BAB 2

30
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru (TB Paru) 2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Depkes RI, 2007). Penyakit ini dinamakan tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle. Orang dapat terinfeksi kalau droplet penderita tuberkulosis BTA positif terhirup kedalam saluran pernapasan (Bahar, 2001: 820 & Rab, 1996: 236). 2.1.2 Etiologi Tuberkulosis Paru Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1- 4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Sebagian besar kuman terdiri asam lemak (lipid). Lipid ini yang membuat kuman-kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu disebut juga kuman batang tahan asam (BTA). Di dalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag 4

description

j

Transcript of BAB 2

BAB 2

PAGE

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru (TB Paru)2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Depkes RI, 2007). Penyakit ini dinamakan tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle. Orang dapat terinfeksi kalau droplet penderita tuberkulosis BTA positif terhirup kedalam saluran pernapasan (Bahar, 2001: 820 & Rab, 1996: 236).

2.1.2 Etiologi Tuberkulosis Paru

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Sebagian besar kuman terdiri asam lemak (lipid). Lipid ini yang membuat kuman-kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu disebut juga kuman batang tahan asam (BTA).

Di dalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian yang lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2001: 821).

2.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal dan mematikan. Penyakit ini sangat menular dan menyerang semua umur. Penyakit ini

menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat di dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Sebanyak 40% kasus tuberkulosis dunia berada di Asia Tenggara dengan kasus terbanyak (95%) berada di India, Indonesia, Bangladesh, Thailand, dan Myanmar. Di Asia Tenggara lebih dari 95% kasus tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh utama pada umur 5 tahun ke atas. (Depkes RI, 2006)Berdasarkan data WHO, Jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia berada di urutan ketiga setelah India dan Cina, dengan Estimasi angka insidensi tahun 2008 adalah 430.000 kasus, prevalensi sebesar 480.000 kasus , dan angka kematian sekitar 62.000 kasus. Angka ini juga menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kasus baru dengan estimasi angka insidensi adalah 420.000 kasus pada tahun 2007. (WHO, 2009).

Kasus penderita TB paru juga meningkat di Jawa Timur. Menurut data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur pada tahun 2002 jumlah penderita penyakit TB paru sebesar 8.746 kasus sedangkan pada tahun 2005 jumlah kasus baru meningkat sebesar 9.857 kasus. Jika dibandingkan dengan angka rata-rata nasional, jumlah penderita TB paru di Jatim masih 0,4 persen lebih tinggi. Jumlah penderita di Jatim sekitar 2,6 persen dari jumlah penduduk usia di atas 15 tahun, sedangkan angka rata-rata nasional sebesar 2,2 persen. Data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menyebutkan pada triwulan I bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2003 jumlah penderita TB paru di Jember menempati peringkat terbanyak kedua di Jatim dengan 172 kasus. Data terakhir tahun 2006 menyebutkan terdapat 1683 kasus dari 2459 suspect penderita TB paru di kabupaten Jember (Dinkes Jatim, 2005; Dinkes Jember 2005). Sedangkan pada tahun 2012 penderita TB paru di Jember total terdapat 3,225 kasus TB dari 2,362,179 jumlah total penduduk yang ada di Jember, dan ditemukan 114,00 kasus kematian akibat penyakit TB (Dinkes Jatim, 2012).Di Puskesmas Tanggul sendiri kasus TB pada tahun 2012 sampai tahun 2013 tribulan kedua terdapat 169 kasus, dengan jumlah laki-laki 85 orang (50,30%) dan perempuan berjumlah 84 orang (49,70%). Dari data yang ada belum didapatkan adanya kasus kematian akibat penyakit TB.

2.1.4 Patogenesis Tuberkulosis Paru

a. Tuberkulosis primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3) Menyebar dengan cara :

a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan

c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal.

b. Tuberkulosis pasca-primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan.

Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1) Diresopsi dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

2) Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :

a) Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

b) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

c) Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped). (PDPI, 2002)

Keterangan:

Perubahan menuju perluasan

Gambar 2.1 Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan penyembuhannya 2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

a. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

1) Tuberkulosis paru BTA (+) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif2) Tuberkulosis paru BTA (-) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positifb. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2) Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis, dan lain-lain)

- Infeksi jamur

- TB paru kambuh

3) Kasus defaulted atau drop outAdalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.4) Kasus gagal

Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan

5) Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 denganpengawasan yang baik. (PDPI, 2002)2.1.6 Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau banyak pasien tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan (Bahar, 2001). Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien tuberkulosis, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).2.1.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Dari uraian-uraian sebelumnya TB paru cukup mudah dikenali mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya. Menurut WHO 1964 diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan kuman tuberkulosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas dan mudah di diagnosis setelah penyakit berlanjut sekali (Bahar, 2001: 828).

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis antara lain, yaitu:

a. Pemeriksaan BakteriologikPemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) (PDPI, 2002).

Salah satu pemeriksaan bakteriologik adalah biakan kuman. Perbenihan untuk biakan primer mikobakterium meliputi perbenihan selektif dan non selektif. Perbenihan selektif mengandung antibiotik untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur yang berlebihan. Salah satu contoh medium untuk biakan Mycobacterium adalah medium Lowenstein-Jensen, yang mengandung garam tertentu, gliserol, dan substansi organik kompleks (misalnya telur segar atau kuning telur, tepung kentang dan bahan lain dalam bentuk kombinasi (Jawetz, 1996:302).b. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi Tuberkulosis aktif :

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi Tuberkulosis inaktif

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

c. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

d. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Tuberkulosis. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

Biopsi aspirasi dengan Jarum Halus (BJH) Kelenjar Getah Bening (KGB)

Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)

Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsi paru terbuka).

Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.e. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik (PDPI, 2002).f. Uji Tuberkulin

Uji tuberkulin dilakukan untuk melhat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil tuberkulosis, sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan tuberkulosis tersebut aktif atau tidak aktif (latent). Oleh sebab itu harus dikonfirmasi dengan ada tidaknya gejala dan lesi pada foto thorak untuk mengetahui seseorang tersebut terdapat infeksi tuberkulosis atau sakit tuberkulosis (Kenyorini, 2006).2.1.8 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam dua tahap, yaitu:

1) Tahap awal (intensif)a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c) Sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.

2) Tahap Lanjutana) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.b) Tahap lanjutan penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).Jenis obat anti tuberkulosis yang biasa digunakan antara lain isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambutol (E) yang bersifat bakteriostatik (Mansjoer, 2001: 473).

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:a. Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paruTabel 2.1 Paduan OAT untuk kategori 1

Berat BadanTahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE(150/75/400/275)Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH(150/150)

30-37 kg2 tab 4KDT2 tab 2KDT

38-54 kg3 tab 4KDT3 tab 2KDT

55-70 kg4 tab 4KDT4 tab 2KDT

71 kg5 tab 4KDT5 tab 2KDT

b. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3a) Pasien kambuh

b) Pasien gagal

c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)Tabel 2.2 Paduan OAT untuk kategori 2Berat BadanTahap Intensif

tiap hari

RHZE(150/75/400/275) + STahap Lanjutan

3 kali seminggu

RH(150/150) + E(400)

Selama

56 hariSelama

28 hariSelama 20 minggu

30-37 kg2 tab 4KDT

+ 500mg Streptomisin inj.2 tab 4KDT2 tab 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38-54 kg3 tab 4KDT

+ 750mg Streptomisin inj.3 tab 4KDT3 tab 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55-70 kg4 tab 4KDT

+ 1000mg Streptomisin inj.4 tab 4KDT4 tab 2KDT

+ 4 tab Etambutol

71 kg5 tab 4KDT

+ 1000mg Streptomisin inj.5 tab 4KDT5 tab 2KDT

+ 5 tab Etambutol

c. OAT Sisipan (HRZE)Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE(150/75/400/275)

30-37 kg2 tablet 4KDT

38-54 kg3 tablet 4KDT

55-70 kg4 tablet 4KDT

71 kg5 tablet 4KDT

Tabel 2.3 Paduan OAT sisipan

d. Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan beratBerat Badan2 bulan tiap hari

RHZ(75/50/150)4 bulan tiap hari

RH(75/50)

5-9 kg1 tablet 1 tablet

10-19 kg2 tablet 2 tablet

20-32 kg4 tablet 4 tablet

Tabel 2.4 Paduan OAT untuk kategori anak2.2 Determinan Tuberkulosis

2.2.1 Faktor Internal

a. UsiaSekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun) (Depkes RI, 2007). Umar (2005) menyatakan jika penderita usia produktif (55 tahun) 0,9 kali lebih sulit untuk sembuh daripada usia non-produktif sehingga resiko terjadinya komplikasi pada usia produktif juga lebih tinggi.

Berdasarkan penelitian Syaf (2007), golongan usia penderita TB paru yang tidak patuh berobat di RS Paru Kabupaten Jember mayoritas penderita sebesar 56% berusia di atas 45 tahun. Penderita yang berusia 30-45 tahun sebesar 37% dan penderita yang berusia kurang dari 30 tahun sebesar 7%. Hasil penelitian tersebut sama dengan penelitian yang pernah dilakukan H.A Gani (1998) bahwa kelompok usia yang tidak patuh berobat adalah kelompok usia di atas 45 tahun, dengan alasan mereka untuk memberhentikan pengobatannya antara lain adalah menyatakan karena kondisi badan sudah tua, di samping itu juga selalu merepotkan anak maupun keluarga serta famili, dan umumnya penderita pasrah pada kehendak yang kuasa.b. Jenis Kelamin

Secara global insiden kasus TB paru tertinggi dialami oleh pria yaitu 64%. Akan tetapi kelompok perempuan merupakan kelompok yang lebih rentan untuk tertular penyakit ini. Pada anak-anak tidak terjadi perbedaan signifikan mengenai prevalensi nya pada anak laki-laki maupun perempuan. Analisis regional mengenai karakteristik jenis kelamin pada TB ini dilakukan oleh WHO pada 1997-2005 (Weiss et al., 2008; Depkes RI, 2008).

Penilitian Rasmin di RS Persahabatan pada Januari-Juli 2005 juga melaporkan jumlah penderita pria lebih besar daripada wanita, yaitu sebesar 59% pada pria dan 41% pada wanita. Penelitian lain oleh Umar dengan prosprektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa pada penderita TB Paru, laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh daripada wanita. Penderita yang tidak patuh berobat mayoritas (54%) berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sebesar 46%. Laki-laki adalah kepala keluarga dalam rumah tangga dan mempunyai tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya (Syaf, 2007)c. Pendidikan

Semakin rendah tingkat pendidikan penderita maka semakin tidak patuh terhadap pengobatan. Ditinjau dari tingkat pendidikan, mayoritas penderita (97,5%) berpendidikan rendah yaitu tergolong yang tidak sekolah, tamat atau tidak tamat SD, dan tamat atau tidak tamat SMP dan berpendidikan menengah sebesar 2,5% (Syaf, 2007). Hal serupa juga disampaikan oleh Gani (1998) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya pendidikan seseorang menentukan kepatuhan penderita TB dalam berobat, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi perjalanan penyakit dan hasil pengobatan penderit. Herryanto et al. (2004) menyatakan jika prevalensi tertinggi TB pada kelompok pendidikan rendah (tidak sekolah atau hanya sekolah dasar) yaitu sebesar 62,9%. Pada kelompok ini seringkali penjelasan dari petugas kesehatan tidak dapat dimengerti penderita dan menyebabkan gagalnya pengobatan TB.

d. Penghasilan

Mengingat sebagian besar penderita adalah golongan sosial-ekonomi rendah, maka akan lebih mementingkan pekerjaan dan mencari penghasilan daripada berobat; hal tersebut pada akhirnya membuat tingginya angka dropout TB dan pasien baru kembali berobat ketika telah terjadi komplikasi berat akibat TB (Gani, 1998).Pada umumnya untuk keluarga dengan pendapatan yang kecil sering kali tidak mampu menanggung biaya pengobatan sewaktu dirawat di rumah sakit. Sehingga menyebabkan banyak pasien dan keluarga dengan pendapatan rendah tidak mampu lagi menanggung biaya rumah sakit dan memilih untuk pulang (Suyatmi, 2000).e. Kebiasaan merokok

Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Tembakau dalam rokok merupakan faktor resiko kepenyakit TB dan kematian akibat TB. Di dalam rokok terdapat 45 jenis bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru-paru dan merusak sistem pertahan sistem pernafasan sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya.

Pada perokok banyak dijumpai gejala berupa batuk kronis, berdahak dan gangguan pernapasan. Apabila dilakukan uji fungsi paru-paru maka pada perokok jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang bukan perokok. Penelitian Ariyothai (2004) menyatakan bahwa perokok berat (>10 batang/hari) memiliki resiko 4 kali menderita TB Paru dan 2,6 kali lebih sulit untuk sembuh daripada bukan perokok.f. Status Gizi

Berdasarkan penelitian Syamsiatun et al. (2004), menyatakan bahwa status gizi kategori kurang mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit sehingga pasien mudah terkena komplikasi dan infeksi yang berakibat memperlama proses penyembuhan. Dalam penelitian yang dilakukan Girsang (2002) disebutkan bahwa penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit infeksi. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus penyakit tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang rendah.

Status gizi seseorang dinilai berdasar BMI (Kg/m2). Data menyebutkan pada anak-anak yang kurang gizi atau dengan kata lain memiliki berat badan dibawah normal (BMI 25 C.

d. Pencahayaan Rumah

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003).

e. Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m/orang.

Lesi Eksudatif

Sarang Pengapuran

Sarang Enkapsulasi

Sikatriks

Sarang Proliferatif

Sikatriks

Open Healed Cavity

Kavitas sklerotik

Kavitas nonsklerotik

Sarang Keju Dini

Sarang eksudatif

4