BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Tumbuh Kembang Anakrepository.ub.ac.id/3799/2/BAB 2.pdf ·...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Tumbuh Kembang Anakrepository.ub.ac.id/3799/2/BAB 2.pdf ·...
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tumbuh Kembang Anak
Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang
terjadi sejak konsepsi dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses
menuju dewasa, anak akan melalui berbagai tahap tumbuh kembang. Istilah
tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yaitu pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan yang
bersifat kuantitatif yang ditandai dengan bertambahnya jumlah, ukuran,
dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu. Anak tidak hanya
bertambah besar secara fisik, namun juga ukuran dan struktur organ-organ
dalam tubuh dan otak. Karakteristik pertumbuhan otak anak ditandai dengan
kapasitas lebih besar untuk belajar, mengingat, dan mempergunakan
akalnya. Pertumbuhan fisik dapat dinilai dengan ukuran berat (gram, pon,
kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan tanda-tanda seks
sekunder (Soetjiningsih, 2013).
Sementara itu, perkembangan diartikan sebagai perubahan yang dialami
oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan
yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik
yang menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Mayar, 2013).
Perkembangan menyangkut proses diferensiasi sel, jaringan, organ dan
sistem organ yang berkembang sedemikian rupa untuk memenuhi fungsinya
(Soetjiningsih, 2013). Perkembangan terdiri dari 3 aspek yaitu kognitif,
fisk/motorik, dan personal-sosial.
8
Perkembangan kognitif dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan
berfikir yang dimiliki oleh seseorang dalam menghubungkan, menilai dan
mempertimbangkan suatu peristiwa atau kejadian (Sukardi, 2013).
Sedangkan perkembangan fisik/motorik dapat diartikan sebagai
perkembangan yang berkaitan dengan kontrol pergerakan badan melalui
koordinasi aktivitas syaraf pusat, syaraf tepi dan otot (Soetjiningsih, 2013).
Secara umum, perkembangan motorik terbagi menjadi motorik kasar dan
halus. Motorik kasar berkaitan dengan dengan keterlibatan keterampilan otot
besar, sedangkan motorik halus lebih melibatkan gerakan otot kecil
(Lindawati, 2013). Di samping itu, aspek perkembangan yang juga perlu
diperhatikan adalah perkembangan yang menyangkut tingkah laku individu
dan sosial yang disebut dengan perkembangan personal-sosial.
Perkembangan personal berhubungan dengan aspek-aspek yang terdiri dari
kebiasaan, kepribadian, watak dan emosi (Soetjiningsih, 2013). Sedangkan
perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial dan merupakan proses penyesuaian diri terhadap norma kelompok,
moral dan tradisi melalui pelebiran diri menjadi satu kesatuan yang saling
berkomunikasi dan bekerjasama (Mayar, 2013).
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak
Dewasa ini, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak menurut Soetjiningsih (2013) yang meliputi:
1. Faktor genetik
Informasi genetik yang terkandung dalam sel telur yang telah dibuahi
dapat menentukan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat
sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan
9
berhentinya pertumbuhan tulang. Selain itu, faktor genetik merupakan
modal dasar yang menentukan pencapaian hasil akhir proses tumbuh
kembang anak yang dapat diketahui melalui potensi yang menjadi ciri
khas anak (Rahmawati, 2012). Potensi genetik ini sulit diubah melalui
segala bentuk usaha baik pendidikan maupun pengalaman (Adriana,
2008).
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan biofisikopsikososial sangat menentukan
pencapaian potensi genetik anak. Lingkungan biofisikopsikososial pada
masa pascanatal dapat digolongkan menjadi:
1. Faktor biologis
a. Jenis kelamin
Dikatakan jika anak laki-laki akan lebih sering sakit
dibandingkan anak perempuan. Hal itu dimungkinkan karena adanya
perbedaan kromosom antara laki-laki (xy) dan perempuan (xx).
b. Umur
Masa balita merupakan masa yang paling rawan, terutama pada
umur satu tahun pertama dimana anak sangat rentan terhadap
penyakit dan sering terjadi kurang gizi. Masa balita ini merupakan
dasar pembentukan kepribadian anak yang perlu mendapat perhatian
khusus.
c. Gizi
Asupan makanan yang kurang baik secara kuantitas dan kualitas
dapat memicu timbulnya malnutrisi pada anak. Kondisi malnutrisi ini
akan berakibat pada terganggunya pertumbuhan, perkembangan,
10
gangguan fungsi dan struktur otak (Husnah, 2015). Hal tersebut juga
diungkapkan oleh Kustiyati dan Firrahmawati (2015) yang
menyatakan jika asupan gizi memiliki peran dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak yang berdampak pada
kinerja otak.
d. Kesehatan
Anak yang memiliki kondisi kesehatan yang baik cenderung akan
berkembang lebih cepat daripada anak yang kondisi kesehatannya
buruk (Suherman, 2002 dalam Trisnawati, 2013). Seperti halnya
kondisi kesehatan kronis seperti autisme, serebral palsi dan
sebagainya diketahui dapat menganggu tumbuh kembang anak.
2. Faktor lingkungan fisik (sanitasi dan keadaan rumah)
Kebersihan perorangan maupun lingkungan memegang peranan
penting dalam menimbulkan penyakit dimana apabila kebersihannya
kurang menyebabkan anak akan lebih rentan dan sering terkena penyakit.
Sanitasi yang buruk dapat menyebabkan timbulnya penyakit infeksi
seperti diare yang dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak
(Pem, 2015).
Keadaan rumah (struktur bangunan, ventilasi, cahaya dan kepadatan
hunian) yang layak, dengan konstruksi bangunan tidak membahayakan
penghuninya, serta tidak penuh sesak, akan menjamin kondisi kesehatan
anak.
3. Faktor psikososial
a. Stimulasi
11
Pemberian stimulasi dari lingkungan merupakan hal yang penting
bagi tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulasi yang
kurang dari lingkungannya dapat mengakibatkan keterlambatan
perkembangan otak yang berpengaruh terhadap keterlambatan dalam
aspek-aspek perkembangan (Pem, 2015).
b. Motivasi belajar
Motivasi belajar anak penting dalam merangsang perkembangan
anak yang dapat ditumbuhkan sejak dini melalui pemberian
lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya perpustakaan,
buku-buku yang menarik minat baca anak dan bermutu, suasana
tempat belajar yang tenang, sekolah yang tidak terlalu jauh, serta
sarana lainnya.
c. Ganjaran atau hukuman yang wajar
Pemberian ganjaran atas perbuatan baik yang dilakukan anak
seperti memberikan pujian, ciuman, belaian, tepuk tangan dan
sebagainya berperan dalam memberikan motivasi yang kuat pada
anak untuk mengulangi perbuatan baik tersebut. Perbuatan salah
yang dilakukan anak harus dihukum dengan cara yang wajar dan
objektif dengan disertai pemberian penjelasan pengertian dan maksud
hukuman tersebut dengan maksud agar anak mengetahui mana yang
baik dan tidak baik.
d. Kualitas Interaksi anak-orangtua
Kualitas interaksi antara anak dan orangtua yang baik akan
menimbulkan keakraban dalam keluarga. Hubungan yang
menyenangkan antara anak dengan orang lain terutama orang tua
12
akan mendorong perkembangan kepribadian anak dan interaksi sosial
dengan orang lain.
e. Keikutsertaan dalam PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
Warsito dkk (2012) menyatakan jika keikutsertaan anak dalam
PAUD berperan dalam mengembangkan kemampuan kognitif anak.
Dengan mengikuti program PAUD anak dipersiapkan untuk mengikuti
jenjang pendidikan yang lebih tinggi melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani serta rohani anak (Jawati, 2013). Selain itu, Khomsan dkk
(2013) menyatakan jika anak yang mengikuti PAUD cenderung akan
mendapat stimulasi perkembangan yang lebih terstruktur, konsisten
dan termonitor dengan baik jika dibandingkan dengan stimulasi yang
diberikan di rumah. Sehingga anak yang mengikuti PAUD memiliki
kemajuan perkembangan kognitif yang lebih baik daripada anak yang
tidak mengikuti PAUD.
4. Faktor keluarga dan adat istiadat (pekerjaan/pendapatan keluarga dan
pendidikan orang tua)
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak yang ditandai dengan tepenuhinya seluruh kebutuhan
anak. Sementara itu, pendidikan orang tua yang baik akan memudahkan
orang tua dalam menerima segala informasi yang berasal dari luar
terutama terkait cara pengasuhan anak yang baik, cara menjaga
kesehatan anak, cara mendidik anak dan sebagainya. Kemudahan orang
tua dalam memperoleh informasi tersebut memberikan kesempatan bagi
13
orang tua untuk mendapat pengetahuan baru dalam hal ini terkait tumbuh
kembang anak (Mubarak, 2010 dalam Kustiyati dan Firrahmawati, 2015).
2.3 Konsep Dasar Perkembangan Kognitif
2.3.1 Pengertian Kognitif
Sujiono (2007) dalam Sukardi (2013) menyatakan jika kognitif
merupakan suatu proses berpikir, yang ditandai dengan kemampuan
individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu
kejadian dan peristiwa. Seseorang akan mengolah informasi yang ia
terima menjadi sebuah pengetahuan melalui proses berpikir. Hal itu
sesuai dengan Salimar (2011) yang menyatakan jika perkembangan
kognitif merupakan perkembangan yang melibatkan perubahan-
perubahan dalam hal kemampuan berpikir, pola berpikir, dan cara
individu dalam memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aspek
utama dalam perkembangan kognitif menurut Departemen Pendidikan
Nasional (2007) dalam Herentina (2012) meliputi kemampuan
berbahasa, kemampuan mengingat, kemampuan nalar atau berpikir
logis, kemampuan tilikan ruang, kemampuan bilangan, kemampuan
menggunakan kata, kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat.
Kemampuan kognitif seorang anak akan berkembang secara
bertahap seiring dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf dalam
pusat susunan syaraf. Susunan syaraf dalam otak akan berkembang
dengan cepat apabalia didukung oleh faktor-faktor yang berasal dari
lingkungan, salah satunya adalah melalui pemberian stimulasi (Sukardi,
2013).
14
2.3.2 Teori Perkembangan Kognitif
a. Teori Perkembangan Kognitif (Jean Piaget)
Jean Piaget sebagai salah satu pakar psikologi dalam Sukardi
(2013) menyatakan jika terdapat empat tahapan perkembangan
kognitif antara lain:
1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak lebih banyak menggunakan gerak
refleks dan panca inderanya untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Anak belajar untuk mengenal dunianya hanya
dengan mengandalkan panca inderanya yaitu melalui aktivitas
meraba, membau, melihat, mendengar, dan merasakan. Hasil
pengalaman yang diperoleh anak melalui aktivitas tersebut
kemudian digunakan untuk membangun persepsi dalam
pikirannya mengenai benda-benda yang ada di sekelilingnya.
2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun)
Dalam tahap ini, anak mulai mengembangkan
keterampilannya dalam berbahasa. Anak akan belajar
menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran
dan kata-kata, pemikiran anak masih bersifat egosentris yang
ditandai dengan anak masih kesulitan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain dan kesulitan untuk memahami perasaan
orang-orang disekitarnya. Anak cenderung memiliki pikiran yang
sangat imajinatif yang menganggap setiap benda yang tidak
hidup memiliki perasaan. Selain itu, anak sudah dapat
mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
15
mengumpulkan semua benda yang berwarna merah meskipun
bentuknya berbeda atau mengumpulkan semua benda yang
memiliki bentuk yang sama dengan warna yang berbeda.
3. Tahap Praoperasional konkret (7-11 tahun)
Pada tahap ini anak sudah mampu mengurutkan ukuran,
bentuk atau ciri-ciri suatu benda, memberi nama dan
mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilan, ukuran
atau karakteristik lainnya, sudah tidak lagi memiliki keterbatasan
logika (menganggap benda hidup dan memiliki perasaan), dapat
mempertimbangkan aspek untuk dapat menyelesaikan masalah,
mulai memahami jumlah atau benda-benda yang dapat diubah
dan dikembalikan ke keadaan semula, sudah memahami
kuantitas, panjang atau jumlah benda yang tidak memiliki
hubungan dengan tampilan benda, seperti halnya jika anak diberi
cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan
tahu jika air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda,
air gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain, dan
peghilangan sifat egosentrime yang ditandai dengan kemampuan
anak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
4. Tahap Praoperasional Formal (11 tahun ke atas)
Tahap ini terjadi ketika anak menginjak usia 11 tahun (saat
pubertas) dan akan terus berlanjut hingga usia dewasa.
Karakteristik perkembangan pada tahap ini yaitu diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis,
dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dilihat dari
16
aspek biologis, tahap ini muncul saat pubertas (saat terjadi
perubahan besar lainnya) yang menandakan masuknya anak ke
dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan sosial. Namun, pada beberapa
orang dapat tidak sepenuhnya mencapai perkembangan pada
tahap ini, sehingga ia tidak memiliki keterampilan dalam berpikir
dewasa.
b. Teori Perkembangan Kognitif (Vygotsky)
Lev Vygotsky (1896-1934) yang merupakan seorang psikolog
berkebangsaan Rusia mengembangkan teori yang dikenal dengan
teori revolusi sosio kultural. Vygotsky menyatakan jika
perkembangan manusia sebagai suatu yang tidak terpisahkan dari
kegiatan-kegiatan sosial dan budaya (Sukardi, 2013). Berbeda
dengan teori piaget dimana anak mengembangkan cara berpikir
dan pemahaman melalui tindakan dan interaksi mereka dengan
dunia fisik, pada teori Vygotsky anak lebih sering digambarkan
sebagai makhluk sosial yang mengembangkan cara berpikir dan
pemahaman melalui interaksi sosial. Perkembangan kognitif anak
bergantung pada alat yang disediakan masyarakat dan pikiran
anak dibentuk oleh budaya dimana mereka tinggal (Santrock,
2011).
Vygotsky juga menekan akan pentingnya pengaruh sosial,
terutama pengajaran terhadap perkembangan kognitif anak.
Konsep ini dikenal dengan istilah Zone of Proximal Development
(ZPD) yang merupakan istilah untuk berbagai tugas yang terlalu
17
sulit untuk dikuasai anak sendiri, namun dapat dipelajari dengan
adanya bimbingan dan bantuan orang dewasa atau anak lain yang
lebih terampil (Santrock, 2011). ZPD didefiniskan sebagai jarak
atau kesenjangan antara level perkembangan yang aktual yang
ditunjukkan dengan anak mampu memecahkan masalah secara
mandiri dan level potensial yang ditunjukkan dengan anak yang
dapat memecahkan masalah dengan adanya bantuan dari atau
bimbingan oleh orang dewasa atau merupakan hasil kerjasama
dengan teman-teman sebayanya yang lebih terampil melalui
percakapan (Sukardi, 2013).
2.3.3 Klasifikasi Perkembangan Kognitif
Menurut Sukardi (2013) perkembangan kognitif anak dapat
diklasifikasikan menjadi:
Pengembangan auditory yang berkaitan dengan kemampuan
anak dalam mendengarkan atau menirukan bunyi yang didengar
sehari-hari, mendengarkan nyanyian atau syair dengan baik,
mengikuti perintah lisan sederhana, mendengarkan cerita dengan
baik, mengungkapkan kembali cerita sederhana, menebak lagu
atau apresiasi musik, mengikuti ritmis dengan bertepuk,
menyebutkan nama-nama hari dan bulan, mengetahui nama
benda yang dibunyikan.
Pengembangan visual berhubungan dengan penglihatan,
pengamatan, perhatian, tanggapan, dan persepsi anak terhadap
lingkungan sekitarnya. Kemampuan tersebut meliputi
membandingkan benda-benda dari yang sederhana menuju ke
18
yang lebih kompleks, mengetahui ukuran benda atau warnanya,
mengetahui adanya benda yang hilang apabila ditunjukkan
sebuah gambar yang belum sempurna atau janggal, menjawab
pertanyaan tentang sebah gambar, menyusun potongan teka-teki
mulai dari yang sederhana hingga yang rumit, mengenal
namanya sendiri bila tertulis, mengenali huruf atau angka.
Pengembangan taktil yang berhubungan dengan kemampuan
anak dalam mengembangkan indera perabanya, meliputi indera
sentuhan, kesadaran akan berbagai tekstur, dan kosakata untuk
menggambarkan berbagai tekstur benda. Hal ini dapat
dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan seperti bermain dengan
plastisin, menebak dengan meraba tubuh teman, meraba dengan
kertas amplas, meremas kertas karton, meraba biji-bijian.
Pengembangan kinestetik (kelancaran gerak tangan/keterampilan
tangan)
Pengembangan aritmatika untuk mengembangkan kemampuan
berhitung atau konsep perhitungan permulaan yang meliputi
mengenal atau membilang angka, menyebut urutan bilangan,
menghitung benda dan mengenali himpunan dengan nilain
bilangan yang berbeda, memberi nilai pada suatu biangan
himpunan benda, mengerjakan atau menyelesaikan operasi
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian,
menghubungkan konsep bilangan dengan lambang bilangan,
menggunakan konsep waktu, menyatakan waktu dengan jam,
19
mengurutkan lima hingga sepuluh benda berdasarkan urutan
tinggi besar, mengenal penambahan dan pengurangan.
Pengembangan geometri yaitu kemampuan pengembangan
konsep bentuk dan ukuran yang meliputi memiilih benda menurut
warna, bentuk dan ukurannya, mencocokkan benda menurut
warna, bentuk dan ukurannya, membandingkan benda menurut
ukurannya besar, kecil, panjang, lebar, tinggi dan rendah,
mengukur benda secara sederhana, mengerti dan menggunakan
bahasa ukuran seperti besar-kecil, tinggi-rendah, dan panjang-
pendek, menciptakan bentuk dari kepingan geometri,
mencocokkan bentuk-bentuk geometri, menyebut, menunjukkan
dan mengelompokkan segi empat,dan menuyusun menara dari
delapan kubus, mengenal ukuran panjang, berat dan isi, meniru
pola dengan empat kubus.
Pengembangan sains permulaan yang berhubungan dengan
berbagai percobaan atau demonstrasi sebagai suatu pendekatan
secara saintifik atau logis dengan tetap mempertimbangkan
tahapan berpikir anak. Adapun kemampuan yang dapat
dikembangkan seperti anak mengeksplorasi berbagai benda di
sekitarnya, mengadakan berbagai percobaan sederhana dan
mengkomunikasikan apa yang telah diamati dan diteliti.
2.3.4 Karakteristik Perkembangan Kognitif Anak
Menurut Sukardi (2013) pada dasarnya pengembangan
kognitif bertujuan agar anak dapat mengeksplorasi dunia sekitarnya
melalui panca inderanya. Kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan
20
sekitar anak sangat berperan penting dalam membentuk pengetahuan
anak yang akan sangat membantu kelangsungan hidupnya. Dalam
hal ini, orang tua diharapkan dapat memfasilitasi proses
pengeksplorasian anak terhadap dunia sekitarnya dengan terlebih
dahulu mengetahui karakteristik perkembangan anak. Pengetahuan
ini penting agar orang tua dapat memberikan stimulasi dan fasilitas
yang sesuai untuk anak. Adapun karakteristik perkembangan kognitif
anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Tahapan perkembangan kognitif anak
Usia Karakteristik Perkembangan Kognitif
0-3 bulan Mulai dapat mengembangkan konsep, seperti halnya sadar
akan sensasi fisik yaitu lapar
Dapat melakukan kontak mata dan menangis untuk
menunjukkan kebutuhan
Senang bermain
Senang memasukkan mainan ke dalam mulut
3-6 bulan Minat terhadap lingkungannya meningkat
Menunjukkan minat pada mainan
Memahami konsep sebab akibat
Akan berusaha untuk meraih benda yang agak jauh dari
jangkauannya
Melakukan eksplorasi pada benda menggunakan mulut dan
tangan
6-9 bulan Menunjukkan ketertarikan pada bagian tubuhnya
Memahami objek dan mengetahui apa yang diharapkan
terhadap benda tersebut
Memahami konsep naik dan turun, serta membuat gerakan
yang sesuai
Mencari benda yang dijatuhkan
21
Senang bermain tepuk tangan/cilukba
Senang melempar benda
Mulai bisa makan kue sendiri
9-12 bulan Melakukan eksplorasi terhadap benda-benda yang ada
disekitrnya dengan berbagai cara
Dapat menemukan benda yang disembunyikan
Dapat mnirukan gerakan tubuh dengan mudah
Menyukai minuman dengan cangkir
Dapat melakukan permainan dengan bola
Perhatian pada objek yang permanen
Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan yang
diinginkan
Senang memasukkan benda ke dalam mulut
Senang mengeksplorasi sekitar, tahu, dan ingin menyentuh
apa saja yang ditemui
Menunjukkan ketertarikan terhadap buku gambar
12-18 bulan Dapat menemukan objek yang disembunyikan
Dapat embedakan bentuk dan warna
Mampu memberi respon terhadap instruksi sederhana
Menggunakan trial and error dalam mempelajari suatu
objek
18-24 bulan Mampu menggelindingkan bola kea rah sasaran
Membantu/menirukan pekerjaan rumah tangga
Dapat mulai bermain pura-pura
Mampu memegang cangkir sendiri, belajar makan dan
minum sendiri
Menikmati gambar sederhana
Mengeksplorasi lingkungannya
Mengetahui bagian-bagian tubuhnya
24-36 bulan Dapat menunjuk satu atau lebih bagian tubunya ketika
diminta
Melihat gambar dan mampu menyebutkan dua benda atau
22
lebih dengan benar
Mampu bercerita menggunakan paragraph sederhana
Mampu menggabungkan 2-3 kata ke dalam bentuk kalimat
Menggunakan nama sendiri untuk menyebut dirinya
36-48 bulan Mengenal 2-4 warna
Mampu menyebut nama, umur, dan tempat tinggal
Mengerti arti kata diatas, dibawah dan didepan
Mencuci dan mengeringkan tangannya sendiri
Bermain dengan teman dan mampu mengikuti aturan
dalam permainan
Mengenakan sepatu sendiri
Mengenakan celana panjang, kemeja, baju
Mampu menghubungkan aktivitas saat ini dengan
pengalaman masa lalu
Mampu menggambar orang dengan kepala ditambah
bagian tubuh lainnya
Memilah objek-objek ke dalam kategori sederhana
48-60 bulan Mampu menggambar garis lurus
Mengenal 2-4 warna
Mampu menyebut nama, umur dan tempat tinggal
Mengerti arti kata diatas, dibawah, didepan
Mampu mencuci dan mengeringkan tangan sendiri
Bermain bersama teman dan mampu mengikuti aturan
dalam permainan
Mengenakan sepatu sendiri
Mengenakan celana panjang, kemeja, baju
Senang bertanya tentang arti suatu kata
Menggambar rumah yang dapat dikenal
60-72 bulan Menggambar 6 bagian tubuh dan menggambar orang
dengan lengkap
Menggambar segi empat
Mengerti arti lawan kata
23
Menjawab pertanyaan mengenai benda terbuat dari apa
beserta kegunaanya
Mengenal angka
Mengenal berbagai macam warna
Mampu mengungkapkan rasa simpati
Mampu mengikuti aturan permainan
Mampu berpakaian sendiri tanpa dibantu
Manulis nama
Memahami angka
Mengembangkan kemampuan membaca dengan baik
Sumber : Soetjiningsih, 2013, hal. 21-23
2.4 Pengertian Air Susu Ibu (ASI)
Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan hidup yang mengandung sel-sel darah
putih, imunoglobulin, enzim dan hormon, serta protein spesifik, dan zat-zat
gizi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak
(Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia No. 03 Tahun 2010). ASI merupakan sumber
kehidupan yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi pada
periode extro-gestate atau pasca melahirkan. ASI dihasilkan oleh kelenjar
susu yang tersusun atas berbagai komponen penghasil ASI, seperti alveoli,
ductus, sinus lactiferous, dan puting susu. Alveoli merupakan bagian akhir
dari pembuluh darah yang menjadi tempat awal pembentukan air susu dari
zat makanan dalam darah. Alveoli tersalur melalui saluran susu yang disebut
ductus yang kemudian bersatu membentuk sinus lactiferous. Dari saluran
sinus lactiferous kemudian akan bermuara pada puting susu yang memiliki
klep. Klep ini akan terbuka ketika ada kecupan atau isapan dari bayi (Sitepoe,
2013).
24
Tidak ada makanan sesempurna ASI bagi bayi hingga usia 4-6 bulan
dari kelahiran (Sitepoe, 2013). WHO/UNICEF dalam Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia No. 03 Tahun 2010 merekomendasikan hal penting terkait
pemberian ASI. Rekomedansi tersebut meliputi pemberian ASI segera dalam
waktu 30 menit setelah bayi lahir, pemberian ASI saja (ASI secara eksklusif)
sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan. Air Susu Ibu (ASI) eksklusif menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 dalam Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2014 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak
dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dam mineral),
serta meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun.
2.5 Jenis ASI
Air Susu Ibu (ASI) terdiri dari 3 jenis yang terdiri dari kolostrum, ASI
transisi dan matur. Kolostrum merupakan ASI yang pertama kali keluar pasca
kelahiran. Kolostrum dihasilkan dalam tiga atau empat hari setelah
melahirkan melalui payudara ibu yang berupa sejumlah kecil air susu
berwarna kuning dan kental, serta mengandung protein yang tinggi (Beck,
2011). Pembentukan kolostrum dimulai pada semester pertama kehamilan
yang dipengaruhi oleh kerja hormon prolaktin dari kelenjar hipofisis dan
berlanjut hingga semester ketiga yang dipengaruhi oleh prolaktin dari
plasenta.
Perubahan dari kolostrum ke ASI matur berlangsung melalui ASI
transisi. ASI transisi berfungsi sebagai sumber bahan makanan dalam
periode kehidupan pasca kelahiran sampai dengan bayi berusia 4 hingga 6
25
bulan secara eksklusif dan setelah itu dapat didukung dengan pemberian
makanan tambahan lainnya (Sitepoe, 2013). ASI jenis ini disekresi pada hari
ke-4 hingga hari ke-10 masa laktasi. ASI transisi mengandung lebih sedikit
protein dan lebih banyak karbohidrat, lemak, serta volumenya dibandingkan
dengan kolostrum (Bahiyatun, 2009 dalam Hani, 2014). Meningkatnya
kandungan karbohidrat dan lemak serta volume air susu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan bayi yang mulai aktif dan beradaptasi dengan
lingkungannya (Irawati, 2007 dalam Ibrahim, 2012).
Pada hari ke-10 dan seterusnya, komposisi ASI relatif konstan. Air
susu jenis ini disebut sebagai ASI matur yang merupakan cairan yang
mengandung Ca-kasien, riboflavin, dan karoten yang berperan dalam
menimbulkan warna putih kekuningan pada air susu jenis ini (Bahiyatun,
2009 dalam Hani, 2014). Selain itu, ASI ini tidak mengalami penggumpalan
jika dipanaskan dan mengandung beberapa faktor antimikrobial.
Perbedaan kandungan gizi yang terdapat dalam kolostrum, ASI transisi
dan ASI matur menurut Kristiyansari (2009) dalam Maria (2016) dapat dilihat
melalui tabel berikut:
Tabel 2.2 Komposisi kandungan ASI
Sumber : Kristiyansari, 2009 dalam Maria, 2016
Kandungan Kolostrum ASI Transisi ASI Matur
Energi (Kg Kla)
Laktosa (gr/100 ml)
Lemak (gr/100 ml)
Protein (gr/100 ml)
Mineral (gr/100 ml)
Imonoglobulin :
IgA (mg/100 ml)
IgG (mg/100 ml)
IgM (mg/100 ml)
Lisosum (mg/100 ml)
Laktoferin
57,0
6,5
2,9
1,195
0,3
335,9
5,9
17,1
14,2-16,4
421-520
63,0
6,7
3,6
0,965
0,3
-
-
-
-
-
65,0
7,0
3,8
1,324
0,2
119,6
2,9
2,9
24,3-27,5
250-270
26
2.6 Keunggulan dan Manfaat ASI
Keunggulan dan manfaat ASI menurut Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
No. 03 Tahun 2010 diklasifikasikan ke dalam aspek-aspek sebagai
berikut:
1. Aspek Gizi
Komposisi zat gizi dalam ASI sejak hari pertama menyusui akan
berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan tahap adaptasi bayi
(Hanafi, 2012). ASI terdiri dari dua jenis yaitu foremilk (berbentuk
encer, diproduksi di awal proses menyusui, memiliki kadar air yang
tinggi, mengandung tinggi protein, laktosa dan zat gizi lainnya, serta
rendah lemak) dan hindmilk (diproduksi menjelang akhir proses
menyusui yang mengandung tinggi lemak sebagai sumber
tenaga/energi) (Depkes RI, 2007).
Kadar lemak dalam ASI sejumlah 4,5 gr/100 cc berfungsi sebagai
sumber energi, pelarut vitamin larut lemak, dan pelarut asam lemak
esensial (Sitepoe, 2013). Sedangkan kandungan karbohidrat ASI
yang terdiri dari glukosa dan galaktosa sejumlah 6,94 gr/100 gr
berfungsi untuk membantu penyerapan kalsium (Ca) dan vitamin,
serta membantu pembentukan jaringan otak dan membantu fungsi
Lactobacillus bifida (Sitepoe, 2013). Di samping itu, ASI juga
mengandung beberapa mineral dan vitamin diantaranya yaitu:
27
Tabel 2.3 Kandungan mineral dan vitamin dalam ASI dan susu sapi
Jenis Mineral dan Vitamin ASI Susu Sapi
Kalsium (Ca) 46 mg 130 mg
Klorin (Cl) 46 mg 108 mg
Tembaga (Cu) 50 mg 14 mg
Zat Besi (Fe) 70 mg 70 mg
Magnesium (Mg) 4 mg 4 mg
Fosfor (P) 20 mg 120 mg
Kalium (K) 64 mg 145 mg
Natrium (Na) 29 mg 58 mg
Belerang (S) 20 mg 30 mg
Vitamin A 10 µ gr/gr 8 µ gr/gr
Karoten 4 µ gr/gr 7 µ gr/gr
Retinol (Vitamin A aktif) 53 µ gr/100 gr 42 µ gr/100 gr
Vitamin D 1,4 IU/100 gr 1,4 IU/100 gr
Tiamin 1,4 IU/100 gr 1,4 IU/100 gr
Asam nikotinat 170 µ gr/100 gr 80 µ gr/100 gr
Asam pantotenat 200 µ gr/100 gr 350 µ gr/100 gr
Vitamin B6 10 µ gr/100 gr 35 µ gr/100 gr
Asam folat 0,2 µ gr/100 gr 0,1 µ gr/100 gr
Biotin 0,4 µ gr/100 gr 2 µ gr/100 gr
Vitamin B12 0,03 µ gr/100 gr 0,5 µ gr/100 gr
Vitamin C 4 mg/100 gr 2 mg/100 gr
Sumber : Lawrence RA, 1989 dan Kon SK, 1972 dalam Sitepoe, 2013, hal. 38-40
Rasio whei (zat yang membantu penyerapan dan metabolisme
protein ke dalam pembuluh darah dalam 20-40 menit) dan kasien (zat
yang membantu dalam penyerapan dan metabolisme protein ke
dalam pembuluh darah dalam waktu 2-4 jam) dalam ASI yaitu 65:35
menjadikan ASI lebih mudah untuk diserap dan dimetabolisme tubuh
bayi. Enzim-enzim seperti lipase (pengurai lemak), amilase (pengurai
28
karbohidrat), dan protease (pengurai protein) menghasilkan sisa
metabolisme yang rendah, sehingga tidak memperberat kerja ginjal
bayi. Keunggulan tersebut tidak dapat ditemukan dalam susu formula
sebagai akibat dari proses produksinya yang menyebabkan
denaturasi enzim-enzim tersebut (Hanafi, 2012).
2. Aspek Imunologik
Manfaat lain yang dapat diperoleh melalui konsumsi ASI yaitu
membantu pembentukan sistem imun tubuh, seperti halnya
kandungan immunoglobulin A (IgA) terutama dalam kolostrum
berfungsi sebagai pelindung tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi
yaitu dengan melumpuhkan bakteri patogen E. coli dan berbagai
virus dalam saluran pencernaan. Pada 2 minggu pertama, ASI
mengandung sel darah putih lebih dari 4000 sel per ml yang terdiri
dari Bronchus Associated Lympocyte Tissue (BALT) antibodi
pernafasan, Gut Associated Lympocyte Tissue (GALT) antibodi
saluran pernafasan, dan Mammary Associated Lympocyte Tissue
(MALT) antibodi jaringan payudara ibu.
Selain itu, faktor bifidus yang terkandung dalam ASI berperan
penting untuk menunjang pertumbuhan bakteri baik (Lactobillus
bifidus) yang tidak dapat ditemukan dalam susu formula. Bakteri ini
berperan penting dalam menjaga keasaman flora usus bayi dan
berguna sebagai penghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan
dan dapat melindungi usus bayi dari peradangan atau penyakit yang
ditimbulkan oleh infeksi beberapa bakteri patogen (Hanafi, 2012).
3. Aspek Psikologik
29
Peran ASI dari aspek psikologis diantaranya yaitu dapat
menumbuhkan rasa percaya diri ibu dalam menyusui, meningkatkan
produksi hormon terutama oksitosin yang pada akhirnya akan
meningkatkan produksi ASI, menimbulkan ikatan kasih sayang antara
ibu dan bayi.
4. Aspek Kecerdasan
Interaksi ibu dan bayi serta kandungan nilai gizi ASI sangat
dibutuhkan bagi perkembangan sistem syaraf otak yang dapat
meningkatkan kecerdasan bayi. Penelitian menunjukkan jika bayi
yang diberi ASI memiliki nilai IQ 4,3 poin lebih tinggi pada usia 18
bulan, 4 sampai 6 poin lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 poin
lebih tinggi pada usia 8,5 tahun jika dibandingkan dengan bayi yang
tidak diberi ASI.
Hal itu berkaitan dengan kandungan taurin dalam ASI yang
merupakan sejenis asam amino yang memiliki fungsi sebagai
neurotransmiter dan berperan penting dalam proses maturasi sel
otak. Taurin berperan dalam penghantaran impuls dari sinapsis
syaraf ke syaraf lainnya yang membantu mempercepat penyampaian
informasi yang diperoleh melalui stimulus menuju otak (Hanafi, 2012).
Selain itu, kandungan Decosahexanoic Acid (DHA) dan
Arachidonic Acid (AA) dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel otak
secara optimal. DHA dan AA dalam tubuh dapat dibentuk dari
substansi pembentuknya/prekursor yaitu Omega 3 (Asam linolenat)
dan Omega 6 (asam linoleat). DHA dan AA dapat membantu proses
pembentukan sel-sel otak dan serabut syaraf penghubung organ
30
reseptor dengan otak maupun otak dengan organ efektor (Hanafi,
2012).
5. Aspek Neurologis
Dengan menghisap payudara ibu akan menyempurnakan
koordinasi syaraf menelan, menghisap dan bernafas bayi yang baru
lahir.
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian dapat diketahui jika
praktik pemberian ASI dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
Usia: produksi ASI akan berubah seiring dengan pertambahan usia
ibu. Usia 20-35 merupakan usia terbaik dimana organ-organ
reproduksi wanita telah matang dan siap bereproduksi (Said dan
Pratomo, 2013). Oleh karena itu, pada usia tersebut seorang wanita
dapat dikatakan telah siap untuk hamil dan melahirkan serta menyusui
(Garudiwati, 2014). Namun, pada usia 30 tahun keatas akan terjadi
degradasi payudara dan kelenjar penghasil ASI secara keseluruhan
(Suratmadja, 1997 dan Novita, 2008 dalam Pertiwi, 2012).
Kondisi kesehatan: Ibu yang menderita masalah kesehatan atau
penyakit dapat menyebabkan pemberian ASI menjadi kontraindikasi.
Seperti halnya jika Ibu positif menderita HIV yang sebaiknya tidak
memberikan ASI untuk mencegah penularan virus ketika anak
menggigit puting susu ibu (Elizabeth W. et al., 2014). Selain itu, kondisi
fisik yang sakit menyebabkan ibu berhenti menyusui dengan alasan
ASI yang dikelurkan lebih sedikit atau tidak keluar sama sekali, serta
timbulnya rasa sakit saat menyusui (Abdullah dkk., 2013).
31
Pengetahuan dan persepsi yang kurang tepat terkait ASI: Ibu yang
berpengetahuan baik cenderung akan memberikan ASI secara
eksklusif kepada bayinya dibandingkan dengan mereka yang hanya
berpengetahuan cukup atau kurang (Ermianty dkk., 2014). Selain itu,
kurangnya informasi terkait pentingnya kolostrum yang ditandai
dengan masih adanya persepsi ibu yang menganggap kolostrum
sebagai kotoran dan air. Adanya persepsi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan ibu untuk tidak memberikan kolostrum dan
memberi makanan selain ASI pada anaknya (Elizabeth W. et al.,
2014).
Pendidikan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satino dan
Setyorini pada tahun 2014 menyatakan jika semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu, maka semakin baik pula perilku ibu dalam memberikan
ASI eksklusif bagi anaknya. Hal ini dikaitkan dengan semakin
mudahnya dalam mendapatkan informasi tentang ASI pada ibu yang
berpendidikan tinggi.
Dukungan petugas kesehatan memiliki peranan penting dalam
mendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif yaitu terkait
pemberian motivasi, peningkatan pengetahuan, dan pendampingan
menyusui yang dapat meningkatkan motivasi dan kemampuan ibu
untuk memberikan ASI ekaklusif (Azriani dan Wasnidar, 2014).
Dukungan orang terdekat: keberhasilan pemberian ASI secara
eksklusif sangat ditentukan oleh dukungan dari keluarga salah satunya
adalah dukungan suami. Azriani dan Wasnidar (2014) menyatakan jika
ibu yang mendapat dukungan dari suami akan lebih berhasil dalam
32
memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Dukungan yang dimaksud
yaitu terkait penyediaan dana kesehatan, pembelian makanan bergizi,
pembebasan ibu dari pekerjaan rumah tangga, pemberian keyakinan
dan motivasi.
Budaya yang dianut secara turun-temurun dalam suatu masyarakat
dapat mempengaruhi perilaku menyusui ibu, seperti halnya budaya
masyarakat yang memberikan makanan yang dihaluskan kepada bayi
(Rejeki, 2014).
Ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu dan
kesempatan yang lebih sedikit untuk menyusui bayinya dibandingkan
dengan ibu yang tidak bekerja (Lestari dkk., 2013).
Faktor psikis seperti halnya rasa percaya diri yang tinggi, yakin
terhadap kecukupan ASI, tidak stres dan sikap positif terhadap
menyusui diketahui dapat mempengaruhi keberhasilan pemberin ASI
eksklusif (Fahriani dkk., 2014).
2.8 Hubungan Pemberian ASI terhadap Perkembangan Otak dan
Perkembangan Kognitif
ASI sebagai sumber makanan bagi bayi diketahui mengandung zat-
zat yang berhubungan dengan kerja otak, seperti taurin, DHA, dan AA.
Zat-zat tersebut berfungsi dalam pembentukan sel-sel otak serta sinapsis
yang menghubungkan sel-sel syaraf. Sebagai neurotransmiter, taurin yang
berperan penting dalam pematangan (maturasi) sel otak dan dapat
mempercepat hantaran impuls dari organ reseptor menuju otak yang
memudahkan otak dalam merespon stimulasi.
33
Perkembangan otak yang optimal terjadi mulai masa prenatal hingga
tahun pertama kehidupan. Bentuk dasar otak yang berupa lekukan-
lekukan dan serabut syaraf otak terbentuk melalui proses yang berawal
saat bayi masih berada dalam kandungan dan berlanjut hingga usia
dewasa. Di tahun pertama kehidupan, akan terbentuk 700 sinaps baru
yang siap menghubungkan satu syaraf dengan syaraf lain setiap detiknya.
Proses tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan proses proliferasi
dengan membuat lintasan otak menjadi efisien. Perkembangan awal otak
paling penting terjadi pada tahun pertama dan mencapai puncak
perkembangan kognitif pada tahun kedua yang perlu didukung dengan
asupan zat gizi yang adekuat yaitu melalui pemberian ASI dari lahir hingga
usia 2 tahun. Secara genetik, pemberian ASI diketahui dapat
meningkatkan IQ melalui zat gizi dasar yang dibawa oleh gen FADS2. Gen
ini terlibat dalam pembentukan omega 3 dan omega 6 yang merupakan
unsur penting dalam perkembangan otak (Hanafi, 2012).
Pemberian ASI diketahui dapat mempengaruhi perkembangan kognitif
anak yang dapat ditunjukkan melalui beberapa penelitian. Seperti halnya
penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2016) yang menyatakan jika anak
yang diberi ASI selama ≥9 bulan memiliki perkembangan kognitif yang
lebih baik pada usia 1-3 tahun. Pada anak yang diberi ASI selama ≥12
bulan dengan anak yang tidak diberi ASI diperoleh perbedaan skor
pencapaian perkembangan kognitif sebesar 6,9 pada usia 2 tahun dan 8,3
pada usia 3 tahun. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika durasi
pemberian ASI memiliki hubungan yang kuat terhadap perkembangan
kognitif anak. Sementara itu, pada penelitian lain menunjukkan jika
34
peningkatan durasi pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan poin
IQ kognitif anak (Oddy et al., 2010). Hal itu disebabkan karena ASI
mengandung zat gizi yang baik bagi perkembangan dan kematangan sel-
sel otak. ASI mengandung Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acid
(LCPUFAs) seperti Docosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid
(AA) berperan sebagai secondary messengers yang menginduksi
pelepasan neurotransmiter asetilkolin dan noradrenalin yang berperan
penting dalam proses berkembangnya fungsi kognitif anak (Oddy et al.,
2010). Selain itu, kontak fisik dan antara ibu dan anak saat menyusui
secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak.
Menyusui juga dapat meningkatkan keterikatan antara ibu dan anak yang
dapat meningkatkan kemampuan sosial dan kognitif anak.
Namun, hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian Clark et al
(2006) yang menyatakan jika durasi pemberian ASI yang lama yaitu ≥10
bulan justru menghasilkan pencapaian perkembangan kognitif yang lebih
rendah daripada anak yang diberi ASI dengan durasi lebih pendek. Hasil
yang sama ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Veena et al
(2010) yang menyatakan jika pemberian ASI yang lebih lama tidak
memiliki efek terhadap kemampuan kognitif anak. Hal itu kemungkinan
disebabkan karena adanya kandungan zat berbahaya dalam ASI
berkontribusi dalam menyebabkan penurunan kemampuan kognitif anak
(Clark et al., 2006)