan buffer mendidih. Pada beberapa eksperimen

diperlukan gel agarosa dengan persentase hingga 1% atau 1,5% untuk

memperoleh pemisahan yang baik. Larutan tersebut kemudian didinginkan sampai

sekitar 55°C dan dituangkan ke dalam baki pengecoran yang berfungsi sebagai

cetakan. Sumur dibuat dengan cetakan comb saat larutan gel mengeras. Setelah

gel mengeras, gel direndam dalam buffer pada alat elektroforesis yang berisi

elektroda positif di satu sisi dan elektroda negatif pada sisi yang lain. Sampel

dapat dicampurkan dengan komponen, seperti gliserol atau sukrosa, yang

berfungsi sebagai pemberat. Sumber listrik (DC) terhubung ke alat elektroforesis.

Molekul yang memiliki muatan negatif akan bermigrasi ke arah elektroda positif

(anoda) sedangkan molekul bermuatan positif bermigrasi ke arah elektroda negatif

(katoda). Semakin tinggi tegangan yang diberikan maka semakin cepat sampel

bermigrasi. Buffer berfungsi sebagai konduktor listrik dan untuk mengontrol pH

molekul biologis. DNA bermigrasi melalui gel menuju elektroda positif selama

elektroforesis (BEC, 2003).

29

Dalam proses elektroforesis diperlukan suatu perwarnaan untuk menentukan

secara tepat migrasi sampel. Pewarna yang paling umum digunakan adalah

Etidium bromida atau Methylene blue. Visualisasi hasil pemisahan elektroforesis

membutuhkan sumber cahaya ultraviolet gelombang pendek (transiluminator)

(BEC, 2003).

2.9.2 Sekuensing

Sekuensing berfungsi untuk memperoleh urutan DNA produk PCR. Sekuen

yang diperoleh dapat digunakan untuk dibandingkan dengan sekuen wild type

produk sehingga diketahui adanya perubahan urutan nukleotida (Edwards and

Gibbs, 1994).