BAB 1

33
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Tubuh manusia terancam oleh sejumlah unsur penginvasi yang potensial baik alergen maupun mikroorganisme yang secara terus-menerus mengancam pertahanan permukaan tubuh. Sesudah sistem pertahanan tertembus, mikroorganisme akan bersaing dengan tubuh untuk mendapatkan nutrien dan jika hal ini dibiarkan berkembang tanpa dihalangi, mikroorganisme tersebut akan mengganggu sistem enzim serta menghancurkan jaringan tubuh yang penting. Untuk memberikan perlindungan terhadap unsur penginvasi ini, tubuh dilengkapi oleh sistem pertahanan yang rumit. Garis pertama pertahanan tersebut terdiri atas sel- sel epitel yang membungkus kulit dan membentuk dinding pelapis saluran napas, cerna dan kemih. Struktur serta kesinambungan permukaan ini dan resistensinya terhadap penetrasi merupakan penangkalan awal untuk menghalangi para penyerang. Salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang paling efektif adalah kemampuannya untuk melengkapi diri sendiri dengan pelbagai senjata (antibodi) yang secara individual didesain agar sesuai dengan setiap penyerang yang baru, yaitu protein spesifik yang disebut antigen. Antibodi bereaksi dengan antigen lewat sejumlah cara : (1) dengan menyalut permukaannya jika antigen tersebut berupa substansi tertentu, (2) dengan menetralkannya jika antigen tersebut

description

ZONK

Transcript of BAB 1

Page 1: BAB 1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tubuh manusia terancam oleh sejumlah unsur penginvasi yang potensial baik

alergen maupun mikroorganisme yang secara terus-menerus mengancam pertahanan

permukaan tubuh. Sesudah sistem pertahanan tertembus, mikroorganisme akan bersaing

dengan tubuh untuk mendapatkan nutrien dan jika hal ini dibiarkan berkembang tanpa

dihalangi, mikroorganisme tersebut akan mengganggu sistem enzim serta

menghancurkan jaringan tubuh yang penting. Untuk memberikan perlindungan terhadap

unsur penginvasi ini, tubuh dilengkapi oleh sistem pertahanan yang rumit. Garis pertama

pertahanan tersebut terdiri atas sel- sel epitel yang membungkus kulit dan membentuk

dinding pelapis saluran napas, cerna dan kemih. Struktur serta kesinambungan

permukaan ini dan resistensinya terhadap penetrasi merupakan penangkalan awal untuk

menghalangi para penyerang.

Salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang paling efektif adalah

kemampuannya untuk melengkapi diri sendiri dengan pelbagai senjata (antibodi) yang

secara individual didesain agar sesuai dengan setiap penyerang yang baru, yaitu protein

spesifik yang disebut antigen. Antibodi bereaksi dengan antigen lewat sejumlah cara : (1)

dengan menyalut permukaannya jika antigen tersebut berupa substansi tertentu, (2)

dengan menetralkannya jika antigen tersebut toksik, dan (3) dengan mengendapkannya

dari larutan jika antigen tersebut terlarutkan. Antibodi akan mempersiapkan antigen

untuk mengalami proses yang dilakukan oleh sel-sel fagosit dari darah dan jaringan

tubuh.

Bila antigen merupakan zat asing yang sejati, tubuh akan dilindungi terhadap atigen

tersebut ; jika tidak , dapat terjadi imunopatologi. Kalau keadaan ini terjadi, respons imun

yang dalam keadaan normal bersifat protektif akan mengakibatkan gangguan fungsi

dalam sistem kekebalan tersebut. Kelainanhipersensitivitas (alergi) merupakan keadaan

dimana tubuh menghasilkan respons yang tidak tepat atau yang berlebihan terhadap

antigen spesifik.

Page 2: BAB 1

B. Terminologi

Alergi

Anafilaksis

C. Rumusan Masalah

1. Mekanisme Terjadinya Hipersensitivitas

2. Etiologi

3. Klasifikasi Hipersensitivitas

4. Patofisiologi

5. Manifestasi Klinik

6. Pemeriksaan Penunjang

7. Prognosis

Page 3: BAB 1

BAB II

PEMBAHASAN

1. Skenario

BERSIN-BERSIN

Nn. Ani seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran berusia 21 tahun datang

kepraktek anda dengan keluhan selalu bersin-bersin setiap pagi hari dan malaam hari. Ani

mengeluhkan bersinnya selalu muncul setiap cuaca dingin. Hal ini terjadi saat dyaa

beranjak dewasa, saat anak-anak keluhan ini tidak pernah muncul. Selain itu Ani jua juga

mengeluhkan setiap kali dia memakan telur maka seluruh badannya akan terasa gatal.

Ayahnya juga mengalami hal serupa. Anda sebagai seorang dokter mengatakan bahwa

ani mengalami alergi terhadap cuaca dingin dan telur. Mendengar hal itu Ani teringat

kuliahnya bahwa reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi terparah seseorang.

Bagaimana anda dapat menjelaskan hal tersebut?

2. Terminologi

Alergi / hipersensitivitas : keadaan perubahan reaktivitas saat tubuh bereaksi

terhadap respons imun yang berlebihan atau tidak tepat terhadap sesuatu yang

dianggap sebagai benda asing3

Anafilaksis : merupakan respon klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat

(hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah respon berlebihan system imun yang

melibatkan seluruh tubuh. Pelepasan histamine menyebabkan penurunan tekanan

darah (syok) dan penyempitan saluran udara. Anafilaksis mematikan jika tidak

ditangani segera. Gejala yang mungkin timbul adalah ruam merah, gatal, benjol,

yang disebut urtikaria, pembengkakan pada wajah (angioedema) , serta

kehilangan kesadaran.3

3. Rumusan masalah

3.1 MEKANISME TERJADINYA HIPERSENSITIVITAS

Proses Terjadinya Reaksi Alergi Pada Tubuh. Dalam tubuh, terdapat 5 jenis

antibodi atau imonoglobulin antara lain G, A, M, E, dan D, yang banyak berperan

Page 4: BAB 1

pada reaksi alergi adalah antibodi atau Imunoglobulin E. Dlaam tubuh penderita

penyakit alergi, memiliki kadar antibodi atau imunoglobulin E tinggi yang spesifik

terhadap zat-zat tertentu yang menimbulkan reaksi alergi (zat alergen), seperti debu,

susu, ikan laut, dan lain-lain.

Di dalam jaringan tubuh, antibodi atau imunoglobulin E yang bereaksi pada

alergen-alergen di atas menempel pada sel mast (sel yang berperan pada reaksi alergi

dan paradangan). Bila antibodi ini kontak lagi dengan zat-zat terkait seperti misalnya

protein susu sapo, protein telur, tungau debu rumah dan lain-lain, maka sel mast ini

mengalami degranulasi (pecah) dan mengeluarkan zat-zat seperti histamin, kinin dan

bradikinin yang terkandung dalam granulanya yang berperan pada reaksi alergi. Dan

zat-zat tersebutlah yang menimbulkan gejala-gejala alergi seperti : gatal-gatal

(biduran), sistem saluran nafas (alergi asma, rhinitis alergi), saluran cerna (diare,

muntah), kulit (eksim, biduran), mata (konjungtivitis alergika) serta susunan syaraf

(sakit kepala dan lain-lain).

Reaksi Alergi Setelah Terkena Zat Alergen

Reaksi alergi ini memerlukan waktu yang disebut dengan proses

sensitisasi yaitu masa sejak kontak dengan alergen sampai terjadinya reaksi alergi.

Reaksi dapat terjadi kalau kadar imunoglobulin E sudah cukup banyak. Pada awal

kontak dengan alergen mulai timbul perlawanan dari tubuh yang mempunyai

bakat atopik yaitu terbentuknya antibodi atau imunoglobulin yang spesifik.

Page 5: BAB 1

Bila kontak terhadap alergen ini berlangsung terus menerus, kadar

imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen makin banyak sampai suatu saat

dapat menimbulkan reaksi alergi bila kontak dengan alergen itu lagi. Oleh karena

itu, sering seseorang itu terkejut, bila diberi tahu anaknya alergi susu sapi karena

sejak kecil minum formula susu sapi tidak bereaksi apa-apa.

Munculnya reaksi alergi terhadap alergen sejak kontak pertama kali atau

disebut sebagai proses sensitisasi dapat timbul dalam waktu yang singkat atau

beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Tergantung pada seringnya kontak

dengan alergen atau kepekaan seseorang terhadap alergen tersebut. Sebagai

Contoh : Bayi yang sering minum susu formula susu sapi dapat mengalami gejala

alergi dalam satu minggu atau setelah usia 1 tahun, sehingga baik pasien atau

dokter sering tak menduga kalau formula tersebut merupakan salah satu pemicu

alergi yang dialami bayi tersebut. Dengan demikian,  dibutuhkan pemeriksaan

khusus oleh para ahli medis. Hal ini karena jika alergi yang selama ini kita anggap

ringan, jika terjadi dalam jangka waktu yang lama dan tidak mendapatkan

penganganan yang tepat, maka akan menjadi semakin parah.

Jika alergen tidak dihindari, kadar imunoglobulin E yang spesifik terhadap

alergen itu akan semakin meningkat. Sel mast yang mengalami granulasi (pecah)

dapat mengeluarkan zat yang disebut dengan istilah  interleukin 4 yang dapat

merangsang sel limfosit B untuk menghasilkan imunoglobulin E lebih banyak

lagi.

Reaksi alergi yang berlanjut dapat menghasilkan zat mediator baru yang

lebih poten dari zat histamin antara lain adalah leukotrien. Keadaan ini terutama

terjadi pada penyakit alergi yang sudah memasuki tahapan alergi kronis. Bila

terjadi hal seperti ini, umumny orang kebal dengan obat alergi antihistamin biasa.

Diperlukan obat radang yang lebih kuat seperti obat golongan kortikosteroid

untuk pengobatan alerginya. 

Oleh karena itu, langkah pencegahan penyakit alergi sedini mungkin

menjadi salah satu langkah yang paling penting untuk dilakukan, agar reaksi

alergi yang dikeluhkan tidak menjadi semakin parah. Dalam dunia medis, hingga

saat ini belum ditemukan obat yang paling tepat untuk mengatasi alergi tersebut,

Page 6: BAB 1

meskipun demikian, kita bisa menyiasatinya dengan menggunakan bahan-bahan

alami untuk menekan dan meminimalisir terjadinya alergi, yaitu dengan obat

tradisional alergi. Selain itu, seseorang yang menderita alergi juga disarankan

untuk menjauhi beberapa hal yang memicu terjadinya reaksi alergi, atau allergen.

MEKANISME HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100

tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok.

Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu

kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,

yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi

anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi

selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik

yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang

bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada

permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen

hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator

peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi

anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran

IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau

akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab

mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I

melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic

factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu daripreformed mediators yaitu

Page 7: BAB 1

mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor

kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang

terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel

mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan

fase lambat.

1. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat  Reaksi hipersensitivitas tipe I fase

cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai.

Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan

alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung

selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi

hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat  Mekanisme terjadinya reaksi

hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata

sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti

terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi

alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan

sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator

fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang

meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat

dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing

factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator

dari sel mast dan sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein(MBP)

afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor

kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam

peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan

setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan

menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Page 8: BAB 1

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)  Seperti telah diuraikan di atas

bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE

spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua

kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed

mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed

mediator).  Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok,

yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel

lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).  

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil

chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic

factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim

histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah

secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan

plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi

dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen.

Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa

rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta

peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung

timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara

inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan

bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan

pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare.

Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya

dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak

pada bronkus.

Page 9: BAB 1

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan

gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada

reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung

dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi

inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan

ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi

histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi

pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus

mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai

efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

 

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di

tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan

tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan

akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk

setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah

leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia

merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu

patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat

juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan

fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini

terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi

inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas

Page 10: BAB 1

atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka

diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula

berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan

menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga

bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam

arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme

asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang

masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator

bagi berbagai proses inflamasi.

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan

menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu

prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia

misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot

polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga

dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase

lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai

sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin

F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta

meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta

TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang

Page 11: BAB 1

terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi

peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4

adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-

A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil,

sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel

mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan

sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang

tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan

masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya

didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator

SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam

terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari

histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta

merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien

hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

 

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada

manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan

serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot

polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit

pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Page 12: BAB 1

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa

saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel

mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan

mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel

mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah.

3.2 ETIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam

lambung,enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis

(misalnya :IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan.

Imaturitas

jugamengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. · Imaturita

s usus (Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik integritas mukosa usus

dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Seca

rakimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan

denaturasiallergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan

limfosit padalamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh.

Pada ususimatur system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal

berfungsi,sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.

b.  Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin

sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma

kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau

kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek

yang menederitaalergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak

dini. Bila ada salahsatu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat

menurunkan resiko pada anak sekitar 17 –  40%, Bila ke dua orang tua alergi

Page 13: BAB 1

maka resiko pada anakmeningkat menjadi 53 –  70%.c. Mukosa dinding

saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapanalergen

bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,

stress) atau beban latihan (lari, olah raga). 

b.  Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut

prevalensinya: ikan15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3%

dll.c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat

menimbulkan reaksi alergi.

3.  Faktor Risiko

a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak

keluargayang mengalami gangguan ini.

b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapatme

ngatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan

inikembali di kemudian hari

c. Alergi lain. Jika sudah alergi

terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risikoalergi

terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi

alergiyang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan

lebih besar.

d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama

balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap

komponen makananatau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-

anak biasanya dapatmengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan

telur. Alergi parah dan alergiterhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin

dapat diderita seumur hidup.

e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika

terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah.

Page 14: BAB 1

3.3 KLASIFIKASI HIPERSENSITIVITAS

Tipe- tipe reaksi anafilaksis :

Local . Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urikaria serta

angioedema pada tempaat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi

yang berat tetapi jarang fatal.

Sistemik . Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit

sesudah kotak dalam system organ berikut ini : kardiovaskuler, respiratorius,

gastrointestinal dan integument.

Tipe I : Hipersensitivitas Anafilaktik

Keadaan ini merupakan hipersentivitas anafilaktif seketika dengan reaksi

yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen.

Kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai 24

jam. Reaksi ini diantari oleh antigen IgE (reagin)  dan bukan oleh antibodi IgG

atau IgM. Hipersensitifitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen

yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi IgE oleh sel-sel plasma. Proses

ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu

menggalakkan reaksi ini. Antibodi IgE akan terikat dengan reseptor membran

pada sel-sel mast yang di jumpai dalam jaringan ikat basofil. Pada saat terjadi

kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibodi IgE didekat dan pengikatan ini

mengaktifkan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan

mediator kimia (histamin, leukotrien dan ECF-A(eosinophil chemotaric factor of

anaphylaxis).  Mediator kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala

hipersentivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru dan traktus

gastrointestinal.

Penyakit atopic

Respons hipersensifitas tipe I mengakibatkan penyakit atopik ( alergi )

yang mengenai 10% hingga 20% dari populasi penduduk di A.S. Faktor genetik

memainkan peranan dalam kerentanan terhadap penyakit ini. Gangguan yang di

Page 15: BAB 1

tandai oleh sifat atopik adalah anifilaksis, rinokonjungtivitas alergik, dermatitis

atopik, Urtikaria serta angioedema, alergi gastroinstestinal dan asma.

Tipe II : Hipersensitivitas Sitotoksik

Hipersensitifitas tipe II meliputi pengikatan antibody IgG atau IgM

dengan antigen yang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa

pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang men jadi tempat antigen

terikat.

Reaksi hipersensitifitas tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis di

mana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap reseptor normal ujung

saraf. Anemia hemolitik imun karena obat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru

lahir dan reaksi tranfusi darah yang tidak kompatibel merupakan contoh

hipersensitivitas tipe II yang menimbulkan  destrusi sel darah merah.

Tipe III : Hipersensitivitas Kompleks Imun

Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat denagan antibodi dan

dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagosistik. Kalau kompleks ini

bertumpuk dalam jaringan atau endotelium vaskuler, terdapat dua buah faktor

yang turut menimbulkan ciderah, yaituh: peningkatan jumlah kompleks imun

yang beredar dan adanya amina vasosktif . sebagai akibatnya terjadi peningkatan

pemeabilitas vaskuler dan cederah jaringan. Persendihan dan ginjal merupakan

organ yang terutama rentan terhadap tipe cederah ini. Hipersensivitas III berkaitan

dengan sistematik lupus eritematotus, artritis rematoit, serum sickness, tipe

tertentu nefritis dan beberapa tipe endokarditis bakterialis.

Tipe IV : Hipersensitivitas Tipe-Lambat

Reaksi ini, yang juga dikenal sebagai hipersensitifitas seluler, terjadi 24

hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen. Hipersensitivitas tipe IV diantarai

Page 16: BAB 1

oleh makrofag dan sel-sel T yang sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah

efek penyuntikan intradermal antigen tuberculin atau PPD (purified protein

derivative).

Sel-sel T yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau

didekat penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik, mengaktifkan, dan

mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat tersebut . Lisozim yang dilepas

oleh sel makrofag akan menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin

merupakan penyebab timbulnya reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak

merupakan hipersensitifitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan allergen

seperti kosmetika, plester, obat-obat topical, bahan aditif obat dan racun tanaman.

Kontak primer akan menimbulkan sensititasi; kontak ulang menyebabkan reaksi

hipersensitivitas yang tersusun dari molekul dengan berat molekul rendah atau

hapten yang terikat dengan protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh

sel-sel langerhans dalam kulit. Gejala yang terjadi mencakup keluhan gatal-gatal,

eritema, dan lesi yang menonjol.

3.4 Patofisiologi

Fungsi sitem imun ada 3 :

1. Pertahanan (destruksi zat asing seperti virus atau bakteri, untuk mencegah infeksi dari patogen)

2. Homeostasis (membersihkan sel yang rusak, mencegah sisa sel berkembang jadi ancaman)

3. Surveilans (mengenali dan menghancurkan sel yang bermutasi misal Kanker)

Antigen atau imunogen: molekul atau sel yang mampu merangsang respon imune

Antibodi (imunoglobulin): glikoprotein plasma yang dihasilkan limfosit B (sel plasma) yang bereaksi melawan antigen

Sistem limfoid → mempertahankan tubuh dari agen penginvasi, melalui imunitas seluler dan humoral

Organ limfoid primer: sumsum tulang tempat perkembangan sel T, dan timus tempat perkembangan sel B

Organ limfoid skunder: kelenjar getah bening, tonsil, limpa, jaringan terkait mukosa di kulit, saluran nafas, cerna, urine

Page 17: BAB 1

Respon imun seluler bersifat langsung dilaksanakan oleh limfosit T

Respon imun humoral bersifat tidak langsung, dilaksanakan oleh imunoglobulin spesifik (antibodi) yang dihasilkan sel plasma (sel B)

Peran sel T: pengendali dan pelaksana

Pengendali dilaksanakan oleh sel T helper (CD4) → mengendalikan produksi imunoglobulin

Pelaksana dilaksanakan oleh Sel T sitotoksik (CD8) → memusnahkan virus, tumor, jaringan transplantasi.

Imunoglobulin: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD

1. IgG → paling banyak, dpt menembus plasenta

2. IgM → paling besar, bertanggung jawab dalam respon imun primer

3. IgA → ada di air mata, kolostrum, air liur

4. IgE → paling sedikit, terlibat hipersensitif tipe 1

5. IgD → berfungsi sebagai reseptor imunogen

Komplemen: sekelompok protein (terdiri >9) yang dalam keadaan normal beredar dalam darah dalam bentuk inaktif, bentuk aktifnya berperan menimbulkan respon peradangan

Imunitas didapat alami: aktif → setelah sakit atau terpapar antigen. Pasif → didapat dari ibu lewat plasenta, kolostrom

Imunitas didapat artifisial: aktif → vaksinasi. Pasif → serum (antibodi)

Penyakit imunologik:

1. Penyakit imunodefisiensi: AIDS

2. Penyakit hipersensitivitas: alergi

3. Penyakit autoimune: Lupus eritematus sitemik

GANGGUAN IMUNOLOGI

Contoh hipersensitivitas tipe 1 (IgE), adalah: rinitis alergika, asma alergi (ekstrinsik), dermatitis atopic.

Hipersensitivitas tipe 1 ditandai dengan produksi IgE yang meningkat akibat terpapar dengan antigen merupakan ciri khas atopi

Page 18: BAB 1

Rinitis alergi merupakan kondisi atopik yang paling sering ditemukan :

a) Obat antihistamin (CTM) yang paling sering digunakan. Pengobatan utama seharusnya adalah menghindari alergen

b) Asma adalah keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang penyempitan bronkus yang reversibel, diantara episode adalah nafas normal

c) Dermatitis atopik adalah suatu gangguan kulit kronik, yang sering ditemukan pada penderita rinitis alergika dan asma serta diantara anggota keluarga mereka

d) Dermatitis atopik seringkali timbul akibat garukan pada bayi usia 1 tahun (eksema infantilis) dengan kulit yang merah, gatal, meninggi dan mengelupas

e) Eksema infantilis → umumnya hilang setelah 5 tahun

f) Peyebab ketidak nyamanan dermatitis atopik adalah gatal yang membandel disertai retakan kulit yang nyeri

g) Pengobatan dermatitis bersifat simptomatis: antipruritus dephenhidramin, kortikosteroid, antiinflamasi non steroid

h) Biduran (urtikaria): lesi kulit yang mencerminkan adanya proses imunologis yang melibatkan IgE

i) Sebagaian besar urtikaria cepat sembuh dan swasirna, pada anak sering disebabkan oleh virus

j) Urtikaria sering disebabkan oleh udara dingin

k) Pruritus pada urticaria tambah parah jika mandi air panas, stress, gerak, lingkungan fisik yang tidak mendukung

l) Sebagaian besar respons antibodi memerlukan antigen yang pertama kali diproses untuk menghasilkan antibodi (imunoglobulin)

m) Gangguan autoimun yang bergantung antibodi manusia → terutama mempengaruhi elemen darah (trombosit dan eritrosit)

n) Semakin banyak bukti bahwa ITP (idiopatik trombositopenik purpura) → berhubungan dengan IgG dalam darah reaktif dengan trombosit penjamu (Host)

o) Transfusi hemolitik → reaksi yang merupakan suatu bentuk proses imunohemolitik (IH) yang khusus

p) Biasanya terjadi bila seseorang resipien telah disensitisasi terhadap antigen eritrosit manusia “asing” melalui kehamilan atau riwayat transfusi yang menerima darah yang mengandung antigen ini

q) Reaksi hemolitik terhadap darah yang ditransfusikan menimbulkan fenomena IH yang sangat berbahaya dan dramatis yang dijumpai secara klinis

r) Dengan mempertimbangkan akibat yang mengerikan ini, maka harus dipertimbangkan setiap tindakan yang layak dilakukan untuk mencegah atau mengurangi timbulnya reaksi transfusi hemolitik

s) Uji Coombs → memberikan informasi dasar mengenai deskripsi gangguan IH

t) Reaksi positif (menggumpal) → menunjukan terdapat sel-sel darah dengan jumlah bermakna yang terikat molekul imunoreaktif

Page 19: BAB 1

u) Sindrom Goodpasture: suatu gangguan yang menunjukan autoimun manusia yang diperantarai antibodi sehingga menyebabkan kerusakan organ dalam (paru dan ginjal)

v) Serum sickness → penyakit yang diinduksi oleh kompleks imun (antigen antibodi) prototipik dan memerlukan pemajanan bahan antigenik (serum, obat) yang akan tetap berada dalam sirkulasi hingga terjadi respons antibodi spesifik

w) Penimbunan kompleks yang terbentuk didalam jaringan memicu terjadinya inflamasi

x) Pada mulanya ditimbulkan setelah pemberian serum kuda untuk mencegah difteri dan tetanus

y) Hipersensitivitas tipe lambat (DTH): yang diperantarai oleh limfosit yang tersensitisasi secara spesifik, memberikan pertahanan major terhadap virus, fungi dan bakteri yang menyesuaikan terhadap pertumbuhan intrasel dan juga menghalangi pertumbuhan sel ganas

z) DTH → juga mengalami respon yang kurang pada setiap fungsi protektif yang berlangsung.

3.5 Manifestasi klinik

Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaksis dapat digolongkan menjadi reaksi

sistemik  yang ringan, sedang dan berat.

Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri atas rasa kesemutan serta hangat pada bagian

perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan.

Kongessti nasal , pembengkakan periobital, pruritus, bersin-bersin dan mata yang berair.

Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala di atas di

samping flushing, rasa hangat, cemas dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa

bronkospasme dan edema saluran nafas atau laaring dengan dispnea , serta batuk.

Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda- tanda serta

gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi

bronkospasme, edema laring, dipsnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan bernafas),

kram abdomen , vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat terjadi. Kadang-

kadang timbul henti jantung.

Page 20: BAB 1

3.6 Pemeriksaan penunjang

Pengkajian pasien gangguan alergik umumnya mencakup pemerikasaan darah, sedian

apus sekresi tubuh, tes kulit dan RAST ( Radio Allergo Sorbent Test). Hasil pemeriksaan

darah laboratorium akan memberikan data-data suportif untuk berbagai kemungkinan

diagnosis; kendati demikian, hasil laboratorium bukan kriteria utama bagi penegakan

diagnosis gangguan alergik.

a. Pemberian obat Epineprin

Indikasi : Pengobatan anafilaksis berupa bronkospasme akut atau eksaserbasi asthma

yang berat.

Kontraindikasi : Epinefrin jangan di suntikkan ke dalam jari tangan, ibu jari,

hidung, dan genitalia, dapat menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi

vasokonstriksi pembuluh kapiler. Epinefrin, terutama bila diberikan IV,

kontraindikasi mutlak pada syok selain syok anafilaksi.

Gangguan kardiovaskuler yang kontraindikasi epinefrin misalnya syok hemoragi,

insufisiensi pembuluh koroner jantung, penyakit arteri koroner (mis., angina, infark

miokard akut) dilatasi jantung dan aritmia jantung (takikardi). Efek epinefrin pada

kardiovaskuler (mis., peningkatan kebutuhan oksigen miokard, kronotropik, potensial

proaritmia, dan vasoaktivitas) dapat memperparah kondisi ini.

Efek Samping : Kardiovaskuler, angina, aritmia jantung, nyeri dada, flushing,

hipertensi, peningkatan kebutuhan oksigen, pallor, palpitasi, kematian mendadak,

takikardi (parenteral), vasokonstriksi, ektopi ventrikuler.

Mekanisme Kerja : Menstimulasi reseptor alfa-, beta1-, dan beta2-adrenergik yang

berefek relaksasi otot polos bronki, stimulasi jantung, dan dilatasi vaskulatur otot

skelet; dosis kecil berefek vasodilatasi melalui reseptor beta2-vaskuler; dosis besar

menyebabkan konstriksi otot polos vaskuler dan skelet.

Page 21: BAB 1

b. Kortikosteroid

Mekanisme Kerja :menghambat kerja sel inflamasi, menghambat kebocoran

pembuluh darah kapiler, menurunkan produksi mukus.

Contoh obat :  Hydrocortisone, Dexametason.

Cara Pakai : Inhalasi.

Efek Samping : atrofi (kerusakan kulit), dermatitis perioral (kuama sekitar bibir yang

gatal dan panas), infeksi.

Kontra Indikasi : Infeksi jamur sistemik, TB, kortikosteroid hipersensitivitas.

3.7 Prognosis

Prognosis respon anafilaksis secara umum tergolong baik, dengan rasio mortalitas

kurang dari 1 %. Akan tetapi, resiko kematian akibat respon anafilaksis tetap tinggi dan akan

meningkat pada penderita asma atau jika penanganan tidak dilakukan secara tepat.

Page 22: BAB 1

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kemungkinan Ani mengalami alergi / hipersensitivitas tipe 1. Reaksi hipersensitivitas

tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi

anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia

diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau

basofil dengan alergen yang bersangkutan.