BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tubuh manusia terancam oleh sejumlah unsur penginvasi yang potensial baik
alergen maupun mikroorganisme yang secara terus-menerus mengancam pertahanan
permukaan tubuh. Sesudah sistem pertahanan tertembus, mikroorganisme akan bersaing
dengan tubuh untuk mendapatkan nutrien dan jika hal ini dibiarkan berkembang tanpa
dihalangi, mikroorganisme tersebut akan mengganggu sistem enzim serta
menghancurkan jaringan tubuh yang penting. Untuk memberikan perlindungan terhadap
unsur penginvasi ini, tubuh dilengkapi oleh sistem pertahanan yang rumit. Garis pertama
pertahanan tersebut terdiri atas sel- sel epitel yang membungkus kulit dan membentuk
dinding pelapis saluran napas, cerna dan kemih. Struktur serta kesinambungan
permukaan ini dan resistensinya terhadap penetrasi merupakan penangkalan awal untuk
menghalangi para penyerang.
Salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang paling efektif adalah
kemampuannya untuk melengkapi diri sendiri dengan pelbagai senjata (antibodi) yang
secara individual didesain agar sesuai dengan setiap penyerang yang baru, yaitu protein
spesifik yang disebut antigen. Antibodi bereaksi dengan antigen lewat sejumlah cara : (1)
dengan menyalut permukaannya jika antigen tersebut berupa substansi tertentu, (2)
dengan menetralkannya jika antigen tersebut toksik, dan (3) dengan mengendapkannya
dari larutan jika antigen tersebut terlarutkan. Antibodi akan mempersiapkan antigen
untuk mengalami proses yang dilakukan oleh sel-sel fagosit dari darah dan jaringan
tubuh.
Bila antigen merupakan zat asing yang sejati, tubuh akan dilindungi terhadap atigen
tersebut ; jika tidak , dapat terjadi imunopatologi. Kalau keadaan ini terjadi, respons imun
yang dalam keadaan normal bersifat protektif akan mengakibatkan gangguan fungsi
dalam sistem kekebalan tersebut. Kelainanhipersensitivitas (alergi) merupakan keadaan
dimana tubuh menghasilkan respons yang tidak tepat atau yang berlebihan terhadap
antigen spesifik.
B. Terminologi
Alergi
Anafilaksis
C. Rumusan Masalah
1. Mekanisme Terjadinya Hipersensitivitas
2. Etiologi
3. Klasifikasi Hipersensitivitas
4. Patofisiologi
5. Manifestasi Klinik
6. Pemeriksaan Penunjang
7. Prognosis
BAB II
PEMBAHASAN
1. Skenario
BERSIN-BERSIN
Nn. Ani seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran berusia 21 tahun datang
kepraktek anda dengan keluhan selalu bersin-bersin setiap pagi hari dan malaam hari. Ani
mengeluhkan bersinnya selalu muncul setiap cuaca dingin. Hal ini terjadi saat dyaa
beranjak dewasa, saat anak-anak keluhan ini tidak pernah muncul. Selain itu Ani jua juga
mengeluhkan setiap kali dia memakan telur maka seluruh badannya akan terasa gatal.
Ayahnya juga mengalami hal serupa. Anda sebagai seorang dokter mengatakan bahwa
ani mengalami alergi terhadap cuaca dingin dan telur. Mendengar hal itu Ani teringat
kuliahnya bahwa reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi terparah seseorang.
Bagaimana anda dapat menjelaskan hal tersebut?
2. Terminologi
Alergi / hipersensitivitas : keadaan perubahan reaktivitas saat tubuh bereaksi
terhadap respons imun yang berlebihan atau tidak tepat terhadap sesuatu yang
dianggap sebagai benda asing3
Anafilaksis : merupakan respon klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat
(hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah respon berlebihan system imun yang
melibatkan seluruh tubuh. Pelepasan histamine menyebabkan penurunan tekanan
darah (syok) dan penyempitan saluran udara. Anafilaksis mematikan jika tidak
ditangani segera. Gejala yang mungkin timbul adalah ruam merah, gatal, benjol,
yang disebut urtikaria, pembengkakan pada wajah (angioedema) , serta
kehilangan kesadaran.3
3. Rumusan masalah
3.1 MEKANISME TERJADINYA HIPERSENSITIVITAS
Proses Terjadinya Reaksi Alergi Pada Tubuh. Dalam tubuh, terdapat 5 jenis
antibodi atau imonoglobulin antara lain G, A, M, E, dan D, yang banyak berperan
pada reaksi alergi adalah antibodi atau Imunoglobulin E. Dlaam tubuh penderita
penyakit alergi, memiliki kadar antibodi atau imunoglobulin E tinggi yang spesifik
terhadap zat-zat tertentu yang menimbulkan reaksi alergi (zat alergen), seperti debu,
susu, ikan laut, dan lain-lain.
Di dalam jaringan tubuh, antibodi atau imunoglobulin E yang bereaksi pada
alergen-alergen di atas menempel pada sel mast (sel yang berperan pada reaksi alergi
dan paradangan). Bila antibodi ini kontak lagi dengan zat-zat terkait seperti misalnya
protein susu sapo, protein telur, tungau debu rumah dan lain-lain, maka sel mast ini
mengalami degranulasi (pecah) dan mengeluarkan zat-zat seperti histamin, kinin dan
bradikinin yang terkandung dalam granulanya yang berperan pada reaksi alergi. Dan
zat-zat tersebutlah yang menimbulkan gejala-gejala alergi seperti : gatal-gatal
(biduran), sistem saluran nafas (alergi asma, rhinitis alergi), saluran cerna (diare,
muntah), kulit (eksim, biduran), mata (konjungtivitis alergika) serta susunan syaraf
(sakit kepala dan lain-lain).
Reaksi Alergi Setelah Terkena Zat Alergen
Reaksi alergi ini memerlukan waktu yang disebut dengan proses
sensitisasi yaitu masa sejak kontak dengan alergen sampai terjadinya reaksi alergi.
Reaksi dapat terjadi kalau kadar imunoglobulin E sudah cukup banyak. Pada awal
kontak dengan alergen mulai timbul perlawanan dari tubuh yang mempunyai
bakat atopik yaitu terbentuknya antibodi atau imunoglobulin yang spesifik.
Bila kontak terhadap alergen ini berlangsung terus menerus, kadar
imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen makin banyak sampai suatu saat
dapat menimbulkan reaksi alergi bila kontak dengan alergen itu lagi. Oleh karena
itu, sering seseorang itu terkejut, bila diberi tahu anaknya alergi susu sapi karena
sejak kecil minum formula susu sapi tidak bereaksi apa-apa.
Munculnya reaksi alergi terhadap alergen sejak kontak pertama kali atau
disebut sebagai proses sensitisasi dapat timbul dalam waktu yang singkat atau
beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Tergantung pada seringnya kontak
dengan alergen atau kepekaan seseorang terhadap alergen tersebut. Sebagai
Contoh : Bayi yang sering minum susu formula susu sapi dapat mengalami gejala
alergi dalam satu minggu atau setelah usia 1 tahun, sehingga baik pasien atau
dokter sering tak menduga kalau formula tersebut merupakan salah satu pemicu
alergi yang dialami bayi tersebut. Dengan demikian, dibutuhkan pemeriksaan
khusus oleh para ahli medis. Hal ini karena jika alergi yang selama ini kita anggap
ringan, jika terjadi dalam jangka waktu yang lama dan tidak mendapatkan
penganganan yang tepat, maka akan menjadi semakin parah.
Jika alergen tidak dihindari, kadar imunoglobulin E yang spesifik terhadap
alergen itu akan semakin meningkat. Sel mast yang mengalami granulasi (pecah)
dapat mengeluarkan zat yang disebut dengan istilah interleukin 4 yang dapat
merangsang sel limfosit B untuk menghasilkan imunoglobulin E lebih banyak
lagi.
Reaksi alergi yang berlanjut dapat menghasilkan zat mediator baru yang
lebih poten dari zat histamin antara lain adalah leukotrien. Keadaan ini terutama
terjadi pada penyakit alergi yang sudah memasuki tahapan alergi kronis. Bila
terjadi hal seperti ini, umumny orang kebal dengan obat alergi antihistamin biasa.
Diperlukan obat radang yang lebih kuat seperti obat golongan kortikosteroid
untuk pengobatan alerginya.
Oleh karena itu, langkah pencegahan penyakit alergi sedini mungkin
menjadi salah satu langkah yang paling penting untuk dilakukan, agar reaksi
alergi yang dikeluhkan tidak menjadi semakin parah. Dalam dunia medis, hingga
saat ini belum ditemukan obat yang paling tepat untuk mengatasi alergi tersebut,
meskipun demikian, kita bisa menyiasatinya dengan menggunakan bahan-bahan
alami untuk menekan dan meminimalisir terjadinya alergi, yaitu dengan obat
tradisional alergi. Selain itu, seseorang yang menderita alergi juga disarankan
untuk menjauhi beberapa hal yang memicu terjadinya reaksi alergi, atau allergen.
MEKANISME HIPERSENTIVITAS TIPE I
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok.
Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu
kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,
yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik
yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang
bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator
peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi
anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau
akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab
mengenai komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu daripreformed mediators yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor
kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang
terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel
mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase
cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai.
Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan
alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung
selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi
hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata
sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti
terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi
alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan
sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator
fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang
meningkatkan sel radang.
Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing
factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator
dari sel mast dan sel lain.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein(MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor
kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam
peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan
setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas
bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE
spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed
mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel
lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil
chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic
factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim
histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah
secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan
plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi
dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen.
Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa
rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung
timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara
inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan
bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan
pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare.
Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya
dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak
pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan
gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada
reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung
dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi
inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan
ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi
histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi
pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus
mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai
efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di
tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan
tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan
akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk
setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah
leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia
merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu
patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat
juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan
fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini
terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi
inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas
atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka
diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula
berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan
menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga
bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam
arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme
asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang
masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator
bagi berbagai proses inflamasi.
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan
menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu
prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia
misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot
polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga
dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase
lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai
sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin
F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta
meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta
TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang
terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi
peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4
adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-
A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil,
sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel
mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan
sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang
tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan
masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya
didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator
SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam
terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari
histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta
merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien
hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada
manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan
serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot
polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit
pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa
saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel
mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan
mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel
mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah.
3.2 ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung,enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya :IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan.
Imaturitas
jugamengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. · Imaturita
s usus (Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik integritas mukosa usus
dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Seca
rakimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan
denaturasiallergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan
limfosit padalamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh.
Pada ususimatur system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal
berfungsi,sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau
kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek
yang menederitaalergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak
dini. Bila ada salahsatu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat
menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi
maka resiko pada anakmeningkat menjadi 53 – 70%.c. Mukosa dinding
saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapanalergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3%
dll.c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak
keluargayang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapatme
ngatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan
inikembali di kemudian hari
c. Alergi lain. Jika sudah alergi
terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risikoalergi
terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi
alergiyang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan
lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makananatau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-
anak biasanya dapatmengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan
telur. Alergi parah dan alergiterhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin
dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika
terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah.
3.3 KLASIFIKASI HIPERSENSITIVITAS
Tipe- tipe reaksi anafilaksis :
Local . Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urikaria serta
angioedema pada tempaat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi
yang berat tetapi jarang fatal.
Sistemik . Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit
sesudah kotak dalam system organ berikut ini : kardiovaskuler, respiratorius,
gastrointestinal dan integument.
Tipe I : Hipersensitivitas Anafilaktik
Keadaan ini merupakan hipersentivitas anafilaktif seketika dengan reaksi
yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen.
Kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai 24
jam. Reaksi ini diantari oleh antigen IgE (reagin) dan bukan oleh antibodi IgG
atau IgM. Hipersensitifitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen
yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi IgE oleh sel-sel plasma. Proses
ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu
menggalakkan reaksi ini. Antibodi IgE akan terikat dengan reseptor membran
pada sel-sel mast yang di jumpai dalam jaringan ikat basofil. Pada saat terjadi
kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibodi IgE didekat dan pengikatan ini
mengaktifkan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan
mediator kimia (histamin, leukotrien dan ECF-A(eosinophil chemotaric factor of
anaphylaxis). Mediator kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala
hipersentivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru dan traktus
gastrointestinal.
Penyakit atopic
Respons hipersensifitas tipe I mengakibatkan penyakit atopik ( alergi )
yang mengenai 10% hingga 20% dari populasi penduduk di A.S. Faktor genetik
memainkan peranan dalam kerentanan terhadap penyakit ini. Gangguan yang di
tandai oleh sifat atopik adalah anifilaksis, rinokonjungtivitas alergik, dermatitis
atopik, Urtikaria serta angioedema, alergi gastroinstestinal dan asma.
Tipe II : Hipersensitivitas Sitotoksik
Hipersensitifitas tipe II meliputi pengikatan antibody IgG atau IgM
dengan antigen yang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa
pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang men jadi tempat antigen
terikat.
Reaksi hipersensitifitas tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis di
mana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap reseptor normal ujung
saraf. Anemia hemolitik imun karena obat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru
lahir dan reaksi tranfusi darah yang tidak kompatibel merupakan contoh
hipersensitivitas tipe II yang menimbulkan destrusi sel darah merah.
Tipe III : Hipersensitivitas Kompleks Imun
Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat denagan antibodi dan
dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagosistik. Kalau kompleks ini
bertumpuk dalam jaringan atau endotelium vaskuler, terdapat dua buah faktor
yang turut menimbulkan ciderah, yaituh: peningkatan jumlah kompleks imun
yang beredar dan adanya amina vasosktif . sebagai akibatnya terjadi peningkatan
pemeabilitas vaskuler dan cederah jaringan. Persendihan dan ginjal merupakan
organ yang terutama rentan terhadap tipe cederah ini. Hipersensivitas III berkaitan
dengan sistematik lupus eritematotus, artritis rematoit, serum sickness, tipe
tertentu nefritis dan beberapa tipe endokarditis bakterialis.
Tipe IV : Hipersensitivitas Tipe-Lambat
Reaksi ini, yang juga dikenal sebagai hipersensitifitas seluler, terjadi 24
hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen. Hipersensitivitas tipe IV diantarai
oleh makrofag dan sel-sel T yang sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah
efek penyuntikan intradermal antigen tuberculin atau PPD (purified protein
derivative).
Sel-sel T yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau
didekat penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik, mengaktifkan, dan
mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat tersebut . Lisozim yang dilepas
oleh sel makrofag akan menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin
merupakan penyebab timbulnya reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak
merupakan hipersensitifitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan allergen
seperti kosmetika, plester, obat-obat topical, bahan aditif obat dan racun tanaman.
Kontak primer akan menimbulkan sensititasi; kontak ulang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas yang tersusun dari molekul dengan berat molekul rendah atau
hapten yang terikat dengan protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh
sel-sel langerhans dalam kulit. Gejala yang terjadi mencakup keluhan gatal-gatal,
eritema, dan lesi yang menonjol.
3.4 Patofisiologi
Fungsi sitem imun ada 3 :
1. Pertahanan (destruksi zat asing seperti virus atau bakteri, untuk mencegah infeksi dari patogen)
2. Homeostasis (membersihkan sel yang rusak, mencegah sisa sel berkembang jadi ancaman)
3. Surveilans (mengenali dan menghancurkan sel yang bermutasi misal Kanker)
Antigen atau imunogen: molekul atau sel yang mampu merangsang respon imune
Antibodi (imunoglobulin): glikoprotein plasma yang dihasilkan limfosit B (sel plasma) yang bereaksi melawan antigen
Sistem limfoid → mempertahankan tubuh dari agen penginvasi, melalui imunitas seluler dan humoral
Organ limfoid primer: sumsum tulang tempat perkembangan sel T, dan timus tempat perkembangan sel B
Organ limfoid skunder: kelenjar getah bening, tonsil, limpa, jaringan terkait mukosa di kulit, saluran nafas, cerna, urine
Respon imun seluler bersifat langsung dilaksanakan oleh limfosit T
Respon imun humoral bersifat tidak langsung, dilaksanakan oleh imunoglobulin spesifik (antibodi) yang dihasilkan sel plasma (sel B)
Peran sel T: pengendali dan pelaksana
Pengendali dilaksanakan oleh sel T helper (CD4) → mengendalikan produksi imunoglobulin
Pelaksana dilaksanakan oleh Sel T sitotoksik (CD8) → memusnahkan virus, tumor, jaringan transplantasi.
Imunoglobulin: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD
1. IgG → paling banyak, dpt menembus plasenta
2. IgM → paling besar, bertanggung jawab dalam respon imun primer
3. IgA → ada di air mata, kolostrum, air liur
4. IgE → paling sedikit, terlibat hipersensitif tipe 1
5. IgD → berfungsi sebagai reseptor imunogen
Komplemen: sekelompok protein (terdiri >9) yang dalam keadaan normal beredar dalam darah dalam bentuk inaktif, bentuk aktifnya berperan menimbulkan respon peradangan
Imunitas didapat alami: aktif → setelah sakit atau terpapar antigen. Pasif → didapat dari ibu lewat plasenta, kolostrom
Imunitas didapat artifisial: aktif → vaksinasi. Pasif → serum (antibodi)
Penyakit imunologik:
1. Penyakit imunodefisiensi: AIDS
2. Penyakit hipersensitivitas: alergi
3. Penyakit autoimune: Lupus eritematus sitemik
GANGGUAN IMUNOLOGI
Contoh hipersensitivitas tipe 1 (IgE), adalah: rinitis alergika, asma alergi (ekstrinsik), dermatitis atopic.
Hipersensitivitas tipe 1 ditandai dengan produksi IgE yang meningkat akibat terpapar dengan antigen merupakan ciri khas atopi
Rinitis alergi merupakan kondisi atopik yang paling sering ditemukan :
a) Obat antihistamin (CTM) yang paling sering digunakan. Pengobatan utama seharusnya adalah menghindari alergen
b) Asma adalah keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang penyempitan bronkus yang reversibel, diantara episode adalah nafas normal
c) Dermatitis atopik adalah suatu gangguan kulit kronik, yang sering ditemukan pada penderita rinitis alergika dan asma serta diantara anggota keluarga mereka
d) Dermatitis atopik seringkali timbul akibat garukan pada bayi usia 1 tahun (eksema infantilis) dengan kulit yang merah, gatal, meninggi dan mengelupas
e) Eksema infantilis → umumnya hilang setelah 5 tahun
f) Peyebab ketidak nyamanan dermatitis atopik adalah gatal yang membandel disertai retakan kulit yang nyeri
g) Pengobatan dermatitis bersifat simptomatis: antipruritus dephenhidramin, kortikosteroid, antiinflamasi non steroid
h) Biduran (urtikaria): lesi kulit yang mencerminkan adanya proses imunologis yang melibatkan IgE
i) Sebagaian besar urtikaria cepat sembuh dan swasirna, pada anak sering disebabkan oleh virus
j) Urtikaria sering disebabkan oleh udara dingin
k) Pruritus pada urticaria tambah parah jika mandi air panas, stress, gerak, lingkungan fisik yang tidak mendukung
l) Sebagaian besar respons antibodi memerlukan antigen yang pertama kali diproses untuk menghasilkan antibodi (imunoglobulin)
m) Gangguan autoimun yang bergantung antibodi manusia → terutama mempengaruhi elemen darah (trombosit dan eritrosit)
n) Semakin banyak bukti bahwa ITP (idiopatik trombositopenik purpura) → berhubungan dengan IgG dalam darah reaktif dengan trombosit penjamu (Host)
o) Transfusi hemolitik → reaksi yang merupakan suatu bentuk proses imunohemolitik (IH) yang khusus
p) Biasanya terjadi bila seseorang resipien telah disensitisasi terhadap antigen eritrosit manusia “asing” melalui kehamilan atau riwayat transfusi yang menerima darah yang mengandung antigen ini
q) Reaksi hemolitik terhadap darah yang ditransfusikan menimbulkan fenomena IH yang sangat berbahaya dan dramatis yang dijumpai secara klinis
r) Dengan mempertimbangkan akibat yang mengerikan ini, maka harus dipertimbangkan setiap tindakan yang layak dilakukan untuk mencegah atau mengurangi timbulnya reaksi transfusi hemolitik
s) Uji Coombs → memberikan informasi dasar mengenai deskripsi gangguan IH
t) Reaksi positif (menggumpal) → menunjukan terdapat sel-sel darah dengan jumlah bermakna yang terikat molekul imunoreaktif
u) Sindrom Goodpasture: suatu gangguan yang menunjukan autoimun manusia yang diperantarai antibodi sehingga menyebabkan kerusakan organ dalam (paru dan ginjal)
v) Serum sickness → penyakit yang diinduksi oleh kompleks imun (antigen antibodi) prototipik dan memerlukan pemajanan bahan antigenik (serum, obat) yang akan tetap berada dalam sirkulasi hingga terjadi respons antibodi spesifik
w) Penimbunan kompleks yang terbentuk didalam jaringan memicu terjadinya inflamasi
x) Pada mulanya ditimbulkan setelah pemberian serum kuda untuk mencegah difteri dan tetanus
y) Hipersensitivitas tipe lambat (DTH): yang diperantarai oleh limfosit yang tersensitisasi secara spesifik, memberikan pertahanan major terhadap virus, fungi dan bakteri yang menyesuaikan terhadap pertumbuhan intrasel dan juga menghalangi pertumbuhan sel ganas
z) DTH → juga mengalami respon yang kurang pada setiap fungsi protektif yang berlangsung.
3.5 Manifestasi klinik
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaksis dapat digolongkan menjadi reaksi
sistemik yang ringan, sedang dan berat.
Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri atas rasa kesemutan serta hangat pada bagian
perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan.
Kongessti nasal , pembengkakan periobital, pruritus, bersin-bersin dan mata yang berair.
Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala di atas di
samping flushing, rasa hangat, cemas dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa
bronkospasme dan edema saluran nafas atau laaring dengan dispnea , serta batuk.
Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda- tanda serta
gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, edema laring, dipsnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan bernafas),
kram abdomen , vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat terjadi. Kadang-
kadang timbul henti jantung.
3.6 Pemeriksaan penunjang
Pengkajian pasien gangguan alergik umumnya mencakup pemerikasaan darah, sedian
apus sekresi tubuh, tes kulit dan RAST ( Radio Allergo Sorbent Test). Hasil pemeriksaan
darah laboratorium akan memberikan data-data suportif untuk berbagai kemungkinan
diagnosis; kendati demikian, hasil laboratorium bukan kriteria utama bagi penegakan
diagnosis gangguan alergik.
a. Pemberian obat Epineprin
Indikasi : Pengobatan anafilaksis berupa bronkospasme akut atau eksaserbasi asthma
yang berat.
Kontraindikasi : Epinefrin jangan di suntikkan ke dalam jari tangan, ibu jari,
hidung, dan genitalia, dapat menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi
vasokonstriksi pembuluh kapiler. Epinefrin, terutama bila diberikan IV,
kontraindikasi mutlak pada syok selain syok anafilaksi.
Gangguan kardiovaskuler yang kontraindikasi epinefrin misalnya syok hemoragi,
insufisiensi pembuluh koroner jantung, penyakit arteri koroner (mis., angina, infark
miokard akut) dilatasi jantung dan aritmia jantung (takikardi). Efek epinefrin pada
kardiovaskuler (mis., peningkatan kebutuhan oksigen miokard, kronotropik, potensial
proaritmia, dan vasoaktivitas) dapat memperparah kondisi ini.
Efek Samping : Kardiovaskuler, angina, aritmia jantung, nyeri dada, flushing,
hipertensi, peningkatan kebutuhan oksigen, pallor, palpitasi, kematian mendadak,
takikardi (parenteral), vasokonstriksi, ektopi ventrikuler.
Mekanisme Kerja : Menstimulasi reseptor alfa-, beta1-, dan beta2-adrenergik yang
berefek relaksasi otot polos bronki, stimulasi jantung, dan dilatasi vaskulatur otot
skelet; dosis kecil berefek vasodilatasi melalui reseptor beta2-vaskuler; dosis besar
menyebabkan konstriksi otot polos vaskuler dan skelet.
b. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja :menghambat kerja sel inflamasi, menghambat kebocoran
pembuluh darah kapiler, menurunkan produksi mukus.
Contoh obat : Hydrocortisone, Dexametason.
Cara Pakai : Inhalasi.
Efek Samping : atrofi (kerusakan kulit), dermatitis perioral (kuama sekitar bibir yang
gatal dan panas), infeksi.
Kontra Indikasi : Infeksi jamur sistemik, TB, kortikosteroid hipersensitivitas.
3.7 Prognosis
Prognosis respon anafilaksis secara umum tergolong baik, dengan rasio mortalitas
kurang dari 1 %. Akan tetapi, resiko kematian akibat respon anafilaksis tetap tinggi dan akan
meningkat pada penderita asma atau jika penanganan tidak dilakukan secara tepat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kemungkinan Ani mengalami alergi / hipersensitivitas tipe 1. Reaksi hipersensitivitas
tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi
anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia
diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau
basofil dengan alergen yang bersangkutan.